2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Usia di atas 65 tahun mempunyai risiko tinggi untuk mengalami demensia dan hal ini tidak
bergantung pada bangsa, suku, kebudayaan dan status ekonomi. Hasil penelitian di seluruh dunia
menunjukkan bahwa demensia terjadi sekitar 8 % pada warga di atas usia 65 tahun dan
meningkat sangat pesat menjadi 25 % pada usia di atas 80 tahun dan hampir 40 % pada usia di
atas 90 tahun.
Klasifikasi Demensia
Demensia dapat dibagi dalam 3 tipe yaitu :
1) Demensia Kortikal dan Sub Kortikal
a. Demensia Kortikal
Merupakan demensia yang muncul dari kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia
grisea yang berperan penting terhadap proses kognitif seperti daya ingat dan bahasa. Beberapa
penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah Penyakit Alzheimer, Penyakit
Vaskular, Penyakit Lewy Bodies, sindroma Korsakoff, ensefalopati Wernicke, Penyakit Pick,
Penyakit Creutzfelt-Jakob.
b. Demensia Subkortikal
Merupakan demensia yang termasuk non-Alzheimer, muncul dari kelainan yang terjadi pada
korteks serebri substansia alba. Biasanya tidak didapatkan gangguan daya ingat dan bahasa.
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah penyakit Huntington,
hipotiroid, Parkinson, kekurangan vitamin B1, B12, Folate, sifilis, hematoma subdural,
hiperkalsemia, hipoglikemia, penyakit Coeliac, AIDS, gagal hepar, ginjal, nafas, dll.
b. Perubahan emosional
Emosi sering gampang terstimulasi serta tidak dapat mengontrol tawa dan tangis.
c. Kemunduran kepribadian
1) Sering egois
2) Kurang bisa mengerti perasaan orang lain, kurang perhatian, introvert.
3) Kemunduran kebiasaan pribadi, makan, toilet, kebersihan, dll.
d. Perubahan-perubahan pada sistem tubuh :
1) Kardiovaskuler
Cardiac output menurun, kemampuan respon terhadap stress berkurang, tekanan darah
meningkat, denyut jantung setelah pemulihan melambat, cepat pegal bila aktivitas meningkat.
2) Respirasi
Volume residu paru meningkat, kapasitas vital paru menurun, kapasitas difusi dan pertukaran gas
menurun, efektivitas batuk menurun, pada aktivitas berat cepat lelah dan sesak, oksigenasi
berkurang sehingga luka susah sembuh, susah mengeluarkan sekret batuk.
3) Integumen (kulit)
Perlindungan terhadap trauma dan suhu yang ekstrem menurun, perlindungan oleh kelenjar
minyak alami dan berkeringat menurun, kulit tipis kering, dan keriput, sering memar, kebiruan
dan cepat terbakar sinar matahari, intoleransi terhadap panas, struktur tulang kelihatan pada kulit
yang tipis.
4) Reproduksi
Pada wanita terjadi penyempitan, penurunan elastisitas dan sekresi pada dinding vagina,
sehingga menimbulkan hubungan seksual yang sakit, perdarahan, gatal, iritasi dan lambat
orgasme. Pada laki –laki terjadi penurunan ukuran penis dan testes dan respon seksual yang
melambat.
5) Genito-urinaria
Kapasitas buli menurun, menurunnya sensasi untuk bak sehingga sering retensi dan kesulitan
bak. Pada laki-laki terjadi BPH, dan pada wanita terjadi relaksasi otot perineum dan
inkontinensia urine.
6) Gastrointestinal
Salivasi berkurang, susah menelan makanan, mengeluh mulut kering, pengosongan esofagus dan
lambung yang melambat sehingga sering terjadi gejala penuh, sakit ulu hati, mobilisasi usus
berkurang sehingga sering konstipasi, bersendawa, perut tidak nyaman.
