Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian media refraksi yang terletak di bagian anterior mata.

Sebuah kornea yang sehat, dengan lapisan air mata di atasnya, berperan penting dalam

menyediakan permukaan refraksi yang baik serta perlindungan mata. Bentuk kornea lebih

rata di tepi dan lebih terjal di bagian tengah, sehingga membentuk sistem optik asferis.

Kornea terdiri atas 5 lapisan, yaitu epitel, membrane Bowman, stroma, membrane

Descemet, dan endotel. Lapisan endotel tidak dapat melakukan regenerasi sehingga

kerusakannya menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan kornea.

Sebaliknya, lapisan epitel yang memiliki sifat regenerasi akan menyebabkan edema lokal

sesaat bila terjadi kerusakan.

Kelainan kornea yang paling sering ditemukan adalah keratitis. Keratitis

merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut maupun kronis yang

disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena alergi.

keratitis dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan kedalaman lesi pada

kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk klinisnya.

Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, dan

merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis

yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda

tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika

keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu

1
ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan

gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan

keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di

masa yang akan datang terutama pada pasien yang masih muda.

2
BAB II

Tinjauan Pustaka

A. ANATOMI KORNEA

Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat transparan,

berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, tebal 0,6-1 mm. Indeks bias

kornea 1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya

ini disebabkan oleh struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau

keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif

pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada

epitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih

berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat

transparan hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan

edema lokal sesaat karena akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel.

Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa

cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem karena suatu

sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar

sehingga penderita akan melihat halo.

Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal dari

pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air mata. Kornea superfisial juga

mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea dipersarafi oleh banyak serat

saraf sensorik yang didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V

yang berjalan supra koroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membran bowman

3
dan melepaskan selubung schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan

didaerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam

waktu 3 bulan.

Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan

terdiri atas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang bersambung

dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman, stroma, membran

descemet dan lapisan endotel.

Gambar 1. Anatomi Kornea5

1. Epitel

Lapisan epitel kornea tebalnya 50m berbentuk pipih berlapis tanpa tanduk, ada satu

lapis sel basal dan sel polygonal. Sel bersifat fat soluble substance. Pada sel basal

sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap

dan semakin maju kedepan menjadi sel pipih, sel basal berikatan erat dengan sel basal

4
disampingnya dan sel polygonal didepannya melalui desmosom dan macula okluden.

Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal

menghasilkan membran basal yang saling melekat erat. Bila terjadi gangguan akan

menjadi erosi rekuren. Ujung saraf kornea berakhir di epitel, oleh karena itu kelainan

pada epitel akan menyebabkan gangguan sensibilitas korena dan rasa sakit dan

mengganjal. Daya regenerasi epitel juga cukup besar.

2. Membran Bowman

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang

tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini

tidak mempunyai daya regenerasi. Kerusakan pada lapisan ini akan berakhir dengan

terbentuknya jaringan parut.

3. Stroma

Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea, mencakup sekitar 90% dari

ketebalan kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri atas jaringan kolagen yang

tersusun atas lamel-lamel, pada permukaannya terlihat anyaman yang teratur sedang

dibagian perifer serat kolagen bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik

air, kadar air diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel.

Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang

sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast

terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan

serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. Membran Descemet

5
Merupakan membran aselular yang tipis, kenyal, kuat dan bening, terletak dibawah

stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah. Membran

ini sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.

5. Endotel

Merupakan lapisan kornea yang penting untuk mempertahankan kejernihan kornea,

mengatur cairan didalam stroma kornea dan tidak mempunyai daya regenerasi,

sehingga endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan

seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi

dapat menjaga keseimbangan cairan akibat gangguan sistem pompa endotel, maka

stroma akan bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan hilangnya

transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat

trauma bedah, penyakit intraokuler dan usia lanjut. Lapisan endotel berasal dari

mesotalium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal dengan tebal 20-40m

yang melekat pada membran descmet melalui hemi desmosom dan zonula okluden.

B. DEFINISI KERATITIS

Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea

yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada

media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis

terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar (Ilyas,

2008). Keratitis biasanya diklasifikasikan sesuai lapisan yang terkena seperti keratitis

superfisial dan profunda atau interstisial (Ilyas, 2008).

