Anda di halaman 1dari 16

UAS KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PUBLIK

PENERAPAN PARADIGMA BARU DALAM BPJS KESEHATAN

Dosen: Dra. R. Wahyuni Triana, MS.

Disusun oleh:

Alya Hervi Salsabilla 071711133104

Administrasi Negara 2017

Universitas Airlangga
Surabaya
2019
A. PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan salah satu anugrah terbesar manusia dan hal yang sangat

penting bagi semua manusia. Jika seseorang sakit, dia tidak akan mampu melaksanakan

berbagai kegiatan dan aktifitasnya. Hal tersebut tentu akan berdampak bagi

kelangsungan hidupnya dan orang lain terutama keluarganya. Kita hidup di negara

Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Salah satu sila Pancasila yaitu sila ke 5

berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan sosial disini salah

satunya adalah keadilan dalam akses kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah

mengeluarkan program Jaminan Sosial Nasional. Berdasarkan ketetapan Undang-

Undang No. 24 Tahun 2011, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS,

yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dimana Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial adalah peleburan 4 (empat) badan usaha milik negara

menjadi satu badan hukum, 4 (empat) badan usaha yang dimaksud adalah PT TASPEN,

PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, dan PT ASKES.1

Masalah pembiayan kesehatan ternyata bukanya hanya menjadi masalah social

tapi, tapi juga masalah ekonomi dan politik sekaligus.3 Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan

program jaminan kesehatan dengan tujuan untuk memproteksi seluruh masyarakat


2
dengan premi terjangkau dan dengan coverage lebih luas untuk seluruh masyarakat.

Setiap peserta BPJS kesehatan berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang

bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai
dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana

dimaksud terdiri atas manfaat medis dan manfaat non medis. Manfaat medis tidak

terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan. Manfaat non medis meliputi manfaat

akomodasi, dan ambulans

Sejak dilaksanakannya program BPJS kesehatan, banyak masalah yang

dihadapi serta keluhan yang dirasakan oleh peserta antara lain sosialisasi BPJS yang

kurang mengena dan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat ditingkat yang paling

bawah. Selain itu, praktek percaloan di Kantor Cabang BPJS dan rumah sakit yang

marak juga menjadi masalah dalam pelaksanaan BPJS kesehatan. BPJS menerapkan

aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa aktif sepekan setelah pendaftaran

diterima. Padahal sakit menimpa tanpa terduga dan tak mungkin bisa ditunda.

Masalah lain adalah rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS

Kesehatan terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas

kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski sama-sama

bekerja sama dengan BPJS. Tentu ini menyulitkan orang yang sering bepergian dan

bekerja di tempat jauh. Rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan

alur pelayanan berjenjang juga dikeluhkan oleh peserta BPJS. Sebelum ke rumah sakit,

peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas. Selain itu,

banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan yang tak ditanggung

sepenuhnya oleh BPJS. Biaya ambulance ditanggung sendiri oleh pasien pada saat

dirujuk ke rumah sakit lain.


Lalu, ada indikasi adanya permainan dalam penetapan jenis dan merk obat oleh

dokter rumah sakit yang bersifat komersial. Padahal menurut Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2011 Pasal 24 yaitu “Pengembangan teknologi dalam Manfaat jaminan

kesehatan harus disesuaikan dengan kebutuhan medis sesuai hasil penilaian teknologi

kesehatan (health technology assesement)”4

Dalam penanganan BPJS pemerintah telah melakukn peralihan dari awalnya

BPJS hanya dilayani di rumah sakit pemerintah namun kini banyak rumah sakit swasta

yang juga melayani BPJS.

Namun baru – baru ini dilansir dari BBC Indonesia, Salah satu rumah sakit

privat atau swasta yaitu Rumah Sakit Yadika Pondok Bambu yang terletak di Jakarta

Timur tidak lagi menerima pasien BPJS, pasien yang berobat menggunakan BPJS satu

per satu ditolak oleh petugas rumah sakit. Rumah Sakit Yadika tercatat tidak melayani

BPJS lagi sejak 2 Januari 2019, hal ini banyak dikeluhkan pasien karena banyak dari

mereka harus menuju rumah sakit yang lebih jauh untuk berobat menggunakan BPJS.

