Anda di halaman 1dari 5

PSIKORELIGIUS DAN PSIKOSPIRITUAL

Di_download dari
http://al-lawikanjani.blogspot.com/2012/11/psikoreligius-dan-psikospiritual.html

A.    PSIKORELIGIUS
Dalam agama Islam terdapat beberapa ayat Al- Qur’an yang menunjukkan bahwa Tuhan
membuat seseorang menderita sakit dan Dia-lah yang menyembuhkannya, seperti ucapan Nabi
Yahya yang menyatakan : “jika aku sakit maka Dia-lah yang menyembuhkannya”. Dan juga
sabda Nabi s.a.w yang menyatakan: “Allah tidaklah menurunkan suatu penyakit melainkan Dia
juga menurunkan obat penyembuhnya”.
Juga Allah menyebutkan dalam kitab suci Al- Qur’an melainkan untuk menjadi obat
penyembuh bagi orang mukmin antara lain seperti ayat berikut :
“Dan Kami turunkan dari Al- Qur’an itu sesuatu yang (dapat) menjadi obat penawar dan
rohmat kurnia bagi yang beriman dan bagi yang dzalim (Al- Qur’an) itu hanya menambah
kerugin belaka” (Q.S Al- Isra’ 82)
Dalam kasus Nabi Muhammad sendiri yang pernah disihir oleh orang kafir, dapat
disembuhkan dengan membaca surat Al- ‘alaq.
Dengan demikian jika dilihat dari peristiwa sejarah pada masa Nabi, system
penyembuhan (healing) terhadap penyakit psikosomatis, dilakukan dengan
menggunakan religiou- psychotherapy meskipun saat itu belum didasari dengan system
pendekatan disiplin ilmu, namun factor keyakinan pribadi yang berupa iman tersebut dapat
berfungsi sebagai sumber kekuatan penyembuh terhadap penyakit rohaniyah pada khususnya.
Pengalaman dari Dr.Leslie  Wetherhead, juga menunjukkan bukti bahwa terdapat
hubungan sebab akibat antara penyakit jiwa dengan hilangnya makna nilai – nilai keagamaan
dari dalam diri manusia.
Penerapan religiou – psychotherapy untuk menyembuhkan penyakit jiwa oleh
Dr.Norman Vincent Peale dari Amerika Serikat, juga terbukti efektif. Ia menuliskan
pengalamannya dalam buku karangannya yang berjudul “The Power of Positive Thinking”.
Di Florida, Amerika Serikat ada sebuah lembaga penelitian tentang penyembuhan
penyakit jiwa melalui daya pengaruh bacaan Al- Qur’an dalam berbagai kasus  penelitian atau
percobaan yang terdiri dari orang – orang yang mengerti bahasa Al- Qur’an dan yang tidak
mengerti makna Al- Qur’an yang harus mendengarkan bacaan Al- Qur’an. Ternyata bagi
kelompok yang memahami Al- Qur’an dapat memperoleh kesembuhan secara bertahap dan bagi
kelompok yang tidak memahami makna Al- Qur’an juga memperoleh kesembuhan yang kurang
intensif dibandingkan dengan kelompok yang memahami Al- Qur’an[1].                    
                                                                                                                                                 
                                                                                                                                                             
                                                                                                                                                             
                                                                                                                                                             
                                                                                                                                                             
                                                                                                                                                             
                                                                                                                                                             
                                                                                                                                                             
                                                                                                                                                             
                                                                                                                                                             
                                                                                                                          
Beberapa hasil penelitian mengenai terapi psikoreligius
  Lindenthal (1970) dan Star (1971) melakukan studi epidemiologik yang hasilnya menunjukkan
bahwa penduduk yang religius resiko untuk mengalami stres jauh lebih kecil daripada mereka
yang tidak religius dalam kehidupan sehari-harinya.
  Comstock dan Partrigde (1972) melakukan penelitian dan dinyatakan bahwa mereka yang
tidak religius resiko bunuh diri 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak
religius.
  Comstock, dkk (1972) menyakan bahwa bagi para pasien yang melakukan kegiatan keagamaan
secara teratur disertai doa dan dzikir, ternyata resiko kematian akibat penyakit jantung koroner
lebih rendah 50%, kematian akibat emphysema lebih rendah 56%, kematian akibat cirrhosis
hepatis lebih rendah 74% dan kematian akibat bunuh diri lebih rendah 53%.
  Clinebell  (1981) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat
kebutuhan dasar spiritual (basic spiritual needs). Kebutuhan dasar spiritual ini adalah kebutuhan
kerohanian, keagamaan dan ke-Tuhan-an yang karena paham materialisme dan sekulerisme
menyebabkan kebutuhan dasar spiritual terlupakan tanpa disadari. Dengan tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar spiritual maka daya tahan dan kekebalan seseorang dalam menghadapi stresor
psikososial menjadi melemah, yang kemudian sebagian dari mereka “melarikan diri” (escape
reaction) ke NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif).
  Larson, dkk (1992) melakukan studi banding pada pasien lanjut usia dengan pasien muda usia
yang akan menjalani operasi. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa pasien-pasien lanjut
usia dan religius serta banyak berdoa dan berdzikir kurang mengalami ketakutan dan kecemasan,
tidak takut mati dan tidak menunda-nunda jadwal operasi, dibandingkan pasien-pasien muda usia
yang tidak religius.[2]

