Anda di halaman 1dari 34

Askep Lansia dengan Demensia

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi Demensia
Istilah demensia pertama kali digunakan oleh Phillipe Pinel (1745- 1826) dalam bukunya
“TREATISE ON INSANITY” dengan kata ‘Demence”.
Demensia adalah suatu sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
ingatan/memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari
(Brocklehurst and Allen, 1987 dalam Boedhi-Darmojo, 2009).
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan,
dimana terjadi gangguan ingatan, pikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan
perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian (Medicastore.com ).
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi
aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan
perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu (disruptive)
ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan
kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi
perubahan kepribadian dan tingkah laku (Kusumawati, 2007).

2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Usia di atas 65 tahun mempunyai risiko tinggi untuk mengalami demensia dan hal ini tidak
bergantung pada bangsa, suku, kebudayaan dan status ekonomi. Hasil penelitian di seluruh dunia
menunjukkan bahwa demensia terjadi sekitar 8 % pada warga di atas usia 65 tahun dan
meningkat sangat pesat menjadi 25 % pada usia di atas 80 tahun dan hampir 40 % pada usia di
atas 90 tahun.

3. Penyebab Demensia pada Usia Lanjut (Boedhi-Darmojo, 2009)


Penyebab demensia yang reversibel sangat penting untuk diketahui, karena dengan pengobatan
yang baik penderita dapat kembali menjalankan hidup sehari-hari yang normal. Keadaan yang
secara potensial reversibel atau bisa dihentikan yaitu :
- Intoksikasi (Obat, termasuk alkohol dan lain-lain)
- Infeksi susunan saraf pusat
- Gangguan metabolik :
a) Endokrinopati (penyakit Addison, sindroma Cushing, Hiperinsulinisme, Hipotiroid,
Hipopituitari, Hipoparatiroid, Hiperparatiroid)
b) Gagal hepar, gagal ginjal, dialisis, gagal nafas, hipoksia, uremia kronis, gangguan
keseimbangan elektrolit kronis, hipo dan hiperkalsemia, hipo dan hipernatremia, hiperkalemia.
c) Remote efek dari kanker atau limfoma.
- Gangguan nutrisi :
a) Kekurangan vitamin B12 (anemia pernisiosa)
b) Kekurangan Niasin (pellagra)
c) Kekurangan Thiamine (sindroma Wernicke-Korsakoff)
d) Intoksikasi vitamin A, vitamin D, Penyakit Paget
- Gangguan vaskuler
a) Demensia multi infark
b) Sumbatan arteri carotis
c) Stroke
d) Hipertensi
e) Arthritis Kranial
- Lesi desak ruang
- Hirdosefalus bertekanan normal
- Depresi (pseudo-demensia depresif)

Penyakit degeneratif progresif :


a. Tanpa gejala neurologik penting lain :
• Penyakit Alzheimer
• Penyakit Pick
b. Dengan gangguan neurologik lain yang prominen :
• Penyakit Parkinson
• Penyakit Huntington
• Kelumpuhan supranuklear progresif
• Penyakit degeneratif lain yang jarang didapat

4. Patofisiologi Terkait dengan Proses Penuaan


Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia. Penuaan
menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan saraf pusat yaitu berat
otak akan menurun sebanyak sekitar 10 % pada penuaan antara umur 30 sampai 70 tahun.
Berbagai faktor etiologi yang telah disebutkan di atas merupakan kondisi-kondisi yang dapat
mempengaruhi sel-sel neuron korteks serebri. Penyakit degeneratif pada otak, gangguan vaskular
dan penyakit lainnya, serta gangguan nutrisi, metabolik dan toksisitas secara langsung maupun
tak langsung dapat menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan melalui mekanisme iskemia,
infark, inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan mengganggu
fungsi dari area kortikal ataupun subkortikal. Di samping itu, kadar neurotransmiter di otak yang
diperlukan untuk proses konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan
gangguan fungsi kognitif (daya ingat, daya pikir dan belajar), gangguan sensorium (perhatian,
kesadaran), persepsi, isi pikir, emosi dan mood. Fungsi yang mengalami gangguan tergantung
lokasi area yang terkena (kortikal atau subkortikal) atau penyebabnya, karena manifestasinya
dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal tersebut akan memicu keadaan konfusio akut
demensia (Boedhi-Darmojo, 2009).

Klasifikasi Demensia
Demensia dapat dibagi dalam 3 tipe yaitu :
1) Demensia Kortikal dan Sub Kortikal
a. Demensia Kortikal
Merupakan demensia yang muncul dari kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia
grisea yang berperan penting terhadap proses kognitif seperti daya ingat dan bahasa. Beberapa
penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah Penyakit Alzheimer, Penyakit
Vaskular, Penyakit Lewy Bodies, sindroma Korsakoff, ensefalopati Wernicke, Penyakit Pick,
Penyakit Creutzfelt-Jakob.
b. Demensia Subkortikal
Merupakan demensia yang termasuk non-Alzheimer, muncul dari kelainan yang terjadi pada
korteks serebri substansia alba. Biasanya tidak didapatkan gangguan daya ingat dan bahasa.
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demensia kortikal adalah penyakit Huntington,
hipotiroid, Parkinson, kekurangan vitamin B1, B12, Folate, sifilis, hematoma subdural,
hiperkalsemia, hipoglikemia, penyakit Coeliac, AIDS, gagal hepar, ginjal, nafas, dll.

2) Demensia Reversibel dan Non reversibel


a. Demensia Reversibel
Merupakan demensia dengan faktor penyebab yang dapat diobati. Yang termasuk faktor
penyebab yang dapat bersifat reversibel adalah keadaan/penyakit yang muncul dari proses
inflamasi (ensefalopati SLE, sifilis), atau dari proses keracunan (intoksikasi alkohol, bahan kimia
lainnya), gangguan metabolik dan nutrisi (hipo atau hipertiroid, defisiensi vitamin B1, B12, dll).
b. Demensia Non Reversibel
Merupakan demensia dengan faktor penyebab yang tidak dapat diobati dan bersifat kronik
progresif. Beberapa penyakit dasar yang dapat menimbulkan demensia ini adalah penyakit
Alzheimer, Parkinson, Huntington, Pick, Creutzfelt-Jakob, serta vaskular.

3) Demensia Pre Senilis dan Senilis


a. Demensia Pre Senilis merupakan demensia yang dapat terjadi pada golongan umur lebih muda
(onset dini) yaitu umur 40-50 tahun dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi medis yang
dapat mempengaruhi fungsi jaringan otak (penyakit degeneratif pada sistem saraf pusat,
penyebab intra kranial, penyebab vaskular, gangguan metabolik dan endokrin, gangguan nutrisi,
penyebab trauma, infeksi dan kondisi lain yang berhubungan, penyebab toksik (keracunan),
anoksia).
b. Demensia Senilis merupakan demensia yang muncul setelah umur 65 tahun. Biasanya terjadi
akibat perubahan dan degenerasi jaringan otak yang diikuti dengan adanya gambaran deteriorasi
mental.

