Anda di halaman 1dari 21

Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.

1, Januari – Juni 2017

PERKEMBANGAN DAN KEMUNDURAN


PERDAGANGAN LADA DI ACEH ABAD 19

Lailatusysyukriyah
Hartutik
Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Samudra
lailatusysyukriyah@yahoo.co.id

Abstract

Indonesia archipelago is well known by the spice production and maritime trade for many
times. The best product of spice from western Indonesia archipelago is pepper that produced
from the coastal line of Aceh. There were many ports that connecting international pepper
trade. The purpose of research is enriched the historiography study of international spice
commerce in Indonesia on the last century that connected by shipping. Spice shipping
transportation system is pointing out the great expansion of maritime trade in ancient
Indonesia archipelago. History methods of the research are divided by four process,
heuristic, sources critics, interpretation, and historiography. The development pepper trade
in Aceh on 19th century is simultaneously with the rise of international commerce in the first
half 19th marked by expansion of the new networks, the flourishing of pepper production, and
connection between Aceh and British Malayan in Penang. The decline pepper trade in Aceh
on the last of 19th century is caused by the changing of market demand to the article that
discharging of the value. Dutch expansion and military blockade in some pepper ports in
Aceh, also influence on the process of decline.

Key Word: The Development, Decline, Pepper Trade, Aceh, 19th

I. PENDAHULUAN Kebangkitan kembali perdagangan lada


dalam skala internasional dimulai kembali
Perdagangan lada Aceh pada paruh pada paruh pertama abad ke-19 dengan
pertama abad 19 menunjukkan masih perluasan jaringan-jaringan perdagangan
kuatnya tradisi bahari di sepanjang pantai baru, berkembangnya wilayah-wilayah
barat dan pantai timur Sumatra yang penghasil lada dan meningkatnya
menjadi simbol kedaulatan wilayah hubungan dagang dengan Penang.
perairan Nusantara selama berabad-abad.
Perkembangan perdagangan Lada di Aceh Perkembangan tersebut tidak berlangsung
Abad 19 menitikberatkan pada sejarah lama, karena mulai paruh kedua abad 19,
perkembangan komoditas rempah-rempah permintaan pasaran dunia terhadap
utama yang menjadikan kepulauan komoditas lada tidak lagi sebesar tahun-
Nusantara dikenal sebagai pusat pelabuhan tahun sebelumnya. Abad 19 sebagaimana
dagang internasional hingga kurun waktu di ungkapkan oleh banyak pengamat dan
berabad-abad. Kejayaan Aceh sepanjang sejarawan, adalah kurun masa yang
abad 16 hingga paruh pertama abad ke-17 semakin menandai kemerosotan ekonomi
tidak dapat dipisahkan dari peranan perdagangan laut Aceh. Pada kurun waktu
perdagangan lada yang menopang inilah Aceh juga dihadapkan pada masa-
kekuatan ekonomi Kerajaan Aceh. masa tersulit yang mempengaruhi masa

69
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

depan perdagangan ladanya, terutama merdeka dengan letaknya yang sangat


hingga paruh terakhir abad 19. Penelitian strategis berseberangan dengan
ini berusaha mengungkapkan bagaimana semenanjung Malaya, di pandang
perdagangan lada sebagai komoditas memiliki arti penting bagi pendirian
ekspor andalan bagi Aceh selama kantor dagang Inggris di wilayah tersebut.
beberapa abad, mengalami fase Hubungan antara pemerintah Inggris di
perkembangan hingga kemundurannya Penang dengan Aceh dimaksudkan untuk
hingga kurun masa tersebut. menunjukkan politik legitimasi Inggris
terhadap penduduk pribumi dan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui memperluas jaringan perdagangan Inggris
sistem produksi dan distribusi wilayah-
terutama di wilayah-wilayah pantai
wilayah penghasil lada di Aceh pada abad
ke-19, menguraikan jaringan perdagangan Sumatra. Laporan John Anderson dalam
lada antara Aceh dengan wilayah-wilayah melaksanakan misinya di Aceh lebih
luar selama abad ke-19, dan memahami banyak menguraikan permasalahan politik
eksistensi lada sebagai komoditas ekspor untuk memperoleh kesepakatan dagang
bagi Aceh hingga penghujung abad ke-19. dengan pemerintah lokal. Meskipun
II. KAJIAN LITERATUR demikian pada akhir laporannya ia
menguraikan keadaan pantai-pantai di
Sejarah ekonomi Aceh seringkali Sumatra, perdagangan di Aceh,
dikaitkan dan menjadi satu paket dengan pelabuhan-pelabuhan di pantai barat dan
kajian sejarah sosial atau sejarah politik. utara pulau Sumatra, dan hubungan
Berikut ini akan di jabarkan beberapa perdagangan pemerintah Inggris di Selat
kajian sejarah yang banyak memuat Malaka dengan wilayah-wilayah di
tentang sejarah perdagangan di Aceh, sepanjang pantai timur Sumatra dari Teluk
khususnya pada abad ke-19. Permata hingga Siak. Dalam bagan
lampirannya, John Anderson juga
Salah satu literatur penting dalam memaparkan secara terperinci dalam
penelitian ini adalah sebuah laporan yang bentuk data statistic mengenai nilai
ditulis oleh seorang pegawai sipil EIC perdagangan ekspor dari Aceh, yang
pada tahun 1840, bernama John Anderson meliputi wilayah-wilayah Samalanga,
yang bertugas menjadi duta Inggris di Meuredeu, Peusangan, Lhokseumawe,
Penang, Singapura, dan Malaka.1 John Pasai, Pulau Rayah hingga Trumon,
Anderson dalam misinya mencari wilayah- Tapus, Barus, dan Singkil. Dalam bentuk
wilayah dagang di pantai timur Sumatra tabel juga diuraikan nilai barang-barang
untuk kepentingan pemerintah Inggris, ekspor yang dikirim ke Penang dari Aceh
berusaha kembali memperbaharui dan pantai Pidie antara tahun 1810-1811
hubungan dagang dengan wilayah Aceh hingga 1823-1824, jumlah produksi sirih
yang sempat mengalami pasang surut. yang diekspor ke Penang tahun 1819-1820
Aceh di pandang sebagai kerajaan hingga 1823-1824 untuk pasaran Madras,
1
Kalkuta, Bombay, China, Siam, dan Pegu
John Anderson, Acheen and The
lengkap dengan daftar muatan impor dan
Ports on the North and East Coast of Sumatra
ekspor dengan perahu-perahu Aceh.
with Incidental Notices Trade in the Eastern
Seas and the Aggression of the Dutch, Tinjauan pustaka selanjutnya yang
(London: W.M. H. Allen and CO, Leadenhall
digunakan dalam penelitian ini adalah
Street, 1840)
sebuah tesis yang mengemukakan
70
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

hubungan perdagangan antara Aceh dan nilainya di bidang komersial perdagangan


Inggris pada awal abad ke-19, ditulis oleh karena wilayah tersebut menyediakan
Lee Kam Hing berjudul The Sultanate of komoditas-komoditas dagang yang
Aceh Relationship with the British 1760- memenuhi standar permintaan bagi pasar
1824. Aceh menjadi pintu masuk bagi India dan Cina.
Inggris yang ingin menanamkan
kepentingannya di Sumatera sejak awal III. METODE PENELITIAN
abad ke-17. Hubungan antara Aceh dan Penelitian ini menggunakan metode
Inggris tersebut sempat mengalami pasang sejarah (historical method). Metode
surut dan diperbaharui kembali hingga sejarah adalah seperangkat prinsip dan
mencapai puncaknya pada paruh pertama aturan sistematis yang dibentuk untuk
abad ke-19. Periode singkat dari hubungan mengumpulkan sumber-sumber sejarah
kerajaan Aceh dan pemerintah Inggris
secara efektif, menilainya secara kritis,
tersebut memberikan beberapa pengaruh dan menyajikan hasil-hasil yang dicapai
signifikan bagi kedua belah pihak dan dalam bentuk tertulis.3 Langkah pertama
lebih penting daripada yang pernah adalah mengumpulkan sumber (heuristic).
disadari.2 Lee Kam Hing adalah satu Sumber-sumber primer atau sejaman
diantara kalangan akademisi yang
berupa dokumen atau arsip yang
menempatkan pentingnya hubungan Aceh digunakan dalam penelitian ini didapatkan
dan Inggris dalam sejarah diplomatik dari Arsip Nasional Republik Indonesia,
Aceh abad 18 dan 19. Perpustakaan Nasional Republik
Arti penting peristiwa yang terjadi Indonesia, Pusat Dokumentasi dan
sepanjang kurun waktu akhir abad ke-18 Informasi Aceh, Museum Aceh, dan
bagi East India Company (EIC) atau Perpustakaan digital www.acehbooks.org.
Perusahaan Dagang Inggris untuk Dokumen sebagai bahan klasik untuk
Wilayah-wilayah Hindia Timur ditandai menyelidiki perkembangan historis yang
dengan meluasnya pengaruh politik- khusus biasanya digunakan untuk
ekonomi kawasan Selat Malaka. Hal menjawab persoalan-persoalan tentang
tersebut di mulai dengan pencarian pusat apa, kapan, dan dimana. Jawaban yang
penyaluran barang-barang dagangan dan tersusun sebagai suatu konfigurasi unik
stasiun pelengkap untuk mengembangkan memuat faktor-faktor yang dinyatakan
perdagangan dengan Cina. Dalam proses secara deskriptif.4 Dokumen yang
pencarian tersebut, Aceh dianggap sebagai digunakan dalam penelitian ini berupa
tempat yang cocok untuk tujuan tersebut dokumen resmi dari pemerintah dan
karena letaknya yang strategis. Dengan memoirs atau catatan perjalanan pejabat-
pelabuhannya yang besar, Aceh pejabat pemerintah dengan sumber-
menawarkan kelengkapan pelabuhan yang sumber sejaman. Sumber sekunder yang
memiliki nilai strategis secara ekonomi
dan militer. Aceh juga sangat penting 3
Gilbert J. Garaghan S, A Guide to
Historical Method, (New York: Fordham
2 University Press, 1957), hlm. 33
Lee Kam Hing, The Sultanate of
Aceh Relationship with the British 1760-1824 4
Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan
(Thesis). (Kuala Lumpur: Oxford University
Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu
Press, Singapore, Oxford, New York. KITLV, Alternatif (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hlm.
1995) 100

