Anda di halaman 1dari 8

Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)

Available Online at https://akper-sandikarsa.e-journal.id


Jurnal Ilmiah Kesehatan
Sandi Husada

ISSN 2654-4563
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Vol.7,Issue,1, pp. 1375-1377, Juni 2019

Research Article
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DISKRESI PADA PELAYANAN KESEHATAN
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN KESEHATAN (BPJS)

Suprapto1, A .Abdul MaliK2


1 Prodi DIII Keperawatan Sandi Karsa

ARTICLE INFO ABSTRAK


Article History: Diskresi birokrasi dalam pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya
Received April 2019 efektivitas pelayanan publik diterbitkannya dalam keadaan mendesak yaitu
Juni, 2019 Published online suatu keadaan yang muncul secara tiba-tiba menyangkut kepentingan umum
yang harus diselesaikan dengan cepat, dimana untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, peraturan perundang-undangan belum mengaturnya.Kendala-kendala
di dalam diskresi birokrasi dalam pemerintahan daerah sebagai salah satu
Key Words: upaya efektivitas pelayanan publik adalah biaya yang tidak mencukupi akibat
Diskresi, Layanan Kesehatan, permintaan yang berlebihan dari program diskresi birokrasi, peserta kebijakan
Administrasi Publik, BPJS yang membengkak tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan misalnya
peserta yang sebenarnya tidak dikategorikan miskin tetapi meminta
diklasifikasikan sebagai keluarga miskin dan pelayanan administratif yang
tidak lancar karena kebijakan diskresi birokrasi lebih merupakan program
spontanitas dari pemerintah daerah.
Model diskresi yang ideal untuk mengatasi masalah pelimpahan
wewenang yang terjadi selama ini adalah memberikan pelatihan kompetensi
tambahan tindakan medik kepada perawat dengan tujuan perawat mampu
memberikan pelayanan tindakan medik terbatas sesuai dengan tugas dan
wewenang yang tercantum dalam UU Keperawatan.
Dalam perkembangan ilmu adminsitrasi publik begitu banyak dinamika
yang timbul, mulai dari peran dari administrasi publik yang terpisah sama
sekali dengan dunia politik. Pemahaman selanjutnya yang kemudian muncul
bahwa adminsitrasi itu adalah bagian dari politik. Paradigma yang muncul
adalah “when politic ends administration begins”. Pemahaman-pemahaman
inilah yang kemudian memunculkan banyak pendapat baik dari kalangan
ilmuwan ataupun praktisi untuk menggali kembali esensi dari ilmu
administrasi publik.
Pemerintah Daerah perlu melakukan tindakan hukum diskresi (freies
ermessen) untuk yang berada di daerah terpencil ataupun di pedesaan.
Diskresi tersebut merupakan segala aktifitas yang melibatkan proses pembuat
kebijakan maupun pengambilan kepututusan atau tindakan atas inisiatif
sendiri, tidak terpaku pada ketentuan aturan atau undang-undang dengan
berbagai pertimbangan yang matang, konstektual dan dapat
dipertanggungjawabkan.

1388 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)

