Anda di halaman 1dari 6

Dampak Covid-19 Bagi BMT

AYU FITRIA NINGSIH

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Raden Intan Lampung

Email : ayufitria2904@gmail.com

Reni Diah Setiowati, S.Sos,i MM

Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Raden Intan Lampung

Email : renidiahsetiowati99@gmail.com

Abstract : Abstract Title. Since the government officially announced a positive case of Covid-19 on
March 2, 2020, confirmed cases have spread to 32 provinces throughout Indonesia. The latest data
has confirmed 4,557 positive, 399 died, and 380 recovered (13/4).

Keyword : Social, Economy, Covid-19

Abstrak : Judul Artikel. Sejak pemerintah mengumumkan secara resmi kasus positif Covid-19 pada 2
Maret 2020, kasus yang terkonfirmasi telah menyebar ke 32 provinsi di seluruh Indonesia. Data
terkini telah terkonfirmasi 4.557 positif, 399 meninggal, dan 380 sembuh (13/4).

Kata Kunci : Sosial, Ekonomi, Covid-19


Pada level internasional yang dikeluarkan oleh John Hopkins Coronavirus

Resource Center menunjukkan, sudah 1.854.464 orang positif, meninggal 114.331, dan

sembuh 435.074 (13/4). Melihat jumlah individu yang terdampak, tak salah Covid-19

sudah menjadi pandemi.

Dalam waktu beberapa pekan, bahkan mungkin hari akan muncul secara masif

dampak sosial, ekonomi, dan politik di seantero dunia. Bila kita fokus pada level akar

rumput, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) terkena pukulan terbesar.

Tidak dapat dimungkiri, UMKM meru pakan sektor dominan dalam struktur

ekonomi Indonesia. Terdapat 64 juta unit UMKM menyerap 117 juta tenaga kerja atau

setara 94 persen dari total tenaga kerja (BPS, 2018).

UMKM pun harus menanggung dampak besar karena bergantung pada likuiditas

harian (Hawariyuni dan Sakti, 2020). Sebagian besar UMKM ini dapat dikelom pokkan

menjadi kelompok rentan miskin, akan menjadi miskin ketika terkena krisis dan bangkrut

(Ascarya, 2020).

Namun, apakah hanya UMKM yang terdampak? Bagaimana dengan institusi

keuangan mikro syariah yang mengucurkan pembiayaan ke UMKM? Artikel ini

membedakan antara istilah lembaga keuangan mikro dan institusi keuangan mikro.

Lembaga keuangan mikro menjadi domain hukum di bawah UU No 1 Tahun

2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga keuangan mikro (syariah) yang

dimaksud dalam UU tersebut berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sementara itu, institusi keuangan mikro (syariah) terdiri atas institusi yang berada

di bawah pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM, yaitu Koperasi/Unit Simpan

Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS). Lalu, yang berada di bawah pengawasan

OJK, yaitu lembaga keuangan mikro (syariah), yang berada di bawah pengawasan

pemerintah daerah dan adat setempat, yaitu lumbung pitih nagari (LPN) dan lembaga

perkreditan desa (LPD).


Salah satu bentuk institusi keuangan mikro syariah (IKMS) adalah Baitul

Maalwat Tamwil atau BMT yang melakukan intermediasi keuangan pada UMKM.

Jumlahnya sangat signifikan di seluruh Indonesia, sekitar 5.500 institusi berdasarkan data

tidak resmi.

Masih diperlukan usaha bersama Kemenkop UKM dan OJK untuk menghimpun

data BMT menjadi lebih baik. BMT tumbuh dan dikembangkan masyarakat sebagai

gerakan dakwah di bidang ekonomi. Sekaligus sebagai self-help bagi umat Islam.

BMT selain berfungsi melakukan intermediasi keuangan juga intermediasi sosial

atau peran pemberdayaan pada segmen ultra mikro. Umumnya, segmen ini masih

dikategorikan unbankable sehingga memerlukan perlakuan khusus untuk menaikkan

kelas.

Selain itu, dalam praktik di lapangan, BMT juga mengemban misi sosial (baitul

maal) menghimpun Ziswaf untuk pemberdayaan dan kesejahteraan mustahik. Unsur

dakwah mengiringi pelaksanaan tugas keseharian BMT. Hubungan BMT dengan UMKM

boleh dikatakan 'mesra'. Rata-rata BMT memberikan pembiayaan di kisaran Rp 10 juta

sampai Rp 30 juta.

Kajian yang dilakukan KNEKS tahun 2019 menyimpulkan, sebagian besar

pembiayaan ditujukan kepada UMKM. Lalu bagaimana nasib BMT? Sejak resmi di

nyatakan adanya positif Covid-19 sebulan lalu, sudah dirasakan beberapa dampak seperti

yang diutarakan para pelaku ataupun pengurus BMT. Pertama, adanya unintended conse

quences dari pidato Presiden Joko Widodo.