Demensia berdasakan Etiologi yang mendasari :


a. Demensia pada Penyakit Alzheimer
Merupakan penyebab demensia yang paling sering ditemukan pada sekitar 50 % kasus demensia.
Penyakit Alzheimer merupakan penyakit degeneratif primer pada otak tanpa penyebab yang
pasti. Dapat terjadi pada umur kurang dari 65 tahun (onset dini) dengan perkembangan gejala
yang cepat dan progresif, atau pada umur di atas 65 tahun (onset lambat) dengan perjalanan
penyakit yang lebih lambat. Pada penyakit ini terjadi deposit protein abnormal yang
menyebabkan kerusakan sel otak dan penurunan jumlah neuron hippokampus yang mengatur
fungsi daya ingat dan mental. Kadar neurotransmiter juga ditemukan lebih rendah dari normal.
Gejala yang ditemukan pada penyakit Alzheimer adalah 4A yaitu:
- Amnesia : Ketidakmampuan untuk belajar dan mengingat kembali informasi baru yang didapat
sebelumnya.
- Agnosia : Gagal mengenali atau mengidentifikasi objek walaupun fungsi sensorisnya masih
baik.
- Aphasia : Gangguan berbahasa yaitu gangguan dalam mengerti dan mengutarakan kata – kata
yang akan diucapkan.
- Apraxia : Ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik
masih baik (contohnya mampu memegang gagang pintu tapi tak tahu apa yang harus
dilakukannya).
b. Demensia Vaskular
Merupakan penyebab kedua demensia yang terjadi pada hampir 40 % kasus. Demensia ini
berhubungan dengan penyakit serebro dan kardiovaskuler seperti hipertensi, kolesterol tinggi,
penyakit jantung, diabetes, dll. Biasanya terdapat riwayat TIA sebelumnya dengan perubahan
kesadaran. Demensia ini terjadi pada umur 50-60 tahun tetapi lebih sering pada umur 60-70
tahun. Gambaran klinis dapat berupa gangguan fungsi kognitif, gangguan daya ingat, defisit
intelektual, adanya tanda gangguan neurologis fokal, aphasia, disarthria, disphagia, sakit kepala,
pusing, kelemahan, perubahan kepribadian, tetapi daya tilik diri dan daya nilai masih baik.
c. Demensia pada penyakit lain
Adalah demensia yang terjadi akibat penyakit lain selain Alzheimer dan vaskuler yaitu :
- Demensia pada penyakit Pick
- Demensia pada penyakit Huntington
- Demensia pada penyakit Creutzfelt-Jakob
- Demensia pada penyakit Parkinson
- Demensia pada penyakit HIV-AIDS
- Demensia pada alkoholisme.

Manifestasi Klinis Demensia


Pada awal perjalanan penyakit, pasien mengalami pegal-pegal, cenderung mengalami kegagalan
dalam melakukan tugas tertentu yang kompleks dan memerlukan pemecahan masalah. Beberapa
hal yang sering ditemui pada demensia adalah :
a. Kemunduran intelektual yang disertai dengan gangguan :
1) Memori (daya ingat)
2) Orientasi : Gangguan orientasi orang, tempat dan waktu tetapi kesadarannya tidak mengalami
gangguan.
3) Bahasa : Aphasia, stereotipik, sirkumstansial, gangguan penamaan objek.
4) Daya pikir dan daya nilai : Daya pikir lebih lambat, aliran ide dan konsentrasi berkurang,
sudut pandang yang jelek dan kurang, pikiran paranoid, delusi, dll.
5) Kapasitas belajar komprehensif : Gangguan otak dalam memproses informasi yang masuk.
6) Kemampuan dalam perhitungan.

b. Perubahan emosional
Emosi sering gampang terstimulasi serta tidak dapat mengontrol tawa dan tangis.
c. Kemunduran kepribadian
1) Sering egois
2) Kurang bisa mengerti perasaan orang lain, kurang perhatian, introvert.
3) Kemunduran kebiasaan pribadi, makan, toilet, kebersihan, dll.
d. Perubahan-perubahan pada sistem tubuh :
1) Kardiovaskuler
Cardiac output menurun, kemampuan respon terhadap stress berkurang, tekanan darah
meningkat, denyut jantung setelah pemulihan melambat, cepat pegal bila aktivitas meningkat.
2) Respirasi
Volume residu paru meningkat, kapasitas vital paru menurun, kapasitas difusi dan pertukaran gas
menurun, efektivitas batuk menurun, pada aktivitas berat cepat lelah dan sesak, oksigenasi
berkurang sehingga luka susah sembuh, susah mengeluarkan sekret batuk.
3) Integumen (kulit)
Perlindungan terhadap trauma dan suhu yang ekstrem menurun, perlindungan oleh kelenjar
minyak alami dan berkeringat menurun, kulit tipis kering, dan keriput, sering memar, kebiruan
dan cepat terbakar sinar matahari, intoleransi terhadap panas, struktur tulang kelihatan pada kulit
yang tipis.
4) Reproduksi
Pada wanita terjadi penyempitan, penurunan elastisitas dan sekresi pada dinding vagina,
sehingga menimbulkan hubungan seksual yang sakit, perdarahan, gatal, iritasi dan lambat
orgasme. Pada laki –laki terjadi penurunan ukuran penis dan testes dan respon seksual yang
melambat.
5) Genito-urinaria
Kapasitas buli menurun, menurunnya sensasi untuk bak sehingga sering retensi dan kesulitan
bak. Pada laki-laki terjadi BPH, dan pada wanita terjadi relaksasi otot perineum dan
inkontinensia urine.
6) Gastrointestinal
Salivasi berkurang, susah menelan makanan, mengeluh mulut kering, pengosongan esofagus dan
lambung yang melambat sehingga sering terjadi gejala penuh, sakit ulu hati, mobilisasi usus
berkurang sehingga sering konstipasi, bersendawa, perut tidak nyaman.
7) Muskuloskeletal
Hilangnya densitas tulang, kekuatan dan ukuran otot, degenerasi tulang rawan sendi, sehingga
terjadi penurunan tinggi badan, kyphosis, fraktur, sakit pada punggung, merasa hilang tenaga,
flexibilitas dan ketahanan sendi menurun dan sering sakit sendi.
8) Saraf
Berkurangnya kecepatan konduksi saraf sehingga terjadi konfusi disertai dengan keluhan fisik
dan kehilangan respon lingkungan. Sirkulasi serebral menurun sehingga terjadi penurunan reaksi
dan respon, belajar perlu waktu yang lama, sering bingung, sering lupa dan jatuh.
e. Sistem indera :
1) Penglihatan : Kemampuan untuk fokus pada objek yang dekat berkurang, tidak toleransi
terhadap sinar, kesulitan mangatur intensitas cahaya masuk mata, dan penurunan kemampuan
membedakan warna.
2) Pendengaran : Menurunnya kemampuan mendengarkan suara frekuensi tinggi.
3) Rasa dan bau : Penurunan kemampuan mengecap dan membau sehingga dapat menggunakan
gula dan garam berlebih pada makanannya.
f. Halusinasi dan delusi
g. Tanda dan Gejala lainnya :
1) Psikiatrik
Gangguan cemas, depresi, perubahan kepribadian sehingga sering menangis atau tertawa
patologis, emosi ekstrim tanpa provokasi.
2) Neurologis
Apraxia dan agnosia, kejang, sakit kepala, pusing, kelemahan, sering pingsan, gangguan tidur,
disartria, disfagia.
3) Reaksi katastropi
Agitasi yang muncul sekunder akibat kesadaran subjektif terhadap defisit intelektual yang
dialami pada keadaan yang penuh stres.
4) Sundown syndrome
Mengantuk, konfusi, ataksia, jatuh. Sindrome ini bisa muncul saat stimulus eksternal berkurang
atau karena pengaruh obat benzodiazepine.