6
C. EPIDEMIOLOGI

Faktor-faktor yang mempengaruhi etiologi dan patogenesis keratitis bakteri

bervariasi. Mereka termasuk: penggunaan lensa kontak, penyakit permukaan mata,

trauma kornea, penggunaan obat imunosupresif. Ulkus kornea terkait pengunaan lensa

kontak pada populasi umum telah meningkat dari hampir 0% pada tahun 1960 menjadi

52% pada 1990an. (Abdulah 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopinathanet al,

dari 5897 kasus diduga microbial keratitis 3563 (60,4%) telah dibuktikan dengan kultur

didpatkan bakteri sejumlah 1849, (51,9%); jamur sejumlah 1360, (38,2%);

Acanthamoeba sejumlah 86, (2,4%); campuran sejumlah 268, (7,5%). Pasien dengan

kegiatan berbasis pertanian mempunyai 1,33 kali (CI 1,16-1,51) risiko lebih besar terkena

keratitis mikroba dan pasien dengan trauma okular adalah 5.33 kali (CI 6,41-6,44) lebih

mungkin untuk mengembangkan keratitis mikroba. Sebagian besar infeksi bakteri yang

disebabkan oleh Staphylococcus epidermidis (42,3%) dan spesies Fusarium (36,6%)

adalah penyebab utama infeksi jamur. (Gopinathan et al, 2009).

D. ETIOLOGI

Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan

obat, reaksi alergi terhadap yang diberi topikal, dan reaksi terhadap konjungtivitis

menahun. Infeksi korena pada umumnya didahului trauma, penggunaan lensa kontak,

pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol. Kelainan ini merupakan

penyebab kebutaan ketiga terbanyak di Indonesia.

Keratitits dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya :

1. Virus

7
2. Bakteri

3. Jamur

4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sun lamps, dan

hubungan ke sumber cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur.

5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak

6. Mata kering disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya

pembentukan air mata

7. Adanya benda asing di mata

8. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara

seperti debu, serbuk sari, jamur atau ragi

9. Efek samping obat tertentu

E. PATOFISIOLOGI

Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada waktu

peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan lainnya yang banyak

mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea pertama-tama akan bekerja sebagai

makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus

dan tampak sebagai injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel

lekosit, selsel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang

tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi tidak licin. ( Ilyas,

2008). Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat dibuktikan

dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna kehijauan pada kornea. Bila

tukak pada kornea tidak dalam dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa

8
meninggakan jaringan parut, namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi

penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi yang

dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan badan siliar

menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris dapat dilihat berupa kekeruhan

di bilik mata depan. Kadang-kadang dapat terbentuk hipopion (Ilyas, 2008). Beberapa

rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu :

 Lesi pada kornea

 Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea

 Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen

 Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen

akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea

 Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan

berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)

 Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

 Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana descement

yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana hanya membaran

descement yang intak.

Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi

dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan

indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan

visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.

9
F. KLASIFIKASI

1. Keratitis Berdasarkan Tempatnya

a. Keratitis Pungtata

Keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman dengan infiltrat berbentuk

bercak bercak halus. Penyebab: Moluscum kontagiosum, acne rosasea, Herpes simpleks,

Herpes zoster, Blefaritis neuroparalitik, Infeksi virus, vaksinia, Trakoma dan trauma

radiasi, dryeyes, trauma, lagoftalmus, keracunan obat seperti: neomisin, tobramisin.

Keratitis Pungtata biasanya terdapat bilateral, berjalan kronis tanpa terlihat gejala

konjungtiva atau tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda. Keratitis Pungtata

Superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan

kornea. Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein.

Dapat disebabkan sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmos, keracunan obat

topical (neomisin, tobramisin ataupun obat lainnya), sinar ultraviolet, trauma kimia

ringan dan pemakaian lensa kontak. Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah dan

rasa kelilipan. Pasien diberi air mata buatan, tobramisin tetes mata dan siklopegik.

Keratitis Pungtata Subepitel: keratitis yang terkumpul di membran Bowman. Pada

keratitis ini biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala

kelainan konjungtiva ataupun tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda.

Gambar 2.1. Keratitis Pungtata


10
b. Keratitis Marginal

Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus.

Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral / marginal.

Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya

blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati dengan baik maka akan mengakibatkan tukak

kornea. Penderita mengeluh sakit seperti kelilipan, lakrimasi, fotofobia berat. Pada mata

akan terlihat blefarospasme satu mata, Injeksi konjungtiva, Infiltrat atau ulkus memanjang,

dangkal unilateral dapat tunggal atau multiple, sering disertai neovaskularisasi dari arah

limbus.

Penatalaksanaanya antibiotika sesuai infeksi lokalnya dan Steroid dosis ringan.

