Anda di halaman 1dari 20

REFORMASI BIROKRASI DALAM ADMINISTRASI

PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA

OLEH :

IKA LESTARI

M012022046

PROGRAM MAGISTER TERAPAN ADMINISTRASI


PEMBANGUNAN NEGARA
POLITEKNIK STIA LAN MAKASSAR
2022
BAB I

PENDAHULIAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang berazaskan Pancasila dan memiliki sumber
hukum yaitu UUD 1945. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum dan berbagai macam
peraturan baik itu undang-undang, perpres, perpu, peraturan pemerintah, perda, dan
lain sebagainya. Indonesia telah mengalami berbagai macam peristiwa yang menyangkut
sistem pemerintahan.
Kini Indonesia memasuki masa reformasi. Masa dimana demokrasi dan kebebasan
berpendapat menjadi yang utama di negeri ini. Sistem pemerintahan Indonesia dari
waktu ke waktu semakin berkembang. Sampai sekarang sudah terjadi banyak sekali
perubahan yang berarti dalam sistem pemerintahan Indonesia, salah satunya adalah
perubahan dalam sistem birokrasi.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melaksanakan
pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan terutama menyangkut aspek aspek aspek kelembagaan (organisasi),
ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.berbagai masalah
dan hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintah tidak berjalan
atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus di tata ulang atau
diperbaharui.salah satunya reformasi birokrasi dalam administrasi pelayanan kesehatan
sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kesehatan.
Indonesia merupakan negara yang besar memiliki permasalahan kesehatan yang
begitu kompleks.perlu ada reformasi birokrasi kesehatan dalam pelayanan publik .upaya
upaya yang dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan kesehatan,dengan harapan
pelayanan yang cepat,tepat,efisien ,efektif dan menyeluruh sesuai kebutuhan kesehatan
masyarakat.
Pemerintah bertanggung jawab dalam menyediakan jaminan kesehatan bagi warga
negara. Hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Perhatian pemerintah dalam kesejahteraan kesehatan ditunjukkan dengan adanya
rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan 2005-2025. Dalam visi program
tersebut diharapkan meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga dapat dicapai derajat kesehatan individu,
keluarga, dan masyarakat setinggi-tingginya (Kemenkes, 2009). Salah satu upaya
pemerintah untuk mencapai visi tersebut adalah dengan adanya sistem Jaminan
Kesehatan.
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar masyarakat
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Penyelenggaraan sistem jaminan
kesehatan ini dilakukan oleh suatu badan hukum yaitu Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan. (Depkes RI, 2013). Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi
semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas
Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Dalam Permenkes No 71 th 2013 ini juga memberikan penjelasan prosedur pelayanan
kesehatan bagi peserta BPJS, yaitu secara berjenjang sesuai kebutuhan medis dimulai
dari Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan
tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat
kedua atau tingkat pertama. Pelaksanaan rujukan berjenjang ini dikecualikan pada
keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien,
pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas.
Dalam realita, kita banyak menjumpai beragam masalah tentang rujukan berjenjang
ini. Permasalahan yang banyak dijumpai yaitu dimana pasien memeriksakan diri di suatu
Unit Gawat Darurat karena adanya masalah kesehatan yang membutuhkan penanganan
segera, namun setelah diperiksa tidak termasuk dalam kategori gawat darurat, sehingga
tidak dapat menggunakan fasilitas pelayanan BPJS. Banyak kasus juga terkait peserta
tidak mendapatkan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, karena
keterbatasan jam pelayanan fasilitas kesehatan tingkat pertama, sehingga pesertapun
juga tidak dapat mendapatkan falititas pelayanan BPJS
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Reformasi Birokrasi dalam Administrasi Kesehatan di Indonesia,
Salah Satu upaya pemerintah yaitu proses Transformasi PT ASKES (Persero) menjadi BPJS
Kesehatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Reformasi Birokrasi