7) Muskuloskeletal
Hilangnya densitas tulang, kekuatan dan ukuran otot, degenerasi tulang rawan sendi, sehingga
terjadi penurunan tinggi badan, kyphosis, fraktur, sakit pada punggung, merasa hilang tenaga,
flexibilitas dan ketahanan sendi menurun dan sering sakit sendi.
8) Saraf
Berkurangnya kecepatan konduksi saraf sehingga terjadi konfusi disertai dengan keluhan fisik
dan kehilangan respon lingkungan. Sirkulasi serebral menurun sehingga terjadi penurunan reaksi
dan respon, belajar perlu waktu yang lama, sering bingung, sering lupa dan jatuh.
e. Sistem indera :
1) Penglihatan : Kemampuan untuk fokus pada objek yang dekat berkurang, tidak toleransi
terhadap sinar, kesulitan mangatur intensitas cahaya masuk mata, dan penurunan kemampuan
membedakan warna.
2) Pendengaran : Menurunnya kemampuan mendengarkan suara frekuensi tinggi.
3) Rasa dan bau : Penurunan kemampuan mengecap dan membau sehingga dapat menggunakan
gula dan garam berlebih pada makanannya.
f. Halusinasi dan delusi
g. Tanda dan Gejala lainnya :
1) Psikiatrik
Gangguan cemas, depresi, perubahan kepribadian sehingga sering menangis atau tertawa
patologis, emosi ekstrim tanpa provokasi.
2) Neurologis
Apraxia dan agnosia, kejang, sakit kepala, pusing, kelemahan, sering pingsan, gangguan tidur,
disartria, disfagia.
3) Reaksi katastropi
Agitasi yang muncul sekunder akibat kesadaran subjektif terhadap defisit intelektual yang
dialami pada keadaan yang penuh stres.
4) Sundown syndrome
Mengantuk, konfusi, ataksia, jatuh. Sindrome ini bisa muncul saat stimulus eksternal berkurang
atau karena pengaruh obat benzodiazepine.
Komplikasi Demensia
a. Peningkatan risiko infeksi di seluruh bagian tubuh :
- Ulkus Dekubitus
- Infeksi saluran kencing
- Pneumonia
b. Thromboemboli, infark miokardium.
c. Kejang
d. Kontraktur sendi
e. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
f. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan kurang dan kesulitan menggunakan peralatan
g. Kehilangan kemampuan berinteraksi
h. Harapan hidup berkurang
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan penilaian menyeluruh, dengan memperhatikan usia
penderita, riwayat keluarga, awal dan perkembangan gejala serta adanya penyakit lain (misalnya
tekanan darah tinggi atau kencing manis). Dilakukan pemeriksaan kimia darah standar.
Pemeriksaan CT scan dan MRI dimaksudkan untuk menentukan adanya tumor, hidrosefalus atau
stroke.
Jika pada seorang lanjut usia terjadi kemunduran ingatan yang terjadi secara bertahap, maka
diduga penyebabnya adalah penyakit Alzheimer. Diagnosis penyakit Alzheimer terbukti hanya
jika dilakukan otopsi terhadap otak, yang menunjukkan banyaknya sel saraf yang hilang. Sel
yang tersisa tampak semrawut dan di seluruh jaringan otak tersebar plak yang terdiri dari amiloid
(sejenis protein abnormal). Metode diagnostik yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini
adalah pemeriksaan pungsi lumbal dan PET (positron emission tomography), yang merupakan
pemerisaan skening otak khusus.
Prognosis
Perkembangan demensia pada setiap orang berbeda. Pada sebagian besar demensia stadium
lanjut, terjadi penurunan fungsi otak yang hampir menyeluruh. Penderita menjadi lebih menarik
dirinya dan tidak mampu mengendalikan perilakunya. Suasana hatinya sering berubah-ubah dan
senang berjalan-jalan (berkelana). Pada akhirnya penderita tidak mampu mengikuti suatu
percakapan dan bisa kehilangan kemampuan berbicara.
b. Data obyektif :
1) Pasien kehilangan kemampuannya untuk mengenali wajah, tempat dan objek yang sudah
dikenalnya dan kehilangan suasana kekeluargaannya.
