Anda di halaman 1dari 14

PORTOFOLIO – Kasus Etik Medikolegal

No. ID dan Nama Peserta : dr. Tri Puspita Sari


No. ID dan Nama Wahana : RSUD dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto
Topik : Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Tanggal Kasus : 26 September 2015
No. RM : S 15 09 081XXX
NamaPasien : Tn. M
Pendamping :
Tanggal Presentasi : - - dr. Wawan Setyo Purnomo
- dr. Wiwiek Andayani
Tempat Presentasi : -
Obyektif Presentasi : -
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Laki-laki, 50 tahun, post KLL terlindas truk, datang pada pukul 21.00 dengan tungkai bawah kiri patah, tampak tulang kering, tulang betis, otot
hancur, dan perdarahan masif. Pasien tampak pucat, lemah dan kesakitan. Setelah dilakukan tindakan primary survey di IGD RSUD dr. Wahidin Sudiro
Husodo Mojokerto, pasien kemudian diperiksa oleh dokter spesialis orthopedi dan traumatologi dan dinyatakan harus segera diamputasi.
Dokter menjelaskan keadaan pasien kepada anak pasien yaitu Tn.M dan meminta persetujuan, namun Tn.M bingung dan ingin meminta pendapat
keluarganya yang lain. Tak lama kemudian datanglah Tn.B yang mengaku sebagai anak pertama pasien dan menyatakan menolak tindakan amputasi yang
akan dilakukan pada pasien. Tn.B ingin pasien dibawa ke RS swasta di Surabaya dengan alasan dokter di RS lain bisa menangani pasien tanpa harus
melakukan amputasi pada pasien, namun dokter menolak untuk merujuk atau alih rawat karena dokter yakin dokter lain juga akan berpendapat sama jika
melihat kondisi pasien. Akhirnya pasien tetap berangkat ke Surabaya dengan inisiatif keluarga sendiri (pulang paksa).
Keesokan harinya, kira-kira pukul 09.00, pasien kembali ke IGD RSUD dr. Wahidin Sudiro Husodo diantar oleh Tn.M dan istrinya. Tn.M bercerita pada
dokter jaga bahwa mereka sudah sampai di RS swasta yang dituju di Surabaya, namun ternyata dokter di sana juga menyatakan pasien harus diamputasi,
bahkan biaya amputasi di sana sangat mahal dan pasien merupakan peserta Jamkesmas. Tn.M juga mengatakan bahwa Tn.B yang telah memberikan
penolakan tindakan amputasi bukanlah anak kandung pasien melainkan sepupu pasien.
Tujuan : Mengetahui bagaiman aspek etik dan medikolegal kasus Informed Consent
Bahan bahasan TinjauanPustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & diskusi E-mail Pos
Data Pasien Nama : Tn. M No. Registrasi :
S 15 09 081XXX
Umur : 50 Tahun

Nama Klinik : RSUD dr. Wahidin Sudiro Terdaftar sejak :


Telp. -
Husodo Mojokerto 26 September 2015
Data Utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Pria, 50 tahun, datang dengan tungkai bawah kiri patah, tampak tulang kering, tulang betis, otot hancur, dan perdarahan masif. 30 menit SMRS pasien
mengalami kecelakaan, kaki kiri pasien terlindas truk. Pasien tampak pucat, lemah dan kesakitan. Setelah dilakukan tindakan primary survey di IGD,
pasien kemudian diperiksa oleh dokter spesialis orthopedi dan traumatologi dan dinyatakan harus segera diamputasi.
2. Riwayat Penyakit Dahulu :

-
3. Riwayat Keluarga :

-
4. Lain – lain :
Dokter menjelaskan keadaan pasien kepada anak pasien yaitu Tn.M dan meminta persetujuan, namun Tn.M bingung dan ingin meminta pendapat
keluarganya yang lain. Tak lama kemudian datanglah Tn.B yang mengaku sebagai anak pertama pasien dan menyatakan menolak tindakan amputasi
yang akan dilakukan pada pasien. Namun ternyata Tn. B hanyalah sepupu pasien dan bukan anak kandung pasien
Hasil Pembelajaran
1. Definisi informed consent
2. Hak dan kewajiban dokter serta hak dan kewajiban pasien
3. Informasi yang harus diberikan oleh dokter kepada pasien/keluarganya saat meminta persetujuan
tindakan medis.
4. Orang yang berhak memberikan persetujuan/penolakan terhadap tindakan medis tertentu
5. Aspek hukum yang berkaitan dengan informed consent
Pembahasan
Definisi
Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang artinya telah mendapat informasi (penjelasan), sedangkan
consent artinya persetujuan atau memberi izin. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang
diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya atau
keluarganya serta risiko yang berkaitan dengannya.
Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang
akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya
sudah cukup. Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati
sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien.