1. Pengertian Reformasi Birokrasi
Secara umum reformasi birokrasi adalah proses menataulang, mengubah,
memperbaiki, dan menyempurnaka birokrasi agar menjadi lebih baik (profesional,
bersih, efisien, efektif, dan produktif). Reformasi birokrasi adalah upaya untuk
melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintah dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik good
governance (Kemenko Perekonomian, 2014).
Reformasi birokrasi merupakan upaya penataan mendasar yang diharapkan dapat
berdampak pada perubahan sistem dan struktur. Sistem berkaitan dengan hubungan
antara unsur dan elemen yang saling mempengaruhi dan berkaitan membentuk suatu
totalitas (Mustafa, 2013). Reformasi birokrasi harus mampu membentuk birokrasi
pemerintah yang mampu memperdayakan warganya agar mereka mampu bersaing
pada tingkat regional. Mampu melayani warga saja tidak cukup, tetapi harus mampu
memberi kontribusi dan mencari solusi bagi warganya agar memiliki daya saing yang
tinggi (Dwiyanto, 2015).
Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang
profesional dengan karakter adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi,
dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara dan secara umum
sasaran dari reformasi birokrasi adalah mengubah pola pikir (mind set), dan budaya
kerja (culture set), serta sistem manajemen pemerintahan yang lebih baik (Kemenko
Perekonomian, 2014).
2. Dasar Hukum Pelaksaan Reformasi Birokrasi
Dasar pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun
2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010
tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Secara teknis kedua kebijakan
tersebut dilengkapi dengan berbagai pedoman yang termuat dalam Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 7 s.d 15 Tahun 2011
(Kemenko Perekonomian, 2014).
3. Pentingnya Reformasi Administrasi Pelayanan Publik Bidang Kesehatan
Menurut (Widyani, 2015) Reformasi administrasi serangkaian intervensi yang
dipromosikan oleh badan politik atau administratif dan diperkenalkan untuk
beradaptasi administrasi publik terhadap perubahan ekonomi dan sosial. Tidak ada
setara dengan, seperti intervensi di sektor swasta, di mana kata reformasi tidak
digunakan. Perlunya reformasi di sektor publik dan stresing diletakkan pada intervensi
di daerah tergantung pada berbagai faktor.
Pertama-tama, administrasi publik biasanya lebih besar dari organisasi swasta dan
cenderung lebih stabil. Salah satu kondisi penting bagi pembangunan daerah yang
sukses dan partisipatif adalah penciptaan proses kebijakan inklusif. Proses ini
didasarkan pada premis bahwa kemitraan dan aliansi yang kuat antara pemerintah
daerah dan masyarakat sipil merupakan prasyarat untuk berpartisipasi ditingkatkan.
LSM dapat memfasilitasi interaksi sosial dan politik dan memobilisasi kelompok untuk
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi.
Reformasi administrasi di negara berkembang menjadi keharusan dan menjadi
perhatian utama pemerintah, menjadi bagian yang sangat penting dalam
pembangunan di negara sedang berkembang, terlepas dari tingkat perkembangan
atau kecepatan pertumbuhan dan arah serta tujuan (Zauhar, 2017).
Memberi pelayanan dan menjadi pelayan publik tidaklah mudah, apalagi melayani
manusia dengan berbagai karakter dan berbagai kalangan serta kelas yang berbeda.
Dibutuhkan pemikiran, sikap yang inovatif dalam membuat kebijakan bidang
pelayanan. Di semua bidang pelayanan tak terkecuali pelayanan bidang kesehatan.
Memberikan asuransi gratis tidaklah cukup bagi masyarakat, seiring perkembangan
jaman berbagai macam penyakit biaya pengobatan yang tinggi diperlukan strategi
reformasi administrasi penataan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas, humanis
dan berkeadilan, agar diterima dengan baik oleh warga negara serta sesuai dengan
prinsip- prinsip good governance.
B. Tinjauan Umum Area Perubahan Reformasi Birokrasi
1. Delapan Area Perubahan Reformasi Birokrasi
Delapan area perubahan dalam Reformasi Birokrasi yang menjadi fokus
pembangunan, antara lain sebagai berikut:
a. Manajemen Perubahan
Manajemen Perubahan bertujuan untuk mentransformasi sistem dan mekanisme
kerja organisasi serta mindset (pola pikir) dan culture set (cara kerja) individu ASN
menjadi lebih adaptif, inovatif, responsive, professional, dan berintegritas sehingga
dapat memenuhi tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang
semakin meningkat. Kondisi yang ingin dicapai pada area perubahan ini adalah :
1. Semakin konsistennya keterlibatan pimpinan dan seluruh jajaran pegawai dalam
melaksanakan reformasi birokrasi
2. Perubahan pola pikir dan budaya kerja kementerian yang semakin meningkat,
khususnya dalam merespon perkembangan zaman
3. Menurunnya resistensi terhadap perubahan
4. Budaya perubahan yang semakin melekat (embedded) pada kementerian
b. Deregulasi Kebijakan
Deregulasi kebijakan bertujuan untuk menyederhanakan regulasi dan menghapus
