OLEH :
IKA LESTARI
M012022046
PENDAHULIAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang berazaskan Pancasila dan memiliki sumber
hukum yaitu UUD 1945. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum dan berbagai macam
peraturan baik itu undang-undang, perpres, perpu, peraturan pemerintah, perda, dan
lain sebagainya. Indonesia telah mengalami berbagai macam peristiwa yang menyangkut
sistem pemerintahan.
Kini Indonesia memasuki masa reformasi. Masa dimana demokrasi dan kebebasan
berpendapat menjadi yang utama di negeri ini. Sistem pemerintahan Indonesia dari
waktu ke waktu semakin berkembang. Sampai sekarang sudah terjadi banyak sekali
perubahan yang berarti dalam sistem pemerintahan Indonesia, salah satunya adalah
perubahan dalam sistem birokrasi.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melaksanakan
pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan terutama menyangkut aspek aspek aspek kelembagaan (organisasi),
ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.berbagai masalah
dan hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintah tidak berjalan
atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus di tata ulang atau
diperbaharui.salah satunya reformasi birokrasi dalam administrasi pelayanan kesehatan
sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kesehatan.
Indonesia merupakan negara yang besar memiliki permasalahan kesehatan yang
begitu kompleks.perlu ada reformasi birokrasi kesehatan dalam pelayanan publik .upaya
upaya yang dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan kesehatan,dengan harapan
pelayanan yang cepat,tepat,efisien ,efektif dan menyeluruh sesuai kebutuhan kesehatan
masyarakat.
Pemerintah bertanggung jawab dalam menyediakan jaminan kesehatan bagi warga
negara. Hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Perhatian pemerintah dalam kesejahteraan kesehatan ditunjukkan dengan adanya
rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan 2005-2025. Dalam visi program
tersebut diharapkan meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga dapat dicapai derajat kesehatan individu,
keluarga, dan masyarakat setinggi-tingginya (Kemenkes, 2009). Salah satu upaya
pemerintah untuk mencapai visi tersebut adalah dengan adanya sistem Jaminan
Kesehatan.
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar masyarakat
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Penyelenggaraan sistem jaminan
kesehatan ini dilakukan oleh suatu badan hukum yaitu Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan. (Depkes RI, 2013). Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi
semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas
Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Dalam Permenkes No 71 th 2013 ini juga memberikan penjelasan prosedur pelayanan
kesehatan bagi peserta BPJS, yaitu secara berjenjang sesuai kebutuhan medis dimulai
dari Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan
tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat
kedua atau tingkat pertama. Pelaksanaan rujukan berjenjang ini dikecualikan pada
keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien,
pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas.
Dalam realita, kita banyak menjumpai beragam masalah tentang rujukan berjenjang
ini. Permasalahan yang banyak dijumpai yaitu dimana pasien memeriksakan diri di suatu
Unit Gawat Darurat karena adanya masalah kesehatan yang membutuhkan penanganan
segera, namun setelah diperiksa tidak termasuk dalam kategori gawat darurat, sehingga
tidak dapat menggunakan fasilitas pelayanan BPJS. Banyak kasus juga terkait peserta
tidak mendapatkan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, karena
keterbatasan jam pelayanan fasilitas kesehatan tingkat pertama, sehingga pesertapun
juga tidak dapat mendapatkan falititas pelayanan BPJS
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Reformasi Birokrasi dalam Administrasi Kesehatan di Indonesia,
Salah Satu upaya pemerintah yaitu proses Transformasi PT ASKES (Persero) menjadi BPJS
Kesehatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BPJS Kesehatan merupakan Badan Hukum Publik yang ditugaskan khusus oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai
Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran,
Perintis Kemerdekaan besertakeluarganya dan Badan Usaha lainnya. Sejarah singkat
penyelenggaraan program Asuransi Kesehatan sebagai berikut :
a. Pada tahun 1968, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang mengatur
pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan PenerimaPensiun (PNS dan
ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 230
Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di lingkungan
Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan
Kesehatan (BPDPK), oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A.
