Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem Dae
Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem Dae
PENGELOLAAN HUTAN
BERBASIS EKOSISTEM DAERAH ALIRAN SUNGAI
Prosiding
SEMINAR NASIONAL
Komunitas Manajemen Hutan Indonesia (KOMHINDO)
Bekerja sama dengan
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Makassar, 4-5 September 2014
Sanksi Pelanggaran Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
REAKTUALISASI
PENGELOLAAN HUTAN
BERBASIS EKOSISTEM DAERAH ALIRAN SUNGAI
Prosiding
SEMINAR NASIONAL
Komunitas Manajemen Hutan Indonesia (KOMHINDO)
Bekerja sama dengan
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Makassar, 4-5 September 2014
Tim Penyusun :
Tim Editor :
Penerbit:
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
bekerja sama
Komunitas Manajemen Hutan Indonesia (KOMHINDO) dan Masagena Press
2014
REAKTUALISASI
PENGELOLAAN HUTAN
BERBASIS EKOSISTEM DAERAH ALIRAN SUNGAI
Copyright © 2014 Fakultas Kehutanan UNHAS
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Masagena Press
Jl. Goa Ria, Griya Sudiang Permai Blok A3/2
Kel. Sudiang, Kec. Biringkanaya, Makassar 90242
Tlp. 0411-552994, Fax. 0411-552994
email: masagenapress@gmail.com
Anggota IKAPI
Usman Arsyad
Ketua Panitia
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS KEHUTANAN UNHAS
Prof. Dr. Ir. Muh. Restu, MP.
SAMBUTAN
REKTOR UNIVERSITAS HASANUDDIN
Assalamu Alaikum Wr.Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera. Om Swastiastu.Namo Buddhaya.
Yang Terhormat :
Bapak Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial.
Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan serta UPT Kementerian Kehutanan yang
saya hormati
Yang Saya Hormati, Bapak Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin beserta segenap
jajarannya, pimpinan fakultas lingkup Kopertis Wilayah IX
Bapak ibu Panitia yang saya hormati, Serta Bapak Ibu Peserta pertemuan Ilmiah Tahunan KOMHINDO
yang muliakan dan saya Banggakan.
Pertama-tama marilah kita mengucapkan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Memberi,
karena di pagi yang cerah dan membahagiakan ini, kita masih dapat berkumpul bersama-sama
di ruang yang bersahaja ini, untuk bersama-sama menyatukan fikiran, ide dan kehendak dalam
Prosiding pertemuan ilmiah tahunan dan seminar nasional Komunitas Manajemen Hutan Indonesia
(KOMHINDO).
Seperti sama-sama kita ketahui, hutan adalah anugerah Tuhan yang utama dalam kehidupan
kita, dibutuhkan kemampuan intelektual yang memadai untuk mengelolanya. Kemampuan
intelektual yang memadai tersebut, tanggung jawabnya terletak di pundak semua insan yang
berkecimpung di dunia kehutanan. Setiap kita adalah aktor dan setidaknya punya satu peranan dalam
panggung pengelolaan hutan, karena itulah gerak dan laku kita harus senantiasa diperankan dalam
harmony yang serasi antara ilmu dan praktek, sehingga mampu menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi nusa, bangsa dan negara kita.
Karena itulah kegiatan ini menjadi wadah yang tepat untuk saling bertukar fikiran melalui
lembar-lembar hasil kajian dari bapak ibu sekalian yang sebentar lagi akan terpapar pada sidang-
sidang komisi.
Bapak ibu sekalian yang saya muliakan, salah satu bentuk pengelolaan yang dinilai tepat untuk
mengatasi aneka masalah dalam pemanfaatan hutan pada masa mendatang adalah “Pengelolaan
Hutan Berbasis Ekosistem DAS”. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem DAS adalah upaya manusia
dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia sebagai unsur
terpenting dari ekosistem, mengarahkan agar setiap tindakan pengelolaan atau pemanfaatan yang
dilakukan harus tetap menjamin “kesehatan” ekosistem yang bersangkutan, serta tetap bertanggung
jawab kepada sang maha pencipta sebagai wujud rasa terima kasih kita telah diberi kesempatan
menggunakan ekosistem tersebut untuk memenuhi kehidupan kita sehari-hari. Dengan demikian
dapat diharapkan bahwa keseimbangan dinamis tersebut akan melahirkan trilogi harmonis antara
Tuhan, Hutan dan Manusia dalam suatu kesatuan yang paripurna dan berkesinambungan.
Bapak ibusekalian yangsaya muliakan. Adalah langkah yangtepat jika panitia mempertemukan
kita semua pada majelis ilmu yang mulia ini, karena diharapkan bapak ibu sekalian dapat melahirkan
komitmen dalam membangun kembali hutan melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan hutan
lestari secara konsisten dan konsekuen. Saya mengharapkan agar komunitas yang terbentuk ini
senantiasa aktif melakukan pertemuan-pertemuan rutin, karena kita semua menyadari bahwa
problematika pembangunan kehutanan kita di Indonesia amat dinamis, karena itulah kita juga tidak
boleh ketinggalan untuk senantiasa melahirkan solusi untuk mengatasi problematika yang timbul
dan kalau memungkinkan kita bisa mengatasinya untuk tidak muncul kembali.
Bapak ibu sekalian yang saya muliakan, perkenankan saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tulus kepada panitia dan seluruh pihak yang sudah mendukung kegiatan ini,
khususnya Kepala Balai Pengelolaan DAS Jeneberang Walanae, Semoga seluruh sumbangsih yang
sudah terberi bernilai amal jariah. Akhirnya dengan mengucapkan Bismillahirrahmanir Rahim
acara :
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KOMUNITAS MANAJEMEN HUTAN INDONESIA
(KOMHINDO) TAHUN 2014 ini saya buka dengan resmi
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati dan memberi kita kemudahan dalam
melaksanakan kegiatan ini.
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Tim Penyunting
DAFTAR ISI
TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DAS WAERUHU SEBAGAI DAS PERIORITAS I DI KOTA AMBON 3
HATULESILA J.W., MARDIATMOKO GUN, SUHENDY CH, WATTIMENA C.M.A
SITUASI PENGELOLAAN HUTAN AREN RAKYAT PADA ZONA KHUSUS TALLASA TAMAN
NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG ................................................................ 33
YUSRAN, ASAR SAID MAHBUB, MUH. RIDWAN, MUH. AGUNG
PENILAIAN DEBIT AIR DAN SEDIMEN MELAYANG DAS OLONJONGE KABUPATEN PARIGI
MOUTONG (THE ASSESSMENT ON DISCHARGE AND SUSPENDED SEDIMENT OLONJONGE
WATERSHED REGENCY OF PARIGI MOUTONG) ............................................................. 61
HERMAN HARIJANTO
. UBUNGAN ANTARA LUAS HUTAN, CURAH HUJAN DAN DEBIT AIR DI SUB DAS TANRALILI,
H
SULAWESI SELATAN................................................................................................. 70
HASNAWIR
SIMULASI TUTUPAN LAHAN MASA DEPAN DI SUB SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI
AMANDIT PROPINSI KALIMANTAN SELATAN (2) ........................................................ 109
MUH.RUSLAN, ABDI FITRIA, SETIA BUDI PERAN, SYAM’AN
KAJIAN KARAKTERISTIK DAS BATULICIN DAN MODEL PENGELOLAAN DAS TERPADU ...... 116
BADARUDDIN
. AJIAN TATA AIR DAS BATULICIN DALAM RANGKA PENGENDALIAN KERAWAN BANJIR DI
K
KABUPATEN TANAH BUMBU KALIMATAN SELATAN..................................................... 127
KARTA SIRANG, EKO RINI INDRIYATI, DAMARIS PAYUNG
REVIEW POLA PEMANENAN HUTAN RAKYAT DI DAS JENEBERANG DAN PREDIKSI EROSI. 136
ISWARA GAUTAMA
.ANALISIS KELEMBAGAAN MASYARAKAT DI SEKITAR DAS WAE BATU MERAH KOTA AMBON 173
MESSALINA L.SALAMPESSY, JUSMI PUTUHENA, JAN HATULEISILLA, IMELDA RONDONUWU
.PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAJANG DALAM PENGETAHUAN HUTAN ADAT 245
M. ASAR SAID MAHBUB
KUALITAS BRIKET ARANG DARI CANGKANG KEMIRI DAN AMPAS KELAPA ...................... 276
FATRIANI, KURDIANSYAH, HARDIANTO EKA LAKSANA
STATUS SEBARAN DAN POPULASI ALAM GAHARU (Gyrinops versteegii (GILG.) DOMKE )
DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR ....................................................................... 292
I KOMANG SURATA DAN NURHUDA ADI PRASETIO
AKUMULASI HARA TANAH DAN BIOMASSA TEGAKAN PINUS (PINUS MERKUSII) TAHUN
TANAM 1952 DAN 1970 DI HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAROS .... 301
MUKRIMIN, ANWAR UMAR, BAHARUDDIN NURKIN, GUSMIATY
PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH PANGGAL BUAYA (Zanthoxyllum rhetsa) .......... 319
FONNY RIANAWATI, KHAIRUN NISA, ARFA AGUSTINA REZEKIAH
ANALISIS SISTEM PEREDARAN DAN TATA NIAGA KAYU GELAM (Melaleuca cajuputi) DARI
HUTAN RAWA GAMBUT DI KALIMANTAN SELATAN ..................................................... 339
SITI HAMIDAH, YUDI FIRMANUL ARIFIN, YULIAN FIRMANA ARIFIN
2 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
ABSTRAK
Konversi lahan atau alih fungsi lahan di Kota Ambon terus meningkat dari tahun ketahun
dengan meninggalkan lahan-lahan marjinal yang didominasi oleh semak belukar dan alang-alang
(Imperata cylindrika) yang kemudian dianggap sebagai lahan kritis. Meningkatnya luas lahan kritis di
wilayah Kota Ambon khusunya di bagian hulu dan tengah DAS Waeruhu, sangat berdampak terhadap
terganggunya fungsi hidrologis seperti banjir, erosi dan sedimentasi, tanah longsor dan terjadinya
penurunan debit air pada wilayah daerah tangkapan.
Penelitian ini bertujuan menyediakan data dan informasi DAS Waeruhu dalam mendukung
rencana rehabilitasi dan konservasi lahan menggunakan pendekatan metoda analisis tingkat
kekritisan lahan menurut peraraturan menteri kehutanan No. P.32/MenHut-II/2009.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kekritisan lahan pada DAS Waeruhu untuk
kawasan hutan lindung dengan kondisi sangat kritis yakni 4 unit lahan; kritis 3 unit lahan, agak
kritis 5 unit lahan, potensial kritis 6 unit lahan dan tidak kritis tidak ada. Kawasan budidaya dengan
kondisi sangat kritis yakni 4 unit lahan; kritis 16 unit lahan; agak kritis 26 unit lahan; potensial
kritis tidak ada dan tidak kritis tidak ada. Kawasan lindung dengan kondisi sangat kritis yakni 9 unit
lahan; kritis 10 unit lahan; agak kritis 17 unit lahan; potensial kritis 5 unit lahan dan tidak kritis 2
unit lahan. Rata-rata lahan kritis dengan kondisi sangat kritis adalah 236 ha (22 %), kritis 296,92 ha
(27,49 %) agak kritis 395,29 ha (36,6 %), potensial kritis 144,21 ha (13,35 %) dan tidak kritis 7 ha
(0,64 %) dari total luas DAS Waeruhu.
Kata Kunci : Kekritisan Lahan, DAS Waeruhu, Pulau Ambon
LATAR BELAKANG
Kerusakan ekosistim daerah aliran sungai (DAS) umumnya di sebabkan oleh faktor erosi
tanah. Hal ini disebabkan oleh terjadinya alih fungsi lahan dan perubahan tataguna lahan cukup
tinggi yang tidak didasarkan pada kemampuan lahan DAS dan penerapan kaidah konservasi tanah
dan air. Menurut Jacob (2009) bahwa salah satu indikator dominan yang menyebabkan terganggunya
fungsi hidrologis DAS adalah terbentuknya lahan kritis.
Mencermati kerusakan DAS yang umumnya terjadi di Indonesia, maka hal yang sama
tidak berbeda dengan kondisi kerusakan ekosistem DAS Waeruhu di wilayah Kota Ambon. Balai
pengelolaan Daerah Aliran Sungai Waehapu Batu Merah Maluku melaporkan bahwa sampai tahun
2009 ini tercatat 1.796.500 ha lahan kritis di Maluku dan sekitar 85,32% (1.223139 Ha ) merupakan
alang –alang. Luas lahan kritis di wilayah kota Ambon adalah 15.107,50 Ha atau 4% dari total luas
wilayah kota Ambon dan 85,32% (12.889,18 Ha) merupakan lahan alang-alang (BPDAS , 2009)
Meningkatnya luas lahan kritis di wilayah Kota Ambon ini menunjukkan bahwa masih
terjadinya degradasi sumberdaya hutan dan lahan. Dampak dari degradasi ini adalah terganggunya
fungsi hidrologis DAS yang berakibat pada meningkatnya berbagai masalah lingkungan seperti
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 3
KOMISI A
banjir, erosi dan sedimentasi, tanah longsor dan terjadinya penurunan debit sumber-sumber air
bersih pada wilayah tangkapan setiap tahun yang berdampak ekstrimnya aliran sungai pada musim
penghujan atau dangkalnya debit aliran di musim kering /musim kemarau.
Meningkatnya lahan kritis di wilayah DAS Waeruhu karena belum adanya suatu peraturan
daerah (PERDA) yang mengatur tentang pemanfaatan lahan sesuai kondisi di wilayah DAS Waeruhu
dan DAS-DAS lainnya di Wilayah Kota Ambon. Fenomena ini menunjukan bahwa masalah-masalah
yang berkaitan dengan upaya konservasi dan rehabilitasi lahan di Kota Ambon tidak cukup hanya
dengan melaksanakan kegiatan penghijauan atau reboisasi pada lahan kritis tersebut, tetapi perlu
upaya perencanan tataguna lahan wilayah DAS harus mengacu kepada tindakan pengelolaan dan
pemanfaatan lahan yang perlu mendapat penanganan secara konprehensif dan menyeluruh dari
hulu, tengah dan hilir DAS Waeruhu. Oleh karena itu diperlukan suatu rpenelitian dan kajian terkait
terkini tentang kondisi kekritisan lahan pada DAS Waeuhu sebagai DAS Perioritas I di Kota Ambon.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada lokasi DAS Waeruhu sebagai DAS Perioritas I di Kota Ambon.
Menggunakan pendekatan analisis tingkat kekritisan lahan dengan parameter-parameter penentu
tingkat kekritisan lahan mengacu kepada peraraturan menteri kehutanan No P.32/MenHut-II/2009
tentang cara penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS, pengamatan lapangan
menggunakan metode survei dan kegiatan analisis kekritisan, arahan konservasi dan rehabilitasi
lahan disesuaikan dengan Petunjuk Teknis Penyusunan data Spasial Lahan Kritis, Balai Pengelolaan
DAS Waehapu Batu Merah.
4 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Karakteristik Biofisik
Daerah Aliran Sungai merupakan megasistem kompleks yang terbangun atas sistem fisik,
sistem biologis dan sistem manusia, dan setiap sub sistem saling berinteraksi (Kartodihardjo,
2005). Keterkaitan berbagai komponen biofisik DAS dan kepentingan ekonomi wilayah, menjadikan
pengelolaan DAS merupakan pendekatan yang penting dalam perencanaan pembangunan wilayah.
Karakteristik biofisik DAS sebagai sumberdaya alam seperti tanah, vegetasi, air dan topografi,
umumnya menjadi obyek atau sasaran fisik alamiah, sedangkan manusia menjadi subyek atau pelaku
pendayagunaan unsur-unsur tersebut (Murtilaksono, 1987). Adapun kondisi biofisik wilayah DAS
Waeruhu dapat digambarkan sebagai berikut.
- Topografi
Berdasarkan hasil analisis terhadap Peta Rupa Bumi Pulau Ambon skala 1:10.000, maka
karakteristik topografi DAS Waeruhu terdiri topografi datar sampai sangat curam seperti
pada Tabel 1.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 5
KOMISI A
- Bahan Induk
Bahan induk pada wilayah DAS Waeruhu bervariasi menurut formasi geologi pembentukan
pulau Ambon seperti pada Tabel berikut.
6 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Kriteria tingkat kekritisan pada kawasan lindung di dalam kawasan hutan pada DAS Waeruhu yang
ditemukan antara lain;
• Sangat kritis tidak ada, tutupan lahan vegetasi ditumbuhi alang - alang dan semak belukar,
klerengan 30 % agak curam sampai > 60 % lebih curam, bahan induk batu pasir, ,jenis tanah
didominasi bruinizem, skor bobot penilaian 160 - 180, erosi sedang sampai sangat berat.
• Kritis tidak ada tutupan lahan fegetasi ditumbuhi semak belukar dan pengunaan lahan pertanian
atau ladang, klerengan 8 % berombak sampai 30 % agak curam, bahan induk batu pasir, jenis
tanah bruinizem, skor bobot penilaian 230 - 260, dan erosi ringan sampai berat.
• Agak kritis tutupan lahan dengan kerapan vegetasi hutan sekunder, umumnya kelerengan 40 %
curam sampai > 60 % sangat curam, bahan induk batu pasir, jenis tanah dominan bruinizem, skor
bobot penilaian 330 – 350, dan erosinya ringan.
• Potensial kritis tutupan lahan dengan kerapan vegetasi baik, klerengan 8 % berombak sampai 30
% agak curam, bahan induk dominan batu pasir, jenis tanah bruinizem. Skor bobot 390 – 410,
erosinya ringan.
• Tidak kritis tidak dijumpai pada hutan lindung di dalam kawasan hutan
b. Klasifikasi tingkat Kekritisan lahan pada kawasan budidya diluar kawasan hutan dapat di DAS
Waeruhu sebagai berikut :
Tabel 5. Hasil Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Pada Kawasan Budidaya
Jumlah Unit Luas
Tingkat kekritisan lahan Unit Lahan
Lahan ( ha)
Sangat kritis L4 221, L4 222, L4 228, L4 232 4 81,02
Kritis L0 111, L0 121, L1 131, L1 231, 16 152,13
L1 232, L1 233, L2 221, L2 227,
L3 223, L3 226, L3 227, L3 323,
L3 556, L3 327, L4 323 L4 553
Agak kritis L1 221, L1 224, L1 225, L1 234, 26 194,09
L2 222, L2 224, L2 252, L2 323,
L2 326, L2 454, L3 221, L3 224,
L3 225, L3 228, L3 423, L3 425,
L3 454, L3 554, L4 223, L4 224,
L4 225, L4 228, L4 324, L4 425,
L4 428.L4 454.
Potensial kritis
Tidak kritis - - -
Jumlah - 47 427,24
Sumber : Hasil Penelitian (2010)
Kriteria kekritisan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya usaha pertanian diluar
kawasan hutan pada DAS Waeruhu sebagai berikut :
• Sangat kritis tutupan lahan ditumbuhi alang-alang, semak belukar ladang pemukiman penduduk,
klerengan 30 % agak curam, bahan induk los material, jenis tanah kambisol, skor bobot penilaian
165 sampai 200, dan erosi berat sampai sangat berat.
• Kritis tutupan lahan ditumbuhi alang-alang,semak belukar ladang kebun campuran, kebun
cengkeh dan pemukiman penduduk; topografi 0% datar sampai 30 % agak curam, bahan induk
didominasi los material, jenis tanah didominasi kambisol, skor bobot 205 sampai 270, dan erosi
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 7
KOMISI A
c. Klasifikasi tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kriteria tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan pada DAS
Waeruhu sebagai berikut:
• Sangat kritis tutupan lahan dominan semak belukar alang ladang, pemukiman penduduk,
kerengan 15 % bergelombang sampai 40% curam, bahan induk dominan los material, jenis tanah
dominan kambisol, skor bobot 140 – 200, erosi berat sampai sangat berat.
• Kritis tutupan lahan alang-alang semak belukar kebun campuran pemukiman penduduk,
topografi 0 % datar sampai curam 40 %, bahan induk dominan los material, jenis tanah dominan
kabisol, skor bobot 240 – 260, erosi ringan sampai sangat berat.
• Agak kritis tutupan lahan dominasi hutan sekunder hutan primer kebun campuran kebun
cengkah ladang dan pemukiman penduduk, topografi 5 % landai sampai > 60% lebih curam, bahan
induk dominsi los material dan koral. jenis tanah dominan kambisol, skor 280 – 350, erosi ringan
sampai berat.
• Potensial kritis tutupan lahan hutan sekunder hutan primer kebun cengkeh,kebun campuran dan
semak belukar topografi 5 % landai sampai 40 % curam, bahan induk didominasi los material
jenis tanah didominasi kambisol, skor 360 – 400, erosi ringan.
• Tidak kritis tutupan lahan dengan hutan sekunder bahan induk peridofit dan los material, jenis
tanah dominan kambisol, topografi 5 % landai sampai 15 % bergelombang, erosinya ringan.
8 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
DAFTAR`PUSTAKA
Anonim,2009. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS Waehapu Batu Merah.
----------,2009 Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) Peraturan Menteri Kehutanan R I No: P. 32/MENHUT-II/2009.
Jacob A. 2009. Alternatif Pengelolaan Lahan Optimal Untuk Pelestarian Sumberdaya Air di Pulau
Ambon. [Disertasi] Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak di publikasikan.
Kartodihardjo, H. 2005. Institusi Pengelolaan DAS untuk Membangun Hubungan Hulu Hilir.
Lokakarya Pengelolaan DAS. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Murtilaksono, K. 1987. Simulasi Perilaku Hidrologi Sub DAS Gongseng. Tesis Magister Sains.
Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahayu. S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring Air DAS Bogor,
Indonesia. Word Agroforestry Centre-Southeast Asia Regional Offic. 104 p.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 9
KOMISI A
ABSTRAK
Serangga sebagai flagship species (species bendera) merupakan hal yang jarang terjadi.
Namun Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terkenal dengan keanekaragaman jenis
kupu-kupu telah menjadikan jenis serangga ini sebagai species bendera mereka atau dengan kata lain
menggunakan serangga ini sebagai maskot program konservasi karena dianggap mampu menggugah
ketertarikan dan simpati masyarakat. Paper ini mencoba membahas mengenai peran kupu-kupu
sebagai species bendera dalam menggugah ketertarikan masyarakat terhadap konservasi serta
pengelolaan bagi peningkatan upaya konservasi species bendera tersebut. Penelitian dilakukan
dengan mengumpulkan informasi mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat sekitar TN
Babul serta wisatawan terhadap species bendera,maupun pemahaman dan minat masyarakat
sekitar serta wisatawan terhadap upaya konservasi kupu-kupu. Untuk mengetahui pengenalan
dan persepsi terhadap species bendera Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, dilakukan
wawancara terhadap wisatawan yang mengunjungi OWA Bantimurung dan masyarakat yang
bermukim di beberapa desa yang terletak di sekitar kawasan TN Babul. Unit analisis masyarakat
sekitar adalah rumah tangga yang dipilih secara acak, sedangkan responden wisatawan adalah
wisatawan yang telah dewasa dan dipilih secara acak. Data yang dikumpulkan ditabulasi secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kupu-kupu sebagai species bendera
belum dapat meningkatkan minat parapihak terkait, seperti masyarakat sekitar maupun wisatawan
terhadap upaya konservasi kupu-kupu. Sehubungan dengan hal tersebut maka pemanfaatan kupu-
kupu sebagai spesies bendera sebaiknya tidak semata hanya dilakukan sebagai ajang promosi untuk
meningkatkan daya tarik wisata, namun juga dapat diarahkan untuk lebih meningkatkan minat
konservasi.
LATAR BELAKANG
Konsep flagship species (spesies bendera) mulai dikenal pada era 1980-an (Frazier, 2005).
Spesies bendera merupakan spesies yang berkharisma, popular, serta dapat menjadi simbol atau
nilai tambah bagi peningkatan kesadaran akan konservasi maupun berbagai tindakan konservasi
(Heywood, 1995). Selain itu Walpole dan Leader-William (2002) mendefenisikan spesies bendera
sebagai spesies yang memiliki daya pikat dan mampu mendorong masyarakat untuk mendukung
10 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
konservasi baik melalui berbagai tindakan maupun saluran dana yang diberikan untuk menyokong
kegiatan konservasi. Umumnya yang dijadikan sebagai spesies bendera adalah vertebrata berukuran
besar (Verissimo, 2009), terutama mamalia, contohnya Panda dan Paus (Leader-Williams & Dublin,
2000). Namun penggunaan satwa berukuran besar memiliki keterbatasan sebab banyak kawasan
konservasi yang kurang memiliki satwa berukuran besar dan berkharisma (Labao et al, 2008),
sehingga model spesies bendera kemudian berkembang berupa penggunaan spesies lokal yang
dipandang mampu meningkatkan minat konservasi pada tingkat lokal (Bowen-Jones &Entwistle,
2002),maupunpenggunaan spesies bendera untuk ekowisata dengan target menarik minat wisatawan
internasional untuk menyaksikan atraksi satwa serta berpartisipasi dalam konservasi (Walpole dan
Leader-William, 2002).
Bagi TN Babul sendiri, pencanangan kupu-kupu sebagai spesies bendera merupakan satu
langkah maju bagi dunia konservasi, namun diharapkan pencanangan ini tidak hanya berhenti
hanya sebatas slogan atau simbol saja, melainkan dapat makin mendorong minat dan ketertarikan
berbagai pihak terhadap upaya konservasi kupu-kupu dan sumber daya alam lain yang terdapat di
dalam kawasan TN Babul. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai peran kupu-kupu sebagai spesies bendera
dalam menggugah ketertarikan masyarakat terhadap konservasi, terutama konservasi spesies
bendera itu sendiri. Deskripsi peran kupu-kupu sebagai penggugah minat dan daya tarik masyarakat
terhadap konservasi dijabarkan melalui pengetahuan dan persepsi masyarakat sekitar TN Babul
terhadap spesies bendera danpemahaman serta minat masyarakat sekitar terhadap upaya konservasi
kupu-kupu. Melalui hal tersebut, diharapkan dapat dilakukan manajemen yang tepat terhadap kupu-
kupu di TN Babul dalam rangka upaya konservasinya.
METODE
Penelitian untuk pengambilan data persepsi masyarakat dilakukan pada bulan Juni–Oktober
2012 dan Juni – Oktober 2013 sedangkan pengambilan data pengunjung dilakukan pada bulan
September 2013. Penelitian menggunakan teknik simple random sampling. Untuk mengetahui
pengenalan dan persepsi masyarakat sekitar terhadap spesies bendera Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, dilakukan wawancara terhadap masyarakat yang bermukim di 5 desa yang terletak di
sekitar kawasan TN Babul. Unit analisis adalah rumah tangga. Responden adalahkepala keluarga
dan dipilih secara acak.Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Sugiyono (2007):
Keterangan
S = jumlah sampel
N = Populasi
P = Q = 0,5
λ = 1
D = 0,05
Berdasarkan data BPS Maros tahun 2012,jumlah keluarga di Desa Wanuawaru Kecamatan
Mallawa Kabupaten Maros adalah 387 KK, Desa Gattarang Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros
berjumlah 225 KK, Desa Samaenre Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros berjumlah 233 KK, Desa
Timpuseng Kecamatan Camba Kabupaten Maros berjumlah 373 KK, Desa Sambueja Kecamatan
Simbang Kabupaten Maros berjumlah 983 KK, sehingga jumlah KK dari kelima desa tersebut adalah
2.201 KK. Dengan demikian jumlah responden dari kelima desa tersebut minimal 95,69 orang atau
96 orang, dengan distribusi responden di Desa Wanuawaru adalah 18 KK, Desa Gattarang adalah 18
KK, Desa Samaenre 18 KK, Desa Timpuseng 18 KK, Desa Sambueja 24 orang.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 11
KOMISI A
Selain itu, dilakukan wawancara terhadap wisatawan yang berkunjung pada OWA
Bantimurung. Responden wisatawan adalah wisatawan yang telah dewasa dan dipilih secara acak.
Jumlah pengunjung pada bulan September 2013 adalah 31.437 orang, sehingga jumlah responden
adalah 99,69 atau 100 orang.
Data dari lapangan ditabulasikan dengan menggunakan Microsoft office excel dan selanjutnya
dianalisis secara deksriptif.
Keberadaan kupu-kupu dan upaya konservasinya pada awalnya menjadi salah satu faktor
pendorong terbentuknya TN Babul (www.tn-babul.org, tanpa tahun). Setelah kawasan taman
nasional ini terbentuk dan kupu-kupu telah dicanangkan sebagai spesies bendera TN Babul, maka
seharusnya keberadaan dan peran kupu-kupubagi TN Babul dapat lebih dikenal luas oleh berbagai
pihak, utamanya masyarakat sekitar. Dengan lebih dikenal luasnya peran kupu-kupu sebagai
spesies bendera TN Babul, diharapkan kupu-kupu dapat mewujudkan arti penting keberadaannya
sebagai spesies bendera yaitu sebagai pendorong yang dapat menggugah ketertarikan dan simpati
masyarakat dan berbagai pihak lain untuk mendukung berbagai upaya konservasi sumber daya alam
TN Babul (terutama upaya konservasi kupu-kupu itu sendiri). Keberhasilan menggugah minat, daya
tarik dan dukungan masyarakat sekitar akan konservasi merupakan hal yang sangat penting, sebab
tanpa dukungan dari masyarakat terutama masyarakat sekitar, keberhasilan konservasi sumber
daya alam TN Babul sulit tercapai.
Salah satu faktor yang dapat menunjukkan apakah pencanangan kupu-kupu sebagai spesies
bendera TN Babul telah mampu menjadi pendorong ketertarikan dan minat akan konservasi
keanekaragaman hayati TN Babul adalah dengan menggali pengetahuan dan persepsi masyarakat
tentang kekayaan keanekaragaman hayati kupu-kupu sebagai spesies bendera TN Babul.
A. Pengetahuan masyarakat dan wisatawan tentang kupu-kupu sebagai spesies bendera TN Babul
12 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
yang disebabkan oleh kehadiran kupu-kupu. Sebaliknya perhatian masyarakat terhadap satwa liar
lain seperti babi hutan, monyet maupun ular tergolong tinggi karena satwa liar tersebut dianggap
merugikan petani, sehingga masyarakat petani akan memperhatikan aktivitas harian satwa yang
dianggap merugikan tersebut.
Selain aspek masyarakat, permasalahan kupu-kupu juga sangat menyentuh aspek wisata.
Merupakan hal yang sangat menarik untuk mengetahui pengetahuan wisatawan mengenai kupu-
kupu, hal ini dapat menjadi dasar bagi upaya konservasi kupu-kupu. Hasil penelitian memperlihatkan
kondisi yang sedikitberbeda dapat dijumpai pada wisatawan yang berkunjung di OWA Bantimurung.
Derasnya arus informasi dan pengetahuan menyebabkan seluruhwisatawan dapatmenyebutkan
nama beberapa jenis satwa yang berasal dari kawasan hutan. Namun hal yang menarik adalah
sebagian besar (59%) wisatawan mengganggap jika mereka belum pernah bertemu langsung dengan
satwa liar TN Babul, meskipun saat berwisata di OWA Bantimurung, wisatawan sebenarnya telah
berjumpa secara langsung dengan kupu-kupu yang merupakan salah satu jenis satwa liar TN Babul.
Kerancuan pandangan tentang perjumpaan dengan satwa yang berasal dari dalam kawasan hutan
muncul terutama disebabkan oleh adanya wisatawan yang masih berpendapat bahwa yang tergolong
sebagai satwa liar yang berasal dari dalam kawasan hutan hanya jenis satwa yang berukuran besar,
seperti monyet, babi hutan, kuskus. Jika hanya sedikit masyarakat sekitar kawasan TN Babul
yang mengetahui bahwa kupu-kupu adalah species bendera TN Babul, maka sebaliknya,sebagian
besar wisatawan (97%) telah mengetahui jika kupu-kupu menjadi maskot OWA Bantimurung.
Namun sebagian besar wisatawan (73%) belum mengetahui jika kupu-kupu juga merupakan
species bendera TN Babul. Masih cukup banyaknya wisatawan yang belum mengetahui jika kupu-
kupu bukan hanya sebagai maskot OWA Bantimurung melainkan juga sebagai spesies bendera TN
Babul, menunjukkan bahwa pengenalan wisatawan mengenai TN Babul masih tergolong rendah.
Wisatawan lebih mengenal OWA Bantimurung dibanding TN Babul, yang berimbas pada wawasan
wisatawan mengenai spesies bendera TN Babul masih belum memadai.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 13
KOMISI A
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap konservasi kupu-
kupu adalah sebagian besar masyarakat sekitar TN Babul (95,83%) tidak tertarik untuk memberi
perhatian lebih terhadap kupu-kupu (misal dalam bentuk mempelajari siklus hidup kupu-kupu
atau bahkan memelihara kupu-kupu dari telur hingga menjadi kupu-kupu dewasa). Masyarakat
menganggap kegiatan tersebut sebagai hal yang membuang waktu dan tidak berguna. Sebagian
besar masyarakat (97,91%) mengganggap bahwa kelestarian kupu-kupu bukan menjadi tanggung
jawab mereka, sebab kupu-kupu hidup bebas di alam. Selain itu masyarakat juga berpendapat bahwa
dengan luas kawasan TN Babul yang lumayan besar, sudah dapat menjadi jaminan bagi kelestarian
kupu-kupu atau dengan kata lain, kelestarian kupu-kupu menjadi tanggung jawab alam atau kawasan
hutan.Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih bersifat pasif terhadap
kelestarian lingkungan, utamanya terhadap kelestarian kupu-kupu. Bila dibiarkan terus menerus,
rendahnya tingkat kepedulian serta sikap pasif yang ditunjukkan masyarakat terhadap kelestarian
spesies bendera TN Babul juga dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan upaya konservasi
serangga ini, karena upaya konservasi yang akan dilakukan oleh pihak TN Babul hanya bersifat top
down atau bersifat keproyekan saja serta kurang mendapat dukungan maksimal dari stakeholder lain
terutama masyarakat sekitar.
Tingkat kepedulian wisatawan terhadap kupu-kupu juga tergolong rendah, meski tidak
serendah tingkat kepedulian masyarakat sekitar. Sebagian besar (91%) wisatawan telah mengetahui
jika di OWA Bantimurung terdapat jenis kupu-kupu yang telah tergolong langka sehingga perlu
dilindungi. Namun sebagian besar wisatawan (76%) akan bersikap membiarkan dan tidak
memberi teguran jika melihat adanya penangkapan kupu-kupu,baik di dalam maupun di luar OWA
Bantimurung, meskipun umumnya wisatawan telah mengetahui adanya larangan penangkapan
kupu-kupu di dalam areal OWA Bantimurung. Hal ini disebabkan sebagian besar wisatawan
mengganggap bahwa penangkapan kupu-kupu adalah privacy orang lain dan mereka merasa tidak
enak jika menegur atau mengganggu privacy orang lain. Selain itu,masih cukup banyak wisatawan
yangakan membeli berbagai souvenir berbahan dasar kupu-kupu, dengan alasan merasa sayang jika
tidak membeli souvenir kupu-kupu yang merupakan kekhasan OWA Bantimurung yang masih jarang
dijumpai di tempat lain.
Penggunaan spesies bendera dalam promosi kawasan konservasi merupakan langkah yang
penting karena diharapkan dapat memberi sikap positif dikalangan masyarakat luas, terutama
terhadap spesies bendera itu sendiri, maupun sumber daya alam lainnya. Meningkatnya sikap positif
dikalangan masyarakat luas diharapkan dapat meningkatkan keinginan bagi upaya konservasi
yang dicanangkan (Eckert dan Hemphill, 2005). Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan spesies
bendera TN Babul belum memperlihatkan hasil yang memadai, terlihat dari masih minimnya
pengetahuan dan minat masyarakat untuk lebih mengenal kupu-kupu. Hal ini makin dipertegas
dengan minimnya empati masyarakat untuk terhadap kupu-kupu, apalagi secara aktif melakukan
berbagai upaya konservasi kupu-kupu. Bila hal ini dibiarkan terus berlanjut, maka kondisi ini dapat
menjadi faktor penghambat upaya konservasi kupu-kupu. Kondisi ini sebaiknya segera diantisipasi
oleh berbagai pihak dengan secara aktif dan kontinyu mulai melakukan berbagai penyuluhan dan
pendidikan dalam bentuk pemberian berbagai program edukasi yang menarik. Program edukasi
yang menarik diharapkan dapat meningkatkan informasi ilmiah yang dimiliki masyarakat mengenai
kupu-kupu, dan selanjutnya diharapkan dapat menjadi penggugah minat masyarakat untuk lebih
memiliki rasa empati terhadap kupu-kupu. Lahirnya rasa empati masyarakat diharapkan akan mulai
merubah kebiasaan mereka, dari tidak peduli menjadi memiliki ketertarikan sertamulai bersikap
dan bertindak sebagai seorang konservasionis, misalnya dengan tidak lagi menangkap kupu-kupu,
14 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
menegur bila terjadi penangkapan kupu-kupu, dan mengajar kepada generasi penerus agar tidak
hanya sebatas memanfaatkan kupu-kupu, melainkan juga berupaya menangkarkannya. Bahkan
pemberian program edukasi tersebut, diharapkan secara bertahap dapat memberi pencerahan
terhadap sebagian kecil masyarakat sekitar TN Babul yang menggantungkan mata pencahariannya
dari pemanfaatan kupu-kupu hasil tangkapan langsung dari alam. Selanjutnya mereka dapat
mengubah dan mengalihkan ketergantungan terhadap kupu-kupu hasil tangkapan langsung tersebut,
ke sektor lain yang lebih mendukung kelestarian kupu-kupu.
Faktor lain yang dipandang penting untuk dapat meningkatkan empati parapihak terkait
terhadap konservasi kupu adalah menggiatkan kembali kegiatan penangkaran kupu-kupu yang
dapat dikatakan hampir mati suri dengan berbagai alasan. Hal ini tentu sangat disayangkan, apalagi
pihak TN Babul telah memiliki kubah penangkaran kupu-kupu yang berukuran sekitar 7.000 m
dan dibangun dengan biaya yang tidak sedikit, serta sempat digembar-gemborkan akan menjadi
penangkaran kupu-kupu terbesar di Indonesia (Triwin, 2012), yang tentu saja bukan hanya dari
segi luas tempat penangkaran, melainkan dari segi kualitas dan kuantitas kupu yang berhasil
ditangkarkan. Agar upaya konservasi kupu-kupu tidak terasa hampir mati suri, maka sebaiknya
pihak TN Babul dapat belajar ke berbagai pihak, bahkan ke negara lain seperti Jepang, mengenai
rahasia, tips dan trik untuk dapat sukses menangkar kupu-kupu. Kesuksesan penangkaran kupu-
kupu yang dilakukan pihak TN Babul sebagai pengelola utama dan pihak yang dianggap paling
bertanggung jawab terhadap kelestarian kupu-kupu, diharapkan dapat memotivasi masyarakat
sekitar untuk kembali aktif menangkar kupu-kupu.
Bila meninjau aspek wisata alam yang dikembangkan TN Babul, dipasangnya kupu-kupu
sebagai spesies bendera ternyata juga belum dapat meningkatkan minat dan partisipasi wisatawan
dalam konservasi kupu-kupu secara maksimal. Ironisnya, wisata massal yang kemudian berkembang
di OWA Bantimurung yang merupakan hotspot atau pusat habitat kupu-kupu di TN Babul dan
merupakan tempat yang sebenarnya mendapat julukan dari Alfred Wallace sebagai The Kingdom
of Butterfly, malah dianggap sebagai salah satu penyebab utama menurunnya populasi kupu-kupu
di tempat tersebut. Berkembangnya wisata di tempat ini berdampak pada terjadinya perubahan
lingkungan dan degradasi habitat kupu-kupu. Selain itu, terjadinya eksploitasi berlebih terhadap
kupu-kupu, tidak hanya di sekitar kawasan obyek wisata, namun juga di berbagai lokasi lain di dalam
dan sekitar kawasan TN Babul, untuk diperdagangkan sebagai souvenir dan cindera mata.Makin
meningkatnya ancaman terhadap kelestarian kupu-kupu sebagai spesies bendera TN Babul akibat
berkembangnya pariwisata sangat bertolak belakang dengan tujuan keberadaan spesies bendera.
Verissimo et al. (2011) menyatakan bahwa spesies bendera digunakan oleh para praktisi konservasi
untuk meningkatkan kesadaran konservasi guna menurunkan tingkat kehilangan keanekaragaman
hayati. Melihat kondisi ini, sebaiknya pengelola TN Babul dapat lebih mengarahkan penggunaan
kupu-kupu sebagai spesies bendera secara lebih tepat. Dalam hal ini, pemanfaatan kupu-kupu
sebagai spesies bendera tidak semata hanya dilakukan sebagai ajang promosi untuk meningkatkan
daya tarik wisata, namun juga dapat diarahkan untuk lebih meningkatkan minat konservasi. Hal
ini dapat dilakukan, misalnya dengan menyelipkan berbagai kalimat yang menggugah empati
wisatawan dan masyarakat luas agar tertarik pada upaya konservasi kupu-kupu dalam berbagai
promosi yang dilakukan dengan memanfaatkan kupu-kupu.Penggunaan spesies bendera secara
tepat sebagai sarana untuk meningkatkan minat dan tindakan konservasi dapat terlihat dari
keberhasilan peningkatan populasi sejenis burung paruh bengkok endemik yang hidup di Kepulauan
Karibia. Wiley et al (2004) menyatakan bahwa burung paruh bengkok endemik tersebut terancam
punah akibat perburuan liar. Namun dengan promosi konservasi yang tepat sebagai species bendera,
menyebabkan burung paruh bengkok tersebut menjadi makin popular. Semakin sukses promosi
yang dilakukan, ternyata makin meningkatkan minat dan daya tarik berbagai pihak untuk secara
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 15
KOMISI A
aktif ikut berperan nyata bagi pelestarian species tersebut. Hal ini menciptakan kolaborasi kegiatan
konservasi dari parapihak, seperti upaya penyuluhan, transformasi pola pikir dari pemburu menjadi
pelindung, penegakan hukum secara maksimal maupun peningkatan empati masyarakat luas dan
dunia internasional, sehingga upaya konservasi dan penyelamatan burung paruh bengkok tersebut
dapat berhasil. Saat ini populasi burung paruh bengkok tersebut telah mengalami peningkatan secara
nyata.
Messmer (2000) menyatakan bahwa keberadaan satwa liar, dapat secara nyata meningkatkan
daya tarik konservasi jika terdapat upaya untuk menyatakan secara tegas, bahwa pemanfaatan satwa
liar secara merusak dan berbagai bentuk pengrusakan habitat tergolong sebagai tindakan kriminal.
Bila mengaitkan kondisi ini dengan realita yang terjadi di TN Babul, yaitu terjadinya penangkapan
kupu-kupu secara langsung dari alam walaupun termasuk jenis kupu-kupu yang telah dilindungi,
maka adanya tindakan tegas dari berbagai pihak dengan menyatakan bahwa pemanfaatan jenis
kupu-kupu langka dan dilindungi sebagai hal yang melanggar hokum dan disertai dengan sanksi yang
tegas, diharapkan dapat mengubah kebiasaan masyarakat dan meningkatkan peluang bagi lestarinya
kupu-kupu. Tindakan tegas terhadap penangkap dan pemanfaat kupu-kupu yang dilindungi akan
lebih berhasil jika hal serupa juga dilakukan terhadap oknum pelaku pengrusakan habitat kupu-
kupu.
Langkah lainnya adalah dengan melakukan monitoring secara berkala terhadap tingkat
keberhasilan penggunaan spesies bendera dalam meningkatkan kesadaran konservasi masyarakat
sekitar maupun dalam perolehan dana dari mancanegara untuk menunjang kegiatan konservasi.
Monitoring ini sangat penting untuk mengetahui tingkat keberhasilan penggunaan kupu-kupu
sebagai spesies bendera dalam mendukung berbagai upaya konservasi yang dicanangkan TN Babul.
Monitoring juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana introspeksi diri sebelum melakukan berbagai
tindak pengelolaan kawasan.
Konservasi keanekaragaman hayati juga dapat berhasil bila ditopang oleh berbagai pihak.
Untuk itu, sebaiknya pihak TN Babul sebagi pengelola, dapat meningkatkan kolaborasi dengan
parapihak agar tujuan pencanangan maupun pemanfaatan kupu-kupu sebagai spesies bendera bagi
peningkatan upaya konservasi dapat efektif dan lebih meningkat.
Penggunaan kupu-kupu sebagai spesies bendera TN Babul belum dapat meningkatkan minat
parapihak, seperti masyarakat sekitar maupun wisatawan terhadap upaya konservasi kupu-kupu.
Parapihak yang terkait khususnya TN Babul,sebaiknya mulai melakukan introspeksi terhadap
cara penggunaan spesies bendera. Misalnya dengan (1) pelibatan aktif berbagai pihak dalam upaya
konservasi (2) pemberian edukasi yang dapat mengubah pola pikir masyarakat terhadap posisi dan
peran kupu-kupu sebagai species bendera, (3) memberi teladan, mengaktifkan dan mengoptimalkan
kegiatan penangkaran kupu-kupu, (4) reorientasi pemanfaatan kupu-kupu dalam promosi, sehingga
tidak hanya sebatas pada promosi untuk meningkatkan daya tarik wisata, melainkan juga pada
minat konservasi, (5) sosialisasi jenis kupu-kupu yang dilindungi dan sanksi bagi pelanggar, (6)
monitoring terhadap tingkat keberhasilan penggunaan species bendera bagi upaya peningkatan
konservasi.
16 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
DAFTAR PUSTAKA
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Tanpa tahun. The Kingdom of Butterfly. http://
www.tn-babul.org/index.php?option=com_content&view=article&id=525%3A the-kingdom-
of-butterfly&catid=74%3Abranding&Itemid=198.diakses tanggal 9 Agustus 2014.
Bowen-Jones, E. & Entwistle, A. 2002. Identifying appropriate flagship species: the importance of
culture and localcontexts.Oryx36: 189–195.
Eckert, K. L., dan Hemphill, A. H. 2005. Sea Turtles as Flagships for Protection of the Wider Caribbean
Region.MAST 3 (2): 119–143.
Frazier, J. 2005. Marine turtles: the role of flagship species in interactions between people and the
Sea. MAST 4(1):5–38
Heywood, V.H. 1995. Global biodiversity assessment. Cambridge University Press, Cambridge.
Labao, R., Francisco, H., Harder, D. dan Santos, F.I. 2008.Do colored photographs affect willingness
to pay responsesfor endangered species conservation?Environ. Resour.Econ.40: 251–264.
Leader-Williams, N., and H. T. Dublin. 2000. Charismatic megafauna as ‘flagship species’. dalamA.
Entwistle, and N. Dunstone, editors. Priorities for the Conservation of Mammalian Diversity:
Has the Panda Had Its Day. Cambridge University Press.
Triwin. 2012. Menilik dari Dekat Persiapan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Menuju
Penangkar Kupu-kupu Terbesar di Indonesia. www.ekowisata.org dalam http://www.
tn-babul.org/index.php?option=com_content&view=article&id=455:menilik-dari-dekat-
persiapan-taman-nasional-bantimurung-bulusaraung-menuju-penangkar-kupu-kupu-
terbesar-di-indonesia&catid=49:artikel. Diakses tanggal 9 Agustus 2014
Veríssimo, D, D. C. MacMillan dan R. J. Smith. 2011. TowardA Systematic Approach for Identifying
Conservation Flagships. Conservation Letters 4:1-8.
Veríssimo, D., I. Fraser, R. Bristol., J. Groombridge, dan D. MacMillan. 2009. Birds as tourism flagship
species: A Case Study on Tropical Islands. Animal Conservation 12:549-558.
Wiley, J. W., Gnam, R., Koenig, S. E., Dornelly, A., Galvez, X., Bradley, P. E., White, T., Zamore, M.,
Reillo, P. R.,dan Anthony. D. 2004. Status and Conservation of the Family Psittacidae in the
West Indies. Journal of Caribbean Ornithology 17: 94–154.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 17
KOMISI A
ABSTRAK
Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi oleh beberapa
species pohon bakau yang tumbuh dan berkembang pada kawasan pasang surut pantai berlumpur.
Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada kawasan intertidal dan supratidal yang mendapat
aliran air yang mencukupi, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Karena itu hutan mangrove banyak dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta
dan kawasan-kawasan pantai yang terlindung (Dahuri et al.,2001). Struktur, fungsi, komposisi
dan distribusi species dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor
lingkungan. Menurut Kusmana (2003) beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan mangrove adalah sebagai berikut : topografi pantai; iklim; pasang surut; gelombang
dan arus; salinitas; oksigen terlarut; tanah; nutrien dan proteksi. Pasang surut merupakan faktor
yang sangat menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Perubahan tingkat salinitas
pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi species mangrove,
terutama distribusi horisontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang
tumbuh baik, sedangkan Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering
tergenang.
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat
ganda baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Besarnya peranan ekosistem mangrove bagi
kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan
maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut.
Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia,27 % atau sekitar 4.293
juta ha berada di Indonesia (Kusmana, 2003). Penyebaran hutanmangrove ditemukan hampir
di seluruh kepulauan Indonesia, sebagian besar terkonsentrasi di Papua 1,3 juta ha dan sisanya
di wilayah lainnya. Sampai saat ini luas hutan mangrove Sampai saat ini luas hutaDn mangrove
di Provinsi Maluku sebesar 165.775, 05 Ha (BAPEDALDA, 2009). Kondisi lingkungan akibat
tingginya aktivitas manusia pada wilayah pesisir perairan Amahai di Kabupaten Maluku Tengah
telah menyebabkan komunitas mangrove pada beberapa areal mengalami tekanan yang relatif
tinggi. Hal ini seperti dikatakan oleh King (2000) bahwa komunitas mangrove tidak dapat bertahan
hidup dengan baik atau cenderung mengalami penurunan jumlah dan menuju kepunahan. Hal ini
juga mempengaruhi keberadaan biota perairan khususnya ikan, udang dan kepiting yang sangat
bergantung pada ekosistem tersebut. Permasalahan yang ditemukan adalah masih kurangnya
kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap peranan komunitas mangrove terhadap lingkungan
sekitar, termasuk terhadap kehidupan manusia. Penebangan hutan mangrove secara semena-
mena oleh sebagian masyarakat masih saja terjadi, terutama pada perairan pantai yang terletak
dekat dengan daerah pemukiman. Hal ini mengakibatkan komunitas mangrove mengalami tekanan
pertumbuhan sehingga berdampak pada ketidakstabilan keseimbangan ekosistem mangrove, yang
ditandai dengan terjadinya penurunan kerapatan vegetasi dan penyusutan luas lahan mangrove.
Penelitian ini bertujuan untuk (1). mengidentifikasi indikator-indikator pengelolaan hutan
18 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
mangrove berkelanjutan dan (2). menganalisis nilai indeks keberlanjutan pengelolaan hutan
mangrove di Kabupaten Maluku Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rappid
Appraisal for mangrove forest (RAP-Mforest). Penilaian keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove
saat ini dilakukan dengan pendekatan RAP-Mforest melalui beberapa tahapan, yaitu : (1) tahap
penentuan indikator-indikator hutan mangrove berkelanjutan untuk dimensi ekologi, ekonomi dan
sosial ; (2) tahap penilaian setiap indikator dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan
untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode multidimensional scaling (MDS) dan
(3) tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove. Berdasarkan
hasil analisis dengan menggunakan Rap-Mforest diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk
multidimensi sebesar 36,08 dengan status kurang berkelanjutan; dimensi ekologi sebesar 79,95
dengan status berkelanjutan; dimensi sosial 33,56 dengan status kurang berkelanjutan dan dimensi
ekonomi sebesar 22,96 dengan status tidak berkelanjutan. Agar nilai indeks ini pengelolaan hutan
mangrove di masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan,
maka perbaikan-perbaikan terhadap indikator-indikator yang sensitif berpengaruh terhadap nilai
indeks dimensi ekonomi dan sosial. Perbaikan yang dimaksud adalah meningkatkan kapasitas
indikator yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan
hutan mangrove dan sebaliknya menekan sekecil mungkin indikator yang berpeluang menurunkan
nilai indeks keberlanjutannya.
PENDAHULUAN
Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi oleh beberapa
species pohon bakau yang tumbuh dan berkembang pada kawasan pasang surut pantai berlumpur.
Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada kawasan intertidal dan supratidal yang mendapat
aliran air yang mencukupi, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Karena itu hutan mangrove banyak dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta
dan kawasan-kawasan pantai yang terlindung (Dahuri et al.,2001). Struktur, fungsi, komposisi
dan distribusi species dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor
lingkungan. Menurut Kusmana (2003) beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan mangrove adalah sebagai berikut : topografi pantai; iklim; pasang surut; gelombang
dan arus; salinitas; oksigen terlarut; tanah; nutrien dan proteksi. Pasang surut merupakan faktor
yang sangat menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Perubahan tingkat salinitas
pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi species mangrove, terutama
distribusi horisontal.
Kondisi lingkungan akibat tingginya aktivitas manusia pada wilayah pesisir perairan
Amahai telah menyebabkan komunitas mangrove pada beberapa areal mengalami tekanan yang
relatif tinggi. Hal ini seperti dikatakan king (2000) bahwa komunitas m,angrove tidak dapat
bertahan hidup dengan baik atau cenderung mengalami penurunan jumlah dan menuju kepunahan.
Hal ini juga akan mempengaruhi keberadaan biota perairan khususnya ikan, udang dan kepiting
tyang sangat bergantung pada ekosistem tersebut. Permasalahan yang ditemukan adalah masih
kurangnya kesadaran sebagian masyarakat terhadap fungsi dan peranan komunitas mangrove
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 19
KOMISI A
terhadap lingkungan sekitar, termasuk terhadap kehidupan manusia. Penebangan hutan mangrove
yang dilakukan secara semena-mena oleh sebagian masyarakat masih saja terjadi, terutama
pada perairan pantai yang dengan permukiman masyarakat. Hal inimengakibatkan komunitas
mangrovemengalami tekanan pertumbuhan yang berdapak pada ketidakstabilan keseimbangan
ekosistem mangrove, yang ditandai dengan terjadinya penurunan kerapatan vegetasi dan penyusutan
luas lahan mangrove.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi eksisting (ekologi, ekonomi dan sosial)
ekosistem mangrove pada perairan Amahai dan menentukan status keberlanjutan pengelolaan
ekosistem mangrove di Perairan Amahai Maluku Tengah
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan analisis Rappid Appraisal for mangrove forest (Rap-Mforest). Untuk
mengetahui status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove. Dalam tahapan ini dilakukan
pula analisis sensitivitas (Leverage Analysis) untuk melihat sensitivitas dari indikator-indikator
yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove.
HASIL PEMBAHASAN
20 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Gambar1. Analisis Rap-Mforest pengelolaan hutan mangrove di Perairan Amahai Maluku Tengah
Berdasarkan Gambar 2 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 79,95
termasuk dalam kategori berkelanjutan. Indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh
terhadap dimensi ekologi terdiri dari enam indikator, yaitu : (1) rantai makanan dan ekosistem, (2)
perubahan kualitas air, (3) ukuran populasi dan struktur demografi, (4) tingkat keragaman hutan
mangrove, (5) struktur relung komunitas dan (6) perubahan keragaman habitat.
Analisis leverage bertujuan untuk melihat indikator yang sensitif memberikan kontribusi
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua
indikator dimensi ekologi memiliki tingkat sensitivitas yang relatif hampir sama dalam perannya
terhadap nilai indeks keberlanjutan. Berdasarkan analisis leverage diperoleh dua indikator yang
sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu ; (1) struktur relung komunitas,
dan (2) perubahan keragaman habitat.
Struktur relung komunitas menunjukkan adanya perubahan, yang dapat dilihat dari adanya
perubahan kelimpahan relatif pada semai dan pancang dari pohon-pohon pembentuk tajuk hutan
mangrove jika dibandingkan dengan hutan mangrove yang tidak terganggu oleh aktivitas manusia.
Disamping itu kelimpahan kelompok burung tertentu hanya sebagian dapat dipertahankan dalam
variasi alaminya. Untuk mempertahankan struktur relung komunitas agar tidak mengalami
perubahan, maka perlu ada kebijakan pemerintah untuk mengatur pemanfaatan ekosistem hutan
mangrove.
Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah perubahan keragaman habitat. Terjadinya
perubahan keragaman habitat pada hutan mangrove ditandai dengan adanya keterbukaan tajuk pohon
yang besar, akibat kegiatan manusia. Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat dari 0,62% pada
tahun 2006 menjadi 0,80% pada tahun 2012 diikuti dengan kebutuhan hidup yang terus bertambah,
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 21
KOMISI A
Gambar 3 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial sebesar 33,56 dan
termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh
terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial adalah (1) peranserta masyarakat dalam pengelolaan
hutan mangrove, (2) pengetahuan masyarakat tentang hutan mangrove, (3) pola hubungan antar
stakeholder, (4) kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat, (5) tingkat pendidikan masyarakat,
(6) kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove, (7) akses masyarakat lokal terhadap
hutan mangrove, (8) koordinasi antar lembaga, (9) kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan
mangrove.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh dua indikator yang sensitif terhadap nilai
indeks keberlanjutan dimensi sosial yaitu : (1) kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat dan
(2) akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove. Hasil analisis leverage menunjukkan bahwa
kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat akibat adanya penebangan pohon untuk kayu bakar
dan kebutuhan lainnya sehingga lahan hutan menjadi terbuka. Analisis perubahan penutupan lahan
yang didasarkan pada overlay data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2007 dan tahun 2012 menunjukkan
perbedaan penutupan lahan mangrove di Kabupaten Maluku Tengah. Pada tahun 2009 luasan lahan
mangrove sebesar 1791 ha, sedangkan tahun 2013 luasan lahan mangrove menjadi 1684 ha. Luasan
hutan mangrove di wilayah Kabupaten Malukiu tengah dalam waktu dua tahun terjadi penyusutan
lahan mangrove sebesar 174 ha atau sekitar 7,4 %.
Akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan mangrove tinggi. Hal ini ditunjukkan
dengan besarnya pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu
maupun hasil perikanan, seperti : ikan, kepiting dan udang.
Berdasarkan Gambar 4 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi sebesar 22,96
termasuk dalam kategori tidak berkelanjutan. Indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh
terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi terdiri dari tujuh indikator : (1) peran mangrove
22 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
terhadap pembangunan wilayah, (2) hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove, (3) rehabilitasi
hutan mangrove, (4) zonasi pemanfaatan lahan mangrove, (5) keterlibatan stakeholder, (6) rencana
pengelolaan hutan mangrove, (7) pemanfaatan mangrove oleh masyarakat
Berdasarkan hasil analisis leverage terdapat tiga indikator yang sensitif terhadap nilai indeks
keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu : (1) hasil inventarisasi pemanfaatan mangrove, (2) zonasi
pemanfaatan lahan mangrove, dan (3) keterlibatan stakeholder.
Indikator yang perlu mendapat perhatian adalah tidak tersedia hasil inventarisasi
pemanfaatan mangrove di lokasi penelitian. Belum adanya peraturan daerah yang mengatur tentang
pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Maluku Tengah, sehingga pemanfaatan mangrove yang
dilakukan oleh masyarakat juga dilakukan secara illegal, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun
dalam rangka pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan, maka pemerintah khususnya dinas terkait
harus menyiapkan data yang berhubungan dengan hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove.
Tidak tersedianya zonasi pemanfaatan lahan mangrove di lokasi penelitian merupakan salah
satu indikator yang perlu diperhatikan, dalam upaya menghindari konflik pemanfaatan lahan. Oleh
karena itu untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan, perlu adanya zonasi untuk berbagai tujuan
pengelolaan hutan mangrove. Indikator lain yang sensitif adalah keterlibatan stakeholder. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa umumnya hanya masyarakat yang berperan dalam memanfaatkan
mangrove untuk kepentingan hidupnya.
Belum terlihat peran pemerintah secara nyata dalam pemanfaatan mangrove di lokasi
penelitian. Untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan, maka upaya perbaikan perlu
dilakukan terhadap indikator-indikator yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks
keberlanjutan dimensi ekonomi, namun indikator lain yang tidak sensitif berdasarkan analisis
leverage juga perlu mendapat perhatian serius untuk ditangani. Upaya yang perlu dilakukan adalah
dengan meningkatkan atau mempertahankan indikator-indikator yang berdampak positif terhadap
peningkatan keberlanjutan dimensi ekonomi. Indikator-indikator yang perlu dipertahankan adalah
(1) peran mangrove terhadap pembangunan wilayah dan (2) pemanfaatan mangrove oleh masyarakat.
