Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH CASE 4 : HIPOGLIKEMIA

TUTORIAL B4

DISUSUN OLEH :

Jeni Friska 1510211016


Yulia Widiastuti 1510211026
Derly Barino Hasdi 1510211047
Faiz Adnan Makarim 1510211049
Alamiya Ishgawa Hardhaningrum 1510211052
Triandini Supriadi 1510211084
Fiorentina Wahyutama 1510211095
Siti Nurmala Novia Waldah 1510211097
Tissa Rafifah A. 1510211126
Rayhan Maulana 1510211150

Tutor : Bu Yayu

Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta


Tahun Ajaran 2017/2018
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang dengan izinnya maka
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan makalah mengenai kasus keempat
yaitu tentang Hipoglikemia.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Sri Rahayu, Apt, M.Si atas segala
pengarahan, bimbingan, dan kasih sayang yang telah dicurahkan selama proses tutorial.
Terima kasih juga kepada kelompok tutorial B-4 atas kerjasamanya mulai dari proses
pembahasan hingga pembuatan makalah ini.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai laporan dan kesimpulan dari
diskusi yang telah kami lakukan dalam pembahasan kasus keempat ini serta untuk menambah
pengetahuan penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kami
dapat lebih baik lagi untuk ke depannya.

Terimakasih atas segala perhatiannya dan semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Jakarta, Maret 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuhan menciptakan manusia dengan sangat sempurnanya baik laki-laki maupun


perempuan. Lengkap dengan segala sesuatunya seperti mata, hidung, tangan, mulut,
kepala hingga kaki. Tidak luput juga, Tuhan menciptakan alat kelamin bagi laki-laki
dan perempuan. Tuhan menciptakan segala sesuatunya dengan baik agar manusia bisa
selalu beribadah dan bersyukur kepadanya. Bahkan semua system endokrin juga
diciptakan agar bisa mengatur tubuh kita yang semata-mata untuk beribadah kepada-
Nya. Dalam makalah ini, akan dibahas segala hal tentang Hipoglikemia.

1.2 Tujuan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi serangkaian tugas dari
case "explanary case”. Selain itu juga untuk menambah ilmu pengetahuan, dan
sebagai media untuk belajar bagi yang membacanya.
Case 4

Page 1
Seorang perempuan berusia 45 tahun dibawa ke UGD oleh keluarganya jarena jatuh pingsan
sejak 30 menit yang lalu. Menurut suaminya, sebelum kejadian pasien mengeluh badannya
terasa lemas, gemetar, keluar keringat dingin, jantung berdebar-debar dan tampak cemas
setelah mengkonsumsi obat yang biasa diminum setiap pagi. Obat tersebut didapatkan dari
dokter karena sejak setahun yang lalu pasien merasa berat badannya makin kurus dan sering
lemas dan setelah di cek darah ternyata pasien didiagnosis menderita penyakit kencing manis
dan mendapat pengobatan tablet glibenklamide 5mg. pagi sebelum kejadian, pasien minum
obat tersebut belum sarapan dan kemungkinan karena lupa setelah sarapan pasien minum
obat yang sama lagi. Menurut keluarganya pasien tidak pernah minum alcohol atau obat-
obatan lain serta penyakit hati disanagkal. Riwayat keluarganya, ibu pasien terkena penyakit
kencing manis juga.

Page 2
Hasil Pemeriksaan fisik didaptkan kesadarannya soporus, TD: 90/50 mmHg, HR: 120x/min
dan suhu tubuh 36 C, reflex fisiologis menurun serta tidak ada kelainan lain yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik lainnya. Pemeriksaan glukosa darah diperiksa oleh dokter yang
bertugas menggunakan glucometer darah digital, menunjukan hasil 38 mg/dl.

Page 3

Di IGD, pasien mendapatkan terapi infuse glukosa / bolus glukosa 10 % IV,


kemudian diberikan infuse glukosa maintenance untuk menghilangkan gejala dan
mempertahankan kadar glukosa serum normal. Glukosa serum harus diukur setiap 2 jam
setelah terapi dimulai sampai beberapa pengukuran berada diatas 40 mg/dl. Selanjutnya ,
kadar harus diperiksa setiap 4-6 jam dan pengobatan secara bertahap dikurangi dan akhirnya
dihentikan bila kadar glukosa serum telah berada pada kisaran normal. Setelah mendapatkan
terapi beberapa menit kemudian gejala hipoglikemia teratasi.
BAB II

IPEMBAHASAN

2.1 HIPOGLIKEMIA
2.1.1 Definisi
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bawah batas normal.
Hipoglikemia dianggap telah terjadi bila kadar  glukosa darah < 50 mg/ dL
.
(sumber :Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood Hal. 672)

Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada diabetes
melitus, terutama karena terapi insulin.
Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi
atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau
bahkan kematian.
(Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood Hal. 672)

2.1.2 Etiologi
 Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
 Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi yang diberikan kepada penderita
diabetes untuk menurunkan kadar glukosa darahnya.
 Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal.
 Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan gukosa dihati.
(sumber : Endokrinologi Francis S. Greenspan 828)

2.1.3 Gejala Klinis


 Kaki dan tangan lemas
 Gugup
 Tremor
 Kelaparan yang amat sangat
 Palpitasi
 Bicara ngacau
 Kekaburan penglihatan
 Kejang
 Kehilangan kesadaran
 Pusing
 Sakit kepala

2.1.4 Patofisiologi
 Kelebihan insulin biasanya terjadi akibat terlalu tingginya dosis insulin atau obat
antidiabetes oral yang di gunakan selama pengobatan diabetes melitus.
 Adanya gangguan pada hati yang menyebabkan penurunan pemecahan asam amino.
(sumber : Endokrinologi Francis S. Greenspan 828)

2.1.5 Kontra regulasi neoroglikopenia


 Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresikan saat terjadi
hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula
meningkatkan glikogenolisis dan kemudian meningkatkan glukoneogenesis. Epinefrin
selain meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis  di hati juga menyebabkan
terjadinya lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot.
Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan baku
(precursor) untuk glukoneogenesis hati.
 Epinefrin juga meingkatkan meningkatkan glukoneogenesis di ginjal.
 Kortisol dan growth hormon berperan dalam hipoglikemia yang berlangsung lama,
dengan cara melawan kerja insulin di jaringan perifer (lemak dan otot) serta
meningkatkan glukoneogenesis.
(sumber : Endokrinologi Francis S. Greenspan 828)