71
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dollar Spanyol lada dan sirih.6 Pelabuhan-
buku-buku dan jurnal ilmiah baik dalam pelabuhan di Aceh memperoleh produksi
bahasa asing maupun bahasa Indonesia. lada dari pantai timur dan pantai barat
Langkah kedua adalah kritik sumber, Sumatra.
berupa kritik intern dan kritik ekstern.
Kritik sumber adalah tahap penilaian Nama pelabuhan-pelabuhan di pantai barat
terhadap sumber yang otentik dan Sumatra yang dimiliki Aceh adalah:
kredibel. Otentik berarti bahwa sumber itu Tapus, Sebadi, Pulo Dua, Kalawat,
benar-benar dikeluarkan oleh orang atau Telapau, Muki Utara dan Selatan,
organisasi yang namanya tertera dalam Labuhan Haji, Manghin, Simeuleu,
sumber itu, sedangkan kredibel berarti Tarepuli, Taddow, Tarang, Senangkan,
seberapa jauh informasi yang terkandung Annabalu, Pulau Rayah. Pelabuhan-
didalamnya dapat dipercaya.5 Langkah pelabuhan tersebut merupakan
ketiga adalah proses perumusan fakta- distrik/wilayah bagian kaya yang
fakta dari sumber berupa bukti dan bekas menghasilkan lada dalam jumlah besar,
yang diperoleh dari tahap heuristic benzoin, dan kapur barus. Kemudian
(pencarian sumber). Proses perumusan Singkil, Ayam Dammah, Trumon,
fakta ini dihasilkan dengan Rambong, Saluhat, Susoh, Kuala Batu,
membandingkan berbagai sumber dalam Barus, Tapaktuan, dan Sama Dua.
penulisan sejarah (interpretasi). Tahap Pelabuhan-pelabuhan dan tempat-tempat
terakhir adalah historiografi yaitu di pantai utara, dimulai dari bagian barat,
penulisan sejarah secara sistematis dan adalah: Aceh, Perdada, Lawang, Pidie atau
konseptual setelah melewati ketiga pantai Sirih, Pakan, Selu, Burong, Sarong,
tahapan. Meuredeu, Samalanga, Peusangan,
Jangka, Lhokseumawe, Chunda, Pasai,
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN dan Keureuteu.7 Perdagangan dalam skala
luas dilakukan di Aceh dan wilayah
Kebangkitan kembali aktifitas kekuasaannya dipantai barat dan beberapa
perdagangan lada di Aceh telah dimulai wilayah sebelah utara di pantai timur
sejak akhir abad ke-18. Wilayah-wilayah Sumatra, disamping bagian-bagian dari
penghasil lada dihasilkan disepanjang perdagangan secara umum dari pantai
pantai barat dan pantai timur Sumatra barat, yang telah dinikmati Pinang selama
yang merupakan wilayah kekuasaan beberapa tahun. Di wilayah tersebut
Kesultanan Aceh. Batubara, Langkat, selama periode yang panjang, telah
Pidie, dan pantai-pantai di sepanjang berlangsung penetrasi perdagangan
Teluk Permata hingga Aceh adalah langsung antara beberapa pelabuhan
wilayah-wilayah penghasil utama produk
rempah-rempah bernilai tinggi dengan
6
ekspor tahunan senilai 400.000 – 500.000 A Brief Account of the Several
Countries Surrounding Prince of Wales’s
Island with their Production Reed from
Captain Leight: Enclosed Lord Cornwallis’s
letter to Mr. Dundas 7th January 1789 (Journal
5
Homer Carrey Hockett, The Critical of Malayan Branch Royal Asiatic Society, Vol.
Method in Historical Research and Writing 16, No. 1, July 1938)
(New York: The Mac Millan Company,
7
1967), hlm. 9 Op.cit, John Anderson, hlm. 160

72
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

dengan Benggala, Madras, Bombay, dan dihargai daripada lada yang terdapat di
baru-baru ini dengan Singapura dan kepulauan Hindia.
Malaka.8 Beberapa pedagang bebas
melabuhkan muatan mereka di pantai- Selama kurun waktu paruh pertama abad
pantai tersebut selama Aceh masih ke-19, di Susoh dan Singkil, Aceh terdapat
menduduki posisi sentral sebagai pusat dua pelabuhan yang meluaskan jaringan
perdagangan di Selat Malaka. perdangannya dengan kapal-kapal asing.
Dua pelabuhan tersebut dikontrol oleh
1. Perkembangan Perdagangan Lada Lebai Dappah, seorang pengusaha lokal
Paruh Pertama dan Kedua Abad 19 asal Singkil yang menggalakkan
penanaman lada kepada penduduk pribumi
Sejak tahun 1800 kebun-kebun lada di di Aceh. Singkil adalah pelabuhan yang
Palembang, Jambi, Jawa Barat dan sibuk meskipun tidak banyak lada yang
Sumatra Selatan secara keseluruhan sudah dihasilkan dari sana, sedangkan Susoh
tidak produkstif lagi, tetapi kebun-kebun memproduksi sejumlah besar lada
baru telah mulai tumbuh di wilayah bagian meskipun aktivitas pelayaran di wilayah
utara Sumatra yang terletak di Aceh, tersebut relatif berbahaya pada tahun-
pantai selatan Meulaboh, pantai timur tahun sebelumnya.11 Lebai Dappah
Sumatra dan Penang.9 Wilayah penghasil menggunakan Singkil sebagai basis
paling penting di pantai barat Sumatra dan perdagangannya dan menempatkan anak
pantai timurnya adalah tempat-tempat laki-lakinya di Susoh. Ia selalu mencari
paling cocok untuk budidaya lada, wilayah penghasil lada baru dan
terutama di Aceh, Tiku, Bengkulu, Padang mendorong penduduk Aceh untuk
dan Lampung.10 Lada terbaik tidak tumbuh mendiami wilayah-wilayah yang kurang
diwilayah-wilayah paling subur, karena berkembang. Pada saat memperoleh
lada dari Jawa dan Palembang kualitasnya kontrol pada wilayah yang baru, ia
paling buruk di kepulauan Hindia, menempatkan anggota keluarganya untuk
dibandingkan dengan lada dari Penang dan memimpin wilayah tersebut. Sebagai
pantai barat Sumatra dengan kualitas hasilnya, beberapa pelabuhan lain berada
terbaik. Pembudidayaan lada dengan dibawah kontrol keluarga Lebai Dappah,
pemeliharaan yang tepat dapat seperti Air Dammah, Trumon, Rhambong,
meningkatkan kualitasnya, sebagaimana Saluhat, dan Kuala Baru. Perkembangan
halnya dengan komoditas lain, dan untuk Susoh dan Singkil di bawah pengaruh
alasan ini lada di pasaran Penang lebih Lebai Dappah membentuk jaringan
migrasi disepanjang pantai barat Sumatra.
8
Ibid. Gelombang migrasi tersebut disebabkan
9
oleh faktor tingginya harga lada, serta
Anthony Reid, Humans and Forest in
beratnya beban pajak dan harga rendah
Pre-Colonial Southeast Asia ( Environment
and History Vol. I No. I, February 1995,
yang dibayarkan oleh para Uleebalang dan
Published by: White Horse Press) hlm. 100 Sultan terhadap komoditas lada. Migrasi
penduduk Aceh tersebut tersebar hingga
10
John Crawfurd, History of the Indian Barus, Sorkam, Air Bangis dan Padang
Archipelago Vol III (London: Printed for bagian Selatan. Sorkam dan Air Bangis
Archibald Constable aand Co. Edindburg and
Hurst, Robinson, and Co. Cheapside, 1820)
11
hlm. 358-359 Op.cit, Lee Kam Hing, hlm. 97