DOA DAN DZIKIR MENURUT AGAMA ISLAM 


Doa adalah permohonan penyembuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan Dzikir
adalah mengingat Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya.
Dari sudut ilmu kedokteran jiwa/kesehatan jiwa doa dan dzikir (psikoreligius terapi)
merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa.
Hal ini dikarenakan doa dan dzikir mengandung unsur spiritual yang dapat
membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self confidence) pada diri seseorang yang
sedang sakit, sehingga kekebalan tubuh meningkat dan akhirnya mempercepat proses
penyembuhan.
Khususnya terapi psikoreligius selain sholat, doa dan dzikir, beberapa ayat dan hadis berikut
ini dapat diamalkan, yaitu:
1. “(Yaitu), orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang” (Q.S. 13:28)
2. “Dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkan ‘’. (Q.S. 26 :80)
3. ‘’Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah Tuhannya
manusia, hilangkanlah derita, sembuhkanlah penyakit, Engkaulah Dzat
Maha  Penyembuh kecuali Engkau. Ya Allah, hamba mohon kepada-Mu agar aku sehat ‘’.
(H.R. Ahmad, Nasai dari Muhammad bin Khatib)
Terapi psikoreligius dalam bentuk berdoa dan berzikir selain sholat lima waktu, sebagaimana
diuraikan sebelumnya memunyai nilai psikoterapeutik lebih tinggi daripada psikoterapi psikiatrik
konvensional. Seseorang yang sedang menderita sakit selain berobat secara medik psikiatrik bila
disertai dengan berdoa dan berzikir akan meningkatkan kekebalan yang bersangkutan terhadap
penyakitnya; menimbulkan optimisme dan pemulihan rasa percaya diri serta kemampuan
mengatasi penderitaan; yang pada gilirannya akan mempercepat proses penyembuhan. Dan,
apabila yang bersangkutan ditakdirkan meaninggal, ia dalam keadaan beriman dan tenang
kembali menghadap kepada Pencipta.