Pendahuluan sama sekali dengan dunia politik. Pemahaman


Undang Dasar Negara Republik Indonesia selanjutnya yang kemudian muncul bahwa
Tahun 1945 dengan berlandaskan hak asasi manusia. adminsitrasi itu adalah bagian dari politik. Paradigma
Hak tersebut meliputi memperoleh akses atas sumber yang muncul adalah “when politic ends administration
daya di bidang kesehatan, memperoleh pelayanan begins”. Pemahaman-pemahaman inilah yang
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta kemudian memunculkan banyak pendapat baik dari
berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan kalangan ilmuwan ataupun praktisi untuk menggali
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia kembali esensi dari ilmu administrasi publik.
yang bermartabat. Penyelenggaraan upaya kesehatan Dalam perjalanan akhirnya saat ini, ilmu
yang merata dan terjangkau tersebut direncanakan, adminstrasi publik terjadi pergeseran titik tekan
diatur, diselenggarakan, dibina dan diawasi oleh dari Administration of Public dimana Negara sebagai
Pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang agen tunggal implementasi fungsi Negara /
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan; Administration for public yang
Kesehatan (Undang-undangKesehatan, 2009) menekankan fungsi Negara/Pemerintahan yang
Salah satu kebijakan kesehatan dari bertugas dalamPublic Service; ke Administration by
pemerintah adalah Jaminan Kesehatan Nasional. Public yang berorientasi bahwa public demand are
Kebijakan ini bertujuan agar seluruh masyarakat differentiated, dalam arti fungsi Negara/Pemerintah
dapat menerima pelayanan kesehatan yang merata hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik
dan adil dengan menggunakan sistem premi seperti tekan pada putting the customers in the driver
pada asuransi kesehatan pada umumnya. Salah satu seat. Dalam hal ini sesungguhnya telah terjadi
bentuk implementasi kebijakan ini adalah melalui perubahan makna
Badan Public sebagai Negara, menjadi Public sebagai Masyar
Salah satu kebijakan kesehatan dari akat. (Utomo, 2006)
pemerintah adalah Jaminan Kesehatan Nasional. BPJS merupakan transformasi dari empat
Kebijakan ini bertujuan agar seluruh masyarakat badan usaha milik negara (BUMN) yang telah dirintis
dapat menerima pelayanan kesehatan yang merata pemerintah dalam rangka menyelenggarakan jaminan
dan adil dengan menggunakan sistem premi seperti sosial yaitu PT. Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri,
pada asuransi kesehatan pada umumnya. Salah satu yang kemudian dibentuk menjadi BPJS Kesehatan dan
bentuk implementasi kebijakan ini adalah melalui BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan sebagai Badan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang Pelaksana merupakan badan hukum publik yang
selanjutnya disebut BPJS-Kesehatan. BPJS-Kesehatan dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
menjamin setiap masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai
kesehatan dengan sistem premi. Sesuai dengan upaya pemerintah dalam pemenuhan hak setiap
manual pelaksanaan BPJS-Kesehatan, puskesmas dan individu atas jaminan sosial untuk memberikan
klinik yang tergolong kedalam fasilitas kesehatan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
tingkat satu adalah fasilitas kesehatan pertama yang secara menyeluruh untuk mencapai Universal Health
harus masyarakat gunakan untuk menerima Coverage (UHC), sebagaimana yang diamanatkan
pelayanan kesehatan.Penyelenggara Jaminan Sosial resolusi World Health Assembly (WHA) ke-58 tahun
(BPJS) yang selanjutnya disebut BPJS-Kesehatan. 2005 di Jenewa.1,2 BPJS Kesehatan, implementasinya
BPJS-Kesehatan menjamin setiap masyarakat telah dimulai sejak 1 Januari 2014. Program tersebut
memperoleh pelayanan kesehatan dengan sistem selanjutnya disebut sebagai program Jaminan
premi. Sesuai dengan manual pelaksanaan BPJS- Kesehatan Nasional (JKN).
Kesehatan, puskesmas dan klinik yang tergolong BPJS Kesehatan menerapkan prinsip
kedalam fasilitas kesehatan tingkat satu adalah managed care dimana suatu sistem ini
fasilitas kesehatan pertama yang harus masyarakat mengintegrasikan pembiayaan dan pelayanan
gunakan untuk menerima pelayanan kesehatan. kesehatan. 3 Managed care dilakukan guna
Administrasi publik menjadi serius untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang
dibicarakan ketika apa yang dilakukannya itu banyak optimal sesuai dengan kebutuhan biaya yang efisien.
menyentuh ruang politik. Sebenarnya apa hubungan Adanya program JKN ini menitikberatkan
antara administrator publik dengan politik itu sendiri. kebutuhan pelayanan kesehatan pada PPK tingkat
Apakah ada perbedaan dan pertentangan antara pertama, dimana FKTP yang bekerja sama dengan
wilayah administrasi publik dan politik? Apakah BPJS Kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan
peran dari masing-masing ruang ini? Apakah ada kesehatan komprehensif berupa pelayanan kesehatan
perbedaan pandangan antara teori dan tataran promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan
praktik administrasi publik itu? Inilah pertanyaan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis,
besar yang menjadi tantangan bagi para adminisrator termasuk pelayanan penunjang yang meliputi
untuk mendefinisikannya secara tepat. pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan
Dalam perkembangan ilmu adminsitrasi kefarmasian. Hal ini sesuai dengan artikel yang
publik, begitu banyak dinamika yang timbul, mulai dilangsir dalam web BPJS Kesehatan yang
dari peran dari administrasi publik yang terpisah menyatakan bahwa “Dalam implementasi sistem
1389 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)