2.1.6 Klasifikasi hipoglikemia


1. Hipoglikemia puasa simtomatik dengan hiperinsulinemia
a. Reaksi insulin
Pasien diabetes yang mendapat insulin merupakan kelompok terbesar dari
populasi pasien dengan hipoglikemia simtomatik. Hilangnya respon glukagon
terhadap hipoglikemia pada penderita diabetes mempersulit masalah, demikian
pula ketidakpekaan akan gejala-gejala hipoglikemia pada pasien-pasien tua,
pasien-pasien neuropati, dan pasien-pasien dengan episode hipoglikemia berulang
yang telah beradaptasi dengan kadar glukosa darah yang rendah tanpa memicu
alarm sistem otonom
(sumber : endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998)
 Asupan makanan yang tidak memadai
Kuantitas makanan yang kurang atau lupa makan merupakan salah satu
penyebab hipoglikemia tersering pada pasien diabetes yang mendapat
insulin.
 Aktivitas fisik
Pada orang yang non-diabetes peningkatan ambilan glukosa oleh otot
rangka dikompensasi oleh peningkatan produksi glukosa oelh hati.
Mekanisme ini terutama diperantarai oleh suatu penurunan kadar
insulin sirkulasi akibat pelepasa katekolamin pada latihan fisik yang
menghambat sekresi sel β. Mekanisme tersebut tidak terjadi pada orang
yang diabetes yang mendapat insulin, dimana depot subkutan terus
menerus menghasilkan insulin terlebih lagi dibercepat dengan lokasi
injeksi berdekatan dengan kelompok otot yang beraktivitas.
 Gangguan kontraregulasi glukosa pada diabetes
Kebanyakan pasien diabetes tergantung insulin mengalami kehilangan
respons glukagon terhadap hipoglikemia. Jadi mereka hanya
mengandalkan respons otonom adnergenik untuk dapat pulih dari
hipoglikemia da khususnya untuk mengenali gejala-gejala peringatan
hipoglikemia yang mengancam sebagai sinyal untuk menelan glukosa
atau jus buah.
b. Overdosis sulfonilurea
Tiap sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia. Klorpopamid dengan waktu
paruh yang panjang (35 jam) adalah penyebab tersering golongan ini. Pasien-
pasien tua terutama mereka yang dengan gangguan fungsi ginjal dan hati
khususnya rentan terhadap hipoglikemia yang diinduksi sulfonilurea
Bila pasien juga mendapat obat-obatan seperti warfarin, fenilbutazon, atau
beberapa sulfonamida, maka efek hipoglikemik dari sulfonilurea dapat nyata
memanjang (sumber : endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
c. Pemakaian insulin atau sulfonilurea secara sembunyi-sembunyi.
Biasanya terjadi pada orang yang gangguan psikiatris
(sumber : endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
d. Hipoglikemia autoimun
Hipoglikemia autoimun itu terjadi akibat tingginya antibodi yang mampu bereaksi
dengan insulin endogen yang menyebabkan hipoglikemia
(sumber : endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
e. Hipoglikemia induksi pentamidin
Semakin sering pemakaian atau penggunaan pentamidin untuk pengobatan infeksi
pneumocystic carinii pada pasien-pasien AIDS, makin sering timbul laporan kasus
hipoglikemia induksi pentamidin. Penyebab hipoglikemia akut tampaknya adalah
efek litik obat pada sel-sel β, yang menimbulkan hiperinsulinemia akut pada
sekitar 10-20% pasien yang mendapat obat ini
(sumber : endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
f. Tumor sel β pankreas
Hipoglikemia puasa spontan pada orang dewasa sehat paling sering disebabkan
oleh insulinoma. Insulinoma yaitu tumor pulau-pulau langerhans yang
menghasilkan insulin. 80% bersifat tunggal dan jinak, 10% ganas, sisanya mutipel
dengan mikro atau makroadenoma tersebar dijaringan pulau yang sehat. 99%
tumor ini beralokasi didalam pankreas dan kurang dari 1% pada jaringan pankreas
ektopik. Tumor-tumor ini dapat timbul pada segala usia 30-40an. Tidak ada
predileksi kelamin
(buku endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
 Temuan klinis
Tanda dan gejala terutama adalah tanda dan gejala neuroglikopenia subakut
dan bukan karena pelepasan adrenergik. Gambaran yang khas adalah
gangguan fungsi sistem saraf pusat yang berulang pada saat beraktivitas fisik
ataupun saat puasa. Sebagian besar pasien belajar untuk mengatasi ataupun
mencegah gejala dengan cara sering makan, akibatnya obesitas, tetapi pasien
ini yang dengan obesitas hanya 30%.
Tabel 1. Gejala neuroglikopenia
(Sumber : http://ocw.usu.ac.id)
Gejala neurogenik Gejala neuroglikopenia
 Cholinergik : berkeringat, Lemah, sakit kepala, gangguan visus,
lapar, semutan disekitar oral bicara lamban&pelo, vertigo,
dizziness, kesulitan berfikir, lelah,
mengantuk, perubahan afektif (depresi,
marah), bicara ngaco, koma, kejang.
 Adrenergik : tremor,
takikardi, pucat, berdebar-
debar, gelisah

 Diagnosa insulinoma
Tumor sel β tidak mengurangi sekresi sekalipun ada hipoglikemia, dan kadar
insulin serum 10 μU/mL atau lebih dan kadar glikosa plasma pada saat yang
sama dibawah 45mg/dL (2,5 mmol/L) mengisyaratkan adanya insulinoma.
 Assay insulin
Tes darah digunakan untuk mendiagnosis insulinoma (tumor dari pulau
langerhans) dan untuk mengevaluasi pasien dengan hipoglikemia puasa.
Hal ini sering dikombinasikan dengan test glukosa plasma puasa untuk
meningkatkan nilai diagnostik. Tehnik ini tidak saja mendeteksi insulin
manusia, tetapi juga insulin sapi dan babi.
 Uji supresi
Uji ini paling diandalkan adalah dalah keadaan puasa yang lama (diawasi)
pada pasien-pasien yang dirawat dirumah sakit. Sesudah timbul gejalanya
maka dilakukan pengambilan kadar glukosa darah, insulin, proinsulin, dan
tingkat peptida C lalu puasa dihentikan.
 Uji stimulasi
Berbagai uji stimulasi dengan tolbutamid, glukagon, atau kalsium
intravena talah dirancang untuk dapat memperlihatkan sekresi insulin yang
berlebihan dan memanjang.
o Uji stimulasi dengan tolbutamid
Uji ini bisa mengisyaratkan suatu tumor penghasil insulin, namun
respon ini hanya dijumpai pada 60% atau kurang pasien insulinoma
dan hasil positif palsu dapat terjadi (misalnya dengan obesitas dan
penyakit hati)
o Uji stimulasi glukagon
Ini juga dapat mengarahkan tumor yang menghasilkan insulin, akan
tetapi ini hanya dijumpai pada separuh pasien insulinoma dan dapat
pula diperoleh hasil positif palsu.
 Uji toleransi glukosa
Sebenarnya ini tidak berguna dalam diagnosa tumor pesekresi insulin.
 Klem euglikemik
Pemantauan glukosa darah kontinu dengan infusi dexstrosa kontrol umpan
balik memakai suatu pankreas buatan.
 Pengukuran proinsulin
Biasanya orang yang insulinoma kadar proinsulinnya tinggi, yaitu 30-90%
daripada orang normal kurang dari 20%.
 Pengukuran glikohemoglobin
Kadar glikohemoglobin yang rendah telah dilaporkan pada beberapa kasus
insulinoma dan mencerminkan hipoglikemia kronis.
 Pemeriksaan lokalisasi tumor
o Pemeriksaan pencitraan
Dengan USG, CT scan, MRI, arteriografi.
o Pengambilan sampel vena porta transhepatik
 Penanganan insulinoma
 Pembedahan tumor
Angka keberhasilan 85%. Sebelumnya diberikan diazoksid (suatu inhibitor
sekresi insulin yang poten dapat mempertahankan euglikemia pada
kebanyakan pasien dengan tumor-tumor penghasil insulin) dan juga
diberikan dexstrosa 5% atau 10% dengan diinfus sehari sebelum
pembedahan guna menentukan kecepatan pemberian glukosa yang tepat
untuk mempertahankan euglikemia.
 Pemberian obat-obatan
Terapi diazoksid emrupakan pengobatan terpilih pada pasien-pasien
dengan karsinoma sel pulau fungsional yang tidak dapat dioperasi, dapat
bertahan >10 tahun tanpa efek buruk. Jika pasien tdak tahan dengan efek
samping seperti gangguan saluran cerna, hirsutisme tau edema, maka suatu
penghambat saluran kalsium seperti verapamil dapat dicoba berdasarkan
efek inhibisinya pada pelepasan insulin dari sel-sel inulinoma invitro.

