62-Article Text-172-1-10-20190625
62-Article Text-172-1-10-20190625
ISSN 2654-4563
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Vol.7,Issue,1, pp. 1375-1377, Juni 2019
Research Article
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DISKRESI PADA PELAYANAN KESEHATAN
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN KESEHATAN (BPJS)
1388 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)
kesehatan nasional prinsip managed care untuk mencapai apa yang menjadi tujuan dari sebuah
diberlakukan dimana terdapat 4 (empat) pilar yaitu kebijakan. Pengertian dari Winarno menjelaskan
Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif. implementasi lebih rinci dengan menjabarkan
Prinsip ini akan memberlakukan pelayanan kesehatan pihakpihak yang terlibat dalam implementasi
akan difokuskan di Pelayanan Kesehatan Tingkat kebijakan, seperti organisasi, aktor-aktor (pemerintah
Pertama (FKTP)/Faskes Primer seperti di Puskesmas, dan non pemerintah) dan sistem yang ada di dalam
klinik atau dokter prakter perseorangan yang akan implementasi kebijakan itu sendiri.
menjadi gerbang utama peserta BPJS Kesehatan Perubahan dan tuntutan masyarakat yang
dalam mengakses pelayanan kesehatan”. Untuk itu sedemikian besar mengakibatkan seorang
kualitas faskes primer harus dijaga, mengingat efek administrator publik harus segera mengubah
dari implementasi Jaminan Kesehatan Nasional, akan paradigma berfikirnya. Peraturan yang dibuat itu
mengakibatkan naiknya permintaan(demand) seberapa pun cepatnya tidak akan mampu menjawab
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tantangan dan perubahan yang terjadi pada
karena kepastian jaminan sudah didapatkan. Jika masyarakat. Karena perubahan yang terjadi pada
FKTP/faskes primer tidak diperkuat, masyarakat akan masyarakat itu begitu cepat, dan tidak semua
mengakses faskes tingkat lanjutan sehingga akan perubahan yang terjadi itu termuat dalam aturan.
terjadi kembali fenomena rumah sakit sebagai Dalam menghadapi perubahan tidak mungkin seorang
puskesmas raksasa. administrator“do nothing”. Persoalan haruslah dapat
Direktur Utama BPJS Kesehatan diselesaikan dengan segera, menunggu sampai
mengeluarkan Peraturan Direksi Nomor 085 Tahun dibuatnya aturan muncul sama saja menghambat
2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program terjadinya perubahan pada masyarakat dan lebih
Peningkatan Mutu Pelayanan Primer, yang parahnya lagi masyarakat akan membuat aturan
memfokuskan pada evaluasi mutu pelayanan sendiri. Akhirnya birokrasi harus memainkan peran
kesehatan dari FKTP dengan adanya standar ganda, bahkan jamak, tidak hanya sebagai eksekutor
indikator penilaian performa pelayanan primer atau implementor kebijakan melainkan juga sebagai
sehingga dapat memastikan terselenggaranya formulator dan sekaligus evaluator kebijakan
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Untuk (Wibawa, 2004).
mengetahui kualitas pelaksanaan fungsi pelayanan (Patton & Sawicki , 1987) menyatakan bahwa
primer tersebut menggunakan Indikator Kinerja proses implementasi, merupakan seperangkat
“Quality Indicator 9” (QI9). QI9 digunakan sebagai permainan dimana banyak aktor melakukan manuver
salah satu komponen pembayaran kapitasi FKTP dan tertentu untuk memperoleh apa yang mereka
bahan pertimbangan kontrak kerjasama dengan BPJS inginkan. Biasanya digunakan metode permainan
Kesehatan di tahun berikutnya. (game) sebagai upaya memperoleh lebih sumber daya
Berdasarkan referensi, kualitas pelayanan kebijakan, seperti mekanisme monitoring, renegosiasi
dapat meningkatkan loyalitas pasien melalui sasaran yang telah di rumuskan setelah program
kepuasan pasien.12 Hal ini diartikan bahwa kualitas berjalan dan atau dengan jalan menambah berbagai
pelayanan dapat menjadi sumber loyalitas bagi pasien elemen baru dari program yang telah ada selama ini.
apabila kebutuhan-kebutuhan yang menjadi kepuasan Sebaiknya keseluruhan proses implementasi
pasien semakin terpenuhi. 12 Kualitas pelayanan yang kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur
semakin meningkat dan baik dapat meningkatkan atau membandingkan antara hasil akhir dari program
kepuasan pasien, dan kepuasan pasien yang semakin - program tersebut dengan tujuan - tujuan kebijakan.