kesehatan nasional prinsip managed care untuk mencapai apa yang menjadi tujuan dari sebuah
diberlakukan dimana terdapat 4 (empat) pilar yaitu kebijakan. Pengertian dari Winarno menjelaskan
Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif. implementasi lebih rinci dengan menjabarkan
Prinsip ini akan memberlakukan pelayanan kesehatan pihakpihak yang terlibat dalam implementasi
akan difokuskan di Pelayanan Kesehatan Tingkat kebijakan, seperti organisasi, aktor-aktor (pemerintah
Pertama (FKTP)/Faskes Primer seperti di Puskesmas, dan non pemerintah) dan sistem yang ada di dalam
klinik atau dokter prakter perseorangan yang akan implementasi kebijakan itu sendiri.
menjadi gerbang utama peserta BPJS Kesehatan Perubahan dan tuntutan masyarakat yang
dalam mengakses pelayanan kesehatan”. Untuk itu sedemikian besar mengakibatkan seorang
kualitas faskes primer harus dijaga, mengingat efek administrator publik harus segera mengubah
dari implementasi Jaminan Kesehatan Nasional, akan paradigma berfikirnya. Peraturan yang dibuat itu
mengakibatkan naiknya permintaan(demand) seberapa pun cepatnya tidak akan mampu menjawab
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tantangan dan perubahan yang terjadi pada
karena kepastian jaminan sudah didapatkan. Jika masyarakat. Karena perubahan yang terjadi pada
FKTP/faskes primer tidak diperkuat, masyarakat akan masyarakat itu begitu cepat, dan tidak semua
mengakses faskes tingkat lanjutan sehingga akan perubahan yang terjadi itu termuat dalam aturan.
terjadi kembali fenomena rumah sakit sebagai Dalam menghadapi perubahan tidak mungkin seorang
puskesmas raksasa. administrator“do nothing”. Persoalan haruslah dapat
Direktur Utama BPJS Kesehatan diselesaikan dengan segera, menunggu sampai
mengeluarkan Peraturan Direksi Nomor 085 Tahun dibuatnya aturan muncul sama saja menghambat
2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program terjadinya perubahan pada masyarakat dan lebih
Peningkatan Mutu Pelayanan Primer, yang parahnya lagi masyarakat akan membuat aturan
memfokuskan pada evaluasi mutu pelayanan sendiri. Akhirnya birokrasi harus memainkan peran
kesehatan dari FKTP dengan adanya standar ganda, bahkan jamak, tidak hanya sebagai eksekutor
indikator penilaian performa pelayanan primer atau implementor kebijakan melainkan juga sebagai
sehingga dapat memastikan terselenggaranya formulator dan sekaligus evaluator kebijakan
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Untuk (Wibawa, 2004).
mengetahui kualitas pelaksanaan fungsi pelayanan (Patton & Sawicki , 1987) menyatakan bahwa
primer tersebut menggunakan Indikator Kinerja proses implementasi, merupakan seperangkat
“Quality Indicator 9” (QI9). QI9 digunakan sebagai permainan dimana banyak aktor melakukan manuver
salah satu komponen pembayaran kapitasi FKTP dan tertentu untuk memperoleh apa yang mereka
bahan pertimbangan kontrak kerjasama dengan BPJS inginkan. Biasanya digunakan metode permainan
Kesehatan di tahun berikutnya. (game) sebagai upaya memperoleh lebih sumber daya
Berdasarkan referensi, kualitas pelayanan kebijakan, seperti mekanisme monitoring, renegosiasi
dapat meningkatkan loyalitas pasien melalui sasaran yang telah di rumuskan setelah program
kepuasan pasien.12 Hal ini diartikan bahwa kualitas berjalan dan atau dengan jalan menambah berbagai
pelayanan dapat menjadi sumber loyalitas bagi pasien elemen baru dari program yang telah ada selama ini.
apabila kebutuhan-kebutuhan yang menjadi kepuasan Sebaiknya keseluruhan proses implementasi
pasien semakin terpenuhi. 12 Kualitas pelayanan yang kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur
semakin meningkat dan baik dapat meningkatkan atau membandingkan antara hasil akhir dari program
kepuasan pasien, dan kepuasan pasien yang semakin - program tersebut dengan tujuan - tujuan kebijakan.
meningkat dan tinggi akan menaikkan suatu Selain itu ( Pressman & Wildavsky , 1984)
kepercayaan dan loyalitas yang ada pada pasien. menyatakan sebagai berikut: Implementation, to us,
means just what Webster and Roger say it does; to
Implementasi Kebijakan Publik carry out, accomplish fulfill, produce, comlete. But
Implementasi kebijakan merupakan salah what is it being implemented? A policy, naturaly.
satu proses dari siklus kebijakan publik. Posisi There must be something out their prior to
implementasi kebijakan begitu penting dalam implementation; otherwise there would be nothing to
kebijakan publik, dimana pentingnya implementasi move toward in the process of implementation. A verb
kebijakan dijelaskan oleh (Wahab, 2005), yaitu like “implement” must have an object like “policy”. But
implementasi kebijakan lebih penting dari perumusan policies normally contain but goals and the mean for
kebijakan. (Winarno, 2002) menjelaskan achieving them. How, then, do we distinguish between
implementasi kebijakan publik adalah sebuah alat a policy and its implementation?
dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan Konsep Pressman dan Wildavsky diatas,
teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan mengindikasikan bahwa pada dasarnya implementasi
kebijakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. adalah untuk melaksanakan kebijakan yang harus
Menurut (Nugroho, 2004) mendefinisikan mempunyai objek dan dapat menimbulkan dampak
implementasi kebijakan sebagai sebuah cara agar tercapai atau tidaknya suatu kebijakan. (Ripley,
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Kedua pendapat Ronald B., & Franklin , 1986) menuntun pemikiran
tersebut mempunyai kesimpulan yang sama, yaitu bahwa untuk memahami konsep implementasi
implementasi kebijakan merupakan sebuah cara
1389 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)