73
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

merupakan distrik yang kaya lada dan barat Sumatra akan jatuh ketangan
mensuplai kebutuhan lada di Tapanuli dan Belanda selama perang, disamping
Natal.12 meningkatkan sumber alternatif bagi
pasokan lada untuk Inggris.14 Pada tahun
Pembentukan pemerintah Inggris di 1819 Aceh terikat perjanjian dengan
Penang memiliki nilai penting bagi Inggris yang menandai dimulainya
peningkatan aktifitas perdagangan dengan kembali perkembangan perdagangan lada
pelabuhan-pelabuhan bagian utara di wilayah tersebut.
Sumatra dimana pembudidayaan lada telah
lama berkembang serta menjalin hubungan Konsumsi lada di seluruh dunia meningkat
kerjasama dengan para kepala adat di secara tajam pada kisaran awal abad ke-19
wilayah-wilayah tersebut yang dapat seiring dengan meluasnya ekspansi dagang
menguntungkan Kompeni.13 Kedudukan Inggris dan bangsa-bangsa Eropa lain ke
Penang melengkapi pos-pos dagang wilayah-wilayah penghasil lada di
Inggris di wilayah-wilayah Hindia Timur kepulauan Nusantara. Sejak kurun masa
dalam pelayaran menuju Cina sehingga tersebut persebaran lada mencakup
tidak perlu tergantung kepada Belanda wilayah-wilayah Asia dan Timur Jauh,
yang menguasai pelabuhan-pelabuhan di Eropa, hingga Amerika. Peningkatan
wilayah Timur. Penang diharapkan dapat tersebut diimbangi dengan harga dasar
menghentikan perkembangan kekuatan lada dan upah buruh di kepulauan
Belanda di Semenanjung Malaya, yang Nusantara yang juga meningkat. Politik
akan mengontrol rute-rute perdagangan Inggris di Aceh khususnya di bidang
laut ke Cina dan sekitarnya. Kompeni perdagangan sangat memainkan peranan
Inggris untuk wilayah Hindia Timur akan penting dalam perkembangan pemasaran
menjamin persediaan rempah-rempah di lada. Sejak permulaan berdirinya
kepulauan Nusantara, yang nantinya akan perusahaan dagang Inggris East India
dimonopoli oleh Belanda, khususnya Company, Aceh menjadi salah satu
setelah tahun 1784. Penang dengan wilayah penting yang mensuplai
posisinya yang strategis dapat kebutuhan lada di kepulauan Nusantara
mempermudah ekspansi Inggris di setelah selama abad ke 18 Inggris sangat
Sumatra dan kepulauan Nusantara. Pos tergantung pada pasokan lada dari
dagang Inggris di Bengkulu yang terus Bengkulu. Pendirian pos dagang Inggris di
menerus mengalami kerugian dalam Penang telah mempertahankan
perdagangan lada, tidak mampu perdagangan Inggris dengan Aceh dan
menanggung beban operasional baik sispil lada menjadi komoditas impor utama bagi
maupun militer dalam menghadapi Inggris. Pada tahun 1810-1811 sejumlah
kompetisi dengan Prancis dan Amerika. 3,323 pikul lada telah diperoleh Penang
Pertimbangan lain pendirian basis Inggris dari Aceh dan pada tahun 1813-1814
di Aceh didasarkan pada keyakinan bahwa impor lada dari Aceh ke Inggris meningkat
presidensi Inggris di Bengkulu dan pantai menjadi 19, 634 pikul. Dengan terjadinya
perang sipil di Aceh pada tahun 1815
12
Ibid, hlm. 98-99 impor lada turun secara tajam. Pada tahun
13
1818-1819 lada yang dikapalkan ke
John Anderson, Mission to the East
Coast of Sumatra in 1823 (Singapore: Oxford
14
University Press, 1977) hlm. xvii Op.cit, Basset, hlm. 64

74
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Penang dari Aceh hanya berjumlah 1,188 Pertanian lada mulai berkembang dengan
pikul tetapi dengan berakhirnya perang pesat menjelang tahun-tahun terakhir abad
sipil perdagangan lada kembali meningkat ke-18 di wilayah-wilayah bawahan paling
kembali pada tahun 1821-1822 menjadi selatan Kesultanan Aceh di pantai barat
total 11,222 pikul.15 Sumatra. Pada tahun 1820, wilayah ini
menghasilkan sekitar separuh dari
Inggris adalah importir utama lada dari pasokan lada dunia. Kapal-kapal New
Aceh hingga tahun 1820-an terutama England mengambil bagian terbesar
untuk memenuhi kebutuhan pasar di Cina, mengambil bagian terbesar dalam
India, dan Eropa. Inggris memiliki pangsa perdagangan lada, tetapi kapal-kapal
pasar yang besar dalam menguasai Arab, India Penang (Inggris dan Cina)
perdagangan lada, walaupun kondisi dan Prancis semua terlibat dalam aktifitas
tersebut berubah setelah kedatangan perdagangan tersebut pada tahun 1820-an.
kapal-kapal dagang dari Perancis dan Pada tahun 1823 empat kapal besar
Amerika untuk memuat lada dari Aceh. Prancis dilaporkan memuat lada dari
Jumlah yang diekspor ke Cina oleh para pantai tersebut dibandingkan dengan 27
pedagang Eropa setiap tahunnya 20,560 kapal Amerika. Dua puluh tahun
pikul atau 2,741,333 lbs. Jika diangkut kemudian Prancis dianggap menduduki
dengan kapal jung mungkin jumlahnya tempat ketiga dibawah Amerika dan
jauh lebih banyak atau sekitar 5,482,666. Inggris. Sembilan atau sepuluh kapal
Belanda mengirim lada ke Jepang 30,000 Prancis singgah di Penang setiap tahun
lbs. setiap tahunnya. Jumlah lada dalam dan sebagian besar dari kapal-kapal ini
11 tahun yang diimpor ke Benggala kira- berlayar ke Aceh untuk memuat lada.17
kira 35,000 atau 21,000 pikul atau Pedagang-pedagang Amerika adalah
2,800,000 lbs. seluruhnya hampir sama saingan terberat bagi perusahaan dagang
dengan impor dari Nusantara. Jumlah lada Inggris (EIC) dalam perdagangan lada,
secara keseluruhan yang dikirim ke Eropa bukan saja dalam pembelian lada tetapi
adalah 11,218,000 lbs. Kepulauan Hindia juga ekspor mereka ke pasaran Eropa.
terutama, walaupun tidak seluruhnya, di Inggris memperkirakan bahwa Amerika
suplai dengan produksi dari Malabar, dan akan mensuplai lada ke Eropa dengan
juga wilayah-wilayah di Persia dan teluk harga yang lebih rendah dibandingkan
Arab. Wilayah-wilayah yang terletak dengan harga yang ditawarkan oleh
antara Siam dan Cina disuplai dengan Inggris atau Belada, karena kapal-kapal
produk mereka sendiri, yang hal tersebut Amerika tidak memiliki pos dagang
tidak mungkin diperkirakan jumlahnya.16 ataupun markas baik di Sumatra ataupun
Eropa adalah konsumen lada terbesar India, sehingga meminimalisir biaya
dibandingkan dengan India atapun Cina. operasional.18 Kekhawatiran Inggris
bahwa Amerika akan mendirikan pos
15
T. Puvanarajah dan R. dagang yang permanen di perairan
Suntharalingan, The Acheh Treaty 1819
17
(Journal of Southeast Asian History Vol. 2, Anthony Reid, Menuju Sejarah
No. 3, October 1961, Cambridge University Sumatra Antara Indonesia dan Dunia (Jakarta:
Press on behalf of Departement of History KITLV, Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm.
National University of Singapore) hlm. 36 161
18
16
Crawfurd (1820), hlm. 369 Lee Kam Hing (1995), hlm. 104

