Anda di halaman 1dari 21

INFORMED CONSENT

“Misteri Tanda Tangan Pasien di Kasus Dokter Ayu Cs’’

Penyusun :

Kevin Satria 16700082


Anggraini Putri Bagus Pertiwi 16700084
Krisna Yoga Erlangga 16700108
Anak Agung Ayunda Saraswati 16700110
Fatin Sabrina 16700150
Faradiba Jihan Perwira 1370008

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TAHUN AJARAN 2017/2018


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagian besar keluhan ketidakpuasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang
terjalin baik antara tim medis dengan pasien dan keluarga pasien.
Apakah para pasien perlu sepenuhnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan
mengenai apa yang akan diperbuat dalam rangka pemeriksaan, pengobatan, dan
perawatan mereka? Apakah mereka harus selalu dimintai persetujuan atas apa yang akan
dilakukan oleh tenaga medis kepada mereka? Bukankan pelibatan dan permintaan
persetujuan macam itu malah akan menghambat rencana kerja? Apalagi, bukankah
dengan datang kepada dokter atau rumah sakit mereka telah mempercayakan diri mereka
terhadap dokter dan tim medisnya? Seberapa jauh pasien perlu diberitahu mengenai
resiko dan keuntungan dari langkah-langkah pengobatan dan tindakan-tindakan lain yang
harus diambil demi pemulihan kesehatannya? Bagaimana dengan pasien yang kalau
diberitahu toch tidak mengerti apa yang dimaksud, atau pasien yang sengaja tidak mau
tahu tentang keadaan dirinya yang sebenarnya dan pokoknya dibuat enak badan, masih
perlukah mereka diberitahu? Apakah dokter dan tim medis lainnya wajib
memberitahukan kemungkinann resiko yang akan terjadi dan alternatif pengobatan yang
bisa diambil terhadap pasien, atau hal itu hanya dapat diharapkan berdasarkan kebaikan
sang dokter? Itulah beberapa pertanyaan yang kadang muncul dalam praktek pelayanan
medis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut erat kaitannya dengan apa yang lazim disebut
dengan “informed consent”. Oleh karena itu perlu kiranya kita mengetahui apa itu
“informen consent”.
KASUS :
Misteri Tanda Tangan Pasien di Kasus Dokter Ayu Cs

Kematian pasien bernama Julia Fransiska Makatey tahun 2010 menyeret dua dokter ke
balik bui dan satu lainnya buron. Kematian dia pun menyisakan misteri, apakah di saat-
saat terakhir hidupnya, Fransiska meneken surat persetujuan tindakan medis (informed
consent) atau tidak.

Tiga dokter yang menangani Fransiska atau Siska divonis 10 bulan penjara oleh Majelis
Kasasi Mahkamah Agung (MA), 18 September 2012 karena terbukti malapraktik.
Mereka adalah Ayu Swasyari Prawani, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian yang
saat menangani Siska tahun 2010 sedang bertugas di Rumah Sakit Kandou, Manado,
Sulawesi Utara.

Dikutip dari putusannya, MA mengamini argumentasi Kejaksaan Negeri Manado untuk


menjerat ketiga dokter itu dengan malapraktik saat menangani Siska. Salah satu
kesalahan tim dokter Ayu dkk ini, menurut MA adalah tidak memberitahu keluarga Siska
tentang resiko operasi caesar. Mengingat risiko yang tinggi, dokter wajib meminta
persetujuan keluarga saat akan mengoperasi caesar pasien.

Urusan meminta persetujuan ini bermula saat dokter Ayu sebagai Terdakwa I akan
mengambil tindakan medis berupa cito secsio sesaria (operasi caesar) atas Siska, 10
April 2010 untuk mengeluarkan bayi dari kandungannya. Ayu kemudian
mengintruksikan dokter Helmi untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan
pemeriksaan darah pasien secara lengkap.

Ayu juga konsul kepada dokter Hermanus Jakobus Lalenoh, SpAn. Menjawab konsul itu,
Hermanus menyatakan setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi risiko
tinggi. "Oleh karena ini adalah operasi darurat, maka mohon dijelaskan kepada keluarga
risiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau usai operasi," demikian jawaban Hermanus
seperti dikutip dari putusan MA.