Komplikasi Demensia
a. Peningkatan risiko infeksi di seluruh bagian tubuh :
- Ulkus Dekubitus
- Infeksi saluran kencing
- Pneumonia
b. Thromboemboli, infark miokardium.
c. Kejang
d. Kontraktur sendi
e. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
f. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan kurang dan kesulitan menggunakan peralatan
g. Kehilangan kemampuan berinteraksi
h. Harapan hidup berkurang

3. Pemeriksaan Portabel Demensia


Untuk keperluan penapisan, pemeriksaan psikometrik sederhana misalnya dengan menggunakan
pemeriksaan mini status mental (Mini mental State Examination/MMSE) akan membantu
menentukan gangguan kognitif yang harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lain.

Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan penilaian menyeluruh, dengan memperhatikan usia
penderita, riwayat keluarga, awal dan perkembangan gejala serta adanya penyakit lain (misalnya
tekanan darah tinggi atau kencing manis). Dilakukan pemeriksaan kimia darah standar.
Pemeriksaan CT scan dan MRI dimaksudkan untuk menentukan adanya tumor, hidrosefalus atau
stroke.
Jika pada seorang lanjut usia terjadi kemunduran ingatan yang terjadi secara bertahap, maka
diduga penyebabnya adalah penyakit Alzheimer. Diagnosis penyakit Alzheimer terbukti hanya
jika dilakukan otopsi terhadap otak, yang menunjukkan banyaknya sel saraf yang hilang. Sel
yang tersisa tampak semrawut dan di seluruh jaringan otak tersebar plak yang terdiri dari amiloid
(sejenis protein abnormal). Metode diagnostik yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini
adalah pemeriksaan pungsi lumbal dan PET (positron emission tomography), yang merupakan
pemerisaan skening otak khusus.

 Penatalaksanaan (Boedhi-Darmojo, 2009)


Walaupun penyembuhan total pada berbagai bentuk demensia biasanya tidak mungkin, dengan
penatalaksaan yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari dari penderita. Prinsip
utama penatalaksanaan penderita demensia adalah sebagai berikut
a. Optimalkan fungsi dari penderita
- Obati penyakit yang mendasarinya (hipertensi, penyakit parkinson)
- Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP
- Akses keadaan lingkungan, kalau perlu buat perubahan
- Upayakan aktivitas mental dan fisik
- Hindari situasi yang menekan kemampuan mental, gunakan alat bantu memori bila
memungkinkan
- Persiapkan penderita bila akan berpindah tempat
- Tekankan perbaikan gizi
b. Kenali dan obati komplikasi
- Mengembara dan berbagai perilaku merusak
- Gangguan perilaku lain
- Depresi
- Agitasi atau agresivitas
- Inkontinensia
c. Upayakan perumatan berkesinambungan
- Re-akses keadaan kognitif dan fisik
- Pengobatan gangguan medik
d. Upayakan informasi medis bagi penderita dan keluarganya
- Berbagai hal tentang penyakitnya
- Kemungkinan gangguan/kelainan yang bisa terjadi
- Prognosis
e. Upayakan informasi pelayanan sosial yang ada pada penderita dan keluarganya
- Berbagai pelayanan kesehatan masyarakat
- Nasihat hukum dan/keuangan
f. Upayakan nasihat keluarga untuk :
- Pengenalan dan cara atasi konflik keluarga
- Penanganan rasa marah atau rasa bersalah
- Pengambilan keputusan
- Kepentingan-kepentingan hukum/masalah etik
g. Peran keluarga
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita demensia yang
tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal yang mudah, tapi perlu
kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia
penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan
kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju
kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.
Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian lansia, sehingga lansia
cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh anggota keluargapun diharapkan aktif
dalam membantu lansia agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara
mandiri dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada umumnya
lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami lansia penderita demensia.
Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun setiap hari selama
hampir 24 jam mengurus mereka, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal dan mengingat
siapa kita, bahkan tidak ada ucapan terima kasih setelah apa yang kita lakukan untuk mereka.
Kesabaran adalah sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita demensia.
Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang terjadi pada
dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala yang muncul akibat demensia.
Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan selalu meluangkan waktu untuk diri sendiri
beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman lain dapat menghindarkan stress yang dapat
dialami oleh anggota keluarga yang merawat lansia dengan demensia.
Pada suatu waktu lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya dan panik karena
tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk ditenangkan. Untuk mangatasi
hal ini keluarga perlu membuat lansia rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di
tempat yang aman dan bersama dengan orang-orang yang menyayanginya. Duduklah bersama
dalam jarak yang dekat, genggam tangan lansia, tunjukkan sikap dewasa dan menenangkan.
Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia untuk tidur kembali.
Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak memahaminya.
Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Mereka dapat
saja menyalakan kompor dan meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa mampu
mengemudikan kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai pakaian
yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu yang panas.
Seperti layaknya anak kecil terkadang lansia dengan demensia bertanya sesuatu yang sama
berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama disampaikan.
Menciptakan lingkungan yang aman seperti tidak menaruh benda tajam sembarang tempat,
menaruh kunci kendaraan ditempat yang tidak diketahui oleh lansia, memberikan pengaman
tambahan pada pintu dan jendela untuk menghindari lansia kabur adalah hal yang dapat
dilakukan keluarga yang merawat lansia dengan demensia di rumahnya. (Kusumawati, 2007,
http:/www.berita iptek online.com).

Prognosis
Perkembangan demensia pada setiap orang berbeda. Pada sebagian besar demensia stadium
lanjut, terjadi penurunan fungsi otak yang hampir menyeluruh. Penderita menjadi lebih menarik
dirinya dan tidak mampu mengendalikan perilakunya. Suasana hatinya sering berubah-ubah dan
senang berjalan-jalan (berkelana). Pada akhirnya penderita tidak mampu mengikuti suatu
percakapan dan bisa kehilangan kemampuan berbicara.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Data subyektif :
1) Pasien mengatakan mudah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi.
2) Pasien mengatakan tidak mampu mengenali orang, tempat dan waktu.

b. Data obyektif :
1) Pasien kehilangan kemampuannya untuk mengenali wajah, tempat dan objek yang sudah
dikenalnya dan kehilangan suasana kekeluargaannya.
2) Pasien sering mengulang-ngulang cerita yang sama karena lupa telah menceritakannya.
3) Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-kata yang lebih
sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata
yang tepat.

2. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuronal dan demensia progresif.
b. Risiko terhadap cedera berhubungan dengan defisit sensori dan motorik
c. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan konfusi, kehilangan kognitif dan
perilaku disfungsi.
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perawatan anggota keluarga yang mengalami
disfungsi.
e. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan kerusakan kognitif & perilaku disfungsi.
f. Kerusakan komunikasi berhubungan dengan gangguan pendengaran
g. Konfusi kronis berhubungan dengan degenerasi progresif korteks serebri sekunder akibat
demensia

Rencana Asuhan Keperawatan Pada Demensia


1.      DIAGNOSA KEPERAWATAN : Perubahan proses pikir b/d degenerasi neuronal dan
demensia progresif.
TUJUAN : Setelah diberi askep 3×24 jam diharapkan pasien mampu memelihara fungsi kognitif
yang optimal dengan kriteria :
-  Mempertahankan fungsi ingatan yang optimal.
-  Memperlihatkan penurunan dalam prilaku yang bingung.
-  Menunjukkan respons yang sesuai untuk stimuli taktil, visual dan auditori.
-  Mengungkapkan rasa keamanan dan perlindungan.
-  Menunjukkan orientasi optimal terhadap waktu, tempat dan orang.
INTERVENSI KEPERAWATAN :
1.      Kurangi konfusi lingkungan.
- Dekati pasien dengan cara menyenangkan dan kalem.
- Cobalah agar mudah ditebak dalam sikap dan percakapa perawat.
- Jaga lingkungan tetap sederhana dan menyenagkan.
- Pertahankan jadwal sehari-hari yang teratur.
- Alat bantu mengingat sesuai yang diperlukan.
RASIONAL : Stimuli yang sederhana dan terbatas akan memfasilitasi interpretasi dan
mengurangi distorsi input; perilaku yang dapat ditebak kurang mengancam disbanding perilaku
yang tidak dapat ditebak; alat bantu ingatan akan membantu pasien untuk mengingat.
2. Tingkatkan isyarat lingkungan
- Perkenalkan diri perawat ketika berinteraksi dengan pasien.
- Panggil pasien dengan menyebutkan namanya.
- Berikan isyarat lingkungan untuk orientasi waktu, tempat dan orang.
RASIONAL :Isyarat lingkungan akan meningkatkan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang
dan individu akan mengisi kesenjangan ingatan dan berfungsi sebagai pengingat.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko terhadap cedera b/d defisit sensori dan motorik.
TUJUAN : Setelah diberi askep 3×24 jam diharapkan pasien mampu mempertahankan
keselamatan fisik dengan kriteria :
-  Mematuhi prosedur keselamatan.
-  Dapat bergerak dengan bebas dan mandiri disekitar rumah.
-  Mengungkapkan rasa keamanan dan terlindungi.
INTERVENSI KEPERAWATAN :
1.      Kendalikan lingkungan.
- Singkirkan bahaya yang tampak jelas.
- Kurangi potensial cedera akibat jatuh ketika tidur..
- Pantau regimen medikasi.
- Ijinkan merokok hanya dalam pengawasan.
- Pantau suhu makanan.
- Awasi semua aktivitas diluar rumah.
RATIONAL :Lingkungan yang bebas bahaya akan mengurangi risiko cedera dan membebaskan
keluarga dari kekhawatiran yang konstan.
2. Ijinkan kemandirian dan kebebasan maksimum.
- Berikan kebebasan dalam lingkungan yang aman.
- Hindari penggunaan restrain.
- Kerika pasien melamun, alihkan perhatiannya.
- Simpan tag identifikasi pada pasien.
RATIONAL :Hal ini akan memberikan pasien rasa otonomi.Restrain dapat meningkatkan
agitasi.Pengalihan perhatian difasilitasi oleh kehilangan ingatan segera.Nama dan nomor telpon
akan memfasilitasi kembalinya dengan aman pasien yang sedang melamun.
3. Kaji adanya hipotensi ortostatik
RATIONAL :Dapat menyebabkan cedera
4. Ajarkan klien bergerak dari posisi tidur ke berdiri secara bertahap
RATIONAL :Mencegah terjadinya hipotensi ortostatik yang dapat menyebabkan cedera
5. Ajarkan latihan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas
RATIONAL :
Dengan meningkatnya kekuatan otot akan mencegah terjadinya cedera

DEMENSIA (PENURUNAN DAYA INGAT)


Emirza Nur Wicaksono, S.Ked Februari 28, 2013

[57] comments

A.       PENGERTIAN

Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas
sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada
tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu
(non-disruptive)  demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang
disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan
tingkah laku.

Demensia adalah satu penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati secara abnormal. Hanya satu
terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyakit otak degeneratif yang progresif. Daya ingatan,
pemikiran, tingkah laku dan emosi terjejas bila mengalami demensia. Penyakit ini boleh dialami oleh
semua orang dari berbagai latarbelakang pendidikan mahupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat
sebarang rawatan untuk demensia, namun rawatan untuk menangani gejala-gejala boleh diperolehi.
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan, dimana
terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa
terjadi kemunduran kepribadian.

Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun
(misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak. Tetapi demensia biasanya timbul
secara perlahan dan menyerang usia diatas 60 tahun. Demensia bukan merupakan bagian dari proses
penuaan yang normal. Sejalan dengan bertambahnya umur, maka perubahan di dalam otak bisa
menyebabkan hilangnya beberapa ingatan (terutama ingatan jangka pendek) dan penurunan beberapa
kemampuan belajar. Perubahan normal ini tidak mempengaruhi fungsi.

Lupa pada usia lanjut bukan merupakan pertanda dari demensia maupun penyakit Alzheimer stadium
awal. Demensia merupakan penurunan kemampuan mental yang lebih serius, yang makin lama makin
parah. Pada penuaan normal, seseorang bisa lupa akan hal-hal yang detil; tetapi penderita demensia
bisa lupa akan keseluruhan peristiwa yang baru saja terjadi.

B.       EPIDEMIOLOGI

Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah 7,2 % (populasi
usia lanjut kurang lebih 15 juta). peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan
meningkatnya harapan hidup suatu populasi . Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita
demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun.
Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 –
15% atau sekitar 3 – 4 juta orang.

Demensia terbagi menjadi dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Demensia Alzheimer
merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50-70%. Demensia
vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan demensia lainnya. Di Jepang dan
Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia akibat penyakit Alzheimer

C.       KLASIFIKASI

1.      Menurut Umur :

a.       Demensia senilis (>65th)

b.      Demensia prasenilis (<65th)

2.      Menurut perjalanan penyakit :

a.       Reversibel

b.      Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit B Defisiensi, Hipotiroidisma,


intoxikasi Pb.
3.      Menurut kerusakan struktur otak :

a.       Tipe Alzheimer

b.      Tipe non-Alzheimer

c.       Demensia vaskular

d.      Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)

e.       Demensia Lobus frontal-temporal

f.        Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)

g.       Morbus Parkinson

h.       Morbus Huntington

i.         Morbus Pick

j.        Morbus Jakob-Creutzfeldt

k.      Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker

l.         Prion disease

m.     Palsi Supranuklear progresif

n.       Multiple sklerosis

o.      Neurosifilis

4.      Menurut sifat klinis:

a.       Demensia proprius

b.      Pseudo-demensia

D.      ETIOLOGI

Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia
ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak
dapat disembuhkan. Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala
demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia Lewy body,
demensia frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.

Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer
adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di
transmisikan sebagaimana mestinya. Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan
membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.

Kemungkinan penyebab demensia

      1.      Demensia Degeneratif

            a.       Penyakit Alzheimer

            b.      Demensia frontotemporal (misalnya; Penyakit Pick)

            c.        Penyakit Parkinson

            d.      Demensia Jisim Lewy

            e.        Ferokalsinosis serebral idiopatik (penyakit Fahr)

            f.         Kelumphan supranuklear yang progresif

      2.      Lain-lain

            a.       Penyakit Huntington

            b.      Penyakit Wilson

            c.       Leukodistrofi metakromatik

      3.      Trauma

            a .        Dementia pugilistica,posttraumatic dementia

            b.      Subdural hematoma

     4.      Infeksi

         a  .       Penyakit Prion (misalnya penyakit Creutzfeldt-Jakob, bovine spongiform encephalitis,


(Sindrom   Gerstmann Straussler)

                  b.            Acquired immune deficiency  syndrome  (AIDS)

                  c.              Sifilis

     5.      Kelainan jantung, vaskuler dan

           a.       Neuroakantosistosis

      6.      Kelainan Psikiatrik

            a.        Pseudodemensia pada depresi


            b.      Penurunan fungsi kognitif pada skizofrenia lanjut

     7 .      Fisiologis

            a.        Hidrosefalus tekanan normal

      8.      Kelainan Metabolik

            a.       Defisiensi vitamin (misalnya vitamin B12, folat)

            b.      Endokrinopati (e.g.,hipotiroidisme)

            c.       Gangguan metabolisme kronik (contoh : uremia)

      9.      Tumor

           a.       Tumor primer maupun metastase (misalnya meningioma atau tumor metastasis dari tumor 
payudara atau tumor paru)

     10.  anoksia

          a.       Infark serebri (infark tunggak mauapun mulitpel atau infark lakunar)

          b.      Penyakit Binswanger (subcortical arteriosclerotic  encephalopathy)

          c.       Insufisiensi hemodinamik (hipoperfusi atau hipoksia)

     11.  Penyakit demielinisasi

          a.        Sklerosis multipel

     12.  Obat-obatan dan toksin

          a.        Alkohol

          b.       Logam berat

          c.        Radiasi

          d.      Pseudodemensia akibat

          e.       pengobatan (misalnya penggunaan antikolinergik)

          f.        Karbon monoksida.

  Demensia Tipe Alzheimer

Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi nama

dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun
dengan perjalanan demensia progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan

pada pemeriksaan neuropatologi otak; meskipun demikian, demensia Alzheimer biasanya

didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain telah disingkirkan dari

pertimbangan diagnostik

Faktor Genetik

Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi kemajuan dalam
molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi gangguan. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat keluarga menderita
demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetik dianggap berperan dalam
perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan tentang peranan genetik adalah
bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik, dimana angka kejadian demensia tipe
Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian pada kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah
tercatat dengan baik, gangguan ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan,
walau transmisi tersebut jarang terjadi.

Protein prekursor amiloid

Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom 21. Melalui

proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amiloid. Protein beta/ A4,
yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42-asam amino yang
merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid. Pada kasus sindrom Down (trisomi
kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi
yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein prekusor amiloid, suatu proses patologis yang
menghasilkan deposit protein beta/A4 yang berlebihan. Bagaimana proses yang terjadi pada protein
prekusor amiloid dalam perannya sebagai penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui,
akan tetapi banyak kelompok studi yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein
prekusor amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe
Alzheimer untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Gen E4 multipel

Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer. Individu yang
memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar daripada individu yang tidak
memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan
kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut.

Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidal direkomendasikan untuk saat ini, karena gen

tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada
seluruh penderita demensia.

Neuropatologi

Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan adanya atrofi
dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan
patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal
loss  (biasanya ditemukan pada korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf.
Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer
terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron
tersebut tidak khas

ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada sindrom Down,

demensia pugilistika (punch-drunk syndrome) kompleks Parkinson-demensia Guam, penyakit

Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut

neuron biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus Plak
senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit Alzheimer meskipun
plak senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam beberapa kasus ditemukan pada
proses penuaan yang normal.

Neurotransmiter

Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer adalah

asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa
penelitian melaporkan pada penyakit Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron
kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada
Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.

Penyebab potensial lainnya

Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori
adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran
yang kurang cairan yaitu, lebih kaku dibandingkan dengan membran

yang normal. Penelitian melalui spektroskopik resonansi molekular (Molecular Resonance

Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi dalam beberapa otak pasien

dengan penyakit Alzheimer.

Familial Multipel System Taupathy  dengan presenile demensia


Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru, yaitu Familial Multipel System Taupathy, biasanya
ditemukan bersamaan dengan kelainan otak yang lain ditemukan pada orang dengan

penyakit Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi pencetus adalah kromosom 17. Gejala penyakit berupa
gangguan pada memori jangka pendek dan kesulitan mempertahankan keseimbangan dan pada saat
berjalan. Onset penyakit ini biasanya sekitar 40 – 50 detik, dan orang dengan penyakit ini hidup rata-rata
11 tahun setelah terjadinya gejala.Seorang pasien dengan penyakit Alzheimer memiliki protein pada sel
neuron dan glial seperti pada Familial Multipel System Taupathydimana protein ini membunuh sel-sel
otak. Kelainan ini tidak berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan penyakit Alzheimer.

Demensia vaskuler

Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan gejala

berpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat hipertensi dan faktor
resiko kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil
dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multipel yang menyebar luas pada
otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau
tromboemboli dari tempat lain( misalnya katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit
karotis, hasil funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung

Penyakit Binswanger

Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, ditandai dengan ditemukannya infark-
infark kecil pada subtansia alba yang juga mengenai daerah korteks serebri dan kuat seperti resonansi
magnetik (Magnetic Resonance Imaging; MRI) membuat penemuan

kasus ini menjadi lebih sering.

Penyakit Pick

Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah tersebut
mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang merupakan massa
elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan
untuk diagnosis. Penyebab dari penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5% dari
semua demensia ireversibel. Penyakit ini paling sering pada laki-laki, khususnya yang memiliki keluarga
derajat pertama dengan penyakit ini. Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia Alzheimer.
Walaupun stadium awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan
fungsi kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya: hiperseksualitas,
flaksiditas, hiperoralitas) lebih sering ditemukan pada penyakit Pick daripada pada penyakit Alzheimer.
yang paling luas pada lobus frontalis serta pada lobus temporalis dan parietalis .

Penyakit Jisim lewy (Lewy body diseases)


Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan penyakit Alzheimer dan
sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala

ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden yang sesungguhnya
tidak diketahui. Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse
effect) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.

