Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN


WORK ENGANGEMENT PADA KARYAWAN GENERASI Y DI
KOTA MAKASSAR

JYSA NURSAKINAH

1771040033

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2021

1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL..................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................7

C. Tujuan Penelitian................................................................................7

D. Manfaat Penelitian..............................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................9


A. Work Engagement...............................................................................9

1. Pengertian Work Engagement.......................................................9

2. Aspek Work Engagement...........................................................12

3. Faktor yang Memengaruhi Work Engagement...........................13

B. Psychological Capital.......................................................................16

1. Pengertian Psychological Capital...............................................16

2. Aspek Psychological Capital.....................................................18

C. Generasi Y........................................................................................22

D. Hubungan antara Psychological Capital dan Work Engagement pada

Generasi Y .......................................................................................24

E. Kerangka Berpikir............................................................................25

F. Hipotesis...........................................................................................28

BAB III METODE PENELITIAN............................................................29


A. Identifikasi Variabel Penelitian........................................................29
B. Definisi Operasional.........................................................................29

C. Populasi dan Sampel Penelitian........................................................30

D. Teknik Pengumpulan Data...............................................................31

E. Teknik Analisis Data........................................................................34

F. Jadwal Rancangan Penelitian...........................................................35

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................37
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa dengan perkembangan globalisasi yang pesat ini organisasi

berusaha untuk menciptakan nilai keunggulan untuk dapat bersaing dengan

pasar dunia. Perusahaan menjadi sulit untuk berkembang dan memenangkan

persaingan bisnis jika tidak mampu menunjukkan keunggulan yang dimiliki

(Joner, 2010). Keunggulan perusahaan ini kemudian diperlukan untuk

mencapai tujuan organisasi. Luthans (2002) untuk menghadapi persaingan dan

mencapai tujuan organisasi utamanya, keduanya dapat dicapai melalui sumber

daya manusia berkualitas.

Organisasi modern pada era ini lebih tertarik untuk merekrut dan

mempertahankan karyawan yang proaktif, menunjukkan antusiasme, dan

berinisiatif untuk mengambil tanggung jawab atas pengembangan diri sebagai

pekerja. Organisasi mengharapkan karyawan memiliki komitmen pada standar

kinerja berkualitas tinggi dan bersedia mengambil tanggung jawab yang

melebihi job description karyawan (Soni & Rastogi, 2019). Karyawan yang

diharapkan adalah individu yang menunjukkan semangat kerja, dedikasi, dan

keterikatan atau memiliki work engagement dalam menjalani pekerjaan

(Bakker dkk., 2008).

Work engagement adalah keadaan keadaan ketika pikiran dan emosi

karyawan dalam keadaan positif untuk melakukan perannya atau pekerjaan

yang dimilikinya yang dapat diidentifikasi dari tiga karakteristik utama yaitu

1
2

semangat, dedikasi, dan absorbsi (Schaufeli dkk., 2008). Karyawan dengan

work engagement yang tinggi mampu menampilkan unjuk kerja terbaik

disebabkan karena perasaan senang dan menikmati pekerjaan yang dilakukan

(Schaufeli dkk., 2006). Markos dan Sridevi (2010) mengungkapkan bahwa

individu dengan tingkat work engagement tinggi akan terikat secara emosional

dengan pekerjaannya, mendedikasikan diri pada organisasi dan mampu

berpartisipasi secara penuh dalam pekerjaannya. Berdasarkan teori JD-R

Model, aspek pekerjaan dibedakan menjadi job demands dan job resources

yang akan secara positif atau negatif mempengaruhi work engagement

(Bakker & Demerouti, 2007). Individu akan sulit memiliki tingkat work

engagement tinggi jika dihadapkan dengan job demands (beban kerja atau

tekanan deadline), namun work engagement akan muncul jika kondisi ini

diimbangi dengan job resources yang sepadan (kejelasan peran atau

kesesuaian gaji).

Cenkci dan Özçelik (2015) mengemukakan bahwa karyawan berperan

penting dalam dunia pekerjaan, namun organisasi akan selalu berkembang dan

karyawan yang pensiun akan digantikan oleh pegawai dari generasi yang baru.

Karyawan dalam suatu perusahaan umumnya terbagi atas empat generasi yaitu

individu yang lahir di tahun 1925-1945 disebut traditionalist, individu yang

lahir di tahun 1946-1964 disebut baby boomers, individu yang lahir di tahun

1965-1981 disebut generasi X lahir, dan individu yang lahir di tahun 1982-

1999 disebut generasi Y atau milenial (Schullery, 2013). Pada tahun 2014,

36% dari generasi Y telah memasuki dunia kerja dan pada tahun 2020
3

sebanyak 46% generasi Y telah mendominasi dunia kerja (Park & Gursoy,

2012).

Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan work

engagement ditinjau dari generasi karyawan. Generasi Y memiliki tingkat

work engagement yang lebih rendah daripada generasi X dan Baby Boomers

(Park & Gursoy, 2012), dan selain itu 70% merasa tidak terikat (engaged)

dengan pekerjaannya sehingga cenderung memiliki intensi untuk keluar

(resign) dari pekerjaan tersebut (Willoughby, 2011). Menurut Sutrisno dan

Parahyanti (2018) Generasi Y memiliki intensi untuk keluar dari pekerjaan

karena tingkat engagement rendah. Generasi Baby Boomer adalah generasi

yang memiliki tingkat work engagement dan tingkat work meaningful yang

paling tinggi (Hoole & Bonnema, 2015). Meski begitu, karyawan generasi Y

adalah generasi sumber daya manusia yang paling disukai oleh perusahaan

karena dipandang sebagai generasi yang paling cerdas, rajin, dan percaya diri

(Zemke, Raines, & Filipczak, 2013). Sehinga perusahaan perlu

mempertahankan karyawan generasi Y yang dimiliki untuk meningkatkan

kualitas karyawan atau sumber daya manusia.

Hasil penelitian data awal oleh peneliti terhadap 50 pekerja generasi Y

yang berada di kota Makassar menunjukkan bahwa tingkat work engagement

rendah. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan skala adaptasi work

engagement (Daniswara 2012) menunjukkan bahwa terdapat 21 responden

berada pada kategori rendah (42%), terdapat 10 responden berada pada

kategori sedang (20%), dan terdapat 19 responden berada pada kategori tinggi
4

(38%). Hasil ini menunjukkan bahwa work engagement yang dimiliki

responden yaitu pekerja generasi Y di Makassar cenderung rendah.

Berdasarkan data awal, faktor dominan yang menjadi penyebab rendahnya

work engagement pekerja generasi Y di kota Makassar merupakan

psychological capital dengan persentase 63% dari 21 responden kategori work

engagement rendah. Dimensi dari psychological capital yang dominan

merupakan dimensi resiliensi dan optimisme. Sedangkan 37% dari 21

responden kategori work engagement rendah disebabkan oleh faktor job

demands.

Faktor yang mempengaruhi work engagement tidak hanya bersumber dari

pekerjaan tetapi juga bisa berasal dari individu (Bakker & Demerouti, 2008).

Salah satu sumber utama menurut Bakker dan Leiter (2010) yang dapat

mempengaruhi work engangement dari sejumlah faktor psikologis individu

adalah empat dimensi modal psikologis atau psychological capital. Luthans,

Youssef, dan Avolio (2007) mengemukakan bahwa empat modal psikologis

atau psychological capital ini merupakan kapasitas psikologis yang dapat

berkembang pada diri individu, kapasitas itu adalah self-efficacy, hope,

resiliency, dan optimism. Psychological capital merupakan hal yang sangat

penting dimiliki dan dapat dikembangkan melalui latihan. Avey, Luthans, dan

Mhatre (2011) mengemukakan bahwa ketika keempat karakteristik

psychological capital terkumpul pada diri individu, empat karakteristik

tersebut akan berhubungan positif dengan perilaku organisasi yang baik, salah

satunya work engagement.