75
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Sumatra, semakin memuncak ketika ke New England sehingga Amerika


seluruh kapal Amerika yang terdiri dari menjadi penyedia utama lada bagi Eropa.21
pedagang-pedagang mandiri mendarat di Pada tahun 1820-an Aceh jauh
Labuhan Haji yang menghasilkan lada mengungguli produksinya pada abad ke-
dengan kualitas terbaik. Kapal dagang 16 dan menghasilkan lebih dari separuh
Amerika bernama Crescent juga mendarat hasil lada dunia. Menurut perkiraan
di Meuke pada September 1803, Penang mengenai produksi pada periode
selanjutnya delapan kapal Amerika di ini, nilai ekspor Aceh mencapai sekitar
penuhi dengan muatan lada dari 1.900.000 dolar Spanyol. Dari jumlah
pelabuhan tersebut selama musim lada $400.000 dibawa ke Penang dengan kapal-
yang dibayar dengan dolar. Meuke telah kapal kecil Asia; senilai $1.000.000
mengirim 1.500 pikul lada pertahunnya diangkut oleh pedagang Amerika dari
selama lima tahun untuk kargo Amerika wilayah lada pantai barat dan sisanya
bernama Crescent yang cukup untuk diangkut oleh kapal-kapal India, Perancis
menutup biaya selama ekspedisi. jumlah dan Arab. Produksi lada mencapai
tersebut senilai sekitar 75.000 dolar puncaknya di atas 230.000 pikul pada
Spanyol.19 tahun 1820, dan ini lebih besar dari daya
serap pasar dunia.22 Amerika menguasai
Salah satu cara yang paling efektif bagi lebih dari separuh total produksi lada yang
Kompeni Inggris untuk menyaingi dihasilkan Aceh dan wilayah-wilayah
perdagangan lada dengan Amerika adalah kekuasaannya.
mengadakan perjanjian dengan Lebai
Dappah yang menguasai pusat-pusat Perseteruan antara Inggris dan Belanda
penghasil lada di Susoh dan Singkil. berakhir dengan negosiasi alot dalam
Kompeni Inggris akan membeli seluruh Traktat London 1824. Dengan traktat
lada yang diproduksi di Susoh dengan antara Inggris Raya dan Belanda yang
harga yang disepakati oleh Lebai Dappah dilakukan di London pada tanggal 17
dengan syarat tidak menjualnya kepada Maret 1824, seluruh wilayah kekuasaan
Amerika.20 Dengan dikuasainya Susoh Inggris di Sumatra diserahkan kepada
dan Singkil sebagai dua pelabuhan lada Belanda dari tanggal 1 Maret 1825, dan
terbesar di pantai tersebut akan sebaliknya Belanda menyerahkan wilayah
mengurangi pembelian lada dalam jumlah jajahannya di anak benua India dan
besar oleh Amerika yang akan dijual ke Malaka di semenanjung Malaya. Sejak
Eropa, ditambah lagi biasanya kapal- ditandatanganinya Traktat London, aktiitas
kapal akan membutuhkan waktu yang perdagangan Inggris menjadi terbatas di
lama untuk mengumpulkan lada sebelum wilayah-wilayah penghasil lada di
kembali ke perjalanannya semula. Sumatra. Sejumlah wilayah kecil Deli dan
Langkat, dan lebih penting lagi Siak tidak
Pantai-pantai di selatan Aceh yaitu pantai
yang terletak antara Susoh dan Trumon 21
Reid (2010), hlm. 284
hingga tahun 1803 menghasilkan sekitar
5.000 ton lada dan sebagian besar dikirim 22
Anthony Reid, Asal Mula Konflik
Aceh dari Perebutan Pantai Timur Sumatra
19
Ibid, hlm. 104-108 hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) hlm.
20
Ibid 15

76
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

dapat mempertahankan intervensi sebagaimana yang telah dilakukan oleh


kekuatan dari Belanda yang mengancam para pedagang dari Perancis dan Amerika.
masa depan perdagangan Inggris
sebagaimana yang terjadi dengan Aceh. Kondisi politik yang ditimbulkan oleh
Pembentukan wilayah jajahan di perebutan monopoli perdagangan antara
sepanjang pantai tersebut, dan penetapan Inggris, Amerika, dan Belanda tidak
pajak sebagaimana yang telah disebutkan banyak mempengaruhi perdagangan lada
diatas menurut Traktat 1824 akan di Aceh memasuki paruh kedua abad ke-
mempersulit dan bahkan mengakhiri 19. Perkembangan perdagangan lada lebih
perdagangan dengan seluruh wilayah- ditentukan oleh faktor mekanisme pasar
wilayah tersebut.. yang sulit diprediksi. Stabilitas politik
dalam negeri dibawah Sultan Ali Alauddin
Kebijakan pemerintah Inggris di Selat Manshur Shah justru mendorong
Malaka yang menentang kontrol Belanda perkembangan ekonomi dan perdagangan
di Sumatra sangat beralasan, terutama di Aceh menjelang paruh kedua abad 19.
berhubungan dengan pengaruh terhadap Produksi lada di Aceh turun naik
perdagangan antara Penang dan Sumatra. mengikuti pergerakan harga yang tidak
Sejak meluasnya kontrol Belanda atas stabil di Eropa. Produksi rata-rata pada
Sumatra, perdagangan dengan entrepot periode 1830-1870 sekitar 150.000 pikul
Penang hanya terbatas pada wilayah- pertahun dengan harga hampir $6
wilayah pantai barat Aceh dan sebagian perpikul. Tanah yang sudah hampir tidak
pantai sirih Pidie di pantai timur. Wilayah- produktif lagi dan daya tarik Penang
wilayah penghasil lada di Aceh dan sebagai pasar yang ramai memicu dua
wilayah-wilayah kekuasaannya sebagian pergeseran penting di pusat produksi lada
telah dikuasai Belanda. Pantai barat Aceh Aceh selama periode tersebut. Sekitar
sepanjang Trumun sejak tahun 1824 telah tahun 1830 perimbangan wilayah
memproduksi 150.000 pikul lada dan penghasil lada bergeser dari pantai lama di
pantai timur di sepanjang Deli selatan Meulaboh milik Lebai Dappah ke
memproduksi sekitar 18,000 lada. pusat-pusat baru di sebelah utara – Porte,
Kepentingan perdagangan Inggris juga Rigas, Teunom dan Meulaboh. Pada tahun
sudah terganggu dengan kehadiran 1850-an sebuah wilayah ketiga mekar di
pedagang-pedagang Perancis dan Penang ujung timur laut Sumatra, antara
yang melakukan perdagangan langsung Lhokseumawe hingga Tamiang. Pekerja-
dengan pelabuhan-pelabuhan milik pekerja musiman atau mereka yang
penduduk di pantai barat Aceh, dimana menetap di kebun-kebun lada baru
sebelumnya perdagangan langsung antara tersebut terdiri dari penduduk di Aceh
India dan Aceh telah dilakukan di Besar atau Pidie. Para perintis terkemuka
pelabuhan-pelabuhan tersebut oleh para di daerah-daerah baru ini, sebagian besar
pedagang dari Malabar dan Koromandel.23 para uleebalang Aceh Besar sebagai
Posisi Penang sebagai entrepot dagang penguasa bebas di tepi-tepi sungai daerah
menjadi semakin rapuh ketika pada tahun baru tersebut.24 Para uleebalang selain
1843 para pedagang memutuskan untuk memperoleh pendapatan dari pajak
tidak membayar pajak di Penang produksi lada, sebagian merupakan

23 24
Ibid, hlm. 131-132 Reid (2005), hlm. 15-16

77
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

pemilik perkebunan lada di Aceh. Sejak 1814-1823 dengan total jumlah 98.016
tahun 1850, Aceh masih menjadi pemasok pikul dan produksi rata-rata pertahun pada
tunggal terbesar kebutuhan lada dunia periode tersebut adalah 10,89 pikul.
dengan munculnya kebun-kebun baru Permintaan pasaran dunia yang semakin
hingga ke pantai utara Meulaboh dan pada besar terhadap komoditas lada memacu
dekade berikutnya disusul dengan pertumbuhan wilayah-wilayah baru
perkembangan wilayah penghasil lada pembudidayaan lada di Aceh untuk
baru di pantai utara di sekitar Aceh yaitu memenuhi kebutuhan pasar.
Langsa dan Idi.25 Dua produsen lada
utama pada distrik yang terletak di 2. Proses Kemunduran Perdagangan
Simpang Ulim dan Idi Rayeuk masing- Lada di Aceh Memasuki Penghujung
masing mengekspor lada senilai 4.600.000 Abad 19
pound (35.000 pikul) pertahun. Pada
Aceh mengalami masa-masa yang paling
waktu yang bersamaan dengan Julok menengangkan setelah ekspansi
Rayeuk, Peureulak dan Peudawa Rayeuk pemerintah Hindia Belanda pada
memproduksi 13.300.000 pound (100.000 penghujung abad ke-19. Perjanjian
pikul) pertahun.26 Aktifitas perdagangan Sumatera 1871 semakin meruncingkan
lada di Aceh memasuki babak baru yang
hubungan antara Aceh, Inggris, dan
menunjukkan peningkatan pesat meskipun Belanda hingga memunculkan konflik
harga pada tahun 1850 turun sebanyak $4 berkepanjangan antara Aceh dan Belanda.
- $5 dari harga pada awal abad ke-19 Traktat Sumatra atau Perjanjian Sumatra
ketika seorang pedagang Amerika
tahun 1871 merupakan suatu upaya yang
membeli lada di Meuke dengan harga $10
dibuat untuk menengahi persengketaan
- $11 perpikul tahun 1803. Hukum wilayah antara Inggris dan Belanda yang
permintaan dan penawaran terhadap belum terselesaikan sejak Traktat London
komoditas ekspor yang berlaku dalam tahun 1824, walaupun bagi Aceh,
mekanisme pasar sangat mempengaruhi Perjanjian Sumatra justru menimbulkan
perubahan harga selama kurun waktu 50 sebuah masalah baru. Traktat London
tahun tersebut. tahun 1824 yang mengakui kedaulatan
Produksi lada rata-rata di pantai-pantai Aceh, digantikan dengan Perjanjian
Aceh pada periode 1830-1870 sekitar Sumatera tahun 1871. Bagi Belanda, Aceh
150.000 pikul pertahun. Peningkatan adalah wilayah yang memiliki nilai politik
produksi ini jauh lebih besar dibandingkan strategis di Sumatera dan kepulauan
dengan produksi yang dihasilkan Aceh Nusantara.
dan pantai barat Sumatra antara tahun Ketegangan antara Aceh dan Belanda
mencapai puncaknya, terutama sepanjang
25
Reid (1995), hlm. 100 tahun 1870-1874 dengan perang dan
26
blokade militer Belanda. Perang Aceh
Lee Kam Hing, Aceh at the Time of terjadi dalam periode panjang, yang
the 1824 London Treaty dalam The Hisstorical
terbagi menjadi beberapa fase yang
Background of the Aceh Problem, International
melelahkan. Pada wilayah-wilayah
Conference Asia Research Institute National
University of Singapore 28-29 May 2004 bawahan di sepanjang pantai yang hidup
(Singapore: National University of Singapore, dari perdagangan, kedudukan Belanda
2004) hlm. 8 lebih kokoh. Belanda menerapkan blokade