kebijakan dibutuhkan pengertian tentang serangkaian lembaga pelaksana, aturan pelaksana, dan
kegiatan, yaitu sebagai berikut: keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel di
Implementation is what happens luar kebijakan yang mempengaruhi proses
after laws are passed outhorizing a implementasi yang berkenaan dengan indikator
program, a policy, a benefit, or kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan
some kind of tangible output. The publik, sikap dan resources dari konstituen,
term refers to the set of activities dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta
the follow statements of intent komitmen dan kualitas kepemimpinan dari
about program goals and desired pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen,
result by goerment officials, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan
implementation encompasses lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/
action (and nanations) by e variety badan pelaksana dalam bentuk disusunnya
of actors, specialy bureaucrats, kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil
designed to put programs into nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan
effect, ostensibility in such a way as akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan
to achive goals yang dibuat dan dilaksanakan tersebut atau
keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
Model Implementasi Kebijakan Publik c. Model Brain W. Hogwood dan Lewis A. Gun
Model implementasi kebijakan publik yang (Nugroho, 2004) menyatakan untuk melakukan
peneliti paparkan merupakan model implementasi implementasi kebijakan diperlukan beberapa
kebijakan publik yang bersifat top-down. Peneliti syarat. Syarat pertama berkenaan dengan jaminan
hanya fokus pada model implementasi kebijakan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh
publik yang bersifat top-down karena Kebijakan BPJS- lembaga/ badan pelaksana tidak akan
Kesehatan merupakan kebijakan yang bersifat top- menimbulkan masalah yang besar. Syarat kedua
down, sehingga diperlukan pemaparan mengenai adalah apakah untuk melaksanakannya tersedia
model implementasi kebijakan publik top-down untuk sumber daya yang memadai, termasuk sumber
dapat memahami lebih jauh mengenai implementasi daya waktu. Syarat ketiga apakah perpaduan
kebijakan BPJS-Kesehatan sumbersumber yang diperlukan benar-benar ada.
a. Model Van Meter dan Van Horn Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang
(Agustino, 2006) menyebutkan bahwa model akan diimplementasikan didasari hubungan
implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn kausal. Jadi, prinsipnya adalah apakah kebijakan
mengharuskan adanya kesesuaian antara tersebut memang dapat menyelesaikan masalah
keputusan politik, pelaksana, dan kinerja yang hendak ditanggulangi. Syarat kelima adalah
kebijakan. Van Meter dan Van Horn seberapa banyak hubungan kausalitas yang
memperkenalkan pendekatan implementasi terjadi. Asumsinya, semakin sedikit hubungan
kebijakan yang menghubungkan antara isu ‘’sebab-akibat’’, semakin tinggi pula hasil yang
kebijakan dengan implementasi kebijakan dan dikehendaki kebijakan tersebut dapat dicapai.
kebijakan dengan kinerja. Van Meter dan Van Sebuah kebijakan yang mempunyai hubungan
Horn menjelaskan bahwa perubahan, kontrol, dan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan
kepatuhan dalam tindakan merupakan konsep efektivitas implementasi kebijakan. Syarat
penting dalam prosedur implementasi. keenam adalah apakah hubungan saling
Berdasarkan model ini, terdapat enam variabel ketergantungan kecil. Syarat ketujuh adalah
yang mempengaruhi implementasi kebijakan, pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, terhadap tujuan. Syarat kedelapan adalah bahwa
karakteristik agen pelaksana, sikap pelaksana, tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam
komunikasi antar organisasi, dan kondisi, urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas
ekonomi, politik, dan social. yang jelas adalah kunci efektivitas implementasi
b. Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier kebijakan. Syarat kesembilan adalah komunikasi
Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2004), dan koordinasi yang sempurna. Komunikasi
mengklasifikasikan proses implementasi adalah perekat organisasi, dan koordinasi adalah
kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, asal muasal dari kerja sama tim serta
variabel independen, yaitu mudah-tidaknya terbentuknya sinergis. Syarat kesepuluh adalah
masalah dikendalikan yang berkenan dengan bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang
indikator masalah teori dan teknis pelaksana, kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
keragaman objek, dan perubahan seperti apa kepatuhan yang sempurna. Kekuasaan atau
yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, power adalah syarat keefektifan implementasi
yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari
menstrukturkan proses implementasi dengan kekuasaan, kebijakan akan tetap berupa
indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, kebijakan-tanpa ada dampak bagi target
dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi kebijakan.
sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara
1390 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)