Selain itu kini terjadi pergeseran paradigm dalam sistem BPJS dimana administrasi

dialihkan menggunakan sistem online dari sistem manual, tentu saja hal ini berdampak

baik jika diimbangi dengan sosialisasi dari pihak terkait terhadap masyarakat pengguna

BPJS.

B. PEMBAHASAN
Teori New Public Management adalah sebuah konsep manajemen publik/pemerintahan

baru, yang menerapkan praktik kerja sektor privat ke sektor publik untuk menciptakan

efisiensi dan efektifitas kinerja pemerintah daerah sehingga akan tercipta welfare

society (kesejahteraan masyarakat). Salah satu sumber teoritis penting dari New Public

Management adalah humanisme organisasi. Selama tiga puluh tahun terakhir, teori

administrasi publik telah bergabung dengan di disiplin ilmu lain dalam menunjukkan

pendekatan hirarkis tradisional pada organisasi sosial yang ketat dalam pandangan

mereka tentang perilaku manusia, dan mereka telah bergabung dalam kritik birokrasi

serta mencari pendekatan alternatif untuk manajemen dan organisasi. Secara kolektif,

pendekatan ini telah berusaha untuk organisasi mode publik kurang didominasi oleh

isu-isu kekuasaan dan kontrol serta lebih memperhatikan kebutuhan dan keprihatinan

konstituen internal dan eksternal.

Paradigma NPM dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi publik dengan

menerapkan pengetahun dan pengalaman yang diperoleh dari dunia bisnis dan disiplin

lain untuk memperbaiki efektivitas, efisiensi, dan kinerja pelayanan publik pada

birokrasi modern. Ketika muncul pertama kali, NPM hanya meliputi lima doktrin,

yaitu :

1. penerapan deregulasi padaline management;

2. konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri;

3. penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak antara

regulator dengan operator;


4. penerapan mekanisme kompetensi seperti melakukan kontrak (contracting

out), dan

5. memperhatikan mekanisme pasar (market oriented).

Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik. Public management diarahkan

kegiatannya pada:

1. Melakukan restrukturisasi sektor publik lewat proses privatisasi.

2. Melakukan restrukturisasi dan merampingkan struktur dinas sipil di pusat.

3. Memperkenalkan nilai-nilai persaingan khususnya lewat pasar internal dan

mengkontrakkan pelayanan public kepada pihak swasta dan intervensi oleh

pemerintah.

4. Meningkatkan efisiensi lewat pemeriksaan dan pengukuran kinerja.

Dalam pelaksanaan manajemen publik sendiri memiliki tujuan tertentu. Adapun tujuan

dari Public Management, meliputi :

1. Manajemen publik itu ditujukan untuk meningkatkan tercapainya tujuan sektor

publik (lebih efektif dan efisien), pegawainya lebih berkeahlian dan lebih

mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya.

2. Manajemen publik itu bertujuan untuk menjadikan sector public lebih efisien,

akuntabel, dan tujuannya tercapai serta lebih mampu menangani berbagai

masalah manajerial dan teknis.


Manajemen public yang baik tentunya dipengaruhi oleh bentuk dari pemerintah.

Bentuk pemerintah akan berubah seiring akan perubahan kebutuhan masyarakat dan

tantangan yang ada selain dari lingkungan sekitar yang selalu berubah. Mekanisme

sosial akan terus berkembang, oleh sebab itu diperlukan sebuah kepercayaan dalam

memastikan pengiriman barang dan jasa dalam publik yang efisien, pengentasan

kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini merujuk pada sebuah

pemerintahan yang dianggap baik atau Good Governance

Berdasarkan prinsip-prinsip dan proposal dari berbagai lembaga internasional (Bank

Dunia, IMF, UNDP, ODA, IDA, dsb) serta praktik-praktik terbaik yang diadopsi oleh

pemerintah di belahan dunia lainnya, menurut Nag (2018) dalam mencapai

pemerintahan yang baik atau good governance, dibutuhkan beberapa karakteristik yang

dianggap penting:

 Partisipasi

Partisipasi aktif oleh seluruh pihak mutlak diperlukan dalam proses

pembangunan dalam masyarakat untuk menciptakan tata kelola yang baik.