2. Hipoglikemi Puasa Simtomatik Tanpa Hiperinsulinemia


(Sumber : endokrinologi klinis dan dasar greenspan edisi 4, 1998)
a. Keadaan Disertai rendahnya Produksi Glukosa
• Berkurangnya glukoneogenesis dapat terjadi sebagai akibat langsung
kehilangan jaringan hati.
• Dapat terjadi juga pada keadaan dimana suplai asam amino pada parenkim
hati berkurang atau akibat dari gangguan metabolisme karbohidrat bawaan
yang mempengaruhi enzim-enzim glikogenolitik atau glukoneogenesis.
b. Hipoglikemia Etanol
• Etanol mengganggu glukoneogenesis dihati tetapi tidak mempengaruhi
glikogenolisis di hati.
• Pada pasien yang mengkonsumsi etanol tetapi tidak makan dapat terjadi
hipoglikemi puasa sesudah cadangan glikogen hati habis yaitu setelah 8-12
jam puasa.
• Hipoglikemi puasa yang di induksi etanol dapat terjadi pada kadar etanol
cukup rendah misalnya 45 mg/dl.
• Pasien pada umumnya datang dengan gejala neurologlikopenia, yang sulit di
bedakan dengan efek neurotoksis dari alkohol.
• Dekstrosa intravena harus segera diberikan, karena cadangan glikogen hati
biasanya sudah terkuras saat terjadi hipoglikemi.
• Asupan makanan yang cukup selama mengkonsumsi alkohol akan mencegah
terjadinya hipoglikemi jenis ini.
c. Tumor Non-Pankreas
• Sejumlah tumor non pankreas telah ditemukan dapat memnyababkan
hipoglikemia pada saat puasa.
• Tumor pada umumnya besar dan berasal dari mesenkim.
• Diagnosis laboratorium bergantung pada hipoglikemi puasa yang disertai
kadar insulin serum dibawah 8 uU/mL.
• Mekanisme bagaimana tumor non pankreas dapat menimbulkan hipoglikemi
tidak sepenuhnya jelas.
• Tidak satupun dari tumor-tumor non pankreas dapat di buktikan
mensekresikan insulin, jadi hiperinsulinemia ektopik sejati sepertinya tidak
ada.
• Pengobatan ditunjukan pada tumor primer, dengan terapi penyokong
pemberian nutrisi yang sering.

3. Hipoglikemi Tidak Puasa


(Sumber : endokrinologi klinis dan dasar greenspan edisi 4, 1998)
Hipoglikemi reaktif dapat diklasifikasikan sebagai hipoglikemi dini ( 2-3 jam setelah
makan ) atau juga tertunda ( 3-5 jam setelah makan ).
a. Hipoglikemi dini terjadi bila mana ada pelepasan karbohidrat yang di telan secara
cepat ke dalam usus halus yang kemudian diikuti oleh absorpsi cepat glukosa dan
hiperinsulinemia.
b. Hipoglikemi tertunda disebabkan oleh tertundanya pelepasan insulin awal, yang
selanjutanya akan semakin parahnya hiperglikemi.
 Hipoglikemi Pencernaan Pasca Gasterektomi
 Hipoglikemi reaktif setelah gasterektomi merupakan suatu konsekuensi
dari hiperinsulinemia.
 Terjadi karena pengosongan makanan dari lambung yang berlangsung
secara cepat menyebabkan stimulasi refleks vagus yang berlebihan dan
produksi berlebihan dari hormon saluran cerna sitotropik.
 Hal ini akan menyebabkan hiperinsulinemia arterial dengan konsekuensi
hipoglikemi akut.
 Gejalanya disebabkan oleh hiperaktivitas andregenik sebagai respon dari
glukosa plasma yang menurun cepat.
 Penanganya dengan menghindari rangkaian peristiwa ini dengan
memberikan porsi kecil makanan yang terdiri dari bahan karbohidrat
yang tidak cepat di asimilasi dan lemak / protein yang lebih lambat untuk
di absorpsi.
 Bisa juga dengan memberikan obat antikolinergik seperti propantelin 15
mg peroral 4 x sehari à dapat mengurangi aktivitas vagus.

 Hipoglikemia Pencernaan Fungsional


• Hipoglikemi reaktif dini tipe pencernaan yang sebelumnya tidak
menjalani pembedahan di golongkan sebagai fungsional.
• Keadaan ini sering di sertai rasa lelah yang bersifat kronis, perasaan
cemas, iritabilitas, kelemahan, konsentrasi yang buruk, nyeri kepala,
perasaan lapar sesudah makan, dan tremor.
• Pada hipoglikemi pencernaan fungsional tidak memiliki cara yang dapat
benar-benar diandalkan dalam mendioagnosisnya.
 Hipoglikemi Tertunda
• Kondisi ini di sebabkan oleh tertundanya pelepasan insulin dini dari sel B
pankreas yang menyebabkan semakin parahnya hiperglikemi.
• Sebagai respon terhadap hiperglikemi, maka respon pelepasan insulin
yang berlenihan akan menyebabkan suatu hipoglikemi tertunda 4-5 jam
sesudah makan.
• Pada pasien yang obesitas, pengobatan ditunjukan pada pengurangan BB
mencapai berat ideal.
• Pasien juga dianjurkan dengan pemberian makanan dalam porsi kecil
kaya dengan serat-serat gizi dan melakukan evaluasi berkala.

2.2 DIABETES MELITUS GESTASIONAL


(sumber:Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2000 hal 1905-1907)

2.2.1 definisi
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai gangguan toleransi glukosa
berbagai tingkat yang diketahui pertama kali saat hamil tanpa membedakan apakah penderita
perlu mendapat insulin atau tidak. (sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2000)

2.2.2 Patofisiologi Diabetes Mellitus Pada Kehamilan


Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut, akan terjadi suatu keadaan di
mana jumlah/fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika insulin dan
resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber energi dalam plasma ibu
bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap tinggi).
Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi
komposisi sumber energi abnormal. (menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai
komplikasi). Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami
gangguan metabolik (hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan
sebagainya.
(sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2000)