5

Beberapa studi di Indonesia menemukan bahwa psychological capital dan

work engagement saling berhubungan. Misalnya, studi Muslim (2019)

menunjukkan bahwa tinggi rendahnya work engagement dipengaruhi oleh

faktor seperti optimis (optimism), efikasi diri (self-efficacy), dan harapan pada

masa depan (hope). Studi lain dari Purwasono (2019) menunjukkan bahwa ada

hubungan positif yang signifikan antara psychological capital dengan work

engagement pada 100 karyawan generasi Y di berbagai perusahaan Indonesia.

Hal yang menarik adalah partisipan dalam penelitian ini adalah karyawan

generasi Y. Dengan kata lain, generasi Y dapat memiliki work engagement

yang tinggi jika memiliki psychological capital yang tinggi.

Studi yang sama pada generasi Y dilakukan oleh Rachmawati, Mustika, &

Sjabadhyni (2018) pada 322 karyawan yang bekerja di berbagai jenis

organisasi (instansi pemerintah, BUMN dan swasta). Rachmawati dkk.

menemukan bahwa psychological capital secara signifikan dapat

meningkatkan work engagement generasi Y. Peneliti juga menyatakan bahwa

meski job resources (factor eksternal) dalam teori JD-R Model dapat secara

langsung memiliki efek pada work engagement, namun faktor internal

karyawan seperti psychological capital juga merupakan variabel yang penting

untuk mempengaruhi work engagement. Karena itu, penting bagi organisasi

untuk mepertimbangkan psychological capital sebagai strategi untuk

meningkatkan work engagement.

Gustitia (2019) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh

psychological capital terhadap work engagement dengan job crafting sebagai


6

variabel mediator pada karyawan Generasi Y. Penelitian ini menemukan

bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan antara ketiga variabel.

Gustitia (2019) mengemukakan bahwa individu dengan keadaan psikologis

positif dan inisiatif dalam membuat perubahan di lingkungan kerja akan

membuat karyawan merasa lebih terlibat (engaged) dengan pekerjaan.

Studi lain yang menemukan hubungan positif adalah studi Sutrisno dan

Parahyanti (2018). Peneliti menemukan bahwa terdapat hubungan positif

antara psychological capital dan work meaningfulness terhadap work

engagement karyawan generasi Y. Psychological capital dan work

meaningfulness bersama-sama memberikan pengaruh sebanyak 65.1% pada

tingkat work engagement. Dalam penelitian yang sama, ditemukan pula bahwa

dimensi optimisme dari psychological capital memiliki pengaruh signifikan

terhadap semua dimensi work engagement, yaitu vigor, dedication dan

absorption.

Dari beragam studi ini, peneliti meyakini bahwa work engagement

generasi Y memang rendah, dan menyebabkan individu mudah untuk keluar

dari pekerjaan (turn over). Namun, ketika memiliki psychological capital

(self-efficacy, hope, resiliency, dan optimism) yang tinggi, generasi Y akan

lebih mudah untuk terikat pada pekerjaannya (work engagement). Peneliti

akan menguji hal ini, dengan mengambil sampel karyawan di kota Makassa.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Hubungan antara modal psikologis (psychological

capital) dan work engagement pada Karyawan Generasi Y di Kota Makassar”.


7

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan

modal psikologis (psychological capital) dengan work engagement pada

Generasi Y di kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara modal

psikologis (psychological capital) dan work engagement pada Generasi Y di

Kota Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis pada penelitian ini diharapkan penelitian ini dapat

memberikan penambahan informasi dalam kajian ilmu psikologi,

terkhususnya pada bidang Psikologi Industri dan Organisasi.

2. Manfaat Praktis

a. Perusahaan atau organisasi, penelitian ini dapat dijadikan bahan

evaluasi dalam mengelola tenaga kerja atau karyawan khususnya

Generasi Y agar dapat terikat pada pekerjaan di perusahaan.


8

b. Responden, penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan dan

pertimbangan dalam menjalankan tugas di perusahaan khususnya

Generasi Y agar dapat terikat dengan pekerjaan.

c. Peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi

untuk peneliti selanjutnya dalam melakukan dan mengembangkan

variabel terkait dengan work engagement.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work Engagement

1. Pengertian Work Engagement

Kular dkk. (2008) mengemukakan bahwa hingga saat ini belum ditemukan

definisi yang universal dan konsisten terkait engagement itu sendiri sehingga

implementasi istilah engagement yang digunakan berbagai peneliti menjadi

beragam. Employee engagement merupakan istilah yang digunakan oleh Saks

(2006) dan work engagement digunakan oleh Schaufeli dkk. (2002). Work

engagement mengarah pada kaitan antara karyawan dan pekerjaannya, sementara

employee engagement mengacu pada kaitan antara karyawan dan perusahaannya

(Schaufeli & Bakker, 2004).

Konsep engagement pertama kali dikemukakan oleh Kahn yang

mendefinisikan engagement sebagai penguasaan karyawan dengan peran yang

dimiliki pada pekerjaannya, yang berarti individu mampu mengikat diri dengan

pekerjaannya, lalu mampu bekerja dan mengekspresikan diri secara kognitif,

emosional dan fisik saat bekerja (Kahn, 1990). Aspek kognitif merupakan

keyakinan karyawan terhadap perusahaan, pemimpin dan kondisi pekerjaan.

Aspek emosional merupakan perasaan karyawan mengenai perusahaan dan

pemimpinnya. Kemudian, aspek fisik merupakan energi yang diberikan karyawan

dalam melaksanakan perannya selama bekerja.

Engagement meliputi presensi atau individu secara psikologis maupun

fisik hadir dalam menunjukkan peran di perusahaan (Kahn, 1990). Engagement


10

memiliki tiga domain psikologis, yaitu kebermaknaan, keamanan dan ketersediaan

(Kahn, 1990). Domain tersebut yang kemudian akan mempengaruhi cara

karyawan menerima dan menjalankan peran di tempat kerja (Kahn, 1990).

Ilmuwan lain mendefenisikan work engagement sebagai lawan dari

burnout, dimana engagement merupakan keadaan emosional yang tetap dan

memiliki karakteristik berupa adanya level yang tinggi dalam keaktifan dan

perasaan senang (Maslach, Schaufeli & Leiter, 2001). Work engagement

merupakan keadaan yang positif terhadap pekerjaan disertai tingkat semangat dan

energi besar dan identifikasi yang kuat antara individu dan pekerjaannya (Bakker

& Leiter, 2010). Engagement dipandang sebagai kebalikan dari burnout sehingga

karyawan yang terikat (engaged) mampu membangun hubungan kuat dan efektif

dengan pekerjaan (Bakker & Leiter, 2010).

Work engagement dan burnout digambarkan sebagai kutub yang

berlawanan pada kontinum yang sama, yaitu burnout berada di kutub negatif dan

work engagement berada di kutub positif (Schaufeli & Bakker, 2004). Penelitian

terkait burnout telah memberi sumbangsi pada perkembangan definisi operasional

engagement bahwa burnout dan work engagement merupakan kutub yang

berlawanan. Namun pandangan ini belum diterima dengan baik dan Maslach

Burnout Index (MBI) sebagai instrumen tunggal yang digunakan untuk

membuktikan konsep tersebut masih dipertanyakan oleh peneliti lain (Lee & Ok,

2012).
11

Schaufeli dkk. (2002) mengungkapkan pandangan yang berbeda mengenai

teori work engagement. Work engagement dideskripsikan sebagai keadaan positif

dan berkaitan dengan pemenuhan diri. Work engagement merupakan kondisi kerja

individu yang ditandai dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Vigor

merupakan tingkat energi dan ketahanan mental yang tinggi selama bekerja,

keinginan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh pada pekerjaan dan gigih

dalam menghadapi kesulitan. Dedication merupakan perasaan terkait pekerjaan

yang penuh makna, antusiasme, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Kemudian,

absorption merupakan konsentrasi penuh, hasrat dan minat mendalam pada

pekerjaan hingga mampu merasakan waktu berlalu lebih cepat dan sulit

melepaskan diri dari pekerjaan.