Ayu lantas menugaskan Hendy Siagian (terdakwa III) untuk memberitahukan keluarga
Siska soal tindakan medis berisiko tersebut.

Tetapi, Hendy tidak melaksanakan tugas itu. Dia malah menyerahkan lembar persetujuan
tindakan medis atau informed consent itu ke Siska yang tengah kesakitan.
Hal ini, menurut MA, dilihat dokter Ayu dari jarak kurang lebih tujuh meter, dokter
Hendry Simanjuntak (terdakwa III) dari jarak kurang lebih tiga meter, dan juga dokter
Helmi.

Belakangan, tanda tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut dinyatakan
sebagai tanda tangan karangan. Dakwaan Jaksa menyebut, tanda tangan di form itu
berbeda dengan tanda tangan Siska di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes.

Hal ini diperkuat hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik tanggal 9 Juni 2010
dengan NO LAB : 509/DTF/2011. Pemeriksa tanda tangan ini adalah Samir, Ardani
Adhis, dan Marendra Yudi. "Menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey
pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan atau spurious signature.

Siska kemudian dioperasi caesar Sabtu malam 10 April 2010. Namun, kondisi Siska kian
parah dan akhirnya meninggal dunia.

Diberitakan sebelumnya, pemidanaan Ayu dkk diprotes keras para dokter yang
tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Rabu 27 November 2013, para dokter
demonstrasi besar-besaran. Sebagian dari dokter-dokter itu pun mogok kerja. Mereka
menuding, pidana atas tindakan medis yang diambil dokter terhadap pasien adalah
bentuk kriminalisasi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana pengertian, dasar hukum dari Informed Consent.
1.2.2Bagaimana Kaidah Dasar Bioetik dari kasus tersebut?
1.2.3Bagaimana 4 Box Methode of Clinical Etik dari kasus tersebut?
1.2.34Apakah Pada Kasus Ini terdapat Double Effect atau Totalitas Integritas?

1.3 Tujuan
1.3.1 untuk mengetahui pengertian, dasar hukum dari Informed Consent.
1.3.2Untuk Mengetahui Kaidah Dasar Bioetik dari kasus tersebut
1.3.3 Untuk Mengetahui 4 Box Methode of Clinical Etik dari kasus tersebut
1.3.4 Untuk Mengetahui Double Effect atau Totalitas Integritas dari kasus tersebut
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Informed consent

A. Pengertian Informed Consent

Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan,


seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang
risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan kewajiban
hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah
yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus
diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika.

Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas informasi
yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat ,
dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur
pokok, yakni:

1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis)
untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan
kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat
kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh pasien.
2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk
memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat
diberikan kapada pasien.

Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk


menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian
informasi seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001).

Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien maka,
seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam pengertian
informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi yang perlu
diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat
unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan
kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok yang
biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan
kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya memberikan informasi
yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat
disebut suatu persetujuan informed. Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa
standar pembeberan, yakni:

a. Standar praktek profesional (the professional practice standard)

b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)

c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)

Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuanyang


diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakanmedik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian diatas PTM adalah persetujuan yang
diperoleh sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang
akan dilakukan.

Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent hakikatnya adalah
hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan
tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik.
Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam
KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:

a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.

b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan

c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan
perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
B. Sejarah Informed Consent

Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih baru
dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara
formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut
dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang
zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang
mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di
kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup
mendapat perhatian besar dalma etika biomedis (Sudarminta, J. 2001).

Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan dengan
kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang
kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas
dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam
pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir
panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat
pernyataan sebagai berikut.

Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan
kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang
diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya.
Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika
secara hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang
pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau
sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk berusaha
menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin, berusaha
dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.

Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan kedua,
dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu
sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit
harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan
bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan
dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang
dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa
bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan
kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk
meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit
dan petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.

C. Fungsi informed consent

Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :

• promosi otonomi individu.

• Proteksi terhadap pasien dan subjek.

• Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.

• Mendorong adanya penelitian yang cermat.

• Promosi keputusan yang rasional

• Menyertakan publik.

Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.

Persetujuan :

• Persetujuan ; Tertulis maupun lisan.

• Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.

• Cara penyampaian informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan
situasi pasien.

• Setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan, selain itu
dengan lisan.
D. Dasar Hukum dan Informed Consent Keperawatan

1. Dasar hukum informed consent

· UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan

· Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan

· Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS

· Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/


Medical record

· Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan


Tindakan Medis

· Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS

· Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang


Informed Consent

· Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang


Bedah Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan
Tubuh Manusia

2.2 Kaidah Dasar Bioetik/ Moral

Beauchamp and Childress (1994) mengemukakan bahwa untuk mencapai suatu


keputusan etik diperlukan empat kaidah dasar moral dan beberapa aturan di bawahnya.
Keempat kaidah dasar moral tersebut ialah:

1. Otonomi (self determination)

 Prima facienya pada (berubah menjadi atau dalam keadaan) konteks membahas hak
orang lain selain diri pasien itu sendiri.

 Hak orang lain ini khususnya mereka yang sama atau setara dalam mengalami
gangguan kesehatan di luar diri pasien, serta membahas hak-hak sosial masyarakat
atau komunitas sekitar pasien.
2. Tindakan berbuat baik (beneficence)

 ketika kondisi pasien merupakan kondisi yang wajar dan berlaku pada banyak pasien
lainnya, sehingga dokter akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan pasien

 dokter telah melakukan kalkulasi dimana kebaikan yang akan dialami pasiennya akan
lebih banyak dibandingkan dengan kerugiannya.

 prinsip prima facienya adalah sesuatu yang berubah menjadi atau dalam keadaan yang
umum

3. Tidak merugikan (non-maleficence)


 Dalam konteks, prinsip prima-facienya adalah ketika pasien (berubah menjadi atau
dalam keadaan) gawat darurat dimana diperlukan suatu intervensi medik dalam
rangka penyelamatan nyawanya.
 Atau konteks ketika menghadapi pasien yang rentan, mudah dimarjinalisasikan dan
berasal dari kelompok anak-anak atau orang uzur ataupun juga kelompok perempuan
(dalam konteks isu jender).
4. Keadilan (justice)

 Dalam konteks autonomy, prima facie disini muncul (berubah menjadi atau dalam
keadaan) pada sosok pasien yang berpendidikan, pencari nafkah, dewasa dan
berkepribadian matang.

2.3 Four Box Methode of Clinical Ethic


a. Medical Indications, didasarkan pada penetapan permasalahan medis & diagnosis;
 Apakah tergolong akut, kronis, kritis ataupun darurat?
 Tujuan akhir dari pengobatan?
 Rencana jika saja pengobatan atau tindakan mengalami kegagalan?
 Keuntungan tindakan yang diambil?
 Bagaimana resikonya jika tindakan medis tidak dilakukan?
b. Client Preferences, didasarkan pada pilihan pasien;
 Apakah pasien memiliki kemampuan untuk memutuskan?
 Jika iya, apakah pasien sudah diberi penjelasan secara cukup dan dimengerti?
 Jika tidak, siapa yang berhak menggantikan?
 Apakah terdapat persetujuan tindakan terlebih dahulu?
c. Quality of Life, mendiskripsikan kualitas hidup pasien setelah mengalami
pengobatan;
 Apakah pasien dapat terselamatkan?
 Bagaimana perasaan pasien setelah dilakukan pengobatan?
 Apakah value yang didapatkan oleh pasien setelah menjalani pengobatan?
 Bagaimana prospek dengan atau tanpa pengobatan untuk kembali ke kehidupan
normal ?
d. Contextual Features, menggambarkan pengaruh keadaan sosial, hukum, ekonomi
serta institusi dalam pengambilan keputusan pada hubungan terapeutik antara dokter
dengan pasien;
 Apakah ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi pasien dalam mengambil
keputusan pengobatan?
 Apakah ada konflik di dalam pengambilan keputusan tindakan?
 Apakah ada masalah faktor keuntungan dan ekonomi?
 Bagaimana hukum mempengaruhi pengambilan keputusan pengobatan?