meningkat dan tinggi akan menaikkan suatu Selain itu ( Pressman & Wildavsky , 1984)
kepercayaan dan loyalitas yang ada pada pasien. menyatakan sebagai berikut: Implementation, to us,
means just what Webster and Roger say it does; to
Implementasi Kebijakan Publik carry out, accomplish fulfill, produce, comlete. But
Implementasi kebijakan merupakan salah what is it being implemented? A policy, naturaly.
satu proses dari siklus kebijakan publik. Posisi There must be something out their prior to
implementasi kebijakan begitu penting dalam implementation; otherwise there would be nothing to
kebijakan publik, dimana pentingnya implementasi move toward in the process of implementation. A verb
kebijakan dijelaskan oleh (Wahab, 2005), yaitu like “implement” must have an object like “policy”. But
implementasi kebijakan lebih penting dari perumusan policies normally contain but goals and the mean for
kebijakan. (Winarno, 2002) menjelaskan achieving them. How, then, do we distinguish between
implementasi kebijakan publik adalah sebuah alat a policy and its implementation?
dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan Konsep Pressman dan Wildavsky diatas,
teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan mengindikasikan bahwa pada dasarnya implementasi
kebijakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. adalah untuk melaksanakan kebijakan yang harus
Menurut (Nugroho, 2004) mendefinisikan mempunyai objek dan dapat menimbulkan dampak
implementasi kebijakan sebagai sebuah cara agar tercapai atau tidaknya suatu kebijakan. (Ripley,
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Kedua pendapat Ronald B., & Franklin , 1986) menuntun pemikiran
tersebut mempunyai kesimpulan yang sama, yaitu bahwa untuk memahami konsep implementasi
implementasi kebijakan merupakan sebuah cara
1389 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)
kebijakan dibutuhkan pengertian tentang serangkaian lembaga pelaksana, aturan pelaksana, dan
kegiatan, yaitu sebagai berikut: keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel di
Implementation is what happens luar kebijakan yang mempengaruhi proses
after laws are passed outhorizing a implementasi yang berkenaan dengan indikator
program, a policy, a benefit, or kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan
some kind of tangible output. The publik, sikap dan resources dari konstituen,
term refers to the set of activities dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta
the follow statements of intent komitmen dan kualitas kepemimpinan dari
about program goals and desired pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen,
result by goerment officials, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan
implementation encompasses lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/
action (and nanations) by e variety badan pelaksana dalam bentuk disusunnya
of actors, specialy bureaucrats, kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil
designed to put programs into nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan
effect, ostensibility in such a way as akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan
to achive goals yang dibuat dan dilaksanakan tersebut atau
keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
Model Implementasi Kebijakan Publik c. Model Brain W. Hogwood dan Lewis A. Gun
Model implementasi kebijakan publik yang (Nugroho, 2004) menyatakan untuk melakukan
peneliti paparkan merupakan model implementasi implementasi kebijakan diperlukan beberapa
kebijakan publik yang bersifat top-down. Peneliti syarat. Syarat pertama berkenaan dengan jaminan
hanya fokus pada model implementasi kebijakan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh
publik yang bersifat top-down karena Kebijakan BPJS- lembaga/ badan pelaksana tidak akan
Kesehatan merupakan kebijakan yang bersifat top- menimbulkan masalah yang besar. Syarat kedua
down, sehingga diperlukan pemaparan mengenai adalah apakah untuk melaksanakannya tersedia
model implementasi kebijakan publik top-down untuk sumber daya yang memadai, termasuk sumber
dapat memahami lebih jauh mengenai implementasi daya waktu. Syarat ketiga apakah perpaduan
kebijakan BPJS-Kesehatan sumbersumber yang diperlukan benar-benar ada.
a. Model Van Meter dan Van Horn Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang
(Agustino, 2006) menyebutkan bahwa model akan diimplementasikan didasari hubungan
implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn kausal. Jadi, prinsipnya adalah apakah kebijakan
mengharuskan adanya kesesuaian antara tersebut memang dapat menyelesaikan masalah
keputusan politik, pelaksana, dan kinerja yang hendak ditanggulangi. Syarat kelima adalah
kebijakan. Van Meter dan Van Horn seberapa banyak hubungan kausalitas yang
memperkenalkan pendekatan implementasi terjadi. Asumsinya, semakin sedikit hubungan
kebijakan yang menghubungkan antara isu ‘’sebab-akibat’’, semakin tinggi pula hasil yang
kebijakan dengan implementasi kebijakan dan dikehendaki kebijakan tersebut dapat dicapai.