Work engagement merupakan kondisi dimana individu mampu terikat

(engaged) pada pekerjaannya dan jika individu tersebut dapat mengidentifikasikan

diri secara psikologis dengan pekerjaan, serta menganggap kinerja adalah hal

penting bagi diri sendiri, bukan hanya bagi organisasi. Karyawan yang memiliki

work engagement tinggi cenderung memiliki tendensi kuat pada pekerjaan yang

dilakukan dan sangat peduli dengan pekerjaan yang dimiliki (Robbins, 2013).

Work engagement bukan hanya keadaan sesaat dan merupakan keadaan

yang bergerak tetap meliputi aspek kognitif dan afektif yang tidak hanya berfokus

pada peristiwa, individu, objek, atau perilaku tertentu (Schaufeli dkk., 2002).

Schaufeli dkk. (2002) mengungkapkan bahwa konsep work engagement memiliki

batasan yaitu sebagai penerimaan yang kuat terhadap pelaksanaan pekerjaan.


12

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa work

engagement merupakan keadaan motivasional yang positif dan terdapat

pemenuhan diri dalam pekerjaan yang ditandai dengan vigor, dedication dan

absorption.

2. Aspek Work Engagement

Schaufeli dkk. (2002) mengemukakan bahwa work engagement

merupakan kondisi saat memiliki motivasi yang positif, pemenuhan, dan kesan

mengenai kondisi kerja dengan karakteristik berupa vigor (kekuatan), dedication

(dedikasi) dan absoption (absorpsi). Aspek-aspek dari work engangement menurut

Schaufeli dan Bakker (2004) adalah:

a. Vigor (kekuatan)

Vigor adalah kondisi semangat yang tinggi dan resiliensi atau

ketahanan, keinginan untuk senantiasa berusaha, pantang menyerah dan tekun

saat menghadapi kesulitan. Individu dengan vigor yang tinggi biasanya

memiliki energi besar, semangat yang menggebu, dan stamina saat bekerja.

Sebaliknya, individu dengan vigor rendah akan kurang berenergi, pesimis,

segan dan mudah lelah saat bekerja.

b. Dedication (Dedikasi)

Dedication adalah kondisi saat karyawan memiliki perasaan bahwa

pekerjaan yang dimiliki bermakna, terdapat antusiasme saat bekerja, bangga

melakukan pekerjaan yang dimiliki, dan terinspirasi serta tertantang oleh

pekerjaannya. Individu dengan dedication yang tinggi akan mampu

mengidentifikasi pekerjaan dengan diri. Individu juga menjadikan pengalaman


13

bekerjanya sebagai hal yang berharga, menginspirasi dan menantang sehingga

biasanya merasa antusias saat bekerja. Individu dengan dedication yang

rendah akan sulit mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena tidak

memandang pekerjaannya memiliki makna, menginspirasi atau menantang

sehingga apatis dan pasif saat bekerja.

c. Absorption (Absorpsi)

Absorption adalah kondisi yang terjadi ketika karyawan melakukan

konsentrasi penuh dan mendalam hingga merasa tenggelam dalam pekerjaan.

Waktu berlalu dengan cepat dan tidak terasa saat bekerja. Kondisi ini

mempengaruhi individu sehingga sulit memisahkan diri dari pekerjaan dan

mampu melupakan segala hal di sekitarnya. Individu dengan absorption yang

tinggi akan mampu untuk merasa senang jika perhatiannya dan waktunya

tersita oleh pekerjaan, terhanyut dalam pekerjaan dan menikmati waktu

bekerja. Sebaliknya, individu dengan absorption yang rendah mudah merasa

bosan saat bekerja dan sulit merasa nyaman jika bekerja dalam waktu yang

lama.

Berdasarkan beberapa aspek yang telah diuraikan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa aspek work engagement yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu berdasarkan konsep Schaufeli dan Bakker (2004) dengan tiga aspek, yaitu

vigor (kekuatan), dedication (dedikasi) dan absoption (absorpsi).

3. Faktor yang Memengaruhi Work Engagement


14

Bakker dan Demerouti (2007) mengemukakan terdapat beberapa faktor

yang dapat memengaruhi work engagement menurut Job Demand-Resources (JD-

R) Model, yaitu:

a. Job demands

Job demands atau tuntutan pekerjaan merupakan keadaan karyawan

berdasarkan beban pekerjaan. Job demands memiliki tiga aspek yaitu

aspek fisik (jam kerja yang berlebihan, kelelahan fisik, tata letak

ruangan dan lingkungan kerja yang tidak kondusif), aspek psikologis

(tekanan deadline oleh tugas pekerjaan, kesulitan untuk menuntaskan

pekerjaan), aspek sosial (hubungan emosional negatif dengan klien,

hubungan tidak harmonis dengan rekan kerja dan atasan), dan aspek

organisasional (perasaan tidak aman mengenai jenjang karir, masa depan

status kerja, dan peran yang ambigu).

b. Job resource

Job resource merupakan aspek pada pekerjaan yang memiliki fungsi

dalam mencapai tujuan pekerjaan dan mampu mengurangi efek dari job

demands yang mampu menstimulasi proses belajar dan perkembangan

karyawan. Job resources memiliki tiga dimensi, yaitu level organisasi

(kesesuaian gaji yang diperoleh dengan beban tugas yang dimiliki,

kesempatan jenjang pengembangan karir dalam perusahaan, dan

ketersediaan informasi dalam perusahaan), level interpersonal

(komunikasi yang lancar dan baik sesama rekan kerja, dukungan dari

atasan, iklim kelompok kerja yang positif), level tugas (keikutsertaan


15

dalam pengambilan keputusan, kejelasan peran dalam lingkungan kerja,

dan jenis pekerjaan yang variatif).

c. Personal resource

Personal resource merupakan aspek individu yang pada dasarnya

memiliki hubungan dengan resiliensi dan keberhasilan dalam

mengontrol dampak dari lingkungan pekerjaan. Personal resources

memiliki tiga dimensi, yaitu self-efficacy, self-esteem, dan optimism.

Self-efficacy merupakan yakin atas kemampuan untuk melakukan

perencanaan dan manajemen diri saat bekerja, mengubah pengalaman

menjadi kekuatan saat menyelesaikan pekerjaan, serta yakin akan

kemampuan yang dimiliki merupakan keahlian yang dapat diandalkan

untuk sukses. Self-esteem merupakan perasaan dihargai dalam bekerja,

puas akan performa kerja, tidak mencela performa rekan kerja, berani

mengambil resiko demi kemajuan. Kemudian, optimisme merupakan

pandangan positif terkait permasalahan, yakin dapat menguasai keadaan

dan masa depan karir, menghilangkan pemikiran negatif dan berpikir

secara logis, serta meningkatkan kemampuan apresiatif pada hal yang

ada di dunia.

Dua aspek dalam personal resource adalah yaitu pada dimensi self-

efficacy dan optimism adalah aspek dari psychological capital. Grover

dkk. (2018) menyatakan bahwa psychological capital dapat

dikategorisasikan sebagai personal resource berdasarkan bagaimana dan

sejauh mana fungsinya dalam JD-R Model.


16

d. Psychological Capital

Sebagai salah satu personal resources dalam JD-R model,

beberapa studi sebelumnya (misalnya Purwasono, 2017; Rachmawati &

Mustika & Sjabadhyni, 2018) menemukan bahwa faktor utama yang

dapat mepengaruhi work engagement adalah pychological capital.