Siwabessy) yang kemudian Badan ini menjadi embrio Asuransi Kesehatan
Nasional.
b. Tahun 1984 Untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara profesional, pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan
Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat
Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum
Husada Bhakti.
c. Tahun 1991 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991,
kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikelola Perum
Husada Bhakti ditambah dengan Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta
anggota keluarganya. Disamping itu, perusahaan diijinkan memperluas
jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai peserta
sukarela.
d. Tahun 1992, Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status
Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan
fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat
dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih
mandiri.
e. Tahun 2005 Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1241/Menkes/XI/2004 PT Askes (Persero) ditunjuk sebagai penyelenggara
Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT Askes
(Persero) mendapat penugasan untuk mengelola kepesertaan serta pelayanan
kesehatandasar dan rujukan.
f. Tahun 2008 Pemerintah mengubah nama Program Jaminan Kesehatan Bagi
Masyarakat Miskin (PJKMM) menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas). PT Askes (Persero) berdasarkan Surat Menteri Kesehatan RI Nomor
112/Menkes/II/2008mendapat penugasan untuk melaksanakan Manajemen
Kepesertaan Program Jamkesmas yang meliputi tatalaksana kepesertaan,
tatalakasana pelayanan dan tata laksana organisasi dan manajemen. Sebagai
tindak lanjut atas diberlakukannya Undang-undang Nomor 40/2004 tentang SJSN
PT Askes (Persero) pada 6 Oktober 2008 PT Askes (Persero) mendirikan anak
perusahan yang akan mengelola Kepesertaan Askes Komersial. Berdasarkan Akta
Notaris Nomor 2 Tahun 2008 berdiri anak perusahaan PT Askes (Persero) dengan
nama PT AsuransiJiwa Inhealth Indonesia yang dikenal juga dengan sebutan PT
AJII.
g. Tahun 2009 Pada tanggal 20 Maret 2009 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan Nomor Kep-38/KM.10/2009 PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia selaku
anak perusahaan dari PT Askes (Persero) telah memperoleh ijin operasionalnya.
Dengan dikeluarkannya ijin operasional ini maka PT Asuransi Jiwa Inhealth
Indonesia dapat mulai menyelenggarakan asuransi kesehatan bagi masyarakat.
h. Tahun 2011 Terkait UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional di tahun 2011, PT Askes (Persero) resmi ditunjuk menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang meng-cover jaminan kesehatan
seluruh rakyat Indonesia yang tertuang dalam UU BPJS Nomor 24 tahun 2011.
i. Tahun 2014 Mulai tanggal1 Januari 2014, PT Askes Indonesia (Persero) berubah
nama menjadi BPJS Kesehatan sesuai dengan Undang-Undang no.24 tahun 2011
tentang BPJS.
b. Visi dan Misi
Visi BPJS Kesehatan
Visi BPJS Kesehatan ialah ”cakupan semesta 2019”. Paling lambat tanggal 1
Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan oleh BPJS.
Misi BPJS Kesehatan
Misi BPJS Kesehatan ialah membangun kemitraan strategis dengan berbagai
lembaga dan mendorong partisipasi masyarakat dalam perluasan kepesertaan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Misi tersebut adalah:
1. Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang efektif,
efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal dengan
fasilitas kesehatan.
2. Mengoptimalkan pengelolaan dana program jaminan sosial dan dana BPJS
Kesehatan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk mendukung
kesinambungan program.
3. Membangun BPJS Kesehatan yang efektif berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola
organisasi yang baik dan meningkatkan kompetensi pegawai untuk mencapai
kinerja unggul.
4. Mengimplementasikan dan mengembangkan sistem perencanaan dan evaluasi,
kajian, manajemen mutu dan manajemen risiko atas seluruh operasionalisasi BPJS
Kesehatan.
5. Mengembangkan dan memantapkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
mendukung operasionalisasi BPJS Kesehatan.
c. Landasan Hukum BPJS Kesehatan
Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai
bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Di
samping itu dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional
maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur,
peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota.