78
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

perdagangan terhadap sejumlah wilayah- setelah masa panen tiba, hasilnya dijual
wilayah strategis di Aceh. Perang dan kepada para pedagang tersebut. Kebiasaan
blokade yang terjadi di Aceh membawa memberikan uang muka sebagai jaminan
kerugian besar bagi prospek perdagangan untuk pembelian lada hingga tiba masa
Inggris. Perang dan blokade menyebabkan panen berikutnya, biasanya dilakukan oleh
prospek perdagangan antara Aceh dan para pedagang dari Cina yang berada di
Penang menjadi kurang menguntungkan Penang. Pelunasan hutang, dibayar dengan
karena terhambatnya aliran modal. sejumlah produksi lada pada tahun
Meskipun demikian, kurun masa selama berikutnya yang dilakukan atas dasar
perang dan blockade tersebut di sisi lain perjanjian kesepakatan antara kedua belah
juga membawa keuntungan bagi pihak, baik petani lada maupun pedagang.
pedagang-pedagang besar yang menguasai Kesepakatan ini selalu memberikan
pasaran lada di Penang. Pada tanggal 25 keuntungan bagi para pedagang Cina,
Juli 1874 blokade terhadap seluruh dimana para pemberi hutang/ uang
wilayah bagian selatan mulai diaktifkan. jaminan tersebut memberikan uang muka
Wilayah bagian selatan di bawah sebesar 1000 dollar secara terus-menerus.
kekuasaan Said Saleh dan wilayah Sungai Pada bulan Agustus 1873, “lisensi”
Raya dibawah kekuasaan Said Akil pertama diberlakukan bagi kapal-kapal
dipisahkan dan diberi hak khusus. yang memasuki pantai timur Aceh. Para
Blockade meliputi seluruh wilayah darat pedagang dari Penang juga wajib
dan laut Aceh, antara Pedawa Besar, membuat surat pengakuan hutang.28 Pada
Perlak, dan Alur Sembilan, antara Sungai saat Aceh di blockade, para pedagang
Raya, Sungai Bayeun, dan Sungai Nipah, yang telah memberikan uang jaminan
antara Sungai Hiu, Telaga Meukeu, dan kepada petani lada terancam resiko
Kuala Genting.27 Pemerintah Hindia kerugian. Pemerintah Hindia Belanda
Belanda dalam kaitannya dengan mengeluarkan berlakunya surat ijin yang
hubungan perdagangan ke Penang, harus diurus kepada konsul Belanda di
memiliki konsul atau perwakilan yang Penang. Peraturan tersebut membatasi
bertugas membatasi keluarnya lisensi atau aktifitas para pedagang Penang yang
surat ijin perseorangan yang akan selama ini banyak melakukan aktifitas
memasuki wilayah Aceh. Kebijakan ini perdagangan di Aceh.
tentu saja menuai protes keras bagi para
pedagang di Penang dimana sebagian Kontrol kuat dengan pembatasan visa bagi
besar terdiri dari pedagang-pedagang Cina kapal-kapal yang memasuki perairan
dan Inggris yang sebelumnya telah Aceh, dilakukan dengan dalih
membayar uang muka untuk membeli lada pengamanan wilayah, karena semasa masa
dari orang-orang Aceh. Kepala-kepala adat perang dan blockade banyak kapal-kapal
Aceh dan para pedagang (baik yang dicurigai menyelundupkan barang-
perkumpulan atau perseorangan) selalu barang dagangan. Protes dari para
memberikan hutang kepada para petani pedagang Penang terhadap kebijakan
lada di Aceh untuk menanam lada dan Belanda di Aceh menyebabkan perubahan
penting yaitu antara tanggal 22 Juli dan 23
27
September 1873, sistem surat ijin itu
J.A. Kruijt, Atjeh en Atjehers Twee
Jaren Blokkade op Sumatra’s Noord – Oost –
28
Kust (Leiden: Gualth Kolf, 1877), hlm. 47 Ibid, hlm. 55

79
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

berjalan lancar dan dalam jangka waktu itu hanya diijinkan singgah di empat
telah dikeluarkan 61 surat izin di Penang. pelabuhan Belanda: Uluee Lhuee, Sigli,
17 kapal diijinkan memuat lada dan Samalanga, dan Lhokseumawe.30
pinang sebagai pengganti tanda jadi yang Penutupan pelabuhan Pantai Utara adalah
diberikan, sedangkan sisanya hanya sebuah tindakan yang bermuatan politik,
diijinkan menagih hutang saja. Para karena wilayah Pantai Utara semula
pedagang bersangkutan tidak puas, dan merupakan pusat perdagangan yang
mereka tidak henti-hentinya menuntut hak banyak dilalui kapal-kapal besar, baik dari
agar membawa mata uang ke Aceh untuk Penang maupun Singapura.
membayar harga lada yang terutang
karena tanpa pembayaran ini, tidak ada Perang antara Belanda dan Aceh disisi lain
dorongan bagi orang Aceh untuk menjadikan arus impor barang dari Penang
menyerahkan lada, bahkan lada yang semakin lancar, akan tetapi arus ekspor
sudah diberikan tanda jadi sekalipun. terutama untuk lada dan pinang banyak
Berkat protes dan tuntutan mereka, para mengalami hambatan sekalipun harga
pedagang Penang berhasil membawa lada kebutuhan pangan cenderung stabil. Di
senilai 1,5 juta dollar keluar Aceh pada Kutaraja yang merupakan pusat
tahun 1873 atau sekitar dua pertiga hasil pemerintahan Aceh, situasi pasar pada
panen total. Pada bulan September, bulan Januari dan April tahun 1897
laporan-laporan dari Penang dan dari cenderung stabil. Harga daging, ternak,
armada yang melaksanakan blockade telur, ikan laut, minyak tanah, kelapa,
menunjukkan bahwa surat ijin sayur, dan buah-buahan cenderung stabil.
disalahgunakan untuk membawa keluar Harga lada sedikit mengalami kenaikan,
lada yang tidak diberi tanda jadi. Sistem dimana pada bulan Januari harganya 6
surat ijin kemudian dihapus pada tanggal gulden per cangkir sementara pada bulan
23 September 1873. April menjadi 10 gulden per cangkir.31
Situasi pasar di Kutaraja selama konflik
Perang dan blockade tidak lagi dianggap Aceh dan Hindia Belanda menunjukkan
sebagai cara yang efektif untuk bahwa perang dan blockade tidak terlalu
menerapkan kontrol perdagangan atas banyak mempengaruhi aktifitas ekonomi
wilayah-wilayah pantai di Aceh. Mulai penduduk.
April tahun 1880 pemerintah Hindia
Belanda menerapkan peraturan yang Pada awalnya para petani lada dari Aceh
disebut scheepvaartregeling (peraturan Besar dan Pidie adalah penduduk yang
pelayaran).29 Van der Heijden sejahtera, akan tetapi lambat laun,
mengeluarkan perintah bahwa untuk terutama sejak meletusnya Perang Aceh,
sementara waktu semua perdagangan luar kondisi mereka mulai berubah. Para
negeri yang semula diarahkan ke Uluee penduduk dari Aceh Besar banyak
Lhue, dibatasi hanya pada empat atau lima
pelabuhan saja dibawah kontrol Belanda. 30
Ibid, hlm. 227
Pada bulan Mei-Agustus tahun 1882 Van
31
der Hoeve menutup seluruh pelabuhan di ANRI, Perlawanan Tokoh-tokoh
Pantai Utara. Kapal-kapal dari luar Aceh Masyarakat Aceh terhadap Rezim Kolonial
Belanda, (Proyek Pemasyarakatan dan
Desiminasi Kearsipan Nasional Arsip Nasional
29
Ibid, hlm. 224 Republik Indonesia, 2002) hlm. 40