2.2.3 Metabolisme kehamilan yang berhubungan dengan Diabetes Melitus


Pada masa kehamilan, terjadi perubahan hormonal dalam tubuh wanita dimana
perubahan tersebut merupakan usaha pertahanan keadaan metabolisme. Perubahan tersebut
semakin bertambah seiring dengan bertambahnya usia kehamilan ibu.
Perubahan hormonal terjadi dari ovarium, korteks adrenal janin dan ibu, plasenta, dan
lain-lain yang berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat. Karena kebanyakan hormon
saat kehamilan menyebabkan sensitivitas insulin, disini sel beta pancreas mengkompensasi
nya dengan mengeluarkan banyak insulin.
Pada beberapa ibu dengan defek genetik Diabetes ataupun terkena infeksi yang
menyebabkan sel beta pankreas tidak bekerja, akan mengalami kegagalan dalam kompensasi
ini. Sehingga menyebabkan Diabetes Melitus Gestasional.
Kadar glukosa dalam darah wanita hamil merupakan ukuran kemampuanya untuk
memberikan respon terhadap tantangan kehamilan itu. Kadar glukosa darah maternal
dicerminkan dalam kadar glukosa janin, karena glukosa melintasi plasenta dengan mudah.
Insulin tidak melintasi barier plaenta, sehingga kelebihan produksi insulin oleh ibu atau janin
tetap tinggal bersama yang menghasilkan.akhirnya, glukosuria lebih sering pada wanita
wanita hamil dibandingkan wanita yang tidak hamil.
Perubahan hormonal yang luas terjadi pada hehamilan dalam usaha mempertahankan
keadaan metabolisme ibu yang sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan. Hormon-
hormon ini mungkin yang bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung,
menginduksi resistensi insulin periver dan mengkontribusi terhadap perubahan sel β
pancreas.
Ovarium, kortek adrenal janin, plasenta, kortek adrenal ibu dan pancreas terlibat
dalam timbulnya perubahan-perubahan hormonal ini, yang mempunyai pengaruh terhadap
metabolisme karbohidrat. Terutama yang penting adalah peningkatan progresif dari sirkulasi
estrogen yang pertama kali dihasilkan oleh ovarium hingga minggu ke 9 dari kehidupan intra
uterine dan setelah itu oleh plasenta.
Sebagian besar estrogen yang dibentuk oleh plaenta adalah dalam bentuk estriol
bebas, yang terkonjugasi dalam hepar menjadi glukoronida dan sulfat yang lebih larut, yang
dieskresikan dalam urine. Estrogen tidak mempunyai efek dalam transport glukosa, tetapi
meningkatkan peningkatan insulin maksimum ( insulin binding).
Progesteron yang dihasilkan korpus luteum sepanjang kehamilan kususnya selama 6
minggu pertama. Trofoblas mensintesis progesterone dan kolesterol ibu dan merupakan
penyumbang utama terhadap kadar progesterone plasma yang meningkat secara secara
menetap selama kehamilan. Progesterone juga mengurangi kemampuan dari insulin untuk
menekan produksi glukosa endogen. Lactogen plasenta manusia (HPL) merupakan hormone
plasenta penting lain yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat.
Kadarnya dalam darah ibu meningkat secara berlahan-lahan sepanjang kehamilan,
mencapai puncaknya saat aterm. HPL adalah salah satu dari hormone-hormonutama yang
bertanggung jawab menurunkan sensitivitas insulin sejalan dengan bertambahnya usia
kehamilan.
Kadar HPL meningkat pada keadaan hipoglikemia dan menurun pada keadaan
hiperglikemia. Dengan kata lain HPL merupakan antagonis terhadap insulin. HPL menekan
transport glukosa maksimum tetapi tidak mengubah pengikatan insulin. Setelah melahirkan
dan pengeluaran plasenta, kadar HPL ibu cepat menghilang, pengaturan hormonal kembali
normal.
Korteks adrenal terlibat dalam peningkatan kortisol bebas secara progresif selama
kehamilan. Pada kehamilan lanjut, konsentrasi kortisol ibu diperkirakan 2,5 kali lebih tinggi
dari keadaan tidak hamil. Perubahan pada metabolisme karbohidrat selama kehamilan
sebagai akibat dari perubahan hormonal diatas.
Pada beberapa uji toleransi glukosa didapatkan keadaan antara lain; hipoglikemia
ringan pada saat puasa, hiperglikemia pos prandial dan hiperinsulinemia. Konsentrasi glukosa
plasma selama puasa yang menurun mungkin terjadi akibat peningkatan dari kadar plasma
insulin. Tetapi hal ini tidak dapat dijelaskan dengan perubahan metabolisme insulin karena
waktu paruh insulin selama hamil tidak berubah.
Peningkatan kadar plasma insulin pada kehamilan normal berhubungan dengan
perubahan respon unik terhadap ingestion glukosa. Sebagai contoh, setelah makan pada
wanita hamil didapatkan perpanjangan hiperglikemia, hiperinsulinemia,dan supresi glukagon.
Mekanisme ini sepertinya bertujuan untuk mempertahankan suplai glukosa posprandial ke
fetus.
Respon ini konsisten dengan pernyataan bahwa kehamilan menginduksi resistensi
perifer terhadap insulin, yang diperkuat dengan tiga hasil pengamatan:
 peningkatan respon insulin terhadap glukosa
 pengurangan ambilan perifer terhadap glukosa
 penekanan respon dari glikogen
mekanisme yang bertanggung jawab terhadap resistensi insulin belum lengkap
dimengerti. Beberapa peneliti telah melaporkan sensitifitas insulin menurun secara signifikan
( 40-80 %) dengan bertambahnya usia kehamilan. Fetus normal mempunyai system yang
belum matang dalam pengaturan kadar glukosa darah.
Fetus normal adalah penerima pasif glukosa dari ibu. Glukosa melintasi barier
plasenta melalui proses difusi dipermudah, dan kadar glukosa janin sangat mendekati kadar
glukosa ibu. Mekanisme transport glukosa melindungi janin terhadap kadar maternal yang
tinggi, mengalami kejenuhan oleh kadar glukosa maternal sebesar 10 mmol/l atau lebih
sehingga kadar glukosa janin mencapai puncak pada 8-9 mmol/l.
hal ini menjamin bahwa pada kehamilan normal pancreas janin tidak dirangsang
secara berlebihan oleh puncak posprandial kadar glukosa darah ibu. Bila kadar glukosa ibu
tinggi melebihi batas normal/ tidak terkontrol akan menyebabkan dalam jumlah besar glukosa
dari ibu menembus plasenta menuju fetus dan terjadi hiperglikemia pada fetus.
Tetapi kadar insulin ibu tidak dapat mencapai fetus, sehingga kadar glikosa ibulah
yang mempengaruhi kadar glukosa fetus. Sel beta pancreas fetus kemudian akan
menyesuaikan diri terhadap tingginya kadar glukosa darah. Hal ini akan menimbulkan fetal
hiperinsulinemia yang sebanding dengan kadar glukosa darah ibu dan fetus. Hiperinsulinemia
yang bertanggung jawab terhadap terjadinya makrosomia atau LGA oleh karena
meningkatnya lemak tubuh.
(sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2000)

2.2.4 Keseimbangan hormon dan bahan bakar selama kehamilan


Kadar glukosa plasma dalam fase post absorptive menurun dengan bertambahnya usia
kehamilan oleh karena semakin meningkatnya ambilan glukosa plasenta dan juga
meningkatkan suatu pembatasan dalam produksi glukosa hati.
(sumber : GreenSpan. Endokrinologi Dasar dan Klinik.2000)
Glukoneogenesis dapat menjadi terbatas akibat kekurangan relative suatu bahan
utama yaitu alanin akibat ambilan oleh plasenta dan suatu pembatasan proteolisis.deposisi
lemak jadi lebih hebat pada kehamilan awal namun pada usia kehamilan selanjutnya lipolisis
akan meningkat oleh laktogen plasenta manusia (hpl) dan lebih banyak gliserol dan asam
lemak akan dilepaskan pada fase post –absorptive. jadi ketogenesis akan lebih menonjol pada
fase post absorptive selama kehamilan dan agaknya akibat sekunder dari adanya pasokan
substrat asam lemak bebas dan efek hormonal pada sel-sel hati ibu.
pemakaian glukosa jadi terganggu meskipun terdapat hiperinsulinemia selama
kehamilan normal sehingga kadar glukosa darah ibu agak meningkat.glukagon juga ditekan
oleh glukosa selama kehamilan dan respon sekretorik glucagon terhadap asam-asam amino
meningkat diatas kadar tak hamil.
(sumber : GreenSpan. Endokrinologi Dasar dan Klinik.2000)

2.2.5 gejala dan tanda GDM


Biasanya gejala dan tanda tidak terlalu diperhatikan, karena hampir sama dengan gejala dan
tanda pada saat kehamilan, misalnya sering berkemih sehingga cepat haus.
(sumber : www.mayoclinic.com)

 Haus yang berlebih


 Sering berkemih
 Cepat lapar dan disertai rasa lapar yang sakit
 Penglihatan buram
 Cepat lelah
 Sering terkena infeksi, termasuk pada alat kemih, vagina dan kulit
 Nausea dan vomitting
 Kehilangan berat badan tanpa penurunan nafsu makan
Banyak wanita hamil tidak percaya bahwa ini merupakan gejala dan tanda wanita hamil pada
umumnya tidak menyadari gejala dan tanda (sebab kemiripan gejala dan tanda dengan
kehamilan) sehingga akan berubah menjadi komplikasi.
(www.gestasional diabetes.com, medlineplus medical encyclopedia)

2.2.6 Diagnosis
Ada dua kriteria yang digunakan:
1. kriteria American diabetes association
Menggunakan skrining diabetes mellitus gestasional melalui pemeriksaan glukosa
darah melalui dua tahap :
a. Tahap pertama dikenal dengan nama tes tantangan glukosa: wanita hamil dating
ke klinik diberi minum glukosa 50 gram kemudain diambil contoh dar satu jam
.hasil glukosa darah >140mg/dl disebut tes tantangan positif dan harus dilanjutkan
dengan tahap kedua.
b. Tahap toleransi glukosa oral adadua jenis tes toleransi glukosa oral 2 jam dan tes
toleransi glukosa oral 3 jam. Perbedaannya adlah julah beban glukosa , pada yang
3 jam diberi glukosa 100 gram, yang kedua diberi hanya 75 gram.
2. Diagnosis menurut WHO
Dilakukan tes toleransi glukosa oral dengan beban glukosa 75 gram.
Dinyatakan diabetes mellitus gestasional bila glukosa plasma puasa >126mg/dl atau 2
jam setelah beban glukosa >200mg. atau toleransi glukosa terganggu.
(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2000)

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan glukosa darah puasa dan glukosa darah 2
jam pp perlu dilakukan supaya dapat memantau apakah kehamilan tersebut bersamaan dg
GDM.
 Glukosa darah puasa (minimal 8 jam tanpa makan) sama dengan atau lebih besar dari
125 mg / dL.
 Glukosa darah 2 jam sesudah makan (2 jam post prandial), sama atau lebih besar dari
199 mg / dL.
jika tidak ditemukan adanya suatu indikasi terjadinya GDM, maka pemeriksaan harus
dilakukan antara minggu ke 24-28.
(sumber : greenspan’s basic and clinical endocrinology ed. 8th page 738 table 18-26 )