2) Pasien sering mengulang-ngulang cerita yang sama karena lupa telah menceritakannya.
3) Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-kata yang lebih
sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata
yang tepat.
2. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuronal dan demensia progresif.
b. Risiko terhadap cedera berhubungan dengan defisit sensori dan motorik
c. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan konfusi, kehilangan kognitif dan
perilaku disfungsi.
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perawatan anggota keluarga yang mengalami
disfungsi.
e. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan kerusakan kognitif & perilaku disfungsi.
f. Kerusakan komunikasi berhubungan dengan gangguan pendengaran
g. Konfusi kronis berhubungan dengan degenerasi progresif korteks serebri sekunder akibat
demensia
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko terhadap cedera b/d defisit sensori dan motorik.
TUJUAN : Setelah diberi askep 3×24 jam diharapkan pasien mampu mempertahankan
keselamatan fisik dengan kriteria :
- Mematuhi prosedur keselamatan.
- Dapat bergerak dengan bebas dan mandiri disekitar rumah.
- Mengungkapkan rasa keamanan dan terlindungi.
INTERVENSI KEPERAWATAN :
1. Kendalikan lingkungan.
- Singkirkan bahaya yang tampak jelas.
- Kurangi potensial cedera akibat jatuh ketika tidur..
- Pantau regimen medikasi.
- Ijinkan merokok hanya dalam pengawasan.
- Pantau suhu makanan.
- Awasi semua aktivitas diluar rumah.
RATIONAL :Lingkungan yang bebas bahaya akan mengurangi risiko cedera dan membebaskan
keluarga dari kekhawatiran yang konstan.
2. Ijinkan kemandirian dan kebebasan maksimum.
- Berikan kebebasan dalam lingkungan yang aman.
- Hindari penggunaan restrain.
- Kerika pasien melamun, alihkan perhatiannya.
- Simpan tag identifikasi pada pasien.
RATIONAL :Hal ini akan memberikan pasien rasa otonomi.Restrain dapat meningkatkan
agitasi.Pengalihan perhatian difasilitasi oleh kehilangan ingatan segera.Nama dan nomor telpon
akan memfasilitasi kembalinya dengan aman pasien yang sedang melamun.
3. Kaji adanya hipotensi ortostatik
RATIONAL :Dapat menyebabkan cedera
4. Ajarkan klien bergerak dari posisi tidur ke berdiri secara bertahap
RATIONAL :Mencegah terjadinya hipotensi ortostatik yang dapat menyebabkan cedera
5. Ajarkan latihan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas
RATIONAL :
Dengan meningkatnya kekuatan otot akan mencegah terjadinya cedera
[57] comments
A. PENGERTIAN
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas
sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada
tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu
(non-disruptive) demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang
disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan
tingkah laku.
Demensia adalah satu penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati secara abnormal. Hanya satu
terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyakit otak degeneratif yang progresif. Daya ingatan,
pemikiran, tingkah laku dan emosi terjejas bila mengalami demensia. Penyakit ini boleh dialami oleh
semua orang dari berbagai latarbelakang pendidikan mahupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat
sebarang rawatan untuk demensia, namun rawatan untuk menangani gejala-gejala boleh diperolehi.
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan, dimana
terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa
terjadi kemunduran kepribadian.
Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun
(misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak. Tetapi demensia biasanya timbul
secara perlahan dan menyerang usia diatas 60 tahun. Demensia bukan merupakan bagian dari proses
penuaan yang normal. Sejalan dengan bertambahnya umur, maka perubahan di dalam otak bisa
menyebabkan hilangnya beberapa ingatan (terutama ingatan jangka pendek) dan penurunan beberapa
kemampuan belajar. Perubahan normal ini tidak mempengaruhi fungsi.
Lupa pada usia lanjut bukan merupakan pertanda dari demensia maupun penyakit Alzheimer stadium
awal. Demensia merupakan penurunan kemampuan mental yang lebih serius, yang makin lama makin
parah. Pada penuaan normal, seseorang bisa lupa akan hal-hal yang detil; tetapi penderita demensia
bisa lupa akan keseluruhan peristiwa yang baru saja terjadi.