duties”. David mempertegas diskresi dapat dilakukan


d. Model Goerge Edwards III dengan atau tanpa pertimbangan hukum, dengan kata
Dalam mengkaji implementasi kebijakan, lain diskresi yang dilakukan dapat menurut hukum
Edwards membicarakan empat faktor atau (legal) atau tidak menurut hukum (ilegal).
variabel krusial dalam implementasi kebijakan Lebih lanjut (Marzuki, 1996) menyatakan
publik. Faktor utama atau variabel-variabel bahwa diskresi adalah kebebasan yang diberikan
tersebut adalah komunikasi, sumber daya, kepada tata usaha negara dalam rangka
kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku, penyelenggaraan pemerintahan, sesuai dengan
dan struktur birokrasi. Menurut (Edward III, meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus
1984), keempat faktor ini berpengaruh terhadap diberikan negara kepada masyarakat yang semakin
implementasi kebijakan dan bekerja secara kompleks.
simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk Keputusan yang dibuat birokrat level bawah
membantu dan menghambat implementasi dalam memberikan pelayanan masyarakat, umumnya
kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
dengan cara merefleksikan kompleksitas ini masyarakat penerima layanannya. Oleh karena itu,
dengan membahasa semua faktor sekaligus. mereka dituntut harus dapat memahami reaksi
Untuk memahami suatu implementasi kebijakan masyarakat secara personal terhadap keputusan
perlu disederhanakan, dan untuk pelayanan yang dibuat, terlebih lagi mereka harus
menyederhanakan perlu merinci penjelasan- mengatasi akibat dari keputusan yang mereka berikan
penjelasan tentang implementasi dalam dalam pelayanan masyarakat.
komponen-komponen utama. Patut diperhatikan
disini bahwa implementasi dari setiap kebijakan Diskresi Menurut Michael Lipsky
merupakan suatu proses yang dinamis yang Lipsky menyoroti tentang adanya diskresi
cukup banyak interaksi dan banyak variabel. Oleh yang dapat terjadi. (Lipsky, 1980) mengatakan bahwa
karena itu, tidak ada variabel tunggal dalam “unlike lower-level worker in most organization,
proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan street-level bureaucrats have considerable discretion
keterkaitan antara satu variabel dengan variabel in determining the nature, amount, and quality of
yang lain dan bagaimana variabel-variabel ini benefits and sanctions provided by their agencies”.
mempengaruhi proses implementasi (Winarno, Lipsky memaknai diskresi sebagai derajat kebebasan
2002)) dalam menggunakan kewenangan oleh masing-
masing individu, baik dalam proses pengambilan
Diskresi sebagai solusi? keputusan maupun pelaksanaan kebijakan
Agar pelayanan menjadi sesuai dengan apa sehubungan dengan pelayanan yang akan diberikan
yang diharapkan masyarakat, untuk itu perlu kepada masyarakat. Adanya derajat kebebasan ini,
dilakukan kebijakan operasional yang dapat dapat memungkinkan masing-masing birokrat level
dipandang sebagi suatu diskresi, yakni upaya untuk bawah dalam suatu organisasi pelayanan publik untuk
menyesuaikan kebijaksanaan dengan situasi yang menggunakannya dengan tujuan untuk meningkatkan
telah berkembang (Wibawa, 2005). Diskresi secara kualitas pelayanan publik, meskipun dalam
konseptual merupakan suatu langkah yang ditempuh pelaksanaannya disesuaikan dengan kepentingan
adminitrator untuk menyelesaikan suatu kasus yang berbeda dan oleh dorongan yang juga tidak
yang tidak atau belum diaturdalam suatu regulasi sama.
yang baku. Dalam konteks tersebut, diskresi dapat Hal ini menyebabkan tidak seragamnya
berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang pelayanan yang diperoleh masyarakat oleh para
diberikan oleh administrator kepada pengguna jasa. birokrat level bawah. Bentuk diskresi menurut Lipsky,
Dalam implementasinya, tindakan diskresi diperlukan adalah sebagai berikut:
sebagai kewenangan untuk menginterpretasikan a) Pembatasan terhadap akses dan permintaan
kebijakan yang ada atas suatu kasus yang belum atau Birokrat level bawah membatasi akses dan
tidak diatur dalam satu ketentuan permintaan dengan cara mempermainkan biaya
yang baku (Dwiyanto, 2005). pelayanan, waktu pelayanan, membatasi
(Aaron, 1964) menyatakan diskresi sebagai informasi, dan mempermainkan psikologi
“power authority conferred by law to action on the masyarakat.
basic of judgement of conscience, and its use is more b) Ketidakadilan administrasi Barang publik dan
than idea of morals than law”. Selanjutnya, La Fave pelayanan didistribusikan dengan menentukan
(1965) menyatakan bahwa diskresi merupakan biaya dan membatasi jumlahnya. Barang publik
sebuah pengambilan keputusan yang dipengaruhi dan pelayanan juga didistribusikan dengan cara
oleh penilaian pribadi, tidak terikat dengan hukum mendistribusikan sesuai dengan kelas masyarakat
yang berlaku. dan klaim dari masyarakat. Pelayanan publik
(David, 1969) menjelaskan bahwa “discretion didistribusikan secara berbeda oleh pemberi
is maybe defined as capacity of policy maker officers layanan berdasarkan empat sebab. Pertama,
to select from among a number of legal and ilegal sebagian masyarakat menuntut birokrasi untuk
courses of action or inaction while performing their dapat merespon dan mengerti kondisi mereka
1391 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)