80
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

berpindah dari Pantai Barat ke Pantai rata 35.000 pikul per tahun. Sementara itu,
Timur. Kepemilikan kebun lada biasanya Julok, Perlak, dan Pedawa rata-rata
dikuasai oleh perseorangan yang memiliki memproduksi 10.000 pikul lada
modal besar, karena sekaligus menguasai pertahunnya. Wilayah-wilayah lain hanya
aktifitas pelayaran.32 Komunitas penduduk memproduksi lada dalam jumlah kecil
pada sebuah gampong (kampong) yang yaitu 1000 hingga 2000 pikul pertahun.35
tergabung dalam sebuah sistem pertanian Perkembangan produksi dan perdagangan
lada disebut seunabok, dimana masing- lada di Aceh memasuki abad 19 berpindah
masing seunabok diawasi oleh seorang dari wilayah-wilayah di sepanjang pantai
kepala wilayah. Pada saat musim panen barat ke wilayah-wilayah di pantai timur
tiba, penduduk yang terdiri dari Aceh.
sekelompok besar wanita bekerja di kebun
lada dimana setiap kebun terdiri dari 1000 Wilayah-wilayah di pantai timur Aceh
jiwa yang dinamakan seunaboek.33 berkembang menjadi pusat produksi dan
Penanaman berkembang luas terutama perdagangan lada memasuki penghujung
disebabkan oleh kedatangan para migran abad 19. Wilayah-wilayah antara
dari berbagai wilayah di Aceh. pada tahun Diamond-Point (Tanjung Jambu Air) dan
1873, menurut perkiraan penduduk Aceh Tamiang yang memiliki tanah subur serta
yang menanam lada sebanyak 100.000 jarak yang dekat dengan Penang
jiwa dengan produksi lada sebesar 10.000 mengalahkan pantai barat Sumatera dalam
pikul pertahunnya.34 Wilayah-wilayah produksi lada pada tahun 1860-an.
penghasil lada memasuki penghujung abad Wilayah-wilayah tersebut mendatangkan
19, meliputi Aceh bagian Timur, terutama keuntungan yang cepat dalam waktu cepat.
Simpang Ulim, Idi, Julok, Pedawa, dan Pemimpin-pemimpin di wilayah-wilayah
Perlak. Produsen lada terbesar hingga pengekspor lada seperti Simpang Ulim
tahun 1873, terutama dihasilkan oleh dan Idi saling bersaing secara politik
Simpang Ulim dan Idi dimana masing- dalam memperebutkan pasaran lada di
masing menghasilkan produksi lada rata- Penang.36 Idi dan Tamiang menjadi
wilayah utama di Pantai Timur Aceh yang
32 berperan sebagai produsen sekaligus
J.H. Heyl, De Pepercultuur in Atjeh
distributor lada terbesar pada masa
en Onderhorigheden ( Koeta Radja: Atjeh
Drukkerij en Boekhandel, tanpa tahun) hlm. 4- Pemerintah Hindia Belanda.
5
Produksi lada dari Idi seagian besar
33
P.B. Brijn van Rozenburg, Met Sie dikirim ke Penang untuk kemudian di
Anoe naar Edi Een Bescheiden Bijdrage tot de bawa ke Eropa. Kapal-kapal uap di
kennis van een deel van Atjeh in zijn sepanjang pantai utara Aceh berlayar
beteekenis voor Nederlands Handel, melewati Idi untuk memuat lada. Sebagian
Nijverheid en Scheepvaart (Apeldoorn: J.H. lada dari wilayah bagian barat Sumatera
Steghgers H. Jzn, 1895) hlm. 62 masih melakukan aktifitas perdagangan
34
Muhammad Gade Ismail, The dengan Penang dalam jumlah besar.
Economic Position of the Uleebalang in the Aktivitas pelayaran dan perdagangan dari
Late Colonial State Aceh (East Aceh, 1900 –
1942), Netherlands Institute for Advanced 35
Ibid, hlm. 4
Study, Wassenaar – Netherlands Conference,
36
12-14 June 1985 Op.cit, Reid (2005) hlm. 86

81
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

pusat-pusat produksi lada di bagian utara tahun 1890 jumlahnya 17.664. Ekspor dan
Sumatera dilakukan di pelabuahan Aceh impor pada tujuh bulan pertama tahun
untuk dikirim ke Penang. Menurut laporan 1891 adalah 6.320 pikul.38 Pada tahun
dari Konsulat Jenderal di Penang tahun 1891, menurut laporan dari pemerintah di
1889 di sebutkan perolehan hasil ekspor Aceh, hasil lada menunjukkan penurunan
dan impor sebagai berikut:37 karena tidak memperoleh pinjaman hingga
1888 1889 masa insinuasi. Pada masa Pemerintahan
Gubernur Van Teijn, penyelundupan
Impor dari Sumatera 5.153.793 perdagangan lada dan perang yang
dolar 3.431.392 dolar berkecamuk turut mempengaruhi ekspor
Ekspor dari Idi lada hingga mencapai jumlah yang sangat
10.413.811 dolar kecil. Kondisi perang merupakan faktor
terbesar yang mempengaruhi penurunan
10.127.638 dolar
ekspor lada di wilayah bagian utara yang
Jumlah total menyulitkan penduduk Aceh untuk
15.567.604 dolar bertani.
13.559.030 dolar
Selama masa perang, blockade di segenap
Berdasarkan data tersebut, ekspor lada dari wilayah pantai Aceh diberlakukan dengan
Idi ke Penang menunjukkan hasil yang alasan keamanan. Selama kurun masa
besar dan relatif stabil setiap tahunnya. tersebut banyak terjadi praktek-praktek
Hal tersebut tidak lepas dari perdagangan gelap antara pelabuhan
dibebaskannya pelabuhan Idi dari terbuka dan pelabuhan tertutup untuk
blockade militer Belanda, sehingga menjamin bahwa sebagian besar panen
kegiatan ekspor dan impor dapat berjalan lada dapat mencapai pasar. Aksi-aksi
lancar tanpa hambatan. penyelundupan perdagangan lada dalam
skala besar memiliki pengaruh yang
Tamiang merupakan wilayah di bagian sangat besar dalam menjamin kestabilan
timur Aceh yang menunjukkan ekspor lada terutama dari Aceh ke Penang.
perkembangan produksi dan perdagangan Sistem pemberian uang muka hingga tiba
lada cukup signifikan selama masa perang masa panen selanjutnya pada perdagangan
dan blockade Belanda. Wilayah-wilayah lada, menjadikan para pedagang Cina dari
sungai di Tamiang telah berkembang Penang tidak mau rugi. Dengan demikian,
menjadi penghasil sejumlah komoditas jumlah ekspor komoditas lada di Aceh
ekspor yang aktif. Sejak sebagian wilayah- cenderung stabil dibandingkan ekspor
wilayah pantai bagian selatan Aceh pinang meskipun dalam kondisi perang
mengalami penutupan karena kondisi dan blockade karena arus “perdagangan
perang yang berkecamuk, jumlah pajak gelap” lada terus mengalir ke Penang.
ekspor lada di Tamiang menunjukkan Pemerintah kolonial Belanda terus
peningkatan hingga mencapai wilayah melakukan upaya pengamanan untuk
bagian utara. Impor ke wilayah Tamiang memutus arus barang yang memasuki
jumlahnya pada tahun 1888 adalah 7.779 pelabuhan-pelabuhan di perairan Aceh
pikul, tahun 1889 senilai 7.352 pikul, dan