Berdasarkan beberapa faktor yang telah diuraikan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement yaitu,

job demands, job resource, dan personal resources. Personal resources menjadi

faktor yang berkolerasi dan dipengaruhi oleh psychological capital dimana pada

dimensi personal resource yaitu self-efficacy dan optimism termasuk pada aspek

dalam psychological capital.

B. Psychological Capital

1. Pengertian Psychological Capital

Psychological capital pertama kali dibahas berdasarkan pembahasan

mengenai positive organizational behavior (POB) yang merupakan studi

terkait kekuatan sumber daya positif dan kapasitas psikologis yang dapat

diukur, dikembangkan, dan diatur untuk meningkatkan perfoma pada tempat

kerja (Luthans, 2010). Kapasitas psikologis yang dimaksud memiliki

karakteristik yang tidak sama dengan traits yang bersifat tetap dan sulit

berubah, namun cenderung lebih fleksibel sehingga memungkinkan perubahan

selama masa hidup dan dapat dipengaruhi oleh faktor situasional dalam hidup

(Luthans dkk., 2007). Trait adalah karakteristik yang relatif menetap pada
17

individu, sedangkan state merupakan tingkah laku, pikiran, dan tindakan yang

dapat dipelajari dan dikembangkan oleh semua orang (Feist & Feist, 2010).

Psychological capital atau PsyCap merupakan faktor inti dari kriteria

POB karena berdasarkan paradigma psikologi positif, PsyCap merupakan salah

satu state psikologis dalam kriteria POB. PsyCap melampaui human capital

(pengetahuan dan keterampilan individu) dan social capital (nilai kelompok

dan jaringan sosial) yang melibatkan investasi dan pengembangan untuk

mampu menunjukkan keunggulan kompetitif individu (Luthans dkk., 2005).

Luthans dkk. (2007) mengemukakan bahwa psychological capital adalah

bagian dari perkembangan individu yang identik dengan (1) percaya diri

mengambil dan mengeluarkan usaha untuk melaksanakan tugas menantang

(self-efficacy); (2) bersikap positif terkait keberhasilan pada masa ini dan masa

depan (optimism); (3) tekun untuk mencapai target atau tujuan dan mampu

menganggap jalan meraih target sebagai bagian dari keberhasilan itu sendiri

(hope); (4) saat ditimpa masalah atau kesulitan dapat bertahan dan bangkit

kembali bahkan melampaui keadaan semula agar mencapai keberhasilan

(resiliency).

Kemudian, psychological capital juga didefinisikan sebagai bagian dari

kepribadian yang dapat menentukan produktivitas individu. Psychological

capital yang berupa persepsi terhadap diri sendiri, sikap saat melakukan

pekerjaan, orientasi nilai dan etika, serta gambaran umum mengenai kehidupan

yang mampu mempengaruhi produktivitas kerja (Lehoczky, 2013). Zhao dan

Hou (2009) mengemukakan bahwa psychological capital merupakan sumber


18

daya psikologis positif dalam diri individu yang berguna untuk memprediksi

kombinasi kondisi psikologis individu dengan tingkat kinerja tinggi dan indeks

kebahagiaan saat bekerja. Kondisi mental positif tersebut mampu menstimulus

perilaku organisasi positif, membuat individu rajin melakukan perilaku yang

sesuai dan mencapai kinerja yang lebih tinggi dan kepuasan kerja.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa

psychological capital adalah modal psikologis yang merupakan bagian dari

kepribadian individu yang dapat berubah dan berkembang serta mampu

mempengaruhi produktivitas individu dalam bekerja.

2. Aspek Psychological Capital

Luthans dkk. (2007) mengemukakan bahwa psychological capital

merupakan bagian dari perkembangan individu manusia yang identik dengan

self-efficacy, hope, resiliency, dan optimism. Berdasarkan definisi tersebut,

maka aspek dari psychological capital sebagai berikut:

1. Self-efficacy (efikasi diri)

Self-efficacy merupakan keyakinan atau rasa percaya diri akan

kemampuan dalam mengatur motivasi diri, potensi kognitif, dan

melakukan beberapa langkah upaya agar mampu mencapai keberhasilan.

Individu dengan self-efficacy tinggi umumnya memiliki karakteristik

sebagai berikut: (a) mampu melakukan penentuan target yang tinggi atau

sesuai bagi dirinya dan mengerjakan tugas yang sulit; (b) bersedia

dengan senang hati menerima tantangan secara terbuka; (c) mempunyai

motivasi tinggi; (d) mengupayakan diri agar mencapai target yang telah
19

ditentukan; dan (e) tekun atau gigih saat menghadapi hambatan.

Individu dengan tingkat self-efficacy yang tinggi mampu melaksanakan

tugas secara efektif dan mengembangkan dirinya secara mandiri.

Individu dengan self-efficacy rendah akan memiliki keraguan pada diri

sendiri, memberikan umpan balik negatif, mengkritik halangan yang

diterima, dan berpotensi mengalami kegagalan berulang (Luthans dkk.,

2007).

2. Hope (harapan)

Hope atau harapan merupakan keadaan saat individu memiliki

motivasi positif (Luthans dkk., 2007). Hope merupakan hasil proses

pengaruh timbal balik antara (1) kekuatan keinginan (willpower) yaitu

semangat yang dimiliki agar mampu menyelesaikan tujuan dan (2)

perencanaan untuk mencapai tujuan (waypower) yaitu semangat yang

dimiliki agar mampu meraih kesuksesan (Luthans dkk., 2007). Hope

adalah suatu proses kognitif di mana individu dapat menyusun target

pribadi, tujuan, ataupun ekspektasi menantang yang realistis dan sesuai

kapabilitas individu (Luthans dkk., 2015).

Hope membantu individu untuk mampu menggapai target tersebut

dengan tekad, upaya, semangat dan pengendalian diri internal (Luthans

dkk., 2015). Sehingga hope melibatkan willpower sebagai pemicu

motivasi diri dan penjaga energi agar tetap fokus mencapai tujuan, serta

waypower sebagai proses berpikir yang menghasilkan beberapa rencana

untuk mencapai tujuan (Synder, C. R., Irving, L., & Anderson, 1991).
20

Hope juga memiliki keterkaitan dengan kapabilitas individu untuk

membayangkan keadaan hidup di masa depan yang kemudian memacu

perkembangan perspektif untuk menciptakan target baru, jalur

kehidupan (pathway), dan prediksi hidup secara umum (Luthans dkk.,

2007).

3. Resiliency (resiliensi)

Resiliency atau resiliensi merupakan kecakapan individu untuk

bangkit kembali dari masa yang sulit, kegagalan, konflik, juga dari

persitiwa yang baik, perkembangan hidup atau diri, dan kenaikan

tanggung jawab (Luthans dkk., 2007). Individu dengan resiliensi tinggi

akan mampu untuk senantiasa belajar dan mengembangkan diri saat

berhadapan dengan tantangan dalam hidup. Relisiensi merupakan

sebuah kemampuan atau kompetensi individu saat menghadapi kesulitan

dan berkembang setelah masa sulit tersebut (Luthans dkk., 2015).

Masten dan Reed (Luthans dkk., 2007) mengemukakan bahwa

resiliensi merupakan pola adaptasi positif yang dilakukan individu jika

berada dalam situasi beresiko. Resiliensi memerlukan kepiawaian dalam

menghadapi kehidupan sehari-hari dan daya tahan psikologis yang dapat

diidentifikasi, diukur, dan dikembangkan. Resiliensi dapat ditingkatkan

dengan beberapa aspek penting berupa kemampuan kognitif, watak atau

tabiat diri, stabilitas emosi, regulasi diri, keyakinan akan diri, pandangan

positif mengenai diri sendiri dan kehidupan, minat secara umum, dan

selera humor (Luthans dkk., 2015).