2.4 Double Effect atau Totalitas Integritas

A. Prinsip Totalitas dan Integritas :


Semua agama menajarkan bahwa hidup manusia ini adalah anugerah dari Allah dan
bukan milik 100% dari manusia. Karena bukan pemilik absolut dari hidupnya, maka
pada umumnya kita tidak boleh mengambil hidup sendiri (bunuh diri) ataupun
mengambil hidup orang lain (membunuh). Oleh karena itu, tugas manusia adalah
untuk menjaga dan memeliharanya , memelihara keutuhan dan integritasnya.
Bagaimana kalau suatu ketika, salah satu anggota tidak sehat dan malah mengancam
seluruh badan manusia?
Dalam kasus ini, maka semua orang sepakat untuk menghilangkan bagian yang
mengancam keseluruhan itu (amputasi). Mengapa boleh:
1. Antara bagian dan keseluruhan, yang dipentingkan adalah keseluruhan, sebab
hanya dalam keseluruhan itulah ada hidup. Dkl Bagian-bagian itu dari dirinya
sendiri tidak bisa hidup.

2. Oleh karena itu, jika ada pertentangan antara keduanya, maka yang bagian boleh
dikurbankan demi kebaikan keseluruhan.
Prinsip ini totalitas dan integritas ini juga biasa dikenal dengan istilan pars pro toto
yakni adanya bagian-bagian itu ada untuk keseluruhan sehingga dengan syarat-syarat
tertentu dapat dibenarkan untuk mengurbankan bagian tubuh (anggota badan) demi
kebaikan dan keutuhan seluruh manusia.

Syarat supaya bisa diterapkan, maka harus:

1. Pertama-tama harus jelas benar bahwa di antara keduanya ada hubungan antara
keseluruhan dan bagian. Dengan kata lain, kalau kalau hubungan antara mereka
itu bukan hubungan antara keseluruhan (totalitas) dan bagian, maka prinsip ini
tidak bisa diterapkan.

2. Harus jelas juga mengenai kodrat kedekatan hubungan keduanya itu, apakah hal
itu masuk pada bagian esensi atau hanya merupakan tindakan atau kedua-duanya.
Demikian pula harus jelas apakah hubungan bagian dengan keseluruhan itu
berlaku hanya untuk bagian tertentu atau semua bagian.

Supaya penerapannya dalam bidang amputasi bisa benar secara moral maka
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut.

1. Membiarkan organ tubuh itu dan tidak memo-tongnya akan menyebabkan


kerusakan yang serius atau menyebabkan kematian orang itu.

2. Apabila ada harapan yang masuk akal bahwa hanya dengan amputasi organ tubuh
itulah maka kerusakan serius (kematian) itu bisa dihindarkan.

3. Apabila pemotongan organ itu atau menjadikan organ itu tidak berfungsi
sebagaimana mestinya akan mengurangi resiko bagi orang itu, baik secara
substansial ataupun menghilangkannya secara total.

B. Prinsip Double Effect :


Secara singkat prinsip double effect bisa diringkaskan sebagai berikut: “Apakah
seseorang diperbolehkan melakukan perbuatan yang dimaksudkan untuk mencapai
kebaikan jika sudah sejak semula bisa dipastikan bahwa akan terjadi efek yang tidak
baik?”
Jadi, dalam hal ini sebuah tindakan mempunyai effek ganda: yang satu baik dan yang
lainnya tidak baik.
Tindakan macam itu diperkenankan hanya dengan syarat tertentu:
Untuk bisa menerapkan dengan tepat perlu prasyarat yang harus diterapkan bersama-
sama:

1. Perbuatan (aksi) itu dari dirinya sendiri harus bersifat baik

2. Yang menjadi intensinya adalah efek baik itu sendiri dan bukan effek jahatnya.

3. Efek yang baik itu bukan dihasilkan dari cara yang jahat atau yang berefek jahat.

4. Harus ada alasan yang kuat (berat) secara proporsional untuk menghalalkan efek
yang jahat itu. Dengan kata lain: Efek jahat itu terpaksa harus terjadi.

Untuk bisa menerapkan dengan tepat perlu prasyarat yang harus diterapkan bersama-
sama:

1. Perbuatan (aksi) itu dari dirinya sendiri harus bersifat baik

2. Yang menjadi intensinya adalah efek baik itu sendiri dan bukan effek jahatnya.

3. Efek yang baik itu bukan dihasilkan dari cara yang jahat atau yang berefek jahat.

4. Harus ada alasan yang kuat (berat) secara proporsional untuk menghalalkan efek
yang jahat itu. Dengan kata lain: Efek jahat itu terpaksa harus terjadi.