Sesuai dengan hasil analisis ekonomi (nilai manfaat langsung) mangrove bagi masyarakat, maka
pemanfaatan mangrove untuk sektor perikanan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
sehingga turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 23
KOMISI A
Kesimpulan
1. Masih kurangnya partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan ekosistem mangrove, karena
kurangnya pemahaman terhadap fungsi dan peran mangrove dalam konservasi lingkungan secara
umum.
Saran
1. Perlu adanya sosialisasi dan penguatan kapasitas SDM pesisir dalam upaya meningkatkan
pemahaman terhadap pentingnya konservasi mangrove.
2. Perlu diefektifkan fungsi pengawasan dari Dinas-dinas terkait dalam mengontrol berbagai
bentuk pemanfaatan mangrove oleh masyarakat sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C. 2005. Mengapa ekosistem hutan mangrove harus diselamatkan dari kerusakan lingkungan.
Jurnal Konservasi kehutanan. Volume 2 Agustus
BAPEDALDA, 2004. Basic data sumberdaya alam dan lingkungan. Badan PengendalianDampak
Lingkungan. Maluku.
Dahuri R, J. Rais, P.Ginting dan M.J.Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya wilayah Pesisir dan Laut
Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.
Fauzi A. dan Anna, 2005. Permodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Kay, R and J.Alder. 1999. Coastal Planning and Management, E dan FN SPON. London and New York.
King. R.C. Turner, T. Dacles, J.L. Solandt, P. Raines. 2000. The mangrove communities of Danjungan
IslandCavayan Negros Occidental, Philipines. Submission Is Silirrnan Journal.
Philipines.
Kusmana. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. IPB Press. Bogor
Kordi MGH. 2012. Ekosistem Mangrove, Potensi, Fungsi dan pengelolaan. Cetakan kesatu. PT.
Rhineka Cipta.Jakarta
24 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Wahyu Andayani2
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Jln.Agro No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Telp.(0274) 512 102; 6491420
wandayani@ugm.ac.id, andayani_wahyu@yahoo.com
ABSTRACT
The policy of national forestry development going forward would be focusing on optimizing
the function of forest resources based on the concepts of pro-poor, pro-job, pro-growth and pro-
environment. As it is inline with the policy to reinforce and optimize the area of forests as stated in
Rencana Kehutanan Nasional (RKTN) for period of 2011-2030 specifically that the utilization of the
areas must support the sustainability of food, water as well as energy in order to be able to significantly
increase the economic resilience of the community. These policies mentioned above are represented
by the implementation of the ecosystem based forest management strategy in watershed areas which
could simoultaneusly generate tangible benefit and intangible benefit. It is estimated that among more
than 458 units of watershed areas in Indonesia, 282 units (62%) are in critical to extremely critical
condition while 176 units (38%) are potentially being in critical condition in the future. The objective
of this study substantially is to design a model of forest management and area optimization namely the
ecosystem based management strategy which consists of biophysic, social, economic and environmental
aspects. The model developed would be in synergy with the concept of Sustainable Forest Management.
The analytical methods used in the model is a combination between the Linier Goal Programming dan
Analytic Hierarchy Process (AHP). The model is designed to analyze and discover two main results
namely (1) how to engineer the utilization of the forest and the optimalization of the forest area based
on ecosystem, and (2) how to produce maximum value of the economic resilience as a parameter of the
increase in community’s income level. It is expected that the outcomes of this study could be used as a
recommendation for the policy makers in constructing proper forest management concept and policy,
therefore it could resulted in minimizing the biophysic damage to the watershed areas.
ABSTRAK
1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional KOMHINDO Tahun 2014 di Universitas Hasanuddin Makassar Sulawesi
Selatan, tanggal 4-5 September 2014.
2 Guru Besar Bagian Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 25
KOMISI A
hutan berbasis ekosistem dalam suatu wilayah daerah aliran sungai/watershed management (DAS)
yang memiliki manfaat riil (tangible benefit) dan manfaat kualitatif (in-tangible) secara simultan.
Diperkirakan lebih dari jumlah 458 unit DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 282 unit DAS (62%)
berada dalam kondisi kritis sampai dengan kritis berat, dan 176 unit DAS (38%) berpotensi kritis.
Tujuan substantif paper ini, untuk mendesign model pengelolaan hutan dan lahan optimal, yaitu
strategi pengelolaan berbasis ekosistem meliputi aspek biofisik, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Model dimaksud sinergi dengan konsep pengelolaan hutan lestari/ Sustainable Forest Management.
Metode pendekatan yang digunakan adalah kolaborasi antara model optimalisasi program tujuan
ganda (Linier Goal Programming) dan Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis terkait model
dirancang untuk menemukan dua hal penting yaitu : (1) rekayasa pemanfaatan hutan dan lahan
optimal berbasis ekosistem, dan (2) menghasilkan nilai resiliensi ekonomi maksimum sebagai
parameter peningkatan pendapatan masyarakat. Diharapkan, outcomes atas hasil kajian dapat
digunakan sebagai input bagi penentu kebijakan untuk merekonstruksi konsep pengelolaan hutan
yang lebih tepat, sehingga kerusakan biofisik DAS (Hulu) dapat diminimumkan.
Kata kunci : Daerah aliran sungai, pengelolaan hutan lestari, resiliensi ekonomi, program tujuan
ganda, analisis proses hirarki
PENDAHULUAN
Strategi kebijakan pembangunan sektor kehutanan nasional ke depan, akan diarahkan
untuk mengoptimalkan fungsi sumberdaya hutan (SDH), sehingga mampu memberikan kontribusi
maksimum pada rencana strategis nasional (Renstranas), yaitu : pro poor, pro job, pro growth, dan
pro environment. Disisi lain, hal tersebut sinergi dengan kebijakan pemantapan dan optimalisasi
kawasan hutan yang tertuang dalam Rencana Kehutanan Nasional (RKTN) tahun 2011-2030, yaitu
pemanfaatan kawasan hutan harus mampu mendukung ketahanan pangan, air dan energi sehingga
resiliensi ekonomi masyarakat meningkat secara signifikan. Kebijakan pengelolaan hutan seperti
dijelaskan tersebut di atas adalah merupakan implementasi dari strategi pengelolaan kawasan hutan
berbasis ekosistem dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang memiliki manfaat riil
(tangible benefit) dan manfaat kualitatif (in-tangible) secara simultan (Buongiorno, 2003; Leuwen et
al,2013).
Dari sejumlah lebih dari 458 unit DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 282 DAS (61,6%)
berada dalam kondisi kritis sampai dengan kritis berat, dan 176 DAS berpotensi kritis. Oleh sebab
itu, menurut dokumen Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan
Perhutanan Sosial (BPDAS-PS) Tahun 2010-2014, pemerintah memiliki target untuk merehabilitasi
secara bertahap sebanyak 108 DAS kritis menjadi prioritas penanganan. Meningkatnya kerusakan
DAS secara masif setiap tahun menginformasikan adanya salah kelola baik hutan maupun lahan yang
mengabaikan ekosistem, sehingga berdampak pada terjadinya degradasi dan penurunan kualitas
hutan dan lahan tersebut (Hendarto, 2008). Paper ini bertujuan untuk mendesign model pengelolaan
lahan (private land) dan hutan (public land, forest) optimal yaitu strategi pengelolaan hutan dan
lahan berbasis ekosistem yang mengakomodasikan berbagai aspek yaitu teknis dan non teknis
(sosial, ekonomi, kelembagaan). Dengan demikian jika dampak sebagai akibat salah kelola terhadap
DAS tersebut mampu diminimumkan, maka diduga resiliensi ekonomi masyarakat antara lain
berupa kontribusi pendapatan usahatani diharapkan akan meningkat (Darusman, 2001; Darnhofer,
2008). Dalam paper ini yang dimaksud dengan resiliensi ekonomi adalah kemampuan masyarakat
untuk dapat bertahan terhadap kondisi perekonomian yang rentan (Dewes, 2013). Secara konkrit hal
tersebut direalisasikan dalam bentuk kelestarian usaha sehingga profil ekonomi individu (keluarga)
maupun unit usaha (korporasi) berada pada kondisi stabil.
26 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Metode pendekatan yang digunakan untuk merancang model pengelolaan hutan dan lahan
berbasis ekosistem adalah : model program tujuan ganda (Linier Goal Programming) karena
sumberdaya hutan (SDH) memiliki fungsi ekologi sekaligus fungsi ekonomi (ekosentris). Topik
paper ini dipilih, karena diduga terjadinya kerusakan DAS adalah sebagai dampak adanya salah
kelola yang diterapkan pada obyek SDH dan lahan sehingga terjadi degradasi yang berdampak pada
menurunnya produktivitas dan pendapatan usahatani. Satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam
pengelolaan DAS berbasis ekosistem, adalah mensinergikan program-program yang direncanakan
seluruh institusi terkait dengan aspek kelola DAS, menjadi satu program kelola yang komprehensif.
Meskipun pemerintah (seluruh institusi terkait kelola DAS) sudah memproduksi cukup
banyak regulasi antara lain: (1) PP No.37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, (2) UU No.41 tahun
1999 tentang Kehutanan, (3) UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, (4) UU No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang, (5) UU No. 32 tahun 2004 jo No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintah
Daerah, dan (6) UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
kesemuanya itu sangat diharapkan dapat berperan maksimal sebagai antisipasi terhadap terjadinya
kerusakan wilayah DAS, ternyata sampai saat ini implementasinya belum efektif. Salah satu faktor
penyebabnya adalah karena belum sinerginya program kelola yang dirancang seluruh institusi
terkait menjadi satu payung kelola yang komprehensif. Selain model program tujuan ganda yang
diusulkan sebagai model pengelolaan, maka untuk menentukan prioritas dan pembobotan kelola
dari aspek biofisik (teknis), dan non teknis (sosial, ekonomi, kelembagaan), analisis kajian juga
menggunakan metode penjenjangan kelembagaan sebagai resultante melengkapi analisis tersebut
di atas yaitu analisis proses hirarki (Analytic Hierarchy Process/AHP).
Pada umumnya sebagian besar profil lahan usaha di wilayah DAS Hulu dapat dikatagorikan
sebagai lahan marjinal, baik kondisi tersebut merupakan lahan milik maupun lahan negara yang
pada umumnya berupa kawasan hutan. Dari dokumen (2013) dinyatakan bahwa luas lahan kering di
Indonesia diperkirakan melebihi 52 juta hektar, dan kira-kira 10 % - 12% berada di Jawa. Meskipun
secara konkrit dokumen yang bisa digunakan sebagai referensi tentang luas lahan marjinal yang
berada di dalam kawasan hutan negara maupun yang merupakan lahan milik (individu, korporasi)
informasinya belum sinergi yang dikeluarkan oleh beberapa instansi terkait, namun diduga
pertambahan luasnya semakin naik. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan, karena keberadaannya
memiliki potensi cukup besar untuk pembangunan pertanian (dalam arti luas meliputi komoditi
pangan, palawija, hortikultura, perkebunan, kayu, dan sejenisnya) meskipun produktivitasnya
rendah.
Tidak terkecuali lahan usaha (pertanian, kehutanan) yang berada di daerah aliran sungai
bagian hulu (DAS-Hulu) juga demikian. Oleh karenanya, probabilitas untuk terjadinya kerusakan
ekosistem berupa penurunan produktivitas lahan, erosi dan sedimentasi, dan banjir merupakan
keniscayaan jika tidak ditindaklanjuti dengan pengelolaan yang benar. Strategi pengelolaan lahan
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 27
KOMISI A
berbasis ekosistem diharapkan mampu meminimalkan terjadinya degradasi biofisik DAS dan kelak
akan berdampak pada munculnya problem sosial-ekonomi masyarakat terutama di wilayah DAS-
Hulu. Dari beberapa penelitian yang penulis lakukan dibeberapa lokasi (bersama mahasiswa S1,
S2) antara lain di, Sub Das Solo – Hulu (Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Boyolali), Opak-Progo
(Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul), dan Sub DAS Arun – DAS Asahan Toba, Daerah
Tangkapan Air Danau Toba (Kabupaten Samosir), mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah tersebut
memiliki potensi ekonomi yang cukup prospektif. Skema kelola lahan (lahan milik, dan hutan
negara) pada umumnya agroforestri Ξ pola hutan rakyat, dengan jenis komoditi kelompok tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, kayu, dan getah, dengan komposisi bervariasi tergantung faktor-
faktor : biofisik, sosial-budaya, ekonomi (modal usaha), pemasaran, dan faktor internal maupun
eksternal lain, tetapi dari hasil analisis usaha tani mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan
keluarga. Itu artinya, masyarakat memiliki resiliensi ekonomi yang baik. Menurut Sanches (1995)
dalam Andayani, W (2005) dinyatakan bahwa secara ekonomi strategi kelola lahan dengan sistem
agroforestri (baik di dalam maupun di luar kawasan hutan terutama di lahan marjinal), mampu
meningkatkan rentabilitas ekonomi secara dalam rambu kelestarian ekosistem.
Pada dasarnya secara konsep, resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi
dengan baik meskipun menghadapi situasi yang tidak normal /sangat sulit (Jackson, 2002). Terkait
dengan tema seminar nasional yang mengambil judul : ” Reaktualisasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Ekosistem Daerah Aliran Sungai/DAS, paper ini mencoba memaknai bahwa substansi judul dimaksud
menginformasikan adanya kekeliruan kelola hutan yang mengabaikan daya dukung DAS, sehingga
terjadi kerusakan ekosistem yang berdampak pada beberapa aspek antara lain, sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu, judul yang dipilih panitia adalah tepat, sebagai respon atas kondisi sumberdaya alam/
SDA/H yang sudah carut marut dan sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab institusi terkait
(antara lain KOMHINDO) sebagai institusi yang memiliki kompetensi keilmuan tersebut (SDA/H).
Kelola hutan yang berbasis ekosistem adalah merupakan implementasi pengelolaan hutan lestari
(Sustainable Forest Management/SFM). Kriteria kelestarian tersebut oleh Bull, G., P.Jayasinge, and
O. Schwab (2005), diuraikan secara jelas seperti disajikan dalam tabel 1, sebagai berikut :
28 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Dari tabel di atas tersirat bahwa seharusnya pengelolaan hutan berbasis ekosistem DAS
adalah pengelolaan yang ekuivalen dengan konsep pengelolaan SFM yang mengakomodir 6 (enam)
sebagaimana dijelaskan dalam tabel 1. Oleh karena itu, merupakan sebuah keniscayaan bahwa
konsep pengelolaan hutan saat ini sudah selayaknya harus di reaktualisasi. Paper ini secara rinci
akan mengkaji criteria 5 yaitu yang terkait dengan output dan outcomes pengelolaan dengan focus
aspek ekonomi dengan menggunakan parameter sebagai ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat
di sekitar DAS-Hulu yaitu resiliensi ekonomi. Secara makro, indeks resiliensi dapat digunakan
sebagai ukuran kinerja suatu wilayah (administrasi, maupun kawasan/region) untuk mengetahui
ketahanan/daya lenting/adaptasi wilayah tersebut terhadap fenomena alam, seperti kekeringan,
perubahan iklim, dan ketahanan pangan. Kondisi dimaksud dialami oleh kawasan DAS (Hulu-Tengah-
Hilir), sehingga dampaknya adalah makin meluasnya lahan kritis/lahan marjinal yang berimbas
pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat secara ekonomi. Informasi tentang nilai
indeks resiliensi merupakan input bagi pengelola dan parapihak/stakeholders untuk menentukan
sebuah kebijakan tentang strategi tindakan antisipatif seperti apa yang kelak akan dilakukan untuk
menghadapi fenomena dimaksud. Secara mikro, strategi dimaksud juga berlaku bagi individu
sebagai bagian dari masyarakat untuk melakukan hal yang sama, misalnya strategi dalam rangka
menghadapi pendapatan usahatani yang rendah karena lahan usaha yang dimiliki termasuk katagori
lahan kering/marjinal karena berada di wilayah DAS (Hulu) kritis (DAS prioritas).
Konsisten dengan judul dalam sub heading paper ini, bahwa konsep resiliensi ekonomi adalah
proksi pendapatan masyarakat, maka secara teori implementasinya bermakna pada 3 (tiga) parameter
yaitu : (1) pendapatan usahatani, (2) rentabilitas usahatani, dan (3) share/kontribusi terhadap
pendapatan usaha sebagai resultante parameter resiliensi ekonomi. Beberapa hasil penelitian yang
pernah dilakukan pemakalah tentang resiliensi ekonomi di beberapa DAS-Hulu menghasilkan angka
sbb : (a) Lampung – Repong Damar, sebesar 70%, (b) Kalimantan Barat – karet, sebesar 57%, (c)
Kalimantan Barat - tengkawang, sebesar 27%, (d) Jawa Barat, Jawa Tengah – buah2an, sebesar
9%-36%, (e) Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung – sengon, sebesar >21%, (f) DAS-Hulu
Cimanuk, sebesar 16%-34%, (g) Jambi, sebesar 29%-57%, dan (h) Kabupaten Samosir – kopi, sebesar
> 60%. (Catatan : kontribusi usahatani tersebut berasal dari hutan Negara (hutan lindung), dan lahan
milik dengan pola hutan rakyat dan agroforestri).
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 29
KOMISI A
Sudah banyak studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti tentang analisis optimalisasi
dengan multi tujuan menggunakan model kolaborasi antara analytic hierarchy proses (AHP) dan
linear goal programming (LGP), termasuk di kawasan DAS. Namun secara eksplisit kajian tentang
resiliensi ekonomi dengan menggunakan beberapa parameter kelayakan usaha melalui rekayasa
perubahan penggunaan lahan dengan model kolaborasi AHP-LGP diduga belum banyak diteliti,
apalagi jika kajian dimaksud hanya dilaksanakan di kawasan DAS-Hulu. Padahal, ekosistem DAS-
Hulu fungsinya adalah konservasi dan penyimpan air (water storage) yang dibutuhkan kontribusinya
oleh bagian tengah dan hilir wilayah DAS. Konsisten dengan uraian dalam pendahuluan tersebut
di atas, model pengelolaan hutan dan lahan optimal berbasis ekosistem hanya fokus pada kawasan
DAS-Hulu. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh karena : (a) DAS-Hulu merupakan pilar konservasi
yang berfungsi perlindungan, penyimpan air, dan pemanfaatan, dan (b) DAS-Hulu menyimpan
keragaman biodiversitas (key features) sehingga strategi untuk menjaga kelestarian merupakan
sebuah keniscayaan. Dua karakteristik dimaksud secara teori merupakan faktor kendala yang harus
diakomodir dalam menentukan fungsi tujuan (Objective function) pengelolaan DAS-Hulu yang
memiliki multi fungsi (tangible dan intangible secara simultan). Problem analisis optimalisasi dengan
multi tujuan seperti kasus DAS-Hulu sering tidak sinergi (saling konflik) karena harus mengakomodir
seluruh aspek terkait yaitu ekosistem, meliputi biofisik, social, dan ekonomi (Ignizio, 1976.;
Alegria, 2006). Disamping itu, secara mikro model kolaborasi AHP-LGP juga sering digunakan untuk
menyelesaikan kasus optimalisasi tentang : (1) perencanaan produksi, (2) diversifikasi komoditi
untuk produk hulu,intermediate, maupun hilir, dan (3) penataan zonasi pada kawasan hutan yang
berfungsi konservasi, lindung, produksi, dan penyangga.
Dengan demikian hakekat dari metode program tujuan ganda yang sering digunakan dalam
analisis adalah untuk meminimumkan konflik kepentingan dari multistakeholders yang ingin
memperoleh manfaat dengan keberadaan sumberdaya hutan dalam kawasan DAS-Hulu. Oleh
karena itu, pengelola harus bijak dalam menata region sehingga dalam formula matematis adalah
meminimumkan penyimpangan pada setiap pemanfaatannya dengan memperhatikan kendala
dan prioritas yang disusun. Terkait dengan prioritas tersebut, menurut Bourgeois (2005), Messer
(2010), dan Charnes (1075) menggunakan konsep AHP untuk menyusun prioritas dari berbagai
alternatif yang bersifat multikriteria merupakan sebuah keniscayaan untuk digunakan sebagai
metode analisis. Diharapkan, implementasi AHP pada kasus DAS-Hulu mampu menghasilkan solusi
yang tepat, konsisten dengan teori, logis/rasional, terstruktur, transparan dan partisipatif. Secara
garis besar tahap yang dilakukan untuk analisis optimalisasi dengan menggunakan model AHP-LGP
ada 4 tahap yaitu : (1) menentukan tujuan untuk pengambilan keputusan/ decision variable, (2)
menyusun faktor pembatas/kendala/constraint, (3) menyusun prioritas sesuai dengan karakteristik
kawasan yang memiliki keragaman biodiversitas spesifik ditunjukkan dengan key features yang ada
pada setiap region, dan (4) menentukan pembobotan/weighted menurut kriteria yang konsisten,
logis, rasional, terstruktur, dan transparan.
Tujuan agregat pengelolaan hutan berbasis ekosistem DAS optimal adalah, menemukan
strategi pengelolaan yang mampu menjamin kelestarian biodiversitas, mengakomodir kepentingan
sosial dan ekonomi masyarakat, memperoleh manfaat ekonomi yang efisien dan efektif, dan
sinergi dengan kebijakan dan regulasi nasional maupun internasional, sehingga darinya mampu
menghasilkan resiliensi ekonomi maksimal (Kaiser, 2010; Sadeghi, 2008).
30 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Setelah ditemukan konsep rekayasa model pengelolaan hutan dan lahan optimal DAS-Hulu
berbasis ekosistem melalui metode kolaborasi LGP-AHP, tahap selanjutnya adalah mengkaji valuasi
ekonomi beberapa alternatif pola pengelolaan dimaksud. Sasaran strategi peningkatan resiliensi
ekonomi yang dimaksud dalam paper ini, pada prinsipnya adalah mengupayakan kemampuan
masyarakat terhadap kerentanan kawasan yang secara biofisik dinyatakan sebagai lahan marjinal
dengan produktivitas rendah. Resiliensi ekonomi yang dimaksud dalam paper ini adalah rekayasa
perubahan pola usahatani (DAS-Hulu) melalui model optimalisasi hutan dan lahan berbasis
ekosistem. Output rekayasa adalah peningkatan pendapatan usaha, sebagai outcome adalah
mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat karena secara riil diduga mampu memberikan
kontribusi yang meningkat bagi masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat harus dikondisikan
agar memiliki resiliensi terhadap kondisi buruk sehingga mampu beradaptasi secara mandiri dan
reaktif. Strategi peningkatan resiliensi tersebut di atas diarahkan untuk fokus pada simpul-simpul
kritis sebagai kendala dalam rangka meningkatkan kontribusi ekonomi, terhadap perekonomian
masyarakat secara agregat berbasis sumber daya hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Allegria, P.R.L & Christian, V.C.2006. A multi objective programming approach for optimal
management of the Rio Caomillas Watershed in north-central Puerto Rico, Moyaquez, Puerto
Rico.
Approach to Environmental Land Use Management”, Geographical Analysis, Vol.7, No.2 (1975), pp.
121-130.
Buongiorno, j., dan Gilles, J.K.2003. Decision Methods for Forest Resources Management
AcademicPress, California, 439 hal.
Charnes, A., Haynes, K.E., Hazleton, J.E and Ryan, M.J., ”A Hierarchical Goal-Programming
Darusman, D., 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor dan The Ford Foundation, Bogor.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 31
KOMISI A
Darnhofer, I., Fairweather, J., & Moller, H. 2008. Farm Resilience for Sustainable Food Production :
A conceptual framework.Vienna : University of Natural Resource and Applied Life Sciences.
Dewes, Alison., Bolt, J,.Mudge, R., Bunyard, A., Barber, B., and Edlin, J. 2013. Farming for Economic
Resilience and Environmental Performance : Tomorrows Farms Today 2010-2013.
www.massey.ac.nz/flrc/workshops/14/Manuscripts/Paper_Dewes_2014.pdf. Diunggah
tanggal 22 Agustus 2014.
Hendarto, K.A. 2008. Optimalisasi Alokasi Penggunaan Lahan di Sub DAS Ambang : Pendekatan
Analitikal Hirarki Proses & Goal Programming. Jurnal Manajemen Hutan (JMHT), Vol.XIV :
9-18 Bogor.
Ignizio, J.P. 1976. Goal Programming and Extensions. Health, Lexington, Massachusetts.
Kaiser, H.M., K.D. Messer. 2010. Mathematical Programming for Agricultural, Environmental
Leeuwen, VM., Rense, M., Jimenez, A., Eijk, vP., 2013. Integrating ecosystem resilience
practice : Criteria foe Ecosystem-Smart Disaster Risk Reduction and Climate Change
Messer, K.D. & Allen, W. 2010. Applying optimization and the Analytic Hierarchy Process to Enhance
agricultural preservation strategies in the state of Delaware. Agricultural and Resource
Economics Review, 39.
Sadeghi SHR., Jalili K. 2008. Land use optimization in watershed scale, Land Use Policy 2008.
32 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
ABSTRAK
Hasil penelitian menemukan bahwa eskalasi konflik mulai meningkat setelah wilayah Dusun
Tallasa ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung karena masyarakat
merasa aktivitasnya dalam kawasan hutan semakin terbatas. Substansi konflik di Zona Khusus Tallasa
adalah klaim masyarakat terhadap lahan seluas 298,45 Ha yang berada di kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sebagai lahan miliknya dan penolakan masyarakat terhadap penetapan
Zona Khusus Tallasa serta menuntut dilakukan Enclave. Situasi pengelolaan aren mengalami banyak
perubahan setelah adanya larangan mengambil kayu dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung yang merupakan bahan bakar utama pembuatan gula rren. Dampaknya, sebagian besar
masyarakat telah beralih dari membuat gula aren menjadi pembuat tuak yang akan mengakibatkan
penurunan produksi gula aren yang ada di Zona Khusus Tallasa. Faktor penghambat pembuatan gula
aren adalah adanya regulasi atau larangan mengambil kayu bakar, ketersediaan kayu bakar yang
terbatas, proses produksi yang sulit dan memerlukan waktu yang lama, minimnya pengetahuan
masyarakat dalam budidaya tanaman aren, tidak adanya kelembagaan kelompok pengelola aren, dan
harga pasar gula aren yang rendah.
PENDAHULUAN
Masyarakat Dusun Tallasa yang berada dalam Zona Khusus Tallasa (ZK Tallasa) Taman
Nasional Bantingmurung Bulusaraung telah memanfaatkan pohon aren untuk menghasilkan gula
merah (gula aren) dan sebagian menghasilkan minuman khas setempat berupa yang disebut ballo
(tuak). Masyarakat Dusun Tallasa sudah lama menekuni kegiatan pembuatan gula merah yang
dibuat dari nira pohon aren. Bahkan Dusun ini dikenal sebagai sentra gula aren Sulawesi Selatan.
Pengelolaan hutan aren oleh masyarakat di Dusun Tallasa telah menjadi tradisi turun-temurun dan
telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
1 Sebagian dari Penelitian Hibah Kompetensi Berbasis Laboratorium dengan Judul Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Aren
Rakyat Pada Zona Khusus Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Yang Berba-
sis Konservasi
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 33
KOMISI A
Pontensi areal Aren pada areal ZK Tallasa sebanyak 49 petak, dengan luas 50,85 Ha
(Adrayanti, 2011). Luas rata-rata luas petak pemanfaatan masyarakat sekitar 1,03 Ha per
petak, pada umumnya lokasinya berdekatan dengan hutan alam dan sebagian berada di dekat areal
persawahan. Pemanfaatan nira aren merupakan hasil hutan yang dominan dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai sumber pendapatan karena modal yang dibutuhkan sedikit dan potensi pohon
aren masih cukup tersedia.
Menurut masyarakat sejak Dusun Tallasa ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, maka pengawasan aparat kehutanan terhadap kawasan hutan semakin
meningkat sehingga dirasakan semakin membatasi aktifitas masyarakat dalam pemanfaatan
dan penggunaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Situasi konflik ini semakin meningkat sejak adanya larangan bagi masyarakat untuk mengambil
kayu dalam kawasan TN Babul. Situasi ini semakin memicu terjadinya konflik karena masyarakat
pembuat gula aren membutuhkan kayu bakar untuk pembuatan gula aren yang umumnya diambil
dari kawasan hutan.
Berdasarkan situasi tersebut di atas, maka diperlukan penelitian untuk mengetahui situasi
pengelolaan hutan aren rakyat pada zona khusus tallasa taman nasional bantimurung bulusaraung.
hasil penelitian ini diperlukan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Kementerian
Kehutanan dalam merumuskan bentuk implementasi pengelolaan Zona Khusus Tallasa Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan di areal Zona Khusus Tallasa Taman Nasional Babul.
Penelitian ini akan dilaksanakan selama enam (6) bulan, mulai bulan April sampai Oktober 2014.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi, survei, wawancara, dan diskusi dengan
tokoh masyarakat setempat dan pihak TN Babul. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui
analisis dokumentasi berupa laporan, dokumen, rencana pengelolaan TN Babul dan peraturan
perundang-undangan yang terkait. Data primer dan sekunder yang terkumpul kemudian dianalisis
dengan menggunakan analisis situasi untuk mengenali masalah aktual dan memetakan situasi
terakhir pengelolaan aren di Zona Khusus Tallasa.
34 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Penataan batas hutan di wilayah ini dilaksanakan pada tahun 1933 dengan peta dan berita acara
tertanggal 5 Mei 1933 yang ditandatangi oleh J. Koster (Controleur van Maros), Andi Palinroengi
(KraEng van Tjenrana), Moesa Daeng Sitoedjoe (Aroe van Laija), Amiroeddin Daeng Pasolong (KraEng
van Simbang), Abdoellah Daeng Matoetoe (KraEng van Tanralili), dan L. Gonggrijp (Opperhoutvester),
serta diketahui oleh De Assistant-Resident van Makassar dan disetujui oleh De Assistant-Resident
De Gouverneur van Celebes en Onderhoorigheden. Berdasarkan Peta Topografi 1946 (US Army),
sudah menggambarkan keberadaan Dusun Tallasa (Kampung Samalenreng, Kampung Sarrea, dan
Kampung Seleng) meskipun belum seluas wilayah yang saat ini telah terokupasi (Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, 2013).
Substansi Konflik
Meskipun Dusun Tallasa sebelum ditetapkan menjadi kawasan TN Babul sudah berstatus
merupakan kawasan hutan lindung, namun eskalasi konfliknya muncul kepermukaan setelah
ditetapkan menjadi kawasan TN Babul. Hal ini disebabkan karena setelah ditetapkan menjadi
kawasan TN Babul yang statusnya meningkat menjadi kawasan konservasi maka terjadi peningkatan
kegiatan pengelolaan, pemantauan dan pengawasan oleh aparat TN Babul. Kondisi inilah yang
menyebabkan terjadinya keresahan dan kekuatiran masyarakat karena merasa aktivitasnya dalam
kawasan hutan semakin terbatas. Kondisi ini tidak mereka rasakan pada saat kawasan hutan tersebut
masih berstatus.
Masyarakat Dusun Tallasa mengklaim kawasan hutan TN Babul tersebut sebagai lahan milik
mereka dan menuntut dilakukan Enclave (dikeluarkan dari status kawasan hutan). Tuntutan tersebut
telah disampaikan sejak awal penunjukan TN Bantimurung Bulusaraung pada tahun 2004 dan secara
formal tuntutan tersebut tercantum dalam Berita Acara Konsultasi Publik Rancangan Zonasi di
Kecamatan Simbang pada tanggal 8 Desember 2010. Pihak yang terlibat konflik adalah masyarakat
Dusun Tallasa Desa Samangki dengan pihak Balai TN Bantimurung Bulusaraung Kementerian
Kehutanan.
Klaim lahan yang dituntut oleh masyarakat Dusun Tallasa seluas 298,45 Ha, yang terdiri dari
lahan perkebunan dan pemukiman seluas 272,29 Ha dan lahan persawahan seluas 26,16 Ha. Bukti-
bukti kepemilikan lahan yang diklaim oleh masyarakat Dusun Tallasa adalah sertifikat 1 berkas,
Rinci 114 berkas, dan SPPT/P2. Berdasarkan hasil zonasi dengan menggunakan analisa spasial
dengan Citra Satelit Quickbird September 2008 diketahui bahwa luas area konflik di ZK Tallasa seluas
1.071,15 Ha. Wilayah tersebut terdiri atas lahan persawahan, lahan perkebunan, lahan pemukiman
dan fasilitas umum, lahan budidaya tanaman keras, lahan bersemak yang terlantar, lahan-lahan
dengan singkapan batuan karst massif namun tidak begitu luas, serta lahan-lahan berhutan yang
telah terfragmentasi menjadi kepingan-kepingan kecil lahan bervegetasi pohon (Balai TN Babul,
2013).
Masyarakat Dusun Tallasa telah lama memanfaatkan pohon aren sebagai salah satu sumber
pendapatan mereka dengan membuat gula aren, kolang kaling dan tuak. Pengolahan hasil penyadapan
nira aren untuk kemudian diolah menjadi gula merah telah menjadi kebiasaan masyarakat Dusun
Tallasa. Sampai saat ini tingkat ketergantungan masyarakat dusun Tallasa terhadap pemanfaatan
pohon aren masih tinggi. Hasil penjualan produk berupa gula aren atau tuak masih merupakan
sumber pendapatan masyarakat Dusun Tallasa.
Situasi pengelolaan aren mengalami banyak perubahan setelah adanya larangan mengambil
kayu dalam kawasan TN Babul yang merupakan bahan bakar utama pembuatan gula Aren. Situasi
ini berdampak langsung terhadap kegiatan pembuatan gula aren, saat ini sebagian besar masyarakat
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 35
KOMISI A
telah beralih dari membuat gula aren menjadi pembuat tuak. Hasil observasi lapangan dan wawancara
mendalam dengan Bapak Yusuf (Kepala Dusun Tallasa), diketahui bahwa jumlah masyarakat yang
saat ini menjadi pembuat gula aren hanya tersisa 7 orang yaitu Dg. Ramma, Dg. Kadir, Dg. Sangkala,
Dg. Pudding, Dg. Baco, Dg. Salang, dan Dg. Daling. Apalagi pembuatan tuak jauh lebih mudah dan
cepat prosesnya dibandingkan pembuatan gula merah yang membutuhkan waktu yang lama.
Hasil observasi lapangan dan wawancara dengan masyarakat menunjukkan menemukan
informasi bahwa potensi dan sebaran pohon aren sangat potensil di Dusun Tallasa. Berdasarkan
hasil analisis spasial menunjukkan jumlah pohon aren di Dusun Tallasa sebanyak 1.500 pohon yang
tersebar secara mengelompok dalam wilayah Dusun Tallasa. Rata-rata luas lahan aren yang dimiliki
masyarakat antara 0,5 ha sampai 2 ha per kepala keluarga, dengan jumlah pohon aren yang dimiliki
atau tumbuh di kebunnya berkisar antara 30 pohon sampai 200 pohon. Namun jumlah pohon
yang tumbuh dikebun mereka tidak semuanya produktif untuk disadap. Berdasarkan kemampuan
memproduksi nira, pohon aren dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pohon aren yang sudah siap
disadap, pohon aren yang belum bisa disadap, dan pohon aren yang sudah tua dan tidak produktif lagi
atau sudah mati.
Hutan aren yang dimanfaatkan masyarakat umumnya adalah hutan aren yang tumbuh
dengan alami tanpa proses pemeliharaan dari masyarakat. Bentuk pemeliharaan yang dilakukan
masyarakat hanya sebatas membersihkan tumbuhan bawah sekitar pohon aren atau hanya
melakukan pembersihan pada setiap pohon aren yang dililit tumbuhan pengganngu karena dapat
mempengaruhi produksi nira aren. Masyarakat belum melakukan kegiatan penanaman aren, mereka
hanya mengharapkan pohon aren yang tumbuh secara alami. Meskipun pengamatan lapangan
menunjukkan banyaknya pohon aren yang mati, namun masyarakat belum memiliki rencana untuk
melakukan penanaman aren. Masyarakat sepenuhnya masih mengharapkan pertumbuhan aren
secara alami tanpa upaya pemeliharan.
Pohon aren tumbuh menyebar dalam wilayah Dusun Tallasa, jarak antara lokasi pohon
aren dengan rumah masyarakat bervariasi jaraknya. Beberapa masyarakat memiliki hutan aren
yang berada disekitar rumah tempat tinggalnya, namun sebagian lagi memiliki lokasi pohon aren
yang sangat jauh jaraknya dari rumahnya. Salah satu lokasi memiliki potensi aren di Dusun Tallasa
dengan akses yang sulit adalah Kampung Salokkoro. Letak kampung ini sangat jauh dan berbatasan
langsung dengan hutan pinus, sehingga kampung ini jauh tertinggal dari segi pendidikan dan ekonomi
masyarakatnya.
Situasi masalah pengelolaan aren yang ditemukan dilapangan adalah belum adanya
kelembagaan (aturan main dan kelompok) pengelola aren. Kondisi menyebabkan masyarakat
tidak memiliki daya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Kondisi inilah
yang menyebabkan masyarakat pengelola aren sangat terbatas untuk memperoleh akses berupa
program pemberdayaan dan program fasilitasi dari pemerintah atau pihak terkait lainnya. Termasuk
ketidakmampuan mereka dalam menentukan harga jual gula merah hasil produksinya karena tidak
adanya lembaga yang memayungi mereka. Kondisi terbukti berdasarkan hasil wawancara dengan
masyarakat yang menyatakan bahwa mereka belum pernah tersentuh dari program pemerintah
berupa pembinaan ataupun kegiatan pemberdayaan lainnya dari pihak pemerintah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Eskalasi konflik mulai meningkat setelah wilayah Dusun Tallasa ditetapkan menjadi kawasan
TN Babul karena masyarakat merasa aktivitasnya dalam kawasan hutan semakin terbatas.
Substansi konflik di Zona Khusus Tallasa adalah klaim masyarakat terhadap lahan seluas 298,45
Ha yang berada di kawasan TN Babul sebagai lahan miliknya dan penolakan masyarakat terhadap
penetapan Zona Khusus Tallasa serta menuntut dilakukan Enclave.
36 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
2. Situasi pengelolaan aren mengalami banyak perubahan setelah adanya larangan mengambil kayu
dalam kawasan TN Babul yang merupakan bahan bakar utama pembuatan gula rren. Dampaknya,
sebagian besar masyarakat telah beralih dari membuat gula aren menjadi pembuat tuak yang
akan mengakibatkan penurunan produksi gula aren yang ada di Zona Khusus Tallasa.
3. Faktor penghambat pembuatan gula aren adalah adanya regulasi atau larangan mengambil kayu
bakar, ketersediaan kayu bakar yang terbatas, proses produksi yang sulit dan memerlukan waktu
yang lama, minimnya pengetahuan masyarakat dalam budidaya tanaman aren, tidak adanya
kelembagaan kelompok pengelola aren, dan harga pasar gula aren yang rendah.
4. Hambatan utama dalam penyelesaian permasalahn sosial ekonomi masyarakat adalah belum
adanya kesepahaman persepsi, konsepsi dan langkah antar masyarakat dan pengelola TN Babul,
serta pemerintah daerah.
REKOMENDASI
Perlunya segera membangun kesepahaman antara masyarakat Dusun Tallasa dan pengelola
TN Babul dalam merumuskan bentuk desain pengelolaan dan pemanfaatan hutan aren yang optimal
secara ekonomi dan konservasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adrayanti, S. 2011. Strategi Optimasi Kolaborasi Pengelolaan Zona Khusus Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung. Tesis Pasca Sarjana Unhas.
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2012. Zonasi Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2013. Identifikasi Dan Inventarisasi Permasalahan
Tenurial Kawasan Hutan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.Desa Samangki,
Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros.
Yusran. 2010. Pendekatan kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung:
Strategi menyatukan Kepentingan Ekologi dan Sosial Ekonomi Masyarakat. The Center for
People and Forest (RECOFTC). ISSN 2085-9392 (Opinion Brief). Makassar.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 37
KOMISI A
ABSTRAK
Kondisi sumberdaya hutan di Indonesia, dan khususnya di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan,
dari tahun ke tahun, semakin memprihatinkan. Data terakhir menunjukkan bahwa laju degradasi
hutan secara nasional mencapai 1,8 juta ha per tahun dan khusus di Sulawesi Selatan mencapai 6.300
ha per tahun. Upaya rehabilitasi hutan yang terus digalakkan, dengan kucuran dana yang meningkat
secara signifikan setiap tahunnya tidak dapat mengimbangi laju degradasi termaksud.
Bertolak dari uraian di atas, maka diperlukan suatu telaahan terhadap faktor-faktor yang
selama ini menjadi penghambat bagi upaya pembangunan KPH, khususnya di Sulawesi Selatan.
Untuk itu, telah dilakukan penelusuran terhadap data dan informasi tentang kondisi perkembangan
pembangunan KPH, serta data dan informasi pendukung lainnya mengenai potensi sumberdaya
kehutanan yang ada di Sulawesi Selatan.
Hasil telaahan menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menjadi penghambat utama bagi
pembangunan KPH di Sulawesi Selatan adalah keberadaan KPH yang umumnya (delapan diantara 10
unit) merupakan KPH lintas kabupaten, yang pengelolaannya harus berada pada tingkat provinsi.
Pemerintah provinsi terkesan terbeban untuk sekaligus membangun delapan unit KPH lintas
kabupaten, yang diawali dengan pembentukan kelembagaan dari kedelapan KPH termaksud, dalam
bentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) ataupun Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Sementara pada pihak lain, potensi sumber daya manusia kehutanan yang ada di Sulawesi
Selatan, mengindikasikan bahwa pembangunan KPH di wilayah ini, sejatinya dapat dipacu melalui
optimalisasi pendayagunaan potensi sumberdaya manusia yang saat ini sudah tersedia, baik pada
tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten. Potensi sumberdaya manusia yang ada tergolong
cukup, terutama dalam hal kuantitas, yang diperlukan hanyalah realokasi sebagian tenaga yang
selama ini bertumpuk mengurusi administrasi menjadi tenaga lapangan atau pelaksana operasional
KPH, yang kemudian diikuti dengan kegiatan pelatihan dan pendampingan, paling pada tahap awal.
Kata Kunci : Kesatuan Pengelolaan Hutan, Potensi Sumberdaya Kehutanan, Strategi Percepatan
Pembangunan, Kelembagaan KPH.
1
Staf Pengajar Universitas Hasanuddin Makassar
2
Staf Balai Latihan Kehutanan Makassar
38 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
PENDAHULUAN
Selama ini, kita selalu bangga karena memiliki kawasan hutan yang cukup luas dengan
potensi ekonomi yang cukup beragam. Namun suatu pertanyaan yang patut direnungkan, khususnya
bagi kita yang berpredikat rimbawan adalah masih patutkah kita berbangga dengan kondisi hutan,
yang dari tahun ke tahun, semakin terdegradasi dan semakin memprihatinkan. Data terakhir
menunjukkan bahwa laju degradasi hutan secara nasional mencapai 1,8 juta ha per tahun dan khusus
di Sulawesi Selatan laju degradasi mencapai 6.300 ha per tahun. Pada pihak lain, proyek-proyek
reboisasi dan rehabilitasi hutan setiap tahunnya menghabiskan jumlah dana yang tidak sedikit dan
bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa
tingkat keberhasilan proyek-proyek tersebut cenderung tidak bermakna bila dibandingkan dengan
laju degradasi hutan yang terjadi.
Khusus untuk Sulawesi Selatan, pembahasan mengenai pembentukan KPH telah dimulai
sejak tahun 2008 dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 88 Tahun 2011, tetah
ditetapkan 10 unit KPH di wilayah ini, dimana delapan diantaranya merupakan KPH lintas wilayah
kabupaten (kewenangan pengelolaannya berada pada pemerintah provinsi atau gubernur), dan hanya
dua unit yang wilayahnya berada dalam satu wilayah kabupaten (kewenangaan pengelolaannya
berada pada pemerintah kabupaten atau bupati). Jadi proses penyusunan Rancang Bangun KPH
sampai pada penetapannya menghabiskan waktu selama tiga tahun. Selanjutnya, selama kurun
waktu tiga tahun berikutnya (sejak penetapan kesepuluh KPH sampai saat ini), KPH yang sudah
beraktivitas dan sudah memiliki kelembagaan masih sangat terbatas atau tepatnya dua unit saja,
yaitu KPH Larona-Malili dan KPH Jeneberang, ditambah satu unit “KPH khusus” (KPH Sutera), dan
yang semula tidak tercakup dalam 10 unit KPH berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 88 Tahun 2011, serta dua unit KPH Konservasi (KPH Konservasi Faruhumpunai dan KPH
Konservasi Bantimurung-Bulusaraung), yang pengelolaannya merupakan kewenangan pusat.
Bertolak dari uraian di atas, maka diperlukan suatu telaahan terhadap faktor-faktor yang
menjadi penghambat bagi tindak lanjut pembangunan KPH. Tulisan ini dilandasi dengan hasil
penelusuran dan penelahaan terhadap kondisi perkembangan pembangunan KPH, beserta data
dan informasi pendukung mengenai potensi sumberdaya kehutanan yang ada di Sulawesi Selatan.
Selanjutnya, berdasarkan hasil penelusuran dan penelahaan termaksud dicoba untuk merumuskan
strategi yang dapat ditempuh guna mendukung percepatan upaya pembangunan kembali KPH di
Sulawesi Selatan.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 39
KOMISI A
Dalam Rancang Bangun KPH di Wilayah Sulawesi Selatan, disebutkan bahwa pengwilayahan
pengelolaan hutan dibuat berbasis Daerah Aliran Sungai (Dinas Kehutanan, 2010), dimana batas-
batas wilayah KPH umumnya mengikuti batas wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai). DAS yang
dimaksudkan disini adalah DAS Meso (gabungan dari beberapa DAS Mikro), yang didasari dengan
pertimbangan bahwa sudah ada rujukan tentang pengwilayahan pengelolaan hutan yang membagi
kawasan hutan di Sulawesi Selatan atas tiga wilayah DAS Makro (DAS Jeneberang, DAS Bila-
Walanae dan DAS Saddang). Sementara itu, penataan hutan Sulawesi Selatan berbasis DAS Mikro
menghasilkan 22 satuan wilayah pengelolaan hutan, dimana 15 unit diantaranya merupakan KPH
lintas wilayah kabupaten, sehingga pengelolaannya membutuhkan 15 UPTD atupun SKPD sektor
kehutanan pada tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Penetapan KPH berbasis DAS Meso yang hanya
menghasilkan 10 unit KPH dimana delapan unit diantaranya merupakan KPH lintas provinsi dinilai
lebih rasional atau lebih mungkin ditindaklanjuti. Adapun kesepuluh KPH yang dimaksudkan adalah
seperti yang tertera pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa KPH Jeneberang, dan KPH Walanae tercatat sebagai KPH
Produksi. Namun patut dicatat bahwa luas hutan lindung pada kedua unit KPH ini tergolong cukup
luas, yaitu masing-masing seluas 70.239 ha dan 55.615 ha, dimana bagian-bagian ini harus dikelola
secara optimum untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian ekosistem DAS. Untuk KPH Selayar
yang juga merupakan KPH Produksi, luas kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindungnya
relatif berimbang yaitu masing-masing seluas 8.506 ha (43,15%), dan 7.735 ha (39,24%), sementara
sisanya 3.387 ha (17,18%) merupakan kawasan hutan konservasi. Kawasan hutan lindung dalam
KPH Produksi ini harus tetap dikelola agar dapat berfungsi secara optimal. Dengan kata lain,
pengelolaan semua KPH yang ada di Sulawesi Selatan harus tetap memberi perhatian serius pada
fungsi lindung dari kawasan hutan, baik untuk KPH yang berlabel KPH Produksi, dan terlebih untuk
KPH yang memang berlabel KPH Lindung. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa semua KPH di luar ketiga
KPH yang telah disebutkan di atas merupakan KPH Lindung.
40 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari pihak pengelola KPH adalah kondisi kawasan
di wilayah Sulawesi Selatan yang sebagian besar sudah terdegradasi, yang diindikasikan oleh tipe
penutupan berupa hutan sekunder ataupun semak belukar dan areal terbuka, dengan porsi 73,57%
dari total luas kawasan. Pada pihak lain, porsi wilayah hutan yang masih berpenutupan hutan primer
hanya sebesar 8,27%. Patut diduga bahwa bagian kawasan yang termaksud terakhir ini adalah bagian
yang berada pada lokasi-lokasi yang memiliki kemiringan lereng yang curam atau terjal dan memang
sulit untuk diakses. Dengan kata lain, kondisi fisik dari bagian-bagian ini memang menuntut untuk
tetap dipertahankan atau diamankan sebagai kawasan lindung mutlak. Perincian luas kawasan hutan
dalam setiap KPH menurut kondisi penutupannya, dapat dilihat pada Tabel 2.
Jika bagian kawasan hutan yang memiliki tipe penutupan “Lainnya” (lihat Tabel 2) tidak
diperhitungkan karena bagian termaksud memang kemungkinan besar tidak bisa dihutankan,
seperti bagian yang berupa danau dan sungai, maka bagian kawasan hutan yang berpenutupan hutan
sekunder beserta semak belukar dan areal terbuka (bagian yang dapat dan bahkan harus dibangun
agar dapat kembali berfungsi efektif sebagai kawasan hutan) akan menempati porsi yang lebih besar
lagi, yakni sebesar 89,90% atau tepatnya 1.521.639 ha dari total luas sebesar 1.692.619 ha. Angka
ini mengindikasikan tentang dibutukannya jangka waktu yang cukup lama dan jumlah dana yang
cukup besar untuk pembangunan kembali sumberdaya hutan dalam wilayah KPH yang ada melalui
program reboisasi dan rehabilitasi.
Angka-angka di atas mengindikasikan bahwa tugas utama para pengelola KPH di Sulawesi
Selatan adalah melakukan reboisasi dan rehabilitasi kawasan hutan. Kondisi demikian ini sekaligus
merupakan gambaran bahwa semua KPH yang ada di Sulawesi Selatan dapat disebut sebagai “KPH
Rehabilitasi”. KPH-KPH ini memerlukan talangan dana dari pihak luar, khususnya melalui APBN, DAK
ataupun skema-skema pendanaan lainnya, untuk jangka waktu yang cukup lama sebelum mampu
melaksanakan pengelolaan hutan secara mandiri. Kondisi ini pulalah yang menuntut dilakukannya
efisiensi dan efektivitas alokasi pendanaan berdasarkan skala prioritas, yang perwujudannya akan
lebih memungkinkan jika jumlah KPH-nya lebih sedikit (penataan berbasis DAS Meso) dari pada
jika jumlah KPH-nya lebih banyak (penataan berbasis DAS Mikro).
Semak-Be-
Hutan Hutan
No. Nama KPH lukar & Areal Lainnya Jumlah Luas
Sekunder Primer
Terbuka
1. KPHL Bila 10.028,0 51.469,9 2.876,8 20.052,9 84.427,6
2. KPHP Jeneberang 48.747, 3 76.986,0 - 69.306,4 195.039,7
3. KPHL Kalaena 9.399,1 112.385,1 11.256,9 20.093,2 153.134,3
4. KPHL Noling-Gilereng 24.364,5 96.785,4 - 23.033,2 144.183,1
5. KPHL Larona-Malili 11.319,8 198.039,6 24.157,0 111.132,3 344.648,7
6. KPHL Maros-Sawitto 54.071,9 61.615,4 - 24.416,1 140.103,5
7. KPHL Rongkong 18.618,2 382.000,3 116.711,1 29.982,8 547.312,3
8. KPHL Saddang 93.236,5 142.328,9 10.402,8 31.528,6 277.496,8
9. KPHP Selayar 1.448,2 8.130,9 5.575,3 4.559,5 19.713,9
10. KPHP Walanae 40.753,0 79.911,0 - 41.466,3 162.130,3
311.986,5 1.209.652,5 170.979,9 375.571,3 2.068.190,2
Wilayah Sulsel
(15,09%) (58,49%) (8,27%) (18,16%) (100,0%)
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2010
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 41
KOMISI A
Luas Jumlah
Ratio KH/
No. Kabupaten Instansi Pengelola Hutan Kawasan Personil
SDM
Hutan (KH) (SDM)
1 Bantaeng Dinas Kehutanan 6.718,5 52 129
2 Barru Dinas Kehutanan 69.378,7 43 1.613
3 Bone Dinas Kehutanan dan Perkebunan 147.678,0 14 10.548
4 Bulukumba Dinas Kehutanan dan Perkebunan 13.976,0 19 736
5 Enrekang Dinas Kehutanan 90.847,7 30 3.028
6 Gowa Dinas Kehutanan dan Perkebunan 78.558,7 54 1.455
7 Jeneponto Dinas Kehutanan dan Perkebunan 10.729,2 27 397
8 Luwu Dinas Kehutanan dan Perkebunan 112.397,8 12 9.366
9 Luwu Timur Dinas Kehutanan 473.486,8 39 12.141
10 Luwu Utara Dinas Kehutanan dan Perkebunan 530.474,3 74 7.169
11 Maros Dinas Kehutanan dan Perkebunan 42.767,5 84 509
12 Palopo Dinas Kehutanan dan Perkebunan 10.043,6 8 1.255
13 Pangkep Dinas Kehutanan dan Perkebunan 17.252,9 45 383
14 Parepare Dinas PSDA Kota Pare-Pare 2.388,5 11 217
15 Pinrang Dinas Kehutanan dan Perkebunan 73.939,5 24 3.081
16 Selayar Dinas Kehutanan dan Perkebunan 16.320,5 12 1.360
17 Sidrap Dinas Kehutanan, Pertambangan dan 44.730,8 33 1.355
Lingkungan Hidup
18 Sinjai Dinas Kehutanan dan Perkebunan 53.631,1 55 975
19 Soppeng Dinas Kehutanan dan Perkebunan 50.570,7 17 2.975
20 Takalar Dinas Pertanian dan Kehutanan 8.872,8 32 277
21 Tana Toraja Dinas Kehutanan dan Perkebunan 112.830,4 25 4.513
22 Toraja Utara Dinas Kehutanan dan Perkebunan 52.257,4 23 2.272
23 Wajo Dinas Kehutanan dan Perkebunan 48.338,8 48 1.007
188 11.001
Sulawesi Selatan Dinas Kehutanan 2.068.190,2
969x) 2.134+)
Sumber : Statistik Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, serta Statistik Kehutanan Kabupaten dan Lakip Dinas yang
mengurusi bidang kehutanan tingkat kabupaten dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan, 2013.
Keterangan : *) Sektor kehutanan diurus oleh Dinas Kehutanan, berbeda dari kabupaten lain dimana sektor
kehutanan tergabung dengan sektor lain dalam satu dinas
+) Rasio berbasis pada jumlah SDMx) yang ada pada tingkat provinsi dan semua kabupaten dalam
lingkup Provinsi Sulawesi Selatan.
42 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Tabel 3 memperlihatkan bahwa Kabupaten Luwu Timur, secara relatif, memiliki personil
kehutanan yang jumlahnya terbatas bila dibandingkan dengan luas kawasan hutannya, dimana
setiap personil secara rata-rata mengurusi 12.141 ha kawasan hutan, kemudian pada urutan kedua
dan ketiga secara berturut-turut menyusul Kabupaten Bone (10.548 ha per personil) dan Kabupaten
Luwu (9.366 ha per personil). Sebaliknya, Kabupaten Bantaeng merupakan wilayah dengan personil
yang jumlahnya tergolong cukup memadai, dimana setiap personil secara rata-rata mengurusi 129 ha
kawasan hutan, kemudian pada urutan kedua dan ketiga secara berturut-turut menyusul Kabupaten
Parepare (217 ha per personil) dan Kabupaten Takalar (277 ha per personil). Angka-angka yang
tersebut terakhir ini dapat menjadi indikasi bahwa pemerintah daerah yang bersangkutan, cukup
memberi perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya hutannya.
Terkait dengan potensi sumberdaya manusia pada tingkat provinsi, dapat dikatakan bahwa
setiap personil pada Dinas Kehutanan Provinsi secara rata-rata mendukung aktivitas pengelolaan
hutan, yang dilakukan oleh kabupaten, pada areal hutan seluas 11.001 ha. Pada pihak lain, jika
diasumsikan bahwa kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab provinsi dan kabupaten berbeda
atau tidak tumpang tindih satu sama lainnya, maka secara rata-rata setiap personil kehutanan yang
ada di wilayah Sulawesi Selatan bertanggung jawab atas pengelolaan kawasan hutan seluas 2.134 ha
(Rasio SDM dengan luas kawasan hutan di Sulawesi Selatan adalah 1 : 2.134).
Pembangunan hutan berbasis KPH, termasuk di Sulawesi Selatan, nampaknya sudah menjadi
keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi) dituntut untuk
lebih proaktif dan harus melakukan langkah-langkah konkrit untuk menindaklanjuti pembangunan
KPH yang sudah ditetapkan berdasarkaan SK Menteri Kehutanan No. 88 Tahun 2011. Langkah awal
yang dapat dilakukan adalah pembentukan kelembagaan untuk tujuh unit KPH lintas kabupaten,
menyusul pembentukan kelembagaan KPH Jeneberang yang sudah terbentuk lebih duluan. Bentuk
kelembagaan yang paling mungkin dibuat adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).
Tenaga sebanyak 485 orang, atau rata-rata sebanyak 69 orang per KPH untuk 7 KPH, tergolong
cukup memadai dan dapat didayagunakan secara optimal untuk menjadi perencana dan pelaksana
pembangunan KPH, dan sekaligus menjadi penata, fasilitator dan pengawas bagi para pihak ketiga
yang terlibat dalam aktivitas pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Persoalan yang
masih tersisa atau tetap mengundang pertanyaan adalah kompetensi dari para personil termaksud
beserta ketepat-sesuaiannya dengan kebutuhan pembangunan KPH, namun persoalaan ini
diharapkan dapat ditanggulangi melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan, minimal pada tahap
awal.
Hal lain yang nampaknya cukup sulit dan masih potensil menjadi ganjalan adalah belum
terbangunnya kesamaan pendapat dan sikap dari para penentu kebijakan di daerah (para bupati)
yang wilayahnya tercakup dalam wilayah KPH, serta masih menonjolnya egoisme kedaerahan dan
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 43
KOMISI A
Kondisi semua KPH yang pada bagian terdahulu disebut sebagai “KPH Rehabilitasi”,
menuntut agar semua pihak terkait, tidak lagi memikirkan dan atau mengedepankan pertanyaan
tentang “Siapa memperoleh Apa”, melainkan pertanyaan tersebut harus diganti dengan “Siapa
berkontribusi Apa” yang sedapat mungkin juga segera diikuti dengan tindakan nyata. Hanya dengan
pola pikir yang diikuti dengan pola tindak demikian inilah yang dapat menghindarkan sumberdaya
hutan di wilayah ini dari kondisi terdegradasi yang semakin parah. Dalam konteks ini, keberadaan
KPH sejatinya tidak hanya dimaknai sekedar sebagai “Piring” untuk mendapatkan atau menampung
pembagian “Kue Nasional” yang lebih banyak, tetapi benar-benar harus dipahami dan dimaknai
sebagai sarana yang harus didayagunakan untuk membangun kembali hutan secara bersistem dan
terencana, dengan suatu target waktu yang jelas bagi terwujudnya kemandirian KPH dan kembali
berfungsinya sumberdaya hutan sebagai salah satu sumberdaya pembangunan yang vital, penghasil
aneka benda ekonomi dan manfaat untuk mendukung peningkatan pendapatan daerah dan nasional,
serta peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.
Hal yang harus menjadi prioritas dan pusat perhatian semua pihak terkait adalah membangun
kembali hutan, melalui pemanfaatan sumberdaya pembangunan, dan khususnya sumberdaya
pendanaan secara efisien dan efektif melalui skala prioritas, yang ditetapkan berdasarkan peranan
dan atau kontribusi dari hasil-hasil tindakan rehabilitasi yang dilakukan pada masing-masing bagian
tapak dalam wilayah KPH terhadap pemulihan kesehatan dan optimalisasi fungsi ekosistem dari KPH
yang bersangkutan. Pemekaran satu unit KPH tertentu menjadi dua atau lebih KPH baru, nantinya
diharapkan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan berdasarkan batas wilayah DAS Mikro dan atau
batas wilayah administrasi pemerintahan, jika kondisi dan atau potensi dari masing-masing bagian
wilayah yang akan dimekarkan, dinilai sudah mampu secara mandiri mendukung pelaksanaan
pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
PENUTUP
Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu, maka dapat dirumuskan beberapa catatan
penutup terkait dengan upaya dalam rangka percepatan pembangunan KPH di Sulawesi Selatan
sebagai berikut :
1. Menyusul KPH Jeneberang yang sudah memulai aktivitasnya, Pemerintah Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan, dengan dukungan penuh dari para pemerintah kabupaten terkait, perlu sesegera
mungkin memulai aktivitas pembangunan tujuh KPH lainnya yang telah ditetapkan berdasarkan
SK Kemenhut No.88 Tahun 2011. Pembangunan KPH (atau lebih tepatnya : pembangunan
kembali sumberdaya hutan berbasis KPH) yang dimaksudkan harus diawali dengan pembangunan
kelembagaan KPH dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
44 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
3. Sumberdaya manusia kehutanan yang tersedia di Sulawesi Selatan, dari segi kuantitas sudah
tergolong cukup. Sumberdaya manusia termaksud berjumlah 969 orang, dengan rincian 188
orang berada pada dinas kehutanan tingkat provinsi dan 781 orang menyebar pada 23 kabupaten.