Hubungan Dokter dengan Pasien


Perkembangan hubungan antara pasien dengan dokter
Hubungan antara pemberi jasa layanan kesehatan (dokter) dengan penerima jasa kesehatan (pasien) berawal dari hubungan vertikal
yang bertolak pada hubungan paternalisme (father knows best). Hubungan vertikal tersebut mengakibatkan hubungan antara dokter
dan pasien tidak lagi sederajat. Hubungan ini melahirkan aspek hukum inspaning verbintenis antara dua subyek hukum (dokter dan
pasien), hubungan hukum ini tidak menjanjikan suatu kesembuhan/kematian, karena obyek dari hubungan hukum itu adalah berupaya
secara maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan cermat sesuai dengan standar pelayanan medis berdasarkan ilmu pengetahuan
dan pengalamannya dalam menangani penyakit tersebut.
Tanpa disadari keadaan seperti diatas membawa perubahan pola pikir di mana kedudukan antara dokter dan pasien menjadi sama dan
sederajat walaupun sebenarnya peranan dokter lebih penting daripada pasien. Bila antara dua pihak telah disepakati untuk melakukan
tindakan medis tertentu, tetapi kemudian diketahui dokter tidak cermat dalam prosedur yang ditempuh melalui proses komunikasi
(informed consent), maka salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi. Hal tersebut di legalkan oleh
UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai salah satu upaya perlindungan hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang
timbul (fisik/non fisik) karena kesalahan/kelalaian yang telah dilaksanakan oleh dokter.

Pada dasarnya dewasa ini perubahan pola hubungan antara dokter dan pasien disebabkan tiga faktor dominan, yaitu
1. Meningkatnya jumlah permintaan atas layanan kesehatan
2. Berubahnya pola penyakit
3. Teknologi medik
Bila ditarik persamaan antara pola hubungan vertikal paternalistik dan horizontal kontraktual maka akan sama-sama menimbulkan
hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.
Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing
pihak yaitu pihak pemberi layanan (medical providers) dan pihak penerima pelayanan (medical receivers) dan ini harus dihormati
oleh kedua belah pihak. Tim dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan dan
tindakan medik terbaik menurut pengetahuan, jalan pikiran dan pertimbangannya, sedangkan pasien atau keluarganya sebagai
medical receivers mempunyai hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Hubungan Hukum Antara Dokter dengan Pasien


Menurut hukum perdata, hubungan profesional antara dokter dengan pasien
dapat terjadi karena 2 hal, yaitu:
1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu) yang berbentuk kontrak terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasien berdasarkan
kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi wanprestasi, yakni pengingkaran terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar
tuntutan adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu.
2. Berdasarkan hukum (ius delicto), berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.
Rumusan perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata ialah suatu tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela
oleh dua orang atau lebih, yang bersepakat untuk mencapai suatu prestasi. Dalam hubungan antara dokter dengan pasien, timbul
perikatan usaha (inspannings verbintenis) dimana sang dokter menjanjikan prestasi berupa usaha penyembuhan yang sebaik-baiknya
dan pasien selain melakukan pembayaran, ia juga wajib memberikan informasi secara benar atau mematuhi nasihat dokter sebagai
kontraprestasi. Disebut perikatan usaha karena didasarkan atas kewajiban untuk berusaha. Dokter harus berusaha dengan segala daya
agar usahanya dapat menyembuhkan penyakit pasien. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang didasarkan karena hasil dimana prestasi
yang diberikan dokter tidak diukur dengan apa yang telah dihasilkannya, melainkan ia harus mengerahkan segala kemampuannya bagi
pasien dengan penuh perhatian sesuai standar profesi medis. Selanjutnya dari hubungan hukum yang terjadi ini timbullah hak dan
kewajiban bagi pasien dan dokter.

Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien


Hak-hak yang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang
dalam Pasal 52 adalah:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.

Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Praktik Kedokteran ini adalah:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan; dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Demikian pula bagi dokter, sebagai pengemban profesi, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut.
Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-undang
Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyebutkan :
1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Secara khusus hak-hak dokter dalam menjalankan praktik kedokteran diatur dalam Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, Pasal 50 yang mengatur bahwa seorang dokter mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
b. dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
c. Memberikan pelayanan medis menurut standar professional dan standar prosedur operasional
d. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya
e. Menerima imbalan jasa.

Sedangkan kewajiban dokter diatur lebih lanjut dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, yaitu :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu:
1. Standar keterampilan
a. Keterampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan
sarana yang sesuai dengan standar ditempat prakteknya. Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderitan perlu dirujuk
ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
b. Keterampilan umum; meliputi penanggulangan terhadap berbagai penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan
dokter Indonesia.

2. Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita dan pada
dasarnya dibagi 2 bagian, yakni :
a. Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.
b. Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang diperlukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.

3. Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter
dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya dengan dokter lainnya, yaitu :
a. Pasien harus diperlakukan secara manusiawi
b. Semua pasien diperlakukan sama.
c. Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara menyeluruh.
d. Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara menyeluruh.
e. Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya.
f. Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak memberatkan pasien.
g. Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.
h. Untuk pemeriksaan pasien wanita sebaiknya agar keluarganya disuruh masuk kedalam ruang praktek atau disaksikan oleh
perawat, kecuali bila dokternya wanita.
i. Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang praktek, melakukan abortus, kecanduan dan alkoholisme.

4. Standar catatan medik


Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita, alamat, anamnesis,
pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang menimbulkan alergi terhadap pasien.
Jenis Informed Consent
Jenis informed consent secara garis besar dibagi menjadi :
1. Dinyatakan
a. Lisan
b. Tertulis
2. Tidak dinyatakan
a. Tindakan pasien
b. Aturan hukum pada situasi tertentu (pada keadaan kegawat daruratan)
Informed consent itu sendiri menurut jenis tindakan/ tujuannya dibagi tiga, yaitu:
1. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian).
2. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
3. Yang bertujuan untuk terapi.

Jenis-jenis persetujuan :
1. Izin langsung (express consent) : pasien atau wali segera menyetujui usulan pengobatan yang ditawarkan dokter atau pihak RS
(lisan atau tertulis).
2. Izin secara tidak langsung (implied consent) : tindakan pengobatan dilakukan dalam keadaan darurat yang dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
3. Persetujuan khusus (informed consent) : pasien wajib mencantumkan pernyataan bahwa kepadanya telah diberikan penjelasan suatu
informasi terhadap apa yang akan dilakukan oleh tim medis terhadap pasien. Pada informed consent, pasien sendiri yang harus
menandatangani persetujuan kecuali pasien tersebut tidak mampu atau mempengaruhi fungsi seksual dan reproduksi.

Fungsi dan Tujuan Informed Consent


Fungsi dari informed consent adalah
1. Promosi dari hak otonomi perorangan
2. Proteksi dari pasien dan subyek
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan dalam
penyelidikan biomedik.

Tujuan dari informed consent adalah :


1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of
treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan
sangat hati-hati dan teliti

Informasi Yang Wajib Diberikan Dalam Informed Consent


Menurut PERMENKES No.290 Tahun 2008, informasi yang harus diberikan oleh dokter kepada pasien meliputi:
1. Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran.
Penjelasan mengenai diagnosis dapat meliputi:
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan.
Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitative.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau
ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya.
a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
b. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
c. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan
tak terduga lainnya.
4. Risiko-risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti
tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan.
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Penjelasan tentang prognosis meliputi :
a. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
6. Perkiraan pembiayaan

Ketentuan Informed Consent


Ketentuan persetujuan informed consent sesuai dengan PERMENKES No. 290 Tahun 2008 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan
kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Keluarga terdekat yang dimaksud adalah
suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-sudara kandung atau pengampunya.
Seseorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak
kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang
sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah
memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien. Dokter atau
dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Pemberi informasi tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, dokter spesialis atau
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh
pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan
persetujuan/penolakan
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan persetujuan/penolakan

Aspek Hukum Informed Consent


1. Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter dan pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni
orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hokum

2. Dalam masalah informed consent, dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik
Kedokteran Indonesia), juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukum perdata, hukum pidana maupun
hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok
ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang
merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Sedangkan pada masalah hukum
pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
3. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan
dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya

4. Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasif (misalnya pembedahan, tindakan radiologi invasif) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

5. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat menjamin
terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relatif,
misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit
untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

Anda mungkin juga menyukai