regulasi/kebijakan yang sifatnya menghambat. Selain melaksanakan deregulasi
kebijakan, kementerian diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan. Target yang ingin dicapai melalui
program ini adalah :
1. Menurunnya tumpang tindih dan disharmonisasi peraturan perundang
undangan yang dikeluarkan oleh istansi pemerintah
2. Meningkatnya efektivitas pengelolaan peraturan perundang- undangan
kementerian
3. Menurunnya kebijakan yang menghambat investasi/ perizinan/kemudahan
berusaha
c. Penataan dan Penguatan Organisasi
Penataan dan penguatan organisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas organisasi secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan
tugas masing-masing sehingga tercipta organisasi yang tepat fungsi dan tepat
ukuran. Selain itu, penataan dan penguatan organisasi juga diarahkan untuk
menciptakan organisasi pemerintah yang semakin sederhana dan lincah yang salah
satunya ditunjukkan dengan berkurangnya jenjang organisasi. Adapun kondisi yang
ingin dicapai melalui program ini adalah :
1. Menurunnya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi internal kementerian
2. Meningkatnya kapasitas kementerian dalam melaksanakan tugas dan fungsi
3. Terciptanya desain organisasi kementerian yang mendukung kinerja
4. Berkurangnya jenjang organisasi kementerian dalam rangka meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kerja
d. Penataan Tatalaksana
Penataan tatalaksana bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
sistem, proses, dan prosedur kerja pada kementerian. Salah satu yang perlu
diciptakan adalah dengan menerapkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
(SPBE) yang akan menjadi acuan dalam integrasi proses bisnis, data, infrastruktur,
aplikasi dan keamana SPBE untuk menghasilkan keterpaduan secara nasional.
Adapun kondisi yang ingin dicapai melalui program ini adalah :
1. Meningkatnya penggunaan teknologi informasi dalam proses penyelenggaraan
manajemen pemerintahan di kementerian
2. Terciptanya pemanfaatan teknologi informasi terintegrasi yang akan
menghasilkan keterpaduan proses bisnis, data, infrastruktur, dan aplikasi secara
nasional
3. Meningkatnya efektivitas dan efisiensi proses manajemen pemerintahan
4. Meningkatnya kinerja di kementerian
e. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur
Penataan sistem manajemen SDM Aparatur bertujuan untuk meningkatkan
profesionalisme SDM aparatur pada masing-masing kementerian / lembaga /
pemerintah daerah yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur
berbasis kompetensi, transparan, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan
kesejahteraan yang sepadan. Kondisi yang ingin dicapai melalui program ini adalah :
1. Meningkatnya ketaatan terhadap pengelolaan SDM aparatur pada kementerian
2. Meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan SDM aparatur pada
kementerian
3. Meningkatnya disiplin SDM Aparatur pada kementerian
4. Meningkatnya efektivitas manajemen SDM aparatur pada kementerian
5. Meningkatnya profesionalisme SDM Aparatur pada kementerian.
f. Penguatan Akuntabilitas
Penguatan Akuntabilitas Kinerja bertujuan untuk menciptakan kementerian yang
akuntabel dan berkinerja tinggi. Kondisi yang ingin dicapai pada area perubahan ini
adalah :
1. Meningkatnya komitmen pimpinan dan jajaran pegawai terhadap kinerja
dibandingkan sekedar kerja rutinitas semata
2. Meningkatnya kemampuan kementerian dalam mengelola kinerja organisasi
3. Meningkatnya kemampuan kementerian menetapkan strategi yang tepat untuk
mencapai tujuan organisasi
4. Meningkatnya efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran kementerian
g. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Peningkatan kualitas pelayanan publik bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik pada kementerian sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat.
Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah :
1. Meningkatnya kualitas pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah, lebih aman,
dan lebih mudah dijangkau) pada kementerian
2. Meningkatnya jumlah unit pelayanan yang memperoleh standardisasi pelayanan
internasional pada kementerian
3. Meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik oleh kementerian
h. Penguatan Pengawasan
Penguatan pengawasan bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada kementerian. Target yang ingin
dicapai melalui program ini adalah :
1. Meningkatnya kepatuhan dan efektivitas terhadap pengelolaan keuangan
negara oleh masing-masing kementerian
2. Menurunnya tingkat penyalahgunaan wewenang pada masing- masing
kementerian
3. Meningkatkan sistem integritas di kementerian dalam upaya pencegahan KKN
C. Tinjauan Umum Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K)
1. Transformasi PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan merupakan Badan Hukum Publik yang ditugaskan khusus oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai
Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran,
Perintis Kemerdekaan besertakeluarganya dan Badan Usaha lainnya. Sejarah singkat
penyelenggaraan program Asuransi Kesehatan sebagai berikut :
a. Pada tahun 1968, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang mengatur
pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan PenerimaPensiun (PNS dan
ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 230
Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di lingkungan
Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan
Kesehatan (BPDPK), oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A.
Siwabessy) yang kemudian Badan ini menjadi embrio Asuransi Kesehatan
Nasional.
b. Tahun 1984 Untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara profesional, pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan
Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat
Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum
Husada Bhakti.
c. Tahun 1991 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991,
kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikelola Perum
Husada Bhakti ditambah dengan Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta
anggota keluarganya. Disamping itu, perusahaan diijinkan memperluas
jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai peserta
sukarela.
d. Tahun 1992, Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status
Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan
fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat
dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih
mandiri.
e. Tahun 2005 Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1241/Menkes/XI/2004 PT Askes (Persero) ditunjuk sebagai penyelenggara
Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT Askes
(Persero) mendapat penugasan untuk mengelola kepesertaan serta pelayanan
kesehatandasar dan rujukan.
f. Tahun 2008 Pemerintah mengubah nama Program Jaminan Kesehatan Bagi
Masyarakat Miskin (PJKMM) menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas). PT Askes (Persero) berdasarkan Surat Menteri Kesehatan RI Nomor
112/Menkes/II/2008mendapat penugasan untuk melaksanakan Manajemen
Kepesertaan Program Jamkesmas yang meliputi tatalaksana kepesertaan,
tatalakasana pelayanan dan tata laksana organisasi dan manajemen. Sebagai
tindak lanjut atas diberlakukannya Undang-undang Nomor 40/2004 tentang SJSN
PT Askes (Persero) pada 6 Oktober 2008 PT Askes (Persero) mendirikan anak
perusahan yang akan mengelola Kepesertaan Askes Komersial. Berdasarkan Akta
Notaris Nomor 2 Tahun 2008 berdiri anak perusahaan PT Askes (Persero) dengan
nama PT AsuransiJiwa Inhealth Indonesia yang dikenal juga dengan sebutan PT
AJII.
g. Tahun 2009 Pada tanggal 20 Maret 2009 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan Nomor Kep-38/KM.10/2009 PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia selaku
anak perusahaan dari PT Askes (Persero) telah memperoleh ijin operasionalnya.
Dengan dikeluarkannya ijin operasional ini maka PT Asuransi Jiwa Inhealth
Indonesia dapat mulai menyelenggarakan asuransi kesehatan bagi masyarakat.
h. Tahun 2011 Terkait UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional di tahun 2011, PT Askes (Persero) resmi ditunjuk menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang meng-cover jaminan kesehatan
seluruh rakyat Indonesia yang tertuang dalam UU BPJS Nomor 24 tahun 2011.
i. Tahun 2014 Mulai tanggal1 Januari 2014, PT Askes Indonesia (Persero) berubah
nama menjadi BPJS Kesehatan sesuai dengan Undang-Undang no.24 tahun 2011
tentang BPJS.
b. Visi dan Misi
 Visi BPJS Kesehatan
Visi BPJS Kesehatan ialah ”cakupan semesta 2019”. Paling lambat tanggal 1
Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan oleh BPJS.
 Misi BPJS Kesehatan
Misi BPJS Kesehatan ialah membangun kemitraan strategis dengan berbagai
lembaga dan mendorong partisipasi masyarakat dalam perluasan kepesertaan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Misi tersebut adalah:
1. Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang efektif,
efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal dengan
fasilitas kesehatan.
2. Mengoptimalkan pengelolaan dana program jaminan sosial dan dana BPJS
Kesehatan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk mendukung
kesinambungan program.
3. Membangun BPJS Kesehatan yang efektif berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola
organisasi yang baik dan meningkatkan kompetensi pegawai untuk mencapai
kinerja unggul.
4. Mengimplementasikan dan mengembangkan sistem perencanaan dan evaluasi,
kajian, manajemen mutu dan manajemen risiko atas seluruh operasionalisasi BPJS
Kesehatan.
5. Mengembangkan dan memantapkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
mendukung operasionalisasi BPJS Kesehatan.
c. Landasan Hukum BPJS Kesehatan