Dengan demikian Rasio SDM dengan luas kawasan hutan adalah sebesar 1 : 2.134, yang artinya
satu orang untuk setiap 2.134 ha. Jumlah ini yang perlu direalokasi dari dinas-dinas ke KPH,
dan diikuti dengan upaya peningkatan kompetensi dari sumberdaya manusia yang bersangkutan
melalui pelatihan dan pendampingan
4. Sehubungan dengan hal yang dimaksudkan pada butir 3, perlu dibangun dan ditumbuh-
kembangkan kesamaan pemahaman diantara para pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten-
kabupaten) yang tercakup dalam satu wilayah KPH yang sama, tentang perlunya sinerjitas
dan atau penyatupaduan potensi yang dimiliki oleh masing-masing pihak untuk mendukung
pembangunan kembali sumberdaya hutan berbasis KPH
5. Pemekaran KPH tertentu atas dua atau lebih KPH berbasis DAS Mikro dan atau batas wilayah
administrasi kabupaten nantinya diharapkan dapat dilakukan setelah kondisi dan potensi dari
KPH yang bersangkutan sudah memunginkan atau sudah dapat secara mandiri mendukung
pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, dan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada
talangan dana dari pihak pemerintah pusat dan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar, 2011. Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan
Hutan pada KPH Jeneberang
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2010. Rancang Bangun KPHL dan KPHP di Sulawesi
Selatan
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktorat
Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, 2011. Pembangunan Kesatuan
Pengelolaan hutan (KPH); Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi
Malamassam, D., 2010 s.d. 2014. Bahan-bahan Sosialisasi Pembangunan KPHL dan KPHP di
Sulawesi Selatan.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 45
KOMISI A
ABSTRACT
Global climate change has already had observable effects on the environment. The impacts of
climate change are already being felt not only Indonesia but also in other countries. The main cause of
climate change is the destruction of forest ecosystem. Tropical rain forest is a heart of environment
and have important role for a supplier of oxygen, water infiltration, prevent flooding and provide
economic benefits from non timber forest products, such as honey, rattan, bamboo and ecotourism.
Restoration forest ecosystem based on community is important. This action needs more researchers
on multi discipline such as socio cultural researcher, sylvicultur, non timber forest product, medicinal
plant from forest and forest carbon biomass. Empowerment of forest community capacity to support
the resource management plan for sustainable forest is important. This research will give benefit on
reduce green house effect.
Keywords: forest restoration, community based, empowerment, network research, climate change
INTRODUCTION
Forests and forestry industries have advantages in the creation of foreign exchange, as it has the
following properties:
1. The international price of forest products and other dairy products are relatively the most stable,
with a relatively steady rise, so it can be relied upon in the future.
2. Demand in the countries of the world will be the result of tropical forests continues growing
steadily. In contrast to agricultural products in general tend to saturate, because the number of
competitors from other countries. Trade barriers will be there if we manage forests as well as
possible, in accordance with the principles of sustainability, or in terms of late meet the criteria of
eco-labeling, SVLK and the issue of global warming.
3. Timber trade with other countries is very flexible, both in the form of raw materials, semi-finished
goods or consumer goods, depending on the interests of bilateral relations required.
46 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
FAO (2000) states forestry and wood industrial was excellence in supporting development,
especially in developing countries. Wood is the raw material that is multi-use and is required for
many types of industries; and can be processed in the form of original timber (sawn timber and
plywood); form of flakes and fibers (particle board, paper, etc.); even the form of chemicals (alcohol,
sugar, rayon etc.). Consumption and market forest products is always growing steadily, both in high
-income , middle- , and low, so that prospects and investment in forestry and industrial business
is very good and low risk in the present and in the future (Janwsky and Becker, 2003). Mostly the
products forms of wood industries are a semi-finished goods and raw materials of various kinds of
other industries. It gives a huge economic impact of doubling the area of development. On the other
side is also almost entirely of wood processing using domestic materials , thus giving the double
impact of major economic and foreign exchange saving as much as possible.
The level of technology and human resource capabilities is needed in forestry and industrial
activities can be flexible from the lowest level to high advanced, then it will always be supportive
of development in every stage of its development. The existence of an extensive selection, ranging
from logging and sawmill using a hand axe, to high-tech industries such as paper, rayon, alcohol,
etc. Forestry is spread to remote areas, because of the nature of the production process which should
be close to sources of raw materials, so it can be a nucleus for economic development in the outposts,
which means at the same time distributing development.
Forest in West Kalimantan has a biodiversity of plants, animals and forest products were high.
Wood products have a high economic value, not only for the timber industry, income for government
and also for people surround the forest. Beside wood as a main product, non timber forest product
also gives benefit to community people surround the forest. Non timber forest products are biological
materials such as honey from the bee, rattan, bamboo, medicinal plant and other than timber produced
from forests. This product plays an important role in sustainable forest management. Kilchling et al
2009 stated that in the previous decades, non timber forest products were considered as byproducts;
however, there has been a change of paradigm from timber-based forest management to multi-
function or multi-benefit-based forest management. Chamberlain et al (2002) said some non timber
forest products are a source of income for rural communities. It is also happened in Philippines where
the some forest communities can meet their needs from non timber forest products, such as bamboo
and rattan for souvenir in tourist area (Lacuna-Richman 2003). Tewari (2012) has promoted the non
timber forest products to alleviate poverty and hunger in rural South Africa. The non timber forest
products are a source for food and income to people in rural communities surround the forest.
The product of non timber forest product consist of honey, medicinal plants, rattan, bamboo,
fruit, plant for vegetable and ecosystem services for ecotourism and other. Honey has been used for
sweetener for foods and as a medicine, such as burns and wounds. Honey is effective therapeutic
agents (Kumar et al 2010). Honey from Danau Sentarum National Park in Kapuas Hulu District was
famous and give high benefit on economic value to the people community surround the forest. This
product now is a supplier of honey consumption in foreign country such as United States of America,
Europe and Japan.
Medicinal plants used from West Kalimantan forest were more than 200 species (Diba et al
2013). This plant used to overcome the fever, hypertension, diabetes, and other sickness. Lone et
al (2012) stated that 4 species is used as medicinal plants to overcome fever in Kupwara ethnic in
Kashmir, India. Mirdeilami et al (2011) and Johnsy et al (2013) stated that preparation medicinal
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 47
KOMISI A
plants before consumption are boiling or extracted with water. This is the same methods used for
medicinal plant in West Kalimantan Indonesia. The people surround the forest is used the plant to
heal of the sickness due to the lack of doctor in their area. This knowledge was from the experience and
has passed from one generation to other generation.
West Kalimantan Province have a big natural resources and biodiversity of medicinal plants.
However, the existence of medicinal plants is feared to be lost with the decreasing of forest area. Threats
to medicinal plant diversity by deforestation not only in West Kalimantan, Indonesia. Balick and O
brien (2004) said that in Belize which located in central American country on the Caribbean coast,
south of Mexico and east of Guatemala the annual of deforestation rate was 2.3%. The land clearing
of forest area to be agricultural development made the habitat of medicinal plant damage and the
plant become extinc, such as contribo (Aristolochia tribolata L), greenstick (Eupatorium morifolium
Mill), provision bark (Pachira aquatica Aubl), fig (Ficus radule Wild) and callawalla (Phlebodium
decumanum Willd). Salafsky et al (1993) stated that the greater pressure for alternative land uses
and the relatively poorly developed physical and social infrastructure for extraction in Kalimantan,
may in fact make the opportunity costs of extractive reserves greater than in the Peten, Guatemala.
Rattan and bamboo also used in daily livelihood of people. This material used for furniture,
music instruments, bag, and many others. Rattan is widely used for furniture and tools materials
for cooking, meanwhile bamboo mostly for construction material, for housing and gazebo. Bamboo
will play an important role in the world’s pulp and paper industries. The fiber morphology of bamboo
has average fiber length of 1.5-4.4 mm and fiber width widely ranging between 7-27 µm with an
average of 14 µm. Pungbun Na Ayudhya (2000) stated the potential bamboo for pulp industries is
Sweet Bamboo. Sweet Bamboo is easy to grow and utilize more than the other bamboo species in
Thailand.
The research of bioenergy from renewable resources is rapidly growing. The energy demand
in Indonesia is increase due to a significant growth in population. One of the most prominent is the
development of bioethanol as a result of fermentation of sugar or starch containing materials. Much
kind of plants were transformed to oil, such as biodiesel and bioethanol. Bioethanol can further utilized
as fuel when it is mixed with gasoline. The plants used were Jatropa curcas, palm oil, Calophyllum
inophyllum and other biomass. Bioenergy is the gateway to the new bioeconomy: replacing fossil
energy resources with biomass energy. These derive the energy chemicals and raw materials from
biomass. Haisya (2011) has been research on utilization of siwalan palm sugar for bioethanol
production. The utilization of bioenergy in Indonesia give a benefit such as strengthen supply of fuel
security, renewable resources will support plantation and giving revenue to government.
The other Richness of biodiversity in West Kalimantan forest is ecosystem services. Forest as
a place for ecotourism and healing is grown as a need of human. This situation is happened in every
forest region, not only in tropical rain forest, but also in temperate forest (Secretariat of Convention
on Biological Diversity, 2001). Sheil et al (2002) stated ecotourism give benefit to local people; they
can sell the fruit from forest to the tourist and made souvenir from rattan or bamboo. Tickin (2004)
stated the non timber forest product play an important role on sustainable of local people inside the
forest, and as one of the attractive matter to tourist when they come for an ecotourism’s activities in
the forest.
48 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
and aesthetically impoverished landscapes (Barrow et al, 2002). Rate of deforestation in Indonesia
forest around 0.61 hectare/year. One effort to overcome forest degradation is making plantation
forest. Econ (2002) stated the conventional approaches to plantation forestry are seldom capable of
delivering the multiple values of forest and adequately addressing the needs of all interest groups
(e.g. forest-dependent communities and downstream water users). There is an urgent need to both
improve the quality of forest restoration and rehabilitiation at the site level and to find effective ways
to undertake these activities in the context of broader environmental, social, and economic need and
interest (Hartanto et al 2003).
Local peoples in a forest area is very depends on plants grow on surrounding them for fulfill
daily livelihood such as food, clothing, medicinal, construction material, etc. People knowledge
in forest ecosystem maintenance was passed from generation to generation. Documentation and
conservation of traditional knowledge from the local people is needed as a basic data to restoration
forest ecosystem. Degraded forest in many tropical landscapes is common. Their location near human
settlements and the fact that they are often considered dysfunctional and unproductive means that
these forests tend to be under greater threat than more isolated blocks of intact primary forest
(Kusumanto, 2005). Lamb and Gilmour (2003) stated the complete loss of forests would represent
a further impoverishment of already degraded and modified landscapes and would extinguish any
possibility of improving landscape level functionality in the immediate future.
Maginnis and Jackson (2002) stated forest degradation has two perspectives. From an economic
perspective, the loss of forests would result in the decline of an area’s timber commodity base with
ensuing loss of jobs and livelihoods, while from a conservation perspective it would mean a local,
possibly permanent, loss of forest biodiversity. Mather (2001) stated if restoration forest need the
same commitment and understanding from decision makers, local communities and the private sector.
Case in Thailand showed the restoration based on community is more effective than restoration based
on private sector only (Marghescu (2001). The specific activities of forest restoration could include
one or more of the following acitivities, such as rehabilitation and management of degraded primary
forest, management of secondary forest, restoration of primary forest related functions in degraded
forest lands, promotion of natural regeneration on degraded lands and marginal agricultural sites,
ecological restoration, plantations and planted forest, and agroforestry and other configurations of
on farm trees.
RESEARCH NETWORK
Tanjungpura University has a forest education area / arboretum which manage by Forestry
Faculty. The location of arboretum was inside the campus and total area of arboretum was 3.3
hectare. This area consist of 750 species of tree and used for the students to study on forest ecology,
measurement carbon from biomass, forest inventory, medicinal plant, biodiversity of insect, rattan,
bamboo and others. Beside this area, Forestry Faculty has another two forest education areas. One is
located in Kubu Raya District and one in Landak District. This area offer many field on collaboration
research, such as forest carbon biomass measurement, program of REDD+, inventory the medicinal
plant, measurement and inventory the non timber forest product, calculation the payment of
economic services, ecotourism and other field of research.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 49
KOMISI A
REFERENCES
Balick, MJ, and O’Brien H. 2004. Ethnobotanical and Floristic Research in Belize: Accomplishments,
Challenges and Lesson Learned. Journal Ethnobotany Research & Applications 2:077-088
Barrow E, Timmer D, White S and Maginnis S. 2002. Forest Landscape Restoration: Building Assets
for People and Natura – Experience from East Africa. IUCN. Cambridge. UK
Chamberlain JL, Robert JB, Hammet al, Araman PA. 2002. Managing for Non Timber Forest Products.
Journal of Forestry 100 (1):8-14
Diba F, Yusro F., Mariani Y., Ohtani K., 2013. Inventory and Biodiversity of Medicinal Plants from
Tropical Rain Forest Based on Traditional Knowledge by Ethnic Dayaknese Communities in
West Kalimantan Indonesia. Journal Kuroshio Science. Vol 7 No 1:75-80, October 2013, ISSN
1882-823X
Ecott T. 2002. Forest Landscape Restoration: Working Examples from 5 Ecoregions. WWF
International / Doveton Press. Bristol. UK
Hartanto H, Lorenzo MCB, Valmores C, Arda-Minas L, Burton L and Prabhu R. 2003. Learning
Together: Responding to Change and Complexity to Improve Community Forests in the
Philippines. CIFOR, Bogor, Indonesia
Haisya NBS, Utama BD, Edy RC, Aprilia HM. 2011. The Potential of Developing Siwalan Palm Sugar
(Norassus flabellifer Linn) as One of the Bioethanol Sources to Overcome Energy Crisis Problem
in Indonesia. 2nd International Conference on Environmental Engineering and Applications
IPCBEE Vol 17 Singapore
Janwsky VD, Becker G. 2003. Characteristics and Needs Different User Groups in the Urban Forest of
Stuttgart. Journal for Nature Conservation 11:251-259
Johnsy G., Beena S. and Kaviyarasan V. 2013. Ethno-Botanical Survey of Medicinal Plants Used
for the Treatment of Diarrhea and Dysentery. International Journal of Medicine and Medical
Sciences. 3(1) : 332-338
Kilchling P, Hansmann R, Seeland K. 2009. Demand for Non-Timber Forest Products. Survey of Urban
Consumers and Sellers in Switzerland. Forest Policy and Economic 11:294-300
Kusumanto T, Yuliani L, Macoun P, Indriatmoko Y and Adnan H. 2005. Learning to Adapt: Managing
Forests Together in Indonesia, CIFOR, Bogor, Indonesia
Kumar KPS, Bhowmik D, Chiranjib, Biswajir and Chandira MR. 2010. Medicinal Uses and Health
Benefits of Honey: An Overview. Journal Chemical Pharmacy Res 2(1):385-395 ISSN 0975-
7384
Lacuna-Richman C. 2003. Ethnicity and the Utilization of Non-Wood Forest Products: Finding from
Three Philippine villages. Journal Silva Fennica 37 (1):129-148
Lamb D and Gilmour D. 2003. Rehabilitation and Restoration of Degraded Forest. IUCN. UK. x+110 pp
Lone FA, Lone S, Aziz MA, and Malla FA, 2012. Ethnobotanical Studies in the Tribal Areas of District
Kupwara, Kashmir, India. Internasional Journal of Pharma and Bio Sciences 3(4): (B) 399-411
Maginnis S and Jackson W. 2002. Restoring Forest Landscapes. ITTO Tropical Forest Update
12(4):9-11
50 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
Marghescu T. 2001. Restoration of Degraded Forest Land in Thailand: the Case of Khao Ko. Unasylva
207 Vol 52. FAO. Rome. Italy
Mather A. 2001. The Transition from Deforestation to Reforestation in Europe. In A Angelsen and
D Kaimoitz (eds). Agricultural Technologies and Tropical Deforestation. Wallingford:CAB
International, pp 35-52
Mirdeilami, SZ., Barani H., Mazandarani M., and Heshmati GA. 2011. Ethnopharmacolo gical
Survey of Medicinal Plants in Maraveh Tappeh Region, North of Iran. Iranian Journal of Plant
Physiology 2(1) : 327-338
Pungbun Na Ayudhya P. 2000. Bamboo Resources and Utilization in Thailand, pp 6-12. In Puangchit L,
Thaiutsa B and Thamincha S (eds), Bamboo 2000 Proceedings of the International Symposium.
Royal Project Foundation. Asksorn Siam Printing. Bangkok
Sardana A, Hernawati J, Dharma N.G.G.Y, Nugroho A.E and Aliyah N. 2011. Figure of Forest in West
Kalimantan Province. BPKH Wilayah III Pontianak. Indonesia
Sheil D, Puri R, Basuki I, van Heist M, Syaefuddin, Rukmiyati, Sardjono M, Samsoedin I, Sidiyasa
K, Chrisandini, Permana E, Angi E, Gatzweiler F and Wijaya A. 2002. Exploring Biological
Diversity, Environment and Local People’s Perspectives in Forest Landscapes. 2nd Edition.
CIFOR, Ministry of Forestry and ITTO. Bogor. Indonesia
Salafsky N, Dugelby BL, and Terborgh JW. 1993. Can Extractive Reserves Save the Rainforest: An
Ecological and Socioeconomic Comparison of Non-Timber Forest Product Extraction Systems
in Peten, Guatemala, and West Kalimantan, Indonesia. Journal Conservation Biology 7:39-52
Tewari D. 2012. Promoting Non-Timber Forest Products (NTFPs) to Alleviate Poverty and Hunger
in Rural South Africa: A Reflection on Management and Policy Challenges. African Journal of
Business Management Vol 6 (47) pp 11635-11647
Tickin T. 2004. The Ecological Implications of Harvesting Non-Timber Forest Product. Journal of
Applied Ecology 41:11-21
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 51
KOMISI A
Oleh:
ABSTRAK
Keberadaan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Propinsi Jambi, Sumatera merupakan
hal yang sangat penting sebagai pelindung ekosistem di sekitarnya. Dalam pengelolaan TNKS,
kawasan tersebut harus dipilah-pilahkan ke dalam zona-zona berdasarkan potensi, fungsi, dan
kebutuhan masyarakat.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis Tekanan ekologis dan Sensitivitas ekologis sebagai
dasar dalam penyusunan zonasi kawasan TNKS, meliputi: zona inti, rimba, pemanfaatan, rehabilitasi,
tradisional, dan khusus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Zona-zona yang ada pada kawasan TNKS mengalami
perubahan disebabkan oleh adanya perubahan potensi, aktivitas dan kebutuhan masyarakat. 2.
Perubahan zonasi terdiri dari pengurangan luasan pada zona inti, rehabilitasi dan tradisional,
sedangkan peningkatan luasan terjadi pada zona rimba, pemanfaatan dan khusus.
Kata kunci: sensisitivitas, ekologis, Taman Nasional, Zonasi.
LATAR BELAKANG
Pengembangan dan pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan upaya pemerintah
Indonesia untuk melindungi sumberdaya alam hutan. Dinamika pembangunan menuntut agar upaya
pelestarian alam bukan hanya demi kelestarian alam itu sendiri tetapi juga untuk kelangsungan
pembangunan bangsa dan kesejahteraan manusia sepanjang masa. Dijelaskan dalam Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Zonasi Taman Nasional bahwa
yang dimaksud Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan
yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Oleh karena itu, konsep penetapan Taman Nasional sebagai kawasan konservasi sangat ideal untuk
menopang tigafungsi utama suatu kawasan alami, yaitusebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dansumber plasma nutfah serta pemanfaatan yang
lestari keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Pada tahun 2007, telah dilakukan studi zonasi pada kawasan TNKS. Namun demikian, hasil
studi ini perlu direvisi sejalan dengan banyaknya perubahan yang siginifikan pada bentang lahan
yang telah terjadi di lapangan, baik disebabkan oleh perambahan, pembalakan liar, pemukiman,
perburuan maupun penambangan. Dikemukakan oleh Faisal dan Siti (2000) dan Wiratno et al. (2004)
konflik dalam pengelolaan hutan muncul karena penetapan kawasan taman nasional menitikberatkan
kepentingan kelestarian ekologis kawasan tetapi mengabaikan aspek sosial-budaya sehingga tidak
jarang terjadi tumpang tindih antara kawasan taman nasional dan wilayah adat yang menimbulkan
52 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
konflik ruang dan sumberdaya alam dan menyebabkan hubungan yang tidak harmonis dengan
masyarakat di sekitar kawasan.Jika mengacu pada hasil World Park Congress (2003) di Durban,
maka penetapan dan pengelolaan taman nasional perlu menghormati hak-hak masyarakat adat yang
sudah ada sebelum suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Nasional.
Tujuan penelitian ini meliputi: a). Untuk mengevaluasi perubahan masing-masing zona, dan
b) Untuk menganalisa zona yang ada dengan menggunakan analisis tekanan ekologis dan sensitivitas
ekologis.
METODE
Revisi Zonasi TNKS bertujuan untuk meninjau ulang pembagian zona-zona yang telah
ditetapkan sebelumnya dan untuk menentukan zona-zona sesuai dengan kondisi terkini sehingga
dapat diwujudkan langkah arah dan tujuan pengelolaan TNKS. Proses ini melalui berbagai tahap
seperti disajikan pada Gambar 1.
Mulai
Pembahasan Internal
Tim Bersama Balai TNKS
Diterima Ditolak
Konsultasi Publik
Ditolak
Diterima
Selesai
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 53
KOMISI A
Ada dua kriteria besar yang digunakan yaitu sensitivitas ekologis dan tekanan ekologis.
Bagan alir penilaian senstivitas dan tekanan ekologis disajikan dalam Gambar 2.
Senstivitas Tekanan
Ekologis Ekologis
Status Flagship Status spesies yang Tipe Ekosistem: Kelas Tingkat Pemanfaatan Aktivitas Wisata: Keberadaan Jalan
(Harimau Sumatera dilindungi dan terancam Skor 3: ekosistem primer Kelerengan: Hasil Hutan: Skor 3: mapan Masuk :
dan Gajah): punah: (asli belum belum pernah Skor 3: > 400 Skor 3: Skor 2: berkembang Skor 3: sangat banyak
Skor 3: homerange Skor 3: > 10 % total rusak) Skor 2: 300 – 400 intensif/sepanjang Skor 1: berpoten Skor 2: banyak
Skor 2: pelintasan spesies Skor 2: ekosistem sekunder Skor 1: 150 – 300 tahun Skor 0: tidak ada Skor 1: sedikit
Skor 1: tidak ada Skor 2: 5-10 % total (asli pernah berubah) Skor 0: < 150 Skor 2: banyak Skor 0: tidak ada
catatan spesies Skor 1: ekosistem buatan Skor 1: sedikit
Skor 0: tida ada Skor 1: 2- 5% total spesies Skor 0: rusak/lahan Skor 0: tidak ada
catatan Skor 0: < 2% total spesies kosong/dirambah/ bukan
hutan
Sensitivitas
Tekanan
Tinggi Sedang Rendah
Tinggi Zona lain Zona Pemanfaatan/lainya Zona lain
Sedang Zona lain Zona Rimba Zona Rimba
Rendah Zona Inti Zona Rimba Zona Rimba
Gambar 2. Bagan alir penilaian kriteria ekologis (Modifikasi dari Agung, 2013).
Keterangan : Sensitivitas Ekologis dan Tekanan Ekologis nilainya diperoleh dari penjumlahan skor masing.
Kawasan TNKS seluas 1.389.509,87 ha terletak di 4 propinsi, yaitu: Jambi, Sumatera Barat,
Bengkulu, dan Sumatera Selatan (Anonim, 2013). Adapun hasil revisi zonasi menunjukkan bahwa
kawasan TNKS di Provinsi Jambi mempunyai total luas sebesar 450.196,77 ha atau 32,40 % dari luas
total kawasan TNKS, terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona
khusus dan zona tradisional.
Perkembangan pengelolaan TNKS sejak ditetapkannya zonasi pada tahun 2007 sampai
saat ini telah mengalami banyak perubahan terkait dengan struktur dan fungsi TNKS baik dari sisi
kondisi fisik kawasan berupa tutupan hutan, habitat dan keanekagaraman hayati yang ada maupun
perkembangan aturan pemanfaatan di dalam kawasan TNKS.
Rekapitulasi hasil zonasi Kawasan TNKS secara tabulasi dan spasial disajikan berturut-turut
pada Tabel 1.
54 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
1. Zona Inti
Zona Inti Kawasan TNKS di Provinsi Jambi telah berubah dari 195.081,30 ha (43,3%) pada
tahun 2007 menjadi 189.161,74 ha atau 42,02% pada tahun 2013. Perubahan ini meliputi:
a. Pengurangan karena pengalihan Zona Inti menjadi Zona Rehabilitasi: Perambahan telah terjadi
sejak tahun 1994 dengan adanya jual beli kawasan Hutan Produksi (HP) oleh masyarakat. Pada
tahun 1998 terjadi pengkavlingan HP oleh masyarakat lokal dan pendatang untuk dijadikan
lahan budidaya kopi dan semakin meningkat pada periode 2000-2003 oleh masyarakat yang
berasal dari daerah Bengkulu Selatan, Lampung, dan Pagar Alam Provinsi Sumatera Selatan, dan
Perlu restorasi melalui kegiatan RHL..
b. Pengurangan karena pengalihan Zona Inti menjadi Zona Rimba: Kawasan Sipurak Hook berperan
sebagai kawasan penyangga air dan hutan di dalam kawasan ini berperan sebagai penghalang
munculnya erosi, banjir pada musim hujan dan penyedia sumber air pada musim kemarau.
Semua anak sungai dan sungai utama di kawasan ini bermuara ke Sungai Batang Merangin, yang
merupakan sumber kehidupan masyarakat di daerah hilirnya,
Hasil analisis ekologis menunjukkan bahwa Zona Inti kawasan TNKS di Provinsi Jambi
mempunyai Sensitivitas Ekologis Sedang (Skor 4) dan Tekanan Ekologis rendah (Skor 4).Potensi
penting yang dimiliki zona inti,meliputi antara lain adalah:
a. Adanya habitat satwa penting seperti harimau Sumatera (Pantheratigrissumaterae), tapir dan
siamang (Symphalangus syndactylus) serta ungko (Hylobates agilis).
b. Adanya flora langka seperti family Raflesiacea, amorpophalus, anggrek.
c. Sebagai penyangga system kehidupan dan pencegahan bencana alam seperti banjir,
kekeringan,longsor dan erosi.
d. Hutan primer di zona inti merupakan penyangga system hidrologi dan merupakan hulu DAS.
2. Zona Rimba
Hasil revisi zonasi menunjukkan bahwa Zona Rimba Kawasan TNKS di Provinsi Jambi
menempati proporsi terbesar, yaitu 222.158,12 ha (49,35%). Luasan zona rimba mengalami
peningkatan dari semula 195.756,00 ha (2007).
3. Zona Pemanfaatan
Zona pemanfaatan di Propinsi Jambi meningkat dari 2.961,50 ha (0,7 %) pada tahun 2007
menjadi 8.129,16ha (1,8%) pada tahun 2013. Zona pemanfaatan ini tersebar di 5 lokasi, yaitu Kayu
Aro, Gunung Tujuh, Sungai penuh, Gunung Raya, dan Jangkat.
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 55
KOMISI A
a. Potensi wisata danau: Danau Depati 4, Desa Pulau Tengah dengan pertimbangan ; a). Danau
tersebut termasuk dalam zona pemanfaatan TNKS namun jalur masuk (panjang, 2,3 km dan lebar
2m) ke lokasi danau masih termasuk zona rimba TNKS, dan b). Sensitivitas Ekologis Sensitif
Sedang (Skor 6) dan Tekanan Ekologis Rendah (Skor 3).
b. Potensi ekowisata di Pelompek Gunung 7 dengan pertimbangan ; a). Ada aktivitas ekowisata, dan
b). Sensitivitas Ekologis Sensitif Sedang (Skor 6) dan Tekanan Ekologis Rendah (Skor 4).
c. Potensi ekowisata di Kersik Tuo (jalur pendakian G. Kerinci) dengan pertimbangan ; a). Ada
aktivitas ekowisata, dan b). Sensitivitas Ekologis Sensitif Sedang (Skor 6) dan Tekanan Ekologis
Sedang (Skor 5).
d. Potensi ekowisata Rawa Bento dengan pertimbangan ; a). Ada aktivitas ekowisata di Rawa Bento,
dan b). Sensitivitas Ekologis Tidak Sensitif (Skor 1) dan Tekanan Ekologis Sedang (Skor 5).
e. Potensi ekowisata Bukit Tapan dengan pertimbangan ; a). Ada aktivitas ekowisata, dan b).
Sensitivitas Ekologis Sensitif Tinggi (Skor 8) dan Tekanan Ekologis Rendah (Skor 3).
f. Potensi wisata pendakian Gunung Kunyit dengan pertimbangan ; a). Aktivitas pendakian, dan b).
Sensitivitas Ekologis Sensitif (Skor 9) dan Tekanan Ekologis Rendah (Skor 3).
g. Potensi wisata camping Gunung Masurai dengan pertimbangan ; a). Memperluas zona
pemanfaatan, luas zona pemanfaatan diperkirakan terlalu sempit dan belum mengakomodir
wilayah yang potensial untuk lokasi camping ground, b). Sensitivitas Ekologis Sensitif Sedang
(Skor 4) dan Tekanan Ekologis Sedang (Skor 4).
h. Potensi jasa lingkungan Tanjung Kasri dengan pertimbangan ; a). Merupakan areal potensial
untuk pemanfaatan jasa lingkungan air, berada di perbatasan zona rimba dan zona khusus, dan
b). Sensitivitas Ekologis Sensitif (Skor 8) dan Tekanan Ekologis Rendah (Skor 3).
i. Potensi ekowisata Danau Depati 4 dan Grao Sakti dengan pertimbangan ; a). Ada aktivitas
ekowisata, b). Danau Depati 4: Sensitivitas Ekologis Sensitif Sedang (Skor 6) dan Tekanan Ekologis
Rendah (Skor 3), c). Grao Sakti, Remah; Sensitivitas Ekologis Sensitif (Skor 8) dan Tekanan
Ekologis Rendah (Skor 3).
4. Zona Tradisional
Pada Kawasan TNKS di Provinsi Jambi, zona tradisional mengalami penurunan dari 1.640,70
ha (tahun 2007) menjadi seluas 1.320,04 ha (0,29%) dari total luas Kawasan TNKS di Provinsi Jambi,
menyebar di 3 desa, yaitu Renah Kemumu, Tanjung Kasri, dan Kota Rawang, Kecamatan Jangkat.
a. Perubahan zona tradisional menjadi zona pemanfaatan di Grao Sakti Renah Kemumu. Kawasan
ini mempunyai potensi ekowisata dan geothermal. Hasil analisis sensitivitas ekologis tergolong
tinggi (skor 8) dan tekanan ekologis tergolong rendah (skor 3).
b. Perubahan zona tradisional menjadi zona khusus di Air Liki karena adanya pemukiman yang telah
ada sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai Taman Nasional. Hasil analisis menunjukkan
bahwa tingkat Sensitivitas Ekologis Sedang (Skor 6) dan Tekanan Ekologis Rendah (Skor 2).
c. Perubahan zona tradisional menjadi zona inti di Koto Rawang karena adanya revisi terhadap zonasi
tahun 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat Sensitivitas Ekologis Sedang (Skor 6)
dan Tekanan Ekologis Rendah (Skor 2).
56 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI A
5. Zona Rehabilitasi
Zona Rehabilitasi Kawasan TNKS di Provinsi Jambi mengalami penurunan dari 53.368,00
ha (tahun 2007) menjadi seluas 27.556,01 ha (6,12%) dari total luas Kawasan TNKS di provinsi ini
dan menyebar di 9 lokasi, yaitu Air Liki, Birun, Sungai Manau-Muara Siau, Bukit Peragun-Kayu
Bungkuk, Sungai Siau Kecil, Renah Kemumu, Danau pauh, Kerinci, dan Bungo.
Perubahan luasan zona rehabilitasi juga sebagai akibat adanya peningkatan luasan zona inti
yang harus direhabilitasi, meliputi:
a. Rehabilitasi pada areal di Kecamatan Lembah Masurai Kabupaten Merangin (areal repatriasi
Sipurak Hook) seluas 3.400,41 ha dan Renah Pemetik seluas 34,18 ha, dengan pertimbangan: a).
Perambahan telah terjadi sejak tahun 1994 dengan adanya jual beli kawasan HP oleh masyarakat.
Pada tahun 1998 terjadi pengkavlingan HP oleh masyarakat lokal dan pendatang untuk dijadikan
lahan budidaya kopi dan semakin meningkat pada periode 2000-2003 oleh masyarakat yang
berasal dari daerah Bengkulu Selatan, Lampung, dan Pagar Alam Provinsi Sumatera Selatan, b).
Perlu restorasi melalui kegiatan RHL.; dan c). Sensitivitas Ekologis Sensitif Sedang (Skor 4) dan
Tekanan Ekologis Rendah (Skor 4).
b. Perlunya rehabilitasi pada areal Kebun Baru (Renah Tengah) seluas 1.718,00, dengan
pertimbangan: a). Perambahan; b). Kawasan budi daya; c). Bagian dari hulu DAS Batanghari dan
DAS Indrapura; d). Sensitivitas Ekologis Sensitif Sedang (Skor 5) dan Tekanan Ekologis Sedang
(Skor 5); dan di
c. Pungut dan Renah Pemetik seluas 3.843,81 ha, dengan pertimbangan: a). Perambahan; b).
Sensitivitas Ekologis Sensitif Sedang (Skor 4) dan Tekanan Ekologis Rendah (Skor 4).
6. Zona Khusus
Zona khusus di Provinsi Jambi meningkat dari 1.389,3 ha (tahun 2007) menjadi seluas
1.871,70 ha terdiri dari 751,22 ha termasuk dalam SPTN I dan 1.120,48 ha termasuk dalam SPTN II.
Zona Khusus ini mayoritas berada dalam Resort Merangin (1.055,26 ha) dan Resort Sungai Penuh
KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH 57
KOMISI A
(760,46 ha), selebihnya termasuk dalam Resort Kerinci Selatan (0,91 ha) dan Resort Kerinci Utara
(5,23 ha). Secara administratif, zona khusus ini termasuk dalam Kabupaten Sungai Penuh (176,69
ha), Kerinci (617,39) dan yang terluas di Merangin (1.077,62 ha).
Penambahan luas zona khusus dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Perubahan zona tradisional menjadi zona khusus di Air Liki (308,10 ha); dengan pertimbangan:
a). Sudah ada pemukiman penduduk sebelum TNKS ditetapkan; dan b).Sensitivitas Ekologis
Sensitif Sedang (Skor 6) dan Tekanan Ekologis tidak ada (Skor 2).
b. Perubahan zona rimba menjadi zona khusus di Koto Rawang karena di wilayah tersebut terdapat
pemukiman sebelum ditetapkan sebagai TN. Hasil analisis sensitivitas ekologi sedang (skor 6)
dan tekanan ekologis rendah (skor 2).
Pada kawasan TN Kerinci Seblat, perubahan zonasi berupa penurunan luasan pada zona inti,
tradisional, dan rehabilitasi; dan penambahan luas pada zona rimba, pemanfaatan, dan khusus.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Zonasi Taman Nasional telah berubah karena adanya potensi setiap kawasan, perubahan sosial
ekonomi masyarakat, perubahan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
2. Perubahan zonasi TN Kerinci Seblat berupa penurunan luasan pada zona inti, tradisional, dan
rehabilitasi. Adapun pada zona rimba, pemanfaatan, dan khusus mengalami peningkatan.
DAFTAR PUSTAKA
Agung. D.B. 2013. Thesis S2. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Anonim. 2013. Revisi Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Dale, V. H., S. Brown, R. A. Haeuber, N. T. Hobbs, N. Huntly, R. J. Naiman, W. E. Riebsame, M. G.
Turner, and T. J. Valone. 2000. Ecological principles and guidelines for managing the use of
land. Ecological Applications 10:639-670.
Royana, R. (2003). Konsep konservasi Berbasis Masyarakat. Modul Magang Sylva Indonesia. Sylva
Indonesia, Jogjakarta.
Faisal, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pe n g e l ol a a n Su mbe r da ya Hu t a n
. Di d a l a m: Suporahardjo, editor. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengel olaan Sumbe rdaya
Hutan. Bogor : Pustaka LATIN.
Turner, M. G., R. H. Gardner, and R. V. O’Neill. 2001. Landscape ecology in theory and practice:
pattern and process. Springer, New York, NY.
Wiratno, D. Indriyo,A. Syarifudin, A. Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak. Refleksi Konservasi
danImplikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. EdisiKedua (edisi revisi). Jakarta: Forest
Press, TheGibbon Foundation Indonesia.
58 KEBIJAKAN NASIONAL MANAJEMEN HUTAN DAN PENGELOLAAN DAS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
KOMISI B
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN
LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
60 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Herman Harijanto
Program Studi Kehutanan, Fakultas KehutananUNTAD
Jln Soekarno Hatta Km 9 Tondo Palu
Email: hermanharijanto@yahoo.co.id ; HP.085240760513
ABSTRAK
Penelitian dilakukan di DAS Olonjonge, Kabupaten Parigi Moutong dari bulan Juni 2011 hinggá
Mei 2012. Penelitian ini bertujuan mengkaji perubahan dan hubungan keeratan antara tinggi muka
air sungai dan debit air sungai serta debit sedimen melayang pada sungai Olonjonge. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa debit air (Q) sungai olonjonge selama priode penelitian berkisar antara 0,15
– 13,70 m3/det dengan Qrataan = 3,70 m3/det. Hubungan antara tinggi muka air (H) dengan debit
air ditunjukkan dengan persamaan yaitu Q = 5,017 h1,793 dengan nilai koefisien determinasi (R2) =
0,95. Sementara itu sedimen melayang (Qs) yang terangkut bersama aliran air berkisar antara 0,094
– 4,621kg/m3 dengan Qs rataan= 1,744kg/m3. Hubungan keeratan antara debit air (Q) dan debit
sedimen melayang ditunjukkan dengan persamaan yaitu Qs = 0,998Q1,509 dengan nilai koefisien
determinan (R²) = 0,94.
ABSTRACT
This research was conducted in Olonjonge watershed, Regency of Parigi Moutong from May
2011 to June 2012. This research aims to investigate the changes and relationsip between the water
level and discharge and discharge of suspended sediment on the river of Olonjonge. Results of this
research showed that discharge (Q) of Olonjonge river in the periode of study was approximately of
0.15 – 13.70 m3/second with Qmean = 3.70 m3/second. The relationship between water level and
discharge was reflected by an equation of Q = 5.017 h1.793 with coefficient of determination (R2) =
0.95. Meanwhile, the carried discharge of suspended sediment (Qs) with water flow was approximately
of 0.094 – 4.621kg/m3 Qsmean = 1.744 kg/m3. The relationship between discharge (Q) and discharge
of suspended sediment was indicated by power equation of Qs = 0.998Q1.509 with coefficient of
determination (R2) = 0.94.
PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki peran dan fungsi yang strategis, diantaranya sebagai
penopang perkembangan fungsi ekologis (lingkungan) bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Salah
satu fungsi utama dari DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas yang baik
terutama bagi orang di daerah hilir
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 61
KOMISI B
Kerusakan permukaan lahan pada suatu DAS terutama dicirikan oleh erosi tanah, sedimentasi,
banjir dan degradasi lahan lainnya yang sering muncul sebagai akibat adanya bencana alam ataupun
aktivitas manusia (Hardwinarto, 1996). Mengacu pada analisis sistem DAS, DAS dapat berperan
sebagai tempat transformasi input berupa curah hujan menjadi output berupa hasil air dan endapan
(sedimen).
DAS Olonjonge yang meliputi kawasan seluas 3.391,43 ha, merupakan bagian hulu dari DAS
Dolago Torue, dan termasuk salah satu DAS kritis di Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (SWP-DAS) Dolago Torue. Berdasarkan hasil monitoring Balai Pengelolaan DAS Palu Poso
(2004) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan muatan sedimen dari tahun ke
tahun. Selanjutnya penelitian Harijanto dkk (2013) menyimpulkan bahwa wilayah DAS Olonjonge
didominasi oleh tingkat bahaya erosi sedang (35,07%), berat - sangat berat (26,32%), sangat ringan
(25,61%) dan ringan (13,01%). Wilayah DAS Olonjonge sering dilanda banjir pada musim penghujan
hingga puncaknya pada tanggal 25 Agustus 2010 wilayah ini dilanda banjir bandang.
Beberapa tahun terakhir di wilayah DAS Olonjonge telah terjadi kegiatan alih guna lahan
berupa penebangan pohon secara besar-besaran dan serentak untuk dijadikan kebun dan areal
pertanian lainnya. Kegiatan alih guna lahan yang dilakukan penduduk ini dapat menjadi sumber
perubahan dalam karaktersistik DAS. Aktivitas perubahan tataguna lahan yang dilakukan di daerah
hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan
transport sedimen serta material terlarut lainnya. Keterkaitan daerah hulu hilir seperti tersebut,
maka kondisi suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam
termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan.
Perubahan salah satu komponen ekosistem DAS dapat mempengaruhi kondisi DAS secara
keseluruhan. Menurut Sihite (2001), upaya mengubah pola penggunaan lahan dari hutan untuk
kebun dan usahatani lainnya di daerah hulu mengakibatkan kondisi hidro-orologi dari suatu DAS
menjadi terpengaruh dan dapat mengancam keberadaan fungsi hidroorologis wilayah DAS secara
keseluruhan, sehingga pengelolaan hulu menjadi prioritas penanganan.
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan dan hubungan keeratan
antara tinggi muka air sungai dan debit air sungai serta debit sedimen melayang pada sungai
Olonjonge.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai Mei 2012. Penelitian dilakukan
di wilayah DAS Olonjonge, Kabupaten Parigi Moutong (Gambar 1). Lokasi penelitian berada pada
ketinggian 15 – 800 m dpl. Berdasarkan Sistem klasifikasi iklim menurut Schmidth dan Fergusson,
kawasan DAS Olonjonge memiliki tipe iklim B dengan curah hujan tahunan sebesar 1.447 – 2.640 mm
(rata-rata 2.240 mm/th). Suhu udara harian rata-rata sebesar 24,4 oC, dengan rata-rata maksimum
25 oC dan rata-rata minimum sebesar 23,8 oC. Secara umum, jenis tanah di lokasi penelitian adalah
latosol dengan tekstur lempung sampai lempung berpasir.
62 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 63
KOMISI B
Selanjutnya, hubungan keeratan antara tinggi muka air (H) dengan debit air (Q) dianalisis
dengan menggunakan metode logaritmik (Linsley dkk, 1985) yaitu:
Q = a (H)b ..........................................(2)
Keterangan:
Q = debit air sungai (m3/det),
H = tinggi muka air sungai (m),
a dan b = nilai kontanta
Cs =
G2 – G1 ........................................(3)
Keterangan:
Cs = konsentrasi sedimen melayang (g/L),
G2 = berat filtrt sedimen melayang dan kertas filter dalam keadaan kering (mg),
G1 = berat kertas filter (mg)
V = volume sampel sedimen melayang (L)
Debit sedimen melayang yang mengalir melalui penampang melintang saluran sungai dalam
setiap waktu dapat dihitung dengan persamaan berikut (Gregory dan Walling, 1976):
Qs = Q. Cs ..........................................(4)
Keterangan:
Qs = debit sedimen melayang (kg/det),
Q = debit air sungai (m3/det)
Cs = konsentrasi sedimen melayang (mg/L)
Qs = a Qn ..........................................(5)
Debit air adalah volume air yang mengalir melalui penampang basah sungai yang dinyatakan
dalam satuan meter kubik per detik (m3/det) atau liter per detik (L/det) (Soewarno, 1991). Hasil
pengukuran tinggi muka air dan debit air yang dilakukan selama perioda penelitian (Juni 2011 – Mei
2012 ) pada outlet sungai Olonjonge menunjukkan bahwa tinggi muka air (H) yang mengalir pada
penampang sungai Olonjonge relatif bervariasi yaitu H berkisar 0,13 – 1,84 m dengan Hrataan = 0,77
m, sementara itu nilai Q berkisar antara 0,15 – 13,70 m3/det dengan Qrataan = 3,70 m3/det.
64 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Hasil pengukuran nilai tinggi muka air (H) dan debit air (Q) selama perioda penelitian
selanjutnya dianalisis hubungan keeratannya dengan menggunakan metode logaritmik yang
hasilnya digambarkan secara grafis seperti yang disajikan pada Gambar 1
Gambar 2. Grafik hubungan antara debit air dan tinggi muka air
Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil analisis hubungan antara tinggi muka air dan debit
sungai diperoleh persamaan yaitu : Q = 5,017 h1,793 dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 0,95.
Dari gambar tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan bahwa kenaikan tinggi muka air
sungai mengakibatkan semakin tinggi nilai debit air sungai. Adanya peningkatan tinggi muka air
dan debit air dimungkinkan adanya masukan (input) limpasan air sungai yang berasal dari curah
hujan serta kondisi vegetasi yang berada di atasnya yang didominasi oleh penggunaan lahan tegalan
yakni seluas 1004,32 (29,61%). Menurut Razak (2006), faktor yang berperan dalam berfluktuasinya
debit air adalah penggunaan lahan tegalan. Semakin luas tegalan, maka fluktuasi debit air semakin
besar. Selain itu, kondisi topografi DAS Olonjonge yang didominasi oleh kelerengan curam - sangat
curam yakni seluas 1.637 ha (48,28%). Menurut Sudarmadji (1997), kondisi topografi yang curam
akan mempercepat aliran permukaan sampai ke titik patusan (outlet).
Informasi mengenai debit air maksimum dan minimum yang diperoleh dapat menjadi
salah satu indikator untuk mengevaluasi suatu DAS apakah kondisinya normal atau terganggu.
Perbandingan antara debit maksimum dan minimum yang terjadi disebut Koefisien Rejim Sungai
(KRS) (Asdak, 2002). Lebih lanjut dinyatakan bahwa apabila terjadi fluktuasi yang mencolok
antara debit maksimum dan debit minum, maka suatu DAS dikategorikan terganggu. Departemen
Kehutanan (2001), menetapkan kriteria dalam menilai kinerja DAS yaitu apabila DAS memiliki
nilai KRS < 50 menunjukkan bahwa DAS tersebut memiliki kriteria baik, apabila nilai KRS 50 – 120
menunjukkan DAS memiliki kriteria sedang dan apabila nilai KRS > 120 menunjukkan bahwa DAS
tersebut memiliki kriteria buruk. Berdasarkan data debit maksimum dan minimum di atas dapat
diketahui bahwa nilai KRS DAS Olonjonge adalah 91,33 yang termasuk ke dalam kriteria sedang.
Kondisi ini menggambarkan bahwa DAS Olonjonge mempunyai fungsi yang mulai terganggu sebagai
daerah resapan air.
Sedimen Melayang
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi
tanah lainnya. Meskipun hasil proses erosi tebing mempunyai sumbangan dalam bagian ini, namun
porsinya sangat kecil dan dapat dianggap sebagai proses alami (Pilipus 1997 dalam Harijanto 1999).
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 65
KOMISI B
Bersamaan pengukuran debit air, dilakukan juga pengambilan sampel air untuk menduga
muatan sedimen melayang (suspended sediment load) yang terangkut bersama aliran air, yang
selanjutnya dianalisis dilaboratorium. Hasil lengkap pengukuran sedimen melayang disajikan pada
Lampiran 1.
Berdasarkan hasil pengukuran sedimen melayang seperti yang disajikan pada Lampiran 1
menunjukkan bahwa sedimen melayang (Qs) yang terangkut bersama aliran air berkisar antara
0,094 – 4,621kg/m3 dengan Qsrataan = 1,744 kg/m3.
Hasil pengukuran dan perhitungan nilai debit air (Q) dan debit sedimen melayang (Qs) selama
perioda penelitian, selanjutnya dianalisis hubungan keeratannya dengan menggunakan pendekatan
persamaan berpangkat (power equation) yang hasilnya digambarkan secara grafis seperti yang
disajikan pada Gambar 3
Gambar 3. Grafik hubungan antara debit air (Q) dan debit sedimen melayang (Qs)
Gambar 3 menunjukkan bahwa grafik hubungan keeratan antara debit air (Q) dan debit
sedimen melayang (Qs ) dihasilkan persamaan Qs = 0,998Q1,509 dengan nilai koefisien determinan
(R²) = 0,94. Dari grafik tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa peningkatan debit air
(Q) akan diikuti oleh meningkatnya debit sedimen melayang (Qs).
Meskipun demikian, pada perioda-perioda waktu tertentu besarnya debit air tidak selalu
diikuti oleh besarnya konsentrasi sedimen melayang. Hal ini dimungkinkan oleh ketersediaan dari
sedimen tersebut yang terangkut bersama aliran sungai.
Menurut Hardwinarto (1996), bahwa pada saat-saat tertentu, massa sedimen melayang
disaluran sungai tergantung pada jumlah bahan endapan yang terbawa oleh aliran permukaan.
Sehingga dengan demikian, meskipun debit air kecil namun bila tersedia bahan endapan yang tercuci
oleh aliran permukaan maka konsentrasi sedimen melayang tersebut dapat menjadi lebih besar,
demikian sebaliknya.
Sudarmadji (1997) meringkas bahwa faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keadaan debit
air dan sedimen melayang pada suatu DAS adalah kondisi geologi, penutupan vegetasi, bentuk DAS
dan kondisi topografi.
66 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
KESIMPULAN
Hasil pengukuran tinggi muka air dan debit air yang dilakukan selama perioda penelitian pada
outlet sungai Olonjonge menunjukkan bahwa tinggi muka air (H) dan debit air (Q) yang mengalir pada
penampang sungai Olonjonge relatif bervariasi yaitu H berkisar 0,13 – 1,84 m dengan Hrataan = 0,77
m, sementara itu nilai Q berkisar antara 0,15 – 13,70 m3/det dengan Qrataan = 3,70 m3/det.Hubungan
keeratan antara tinggi muka air (H) dan debit air (Q) diperoleh persamaan yaitu : Q = 5,017 h1,793
dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 0,95.
Sedimen melayang (Qs) yang terangkut bersama aliran air berkisar antara 0,094 kg/m3 –
4,621kg/m3 dengan rata-rata sedimen yang terangkut sebesar 1,744 kg/m3 atau Qs rataan= 1,744kg/
m3. Hubungan keeratan antara debit air (Q) dan debit sedimen melayang dihasilkan persamaan Qs =
0,998Q1,509 dengan nilai koefisien determinan (R²) = 0,94.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Balai Pengelolaan DAS Palu Poso. 2004. Rencana Lima Tahun Model DAS Mikro Olonjonge. Palu
Chow, V.T. 1988. Hand Book of Aplied Hidrology. Mc. Graw Hill . Company. Inc. New York.
Gregory, K. J and Walling, D. E. 1976. Drainage Basin Form and Process. Fletcher and Son Ltd.
Norwich.
Hardwinarto, S. 1996. Karakteristik Seberan Vertikal Beban Endapan Layang dari Lahan Hutan yang
Rusak di Dalam DAS. Jurnal Rimba Kalimantan; 1(1): 75 – 87
Harijanto, H. 1999. Studi Tentang Kondisi Hidro-orologi Kawasan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Manggar Propinsi Kalimantan Timur. Thesis Program Pasca Sarjana. Universitas Mulawarman.
Samarinda.
Harijanto, H; Marsono, D; Gunawan,T dan Senawi. 2013. Kajian Erosi Tanah di DAS Olonjonge
Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal Forest Sains; 10 (1): 66-76
Linsley, R.K; Kohler, M. A. dan Paulus, J. L. H. 1980. Aplied Hidrology. Mc. Graw Hill. Company. Inc.
New York.
Razak, A. 2006. Pengaruh Pola Penggunaan Lahan dan Kondisi Lingkungan terhadap Debit Air dan
Sedimentasi pada Daerah Tangkapan Air di Sub DAS Wuno. Jurnal Agroland; 13 (1): 47 - 52
Sihite, J. 2001. Evaluasi Dampak Erosi Tanah Model Pendekatan Ekonomi Lingkungan dalam
Perlindungan DAS: Kasus Sub-DAS Besai DAS Tulang Bawang Lampung ICRAF SE-Asia
Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor.
Sudarmadji,T. 1997. Rekayasa Pemantauan dan Pengelolaan Komponen Hidrologi Materi Kursus
Dasar-Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. PPLH UNMUL Samarinda.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 67
KOMISI B
LAMPIRAN-1
Hasil Pengukuran Tinggi Muka Air, Debit Air dan Debit Sedimen Melayang Selama Periode Penelitian
Debit (m3/ Cs QS
No. Tanggal Pengukuran TMA (m)
dtk) (kg/m3) (kg/dtk)
1 04-Jun-11 0,64 2,02 1,141 2,305
2 06-Jun-11 0,70 2,55 2,202 5,615
3 10-Jun-11 0,20 0,28 0,094 0,026
4 14-Jun-11 0,50 0,88 1,819 1,600
5 19-Jun-11 0,62 1,20 1,506 1,808
6 20-Jun-11 0,44 0,54 0,873 0,471
7 22-Jun-11 0,27 0,36 1,598 0,575
8 25-Jun-11 0,28 0,41 1,616 0,663
9 26-Jun-11 0,26 0,35 1,673 0,586
10 30-Jun-11 0,22 0,32 1,046 0,335
11 05-Jul-11 0,15 0,17 0,217 0,037
12 11-Jul-11 0,18 0,23 0,107 0,024
13 12-Jul-11 0,29 0,28 0,264 0,074
14 19-Jul-11 0,18 0,20 0,207 0,041
15 21-Jul-11 0,13 0,15 0,211 0,032
16 23-Jul-11 0,22 0,34 1,117 0,380
17 27-Jul-11 1,70 12,74 4,621 58,872
18 03-Agust-11 1,84 13,70 4,439 60,814
19 04-Agust-11 1,66 12,15 4,244 51,565
20 06-Agust-11 1,64 12,67 4,323 54,772
21 09-Agust-11 1,62 12,75 4,063 51,803
22 12-Agust-11 1,10 5,86 1,72 10,079
23 23-Agust-11 0,41 1,36 1,988 2,704
24 30-Agust-11 0,15 0,17 0,146 0,025
25 04-Sep-11 0,69 2,39 1,941 4,639
26 06-Sep-11 0,70 0,93 1,042 0,969
27 10-Sep-11 0,55 1,13 0,988 1,116
28 13-Sep-11 0,43 0,48 1,384 0,664
29 08-Okt-11 1,44 9,70 2,403 23,309
30 10-Okt-11 1,57 10,82 3,546 38,368
31 13-Okt-11 0,70 2,20 1,441 3,170
32 14-Okt-11 1,25 3,30 1,622 5,353
33 21-Okt-11 1,59 10,48 3,441 36,062
34 25-Okt-11 1,57 10,10 2,194 22,154
35 28-Okt-11 1,27 6,94 1,394 9,674
36 02-Nop-11 1,19 5,30 1,64 8,692
37 06-Nop-11 0,78 2,45 2,024 4,959
38 10-Nop-11 0,82 2,65 1,343 3,559
39 11-Nop-11 1,03 2,74 1,422 3,896
40 12-Nop-11 0,85 2,75 1,423 3,913
41 16-Nop-11 0,72 2,45 2,175 5,329
68 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Debit (m3/ Cs QS
No. Tanggal Pengukuran TMA (m)
dtk) (kg/m3) (kg/dtk)
42 20-Nop-11 1,35 7,61 1,726 13,135
43 21-Nop-11 1,13 4,68 1,662 7,778
44 27-Nop-11 0,62 2,12 1,342 2,845
45 06-Des-11 0,71 2,33 1,935 4,509
46 10-Des-11 0,51 1,01 1,219 1,231
47 13-Des-11 0,52 1,59 2,019 3,210
48 14-Des-11 0,32 0,65 0,776 0,504
49 17-Des-11 1,31 6,62 1,78 11,784
50 12-Jan-12 1,73 13,30 4,582 60,941
51 15-Jan-12 0,47 0,73 0,599 0,437
52 19-Jan-12 0,21 0,34 1,282 0,436
53 27-Jan-12 1,55 11,06 3,738 41,342
54 29-Jan-12 0,35 0,31 0,409 0,127
55 07-Feb-12 0,30 0,28 0,726 0,203
56 10-Feb-12 0,44 0,50 0,734 0,367
57 15-Feb-12 0,21 0,34 1,432 0,487
58 28-Feb-12 0,51 1,49 2,034 3,031
59 01-Mar-12 0,44 0,46 1,434 0,660
60 24-Mar-12 1,31 9,23 2,122 19,586
61 06-Apr-12 1,73 12,05 4,043 48,718
62 12-Apr-12 0,70 1,38 1,982 2,735
63 20-Apr-12 0,64 2,28 1,806 4,118
64 23-Apr-12 0,13 0,17 0,223 0,038
65 13-Mei-12 0,57 1,73 1,125 1,946
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 69
KOMISI B
Hasnawir
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar (90243)
Email : wirforest@yahoo.com
ABSTRAK
Keberadaan hutan dan sumberdaya lainnya adalah untuk memenuhi fungsi-fungsi ekologi,
ekonomi dan sosial budaya. Keberadaan hutan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
bagian dari tataguna lahan. Sub DAS Tanralili adalah salah satu sumber air yang sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan air bersih dan sumber air bagi pengembangan sektor pertanian dan perikanan
masyarakat khususnya Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Beberapa isu terkait ketersediaan
pemenuhan sumber air di sub DAS Tanralili menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah dan
masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara luas hutan, curah hujan
dan debit air di sub DAS Tanralili terkait pemenuhan sumber air bagi masyarakat. Survei biofisik,
analisis statistik, analisis GIS berbasis peta citra landsat tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011
digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penutupan lahan pada sub
DAS Tanralili dalam kurang waktu tahun 2000 sampai tahun 2011, telah terjadi pengurangan dari
hutan sekunder menjadi pertanian lahan kering campuran seluas 259 ha atau 1,01%, dari semak
belukar menjadi pertanian lahan kering campuran seluas 14.555 ha atau 56,67% dari luas total
sub DAS Tanralili. Perubahan penggunaan lahan ini tidak signifikan mempengaruhi jumlah debit
air sungai. Jumlah debit air di sub DAS Tanralili cendrung dipengaruhi oleh intensitas curah hujan.
Pengelolaan tata air di sub DAS Tanralili secara optimal sangat diperlukan dalam upaya memenuhi
kebutuhan sumber air di daerah ini secara berkelanjutan.
Kata kunci : Luas hutan, curah hujan, debit air, sub DAS Tanralili
LATAR BELAKANG
Hutan dipandangsebagai pemasok air secara lestari, namun beberapa penelitian menunjukkan
hasil yang beragaman. Beberapa ahli hidrologi hutan menyepakati bahwa hutan dalam kaitannya
dengan penggunaan lahan lainnya lebih konsumtif air sehingga mengurangi total debit air atau hasil
air (Lull and Reinhart, 1967; Hibbert, 1967; Bost and Hewlett, 1982). Teori umum adalah bahwa
hutan telah meningkatkan intersepsi dan mengurangi transpirasi, sehingga evapotranspirasi
meningkat dan debit air menjadi berkurang (Trimble, et al., 1987).
Hasil air yang keluar dari kawasan hutan relatif beragam, tergantung kondisi alami setempat
seperti faktor geografis, biogeofisik dan iklim serta sistem pengelolaan yang diterapkan. Dengan
menggunakan analisis neraca air dalam hutan dapat diketahui proses dan nilai atau besarnya
komponen siklus hidrologi/air di dalam hutan sehingga fungsi hutan sebagai tata air akan lebih
mudah dipahami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya intersepsi sekitar 15% dari total
curah hujan, sedangkan curahan tajuk (throughfall) dan aliran batang (stemflow) masing-masing
79% dan 1%. Beberapa penelitian menunjukkan pula bahwa hutan tidak menambah aliran sungai
(debit), tetapi justru menguranginya karena tingkat evapotranspirasinya tinggi. Pengaruh hutan
sangat ditentukan skala penutupan lahannya namun alih-guna lahan, khususnya pengurangan
penutupan hutan hingga 15%, tidak memberikan pengaruh yang berarti tehadap pasokan air (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Hutan, 2009).