37
Missive Gouvernements Secretaris
38
No. 87, 14 April 1893, hlm 16, ANRI Ibid.

82
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

yang sudah diblokade selama perang penjualan lada. Pada awalnya pedagang-
berlangsung. pedagang Cina harus meminta ijin terlebih
dahulu kepada kepala wilayah jika ada
Pengelolaan kebun lada di Aceh sebelum orang-orang Aceh yang hendak menjual
ekspansi pemerintah kolonial Hindia- lada dari kebunnya, dan ia berhak
Belanda dikelola secara tradisional dengan mendapat perlindungan setelah membayar
memanfaatkan sistem kekerabatan. Sebuah pajak. Praktek tersebut kemudian berubah
kebun lada (seunabok) hak ketika banyak makelar-makelar Aceh yang
kepemilikannya adalah perseorangan dan menjadi perantara penjualan lada ke
diatur oleh pemilik yang bersangkutan. Penang. Sebelumnya, petani lada (Aneuk
Penyerahan uang muka diserahkan kepada Seuneubok) tidak mendapat pinjaman uang
penggarap. Pengawasan disekitar kebun dari para pedagang, mereka menyerahkan
dilakukan oleh seorang kepala (Peutoeha lada mereka kepada kepala kebun dan
seunabok) dan pembelanjaannya petani mendapatkan beberapa bagian
dilakukan oleh pemberi uang muka pembayaran dari transaksi tersebut hingga
(Petoeha pangkaj). Uang muka tersebut masa selanjutnya. Kemudian, pedagang-
bukan merupakan pungutan wajib pedagang Cina dan juga pedagang Aceh di
melainkan perjanjian kerja yang dilakukan seuneubok membeli lada secara langsung
dengan perantara seorang peutoeha jaga, dari petani tanpa sepengetahuan dari para
yang biasanya berbentuk mata uang, peutoeha.41 Para pedagang Cina dari
meskipun ada yang memberikan padi dan Penang memborong lada secara lagsung
alat-alat pertanian. Hasil panen yang dari kebun. Dengan cara demikian, maka
digarap oleh petani, tidaklah diserahkan petani dapat memperoleh harga jual lada
kepada petani. Hasil produksi tersebut yang pantas terutama jika harga lada di
diserahkan sebagai hadiah kepada pasaran sedang mengalami kenaikan tanpa
Peutoeha seuneubok dan Peutoeha djaga harus menyerahkan hasil ladanya kepada
(Wase Peutoeha) atas keputusan dari peutoeha seuneubok. Para petani lada yang
Uleebalang (Wase Uleebalang). telah bersusah payah memelihara tanaman
Penyerahan uang muka diatur menurut lada, hanya memperoleh bagian sedikit
ketentuan produk yang terjual. Dalam hal meskipun harga lada mengalami kenaikan
ini Aneuk seuneubok (petani penggarap) di pasaran. Menurut hukum adat, para
hanya memperoleh jumlah yang sedikit.39 penguasa wilayah berhak menetapkan
Mawaih plah tanoh adalah prinsip dimana harga jual lada di pasaran, akibatnya nilai
separuh dari hasil kebun lada menjadi hak jual lada menjadi berkurang karena
pemillik, sementara para petani menerima harganya yang tinggi. Pada dasarnya,
hasil panen lada sebanyak 2 ½ pikul/1000 pembelian langsung dengan sistem
jumlah tanaman.40 Dalam hal ini para pemberian uang muka sebagaimana yang
Peutoeha dan Uleebalang memperoleh telah dilakukan oleh para pedagang Cina
keuntungan maksimum dari hasil dari Penang, merupakan praktek monopoli
perdagangan yang dilakukan oleh para
39
J.J.C.H. Van Waardenburg, De pedagang besar tanpa harus menanggung
Invloed van den Landbouw of de zeden, de beban pajak dari peutoeha seuneubok
Taal en Letterkunde der Atjehers (tanpa tahun menurut ketentuan adat.
dan tanpa penerbit) hlm.5
40
Ibid, hlm. 6 41
Op.cit, J.H. Heyl, hlm.42
83
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Sistem pemberian uang muka dalam tanggal 31 Desember setiap tahunnya akan
pembelian lada kepada petani lada di dikenakan denda sebanyak 100 dolar.
Aceh, merupakan merupakan cara yang
lazim ditempuh oleh para pedagang Cina Pasal 5 pembayaran denda dikurangi
di Penang untuk meningkatkan produksi jumlah pajak tanpa persentase yang
lada. Sistem kontrak jual beli lada ditambahkan.
tersebut, di sisi lain merugikan Pasal 6 pemungutan uang muka baru
kepentingan perdagangan pemerintah tidak boleh dilakukan tanpa seizin
Kolonial Hindia Belanda di Aceh. Pemerintah.
Kemunduran dalam pembudidayaan lada
menurut Gubernur Van Dalen disebabkan Pasal 7 produksi lada tidak diperkenankan
oleh kurangnya modal perusahaan yang dijual ke pasaran lain.
diberikan kepada pemilik kebun. Sistem
tersebut dianggap banyak merugikan para Peraturan-peraturan tersebut diterapkan
petani lada, karena sebagian besar oleh pemerintah Hindia Belanda dengan
pembayaran uang muka diberikan kepada tujuan untuk memonopoli komoditas
pemilik kebun dan kepala adat di setiap perdagangan ekspor di Aceh, setelah
wilayah. Oleh karena itu pada masa politik blockade wilayah pantai tidak
pemerintahan Gubernur Swart sistem sepenuhnya berhasil. Sistem pemberian
tersebut diganti menjadi penyerahan uang kredit langsung, merupakan sebuah cara
muka tanpa bunga dengan aturan untuk membatasi masuknya para pedagang
pemberian kredit langsung.42 Pemberian Cina dari Penang yang sekaligus berperan
kredit langsung tersebut dikelola oleh sebagai pemborong lada di Aceh.
Perusahaan Dagang Aceh milik Berdasarkan kesepakatan antara kepala
Pemerintah Hindia Belanda dengan peutoeha dan gabungan perusahaan
aturan-aturan sebagai berikut:43 dagang, aneuk seuneubok/ petani diijinkan
untuk menerima uang muka dengan
Pasal 1 pemberian uang muka minimal syarat-syarat/ pembatasan tertentu
1000 dolar dan maksimal 2000 dolar menurut adat pangkal.
setiap bulannya.
Pemerintah kolonial Belanda, disamping
Pasal 2 penduduk yang diberi kredit melakukan monopoli perdagangan lada
langsung wajib mengangsur pelunasannya dengan menerapkan kebijakan sistem
dari awal masa panen hingga periode masa pemberian kredit langsung yang
panen selanjutnya selama satu tahun. menggantikan sistem pemberian uang
muka, juga menerapkan sejumlah
Pasal 3 jumlah cicilan kredit sebanyak kebijakan dalam sistem produksi dan
400 dolar setiap kali pembayaran. perdagangan lada di Aceh, yaitu:
Pasal 4 barangsiapa yang belum penyeragaman satuan berat timbangan
membayar angsuran pelunasan hingga dalam Pikul, pemberlakuan mata uang
Hindia Belanda, dan Uleebalang
memperoleh pajak ekspor sebesar 10%
42
Vide diens Nota d.d. 10 Agustus atau adat pangkal sebesar 0.35 gulden,
1908, Nr. 2704/22) demikian juga dengan adat peutoeha
berjumlah satu suku atau senilai 0.35
43
Ibid.

84
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

gulden/pikul lada 44 Sistem kredit dihitung perpikul atau berlaku harga per
menjadikan penjualan lada dapat 100 kg jumlah muatan.
dilakukan secara tercatat sesuai dengan
hasil produksi petani. Sistem tersebut juga Perdagangan lada di Aceh memasuki
menciptakan hubungan ketergantungan penghujung abad 19 semakin
antara petani dan perusahaan dagang menunjukkan prospek buruk seiring
dalam kegiatan ekspor. Perusahaan dengan menurunnya permintaan pasar
Dagang Aceh merupakan gabungan dari terhadap komoditas ekspor tersebut.
perusahaan dagang lada yang sekaligus Perubahan kecenderungan orientasi pasar
berperan dalam mengontrol harga dasar tersebut pada dasarnya telah dimulai pada
lada dan mengirim komoditas tersebut dari tahun 1875 pada saat beberapa investor
tempat penjualan sesuai dengan harga modal asing dari Penang dan Singapura
pasaran di Penang setelah dikurangi biaya mencoba untuk membuka perkebunan
transportasi kapal sebesar 1 gulden hingga tembakau di Idi, akan tetapi gagal karena
2 gulden/pikul. kondisi tanah kurang mendukung. Usaha
pembukaan perkebunan tembakau tersebut
Persaingan yang tajam antara Perusahaan beralih ke Tamiang pada tahun 1898,
Perkapalan Belanda (Koninklijke namun kembali mengalami nasib yang
Pakervaart Maatschappij) dan pedagang- serupa. Pembukaan perkebunan karet pada
pedagang Cina di Penang sering terjadi tahun 1907 dan dilanjutkan dengan
dalam aktifitas transportasi pelayaran. perkebunan sawit pada tahun 1912 di
Kapal-kapal milik kongsi dagang Cina wilayah bagian timur Aceh, menjadikan
hampir selalu mengambil bagian terbesar komoditas ekspor tersebut memiliki
dari kegiatan pengangkutan, sekaligus prospek yang jauh lebih menguntungkan
menjadi pemborong lada, pinang, dan dibandingkan komoditas lain.45 Dari
komoditas lain dengan sistem pemberian sinilah kemunduran perdagaangan lada
uang muka. Persaingan dagang antara dimulai secara besar-besaran dan tidak
perusahaan dagang Belanda dengan kapal- pernah bangkit kembali hingga 100 tahun
kapal dagang milik Cina mendorong kemudian.
pemerintah Hindia Belanda menaikkan
pemberian uang muka sebesar 50 % yang Berikut ini diuraikan perkembangan
termasuk biaya pengangkutan dengan perdagangan lada di Aceh di pasaran
kapal. Harga muatan kapal-kapal dagang Penang sepanjang paruh kedua hingga
Cina yang diterapkan berdasarkan tariff paruh terakhir abad 19:
kongsi dagang Cina pada mulanya lebih
rendah dibandingkan dengan harga muatan
perusahaan dagang Hindia-Belanda. Para
pedagan kemudian berlomba-lomba untuk
membuat biaya transportasi menjadi dua
kali lipat lebih rendah. Harga muatan