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam
kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang
mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh
warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya
yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang
mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.
BAB III
ANALISIS PERMASALAHAN
BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah salah satu program
pemerintah untuk mencapai cakupan pelayanan kesehatan yang menyeluruh pada
semua lapisan masyarakat. BPJS mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, diselenggarakan
berdasarkan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
dengan penyelenggara dari program ini adalah PT Askes (Persero).
Meskipun Jaminan Kesehatan Nasional dinilai terbukti dalam mengurangi
terjadinya ketimpangan dalam mengakses pelayanan kesehatan, selama empat tahun
lebih penyelenggarannya, BPJS mengalami pasang surut yang luar biasa. Dalam
implementasinya BPJS mengalami banyak masalah mulai dari defisit anggaran,
pelayanan yang kurang maksimal, hingga rumitnya dan panjangnya alur yang harus
dilakukan masyarakat atau pasien untuk mendapat perawatan.
1. Masalah BPJS Kesehatan
a. Defisit Anggaran
Tahun pertama (2014), BPJS mengalami defisit sebesar Rp3,3triliun. Tahun
berikutnya semakin membesar, yakni Rp5,7 triliun. Tahun 2016 tercatat BPJS
mengalami defisit Rp9,7 triliun, 2017 mencapai Rp9,75 triliun,hingga tahun 2018
diketahui tersisa Rp10,98 triliun menurut perhitungan dari BPKP. Defisit dana BPJS
diketahui bersumber dari berbagai pihak, baik masyarakat, pengelola BPJS kesehatan,
pengelola fasilitas pelayanan kesehatan, serta pemerintah. Selain itu, kabar
permasalahan dalam defisit dana BPJS serta berbagai kasus penolakan rumah sakit
dalam melayani peserta BPJS menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, menyebutkan bahwa iuran yang
diberlakukan saat ini belum sesuai perhitungan dari Dana Jaminan Sosial Nasional
(DJSN). Dana BPJS kesehatan pun kerap digunakan untuk menangani berbagai penyakit
katastropik, seperti penyakit jantung, gagal ginjal kronik, serta kanker yang sebenarnya
bias dilakukan pencegahan sebelum diberikan pengobatan penyakit. Hal ini terbukti
hingga Agustus 2018, dana BPJS Kesehatan yang digunakan untuk biaya penyakit
katastropik mencapai 21,07% atau Rp12 triliun dari keseluruhan biaya kesehatan.
Masalah lain yang muncul dalam fasilitas kesehatan adalah terjadinya inefisiensi
di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sampai Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjutan (FKTL), khususnya dalam sistem rujukan pelayanan yang masih tinggi. Tahun
2017, rujukan di FKTP sebesar 12% mengalami kenaikan pada tahun berikutnya menjadi
15,6%. Peningkatan rujukan tersebut dinilai mampu meningkatkan jumlah klaim yang
perlu dibayar oleh BPJS.
Faktor masalah di lingkungan pemerintah, baik pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat adalah adanya tunggakan Jaminan Kesehatan Daerah(Jamkesda) dan
penyalahgunaan dana. Dalam hasil pemeriksaan semester II tahun 2016, BPK
menemukan fakta bahwa 155 pemerintah daerah belum membantu mendukung
terlaksananya program JKN BPJS Kesehatan yang optimal. Selain itu, dalam
pelaksanaannya, dana BPJS rentan disalahgunakan oleh pemerintah daerah. Beberapa
contoh kasus penyalahgunaan dana kapitansi atau dana jasa pelayanan BPJS adalah
kasus yang terjadi di Medan, penyalahgunaan dana di kabupaten Jombang, kasus
korupsi dana BPJS oleh Bupati Subang sebesar Rp528 juta, serta Kepala Dinas Kesehatan
di Gresik, Mohammad Nurul Dohlam, yang terbukti melakukan tindak korupsi dana BPJS
sebesar Rp2,451 miliar.