70 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Keberadaan hutan dan sumberdaya lainnya adalah untuk memenuhi fungsi-fungsi ekologi,
ekonomi dan sosial budaya. Keberadaan hutan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
bagian dari tataguna lahan. Pengelolaan DAS merupakan upaya mengelola hubungan timbal balik
antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan
segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan
pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS.
Sub DAS Tanralili adalah salah satu sumber air yang sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan air bersih dan sumber air bagi pengembangan sektor pertanian dan perikanan masyarakat
khususnya Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Beberapa isu terkait ketersediaan pemenuhan
sumber air di sub DAS Tanralili menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara luas hutan, curah hujan dan debit air
di sub DAS Tanralili terkait pemenuhan sumber air bagi masyarakat.
LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian di sub DAS Tanralili yang secara geografis merupakan bagian dari DAS Maros
yang terletak antara 5o 0’ sampai dengan 5 o 12’ LS dan 119 o 34’ sampai dengan 119 o 56’ BT. Secara
administrasi sub DAS ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Maros (Kecamatan Cenrana, Tanralili
dan Tompobulu) dan Kabupaten Gowa (Kecamatan Parangloe, Tinggimoncon dan Tombolopao)
Provinsi Sulawesi Selatan. Luas sub DAS Tanralili adalah 25.684 ha yang sebagian besar berada
dalam wilayah Kabupaten Maros (78,31% atau 20.112 ha). Letak sub DAS Tanralili secara jelas dapat
dilihat pada Gambar 1.
Geologi sub DAS Tanralili diklasifikasikan atas 10 (sepuluh) jenis geologi. Lava merupakan
jenis geologi yang paling banyak ditemukan di sub DAS Tanralili meliputi 8.679 ha atau 33,79% dari
total luas sub DAS Tanralili. Berikutnya adalah formasi camba meliputi 6.016 ha atau 23,42%, batuan
gunungapi baturapa meliputi 4.613 ha atau 17,96%, dan selebihnya adalah jenis geologi breksi, basal
dan retas basal, batuan gunungapi langi, endapan sumbat, formasi tonasa, dan suit dondo. Peta jenis
geologi dapat dilihat pada Gambar 2.
Jenis tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan dan
perencanaan penggunaan lahan. Klasifikasi jenis tanah di sub DAS Tannralili, dibagi dalam 3 jenis
yaitu dystropepts, rendolls, dan trapaquepts. Jenis tanah dystropepts adalah paling banyak dijumpai
di sub DAS Tanralili yakni sekitar 23.733 ha atau sekitar 92,40% dari total luas sub DAS Tanralili.
Selanjutnya adalah rendolls yakni sekitar 5,51% (1.415 ha) dan trapaquepts yakni sekitar 2,09%
(536 ha). Peta berbagai jenis tanah sub DAS Tanralili dapat dilihat pada Gambar 3.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 71
KOMISI B
Gambar 3. Peta jenis tanah sub DAS Tanralili Provinsi Sulawesi Selatan
METODE
Berbagai metode pengumpulan data digunakan untuk tujuan penelitian ini. Survei biofisik, analisis
statistik, analisis GIS berbasis peta citra landsat tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 digunakan
dalam penelitian ini. Survei biofisik meliputi aspek hidrologi, penggunaan lahan dan penutupan
hutan. Analisis statistik dilakukan pada data biofisik berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan.
Sedangkan analisis GIS (GIS ArcMap version 9.3) dilakukan pada data berupa peta yang dikumpulkan
seperti tanah, geologi, penggunaan lahan dan topograpi DAS.
Tabel 1. Perubahan penggunaan lahan di sub DAS Tanralili berdasarkan data AsterDEM tahun 2000,
2003, 2006, 2009 dan 2011.
Tahun 2011
Gambar 4. Perubahan penggunaan lahan dari tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2011
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 73
KOMISI B
Dari gambar 4 menunjukkan bahwa dalam kurung waktu tahun 2000 ke tahun 2011, hutan
sekunder berkurang 1,01% atau seluas 259 ha, semak belukar berkurang 56,67% atau seluas 14.555 ha,
pertanian lahan kering campuran bertambah 57.68% atau seluas 14.814 ha. Nampak jelas perubahan
lahan tahun 2000 dari semak belukar menjadi pertanian lahan kering campuran di tahun 2003.
Penetapan fungsi kawasan hutan di sub DAS Tanralili, luas kawasan hutan mencapai 18.222 ha atau
70.95% dari total luas sub DAS Tanralili. Luas ini meliputi 37,07% (9.521 ha) adalah kawasan hutan
lindung dan sekitar 33,88% (8.701 ha) adalah kawasan hutan produksi. Kenyataanya luas hutan
berdasarkan data penutupan lahan tahun 2011, luas hutan hanya sekitar 5.817 ha atau 22,7%.
Dari klasifikasi kawasan hutan di sub DAS Tanralili, sekitar 37,07% (9.521 ha) merupakan kawasan
hutan lindung, sekitar 33,88% (8.701 ha) merupakan kawasan hutan produksi, dan sekitar 16,52%
(4.242%) merupakan areal penggunaan lain. Selebihnya merupakan kawasan hutan produksi
terbatas, perairan dan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul) (Gambar 5).
Gambar 5. Peta kawasan hutan pada sub DAS Tanralili Provinsi Sulawesi Selatan
2. Curah Hujan
Secara umum curah hujan tahunan di sub DAS Tanralili berkisar antara 2.385 mm sampai
dengan 4.056 mm per tahun. Distribusi curah hujan tahunan dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah
ini.
Gambar 6. Peta curah hujan tahunan pada sub DAS Tanralili Provinsi Sulawesi Selatan
74 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Pengamatan curah hujan di sub DAS Tanralili dilakukan oleh berbagai pihak antara lain BMKG Maros,
Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Sulawesi Selatan, dan Balai Besar Wilayah Sungai
Pompengan-Jeneberang. Pada Gambar 7 dan 8 di bawah ini adalah kondisi curah hujan selama tahun
1970 sampai dengan 2012 di sub DAS Tanralili (5o5’ LS , 119 o 37’ BT). Dari Gambar 7 menunjukkan
bahwa rata-rata curah hujan tahunan di lokasi ini adalah 3.550 mm dengan curah hujan tertinggi
terjadi pada tahun 1981 dengan curah hujan adalah 5.969 mm. Sedangkan curah hujan terendah
terjadi pada tahun 2003 dengan curah hujan adalah 1.929 mm. Curah hujan yang tinggi terjadi
umumnya pada bulan Desember, Januari, Februari, dan Maret. Curah hujan yang tinggi dibulan-
bulan tersebut seringkali menyebabkan terjadinya banjir di Kecamatan Tanralili dan sekitarnya.
Rata-rata curah hujan bulanan di lokasi pengamatan ini adalah 296 mm.
7000
6000
5000
Curah hujan (mm)
4000
3000
2000
1000
0
1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012
Tahun
Gambar 7. Curah hujan tahunan di Kecamatan Tanralili sub DAS Tanralili, 1970 – 2012
(Sumber data setelah diolah: Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Sulawesi Selatan, 2013).
800
700
Curah hujan (mm)
600
500
400
300
200
100
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
Bulan
Gambar 8. Curah hujan bulanan di Kecamatan Tanralili sub DAS Tanralili, 1970 – 2012
(Sumber data setelah diolah: Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Sulawesi Selatan, 2013).
3. Debit Air
Data debit air sungai sub DAS Tanralili (05o8’19.7’’ LS dan 119 o 38’28.9’’ BT), periode
pengamatan tahun 1977 sampai dengan 2011 menunjukkan bahwa debit air tertinggi adalah 180,48
m3/det terjadi pada bulan Februari 1997 dan debit air terendah 0,55 m3/det terjadi pada bulan
Oktober 1991. Debit air rata-rata adalah 19,33 m3/det, dengan nilai Koefisien Regim Sungai (KRS)
rata-rata 17,77. Nilai KRS ini menunjukkan karakteristik tata air DAS dimana nilai KRS <50 adalah
baik, KRS 50 – 120 adalah sedang, dan KRS >120 adalah jelek. Ini berarti berdasarkan nilai KRS sub
DAS Tanralili adalah dalam kategori baik. Tabel 2 menunjukkan data debit air rata-rata, minimum,
dan maksimum serta nilai KRS sub DAS Tanralili.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 75
KOMISI B
Tabel 2. Debit air rata-rata, minimum, maksimum, dan nilai KRS sub DAS Tanralili (1977 – 2011).
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh curah hujan terhadap jumlah debit air adalah
sangat tinggi. Ini dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah ini bahwa semakin tinggi curah hujan maka
semakin meningkat jumlah debit air yang dihasilkan. Dapat diketahui bahwa curah hujan yang tinggi
terjadi pada bulan Desember, Januari, Februari, dan Maret menghasilkan rata-rata debit air sebesar
41,39 m3/det. Sedangkan pada curah hujan rendah yang terjadi pada bulan April, Mei, Juni, Juli,
Agustus, Oktober, dan Nopember menghasilkan rata-rata debit air hanya sebesar 8,30 m3/det.
300 700
Debit Max Debit Min
250 600
Debit Rata-Rata Curah Hujan
Curah Hujan Bulanan (mm)
500
200
Debit Air (m3/det)
400
150
300
100
200
50 100
0 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Gambar 9. Debit air sungai rata-rata, maksimum, dan minimum serta curah hujan di sub DAS
Tanralili (Data tahun 1977 – 2011)
Beberapa pengukuran tinggi muka air dan debit air sungai yang dilakukan di dua lokasi di sub
DAS Tanralili tahun 2013 dengan kondisi tidak ada hujan pada hari pengukuran seperti ditunjukkan
pada Tabel 3. Rata-rata tinggi muka air harian pada bulan Mei 2013 sampai dengan bulan Nopember
2013 adalah 0,39 m, sedangkan debit air rata-rata pada bulan Mei 2013 sampai dengan bulan
Nopember 2013 adalah 2,05 m3/det. Ini menunjukkan bahwa pada bulan-bulan yang kurang hujan
dilokasi ini, tinggi muka air dan debit air relatif rendah dan stabil.
76 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Tabel 3. Pengukuran muka air harian dan debit air di Kecamatan Tompobulu dan Kecamatan Tanralili
sub DAS Maros tahun 2013
Muka Air Harian (m)
Lokasi
Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop
Tompobulu 0,42 0,53 0,26 0,31 0,30 0,34 0,47
Tanralili 0,49 0,34 0,53 0,42 0,27 0,25 0,43
Rata-Rata 0,46 0,44 0,40 0,37 0,29 0,30 0,45
3
Debit Air (m /det)
Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop
Tanralili 2,01 2,28 1,41 1,78 1,62 1,92 2,17
Tompobulu 2,76 1,87 3,13 2,53 1,52 1,39 2,23
Rata-Rata 2,39 2,08 2,27 2,16 1,57 1,66 2,20
Secara khusus membandingkan luas penutupan hutan, curah hujan, dan debit air pada tahun
2000, 2006, 2009 dan 2011 disajikan pada Gambar 10 di bawah ini. Terlihat bahwa perubahan luas
hutan menurun dari tahun 2003 ke tahun 2006 seluas 1,01% atau seluas 259 ha tidak mengakibatkan
penurunan jumlah debit air sungai secara signifikan. Dapat dipahami bahwa dengan persentase
perubahan yang tidak besar (1,01%) tersebut dengan curah hujan tinggi, tetap meningkatkan jumlah
debit air sungai yang dihasilkan. Selain itu, pengaruh hutan nampak jelas dari beberapa pengamatan
yang telah dilakukan bahwa nampaknya penutupan lahan dengan berkurangnya luas hutan sangat
mempengaruhi tingginya tingkat erosi yang terjadi di daerah penelitian ini. Upaya untuk tetap
mempertahankan luas hutan paling tidak untuk menjaga kualitas air sebagai sumber bahan baku air
minum bagi Kota Makassar dan Kabupaten Maros dari tingkat kekeruhan sungai akibat erosi adalah
menjadi sangat penting.
50 5000
Debit Air (m3/det)
40 4000
30 3000
20 2000
10 1000
0 0
1
2000 2
2003 3
2006 4
2009 5
2011
Waktu
Gambar 10 Hubungan luas hutan, debit air sungai, dan curah hujan di Sub DAS Tanralili
1. Kesimpulan
1. Berbagai kondisi biofisik sub DAS Tanralili berupa geologi, tanah, kemiringan lereng, kondisi
hutan, penutupan lahan, dan curah hujan mempengaruhi tata air yang ada dalam sub DAS Tanralili.
2. Hasil penelitian hubungan antara luas penutupan hutan, curah hujan, dan debit air pada tahun
2000, 2006, 2009 dan 2011 menunjukkan bahwa perubahan luas hutan yang menurun dari
tahun 2003 ke tahun 2006 seluas 1,01% atau seluas 259 ha tidak mengakibatkan penurunan
jumlah debit air sungai secara signifikan. Pengaruh curah hujan terhadap jumlah debit air
adalah sangat signifikan. Semakin tinggi curah hujan maka semakin meningkat jumlah debit
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 77
KOMISI B
air yang dihasilkan. Curah hujan yang tinggi pada bulan Desember, Januari, Februari, dan Maret
menghasilkan rata-rata debit air sebesar 41,39 m3/det. Sedangkan pada curah hujan rendah pada
bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, Oktober, dan Nopember menghasilkan rata-rata debit air
hanya sebesar 8,30 m3/det.
2. Saran
Manajemen pengelolaan tata air sangat diperlukan di sub DAS Tanralili, terutama
pembangunan bendungan yang sesuai untuk mengurangi masalah kekeringan pada musim kemarau
dan banjir pada musim hujan disamping pemenuhan kebutuhan sumber air bersih dan kebutuhan
lainnya. Mengembalikan fungsi kawasan hutan yang hilang perlu dilakukan di sub DAS Tanralili.
Seberapa luas hamparan yang perlu ditutup oleh hutan dalam sub DAS Tanralili sehingga fungsi-fungsi
tersebut dapat dipenuhi, paling tidak mengacuh pada Undang-undang RI No 41 tahun 1999 perlu
untuk mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Bosch, J.M., and J.D. Hewlett, 1982. A review of catchmenet experiments to determine the effect of
vegetation changes on water yield and evapotranspiration, Hydrology, Vol.55, pp. 3-23.
Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Sulawesi Selatan, 2013. Laporan Debit Air Tanralili
Tahun 1970-2011.
Hibbert, A.R., 1967. Forest treatment effects on water yield, Forest Hydrology, edited by W.E. Sopper
and H.W. Lull, pp. 527-543, Pergamon, New York.
Lull, H.W., and N.G. Reinhart, 1967. Increasing water yield in the north-east by management of
forested watersheds, Pap. NE-66, U.S. Forest Serv.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Hutan, 2009. Prosiding Worshop: Peran
hutan dan kehutanan dalam meningkatkan daya dukung DAS, Surakarta, 22 Nopember 2007.
Trimble, S.W., F.H. Weirich, and B. L. Hoag, 1987. Reforestation and the reduction of water yield on
the Southern Piedmont sin circa 1940. Water Resources Research, Vol.23, No.3, pp. 425-437.
78 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
ABSTRAK
Ekosistem Mangrove merupakan salah satu bagian dari Daerah Tangkapan Air (catchment area)
di wilayah pesisir yang memiliki posisi khas dan unik yakni sebagai penyambung (interface) antara
ekosistem daratan dengan ekosistem lautan, namun sangat rentan terhadap kerusakan jika terjadi
perubahan pada salah satu unsur pembentuknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
sistem jaringan sungai dan jenis-jenis pemanfaatan ekosistem mangove oleh masyarakat Tanjung
Malakosa yang berpengaruh terhadap karakteristik fisik perairan serta mengkaji stabilitas
pertumbuhan ekosistem mangrove, sebagai dasar kegiatan mengintervensi kawasan ekosistem
mangrove Tanjung Malakosa agar dapat mengharmonisasikan fungsi ekologi dan ekonomi ekosistem
mangrove.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologi dengan sosial sehingga menghasilkan data
kualitatif dan kuantitatif. Data Kualitatif mengenai sistem jaringan sungai dan jenis pemanfaatan
kawasan ekosistem mangrove Tanjung Malakosa dilakukan dengan metode observasi dan wawancara
tentang aktivitas masyarakat baik terhadap kawasan maupun terhadap komponen ekosistem
mangrove. Selanjutnya data kuantitatif menyangkut karakteristik fisik perairan dan stabilitas
pertumbuhan vegetasi mangrove menggunakan metode “nested sampling” atau metode jalur
berpetak. dengan jumlah jalur 12 yang menghasilkan 190 petak contoh dan 24 sampel air.
Karakteristik fisik perairan masih relatif sesuai untuk pertumbuhan vegetasi mangrove
kecuali salinitas 29%o-35%o, kekeruhan (23-63 NTU) dan oksigen terlarut (3,8-4 mg/l) akibat
terganggunya suplai air tawar dan air laut pada beberapa tempat seperti di Tamasofo, Malakosa
dan Tumpapa dengan jenis-jenis pemanfaatan lahan mangrove yakni tambak, pemukiman, jalan,
dermaga/pelabuhan dan pengambilan kayu. Indeks keanekaragaman jenis rendah (0,49-0,71)
dengan distribusi individu jenis yang tidak merata (0-1) untuk semua tingkat pertumbuhan yang
mengindikasikan ekosistem mangrove Tanjung Malakosa saat ini tidak stabil atau labil.
Kata Kunci : Ekosistem, Mangrove, Catchment area, Stabilitas Pertumbuhan.
PENDAHULUAN
Ekosistem Mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan khas yang terdapat di wilayah
pesisir dan lautan. Khasnya ekosistem mangrove terjadi karena mempertemukan ekosistem daratan
dan perairan laut, yang juga merupakan mata rantai siklus biologis di suatu perairan. Stabilitas
ekosistem mangrove sangat dipengaruhi karakteristik habitatnya atau faktor yang berpengaruh
terhadap keberlangsungan kehidupan vegetasi mangrove. Struktur, komposisi, distribusi dan jenis,
serta pola pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan edaphik
yakni tanahnya yang berlumpur campur pasir, di pengaruhi pasang surut air laut, tumbuh di pantai,
delta/muara sungai, aerasi buruk dan miskin oksigen (Bratawinata, 2001; Bratawinata, 2012).
Suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien, stabilitas substrat (Dahuri, dkk., 2001). Fisiografi
pantai, iklim, pasang surut, gelombang dan arus, salinitas, oksigen terlarut, tanah, nutrient dan
proteksi (Anonim, 2003).
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 79
KOMISI B
Namun berdasarkan hasil penelitian Toknok (2012) menyatakan bahwa faktor lingkungan
utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove yakni kondisi salin
(5%o–32%o), substrak berlumpur dan fisiografi pantai yang relatif datar. Dimana salinitas dipengaruhi
oleh pasang surut, penguapan, curah hujan dan suplai air dari jaringan sungai. Selanjutnya substrak
terbentuk dari sedimentasi, pelapukan batuan dan bahan organik. Sedimentasi terjadi ketika
gerakan air dari sistem sungai yang mengalami pelambatan akibat berkurangnya kelerengan pantai
(landai hingga datar). Pada wilayah inilah terbentuk penumpukan serta penyebaran endapan yang
luasnya tergantung pada panjang dan lebar bidang permukaan tanah (datar) serta faktor-faktor
pendukung lainnya. Dengan demikian, faktor kelandaian pantai menjadi penting dalam dua hal
yaitu pengenangan daratan oleh air laut dari peristiwa pasang surut yang memberikan perubahan
salinitas dan terjadinya sedimentasi, sehingga faktor kelandaian pantai menjadi kunci utama dalam
pembentukan substrak dan salinitas. Pada pantai yang landai akan dijumpai sabuk mangrove yang
tebal dibandingkan dengan pantai yang terjal.
Keberadaan mangrove memiliki peranan dan fungsi ekologis dan ekonomis penting terhadap
wilayah pesisir dan berbagai komponen lingkungan hidup disekitanya. Ekosistem mangrove
memiliki fungsi penting sebagai perlindungan pantai (abrasi, intrusi, filter polutan) dan penunjang
pokok terhadap sistem biota air dan terrestrial (feeding ground, nursery ground, shelter, sumber
nutrien). Melihat peranan dan fungsi tersebut, maka ekosistem mangrove dapat menjadi salah
satu modal dasar bagi pembangunan nasional. Namun kualitas dan kuantitas sumberdaya tersebut
semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan yang berlebihan (over exploitation)
terhadap kawasan ekosistem mangrove maupun ekosistem di hulunya pada suatu derah tangkapan
air (watershed catchment area) yang berdampak terhadap lingkungan sekitar seperti banjir, erosi,
abrasi, intrusi air laut, kekeringan di musim kemarau dan bencana lain yang merugikan manusia.
80 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Penelitian ini mengkaji tentang eksisting kondisi ekosistem mangrove Tanjung Malakosa
sebagai salah satu muara dari DTA Dolago Puna dengan tujuan mengidentifikasi sistem jaringan
sungai dan jenis-jenis pemanfaatan ekosistem mangove oleh masyarakat Tanjung Malakosa yang
berpengaruh terhadap karakteristik fisik perairan serta mengkaji stabilitas pertumbuhan ekosistem
mangrove.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi mengenai kondisi
sistem jaringan sungai akibat perubahan pemanfaatan kawasan ekosistem mangrove Tanjung
Malakosa dengan karakteristik fisik perairan dan kondisi pertumbuhan vegetasinya, sehingga dapat
dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dalam wacana pengembangan Ilmu Pengetahuan, altenatif
pertimbangan dalam rangka penataan dan pengelolaan kawasan oleh instansi terkait.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada ekosistem mangrove Tanjung Malakosa Kecamatan Balinggi,
Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, mulai bulan April sampai Juli 2014.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tali rafia, alkohol 70%, karung goni, kertas
koran, botol air, kartu etiket gantung dan etiket tempel (label). Selanjutnya peralatan yang meliputi
global possitioning system (GPS), hand refractometer, pH meter, thermometer kompas, gunting
stek, parang, handsprayer, kamera, tally sheets, buku catatan, mistar dan alat tulis menulis serta
buku pengenalan jenis di lapangan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan ekologi dengan sosial
sehingga menghasilkan data kualitatif dan kuantitatif. Data Kualitatif mengenai sistem jaringan
sungai, jenis pemanfaatan kawasan ekosistem mangrove Tanjung Malakosa dilakukan dengan metode
observasi langsung ke lapangan dan mewawancarai aktivitas masyarakat baik terhadap kawasan
maupun terhadap komponen ekosistem mangrove, dengan jumlah responden sebanyak 45 orang dari
tiga dusun yang bersentuhan langsung dengan ekosistem mangrove, dimana masing-masing dusun
diambil 15 orang dengan pertimbangan bahwa pengulangan 15 kali sudah cukup mewakili untuk
memperkuat data dan informasi.
Selanjutnya data kuantitatif menyangkut karakteristik fisik perairan dan stabilitas
pertumbuhan vegetasi mangrove menggunakan metode “nested sampling” atau metode jalur
berpetak yaitu kombinasi antar cara jalur dan garis berpetak. Berdasarkan hasil orientasi lapangan,
selanjutnya ditentukan 12 jalur pengamatan yang dibuat tegak lurus dengan garis pantai sepanjang
kawasan mangrove di Tanjung Malakosa. Pengamatan tingkat pohon dilakukan dengan cara jalur
berpetak (10 m x 10 m), sedangkan pengamatan tingkat semai dan pancang dilakukan dengan cara
garis berpetak dengan ukuran 5 m x 5 m (pancang) dan 2 m x 2 m (semai) yang diletakkan secara
berselang seling terhadap sumbu jalur dalam plot pengamatan pohon. Data yang dikumpulkan
adalah nama jenis pohon, dan jumlah individu tiap jenis. Jenis-jenis yang ditemukan diidentifikasi
menggunakan rujukan Kitamura, dkk., (1997), Rusila dkk., (2006) dan Kusmana dkk., (2008). Pada
setiap bagian depan dan bagian belakang jalur pengamatan vegetasi, dilakukan pengambilan sampel
air dengan parameter salinitas, pH, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen
biokimia (Biochemiycal Oxygen Demand, BOD) serta kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen
Demand, COD), kekeruhan dan padatan terlarut /sedimen tersuspensi.
Penelitian ini bersifat yakni deskriptif analitik yakni memaparkan eksisting kondisi ekosistem
mangrove Tanjung Malakosa dan akan menelaah kaitan antara perubahan pemanfaatan lahan dengan
stabilitas ekosistem mangrove. Guna mendapatkan gambaran tentang stabilitas pertumbuhan
ekosistem mangrove menggunakan indeks Shanon dan Wiener (1949) dan indeks kemerataan Pielou
(1966) yang dikutip yang dikutip Odum (1993); Indriyanto (2006); Fachrul (2007).
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 81
KOMISI B
Keberadaan tambak, pemukiman, jalan dan infrastruktur lainnya telah mengacaukan bahkan
memutuskan aliran air dari sistem sungai yang ada. Salah satu faktor yang mendukung regenerasi
dan pertumbuhan mangrove adalah suplai air tawar dari sungai. Beberapa sistem sungai yang
bermuara ke Tanjung Malakosa antara lain Sungai Waytua, Sungai Malawuri, Sungai Ponindisila,
Sungai Laspopa, Sungai Malanjangboko, Sungai Penai, Sungai Tumpapa, Sungai Newusu dan Sungai
Rata Bangke. Namun, Sistem sungai yang terganggu alirannya antara lain Sungai Ponindisila,
Sungai Laspopa, Sungai Malanjangboko dan Sungai Tumpapa, sementara Sungai Penai terputus oleh
pemukiman dan infrastruktur jalan.
Terhambatnya suplai air tawar dan nutrien dari daratan karena keberadaan tambak, pemukiman,
jalan dan infrastrukrur lainnya dapat menyebabkan perubahan salinitas dan substrak ekosistem
mangrove. Selain itu, pembuatan saluran sirkulasi air dari tambak telah memperkecil luas genangan
sebab gerakan air pasang surut hanya terkonsentrasi dalam saluran tersebut. Jika ini berlangsung
terus menerus maka regenerasi dan pertumbuhan vegetasi mangrove yang ada sekarang akan
terganggu, yang akhirnya vegetasi mangrove bisa habis.
Hasil pengukuran kualitas air terutama parameter salinitas, pH, DO dan suhu menunjukkan
bahwa pada lokasi perairan Watu Keje relatif sesuai untuk pertumbuhan vegetasi mangrove,
sementara untuk lokasi perairan Malakosa dan Tamasofo, salinitas ≥33%o mungkin dapat menjadi
faktor pembatas pertumbuhan. Meskipun demikian, beberapa vegetasi mangrove mampu beradaptasi
atau toleran terhadap salinitas yang tinggi.
82 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Tabel 1. Evaluasi Komparatif Antara Parameter Hasil Karakteristik Fisik Perairan dengan Parameter
Baku Konservasi.
Umumnya kandungan oksigen terlarut pada perairan mangrove relatif rendah. Jadi, meskipun
kandungan oksigen pada perairan mangrove Tanjung Malakosa hanya 3,8-4 mg/l tidak berpengaruh
terhadap vegetasi.
Purba dan Khan (2010) menyatakan bahwa oksigen terlarut cukup penting bagi berlangsungnya
beberapa proses yang terjadi di lingkungan mangrove. Oksigen terlarut diperlukan vegetasi mangrove
dalam proses respirasi, sedangkan bagi beberapa biota kecil seperti bakteri dekomposer diperlukan
untuk proses dekomposisi sisa-sisa bahan organik menjadi detritus dan nutrisi/hara. Ekosistem
mangrove yang berlumpur dan jenuh air mengandung oksigen yang rendah dan bahkan tidak
mengandung oksigen terlarut, untuk itu vegetasi mangrove beradaptasi dengan sistem perakaran
yang khas dan lentisel pada berbagai organ vegetasi mangrove. Selain itu, kekurangan oksigen juga
dapat diatasi oleh adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh biota air seperti kepiting.
Lubang-lubang tersebut membawa oksigen ke bagian akar vegetasi mangrove (Ewusie, 1990).
Kandungan oksigen terlarut dalam perairan dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan kekeruhan.
Semakin tinggi suhu, salinitas dan kekeruhan air maka semakin rendah kandungan oksigen terlarut.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kelarutan oksigen dipengaruhi oleh kekeruhan
akibat tingginya padatan terlarut dalam perairan. Perairan mangrove Tanjung Malakosa yang berada
di atas ambang batas baku mutu lingkungan/kesesuaian konservasi yakni di Tamasofo bagian depan
(41 NTU) dan Watu Keje (56-63 NTU). Kekeruhan air tertinggi terjadi di Watu Keje yang mengandung
padatan terlarut sebesar 33 mg/l menyebabkan kekeruhan air mencapai 63 NTU atau 210% diatas
ambang batas, dengan oksigen terlarut rendah (3,8 mg/l). Purba dan Khan (2010) menyatakan bahwa
kekeruhan air menghambat penetrasi cahaya yang menyebabkan proses fotosintesis fitoplanton
terganggu sehingga oksigen yang dihasilkan rendah.
Nilai kekeruhan air yang memenuhi standar hanya di pantai Malakosa, namun yang menjadi
faktor pembatas kehidupan mangrove yakni salinitas yang tinggi yakni 35%o. Hal ini disebabkan
oleh berubahnya jaringan sungai yang bermuara ke pantai Malakosa. Sungai yang bermuara ke
pantai Malakosa yakni Sungai Penai (terputusnya oleh pemukiman) dan Sungai Malanjangboko
(berubah oleh tambak). Suplai air tawar untuk vegetasi mangrove di Malakosa hanya berasal dari
saluran sirkulasi air dari tambak.
Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah individu tidak terdistribusi secara merata ke semua
jenis vegetasi yang hadir/dijumpai. Ini terlihat dari nilai kemerataan yang berada di bawah nilai
satu, sehingga nilai keanekaragaman jenisnya pun menjadi rendah. Dimana keanekaragaman
jenis tergantung pada jumlah jenis dan kemerataan individu ke dalam masing-masing jenis. Secara
keseluruhan indek keanekaragaman jenis vegetasi mangrove yang ada di Tanjung Malakosa tergolong
rendah, dimana semua nilai H’ < 1. Nilai tertinggi pada pertumbuhan tingkat pancang sebesar 0,71
di Tamasofo dan terendah pada tingkat semai (0,48) di Tumpapa. Indeks keanekaragaman jenis
vegetasi pada tingkat pohon tertinggi di Watu Keje (0,60) dan terendah di Malakosa (0,53) dengan
jumlah jenis yang hadir sebanyak 7, namun yang berbeda yakni jumlah individu tiap jenis yang hadir
lebih tinggi (797:334). Selanjutnya pada pertumbuhan tingkat pancang dan semai nilai H tertinggi di
Tamasofo dan terendah di Tumpapa.
Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis tergantung pada banyaknya jenis dan jumlah individu
jenis. Jika jumlah jenisnya banyak dan jumlah individu masing masing jenis hampir sama (merata)
maka indeks keanekaragaman jenisnya akan tinggi. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan
bahwa jumlah jenis vegetasi paling banyak di Malakosa (13 jenis terutama tingkat pancang) tetapi
nilai keanekaragaman tertinggi terjadi di Tamasofo (7 jenis). Demikian pula dengan jumlah individu
terbanyak di Tamasofo pada tingkat pohon (992) namun yang tinggi pada tingkat pancang.
Berbeda dengan tipe hutan lain, umumnya vegetasi mangrove terdistribusi dalam zonasi yang
jelas berdasarkan penggenangan pasang surut, salinitas dan substrak, sehingga akan sulit untuk
terdistribusi ke semua lokasi kecuali jenis yang mampu beradaptasi luas seperti jenis Rhizophora
apiculata. Olehnya, keanekaragaman jenis vegetasi mangrove relatif lebih rendah meskipun jumlah
jenis dan kekayaan individunya tinggi, namun hanya melimpah dalam zonasinya masing-masing.
Jika terjadi gangguan yang menyebabkan perubahan salah satu unsur pembentuknya (substrak dan
salinitas) maka jenis vegetasi yang ada pada zona tersebut akan mati/punah. Ini mengindikasikan
84 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
bahwa ekosistem mangrove terutama mangrove Tanjung Malakosa merupakan ekosistem yang labil
yang ditunjukkan dengan indeks keanekaragaman jenis vegetasi rendah (0,49-0,71). Giesen (2006)
yang dikutip Purnomo (2010) menyatakan bahwa ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem
yang sangat dinamis dan kebanyakan ahli menganggap semua vegetasi mangrove adalah jenis pionir
dan mengalami pertumbuhan klimaks dalam zonanya.
Hasil analisis indeks kemerataan menunjukkan bahwa distribusi individu diantara jenis-
jenis yang ada sangat jauh berbeda dengan nilai evenness (e) berkisar antara 0 sampai 1. Ini berarti
bahwa ada jenis yang memiliki kekayaan individu yang tinggi sementara jenis lainnya jumlah
individunya rendah bahkan bisa hanya hadir satu individu. Pertumbuhan tingkat semai mempunyai
nilai kemerataan yang tertinggi yakni sebesar 0,85 di Watu Keje dan yang terendah adalah tingkat
pancang (0,62) di Malakosa. Hal ini berarti bahwa pembagian dari 556 individu di antara lima jenis
yang hadir pada tingkat semai terdistribusi secara merata dalam komunitas.
Jumlah individu yang tinggi tidak mencerminkan bahwa individu-individu di antara jenis
yang ada terdistribusi dengan rata. Ini terlihat pada pertumbuhan tingkat pancang yang mempunyai
individu lebih banyak (650) di Malakosa dari tingkat semai tetapi Indeks kemerataannya paling
rendah. Hal ini dimungkinkan terjadi jika ada jenis tumbuhan yang lebih dominan atas jenis yang lain
sehingga jumlah individunya lebih banyak. Jumlah individu suatu jenis ditentukan oleh daya adaptasi
jenis tersebut untuk tumbuh dan berkembang dalam ekosistem yang tergantung pada kemampuan
untuk bersaing dalam mendapatkan unsur hara, cahaya, ruang tumbuh. Faktor lingkungan tumbuh
utama bagi kehidupan vegetasi mangrove yakni substrak berlumpur dan salinitas.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Tanjung Malakosa dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
beberapa hal yaitu:
1. Jenis-jenis utama pemanfaatan lahan mangrove yakni tambak, pemukiman, jalan, dermaga/
pelabuhan dan pengambilan kayu.
2. Karakteristik fisik perairan masih relatif sesuai untuk pertumbuhan vegetasi mangrove
kecuali salinitas 29%o-35%o, kekeruhan (23-63 NTU) dan oksigen terlarut (3,8-4 mg/l) akibat
terganggunya suplai air tawar dan air laut pada beberapa tempat seperti di Tamasofo, Malakosa
dan Tumpapa.
3. Indeks keanekaragaman jenis rendah (0,49-0,71) dengan distribusi individu jenis yang tidak
merata (0-1) untuk semua tingkat pertumbuhan yang mengindikasikan ekosistem mangrove
Tanjung Malakosa saat ini sangat labil.
B. Saran
1. Mengingat suplai air tawar dan pasang surut telah terganggu maka perbaikan pola hidrologi
sangat penting dilakukan untuk meningkatkan stabilitas ekosistem mangrove.
2. Mengingat ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang labil maka perlu dipertimbangkan
untuk menyediakan zona pemanfaatan terbatas untuk keperluan masyarakat yang tidak punya
barang substitusi.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 85
KOMISI B
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia. Buku II. Kerjasama
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Kementrian Lingkungan Hidup, Departemen Dalam
Negeri, LIPI, JICA Serta Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Buku II, 74 h.
Bratawinata, A. A., 2001. Ekologi Hutan Hujan Tropis dan Metode Analisis Hutan. Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman, Samarinda. 98 h.
Bratawinata, A. A., 2012. Ekologi Pesisir. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.
27 h.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.A., dan Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. 328 h.
Ewusie, J.Y., 1990. Elements of Tropical Ecology. ITB Press, Bandung. 369 h.
Fachrul, M.F., 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta. 198 h.
Kitamura, S., Anwar, C., Chaniago, A., dan Baba, S., 1997. Handbook of Mangrove in Indonesia. The
Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forestry Indonesia
and Japan International Coorporation Agency, Bali Indonesia. 119 h.
Kusmana, C., Istomo., Wibowo, C., Budi, R.W., Siregar, I.Z., Tiryana, T., dan Sukardjo, S., 2008.
Manual Of Mangrove Silviculture In Indonesia. Coolaboration Between Directorat General Of
Land Rehabilitation And Social Forestry, Ministry Of Forestry And With Korea International
Cooperation Agency (KOICA). The Project Rehabilitation Mangrove Forest and Coastal Area
Damaged by Tsunami in Aceh, Jakarta. 217 h.
Odum, P. E., 1993. Fundamentals of Ecology. UGM Press, Yogyakarta. Edisi III, 574 h.
Purba, N.P., dan Khan, A.M.A., 2010. Karakteristik Fisik-Kimia Perairan Pantai Dumai Pada Musim
Peralihan. Jurnal Akuatika volume 1, nomor 1; 1-16.
Purnomo, M.B., 2010. Ekologi Mangrove. Makalah Pelatihan Rehabilitasi Mangrove, Palu. 17 h.
Rusila, Y. N., Khazali, M., Suryadiputra, I. N. M., 2006. Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia.
Ditjen PKA dan Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor. 220 h.
Toknok, B., 2012. Restorasi Ekosistem Mangrove Tanjung Malakosa Di Kabupaten Parigi Moutong
Sulawesi Tengah. Disertasi Program Doktor Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman,
Samarinda.
86 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
ABSTRAK
LATAR BELAKANG
Pengertian kawasan konservasi dalam arti luas adalah kawasan dimana konservasi
sumberdaya alam hayati dilakukan. Kawasan tersebut meliputi area yang ditetapkan sebagai kawasan
suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA), taman buru dan hutan lindung. Didalam kawasan
konservasi terdapat hubungan timbal balik dan saling ketergantungan antara komponen ekosistem
seperti tanah, air, udara, hewan dan vegetasi yang hidup didalamnya, termasuk juga manusia yang
tinggal disekitarnya. Hubungan timbal balik ini dapat bersifat positif (saling memberi manfaat)
atau negatif (saling merugikan). Ketika manusia sadar akan keberadaan suatu kawasan konservasi
yang bisa memberikan mereka sumber air sepanjang tahun untuk kebutuhan hidup, pertanian dan
lain-lain, maka mereka akan berusaha untuk melestarikan kawasan konservasi tersebut. Hubungan
timbal balik seperti ini adalah salah satu contoh hubungan yang positif. Sebaliknya hubungan negatif
terjadi ketika terdapat perambahan kawasan konservasi yang menyebabkan berukurangnya habitat
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 87
KOMISI B
satwa. Akibat dari berkurangnya habitat satwa ini berdampak kepada semakin meningkatnya
gangguan-gangguan satwa terhadap lahan-lahan pertanian atau perkebunan milik masyarakat di
tinggal sekitar kawasan konservasi.
Pembahasan mengenai air, baik ketersediaan maupun pemanfaatannya dalam suatu area,
termasuk juga dalam kawasan konservasi, tidak akan pernah lepas dari konteks daerah aliran sungai
(DAS) sebagai sebuah sistem hidrologi. Input dalam DAS yang berupa air hujan akan direspons oleh
tanah, vegetasi dan topografi menghasilkan output berupa aliran permukaan yang terukur di outlet
DAS. Air yang tersedia dari aliran sungai inilah yang langsung bisa dimanfaatkan oleh masyarakat
disekitar kawasan konservasi untuk untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya.
Ketika sebuah area DAS didominasi oleh kawasan konservasi, maka hasil aliran permukaan
sangat tergantung pada kondisi kawasan konservasi tersebut. Baik buruknya pengelolaan kawasan
konservasi tercermin dari kondisi biofisiknya dan kehidupan satwa yang ada didalamnya. Respons
dari kondisi biofisik DAS yang didominasi oleh kawasan konservasi ini pada akhirnya akan
mempengaruhi kondisi tata air DAS yang bersangkutan.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran bentuk sinergi pengelolaan
kawasan konservasi dan pengelolaan DAS khususnya dalam upaya mencapai pemanfaatan air dan
energi air yang optimal di SM, TN, Tahura dan TWA. Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud
kawasan konservasi yang digunakan dalam makalah ini adalah mengacu kepada kawasan-kawasan
SM, TN, Tahura dan TWA.
Keberadaan kawasan konservasi dalam sebuah DAS memiliki pengaruh yang cukup penting
terhadap kondisi daya dukung DAS. Paling tidak terdapat dua alasan yang melatarbelakanginya.
Pertama, dalam konteks morfologi DAS, pada umumnya kawasan konservasi terletak pada bagian hulu
DAS. Bagian hulu DAS ini memiliki ciri-ciri topografi bergelombang, berbukit dan atau bergunung,
kerapatan drainase relatif tinggi, merupakan sumber air dan sedimen yang masuk ke sungai utama.
Sehingga kawasan konservasi khususnya yang berada di hulu DAS ini harus dikelola dengan baik
untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS secara keseluruhan agar tidak mengalami
degradasi. Kedua, kawasan konservasi pada umumnya memiliki tutupan vegetasi yang relatif masih
rapat. Tutupan vegetasi yang rapat ini memiliki peran yang penting dalam mengkonservasi air yang
dapat dimanfaatkan oleh penduduk yang hidup di sekitarnya. Seresah yang dihasilkan oleh vegetasi
hutan dan kedalaman perakarannya memiliki peran dalam meningkatkan infitrasi air tanah dan
meningkatkan kapasitas menahan air (water holding capacity). Untuk menilai arti penting sebuah
kawasan konservasi di dalam DAS maka batas DAS harus didelineasi dengan memperhatikan batas
kawasan konservasi, sedemikian rupa sehingga kawasan konservasi merupakan area yang dominan
dalam DAS tersebut.
88 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Proses penyusunan rencana pengelolaan KSA dan KPA seperti yang diatur dalam Permenhut No.
P.41/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka alam dan
Kawasan Pelestarian Alam memerlukan data dan informasi mengenai aspek ekologi, salah satunya
adalah kondisi DAS dan sumber daya air. Disamping itu diperlukan juga data dan informasi mengenai
aspek ekonomi dan sosial budaya. Selanjutnya data-data tersebut dilakukan pengolahan data untuk
mengidentifikasi kondisi terkini, identifikasi masalah dan untuk mendapatkan gambaran proyeksi
kondisi kedepan.
Permasalahan umum yang mungkin dihadapi dalam pemanfaatan air dan energi air di
kawasan konservasi adalah batas kawasan konservasi yang tidak berimpit (coincident) dengan batas
DAS. Kawasan konservasi khususnya KSA dan KPA merupakan area yang ditetapkan berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu seperti yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP)
No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA. Dalam penetapan batas KSA dan KPA pada
umumnya digunakan kriteria bentang lahan dan tipe ekosistem. Kriteria tersebut berbeda dengan
penentuan batas DAS yang menggunakan batas-batas topografi. Dengan demikian batas kawasan
konservasi dan batas DAS tidak akan sama.
Permasalahan perbedaan batas DAS dan batas kawasan konservasi ini dapat diatasi dengan
melakukan delineasi batas DAS dengan memperhatikan batas kawasan konservasi. Ketika sebuah
kawasan konservasi merupakan areal yang paling dominan dalam sebuah DAS, maka identifikasi
potensi sumberdaya air dalam kawasan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
metode analisa hidrologi, dengan DAS sebagai satuan analisisnya. Identifikasi permasalahan dalam
kawasan konservasi yang terkait dengan pemanfaatan air dan energi air juga akan lebih relevan
jika menggunakan batas DAS. Hasil dari identifikasi potensi hidrologi dan atau permasalahan yang
mungkin timbul dari pemanfaatan air dan energi air di kawasan konservasi selanjutnya digunakan
untuk menyusun berbagai rencana seperti rencana pengelolaan KSA/KPA atau pembuatan proposal
pemanfaatan air dan energi air di kawasan konservasi.
Permenhut No. P.64 tahun 2013 merupakan sebuah peluang untuk mensinergikan
pengelolaan DAS dengan pengelolaan kawasan konservasi, dikarenakan Permenhut ini secara
spesifik mengatur pemanfaatan air dalam kawasan konservasi. Dalam hal ini pemanfaatan air
dan energi air merupakan unsur pemersatu yang memadukan kepentingan pengelolaan DAS dan
pengelolaan kawasan konservasi. Peluang ini harus diubah menjadi kekuatan dalam pengelolaan
sumber daya alam hayati dan ekosistem yaitu dengan cara memadukan aspek pengelolaan DAS
dan pengelolaan kawasan konservasi. Dengan menggunakan pendekatan tata air DAS diharapkan
pemanfaatan air dan energi air di kawasan konservasi menjadi lebih optimal dan kondisi alamiah
kawasan konservasi akan tetap terjaga.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 89
KOMISI B
Seperti yang sudah disebutkan dalam bagian terdahulu bahwa permasalahan umum yang
mungkin dihadapi dalam pemanfaatan air dan energi air di kawasan konservasi adalah batas kawasan
konservasi yang tidak berimpit (coincident) dengan batas DAS. Disisi lain kondisi DAS dan potensi
sumberdaya air dalam kawasan konservasi hanya bisa diidentifikasi dengan menggunakan DAS
sebagai satuan analisisnya.
Batas kawasan konservasi bersifat tetap karena sudah memiliki dasar hukum yang bersifat
mengikat. Dengan demikian penyesuaian hanya mungkin dilakukan pada batas DAS yaitu dengan
cara melakukan delineasi batas DAS berdasarkan topografi namun dengan mempertimbangkan
batas kawasan konservasi. Delineasi batas DAS dengan memperhatikan batas kawasan konservasi
ini pada prinsipnya menggunakan konsep yang hampir sama seperti yang dikemukakan oleh Paimin
et.al. (2012). Perbedaannya adalah bahwa Paimin et.al melakukan delineasi batas DAS dengan
memperhatikan batas wilayah administrasi untuk kebutuhan pengelolaan DAS dalam konteks
perencanaan pengelolaan DAS lintas wilayah administrasi.
Gambar 1 menyajikan ilustrasi proses delineasi batas DAS dengan memperhatikan batas
kawasan konservasi yaitu delineasi Sub DAS Nilo dengan memperhatikan batas Taman Nasional
Tesso Nilo (TNTN) di Provinsi Riau. TNTN memiliki areal seluas kurang lebih 82.732 Ha, termasuk
kedalam wilayah DAS Kampar, khususnya merupakan bagian dari Sub DAS Nilo (lihat Gambar 1a).
Terlihat bahwa secara morfologis wilayah TNTN termasuk kedalam bagian hulu Sub DAS Nilo.
Wilayah TNTN hanya mencakup ±25% terhadap luas Sub DAS Nilo. Identifikasi potensi sumberdaya
air pada prinsipnya sudah bisa dilakukan menggunakan Sub DAS Nilo sebagai satuan analisis. Namun
pengaruh TNTN terhadap tata air di Sub DAS Nilo dapat dikatakan belum terlalu dominan dikarenakan
persentase luasannya yang masih kecil. Untuk lebih menunjukan kontribusi kondisi biofisik TNTN
terhadap tata air di Sub DAS Nilo, maka batas Sub DAS harus didelineasi ulang sedemikian rupa
sehingga wilayah Sub DAS didominasi oleh areal TNTN. Hal ini dilakukan dengan cara menggeser
outlet Sub DAS Nilo ke arah hulu, sedemikian rupa sehingga persentase luas TNTN yang dicakup
oleh batas sub sub DAS yang baru diusahakan maksimal (mendekati 100%) (lihat Gambar 1b). Pada
Gambar 1c, terlihat wilayah yang diarsir merupakan area TNTN yang dicakup oleh batas sub DAS
yang baru yaitu meliputi ±45% dari luas Sub DAS. Dengan cakupan area yang lebih dominan ini maka
gambaran potensi sumberdaya air TNTN akan diwakili oleh potensi sumber daya air yang berikan
oleh Sub DAS tersebut.
Pendekatan lain yang bisa digunakan adalah dengan meliput area TNTN menggunakan
beberapa Sub-Sub DAS. Caranya adalah dengan menetapkan beberapa outlet dengan posisi lebih ke
arah hulu, sebagai titik awal dalan proses delineasi batas sub sub DAS tersebut (lihat Gambar 1d).
Pada gambar tersebut terlihat ada 6 area sub sub DAS dengan persentase cakupan wilayah TNTN
terhadap wilayah DAS berturut turut dari kiri ke kanan adalah 31%, 61%, 88%, 67%, 51%, 62%.
Dari persentase cakupan tersebut terlihat bahwa wilayah TNTN yang terliput oleh wilayah sub sub
DAS relatif menjadi lebih dominan lagi dibandingkan dengan cakupan sub DAS, sehingga kondisi
hidrologis yang tergambarkan diharapkan akan lebih terwakili. Namun konsekwensi dari metode ini
adalah kita harus melakukan beberapa perhitungan potensi hidrologis sebanyak jumlah sub sub DAS
yang ada.
90 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1. (a) Peta Lokasi TNTN di dalam Sub DAS Nilo; (b) Proses menggeser outlet Sub DAS Nilo
ke arah hulu; (c) Cakupan area TNTN yang masuk ke dalam Sub DAS Nilo bagian hulu
(wilayah yang diarsir); (d) Cakupan area TNTN yang masuk ke dalam beberapa Sub Sub
DAS di Sub DAS Nilo bagian hulu (wilayah yang diarsir) untuk lebih memaksimalkan
cakupan area TNTN dalam wilayah Sub DAS.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 91
KOMISI B
Dari sekian banyak metode neraca yang sudah dikembangkan, salah satunya adalah metode neraca
air Thornthwaite-Mather (Thompson, 1999) yang dapat dipertimbangkan sebagai metode pendekatan
untuk mengatasi kelangkaan data dalam suatu DAS. Adapun beberapa kelebihan dari metode neraca
air Thornthwaite-Mather ini antara lain: (i) metode perhitungannya relatif sederhana; (ii) tidak
memerlukan input data yang kompleks; (iii) dapat memberikan gambaran yang relatif menyeluruh
mengenai kondisi hidrologis dalam suatu DAS.
Sebagai contoh hasil identifikasi potensi hidrologi di suatu DAS, Tabel 1 menyajikan contoh
perhitungan neraca air untuk Sub sub DAS Setingkai di Provinsi Riau. Penyajian informasi hidrologis
tersebut dapat juga ditampilkan dalam bentuk grafik neraca air seperti terlihat dalam Gambar 2. Data-
data masukan yang diperlukan adalah: Data curah hujan rerata bulanan, data suhu rerata bulanan,
data digital elevation model (DEM), peta penutup lahan, dan peta sebaran tekstur tanah. Sub Sub DAS
Setingkai memiliki penutupan lahan dominan hutan lahan kering, dengan kemiringan lereng curam
hingga sangat curam, ketebalan solum dan perakaran relatif dalam.
Hasil perhitungan neraca air memperlihatkan bahwa nilai evapotranspirasi potensial dan
evapotranspirasi aktual memiliki tebal yang hampir sama sepanjang tahun, yang menandakan
kebutuhan air oleh tanaman selalu dapat dipenuhi sepanjang tahun, sehingga tidak ada keterbatasan
bagi tanaman untuk menggunakan air sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dikarenakan curah hujan
yang cukup tinggi dan kapasitas penahanan air yang juga tinggi. Gambar 2 memperlihatkan surplus
kelembaban tanah terjadi hampir sepanjang tahun, kecuali pada bulan Juni dan Juli. Pada bulan ini
tersebut defisit, yang menandakan pada bulan-bulan ini terjadi musim kemarau. Musim kemarau
yang terjadi juga relatif singkat ditandai dengan mulai terisinya air tanah pada bulan Agustus dan
September, sehingga mulai bulan September sudah terjadi surplus lagi.
Dengan menggunakan informasi-informasi potensi hidrologis tersebut maka perencanaan
pengelolaan sumberdaya air di kawasan konservasi menjadi lebih optimal. Simulasi ketersediaan
air pada masa yang akan datang, sebagai bentuk dampak dari pengelolaan kawasan konservasi atau
perubahan iklim, sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Tabel 1. Contoh tabel penghitungan Neraca Air di Sub sub DAS Setingkai, Provinsi Riau.
TO-
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES
TAL
T 26,1 26,4 26,8 27 27,5 27 26,9 26,8 26,4 26,6 26,4 26,2 54
P 275 180 283 255 202 126 135 169 188 257 293 316 2679
PE 131 123 144 144 159 144 146 144 132 140 132 133 1674
P-PE 144 57 139 111 43 -18 -11 25 56 117 161 183 1005
APWL 0 0 0 0 0 -18 -29 0 0 0 0 0 -47
ST 355 355 355 355 355 337 327 351 355 355 355 355 4210
dST 0 0 0 0 0 -18 -11 25 4 0 0 0 0
AE 131 123 144 144 159 144 146 144 132 140 132 133 1673
D 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1
S 144 57 139 111 43 0 0 0 52 117 161 183 1006
RO 207 158 178 173 130 78 47 28 31 89 150 200 1467
Water holding capacity (WHC) = 355 mm
Runoff rata-rata bulanan = 60 % dari tersedianya air untuk Runoff
Perhitungan Runoff dimulai bulan ke 9
KETERANGAN: T=Temperatur udara rata-rata bulanan (°C); P = Hujan rata-rata bulanan; PE = Evapotranspirasi Potensial
bulanan ; P-PE = Hujan dikurangi Evapotranspirasi; APWL = Akumulasi potensi air yang hilang (Accumulated Potential
Water Loss);ST = Kelengasan tanah tersimpan (Soil Moisture Storage); dST = Perubahan kelengansan tanah (Change in
Soil Moisture); AE = Evapotranspirasi aktual; D = Kekurangan lengas tanah (Moisture Deficit); S = Kelebihan lengas tanah
(Moisture Surplus)
92 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Gambar 2. Grafik Neraca Air di Sub sub DAS Setingkai, Provinsi Riau.
KESIMPULAN
Pendekatan pengelolaan DAS dapat digunakan dalam pengelolaan kawasan konservasi
khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan air dan energi air di kawasan konservasi seperti
yang diatur dalam Permenhut No. P.64/Menhut-II/2013. Pendekatan tersebut menggunakan asumsi
bahwa area DAS harus didelineasi dengan memperhatikan batas kawasan konservasi sedemikian
rupa sehingga kawasan konservasi merupakan area yang dominan dalam DAS. Dengan demikian
identifikasi potensi sumberdaya air di kawasan konservasi dapat menggunakan DAS sebagai satuan
analisis. Untuk mengantisipasi dampak negatif yang mungkin timbul dari pemanfaatan air di
kawasan konservasi maka diperlukan identifikasi permasalahan di kawasan konservasi yang terkait
dengan sumberdaya air. Dalam hal ini berbagai perangkat analisis yang biasa digunakan dalam proses
perencanaan DAS dapat digunakan, antara lain dengan menggunakan LFA dan analisis stakeholder.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 93
KOMISI B
DAFTAR PUSTAKA
Paimin, Irfan Budi Pramono, Purwanto, Dewi Retna Indrawati. 2012. Sistem Perencanaan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi (P3KR). Bogor.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.37 tahun 2013 tentang Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai.
94 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Syarifuddin Kadir
Email: odeng1987@yahoo.com
ABSTRAK
DAS sebagai unit pembangunan terutama daerah untik kepentingan tata air (Zhang et
al., 2008). Hernandez-Ramirez, (2008), perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaannnya
menggunakan DAS sebagai unit pengelolaan. Soemarno (2011) DAS dapat dimanfaatkan pemantauan
tata guna lahan, karena adanya keterkaitan biofisik daerah hulu, tengah dan hilir sebagai kesatuan
eksosistem. Sub DAS Negara, mempunyai masalah lingkungan terkait fungsinya sebagai pengatur
tata air (BPDAS Barito, 2013 dan Balitbangda Kal-Sel, 2010), sehingga perlu dilakukan kajian
perubahan penggunaan lahan untuk memulihkan daya dukung DAS sebagai pengatur tata air, agar
kerawanan banjir dapat dikendalikan.
Penelitian ini bertujuan merumuskan arahan pemulihan daya dukung DAS untuk
pengendalian kerawanan pemasok banjir. Data yang diamati untuk mengetahui peranan penggunaan
lahan terhadap tingkat kerawanan banjir dibutuhkan data primer dan sekunder yang terukur secara
kuantitatif. Hasil penelitian akan memberikan gambaran keruangan tingkat kerawanan banjir dan
arahan penggunaan lahan, Menggunakan pendekatan wilayah ekologi DAS yang proses analisis dan
penyajiannya secara spasial memanfaatkan SIG.
Hasil kajian diperoleh bahwa penggunaan lahan didominasi pertanian lahan kering dengan
jenis tanaman karet alam dan karet unggul (64,7%). Tingkat kerawanan banjir kondisi eksisting :
a) tidak rawan 6,97%; b) kurang rawan 73,07%; c) agak rawan 9,35%; dan d) rawan banjir 10,61%.
Kebijakan RHL untuk pengendalian kerawanan banjir dilakukan perubahan penggunaan lahan: a)
semak belukar 122,13ha menjadi karet alam; b) lahan terbuka 414,93ha menjadi karet alam; c) bekas
pertambangan 2.104,29ha reklamasi tanaman kehutanan, seluas 139,56ha dilakukan reklamasi
dengan tanaman kehutanan dan tindakan sipil teknis. Berdasarkan arahan penggunaan lahan dapat
memulihkan daya dukung DAS untuk menurunkan tingkat kerawanan pemasok banjir menjadi: a)
tidak rawan 6,97%; b) kurang rawan 83,28%; c) agak rawan 8,80%; dan d) rawan banjir 0,95%.
PENDAHULUAN
Latar belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan,
dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan. (UU Nomor 7/2004 tentang Sumberdaya Air).
Peningkatan populasi manusia dan perubahan penggunaan lahan pada suatu DAS merupakan
masalah utama, karena dapat menurunkan kualitas dan kuantitas air (Kometa, dan Ebot, 2012).
Selanjutnya Kusuma (2007), interaksi komponen dalam ekosistem DAS ini dapat dinyatakan
dalam bentuk keseimbangan input dan output dan ini mencirikan keadaan hidrologi ekosistem
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 95
KOMISI B
tersebut. Selanjutnya Rayes (2007), dalam memanfaatkan sumberdaya alam dalam suatu DAS untuk
penggunaan lahan tertentu, diperlukan pertimbangan yang matang dalam mengambil keputusan
mengingat tingginya persaingan dalam penggunaan lahan, baik untuk pertanian maupun non
pertanian.
Banjir merupakan kondisi debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya
akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga air
limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan
menggenangi daerah sekitarnya (Nan et al, 2005).
Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan dan perubahan
penutupan lahan (Paimin, Sukresno dan Pramono,2009). Penutupan lahan menjadi faktor utama
penyebab terjadinya variasi aliran permukaan yang merupakan sumber kerawanan banjir, walaupun
terjadi perubahan curah hujan (Jiang, Huang, dan Ruan, 2008).
Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Kalimantan Selatan dan Fakultas Kehutanan
Unlam 2010 melaporkan bahwa pada bagian hilir sub DAS Negara di Kabupaten Tabalong pada periode
tahun 2007 sampai 2010, terdapat 76 lokasi (desa) kejadian banjir di Kabupaten Hulu Sungai Utara
149 desa. Selanjutnya Kesbanglingmas Kabupaten Tabalong (2011) melaporkan bahwa kejadian
bencana banjir tahun 2005 – 2010 di sub DAS Negara Kabupaten Tabalong semakin meningkat.
Data penggunaan lahan tahun 2000 - 2011, terlihat bahwa di catchment area Jaing telah
terjadi perubahan penggunaan lahan yang dapat mempengaruhi kondisi tata air (Balai Pemantapan
Kawasan Hutan wilayah V Kalimantan, 2012). Penggunaan dan pentupan lahan yang tidak sesuai
dapat menurunkan fungsi DAS sebagai pengatur tata air, sehingga perlu adanya Kondisi DAS sebagai
pemasok kerawanan banjir, yang sehingga perlu adanya kajian indikasi dan implikasi dari kerusakan
lingkungan pada DAS tersebut (Kometa dan Ebot, 2012).
Sub DAS Negara, mempunyai masalah lingkungan terkait fungsinya sebagai pengatur tata air
(BPDAS Barito, 2013 dan Balitbangda Kal-Sel, 2010), sehingga perlu dilakukan kajian perubahan
penggunaan lahan untuk memulihkan daya dukung DAS sebagai pengatur tata air, agar kerawanan
banjir dapat dikendalikan
Penelitian ini bertujuan merumuskan arahan pemulihan daya dukung DAS untuk pengendalian
kerawanan pemasok banjir di sub DAS Negara Provinsi Kalimantan Selatan, tujuan ini dilakukan
melalui tahapan kajian sebagai berikut:
1. Menganalisis karakteristik sub DAS Negara Provinsi Kalimantan Selatan untuk mengetahui
tingkat kerawanan sebagai pemasok banjir
2. Menentukan arahan pengendalian kerawanan banjir melalu perubahan penggunaan lahan untuk
pemulihan daya dukung sub DAS Negara Provinsi Kalimantan Selatan.