44
J.H. Heyl, De Pepercultuur in Atjeh
en Onderhorigheden, (Atjeh Drukkerij en
Boekhandel Koeta Radja, tanpa tahun) hlm.
45
48-49 Op.cit, Gade Ismail, hlm. 4

85
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Perdagangan Penang dengan Aceh


Import dari Aceh Ekspor ke Aceh
PERKIRAAN
BARANG
LADA PINANG HARGA
ECERAN
TOTAL
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
Tahun ($.000)
(pikul) Per pikul (pikul) Per pikul (buah)

1868 114.4001 $ 5.2 79.0001 $ 1.9 509.3001


1869 113.9001 6.8 93.7001 1.7 606.1001
1870 141.2001 8.2 84.7001 1.4 2.241 692.5001
1871 170.9001 13.5 82.8001 1.5 3.345 618.4001
1872 141.9001 1.6 50.400 2.5 2.906 507.9001
1873 105.700 13.5 42.5001 3.3 2.590 533.9001
96.400 12.5 114.800 2.8 2.609 785.500
1874 164.400 10.1 69.300 2.2 3.229 628.500
1875 55.100 7.9 73.000 1.747 282.500
1876 155.600 7.2 63.500 1.762 281.700
1877 133.800 6.8 53.700 1.731 247.100
1878 95.900 7.8 74.600 5.5 1.876 209.800
1879 91.500 9.3 100.300 3.2 1.909 202.800
1880 107.100 11.2 69.800 2.8 1.500 210.000
1881 106.100 12.4 65.100 1.657 214.500
1882 122.300 14.7 94.800 2.820 215.200
1883 105.500 16.3 46.900 3.334 387.200
1884 122.300 18.5 38.600 3.543 419.000
145.500 20.0 79.800 3.320 280.600
1885 134.900 20.6 62.300 3.952 311.600
1886 131.300 21.3 93.700 3.7 4.434 266.900
1887 140.400 15.0 65.500 4.2 3.223 171.200
1888 130.700 10.0 17.500 4.8 155.200
1889 159.500 9.8 35.600 3.7 191.400
1890 176.000 8.5 13.000 3.1 210.300
1891 157.500 8.6 63.700 3.1 176.900
1892 194.100 8.0 104.800 3.8 156.300
1893 131.400 8.5 85.300 3.4 306.500
1894 119.200 9.6 91.70 3.1
1 1
1895 70.900 14.5 95.700 3.7
2 1
1896 84.900 23.0 147.600 5.6
1897 65.000 (ratarata)

86
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Sumber: Anthony Reid (2005)

Berdasarkan tabel tersebut, dari tahun V. KESIMPULAN


1873 pada saat blockade militer pertama
kali dilakukan hingga tahun 1880 pada Sejarah perdagangan lada di Aceh abad
saat sejumlah penutupan sejumlah 19 mengalami fase panjang dari tahap
pelabuhan dagang diberlakukan, produksi perkembangannya secara pesat pada paruh
lada cenderung mengalami penurunan pertama abad 19. Selama kurun waktu
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan tersebut, wilayah Aceh memasok hampir
harganya sangat fluktuatif. Pada tahun separuh dari kebutuhan lada dunia.
1880-1895, meskipun produksinya relatif Perkembangan pusat-pusat penghasil lada
stabil, akan tetapi harga pasarannya bermekaran di sepanjang pantai timur dan
cenderung tidak stabil. Meskipun pantai utara Aceh. Jaringan perdagangan
demikian hingga memasuki penghujung lada semakin luas dengan Inggris yang
abad 19, pemerintah Hindia Belanda terus memiliki pasaran di Cina dan Eropa, serta
berupaya untuk memonopoli perdagangan kedatangan kapal-kapal dagang dari
lada di Aceh karena prospeknya masih Amerika dan Perancis. Pola
menguntungkan dibandingkan dengan perdagangannya terus mengalami
komoditas lain seperti pinang, yang terus perubahan dari abad ke abad
mengalami kemerosotan drastis. menyesuaikan dengan kompleksitas
jaringan perdagangannya.Perubahan
Kondisi tersebut semakin tidak menentu orientasi pasar dunia terhadap lada yang
memasuki abad ke-20. Perdagangan lada diikuti dengan fluktuasi harga memainkan
di Aceh semakin menunjukkan bayangan peranan penting yang sangat
buruk dibandingkan dengan periode mempengaruhi kemunduran perdagangan
sebelumnya, meskipun Aceh masih lada di Aceh memasuki penghujung abad
menghasilkan lada untuk kedepannya. 19, disamping ketidakstabilan kondisi
Permintaan pasar yang semakin menurun sosial-politik dalam negeri sejak ekspansi
terhadap komoditas tersebut menjadikan Belanda. Mekanisme pasar berdasarkan
prospek perdagangan lada di Aceh harus hukum permintaan dan penawaran
tunduk pada hukum permintaan dan terhadap suatu komoditas perdagangan
penawaran menurut sistem mekanisme merupakan faktor utama yang menentukan
pasar global. perkembangan dan kemunduran
perdagangan lada di Aceh.

87
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

DAFTAR PUSTAKA

A Brief Account of the Several Countries Gade Ismail, Muhammad, The Economic
Surrounding Prince of Wales’s Position of the Uleebalang in the
Island with their Production Late Colonial State Aceh (East
Reed from Captain Leight: Aceh, 1900 – 1942), Netherlands
Enclosed Lord Cornwallis’s Institute for Advanced Study,
letter to Mr. Dundas 7th January Wassenaar – Netherlands
1789 (Journal of Malayan Conference, 12-14 June 1985
Branch Royal Asiatic Society,
Vol. 16, No. 1, July 1938) Garaghan S, Gilbert J., A Guide to
Historical Method, (New York:
Anderson, John, Mission to the East Coast Fordham University Press, 1957)
of Sumatra in 1823 (Singapore:
Oxford University Press, 1977) Hockett, Homer Carrey The Critical
Method in Historical Research
Anderson, John, Acheen and The Ports on and Writing (New York: The
the North and East Coast of Mac Millan Company, 1967)
Sumatra with Incidental Notices
Trade in the Eastern Seas and Heyl, J.H., De Pepercultuur in Atjeh en
the Aggression of the Dutch, Onderhorigheden ( Koeta Radja:
(London: W.M. H. Allen and Atjeh Drukkerij en Boekhandel,
CO, Leadenhall Street, 1840) tanpa tahun)

ANRI, Missive Gouvernements Secretaris Kam Hing, Lee, The Sultanate of Aceh
No. 87, 14 April 1893 Relationship with the British
1760-1824 (Thesis). (Kuala
ANRI, Perlawanan Tokoh-tokoh Lumpur: Oxford University
Masyarakat Aceh terhadap Press, Singapore, Oxford, New
Rezim Kolonial Belanda, York. KITLV, 1995)
(Proyek Pemasyarakatan dan
Desiminasi Kearsipan Nasional Kartodirjo, Sartono, Pemikiran dan
Arsip Nasional Republik Perkembangan Historiografi
Indonesia, 2002) Indonesia Suatu Alternatif
(Jakarta: PT Gramedia, 1982)
Brijn van Rozenburg, P.B., Met Sie Anoe
naar Edi Een Bescheiden Kruijt, J.A., Atjeh en Atjehers Twee Jaren
Bijdrage tot de kennis van een Blokkade op Sumatra’s Noord –
deel van Atjeh in zijn beteekenis Oost – Kust (Leiden: Gualth
voor Nederlands Handel, Kolf, 1877)
Nijverheid en Scheepvaart
(Apeldoorn: J.H. Steghgers H. Puvanarajah, T., Suntharalingan, R., The
Jzn, 1895) Acheh Treaty 1819 (Journal of
Southeast Asian History Vol. 2,
Crawfurd, John, History of the Indian No. 3, October 1961, Cambridge
Archipelago Vol III (London: University Press on behalf of
Printed for Archibald Constable Departement of History National
aand Co. Edindburg and Hurst, University of Singapore)
Robinson, and Co. Cheapside,
1820)
88
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Reid, Anthony, Humans and Forest in


Pre-Colonial Southeast Asia (
Environment and History Vol. I
No. I, February 1995, Published
by: White Horse Press)

Reid, Anthony, Menuju Sejarah Sumatra


Antara Indonesia dan Dunia
(Jakarta: KITLV, Yayasan Obor
Indonesia, 2011)

Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh


dari Perebutan Pantai Timur
Sumatra hingga Akhir Kerajaan
Aceh Abad ke-19 (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005)

The Historical Background of the Aceh


Problem, International
Conference Asia Research
Institute National University of
Singapore 28-29 May 2004
(Singapore: National University
of Singapore, 2004)

Van Waardenburg, J.J.C.H. De Invloed


van den Landbouw of de zeden, de
Taal en Letterkunde der Atjehers
(Batavia: Gedrukt Bij N.V.
Dubbeldeman’s Boekhandel,
1936)

Vide diens Nota d.d. 10 Agustus


1908, Nr. 2704/22)

89

Anda mungkin juga menyukai