Penyakit Huntington

Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan perkembangan demensia. Demensia pada penyakit
ini terlihat sebagai demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan abnormalitas  motorik yang lebih
menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang lebih ringan dibandingkan demensia tipe kortikal.
Demensia pada penyakit Huntington menunjukkan perlambatan psikomotor dan kesulitan dalam
mengerjakan pekerjaan yang kompleks, akan tetapi memori, bahasa, dan tilikan relatif utuh pada
stadium awal dan pertengahan penyakit. Dalam perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan
gambaran klinis yang membedakannya dengan demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insiden
depresi dan psikosis, selain gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik.

Penyakit Parkinson

Sebagaimana pada penyakit Huntington, Parkinsonisme merupakan penyakit pada ganglia

basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen pasien
dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan kognitif. Gerakan lambat pada pasien
dengan penyakit Parkinson sejajar dengan perlambatan berpikir pada beberapa mpasien, suatu
gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai bradifrenia.2

E.       GEJALA KLINIS

al yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku
sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses
penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat
nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang.

Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang
biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal
bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali
lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum
mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.

Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak
dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain
dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke
rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan.

Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga
kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan
mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum
memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang
harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf,
pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.

Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan,
sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh
Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan
sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat
mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita
demensia di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi
spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal

Ada dua tipe demensia yang paling banyak ditemukan, yaitu tipe Alzheimer dan Vaskuler.

1.      Demensia Alzheimer

Gejala klinis demensia Alzheimer merupakan kumpulan gejala demensia akibat gangguan neuro
degenaratif (penuaan saraf) yang berlangsung progresif lambat, dimana akibat proses degenaratif
menyebabkan kematian sel-sel otak yang massif. Kematian sel-sel otak ini baru menimbulkan gejala
klinis dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya ditemukan gejala mudah lupa (forgetfulness) yang
menyebabkan penderita tidak mampu menyebut kata yang benar, berlanjut dengan kesulitan mengenal
benda dan akhirnya tidak mampu menggunakan barang-barang sekalipun yang termudah. Hal ini
disebabkan adanya gangguan kognitif sehingga timbul gejala neuropsikiatrik seperti, Wahan (curiga,
sampai menuduh ada yang mencuri barangnya), halusinasi pendengaran atau penglihatan, agitasi
(gelisah, mengacau), depresi, gangguan tidur, nafsu makan dan gangguan aktifitas psikomotor,
berkelana.

Stadium demensia Alzheimer terbagi atas 3 stadium, yaitu :

a.  Stadium I

Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori, berhitung dan
aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang
dialami.

b.  Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebutr stadium demensia. Gejalanya, antara lain :

1.      Disorientasi

2.      Gangguan bahasa (afasia)

3.      Penderita mudah bingung

Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan kegiatan sampai selesai,
tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga
mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di
lingkungannya, depresi berat prevalensinya 15-20%,”

c.  Stadium III

Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya antara lain :

1.      Penderita menjadi vegetatif

2.      Tidak bergerak dan membisu

3.      Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal keluarganya sendiri

4.      Tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil

5.      Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan ornag lain

6.      Kematian terjadi akibat infeksi atau trauma

2.      Demensia Vaskuler

Untuk gejala klinis demensia tipe Vaskuler, disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak. “Dan
setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya demensia,”. Depresi bisa
disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga depresi itu dapat
didiuga sebagai demensia vaskuler. Gejala depresi lebih sering dijumpai pada demensia vaskuler
daripada Alzheimer. Hal ini disebabkan karena kemampuan penilaian terhadap diri sendiri dan respos
emosi tetap stabil pada demensia vaskuler.

Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah
laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses
penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat
nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang.

Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang
biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal
bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali
lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum
mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.

Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak
dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain
dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke
rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan.

Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga
kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan
mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum
memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang
harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf,
pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.

Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan,
sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh
Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan
sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat
mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita
demensia di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi
spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal

Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:

a.       Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa” menjadi bagian
keseharian yang tidak bisa lepas.

b.       Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat
penderita demensia berada

c.        Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata
yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali

d.       Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi,
marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan.
Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.

e.       Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.

4.Demensia Lobus frontal-temporal


Ini adalah nama yang diberikan kepada sebuah kelompok demensia jika terjadi proses kemunduran
dalam satu atau keduanya dari lobus frontal atau lobus temporal otak. Termasuk dalam kelompok ini
adalah Fronto Temporal lobus frontal dan lobus temporal), Progressive non-Fluent Aphasia (Afasia
Progresif non-Fluent, penderita secara berangsur-angsur kehilangan kemampuan berbicara), Semantic
Demensia (Demensia Semantik, penderita tidak mengerti arti kata-kata) dan penyakit Pick. Lebih dari
50% orang penderita FTLD mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit tersebut. Mereka yang
mewarisinya sering mengalami mutasi gen pada protein tau dalam kromosom 17 yang menyebabkan
diproduksinya protein tau yang abnormal. Tidak diketahui adanya faktor risiko lain.

5. Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)

6. Morbus Parkinson

Demensia ini disebabkan adanya penyakit parkinson yang menyertai dengan gejala :

·      Disfungsi motorik.

·      Gangguan kognitif / demensia bagian dari gangguan.

·      Lobus frontalis dan defisit daya ingat.

·      Depresi.

7. Morbus Huntington

Demensia ini disebabkan penyakit herediter yang disertai dengan degenoivasi progresif pada ganglia
basalis dan kortex serebral. Transmisi terdapat pada gen autosomal dominan fragmen G8 dari
kromosom 4. Onset terjadi pada usia 35 – 50 tahun. Gejalanya :

·      Demensia progresif.

·      Hipertonisitas mascular.

·      Gerakan koreiform yang aneh.

8. Morbus Pick

Intraneunoral yang Penyakit Pick disebabkan penurunan fungsi mental dan perilaku yang terjadi secara
progresif dan lambat. Kelainan terdapat pada kortikal fokal pada lobus frontalis. Penyakit ini juga sulit
dibedakan dengan Alzheimer hanya bisa dengan otopsi, dimana otak menunjukkan inklusi disebut
“badan Pick” yang dibedakan dari serabut neurofibrilaris pada Alzheimer.

Pedoman diagnostik penyakit demensia penyakit Pick

·         Adanya gejala demensia yang progresif.

·         Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol disertai euforia,
emosi tumpul, dan perilaku sosial yang kasar, disinhibisi, apatis, gelisah.
·         Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat.

9. Morbus Jakob-Creutzfeldt

Penyakit ini disebabkan oleh degeneratif difus yang mengenai sistim piramidalis dan ekstrapiramidal.
Pada penyakit ini tidak berhubungan dengan proses ketuaan. Gejala terminal adalah :

·      Demensia parah.

·      Hipertonisitas menyeluruh.

·      Gangguan bicara yang berat.

Penyakit ini dsiebabkan oleh virus infeksius yang tumbuh lambat. (misal transplantasi kornea). Trias yang
sangat mengarah pada diagnosis penyakit ini :

·   Demensia yang progresif merusak.

·   Penyakit piramidal dan ekstrapiramidal dengan mioklonus.

·   Elektroensephalogram yang khas.

F. PATOFISIOLOGI

Begitu banyak factor penyebab terjadinya dementia pada berbagai penyakit yang telah disebut di atas.
Apapun sebabnya, semuanya menyebabkan perubahan psyco – neurokimiawi di otak.