Hasil kajian pengelolaan DAS yang dilaksanakan di sub DAS Negara diharapkan dapat
bermanfaat.
1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam rangka kajian kerawanan
banjir melalui pemulihan daya dukung DAS.
2. Acuan bertindak bagi para perencana pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pengendalian
kerawanan pemasok banjir.
96 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
METODE
Lokasi Penelitian
Penentuan tingkat kerawanan pemasok banjir berdasarkan data karakteristik DAS yang
terdiri atas: a) penggunaan lahan; b) curah hujan; c) lereng; d) tata air (jaringan sungai, infiltrasi,
dan debit air); dan e) lahan kritis. Selanjutnya berdasarkan kondisi eksisting tingkat kerawanan
pemasok banjir dilakukan simulasi perubahan penggunaan lahan dalam rangka penentukan
arahan pemulihan daya dukung DAS untuk pengendalian kerawan banjir melalui perubahan
penggunaan lahan menggunakan pendekatan wilayah ekologi DAS yang proses analisis dan
penyajiannya dilakukan secara spasial
dengan memanfaatkan teknologi Sistem
Informasi Geografis (SIG), sehingga hasil
dalam penelitian ini memiliki referensi
geografis dan penyajiannya berupa peta.
Kerawanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang
mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya (Saptadi dan
Djamal, 2012). Tingkat kerawanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila terjadi
pada kondisi yang rentan.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 97
KOMISI B
Kerawanan banjir menggambarkan suatu kondisi banjir yang rawan terhadap faktor
bahaya (hazard) tertentu. Wismarini (2011) melaporkan bahwa nilai tingkat kerawanan banjir
di bedakan dalam lima kelas kerawanan yaitu: a) sangat rawan; b) rawan; c) cukup rawan; d)
kurang rawan; dan e) tidak rawan. Klasifikasi tingkat kerawanan banjir di sub DAS Negara
sebagai pemasok rawan banjir disajikan pada Tabel 1.
Simulasi Perubahan Penggunaan lahan untuk Pengendalian Tingkat Kerawanan Pemasok Banjir
Cahyo (2008) mengemukakan bahwa simulasi adalah sebuah metode analitik yang bertujuan
untuk membuat ”imitasi” dari sebuah sistem yang mempunyai sifat acak, dimana jika digunakan
model lain menjadi sangat mathematically complex atau terlalu sulit untuk dikembangkan. Simulasi
untuk mengurangi kondisi lahan rawan banjir dan agak rawan banjir, dilakukan tiga alternatif.
1. Alternatif I
Perubahan penutupan lahan semak belukar seluas 122,13 ha menjadi karet alam (pertanian
lahan kering). Semak belukar terletak pada kawasan hutan produksi sebagaimana di sajikan pada
Tabel 2 dan Gambar 4.
98 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
2. Alternatif II
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 99
KOMISI B
Tabel 3. Hasil Simulasi Tingkat Kerawanan Pemasok Banjir Pada Alternatif II (Lahan Terbuka
Menjadi Tanaman Karet alam)
3. Alternatif III
Tabel 4. Hasil Simulasi Tingkat Kerawanan Pemasok Banjir Pada Alternatif III
(Reklamasi Bekas Pertambangan Menjadi Tanaman Kehutanan)
100 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Tabel 5. Matrik Tingkat Kerawanan Pemasok Banjir Kondisi eksiting, dan Alternatif I - III
(hasil simulasi alternatif I sampai III)
Kondisi
Alternaif I Alternaif II Alternaif III
No Tingkat Kerawanan Banjir Eksisting
(Ha) (Ha) (Ha)
(Ha)
1 Tidak rawan 1.801,52 1.801,52 1801,52 1.801,52
2 Kurang rawan 18.891,23 18.971,29 19.276,02 21.530,24
3 Agak rawan 2.416,21 2.336,16 2.346,37 2.276,01
4 Rawan 2.743,15 2.743,15 2.427,20 244,35
5 Sangat rawan 0,00 0,00 0,00 0,00
TOTAL (Ha) 25.852,12 25.852,12 25.852,12 25.852,12
Pada Tabel 5. Terlihat bahwa hasil simulasi alternati I sampai III, menurunkan tingkat
kerawanan pemasok banjir, sehingga kriteria Rawan pemasok banjir di sub DAS Negara menjadi
seluas 244,35 ha.
a. Kesimpulan
1. Penggunaan lahan di sub DAS Negara didominasi pertanian lahan kering dengan jenis tanaman
karet alam dan karet unggul sebesar 64,7%.
2. Tingkat kerawanan banjir kondisi eksisting : a) tidak rawan 6,97%; b) kurang rawan 73,07%; c)
agak rawan 9,35%; dan d) rawan banjir 10,61%.
3. Kebijakan RHL untuk pengendalian kerawanan banjir dilakukan perubahan penggunaan lahan:
a) semak belukar 122,13ha menjadi karet alam; b) lahan terbuka 414,93ha menjadi karet alam;
c) bekas pertambangan 2.104,29ha reklamasi tanaman kehutanan, seluas 139,56ha dilakukan
reklamasi dengan tanaman kehutanan dan tindakan sipil teknis.
4. Perubahan penggunaan lahan alternatif I (semak belukar menjadi tanaman karet alam), alternatif
II (lahan terbuka menjadi tanaman karet alam) dan alternatif III (reklamasi bekas pertambangan
menjadi tanaman kehutanan), dapat memulihkan daya dukung DAS dengan menurunnya tingkat
kerawanan pemasok banjir menjadi: a) tidak rawan 6,97%; b) kurang rawan 83,28%; c) agak
rawan 8,80%; dan d) rawan banjir 0,95%.
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, Z. R., Rao, L. A., K., and Yusuf, A. 2012. GIS Based Morphometric Analysis of Yamuna Drainage
Network In Parts of Fatehabad Area Of Agra District, Uttar Pradesh. Journal of the Geological
Society of India 79 (5): 505-514. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s12594-012-0075-2
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 101
KOMISI B
Asdak. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan Kelima (revisi). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Fakultas Kehutanan
Unlam. 2010. Masterplan Banjir dan Pengelolaannya di Kalimantan Selatan, Banjarmasin.
Balai Pengelolaan DAS Barito. 2013 Updating data spasial Lahan Kritis Wilayah Kerja Balai
Pengelolaan DAS Barito. Banjarbaru.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah V. 2012. Peta Penutupan Lahan Provinsi Kalimantan
Selatan, Banjarbaru.
Cahyo,W.N. 2008. Pendekatan Simulasi Monte Carlo Untuk Pemilihan Alternatif Dengan Decision
Tree pada Nilai outcome yang Probabilistik. Teknoin, 13 (2): 11-17.
Hernandez-Ramirez, G. 2008. Emerging Markets for Ecosystem Services: A Case Study of the Panama
Canal Watershed. Journal of Environment Quality. 37 (5): 1995. doi: 10.2134/jeq2008.0010br.
Kadir, S., Rayes, M. L., Ruslan, M., and Kusuma, Z. 2013. Infiltration To Control Flood Vulnerability
A Case Study of Rubber Plantation of Dayak Deah Community in Negara, Academic Research
International. Natural and Applied Sciences. 4 (5):1–13. http://www.savap.org.pk.
Kesbanglingmas Kabupaten Tabalong. 2011. Data Kejadian Banjir periodel 2005 sampai dengan
2010 Kabupaten Tabalong. Tabalong.
Kometa, S. S., and Ebot, M. A. T. 2012. Watershed Degradation in the Bamendjin Area of the North
West Region of Cameroon and Its Implication for Development. Journal of Sustainable
Development. 5 (9): 75–84.
doi:10.5539/jsd.v5n9p75.
Kusuma, Z. 2007. Pengembangan Daerah Aliran Sungai. Program Pascasarjana. Universitas
Brawijaya. Malang.
Nan, D., William, J., and Lawrence, J. 2005. Effects of River Discharge, Wind Stress, and Slope Eddies
on Circulation and the Satellite-Observed Structure of the Mississippi River Plume. Journal of
Coastal Research. 21 (6): 1228-1244
Paimin, Sukresno dan Pramono, I.B. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Tropenbos Internasional Indonesia. Balikpapan.
www.tropenbos.org/file.php/337/tehnik-mitigasi-dan-tanah-longsor.
Rayes, M.L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Alam. CV Andi Offset. Yoyakarta.
Saptadi,G., Hariyadi, dan Djamal, H. 2012. Kajian Model Desa Tangguh Bencana Dalam Kesiapsiagaan
Penanggulangan Bencana. Jurnal Penanggulangan Bencana. 3 (2):1-24.
Soemarno. 2011. Filosofi Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menuju Lingkungan Hidup Yang Nyaman.
Program Pasca Sarjana, Unviversitas Brawijaya, Malang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7. 2004. Sumberdaya Air. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4377. Jakarta.
Wismarini,Th.D., Ningsih,D.H.U., dan Amin. 2011. Metode Perkiraan Laju Aliran Puncak (Debit Air)
Dasar Analisis Sistem Drainase di Daerah Aliran Sungai Wilayah Semarang Berbantuan SIG.
Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK. 16 (2): 124132.
Zhang, X., Yu, X., Wu, S., and Cao, W. 2008. Effects of Changes In Land Use and Land Cover on
Sediment Discharge of Runoff In A Typical Watershed In the Hill and Gully Loess Region of
Northwest China. Frontiers of Forestry in China. 3 (3): 334–341. doi:10.1007/s11461-008-
0056-1.
102 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Ronald Kondolembang
Universitas Halmahera,klronald4@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik debit sungai dan menyusun arahan
penggunaan lahan yang sesuai pada Daerah Aliran Sungai Wae Ruhu. Penelitian ini bersifat deskriptif
kualitatif. Data yang diperoleh berdasarkan data pengukuran debit dan curah hujan. Data yang
diperoleh dianalisis berdasarkan parameter topografi, erodibilitas tanah, dan curah hujan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik debit pada DAS Wae Ruhu adalah
mempunyai waktu naik menjadi debit puncak adalah 4 jam sedangkan waktu dasar adalah 12 jam.
Lebih dari 50% debit pada DAS Wae Ruhu sangat dipengaruhi oleh curah hujan.Luas penggunaan
lahan aktual pada DAS Wae Ruhu terdiri dari pemukiman 219,3 ha (13,70%),hutan primer 894,1
ha (55,84%),kebun campuran 487,6 ha (30,46%).Fungsi kawasan pada DAS Wae Ruhu terdiri
dari fungsi kawasan perlindungan 1239,6 ha (77,42%),fungsi pemanfaatan terbatas 313,5 ha
(19,58%),fungsi pemanfaatan budidaya 47,9 ha (3%).Penggunaan lahan aktual yang tidak sesuai
dengan fungsi kawasan lindung adalah 510,9 ha (31,91%),fungsi kawasan pemanfaatan terbatas
62,1 ha (3,87%).Arahan penggunaan lahan pada DAS Wae Ruhu berdasarkan karakteristik debit dan
disesuaikan dengan fungsi kawasan yaitu fungsi kawasan perlindungan adalah hutan lindung,hutan
kemasyarakatan,kawasan jalur hijau sepanjang sungai;fungsi kawasan pemanfaatan terbatas
adalah agroforestry,kebun campuran tanaman tahunan,silvopastura;fungsi kawasan pemanfaatan
budidaya adalah kawasan pemukiman,kawasan pertanian tanaman semusim. Arahan rehabilitasi
lahan terhadap pola penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan adalah metode
vegetatif dan metode mekanis.
LATAR BELAKANG
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suhendy (2009) di kota Ambon,
bahwa perkembangan penggunaan lahan di Kota Ambon telah mengalami beberapa perubahan
atau pergeseran peruntukan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, dimana presentase terbesar
pada lahan perkebunan dan belukar yang sebelumnya seluas 22.719,44 ha menjadi 26.590,91 ha.
Penggunaan lahan akibat pergeseran peruntukan tersebut dialihkan fungsi dan penggunaannya
untuk permukiman dan daerah terbangun. Pergeseran penggunaan lahan menjadi pemukiman
banyak disebabkan oleh keberadaan pengungsi akibat konflik sosial yang melanda Kota Ambon.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 103
KOMISI B
Kondisi yang terjadi seperti yang telah diuraikan, telah berlangsung lama di DAS Wae Ruhu,
hal ini mengakibatkan fungsi hidrologis DAS tidak berlangsung sebagaimana mestinya, dimana
sering terjadi banjir pada saat musim hujan. Menurut hasil penelitian Nukuhehe (2008) pada DAS
Wae Ruhu, menyatakan bahwa ketersediaan air pada DAS Wae Ruhu pada bulan Januari dan Februari
lebih kecil dari kebutuhan air masyarakat di wilayah DAS Wae Ruhu, dimana pada bulan Januari
ketersediaan air sebesar 441.378 m³/bulan sedangkan kebutuhan air sebesar 530.094 m³/bulan,
sedangkan pada bulan Februari, ketersediaan air sebesar 432.390 m³/bulan sedangkan kebutuhan
air masyarakat sebesar 530.094 m³/bulan.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan arahan penggunaan lahan yang sesuai dengan
fungsi kawasan yang ada pada DAS Wae Ruhu berdasarkan informasi aktual tentang kondisi
karakteristik debit pada DAS Wae Ruhu di Kota Ambon.
METODE PENELITIAN
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pengukuran
langsung dilapangan untuk data primer sedangkan data sekunder diperoleh melalui instansi terkait.
Data primer yang dikumpulkan adalah : a) Data curah hujan, diperoleh dengan pengukuran langsung
dengan menggunakan alat penakar hujan observatorium dan diambil setiap hari selama penelitian
pada pukul 08.00 pagi; b) Data debit, diperoleh dengan pengukuran menggunakan alat Current Meter
Improvised Mappangaja, pengukuran dilakukan setiap hari pada pukul 08.00, pukul 12.00, pukul
16.00, dan pukul 20.00. Sedangkan data sekunder berubah peta topografi, peta jenis tanah, dan peta
curah hujan dan peta penggunaan lahan aktual pada lokasi penelitian
ANALISIS DATA
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif . Debit dihitung dengan
menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Mappangaja (1983) :
A
Q= Qm
a
Dimana :
Q = Debit (m³/det)
A = Luas Penampang Sungai (m²)
a = Luas penampang alat pengukur (0,000177 m²)
Qm = Debit pada meteran alat ukur (m³/det)
Hasil pengukuran debit dan curah hujan dibuat dalam bentuk grafik hidrograf debit. Hidrograf
debit menggambarkan karakteristik debit dalam satu hari berupa waktu naik (Tp) menjadi debit
puncak (Qp) dan waktu dasar (Tb) dalam suatu kejadian hujan.
Hubungan antara curah hujan dengan debit dianalisis dengan menggunakan metode analisis
regresi sederhana, dimana debit sebagai variabel dependent dan curah hujan sebagai variabel
independent dengan bentuk persamaan statistik :
Y = a + bx + e
Keterangan :
Y = Debit sungai yang diprediksi
a = Nilai intercept, yang menunjukkan ketersediaan air dalam groundwater storage
b = Koifisien regresi, yang menunjukkan kepekaan DAS terhadap curah hujan
x = Nilai curah hujan
e = Faktor yang tidak masuk dalam model
104 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Metode penelitian untuk menentukan arahan penggunaan lahan dilakukan adalah dengan
menggunakan analisis sintesis kuantitatif yaitu dengan cara : a) pengkelasan, scoring, dan
pembobotan dengan skala dan kriteria seperti yang telah ditetapkan dalam Kepmentan Nomor :
837/Kpts/Um/II/1980, Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor: P.3/Menhut-II/2008 terhadap parameter topografi, erodibilitas tanah, dan erosivitas hujan;
b) melakukan overlay peta-peta tematik, seperti peta kelas lereng, peta jenis tanah, peta curah
hujan, sehingga dihasilkan klasifikasi untuk fungsi kawasan dan arahan penggunaan lahan disusun
berdasarkan fungsi kawasan yang telah terbentuk.
1) Karakteristik Debit
Hasil analisis pergerakan debit pada DAS Wae Ruhu digambarkan dalam bentuk grafik
hidrograf debit dimana menunjukkan bahwa pergerakan debit pada DAS Wae Ruhu yang cenderung
mengikuti dinamika curah hujan, dapat dilihat pada Gambar 1.
Hal ini menjelaskan bahwa faktor sifat hujan yang sangat mempengaruhi bentuk hidrograf
adalah intensitas hujan, dan lama waktu hujan. Wahid (2007) menjelaskan bahwa intensitas hujan
yang makin tinggi akan mengakibatkan hidrograf naik dengan cepat, dengan kata lain akan terjadi
hidrograf dengan waktu naik pendek dan debit puncak tinggi. bentuk hidrograf pada umumnya selain
dipengaruhi oleh sifat hujan yang terjadi, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh sifat DAS yang lain
seperti topografi, vegetasi penutup lahan, dan bentuk morfometri DAS.
Karakteristik debit pada DAS Wae Ruhu dapat dilihat pada Gambar 2. Hal ini menunjukkan
bahwa waktu naik debit (Tp) menjadi debit puncak adalah 4 jam sedangkan waktu dasar (Tb) adalah
12 jam.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 105
KOMISI B
Hal ini dapat diasumsikan bahwa kondisi DAS Wae Ruhu mengalami gangguan fungsi
hidrologis dimana kemampuan vegetasi penutup lahan tidak berfungsi dengan baik dalam menahan
laju air hujan yang jatuh, sehingga debit meningkat dengan waktu yang cepat. Pendeknya waktu
naik debit (Tp) ini juga di pengaruhi oleh kondisi tanah pada DAS Wae Ruhu yang cepat jenuh atau
kapasitas infiltrasi tanah rendah sehingga kemampuan tanah untuk meresapkan air berkurang.
Hendrayanto dkk (2001) menjelaskan bahwa untuk memperoleh nilai debit (Qp) yang rendah dengan
waktu naik (Tp) dan waktu dasar (Tb) yang lama, maka kondisi hutan atau vegetasi penutup tanah
pada DAS harus baik.
Rendahnya kualitas vegetasi penutup lahan pada DAS Wae Ruhu diakibatkan adanya
perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya sehingga kondisi tanah
menjadi cepat jenuh dan padat. Hardiana (1999) mengemukakan bahwa akibat adanya perubahan
penggunaan lahan yang tidak sesuai akan menyebabkan bertambahnya daerah kedap air dan
bertambahnya daerah terbuka yang berakibat daya serap (infiltrasi) tanah dan kapasitasnya
menurun.
2) Hubungan Curah Hujan dengan Debit
Untuk mengetahui hubungan antara curah hujan dengan debit pada setiap waktu
pengukuran dalam satu hari pada DAS Wae Ruhu digunakan analisis regresi sederhana. Hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai R2 pada debit pukul 12.00 sangat dipengaruhi oleh curah hujan
sebesar 71,4% sedangkan faktor lain yang mempengaruhi sebesar 28,6% dan nilai koifisien korelasi
lebih dari 50% seperti terlihat pada Tabel 1.
Hubungan antara curah hujan dengan debit pada DAS Wae Ruhu dikategorikan sangat kuat.
Hal ini dapat dilihat nilai R2 pada masing – masing waktu pengukuran lebih dari 50%, artinya
bahwa lebih dari 50% debit pada DAS Wae Ruhu sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Wahyuni,
(2012) menjelaskan bahwa secara umum, hubungan curah hujan dengan debit dapat dijelaskan
106 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
dengan nilai penjelas yang disimbolkan oleh R2 secara statistik. Jika nilai R2 tinggi maka kondisi
biofisik DAS sebagai penghambat curah hujan kurang berperan sebagaimana mestinya. Dan
sebaliknya jika nilai R2 rendah, maka kondisi biofisik DAS dianggap berperan dengan baik sebagai
faktor penghambat.
Hasil overlay terhadap parameter topografi, jenis tanah, dan iklim, maka DAS Wae Ruhu
berdasarkan Kepmentan Nomor : 837/Kpts/Um/II/1980 terbagi atas 3 fungsi kawasan yaitu : a)
kawasan perlindungan sebesar 1239,6 ha atau 77,5%, b) kawasan pemanfaatan terbatas sebesar
313,5 ha atau 19,5%, dan c) kawasan budidaya sebesar 47,9 ha atau 3% seperti terlihat pada Tabel
2. Arahan penggunaan lahan pada DAS Wae Ruhu yang disusun berdasarkan fungsi kawasan pada
DAS Wae Ruhu yaitu fungsi kawasan perlindungan, fungsi kawasan pemanfaatan terbatas, fungsi
kawasan budidaya seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Arahan Fungsi Kawasan DAS Wae Ruhu Berdasarkan Skor Identifikasi Kawasan
Pengelolaan Sesuai Kepmentan Nomor : 837/Kpts/Um/II/1980
Luas
No Kawasan Skor
Ha %
1 Kawasan Perlindungan ≥ 175 1239.6 77.42
2 Kawasan Pemanfaatan Terbatas 125 - 174 313.5 19.58
3 Kawasan Pemanfaatan Budidaya < 124 47.9 3.00
Total 1601 100
Sumber : Hasil Operasi Overlay Peta Kelas Lereng, Jenis Tanah, Intensitas Hujan Harian (Hasil Analisis 2013)
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 107
KOMISI B
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid, 2007. Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Debit Sungai Mamasa, Jurnal
SMARTek, Volume 7,No. 3, Agustus 2009.
Broto, A.H. 2009. Kajian Perubahan Penutupan Lahan dan Arahan Pengelolaan Ruang Daerah
Tangkapan Air (DTA) Waduk Batutegi Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung. Tesis Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hardiana, D., 1999. Simulasi Dampak Perubahan Guna Lahan terhadap Perubahan LImpasan Air
Permukaan Studi Kasus : Sub DAS Cipamingkis di Kawasan Jonggol. Skripsi. Bandung. Institut
Teknologi Bandung.
Hendrayanto, Nana. M.A, Omo Rusdiana, Basuki Wasis, Purwowidodo., (2001). Respon Hidrologi
Daerah Aliran Sungai (DAS) Berhutan Jati (Studi Kasus di DAS Cijurey, KPH Purwakarta, PT
Perhutani Unit III Jawa Barat). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. VII. No 2. IPB Bogor.
Kurniawati, Y. (2005). Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian dan
Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. Tesis
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
108 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan tutupan lahan di Sub Sub DAS
Amandit dengan menggunakan Citra Landsat ETM + yang acquared pada tahun 2000 dan 2010, dan
untuk mensimulasikan tutupan lahan Sub Sub DAS Amandit di masa depan.
Hasil simulasi tutupan lahan di masa depan menunjukkan bahwa tiga kelas tutupan lahan;
rawa, semak belukar dan semak-semak mengalami peningkatan selama periode 2010-2050.
Peningkatan daerah yang paling ekstrim Swamp (sekitar 6.540 hektar) dan Semak dan semak-
semak (sekitar 4,347 hektar). Sisa area kelas tutupan lahan pada umumnya menurun selama periode
2010- 2050. Penurunan yang paling ekstrim kebun campuran (sekitar 5,073 hektar), rawa semak
dan semak-semak (sekitar 2,218 hektar), Hutan Sekunder (sekitar 2.101 hektar), dan Hutan Primer
(sekitar 942 hektar). Jika kita melihat kenyataan, yaitu, perubahan tutupan lahan selama tahun
2000-2010, hasil simulasi tidak terlalu jauh dari itu. Kecuali, Badan Air yang menurunkan sekitar
20 hektar selama periode tahun 2010-2050. Bahkan, Badan Air mengalami peningkatan sekitar 60
hektar pada tahun 2000-2010.
LATAR BELAKANG
Penutupan lahan (landcover) merupakan objek biofisik yang menempati ruang di atas
permukaan bumi. Sebagian besar karakter penutupan lahan dibentuk oleh vegetasi. Misalnya,
hutan, semak belukar, padang rumput, dan sebagainya. Namun demikian terdapat juga unsur-
unsur non-vegetasi (fisik) yang membentuk penutupan lahan. Misalnya permukiman yang terdiri
atas sejumlah bangunan, dan tubuh perairan yang tentu saja komponen utama penyusunnya adalah
unsur air.
Sub-sub DAS Amandit memiliki karakter topografi lahan yang cukup bervariasi. Mulai
dari ketinggian yang terbentang dari Pegunungan Meratus hingga ke lembah Sungai Barito, kelas
kelerengan dari sangat curam hingga datar, sampai bentuk lahan dari bergunung hingga landai atau
datar. Karakter topografi yang sangat heterogen seperti ini mengakibatkan variasi penutupan lahan
di Sub-sub DAS Amandit cukup besar, sehingga dapat dianggap mewakili sebagian besar karakter
penutupan lahan yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan.
Selain efek variasi topografi, keberadaan penduduk yang ada di Sub-sub DAS Amandit juga
mempengaruhi variasi penutupan lahan. Sebagian besar penduduk yang tinggal di lingkungan Sub-
sub DAS Amandit, masih tergantung hidupnya dari pemanfaatan lahan. Misalnya untuk keperluan
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 109
KOMISI B
pertanian atau perkebunan. Hal ini menyebabkan maraknya pembukaan lahan yang mengakibatkan
konversi sejumlah kelas penutupan lahan. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah dan aktivitas
perusahaan besar, seperti pembukaan lahan untuk aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit,
juga ikut memperbesar variasi penutupan lahan yang terdapat di Sub-sub DAS Amandit.
Sub-sub DAS Amandit juga memiliki kekayaan potensi ekowisata yang cukup besar.
Diantaranya yang sudah cukup terkenal adalah wisata rakit bambu (bamboo rafting) Sungai Amandit,
Air Terjun Haratai, dan Wisata Budaya Rumah Adat (Balai) Dayak Meratus. Perubahan penutupan
lahan yang terjadi tentu saja akan memiliki dampak langsung terhadap kelangsungan ekowisata
Sub-sub DAS Amandit.
Besarnya variasi kelas penutupan lahan (untuk ukuran wilayah luar Jawa) dan laju perubahan
penutupan lahan yang terjadi di Sub-sub DAS Amandit, membuat kami tertarik untuk meneliti
bagaimana realitas konversi penutupan lahan yang terjadi selama tahun 2000 hingga tahun 2010,
berikut ingin membuat semacam prediksi tentang bagaimana kondisi penutupan lahan Sub-sub DAS
Amandit pada masa-masa yang akan datang. Tentu saja hal ini bertujuan untuk mempertimbangkan
langkah-langkah bijak yang harus kita ambil pada masa sekarang, untuk tetap menjaga kelestarian
fungsi Sub-sub DAS Amandit.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan penutupan lahan menggunakan Citra
Landsat ETM+ perekaman tahun 2000 dan tahun 2010, dan mensimulasikan penutupan lahan Sub-
sub DAS Amandit masa depan. Dalam hal ini akan dibuat simulasi penutupan lahan Sub-sub DAS
Amandit setiap 10 tahun, hingga tahun 2050.
METODE
Peta dasar yang disiapkan adalah Peta Rupabumi Digital Indonesia Skala 1 : 50.000 dan Peta
DAS/Sub DAS Provinsi Kalimantan Selatan Skala 1 : 250.000, yang masing-masing sudah ada dalam
format vektor (shapefile). Dari peta Rupabumi Digital Indonesia akan diambil batas administrasi
dan jaringan jalan, yang akan digunakan sebagai dasar untuk pengambilan sampel di lapangan.
Sedangkan dari Peta DAS/Sub DAS Provinsi Kalimantan Selatan, diambil batas Sub-sub DAS Amandit,
yang merupakan batas wilayah kajian dalam penelitian ini.
Citra satelit digital yang digunakan adalah Landsat 7 ETM+ level 1G. Ini artinya citra sudah
terkoreksi geometrik, sehingga tidak memerlukan koreksi geometrik lagi. Tahapan pengolahan
berikutnya adalah cropping, yaitu pemotongan citra satelit mengikuti batas Sub-sub DAS Amandit
pada masing-masing tahun perekaman. Pemotongan dilakukan agar kita bisa fokus ke daerah
penelitian, dan semua pekerjaan analisis seperti klasifikasi tutupan lahan, dapat dilakukan dengan
efisien.
Metode klasifikasi tutupan lahan yang digunakan adalah segmentasi citra. Metode ini
merupakan metode ekstraksi informasi berorientasi objek dari citra satelit digital. Segmentasi citra
didasarkan pada beberapa parameter objek, yaitu aspek spasial, nilai spektral, tekstur, ruang warna,
dan rasio antar saluran. Proses segmentasi citra dalam penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
Feature Extraction pada software ENVI 5.0.
110 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
4) Survey lapangan
Survey lapangan diperlukan untuk verifikasi tutupan lahan. Citra Landsat 7 ETM+ merupakan
citra satelit dengan resolusi spasial medium (menengah), sehingga kenampakan beberapa tutupan
lahan pada citra masih sulit untuk diidentifikasi dengan akurat. Kenyataan ini mengaruskan kita
untuk melakukan pengecekan lapangan, untuk membuktikan kebenaran beberapa kelas tutupan
lahan yang diklasifikasikan.
Metode yang digunakan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan dari tahun 2000
hingga 2010 adalah metode tumpang susun (overlay). Yang ditumpangsusunkan adalah data vektor
hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2000 dan tahun 2010. Melalui analisis data atribut hasil
tumpang susun, akan diketahui tipe-tipe perubahan penutupan lahan yang terjadi berikut luasannya.
Metode yang digunakan untuk membuat prediksi penutupan lahan ke depan secara spasial
adalah Cellular Automata/Markov Chain (CA MARKOV), yang disediakan oleh software Clark Labs
IDRISI 17.0. Algoritma CA MARKOV berdasarkan pada asumsi bahwa sebuah sel (unit terkecil dari
suatu kelas penutupan lahan yang direpresentasikan dengan pixel pada citra digital) yang dekat
dengan sel tetangga yang berubah menurut waktu tertentu, akan memiliki probabilitas yang lebih
tinggi untuk berubah juga, sebagaimana sel-sel yang ada di dekatnya (Clarridge, 2009). Dimana di
dalam penelitian ini, kami menggunakan teknik filter 5 x 5 sel tetangga (sesuai rekomendasi software
IDRISI).
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 111
KOMISI B
Pada Gambar 1 di atas, warna merah merupakan sel yang berubah, warna kuning yang
mengelilinginya menggambarkan probabilitas sel-sel di sampingnya untuk berubah menuju ke sel-
sel yang merah. Maksudnya, jika sel yang berwarna merah merupakan perubahan dari Hutan ke
Lahan Terbuka, maka unit-unit penutupan lahan yang ada di sampingnya akan memiliki probabilitas
yang lebih tinggi untuk menjadi Lahan Terbuka juga. Tentu saja dasar CA MARKOV adalah perubahan
yang sudah terjadi (historical base). Di dalam penelitian ini, unsur lain seperti kebijakan tata ruang
atau kawasan diabaikan. Meskipun menurut Hegde et al (2007), faktor-faktor non-fisik seperti ini
sebenarnya juga dapat dilibatkan dalam simulasi CA MARKOV. Akan tetapi, karena keterbatasan
informasi wilayah yang diteliti, maka parameter-parameter ini tidak digunakan.
Hasil analisis perubahan penutupan lahan Sub-sub DAS Amandit periode tahun 2000-
2010 menunjukkan bahwa perubahan luas terbesar terjadi dari Kebun Campuran menjadi Semak
Belukar, yaitu sekitar 10.917,30 hektar. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya suksesi tanaman
perkebunan yang kemungkinan sedang terjadi pada saat perekaman citra. Perubahan luas penutupan
lahan terbesar kedua adalah dari Semak Belukar Rawa menjadi Rawa, yaitu sekitar 7.801,24 hektar.
Ada beberapa kemungkinan hal ini dapat terjadi. Di antaranya memang ada perambahan belukar
besar-besaran di dalam rawa, baik untuk keperluan pertanian, perikanan, ataupun yang lainnya.
Kemungkinan kedua adalah kenaikan tinggi muka air (banjir), sehingga sebagian Semak Belukar
Rawa tenggelam ke dalam perairan. Akibatnya, pada citra satelit terlihat sebagai rawa biasa tanpa
ada vegetasi apapun di atasnya.
Perubahan penutupan lahan yang perlu mendapat perhatian adalah konversi dari Hutan
Sekunder menjadi Semak Belukar, dimana telah terjadi perubahan dari Hutan Sekunder menjadi
Semak Belukar seluas 2.904,03 hektar. Yang lebih memprihatinkan, dari data spasial perubahan
ini justru terjadi di bagian hulu Sub-sub DAS, yang berarti akan memberi dampak pada hampir ke
seluruh Sub-sub DAS Amandit. Hasil analisis perubahan penutupan lahan Sub-sub DAS Amandit
periode tahun 2000-2010 ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Hasil analisis perubahan penutupan lahan Sub-sub DAS Amandit periode tahun 2000-2010
Rawa 0,00 31,86 154,33 20,57 0,00 5.272,80 103,44 137,48 1.249,02 6,23 0,23
Sawah 0,00 1,62 1.640,31 3,87 0,00 3.701,24 448,12 113,32 2.399,41 1,66 17,62
Semak Belukar 0,00 562,12 117,43 1.257,02 0,00 40,80 69,57 26.160,04 137,93 854,21 8,97
Semak Belukar 0,00 59,21 624,18 26,08 0,00 7.801,24 2.151,95 33,73 10.327,67 44,22 45,19
Rawa
Tegalan 0,00 10,42 1.151,43 44,17 0,00 1.403,16 215,89 170,54 2.706,44 0,01 4,38
Tubuh Air 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,46 2,52 32,06 0,00 0,00
112 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Hasil simulasi penutupan lahan masa depan Sub-sub DAS Amandit menunjukkan bahwa tiga
kelas penutupan lahan, yaitu Permukiman, Rawa, dan Semak Belukar, mengalami pertambahan
luas selama periode tahun 2010 hingga 2050. Pertambahan luas terbesar terjadi pada Rawa, yaitu
sekitar 6.540 hektar, dan Semak Belukar, yaitu sekitar 4.347 hektar. Sementara penutupan lahan
lainnya secara umum berkurang luasannya selama periode tahun 2010 hingga 2050. Pengurangan
luas terbesar terjadi pada Kebun Campuran, yaitu sekitar 5.073 hektar, Semak Belukar Rawa, yaitu
sekitar 2.218 hektar, Hutan Sekunder, yaitu sekitar 2.101 hektar, dan Hutan Primer yaitu sekitar
2.218 hektar.
Data spasial hasil simulasi menunjukkan bahwa Semak Belukar Rawa sebagian besar berubah
menjadi Rawa. Sementara Kebun Campuran, Hutan Sekunder dan Hutan Primer sebagian besarnya
berubah menjadi Semak Belukar. Jika kita melihat fakta yang terjadi selama kurun waktu tahun
2000 hingga 2010, hasil simulasi hingga tahun 2050 menunjukkan hasil yang tidak terlalu jauh.
Kecuali yang terjadi pada Tubuh Air yang berkurang sekitar 20 hektar selama periode 2010 hingga
2050. Padahal, selama periode tahun 2000 hingga 2010 Tubuh Air bertambah luas sekitar 60 hektar.
Keadaan ini tidak berarti menunjukkan adanya kesalahan selama proses simulasi menggunakan
Cellular Automata/Markov Chain. Tetapi kemungkinan memang seperti inilah hasil yang sebenarnya.
Sebab algoritma Cellular Automata/Markov Chain menggunakan iterasi (pengulangan) kalkulasi
selama proses. Sehingga luasan penutupan lahan yang berkurang sebelumnya, bisa jadi bertambah
luas setelah simulasi. Selain itu, Cellular Automata/Markov Chain juga mempertimbangkan
interaksi kelas-kelas penutupan lahan yang dilibatkan dalam simulasi secara keseluruhan, bukan
hanya interaksi antara dua kelas. Sehingga kemungkinan hasil simulasi yang menunjukkan hasil
yang berlawanan dengan data historical base sangat mungkin terjadi.
Data luasan kelas-kelas penutupan lahan setiap 10 tahun dari tahun 2000 hingga 2050
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Data luas penutupan lahan Sub-sub DAS Amandit sampai tahun 2050
Simu-
Penutupan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Fakta 2000
No lasi 2010
Lahan 2000 2010 2020 2030 2040 2050 - 2010
- 2050
1 Hutan Primer 4.216,93 2.780,55 1.837,55 1.837,75 1.837,65 1.837,75 -942,80 -1.436,38
2 Hutan Sekunder 12.691,02 9.909,03 7.733,31 7.781,87 7.799,21 7.807,58 -2.101,46 -2.781,99
3 Kebun Campu- 23.102,80 11.154,34 5.966,60 6.060,62 6.080,07 6.080,38 -5.073,97 -11.948,45
ran
4 Lahan Terbuka 5.900,10 3.147,56 3.068,65 3.068,55 3.068,95 3.068,45 -79,11 -2.752,54
5 Permukiman 649,67 732,20 742,48 745,40 748,42 750,03 17,84 82,53
6 Rawa 6.973,20 21.596,78 28.479,20 28.249,21 28.173,95 28.137,26 6.540,48 14.623,58
7 Sawah 8.325,94 3.628,63 3.178,70 3.182,63 3.182,22 3.182,73 -445,90 -4.697,31
8 Semak Belukar 29.200,48 41.690,88 45.944,45 45.964,30 46.004,93 46.037,95 4.347,08 12.490,39
9 Tegalan 5.704,50 2.244,35 2.211,91 2.220,37 2.222,08 2.222,08 -22,27 -3.460,15
10 Tubuh Air 40,81 101,48 80,62 80,72 80,31 80,52 -20,96 60,66
11 Semak Belukar 21.114,55 20.934,20 18.676,54 18.728,58 18.722,22 18.715,27 -2.218,92 -180,35
Rawa
Hal yang paling menarik dari simulasi penutupan lahan masa depan ini tentu saja terletak
pada kenampakan data spasialnya. Dimana berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa kelas
penutupan lahan yang memang berdasarkan data pada Tabel 2 di atas berkurang atau bertambah
luasnya cukup besar, terlihat sangat kontras di atas peta. Di antaranya adalah perubahan dari Semak
Belukar Rawa menjadi Rawa. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 113
KOMISI B
2000
2010
2020
2030
2040
2050
Gambar 2. Hasil simulasi penutupan lahan Sub-sub DAS Amandit sampai tahun 2050
Secara keseluruhan, jika dikaitkan dengan keberadaan penutupan vegetasi, maka dengan
melihat fakta yang terjadi selama periode tahun 2000 hingga 2010, berikut prediksi dalam bentuk
simulasi penutupan lahan hingga tahun 2050, maka kondisi Sub-sub DAS Amandit sebenarnya
cukup memprihatinkan. Di bagian hulu Sub-sub DAS perubahan dari hutan menjadi non-hutan
terjadi cukup masif. Dan dari peta yang ada, perubahan seperti ini juga terjadi hampir di sepanjang
aliran Sungai Amandit. Yang merupakan main stream dari Sub-sub DAS Amandit.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hasil analisis perubahan penutupan lahan dari tahun 2000 hingga 2010 menunjukkan bahwa
perubahan luas terbesar terjadi dari Kebun Campuran menjadi Semak Belukar, yaitu sekitar
10.917,30 hektar.
2. Hasil simulasi penutupan lahan masa depan Sub-sub DAS Amandit menunjukkan bahwa tiga
kelas penutupan lahan, yaitu Permukiman, Rawa, dan Semak Belukar, mengalami pertambahan
luas selama periode tahun 2010 hingga 2050. Sedangkan kelas penutupan lahan lainnya secara
umum berkurang luasnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini kami juga dapat mengemukakan saran bahwa dalam
penelitian serupa hendaknya dilibatkan unsur-unsur non-fisik sebagai parameter dalam simulasi
penutupan lahan masa depan, misalnya kebijakan tata ruang, angka pertambahan jumlah penduduk,
aksesibilitas jalan, dan sebagainya.
114 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
DAFTAR PUSTAKA
Alkheder, S. and Shan, J. 2005. Cellular Automata Urban Growth Simulation and Evaluation - A Case
Study of Indianapolis. Geomatics Engineering, School of Civil Engineering, Purdue University,
West Lafayette.
Clarridge, A. 2009. Cellular Automata: Algorithms and Applications. A thesis submitted to the School
of Computing in conformity with the requirements for the degree of Master of Science. Queen’s
University, Kingston.
Hegde, N. P., Krishna, M. and Rao, C. 2007. Integration of Cellular Automata and GIS for Simulating
Land Use Changes. Osmania University, Hyderabad.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 115
KOMISI B
Badaruddin
Staf Dosen Fakultas Kehutanan Unlam
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) mempunyai peran yang sangat besar sebagai sistem
perlindungan dan penyangga kehidupan, oleh karena itu keberadaannya perlu dikelola
dengan baik, sehingga dapat berfungsi secara lestari. Benduk DAS sangat mempengaruhi
karakteristik DAS, sehingga beberapa masalah sering terjadi misalnya banjir terjadi di
musim hujan dan kekeringan terjadi pada musim kemarau, juga terjadinya erosi, sedimentasi dan
sebagainya, Untuk mengantisipasi kondisi ini, Data tentang karakteristik DAS sangat diperlukan,
sehingga dapat digunakan sebagai acuan dasar manajemen DAS.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk melakukan studi tentang karakteristik DAS Batulicin
Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Metode pendekatan menggunakan aspek geomorfologi
DAS seperti bentuk DAS, Pola aliran, morfometri DAS yang meliputi: jaringan sungai, ketinggian dan
arah orientasi DAS menggunakan metode Strahle, dengan rumus sungai gradien dihitung berdasarkan
perbandingan antara elevasi perbedaan dan panjang utama sungai.
Hasil menunjukkan bahwa Sub DAS dengan nilai RC (Ratio circularity) mendekati nilai 0,5
(membulat), maka secara alamiah (potensial) Sub DAS Bening dan Sub DAS Samarini apabila terjadi
debit banjir maka banjir tersebut akan terjadi dengan cepat dan fluktuasi banjir yang tinggi. Hal ini
karena waktu konsentasi air hujan yang mengalir menuju outlet semakin singkat.
Sub DAS dengan nilai RC (Ratio circularity) 0,1 s/d 0,3 (memanjang) apabila terjadi debit banjir maka
waktu konsentasi air hujan yang mengalir menuju outlet semakin lama / lambat sehingga fluktuasi
banjir semakin rendah. Secara potensial debit banjir tersebut dapat terjadi pada Sub DAS Amparan
Jambu, Kusambi, dan Seliau. Secara keseluruhan pola aliran sungai yang terjadi pada DAS Batulicin
adalah Dendritic : sedang, dimana kondisi ini menunjukan bahwa sistem drainase yang terbentuk
ringan.
Tingkat kemiringan lereng 0 - 8 % (kecepatan aliran rendah) seluas 105.673,80 ha, dan sangat
curam > 40 % (kecepatan aliran sangat tinggi) seluas 2.234,10 ha., Jenis tanah yang mendominasi
wilayah hulu DAS Batulicin adalah (Inceptisols, Ultisols, Oxisols) dan (Hapludults, Plinthudults,
Dystrudepts) seluas 23.272,60 ha (16,30 %) terletak pada bagian tengah dan hilir DAS. Jenis batuan
yang paling dominan adalah miosen bawah dengan luas 239.243 ha yang terdapat pada semua DAS
/ Sub DAS. Tutupan lahan di wilayah DAS Batulicin meliputi hutan mangrove, hutan lahan kering,
pertanian lahan kering, belukar, perkebunan, sawah, lahan terbuka, pemukiman, transmigrasi,
pertambangan dan tambak. Tingkat kekritisan lahan yang termasuk kriteria Kritis dan Sangat kritis
seluas 35.856,60 ha atau 25,11 % dari luas DAS Batulicin, sementara lahan dengan kriteria Tidak
Kritis hanya 0,27 %, Program pengelolaan DAS terpadu diperlukan dalam pengelolaan DAS integrasi
dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
116 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
PENDAHULUAN
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologis dimana unsur-unsur biotik
dan abiotik berinteraksi antara satu dengan lainnya. Manusia merupakan unsur biotik yang
memiliki peran dominan dalam sebuah ekosistem DAS dan merupakan unsur pengelola DAS itu
sendiri. Meningkatnya jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan ekonomi
menyebabkan laju tekanan terhadap sumber daya lahan tidak dapat dihindari, terutama untuk
kepentingan pertanian dan pengembangan permukiman sehingga perubahan lahan menyebabkan
dampak bagi degradasi lahan dan pencemaran lingkungan (Lü, et al., 2008). Disamping itu pola
pertanian yang masih mengandalkan kuantitas lahan di Indonesia ikut mempengaruhi percepatan
pembukaan lahan pertanian baru disamping lahan pertanian yang sudah ada.
Peningkatan luas lahan kritis pada dasarnya merupakan dinamika yang terjadi pada suatu
bentang lahan, dan tidak dapat menggambarkan ketidak berhasilan upaya rehabilitasi hutan dan
lahan yang telah dilaksanakan sampai dengan saat ini. Semakin luasnya lahan kritis di wilayah kerja
Balai Pengelolaan DAS Barito yang meliputi Provinsi Kalimantan Selatan dan sebagian Provinsi
Kalimantan Tengah merupakan akibat dari besarnya kebutuhan akan pemanfaatan sumberdaya
alam (Ruslan, et al., 2013).
Pengelolaan lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sistem DAS. Masalah
utama dalam Pengelolaan DAS adalah semakin menurunnya kemampuan DAS dalam menyangga
kehidupan di dalamnya yang diindikasikan dari semakin meningkatnya degradasi lahan dan
menurunnya kualitas DAS. DAS Batulicin satu dari DAS-DAS prioritas yang menjadi perhatian
pemerintah untuk dilakukan pengelolaan karena mempunyai permasalahan yang cukup kompleks.
DAS Batulicin terdiri atas beberapa sub DAS yaitu: Sub DAS Kusambi dengan luas 5.336 ha, Sub DAS
Tempurung dengan luas 5.112 ha, Sub DAS Bening dengan luas 26.787 ha, Sub DAS Samarini dengan
luas 8.762 ha, Sub DAS Amparan Jambu dengan luas 25.303 ha, Sub DAS Selilau dengan luas 30.943
ha, Sub DAS Sela dengan luas 40.541 ha (BPDAS Barito, 2009).
Tujuan dari makalah ini adalah untuk melakukan studi tentang karakteristik DAS Batulicin
Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Metode pendekatan menggunakan aspek geomorfologi
DAS seperti bentuk DAS, Pola aliran, morfometri DAS yang meliputi: jaringan sungai, ketinggian dan
arah orientasi DAS menggunakan metode Strahle, dengan rumus sungai gradien dihitung berdasarkan
perbandingan antara elevasi perbedaan dan panjang utama sungai. Jenis tanah, geologi, tutupan
lahan, kemiringan lahan, Kekritisan lahan dan sosial ekonomi.
PENDEKATAN METODE
Pendekatan yang digunakan dalam kajian karakteristik suatu DAS adalah aspek
geomorpohologi suatu Daerah Aliran Sungai, meliputi beberapa parameter diantaranya adalah luas
DAS, bentuk DAS, Jaringan sungai, Kerapatan aliran, Pola aliran, dan Gradien kecuraman sungai.
Diawali dengan melakukan pengumpulan data Topografi dari Bakosurtanal skala 1 ; 25000, survei
lapangan. Lalu dilakukan analisis Data dengan menggunakan rumus seperti berikut ini.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 117
KOMISI B
Analisis bentuk DAS dengan menggunakan nilai nisbah memanjang (‘elongation ratio’/Re)
dan kebulatan (‘circularity ratio’/Rc). ‘Elongation ratio’ dihitung dengan rumus sebagai berikut:
A1/2
Re = 1.129 ------
Lb
Dimana :
Re = Faktor bentuk;
A = Luas DAS (km2);
Lb = Panjang sungai utama (km)
Circularity ratio’ dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Dimana:
4πA
Re = ------
P2
Rc = Faktor bentuk;
A = Luas DAS ( km2 )
P = Keliling (perimeter) DAS (km)
Jaringan sungai dapat mempengaruhi besarnya debit aliran sungai yang dialirkan oleh
anak-anak sungainya. Parameter ini dapat diukur secara kuantitatif dari nisbah percabangan yaitu
perbandingan antara jumlah alur sungai orde tertentu dengan orde sungai satu tingkat di atasnya.
Nilai ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nisbah percabangan berarti sungai tersebut memiliki
banyak anak-anak sungai dan fluktuasi debit yang terjadi juga semakin besar.
Pola aliran sungai secara tidak langsung menunjukan karakteristik material bahan induk
seperti permeabilitas, struktur geologi dan kemudahannya mengalami erosi. Pola aliran sungai sejajar
(parallel) pada umumnya dijumpai pada DAS yang berada pada daerah dengan struktur patahan. Pola
aliran dalam DAS dapat digolongkan menjadi 5 (lima) diantaranya Dendritrik, Radial, Rektangular,
Trellis, Kombinasi denditrik dan trellis Gradien sungai merupakan perbandingan antara beda elevasi
dengan panjang sungai utama. Gradien menunjukkan tingkat kecuraman sungai, semakin besar
kecuraman, semakin tinggi kecepatan aliran airnya. Gradien sungai dapat diperkirakan dengan
persamaan:
(h85 – h10)
Su = --------
0,75 Lb
dimana:
Su= gradien sungai; h 85 = elevasi pada titik sejauh 85% dari outlet DAS; h 10= elevasi pada
titik sejauh 10% dari outlet DAS; Lb= panjang sungai utama.
Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan
dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan,
diantaranya adalah dengan % (prosen) dan o (derajat). Data spasial kemiringan lereng dapat disusun
dari hasil pengolahan data ketinggian (garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau
peta rupabumi. Pengolahan data kontur untuk menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat
dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer.
118 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Jenis Tanah diperoleh dari peta Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (1995). Geologi
diperoleh dari lembar Peta Geologi Amuntai, Banjarmasin, Batulicin, Sampanahan dan Kotabaru.
Formasi geologi berdasarkan Peta Geologi Kalimantan Selatan skala 1 : 250.000 (RePPProT, 1988).
Untuk parameter penutupan lahan dinilai berdasarkan prosentase penutupan tajuk pohon terhadap
luas setiap land system (menurut RePPProT) dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-
masing kelas penutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis.
Dalam penentuan lahan kritis, parameter penutupan lahan mempunyai bobot 50%, sehingga nilai
skor untuk parameter ini merupakan perkalian antara skor dengan bobotnya (skor x 50).Berdasarkan
kriteria penetapan lahan kritis yang mempertimbangkan kondisi Penutupan / Penggunaan Lahan,
kemiringan lereng, erosi, batuan dan manajemen maka diperoleh tingkat kekritisan lahan.
Secara geografis DAS Batulicin terletak pada 1150 29’ 49,65” – 1160 3’ 50,72” BT dan 20 58’
29,39” – 30 29’ 41,38” LS. Luas DAS Batulicin 142.783,37 ha terbagi tujuh Sub DAS yaitu: 1) Sub DAS
Sela; 2) Sub DAS Selilau; 3) DAS Bening; 4) Sub DAS Amparan Jambu; 5) Sub DAS Samarini; 6) Sub
DAS Kusambi; dan 7) Sub DAS Tempurung.
Indeks bentuk DAS Batulicin Batulicin (BPDAS Barito), mempunyai bentuk DAS yang
bervariasi, dari 7 (tujuh) Sub DAS memiliki bentuk memanjang dengan nilai Rc bervariasi antara
0,20 sampai dengan 0,45 yaitu Sub DAS Amparan Jambu 0,18, Sub Bening 0,40, Sub DAS Kusambi
0,20, sub DAS Samarini 0,45, Sub DAS Sela 0,35, sub DAS Selilau 0,26 dan sub DAS Tempurung 0,33.
Berdasarkan data tersebit maka, Sub DAS dengan nilai RC (Ratio circularity) mendekati nilai 0,5
(membulat), maka secara alamiah (potensial) Sub DAS Bening dan Sub DAS Samarini apabila terjadi
debit banjir maka banjir tersebut akan terjadi dengan cepat dan fluktuasi banjir yang tinggi. Hal ini
karena waktu konsentasi air hujan yang mengalir menuju outlet semakin singkat.
Sub DAS dengan nilai RC (Ratio circularity) 0,1 s/d 0,3 (memanjang) apabila terjadi debit
banjir maka waktu konsentasi air hujan yang mengalir menuju outlet semakin lama / lambat
sehingga fluktuasi banjir semakin rendah. Secara potensial debit banjir tersebut dapat terjadi pada
Sub DAS Amparan Jambu, Kusambi, dan Seliau.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 119
KOMISI B
Secara keseluruhan pola aliran sungai yang terjadi pada DAS Batulicin adalah Dendritic
: sedang, dimana kondisi ini menunjukan bahwa sistem drainase yang terbentuk ringan. Pada
umumnya pola aliran Dendritik terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan penyebarannya
luas, misalnya suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan terletak pada suatu bidang
horizontal di daerah dataran rendah (soewarni, 1991)
Sub DAS dengan pola aliran dendritik : sedang – halus hanya terpada pada Sub DAS
Samarini, hal ini menunjukkan bahwa pada Sub DAS tersebut memiliki sistem drainase yang baik,
namun demikian Sub DAS ini cenderung akan mengalami kekeringan di musim kemarau karena
tingkat infiltrasi yang rendah.
Tingkat kemiringan lereng wilayah DAS Batulicin didominasi oleh daerah dengan bentuk
wilayah datar yang memiliki tingkat kemiringan kelas I dengan kelerengan 0 - 8 % yaitu seluas
105.673,80 ha atau 74,01 %, kelas II dengan kelerengan 9-15 % yaitu seluas 11.968,30 ha atau 8,38
%, kelas III dengan kelerengan 16-25 % yaitu seluas 9,09 ha atau 9,95 % kelas IV dengan kelerengan
26-40 % yaitu seluas 9,924,30 ha atau 6,95 % dan kelas V daerah dengan bentuk wilayah sangat
curam yang memiliki tingkat kemiringan lereng >40 % menempat areal seluas 2.234,10 ha atau 1,56
%. DAS Batulicin di dominasi oleh kelas lereng 0 – 8 %, hal ini dapat memperlambat aliran permukaan,
selain itu memungkinkan lahan yang lebih luas untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, dengan
mempertimbangan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan.
Jenis tanah yang mendominasi wilayah DAS Batulicin adalah (Inceptisols, Ultisols, Oxisols)
seluas 28.325,70 ha (19,84 %) sebagian besar terletak pada bagian hulu DAS Batulicin dan (Hapludults,
Plinthudults, Dystrudepts) seluas 23.272,60 ha (16,30 %) terletak pada bagian tengah dan hilir DAS.
Inceptisol adalah tanah mineral dengan tingkat perkembangan lemah yang dicirikan oleh
horison penciri bawah kambik. Di Kalimantan Selatan inceptisol dicirikan antara lain terdapatnya
karatan, terbentuknya struktur tanah atau iluviasi liat yang tergolong lemah. Penyebarannya
dijumpai baik pada lahan basah yang berdrinase jelek maupun pada lahan kering yang berdrainase
baik.
Ultisols atau lebih dikenal dengan nama “Podsolik Merah-Kuning” terdapat mulai dari
dataran hingga perbukitan dan pegunungan dengan beadalah, Oxisuk wilayah datar hingga
berbukit dan berunung. Tanah ini berkembang dari batuan sediment masam (batupasir dna batuliat)
dan volkan tua.
Hapludults dicirikan oleh adanya horison argilik dengan kejenuhan basa < 35%, tanah lapisan
atas umumnya berwarna coklat gelap sampai coklat gelap kekuningan dan dibawah lapisan cokat
kekuningan sampai merah kekuningan.
Plinthudults dicirkan oleh kandungan plintit > 50 % pada kedalaman kurang dari 100 cm dari
permukaan. Tanah lapisan atas umumnya berwarna coklat gelap sampai coklat gelap kekuningan dan
dilapisan bawahnya coklat gelap kekuningan sampai merah kekuningan. Tanah bertekstur halus,
struktur tanah gumpal agak membulat berukuran halus sampai sedang konistensi gembur (lembab),
lekat dan plastis (basah). Sifat kimia tanah menunjukkan reaksi tanah masam sampai sangat masam,
dan kandungan bahan organic rendah sampai sangat rendah.
Dystrudepts, tanah ini bersolum sedang sampai dalam, berwarna coklat sampai coklat
kekuningan, bertekstur halus gumpal. Bahan induk tanah terdiri dari bahan alluvium, batuliat dan
batupasir. Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam sampai sangat masam, dan kandungan
bahan organik bervariasi sangat rendah sampai sangat tinggi, namun umumnya rendah.
Jenis batuan (geologi) yang terdapat di DAS Batulicin terdiri dari Alluviam Induk dan
Terumbu Koral, Batuan basa (kelompok ofiolit di timur), Miosen Bawah, Paleogen dan Pra tertier tak
dibedakan.
120 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Jenis batuan yang paling dominan adalah miosen bawah dengan luas 239.243 ha yang terdapat
pada semua DAS / Sub DAS. Jenis batuan Aluvium induk dan terumbu koral merupakan jenis batuan
dominan ke-dua dengan luas 99.959 ha yang terdapat hampir di semua DAS /Sub DAS kecuali Sub
DAS Sela dan Sub DAS Seliau. Jenis batuan dominan ke-tiga yaitu Pratersier tak dibedakan dengan
luas 71.122 ha yang terdapat pada Sub DAS Sela dan Selilau (DAS Batulicin).
Data Penutupan lahan DAS Batulicin diperoleh dengan cara melakukan interpretasi Citra
Landsat ETM 7+ path 117 row 62, hasil perekaman tahun 2011 yang telah dilakukan cek lapangan.
Keadaan penutup lahan di wilayah DAS Batulicin meliputi hutan mangrove, hutan lahan kering,
pertanian lahan kering, belukar, perkebunan, sawah, lahan terbuka, pemukiman, transmigrasi,
pertambangan dan tambak.
Berdasarkan data tingkat kekritisan lahan, lahan yang termasuk kriteria Kritis dan Sangat
kritis seluas 35.856,60 ha atau 25,11 % dari luas DAS Batulicin, sementara lahan dengan kriteria
Tidak Kritis hanya 0,27 %. Hal ini mengindikasikan bahwa lahan dengan vegetasi hutan sudah
sangat sedikit dan perlu untuk dilakukan upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan pada DAS
Batulicin. Bukhari dan Febryano (2008), usaha-usaha pertanian tradisional yang dilakukan dengan
mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, sering menjadi penyebab terjadinya lahan
kritis. Taddese (2001), degradasi lahan adalah ancaman besar bagi masa depan dan membutuhkan
usaha yang besar dan sumber daya untuk memperbaiki. Penyebab utama degradasi lahan adalah
peningkatan jumlah penduduk yang cepat, erosi yang tinggi, deforestasi, tutupan vegetasirendah.
Jenis penutup lahan pada DAS Batulicin didomonasi oleh jenis Hutan lahan kering sekunder
seluas 47.211,57 ha (33,07 %), Pertanian lahan kering 33.706,61 ha (23,61 %) dan Perkebunan
20.098,53 ha (14,08 %). Vegetasi belukar umumnya berada pada lahan yang jauh dari pemukiman
sehingga kurang dimanfaatkan dengan baik. Kegiatan perkebunan di wilayah DAS Batulicin
didominasi oleh kebun sawit maupun kebun rakyat berupa tanaman karet. Sesuai Kometa dan Ebot
(2012), dinyatakan bahwa masalah utama yang dihadapi DAS umumnya peningkatan populasi
manusia dan perubahan penggunaan lahan, yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas air.
Penutupan lahan berupa hutan lahan kering sekunder sebagian besar berada di bagian hulu
DAS, berdasarkan status lahannya termasuk Kawasan Hutan Produksi (HP) yang di dalamnya
terdapat aktivitas pemanfaatan hutan berupa kayu oleh pemegang ijin usaha.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 121
KOMISI B
BPDAS Barito (2009), menyatakan bahwa DAS Batulicin terdapat beberapa luasan lahan
kritis dengan berbagai kriteria, lahan kritis tersebut terdapat pada DAS Batulicin yang terletak di
Kabupaten tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebagai berikut;
Berdasarkan pada kondisi tingkat kekritsan lahan di DAS Batulicin di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa di DAS Batulicin terdapat lahan dengan kriteria kritis (Kritis dan sangat kritis)
seluas 35.856,6 ha atau terdapat lahan dengan kriteria kritis 25 % dari luas lahan wilayah provinsi
Kalimantan Selatan.
Sosial Ekonomi
DAS Batulicin terdapat penduduk 175.905 jiwa dan jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan
Simpang Empat, sedangkan jumlah penduduk terendah di Kecamatan Batulicin, kedua kecamatan ini
terletak pada bagian hilir DAS Batulicin.