21

4. Optimism (Optimisme)

Optimisme merupakan suatu cara menginterpretasi kejadian-

kejadian dalam hidup. Saat individu dengan optimisme mengalami

kejadian positif, mampu memandang kejadian tersebut sebagai hal yang

dapat terjadi karena diri sendiri, bersifat tetap, dan dapat terjadi dalam

berbagai situasi. Sementara pada kejadian-kejadian negatif, individu

memandangnya sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar

kendali atau tidak menyalahkan diri sendiri, bersifat sementara, dan

hanya mungkin terjadi pada situasi tertentu saja. Optimisme merupakan

gagasan yang dimuat dalam psikologi positif yaitu berupa harapan masa

depan yang positif dan terbuka terkait perkembangan diri individu yang

konstan.

Luthans dkk. (2007) mengemukakan bahwa optimisme pada

psychological capital bukan sekadar sebuah perasaan positif yang egois

namun berupa suatu proses belajar yang bersifat kukuh terkait

penguasaan diri, kemampuan menganalisis kesalahan di masa lalu, dan

kemampuan mencegah kejadian buruk yang menciptakan individu lebih

fleksibel dan realistis mengenai hidup. Individu yang memiliki

optimisme tinggi dapat dengan mudah membuat makna secara kognitif

dan emosional saat dihadapi kondisi membahagiakan dan kesuksesan.

Optimisme juga mampu membentuk seseorang yang lebih mudah

berterimakasih untuk pihak-pihak yang terlibat, termasuk diri sendiri

(Luthans dkk., 2007).


22

Berdasarkan berbagai aspek yang telah diuraikan diatas, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa aspek psychological capital yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu menurut Luthans dkk. (2007) yang memiliki empat aspek,

yaitu self-efficacy (efikasi diri), hope (harapan), resiliency (resiliensi), dan

optimism (optimisme).

C. Generasi Y

Generasi Y atau milenial merupakan individu yang lahir di antara tahun

1982-1999 (Gustitia, 2019). Generasi Y adalah generasi pertama yang tumbuh

dalam dunia yang penuh dengan media digital (Zemke, Raines, & Filipczak,

2013). Menurut Zemke, Raines, dan Filipczak, dua pertiga dari generasi Y

menggunakan komputer sebelum usia lima tahun sehingga memudahkan untuk

memiliki akses 24 jam dengan teman, orang tua, informasi, dan hiburan.

Generasi Y mulai memasuki dunia kerja setelah generasi baby boomer

pensiun (Marais, 2013). Pada tahun 2014, 36% dari generasi Y telah memasuki

dunia kerja dan pada tahun 2020 sebanyak 46% generasi Y telah mendominasi

dunia kerja (Park & Gursoy, 2012). Generasi Y umumnya dihormati dan

dikenal di tempat kerjanya karena selalu ingin berkembang dan belajar

(Gustitia, 2019). Studi Luntungan dkk. (2014) menemukan bahwa generasi Y

(a) berorientasi pada hasil; (b) memiliki perilaku komunikasi frontal; dan (c)

memperhatikan pengaruh sosial dan mengutamakan kepuasan kerja. Generasi

Y dituntut dengan ekspektasi yang tinggi dalam pekerjaan karena dipandang


23

sebagai generasi yang paling cerdas, rajin, dan percaya diri (Zemke, Raines, &

Filipczak, 2013).

Meier & Crocker (2010) mengungkapkan bahwa generasi Y berbeda

dengan generasi tua yang bergantung pada pekerjaannya, individu yang lahir

pada generasi Y tidak memiliki rasa ketergantungan dan tidak menganggap

pekerjaan sebagai hal terpenting dalam hidupnya. Jika merasa lingkungan kerja

tidak menghargai diri sendiri, generasi Y tidak akan ragu untuk meninggalkan

organisasi atau pekerjaannya (Hoole & Bonnema, 2015). Sutrisno dan

Parahyanti (2018) mengemukakan bahwa hal tersebut terjadi karena Generasi

Y memiliki tingkat work engagement yang rendah. Pernyataan ini didukung

oleh hasil survei Gallup (Willoughby, 2011) yang mengungkapkan bahwa

sebanyak 70% karyawan generasi Y merasa tidak terikat (engaged) dengan

pekerjaannya.

Sutrisno dan Parahyanti (2018) mengemukakan bahwa psychological

capital dapat meningkatkan work engagement karyawan generasi Y.

Psychological capital merupakan salah satu sumber daya yang krusial dan

penting untuk dimiliki individu dalam dunia kerja (Luthans dkk., 2007).

Sehingga membangun karakter karyawan Generasi Y berbasis psychological

capital akan membantu perkembangan work engagement. Berdasarkan studi

Staples (2014) terkait psychological capital pada 474 karyawan yang dengan

generasi beragam, ditemukan bahwa secara umum generasi Y memiliki tingkat

psychological capital rendah. Hal ini ditandai oleh hasil skor rendah pada
24

dimensi efficacy dan resiliency, skor sedang pada optimism, kemudian skor

tinggi pada dimensi hope.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa generasi

Y atau milenial adalah individu yang lahir pada tahun 1982-1999 yang

mendominasi dunia kerja saat ini dan memiliki karakteristik yang baik sebagai

sumber daya manusia pada masa digital ini.

D. Hubungan antara Psychological Capital dan Work Engagement pada

Generasi Y

Karyawan generasi Y pada umumnya menginginkan pekerjaan yang

memberi kesempatan untuk memainkan peran dan melakukan pekerjaan yang

bermakna (Martin, 2005). Namun apabila tidak menemukan hal ini dalam

pekerjaan atau organisasi, intensi turnover yang dimiliki akan meningkat.

Survei Gallup (Willoughby, 2011) menemukan bahwa sebanyak 70%

karyawan generasi Y merasa tidak terikat (engaged) dengan pekerjaannya dan

persentase ini jauh lebih banyak dibandingkan generasi sebelumnya.

Survei University of California (Gustitia, 2019) pun menunjukkan bahwa

70% karyawan generasi Y berencana untuk berganti pekerjaan setelah

perekonomian membaik, 80% menyatakan bahwa partisipan menginginkan

umpan balik langsung dibandingkan dengan penilaian kinerja tradisional, 43%

merasa sangat yakin akan mendapatkan pekerjaan lain jika berhenti atau
25

kehilangan pekerjaan saat ini, dan 65% menyatakan bahwa pengembangan diri

adalah faktor yang paling berpengaruh dalam pekerjaan saat ini.

Park dan Gursoy (2012) mengemukakan bahwa karyawan yang lahir

pada generasi Y cenderung dua kali lebih besar untuk berhenti dari

pekerjaannya setelah bekerja selama satu tahun dibandingkan karyawan yang

lahir pada generasi X. Turnover yang tinggi dalam suatu perusahaan

menunjukkan rendahnya komitmen terhadap organisasi, dan secara tidak

langsung menunjukkan rendahnya work engagement. Halbesleben dan Wheeler

(2008) mengungkapkan bahwa karyawan merasa tidak terlibat dalam

pekerjaannya atau memiliki work engagement rendah disebabkan oleh tidak

adanya kesempatan untuk menginvestasikan diri dan energi dalam pekerjaan

serta rendahnya pemaknaan yang didapatkan pada pekerjaan sehingga individu

lebih memilih untuk keluar dari perusahaan. Penyebab ini termasuk beberapa

aspek dari JD-R Model, yaitu kurangnya kesempatan pengembangan diri yang

termasuk pada level organisasi dan level tugas dalam job resources dan

pemaknaan rendah pada pekerjaan yang termasuk pada tingkat optimisme

dalam personal resources atau psychological capital.

Selain fakta bahwa lingkungan kerja sedang didominasi oleh para

generasi Y, organisasi juga sangat membutuhkan generasi Y ini karena

dipandang sebagai generasi yang paling dibutuhkan untuk menghadapi

tantangan dunia bisnis di era digital ini dibanding generasi lainnya (Zemke, R.,

Raines, C., & Filipczak, 2013). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

perusahaan perlu memperhatikan tingkat work engagement karyawan


26

khususnya generasi Y dengan cara mempertimbangkan faktor-faktor seperti

psychological capital yang dapat dikembangkan seiring berjalannya waktu.