B. EPIDEMIOLOGI
Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah 7,2 % (populasi
usia lanjut kurang lebih 15 juta). peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan
meningkatnya harapan hidup suatu populasi . Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita
demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun.
Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 –
15% atau sekitar 3 – 4 juta orang.
Demensia terbagi menjadi dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Demensia Alzheimer
merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50-70%. Demensia
vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan demensia lainnya. Di Jepang dan
Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia akibat penyakit Alzheimer
C. KLASIFIKASI
1. Menurut Umur :
a. Reversibel
a. Tipe Alzheimer
b. Tipe non-Alzheimer
c. Demensia vaskular
g. Morbus Parkinson
h. Morbus Huntington
i. Morbus Pick
j. Morbus Jakob-Creutzfeldt
k. Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
l. Prion disease
n. Multiple sklerosis
o. Neurosifilis
a. Demensia proprius
b. Pseudo-demensia
D. ETIOLOGI
Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia
ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak
dapat disembuhkan. Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala
demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia Lewy body,
demensia frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.
Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer
adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di
transmisikan sebagaimana mestinya. Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan
membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.
2. Lain-lain
3. Trauma
4. Infeksi
c. Sifilis
a. Neuroakantosistosis
6. Kelainan Psikiatrik
7 . Fisiologis
9. Tumor
a. Tumor primer maupun metastase (misalnya meningioma atau tumor metastasis dari tumor
payudara atau tumor paru)
10. anoksia
a. Alkohol
c. Radiasi
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi nama
dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun
dengan perjalanan demensia progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan
didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain telah disingkirkan dari
pertimbangan diagnostik
Faktor Genetik
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi kemajuan dalam
molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi gangguan. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat keluarga menderita
demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetik dianggap berperan dalam
perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan tentang peranan genetik adalah
bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik, dimana angka kejadian demensia tipe
Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian pada kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah
tercatat dengan baik, gangguan ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan,
walau transmisi tersebut jarang terjadi.
Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom 21. Melalui
proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amiloid. Protein beta/ A4,
yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42-asam amino yang
merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid. Pada kasus sindrom Down (trisomi
kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi
yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein prekusor amiloid, suatu proses patologis yang
menghasilkan deposit protein beta/A4 yang berlebihan. Bagaimana proses yang terjadi pada protein
prekusor amiloid dalam perannya sebagai penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui,
akan tetapi banyak kelompok studi yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein
prekusor amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe
Alzheimer untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Gen E4 multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer. Individu yang
memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar daripada individu yang tidak
memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan
kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut.
Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidal direkomendasikan untuk saat ini, karena gen
tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada
seluruh penderita demensia.
Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan adanya atrofi
dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan
patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal
loss (biasanya ditemukan pada korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf.
Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer
terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron
tersebut tidak khas
ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada sindrom Down,
Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut
neuron biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus Plak
senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit Alzheimer meskipun
plak senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam beberapa kasus ditemukan pada
proses penuaan yang normal.
Neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer adalah
asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa
penelitian melaporkan pada penyakit Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron
kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada
Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.
Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori
adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran
yang kurang cairan yaitu, lebih kaku dibandingkan dengan membran
Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi dalam beberapa otak pasien
penyakit Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi pencetus adalah kromosom 17. Gejala penyakit berupa
gangguan pada memori jangka pendek dan kesulitan mempertahankan keseimbangan dan pada saat
berjalan. Onset penyakit ini biasanya sekitar 40 – 50 detik, dan orang dengan penyakit ini hidup rata-rata
11 tahun setelah terjadinya gejala.Seorang pasien dengan penyakit Alzheimer memiliki protein pada sel
neuron dan glial seperti pada Familial Multipel System Taupathydimana protein ini membunuh sel-sel
otak. Kelainan ini tidak berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan penyakit Alzheimer.