2.2.8 Pengaruh Pada Intrauteri


 Pengaruh Terhadap Kehamilan
o Abortus dan partus prematurus
o Pre eklamsia
o Hidroamnion
o Insufisiensi plasenta

 Pengaruh Terhadap Janin


o Kematian hasil konsepsi dalam kehamilan muda mengakibatkan abortus
o Cacat bawaan
o Dismaturitas
o Janin besar (makrosomia)
o Kematian dalam kandungan
o Kematian neonatal
o Kelainan neurologik dan psikologik
o Polyhidramnion à berhubungan dengan fetal makrosomi
o Neural tube defects (anencephaly, meningomyelocele)

Gambar 1 : Meningomyelocele
(sumber : www.google.com)

Gambar 2 : anencephalus
(sumber : www.google.com)

2.2.9 Penatalaksanaan dengan insulin


Tujuan terapi insulin selama kehamilan adalah mencegah hiperglikemia baik puasa
maupun post prandial dan juga untuk menghindari reaksi hipoglikemia. Hiperglikemia
diakaitkan dengan makrosomia janin dan tertundanya pematangan paru.
Pemantauan sendiri kadar glukosa kapiler dirumah dengan carik glukosa dan
calorimeter pemantul dapat membantu pasien memantau perjalanan terapi. Karena
hemoglobin glikosilasi berkorilas dengan rata-rata glukosa darah kapiler dalam beberapa
minggu maka pengukuran sekuensial akan memberikan suatu indicator control jangka waktu
panjang . karena dosis insulin perlu disesuaikan selama status metabolis yang dinamik selama
kehailan maka darah kapiler perlu diukur beberapa kali setiap harinya untuk membantu dalam
menghaluskan terapi insulin.
Kebanyakan pasien hamil yang tergantung insulin akan memerlukan setidaknya dua
injeksi campuran 1:2 insulin regular dan intermediet setiap harinya untuk mencegah
hiperglikemia puasa dan postprandial.praktek yang lazim adalah pemberian duapertiga
insulin sebelum sraapan dan sepertigan sebelum makan malam.
Pada sebagian pasien maka regimen yang lebih ketat seperti pemberian insulin regular
subkutan tigakali sehari sebelum makan dan NPH menjelang tidur atau kontinu dengan
pompa insulin portable mungkin diperlukan untuk mencapai normoglikemia. Reaksi
hipoglikemik sering terjadi di awal kehamilan ,pasien perlu selalu membawa glucagon dan
anggota keluarga perlu diajarkan untuk menyuntikkannya.
(GreenSpan. Endokrinologi Dasar dan Klinik.2000)

Penatalaksanaan dengan insulin pada persalinan dan kelahiran


Pemberian insulin intravena dosis rendah kontinu selama persalinan ataupun selama
pembedahan sesar kini dijalankan untuk mengurangi insiden distress janin intrapartum dan
problem metabolic neonates.selama persalinan kadar glukosa ibu biasanya dipertahankan
dibawah 100mg/dl dengan insulin regular 1-2 unit dan 7,5 g dekstrose diberikan intravena
setiap jamnya . jika pembedahan sesar maka pemberian insulin adlah serupa dan bayi akan
tetap dalam keadaan baik dengan anesthesia umum,spinal ataupun epidural.
(GreenSpan. Endokrinologi Dasar dan Klinik.2000)

2.2.10 Pengelolaan obstetrik


Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaanklinis ibu dan janin,
terutama tekanan darah, pembesaran/ tinggi fundus uteri, denyut jantung janin, kadar gula
darah ibu, pemeriksaan USG dan kardiotokografi (jika memungkinkan).
Pada tingkat Polindes dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran tinggi
fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin.
Pada tingkat Puskesmas dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran
tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin.
Pada tingkat rumah sakit, pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan cara :
Pengukuran tinggi fundus uteri
 NST – USG serial
 Penilaian menyeluruh janin dengan skor dinamik janin plasenta (FDJP), nilai FDJP <
5 merupakan tanda gawat janin.
 Penilaian ini dilakukan setiap minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya
makrosomia, pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan gawat janin merupakan indikasi
untuk melakukan persalinan secara seksio sesarea.
 Pada janin yang sehat, dengan nilai FDJP > 6, dapat dilahirkan pada usia kehamilan
cukup waktu (40-42 mg) dengan persalinan biasa. Pemantauan pergerakan janin
(normal >l0x/12 jam).
 Bayi yang dilahirkan dari ibu DMG memerlukan perawatan khusus.
 Bila akan melakukan terminasi kehamilan harus dilakukan amniosentesis terlebih
dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila usia kehamilan < 38 mg).
 Kehamilan DMG dengan komplikasi (hipertensi, preeklamsia, kelainan vaskuler dan
infeksi seperti glomerulonefritis, sistitis dan monilisasis) harus dirawat sejak usia
kehamilan 34 minggu. Penderita DMG dengan komplikasi biasanya memerlukan
insulin
 Penilaian paling ideal adalah penilaian janin dengan skor fungsi dinamik janin-
plasenta(FDJP).
(Sumber :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2000)

2.2.11 Morbiditas neonatus


Bayi dari ibu diabetik memiliki risiko untuk mengalami sindrom distress pernafasan
alasannya mungkin karena produksi surfaktan paru yang abnormal ataupun perubahan
jaringan ikat yang menyebabkan berkurangnya daya kembang paru.insidennya telah menurun
dari 24% menjadi 5% diagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis Napas
berbunyi,retraksi,frekuensi pernafasan >60/menit.
(sumber : GreenSpan. Endokrinologi Dasar dan Klinik.2000)
Hipoglikemia sering terjadi dalam 48 jam pertama setelah persalinan dan diberi
batasan kadar normal kadar glukosa darah di bawah 30 mg/dl tanpa memandang usia
kehmailan.hipoglikemia dihubungkan dengan kadar insulin yang tinggi pada dan setelah
kehamilan mungkin juga erat kaitannya dengan berkurangnya produksi glukosa hati dan
oksidasi asam lemak bebas.usaha neonatologi yaitu dengan dengan pemberian nutrisi dini
yaitu 10 % dextrose dalam air memakai botol dalam usia sebelum satu tahun.
Masalah lain yang sering dijumpai hipokalsemia, hiperbilirubinemia,polisitemia,dan
nafsu makan yang buruk.
(sumber : GreenSpan. Endokrinologi Dasar dan Klinik.2000)
2.3 SULFONILUREA

2.3.1 Obat anti diabetik oral


Ada 5 golongan yang digunakan untuk diabetes mellitus yaitu sulfonylurea, meglitinid,
biguanid, penghambat α glikosidase, dan tiazolidinedion. Obat-obat ini diberikan pada
penderita DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja.
(sumber :Farmakologi dan terapi UI, edisi 5 tahun 2007, FKUI hal 489 – 491)

2.3.2 Golongan sulfonylurea


Dikenal 2 generasi
1. Generasi 1 : tolbutamid, tolazamid, asetoheksamid, klorpropamid
2. Generasi 2 : gliburid, glipizid, gliklazid, glimepirid

2.3.3 Dosis maksimum


1. Klorpropamid 0,5 gr
2. Tolbutamid 2 gr
3. Asetoheksamid 1,25 gr
4. Tolazamid 0,75 gr

2.3.4 Mekanisme kerja


1. Reseptor spesifik di permukaan sel B pancreas yaitu ATP sensitive K channel
mengikat sulfonylurea berdasarkan potensi insulinotropik
2. Aktivasi reseptor – reseptor ini akan menutup saluran kalium menyebabkan terjadinya
depolarisasi membrane sel B
3. Depolarisasi membuka kanal Ca
4. Memungkinkan masuknya kalsium ke dalam sel B
5. Secara aktif merangsang granula berisi insulin
6. Terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptide C
(sumber :Farmakologi dan terapi UI, edisi 5 tahun 2007, FKUI hal 489 – 491)
2.3.5 Indikasi
Paling sesuai untuk pasien non obese dengan diabetes tipe 2 ringan dimana hiperglikemia
tidak berespon terhadap terhadap terapi diet dan latihan jasmani. Dapat memperbaiki control
glikemik pada pasien obese dengan hiperglikemia berat dan gangguan fungsi sel B pancreas.
(sumber :Farmakologi dan terapi UI, edisi 5 tahun 2007, FKUI hal 489 – 491)