E. Kerangka Berpikir

Sumber daya manusia berkualitas merupakan hal yang paling diperlukan

suatu perusahaan untuk dapat mencapai tujuan organisasi dan menghadapi

persaingan global. Karyawan yang paling dibutuhkan adalah karyawan yang

memiliki semangat kerja, dedikasi, dan keterikatan atau memiliki work

engagement dalam menjalani pekerjaannya (Arnold B. Bakker dkk., 2008).

Pada tahun 2020, generasi yang mendominasi dunia kerja adalah karyawan

generasi Y (Park & Gursoy, 2012). Namun, beberapa penelitian menunjukkan

bahwa karyawan generasi Y pada umumnya memiliki tingkat work

engagement yang rendah (Willoughby, 2011).

Rendahnya work engagement pada karyawan dapat menyebabkan

karyawan cepat lelah, tidak antusias, dan tidak konsentrasi saat mengerjakan

tugasnya. Jika banyak karyawan yang memiliki work engagement rendah,

semakin tinggi kemungkinan tingkat turnover dalam suatu perusahaan. Dengan

demikian, perusahan harus melakukan sebuah tindakan yang dapat

meningkatkan work engagement pada karyawan.

Bakker dan Leiter (2010) mengemukakan mengemukakan bahwa work

engagement dipengaruhi oleh faktor psikologis yang terdapat di dalam empat

dimensi psychological capital. Psychological capital merupakan kemampuan

psikologis yang dimiliki individu untuk berkembang dengan karakteristik


27

berupa efikasi diri, optimisme, harapan, dan resiliensi (Luthans, Youssef &

Avolio, 2007). Psychological capital merupakan hal yang sangat penting untuk

dimiliki setiap orang dan dapat dikembangkan dengan cara dilatih.

Meningkatkan keempat karakteristik psychological capital pada individu akan

menimbulkan hubungan positif dengan perilaku organisasi yang baik (Avey,

Luthans & Mhatre, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muslim (2019) menunjukkan bahwa

tinggi rendahnya work engagement disebabkan oleh efikasi diri (self-efficacy),

optimisme (optimism) dan harapan terkait masa depan (hope) yang merupakan

aspek-aspek yang terdaftar dalam psychological capital. Artinya, semakin

tinggi tingkat psychological capital individu maka semakin tinggi pula tingkat

work engagement individu. Sebaliknya, semakin rendah tingkat psychological

capital individu maka semakin rendah pula work engagement individu.

Psychological capital pada penelitian ini akan diukur menggunakan skala

adaptasi dari Luthans dkk. (2007) yaitu Psychological Capital Questionnaire

(PCQ-24) yang disusun oleh Purwasono (2017). Work engagement pada

penelitian ini akan diukur menggunakan skala adaptasi dari Schaufeli dkk.

(2006) yaitu Utrect Work Engagement Scale (UWES) yang disusun oleh

Purwasono (2017).

Generasi Y (1982-1999)
- Berorientasi pada hasil
- Pola komunikasi frontal
- Memperhatikan pengaruh sosial
- Tidak segan resign jika pekerjaan tidak
memuaskan
28

(Gustitia, 2019; Luntungan dkk., 2014; Zemke


dkk., 2013)

Psychological Capital
Tinggi Aspek-aspek menurut Luthans et al. (2007), yaitu: Rendah
1. Self-efficacy
2. Hope
3. Resiliency
4. Optimism

Work Engagement
Tinggi Aspek-aspek menurut Schaufeli dan Bakker (2004), yaitu: Rendah
1. Vigor
2. Dedication
3. Absorption
Gambar 1. Bagan kerangka berpikir

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah

terdapat hubungan positif antara modal psikologis (psychological capital) dan

work engagement pada karyawan generasi Y di kota Makassar. Semakin

tinggi psychological capital maka akan semakin tinggi work engagement

pada karyawan generasi Y di kota Makassar. Begitupun sebaliknya, semakin

rendah psychological capital maka akan semakin rendah work engagement

pada karyawan generasi Y di kota Makassar.


29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Variabel terikat (dependen variabel): work engagement

2. Variabel bebas (independen variabel): psychological capital

B. Definisi Operasional

1. Work engagement merupakan kondisi karyawan yang menyukai atau

mencintai pekerjaannya sehingga karyawan bekerja dengan memberikan

seoptimal mungkin energi yang ada dalam dirinya, mampu melakukan

pekerjaan dengan penuh kesungguhan dan profesional dengan tujuan

mensukseskan perusahaan atau organisasi. Work engagement dalam

penelitian ini diukur menggunakan skala berdasarkan aspek yang

dikemukakan oleh Schaufeli dkk. (2002) yaitu vigor, dedication dan

absorption.

2. Psychological capital merupakan karakteristik individu yang dapat

diidentifikasi melalui adanya target spesifik dan realistis yang ingin diraih,

adanya rasa yakin atas kapabilitas diri bahwa mampu mencapai target

yang telah ditentukan, mampu memandang setiap kejadian dalam hidup

secara positif, dan mampu bertahan saat dihadapi kejadian yang tidak

sesuai harapan serta berupaya untuk mengubah kondisi tersebut.


30

Psychological capital pada penelitian ini diukur menggunakan skala

berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Luthans dkk. (2007) yaitu self-

efficacy, hope, resiliency, dan optimism.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan Generasi Y di Makassar.

Pemilihan populasi pada penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian yang

mengukur psychological capital dan work engagement pada karyawan

Generasi Y di Makassar. Karakteristik dari populasi penelitian ini yaitu

individu yang lahir di antara tahun 1982-1999 atau Generasi Y, sedang bekerja

sebagai karyawan, dan berdomisili Kota Makassar. Hanya saja, karena jumlah

populasi tidak diketahui, maka hal ini akan mepengaruhi sampel penelitian.

Peneliti akan fokus pada perusahaan tertentu yang menerima peneliti untuk

mengambil data penelitian.

2. Sampel

Teknik sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu menggunakan

Teknik non probability sampling. Non probability sampling adalah teknik

pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi

setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono,

2018). Salah satu teknik dalam non probability samping adalah purposive

sampling. Hadi (2017) mengemukakan bahwa purposive sampling merupakan

teknik sampel yang melalui proses pemilihannya berdasarkan ciri-ciri atau


31

sifat tertentu yang memiliki hubungan erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat

populasi yang telah diketahui sebelumnya. Sehingga tidak semua populasi

diberikan kesempatan untuk menjadi sampel dari penelitian (Bungin, 2011).

Adapun kriteria responden dalam penelitian ini yaitu:

1. Responden adalah individu yang berdomisili di Kota Makassar.

2. Responden merupakan karyawan yang lahir antara tahun 1982-1999

(Generasi Y).

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode survei. Alat

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan

skala Likert yang diadaptasi dari penelitian yang telah ada sebelumnya. Azwar

(2012) mengemukakan bahwa skala merupakan suatu perangkat yang terdiri

dari beberapa pertanyaan yang disusun secara sistematis untuk mengungkap

suatu atribut tertentu melalui respon yang diberikan partisipan terhadap

pertanyaan tersebut. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua jenis skala

yaitu skala work engagement dan skala psychological capital.

1. Skala Work Engagement

Pada penelitian ini variabel work engagement diukur dengan

menggunakan adaptasi dari Utrect Work Engagement Scale atau UWES

( Schaufeli & Bakker, 2004) oleh Purwasono (2017). Alat ukur ini

merupakan skala likert yang terdiri dari 17 item yang terbagi atas tiga

komponen yaitu vigor, dedication dan absorption. Skala UWES telah


32

divalidasi untuk penggunaan dalam pengaturan organisasi (Schaufeli

2004).

