Anda di halaman 1dari 4

Esai

tentang Esai
Arief Budiman



Dalam Ensiklopedi Britanika, diberikan perumusan esai sebagai berikut: "Esai adalah karangan yang
sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan suatu persoalan secara
mudah dan sepintas lalu – tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut
merangsang hati penulis”.
Tampaknya, dalam perumusan ini esai bukanlah studi ilmiah yang baku, penuh dengan kehati-
hatian dan tanggung jawab ilmiah yang menekan. Esai, seperti juga studi-studi ilmiah,
mempersoalkan, tetapi hanya sampai “sejauh dia merangsang hati penulisnya”.
Apakah sebenarnya esai?

2
Pada suatu esai, yang utama bukanlah pokok persoalannya, tetapi cara pengarang mengemukakan
persoalannya. Dengan lain perkataan, apa yang utama pada sebuah esai ialah bayangan kepribadian
dari pengarang – yang simpatik dan menarik. Hal ini oleh Arthur Christopher Benson dikemukakan
dalam esainya yang berjudul The Art of the Essayist. Dikatakannya, dalam menulis sebuah esai, tak
perlu ada motivasi-motivasi filosofis atau intelektual atau religius atau humoristik. Seorang esais
menulis sesuai dengan apa yang hidup dalam dirinya – perasaan dan pikirannya.
Maka seorang esais adalah orang yang terpikat. Orang yang jatuh cinta pada sebuah
persoalan/gelaja. Percintaan itu adalah percintaan yang bersifat pribadi manusia. Menulis esai
seakan-akan adalah bercerita kepada dan untuk diri sendiri – seakan-akan merenungkan
keindahan percintaannya.
Esai adalah tulisan yang bersifat pribadi sekali.

3
Dalam puisi, seorang mengalami secara intens suatu pengalaman. Dia seakan-akan luluh dalam
pengalaman tersebut. Dan pengalaman itu dilukiskan secara intens pula dalam penuangannya
menjadi karya seni. Pengalaman tersebut secara jenuh/dijenuhkan menjelma menjadi karya seni.
Maka di sini ada aspek pathos dalam penghayatan puisi – penghayatan yang dialami secara intens.
Kalau di sini disebut puisi, maka ini tidak berarti sebagai lawan dari prosa, sanjak-sanjak. Yang
dimaksud dengan puisi ialah seperti kata Jacques Maritain, “pertemuan antara dunia dalam
individu dengan dunia dalam dari alam”. Jadi suatu penghayatan personal terhadap alam. Puisi di
sini adalah menurut pengertian Coleridge ketika dia berkata, “Lawan dari puisi bukanlah prosa,tapi
adalah ilmu; lawan dari prosa bukan puisi, tapi sanjak.” Itulah pengertian puisi di sini.
Inti dari karya seni adalah penghayatan puisinya, tampak terutama dalam kesenian non-verbal:
musik, seni lukis, tari dan sebagainya. Dalam kesusastraan, karya seni bergerak dalam skala antara
pengalaman puisi dan sikap ilmiah.
Kritik misalnya, terletak dalam skala yang lebih pada dekat kutub ilmiah. Kutub yang paling
ekstrem dalam skala ini pada kutub ilmiahnya menjelma dalam tulisan-tulisan ilmiah yang teknis,
di mana obyektivitas dan abstraksinya mencapai titik maksimalnya. Reaksi para pembaca pun
(dicoba) distandardisasikan. Artinya, diusahakan supaya seragam. Unsur-unsur subyektif dari
penulisnya tidak/hampir-tidak berperan sama sekali. Ini tampak misalnya pada simbol-simbol
matematika.
Di mana letaknya esai?

4
Esai mempersoalkan persoalan – maka dia seakan-akan ditarik ke arah kutub yang ilmiah dari skala
tersebut. Tetapi esai mempersoalkan persoalan “sejauh dia merangsang hati penulisnya”. Di sini
ditarik kembali ke kutub puisi.
Seorang esais adalah orang yang menghubungi dunianya secara realistis. Dia terpesona oleh
kemenarikan dan sifat dari benda-benda, dia pun jatuh cinta. Dalam ilmu tidak ada jatuh cinta, yang
perlu adalah obyektivitas. Tetapi cintanya tersebut tidak disubyektifkan, tidak diromantiskan atau
dibuat menjadi pengalaman yang pathos; seorang esais mencoba melukiskan cintanya atau
keterpesonaannya itu dalam pelukisan yang jernih, ramah dan simpatik. Dia – dalam esai-esainya –
kadang-kadang melukiskan persoalan secara analitis, kadang-kadang menginterpretasikannya,
kadang-kadang secara deskriptif dan kadang-kadang secara emosional. Semua ini “sampai sejauh
dia merangsang penulisnya”. Seorang esais jadinya adalah seorang yang sedang merekam
kehidupan – merekam kehidupan yang hidup dalam dirinya.
Jika puisi adalah idealis, ilmu adalah obyektif – maka esai adalah realis. Dia melukiskan gejala yang
hidup, karena itu dia menangkap kehidupan yang sebenarnya, yang menggejala dalam diri seorang
manusia riil sebagaimana adanya.