2.3.6 Kontraindikasi
DM tipe 1 yang cenderung mengalami ketosis, karena obat ini perlu sel-sel B pancreas untuk
menimbulkan efeknya terhadap glukosa darah.
Tidak boleh diberikan sebagai dosis tunggal pada pasien DM juvenile, pasien yang kebutuhan
insulinnya tidak stabil, DM dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal, insufisiensi endokrin,
gizi buruk, dan alkoholisme berat.
(sumber :Farmakologi dan terapi UI, edisi 5 tahun 2007, FKUI hal 489 – 491)

2.3.7 Farmakokinetik
Berbagai sulfonilurea memiliki sifat farmakokinetik berbeda tetapi absorpsinya sama-sama
cukup efektif. Absorpsinya dipengaruhi oleh makanan dan hiperglikemi yang mengurangi
absorpsi usus.
Untuk mencapai kadar optimal di plasma, sulfonylurea dengan waktu paruh pendek akan
lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Di dalam plasma, 90 – 99 % terikat
protein plasma terutama albumin.
 Masa paruh dan metabolisme generasi 1 bervariasi, misalnya;
Asetoheksamid : masa paruh pendek, 4 – 5 jam. 10 % metabolitnya diekskresi lewat
empedu dan keluar bersama tinja.
Klorpropamid : waktu paruh panjang 24 – 48 jam. Metabolism di hepar tidak lengkap
dan 20 % diekskresi utuh di urin.
Tolbutamid : waktu paruh 4 – 7 jam. Sekitar 91 – 96 % terikat protein plasma dan di
hepar diubah jadi karboksitolbutamid. Ekskresinya melalui ginjal.
Tolazamid : absorpsi lebih lambat dari yang lain. Waktu paruh sekitar 7 jam. Di hepar
diubah jadi senyawa lain yang mempunyai sifat hipoglikemik cukup kuat.
 Masa paruh dan metabolisme generasi 2 :
Potensi hipoglikemik 100 kali lebih besar daripada generasi 1. Masa paruh pendek
sekitar 3-5 jam. Efek hipoglikemik berlangsung 12 – 24 jam jadi cukup diberikan
sekali sehari.
Semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan di ekskresi lewat ginjal, jadi sediaan ini tidak
boleh diberikan pada pasien dengan gangguan hepar atau ginjal yang berat.
(sumber :Farmakologi dan terapi UI, edisi 5 tahun 2007, FKUI hal 489 – 491)

2.3.8 Interaksi
Obat yang meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu penggunaan sulfonylurea antara lain
adalah insulin, alcohol, fenformin, sulfonamide, kloramfenikol, anabolik steroid, klofibrat,
fenfluramin.
(sumber :Farmakologi dan terapi UI, edisi 5 tahun 2007, FKUI hal 489 – 491)

2.3.9 Efek samping


Insidens efek samping generasi 1 sekitar 4 %, sedangkan generasi 2 lebih rendah lagi.
 Hipoglikemia
Dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat dosis tepat, tidak makan cukup, ada
gangguan fungsi hepar dan atau ginjal terutama pada orang tuayang menggunakan
sediaan dengan masa kerja panjang.
Tidak mudah dikenali pada orang tua karena timbul perlahan tanpa tanda akut dan
dapat menumbulkan disfungsi otak sampai koma.
 Alergi. Biasanya jarang terjadi.
 Mual dan muntah
 Diare
Berkurang dengan mengurangi dosis, menelan obat bersama dengan makanan, atau
membagi obat dalam beberapa dosis.
 Gejala SSP
Berupa vertigo, bingung, ataksia, dsb.
 Gejala hematologik
Berupa leucopenia dan agranulositosis.
 Gejala hipotiroidisme
 Ikterus obstruktuf sementara
(sumber :Farmakologi dan terapi UI, edisi 5 tahun 2007, FKUI hal 489 – 491)
2.4 INFUS GLUKOSA
2.4.1 infus
adalah proses sterilisasi yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. secara
tradisional keadaan steril adalah yang mutlak kondisi tercipta sebagai akibat penghancuran
murah penghilangan semua mikroorganisme hidup. horee ini menyatakan bahwa steril adalah
istilah yang mempunyai konotasi relatif, murah kemungkinan menciptakan kondisi mutlak
dari bebas mikroorganisme dapat diduga hanya atas dasar kinetis proyeksi angka kematian
mikroba.(sumber : lachman, hal 1254).
sediaan parenteral volume yang gede umumnya diberikan lewat infus intravena untuk
menambah cairan tubuh, elektrolit, atau untuk memberi nutrisi. infus intravena adalah sediaan
parenteral volume yang gede dengan ditujukan yang untuk intravena. pada umumnya cairan
infus intravena digunakan pengganti cairan tubuh untuk murah memberikan nutrisi tambahan,
untuk mempertahankan fungsi normal, pasien rawat inap tubuh yang membutuhkan asupan
kalori selama masa yang cukup penyembuhan atau setelah operasi. selain ada pula kegunaan
itu lainnya yakni sebagai pembawa obat-obat lain.
cairan infus intravena dikemas dalam, bentuk dosis tunggal, dalam, wadah plastik atau
gelas, steril, bebas pirogen serta partikel-partikel bebas lain. oleh karena volumenya yang
gede, pengawet tidak pernah infus intravena digunakan dalam, untuk menghindari toksisitas
yang ujug disebabkan oleh itu sendiri pengawet. cairan infus intravena biasanya mengandung
zat-zat asam amino seperti, dekstrosa, elektrolit murah vitamin.
walaupun cairan infus intravena yang diinginkan adalah larutan isotonis yang untuk
meminimalisasi trauma pembuluh darah pada, namun cairan hipotonis maupun hipertonis
dapat digunakan. untuk meminimalisasi iritasi pembuluh darah, larutan hipertonis diberikan
kecepatan dalam, yang lambat.

2.4.2 persyaratan
1.sesuai kandungan bahan obat yang dinyatakan didalam etiket murah yang ada dalam,
sediaan; terjadi pengurangan efek akibat perusakan selama penyimpanan obat secara kimia.
2. penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya memungkinkan sediaan steril tetapi juga
tetap mencegah terjadinya interaksi bahan obat bahan dengan dinding wadah.
3. tanpa tersatukan reaksi terjadi. untuk itu, beberapa faktor yang menentukan adalah pagar
banyak:
a) bebas kuman
b) bebas pirogen
c) bebas pelarut secara fisiologis yang tidak netral
d) isotonis
e) isohidris
f) bebas bahan melayang
keuntungan pemberian infus intravena adalah menghasilkan kerja obat cepat dibandingkan
cara yang-cara pemberian lain murah tidak menyebabkan absorbsi obat terhadap masalah.
sedangkan kerugiannya yaitu obat yang diberikan lewat intravena sekali tidak maka obat
dapat dikeluarkan dari sirkulasi seperti dapat dilakukan bila diberikan obat untuk per oral,
misalnya cara dimuntahkan dengan

2.4.3 infus iv dekstran


kehilangan darah, sejauh jumlahnya melampaui 10% tidak dari jumlah total tubuh masih
dapat menyeimbangkannya kembali. jika kehilangannya lebih besar, harus disuplai cairan
pengganti pendarahan untuk mengisi plasma melalui jalan infus ke dalam, tubuh. hal tersebut
dibutuhkan juga syok perdarahan pada, akibat luka (kebakaran, luka dalam,) pada sakit perut
atau muntah berkepanjangan yang.
infus larutan dextran 70 merupakan makromolekul yang memiliki waktu tinggal yang lebih
panjang pembuluh darah dalam,, karena tidak sedikit atau mengalami difusi, juga airnya
terikat secara hidratasi. yang menentukan dextran 70 sebagai bahan pengganti berat
molekulnya adalah plasma diatas 20.000. volume darah dapat pengisisan dilakukan larutan
nacl fisiologis dengan dengan larutan elektrolit atau, namun jumlah tersebut dimasukkan
cairan yang hanya sebentar peredaran darah berada dalam,, untuk segera kemudian
dieliminasi melalui ginjal keluar tubuh