Namun dapat kita ketahui pada berita-berita yang tersebar tentang gaji seorang
direktur BPJS yang sangat amat besar tersebut. Bagaimana mungkin perusahaan BPJS
mengalami defisit namun masih mampu membiayai gaji direktur BPJS dengan sangat
besar. Itu masih menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. Karena, tidak adanya
transparansi dari pihak pemerintah tentang alur keuangan dari BPJS Kesehatan.
Seperti yang terdapat dalam salah satu buku yang berjudul Administrasi
Pembangunan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa. Pemerintah harus bersikap
antisipasi, dimana pemerintah bersifat proaktif menggunakan perencanaan strategis
untuk menciptakan visi karena visi dapat membantu meraih peluang dalam menghadapi
krisis yang tidak terduga. Menjadi regulator, yaitu membuat kebijakan yang pro
terhadap kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas.
b. Pelayanan Yang Kurang Maksimal dan Panjangnya Alur BPJS-Kesehatan
Dari Hasil analisa tampak bahwa pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS-Kesehatan) belum maksimal, namun demikian masih terdapat
beberapa keluhan dari masyarakat khususnya peserta BPJS-Kesehatan khususnya cara
pelayanan pengambilan kartu BPJS yang hanya dipusatkan pada kantor utama di Teling,
sehingga antrian sangat panjang dan memakan waktu yang cukup lama untuk dilayani,
selain itu penjelasan dari pelaksana kurang jelas sehingga para calon peserta BPJS-
Kesehatan harus bola-balik untuk melengkapi berkas.
Demikian juga halnya ketika menjalani rawat inap di rumah sakit kadang-kadang
mendapatkan fasilitas yang tidak sesuai dengan fasilitasyang tertera pada kartu,atau
terpaksa harus dirawat pada Kelas yang lebih tinggi karena ruangan yang sesuai dengan
standar sudah penuh, sebagai akibatnya pasien terpaksa harus menambah biaya
perawatan atau pasien harus menunggu untuk menjalani rawat inap. Jikalau menjalani
rawat-inap pada kelas yang lebih tinggi pasien tidak mendapatkan konpensasi biaya
pengganti, sedangkan kalau menjalani rawat-inap pada kelas yang lebih rendah maka
pasien tidak mendapatkan penggantian selisih biayaperawatan.
Masalah lainnya terletak pada pelaksanaan di lapangan. Pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas dan klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit).
Masih ditemukan pasien yang harus mencari kamar karena banyak RS yang penuh.
Selain itu, banyak pasien yang sudah sekarat harus mencari ruang ICU/ICCU.
Seperti kasus yang dialami Pak Nur dipaksa oleh sebuah RS di Jambi untuk mencari
darah sendiri sebelum besoknya dioperasi. Seharusnya pihak BPJS dan Rumah sakit
sudah memiki kesepakatan atau membuat kebijakan tentang pertolongan kepada
kepada pasien yang membutuhkan pertolongan khusus.
2. Keterkaitan Antara Permasalahan BPJS dengan Ekonomi Publik dan Kebijakan publik
Dari penjabaran tentang permasalahan oleh BPJS Kesehatan tidak bisa dipungkiri
bahwa permaslahan tersebut memengaruhi tingkat Ekonomi Publik yang ada di
indonesia. Terlebih baru-baru ini adanya kebijakan tentang kenaikan iuran BPJS.
Padahal untuk masyarakat yang kurang mampu kenaikan tersebut dinilai sangat
merugikan. Banyak masyarakat yang mengeluh tentang kenaikan iuran tersebut.
Namun pihak BPJS dan pemerintah tetap melakukannya. Menurut saya, yang
masyarakat butuhkan dari kenaikan tersebut adalah peningkatan pelayanan dari pihak
BPJS ataupun rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Agar masyarakat kian
percaya akan pentingnya BPJS.