Adaptasi alat ukur ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu

menerjemahkan, expert judgement, dan uji coba kepada subjek penelitian.

Hasil validitas dari uji coba oleh peneliti adalah 24 item dipertahankan

karena memiliki nilai kolerasi item total diatas 0,30. Item dengan nilai

korelasi item total dibawah 0,30 mengindikasikan bahwa item memiliki

daya beda yang rendah, sebaliknya jika diatas 0,30 maka memiliki daya

beda yang baik (Azwar, 2012). Uji reliabilitas menggunakan Alpha

Cornbach menghasilkan nilai 0,900.

Skala adaptasi UWES (Utrect Work Engagement Scale) oleh

Purwasono (2017) menggunakan rentang pilihan respon dari 0 hingga 6

yaitu dari “Tidak pernah” yang mewakili skor 0 hingga “Selalu” yang

mewakili skor 6. Skala work engagement ini hanya memiliki jenis item

favorable. Skor total yang dapat dihasilkan oleh alat ukur ini yaitu 0

hingga 54. Pembagian komponen berdasarkan item dapat dilihat dalam

tabel 3.1.

Tabel 3.1

Blueprint Alat Ukur Adaptasi UWES

Butir-butir
No Indikator Jumlah
Favorable Unfavorable
1. Vigor 1, 4, 8, 12, 15, 17 - 6
2. Dedication 2, 5, 7, 10, 13 - 5
3. Absorption 3, 6, 9, 11, 14, 16 - 6
Jumlah 17 0 17
33

2. Skala Psychological Capital

Pada penelitian ini variabel psychological capital diukur dengan

menggunakan adaptasi dari Psychological Capital Questionnaire atau

PCQ-24 (Luthans dkk., 2007) oleh Purwasono (2017). Alat ukur ini

merupakan skala likert yang terdiri dari 24 item yang terbagi atas empat

bagian yaitu self-efficacy, hope, resiliency, dan optimism dengan masing-

masing 6 item. Skala PCQ-24 telah digunakan pada berbagai jenis sampel

seperti karyawan, pengusaha, insinyur teknologi, perawat, dan lain-lain.

Adaptasi alat ukur ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu

menerjemahkan, expert judgement, dan uji coba kepada subjek penelitian.

Hasil validitas dari uji coba oleh peneliti adalah 24 item dipertahankan

karena memiliki nilai kolerasi item total diatas 0,30. Item dengan nilai

korelasi item total dibawah 0,30 mengindikasikan bahwa item memiliki

daya beda yang rendah, sebaliknya jika diatas 0,30 maka memiliki daya

beda yang baik (Azwar, 2012). Uji reliabilitas menggunakan Alpha

Cornbach menghasilkan nilai 0,879.

Skala adaptasi PCQ (Psychological Capital Questionnaire) oleh

Purwasono (2017) ini menggunakan rentang pilihan respon dari 1 hingga 6

yaitu dari “Sangat Tidak Setuju (STS)” yang mewakili skor 1 hingga

“Sangat Setuju (SS)” yang mewakili skor 6. Skala psychological capital

ini memiliki 21 jenis item favorable dan 3 jenis item unfavorable. Skor
34

total yang dapat dihasilkan oleh alat ukur ini yaitu 24 hingga 144.

Pembagian komponen berdasarkan item dapat dilihat dalam tabel 3.2.

Tabel 3.2

Blueprint Alat Ukur Adaptasi PCQ

Butir-butir
No Indikator Jumlah
Favorable Unfavorable
1. Resilience 14, 15, 16, 17, 18 13 6
2. Self-efficacy 1, 2, 3, 4, 5, 6 - 6
3. Hope 7, 8, 9, 10, 11, 12 - 6
4. Optimism 19, 21, 22, 24 20, 23 6
Jumlah 21 3 24

E. Teknik Analisis Data

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif akan digunakan untuk menganalisis data. Penyajian

dari hasil analisis deskriptif dapat berupa frekuensi atau presentase yang

terdiri dari mean, standar deviasi, skor terendah, skor tertinggi dan

distribusi frekuensi pada suatu hasil statistik deskriptif yang bersifat secara

kategorikal. Azwar (2015) mengemukakan bahwa hasil dari olah analisis

deskriptif dikonversikan kedalam kategori rendah, sedang dan tinggi yang

dijelaskan pada tabel berikut:


35

2. Uji Hipotesis

Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini akan diuji dengan uji

korelasi Spearman. Adapun dasar untuk pengambilan kesimpulan

menggunakan uji korelasi spearman merupakan:

a. Hasil menunjukkan p < 0,05 dapat ditarik kesimpulan ada korelasi

signifikan antara kedua variabel.

b. Hasil menunjukkan p > 0,05 dapat ditarik kesimpulan tidak ada

korelasi signifikan antara kedua variabel.

Uji korelasi spearman berfungsi untuk menunjukkan hubungan

variabel independent terhadap variabel dependen melalui suatu kriteria

yang telah ditentukan (Supangat, 2010). Kriteria tersebut adalah:


36

F. Jadwal Rancangan Penelitian

Adapun jadwal rancangan dalam penelitian ini adalah:

Waktu Penelitian
No. Kegiatan (2021 & 2022)
6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
1. Tahap persiapan penelitian
a. Pengajuan proposal
b. Pembimbingan
c. Pengajuan ujian
proposal
2. Pengumpulan data

3. Analisis data

4. Penyusunan skripsi

5. Pengajuan ujian hasil


37
DAFTAR PUSTAKA

Avey, J. B., Reichard, R. J., Luthans, F., & Mhatre, K. H. (2011). Meta-analysis
of the impact of positive psychological capital on employee attitudes,
behaviors, and performance. Human Resource Development Quarterly,
22(2), 127–152. https://doi.org/10.1002/hrdq.20070
Azwar. (2012). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar. (2015). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakker, Arnold B., & Demerouti, E. (2007). The Job Demands-Resources model:
State of the art. Journal of Managerial Psychology, 22(3), 309–328.
https://doi.org/10.1108/02683940710733115
Bakker, Arnold B., & Demerouti, E. (2008). Towards a model of work
engagement. Career Development International, 13(3), 209–223.
https://doi.org/10.1108/13620430810870476
Bakker, Arnold B., & Leiter, M. P. (2010). Where to go from here: Integration
and future research on work engagement. In A. B Bakker & M. P. Leiter
(Eds.), Work Engagement: A Handbook of Essential Theory and Research
(pp. 181–196). New York: Psychology Press.
https://doi.org/10.4324/9780203853047
Bakker, Arnold B., Schaufeli, W. B., Leiter, M. P., & Taris, T. W. (2008). Work
engagement: An emerging concept in occupational health psychology. Work
and Stress, 22(3), 187–200. https://doi.org/10.1080/02678370802393649
Bungin, B. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi kedua). Kencana
Prenada Media Group.
Cenkci, A. T., & Özçelik, G. (2015). Leadership Styles and Subordinate Work
Engagement: The Moderating Impact of Leader Gender. Global Business &
Management Research, 7(4), 8–20.
Daniswara, A. (2012). Hubungan antara psychological capital dan work
engagement pada perawat (Skripsi). Universitas Indonesia, Indonesia.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.
Grover, S. L., Teo, S. T. T., Pick, D., Roche, M., & Newton, C. J. (2018).
Psychological capital as a personal resource in the JD-R model. Personnel
Review, 47(4), 968–984. https://doi.org/10.1108/PR-08-2016-0213
Gustitia, A. A. (2019). the Effect of Psychological Capital on Work Engagement
With Job Crafting As a Mediator Variable Among Generation Y Employees.
Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic Sciences, 91(7), 324–
331. https://doi.org/10.18551/rjoas.2019-07.38
Hadi, S. (2017). Statistik (edisi revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