2.4.4 infus iv glukosa nacl / glukosa 10%


pada umumnya larutan glukosa digunakan sebagai injeksi untuk kehilangan cairan tubuh
pengganti, sehingga tubuh kita mempunyai energi kembali untuk melakukan metabolismenya
murah juga sebagai sumber kalori. dosis glukosa adalah 2,5-11,5% (martindale), umumnya
digunakan pada 5%. dalam, rumus ini ditambahkan larutan nacl supaya diapat yang isotonis,
dimana glukosa disini bersifat hipotonis. dalam, pembuatan aqua pi ditambahkan h2o2 yang
dimaksudkan menghilangkan pirogen untuk, serta di dalam, pembuatan susu formula ini
ditambahkan norit untuk menghilangkan kelebihan h2o2.
2.4.5 infus iv dekstrosa
farmakologi (di, hal 1427)
dekstrosa dengan mudah dimetabolisme, dapat meningkatkan kadar glukosa darah baru
murah menambah kalori. dekstrosa dapat menurunkan atau mengurangi protein tubuh murah
kehilangan nitrogen, meningkatkan pembentukan glikogen mengurangi atau mencegah murah
ketosis jika diberikan dosis yang cukup. dekstrosa dimetabolisme menjadi co2 murah udara,
larutan dekstrosa maka udara murah dapat cara mengganti cairan tubuh yang hilang. injeksi
dekstrosa dapat juga digunakan sebagai diuresis murah volume pemberian tergantung kondisi
klinis pasien.
larutan pencuci pada operasi lambung
larutan irigasi adalah larutan steril, bebas pirogen yang digunakan untuk tujuan pencucian
murah pembilasan. natrium klorida (nacl) secara umum digunakan untuk irigasi (seperti
irigasi pada rongga tubuh, jaringan atau luka). larutan irigasi nacl 0,45% hipotonis dapat
digunakan sendiri atau tanpa penambahan bahan lain tambahan. larutan irigasi nacl 0,9%
dapat digunakan untuk mengatasi iritasi pada luka. (di 2003 hal 2555)
larutan irigasi dimaksudkan untuk mencuci luka atau merendam murah lubang operasi,
sterilisasi pada sediaan ini sangat result karena cairan tersebut berhubungan langsung dengan
cairan tubuh yang murah jaringan merupakan infeksi dapat terjadi tempat dengan mudah.
(ansel hal 399)

2.4.6 infus iv yg mgd nutrisi


glukosa termasuk monosakarida dimana sebagian besar monosakarida dibawa oleh aliran
darah ke hati. di dalam hati, monosakarida mengalami proses sintetis menghasilkan glikogen,
oksidasi menjadi co2 dan h2o atau dilepaskan untuk dibawa dengan aliran darah ke bagian
tubuh yg memerlukannya.
sebagian lain monosakarida dibawa langsung ke sel jaringan organ tertentu dan
mengalami proses metabolisme lbh lanjut. karena pengaruh berbagai faktor dan hormon
insulin yg dihasilkan oleh kelnjar pankreas, hati dapat mengatur kadar glukosa dalam darah.
kadar glukosa dalam darah merupakan faktor yg sgt penting utk kelancaran kerja tubuh.
2.5 FCPD (FIBRO CALCULUD PANCREATIC DISEASE)

2.5.1 Definisi
Merupakan hasil dari implikasi kerusakan pankreas, selain itu merupakan bentuk dari
diabetes sekunder, menuju perubahan ke pankreatitis non-alkoholik kronik. Dicirikan bahwa
gejala malnutrisis dan diabetes tipe 1

2.5.2 Etiologi
Sebagian besar karena mengkonsumsi alkohol. Dan masih merupakan yang perlu dikaji lebih
lanjut

2.5.3 Presentasi Klinis


• Rata rata terjadi pada orang kurang mampu
• Terletak pada abdomen bagian atas
• Terjadi usia < 40 th
• Terjadi karena kurang kalori dan protein
• Terjadi pembesaran parotis bilateral
• Perut membuncit
• Sianosis pd bibir

2.5.4 Komplikasi Umum


• Pseudosiesis
• Pancreaatic abses
• Asites
• Jaundice
• Carcinoma pancreas

2.5.5 Komplikasi Terkait Diabetes Melitus


• Retinopati
• Neuropati
• Periferal neuropati
• Autonomi neuropathi
2.5.6 Tata laksana
• Diabetes
• Diet dan olahraga teratur
• Oral hipoglikemik agent
• insulin
• Steattorrhea
• Konsumsi pancreatic enzim
• Pancreatic pain
• Bedah
• Insulin utk terapi
2.6 INTERPRETASI KASUS “HIPOGLIKEMIA”

Ny. Hapsari, 46 Diagnosis :


tahun Hipoglikemia
Pemeriksaan
Penunjang
KU : Kesadaran menurun
Riwayat Penyakit Sekarang :
* 3 bulan SMRS Penatalaksanaan :
Infus Glukosa /
- badan terus menerus kurus, Bolus glukosa 10%
apoteker memberi sulfonylurea, IV, Infus Glukosa
* 1 hari SMRS Pemeriksaan maintenance
- pusing,lemas, gemetar, keluar Fisik
keringat dingin, kesadaran
menurun

Hipotesis :
Riwayat Penyakit Keluarga : 1. Diabetes Melitus
Kakak dan Ayah kandung 2. Hiperinsulinemia
terkena Diabetes Melitus
3. Hipoglikemia

 Ny. Hapsari berumur 46 tahun di bawa ke IGD dengan keluhan kesadarannya


menurun malam sekitar jam 23.00 SMRS
 Pasien mengeluhkan juga tentang badannya yang terus menerus kurus, sebelum
mengalami penurunan kesadaran, pasien disarankan apoteker untuk membeli
sulfonylurea, dimana obat ini bekerja meningkatkan sekresi insulin, sehingga kita
dapat menduga bahwa pasien ini menderita Diabetes Melitus. Dugaan diperkuat
karena pasien memiliki riwayat keluarga Diabetes Melitus.
 Salah satu efek samping dari Sulfonylurea sebagai obat yang dapat meningkatkan
sekresi insulin adalah hipoglikemi. Karena meningkatnya kadar insulin pada penderita
DM, sehingga terjadilah defisiensi glukosa dalam diri pasien.
 Hipoglikemia menunjukan gejala klinis seperti pusing, lemas, gemetar, dan keluarnya
keringat dingin. Gejala-gejala ini ditimbulkan akibat berkurangnya suplai oksigen ke
otak. Otak sebagai organ utama makhluk hidup, memerlukan glukosa untuk
memaksimalkan fungsinya. Jika terjadi kekurangan glukosa maka fungsi kerja otak
akan menurun, sehingga terjadilah pusing, lemas, bahkan sampai kehilangan kesadan.
 Dengan gejala-gejala yang ditimbulkan pasien, serta berdasarkan riwayat dari
keluarga, maka menegakkan hipotesis kita bahwa pasien mengalami hipoglikemia.
Namun untuk lebih memastikan lagi, dilakukanlah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pada Ny.Hapsari.
 Pemeriksaan fisik :
o Keadaan umum : Kesadaran delirium, tampak lemah dan bingung.
o Tanda Vital : Tekanan Darah  100/70 mmHg
Nadi  100x/menit
RR  26x/menit
Suhu  36,5 ͦ C
Pada tanda vital, tekanan darah sedikit menurun, namun masih dalam batas
normal, hal ini disebabkan karena kemungkinan pada pasien penderita
hipoglikemi, kadar darah dalam tubuh menurun sehingga kerja jantung
meningkat, hal ini juga menyebabkan nadi menjadi cepat, dan frekuensi nafas
meningkat. Suhu yang lebih dari 37,5 ͦ C di duga karena infeksi
mikroorganisme.
o Status gizi : BB  45 kg
TB  165 cm
BMI  16,5
Berat Ny.Hapsari dalam keadaan underweight. Pada penderita hipoglikemia
biasanya terjadi penurunan berat badan sehingga penderita terus menerus
terlihat kurus
o Kepala dan Leher : Konjungtiva pucat (-)
Sklera ikterik (-)
Reflek pupil (+/+)
Pembesaran KGB servikalis (-)