kebijakan dengan kinerja. Van Meter dan Van Sebuah kebijakan yang mempunyai hubungan
Horn menjelaskan bahwa perubahan, kontrol, dan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan
kepatuhan dalam tindakan merupakan konsep efektivitas implementasi kebijakan. Syarat
penting dalam prosedur implementasi. keenam adalah apakah hubungan saling
Berdasarkan model ini, terdapat enam variabel ketergantungan kecil. Syarat ketujuh adalah
yang mempengaruhi implementasi kebijakan, pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, terhadap tujuan. Syarat kedelapan adalah bahwa
karakteristik agen pelaksana, sikap pelaksana, tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam
komunikasi antar organisasi, dan kondisi, urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas
ekonomi, politik, dan social. yang jelas adalah kunci efektivitas implementasi
b. Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier kebijakan. Syarat kesembilan adalah komunikasi
Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2004), dan koordinasi yang sempurna. Komunikasi
mengklasifikasikan proses implementasi adalah perekat organisasi, dan koordinasi adalah
kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, asal muasal dari kerja sama tim serta
variabel independen, yaitu mudah-tidaknya terbentuknya sinergis. Syarat kesepuluh adalah
masalah dikendalikan yang berkenan dengan bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang
indikator masalah teori dan teknis pelaksana, kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
keragaman objek, dan perubahan seperti apa kepatuhan yang sempurna. Kekuasaan atau
yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, power adalah syarat keefektifan implementasi
yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari
menstrukturkan proses implementasi dengan kekuasaan, kebijakan akan tetap berupa
indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, kebijakan-tanpa ada dampak bagi target
dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi kebijakan.
sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara
1390 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)
Faktor-faktor yang berkaitan dengan penerapan efektivitas pelayanan publik adalah biaya yang tidak
perilaku birokrasi puskesmas yang dapat berlangsung mencukupi akibat permintaan yang berlebihan dari
efisien mendukung proses penyelenggaraan program diskresi birokrasi, peserta kebijakan yang
pelayanan melalui kepemimpinan transformasional, membengkak tidak sesuai dengan rencana yang telah
birokrasi profesional dan kewenangan khusus. ditetapkan misalnya peserta yang sebenarnya tidak
Hasil penelitian dari (Jaya, 2014) diperoleh dikategorikan miskin tetapi meminta diklasifikasikan
bahwa 1) Implementasi Kebijakan Diskresi birokrasi sebagai keluarga miskin dan pelayanan administratif
dalam pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya yang tidak lancar karena kebijakan diskresi birokrasi
efektivitas pelayanan publik di Kota Tegal lebih merupakan program spontanitas dari
diterbitkannya dalam keadaan mendesak yaitu suatu pemerintah daerah.
keadaan yang muncul secara tibatiba menyangkut Diskresi terjadi pada tingkatan manajerial,
kepentingan umum yang harus diselesaikan dengan yaitu perubahan pola komunikasi dan koordinasi oleh
cepat, dimana untuk menyelesaikan persoalan Kantor BPJS-Kesehatan, terdapat beberapa langkah
tersebut, peraturan perundang-undangan belum yang dapat ditempuh untuk mengatasi diskresi
mengaturnya atau hanya mengatur secara umum dan tersebut. Pertama dengan perubahan sistem kapitasi;
keadaan tersebut tidak boleh tercipta karena penguatan dan pemusatan database BPJS-Kesehatan;
kesalahan tindakan oleh Badan atau Pejabat dan adanya peraturan dapat mengelola anggaran
Administrasi Pemerintahan yang melakukan diskresi, secara mandiri.
2) Kendala-kendala di dalam diskresi birokrasi dalam Pemerintah Daerah perlu melakukan
pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya tindakan hukum diskresi (freies ermessen) untuk
efektivitas pelayanan publik di Kota Tegal adalah yang berada di daerah terpencil ataupun di pedesaan.