38
Halbesleben, J. R., & Wheeler, A. R. (2008). The relative roles of engagement
and embeddedness in predicting job performance and intention to leave.
Work & Stress, 22(3), 242–256. https://doi.org/10.1080/02678370802383962
Hoole, C., & Bonnema, J. (2015). Work engagement and meaningful work across
generational cohorts. SA Journal of Human Resource Management, 13(1).
https://doi.org/10.4102/sajhrm.v13i1.681
Joner, A. (2010). Pengaruh Pengembangan Karir dan Motivasi Kerja terhadap
Kinerja Karyawan PT Bank Tabungan Negara (Skripsi). Universitas
Telkom, Indonesia.
Kahn, W. A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and
disengagement at work. Academy of Management Journal, 33(4), 692–724.
Kular, S., Gatenby, M., Rees, C., Soane, E., & Truss, K. (2008). Employee
engagement: A literature review. In Klinische Wochenschrift (Vol. 64).
https://doi.org/10.1007/BF01757208
Lee, J. H. J., & Ok, C. (2012). Reducing burnout and enhancing job satisfaction:
Critical role of hotel employees’ emotional intelligence and emotional labor.
International Journal of Hospitality Management, 31(4), 1101–1112.
https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2012.01.007
Lehoczky, M. H. (2013). The Socio-Demographic Correlations of Psychological
Capital. 9(29), 26–42.
Luntungan, I., Hubeis, A. V. S., Sunarti, E., & Maulana, A. (2014). Strategi
Pengelolaan Generasi Y di Industri Perbankan. Jurnal Manajemen
Teknologi, 13(2), 219–240. https://doi.org/10.12695/jmt.2014.13.2.7
Luthans, F. (2002). The need for and meaning of positive organizational behavior.
Journal of Organizational Behavior, 26(6), 695–706.
https://doi.org/10.1002/job.165
Luthans, F. (2010). Organizational Behavior: An Evidence-Based Approach. In
Hospital Administration. New York: McGraws-Hill.
https://doi.org/10.5005/jp/books/10358_23
Luthans, F., Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Li, W. (2005). The Psychological
Capital of Chinese Workers : Exploring the Relationship with Performance
Fred Luthans , Bruce J . Avolio , Fred O . Walumbwa. Management and
Organization Review, 1(2), 249–271.
http://www.blackwell-synergy.com/doi/abs/10.1111/j.1740-
8784.2005.00011.x
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J. (2007). Psychological Capital:
Developing the Human Competitive Edge. In Psychological Capital:
Developing the Human Competitive Edge. New York: Oxford University
Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195187526.001.0001

39
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J. (2015). Pyschological Capital and
Beyond. 337.
Marais, M.-H. (2013). Retention and Engagement of Generation Y Engineers
(Issue November). University of South Africa.
Markos, S., & Sridevi, M. S. (2010). Employee Engagement: The Key to
Improving Performance. International Journal of Business and Management,
5(12), 89–96. https://doi.org/10.5539/ijbm.v5n12p89
Martin, C. A. (2005). From high maintenance to high productivity: What
managers need to know about Generation Y. Industrial and Commercial
Training, 37(1), 39–44. https://doi.org/10.1108/00197850510699965
Maslach, C., Schaufeli, W. B., & Leiter, M. P. (2001). Job Burnout. Annual
Reviews Psychology, 52, 397–422.
Meier, J., & Crocker, M. (2010). Generation Y in the Workforce: Managerial
Challenges. The Journal of Human Resource and Adult Learning, 6(1), 68–
78.
Muslim, A. R. (2019). Hubungan psychological capital dengan work engagement
pada karyawan kontrak CV. Laksana Karoseri (Skripsi). Universitas Negeri
Semarang, Indonesia.
Park, J., & Gursoy, D. (2012). Generation Effect on the Relationship between
Work Engagement, Satisfaction, and Turnover Intention among US Hotel
Employees. International Journal of Hospitality Management, 31(4), 1195–
1202. https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2012.02.007
Purwasono, G. R. (2017). Hubungan antara Psychological Capital dengan Work
Engagement pada Karyawan Generasi Y di PT. Semen Indonesia
(PERSERO) Tbk. (Skripsi). Universitas Airlangga, Indonesia.
Purwasono, G. R. (2019). Millennials in the Workplace: the Effect of
Psychological Capital on Work Engagement With Perceived Organizational
Support. Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic Sciences,
92(8), 219–226. https://doi.org/10.18551/rjoas.2019-08.24
Rachmawati, U., Mustika, M. D., & Sjabadhyni, B. (2018). Millennials: Do They
Need a Hero to Make Their Workplace More Welcoming?. Psikodimensia,
17(2), 110. https://doi.org/10.24167/psidim.v17i2.1550
Robbins, S. P. (2013). Organizational Behavior (15th ed.). Pearson Education,
Inc.
Saks, A. M. (2006). Antecedents and consequences to employee engagement.
Journal of Managerial Psychology, 21(7), 600–619.
https://doi.org/10.1108/02683940610690169
Schaufeli, W. B., & Bakker, A. B. (2004). Utrecht work engagement scale
Preliminary Manual Version 1.1. In Occupational Health Psychology Unit

40
Utrecht University (Issue December). https://doi.org/10.1037/t01350-000
Schaufeli, W. B., Salanova, M., González-Romá, V., & Bakker, A. B. (2002). The
Measurement of Engagement and Burnout: a Two Sample Confirmatory
Factor Analytic Approach. Journal of Happiness Studies, 3(1), 71–92.
Schaufeli, Wilmar B., Bakker, A. B., & Salanova, M. (2006). The measurement of
work engagement with a short questionnaire: A cross-national study.
Educational and Psychological Measurement, 66(4), 701–716.
https://doi.org/10.1177/0013164405282471
Schaufeli, Wilmar B., Taris, T. W., & Van Rhenen, W. (2008). Workaholism,
burnout, and work engagement: Three of a kind or three different kinds of
employee well-being? Applied Psychology, 57(2), 173–203.
https://doi.org/10.1111/j.1464-0597.2007.00285.x
Schullery, N. M. (2013). Workplace Engagement and Generational Differences in
Values. Business Communication Quarterly, 76(2), 252–265.
https://doi.org/10.1177/1080569913476543
Soni, K., & Rastogi, R. (2019). Psychological Capital Augments Employee
Engagement. Psychological Studies, 64(4), 465–473.
https://doi.org/10.1007/s12646-019-00499-x
Staples, H. L. (2014). The generational divide: Generational differences in
psychological capital. Theses & Dissertations. 42(-), 98.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Alfabeta.
Supangat, A. (2010). Statistika dalam kajian deskriptif, inferensi, dan
nonparametrik. Jakarta: Kencana.
Sutrisno, M. B., & Parahyanti, E. (2018). The Impact of Psychological Capital
and Work Meaningfulness on Work Engagement in Generation Y. Advances
in Social Science, Education and Humanities Research, 139, 53–58.
https://doi.org/10.2991/uipsur-17.2018.9
Synder, C. R., Irving, L., & Anderson, J. R. (1991). Hope and Health: Measuring
The Will and The Ways. In Handbook of Social and Clinical Psychology:
The Health Perspective (pp. 285–305). New York: Pegamon Press.
https://doi.org/10.5860/choice.28-6501
Willoughby, C. M. (2011). A critical literature review exploring work engagement
in the nursing profession. In Empati. Azusa Pacific University.
Zemke, R., Raines, C., & Filipczak, B. (2013). Generations at work: Managing
the clash of boomers, gen Xers, and gen Yers in the workplace (2nd ed.).
New York: American Management Association.
Zhao, Z., & Hou, J. (2009). The Study on Psychological Capital Development of
Intrapreneurial Team. International Journal of Psychological Studies, 1(2),
35. https://doi.org/10.5539/ijps.v1n2p35

41
42

Anda mungkin juga menyukai