Landasan Hukum BPJS Kesehatan:

1. Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial; dan
4. Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
3. Kebijakan Publik

Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai
bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Di
samping itu dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional
maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur,
peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota.
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam
kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang
mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh
warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya
yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang
mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.
BAB III
ANALISIS PERMASALAHAN

Masalah didefinisikan sebagai suatu pernyataan tentang keadaan yang belum


sesuai dengan yang diharapkan. Bisa jadi kata yang digunakan untuk menggambarkan
suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang
menghasilkan situasi yang membingungkan. Masalah biasanya dianggap sebagai suatu
keadaan yang harus diselesaikan. Umumnya masalah disadari "ada" saat seorang
individu menyadari keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan keadaan yang
diinginkan. Dalam beberapa literatur riset, masalah seringkali didefinisikan sebagai
sesuatu yang membutuhkan alternatif jawaban, artinya jawaban masalah atau
pemecahan masalah bisa lebih dari satu. Selanjutnya dengan kriteria tertentu akan
dipilih salah satu jawaban yang paling kecil risikonya. Biasanya, alternatif jawaban
tersebut bisa diidentifikasi jika seseorang telah memiliki sejumlah data dan informasi
yang berkaitan dengan masalah bersangkutan.
Menurut Notoadmojo “Masalah yakni merupakan suatu kesenjangan antara apa
yang seharusnya terjadi dengan apa yang sudah terjadi tentang suatu hal atau
kesenjangan antara kenyataan yang terjadi dengan yang seharusnya terjadi serta
harapan dan kenyataannya dari masalah tersebut.”

BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah salah satu program
pemerintah untuk mencapai cakupan pelayanan kesehatan yang menyeluruh pada
semua lapisan masyarakat. BPJS mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, diselenggarakan
berdasarkan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
dengan penyelenggara dari program ini adalah PT Askes (Persero).
Meskipun Jaminan Kesehatan Nasional dinilai terbukti dalam mengurangi
terjadinya ketimpangan dalam mengakses pelayanan kesehatan, selama empat tahun
lebih penyelenggarannya, BPJS mengalami pasang surut yang luar biasa. Dalam
implementasinya BPJS mengalami banyak masalah mulai dari defisit anggaran,
pelayanan yang kurang maksimal, hingga rumitnya dan panjangnya alur yang harus
dilakukan masyarakat atau pasien untuk mendapat perawatan.
1. Masalah BPJS Kesehatan