dalam upaya mendapatkan pelayanan. Kedua,


pemberi layanan menginginkan adanya Pembahahasan
peningkatan dalam hidup masyarakat penerima Hasil penelitian (Pradana, 2016)
layanan. Ketiga, pemberi layanan membutuhkan menunjukkan bahwa birokrat level bawah di
adanya pembedaan terhadap masyarakat Puskesmas Kepanjen dalam mengimplementasikan
penerima layanan. Keempat, pembedaan terhadap kebijakan BPJS-Kesehatan patuh terhadap ketentuan
masyarakat membantu pemberi layanan dalam yang ada. Masyarakat peserta BPJSKesehatan yang
mengatur beban kerja mereka. tidak terdaftar di Puskesmas Kepanjen tetap dapat
c) Mengatur masyarakat dan situasi kerja Birokrat mendapatkan pelayanan kesehatan, hal tersebut
level bawah mengatur masyarakat dan mengatur disebabkan adanya Peraturan Bupati Malang yang
situasi kerja dengan cara, yaitu sebagai berikut: menyatakan bahwa pelayanan kesehatan di seluruh
1) Pemberi layanan berinteraksi dengan puskesmas se-Kabupaten Malang tidak dipungut
masyarakat dengan cara memperkuat peran biaya. Berdasarkan hasil wawancara, birokrat level
mereka dan membatasi interaksi mereka bawah di Puskesmas Kepanjen tidak berupaya untuk
dengan masyarakat; memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk
2) Interaksi antar pengguna layanan dibatasi. memperoleh keuntungan pribadi.
Birokrasi pelayanan disusun sedemikian rupa Hal tersebut disebabkan karena mereka
agar pengguna layanan tidak mengetahui memegang kuat norma profesi dan mereka memegang
kondisi pengguna layanan yang lain. nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga secara teoritis pola
Perlakuan ini mengakibatkan pengguna diskresi menurut Lipsky tidak terjadi pada
layanan berpikir bahwa yang bertanggung implementasi Kebijakan BPJS-Kesehatan di
jawab atas diri mereka adalah diri mereka Puskesmas Kepanjen. Pada implementasi kebijakan
sendiri; BPJS-Kesehatan, terjadi perubahan pola komunikasi
3) Pelayanan yang diberikan oleh pemberi antar stakeholders pelaksana, pada gambar 1 dapat
layanan diberikan dengan ramah kepada dilihat pola komunikasi antar stakeholders pelaksana
pengguna layanan. Hal ini mereka lakukan Kebijakan BPJSKesehatan antara Kantor BPJS-
untuk membentuk opini pengguna layanan Kesehatan Malang, Dinas Kesehatan Kabupaten
bahwa pelayanan yang mereka berikan Malang, dan Puskesmas di Kabupaten Malang.
berkualitas; Kebijakan BPJS-Kesehatan sebagai kebijakan
4) Pengguna layanan berperan aktif dalam top-down, memposisikan puskesmas sebagai ujung
mendapatkan pelayanan; tombak pelayanan kesehatan, khususnya di
5) Interaksi dengan pengguna layanan didesain Puskesmas Kepanjen Kabupaten Malang.
secara berjenjang, sehingga pemberi layanan Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
dapat mengontrol tindakan, waktu, dan adalah bagaimana pola diskresi yang terjadi dan
langkah yang diambil; pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan BPJS-
6) Ketika mengontrol masyarakat pengguna Kesehatan di Puskesmas Kepanjen. Diskresi terjadi
layanan dihadapkan pada situasi yang sulit, pada tingkatan manajerial, yaitu perubahan pola
interaksi antara pemberi dan penerima komunikasi dan koordinasi oleh Kantor BPJS-
layanan dilakukan dengan mekanisme Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, dan
kontrol rutin. Beberapa pemberi layanan Puskesmas Kepanjen. Terdapat beberapa langkah
tidak dapat bergantung sepenuhnya pada yang dapat ditempuh untuk mengatasi diskresi
sistem yang ada dalam mengontrol tersebut. Pertama dengan perubahan sistem kapitasi;
masyarakat pengguna layanan, oleh karena penguatan dan pemusatan database BPJS-Kesehatan;
itu mereka menyusun sebuah agenda rutin dan adanya peraturan agar puskesmas dapat
yang bertujuan agar pengguna layanan secara mengelola anggaran secara mandiri.
inisiatif mempersiapkan diri mereka sebelum Hasil dari temuan penelitian (Hamzah, 2014)
mendapatkan layanan; dan bahwa (1)perilaku birokrasi dengan prinsip
7) Pemberi layanan menciptakan sanksi untuk rasionalitas universal belum inovatif melakukan
memberikan hukuman atas tindakan yang program-program pelayanan kesehatan sehingga
tidak mematuhi peraturan yang disusun oleh pelaksanaan tugas-tugas pelayanan kesehatan
pemberi layanan. berlangsung apa adanya, perilaku birokrasi dengan
d) Mempengaruhi mentalitas klien prinsip hirarki kurang terkoordinasi baik sehingga
Birokrat level bawah mempengaruhi mentalitas beban tugas ganda menjadi kurang terkendali, dan
klien dengan cara, pertama mereka mengubah perilaku birokrasi dengan prinsip diskresi kurang
tujuan agar sesuai dengan kemampuan yang memperoleh kebebasan menjalankan kewenangan
miliki. Kedua, mereka memberikan pelayanan sesuai kebutuhan riil Puskesmas dari kebijakan yang
yang minimal kepada masyarakat, hal tersebut bersifat top-down. (2) Aspek kualitas pelayanan
mereka lakukan karena mereka tidak bisa puskesmas, tersedianya sarana dan prasarana
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pendukung program pelayanan kurang terjangkau,
semua masyarakat pengguna layanan sesuai kepuasan masyarakat dari kualitas yang diterimanya
dengan standar yang telah ditentukan ditentukan oleh kondisi masyarakat setempat. (3)
1392 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)