Partisipasi selalu diperlukan dalam proses di saat pembuatan kebijakan,

priorotas permasalahan, dan pengalokasian sumber daya.

 Aturan hukum
Aturan hukum dalam tata pemerintahan yang baik didasarkan pada keadilan.

Hal ini berarti bahwa setiap orang dalam masyarakat setara di hadapan hukum,

dan diimplementasikan secara adil.

 Kesetaraan dan inklusivitas

Konsep kesetaraan merupakan kesamaan peluang dan hak untuk setiap orang

dalam suatu komunitas terlepas dari status sosial, jenis kelamin, ras, warna

kulit, kasta, maupun agama atau keyakinan. Inklusivitas berarti turut

mempertimbangkan kepentingan, aspirasi dan pendapat semua individu dan

kelompok dalam suatu masyarakat dalam merumuskan kebijakan dan program

tertentu yang ditujukan untuk masyarakat.

 Transparansi

Arti transparansi yaitu proses, lembaga, dan informasi dapat diakses secara

langsung oleh semua orang dalam suatu masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan

untuk keterbukaan tindakan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan

maupun proses konsultatif antara sektor publik dan semua pemangku

kepentingan. Kurangnya transparansi dalam pemerintahan dapat menciptakan

peluang untuk berbagai jenis korupsi dan tindakan buruk lainnya.

 Ketanggapan/Responsiveness
Responsif berarti seluruh permintaan dan persyaratan ditangani secara tepat

waktu dan dalam waktu yang telah ditentukan. Segala bentuk keterlambatan

harus dihindari dan dievaluasi.

 Konsensus (mufakat) dan legitimasi (pengesahan)

Dalam menjaga perdamaian dan keharmonisan sebuah komunitas, dibutuhkan

konsensus di antara seluruh pemangku kepentingan, agar struktur dan fungsi

pemerintahan memperoleh legitimasi dari seluruh komunitas. Dalam hal ini,

konsensus biasanya melibatkan kolaborasi, bukan kompromi. Daripada hanya

satu pendapat yang diadopsi oleh sebagian besar lainnya, pendapat seluruh

pemangku kepentingan disatukan untuk mengembangkan keputusan yang

konvergen (penyatuan ide atau bidang yang berbeda untuk menemukan solusi).

 Efektivitas dan efisiensi

Implementasi dari tata kelola yang baik yaitu penekanan efektivitas dan

efisiensi kebijakan, program, dan sumber daya yang akan digunakan.

 Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan segala bentuk tanggung jawab oleh pembuat

keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil

kepada publik serta pemangku kepentingan institusional atas kelambanan atau

penyimpangan yang disengaja. Lembaga dan personel harus bertanggung jawab


atas kegagalan dan keberhasilannya. Oleh sebab itu diharuskan ada audit atas

segala bentuk perbuatan maupun kesalahan.

Dalam kasus BPJS Kesehatan, pemerintah telah sebisa mungkin menerapkan

sistem Good Governance dan berusaha melakukan mensinkornasikan sector public dan

privat dimana hal ini adalah rumah sakit swasta dengan pemerintah. Namun pada

pelaksanaanya pemerintah masih jauh dari Good Governance, dimana terlihat dari

banyaknya rumah sakit swasta yang memberhentikan pelayanan BPJS.

Dilansir dari BBC Indonesia, BPJS Kesehatan mengakhiri kerja sama dengan

65 rumah sakit swasta di berbagai daerah di Indonesia terhitung mulai 1 Januari 2019.

Pemutusan itu dilakukan karena puluhan rumah sakit tersebut belum mendapatkan

sertifikat akreditas. Sementara itu 15 rumah sakit lain putus kerja sama karena tidak

memenuhi syarat rekredensialing atau uji kelayakan ulang. Langkah BPJS untuk

mengakhiri kerja sama dengan puluhan rumah sakit swasta dapat berdampak buruk

pada pelayanan masyarakat yang diterima masyarakat. Hal ini menyebabkan ebih dari

satu juta pasien terancam tidak dapat mengakses layanan BPJS secara maksimal

Banyaknya rumah sakit swasta yang tidak bekerja sama lagi dengan BPJS

dikarenakan kurangnya transparansi antara pemerintah dan pihak privat. Selain itu

pemerintah pengelola BPJS sering melakukan tunggakan pembiayaan pada rumah sakit

sehingga menyebabkan rumah sakit kekurangan dana operasional. Akreditasi rumah

sakit juga menjadi penyebab pemutusan kontrak ini, banyak rumah sakit swasta yang

belum memenuhi akreditasi untuk pelayanan BPJS.