Demensia vaskuler
Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan gejala
berpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat hipertensi dan faktor
resiko kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil
dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multipel yang menyebar luas pada
otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau
tromboemboli dari tempat lain( misalnya katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit
karotis, hasil funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung
Penyakit Binswanger
Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, ditandai dengan ditemukannya infark-
infark kecil pada subtansia alba yang juga mengenai daerah korteks serebri dan kuat seperti resonansi
magnetik (Magnetic Resonance Imaging; MRI) membuat penemuan
Penyakit Pick
Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah tersebut
mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang merupakan massa
elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan
untuk diagnosis. Penyebab dari penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5% dari
semua demensia ireversibel. Penyakit ini paling sering pada laki-laki, khususnya yang memiliki keluarga
derajat pertama dengan penyakit ini. Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia Alzheimer.
Walaupun stadium awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan
fungsi kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya: hiperseksualitas,
flaksiditas, hiperoralitas) lebih sering ditemukan pada penyakit Pick daripada pada penyakit Alzheimer.
yang paling luas pada lobus frontalis serta pada lobus temporalis dan parietalis .
ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden yang sesungguhnya
tidak diketahui. Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse
effect) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.
Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan perkembangan demensia. Demensia pada penyakit
ini terlihat sebagai demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan abnormalitas motorik yang lebih
menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang lebih ringan dibandingkan demensia tipe kortikal.
Demensia pada penyakit Huntington menunjukkan perlambatan psikomotor dan kesulitan dalam
mengerjakan pekerjaan yang kompleks, akan tetapi memori, bahasa, dan tilikan relatif utuh pada
stadium awal dan pertengahan penyakit. Dalam perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan
gambaran klinis yang membedakannya dengan demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insiden
depresi dan psikosis, selain gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik.
Penyakit Parkinson
basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen pasien
dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan kognitif. Gerakan lambat pada pasien
dengan penyakit Parkinson sejajar dengan perlambatan berpikir pada beberapa mpasien, suatu
gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai bradifrenia.2
E. GEJALA KLINIS
al yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku
sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses
penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat
nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang
biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal
bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali
lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum
mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak
dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain
dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke
rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga
kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan
mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum
memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang
harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf,
pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan,
sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh
Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan
sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat
mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita
demensia di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi
spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal
Ada dua tipe demensia yang paling banyak ditemukan, yaitu tipe Alzheimer dan Vaskuler.
1. Demensia Alzheimer
Gejala klinis demensia Alzheimer merupakan kumpulan gejala demensia akibat gangguan neuro
degenaratif (penuaan saraf) yang berlangsung progresif lambat, dimana akibat proses degenaratif
menyebabkan kematian sel-sel otak yang massif. Kematian sel-sel otak ini baru menimbulkan gejala
klinis dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya ditemukan gejala mudah lupa (forgetfulness) yang
menyebabkan penderita tidak mampu menyebut kata yang benar, berlanjut dengan kesulitan mengenal
benda dan akhirnya tidak mampu menggunakan barang-barang sekalipun yang termudah. Hal ini
disebabkan adanya gangguan kognitif sehingga timbul gejala neuropsikiatrik seperti, Wahan (curiga,
sampai menuduh ada yang mencuri barangnya), halusinasi pendengaran atau penglihatan, agitasi
(gelisah, mengacau), depresi, gangguan tidur, nafsu makan dan gangguan aktifitas psikomotor,
berkelana.
a. Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori, berhitung dan
aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang
dialami.
b. Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebutr stadium demensia. Gejalanya, antara lain :
1. Disorientasi
Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan kegiatan sampai selesai,
tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga
mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di
lingkungannya, depresi berat prevalensinya 15-20%,”
c. Stadium III
Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya antara lain :
3. Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal keluarganya sendiri
2. Demensia Vaskuler
Untuk gejala klinis demensia tipe Vaskuler, disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak. “Dan
setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya demensia,”. Depresi bisa
disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga depresi itu dapat
didiuga sebagai demensia vaskuler. Gejala depresi lebih sering dijumpai pada demensia vaskuler
daripada Alzheimer. Hal ini disebabkan karena kemampuan penilaian terhadap diri sendiri dan respos
emosi tetap stabil pada demensia vaskuler.