Faktor-faktor yang berkaitan dengan penerapan efektivitas pelayanan publik adalah biaya yang tidak
perilaku birokrasi puskesmas yang dapat berlangsung mencukupi akibat permintaan yang berlebihan dari
efisien mendukung proses penyelenggaraan program diskresi birokrasi, peserta kebijakan yang
pelayanan melalui kepemimpinan transformasional, membengkak tidak sesuai dengan rencana yang telah
birokrasi profesional dan kewenangan khusus. ditetapkan misalnya peserta yang sebenarnya tidak
Hasil penelitian dari (Jaya, 2014) diperoleh dikategorikan miskin tetapi meminta diklasifikasikan
bahwa 1) Implementasi Kebijakan Diskresi birokrasi sebagai keluarga miskin dan pelayanan administratif
dalam pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya yang tidak lancar karena kebijakan diskresi birokrasi
efektivitas pelayanan publik di Kota Tegal lebih merupakan program spontanitas dari
diterbitkannya dalam keadaan mendesak yaitu suatu pemerintah daerah.
keadaan yang muncul secara tibatiba menyangkut Diskresi terjadi pada tingkatan manajerial,
kepentingan umum yang harus diselesaikan dengan yaitu perubahan pola komunikasi dan koordinasi oleh
cepat, dimana untuk menyelesaikan persoalan Kantor BPJS-Kesehatan, terdapat beberapa langkah
tersebut, peraturan perundang-undangan belum yang dapat ditempuh untuk mengatasi diskresi
mengaturnya atau hanya mengatur secara umum dan tersebut. Pertama dengan perubahan sistem kapitasi;
keadaan tersebut tidak boleh tercipta karena penguatan dan pemusatan database BPJS-Kesehatan;
kesalahan tindakan oleh Badan atau Pejabat dan adanya peraturan dapat mengelola anggaran
Administrasi Pemerintahan yang melakukan diskresi, secara mandiri.
2) Kendala-kendala di dalam diskresi birokrasi dalam Pemerintah Daerah perlu melakukan
pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya tindakan hukum diskresi (freies ermessen) untuk
efektivitas pelayanan publik di Kota Tegal adalah yang berada di daerah terpencil ataupun di pedesaan.
biaya yang tidak mencukupi akibat permintaan yang Diskresi tersebut merupakan segala aktifitas yang
berlebihan dari program diskresi birokrasi. melibatkan proses pembuat kebijakan maupun
Hasil penelitian (Purnawan, 2017) pengambilan kepututusan atau tindakan atas inisiatif
mengungkapkan bahwa pelimpahan wewenang sendiri, tidak terpaku pada ketentuan aturan atau
tindakan medik dari dokter kepada perawat di undang-undang dengan berbagai pertimbangan yang
Puskesmas Perkotaan dilakukan secara tertulis, matang, konstektual dan dapat
terdapat Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, dalam
baku, dan terdapat form pelimpahan wewenang. pembuatan kebijakan ataupun pengambilan
Berbeda halnya dengan Puskesmas yang berada di keputusan tersebut yang lebih diutamakan adalah
Pedesaan, pelimpahan wewenang dilakukan secara keefektifan tercapainya tujuan daripada perpegang
lisan, Puskesmas tidak memiliki SOP baku, tidak teguh kepada ketentuan undang-undang.
memiliki form pelimpahan wewenang, bahkan
tindakan medik sebagian besar dilakukan oleh
perawat. Sedangkan Puskesmas terpencil pelimpahan
wewenang dilakukan hampir sama dengan Puskesmas
yang berada di Pedesaan. Model diskresi yang ideal
untuk mengatasi masalah pelimpahan wewenang
yang terjadi selama ini adalah memberikan pelatihan
kompetensi tambahan tindakan medik kepada
perawat dengan tujuan perawat mampu memberikan
pelayanan tindakan medik terbatas sesuai dengan
tugas dan wewenang yang tercantum dalam UU
Keperawatan.