Kapan suatu perbuatan disebut baik:

1. Tujuannya baik

2. Caranya baik

3. Keadaan/lingkuannya tepat

Ada beberapa perbuatan yang intrinsic jahat: lepas dari motivasi, cara dan keadaan,
perbuatan itu selalu jahat, misalnya memperkosa, merendahkan martabat orang dan
sebagainya.

Intensinya sendiri haruslah intensi pada effek yang baik. Yang menjadi intensi yang
dituju dari perbuatan itu adalah intensi yang baik dan bukan yang jahat. Yang jahat
terjadi tanpa dimaksudkan sama sekali dan samasekali tidak bisa dihindari untuk
mendapatkan efek baik yang dimaksudkan. Kalau bisa mendapatkan hasil yang
dimaksudkan tanpa ada effek jahatnya maka dia harus memakai cara itu.

Effek. Effek yang dimaksud di sini ialah effek moral dan/atau fisik secara langsung.
Effek yang baik ini haruslah hasil langsung/segera (bukan dalam arti kronologis tetapi
kausali-tas) dari perbuatan itu & bukan berasal dari effek yang jahat itu.

Alasan proporsional. Effek yang jahat (tidak baik) itu haruslah proporsional lebih
kecil dari pada effek baik yang dimaksudkan. Dalam hal ini proporsional juga harus
dilihat dengan hal-hal baik yang diperoleh dengan perbuatan itu dan hal-hal baik
yang hilang oleh karena perbuatan itu.

Dengan kata lain: meskipun effek jahat itu tidak dimaksudkan, tetapi bila effek
jahatnya itu lebih besar dari pada effek baiknya maka perbuatan itu menjadi tidak
syah.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kaidah Dasar Bioetik/Moral

3.1.1 KDB 1 Autonomy

TIDAK
KRITERIA ADA
ADA

1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien. - √

2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi - √


elektif)

3. Berterus terang - √

4. Menghargai privasi. √ -

5. Menjaga rahasia pribadi √ -

6. Menghargai rasionalitas pasien. √ -

7. Melaksanakan informed consent - √

8. Membiarkann pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan - √


sendiri.

9. Tidak mengintervensi atau menghalangi outonomi pasien. √

10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dan membuat keputusan, - √


termasuk, termasuk keluarga pasien sendiri.

11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non - √
emergensi.

12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien. - √

13. Menjaga hubungan (kontrak) - -


3.1.2 KDB 2 Beneficence

TIDAK
KRITERIA ADA
ADA

1. Utamakan alturisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban) √ -

2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia - √

3. Memandang pasien/keluarga dan sesuatu tak sejauh menguntungkan √ -


dokter

4. Mengusakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan √ -


dengan keburukannya.

5. Paternalisme bertanggung jawab/ kasih sayang √ -

6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia √ -

7. Pembatasan Goal-Based - -

8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasein √ -

9. Minimalisasi akibat buruk. - √

10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat - -

11. Menghargai hak pasien secara keseluruhan - √

12. Tidak menarik honorarium diluar kepantasan - -

13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keselurushan - -

14. Mengembangkan profesi secara terus-menerus. - -

15. Memberikan obat berkhasiat namun murah - -

16. Menerapkan Golden Rule Principle - √


3.1.3 KDB 3 Non-Maleficence

TIDAK
KRITERIA ADA
ADA

1. Menolong pasien emergensi √ -

2. Kondisi untuk menggambarkan kriteria ini adalah:

a. Pasien dalam keadaan berbahaya. √ -

b. Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan. - √

c. Tindakan Kedokteran tadi terbukti efektif - -

d. Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko - √


minimal).

3. Mengobati pasien yang luka. √ -

4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia) - √

5. Tidak menghina/caci maki. - √

6. Tidak memandang pasien sebagai objek - √

7. Mengobati secara tidak proporsional √ -

8. Tidak mencegah pasien secara berbahaya - √

9. Menghindari misrepresentasi dari pasien - √

10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian - √

11. Tidak memberikan semangat hidup - √

12. Tidak melindungi pasien dari serangan - √

13. Tidak melakukan white collar dalam bidang kesehatan - √


3.1.4 KDB 4 Justice

TIDAK
KRITERIA ADA
ADA

1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal √ -

2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan. √ -

3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang √ -


sama.

4. Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, - √


availability, quality)

5. Menghargai hak hukum pasien. - √

6. Menghargai hak orang lain. - √

7. Menjaga kelompok yang rentan (yang paling dirugikan) - √

8. Tidak melakukan penyalahgunaan. - √

9. Bijak dalam makro alokasi. - -

10. Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien - -

11. Meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuan. - -

12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban ., - -


sanki) secara adil

13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan - √
kompeten.

14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat. √ -

15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/ggn - √


kesehatan.
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status sosial √ -
dll.

3.2 Four Box Methode Of Clinical Ethics


3.2.1 Medical Indications
 Pasien dalam keadaan kritis
 Pasien disarankan untuk melakukan operasi demi kesehatannya.
 Tindakan operasi yang dokter lakukan berdasarkan kondisi pasien namun
hal itu tidak sesuai dengan prediksi dokter dan pasein akhirnya meninggal
dunia.

3.2.2 Client Preferences


 Dalam kasus ini pasien tidak memiliki kapasitas untuk memutuskan karena
keadannya yang kritis
 Dalam kasus ini ada keluarga pasien yang menemani, namun tidak
diberikan penjelasan oleh dokter mengenai keadaan pasien.
 Namun dokter tidak memberikan Informes Conesent kepada keluarga
pasien melainkan kepada keluarga pasien yang sedang skarat.

3.2.3 Quality of Life


 Setelah dilakukan tindakan operasi kepada pasien, namun keadaan pasien
memburuk dan akhirnya meninggal dunia.
 Tindakan operasi yang dilakukan oleh dokter dengan tujuan untuk
menyelamatkan hidup pasien, namun karena berbagai hal nyawa pasien
tidak terselamatkan.
 Faktor emosional yang mucul pada kasus ini adalah tekanan psikis dan
mental keluarga pasien karena sebelumnya dokter tidak memberikan
penjelasan kepada pasien akan keadaan dan tindakan yang akan dilakukan.
3.2.4 Contextual Features
 Adanya masalah sosial terhadap keadaan pasien tidak dijelaskan dalam
kasus ini.
 Dalam kasus ini konflik terjadi disaat pasien sudah tidak bernyawa karena
dokter sama sekali tidak memberikan informed consent kepada keluarga
pasien.
 Adanya masalah ekonomi terhadap keadaan pasien tidak dijelaskan dalam
kasus ini.

3.3 Double Effect atau Totalitas Integritas

Pada kasus ini tidak terdapat prinsip Totalitas Integritas dan prinsip
Double Effect. Hal ini dikarenakan pada kasus tersebut tindakan yang
dilakukan dokter merupakan salah satu tindakan illegal, yakni pemalsuan tanda
tangan pada informed consent yang seharusnya dilakukan oleh pihak keluarga
pasien, tetapi malah dilakukan oleh dr. Hendy Siagian (terdakwa III). Pihak
keluarga juga sama sekali tidak diberi informasi apapun mengenai pelaksanaan
operasi pasien yang cukup berisiko tersebut. Akibatnya, saat pasien meninggal
pasca operasi, pihak keluarga menuntut dr. Hendy untuk dipidana atas
pemalsuan tanda tangan tersebut. Jadi, dalam kasus ini tidak memiliki dampak
baik untuk menyelamatkan nyawa pasien, dan efek buruknya lebih dominan
terjadi daripada efek baiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Mutiara D. B. I. Wakiran, Djemi Ch. Tomuka, Erwin G. Kristanto. 2013. PENDEKATAN


BIOETIK TENTANG EUTANASIA. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 1,
Suplemen, Maret 2013, hlm. S23-28. Diakses pada 14 Agustus 2018
(https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/2602)
https://m.viva.co.id/amp/berita/nasional/462239-misteri-tanda-tangan-pasien-di-kasus-
dokter-ayu-cs

https://www.scribd.com/document/287827077/makalah-informed-consent

http://www.academia.edu/9789427/
Makalah_Informed_Consent_dan_Penelitian_Kesehatan

Suryadi Taufik. 2017. ASPEK BIOETIKA-MEDIKOLEGAL PENUNDAAN DAN


PENGHENTIAN TERAPI BANTUAN HIDUP PADA PERAWATAN KRITIS.
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 17 Nomor 1 April 2017.
Diakses pada 14 Agustus 2018.
(http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/view/8613)

Anda mungkin juga menyukai