Rehabilitasi lahan yang bernilai ekonomis dan Tingkat pendapatan masyarakat di dalam DAS
rendah. Departemen Kehutanan (2009), Penggunaan/pemanfaatan hutan dan lahan yang tidak sesuai
dengan kaidah konservasi dan kemampuan daya dukungnya akan meyebabkan terjadinya lahan
kritis, disampaing itu masyarakat yang belum mendukung upaya konservasi seperti illegal logging
dan penyerobotan lahan hutan akan menyebabakan deforestasi dan memacu terjadinya bencana
alam banjir dan longsor pada musim penghujan dan kebakaran dan kekeringan pada musim kemarau
serta pencemaran air sungai, pendangkalan waduk, abrasi pantai dan tidak berfungsinya sarana
pengairan akibat sedimentasi yang berlebihan. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk menghindari
hal tersebut di atas perlu dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan kritis dan pengembangan fungsi DAS
yang terus ditingkatkan dan disempurnakan. Untuk perencanaan secara teknik diperlukan Rencana
Teknik Rehabilitasi Hutan dan lahan Daerah Aliran Sungai (RTk-RHL DAS).
Sirang dan Kadir (2009), Berdasarkan analisis data spasial serta ground cek lapangan maka
rekomendasi rencana teknik RHL secara vegetatif pada land mapping unit (LMU) pada RHL Prioritas
I dan II di wilayah SWP DAS Batulicin, selanjutnya dinyatakan bahwa kegiatan RHL di rencanakan
akan dilaksanakan terdiri atas prioritas I dan II, hal ini sesuai dengan tingkat kekritisan lahan. Setiap
tahapan prioritas pelaksanaan kegiatan RHL secara vegetatif masing-masing terdiri atas Reboisasi
dan penghijauan dengan luasan tertentu sesuai dengan fungsi kawasan lindung dan kawasan
budidaya.
Borah (2011), menyatakan bahwa saat ini model DAS banyak tersedia yang memiliki
berbagai kompleksitas, kekuatan, dan kelemahan, termasuk dalam pemodelan atau penentuan
teknik pengelolaan DAS dapat dipecahkan dengan berbagai metode seperti proses hidrologi (curah
hujan yang berlebihan, aliran permukaan dan aliran dibawah permukaan, hal ini tergantung pada
keakuratan data yang tersedia.
BPDAS Barito dan Fakultas Kehutanan Unlam (2011), dalam rangka penyusunan DAS Barito
secara terpadu dinyatakan bahwa setiap unsur sumberdaya, baik fisik maupun biotik (termasuk
manusia), yang ada di permukaan bumi pasti berada dalam suatu DAS. Selanjutnya dinyatakan bahwa
122 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
berbagai pihak, baik instansi pemerintah, swasta, maupun masyarakat (perorangan atau kelompok),
berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS dengan tujuan yang berbeda-beda. Makin
luas dan makin beragam sumberdaya yang terdapat dalam suatu DAS, semakin banyak dan beragam
pihak yang berkepentingan dalam DAS tersebut. Berdasarkan pada isu dan permasalahan yang
terdapat pada DAS Batulicin, maka rangka pengelolaan DAS Batulicin secara terpadu di recanakan
kegiatan atau rencana tindak RHL secara vegetatif yang terdiri atas:
Keberhasilan kegiatan pengelolaan DAS ditentukan oleh salah satu faktor kelembagaan dimana
Koordinasi antar sektor dan antar wilayah merpakan satau satu program keterpaduan dalam
pengelolaan DAS, sehingga diharapkan tidak ada egosektoral dalam kegiatan di DAS Batulicin, semua
sektor dan wilayah tetap melakukan kegiatan dan program tetapi selalu berazaskan kelesetarian
eoksistem DAS serta terhindar dari komplik pemanfaatan lahan.
Pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air, agar dapat
memberikan manfaat yang maksimal dan berkesinambungan. Pengelolaan DAS merupakan upaya
manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan
segala aktifitasnya didalam DAS, adapun tujuan Pengelolaan DAS adalah :
1. Mewujudkan kondisi tata air DAS yang optimal meliputi kuantitas,kualitas dan distribusi
menurut ruang dan waktu
2. Mewujudkan kondisi lahan yang produktif secara berkelanjutan
3. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan
Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS, maka ruang lingkup pengelolaan DAS harus meliputi;
Penatagunaan Lahan, Pengelolaan Sumber Daya Air, pengelolaan lahan dan vegetasi,pengelolaan dan
pengembangan sumber daya buatan, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan
serta mempertimbngan kondisi sosial ekonomi dan budaya.
DAS Batulicin merupakan DAS yang secara administratif mencakup empat kecamatan di
Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan, selain itu banyak sektor yang terlibat
dalam rangka pengelolaan DAS mulai dari Hulu sampai Hilir. Untuk itu, perlu dibangun kepedulian,
kemampuan dan partisipasi aktif para pihak yang menghasilkan harmoni dan sinergi dalam
pengelolaan DAS, agar pembangunan dapat berkelanjutan serta mencapai masyarakat yang sejahtera
(adil, makmur, merdeka dan berdaulat).
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 123
KOMISI B
Berdasarkan isu / permasalahan pokok, ditentukan program kerja yang dapat dilakukan
oleh beberapa instansi / lembaga terkait secara terpadu guna memecahkan permasalahan/isu serta
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Isu pokok yang ada di dalam DAS tidak hanya
diselesaikan oleh satu pihak saja, melainkan ditangani bersama-sama oleh pihak-pihak / instansi
yang berkompeten di bidangnya.
Cara penanganan DAS yang ada saat ini, kecendurungan belum Terpadu belum terkoordinasi
dengan baik, masih bersifat pasiil, berjalan sendiri – diri, terkadang bisa overlapping (program tidak
sinkron), keterlibatan masyarakat masih minim, antar Para pemangku kepentingan (stakeholders)
baik dari unsur Pemerintah, unsur Swasta, Masyarakat, sehingga hasilnya tidak optimal.
Berdasarkan PerMenHut (2009), bahwa Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam
mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS
dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Model Pengelolaan DAS Terpadu lebih optimal apabila didasari dengan ketulusan hati, tidak
mempunyai kepentingan pribadi, tetapi demi kepentingan bersama. Seluruh rangkaian kegiatan
mulai perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber
daya DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif (sesuai hasil kajian kondisi biofisik,
ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan). Ditinjau dari sistem manajemen, bahwa adanya Forum
DAS provinsi maupun kabupaten sebagai Wadah Koordinasi dalam Pengelolaan DAS, yang sudah ada
bisa langsung dilibatkan sesuai dengan kewenangannya. Para pemangku kepentingan (stakeholders)
baik dari unsur Pemerintah, unsur Swasta, Masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan DAS perlu
dilibatkan.
Masyarakat merupakan unsur pelaku utama, sedangkan Pemerintah sebagai unsur pemegang
otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas yang direpresentasikan oleh instansi-instansi sektoral
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang terkait dengan Pengelolaan DAS. Stakeholder Pemerintah
yang dapat berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan DAS antara Dinas Kehutanan, Dinas
Pekerjaan Umum, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kesehatan dan
Dinas Lingkungan Hidup (LH). Peran dinas Kehutanan terutama berperan dalam penatagunaan
hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi DAS. Dinas Pekerjaan Umum berperan
dalam pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang. Bappeda sebagai pemerintah daerah berperan
dalam pemberdayaan masyarakat di tingkat Daerah. Dinas Pertanian berperan dalam pembinaan
masyarakat dalam pemanfaatan lahan pertanian dan irigasi. Dinas Perikanan dan Kelautan berperan
dalam pengelolaan sumberdaya perairan, sedangkan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kesehatan
berperan dalam pengendalian kualitas lingkungan.
124 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Dengan demikian dalam satu wilayah DAS akan terdapat banyak pihak dengan masing-
masing kepentingan, kewenangan, bidang tugas dan tanggung jawab yang berbeda, sehingga tidak
mungkin dikoordinasikan dan dikendalikan dalam satu garis komando. Oleh karena itu koordinasi
yang dikembangkan adalah dengan mendasarkan pada hubungan fungsi melalui pendekatan
keterpaduan. Hal tersebut sangat penting dan disadari bahwa ini sebagai tanggung jawab bersama,
kita semua harus punya rasa dan harus dilaksanakan bersama dengan prinsip saling mempercayai,
keterbukaan, tanggung jawab, dan saling membutuhkan berkomunikasi, berkoordinasi, dengan
berbagai pihak yangterlibat. Pemerintah Kabupaten Tanah bumbu bersama anggota dewan bermaksud
membuat peraturan daerah tentang pengelolaan Daerah Aliran Sungai Batulicin. Sehingga aturan ini
bisa mengikat semua sektor yang ada di dalamnya.
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan seperti tersebut diatas, maka dapat kami
simpulkan dan sekaligus memberikan saran – saran sebagai berikut :
1. Besaran Indeks bentuk DAS Batulicin memiliki bentuk memanjang (nilai Rc 0,20 sampai 0,45),
berarti waktu konsentrasi semakin lama sehingga fluktuasi banjir semakin rendah, dan bentuk
relatif membulat,
2. Secara keseluruhan pola aliran sungai yang terjadi pada DAS Batulicin adalah Dendritic : sedang
. Pola aliran berbentuk Rectangular dendritic dan Dendritic medium, ini menununjukkan
karakteristik tanah berupa kapur (‘limestone’) dan lempung (‘shale)
3. Tingkat kemiringan lereng 0 - 8 % (kecepatan aliran rendah) seluas 105.673,80 ha, dan sangat
curam > 40 % (kecepatan aliran sangat tinggi) seluas 2.234,10 ha.
4. Jenis tanah yang mendominasi wilayah hulu DAS Batulicin adalah (Inceptisols, Ultisols, Oxisols)
dan (Hapludults, Plinthudults, Dystrudepts) seluas 23.272,60 ha (16,30 %) terletak pada bagian
tengah dan hilir DAS.
5. Jenis batuan yang paling dominan adalah miosen bawah dengan luas 239.243 ha yang terdapat
pada semua DAS / Sub DAS.
6. Penutup lahan di wilayah DAS Batulicin meliputi hutan mangrove, hutan lahan kering, pertanian
lahan kering, belukar, perkebunan, sawah, lahan terbuka, pemukiman,transmigrasi, pertamba-
ngan dan tambak.
7. Tingkat kekritisan lahan yang termasuk kriteria Kritis dan Sangat kritis seluas 35.856,60 ha
atau 25,11 % dari luas DAS Batulicin, sementara lahan dengan kriteria Tidak Kritis hanya 0,27%
8. Melakukan tindak lanjut Program dalam Pengelolaan DAS Terpadu (Para Pemangku,
Masyarakat, Pihak Lain). Informasikan atau kirim dokumen DAS Batulicin (Master Plan/ hasil
Studi Biofisik dan Non Biofisik, Model atau Sistem Managemen Pengelolaan) . ke semua yangg
terlibat.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengelolaan DAS Barito Barito dan Fakultas Kehutanan Unlam. 2011. Penyusunan Batas sub
DAS/sub sub DAS Hasil Review Batas DAS wilayah Kerja BP-DAS Barito. Banjarbaru.
Balai Pengelolaan DAS Barito. 2009. Updating Data Spasial Lahan Kritis Wilayah Kerja Balai
Pengelolaan DAS. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Barito Departemen Kehutanan,
Banjarbaru.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 125
KOMISI B
Borah. D.K. 2011. Hydrologic Procedures of Storm Event Watershed Models:A Comprehensive
Review ond Comparison. Infrastructure Management, Woolpert Inc., Chesapeake, VA 23320,
USA.
Bukhari & Febryano,I.B., 2008. Desain Agroforestry Pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan
Indrapuri Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Perennial, 6(1) : 53-59
Kometa, S. S. & Ebot, M. A. T. 2012. Watershed Degradation in the Bamendjin Area of the North
West Region of Cameroon and Its Implication for Development. Journal of Sustainable
Development.5(9): 75–84. doi:10.5539/jsd.v5n9p75.
PerMenHut (2008),” Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan”, Departemen Kehutanan
Republik Indonesia, Jakarta
PerMenhut (2013, petunjuk teknis penyusunan data spasial lahan kritis Departemen Kehutanan
Republik Indonesia, Jakarta
PerMenHut (2009), Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu”,
Departemen Kehutanan Republik Indonesia,Jakarta.
Ruslan,M., S. Kadir, dan K. Sirang, 2013. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Barito. Cetakan 1.
Universitas Lambung Mangkurat Press: Banjarmasin.
Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1995. Survey Tanah Tingkat Semi Detil Untuk Menunjang
Pengembangan industrial Estate di Daerah Batulicin Kalimantan Selatan. Proyek Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Agroklimat
126 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
ABSTRAK
DAS Batulicin merupakan salah dari 108 DAS yang ditetapkan sebagai DAS prioritas
penangananya di Indonesia (Keputusan Menhut No. SK. 328/Menhut-II/2009), selanjutnya
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS dinyaatakan bahwa DAS
prioritas merupakan DAS perlu dipulihkan daya dukungnya. Kejadian banjir di Kabupaten Tanah
Bumbu termasuk DAS Batulicin pada periode tahun 2007 sampai dengan 2010 terlihat semakin
meningkat.
Berdasarkan hal tersubut di atas perlu adanya kajian tata air DAS Batulicin dalam rangka
pengendalian kerawanan banjir di Kabupaten Tanah Bumbu.Kajian ini bertujuan mengetahui
karakteristik tata air DAS yang menjadi parameter penentuan tingkat kerawanan banjir, dan acuan
menentukan arahan prioritas kebijakan RHL untuk pengelolaan DAS Batulicin, agar diperoleh hasil
yang optimal untuk pengendalian banjir.
Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif, hasil penelitianmemberikan gambaran
keruangan mengenai karakteristik tata air yang terukur secara kuantitatif. Penelitian ini
menggunakan pendekatan wilayah ekologi DAS yang proses analisis dan penyajiannya dilakukan
secara spasial, hal tersebut diartikan bahwa hasil-hasil dalam penelitian ini memiliki referensi
geografis dan penyajiannya berupa peta.
Hasil kajian diperoleh bahwa tata air DAS yang terdiri atas: a) luas DAS 142.783,4ha yang
terdiri atas 7 sub DAS; b) bentuk DAS terdiri atas 2 sub DAS membulat dan 5 sub DAS lainnya
memanjang; c) pola aliran dendritik; d) jaringan sungai yaitu kerapatan rendah 3 sub DAS dan 4 sub
DAS kerapatan sedang; e) beda tinggi sub DAS antara 132 – 955m; dan f) Koefesien regim sungai
(KRS) tahun 1995 - 2004 antara 1:2 sampai 1: 15, dan tahun 2014 1: 21 ; g) kelerengan didominasi
0 - 8%; h) rata-rata kapastas infiltrasi Hutan sekunder, pertanian lahan kering campur semak/karet
alam (75,3 – 77,2 mm/jam) dan pertanian lahan kering/karet unggul dan semak belukar (43,2 –
58,2 mm/jam).
Kata Kunci: DAS, Tata Air, dan Banjir.
PENDAHULUAN
Latarbelakang
Sumberdaya alam berupa hutan merupakan anugerah dan amanat tak ternilai yang diberikan
Tuhan untuk kelangsungan semua makhluk ciptaannya. Hutan merupakan satu-satunya sistem
alam yang efektif mengatur tata air, tanah dan udara untuk kehidupan di bumi, yang terbentuk
melalui proses dan waktu yang sangat panjang, ratusan bahkan ribuan tahun.
Berdasarkan Rencana Strategis Rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial (RLPS) Tahun
2010 – 2014 yang menetapkan RPJM kedua, dan arah kebijakan stratergi nasional didalam rencana
tersebut dititikberatkan pada prioritas pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan bencana,
hal ini berkaitan dengan BP-DAS Barito (2013), menyatakan bahwa Provinsi Kalimantan Selatan
terdapat lahan kritis dan sangat kritis seluas 640.709,0ha. Selanjutnya dinyatakan bahwa DAS
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 127
KOMISI B
Batulicin terdapat lahan kritis 35.192,6 ha atau 24,3 % dari luas DAS. Lahan kritis pada suatu DAS
dapat menyebabkan rendahnya infiltrasi, tingginya aliran permukaan dan erosi serta terjadinya
banjir atau tidak normalnya fluktuasi ketersediaan debit air
Kejadian banjir sangat dirasakan di Kabupaten Tanah Bumbu termasuk di DAS Batulicin, pada
periode 2007 sampai dengan 2010 di kabupaten ini terdapat titik banjir sejumlah 8 kecamatan dan
39 desa, sedangkan luas lahan dengan kriteria agak rawan, rawan dan sangar rawan bencana banjir
sejumlah 250.151 ha atau 50,6 % dari luas lahan wilayah Kabupaten Tanah Bumbu (Balitbangda
Propinsi Kalimantan Selatan dan Fakultas Kehutanan Unlam, 2010).
DAS Batulicin merupakan salah dari 108 DAS yang ditetapkan sebagai DAS prioritas
penangananya di Indonesia (Keputusan Menhut No. SK. 328/Menhut-II/2009), selanjutnya
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS dinyaatakan bahwa DAS prioritas
merupakan DAS perlu dipulihkan daya dukungnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat bahwa banyaknya titik kejadian banjir dan luasnya lahan
kritis, sehingga perlu dilakukan kajian tata air yang dapat menormlakan fluktuasi debit air dan
rendahnya luasan lahan kritis sebagai upaya pengendalian kerawanan banjir.
METODE
LokasiPenelitian
Penelitian dilaksanakan di daerah aliran sungai (DAS) Batulicin dimana DAS Batulicin. Secara
geografis DAS Batulicin terletak pada 1150 29’ 49,65” – 1160 3’ 50,72” BT dan 20 58’ 29,39” – 30 29’
41,38” LS. Luas DAS Batulicin 142.783,37 ha terbagi tujuh Sub DAS yaitu: 1) Sub DAS Sela; 2) Sub
DAS Selilau; 3) DAS Bening; 4) Sub DAS Amparan Jambu; 5) Sub DAS Samarini; 6) Sub DAS Kusambi;
dan 7) Sub DAS Tempurung sesuai BPDAS Brito (2010).
128 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Bahan dan alat yang disiapkan dalam rangka kajian tata air DAS antara lain sebagai berikut:
a) peta pendukung; b) HardWare; c) SoftWare; d) currentmeter ; e) Water level ; f) GPS; g) Stopwatch;
h) meteran;i) Double ring infiltrometer; j) Kamera dan ATK.
Untuk mengetahui peranan tata air DAS terhadap tingkat kerawanan banjir di DAS Batulicin
dibutuhkan data primer di lapangan dan sekunder pada beberapa instansi terkait baik pemerintah
maupun swasta. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Hasil penelitianmemberikan
gambaran keruangan sebagai acuan penentuan tingkat kerawanan banjir dan dan acuan
menentukan arahan prioritas kebijakan RHL untuk pengelolaan DAS Batulicin, agar diperoleh hasil
yang optimal untuk pengendalian banjir. Penelitian ini menggunakan pendekatan wilayah ekologi
DAS yang proses analisis dan penyajiannya dilakukan secara spasial denganmemanfaatkan
teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG), sehingga hasil dalam penelitian ini memiliki referensi
geografis dan penyajiannya berupa peta.
Secara Administratif, DAS Batulicin di Kabupaten Tanah Bumbu mencakup enam kecamatan
yaitu Kecamatan Batulicin, Karang Bintang, Kusan Hilir, Kusang Hulu, Mentewe, dan Simpang
empat. Secara rinci data cakupan Sub DAS setiap kecamatan disajikan pada Tabel 1
b. Morfologi DAS
1) Bentuk DAS
a) Bentuk DAS
Semakin bulat bentuk DAS berarti semakin singkat waktu konsentrasi yang diperlukan
sehingga semakin tinggi fluktuasi banjir yang terjadi dan sebaliknya semakin lonjong bentuk DAS,
waktu konsentrasi yang diperlukan semakin lama sehingga fluktuasi banjir semakin rendah. Nilai
bentuk sub DAS berdasarkan Rc (Ratio circularity) setiap sub DAS disajikan pada Tabel 2.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 129
KOMISI B
Lebar Nilai
No Sub DAS Panjang (km) Keliling(km)
(km) (Rc)
1. Amparan Jambu 10,2 17,6 131,66 0,18
2. Bening 18,3 17,9 91,76 0,40
3. Kusambi 22,4 24,4 58,62 0,20
4. Samarini 13,8 8,9 49,23 0,45
5. Sela 45,9 22,6 119,53 0,36
6. Selilau 48,8 20,8 121,64 0,26
7. Tempurung 9,6 6,6 44,30 0,33
Sumber :Analisis jaringan sungai dan morfometri DAS menggunakan GIS
Berdasarkan data padaTabel 2 di atas, Sub DAS dengannilai RC (Ratio circularity) mendekati
nilai 0,5 (membulat), maka secara alamiah Sub DAS Bening dan Sub DAS Samar ini apabila terjadi
debit banjir maka banjir tersebut akan terjadi dengan cepat dan fluktuasi banjir yang tinggi. Hal ini
karena waktu konsentasi air hujan yang mengalir menuju outlet semakin singkat.Sub DAS dengan
nilai RC (Ratio circularity) 0,1 - 0,3 (memanjang) apabila terjadi debit banjir maka waktu konsentasi
air hujan yang mengalir menuju outlet semakin lama sehingga fluktuasi banjir semakin rendah, hal
ini dapat terjadi pada Sub DAS Amparan Jambu, Kusambi, dan Seliau.
b) Pola Aliran
Secara keseluruhan pola aliran sungai yang terjadi pada DAS Batulicin adalah Dendritic
: sedang, dimana kondisi ini menunjukan bahwa sistem drainase yang terbentuk ringan. Sub
DAS dengan pola aliran dendritik : sedang – halus hanya terpada pada Sub DAS Samarini, hal ini
menunjukkan bahwa pada Sub DAS tersebut memiliki sistem drainase yang baik, namun demikian
Sub DAS ini cenderung akan mengalami kekeringan di musim kemarau karena tingkat infiltrasi yang
rendah.Secara rinci keadaan pola aliran sungai pada DAS Batulicin disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Pola Aliran DAS Batulicin
Berdasarkan tingkat kerapatan aliran pada Tabel 3, menunjukan bahwa Sub DAS Amparan
Jambu, Sela dan Selilau secara potensial akan sering mengalami limpasan permukaan maupun
penggenangan, sedangkan Sub DAS lainnya seperti Sub DAS Samarini dan Kusambi cenderung akan
sering mengalami kekeringan di puncak musim kemarau. Semakin tinggi tingkat kerapatan aliran
sungai, berarti semakin banyak air yang dapat tertampung di badan-badan sungai (Sriyana, 2011).
Temperatur udara dan pola hujan khususnya daerah topografi bergunung sangat dipengaruhi
oleh faktor ketinggian DAS. Ketinggian DAS atau elevasi DAS secara umum dapat diperoleh dengan
pengukuran lapangan yaitu dengan menggunakan altimeter atau GPS dan juga dapat diperoleh dari
130 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
informasi garis kontur dari peta rupa bumi. Informasi ketinggian suatu DAS selain disajikan dengan
menggunakan garis kontur juga dapat disajikan dalam bentuk peta digital yaitu dalam bentuk model
elevasi digital (Digital Elevation Model/DEM).
Ketinggian DAS Batulicin berkisar antara 0 sampai dengan 979 meter dari permukaan laut
(mdpl). Rincian perbedaan ketinggian DAS Batulicin disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Ketinggian dan Arah Orientasi Sub DAS pada DAS Batulicin
Tinggi Tinggi
Beda Arah/orientasi
No DAS/Sub DAS Min Maks
Tinggi(m) (Azimuth)
(m) (m)
Batulicin 0 979 979
1. Amparanjambu 0 133 132 100°12’ Tenggara(SE)
2. Bening 10 546 536 211°16’ Barat Daya(SW)
3. Kusambi 1 546 545 180°21’ Selatan(S)
4. Samarini 0 544 543 93°22’ Timur (E)
5. Sela 24 882 858 125°15’ Tenggara(SE)
6. Selilau 24 979 955 160°14’ Tenggara(SE)
7. Tempurung 0 134 133 150°04’ Tenggara(SE)
Sumber : Peta DAS/Sub DAS dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Tahun 1999
3) Topografi
Keadaan topografi yang cukup berpengaruh terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi
adalah kelerengan dan panjang lereng yang merupakan dua faktor yang menentukan karakteristik
topografi suatu DAS (Indarto,2010). Pada kelerengan yang curam biasanya potensi kerusakan lahan
sangat nyata terutama terhadap besarnya kecepatan aliran permukaan tanah (surface run-off), yang
menyebabkan tingginya pengikisan permukaan tanah dan rendahnya kesempatan aliran air untuk
infiltrasi (Arsyad,2010)
Pada Tabel 3.6. terlihat bahwa tofografi di DAS Batulicin di dominasi oleh kelas lereng 0 –
8 %, hal ini dapat memperlambat aliran permukaan. Tingkat kelerengan ini mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap terjadinya aliran permukaan, erosi dan sedimentasi sebagai salah satu
faktor penentu tingkat kerawanan banjir. Kondisi kelerengan pada DAS Batulicin disajikan Tabel
5 Thanapackiam et al. (2012) mengemukakan bahwa kelas lereng yang lebih rendah mempunyai
jaringan sungai yang lebih rendah, maka berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan upaya RHL baik
secara vegetatif maupun secara sipil teknis sebagai upaya pengendalian tingginya aliran permukaan
kesungai utama pada kejadian curah hujan yang tinggi.
Tabel 5. Data Topografi di DAS Batulicin
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 131
KOMISI B
Debit air
Departemen Kehutanan (2009), menyatakan bahwa salah satu kriteria dan indikator
penilaian DAS ialah dengan memperhitungkan Koefesien regim sungai (KRS). Berdasarkan Gambar
2 juga terlihat bahwa Koefesien regim sungai (KRS) DAS Batulicin terlihat < 50 atau dapat dinyatakan
masih baik, namun demikian masih perlu dilakukan upaya untuk mempertahankan kondisi debit
airnya meningkatkan fungsinya sebagai pengatur tata air.
Pada Gambar 2 terlihat bahwa rata-rata debit air bulanan di DAS Batulicin periode tahun
1995 sampai dengan 2004 cukup bervariasi jika dibandingkan rata-rata debit air pada bulan mei –
september dan rata-rata debit air oktober – april. KRS (koefesien regime sungai) atau Perbandingan
debit air bulanan terendah dan debit air bulanan tertinggi 1: 2 sampai dengan 1 : 15 dan terlihat bahwa
semakin bertambah tahun semakin tinggi perbandingan debit air bulanan terendah dan tertinggi.
Selain itu Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan (2010), menyatakan bahwa periode 2007-2010
terdapat kejadian banjir sejumlah 8 kecamatan dan 39 desa di Kabupaten Tanah Bumbu termasuk
di DAS Batulicin.Koefisien Regim Sungai (KRS) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan
antara nilai debit maksimum (Qmaks) dengan nilai debit minimum (Qmin) pada suatu DAS/Sub DAS.
Data rata-rata debit air hasil pengukuran pada bulan Mei 2014 sejumlah 642,774 m3/det, sedangkan
rata-rata debit air terendah selama periode 1995-2004 sejumlah 29,612 m3/det dengan KRS 1:21.
Infiltrasi
Pada Tabel 6. Infiltrasi pada berbagai Jenis Penutupan dan Penggunaan Lahan Pengukuran
kapasitas infiltrasi dilakukan pada penggunaan lahan karet alam dan karet unggul masing-masing
tiga kali ulangan pada tekstur tanah lempung berliat dan tekstur tanah lempung berpasir, Kurva
kapasitas infiltrasi dibangun dari data hasil pengukuran infiltrasi menggunakan model Horton
(1938). Horton mengakui bahwa kapasitas infiltrasi berkurang seiring dengan bertambahnya waktu
hingga mendekati nilai yang konstan. Ia menyatakan pandangannya bahwa penurunan kapasitas
infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor yang beroperasi di permukaan tanah dibanding dengan proses
aliran di dalam tanah (Ladoet al.,2005). Rata-rata hasil analisis kapasitas Infiltrasi pada berbagai
penggunaan dan penutupan lahan di DAS Batulicin disajikan pada Tabel 6.
132 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Pada Tabel 6 terlihat bahwa penggunaan dan penutupan lahan mempunyai kapasitas infiltrasi
yang berbeda, namun demikian (Lee, 1986 dan Kohnke,1968), menyatakan bahwa kapasitas
infiltrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan kelompok penggunaan lahan dan kriteria kapasitas
infiltrasi sedang 20 – 65 mm/jam dan sedang-cepat 65 – 125 mm/jam, Kelompok penggunaan lahan
berdasarkan rata-rata kapastas infiltrasi adalah sebagai berikut: a) hutan sekunder, dan pertanian
lahan kering campur semak/karet alam (75,3 – 77,2 mm/jam) yang termasuk tingkat kapasitas
infiltrasi sedang-cepat; b) pertanian lahan kering/karet unggul dan semak belukar (43,2 – 58,2 mm/
jam)yang termasuk tingkat kapasitas infiltrasi sedang.
Hasil pengukuran kapasitas infiltrasi di DAS Batulicin sebagiman tersebut di atas sesuai
Kadir (2014), Hutan sekunder, hutan tanaman dan pertanian lahan kering campur semak (65 – 125
mm/jam) dan Perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar (20 – 65 mm/jam). Wibowo
(2010), pengaruh waktu terhadap infiltrasi besar sekali, makin lama waktu pengukuran infiltrasi
maka makin kecil laju infiltrasi. Asdak (2010),jumlah air yang masuk ke dalam tanah melalui proses
infiltrasi dipengaruhi oleh faktor tekstur dan struktur tanah, tipe vegetasi dan tumbuhan bawah,
faktor-faktor tersebut berinteraksi sehingga mempengaruhi infiltrasi dan aliran permukaan.
Kometa dan Ebot (2012), masalah utama yang dihadapi DAS umumnya peningkatan populasi
manusia dan perubahan penggunaan lahan, yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas air,
sehingga dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan meningkatkan fungsi DAS sebagai pengatur
tata air diharpkan agar lahan kritis dan lahan terbuka lainnya pada kawasan hutan dilakukan
pemulihan pada hutan sekunder dan di luar kawasan hutan agar di lakukan budidaya tanaman karet
alam, sesuai Kadir (2013). Selanjutnya Zhaoet al. (2012) melaporkan bahwaperubuhan penggunaan
lahan lahan pada suatu DAS berpengaruh terhadap aliran permukaan.
KESIMPULANDAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian di DAS Batulicin diperoleh bahwa tata air DAS adalah:
1) Luas DAS 142.783,4ha yang terdiriatasa) sub DASAmparanJambu, bening, Kusambi, Samarini,
Sela, Selilau, dan sub DAS Rempurung.
2) Bentuk DAS terdiriatas 2 sub DAS membulat dan 5 sub DAS lainnyamemanjang.
3) Polaaliransungai DAS Batulicin ialah dendritic,jaringansungaidengankerapatanrendah 3
sub DAS dan 4 sub DAS kerapatansedang, dan bedatinggi sub DAS antara 132 – 955 m, serta
kelerengandidominasi 0 - 8%.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 133
KOMISI B
4) Koefesienregimsungai (KRS) tahun 1995 - 2004 antara 1:2 sampai 1: 15, dan tahun 2014 1: 21.
5) Kapastasinfiltrasihutansekunder, pertanianlahan kering campur semak/karet alam (75,3 – 77,2
mm/jam) dan pertanian lahan kering/karet unggul dan semak belukar (43,2 – 58,2 mm/jam).
Saran
Dalam rangka kelestarian fungsi DAS Batulicin sebagai pengatur tata air dan untuk
pengendalian kerawanan banjir, di harapkan agar dilakukan pemulihan hutan sekunder dan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat di lakukan budidaya tanaman karet alam.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad.2010. Konservasi Tanah dan Air,Edisi Kedua Cetakan Kedua. IPB Press. Bogor.
Balai Pengelolaan DAS Barito. 2013. Updating data spasial Lahan Kritis Wilayah Kerja Balai
Pengelolaan DAS Barito. Banjarbaru.
Horton R.I. (1938). Interpretation and Application of Runoff Plot Experiments With Reference to Soil
Erosion Problems. JournalSoil Science Society of America Proceedings.3: 340–349.
Indarto. 2010. Hidrologi Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Kadir, S., Rayes, M. L., Ruslan, M., and Kusuma, Z. 2013. Infiltration To Control Flood Vulnerability
A Case Study of Rubber Plantation of Dayak Deah Community in Negara, Academic Research
International. Natural and Applied Sciences. 4(5):1–13. http://www.savap.org.pk.
Kometa, S. S., and Ebot, M. A. T. 2012. Watershed Degradation in the Bamendjin Area of the
North West Region of Cameroon and Its Implication for Development. Journal of Sustainable
Development.5 (9): 75–84. doi:10.5539/jsd.v5n9p75.
Lado, M., Ben-Hur, M.,andAssouline, S. 2005. Effects of Effluent Irrigation on Seal Formation,
Infiltration, and Soil Loss during Rainfall. Soil Science Society of America Journal.69(5): 1432-
1439.
Lee, R.1986. Forest Hydrology. West Virgina University. Terjemahan Subagyo,S. 1986. Hidrologi
Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
134 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Thanapackiam, P., Salleh, K.O., and Ghaffar, F.Ab. 2012. Vulnerability and Adaptation of Urban
Dwellers in Slope Failure Threats - A Preliminary Observation for the Klang Valley Region.
Journal of Environmental Biology. 33 (2): 373-379.
Zhao, Y., Zhang, K., Fu, Y., and Zhang, H. 2012. Examining Land-Use/Land-Cover Change in the Lake
Dianchi Watershed of the Yunnan-Guizhou Plateau of Southwest China with remote sensing
and GIS techniques: 1974–2008. International Journal of environmental research and public
health. 9 (11): 3843–65. doi:10.3390/ijerph9113843.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 135
KOMISI B
Iswara Gautama
ABSTRAK
Review ini bertujuan mengetahui pengaturan hasil dari hutan rakyat di daerah DAS Jeneberang
agar pemberian ijin IPKTM dari pemda dapat diarahkan sebagai standar pemanenan dalam menjaga
kesimbangan produksi dan juga dapat dijadikan sebagai patokan pemanenan oleh masyarakat dan
petani, yang pada akhirnya akan menjaga system penutupan lahan di daerah tangkapan hujan DAS
Jeneberang dalam menopang kehidupan.
Ada 3 pola pemanenan pada hutan rakyat yaitu; pola tanam campuran, pola tanam monokultur,
pola tanam batas kebun/tanaman pagar. Untuk untuk pola tanam campuran rata-rata jumlah pohon
siap tebang per ha adalah 26 pohon, pola tanam monokultur jumlah pohon siap tebang dengan limit
diameter adalah sebanyak 431 pohon (asumsi daur tehnik selama 20 tahun) atau rata-rata tebangan
tiap tahun sebanyak 22 pohon dan untuk pola tanam batas kebun/tanaman pagar jumlah pohon
siap tebang dengan limit diamter adalah sebanyak 179 pohon (asumsi daur tehnik selama waktu 20
tahun) atau rata-rata tebangan tiap tahun sebanyak 9 pohon.
Hasil perhitungan prediksi erosi pada lokasi hutan sekunder (hutan jati rakyat) dari 6 unit
lahan yang ada di lokasi penelitian akan terdapat sekitar = 15,45 ton/ha/tahun maka jumlah erosi
seluruhnya sekitar = 7521,375 ton /ha/tahun dari hutan rakyat yang ada di daerah Tangkapan Hujan
DAS Jeneberang
PENDAHULUAN
Adanya tekanan sosial yang dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan
ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-
hilir, sehingga terjadi peningkatan pemanfatan sumberdaya alam DAS yang tidak terkendali dan
terencana secara baik. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan (unbalanced),
karena jumlah sumberdaya yang tersedia sangat terbatas dari jumlah yang diperlukan. Kondisi ini
secara otomatis akan berdampak negatif terhadap penurunan fungsi dan peran serta kerusakan DAS.
Fenomena di atas, juga terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang sebagai salah
satu DAS besar dan prioritas di Sulawesi Selatan. DAS Jeneberang Berdasarkan letak administrasi
tereltak Kabupaten Gowa, Takalar dan Kota Makassar. Kabupaten Gowa meliputi 10 (sepuluh)
kecamatan yakni Kecamatan Kec Palangga, Kec. Bajeng, Kec. Barombong, Kec. Bontolempan, Kec.
Bontomarannu, Kec. Bungaya, Kec. Manuju, Kec. Parangloe, Kec. Sombaopu, Kec. Tinggi Moncong.
Kabupaten Takalar meliputi 2 (dua) kecamatan yakni Kecamatan Polongbangkeng Utara, Galesong
Utara. Kota Makassar meliputi 8 (delapan) kecamatan yakni Kec. Bontoala, Kec. Makassar, Kec.
Mamajang, Kec. Mariso, Kec. Panakukang, Kec. Tamalate, Kec. Ujungpandan, Kec. Wajo.
DAS Jeneberang mempunyai luas 79,250 ha yang terdiri atas Sub DAS Malino 8.683 ha
(10,95%), Sub DAS Kampala seluas 23.193 ha (29.26 %), Sub DAS Jeneberang Hilir seluas 34.609 ha
(43,67 %) dan Sub DAS Lengkese seluas 12,765 ha (16,10 %). Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang
136 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
pada sebelah utara berbatasan dengan DAS Tallo, sebelah timur berbatasan dengan DAS Tangka,
sebelah selatan berbatasan dengan DAS Pamukkulu-Tamanroya dan sebelah barat berbatasan
dengan Selat Makassar (Mappangaja, B., Iswara Gautama. 2001).
Jumlah hutan rakyat yang terdapat di daerah tangkapan hujan DAS jeneberang cukup
besar dan memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekologis di daerah itu,
karena hampir sebagian besar daerah hulunya didominasi olehnya. Adanya kebutuhan kayu dari
potensi hutan rakyat yang cukup tinggi cukup tinggi menyebabkan masyarakat dan petani sering
menjadikan sebagai sumber pendapatan. Juga dengan adanya konversi lahan dengan tanaman
pertanian yang begitu intensif serta sistem pemanenan yang tdak jelas makaperlu ada kajian
kearah sana, tujuannya adalah bagaimana pengaturan hasil perlu diketahui dengan jelas agar
pemberian ijin IPKTM dari pemda dapat dijadikan standar pemanenan oleh masyarakat dan para
petani yang tujuannya agar system penutupan lahan di daerah tangkapan hujan dapat berlangsung
secara berkelanjutan sehingga fungsi DAS Jeneberang dalam menopang kehidupan akan dapat
terwujud dalam waktu lama.
Keadaan hidrologi di DAS Jeneberang pada umumnya sudah mencapai kondisi yang sangat
memprihatinkan. DAS Jeneberang ini terdiri dari sungai besar yaitu Sungai Jeneberang, Sungai
Malino, Sungai Jenetara, Sungai Kausisi, Sungai Sapaya dan Sungai Tokka. Selain sungai besar
tersebut di atas juga terdapat sungai-sungai kecil yang kesemuanya fluktuasi debit yang tinggi. Hal
ini menyebabkan ketersedian air pada sungai-sungai tersebut di atas sangat terbatas khususnya
pada musim kering. Debit sungai di wilayah DAS Jeneberang sesuai hasil pengambilan data tahun
2008 yang memiliki perbedaan paling besar antara Qmax dan Qmin, data Qmax 406.00 m3/detik
sedangkan Qmin 0.34 m3/detik. Secara rinci data debit sungai masing-masing Sub
Data Sedimentasi beberapa sungai di wilayah DAS Jeneberang jumlah lumpur / air sebesar
103 mg/lt. Penutupan lahan berupa hutan di wilayah DAS Jeneberang adalah seluas 12,368 ha
yang seluruhnya tersebar di setiap Sub DAS. Sub DAS yang memiliki hutan terbesar adalah Sub DAS
Kampala yaitu 4,798 ha (38.80%). atau jumlah keseluruhan 12,368 ha.
Pertanian lahan kering bercampur semak tersebar di setiap Sub DAS di wilayah DAS Jeneberang
dengan luas total 33,867 ha dan sub DAS yang memilki luas lahan pertanian lahan kering bercampur
semak yaitu sub DAS Kampala seluas 13,050 ha (38 %), sedangkan perkebunan hanya di dua Sub DAS
saja. Luas pertanian lahan kering bercampur semak dan Perkebunan di setiap Sub DAS.
Pohon jati banyak ditanam masyarakat Sulawesi Selatan terutama di daerah bagian Selatan.
Mereka menanamnya di kebun sendiri atau pada tanah tegalan, pemukiman, kebun, dll. Luas
kepemilikannya tidak tentu, tergantung kemampuan masing-masing serta kesempatan yang ada.
Diperkirakan beberapa orang ada yang memiliki hutan jati dengan luas sekitar 10 hektar (Dinas
Kehutanan Daerah Tingkat I Sul-Sel, 2008).
Penyebaran hutan jati rakyat banyak terdapat di daerah Kabupaten Soppeng, Gowa, Enrekang,
Gowa, Wajo, Takalar, Bulukumba, Bantaeng, Maros, Barru dan Pare-Pare. Masyarakat Sulawesi
Selatan bukan saja sudah mengenal jati tetapi banyak yang sudah memiliki dan memanfaatkannya
secara ekonomi.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 137
KOMISI B
Luas hutan rakyat di Kabupaten Gowa adalah 5.577 ha, tanaman jati milik masyarakat seluas 5.222
ha yang tersebar hampir di seluruh wilayah kecamatan dengan potensi dan pola tanam yang bervariasi.
Hal ini tersaji dalam tabel luas dan penyebaran hutan rakyat (Mujetahid, 2010).
Sistem pemungutan hasil hutan kayu yang diterapkan oleh masyarakat di beberapa lokasi
penelitian di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan cara penebangan, digunakan sistem tebang pilih, dimana pohon dipilih berdasarkan
ukuran diameter yang dianggap sudah dapat memenuhi kebutuhan produksi yaitu 15 cm ke atas.
2. Berdasarkan alat angkut yang dipakai, digunakan alat pengangkut yang disebut traktor yang
dirancang dengan mesin diesel domfeng (forwarder) dan motor angkut, alat ini mengangkut
pohon yang telah ditebang dari dalam lokasi penebangan ke pinggir jalan. Apabila jalan sarad tidak
memungkinkan penggunaan forwarder maka pengangkutan dilakukan dengan menggunakan
kuda atau motor angkut. Pengangkutan dilakukan dari lokasi tebang hingga ke pinggir jalan.
Setelah log berada dipinggir jalan maka dilanjutkan dengan pengangkutan menggunakan truk.
3. Berdasarkan peralatan yang dipakai, digunakan sistem mekanis, yaitu melakukan penebangan
dengan peralatan gergaji rantai (chain saw).
4. Berdasarkan bentuk hasil, diterapkan shortwood system yakni sistem pemanenan yang
menghasilkan bentuk akhir log yang diperoleh dari pembagian batang di tempat penebangan kayu
yang dibagi menjadi beberapa potongan (bantalan). Proses ini dilakukan di lokasi penebangan.
Jalan sarad yang dipilih didasarkan atas jalur yang mudah dilewati oleh kendaraan pengangkut
138 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
sortimen kayu. Jalan ini umumnya berada di dalam kebun masyarakat. Sistem pemeliharaan
mengandalkan hasil trubusan dari tanaman jati yang telah ditebang. Trubusan dibiarkan tumbuh dari
tunggak sisa tebangan tanpa adanya perlakuan untuk mendapatkan hasil trubusan yang berkualitas.
Sistem pengelolaan hutan jati rakyat dan pemanenan di daerah ini pada umumnya dilakukan
oleh masyarakat sebagai salah satu kegiatan sampingan, sehingga curahan tenaga tidak kontinyu.
Terkait dengan itu, masyarakat setempat menganggap bahwa hutan jati merupakan tanaman yang
tidak memerlukan perhatian serius, sehingga setelah penanaman dapat ditinggalkan begitu saja dan
dilihat lagi setelah siap panen. Kondisi ini menyebabkan potensi hutan yang kurang memuaskan dan
berdampak pada harga jual kayunya seperti tinggi bebas cabang yang rendah (kurang perawatan).
Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gowa menunjukkan bahwa luas wilayah
hutan jati rakyat di Kabupaten Gowa khusunya yang tersebar di sekitar DAS Jeneberang (beberapa
desa) yakni 3.235 ha. Sedangkan luas lahan kepemilikan hutan tanaman jati rakyat berdasarkan
hasil inventarisasi bervariasi antara 0,25 - 2 ha per rumah tangga dengan rata-rata 0,86 ha. Sebagian
besar masyarakat (86,9%) memiliki lahan antara 0,25-1 ha dan selebihnya antara 1-2 ha. Hal ini
sejalan dengan pendapat Suharjito (2000) yang mengemukakan bahwa hutan rakyat tersebar pada
tanah-tanah rakyat dengan luas yang pemilikan hutan rakyat relatif kecil yaitu antara 1-2 ha.
1. Jumlah Pohon
Pengelolaan tanaman hutan jati rakyat di sekitar DAS Jeneberang Kabupaten Gowa pada saat
ini masih menerapkan penanaman dengan pola manajemen yang bersifat tradisional. Pengelolaan
hutan rakyat sebagai satu kesatuan sistem usaha mulai dari proses penanaman, pemeliharaan,
pemanenan sampai pada proses pemasaran dan peningkatan skala usaha belum terlaksana dengan
baik. Hal ini dapat dilihat dari potensi (jumlah pohon dan volume per ha) dari setiap lokasi menurut
kelas diameter.
Penyebaran jumlah pohon per ha pada setiap kelas diameter merupakan alat yang dapat
dipakai untuk mengadakan pengaturan hasil seperti metode jumlah pohon. Dari total jumlah pohon
yaitu sebanyak 1.895 tanaman jati yang telah diinventarisir, didapatkan penyebaran jumlah pohon
pada setiap kelas diameter yang bervariasi. Jumlah pohon pada kelas diameter 0 - 4,9 cm sebanyak
171 batang. Untuk kelas diameter 5 - 9,9 cm sebanyak 215 batang dan kelas diameter 10 - 14,9 cm,
15 - 19,9 cm, 20-24,9, 25 - 29,9 cm, 30 - 34,9 cm, diatas 35 cm masing-masing sebanyak 284, 376,
238, 340, 116, dan 155 pohon.
Jumlah pohon pada setiap kelas yang diperlihatkan di atas hasil inventarisasi potensi belum
mencerminkan adanya pengelolaan lestari disebabkan struktur tegakan yang belum normal.
Struktur tegakan adalah sebaran banyaknya pohon per hektar pada setiap kelas diameter. Kelas
diameter hutan jati yang dimiliki oleh masyarakat belum secara merata dimana jumlah pohon yang
terdapat pada setiap kelas diameter tidak sama, sehingga kondisi ini menyebabkan hasil hutan jati
rakyat tidak dapat diambil dalam setiap periode.
2. Volume
Produksi kayu jati dari hutan rakyat berbeda dengan hutan tanaman industri karena teknik
pemanenan, pemasaran hasil, volume produksi yang kecil dengan lokasi yang umumnya menyebar.
Keterbatasan volume karena sifat kepemilikan dan sebaran umur tidak sama (un-even aged).
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 139
KOMISI B
Hutan rakyat yang dibangun masyarakat berbeda dengan hutan tanaman yang menganut
prinsip moderen seperti penggunaan bibit yang lebih kurang seragam dan merupakan hasil
perbaikan genetik. Kontribusi terhadap volume per satuan luas masih tetaplah bervariasi. Olehnya
itu, perolehan volume antara satu pohon dengan pohon lainnya, bahkan per satuan luas antara lokasi
dengan lokasi lainnya sangat bervariasi. Informasi volume yang dapat dipanen atau ditinggalkan
disusun berdasarkan kelas diameter yang diperoleh dari hasil inventarisasi. Pada hutan jati rakyat,
batas minimal yang dapat dipanen sangat ditentukan oleh permintaan pasar berdasarkan tujuan
penggunaannya seperti industri meubel atau industri penggergajian.
Pemanenan hutan jati rakyat di lokasi pengamatan ini sebagian besar untuk memenuhi
kebutuhan industri penggergajian, industri meubel atau bangunan dengan diameter minimal
15 cm. Potensi kayu dari hutan jati rakyat sangat potensial sehingga harus dikelola dengan baik.
Pengelolaan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan yang cukup besar bagi pemilik hutan
rakyat atau pemerintah setempat. Kondisi tanaman jati rakyat memiliki potensi sekitar 16,30 m3
per ha. Dengan demikian jika luas hutan rakyat di lokasi pengamatan 36.5 ha, maka volume kayu
yang dapat dipanen sebesar 594,95 m3.
Pola tanam batas kebun memiliki potensi volume per ha lebih besar dibanding dengan pola
tanam lainnya yakni sebesar 24,34 m3 per ha. Sebaliknya hasil volume per ha terkecil diperoleh pada
pola tanam campuran yaitu sebesar 14 m3 per ha dan 20,1 m3 per ha pada pola tanam monokultur.
Dari hasil inventarisasi potensi dengan cara membagi kelas diameter maka didapatkan bahwa kayu
yang memakai limit diameter siap tebang ( ≥ 15 cm ) dengan volume total sebanyak 243,440 m3,
dimana daur tehnik dari tanaman jati yang ada di daerah ini adalah 20 tahun.
Jatah Tebang Tahunan (AAC) pada hutan jati rakyat di daerah ini ditetapkan dengan menggunakan
Rumus Brandis sebagai berikut :
Jatah tebang tahunan hutan jati rakyat di daerah ini yaitu sebesar 16,944 m3, hal ini berarti
penebangan yang dilakukan selama masa daur adalah sebanyak 16,9 m3 tiap tahunnya. Angka ini
belum dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan perumusan pengaturan hasil yang
optimum dan lestari oleh karena pertimbangan riap dan pola penanaman yang ada di lokasi hutan
rakyat tersebut. Berkaitan dengan itu, cara pengelompokkan kelas-kelas diameter dalam kaitannya
dengan jumlah pohon volume dan pola penanaman perlu dianalisa lebih lanjut.
Hasil inventarisasi volume total yang terbesar diperoleh pada pola penanaman tegakan
campuran yakni sebesar 323,534 m3 dengan jumlah pohon sebanyak 955 batang, dimana rata-rata
luas kepemilikan sebesar 16,30 m3 per ha dengan jarak tanam tidak beraturan. Sebaliknya hasil
140 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
volume total terkecil diperoleh pada pola tanaman pagar yaitu sebesar 101,763 m3. Jumlah pohon
siap tebang berdasarkan limit diameter ( ≥ 15 cm ) sebanyak 1.456 batang.
Potensi volume per pohon yang ada di daerah tangkapan DAS Jeneberang sebesar 0,434 m3.
Hal ini menunujukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih menanam jati pada kebun bersama-
sama dengan jenis tanaman lain (pola tanam campuran).
Berikut gambar histogram hasil rekapitulasi potensi menurut kelas diameter dan beberapa pola
tanam.
Gambar 1. Histogram Hasil Rekapitulasi Potensi Menurut Kelas Diameter dan Pola Tanam
Dasar hukum IPKTM adalah Retribusi Ijin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik. Pada saat ini,
pemanenan hutan jati rakyat hanya dapat dilakukan oleh pemilik Ijin Pemanfaatan Kayu Tanah
Milik (IPKTM) dengan kapasitas ijin 250 m3 per enam bulan atau maksimal 500 m3 per tahun.
Jangka waktu ijin adalah enam bulan dan dapat diperpanjang. Pemilik hutan rakyat tidak
memiliki IPKTM, sehingga tidak dapat melakukan pemanenan untuk selanjutnya dijual ke industri,
tetapi dijual dalam bentuk tegakan berdiri kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul
pun tidak memiliki IPKTM, sehingga untuk melakukan penebangan menggunakan IPKTM milik
pengusaha industri kayu gergajian. Pemilik IPKTM dapat melakukan penebangan di seluruh wilayah
Kabupaten karena tidak memiliki areal kerja yang jelas. Pengusulan ijin tebangan sebanyak 250 m3
setiap ijinnya tidak mencantumkan lokasi hutan rakyat yang akan dipanen.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten tidak memiliki data hasil inventarisasi potensi
tegakan hutan jati rakyat, sehingga sangat sulit untuk mempredisksi jumlah IPKTM yang ideal dan
besarnya volume tebangan yang diberikan pada setiap pemilik ijin agar hutan jati rakyat lestari.
Petugas Dinas Kehutan dan Perkebunan akan melakukan cek lokasi berdasarkan usulan lokasi
dan jumlah batang yang akan dipanen, bukan pada saat ijin dikeluarkan. Berdasarkan data dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gowa, jumlah pemegang IPKTM per tahun selama lima tahun
terakhir berkisar antara 13-19 dengan rata-rata 15 pemilik IPKTM. Jumlah pemilik IPKTM selama
lima tahun terakhir.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 141
KOMISI B
Dari Data pemegang IPKTM di atas realisasi tebangan lima tahun terakhir rata-rata sebesar
6.775,857 m3 per tahun atau sekitar 20.047 batang dengan volume rata-rata per pohon sebesar 0,338
m3. Angka tersebut tidak terlalu jauh berbeda dengan data yang ada hasil pengamatan sebelumnya
dimana volume rata-rata per pohon sebesar 0,355 m3 dengan jumlah pohon sebanyak 19.807 batang.
Perbedaan angka yang tidak terlalu signifikan ini disebabkan oleh perbedaan jumlah pengamatan
yang ada.
Realisasi tebangan IPKTM tersebut untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri
penggergajian sebesar 6.632,028 m3. Berdasarkan hasil perhitungan di lapangan diperoleh bahwa
potensi hutan jati rakyat di daerah pengamatan ini siap yang siap panen (berdiameter ≥ 15 cm)
sebesar 603,022 m3. Hal ini sudah dapat sejalan dengan realisasi tebangan rata-rata per kepemilikan
IPKTM pada tahun 2012 yakni sebesar 370,972 m3 per tahun.
b). Model perumusan pengaturan hasil penen dengan aturan jumlah pohon (Brandis) untuk berbagai
pola tanam sebagai berikut :
Total jumlah pohon pada hasil inventarisasi pada pola penanaman campuran ialah sebanyak
955 pohon. Jumlah pohon siap tebang dengan limit diamter ≥ 15 cm (kelas diameter 15-19,9 cm)
adalah sebanyak 615 pohon dalam kurun waktu 20 tahun (selama masa daur) atau dengan kata lain
rata-rata tebangan tiap tahun sebanyak 31 pohon selama masa daur dengan asumsi riap diameter
tahunan rata-rata sebesar 1 cm.
Berdasarkan luas pola tanam campuran data survei sebesar 23,8 ha, maka rata-rata jumlah
pohon siap tebang per ha adalah 26 pohon. Pola penebangan pada pola tanam ini sebaiknya
menggunakan pola tebang pilih dengan limit diameter. Sistem silvikultur tebang pilih dengan limit
diameter, dilakukan dimana pohon-pohon yang akan ditebang dipilih menurut limit diameter dan
permudaannya dilakukan dengan menanami kembali bekas tebangan tersebut dengan bibit/anakan
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Total jumlah pohon pada hasil inventarisasi pada pola penanaman monokultur ialah sebanyak
759 pohon. Jumlah pohon siap tebang dengan limit diameter adalah sebanyak 431 pohon. Dengan
asusmsi daur tehnik selama 20 tahun, maka rata-rata tebangan tiap tahun sebanyak 22 pohon.
Berdasarkan luas pola tanam monokultur sebesar 11,5 ha, maka rata-rata jumlah pohon siap
tebang per ha adalah 37 pohon. Tegakan sisa berupa anakan maupun trubusan yang belum ditebang
dipelihara dengan mengacu kepada tindakan-tindakan silvikultur berupa pemangkasan sistem
standar (coppice system with standard). Beberapa hasil penelitian di lapangan (Widiarti, 2001)
menunujukkan bahwa sistem silvikultur pada pola penanaman seperti ini sebaiknya menggunakan
sistem THT (Tebang Habis dengan Trubusan). Untuk membentuk tegakan selanjutnya, dipilih tunas
yang tumbuh cukup banyak dari tunggak bekas tebangan. Tunas dipilih 2-3 yang tumbuh baik,
berbatang lurus dan sehat.
Total jumlah pohon pada hasil inventarisasi pada pola penanaman batas kebun/tanaman
pagar adalah sebanyak 181 pohon. Jumlah pohon siap tebang dengan limit diamter adalah sebanyak
179 pohon dalam kurun waktu 20 tahun (selama masa daur) atau dengan kata lain rata-rata tebangan
tiap tahun sebanyak 9 pohon.
142 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Banyaknya jumlah pohon siap tebang per ha adalah 2 pohon. Dengan demikian, pola
penebangan yang sesuai ialah tebang pilih dengan limit diameter.
1. Jatah tebang tahunan disesuaikan dengan potensi yang ada dan daur tehnik tanaman jati rakyat.
2. Ijin tebangan tahunan IPKTM disesuaikan dengan jatah tebang tahunan berdasarkan potensi.
3. Tidak mengeluarkan ijin baru terhadap industri penggergajian.
4. Perhitungan luas areal yang terbuka dan prediksi erosi di DAS Bila Jeneberang/ha/tahun
1. Aktifitas petani pemilik hutan rakyat di C.A DAS Jeneberang rata-rata memanen kayunya
berdasarkan kebutuhan dan menurut hasil wawancara dan diskusi kebayakan mereka menebang
sikitar 6-7 batang setahun sesuai kebutuhan dan bahkan biasanya lebih jika ada kebutuhan
yang mendesak. Jika asumsi daur jati sekitar 20 tahun-an maka perlu di carikan solusi konsep
penutupan lahan yang seimbang antara pemanenan dengan konsep penutupan tajuk, karena
erosi sangat besar jika pemanenan dilakukan terlalu cepat dibanding dengan panjang daur.
2. Perhitungan luas areal hutan rakyat yang ada di DAS Jeneberang 3.235 ha ( rata-rata per ha +
20,12 pohon dan dengan kubikasi rata-rata/ pohon 0,338 m3). Angka tersebut tidak terlalu jauh
berbeda dengan data yang ada hasil pengamatan sebelumnya dimana volume rata-rata per pohon
sebesar 0,355 m3
3. Rata-rata pemilik hutan rakyat 2 - 3 ha/ petani maka jumlah petani untuk 3.235 ha sekitar 1617
petani. Asumsi jika rata-rata petani (pemilik) menebang 6 pohon saja per tahun maka jumlah
pohon yang hilang sekitar 9.705 pohon atau setara dengan keterbukaan lahan sekitar 485,25 ha/
tahun. Hasil perhitungan prediksi erosi pada lokasi hutan sekunder (hutan jati rakyat) dari 6 unit
lahan yang ada di lokasi penelitian akan terdapat sekitar = 15,45 ton/ha/tahun maka jumlah erosi
seluruhnya sekitar = 7521,375 ton /ha/tahun dari hutan rakyat yang ada di daerah Penangkapan
Hujan DAS Jeneberang. Menurut Arsyad (2013) erosi yang hanya bisa diperkenankan di sebuah
DAS/ha/tahun sekitar 10-13 ton.
PENUTUP
Pengelolaan hutan rakyat dalam jangka panjang dapat dilakukan dengan penanaman tanaman
jati sehingga terdapat tanaman pada berbagai kelas umur dan pemeliharaan terhadap trubusan-
trubusan pada lokasi bekas tebangan. Luas minimal setiap kelas umur disesuaikan dengan kapasitas
terpasang industri yang ada setelah mempertimbangkan rendemen dan jumlah kelas umur mengikuti
daur tanaman jati rakyat yaitu minimal 20 tahun dengan asumsi riap diameter minimal satu cm
dengan pemeliharaan yang intensif.
Pola tanam hutan rakyat sangat menentukan dalam peningkatan pendapatan bagi petani
pemilik lahannya. Pola tanam monokultur akan berhasil jika dilakukan secara kemitraan dengan
perusahaan industri yang memerlukan bahan baku kayu. Sedangkan pola tanam campuran, terutama
campuran dengan sistem agroforestry/wanatani manfaatnya ganda, disamping meningkatkan
pendapatan petani lewat panen harian, mingguan, bulanan dan tahunan juga menjaga kelestarian
lingkungan (ekologi) karena pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara
rasional baik dari aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budaya, sehingga diharapkan
tercapai kelestarian, lestari lingkungan, lestari hasil dan lestari pendapatan.
Hasil perhitungan prediksi erosi pada lokasi hutan sekunder (hutan jati rakyat) dari 6 unit
lahan yang ada di lokasi penelitian akan terdapat sekitar = 15,45 ton/ha/tahun maka jumlah erosi
seluruhnya sekitar = 7521,375 ton /ha/tahun dari hutan rakyat yang ada di daerah Penangkapan
Hujan DAS Jeneberang
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 143
KOMISI B
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kehutanan Sulsel,. 2008. Potensi Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan. Makassar
Mappangaja, B., Iswara Gautama. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengurusan Erosi, Sedimentasi,
Produktivitas Lahan pada DAS Lintas Kabupaten/Kota. Kerjasama Unhas dengan Dinas
Kehutanan Provinsi Sulsel. Makassar.