biaya yang tidak mencukupi akibat permintaan yang Diskresi tersebut merupakan segala aktifitas yang
berlebihan dari program diskresi birokrasi. melibatkan proses pembuat kebijakan maupun
Hasil penelitian (Purnawan, 2017) pengambilan kepututusan atau tindakan atas inisiatif
mengungkapkan bahwa pelimpahan wewenang sendiri, tidak terpaku pada ketentuan aturan atau
tindakan medik dari dokter kepada perawat di undang-undang dengan berbagai pertimbangan yang
Puskesmas Perkotaan dilakukan secara tertulis, matang, konstektual dan dapat
terdapat Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, dalam
baku, dan terdapat form pelimpahan wewenang. pembuatan kebijakan ataupun pengambilan
Berbeda halnya dengan Puskesmas yang berada di keputusan tersebut yang lebih diutamakan adalah
Pedesaan, pelimpahan wewenang dilakukan secara keefektifan tercapainya tujuan daripada perpegang
lisan, Puskesmas tidak memiliki SOP baku, tidak teguh kepada ketentuan undang-undang.
memiliki form pelimpahan wewenang, bahkan
tindakan medik sebagian besar dilakukan oleh
perawat. Sedangkan Puskesmas terpencil pelimpahan
wewenang dilakukan hampir sama dengan Puskesmas
yang berada di Pedesaan. Model diskresi yang ideal
untuk mengatasi masalah pelimpahan wewenang
yang terjadi selama ini adalah memberikan pelatihan
kompetensi tambahan tindakan medik kepada
perawat dengan tujuan perawat mampu memberikan
pelayanan tindakan medik terbatas sesuai dengan
tugas dan wewenang yang tercantum dalam UU
Keperawatan.
Kesimpulan
Implementasi Kebijakan Diskresi birokrasi
dalam pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya
efektivitas pelayanan public diterbitkannya dalam
keadaan mendesak yaitu suatu keadaan yang muncul
secara tiba-tiba menyangkut kepentingan umum yang
harus diselesaikan dengan cepat, dimana untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan
perundang undangan belum mengaturnya atau hanya
mengatur secara umum dan keadaan tersebut tidak
boleh tercipta karena kesalahan tindakan oleh Badan
atau Pejabat Administrasi Pemerintahan yang
melakukan diskresi. Pemerintah mengeluarkan
kebijakan diskresi yakni Jaminan Kesehatan.
Kendala-kendala di dalam diskresi birokrasi
dalam pemerintahan daerah sebagai salah satu upaya
1393 page
Suprapto, et all, Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (Bpjs)
Kajian Literatur
Aaron, T. J. (1964). The Control of Policy Discretion. Springfield: Charles C Thomas Co.
Agustino, L. (2006). Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV Alfabeta.
David, K. (1969). Discretionary Justice: A Preliminary Inquiry . Baton Rouge: Louisiana State University Press.
Dwiyanto, A. (2005). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Edward III, G. C. ( 1984). Public Policy Implementing. London: Jal Press Inc.
Hamzah, O. S. (2014). Jurnal Administrasi Publik Volume 4 No. 1, 31-45.
Jaya, I. (2014). Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Sistem Pelayanan Publik Di Kota Tegal. Jurnal
Pembaharuan Hukum Volume I No. 2 Mei – Agustus, 200-2008.
Lipsky, M. (1980). Street Level Bureaucracy, Dilemmas of The Individual In Public Services. New York: Russel Sage
Foundation.
Marzuki, L. (1996). Kebijakan yang diperjanjikan (Beleidsovereenkornst). Makalah Pada Penataran Nasional
Hukum Acara Dan Hukum Administrasi Negara. Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin.
Nugroho, R. (2004). Jakarta: Media Elex Computindo.
Patton & Sawicki . (1987). Basic Methods of Policy Analysis & Planning. New Jersey: Prentice-Hall.
Pradana, G. A. (2016). Diskresi dalam Implementasi Kebijakan Publik (Studi pada Implementasi Kebijakan BPJS-
Kesehatan di Puskesmas Kepanjen) . Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP) Vol. 2, No. 3, 79-87.
Pressman & Wildavsky . (1984). Aaron Implementation. California: University of California Press and Los Angles.
Purnawan, H. (2017). Diskresi Pelimpahan Wewenang Tindakan Medik Dari Dokter Kepada Perawat Di
Kotawaringin Timur .
Ripley, Ronald B., & Franklin . (1986). Grace Policy Implementation Bureaucracy. Chicago: Dorsey Press.
Undang-undang Kesehatan. (2009). Tentang Kesehatan. Jakarta.
Utomo, W. (2006). Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke
Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahab, S. A. (2005). Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Wibawa, S. (2004). Reformasi Administrasi, Bunga Rampai Pemikiran Adminstrasi Negara/Publik. Yogyakarta:
Penerbit Gava Media.
Winarno, B. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Presindo.
1394 page