Pada pemeriksaan kepala dan leher, pasien tidak ditemukan dalam keadaan
anemia dan juga tidak mengalami kelainan hepar (misalnya hepatomegali).
Reflek pupil masih bagus ini artinya hipoglikemia belum terlalu parah. Tidak
ditemukan pula pembesaran kelenjar getah bening, pemeriksaan KGB
dilakukan karena dikhawatirkan adanya infeksi.
o Thorax :
Paru : Inspeksi  normal, gerakan dada simetris
Palpasi  tidak ada pelebaran ICS, fremitus vokal
sinistra=dextra
Perkusi  sonor
Auskultasi  vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)

Jantung : Inspeksi  iktus kordis tidak tampak


Palpasi  iktus kordis tidak teraba
Perkusi  batas jantung kanan, garis parasternal ICS 3
dextra dan batas jantung kiri, garis midklavikula ICS 5
sinistra
Auskultasi  S1/S2 tunggal regular, tidak ada gallop dan
murmur
Tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan thorax.
o Abdomen : Inspeksi : flat
Palpasi : supel, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : thympani
Auskultasi : bising usus normal
Pada pemeriksaan abdomen dan thorax, tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini
dilakukan karena dikhawatirkan telah terjadinya komplikasi.
o Ektremitas : Edema (-), reflex fisiologis menurun
Dalam pemeriksaan ektremitas, tidak ditemukan kelainan. Bila terdapat edema
biasanya tersebar di seluruh extremitas dan merupakan salah satu tanda DM.
Pada pemeriksaan ekstremitas, reflex fisiologis menurun, hal ini semakin
menegakkan diagnosis terhadap keadaan hipoglikemia. Dimana salah satu
gejala hipoglikemia yaitu menurunnya reflex fisiologis, hal ini disebabkan
karena berkurangnya suplai glukosa sehingga menyebabkan menurunnya
reflex fisiologis.

 Pemeriksaan penunjang
o Hb : 13,2 gr% (N : 13,0 – 18 gr%)
Hb masih dalam batas normal artinya Ny.Hapsari tidak mengalami anemia.
o Gula darah : 38 mg/dL (N : 70 – 110 mg/dL)
Gula darah mengalami penurunan, hal ini diakibatkan karena keadaan
hiperinsulinemia.
o Gula 2 jpp : 109 mg/dL (N : <140 mg/dL)
o SGOT : 24 U/L (N : ≤37 U/L)
SGOT merupakan suatu enzim khusus yang berada di hati apabila terjadi
kerusakan. Pada pasien ini SGOT nya masih normal, berarti tidak ada
kerusakan pada organ hati.
o SGPT : 20 U/L (N : ≤40 U/L)
SGPT disini sesungguhnya sama dengan SGOT, namun kejanya lebih spesifik.
o Kolesterol : 148 mg/dL (N : < 200/dL)
o HbA1c : 8,5% (N : 4,8 -6,0 %; controlling DM : good : 2,5-6,0%
moderate/fair : 6,1-8,0%, poor :> 8%)
o Kadar Insulin : 12µU/mL (N : <6 µU/mL)
Kadar insulin mengalami peningkatan. Peningkatan sekresi insulin
menyebabkan hipoglikemia, sehingga peningkatan kadar insulin ini
merupakan salah satu faktor terjadinya hipoglikemia.
o Kadar C-peptide : 4 ng/mL (N: <2 ng/mL)
C-peptida digunakan untuk memonitor produksi insulin dan untuk membantu
menentukan penyebab gula darah rendah (hipoglikemia). Tes ini tidak
dianjurkan untuk membantu mendiagnosa penyakit diabetes, namun ketika
seseorang sudah didiagnosa dengan diabetes, mungkin dianjurkan untuk
diperiksa sendiri maupun bersama dengan tingkat insulin untuk membantu
menentukan berapa banyak insulin pankreas seseorang masih memproduksi.
Tingginya kadar C-peptida umumnya menunjukkan tingkat tinggi produksi
insulin endogen. Hal ini mungkin dalam respon terhadap kadar tinggi glukosa
darah yang disebabkan oleh asupan glukosa dan atau resistensi insulin.
Diagnosa :
Diagnosa diambil berdasarkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesa
Ny.Hapsari mengeluhkan mengalami penurunan kesadaran setelah meminum obat gula
sulfonilurea, selain itu juga dia merasa lemas, lemah, pusing, gemetar. Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik yang didapat terjadi penurunan gula darah, penurunan HbA1c, dan
peningkatan insulin. Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik yang dilakukan Ny.
Hapsari didiagnosa terkena Hipoglikemia dan Hiperinsulinemia.

Penatalaksanaan :
o Infus glukosa /bolus glukosa 10%
o Infus glukosa maintenancedilakukan untuk menghilangkan gejala dan
mempertahankan kadar glukosa serum normal.glukosa serum harus diukur setiap 2
jam setelah terapi dimulai sampai beberapa pengukuran berada diatas 40 mg/dL.
Selanjutnya, kadar harus diperiksa setiap 4-6 jam dan pengobatan secara bertahap
dikurangi dan akhirnya dihentikan bila kadar glukosa serum telah berada pada kisaran
normal.
BAB III

PENUTUP

Dengan adanya masalah yang diberikan pada saat tutorial, kami mengambil
kesimpulan bahwa pada case ini Ny. Hapsari 46 tahun terkena hipoglikemia dimana kadar
glukosa darah di bawah batas normal yaitu < 50 mg/ dL. Selain itu merupakan salah satu
komplikasi yang dapat terjadi pada diabetes melitus, terutama karena terapi insulin

Pada kasus, Dari anamnesa Ny.Hapsari mengeluhkan mengalami penurunan


kesadaran setelah meminum obat gula sulfonilurea, selain itu juga dia merasa lemas, lemah,
pusing, gemetar. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang didapat terjadi penurunan gula
darah, penurunan HbA1c, dan peningkatan insulin. Berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan Ny. Hapsari didiagnosa terkena Hipoglikemia dan
Hiperinsulinemia.

untuk itu, nyonya hapsari diterapi dengan Infus glukosa /bolus glukosa 10%. Infus
glukosa maintenancedilakukan untuk menghilangkan gejala dan mempertahankan kadar
glukosa serum normal.glukosa serum harus diukur setiap 2 jam setelah terapi dimulai sampai
beberapa pengukuran berada diatas 40 mg/dL. Selanjutnya, kadar harus diperiksa setiap 4-6
jam dan pengobatan secara bertahap dikurangi dan akhirnya dihentikan bila kadar glukosa
serum telah berada pada kisaran normal.
BAB IV

Daftar Pustaka

1. Dorland, W. A. Newman, Kamus Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC, 2002.


2. Farmakologi dan Terapi UI. Edisi 5. FKUI : 2007
3. Gandasoebrata, R. Penenuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat.
4. GreenSpan, S. Endokrinologi Dasar dan Klinik. Edisi 4. Jakarta : EGC, 2000.
5. Guyton dan Hall. Fisiologi kedokteran. Edisi 11.Jakarta : EGC, 2008.
6. Lange, F. Basic and clinical endocrinology. Edisi 4. Jakarta : EGC, 2007
7. PDSPDI. Buku ajar lmu penyakit dalam. Edisi 2. 2000
8. Sherwood, Lauralee.2001.Fisiologi manusia.Edisi 2. Jakarta : EGC, 2001.
9. Sibernagl, S. patofisiologi : teks dan atlas berwarna. Jakarta : EGC, 2007
10. www.gestasionaldiabetes.com
11. www.mavoclinic.com
12. http://ocw.usu.ac.id

Anda mungkin juga menyukai