Mappangaja, B., Iswara Gautama. 2004. Proceding Lokakarya Penyusunan Program Penyelamatan
Danau dalam Rangka Pelaksanaan Pembangunan dan Penyelamatan Lingkungan di Kawasan
Timur Indonesia. Kerjasama MPI-Reformasi DPD Sulawesi Selatan dengan Kementrian
Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Makassar.
Maulidhyawanti, 2005. Peran Hutan Rakyat dalam Menunjang Pendapatan Petani di Desa Pattalikang
Kecamatan Mamuju Kabupaten Gowa. Skripsi (tidak dipublikasikan) Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Mujetahid, 2010. Potensi Hutan Jati Rakyat di Kabupaten Bone, Jurnal Hutan dan Masyarakat
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Vol IV No. 2 Agustus 2010.
Nippon Koei Co, LTD. 2003. Master Plan Study on Integrated Development and Management of The
Walanae – Cenranae River Basin.
Pramono, A.A., Fauzi, M.A., Widyani, N., Heriansyah, I. dan Roshetko, J.M. 2010. Pengelolaan hutan
jati rakyat: panduan lapangan untuk petani. CIFOR, Bogor, Indonesia. Hal 52-53. Diakses di
http://pdfcast.org/pdf/ pada tanggal 31 Juli 2011.
Purwanti, R. 2002. Studi Pendapatan Petani Dataran Tinggi di Sub DAS Malino Kelurahan Gantarang,
Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian dan
Kehutanan, Unhas, Makassar.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin, 2000. Pengelolaan Terpadu DAS
Jeneberang Tahap I. Makassar.
Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, 2006. Insentif dan Disentif Tata Usaha Kayu Hutan
Rakyat. Fahutan UGM, Yogyakarta.
Simon, Hasanu, 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management).
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
144 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Abdul Wahid
Staf Pengajar Fak. Kehutanan Untad
ABSTRACT
This research was conducted at Olonjonge watershed area in the Parigi Moutong and order to
examinethe erosion rate in several land units existing in the area of Watershed Olonjonge.
This study used a survey method. Prediction of soil erosion had used the method of USLE
(Universal Soil Loss Equation)
The studi results showed that erosion rate that occurred in the Olonjonge watershed area ranged
between 0,12 - 693,38 ton/ha/year. Olonjonge watershed area is dominated by the medium level of
erosion danger (36.19% of total wide of DAS), followed by very light danger of erosion (25.61%), level of
light erosion (11.89%), weight (4.22%), and heavy weight (22.10%).
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan DAS Olonjonge Kabupaten Parigi Moutong dengan
tujuan untuk untuk mengkaji besarnya kehilangan tanah akibat erosi pada berbagai satuan lahan di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Olonjonge, Kabupaten Parigi Moutong,
Penelitian ini menggunakan metode survai. Prediksi besarnya erosi menggunakan metode
USLE (Universal Soil Loss Equation).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju erosi yang terjadi di DAS Olonjonge berkisar antara
0,12-693,38 ton/ha/thn. Tingkat bahaya erosi di DAS Olonjonge meliputi sangat ringan hingga
sangat berat dengan persentase luas lahan berturut-turut dari yang sangat ringan hingga sangat
berat 25,61%;11,89%; 36,19%;4,22% dan 22,10%.
PENDAHULUAN
Sebagai Negara agraris, sumberdaya lahan (tanah) di Indonesia merupakan salah satu
modal dasar pembangunan yang pemanfaatannya harus dilaksanakan secara berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang
(Anonim, 1987).
Praktek-praktek konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian (tanpa memperhatikan aspek
konservasi tanah) akan mengakibatkan kemerosotan fungsi wilayah, terutama apabila wilayah
tersebut berfungsi sebagai pengatur tata air (Utomo, 1984). Menurut Ni’matul Khasanah dkk,
(2004), kegiatan konversi hutan menjadi perkebun dan lahan pertanian merupakan kegiatan yang
beresiko tinggi ditinjau dari sudut pandang pengelolaan DAS. Masalah utama yang dihadapi akibat
adanya perubahan tutupan lahan pada lahan miring adalah berubahnya fungsi hidrologi DAS.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 145
KOMISI B
Salah satu faktor yang menyebabkan kemerosotan fungsi lahan terutama apabila lahan
tersebut berfungsi sebagai daerah resapan air (fungsi hidrologi) adalah terjadinya erosi tanah.
(Sudarmadji, 1995). Erosi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya degradasi lahan
(Ogawa dkk, 2007). Erosi tanah menimbulkan dampak, baik ditempat kejadian erosi (on site)
yaitu menurunkan produktivitas lahan maupun diluar tempat kejadian erosi (off site) yaitu berupa
pendangkalan waduk, penurunan kapasitas saluran irigasi.
DAS Olonjonge yang meliputi kawasan seluas 3.391,43 ha, merupakan bagian dari DAS Dolago
Torue, termasuk salah satu DAS Kritis di Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Dolago Torue.
Mengingat besarnya dampak negativ yang mungkin ditimbulkan oleh proses dan kejadian
erosi, baik dalam jangka pendek berupa penurunan produktivitas lahan akibat hilangnya unsur hara
dan bahan organik tanah maupun dalam jangka panjang berupa pendangkalan waduk serta saluran
irigasi, maka diperlukan berbagai upaya untuk menekan dan mengendalikan dampak negatif
tersebut.
Dalam upaya pengendalian erosi, langkah prertama yang dapat ditempuh adalah mengetahui
tingkat/laju erosi tanah yang terjadi di daerah yang bersangkutan, yaitu besarnya massa tanah
yang terangkut untuk perioda satuan waktu tertentu dari tempat-tempat tersebut. Satu diantara
cara untuk menentukan besarnya erosi adalah dengan menggunakan rumus umum kehilang tanah
(Universal Soil Loss Equation = USLE)
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji besarnya kehilangan tanah
akibat erosi pada berrbagai satuan lahan di daerah aliran sungai (DAS) Olonjonge, Kabupaten Parigi
Moutong.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di DAS Olonjonge, Kabupaten Parigi Moutong yang meliputi kawasan
seluas 3.391,43 ha. Tempat penelitian berada pada ketinggian 15 – 800 m dpl. Pengumpulan data
untuk tujuan prediksi erosi tanah di daerah penelitian dilakukan melalui survai tanah (kedalaman
efektif, struktur tanah) dan analisis sampel tanah di laboratorium. Data iklim untuk tujuan prediksi
erosi tanah dikumpulkan dari stasiun pengamat hujan yang terdekat dengan lokasi penelitian atau
pada instansi terkait.
Bahan dan peralatan yang di gunakan dalam penelitian ini meliputi,: peta kelerengan, peta
tanah, peta penggunaan lahan,kompas, ring sampel, meteran, kantong plastiK, karet ikat, label,
cangkul, sekop dan alat tulis penulis.
Tahap awal dari pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan membuat peta satuan
lahan/unit lahan. Satuan lahan disusun sebagai dasar satuan analisis. Pembuatan peta satuan lahan
dilakukan dengan cara tumpang susun (overlay) peta-peta tematik komponen lahan utama yaitu peta
lereng, peta tanah, dan peta penggunaan lahan yang telah tersedia di BPDAS Palu Poso. Peta-peta ini
bersumber dari peta RBI dan hasil citra landsat. Dari ketiga peta tersebut kemudian dilakukan overlay
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai alat bantu pemrosesan dan penampilan data,
sehingga diperoleh peta satuan lahan/unit lahan.
146 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Selanjutnya, pengumpulan data untuk tujuan prediksi erosi tanah permukaan di daerah
penelitian dilakukan melalui survai tanah (kedalaman efektif, struktur tanah) dan analisis sampel
tanah di laboratorium (tekstur tanah, permeabilitas, bulk density dan bahan organik). Data iklim
untuk tujuan prediksi erosi tanah dikumpulkan dari stasiun pengamat hujan yang terdekat dengan
lokasi penelitian atau pada isntansi terkait yaitu kantor Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(BPDAS Palu- Poso) dan Dinas Kimpraswil Propinsi Sulawesi Tengah.
Di dalam studi ini besarnya laju erosi tanah yang terjadi pada setiap satuan lahan/ unit
lahan dihitung dengan menggunakan model persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation) yang
dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith, (1978) dengan persamaan sebagai berikut:
A = R.K.(l.S).C.P
A= laju erosi tanah (ton/ha), R= erosivitas hujan, K= erodibilitas tanah, LS= panjangdan kemiringan lerengC=
faktor pengelolaan tanaman, dan P= faktor konservasi tanah.
Erosivitas hujan dapat dihitung dengan menggunakan data curah hujan (bulanan). Untuk
menghitung erosivitas hujan digunakan rumus:
Pengambilan contoh tanah dari lapangan dilakukan dalam rangka penetapan tekstur untuk
menghitung nilai erodibilitas tanah (K). Erodibilitas tanah merupakan gambaran yang menyatakan
mudah atau tidaknya tanah tererosi atau dengan kata lain tingkat kepekaan tanah terhadap daya
rusak hujan. Menurut Anonim (1993), besarnya nilai Erodibilitas tanah (K) sangat ditentukan oleh
tekstur, struktur, permeabilitas dan bahan organik tanah. Penentuan besaran nilai K dapat dilakukan
menggunakan persamaan Hammer (1978),sebagai berikut:
Dimana:
K = Indeks erodibilitas tanah;
M = (persentase pasir sangat halus+debu) (diameter 0,1–0,05 dan 0,05–0,02 mm)x(100 % liat);
a = adalah persentase bahan organik (% C organik x 1,724);
b = adalah kode struktur tanah (Tabel 3) ; dan
c = adalah kelas permeabilitas tanah ( Tabel 4).
Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) dalam penelitian ini ditentukan dengan hanya
memperhatikan kemiringan lereng yang ada dan mengacu pada Harjowigeno dan Widiatmaka (2007)
dengan asumsi pengaruh panjang lereng diabaikan dan yang berpengaruh hanya kemiringan lereng
(kemiringan berpengaruh 3 kali panjang lereng terhadap erosi) sehingga faktor LS dapat dinilai
seperti yang disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut:
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 147
KOMISI B
Besaran faktor pengelolaan tanaman (C) adalah perbandingan antara besarnya tanah yang
tererosi dari lahan yang ditanami dengan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang
terjadi pada lahan yang sama tetapi tanpa tanaman (bera) dan dengan panjang serta kemiringan
lereng yang sama. Penentuan besaran nilai C dengan merujuk pada hasil-hasil penelitian terdahulu.
Salah satu program penting untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan program konservasi
tanah adalah mengetahui Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dalam suatu DAS. Dengan mengetahui TBE
suatu DAS, diharapkan prioritas rehabilitasi hutan dan lahan dapat ditentukan. Penentuan Tingkat
Bahaya erosi dalam penelitian ini didasarkan pada kriteria penyusunan Rencana Teknik Lapangan
(Departemen Kehutanan, 1993) seperti yang disajikan pada Tabe-2.
Kelas Erosi
Solum Tanah I II III IV V
(cm) Erosi Tanah
<15 15-60 60-180 180-400 >400
Dalam SR R S B SB
> 90 0 I II III IV
Sedang R S B SB SB
60-90 I II III IV IV
Dangkal S B SB SB SB
30-60 II III IV IV IV
Sangat dangkal B SB SB SB SB
< 30 III IV IV IV IV
Sumber : Departemen Kehutanan (1993)
Erosi yang terjadi tidak boleh melampaui erosi yang dapat ditoleransi (E-Tol ) agar lahan dapat
dipergunakan secara lestari . dengan perkataan lain, besarnya erosi yang terjadi harus lebih kecil
atau sama dengan E-tol. Erosi yang dapat ditoleransi dihitung melalui persamaan yang dikemukakan
oleh Wood dan Dent (1983) sebagai berikut:
148 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Keterangan:
TSL = erosi yang dapat ditolerasikan (mm/tahun);
DE = kedalaman ekivalen (mm) yang diperoleh dari perkalian nilai faktor kedalaman
dengan kedalaman efektif tanah (mm),
LPT = laju pembentukan tanah (mm/tahun) yang ditentukan sebesar 0,8 mm/thn,
Dmin = kedalaman tanah minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan akar suatu jenis
tanaman (mm), dan
T = umur guna tanah (tahun) ditetapkan selama 400 tahun.
Data erosi yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode USLE
kemudian dianalisis dengan membandingan besaran tanah yang tererosi tersebut dengan erosi yang
dapat ditoleransi (E-Tol )
Erosi adalah peristiwa perpindahan tanah atau bagian-bagian dari tanah ke suatu tempat
lain akibat aliran air dipermukaan tanah. Perhitungan laju erosi aktual bertujuan untuk mengetahui
potensi erosi yang akan terjadi di DAS Olonjonge apabila tidak dilakukan perubahan pengelolaan
lahan.Penentuan besarnya laju erosi tanah aktual dilakukan dengan menggunakan persamaan
USLE, dimana nilai erosi diperoleh dari hasil perkalian antara nilai erosivitas hujan (R) dengan nilai
erodibilitas tanah (K), faktor indeks panjang dan kemiringan lereng (LS), faktor indeks pengelolaan
tanaman (C) ,dan faktor indeks pengelolaan lahan (P) Model ini sangat terkenal dan masih digunakan
sampai sekarang (Suripin, 2004).
Hasil prediksi laju erosi tanah pada setiap satuan lahan dengan menggunakan model USLE
disajikan pada Tabel-3.
Tabel-3. Hasil Prediksi Laju Erosi pada Satuan Lahan di DAS Olonjonge
Erosi (A)
Satuan Luas Kedalaman
No R K LS C P (ton/ha/ TBE
Lahan (ha) Solum
th)
1 KC-I al 158,03 1358,71 0,40 0,4 0,100 0,5 10,87 60 - 90 R
2 KC-II al 212,73 1358,71 0,58 1,4 0,100 0,5 55,59 > 90 R
3 SW-I al 26,7 1358,71 0,54 0,4 0,010 0,04 0,12 60 - 90 SR
4 CM-I al 246,43 1358,71 0,35 0,4 0,200 0,5 19,02 60 - 90 S
5 CM-II al 90,93 1358,71 0,46 1,4 0,200 0,5 86,89 60 - 90 S
6 TG-II al 23,33 1358,71 0,10 1,4 0,363 0,4 26,35 60 - 90 S
7 TG-IV al 38,6 1358,71 0,28 6,8 0,400 0,2 207,23 > 90 SB
8 TG-I al 3,22 1358,71 0,22 0,4 0,600 0,5 36,06 60 - 90 S
9 TG-I la 49,49 1358,71 0,37 0,4 0,363 0,5 36,50 60 - 90 S
10 TG-IV la 152,05 1358,71 0,63 6,8 0,200 0,4 466,13 > 90 SB
11 TG-II re 17,75 1358,71 0,22 1,4 0,200 0,5 41,84 60 - 90 S
12 CM-II la 29,3 1358,71 0,42 1,4 0,200 0,5 80,07 > 90 S
13 CM-II re 28,71 1358,71 0,43 1,4 0,200 0,5 81,79 > 90 S
14 TG-II la 20,86 1358,71 0,34 1,4 0,363 0,4 94,72 60 - 90 B
15 KC-I la 32,37 1358,71 0,45 0,4 0,100 0,4 9,78 60 - 90 R
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 149
KOMISI B
Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa perkiraan laju erosi aktual yang terjadi di
kawasan DAS Olonjonge bervariasi dengan kisaran 0,12 – 69,383 ton/ha/tahun)
Potensi erosi terkecil terjadi pada satuan lahan Nomor 3 (SW-I-al) yang merupakan lahan
sawah dengan nilai faktor C 0,010 dan nilai erodibilitas 0,54. Faktor yang menyebakan rendahnya
erosi pada satuan lahan SW-I-al adalah karena satuan lahan tersebut terletak pada kelerengan datar.
Sedang potensi erosi terbesar terjadi pada satuan lahan Nomor 30 (TG-V-la). Hal ini disebabkan
karena pada lokasi tersebut berupa lahan tegalan dengan nilai faktor C 0,350 (berupa tanaman
semusim) dan terletak pada kelerengan sangat curam. Menurut Arsyad (1989) dalam Harijanto
(2006),vegetasi dengan tanaman-tanaman semusim ternyata tidak efektif dalam melindungi tanah,
apalagi bila tidak diikuti dengan usaha-usaha konservasi tanah dan atau bila letaknya berada pada
lahan yang miring, sehingga memudahkan berlangsungnya proses erosi tanah.
Selanjutnya, berdasarkan Tabel-3 tersebut, dapat diketahui pula bahwa mayoritas laju erosi
tanah yang terjadi di DAS Olonjonge termasuk dalam kategori laju erosi sedang (60-180ton/ha/thn)
yakni seluas 1.160 ha(34,22%), selanjutnya berturut-turut laju erosi sangat ringan (<15 ton/ha/
thn) seluas (31,22%), ringan (15-60 ton/ha/thn) seluas 582,59 ha (17,19%). dan laju erosi tinggi
(180 - 400ton/ha/thn) seluas 224,63ha (6,62 %). Hanya sebagian kecil saja yang termasuk laju erosi
sangat tinggi (>400ton/ha/thn) yakni seluas 224,63ha (6,62 %).
Penilaian tingkat bahaya erosi (TBE) adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum
dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap satuan lahan, semakin dangkal solum
150 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
tanahnya maka semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosi sudah
cukup besar meskipun tanah yang hilang (bahaya erosi) belum terlalu besar (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007).
Berdasarkan Tabel-3 diperoleh informasi bahwa DAS Olonjonge memiliki TBE mulai dari
sangat ringan sampe sangat berat. Luasan klasifikasi TBE di DAS Olonjonge berturut-turut mulai dr
sangat ringan seluas 868,56 ha (25,61%), ringan seluas 403,13ha (11,89%), sedang seluas 1.227,40
ha (36,19%), berat seluas142,99 ha (4,22%) dan sangat berat seluas749,36ha (22,10%).
Lebih lanjut dicermati bahwa satuan lahan yang tergolong mempunyai TBE sangat ringan
terjadi pada satuan lahan nomor 3 dan 29 dengan bentuk penggunaan lahan berupa sawah dan hutan.
Adapun tingkat bahaya erosi rendah sebagian besar terjadi pada satuan lahan nomor 1,2,8,9,11
dengan bentuk penggunaan lahan berupa Kebun Campuran. Untuk tingkat tingkat bahaya erosi
sedang terjadi pada satuan lahan nomor 4,5,12,13,14,18 - 22,25,32,34, dan 35 dengan bentuk
penggunaan lahan berupa Coklat Monokultur pada kelerengan I, II, III dan IV, serta sedikit pada
penggunaan lahan tegalan pada kelerengan I dan II. Tingkat bahaya erosi berat mayoritas terjadi
pada satuan lahan dengan kelerengan III dan IV, yaitu satuan lahan nomor 7,24,26,27,28,31,33,37.
Dan tingkat bahaya erosi sangat berat terjadi pada satuan lahan nomor 10, 30, dan 36 dengan bentuk
penggunaan lahan berupa Tegalan dengan kelas kelerengan III, IV dan V. Dengan melihat tingkat
bahaya erosi yang terjadi, maka di wilayah studi sangat diperlukan penanganan erosi agar kecepatan
degradasi lahan dapat dihambat.
3. Erosi yang dapat Ditoleransi
Erosi yang dapat ditoleransikan (E-tol/TSL) adalah laju erosi yang dinyatakan dalam
mm/tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar yang masih dapat ditoleransikan agar terpelihara
suatu kedalaman tanah yang cukup bagi perumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan
tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari (Arsyad, 2010). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
Erosi yg terjadi tidak boleh melampaui erosi yang dapat ditoleransikan (E-tol/ TSL) agar lahan dapat
dipergunakan secara lestari. Dengan perkataan lain, besarnya erosi minimal harus sama dengan
atau lebih kecil dari Etol. Dgn menentukan Etol, maka dapat dilakukan suatu kebijakan pengelolaan
lahan dan tidakan konservasi tanah sehingga dapat mencegah kerusakan lahan.
Berdasarkan hasil prediksi erosi tanah aktual seperti yang disajikan pada Tabel-2,
menunjukkan bahwa TBE di kawasan DAS Olonjonge bervariasi mulai dari sangat ringan (SR) sampai
sangat berat (SB). Sejalan dengan hal tersebut,dari hasil perhitungan Etol menunjukkan bahwa
besarnya erosi aktual pada sebagian satuan lahan dalam DAS Olonjonge memiliki nilai erosi yang
lebih tinggi dari E-tol (Tabel-4)
Tabel-4. Perbandingan Besarnya Erosi Aktual dengan Erosi yang dapat di Toleransi
ked. Nilai Masa Erosi
ked.tanah Laju. Etol Bulk Etol
Satuan efektif faktor Pakai aktual
No minimum Pemb. (mm/ Density (ton/ha/
Lahan tanah kedala- tanah (ton/ha/
(mm) tanah thn) (gr/cc) thn)
(cm) man (thn) thn)
1 KC-I al 75 1 50 0,8 400 0,86 1,72 10,9 14,84
2 KC-II al 105 1 50 0,8 400 0,94 1,63 55,6 15,28
3 SW-I al 100 1 25 0,8 400 0,99 1,17 1,5 11,55
4 CM-I al 100 1 50 0,8 400 0,93 1,33 19,0 12,30
5 CM-II al 95 1 50 0,8 400 0,91 1,57 86,9 14,33
6 TG-II al 85 1 30 0,8 400 0,94 1,46 26,4 13,69
7 TG-IV al 100 1 15 0,8 400 1,01 1,43 207,2 14,48
8 TG-I al 90 1 24 0,8 400 0,97 1,56 36,1 15,05
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 151
KOMISI B
Berdasarkan data pada Tabel-4 menunjukkan bahwa hasil prediksi erosi tanah pada satuan
lahan nomor 1, 3, dan 29 lebih rendah dari erosi tanah yang dapat ditoleransi (Etol/TSL). Selanjutnya
Satuan lahan nomor 2, 4 - 28, dan 30 - 37 menunjukkan laju erosi tanah yang lebih tinggi dari E-tol.
Erosi yang dapat ditoleransi di DAS Olonjonge adalah sebesar 0,91 mm/thn atau setara dengan 13,22
ton/ha/thn. Nilai erosi tanah yang dapat ditoleransi pada masing-masing satuan lahan berbeda-
beda tergantung pada jenis tanah dan kedalaman efektif tanahnya. Dengan menentukan Etol, maka
dapat dilakukan suatu kebijakan pengelolaan lahan dan tidakan konservasi tanah sehingga dapat
mencegah kerusakan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan, 1993. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan dan Konservasi
Tanah Sub Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan. Jakarta
Harjowigeno, S dan Widiatmaka, 2007.Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna
Lahan. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta
Ni’matul Khasanah; Betha Lusiana; Farida dan Meine van Noordwijk (2004). Simulasi Limpasan
Permukaan Dan Kehilangan Tanah Pada Berbagai Umur Kebun Kopi: Studi Kasus di
Sumberjaya,Lampung Barat Jurnal Agrivita VOL. 26 NO.1hal 81-89
Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi Offset. Yogyakarta.
Utomo,W H., 1989. Konservasi Tanah Di Indonesia. Suatu Rekaman dan Analisa. Rajawali press,
Jakarta.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 153
KOMISI B
Samuel A. Paembonan*
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar
*Email: samuelpaembonan@yahoo.co.id
ABSTRAK
Hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja/Toraja Utara menempati suatu ekosistem dataran
tinggi dengan luas sekitar 77.154 ha.Hutan rakyat tersebut umumnya merupakan hutan rakyat
tongkonan yang disebut kombong, yaitu hutan rakyat yang dibangun dan dikelola secara swadaya
oleh masyarakat yang terhimpun dalam suatu ikatan kekerabatan keluarga. Jenis-jenis yang
dikembangkan oleh masyarakat adalah jenis dataran tinggi yang secara agroekologi tumbuh secara
alami pada kisaran ketinggian 600 m – 1800 m dpl. Tipe hutan tongkonanyang dikembangkan yaitu
hutan rakyat murni dan campuran.Jumlah strata hutan rakyat berkisar 4 dan 5 strata dengan pola
tanam umumnya bersifat random sesuai kebutuhan. Keberadaan hutan rakyat tongkonan berfungsi
konservasi terhadap lingkungan khususnya dalam hubungannya dengan kedudukan Kabupaten Tana
Toraja/Toraja Utara sebagai catchment area DAS Saddang dan beberapa DAS lainnya. Selain itu, hasil
hutan rakyat tongkonan dimanfaatkan untuk berbagai keperluanantara lain: untuk pembangunan
rumah adat tongkonan, keperluan upacara adat, dan untuk kebutuhan sosial ekonomi masyarakat.
Dalam rangka mitigasi perubahan iklim, hutan rakyat tongkonan memiliki peranan sebagai carbon
pool potensial sehingga perlu dikelola secara lestari.
Kata kunci: Hutan rakyat tongkonan, rumah adat, catchment area, DAS Saddang
LATAR BELAKANG
Secara umum masyarakat tradisional Toraja memiliki budaya membangun hutan rakyat yang
berbasis pada budaya tongkonan dan pengelolaannya diwadahi dalam suatu lembaga tongkonan.
Sistem tongkonan dalam masyarakat adat toraja adalah sumber nilai dan norma-norma kehidupan
masyarakat toraja yang terdiri atas bangunan rumah adat tongkonan, hutan rakyat tongkonan
(kombong), dan sawah/kebun. Hutan rakyat tongkonan yaitu hutan yang dibangun secara swadaya
oleh masyarakat adat toraja yang terhimpun dalam suatu ikatan kekerabatan keluarga. Rumah
adat tongkonan yang merupakan rumah milik bersamarumpun keluargadijadikan sebagai tempat
bermusyawarah, khususnya untuk mengambil keputusan menyangkut kepentingan bersama.
Pengelolaan hutan rakyat berbasis tongkonan ini merupakan suatu kearifan tradisional
yang dianut secara turun temurun oleh masyarakat adat Toraja. Hutan rakyat tongkonan
merupakan sumber bahan baku utama dalam pembangunan rumah tongkonan dan lumbung serta
untukpembuatan pondok dalam ritual upacara adat toraja baik upacara pesta adat (rambu tuka’)
maupun upacara kematian (rambu solo’). Kegiatan tersebut memerlukan bahan baku kayu tertentu
dan bambu dalam jumlah yang besar. Jenis-jenis pohon yang ditanam dalam lahan kombong pada
umumnya adalah jenis pohon dan jenis bambu yang menjadi sumber bahan baku utama kegiatan
tersebut di atas.
154 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Kabupaten Tana Toraja danToraja Utara (sebelumnya Kab.Tana Toraja) merupakan representasi
daerah dataran tinggi plateau dengan kisaran ketinggian 600 m – 1.800 m di atas permukaan laut.
Wilayah ini merupakan catchment area DAS Saddang dan beberapa DAS lainnya, serta berfungsi
sebagaimenara air bagi beberapa kabupaten penghasil berasdi Propinsi Sulawesi Selatan seperti
Kabupaten Sidrap, Pinrang dan Luwu. Oleh karena itu praktek pengelolaan lingkungan pada wilayah
catchment area ini akan berpengaruh nyata terhadap kontinuitas aliran air, baik kuantitas maupun
kualitas pada wilayah hilir. Sehubungan dengan itu maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
eksistensi hutan rakyat tongkonan dan peranannya dalam mengamankan catchment area DAS
Saddang.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ditentukansecara purposive pada tiga kecamatan contoh yang dianggap
representatif, yaitu: Kecamatan Sesean dan Tondondi kabupaten Toraja Utara dan kec. Makaledi
Kabupaten Tana Toraja. Ketiga kecamatan tersebut dianggap mewakili masyarakat adat budaya
Toraja bagian Utara, Tengah dan Selatan Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Pelaksanaan
Penelitian pada bulan Juli sampai Agustus 2013.
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan
melalui wawancara, survei lapangan dan dokumentasi.
1. Data Pengukuran pohon dalam plot sampel yaitu: Komposisi jenis penyusun hutan rakyat
tongkonan, Struktur vertikal, Kerapatan tanaman dalam plot, dan Pola tanam.
2. Data Sosial Ekonomi:untuk mengetahui alasan pemilihan komponen penyusun hutan rakyat
Tongkonan dilakukan wawancara dengan masyarakat menggunakan kuesioner. Masyarakat
yang diwawancarai adalah pemilik tongkonan dan pemuka masyarakat setempat sebanyak 20
orang.
Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang berkaitan dengan data yang diperlukan
seperti: keadaan umum wilayah (data monografi), kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, laporan-
laporan dan dokumen-dokumen yang terkait dengan materi penelitian serta hasil penelitian
terdahulu yang relevan.
Pelaksanaan Penelitian
Pada setiap Kecamatan contoh diambil 3 plot pengamatan yang representatif secara purposive
dengan mempertimbangkan bentuk topografi, luas hutan tongkonan dan umur tongkonan. Jumlah
seluruh plot pengamatan untuk ketiga kecamatan terpilih adalah 9 plot dengan ukuran setiap plot
pengamatan 20 m x 50 m.
Analisis Data
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 155
KOMISI B
Ada beberapa sungai yang memiliki hubungan dengan Kabupaten Tana Toraja/Toraja Utara
sebagai catchment area, yaitu: Sungai Saddang yang mengalir ke Kabupaten Pinrang, Sungai
Karama’ yang mengalir ke mamuju, Sungai Pareman yang mengalir ke Luwu, dan Sungai Mataallo
yang mengalir ke Enrekang. Kondisi Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara sebagai catchment area
dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada umumnya hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja/Toraja utara merupakan hutan rakyat
tongkonan dan dibangun oleh masyarakat toraja yang terhimpun dalam satu kekerabatan keluarga
dan diwariskan secara turun-temurun. Pengelolaan hutan rakyat tongkonan ini dilakukan secara
berkesinambungan sebagai sumber bahan baku utama dalam pembuatan rumah tongkonan dan
lumbung,untuk perlengkapan upacara adat,dan untuk kebutuhan rumah tangga masyarakat.
Tipe hutan rakyat tongkonan (kombong)umumnya adalah hutan rakyat campuran dan
sebagian lainnya merupakan hutan rakyat homogen. Jenis pohon yang dominan didapati dalam hutan
rakyat tongkonan, yaitu: buangin (Casuarina junghuhniana), Uru/cempaka (Elmerillia sp.), Nyatoh
(Palaquium sp), Aren (Arenga pinnata), dan beberapa jenis bambu yaitu tallang, betung dan parrin.
Kelima jenis dominan ini merupakan jenis yang memiliki arti dan makna tersendiri sebagai bahan
pembangunan rumah adat tongkonan.
156 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Jenis Buangin/casuarina yang memiliki kualitas kelas kuat dan kelas awet satu digunakan
sebagai tiang utama rumah adat, penyangga longa (ujung bagian depan dan belakang rumah adat),
dan konstruksi bagian punggung atas yang menjulur dari ujung satu ke ujung lainnya. Jenis Uru/
cempaka dan nyatoh digunakan sebagai dinding rumah yang memiliki nilai kualitas baik dan biasa
diukir sesuai dengan jenis dan status sosial yang empunya rumah adat tongkonan. Bambu bulo
digunakan sebagai plafon rumah dan bambu tallang sebagai atap rumah. Pada saat sekarang ini
karena alasan kepraktisan maka bambu yang dijadikan sebagai atap digantikan dengan atap seng.
Hutan tongkonan juga diisi beberapa jenis lainnya namun dalam jumlah sedikit dan tidak
merata, antara lain: suren (Toona sureni), nibung (Pigafetta filaris), agathis (Agathis bornensis
Warb), iyasah (Castanopsis buruana), dan lainnya.
Luas areal setiap hutan tongkonan bervariasi tergantung pada status sosial masyarakat pemilik
tongkonan, jumlah anggota keluarga dan nilai kekayaan pemilik tongkonan. Menurut Malamassam
(2008), rata-rata luas kepemilikan hutan rakyat di Tana Toraja adalah sebesar 1,17 Ha per kk
(keluarga pemilik), dengan rentang yang cukup luas, yaitu dari 0,25 sampai 6,0 Ha. Namun kisaran
kepemilikan lahan ini bervariasi dari kecamatan ke kecamatan di kedua Kabupaten tersebut.
Tanaman perkebunan yang biasa digunakan sebagai tanaman pencampur baik dalam hutan
rakyat campuran, yaitu: Langsat (Lancium domesticum), durian (Durio zibethinus), jambu, mangga
(Mangifera indica), cengkeh(Syzigium aromaticum) , kopi (Coffea arabica), kakao (Theobroma
cacao), vanili (Vanilla fragrans)dan lainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat pemilik hutan
rakyat. Selain itu masyarakat juga menanam tanaman pangan pada lokasi yang terbuka atau tanaman
pekarangan campuran antara lain: ubi jalar, ubi kayu, talas, mangga, nangka, jeruk dan lainnya
(Paembonan, 2010).
Hasil wawancara terhadap pemilik rumah tongkonan diperoleh informasi bahwa selain
tetap memelihara hutan tongkonan sebagai milikrumpun keluarga turun temurun, mereka juga
tetap mengusahakan kebun dan tegalan sebagai sumber pendapatan tambahan bagi keluarga. Jenis
tanaman komersial yang diusahakan adalah cengkeh, kopi, coklat, vanili, dan beberapa jenis tanaman
produktif lainnya.
Ketergantungan masyarakat terhadap hutan rakyat sangat tinggi, selain untuk pembangunan
rumah adat dan upacara adat, juga memiliki arti penting sebagai penjaga keseimbangan ekosistem
dataran tinggi yang memberikan rasa nyaman, sebagai pelestari lingkungan dan sebagai sumber
pendapatan tambahan. Oleh karena itu masyarakat selalu memelihara kelestarian hutan rakyat
melalui cara-cara pemanfaatan hasil hutan yang bijaksana (Malamassam, 2006).
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 157
KOMISI B
Menurut Mulyadi (2013), budaya t ongkonan adalah ruh dari budayaToraja yang merefleksikan
hubungan harmonis antara manusia dengan alam,salah satunya diwujudkan dalam bentuk
menjadikan hutan sebagai elemen dalam budaya Tongkonan.Oleh karena itu,pelestarian budaya
Toraja pada dasarnya dapat disinergikan dengan upaya pelestarian hutan.Dengan demikian upayanya
dalam menata hutan diToraja dapat menjamin keberlangsungan budayaToraja.
Selain jenis pohon yang dimanfaatkan kayunya, juga sebagian dari penyusun hutan rakyat
dapat memberikan hasil sampingan atau hasil hutan bukan kayu (HHBK) antara lain pohon aren
yang menghasilkan nira. Nira yang difermentasi dapat menghasilkan minumam ballo yang biasanya
dijadikan sebagai pelengkap minuman pada upacara adat. Manfaat Tidak Langsung hutan tongkonan
yaitu sebagai sumber mata air yang dimanfaatkan sebagai sumber air minum dan air irigasi.
Hasil penelitian Linggi (2014) di Kecamatan Sa’dan Kabupaten Toraja Utara menunjukkan
bahwa terdapat simpanan karbon yang cukup signifikan pada pola-pola agroforestry.Potensi
simpanan karbon masing-masing komposisi berbeda sesuai dengan jenis dominan yang menyusun
agroforestry tersebut yang berkisar dari 5.3784 ton/ha sampai 15.3378 ton/ha.Dalam rangka
mitigasi perubahan iklim diyakinkan bahwa simpanan karbon pada hutan rakyat tongkonan lebih
besar karena didominasi oleh jenis pohon-pohonan.
Gambar 3. Bentuk Hutan tongkonan (kombong) yang didominasi jenis-jenis tertentu sebagai bahan
baku pembangunan rumah dan keperluan upacara adat
158 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Sampai saat ini hutan rakyat tongkonan(kombong = talun)yang dipraktekkan oleh masyarakat
adat toraja sebagian menyerupai hutan alam yang memiliki struktur lapisan multistrata. Disamping
itu masyarakat juga mengelola hutan rakyat/kebun campuran dengan struktur lapisan beragam
(model agrisilvikultur) (Paembonan, 2013). Model hutan rakyat ini selain dapat memenuhi
kebutuhan kayu dan pangan bagi masyarakat juga dapat memperbaiki kelestarian fungsi lingkungan
di sekitarnya (Awang dkk, 2002).
Secara umum struktur vertikal jenis pohon dan tanaman bawah yang menyusun hutan rakyat
tongkonan ditentukan oleh beberapa hal antara lain: sifat silvics (sifat toleransi jenis penyusun),
umur pohon dalam tegakan, dan minat masyarakat dalam memilih jenis yang ditanam. Struktur
lapisan tajuk hutan tongkonan di Kecamatan Sesean, Tondon, dan Kecamatan Makale terdiri atas 4
sampai 5 strata tajuk namun komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
Pencampuran jenis penyusun hutan rakyat tongkonan di Kabupaten Tana Toraja umumnya
mengikuti pola random. Ditinjau dari segi konservasi maka pola random lebih optimal karena
tajuknya saling tumpang tindih. Hutan rakyat tongkonan secara tradisionilsudah mencapai tahap
stabil dan berkembang dengan berkompetisi secara alamiah sehingga menyerupai komposisi hutan
alam (Paembonan, 2013).
Berdasarkan pada pertimbangan sifat toleransi jenis terhadap cahaya maka struktur vertical tajuk
pohon dan tanaman lainnya dapat diatur sehingga berfungsi konservatif sekaligus dapat berfungsi
ekonomi bagi masyarakat pemiliknya(Prima dkk, 2005). Dengan stratum yang lebih kompleks
akan menyebabkan terjadinya peresapan air secara bertahap ke dalam pori-pori tanah sehingga
mengurangi erosi dan aliran permukaan (Mile, 2003).
A B
Berbagai pertimbangan yang digunakan oleh masyarakat untuk memilih jenis tertentu yang
dikembangkan dalam hutan rakyat tongkonan. Dari hasil wawancara dengan masyarakat pemilik
hutan rakyat,diketahui beberapa alasan memilih dan menanam jenis pohon tertentu sebagai
berikut:semua pemilik tongkonan atau 100% responden menyatakan bahwa mereka menanam
pohon-pohonan dalam kombong bertujuan untuk pembangunan dan pemeliharaan rumah adat
Tongkonan, sedangkan untuk keperluan pesta adat Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ sebanyak 95%.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 159
KOMISI B
Selain itu masyarakat menyadari bahwa kehadiran pohon-pohonan dan tanaman bawahdengan
susunan vertikal yang tumpang susun (multistrata) dapat berpengaruh baik untuk mencegah erosi
dan longsor (65%) sehingga mereka umumnya menanam pohon menutupi daerah terbuka khususnya
pada lahan miring. Jenis pohon yang banyak ditanam pada lahan miring adalah bambu betung dan
parrin yang dapat menjadi penguat tebing dan jenis dominan lain yang memiliki perakaran dalam.
Sebagian pemilik hutan rakyat menanam pohon denganpertimbangan ekonomi. Sebagian jenis
pohon komersial yang ditanam,kemudian dijualbilamana sudah mencapai diameter di atas 40 cm.
Sekitar 55% masyarakat yang menanam jenis-jenis tertentu yang bernilai komersial untuk dijual ke
pasar atau pedagang pengumpul.
Kesimpulan
1. Keanekaragaman jenis pohon yang menyusun hutan rakyat tongkonan cukup tinggi dan beberapa
jenis dominan yang didapati merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam pembangunan
rumah adat dan kelengkapan upacara adat.
2. Secara umum struktur vertikal susunan tajuk pada hutan tongkonan cukup kompleks yaitu terdiri
atas 4 sampai 5 strata tajuk dengan pola tanam random sehingga mampu berfungsi konservasi
bagi lingkungan sekitar.
4. Eksisitensi hutan rakyat tongkonan di Kabupaten Tana Toraja/Toraja utara dapat berfungsi
sebagai pengaman catchment area DAS Saddang dan beberapa DAS lainnya.
Saran
Sistem hutan tongkonan memenuhi syarat konservasi sebagai pengaman catchment area
DAS Saddang sehingga pelestariannya perlu dipertahankan mengingat posisi Kabupaten Tana Toraja
sebagai menara air dan merupakan hulu sungai bagi beberapa sungai besar.
DAFTAR PUSTAKA
Awang, S.A,W. Andayani,B. Hmmah, W.T. Widayanti, A. Afianto, 2002. Hutan Rakyat, Sosial
Ekonomi dan Pemasaran,FakultasEkonomiUniversitasGadjahMada,Yokyakarta.
Malamassam,D. 2006. Perencanaan Pengelolaan Hutan Rakyat di Tana Toraja. Jurnal Perennial,
2(2): 37-43
_____________. 2008. Kontribusi Hutan Pinus Rakyat terhadap Pendapatan Masyarakat di Tana
Toraja. Jurnal Perennial, 3(1): 32-39
Mulyadi, Y. 2013. Menata Hutan Menjaga Tongkonan: Alternatif Upaya Pelestarian Budaya Toraja.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur. Vol.7 No.2:25-34
Linggi, S. 2014. Potensi Simpanan Karbon Berdasarkan Ketinggian Tempat Tumbuh yang Berbeda
pada pola Agroforestry di Kecamatan Sa’dan Kabupaten Toraja Utara. Skripsi Fakultas Kehutanan
UNHAS. Tidak dipublikasi.
160 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI B
Mile, M.Y., 2003. Penilaian Tingkat Produktifitas dan Kelestarian Hutan Rakyat, Prosiding Seminar
Sehari Prospek Pengembangan Hutan Rakyat di Era Otonomi Daerah, Loka Litbang Hutan
Monsson, Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan.
Paembonan, S.A. 2010. Analisis Model-Model Agroforestri di Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Hutan
dan Masyarakat, Vol 5 No.1. Hal.17-27.
Prima, O.S., S. Sabanurdin dan P. Suyanto, 2005. Variasi dan Karakeristik Model Agroforestry. Jurnal
Hutan Rakyat. Vol VII No. 1. UGM Jogyakarta.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS 161
KOMISI B
162 LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS MANAJEMEN HUTAN LESTARI MELALUI PEMULIHAN DAYA DUKUNG DAS
KOMISI C
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA
MANAJEMEN HUTAN LESTARI
KOMISI C
Hafizianor
1)
1)
Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru,Kalsel.
Email: sakr_1972@yahoo.co.id
ABSTRAK
Perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara telah
menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan biofisik dan lingkungan sosial masyarakat desa
hutan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis terjadinya perubahan dan alih guna kawasan
hutan menjadi kawasan pertambangan batubara; (2) Menganalisis perubahan kondisi lingkungan
biofisik dan lingkungan sosial masyarakat desa disekitar pertambangan batubara sebelum dan
sesudah terjadinya perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan
batubara; 3) Merumuskan model strategi adaptasi masyarakat desa hutan disekitar pertambangan
batubara terhadap perubahan lingkungan biofisik dan lingkungan sosial akibat perubahan dan alih
guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara. Penelitian dilakukan di Kabupaten
Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Metode penelitian yang digunakan untuk mencapai
tujuan penelitian adalah dengan metode pendekatan kuantitatif dan kualitatif sebagai mixed
methodology atau kajian model campuran. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa: (1) Sejarah, proses
dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi
kawasan pertambangan batubara sangat dominan dipengaruhi oleh peran struktur kekuasaan dan
pengaruh faktor eksternal lainnya yang cukup besar dalam mendeterminasi masyarakat desa hutan.
(2) Terjadi perubahan lingkungan biofisik dan lingkungan sosial kawasan sekitar desa hutan akibat
terjadinya perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara.
(3) Terdapat model aggressive strategi sebagai strategi adaptasi masyarakat desa hutan dalam
menghadapi perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara.
Kata kunci: strategi adaptasi, perubahan dan alih guna kawasan hutan
LATAR BELAKANG
Ketika kawasan hutan mengalami perubahan dan alih guna menjadi kawasan pertambangan
batubara maka bukan hanya akan mempengaruhi kondisi lingkungan biofisik kawasan hutannya
namun juga akan mempengaruhi kondisi lingkungan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat
yang berada di sekitar hutan. Berdasarkan realita empirik yang terjadi maka dapat disimpulkan bahwa
telah terjadi perubahan kondisi lingkungan biofisik meliputi perubahan kondisi bentang lahan, tanah,
lahan, iklim, mata air, vegetasi dengan pepohonannya dan satwa sebagai dampak perubahan dan alih
guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara. Dan juga telah terjadi perubahan
signifikan pada lingkungan sosial dengan indikator perubahan aspek demografi, sosial ekonomi dan
tata nilai sosial budaya masyarakat. Pada kondisi lingkungan biofisik dan lingkungan sosial yang
berubah biasanya masyarakat akan melakukan tindakan sebagai upaya adaptasi atau penyesuaian.
Menurut Bennet (1976) adaptasi yang dilakukan masyarakat biasanya dapat dilihat dari 3
aspek yaitu perilaku adaptif, strategi tindakan adaptif dan strategi adaptif atau strategi adaptasi.
Adaptasi yang dilakukan tersebut akan didasarkan pada strategi tindakan dan strategi adaptasi
berdasarkan perilaku adaptasi tertentu yang ada di masyarakat desa hutan. Maka untuk memahami
seperti apa perilaku adaptasi, strategi tindakan adaptif dan strategi adaptasi masyarakat desa hutan
berbasis batubara terhadap perubahan kondisi lingkungan biofisik dan lingkungan sosial akibat
alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara penelitian ini perlu dilakukan.
Sehingga nantinya akan dapat dirumuskan model strategi adaptasi masyarakat desa hutan terhadap
perubahan kondisi lingkungan biofisik dan lingkungan sosial akibat alih guna kawasan hutan menjadi
kawasan pertambangan batubara yang akan dapat menjadi daya dukung praktis dan akademis untuk
kepentingan berbagai pihak dan kalangan dalam memahami strategi adaptasi masyarakat desa hutan
di sekitar kawasan pertambangan batubara.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis terjadinya perubahan dan alih guna kawasan
hutan menjadi kawasan pertambangan batubara; (2) Menganalisis perubahan kondisi lingkungan
biofisik dan lingkungan sosial masyarakat desa disekitar pertambangan batubara sebelum dan
sesudah terjadinya perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan
batubara; 3) Merumuskan model strategi adaptasi masyarakat desa hutan disekitar pertambangan
batubara terhadap perubahan lingkungan biofisik dan lingkungan sosial akibat perubahan dan alih
guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara
METODE PENELITIAN
Desa yang menjadi lokasi (situs) penelitian adalah Desa Bukit Baru Kecamatan Satui, Desa
Teluk Kepayang Kecamatan Kusan Hulu, Desa Mantewe Kecamatan Mantewe. Ketiga lokasi penelitian
berada di Kabupaten Tanah Bumbu. Pilihan desa didasarkan pada luasan terbesar kawasan hutan
yang mengalami perubahan dan alih guna menjadi kawasan pertambangan batubara dan keberadaan
desa yang benar-benar berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan dan kawasan pertambangan
batubara. Pilihan lokasi penelitian juga didasarkan pada banyaknya aktivitas pertambangan
batubara di sekitar desa tersebut
Berdasarkan jenis penelitian maka penelitian ini termasuk jenis penelitian ekplantori atau
eksplanatif. Menurut Sarman (2004) penelitian eksplanatif adalah jenis penelitian yang berorientasi
pada upaya menjelaskan sebab akibat dari suatu fenomena sosial yang dijadikan obyek kajian.
Sedangkan pendekatan metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian adalah
pendekatan mixed methodology. Tashakkori dan Charles (2010) menyebutnya sebagai kajian model
campuran yang merupakan produk paradigma pragmatis dengan memadukan pendekatan kuantitatif
dan kualitatif dalam perbedaan tahap-tahap proses penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara trianggulasi teknik yaitu pengumpulan data dari yang sumber yang sama dengan
berbagai cara meliputi penggabungan observasi partisipatif, wawancara mendalam (indepth-
interview), koesioner dan dokumentasi. Sumber data berasal dari responden, informan kunci dan
informan penelitian.
Pendekatan kuantitatif dianalisis dengan sistem 3 langkah analisis data kuantitatif, yaitu
sebagai berikut: Persiapan, tabulasi dan penerapan data dengan uji beda Wilcoxon Match Pairs (Idrus
2009) sedangkan pendekatan kualitatif dianalisis berdasarkan model interaksi Miles dan Huberman
yang dilengkapi dengan analisis Taksonomi Blom dan analisis SWOT. Berdasarkan rumusan Moleong
analisis data kualitatif dengan menggunakan model Miles dan Huberman sebagaimana dikutip dari
Moleong (2010) ;Idrus (2009); Sugiyono (2011) merupakan model analisis interaksi yang terdiri
atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan setelah masa pengumpulan data sehingga
mampu menggambarkan suatu keadaan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai kenyataan
di lapangan berkaitan dengan strategi adaptasi masyarakat desa hutan dalam menghadapi perubahan
dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara. Analisisi data meliputi
tahapan: (1) Reduksi Data (data reduction (2) Penyajian Data (data display) (3) Menarik Kesimpulan
(conclusion drawing/verification).
B. Perubahan Kondisi Lingkungan Biofisik dan Lingkungan Sosial Desa Hutan Berbasis Batubara
Perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara tidak
sekedar menggambarkan terjadinya perubahan tutupan vegetasi dari kawasan hutan menjadi
kawasan pertambangan batubara namun perubahan tersebut akan turut berimbas terhadap
terjadinya perubahan lingkungan sosial ekonomi budaya masyarakat desa hutan. Perubahan kawasan
hutan akan turut menggerus aktifitas rutin yang selama ini masyarakat desa hutan lakukan dalam
berinteraksi dengan sumberdaya hutan yang tersedia. Maka secara eksisting perubahan kawasan
hutan menjadi kawasan pertambangan batubara bukan hanya merubah kawasan hutan namun turut
merubah kawasan perladangan dan kawasan tempat meramu hasil hutan.
Perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara secara
ekstrim menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan biofisik kawasan hutan secara destruktif
yang meliputi perubahan kualitas sumberdaya hutan, kondisi ladang masyarakat, bentang lahan
dan tanah hutan, DAS (daerah aliran sungai) dan sumber-sumber mata air lainnya, kualitas udara
dan infrastruktur buatan manusia. Terjadinya perubahan lingkungan biofisik kawasan hutan
berdampak signifikan terhadap perubahan lingkungan sosial yang meliputi perubahan struktur dan
proses kependudukan, jenis matapencaharian dan pendapatan, peranan sumberdaya hutan bagi
masyarakat serta perubahan aspek sosial budaya masyarakat desa hutan.
Perubahan lingkungan biofisik dan lingkungan sosial tersebut berdasarkan hasil analisis
kuantitatif dan uji hipotesis menggunakan uji beda Wilcoxon Match Pairs memperlihatkan perbedaan
yang signifikan antara sebelum dan sesudah terjadinya perubahan dan alih guna kawasan hutan
menjadi kawasan pertambangan batubara. Perubahan tersebut secara kualitatif menunjukan kisaran
perubahan dari sedang sampai tinggi. Gambaran perubahan lingkungan biofisik dan lingkungan
sosial secara ringkas dapat dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini.
1. Flora dan Keanekaraga- Penurunan *** 1. Struktur Penduduk jum- Jumlah penduduk **
Fauna man jenis flora kualitas keanek- Penduduk lahnya terbatas meningkat dan
dan fauna tinggi aragaman jenis dengan kepa- jumlah etnis ber-
flora dan fauna datan jarang ter- tambah menjadi
diri dari 3 etnis 9 ditambah etnis
Banjar,Bugis dan Jawa,Madura,
Dayak. Lombok,
Sunda ,Flores dan
Sumatra.
2. Sistem Tersedia lahan Lahan ladang ber- *** 2. Proses Pen- Fertilitas, mor- Terjadi perubah- **
Perladangan ladang pindah terbatas duduk talitas dan mo- an pada mobilitas
berpindah bilitas penduduk penduduk
relatif kecil.
3. Bentang Bentang lahan Bentang lahan *** 3. Jenis Mata Jenis mata- Terjadi difersifi- ***
Lahan dipenuhi terdegradasi di- Pencaharian pencaharian kasi jenis mata-
vegetasi , penuhi cekungan homogen seb- pencaharian
bentuk dataran bekas penam- agai peladang,
dan berbukit bangan batubara dan peramu
tanpa vegetasi hasil hutan kayu
dan non kayu
4. DAS/Mata Kondisi DAS Kondisi DAS men- *** 4. Pendapatan Pendapatan Pendapatan men- ***
Air masih baik galami gangguan/ hanya mengan- gandalkan dari
degradasi dalkan SDH luar SDH
5. Kualitas Kualitas udara Kualitas udara ** 5. Peranan dan Berkontri- Peranan dan ***
Udara masih bagus tercemar oleh Kontribusi busi besar untuk kontribusi SDH
debu. Sumberdaya perekonomian untuk pereko-
Hutan rumah tangga nomian rumah
tangga menurun
6. Infrastruk- Secara kuanti- Terjadi peningka- ** 6. Sosial Sosial budaya Sosial bu- **
tur tas dan kualitas tan secara kuali- Budaya masyarakat daya masyarakat
masih terbatas. tas dan kuantitas mencerminkan mencerminkan
karakteristik karakteristik
masyarakat desa masyarakat desa
hutan tradis- hutan non tradis-
ional ional
Sumber: Pengolahan Data Primer, 2012/2013
Keterangan: ***) = Tinggi
**) = Sedang
*) = Rendah
C. Model Strategi Adaptasi Masyarakat Desa Hutan Berbasis Batubara Terhadap Perubahan dan Alih
Guna Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Pertambangan Batubara.
Berdasarkan hasil Analisis Lingkungan Internal (ALI) terdiri dari Kekuatan (Strengths)
dan Kelemahan (Weaknesses) dan Analisis Lingkungan Eksternal (ALE) terdiri dari Peluang
(Opportunities) dan Ancaman (Threats) maka dapat diketahui skor kekuatan sebesar 2,89; skor
kelemahan sebesar 0,72 ; skor peluang sebesar 2,21 dan skor ancaman sebesar 0,90. Berdasarkan
skor tersebut diketahui bahwa nilai ALI sebesar 2,17 dan nilai ALE sebesar 1,31 kedua nilai tersebut
didapatkan dengan mengurangkan antara nilai kekuatan dengan kelemahan dan mengurangkan
nilai peluang dengan ancaman. Nilai ALI maupun nilai ALE keduanya bernilai positif sehingga
dapat disimpulkan bahwa kekuatan yang ada lebih besar dibandingkan dengan kelemahan yang
mereka miliki. Sedangkan peluang yang ada akan dapat mengatasi ancaman yang muncul. Untuk itu
diperlukan strategi adaptasi masyarakat desa hutan yang tepat dalam menghadapi perubahan dan
alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara memetakan hasil skor kedalam Gambar 1. sebagai berikut:
POSISI II POSISI I
CONSERVATIVE AGGRESSIV
STRATEGY E STRATEGY
1,31
2,17
ALI
POSISI III
POSISI IV
DEFENSIVE
STRATEGY COMPETITIVE
STRATEGY
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan dapat diketahui bahwa posisi masyarakat desa hutan
berada pada posisi strategi I yaitu Aggressive Strategy. Hal ini menunjukan bahwa dengan kekuatan
yang dimiliki maka masyarakat desa hutan harus dapat menangkap peluang yang ada secara
maksimal sambil memperbaiki kelemahan yang teridentifikasi. Untuk itu pada saat penentuan
strategi dan faktor kunci keberhasilan maka harus lebih diarahkan pada strategi agresif tersebut.
Setelah dilakukan analisis SWOT maka dapat dirumuskan 4 strategi adaptasi masyarakat desa dalam
menghadapi perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara.
Keempat strategi tersebut adalah: (1) Mengoptimalkan kemampuan SDM masyarakat desa hutan
dalam pemanfaatan sumberdaya lahan yang masih ada tersisa melalui sistem pertanian menetap
dengan pola intensifikasi baik untuk perladangan menetap maupun untuk perkebunan karet dan
kelapa sawit. (2) Mengoptimalkan sistem perladangan menetap disertai dengan optimalisasi
pemeliharaan kebun campur dibekas ladang agar dapat mensubstitusi berkurangnya sumberdaya
lahan dan hutan yang tersedia. (3) Memantapkan pengembangan program CSR secara optimal melalui
konsep comunity relation, comunity development dan comunity empowerment untuk menuju
terwujudnya kemadirian masyarakat desa hutan. (4) Meningkatkan keahlian dan keterampilan
masyarakat desa hutan dalam penguasaan teknologi sistem pertanian menetap baik berladang
menetap maupun berkebun karet dan kelapa sawit.
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat desa hutan tersebut mendukung keempat
teori yang mendasari penelitian ini yaitu teori fungsional struktural Parsons, teori tindakan rasional
Max Weber, teori interaksionisme simbolik George.H.Mead dan teori Sistem Terbuka Bennet, Rambo
dan Martin. Keempat teori tersebut tidak saling mengesampingkan tapi justru saling melengkapi.
Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Reed et.al (2013) yang menyatakan bahwa kemampuan
beradaptasi secara efektif dengan serapan yang luas sangat diperlukan dimana skenario strategi
adaptasi tersebut harus merupakan sinergi antara pengentasan kemiskinan dan konservasi jasa
ekosistem. Faktor sosial budaya juga akan turut mempengaruhi pilihan-pilihan masyarakat
terhadap strategi adaptasi. Penelitian Arthur and D. Hilhorst (2012) menyebutkan bahwa adaptasi
perubahan iklim harus dilakukan sejalan dengan proses sosial dan sejarah institusi yang tumbuh
dan berkembang. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Poerwanto (2000) yang menyatakan bahwa
hubungan manusia dengan lingkungan biogeofisik tidak hanya merupakan hubungan ketergantungan
semata melainkan dalam bentuk hubungan saling mempengaruhi dan mampu merubah lingkungan
biogeofisik tersebut.
Berdasarkan 4 rumusan strategi adaptasi maka dapat dirumuskan model strategi adaptasi
masyarakat desa hutan berbasis batubara dikaitkan dengan hasil pemetaan strategi adaptasi yang
dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut dapat diketahui bahwa posisi masyarakat desa
hutan berada pada posisi strategi I yaitu posisi Aggressive Strategy. Strategi ini menunjukan adanya
tindakan strategi proaktif dimana masyarakat dengan kekuatan yang mereka miliki harus mampu
memanfaatkan peluang yang ada sambil mengatasi segala kelemahan yang muncul. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa model strategi adaptasi masyarakat desa hutan berbasis batubara adalah model
Aggressive Strategy. Adapun skema model aggressive strategy sebagai model strategi adaptasi
masyarakat desa hutan berbasis batubara dapat dilihat seperti pada Gambar 2
Model aggressive strategy ini merupakan model strategi adaptasi masyarakat desa hutan yang
akan dapat berperan mengatasi permasalahan pada aspek lingkungan biofisik dan lingkungan sosial
akibat terjadinya perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara
dengan memadukan sistem perladangan menetap dan sistem perkebunan rakyat untuk memberikan
jaminan terhadap keberlanjutan agroekosistem usaha tani guna mewujudkan masyarakat desa hutan
yang mandiri dan sejahtera.
KESIMPULAN
1. Terjadinya perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara
melalui 2 periode yaitu periode PKP2B (1981-1996) dan periode KP/IUP (1990-sekarang).
Proses perubahan tersebut berlangsung secara sistematis dari kawasan hutan menjadi kawasan
pertambangan batubara atau dari kawasan hutan diekploitasi terlebih dahulu oleh perusahaan
perkayuan setelah itu baru menjadi kawasan pertambangan batubara.
2. Perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara secara
ekstrim menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan biofisik kawasan hutan secara
destruktif yang meliputi perubahan kualitas sumberdaya hutan, kondisi ladang masyarakat,
bentang lahan, DAS (daerah aliran sungai) dan sumber-sumber mata air lainnya, kualitas udara
dan infrastruktur buatan manusia. Terjadinya perubahan lingkungan biofisik kawasan hutan
berdampak signifikan terhadap perubahan lingkungan sosial yang meliputi perubahan struktur
dan proses kependudukan, jenis mata pencaharian dan pendapatan masyarakat serta perubahan
aspek sosial budaya masyarakat desa hutan.
3. Model aggressive strategi merupakan tindakan strategi adaptasi proaktif masyarakat desa hutan
dalam menghadap-i perubahan dan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan
batubara yang dilakukan dengan memadukan sistem perladangan menetap dan sistem
perkebunan rakyat untuk memberikan jaminan terhadap keberlanjutan agroekosistem usaha
tani guna mewujudkan masyarakat desa hutan yang mandiri dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Artur L, Hilhorst D. 2012. Everyday Realities of Climate Change Adaptation in Mozambique. Glo Clim
Change 22: 529–536.
Bennet, John W. 1976. The Ecological Transition: Cultural Anthropology and Human adaption.
Pergamon Press Inc. Oxford pp. 378.