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah
laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses
penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat
nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang
biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal
bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali
lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum
mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak
dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain
dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke
rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga
kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan
mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum
memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang
harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf,
pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan,
sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh
Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan
sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat
mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita
demensia di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi
spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal
a. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa” menjadi bagian
keseharian yang tidak bisa lepas.
b. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat
penderita demensia berada
c. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata
yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
d. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi,
marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan.
Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
e. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.
6. Morbus Parkinson
Demensia ini disebabkan adanya penyakit parkinson yang menyertai dengan gejala :
· Disfungsi motorik.
· Depresi.
7. Morbus Huntington
Demensia ini disebabkan penyakit herediter yang disertai dengan degenoivasi progresif pada ganglia
basalis dan kortex serebral. Transmisi terdapat pada gen autosomal dominan fragmen G8 dari
kromosom 4. Onset terjadi pada usia 35 – 50 tahun. Gejalanya :
· Demensia progresif.
· Hipertonisitas mascular.
8. Morbus Pick
Intraneunoral yang Penyakit Pick disebabkan penurunan fungsi mental dan perilaku yang terjadi secara
progresif dan lambat. Kelainan terdapat pada kortikal fokal pada lobus frontalis. Penyakit ini juga sulit
dibedakan dengan Alzheimer hanya bisa dengan otopsi, dimana otak menunjukkan inklusi disebut
“badan Pick” yang dibedakan dari serabut neurofibrilaris pada Alzheimer.
· Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol disertai euforia,
emosi tumpul, dan perilaku sosial yang kasar, disinhibisi, apatis, gelisah.
· Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat.
9. Morbus Jakob-Creutzfeldt
Penyakit ini disebabkan oleh degeneratif difus yang mengenai sistim piramidalis dan ekstrapiramidal.
Pada penyakit ini tidak berhubungan dengan proses ketuaan. Gejala terminal adalah :
· Demensia parah.
· Hipertonisitas menyeluruh.
Penyakit ini dsiebabkan oleh virus infeksius yang tumbuh lambat. (misal transplantasi kornea). Trias yang
sangat mengarah pada diagnosis penyakit ini :
F. PATOFISIOLOGI
Begitu banyak factor penyebab terjadinya dementia pada berbagai penyakit yang telah disebut di atas.
Apapun sebabnya, semuanya menyebabkan perubahan psyco – neurokimiawi di otak.
Factor – factor gangguan regulasi DNA, neural reserve capacity untuk CNS performance yang exhausted,
dan gangguan supply energi untuk metabolisme CNS dapat menyebabkan penurunan glycolitik yang
kemudian berturut – turut mengakibatkan penurunan sintesa Acetyl CO enzim A yang penting untuk
sintesa Acetil Choline, penurunan aktifitas Cholin Asetiltransferase di kortek hipokampus, maka
akibatnya terjadi penurunan kadar aktifitas kholinergik sehingga menyebabkan demensia. Pada
penelitian terbukti bahwa, penurunan kadar Cholin Asetiltransferase mempunyai korelasi langsung
dengan hasil test mental score / aktifitas intelektual yang menurun dan juga peninggian jumlah plague
senille. Aktifitas kholinergik bersumber terutama pada basal fortebrain nucleus of mainert, locus
ceruleus, dan dorsal raphe nuclei.
Secara ringkas bahwa proses demensia adalah terjadinya perubahan neuro kimiawi yang tersebut
dibawah ini :
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit demensia
Alzheimer. Serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak senile atau
neuritis (deposit pritein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein precusor amiloid
(APP)). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan
rusaknya ukuran otak. Perubahan serupa juga dijumpai pada tonjolan kecil jaringan otak normal lansia.