Diberikan juga vit B dan C dosis tinggi. Pada kelainan yang indolen dilakukan kauterisasi

dengan listrik ataupun AgNO3 di pembuluh darah / dilakukan flep konjungtiva yang kecil.

Gambar 2.2. Keratitis Marginal

c. Keratitis Interstisial

Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Seluruh kornea

keruh sehingga iris susah dilihat. Keratitis Interstisial akibat lues kogenital didapatkan

neovaskularisasi dalam. Keratitis interstisial merupakan keratitis nonsuppuratif profunda

disertai neovaskularisasi disebut juga Keratitis Parenkimatosa.

11
Pasien mengeluh fotofobia, lakrimasi dan menurunnya visus. Keluhan akan

bertahan seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar dilihat. Permukaan

kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi Siliar disertai serbukan pembuluh ke

dalam sehingga memberi gambaran merah kusam yang disebut “Salmon Patch” dari

Hutchinson. Seluruh kornea dapat berwarna merah cerah. Keratitis disebabkan sifilis

kogenital atau bisa juga oleh tuberkulosis, trauma. Pengobatan tergantung penyebabnya.

Diberikan juga Sulfas Atropin tetes mata untuk mencegah sinekia akibat uveitis dan

kortikosteroid tetes mata.

Gambar 2.3. Keratitis Interstisial dengan sifilis congenital

2. Keratitis Berdasarkan Penyebabya

Keratitis Bakterial

 Penyebab : Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas dan

Enterobakteriacea.

 Faktor Predisposisi : Pemakaian kontak lens, trauma, kontaminasi obat tetes.

 Penatalaksanaan : Batang Gram (-): Tobramisin, Ceftazidime,

Fluoroquinolone. Batang Gram (+): Cefazoline, Vancomycin,

12
Moxifloxacin/Gatofloxacin. Kokus Gram (-): Ceftriaxone, Ceftazidime,

Moxifloxacin/Gatofloxacin.

Gambar 2.4. Keratitis Bakterial

Keratitis Jamur

Penyebab trauma kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuh-tumbuhan.

Dapat juga akibat efek samping penggunaan antibiotik dan kortikosteroid yang tidak

cepat. Keluhan timbul setelah 3 minggu kemudian. Keluhan sakit mata hebat, berair dan

silau. Pada mata terlihat infiltrat berhifa dan satelit bila terletak didalam stroma, disertai

cincin endotel dengan plaque bercabang-cabang dengan endotelium plaque, gambaran

satelit pada kornea dan lipatan Descemet.

Penatalaksanaanya dengan natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun untuk

keratitis jamur filamentosa seperti miconazole, amphoterisin, nistatin dan lain-lain dan

sikloplegik disertai obat oral anti glaukoma jika disertai peningkatan tekanan intraokular.

Keratolasti jika tidak ada perbaikan.

13
Gambar 2.5. Keratitis Jamur

Keratitis Virus

Keratitis Pungtata Superfisial dengan gambaran Infiltrat halus bertitik-titik pada

dataran depan kornea yang dapat terjadi pada herpes simpleks, herpes zoster, infeksi virus,

vaksinia dan trakoma. Keratitis terkumpul di daerah membran Bowman, bilateral dan

kronis tanpa terlihat kelainan konjungtiva. Jenis Keratitis Virus yaitu Keratitis herpetik,

Keratitis dendritik, Keratitis Disformis, Infeksi Herpes Zoster, Keratokonjuntivitis

Epidemi.

a) Keratitis Herpetik

Disebabkan herpes simpleks dan herpes zoster. Keratitis karena herpes Simpleks

dibagi 2 bentuk yaitu epitalial dan stromal. Epitelial adalah Keratitis dendritik. Pada

epitelial terjadi pembelahan virus di dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan sel

dan membentuk tukak kornea superfisial.Pengobatan : pada pembelahan virus.

Stromal adalah Keratitis diskiformis. Pada Stromal diakibat reaksi imunologik

tubuh terhadap virus yang menyerang. Antigen (virus) dan antibodi (tubuh pasien)

bereaksi di dalam stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini

14
mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen (virus) yang juga merusak

jaringan stromal di sekitarnya. Pengobatan pada virus dan reaksi radangnya, biasanya

infeksi Herpes Simpleks berupa campuran antara Epitelial dan Stromal.

Penatalaksanaanya IDU (Iodo 2 dioxyuridine). Murah, kerja tidak stabil, bekerja

menghambat sintesis DNA virus dan manusia sehingga toksik untuk epitel normal dan

tidak boleh digunakan lebih dari 2 minggu. Bentuk larutan 1% diberikan setiap jam.

Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vibrabin sama dengan IDU, hanya ada dalam bentuk

salep. Trifluorotimidin (TFT) sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam. Acyclovir

bersifat selektif terhadap sintesis DNA virus. Bentuk salep 3% diberikan setiap 4 jam.

Efektif dengan Efek samping kurang.

Gambar 2.6. Keratitis herpetik

b) Keratitis Dendritik

Merupakan Keratitis Superfisial yang membentuk garis infiltrate pada permukaan

kornea kemudian membentuk cabang Disebabkan oleh virus Herpes Simpleks.

Gejala Fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun, konjungtiva hiperemia

disertai sensibilitas kornea yang hipestesia. Karena gejala ringan, pasien terlambat

berkonsultasi dapat menjadi tukak kornea.

15
Penatalaksanaanya dapat sembuh spontan. Dapat juga diberikan antivirus (IDU

0,1% salep tiap 1 jam atau Asiklovir) dan sikloplegik dan antibiotik dengan bebat tekan.

Gambar 2.7. Keratitis Dendritik

c) Keratitis Disiformis

Merupakan keratitis yang membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong

di dalam jaringan kornea.

Penyebabnya Infeksi virus Herpes Simpleks. Merupakan reaksi alergi atau

imunologik terhadap virus Herpes Simpleks pada permukaan kornea.

Gambar 2.8. Keratitis Disiformis

d) Infeksi Herpes Zoster

Merupakan keratitis vesikular karena infeksi Herpes Zoster di mata. Biasanya

pada usia lanjut. Gejalanya rasa sakit di daerah yang terkena, badan terasa hangat, merah

16
dan penglihatan berkurang. Pada kelopak terlihat vesikel dan infiltrat pada kornea.

Vesikel juga tersebar pada dermatom yang dipersarafi saraf Trigeminus, progresif dan

tidak melewati garis meridian.

Penatalaksanaanya tidak spesifik, hanya simptomatik Bisa dengan Asiklovir dan

pada usia lanjut diberikan Steroid. Penyulit berupa Uveitis, Parese otot penggerak mata,

Glaukoma dan Neuritis Optik.

Gambar 2.9. Infeksi Herpes Zoster

Keratitis Lagoftalmus

Keratitis yang terjadi akibat lagoftalmus dimana kelopak mata tidak bisa menutup

dengan sempurna sehingga menyebabkan kekeringan pada kornea dan konjungtiva

sehingga rentan terkena infeksi.

Lagoftalmus dapat disebabkan tarikan jaringan parut pada tepi kelopak,

eksoftalmus, paralise saraf fasial, atoni orbikularris okuli dan proptosis karena tiroid.

Penatalaksanaanya mengatasi penyebab, air mata buatan. Untuk cegah infeksi

sekunder diberikan salep mata.

17
Gambar 2.10. keratitis lagoftalmus.

Keratitis Neuroparalitik

Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus sehingga terdapat kekeruhan

kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan persarafan dapat terjadi

akibat herpes zoster, tumor fossa posterior kranium, peradangan sehingga kornea menjadi

anestetis. Kemudian kornea menjadi kehilangan pertahanannya terhadap iritasi luar.

Kornea menjadi mudah infeksi dan terbentuk tukak kornea.

Gejalanya tajam penglihatan menurun, silau, tidak nyeri. Refleks berkedip hilang,

injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrat dan vesikel pada kornea.

Penatalaksanaanya air mata buatan dan salep untuk menjaga kornea tetap basah.

Untuk cegah infeksi sekunder keratitis, tarsorafi, dan menutup pungtum lakrimal.

Gambar 2.11. Keratitis Neuroparalitik

Keratokonjungtivitis Sika
18
Merupakan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Gejalanya mata

berpasir, gatal, silau, penglihatan kabur, sekresi mukus mata yang berlebihan, sukar

menggerakkan kelopak mata, mata kering karena ada erosi kornea, Edema kojungtiva

bulbi, filamen (benang) di kornea. Pemeriksaan yang dilakukan :

 Tes Schimer : resapan air mata pada kertas Schimer normal 10-25 mm dalam

waktu 5 menit. Abnormal < 10 mm.

 Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva zat warna ini akan mewarnai sel epitel

kornea. Terdapat titik merah di konjungtiva bila mata kering.

 Tear film break up time.

Penatalaksanaanya tergantung penyebabnya. Pemberian air mata tiruan bila

kurang adalah komponen air. Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang

berkurang. Penutupan pungtum lakrimal bila terjadi penguapan yang berlebihan.