a. Defisit Anggaran
Tahun pertama (2014), BPJS mengalami defisit sebesar Rp3,3triliun. Tahun
berikutnya semakin membesar, yakni Rp5,7 triliun. Tahun 2016 tercatat BPJS
mengalami defisit Rp9,7 triliun, 2017 mencapai Rp9,75 triliun,hingga tahun 2018
diketahui tersisa Rp10,98 triliun menurut perhitungan dari BPKP. Defisit dana BPJS
diketahui bersumber dari berbagai pihak, baik masyarakat, pengelola BPJS kesehatan,
pengelola fasilitas pelayanan kesehatan, serta pemerintah. Selain itu, kabar
permasalahan dalam defisit dana BPJS serta berbagai kasus penolakan rumah sakit
dalam melayani peserta BPJS menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, menyebutkan bahwa iuran yang
diberlakukan saat ini belum sesuai perhitungan dari Dana Jaminan Sosial Nasional
(DJSN). Dana BPJS kesehatan pun kerap digunakan untuk menangani berbagai penyakit
katastropik, seperti penyakit jantung, gagal ginjal kronik, serta kanker  yang sebenarnya
bias dilakukan pencegahan sebelum diberikan pengobatan penyakit.  Hal ini terbukti
hingga Agustus 2018, dana BPJS Kesehatan yang digunakan untuk biaya penyakit
katastropik mencapai 21,07% atau Rp12 triliun dari keseluruhan biaya kesehatan.
Masalah lain yang muncul dalam fasilitas kesehatan adalah terjadinya inefisiensi
di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sampai Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjutan (FKTL), khususnya dalam sistem rujukan pelayanan yang masih tinggi. Tahun
2017, rujukan di FKTP sebesar 12% mengalami kenaikan pada tahun berikutnya menjadi
15,6%. Peningkatan rujukan tersebut dinilai mampu meningkatkan jumlah klaim yang
perlu dibayar oleh BPJS.
Faktor masalah di lingkungan pemerintah, baik pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat adalah adanya tunggakan Jaminan Kesehatan Daerah(Jamkesda) dan
penyalahgunaan dana. Dalam hasil pemeriksaan semester II tahun 2016, BPK
menemukan fakta bahwa 155 pemerintah daerah belum membantu mendukung
terlaksananya program JKN BPJS Kesehatan yang optimal.  Selain itu, dalam
pelaksanaannya, dana BPJS rentan disalahgunakan oleh pemerintah daerah. Beberapa
contoh kasus penyalahgunaan dana kapitansi atau dana jasa pelayanan BPJS adalah
kasus yang terjadi di Medan, penyalahgunaan dana di kabupaten Jombang, kasus
korupsi dana BPJS oleh Bupati Subang sebesar Rp528 juta, serta Kepala Dinas Kesehatan
di Gresik, Mohammad Nurul Dohlam, yang terbukti melakukan tindak korupsi dana BPJS
sebesar Rp2,451 miliar.
Namun dapat kita ketahui pada berita-berita yang tersebar tentang gaji seorang
direktur BPJS yang sangat amat besar tersebut. Bagaimana mungkin perusahaan BPJS
mengalami defisit namun masih mampu membiayai gaji direktur BPJS dengan sangat
besar. Itu masih menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. Karena, tidak adanya
transparansi dari pihak pemerintah tentang alur keuangan dari BPJS Kesehatan.
Seperti yang terdapat dalam salah satu buku yang berjudul Administrasi
Pembangunan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa. Pemerintah harus bersikap
antisipasi, dimana pemerintah bersifat proaktif menggunakan perencanaan strategis
untuk menciptakan visi karena visi dapat membantu meraih peluang dalam menghadapi
krisis yang tidak terduga. Menjadi regulator, yaitu membuat kebijakan yang pro
terhadap kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas.
b. Pelayanan Yang Kurang Maksimal dan Panjangnya Alur BPJS-Kesehatan
Dari Hasil analisa tampak bahwa pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS-Kesehatan) belum maksimal, namun demikian masih terdapat
beberapa keluhan dari masyarakat khususnya peserta BPJS-Kesehatan khususnya cara
pelayanan pengambilan kartu BPJS yang hanya dipusatkan pada kantor utama di Teling,
sehingga antrian sangat panjang dan memakan waktu yang cukup lama untuk dilayani,
selain itu penjelasan dari pelaksana kurang jelas sehingga para calon peserta BPJS-
Kesehatan harus bola-balik untuk melengkapi berkas.
Demikian juga halnya ketika menjalani rawat inap di rumah sakit kadang-kadang
mendapatkan fasilitas yang tidak sesuai dengan fasilitasyang tertera pada kartu,atau
terpaksa harus dirawat pada Kelas yang lebih tinggi karena ruangan yang sesuai dengan
standar sudah penuh, sebagai akibatnya pasien terpaksa harus menambah biaya
perawatan atau pasien harus menunggu untuk menjalani rawat inap. Jikalau menjalani
rawat-inap pada kelas yang lebih tinggi pasien tidak mendapatkan konpensasi biaya
pengganti, sedangkan kalau menjalani rawat-inap pada kelas yang lebih rendah maka
pasien tidak mendapatkan penggantian selisih biayaperawatan.
Masalah lainnya terletak pada pelaksanaan di lapangan. Pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas dan klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit).
Masih ditemukan pasien yang harus mencari kamar karena banyak RS yang penuh.
Selain itu, banyak pasien yang sudah sekarat harus mencari ruang ICU/ICCU.