5
Dari uraian di atas tampak seolah-olah esai hanya bersifat “main-main” – suatu improvisasi dari
warna-warna kehidupan. Seakan-akan tidak ada ide dalam sebuah esai. Seperti kata A.C. Benson,
“Seseorang tak boleh mengharapkan dari seorang esais keterangan-keterangan yang diinginkan
atau minta suatu pemecahan yang jelas tentang suatu persoalan yang kompleks.” Makinlah terasa
seakan-akan esai tak ada “isi”-nya.
Ini adalah tanggapan yang salah.
Esai memang tidak memecahkan persoalan seperti halnya ilmu memecahkan persoalan – artinya,
memberi petunjuk-petunjuk atau solutions atau jalan keluar bagaimana suatu hal harus
dihadapi/diatasi. Esai tidak memecahkan persoalan. Dia melukiskan persoalan. Lebih tepat lagi: dia
melukiskan kehidupan sebagai gejala kehidupan manusia dalam aspek intelektualnya maupun
aspek emosionalnya, yang semuanya itu menjelma menjadi Gestalt/keutuhan kepribadian yang
simpatik. Kata “persoalan” sebenarnya tidak tepat, karena kata tersebut menyatakan secara implisit
suatu sikap a priori untuk memecahkannya, hingga bila “persoalan” tersebut tidak dipecahkan,
maka esai yang menyajikan “persoalan” tersebut jadi bersifat kerja yang setengah-setengah, belum
selesai. Esai tidak melukiskan persoalan. Dia menjelmakan kehidupan.
Seorang esais melukiskan gejala kehidupan tanpa sikap a priori atau pretensi apa-apa – dia hanya
jatuh cinta dan menikmati cintanya secara ramah. Sebab itu sebuah esai adalah sebuah karya
pribadi, yang seakan-akan dituliskan kepada dan untuk dirinya sendiri.
Tetapi, seperti juga karya-karya seni lainnya, yang merupakan ekspresi nilai, maka bila dia telah
diciptakan menjadi sebuah realitas yang nyata yang memungkinkan komunikasi dan partisipasi
individu lain, maka sebuah esai meskipun adalah suatu dialog pribadi antara esais dan dunianya –
dia memberikan nilai-nilai keindahan dan kemesraan bagi individu-individu lain yang ikut serta
dalam dialog tersebut.
Esai menyentuh realitas yang sebenarnya. Di sinilah letak kekayaan sebuah esai. Dia menyentuh
realitas yang hidup dalam diri seorang secara riil. Kalau pada ilmu penekanan diarahkan kepada
dunia obyektip, pada puisi penekanan diarahkan kepada nilai yang ditemui manusia dalam
dunia/kehidupannya – maka esai menekankan manusia dengan dunianya dalam hubungan
keterjalinannya yang nyata, yang menggejala.
Di sini kita temui persamaan ilmu dan puisi. Keduanya berusaha mentransendenkan kenyataan
yang menggejala. Yang satu ke arah obyektivitas, yang lain ke arah subyektivitas. Esai berusaha
tetap tinggal dalam dunia, dunia sebagaimana dia menggejala. Ilmu dan seni berusaha mencapai
kemutlakan filosofis, yang satu ke arah positivis, yang lain ke arah idealis. Esai menuju ke
kenyataan psikologis. Lebih tepat lagi, menuju ke kenyataan phenomenologis.