Keringanan Kredit

Ketika mengumumkan keringanan kredit bagi masyarakat yang perekonomiannya

terdampak pandemi Covid-19 pada Selasa (24/3), banyak anggota BMT, yang memiliki

arus kas baik, meminta untuk menunda pembayaran angsuran. Walaupun OJK

mengeluarkan POJK No.11/POJK.03/2020 yang mengatur res truk turisasi kredit, aturan

itu ditujukan bagi perbankan dan leasing bukan BMT.


Kedua, bermunculan di berbagai daerah adanya surat dari kepala desa atau aparat

lokal terkait pelarangan penagihan angsuran atau cicil ke warga mereka dan disertai

penutupan beberapa tempat seperti pasar. Akibatnya, repayment rate mengalami

penurunan tajam.

Selain itu, penerapan physical distancing berdampak sulitnya BMT

mengumpulkan anggota. Khususnya, BMT yang menerapkan pembiayaan kelompok.

Tanpa pertemuan kelompok, angsuran pun 'libur'.

Ketiga, dari sisi keuangan secara umum. Sudah terjadi penarikan tabungan oleh

anggota karena kebutuhan selama pandemi dan konsumsi yang meningkat untuk menjaga

imunitas tubuh. Diperparah pekerja informal dan UMKM yang tidak bisa beraktivitas

lagi.

Informasi yang diterima, dalam sebulan ada BMT yang mengalami penarikan

tabungan sampai Rp 1 miliar. Angsuran pembiayaan mulai tersendat, khususnya UMKM,

tetapi pekerja formal masih lancar sampai saat ini. Hampir semua BMT melakukan

selective lending.

Pembiayaan diberikan kepada sektor yang tidak terkena dampak Covid-19 dan

pekerja di sektor formal seperti PNS. Pada sisi cadangan likuiditas, sudah terbatas untuk

beberapa waktu ke depan.

Kondisi ini tidak sama antara satu BMT dan yang lain. Ada yang mampu bertahan

untuk beberapa bulan ke depan, tetapi tak sedikit yang bertahan beberapa pekan saja

akibat penarikan tabungan.

Kekhawatiran juga timbul pada bulan Ramadhan. Anggota BMT umumnya

menarik tabungan untuk persiapan Idul Fitri. Secara umum, pendapatan BMT juga

menurun selama pandemi ini. Keempat, pada aspek operasional. BMT mulai mengurangi

hari dan jam kerja. Terakhir, menjaga moral dan kesehatan pegawai BMT dari Covid-19
Kesimpulan

BMT sebagai salah satu garda terdepan dalam penyaluran pembiayaan ke

UMKM, memerlukan dukungan semua pihak. Ada dua solusi yang dapat dilakukan untuk

men jaga keberlangsungan BMT, solusi jangka pendek dan cepat.

Diperlukan bantuan likuiditas untuk mengatasi cadangan likuiditas yang semakin

menipis. Diperlukan relaksasi bagi BMT yang mendapatkan pembiayaan dari perbankan

ataupun lembaga keuangan nonbank lainnya.

Perlunya jaring pengaman sosial atau bansos bagi anggota BMT yang kesulitan

ekonomi karena pandemi. Dalam konteks ini, banyak anggota BMT atau UMKM yang

menjadi ghorimin dan berhak menerima zakat.

Terakhir, adanya Satuan Tugas Pena ngan an Dampak Covid-19 pada Sektor

Keuangan Mikro Syariah, yang terdiri atas seluruh otoritas terkait sektor keuangan mikro

syariah ditambah asosiasi IKMS. Mereka bersama-sama merumuskan kebijakan yang

dapat segera dieksekusi.

Solusi jangka menengah, pertama, adanya APEX sebagai lender of the last resort

untuk mengantisipasi permasalahan likui ditas. Kedua, didirikan Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) bagi keuangan mikro untuk menjaga tabungan anggota saat krisis dan

menaikkan reputasi BMT.

Ketiga, pengawasan dan pelaporan yang efektif bagi BMT, sebagai upaya

menjaga kehati-hatian dan risk tolerance. Keempat, perubahan model bisnis yang

mengarah pada pembentukan ekosistem digital.

Sedangkan kelima, penerapan human touch and technology, bukan sekadar

digitalisasi untuk meningkatkan aspek bisnis, melainkan juga mempertahankan kedekatan

emosional dengan anggota. Kehadiran BMT memberikan manfaat nyata bagi masyarakat,

terlebih bagi pelaku UMKM. Kebijakan dan intervensi yang tepat dan cepat dapat mence

gah bertumbangannya BMT.


Daftar Pustaka

John Hopkins Coronavirus Resource Center

Hawariyuni dan Sakti, 2020

Ascarya, 2020

Otoritas Jasa Keuangan OJK

Anda mungkin juga menyukai