Makna dari pelaksanaan kebijakan publik merupakan suatu hubungan yang
memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan atau sasaran sebagai hasil akhir dari kegiatan
yang dilakukan pemerintah. Dapat penulis simpulkan bahwa kekurangan atau kesalahan
kebijakan publik akan dapat diketahui setelah kebijakan tersebut telah dijalankan atau
dilaksanakan, dan juga keberhasilan dari sebuah kebijakan publik akan dapat kita lihat
setelah kebijakan publik itu dilaksanakan yang mana ini adalah dampak dari evaluasi
atas pelaksanaan kebijakan publik tersebut.
Salah satu masalah yang paling sering terjadi pada penyelenggaraan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini adalah pada saat Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan untuk masyarakat melalui program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) belum terlaksana dengan baik dan maksimal. Khususnya di Kota
Pekanbaru sendiri masih banyak didapati maasalah terkait penyelenggaraan pelayanan
kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama maupun Fasilitas Kesehatan
Tingkat Rujukan. Diantaranya adalah adanya mitra yang menolak pasien peserta
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang kondisinya gawat darurat dan ada juga
yang menolak dengan alasan kamar penuh, hal ini membuat pasien peserta program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi tidak terlayani dengan baik.
Sebagai contoh yaitu laporan yang masuk ke Ombudsman RI Perwakilan Riau No:
0200/ LM/XII/2015/PKU laporan ini menyebutkan bahwa pelapor tidak mendapatkan
pelayanan disalah satu rumah sakit mitra yang menjadi mitra dari BPJS Kesehatan
padahal pelapor adalah peserta aktif program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
diselenggarkan BPJS Kesehatan. Kemudian laporan yang juga masuk ke Ombudsman RI
Perwakilan Riau No: 136/LM/2015/PKU laporan ini mengenai pelapor yang
mengeluhkan pelayanan salah satu mitra yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
yang melakukan penolakkan terhadap pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat
(JAMKESMAS). Perlu diketahui bahwa pesien JAMKESMAS yang memegang kartu
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang
mana merupakan salah satu peserta dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang diselenggarkan oleh BPJS Kesehatan.Dari kasus-kasus diatas menunjukan bahwa
pelayanan kebijakan publik yaitu Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan masih belum terlaksana dengan maksimal. Sektor-
sektor yang bermasalah tidak hanya terdapat pada BPJS Kesehatan sebagai badan
penyelenggara tetapi juga fasilitas-fasilitas kesehatan yang menjadi mitra baik fasilitas
kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat rujukan, terlepas dari itu
semua sektor masyarakata dan pihak-pihak terkait lainnya juga menjadi penyebab
belum maksimal nya pelaksanaan kebijakan publik ini.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian yang saya lakukan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tidak adanya transparansi dari pemerintah tentang sistem keuangan dari BPJS
Kesehatan;
2. Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial–Kesehatan (BPJS-Kesehatan) belum
professional karena belum terdapat peraturan yang membedakan antara urgency dan
Standar Operasional Pekerjaan (SOP) yang berlaku;
3. Terlalu bertele-tele dan belum terciptanya efisiensi dan efektiv.
B. Saran
1. Pemerintah perlu mengadakan trasnsparansi agar masyarakat mengetahui
kemana alur keuangan dari iuran yang selalu mereka beri kepada BPJS Kesehatan;
2. Perlu adanya peraturan setiap instansi RS atau RS pemerintah tentang
pertolongan pertama bagi pasien yang membutuhkan atau dalam kata lain yaitu
urgency;
3. Perlu adanya pemangkasan struktur guna terciptanya efektiv dan efisiensi dalam
bekerja maupun pelayanan kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2014. Buku Saku Reformasi
Birokrasi Edisi Revisi
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. 2020. Buku
Panduan Tim Reformasi Birokrasi
Primasari, Karleanne. 2015. Analisis Sistem Rujukan Jaminan Kesehatan Nasional RSUD. Dr.
Adjidarmoo Kabupaten Lebak. Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan. Vol. 1, No. 2 Halaman
80