6
Bersama puisi orang-orang diajak menuju pada kehidupan nilai-nilai subyektif. Bersama ilmu orang
diajak kepada hidup yang praktis. Bersama esai orang diajak kepada kehidupan yang menggejala
secara sederhana dalam diri seorang manusia riil. Itulah esai.
Dalam menilainya kita harus menempatkannya pada proporsi yang sebenarnya sesuai dengan
kodratnya. Dinilai dengan norma-norma puisi, dia adalah puisi yang tanggung – puisi yang kurang
dihayati secara intens/pathos. Dinilai dengan norma-norma ilmu, dia adalah ilmu yang setengah-
setengah, suatu studi pendahuluan yang masih kabur perumusan konsep-konsepnya; masih
bercampur-baur dengan perasaan-perasaan subyektif dari penulisnya yang dibiarkan hidup dan
terus terasa mengganggu bagi seorang sarjana.
Tetapi ini tidak berarti bahwa esai adalah anti-ilmu dan anti-puisi. Yang mau dinyatakan ialah
bahwa yang khas pada sebuah esai ialah kelonggarannya, dan ketidak-ekstrem-subyektifannya.
Esai seakan-akan melompat-lompat dari subyek-ke-obyek dan dari obyek-ke-subyek.
Bahwa dia tidak ekstrem ilmiah ini bukan berarti bahwa kebenaran tersebut tidak dituliskan secara
terang-jelas dengan bukti-bukti eksperimental dan analisa-analisa yang ekstrem rasional. Kadang-
kadang suatu kebenaran dihayati begitu intens tanpa kita bisa membuktikannya secara ilmiah.
Maka orang ini akan menulis sebuah esai untuk hal tersebut. Esai tidak membuktikan secara
eksperimental-rasional, tetapi meyakinkan secara simpatik tentang suatu kebenaran. Dia memakai
aspek-aspek rasio dan emosi, tetapi aspek tersebut dipakainya secara demokratis, secara simpatik.
Pada puisi atau pada ilmu terdapat pretensi, yang kuat, untuk memaksa orang lain mengakui apa
yang ingin dikatakannya. Inilah yang khas pada esai: dia bersifat demokratis dan simpatik. Dia
adalah sebuah karya pribadi yang telah puas dalam dan dengan dirinya sendiri.
Esai harus dinilai dengan norma-norma esai, barulah dia akan tampil dengan segala kesegaran
perhiasan-perhiasan dirinya, bagai bunga yang bangga ketika mekar pagi hari.

7
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan definisi yang tegas tentang apakah sebenarnya
sebuah esai. Tulisan ini hanya berusaha menunjukkan nilai-nilai dari esai yang ramah.
Tulisan ini hanyalah sekedar sebuah esai, yang bermaksud untuk menarik simpati pembacanya
kepada sebuah esai.


• Esai ini saya salin dari buku Sejumlah Masalah Sastra yang disunting Satyagraha Hoerip (Jakarta:
Sinar Harapan, cetakan kedua, 1982, halaman 15-19). Naskah dalam buku itu merupakan pemuatan
ulang dari naskah awal di Majalah Horison, Juli 1966 Nomor 1 Tahun I, halaman 14-15.
Arief Budiman lahir di Jakarta, 3 Januari 1941, dengan nama Soe Hok Djin. Dia aktivis demonstran
Angkatan '66 bersama sang adik, Soe Hok Gie. Saat itu dia masih menjadi mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia (UI) di Jakarta. Sang ayah, Soe Lie Piet, adalah seorang wartawan.
Sejak mahasiswa, Arief aktif dalam kancah politik Indonesia. Dia menandatangani Manifesto
Kebudayaan (1963) yang menentang aktivitas Lekra yang dianggap memasung kreativitas kaum
seniman. Kendati terlibat kelahiran Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap politik
pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan yang kemudian diperparah oleh
praktik korupsi. Pada Pemilu 1973, Arief dan kawan-kawan mencetuskan Golongan Putih (Golput)
sebagai tandingan terhadap Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk
menciptakan pemerintahan demokratis.
Belakangan Arief "mengasingkan diri" di Harvard dan mengambil gelar Ph.D. dalam sosiologi serta
menulis disertasi tentang keberhasilan pemerintahan sosialis Salvador Allende di Chili. Kembali
dari Harvard, Arief mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Ketika UKSW
dilanda kemelut berkepanjangan lantaran pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Arief mogok
mengajar, dipecat, dan akhirnya hengkang ke Australia serta menerima tawaran menjadi profesor
di Universitas Melbourne. Agustus 2006, dia menerima penghargaan Bakrie Award, acara tahunan
yang disponsori keluarga Bakrie dan Freedom Institute untuk bidang penelitian sosial. Arief
menikah dengan Leila Chairani Budiman, teman kuliah di Fakultas Psikologi UI. (Sumber:
Wikipedia)

Anda mungkin juga menyukai