Seperti kasus yang dialami Pak Nur dipaksa oleh sebuah RS di Jambi untuk mencari
darah sendiri sebelum besoknya dioperasi. Seharusnya pihak BPJS dan Rumah sakit
sudah memiki kesepakatan atau membuat kebijakan tentang pertolongan kepada
kepada pasien yang membutuhkan pertolongan khusus.
2. Keterkaitan Antara Permasalahan BPJS dengan Ekonomi Publik dan Kebijakan publik
Dari penjabaran tentang permasalahan oleh BPJS Kesehatan tidak bisa dipungkiri
bahwa permaslahan tersebut memengaruhi tingkat Ekonomi Publik yang ada di
indonesia. Terlebih baru-baru ini adanya kebijakan tentang kenaikan iuran BPJS.
Padahal untuk masyarakat yang kurang mampu kenaikan tersebut dinilai sangat
merugikan. Banyak masyarakat yang mengeluh tentang kenaikan iuran tersebut.
Namun pihak BPJS dan pemerintah tetap melakukannya. Menurut saya, yang
masyarakat butuhkan dari kenaikan tersebut adalah peningkatan pelayanan dari pihak
BPJS ataupun rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Agar masyarakat kian
percaya akan pentingnya BPJS.
Makna dari pelaksanaan kebijakan publik merupakan suatu hubungan yang
memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan atau sasaran sebagai hasil akhir dari kegiatan
yang dilakukan pemerintah. Dapat penulis simpulkan bahwa kekurangan atau kesalahan
kebijakan publik akan dapat diketahui setelah kebijakan tersebut telah dijalankan atau
dilaksanakan, dan juga keberhasilan dari sebuah kebijakan publik akan dapat kita lihat
setelah kebijakan publik itu dilaksanakan yang mana ini adalah dampak dari evaluasi
atas pelaksanaan kebijakan publik tersebut.
Salah satu masalah yang paling sering terjadi pada penyelenggaraan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini adalah pada saat Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan untuk masyarakat melalui program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) belum terlaksana dengan baik dan maksimal. Khususnya di Kota
Pekanbaru sendiri masih banyak didapati maasalah terkait penyelenggaraan pelayanan
kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama maupun Fasilitas Kesehatan
Tingkat Rujukan. Diantaranya adalah adanya mitra yang menolak pasien peserta
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang kondisinya gawat darurat dan ada juga
yang menolak dengan alasan kamar penuh, hal ini membuat pasien peserta program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi tidak terlayani dengan baik.
Sebagai contoh yaitu laporan yang masuk ke Ombudsman RI Perwakilan Riau No:
0200/ LM/XII/2015/PKU laporan ini menyebutkan bahwa pelapor tidak mendapatkan
pelayanan disalah satu rumah sakit mitra yang menjadi mitra dari BPJS Kesehatan
padahal pelapor adalah peserta aktif program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
diselenggarkan BPJS Kesehatan. Kemudian laporan yang juga masuk ke Ombudsman RI
Perwakilan Riau No: 136/LM/2015/PKU laporan ini mengenai pelapor yang
mengeluhkan pelayanan salah satu mitra yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
yang melakukan penolakkan terhadap pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat
(JAMKESMAS). Perlu diketahui bahwa pesien JAMKESMAS yang memegang kartu
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang
mana merupakan salah satu peserta dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang diselenggarkan oleh BPJS Kesehatan.Dari kasus-kasus diatas menunjukan bahwa
pelayanan kebijakan publik yaitu Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan masih belum terlaksana dengan maksimal. Sektor-
sektor yang bermasalah tidak hanya terdapat pada BPJS Kesehatan sebagai badan
penyelenggara tetapi juga fasilitas-fasilitas kesehatan yang menjadi mitra baik fasilitas
kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat rujukan, terlepas dari itu
semua sektor masyarakata dan pihak-pihak terkait lainnya juga menjadi penyebab
belum maksimal nya pelaksanaan kebijakan publik ini.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian yang saya lakukan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tidak adanya transparansi dari pemerintah tentang sistem keuangan dari BPJS
Kesehatan;
2. Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial–Kesehatan (BPJS-Kesehatan) belum
professional karena belum terdapat peraturan yang membedakan antara urgency dan
Standar Operasional Pekerjaan (SOP) yang berlaku;
3. Terlalu bertele-tele dan belum terciptanya efisiensi dan efektiv.
B. Saran
1. Pemerintah perlu mengadakan trasnsparansi agar masyarakat mengetahui
kemana alur keuangan dari iuran yang selalu mereka beri kepada BPJS Kesehatan;
2. Perlu adanya peraturan setiap instansi RS atau RS pemerintah tentang
pertolongan pertama bagi pasien yang membutuhkan atau dalam kata lain yaitu
urgency;
3. Perlu adanya pemangkasan struktur guna terciptanya efektiv dan efisiensi dalam
bekerja maupun pelayanan kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Nana Aziz. 2019. ADMINISTRASI PEMBANGUNAN: TEORI DAN IMPLEMENTASI.