Gambar 2.12. Keratokonjungtivitis Sika

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea dilakukan

selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya akan tetapi

hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan penatalaksana

penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan

19
fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas

dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam penegakan diagnosis

maupun penanganan penyakit.

H. DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil

pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adnya

riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes simpleks

sering kambuh, namun  erosi yang kambuh sangat sakit dan keratitis herpetic tidak,

penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Anamnesis mengenai pemakaian

obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat

merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis herpes

simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti

diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.

Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah

tanda yang  kita temukan merupakan proses yang  masih aktif atau merupakan kerusakan

dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan

pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu

peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan,

pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari

infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan.

20
Tanda-tanda yang  ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit

dan respon terhadap pengobatan.

Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada pasien

yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan dengan

melihat tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial, perubahan

epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi hingga erosi,

pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis stromal, respon struma

kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi kepada edema

kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea. Pemeriksaan fisik pada

keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada keratitis dilakukan melalui inspeksi

dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat menggambarkan lesi epitel

superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan

biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat

tersebut dapat digunakan sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus

melihat jalannya refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati – hati ke

seluruh kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat

terlihat. Berikut ini merupakan jenis keratitis dan bentuknya:

21
I. PENATALAKSAAN

Tujuan penatalaksanaan keratitis  adalah mengeradikasi penyebab keratitis,

menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,

mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki

ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan

klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus

22
dan luasnya infiltrat. Sebagian besar pakar menganjurkan

melakukan debridement sebelumnya.Debridement epitel kornea selain berperan untuk

pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga

obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost"

opacity  yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu

mengurangi kandungan virus epithelial jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi

radang akan cepat berkurang.

Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan

etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri

gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri

gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian

antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya

infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin

atau fluconazol. Selain itu obat yang  dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. 

Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan

terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-

keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid.

Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin yang dipakai

sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang waktu kontak

kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini bertujuan

untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya  jaringan parut pada

kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya

pada pemberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat

23
memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah

virus.

Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi dan

terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat memperpanjang

perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak dan

glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur, menambah berat

radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat menyembunyikan gejala penyakit lain.

Penggunaan kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan

untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan

bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi

peradangannya seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri

karena tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.

Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala, supaya

dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan palpebra,

khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik

mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan

mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat beberapa

obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.

Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga

bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis tertentu

misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan bila telah terjadi

kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2 minggu setelah obat

dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut

24
kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin, efek

maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam

hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit,

dengan efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini

sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.

Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan lem

cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus

dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva

hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap

konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamellar.

Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien

keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan

juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlalu sering

terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada

konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas,

dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki riwayat atopi

sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat memperberat

lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya

kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga

kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan

tisu.

25
J. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan akhirnya

perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai hilangnya penglihatan

(kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya:

 Gangguan refraksi

 Jaringan parut permanent

 Ulkus kornea

 Perforasi kornea

 Glaukoma sekunder

K. PROGNOSIS

Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika tidak

diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks dan dapat

mengakibatkan hilang penglihatan selamanya.

26
BAB III

KESIMPULAN

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat di

lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu superfisial,

interstisial dan profunda. Keratitis superfisial adalah radang kornea yang mengenai

lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun

dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau, epifora, nyeri,

kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.

Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda – beda tergantung dari jenis

pathogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan melalui

pemeriksaan lampu celah. Dengan pemeriksaan lampu celah, penatalaksanaan keratitis

dapat dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan etiologi penyebabnya.

Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya

dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke jaringan

orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), virulensi patogen,

ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan tersebut, waktu

penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang

lainnya seperti kultur pathogen, dan diagnosis serta pengobatan yang diberikan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI). Panduan manajemen klinis

Perdami. Jakarta: PP Perdami. 2006. h 30-33.

2. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta: EGC.

2009. h 125-49.

3. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. h

147-158.

4. American Academy of Ophthalmology. External eye disease and cornea. San Fransisco.

2012

5. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. h

113-116.

6. Ibrahim MM, Vanini R, et al. Epidemiology and medical protection of microbial keratitis

on southeast Brazil. Brazil: Arq Bras Oftalmol. 2011; 74 (1): 7-12.

7. Thygeson P. Superfisial punctate keratitis. Journal of the American Medical Association.

1997. 144: 1544-1549.

8. Reed KK. Thygeson’s SPK photos. Nova Southeastem University College of Optometry

3200 South University Drive Ft. Lauderdale. Florida. 2007.

9. Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta,

2009

28

Anda mungkin juga menyukai