Keterlambatan pembiayaan dari pemerintah disebutkan karena adanya deficit

anggaran dalam BPJS. idak seimbangnya antara klaim dari ribuan fasilitas kesehatan

dengan iuran premi yang diterima oleh BPJS Kesehatan sehingga sampai tahun ini

BPJS kesehatan masih mengalami defisit anggaran sebesar 6 triliun rupiah.

Hal ini dikarenakan perilaku curang beberapa peserta yang hanya mendaftar

dan membayar BPJS kesehatan ketika sedang sakit dan tidak meneruskan membayar

ketika sudah sembuh

Padahal baiaya yang telah dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk penyakit yang

dideritanya belasan bahkan ratusan juta rupiah. Harapan kita masyarakat sadar jika

mereka telah mendaftar sebagai peserta BPJS kesehatan secara rutin membayar iuran

meski sudah sembuh. Semoga pihak BPJS kesehatan dengan pakar - pakar asuransi

menemukan sistem yang bisa mengurangi kecurangan tersebut, terlebih bisa

meniadakanya. Hal lain yang juga penting dilakukan adalah terus mengampanyekan

perilaku hidup sehat sebagai upaya pencegahan. Perilaku hidup sehat dapat

menghindarkan seseorang dari penyakit berat, sehingga biaya perawatan dan

pengobatannya ketika sakit pun tak terlalu besar.

Banyak pengamat mengatakan Jika pemerintah masih saja enggan menaikkan

besarnya iuran bulanan, maka tidak heran jika defisit yang dialami BPJS Kesehatan

semakin lama semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah peserta

dari tahun ke tahun dan diperburuk dengan tunggakan iuran peserta mandiri,
Dalam laporan 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK, diketahui bahwa anggaran

perlindungan sosial meningkat dari tahun ke tahun. Umi mengatakan peningkatan

anggaran ini juga diimbangi dengan peningkatan cakupan kepesertaan dan jumlah

fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) serta fasilitas kesehatan rujukan tingkat

lanjut (FKRTL) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Dari segi cakupan kepesertaan memang meningkat, namun dari segi defisit

yang dialami BPJS Kesehatan juga meningkat. Sampai saat ini, kata Umi defisit

mencapai angka Rp 16.5 triliun, di mana pemerintah terus berupaya menekan defisit

tersebut dengan berbagai cara.

Sampai saat ini pemerintah belum mau menaikkan iuran bulanan peserta BPJS

Kesehatan. Dia mengatakan saat ini peserta mandiri kelas I harus membayar Rp 80.000,

kelas II Rp 51.000, dan kelas III Rp 25.500. Padahal, kata Umi, sejak 2015 lalu Dewan

Jaminan Sosial Nasional (DJSN) telah memberikan rekomendasi terkait besarnya iuran

bulanan BPJS Kesehatan. Untuk peserta mandiri kelas I, DJSN merekomendasikan Rp

80.000, kelas II Rp 63.000, dan kelas III Rp 33.000.

Fakta ini menunjukkan bahwa iuran BPJS yang saat ini belum sesuai dengan

perhitungan iuran minimal yang sudah dihitung DJSN. Untuk kelas II saja memiliki

margin Rp 12.000 dan Rp 7.500 untuk kelas III. Jika selisih ini dikalikan dengan jumlah

peserta, sudah berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk menambal kekurangan

iuran ini
Penggunaan dana cukai rokok yang diandalkan untuk menambal defisit harus

pula diimbangi dengan pelayanan promotif dan preventif. Jumlah orang sakit akan

terus bertambah jika fokus pelayanan kesehatan negara kita hanya pada ranah

penyembuhan/kuratif-rehabilitatif. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan jelas lebih

mahal jika dibandingkan dengan alokasi dana untuk program promotif-preventif.