Jakarta: Salemba Humanika.
Agus, Dwiyanto. 2015. Reformasi Birokrasi Kontekstual. Yogyakarta. UGM Press

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2014. Buku Saku Reformasi
Birokrasi Edisi Revisi

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. 2020. Buku
Panduan Tim Reformasi Birokrasi

Mustafa, Delly. 2013. Birokrasi Pemerintahan. Bandung. Alfabeta

Primasari, Karleanne. 2015. Analisis Sistem Rujukan Jaminan Kesehatan Nasional RSUD. Dr.
Adjidarmoo Kabupaten Lebak. Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan. Vol. 1, No. 2 Halaman
80

Pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang


Pelayanan Publik

Ramli.A, Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007

Rahardjo,Adisasmita, Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah. Makassar: PPKED,


2009

https://inspirasi2016.wordpress.com/2016/01/16/birokrasi-dan-pelayanan-publik/ 16.14 02-04-


2017

Taufiqurokhman. 2014. KEBIJAKAN PUBLIK PENDELEGASIAN TANGGUNG


JAWAB NEGARA KEPADA PRESIDEN SELAKU PENYELENGGARA PEMERINTAH. Jakarta
pusat: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maestopo Beragama Pers.

Tampi, andreas. 2016. DAMPAK PELAYANAN JAMINAN SOSIAL KESEHATAN


TERHADAP MASYARAKAT DI KELURAHAN TINGKULU. E-journal “akta diurna.” 5(1):
7-9.

Anda mungkin juga menyukai