B.     PSIKOSPIRITUAL
Psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-potensi dan daya psikis manusia
yang berkaitan dengan kehidupan spiritual. Kemudian menempatkan potensi dan daya psikis
tersebut sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Selain itu mulai tumbuh suatu
kesadaran baru mengenai hubungan anatra potensi dan daya psikis tersebut dengan sikap dan
pola tingkah laku manusia[3].
Definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendifinisikan agama/religion, dibanding dengan kata
religion, para psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spitual mempunyai
beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau
menunjukan spirit tingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai factor
kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi[4].
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang
berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk
hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual
berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan
dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau
pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian
esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang[5].
Dalam pengertian yang lebih luas spirit dapat diartikan : 1. Kekuatan kosmis yang memberi
kekuatan kepada manusia (yunani kuno); 2. Mahluk immaterial seperti peri, hantu dan
sebagainya; 3. Sifat kesadaran, kemauan, dan kepandaian dalam alam menyeluruh; 4. Jiwa luhur
dalam alam yang bersifat mengetahui semuanya, mempunyai akhlak tinggi, menguasai
keindahaan, dan abadi; 5. Dalam agama mendekati kesadaran agama; 6. Hal yang terkandung
minuman keras dan menyebabkan mabuk. (Hasan Shyadili 1984 : 32-78).
Selanjutnya dalam ensiklopedia Indonesia spiritual adalah : 1. Bentuk nyanyian rakyat yang
bersifat keagamaan, dikembangkan oleh budak-budak negro dan keturunan mereka di Amerika
Serikat dibagian selatan; 2. Yang berhubungan dengan rohani dan eksistensi kristiani yang
berdasarkan kehadiran dan roh kudus (s.spiritus) dalam setiap orang beriman dan seluruh gereja.
Adapun spiritualitas adalah kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya dalam cara berfikir,
merasa, berdo’a dan berkarya (hasan shyadili : 3279)[6].
Spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit, sesuatu yang
spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering
dibandingkan dengan Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara, Didalamnya mungkin
terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama, tetapi memiliki
penekanan terhadap pengalaman pribadi. Pihak lain mengatakan bahwa aspek spiritual memiliki
dua proses, pertama proses keatas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah
hubungan seseorang dengan Tuhan, kedua proses kebawah yang ditandai dengan peningkatan
realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain perubahan akan timbul pada diri
seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam akan
termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri[7].
Spiritual dapat merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih
kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang, dan lebih dari pada hal yang
bersifat indrawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritual adalah memiliki arah tujuan, yang secara
terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai
hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta dan menghilangkan ilusi dari
gagasan salah yang berasal dari alat indra , perasaan, dan pikiran.
Psikospiritual juga berhubungan dengan kejiwaan. Jiwa yang sehat umumnya bersumber dari
ahlak terpuji, sebaliknya jiwa yang sakit bersumber dari ahlak tercela. Selanjutnya ahlak terpuji
merupakan sifat dan amal utama para rasul dan al-shiddiqin. Sebaliknya ahlak tercela merupakan
sifat dan pekerjaan setan dan menjauhkan orang dari Allah SWT. Keitidalan dan kebagusan
ahlak , serta kesehatan jiwa tersebut antara lain dapat pula pula dengan menjaga keitidalan
kekuatan akal, kesempurnaan hikmat, keitidalan kekuatan marah dan hawa nafsu dan serta
ketaatan kedua kekuatan ini kepada akal dan agama. Dengan demikian kesempurnaan
kebahagiaan jiwa bisa diperoleh melalui spiritualisasi islam[8].
Seseorang yang banyak melakukan amal saleh maka ia akan lebih dekat kepada Allah SWT
sebagai sang khaliq, melalui pengalaman-pengalaman spiritualnya yang awal mulanya selalu
jauh/belum dekat kepada Allah yang selalu menuruti hawa nafsunya karena belum memahami
hakekat akal dan agama.
Al-Qur’an telah memberikan perunjuk bahwa untuk membangkitkan aktifitas diri hanyalah
dengan dzikir. Makna teks dari kata dzikir, menurut kamus, adalah menyebut, mengucap. Adz-
dzukuroh, kemasyhuran, kehormatan ; adz-dzikro, peringatan ; adz-dzakaru, laki-laki atau jantan,
alat vital laki-laki; mudzakar, berjenis laki-laki; mudzakarah, mempelajari atau studi pembicraan
(Al-Munawir. Hal.483).
Al-Qur’an telah menginformasikan bahwa ada tiga cara berdzikir yaitu:
1.      Dzikir fikr, adalah aktifitas jiwa kearah akal pikiran, agar akal mengeluarkan energy dengan
cara “tafakur” yaitu merenungi, memfilsafati semua ciptaan Allah sehingga timbul keyakinan
bahwa “semua yang diciptikan Allah tidak ada orang yang sia-sia.
2.      Dzikir ‘amal, dzikir ini merupakan aktifitas kerja ketika energy jiwa keluar untuk
memotivasi semangat agar lebih dan lebih ulet berkarya.
3.      Dzikir qalb, dzikir merupakan aktifitas jiwa kearah hati (walb) dengan cara bert-tabtil, yaitu
mengheningkan suasana batin dari segala hal yang dapat mengganggu perasaan[9]
Ada perbedaan antara spiritual dan religius adalah kesadaran diri dan kesadaran individu tentang
asal , tujuan dan nasib. Agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki
manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan
dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dihubungkan dengan
kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya.
Agama memiliki kesaksian iman , komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual
memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran) , sedangkan agama
memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang
bisa saja mengikuti agama tertentu , namun memiliki spiritualitas . Orang – orang
dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat
spiritualitas yang sama[10].

[1] Abdul Rahman Saleh. Psikologi, Kencana Media Goup : Jakarta, 2004. Hlm 62 – 65


[2] Dadang Hawari,Aborsi Dimensi Psikologi,FKUI,Jakarta,2006
[3] Jalaluddin. Psikologi Agama, Rajagrafindo Persada : Jakarta, 2010. Hal. 258
[4] David Fontana, Religion and spirituality, Bps Blackwell, 2003. Hal. 11
[5] Aliah B., Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, hal 288
[6] Jalaluddin. Psikologi Agama, Rajagrafindo Persada : Jakarta, 2010. Hal. 330
[7] Ibid, hal. 290
[8] Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, PT Remaja
Rosdakarya : bandung, 1994. Hal. 70
[9] Mas Rahim Salaby. Mengatasi Kegoncangan Jiwa, PT Remaja Rosdakarya : Bandung, 2005. Hal. 119-121
[10] Ahmad Fauzi.  Psikologi Umum, Pustaka Setia : Bandung, 2004. Hal. 126

Anda mungkin juga menyukai