Masalah lain BPJS Kesehatan yang belum mencakup Good Governance adalah

fasilitas kesehatan dan obat yang disediakan. Pasien BPJS sering mendapat pelayanan

yang kurang baik dibandingkan dengan pasien non BPJS. Faskes yang ditawarkan

kepada pasien ada dua, yaitu Faskes I dan Faskes II. Pasien hanya diperbolehkan untuk

memilih satu dari tiap-tiap Faskes sesuai dengan wilayah pasien tinggal. Satu Faskes I

dan satu Faskes II.

Kondisi ini tentu saja merugikan. Sebab kalau Faskes I yang berada di wilayah

pasien tinggal tidak memuaskan, pasien tidak bisa berobat di Faskes I lainnya, kecuali

mengurus kepindahan Faskes. Lokasi Faskes juga dapat menimbulkan masalah baru.

Bayangkan saja jika jarak lokasi Faskes dengan lokasi tempat tinggal pasien sangat

jauh, hal ini tentu saja akan memakan waktu berjam-jam. Akibatnya, pasien bisa

mendapatkan pelayanan yang tidak memuaskan

Pasien hanya diperbolehkan untuk mendapat pelayanan kesehatan di rumah

sakit yang dirujuk pihak BPJS Kesehatan. Bila rumah sakit tersebut tidak bekerja sama

dengan BPJS, pasien yang mau berobat akan ditolak. Mau tidak mau pasien harus
berusaha mencari daftar rumah sakit rekanan demi mendapat pelayanan rumah sakit

yang cepat dan memuaskan.

Kendala lainnya yang paling sering dialami pasien adalah kesulitan untuk

mengajukan rujukan ke rumah sakit. Sistem yang diberlakukan BPJS Kesehatan adalah

sistem rujukan jenjang tertentu. Pasien yang ingin menikmati fasilitas kesehatan dari

rumah sakit harus mendapat surat rujukan terlebih dahulu dari Fasilitas Kesehatan I

(Faskes I), seperti puskesmas, dokter keluarga, dan klinik BPJS. Surat rujukan tersebut

mendapat pengecualian untuk pasien yang sedang dalam kondisi gawat darurat.

Beruntunglah jika Faskes I sedang tidak sibuk melayani sejuta masyarakat. Bila

Faskes I sedang sibuk, pasien yang membutuhkan pertolongan dari pihak rumah sakit

pun bisa saja sekarat karena sudah kelamaan menunggu surat rujukan tersebut.

Dalam hal pergeseran dari BPJS manual ke BPJS online tentunya juga harus

dibarengi dengan sosialisasi dari pihak terkait terhadap masyarakat pengguna BPJS

yang dimana sebagaian besar adalah pihak menengah kebawah. Banyak ditemui

masyarakat yang kurang paham mengenai mekanisme BPJS online. Namun hal ini

telah diimbangi dengan petugas pelayanan BPJS yang bersedia membantu masyarakat

yang belum paham mengenai mekanisme BPJS Online baik dari pihak rumah sakit

maupun kantor BPJS tersebut


C. KESIMPULAN

Melihat hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah agar pelaksanaan BPJS

Kesehatan bisa terlaksana dengan baik dan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat

Indonesia karena sejatinya BPJS kesehatan merupakan sebuah penyelesaian yang baik

dalam mengatasi masalah kesehatan di Indonesia dan setiap orang mempunyai hak

yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan

memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.


DAFTAR PUSTAKA

1
Abidin. (2016). Pengaruh Kualitas Pelayanan Bpjs Kesehatan Terhadap Kepuasan

Pasien Di Puskesmas Cempae Kota Parepare . Jurnal MKMI, 1-6.

2
Novrialdi. (2015). Pelayanan Kesehatan Bagi Pasien Bpjs (Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial) Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Siak Tahun 2016 .

JOM FISIP, 1-6.

3
Sulastomo. (2007). Manajemen Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia.

4
Tim Pustaka Yustisia. (2014). Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Kesehatan dari

BPJS. Jakarta: Visi Media.

5
Nag, Ninad Shankar. 2018. Government, Governance and Good Governance. Indian

Journal of Public Administration, 64(1), pp. 122–130.

https://doi.org/10.1177/0019556117735448

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46780599

Anda mungkin juga menyukai