Kesimpulan
Implementasi Kebijakan Diskresi birokrasi
dalam pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya
efektivitas pelayanan public diterbitkannya dalam
keadaan mendesak yaitu suatu keadaan yang muncul
secara tiba-tiba menyangkut kepentingan umum yang
harus diselesaikan dengan cepat, dimana untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan
perundang undangan belum mengaturnya atau hanya
mengatur secara umum dan keadaan tersebut tidak
boleh tercipta karena kesalahan tindakan oleh Badan
atau Pejabat Administrasi Pemerintahan yang
melakukan diskresi. Pemerintah mengeluarkan
kebijakan diskresi yakni Jaminan Kesehatan.
Kendala-kendala di dalam diskresi birokrasi
dalam pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya
1393 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)

Kajian Literatur
Aaron, T. J. (1964). The Control of Policy Discretion. Springfield: Charles C Thomas Co.
Agustino, L. (2006). Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV Alfabeta.
David, K. (1969). Discretionary Justice: A Preliminary Inquiry . Baton Rouge: Louisiana State University Press.
Dwiyanto, A. (2005). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Edward III, G. C. ( 1984). Public Policy Implementing. London: Jal Press Inc.
Hamzah, O. S. (2014). Jurnal Administrasi Publik Volume 4 No. 1, 31-45.
Jaya, I. (2014). Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Sistem Pelayanan Publik Di Kota Tegal. Jurnal
Pembaharuan Hukum Volume I No. 2 Mei – Agustus, 200-2008.
Lipsky, M. (1980). Street Level Bureaucracy, Dilemmas of The Individual In Public Services. New York: Russel Sage
Foundation.
Marzuki, L. (1996). Kebijakan yang diperjanjikan (Beleidsovereenkornst). Makalah Pada Penataran Nasional
Hukum Acara Dan Hukum Administrasi Negara. Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin.
Nugroho, R. (2004). Jakarta: Media Elex Computindo.
Patton & Sawicki . (1987). Basic Methods of Policy Analysis & Planning. New Jersey: Prentice-Hall.
Pradana, G. A. (2016). Diskresi dalam Implementasi Kebijakan Publik (Studi pada Implementasi Kebijakan BPJS-
Kesehatan di Puskesmas Kepanjen) . Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP) Vol. 2, No. 3, 79-87.
Pressman & Wildavsky . (1984). Aaron Implementation. California: University of California Press and Los Angles.
Purnawan, H. (2017). Diskresi Pelimpahan Wewenang Tindakan Medik Dari Dokter Kepada Perawat Di
Kotawaringin Timur .
Ripley, Ronald B., & Franklin . (1986). Grace Policy Implementation Bureaucracy. Chicago: Dorsey Press.
Undang-undang Kesehatan. (2009). Tentang Kesehatan. Jakarta.
Utomo, W. (2006). Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke
Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahab, S. A. (2005). Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Wibawa, S. (2004). Reformasi Administrasi, Bunga Rampai Pemikiran Adminstrasi Negara/Publik. Yogyakarta:
Penerbit Gava Media.
Winarno, B. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Presindo.

1394 page

Anda mungkin juga menyukai