Factor – factor gangguan regulasi DNA, neural reserve capacity untuk CNS performance yang exhausted,
dan gangguan supply energi untuk metabolisme CNS dapat menyebabkan penurunan glycolitik yang
kemudian berturut – turut mengakibatkan penurunan sintesa Acetyl CO enzim A yang penting untuk
sintesa Acetil Choline, penurunan aktifitas Cholin Asetiltransferase di kortek hipokampus, maka
akibatnya terjadi penurunan kadar aktifitas kholinergik sehingga menyebabkan demensia. Pada
penelitian terbukti bahwa, penurunan kadar Cholin Asetiltransferase mempunyai korelasi langsung
dengan hasil test mental score / aktifitas intelektual yang menurun dan juga peninggian jumlah plague
senille. Aktifitas kholinergik bersumber terutama pada basal fortebrain nucleus of mainert, locus
ceruleus, dan dorsal raphe nuclei.

Secara ringkas bahwa proses demensia adalah terjadinya perubahan neuro kimiawi yang tersebut
dibawah ini :

1. pengurangan neurotransmitter klasik :  asetil kolin, nor adrenalin dan metabolitnya, dopamine, 5 HT

2. pengurangan amino acid neurotransmitter : Glu., Gly., GABA

3. pengurangan enzim –enzim : AchE, DOPA decarboksilase, GAD., CAT

4. pengurangan neuro peptide : somatostatin, dll.


Khusus pada Alzheimer disease disamping yang tersebut di atas, kemungkinan penyebab lain yang ikut
berperan adalah adanya efek genetic ( serineprotease inhibitor ) sehubungan dengan deposit A4Beta
amyloid peptide pada kromosom 21 sehingga menyebabkan pembentukan neurofibrillary tangles dan
senile plaque dan granulofacuolar degenerasi lebih dini. Proses ketuan fisik yang fisiologis seperti halnya
timbulnya katarak senilis, osteoporosis, alopesia, rontoknya gigi, gangguan pendengaran, gangguan
sexual tidaklah selalu paralel dengan timbulnya demensia senilis. Usia 65 tahun keatas sel – sel otak
berangsur ada yang mati dan jumlahnya berkurang, otak menjadi lebih atrofi, sulcus menjadi lebih lebar,
dan ventrikiel melebar. Proses ketuaan ini bukanlah suatu penyakit, jadi tidak perlu ditakuti. Yang
penting perlu dijaga jangan sampai mempunyai faktor resiko penyakit vascular ataupun metabolisme
yang bisa mengganggu suplai energi dan metabolisme otak

Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit demensia
Alzheimer. Serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak senile atau
neuritis (deposit pritein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein precusor amiloid
(APP)). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan
rusaknya ukuran otak. Perubahan serupa juga dijumpai pada tonjolan kecil jaringan otak normal lansia.
Sel utama yang terkena penyakit ini adalah menggunakan neurotransmitter asetilkolin. Secar biokomia,
produksi asetilkolion yang mempengaruhi aktivitas menurun. Asetilkolin terutan terlibat dalam proses
ingatan.
Kerusakan serebri terjadi bila pasokan darah keotak terganggu. Infark, kematian jaringan otak, terjadi
dengan kecepatan yang luar biasa. Infark serebri kecil-kecil multiple-infark. Pada penyakit Alzeimer
terjafi penurunan yang progresif, sebaliknya progresi demensia multi-infark tidak beraturan. Setiap
infark yang kecil diikuti penyembuhan dan masa stabil sampai terjadi infark kemudian. Biasanya pasien
mempunyai riwayat penyakit kardiovaskuler atau serebrovaskuler.
Pusing, sakit kepala dan penurunan kekuatan fisik dan mental adalah tanda-tanda awal penyakit. Pada
lebih dari setengah kasus, penyakit ini muncul sebagai kebingungan yang mendadak. Kemudian diikuuti
kehilangan ingatan yang mendadak. Kemudian diikuti kehilangan ingatan bertahap. Pasien bisa
mengalami halusinasi dan menunjukkan tanda-tanda delirium, bisa terjadi gangguan bicara.

G. PATOGENESIS

Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai   pada usia 50 atau
60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian.
Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik
masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar
8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia
dengan awitan yang dini atau dengan riwayatkeluarga menderita demensia memiliki kemungkinan
perjalanan penyakit yang lebih cepat.  Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit
Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus
menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan
demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum
kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang mungkin
diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan
yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe
Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya,
awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat
terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk
pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin
atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku
psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam
diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.

Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-bagian otak
(self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat
juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia
akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi.
Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia
tipe Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler)
menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).

Faktor Psikosial

Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial.
Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga kemampuan
untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset)
menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap.
Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi
pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada
kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek
kognitifnya akan menghilang.

H. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada
pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara
pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain :

1.      Riwayat medik umum

Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia
seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung,
hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada
saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.
2.    Riwayat neurologi umum

Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab
demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan
operasi otak karena tumor atauhidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik,
sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural
dari pada sebab degeneratif.

3.    Riwayat neurobehavioral

Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini
meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan
waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus
uang dan membuat keputusan.

4.    Riwayat psikiatrik

Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan
psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian,
tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan
fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.

5.    Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan

Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun
laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan
walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik
dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.

6.    Riwayat keluarga

Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga
langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.

7.    Pemeriksaan objektif

Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis,
pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.

Pemeriksaan penunjang 

1. Pemeriksaan laboratorium rutin

Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk
membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensiareversible, walaupun 50%
penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan
laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone
tiroid, kadar asam folat

2. Imaging

Computed Tomography  (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan
rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.

3.    Pemeriksaan EEG

Electroencephalogram  (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah
normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks
periodik.

4.      Pemeriksaan cairan otak

Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan
imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus
normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.

5. Pemeriksaan genetika

Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu
epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya
frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.

Pemeriksaan neuropsikologis

Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan
aspek kognitif lainnya. Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan
demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori,
bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat
berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses
depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:

a.  mampu menyaring secara cepat suatu populasi

b.  mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia. (Sjahrir,1999)

Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak
dipakai. tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan.

Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian
dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan
memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan
mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.)
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap
normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia.. Pada penelitian Crum
R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang
> 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan
5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun. Clinical Dementia Rating  (CDR) merupakan suatu
pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang
dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan.. Penilaian fungsi kognitif pada CDR
berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas
sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini
adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa
gangguan kognitif. Nilai 0,5, untukQuenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia
ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu
derajat demensia yang berat.

I. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis difokuskan pada hal-hal berikut ini:

Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler

Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan adanya
perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler seiring berjalannya
waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas, kemerosotan yang bertahap tersebut tidak secara nyata
ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui pada demensia vaskuler
daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan patokan adanya faktor risiko
penyakit serebrovaskuler.

Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks

Transient ischemic attacks  (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi neurologis fokal yang terjadi
selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit). Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin
terjadi, episode TIA biasanya disebabkan oleh mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang
mengakibatkan terjadinya iskemia otak sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa
perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan
terapi mengalami infark serebri di kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan
strategi klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara episode TIA
yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum, gejala penyakit sistem
vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik pada batang otak maupun lobus
oksipital, sedangkan distribusi sistem karotis mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan
unilateral atau kelainan hemisferik. Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti
aspirin dan bedah reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark
serebri pada pasien dengan TIA.

Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang ditunjukkan oleh klasifikasi
berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan dengan demensia oleh awitan yang cepat,
durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat
nokturnal, gangguan siklus tidur yang bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.

Perbedaan klinis delirium dan Demensia.

Gambaran Delirium Demensia

Riwayat Penyakit akut Penyakit Kronik

Awal Cepat Lambat laun

Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, Biasanya penyakit otak kronik


dehidrasi, guna/putus obat) (sptAlzheimer, demensia
vaskular)

Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun

Perjalanan sakit Naik turun Kronik Progresif

Taraf Kesadaran Orientasi Naik turun, terganggu periodik Normal intak pada awalnya

Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas

Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya

Bahasa daya ingat Lamban. Inkoheren, inadekuat, angka Sulit menemukan istilah tepat
pendek terganggu nyata Jangka pendek dan panjang
terganggu

Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang terjadi kecuali


sundowning

Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal


Terganggu siklus tidurnya
Tidur Sedikit terganggu siklus tidurnya

Atensi dan kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu

Reversibilitas Sering reversibel Umumnya tak reversibel

Penanganan Segera Perlu tapi tak segera

Catatan : pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang

    bertumpang tindih dengan demensia adalah umum

Depresi
Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar dibedakan dengan
gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai psuedodemensia, meskipun istilah
disfungsi kognitif terkait depresi (depression-related cognitive dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat
menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara umum memiliki
gejala-gejala depresi yang menyolok, lebih menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada
pasien dengan demensia serta sering memiliki riwayat episode depresi.

Skizofrenia

Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat (acquired),
gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala psikosis dan gangguan pikiran
seperti yang terdapat pada demensia.

Proses penuaan yang normal

Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan berbagai fungsi kognitif yang signifikan, akan
tetapi masalah-masalah memori atau daya ingat yang ringan dapat terjadi sebagai bagian yang normal
dari proses penuaan. Gejala yang normal ini terkadang dikaitkan dengan gangguan memori terkait usia,
yang dibedakan dengan demensia oleh ringannya derajat gangguan memori dan karena pada proses
penuaan gangguan memori tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku sosial dan
okupasional pasien.

Gangguan lainnya

Retardasi mental, yang tidak termasuk kerusakan memori, terjadi pada masa kanan-kanan. Gangguan
amnestik ditandai oleh hilangnya memori yang terbatas dan tidak ada perburukan. Depresi berat
dimana memori terganggu biasanya akan memberikan respon terhadap terapi antidepresan.

J. PENATALAKSANAAN

Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi diagnosis. Diagnosis
yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan
jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan pengukuran untukpencegahan adalah penting terutama
pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan
pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa
antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan
sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta
adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensiavaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah
nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia
vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat -2 dapat
memperburuk kerusakanpenting mengingat antagonis reseptor fungsi kognitif. Angiotensin-converting
enzyme  (ACE) inhibitor dan diuretik telahdibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan fungsi
kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi
aliran darah otak. Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler
berikutnya padapasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum
pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan
emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang
spesifik, termasuk perilaku yang merugikan.

Terapi Psikososial

Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan
untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya
memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasienbiasanya mengalami
distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping
memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan
penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikitmenggunakan daya ingatnya. Reaksi
emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasanyang berat dan teror katastrofik yang berakar
dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.

Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka
dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.Mereka juga bisa
mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukandisabilitas serta
perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan
dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan
psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter
dapat membantu pasien untuk menemukan cara“berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti
menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu
menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.

Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut
membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena
ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.

Farmakoterapi

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk depresi,
dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek
idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal,
kebingungan, dan peningkatan efek sedasi).

Secara umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.Donezepil,


rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati
gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan
inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehinggameningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik
yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk
seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang
masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena potensial
menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin,
yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih
tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatantersebut dapat mencegah degenerasi neuron
progresif.

Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:

a.        Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 – 0,5 atau 1 – 2 mg

b.        Antipsikotika atipik:

-  Clozaril 1 x 12.5 – 25 mg

-  Risperidone 0,25 – 0,5 mg atau 0,75 – 1,75

-  Olanzapine 2,5 – 5,0 mg atau 5 – 10 mg

-  Quetiapine 100 – 200 mg atau 400 – 600 mg

-  Abilify 1 x 10 – 15 mg

c.         Anxiolitika

-  Clobazam 1 x 10 mg

-  Lorazepam 0,5 – 1.0 mg atau 1,5 – 2 mg

-  Bromazepam 1,5 mg – 6 mg

-  Buspirone HCI 10 – 30 mg

-  Trazodone 25 – 10 mg atau 50 – 100 mg

-  Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg – 2mg)

d.         Antidepresiva

-  Amitriptyline 25 – 50 mg

-  Tofranil 25 – 30 mg

-  Asendin 1 x 25 – 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)

-  SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1×20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10 – 20 mg, Cipralex,
Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.

-  Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg – 30 mg (hati2)


·         Mood stabilizers

-  Carbamazepine 100 – 200 mg atau 400 – 600 mg

-  Divalproex 125 – 250 mg atau 500 – 750 mg

-  Topamate 1 x 50 mg

-  Tnileptal 1 x 300 mg – 3 x mg

-  Neurontin 1 x 100 – 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg

-  Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg

-  Priadel 2 – 3 x 400 mg

Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila
diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and Psychological Symptoms of
Dementia):

·         Nootropika:

-  Pyritinol (Encephabol) 1 x100 – 3 x 200 mg

-  Piracetam(Nootropil) 1 x 400 – 3 x 1200 mg

-  Sabeluzole (Reminyl)

·         Ca-antagonist:

-  Nimodipine (Nimotop 1 – 3 x 30 mg)

-  Citicholine (Nicholin) 1 – 2 x 100 – 300 mg i.v / i.m.

-  Cinnarizine(Stugeron) 1 – 3 x 25 mg

-  Pentoxifylline (Trental) 2 – 3 x 400 mg (oral), 200 – 300 mg infuse

-  Pantoyl-GABA

·         Acetylcholinesterase inhibitors

-  Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik

-  Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari

-  Galantamine (Riminil) 1 – 3 x 5 mg

-  Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg


-  Memantine 2 x 5 – 10 mg

Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain

Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat metabolisme
serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan
penyakit ini.

Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca
menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi
komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba  dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat
efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai penggunaan obatantiinflamasi nonsteroid
(OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak
menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.

Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia  (BPSD)

Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia  (BPSD) penting untuk diperhatikan karena


merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan membuat payah bagi sang pasien karena
ulahnya yang amat mengganggu1:

K. PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada usia timbulnya, tipe demensia, dan beratnya deteriorasi. Pasien dengan
onset yang dini da nada riwayat keluarga dengan demensia mempunyai perjalanan penyakit yang lebih
progresif.

Anda mungkin juga menyukai