Sel utama yang terkena penyakit ini adalah menggunakan neurotransmitter asetilkolin. Secar biokomia,
produksi asetilkolion yang mempengaruhi aktivitas menurun. Asetilkolin terutan terlibat dalam proses
ingatan.
Kerusakan serebri terjadi bila pasokan darah keotak terganggu. Infark, kematian jaringan otak, terjadi
dengan kecepatan yang luar biasa. Infark serebri kecil-kecil multiple-infark. Pada penyakit Alzeimer
terjafi penurunan yang progresif, sebaliknya progresi demensia multi-infark tidak beraturan. Setiap
infark yang kecil diikuti penyembuhan dan masa stabil sampai terjadi infark kemudian. Biasanya pasien
mempunyai riwayat penyakit kardiovaskuler atau serebrovaskuler.
Pusing, sakit kepala dan penurunan kekuatan fisik dan mental adalah tanda-tanda awal penyakit. Pada
lebih dari setengah kasus, penyakit ini muncul sebagai kebingungan yang mendadak. Kemudian diikuuti
kehilangan ingatan yang mendadak. Kemudian diikuti kehilangan ingatan bertahap. Pasien bisa
mengalami halusinasi dan menunjukkan tanda-tanda delirium, bisa terjadi gangguan bicara.
G. PATOGENESIS
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada usia 50 atau
60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian.
Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik
masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar
8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia
dengan awitan yang dini atau dengan riwayatkeluarga menderita demensia memiliki kemungkinan
perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit
Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus
menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan
demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum
kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang mungkin
diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan
yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe
Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya,
awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat
terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk
pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin
atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku
psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam
diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-bagian otak
(self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat
juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia
akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi.
Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia
tipe Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler)
menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).
Faktor Psikosial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial.
Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga kemampuan
untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset)
menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap.
Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi
pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada
kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek
kognitifnya akan menghilang.
H. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada
pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara
pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain :
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia
seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung,
hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada
saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.
2. Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab
demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan
operasi otak karena tumor atauhidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik,
sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural
dari pada sebab degeneratif.
3. Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini
meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan
waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus
uang dan membuat keputusan.
4. Riwayat psikiatrik
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan
psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian,
tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan
fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun
laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan
walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik
dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.
6. Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga
langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.
7. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis,
pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk
membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensiareversible, walaupun 50%
penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan
laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone
tiroid, kadar asam folat
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan
rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah
normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks
periodik.
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan
imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus
normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu
epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya
frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.
Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan
aspek kognitif lainnya. Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan
demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori,
bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat
berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses
depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak
dipakai. tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan.
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian
dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan
memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan
mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.)
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap
normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia.. Pada penelitian Crum
R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang
> 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan
5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun. Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu
pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang
dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan.. Penilaian fungsi kognitif pada CDR
berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas
sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini
adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa
gangguan kognitif. Nilai 0,5, untukQuenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia
ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu
derajat demensia yang berat.
I. DIAGNOSIS BANDING
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan adanya
perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler seiring berjalannya
waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas, kemerosotan yang bertahap tersebut tidak secara nyata
ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui pada demensia vaskuler
daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan patokan adanya faktor risiko
penyakit serebrovaskuler.
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi neurologis fokal yang terjadi
selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit). Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin
terjadi, episode TIA biasanya disebabkan oleh mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang
mengakibatkan terjadinya iskemia otak sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa
perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan
terapi mengalami infark serebri di kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan
strategi klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara episode TIA
yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum, gejala penyakit sistem
vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik pada batang otak maupun lobus
oksipital, sedangkan distribusi sistem karotis mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan
unilateral atau kelainan hemisferik. Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti
aspirin dan bedah reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark
serebri pada pasien dengan TIA.
Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang ditunjukkan oleh klasifikasi
berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan dengan demensia oleh awitan yang cepat,
durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat
nokturnal, gangguan siklus tidur yang bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.
Taraf Kesadaran Orientasi Naik turun, terganggu periodik Normal intak pada awalnya
Bahasa daya ingat Lamban. Inkoheren, inadekuat, angka Sulit menemukan istilah tepat
pendek terganggu nyata Jangka pendek dan panjang
terganggu
Catatan : pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang
Depresi
Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar dibedakan dengan
gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai psuedodemensia, meskipun istilah
disfungsi kognitif terkait depresi (depression-related cognitive dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat
menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara umum memiliki
gejala-gejala depresi yang menyolok, lebih menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada
pasien dengan demensia serta sering memiliki riwayat episode depresi.
Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat (acquired),
gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala psikosis dan gangguan pikiran
seperti yang terdapat pada demensia.
Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan berbagai fungsi kognitif yang signifikan, akan
tetapi masalah-masalah memori atau daya ingat yang ringan dapat terjadi sebagai bagian yang normal
dari proses penuaan. Gejala yang normal ini terkadang dikaitkan dengan gangguan memori terkait usia,
yang dibedakan dengan demensia oleh ringannya derajat gangguan memori dan karena pada proses
penuaan gangguan memori tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku sosial dan
okupasional pasien.
Gangguan lainnya
Retardasi mental, yang tidak termasuk kerusakan memori, terjadi pada masa kanan-kanan. Gangguan
amnestik ditandai oleh hilangnya memori yang terbatas dan tidak ada perburukan. Depresi berat
dimana memori terganggu biasanya akan memberikan respon terhadap terapi antidepresan.
J. PENATALAKSANAAN
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi diagnosis. Diagnosis
yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan
jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan pengukuran untukpencegahan adalah penting terutama
pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan
pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa
antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan
sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta
adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensiavaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah
nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia
vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat -2 dapat
memperburuk kerusakanpenting mengingat antagonis reseptor fungsi kognitif. Angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telahdibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan fungsi
kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi
aliran darah otak. Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler
berikutnya padapasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum
pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan
emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang
spesifik, termasuk perilaku yang merugikan.
Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan
untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya
memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasienbiasanya mengalami
distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping
memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan
penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikitmenggunakan daya ingatnya. Reaksi
emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasanyang berat dan teror katastrofik yang berakar
dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka
dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.Mereka juga bisa
mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukandisabilitas serta
perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan
dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan
psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter
dapat membantu pasien untuk menemukan cara“berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti
menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu
menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut
membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena
ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk depresi,
dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek
idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal,
kebingungan, dan peningkatan efek sedasi).
b. Antipsikotika atipik:
- Clozaril 1 x 12.5 – 25 mg
- Abilify 1 x 10 – 15 mg
c. Anxiolitika
- Clobazam 1 x 10 mg
- Bromazepam 1,5 mg – 6 mg
- Buspirone HCI 10 – 30 mg
d. Antidepresiva
- Amitriptyline 25 – 50 mg
- Tofranil 25 – 30 mg
- SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1×20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10 – 20 mg, Cipralex,
Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
- Topamate 1 x 50 mg
- Tnileptal 1 x 300 mg – 3 x mg
- Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
- Priadel 2 – 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila
diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and Psychological Symptoms of
Dementia):
· Nootropika:
- Sabeluzole (Reminyl)
· Ca-antagonist:
- Cinnarizine(Stugeron) 1 – 3 x 25 mg
- Pantoyl-GABA
· Acetylcholinesterase inhibitors
- Galantamine (Riminil) 1 – 3 x 5 mg
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat metabolisme
serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan
penyakit ini.
Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca
menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi
komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat
efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai penggunaan obatantiinflamasi nonsteroid
(OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak
menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.
K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada usia timbulnya, tipe demensia, dan beratnya deteriorasi. Pasien dengan
onset yang dini da nada riwayat keluarga dengan demensia mempunyai perjalanan penyakit yang lebih
progresif.