BPS. 2012. Kabupaten Tanah Bumbu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu.
pp.298.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.
Erlangga. Jakarta. pp. 266.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. pp. 410.
Poerwanto,Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. pp 304.
Reed,M.S., Podesta G, Fazey I, Geeson N, Hessel R, Hubacek K, Letson, D. Nainggolan D, Prell C,
Rickenbach M, Ritsema C, Schwilch G, Stringer LC, Thomas,AD. 2013. Combining Analytical
Frameworks to Assess Livelihood Vulnerability to Climate Change and Analyse Adaptation
Options. Ecol Econ 94: 66–77.
Sarman, Muchtar. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Pustaka FISIP Unlam. Banjarmasin. pp163.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. pp. 334.
Sugiyanto, 2011. Strategi Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah (tidak
dipublikasikan). Malang. pp 29.
Tashakkori, Abbas dan Charles Teddlie. 2010. Mixed Methodology; Mengombinasikan Pendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. pp. 305.
Oleh
Messalina L Salampessy ,Jusmi Putuhena , Imelda Rondonuwu3, Fahrizal4,Ina Lidiawaty5
1 2
1,2
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
3
Balai Pengelolaan DAS Wae Hapu Batu merah Ambon
4
Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak
5
Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa Bogor
Email:meis_forester@yahoo.com/Hp:081218198276
ABSTRACT
Keberadaan Hutan (Dusung) disekitar sub Daerah aliran sungai (DAS) memiliki peran penting
bagi kelestariannya, terus mengalami kerusakan akibat berbagai aktivitas konversi lahan. Upaya
mengidentifikasi Perilaku masyarakat yang mempengaruhi aktivitas kinerja DAS sangat penting
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Perilaku masyarakat yang mempengaruhi
kinerja pengelolaan DAS dengan menggunakan konsep analisis kelembagaan. Metode yang
digunakan adalah studi kasus, dimana pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam
dan pengamatan terlibat.Data yang terkumpul dianalisis menggunakan Teori analisis kelembagaan
(Structures, Situation, Behavior dan Performance) oleh Schimd, 1987. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Struktur : hampir seluruh sumberdaya DAS Wae Batu merah terutama kepemilikan lahan
merupakan barang privat dan communal dimana dikuasai oleh keluarga atau kumpulan marga tertentu
(SOA), Situasi: keterkaitan berbagai ekosistem DAS yang mempengaruhi fungsi sumberdaya alam
disekitarnya serta peran stakeholder. Perubahan Behavior/perilaku masyarakat yang didorong
oleh adanya tekanan ekonomi dan intervensi aktor. Hal ini mempengaruhi kinerja/performance DAS:
dimana telah ditemukan kerusakan hutan disekitar hulu sub DAS dan banyaknya aktivitas konversi
lahan untuk pemukiman yang berimplikasi pada sering terjadinya banjir, longsor dan kekeringan
pada musim kemarau.
LATAR BELAKANG
Daerah aliran sungai (DAS) sebagai suatu unit teritori dimana sub sistem hidrologi
memproduksi air, pada saat yang bersamaan sub sistem sosial ekonomi bekerja menghasilkan barang
dan jasa (Fernandez, 1993 dalam Haryanti, 2011). Oleh sebab itu, DAS sebagai suatu wilayah yang
unik dan kompleks dimana berbagai kepentingan berkompetisi menjadi demikian penting untuk
dikelola dan diatur agar dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.
Pengelolaan DAS menjadi penting karena adanya common pool resources yaitu sumberdaya
yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak berupa tanah dan air, memerlukan upaya dan aktivitas
yang terintegrasi dan bijaksana untuk menjamin kelestarian, kualitas dan hasil air serta tanah.
(Eren, 1977 dalam Haryanti, 2011).
DAS Batu Merah di Kota Ambon merupakan salah satu lokasi DAS kritis di Indonesia (Nugroho,
2003 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).Penggunaan lahan di sekitarnya didominasi oleh
permukiman penduduk dan infrastuktur pendukung lainnya seperti jalan, sarana ibadah, sekolah
dan lain sebagainya.Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan implikasi dari
konflik di tahun 1999.Keadaan ini mendorong rusaknya sistem hidrologi DAS, dan berakibat pada
meluasnya lahan kritis, erosi dan sedimentasi, serta banjir di musim hujan dan kekeringan di musim
kemarau.
Secara umum total wilayah DAS Wae Batu Merah adalah seluas 7940,23 ha atau 79,4 km2.
DAS Wae Batu Merah memiliki5 sub DAS utama yaitusub DAS Wae Batu Merah, sub DAS Wae
Tomu, sub DAS Wae Batu Gajah, sub DAS Wae Batu Gantung dan sub DAS WaeIla di Desa Amahusu.
Penelitian ini difokuskan pada sub Das Wae Batu Merah di Kota Ambon. Saat ini faktor utama
penyumbang kerusakan sub Das Wae Batu Merah adalah aktivitas penduduk yang berkaitan dengan
konversi lahan bagi pemukiman semakin meluas dimana luas pemukiman telah mencapai 228,283
ha (Putuhena,2013). Untuk itulah maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Perilaku
masyarakat yang mempengaruhi kinerja pengelolaan DAS dengan menggunakan konsep analisis
kelembagaan.
METODE PENELITIAN
Kerangka pikir utama yang digunakan dalam mengkaji analisis kelembagaan masyarakat
disekitar Sub DAS we Batu Merah adalah konsep teori kelembagaan oleh Schmid, 1987(Structures,
Situation, Behavior dan Performance).Struktur dalam pendekatan ini adalah berbagai hukum, aturan,
kontrak yang ada, Situation adalah keterkaitan berbagai sumberdaya dari objek yang diteliti dan peran
berbagai stakeholder yang berkepentingan,Bahavior adalah perubahan perilaku masyarakatdan
Performance adalah gambaran kinerja objek yang diamati. Kinerja Das dinilai dari gambaran kondisi
biofisik Das saat ini. Dimana objek analisis dalam penelitian ini adalahperilakumasyarakat disekitari
sub das Wae batu Merah.Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu Bulan Mei-Juni 2014.
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, dimana pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Informan kunci terdiri dari tokoh adat masyarakat
(1), tokoh pemuda (2 orang), Perwakilan SOA (12 orang) dan Stakeholder instansi:BAPEDA, BPDAS dan
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Ambon (3).Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis
menggunakan Teori analisis kelembagaan (Structures, Situation, Behavior dan Performance) oleh
Schimd, 1987.
Wilayah sub DAS wae batu merah ini merupakan sumber potensial bagi pemenuhan kebutuhan
air masyarakat kota Ambon, sumber kemanfaatan pariwisata jika dikelola dengan baik, sekaligus
mampu mencegah berbagai bahaya akibat kerusakan lingkungan seperti banjir dan tanah longsor
yang beberapa tahun terakhir ini melanda kota Ambon (BPDAS, 2012).
Pemahaman tentang sifat dasar sumberdaya alam dalam DAS sangat penting untuk
pengelolaannya. Salah fungsi untuk memahami sifat dasar sumberdaya alam adalah dengan
menggunakan konsep kelembagaan (Institution) dimana menurut Douglass North, 1990:
kelembagaanadalah aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak dsb dalam mengatur
dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi. Pada teori kelembagaan
kita perlu memahami konsep property rights yaitu hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara
atas suatu sumberdaya untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan bahkan untuk
merusaknya. Propety right merupakan institusi karena didalamnya mengandung norma-norma dan
aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North, 1990).
Institutional arrangement (property regime) dapat bermacam-macam yaitu :1). Private property (milik
pribadi), 2).State property (milik negara), 3). Communal (common) property (milik komunal-adat,
ulayat), 4). Milik umum (public property) dan 5). open access property (akses terbuka). Pemahaman
karakteristik property right dan implikasinya sangat membantu menganalisis kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam termasuk DAS.
Salah satu konsep teori analisis kelembagaan yang dikembangkan oleh Schmid, 1987 yaitu
Structures, Situation, Behavior dan Performance.
Hingga saat ini belum ada payung hukum yang langsung mendasari pengelolaan
DAS. Undang-undang yang mengamanahkan pengelolaan DAS antaralain: 1).UU No.41 tahun
1999 tentang kehutanan pasal 3, 2). UU No.7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, pasal 85-87
(Purwanto,2011) dimana aturan-aturan ini belum mengatur bagaimana pengelolaan DAS yang
berada disekitar pemukiman masyarakat terutama upaya konservasi yang perlu dilakukan oleh
masyarakat. Aturan adat di desa-desa disekitar sub Das Wae Batu merah telah mengamanatkan
larangan untuk masyarakat melakukan penebangan pohon-pohon pada tepi sungai dan membuang
sampah secara sembarangan sertaperlunya ijin dari pemerintah desa untuk melakukan penjualan
tanah pada daerah disekitar sub das ini. Namun dalam implementasinya aturan yang ini sering
diabaikan oleh masyarakat dan karena belum adanya dorongan yang memunculkan mekanisme
internal dalam penerapannya (siapa tidak mengikuti akan rugi), berimplikasi pada tingginya
kegiatan konversi lahan yang dilakukan oleh pemilik lahan/soa tersebut.
Situation/situasi mengambarkan keterkait aneka sistem DAS yang ada terutama hulu dan
hilir dari Das ini dan kepentingan berbagai stakeholder yang berperan pada kawasan ini. Secara
biogeofisik daerah hulu dicirikan sebagai berikut :merupakan daerah konservasi, daerah dengan
kemiringan lebih besar (>15%), jenisvegetasinya tegakan hutan. Daerah hulu pada sub das ini berada
pada wilayah Desa Air kuning.Daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kelerengan kecil
(<8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, jenis vegetasi didominasi lahan pertanian.
Daerah hilir pada sub das ini berada pada Desa Batu Merah sedangkan Das bagian tengah merupakan
daerah transisi dari kedua karakteristik tersebut dimana bagian tengah sub das ini tepat berada pada
kawasan Desa Keranjang (Ahuru). Ekosistem hulu merupakan bagian penting yang mempunyai
fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS yaitu fungsi Tata air (Asdak, 2010). Oleh karena
itu Das hulu menjadi focus prencanaan pengelolaan Das.Dalam suatu Das, daerah hulu dan hilir
mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Bentukpenggunaanlahan yang yang terdapat
di wilayah Das Batumerah, seperti kebun campuran/dusung, alang-alang, semak belukar, tegalan,
dan permukinan berpotensi untuk mengalami kerusakan apabila ada keterlibatan masyarakat dalam
menggunakan sumberdaya lahan ini dengan tidak memperhatikan aspek-aspek konservasi lahan.
Saat ini terjadi perubahan tata guna lahan didaerah hulu das ini, telah dibangun perumahan penduduk
hingga didaerah kelerengan.Kondisi hilir mengalami perubahan yang juga memprihatinkan dimana
terjadi pencemaran sungai karena aktivitas pembuangan sampah, dibangunnya pasar desa serta
berdirinya pabrik tahu. Aktivitas perubahan lanskap termasuk perubahan tataguna lahan yang
dilaksanakan di daerah hulu tidak hanya memberi dampak pada kawasan hulu tersebut tetapi juga
akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor
sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya. (Asdak, 2010).
Berbagai stakeholder yang berkepentingan dalam pengelolaan Das ini antara lain:
BAPEDA Kota Ambon, Dinas Kehutanan Kota, BPDAS WaeHapu Kota ambon , Dinas Pekerjaan
umum kota Ambon, Dinas kelautan dan Perikanan Kota Ambon, Dinas Kesehatan Kota Ambon,
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota, Universitas Pattimura, LSM dan berbagai pihak
yang berkepentingan. Peran dari stakeholder ini bersifat sektoral dan keproyekan serta masing-
masing mempunyai standard, kriteria, norma sendiri dalam pengelolaan DAS. Sebagai implikasinya
sering terjadinya konflik dalam penggunaan lahan.Rendahnya kerjasama antar stakeholder juga
dipengaruhi oleh inter-intituational rivalry (Haryanti, 2011, dalam Sheng, 1986).Pada wilayah
sub das Wae batu merah rivalitas bukan terjadi antar instansi pemerintah, namun muncul antara
instansi pemerintahan dan masyarakat. Hal ini karena adanya perbedaan kepentingan. Di satu
sisi pemerintah melalui lembaga pengelolaan Das memiliki tugas menghutankan kembali daerah
penyangga ekosistem, disisi lain masyarakat tidak bersedia menghutankan kembali karena status
kepemilikan lahan tersebut dan potensi lahan dipandang masyarakat memiliki nilai ekonomi
yang menguntungkan. Hal ini menimbulkan hadirnya free ridersebagai bentuk intervensi aktor
(bermunculan berbagai developer perumahan).
BPDAS telah melakukan program pemberdayaan masyarakat antaralain : Kelompok tani Kebun
Bibit Rakyat (KBR) dan kelompok tani kegiatan Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan
Berbasis Konservasi (PPMPBK) namun belum memberikan dorongan partisipasi aktif masyarakat
dan peningkatan ekonomi karena bersifat keproyekan. Kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi
menimbulkan semakin meningkat perilaku masyarakat untuk menjual lahannya sebagai kawasan
pemukiman dan peruntukan lainnya. Sebagai salah satu solusi mengatasi persoalan ini, oleh
BPDAS dikembangkan Program Pengembangan Das Terpadu. Pentingnya membangun kerjasama
antara BPDAS dan masyarakat terhadap keseluruhan tahapan kegiatan ini (sosialisasi kegiatan,
perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, danbahkan monitoring dan evaluasi kegiatan Das
Terpadu tersebut) menjadi kunci penting keberhasilan program ini. Hal ini dimaksudkan juga untuk
memacu dan memotivasi partisipasi masyarakatsekitar DAS, agar dapat terlibat secara nyata dan
bertanggung jawab, sehingga harapan untuk pencapaian tujuan pelestarian kawasan DAS melalui
kegiatan DAS Terpadu dapat dicapai.
Performance/Kinerja DAS :memberikan gambaran kondisi biofisik sub das saat ini dan
implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Secara umum permasalahan yang terkait dengan kondisi
bio-fisik di DAS Wae Batu Merah adalah terjadinya penurunan terhadap fungsi-fungsi DAS akibat,
kerusakan hutan akibat penebangan liar dan, penurunan produksi fitas lahan akibat erosi, pendang
kalan sungai akibat sedimentasi, berkurangnya vegetasi pada daerah resapan air dan lain sebagainya
yang berpotensi menimbulkan gangguan dan atau berpeluang terhadap kondisi ekstrim perilaku
hidrologi DAS. Hasil analisis data iklim menunjukkan bahwa curah hujan di wilayah DAS Batu Merah
memiliki kekuatan atau daya perusak atau erosivitas hujan tinggi sehingga mempunyai kemampuan
potensial hujan yang tinggi pula untuk menimbulkan erosi. Berdasarkan hasil analisis erosivitas
hujan tahunan di DAS Batu Merah adalah 2522,93 t.m/ha/cm-hujan, dan erosivitas tertinggi terjadi
pada pada bulan Juni yaitu sebesar 583,47 t.m/ha/cm-hujan. Ini berarti bahwa curah hujan sebesar
10 mm yang jatuh pada areal seluas 1 ha selama 1 jam akan menyebabkan erosi atau degradasi tanah
sebesar 583,47 ton.Ini berarti pada bulan tersebut peluang untuk terjadinya erosi, longsor dan banjir
sangat tinggi, karena memiliki kemampuan potensial dari hujan yangcukup tinggi. Untuk hasil kajian
kondisi bio-fisik DAS Batu Merah dapat dijelaskan bahwa topografi wilayah DAS Batu Merah
didominasi olehtipe relief atau kelas topografi sangat curam dengan kemiringan lereng> 40 % seluas
3157.06 ha atau 39.76 % dariluas DAS,. Dengan kondis demikian makawilayah DAS Batu Merah sangat
rentan terhadap erosi apabila terjadi perubahan penutup lahan atau tindakan-tindakan manusia yang
bersifat merusak vegetasi penutup permukaan lahan. Saat ini perkembangan penggunaan lahan di
Kota Ambon khususnya pada Sub Das Wae Batu Merah telah mengalami beberapa perubahan atau
pergeseran peruntukan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, dimana presentase terbesaradalah
karena dialihkan fungsi dan penggunaannya untuk pemukiman dan daerah terbangun. Pergeseran-
pergeseran penggunaan lahan menjadi pemukiman banyak disebabkan oleh keberadaan pengungsi
akibat konflik sosial yang melanda Kota Ambon. Kecenderungan perkembangan ini perlu mendapat
perhatian khusus dari Pemerintah.kerusakan hutan disekitar hulu sub DAS dan banyaknya aktivitas
konversi lahan untuk pemukiman ini berimplikasi pada sering terjadinya banjir, longsor dan
kekeringan pada musim kemarau.
KESIMPULAN
Artikel ini menganalisis Perilaku masyarakat yang mempengaruhi kinerja pengelolaan DAS
dengan menggunakan konsep analisis kelembagaan. Kami menemukan, bahwa Struktur, Situation,
behavior, performance dari sub Das Wae Batu Merah sangat membantu memberikan gambaran
kondisi sub das saat ini dengan berbagai persoalan yang dihadapi dan perlu mendapatkan perhatian
dan dukungan berbagai stakeholder dalam upaya konservasi kawasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Cetakan keempat, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press.
BPDAS Waehapu Batu Merah. 2012. Laporan Penyusunan DAS Terpadu Wae Batu Merah, Ambon.
Johnson,D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern.di Indonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang.
Penerbit PT Gramedia Jakarta.
Kartodiharjo H., Jhamtani H.. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Cetakan
Pertama. Equinox Publishing Indonesia. Jakarta.
Putuhena J. 2013. Model Dinamika Pengelolaan DAS dalam upaya penyediaan air yang berkelanjutan
disemenanjung Leitimor Pulau Ambon. Disertasi IPB,2013.
Schmid, 1987. Property, Power An Inquary into Law and economic. Preager. New York .
ABSTRAK
Kepentingan nasional untuk membina kesejahteraan kehidupan ekonomi warga banga yang
masih terbilang agraris, khususnya mereka yang berada di wilayah DAS dan kawasan rentan bencana
lainnya, tentu gampang-gampang susah bahkan bisa-bisa seperti memakan buah simalakama.
Apalagi jika keberdaan warga binaan itu sudah terlanjur berada di dalam kawasan hutan Taman
Nasional Bukit Barisan (TNBB-Tanggamus). Dari kajian lapangan yang dilakukan oleh Ismalia,
Serly dan Sjarkowi (2014) pendekatan ekosistem terpadu yang meliputi rekayasa teknis silvikultur
dan rekayasa sosial ramah lingkungan kiranya sangat diperlukan untuk mendukung program
pemerintah bersasaran ganda itu. Makalah ini menyajikan hasil kajian awal di sana yang pada
dasarnya mengisyaratkan perlunya pendekatan SUPK sebagai wahana manajemen kawan ekosistem
yang harus mampu mengamankan mutu lingkungan TNBB-Tanggamus sekaligus menaikkan
kesejahteraan warga yang terlanjur sudah berada di dalam wilayah penyangga-nya.
PENDAHULUAN
Amat dipahami bahwa keberadaan kawasan Bukit Barisan punya arti penting ekologis yang
tidak boleh diabaikan. Sistem tata air yang menentukan QQA (quantitas, quantitas dan avilibilitas)
menyangga kehidupan warga dan semua mahluk hidup di daratan pulau besar Sumatera, juga
sesungguhnya hal itu amat penting bagi kepulauan sekitar termasuk pulau Jawa. Oleh sebab itu
eksodus warga haus lahan yang selama 3 dekade terakhir sudah terlanjur merambah kawasan hutan-
BB perlu mendapat penanganan khusus dan serius. Dalam konteks inilah penyempurnaan program
pembinaan HKM (hutan kemasyarakatan) di kawasan lindung sebagai penyangga TNBB (taman
nasional Bukit Barisan) atau pemberdayaan warga masyarakat melalui program BHM (Bina Hutan
Marga) akan sangat besar manfaatnya, khususnya demi pengamanan kawasan TNBB di pegunungan
Tenggamus, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Baik program HKM maupun BHM sudah
diselenggarakan bagi warga pemukim di kawasan hutan lindung maupun hutan marga, di kawasan
Bukit Barisan Tenggamus dimaksud.
Sudah banyak kegiatan pembinaan terhadap warga perambah hutan Bukit Barisan khusus-
nya di sekitar TNBB-Tenggamus sudah mulai dibina melalui program HKM dan HTR yang digulirkan
pemerintah agar mereka tidak merusak tatanan ekologis kawasan. Akan tetapi dalam perjalanannya
selama 5 tahun terakhir belum banyak hasil positif dicapai. Evaluasi selintas mengisyaratkan
kecenderungan warga untuk merambah hutan belum sepenuhnya bisa dijinakkan, seperti halnya
tampak dari tingkat pendapatan mereka yang relatif rendah dan masih harus mereka dapatkan pula
1. Penulis ke-1 & 2 adalah mahasiswa S3 & S2 di bawah bimbingan penulis ke-3. Kajian ini didukung dana riset
hibah bersaing 2014 dari Depdiknas; dan didukung pula secara tidak langsung oleh ACIAR Australia melalui proyek
#FST/2009/051.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 179
KOMISI C
dengan cara yang eksploitatif; sehingga dikhawatirkan tetap merugikan dan mengancam eksistensi
serta mutu dan fungsi kawasan lindung juga konservasi yang sesungguhnya hendak dipulihkan dan
disehatkan.
Tentu dapat ditelusuri alasan mendasarnya mengapa sampai demikian. Selain karena sifat
program yang baru diaktifkan akan selalu belajar dari pengalaman (larning by doing) sehingga selalu
lamban untuk jadi jitu. Juga karena sifat pembinaan suatu kawasan yang luas pasti akan berhadapan
dengan berbagai faktor dan variabel yang bergerak sangat dinamis. Setiap kali suatu faktor mengalami
perubahan tentu akan membawa pengaruh berantai pada setiap variabel teknis, biogeofisik maupun
variabel-variabel sosial antropologis, serta variabel ekonomi tak ketinggalan manakala sifat kewira-
usahaan (bisnis) sudah pula mulai diperan-aktifkan.
Bertolak dari pemikiran demikian itu pula maka kajian penulis di kawasan penyangga
TNBB daerah pegunungan Tenggamus bertujuan mencari format pembinaan yang holistik-terpadu
sistemik berdasarkan pengalaman para pihak dan dari kenyataan empiris yang kini ada disana.
Mengingat begitu luasnya kawasan ekosistem yang jadi sasaran perhatian kajian ini, dan mengingat
keterbatasan biaya-waktu-tenaga, maka pola kajian komprehensif pada tingkat model baru
sebagian saja yang dapat ditelusuri dan didalami. Secara khusus tujuan hakiki kajian ini menelusuri
dimensi rekayasa teknis, rekayasa hutan, dan rekayasa sosio-antropologis pada tingkat empiris
untuk kemudian diperhitungkan efek ekonomi lingkungannya jika pengelolaan kesatuan kawasan
penyangga dan daerah hutan marga dan juga TNBB itu didudukkan sebagai Satuan Usaha Perhutanan
Kerakyatan (SUPK).
Untuk mengelola suatu kawasan hutan yang luas dan sudah terlanjur rumit akibat ulah para
perambah dan pencari lahan penafkahan tentu sebaiknya menggunakan pendekatan komprehensif
terhadap keseluruhan ekosistem (dalam istilah Sjarkowi, F. 2014; & 2004 perlu strategi holistik-
terpadu-sistemik). Pendekatan holistik terhadap ekosistem total, maka perangkat manajemen
mengakui bahwa yang harus dikelola bukan cuma volume stok dan suplai kayu (Q) melainkan juga
aset not-kayu dan aset tak berpasar dan jasa ekosistem (X). Pendekatan terpadu tentunya mewanti-
wanti perlunya memaksimalkan capaian manajemen kawasan dengan memadukan sebanyak
mungkin peran para pemburu manfaat pada suatu tapak yang sama. Pendekatan sistemik diperlukan
agar semua potensi aset yang ada pada sebentang ekosistem hutan boleh didayagunakan melalui
pendekatan bisnis berwawasan lingkungan yang harus tetap menjamin kinerja konservasi dan
kelestarian mutu serta fungsi ekosistem. Maka total manfaat ekosistem, ‘ecosystem management’
harus sengaja memperhatikan tekanan permintaan atas aneka benda (Q) dan aneka jasa ekosistem
(X) sesuai konsep teori valuasi sumberdaya dan lingkungan2 yang dapat dikenali kelakuannya melalui
model persamaan Mendelshon (1996)3 berikut ini.
∞ −rt
Max ∫ (V(Q) + V(X)e d
t , di mana;
t =0
Pq = fq (Q) dimana dPq/dQ < 0 untuk semua Qi
Selanjutnya secara matematis nilai manfaat yang telah mendapat apresiasi ekonomis dari
pasar maupun masyarakat sadar lingkungan dan harus dimaksimumkan itu, kemudian dapat
dinyatakan menurut hubungan integral berikut ini :
Q
i Q
i
∫ ∫q (Q)dQi
V(Qi) = dan, V(X ) = ∫ ∫x (X)dXj
Q
i =0 j Q
i =0
Demikian model valuasi ekosistem ini meminta rincian jenis benda Q dan jasa X dari ekosistem
hutan sebagaimana adanya di lokasi, selain itu mengingatkan bahwa teknik valuasi (pemberian nilai
ekonomi) bagi keduanya tentu pula berbeda metode dan tidak seperti yang biasa.
Di dalam kenyataannya upaya maksimisasi total manfaat ekosistem itu memang harus
didahului dengan tindakan perencanaan kawasan secara holistik terpadu dan sistemik, dimana unsur
sasaran kelola berwawasan lingkungan dibataskan sebagaimana sasaran-sasaran manajemen eko-
sistem pada Matrix Tabel-1. Manajemen kawasan dimaksud harus menyatu-padukan pertimbangan
teknis bio-geofisik, pertimbangan campur tangan manusiawi secara sosial-ekonomis dan per-
timbangan kendali legalitas secara administratif pemerintahan. Dari itu maka pola manajemen
ekosistem dapat dianggap sebagai keharusan langkah pengelolaan pada tingkat makro dan lebih
merupakan tugas pihak pemerintah, khususnya pemerintah provinsi yang dapat memainkan peran
koordinasi lintas kabupaten. Sedangkan langkah pengelolaan pada tingkat mikro seyogianya jenis
usaha tepat lingkungan dan diperankan oleh unsur warga, dan karena itu harus mendapat pembinaan
dan pemberdayaan sosial sesuai kebutuhan yang khas lokasi dan ciri kerakyatan.
Perlu dipahami disini bahwa penetapan sasaran manajemen hutan berupa SUPK berarti
merubah sasaran operasional yang selama ini lebih berwawasan proyek dan ukuran sukses yang
sangat individualistik dan sporadik, kini berwawasan kesatuan-wilayah, keterpaduan-kegiatan,
kemaslahatan-kerakyatan. Ini berarti sasaran persil hutan telah berubah menjadi sasaran perhutan-
an sosial (social forestry), dan karena itu maka keberhasilan pengelolaan amat tergantung pada
kelengkapan informasi biogeofisik dan sosio-antropologis dalam ekosistem hutan. Ketepatan
informasi demikian diperlukan agar suatu SUPK sebagai kesatuan kelola perhutanan kerakyatan
dapat dibentuk kuat sebagai berkat dari rancangan rekayasa sosial (social engineering) dan rekayasa
perhutanan (forestry engineering)4. Bahwa di lapangan telah digunakan sebutan HKM, BHM, HTR
dan lainnya tentu hal itu tidak perlu dipermasalahkan, karena sebutan demikian merupakan kotak
‘casing’-nya dan lebih penting dari itu adalah substansi programnya yang harus berefek ganda. Di
satu sisi bisa menyelamatkan fungsi dan mutu kawasan, dan di sisi lain harus mampu memacu kerja
sama warga sekitar dan dalam kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dengan merujuk kepada teori social-paradox (Sjarkowi, F. 2014a & b), maka rekayasa sosial
mengisyaratken perlunya 2-hal yaitu: (1) Rancangan SECI sebagai kendali penjinak entropi-sosial
(socio-entropic controlling interface), dan; (2) Rancangan BPFM, yaitu usaha berorientasi kelola
sumberdaya hutan (business plan in forest-resource management). Syarat ke-1 mengharuskan
kajian socio-antropologis terhadap warga setempat untuk mendeteksi aneka potensi penyimpangan
sosial (meliputi Entropi sosio-psikologis; E. Sosi-ekologis, E. Sosio-ekonomis, E. Sosio-kultural)
yang bisa mengganggu kemitraan interaktif (sesama warga) dan kemitraan konstruktif (antara
warga dan investor). Syarat ke-2 mengharuskan perancangan target usaha yang ramah lingkungan
dan ber-nuansa wanatani atau penangkar carbon (carbon squestering) dan semacam usaha
perniagaan carbon atau wana-niaga (carbon trading). Adapun yang bersifat wanatani dan merupakan
usaha kemitraan BPFM-konstruktif setidaknya ada 2-macam yang disini disebut WTAK (wanatani
4 Reed F. Noss (1992) dengan jelas membedakan pengertian forest management dari forestry management.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 181
KOMISI C
tumpuan agroindustri kehutanan) dan WTWA (wanatani tumpuan wisata-alam). Sedangkan yang
bersifat wana-niaga yaitu usaha kemitraan BPFM-interaktif, yang terdiri dari 2-macam, yakni
KUAT (kelompok usaha agro-trisula) serta KUAC (kelompok usaha agro-cipta).
Dapat diartikan lebih rinci disini, bahwa perekayasan WTAK untuk menunjang suatu satuan
usaha bisnis perhutanan kerakyatan sesungguhnya memerlukan upaya perkuatan kemampuan
Ipteksi (ilmu pengetahuan-teknologi-seni) dalam hal produksi arang-kayu, mebeler, dan peman-
faatan kulit kayu misalnya. Rekayasa WTWA perlu langkah pelatihan Ipteksi tentang jasa-wisata,
penyediaan sarana wisata, pandu-wisata alam. Kesemuanya itu ditujukan untuk mengisi masa pra-
tebang yang untuk usaha perhutanan memakan waktu “puasa” cukup panjang. Demikian pun KUAT
mengundang pemberdayaan dengan Ipteksi ke arah cash-cropping yakni sayur cepat, ternak cepat,
dan perikanan cepat. Selanjutnya untuk KUAC memerlukan perkuatan Ipteksi dalam hal tangkar
hewan ex-situ, tangkar madu, dan tangkar benih/bibit.
Matriks Tabel 1. SUPK pada Satu Sasaran Kawasan Pembinaan Terpadu, Semisal Kawasan BB-
Tenggamus, Provinsi Lampung
Pada Matriks Tabel-1 digambarkan semua kombinasi sasaran kelola warga dan lokasi,
sehingga dengan SOP manajemen seyogianya diarahkan sebagai bagian dari satu kesatuan kelola
SUPK-Tenggamus yang dibina secara holistik-terpadu-sistemikdi bawah satu sistem manajemen
kawasan di bawah tanggung jawab seorang kepala pemangku hutan - KPHL (Kesatuan Pemangku
Hutan Lindung). Terhadap jenis kegiatan dalam kotak #1 & 4 (ada di wilayah Pesisir Barat, sebagian
eks-HPT); lalu# 5 & 6 (ada di wilayah Teluk Kiluan, Register 27, 25); serta kotak # 9 & 15 (ada di
wilayah Kota Agung, Register 28, 30, 31, 39); terhadap # kotak tersebut secara khusus dilakukan
pengamatan lapangan.Demikian bahwa setiap jenis kegiatan produktif ini harus dibina lewat program
CD (community development) untuk kelompok warga sasaran dan sesuai dengan ruang sasaran yang
harus ditingkatkan fungsi & mutu lingkungannya. Dengan pola manajemen ekosistem yang secara
nyata ditujukan kepada peran manusia dari aneka kelompok sasaran dan ditandai dengan berbagai
program itu maka SUPK-Tenggamus dapat dikelola secara holistik-terpadu-sistemik.
Ada beberapa fakta lapangan dijumpai di kawasan Bukit Barisan Tenggamus Lampung pada
kondisi yang seadanya di bawah program pembinaan parsial dan yang kini masih kurang intensif. Di
antaranya temuan dimaksud adalah:
(1) Tingkat pendapatan dari kegiatan HKM, HTR yang dicapai peserta masih relatif amat rendah,
karena alasan teknis agro-silvikultur maupun interaksi pasar dan juga sosekbud.
(2) Tersedia potensi sumber nafkah terkait kewisataan berwawasan lingkungan yang jika dibina
tentu bisa didayagunakan peserta dalam upaya menambah pendapatan keluarga.
(3) Tantangan penyehatan lingkungan sangat perlu diberikan secara holistk-terpadu-sistemik tepat
usaha kepada para peserta seraya tingkat erosifitas lereng dan susut hara tanah .
(4) Terdapat jaringan prasarana & sarana transportasi rendah mutu dan jangkauannya untuk bisa
melayani aktivitas warga ‘perambah’ jadi pembela kawasan tapi hidup sejahtera.
(5) Tempat dan lokasi pembinaan yang terpencil tapi luas cakupan aktivitas & efeknya amat perlu
terpadu melembaga dgn totalitas sistem pemantau ‘air-surveilance’ tepat luasan.
Kini dapat dipahami ada 2-kunci pokok bagi pengamanan dan penyehatan kawasan hutan
Bukit Barisan (Tenggamus), yakni:
(1) Betapa pentingnya melakukan semacam perekayasaan ‘sosial’ dan perekayasaan ‘hutan’ untuk
setiap sasaran kawasan rehabilitasi, agar setaip peserta program SUPK tidak berjalan malas,
culas, atau sekedar memelas bahkan memeras.
Rekayasa sosial (RS-supk) = f (Sosio-entropiks, SECI) pada hakikatnya;
Rekayasa hutan (RH-supk) = f (mjm-HTcepat tumbuh, mjm-T agrotrisula, mjm-T peluang)
(2) Begitu pentingnya melembagakan hasil rekayasa sosial jadi semacam BUKD (badan usaha
kemitraan desa) yang memberdayakan peserta dengan aturan main dan proses berbagi manfaat
secara jelas dan adil, baik pada tahapan proses produksi, pemasaran, dan investasi agroindustri
hilir turunan terkait produk SUPK-nya.
(3) Batas kegiatan pembinaan yang terkelolakan harus ditetapkan berupa Skala –usaha SUPK yang
efisien dilihat dari kepentingan skala-luas yang memantapkan kehidupan keluarga peserta RS-
supk berwawasan lingkungan, serta dilihat dari kepentingan efisiensi energi pesawat dalam
melakukan rutinitas pantau-udara (air-surveilance) terhadap Skala-kawasan RH-supk tepat
lingkungan
(1) Penjarahan dan perambahan hutan kawasan Bukit Barisan Tenggamus sudah banyak ber-
langsung di sana bermula dari kawasan hutan marga yang legal, lalu mengimbas ke kawasan
hutan penyangga TNBB-Tenggamus yang dilegalkan dengan program HKM, HTR semacam
kegiatan MHR (=mengelola hutan rakyat; atau CBFM community based forest management)
(2) Pembinaan warga perambah yang sudah terlanjur berada di dalam kawasan masih dapat
dilangsungkan tanpa harus menggusur, justru jika dilakukan dengan pendekatan penyehatan
kawasan dan pemberdayaaan wilayah agro-silvikultur pada luas kawasan yang tepat lingkungan
berupa satu kesatuan Skala-usaha SUPK yang tepat sasaran serta terkelolakan tepat-biaya.
(3) Pada hakikatnya pembinaan wilayah dan pemberdayaan warga secara parsial sembari berharap
berhasil dengan efek penularan ke warga lainnya yang terlibat kiranya harus sudah ditinggal-kan
dan diganti dengan pembinaan berbasis wilayah kelola secara holistik-terpadu-sistemik; karena
kelambanan efek pemberdayaan dibarengi kenaikan efek tekanan penduduk dalam pencarian
nafkah keluarga mereka tidak akan mampu mengamankan kawasan sisa yang belum terambah;
sehingga mengancam kawasan TNBB-Tenggamus serta begitu pula kawasan Bukit Barisan
lainnya di sepanjang sisi barat pulau Sumatra.
DAFTAR PUSTAKA
Ashworth, W.1995. The Economy Of Nature (Rethinking The Connections Between Ecology And
Economics).Houghton Mifflin Company.New York. ISBN 0-395-65566-8.
Mendelshon, R; dalam Adamowicz et al. 1996. Forestry, Economics and the Environment. CAB
International; (p.213).
Pearce & Moran (1994). The Economic Value of Biodiversity. Earth Scan Publication Ltd. London.
1994
Noss, R. F. 1992. Sustainable Forestry or Sustainable Forests? Di dalam buku Defining Sustainable
Forestry; ed. By Aplet, G.H. et al. Island Press, USA
Sjarkowi, F. 2014-a. Agroekosistem Lahan Basah Lestari; Titah Inovasi Kedaulatan Pangan dan
Kesejahteraan Masyarakat Agraris. Baldad Grafiti Press, 450 halaman ISBN 978-979-96207-
4-3.
Abd. Kadir Wakka1), Achmad Rizal HB1), Nur Hayati1), Nurhaedah Muin1)
1)
Penelti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
abdkadirw@yahoo.com
ABSTRAK
Pengelolaan hutan rakyat memegang peranan yang sangat penting dalam rangka memenuhi
kebutuhan bahan baku kayu industri kehutanan (sawmill dan meubel) mengingat pasokan bahan
baku kayu dari hutan alam semakin berkurang. Pengelolaan hutan rakyat yang baik sangat
diperlukan sehingga kualitas kayu yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan industri dan harga jual
kayu di tingkat petani semakin meningkat. Penelitian dilaksanakan di desa Lambakara, Kecamatan
Laeya, Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Juni 2014. Pengumpulan data dilakukan melalui
pengisian kuesioner terhadap perserta pelatihan pengelolaan hutan rakyat dengan pendekatan
Master TreeGrower (MTG). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan Master TreeGrower
(MTG) yang diterapkan dalam pelatihan mampu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
masyarakat terkait pengelolaan hutan rakyat sehingga diharapkan kualitas kayu yang dihasilkan
sesuai dengan kebutuhan pasar dan kesejahteraan petani hutan rakyat dapat semakin meningkat di
masa mendatang.
Kata Kunci : pengelolaan hutan rakyat, pendekatan master treegrower, kayu berkualitas,
kesejahteraan petani
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu alternatif dalam memenuhi kebutuhan
akan kayu baik untuk kebutuhan lokal maupun untuk memenuhi kebutuhan industri mengingat
produksi kayu dari hutan alam semakin menurun. Hal ini menjadi peluang bagi masyarakat untuk
terus mengembangkan hutan rakyat karena pasar kayu hutan rakyat akan semakin terbuka. Dengan
semakin terbukanya pasar kayu hutan rakyat maka harapan untuk meningkatkan kesejahtaraan
petani hutan rakyat dapat diwujudkan.
Balai Penelitian Kehutanan Makassar bekerjasama dengan ACIAR sejak tahun 2011 telah
melakukan penelitian dengan judul Overcoming Constraints to Community-Based Commercial
Forestry in Indonesia (mengatasi masalah dalam pengelolaan hutan komersil berbasis masyarakat di
Indonesia). Penelitian tersebut berlokasi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dan Kabupaten
Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Race, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa hal yang menyebabkan rendahnya harga jual
kayu di tingkat petani diantaranya adalah minimnya pengetahuan petani akan harga kayu serta
rendahnya kualitas kayu yang dihasilkan oleh petani hutan rakyat akibat pengelolaan tegakan yang
kurang tepat (Hayati et al., 2013a; Hayati et al., 2013b). Untuk itu diperlukan upaya peningkatan
kapasitas petani hutan rakyat melalui kegiatan pelatihan dengan menggunakan pendekatan Master
Treegrower (MTG) sehingga pengelolaan hutan rakyat dapat menjadi lebih baik dan kayu yang
dihasilkan semakin berkualitas serta sesuai dengan kebutuhan pasar/industri.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 185
KOMISI C
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak kegiatan pelatihan dengan pendekatan
Master Treegrower (MTG) terhadap peningkatan pengetahuan dan pemahaman petani hutan rakyat
mengenai pengelolaan hutan rakyat yang baik.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan di Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan,
Provinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan pelatihan peningkatan
kapasitas petani hutan rakyat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014.
Diakhir sesi pelatihan kemudian dilakukan pengisian kuesioner evaluasi. Pengisian kuesioner
evaluasi pelatihan bertujuan untuk mengetahui apakah materi pelatihan telah tersampaikan dengan
baik sehingga mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan petani hutan rakyat dalam mengelola
lahan yang mereka miliki untuk menghasilkan kayu yang berkualitas.
Batang pohon
Gambar 1. Cara Pemangkasan Cabang Pohon yang Dilakukan oleh Petani Hutan Rakyat
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas kayu hutan rakyat adalah
dengan melakukan penjarangan tegakan (Thinning). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan
produktivitas suatu tegakan dipengaruhi oleh kerapatan tegakan (Sadono dan Umroni, 2012).
Kegiatan penjarangan dapat mengurangi kerentanan tegakan terhadap kekeringan (Maaten, 2013).
Disamping itu, juga sangat efektif dalam mengelola pesaingan yang terjadi antar pohon dalam suatu
tegakan, meningkatkan kualitas pertumbuhan pohon yang akan dipertahankan serta merangsang
pembesaran diameter batang dari suatu pohon (Reid, 2006; Hawthorne et al, 2013). Ukuran diameter
batang pohon merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan nilai jual kayu yang dihasilkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (70,59%) petani hutan rakyat yang
terlibat dalam kegiatan pelatihan MTG belum memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang
kegiatan penjarangan tegakan (Thinning). Hal ini menyebabkan kegiatan penjarangan tidak banyak
dilakukan oleh petani hutan rakyat.
Faktor lain yang menyebabkan petani hutan rakyat tidak melakukan kegiatan penjarangan
adalah adanya “rasa sayang/merasa rugi” jika harus menebang pohon yang telah dipelihara selama
bertahun tahun sebelum waktunya. Petani hutan rakyat masih beranggapan bahwa semakin banyak
tanaman kayu yang mereka tanam dalam suatu areal maka semakin banyak jumlah batang kayu yang
akan mereka peroleh dikemudian hari dan semakin banyak uang yang akan diperoleh.
Pelatihan peningkatan kapasitas petani hutan rakyat dengan pendekatan MTG yang
dilaksanakan selama 4 hari telah memberikan dampak terhadap perubahan pengetahuan dan
pemahaman peserta pelatihan dalam pengelolaan hutan rakyat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengetahuan dan pemahaman petani hutan rakyat menjadi lebih baik yaitu berada pada
kisaran antara baik - sangat baik (nilai = 3,80) sebagaimana yang tersaji pada Gambar 2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman peserta pelatihan MTG
mengenai pentingnya kegiatan survei pasar menjadi lebih baik (nilai rata-rata = 3,45 berada dalam
kisaran antara baik - sangat baik). Melalui pemberian materi yang disertai dengan praktek survei
pasar ke industri sawmill mereka telah mengetahui informasi yang perlu digali dari pemilik sawmill
tersebut seperti jenis-jenis kayu yang diterima oleh industri, spesifikasi kayu beserta standar harga
yang berlaku, dan hal-hal yang dapat menurunkan harga jual kayu.
Pengetahuan dan pemahaman petani hutan rakyat yang terlibat dalam kegiatan pelatihan
MTG mengenai pentingnya mengamati pertumbuhan pohon melalui pengukuran diamater dan tinggi
pohon semakin baik. Berbekal alat bantu berupa pita ukur MTG, peserta pelatihan telah mengetahui
cara mengukur diameter batang dan tinggi pohon, serta cara menghitung volume kayu pohon
berdiri maupun volume log. Selain itu, petani hutan rakyat juga memahami bahwa pengukuran
yang dilakukan secara berkala dapat memberikan informasi mengenai kualitas pertumbuhan pohon
yang mereka kembangkan. Meskipun demikian, keterampilan mengukur tinggi pohon dengan
menggunakan pita ukur MTG masih perlu ditingkatkan karena hasil antara pengukuran pertama dan
pengukuran berikutnya terkadang masih memiliki selisih yang cukup besar. Hal ini dapat di atasi
dengan jalan memperbanyak latihan.
Gambar 2. Peningkatan Pengetahuan dan Pemahaman Peserta Pelatihan MTG terhadap Pengelolaan
Hutan Rakyat.
Keterangan : 1 = Buruk
2 = Cukup Baik
3 = Baik
4 = Sangat Baik
5 = Baik Sekali
Pengetahuan dan pemahaman petani hutan rakyat yang terlibat dalam kegiatan pelatihan MTG
mengenai pengelolaan pohon dan tegakan menjadi sangat baik. Mereka telah meyadari bahwa untuk
menghasilkan kayu yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasar, pohon yang ditanam sebaiknya
berasal dari bibit yang berkualitas dan disertai dengan melakukan pemeliharaan dengan baik. Mereka
telah memahami kapan dan bagaimana melakukan pemangkasan dengan menggunakan alat ukur
pemangkasan (gauge). Selain itu mereka juga telah memahami pentingnya kegiatan penjarangan,
kapan dan bagaimana melakukan penjarangan dengan menggunakan alat bantu berupa pita ukur
MTG.
Pemahaman petani hutan rakyat mengenai manfaat menanam pohon semakin baik. Petani
hutan rakyat telah menyadari bahwa menanam pohon tidak hanya sekedar untuk menghasilkan kayu
yang dapat digunakan sendiri oleh petani ataupun dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari, akan tetapi pohon yang mereka tanam juga menghasilkan manfaat lain seperti dapat mencegah
terjadinya banjir, meningkatkan ketersediaan air tanah, membuat udara di sekitar menjadi lebih
sejuk, burung-burung banyak berdatangan, sumber pakan ternak, dan sebagai sumber benih. Hal
ini sejalan dengan penelitian Achmad et al. (2012) bahwa manfaat hutan rakyat tidak sebatas pada
manfaat ekonomi saja (private benefit) , tetapi juga ekologi yang dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat (social benefit)
Peningkatan pengetahuan dan pemahaman petani hutan rakyat mengenai pengelolaan hutan
rakyat tidak terlepas dari penggunaan alat dan bahan dalam kegiatan pelatihan tersebut. Terdapat 5
(lima) alat dan bahan utama yang digunakan dalam membantu proses peningkatan kapasitas petani
hutan rakyat yaitu topi MTG, pita ukur MTG, sign dan sertifikat MTG, alat ukur pruning (gauge), dan
bahan presentasi (power point).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara ke lima alat dan bahan yang digunakan,
terdapat 3 alat dan bahan pelatihan yang memiliki nilai sangat penting bagi petani dalam membantu
meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya yaitu pita ukur MTG, alat ukur pruning (gauge),
dan bahan presentasi (power point). Ketiga alat dan bahan pelatihan tersebut dirasakan sangat
besar manfaatnya bagi petani hutan rakyat baik pada saat pelatihan berlangsung maupun setelah
pelatihan selesainya pelatihan tersebut dalam membantu menghasilkan kayu berkualitas.
Sementara topi MTG serta Sign dan Sertifikat MTG memiliki nilai yang penting karena menimbulkan
kebanggaan bagi petani hutan rakyat bahwa mereka telah mengikuti kegiatan pelatihan MTG dan
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik dalam mengelola pohon dan tegakan untuk
menghasilkan kayu berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasar/industri. Nilai penting alat dan
bahan yang digunakan dalam pelatihan disajikan pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Nilai Penting Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Pelatihan MTG
Petani hutan rakyat yang terlibat dalam kegiatan pelatihan merasa bahwa pelatihan MTG
sangat penting bagi diri mereka sendiri. Setelah mengikuti pelatihan, mereka menyadari bahwa
petani hutan rakyat tidak cukup hanya menanam tanaman kayu dan memeliharanya seperti yang
selama ini mereka lakukan, akan tetapi mereka harus pula mengetahui jenis dan spesifikasi kayu
yang dibutuhkan oleh pasar/industri dan apa yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
pasar/industri tersebut.
Petani hutan rakyat menilai bahwa pelatihan MTG penting bagi anggota kelompok mereka
maupun bagi masyarakat sekitar yang telah mengembangkan hutan rakyat. Apabila seluruh
anggota kelompok tani dan masyarakat sekitar memiliki pemahaman yang sama dalam mengelola
hutan rakyat dengan baik maka diharapkan kayu yang dihasilkan dari lahan hutan rakyat adalah
kayu berkualitas sesuai kebutuhan pasar/industri dan memiliki nilai jual yang tinggi. Disamping
itu mereka tidak akan mudah dipermainkan oleh pedagang dalam penentuan harga kayu. Dengan
demikian, harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat dapat diwujudkan. Nilai
penting pelatihan MTG bagi peserta pelatihan, bagi anggota kelompok tani dan masyarakat sekitar
disajikan pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4. Nilai Penting Pelatihan bagi Peserta, Anggota Kelompok Tani Hutan dan Masyarakat
Sekitar
Keterangan : 1 = Tidak Penting
2 = Cukup Penting
3 = Penting
4 = Sangat Penting
5 = Penting Sekali
KESIMPULAN
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat perlu dilakukan
dalam rangka menghasilkan kayu berkualitas sesuai kebutuhan pasar/industri dan meningkatkan
kesejahteraan petani hutan rakyat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa selama ini petani
hutan rakyat belum melakukan pengelolaan tegakan hutan rakyat yang mereka miliki dengan baik,
sehingga kayu yang dihasilkan belum sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan oleh pasar/industri
yang berdampak pada tidak maksimalnya harga jual kayu.
Pendekatan Master TreeGrower (MTG) dalam kegiatan pelatihan petani hutan rakyat perlu
terus dikembangkan karena telah memberikan pengaruh terhadap peningkatan pengetahuan
dan pemahaman petani hutan rakyat dalam membantu meningkatkan pengelola hutan rakyat di
Kabupaten Konawe Selatan. Melalui pendekatan MTG petani hutan rakyat telah menyadari bahwa
salah satu faktor yang dapat meningkatkan harga jual kayu adalah dengan jalan menghasilkan kayu
berkualitas dan sesuai spesifikasi kayu yang dibutuhkan oleh pasar/industri. Kayu berkualitas dan
harga yang tinggi hanya dapat diperoleh dengan melakukan pengelolaan pohon dan tegakan dengan
baik. Dengan demikian, harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat dapat
terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, B., Simon, H., Diniyati, D., & Widyaningrum, T. S. (2012). Persepsi petani hutan rakyat
terhadap pengelolaan dan fungsi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Jurnal Bumi Lestari 12(1),
123-136.
Alvarez, J. A., Villagra, P. E., Villalba, R., & Debandi, G. (2013). Effects of the pruning intensity and tree
size on multi-stemmed Prosopis flexuosa trees in the Central Monte, Argentina. Forest Ecology
and Management, 310(0), 857–864. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2013.09.033
Forrester, D. I., Collopy, J. J., Beadle, C. L., & Baker, T. G. (2013). Effect of thinning, pruning and
nitrogen fertiliser application on light interception and light-use efficiency in a young
Eucalyptus nitens plantation. Forest Ecology and Management, 288(0), 21-30. doi: http://
dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2011.11.024
Hawthorne, S. N. D., Lane, P. N. J., Bren, L. J., & Sims, N. C. (2013). The long term effects of thinning
treatments on vegetation structure and water yield. Forest Ecology and Management, 310(0),
983-993. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2013.09.046
Hayati, N., Bisjoe, A. R. H., & Wakka, A. K. (2013a). Analisis Rantai Nilai Kayu CBCF di Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan. Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
Hayati, N., Bisjoe, A. R. H., & Wakka, A. K. (2013b). Analisis Rantai Nilai Kayu CBCF di Kabupaten
Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
Maaten, E. v. d. (2013). Thinning prolongs growth duration of European beech (Fagus sylvatica L.)
across a valley in southwestern Germany. Forest Ecology and Management, 306(0), 135-145.
doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2013.06.030
Race, D. (2008). Overcoming Constraints to Community-based Commercial Forestry in Indonesia.
Project Proposal. FST/2008/030. ACIAR - The Australian National University. Canberra.
Reid, R. (2002). The Principles and Practice of Pruning. Special Liftout No. 60. Volume 25, No. 2, (1-
12).
Reid, R. (2006). Diameter–basal area ratio as a practical stand density measure for pruned plantations.
Forest Ecology and Management. 233(0), 375–382.
Reid, R. (2008). Three Change The Australian Master TreeGrower phenomenom. Rural Industries
Research and Development Corporation (RIRDC), Barton, Australia.
Reid, R. (2010). Who are the Australian Master TreeGrowers?. Guidelines for the development and
delivery of regional Australian Master TreeGrower courses. The Australian Master TreeGrower
Program. BIRREGURRA, Australia.
Sadono, R. & Umroni, A. (2012). Penentuan Indeks Kepadatan Tegakan sengon di hutan rakyat
(Kecamatan Kranggan dan Pringsurat Kabupaten Temanggung). Jurnal Ilmu Kehutanan
VII(1), 53-60.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan yang bertujuan untuk
meningkatkan kesehjateraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya hutan tetap
terpelihara dengan baik. Hutan rakyat yang dibangun pada lahan milik memberikan kesempatan
pada masyarakat untuk melakukan budidaya tanaman berkayu sesuai dengan keinginan masyarakat.
Masyarakat melakukan pengelolaan hutan rakyat dalam bentuk monokultur, campuran dan
kombinasi antara tanaman pertanian, perkebunan dengan tanaman kehutanan. Jenis-jenis tanaman
pada hutan rakyat merupakan tanaman yang memiliki nilai komersial. Pengelolaan hutan rakyat di
berbagai daerah bervariatif dengan komoditas yang beragam sesuai karakteristik lokal yang spesifik.
Kayu bawang (Azadirachta excelsa Jack.) merupakan pohon penghasil kayu pertukangan
unggulan Provinsi Bengkulu. Pengembangan hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu telah
dilakukan secara tradisional dan turun menurun di wilayah penyebaran alaminya. Hasil penelitian
Martin, et. al. (2005) menyatakan bahwa kayu bawang bagi masyarakat telah menjadi komoditas
budidaya tradisional yang tetap dipertahankan.
Pada dekade 1990-an jenis ini dipromosikan secara luas oleh pemerintah sebagai tanaman
rehabilitasi dan pengkayaan jenis hutan rakyat. Berdasarkan data dari Balai pengelolaan DAS Ketahun
tahun 2010 dan 2011 jenis kayu bawang banyak di kembangkan di Kab. Mukomuko, Kab Seluma
dan Kab. Rejang Lebong melalui program KBR (Nurlia dan Waluyo, 2012). Akan tetapi ada indikasi
ketidakberhasilan program tersebut karena menurunnya minat masyarakat Bengkulu menanam
kayu bawang.
Peran pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam keberhasilan pembangunan dan
pengembangan hutan rakyat jenis kayu bawang cukup penting sehingga hutan rakyat kayu bawang
sebagai bagian dari social forestry dapat terlihat nyata di lapangan. Pemerintah dalam hal ini berperan
sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan guna mendukung pengembangan
hutan rakyat serta memberikan bantuan teknis dan operasional dalam membangun hutan rakyat.
Mengingat peran partisipasi masyarakat yang sangat penting tersebut, maka kegiatan penelitian
ini dilakukan untuk memperdalam penelusuran lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang diduga
berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat kayu bawang.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang terkait dengan faktor yang mendukung keputusan
petani untuk menanam pohon penghasil kayu (Franzel,1999; Emtage& Suh, 2004; Karunarathna,
2002; Gebreegziabher et al, 2010). Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah
satu dasar dalam penerapan strategi pengembangan hutan rakyat kayu bawang di masa mendatang.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Muko, yaitu di Desa Sido Makmur Kecamatan Terawang
Jaya dan Desa Sawang Lalang Luas, Kecamatan V Koto. Sedangkan di Kabupaten Seluma, yaitu di
desa Bakal Dalam Kecamatan Talo Kecil dan desa Babatan kecamatan Sukaraja serta di Kab. Rejang
Lebong, yaitu di desa Bandung Marga kecamatan Bermani Ulu Raya dan desa Taba Tinggi kecamatan
Padang Ulak Tanding. Waktu penelitian yaitu pada bulan Mei sampai September 2013.
C. Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor sosial terhadap pengembangan kayu bawang
digunakan dummy variables dan continues variables. Dan untuk mengetahui kemungkinan seseorang
mengembangan kayu bawang atau tidak (the probability of participation) digunakan analisis regresi
logistic (Greene, 2000), sebagai berikut
Prob (Y=1) =
Kemudian logit model digunakan untuk mengetahui marginal effects dalam probabilitas,
yang berarti bagaimana perubahan probailitas rumah tangga dalam mengembangan kayu bawang
ketika peubah bebasnya berubah satu unit. Logit modelnya adalah sebagai berikut.
dimana pi(Y=1) =
Peubah bebas (x) yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain
X1 = umur
X2= pekerjaan responden (tani atau non tani)
X3= jarak dari rumah ke lahan
X4= pendapatan rata-rata per bulan (Rp)
X5 = jumlah lahan yang dimiliki
X6= akses informasi
A. Kabupaten Mukomuko
B. Kabupaten Seluma
penghujan. Jumlah hari hujan terbayak yaitu pada November dan Desember deangan jumlah hari
hujan masing-masing 18 hari, sedangkan hari hujan paling sedikit pada bulan September. Curah
hujan rata-rata 223 mm dan jumlah hari hujan rata-rata adalah 10 hari hujan per bulan (BPS, 2014)
Kabupaten Rejang Lebong dengan terletak pada posisi 102°19’-102°57’ Bujur Timur
dan 2°22’07’’- 3°31’ Lintang Selatan. Bagian utara berabatasan dengan kabupaten Lebong, dan
kapuaten Kapahiang sebelah selatan. Sedangkan bagian timur berbatasan dengan kab. Musi Rawas
Sumsel dan kabupaten Bengkulu Utara sebleh barat. Secara topografi, Kabupaten Rejang Lebong
merupakan daerah yang berbukit-bukit, terletak pada dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan
dengan ketinggian 100 – > 1000 m dpl. Curah hujan rata-rata 233,75 mm/bulan, dengan jumlah hari
hujan rata rata 14,6 hari/bulan pada musim kemarau dan 23,2 hari/bulan pada musim penghujan.
Sementara suhu normal rata-rata 17,73 0C – 30,940C dengan kelembaban nisbi rata-rata 85,5 %.
Suhu udara maksimum pada tahun 2003 terjadi pada bulan Juni dan Oktober yaitu 32o C dan suhu
udara minimum terjadi pada bulan Juli yaitu 16,2o C (BPS, 2014). Untuk peta lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 1.
A. Karakteristik responden
Berdasarkan hasil survei, umur dari responden yang telah diwawancara terbanyak yaitu
antara 30 sampai 49 tahun. Berdasarkan umur produktif di dalam suatu negara termasuk Indonesia
yaitu 15-55 tahun, maka kurang lebih 90% dari responden termasuk dalam usia produktif. Pendapatan
per bulan responden berkisar antara Rp. 600.000 sampai dengan Rp. 10.000.000 yang sebagian besar
berasal dari pertanian. Hanya sebagian kecil responden yang mempunyai pendapatan sampingan
dari sektor lain selain bertani.
Dari segi kepemilikan lahan, responden rata-rata memiliki lahan lebih dari 2 ha dan 2 bidang
lahan. Kegiatan cocok tanam secara mandiri dilakukan oleh sebagian besar responden setelah mereka
menikah dan mulai mengusahakan kebun secara mandiri. Sebagian besar kayu bawang ditanam
secara campuran dengan tanaman utamanya adalah karet, sawit dan sebagian ada juga dengan kopi..
Karakteristik responden di kabupaten Bengkulu Utara disajikan pada Tabel 1.
Sebagian besar responden menanam kayu bawang secara campuran, dan hanya sebagian
kecil yang menanam secara monokultur, ada juga juga yang menanam kayu bawang sebagai tanaman
pagar sebagai pembatas kebun terutama kebun sawit. Kayu bawang ditanam secara monokultur oleh
petani yang mempunyai lahan cukup luas da lebih dari satu bidang serta memiliki penghasilan lain
selain dari hasil pertanian. Beberapa bentuk hutan rakyat kayu bawang di lokasi penelitian dapat
dilihat pada gambar 2.
(a) Campuran dengan Sawit, di Kab. Mukomuko (b) Monokultur, di Kab. Seluma
(c) Campuran dengan Sawit, di Kab. Seluma (d) Sebagai Tanaman Pembatas, di Kab. Rejang Lebong
Analisis logit digunakan untuk menganalisis data kualitatif yang mencerminkan pilihan
dua alternatif. Dalam penelitian ini alternitif pilihan yang dianalisis yaitu menanam dan tidak
menanam kayu bawang di kebun masing-masing. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa
yang berpengaruh signifikan pada α 1 % adalah jarak ke lahan dan jumlah bidang lahan yang
dimiliki sedangkan yang signifikan pada α 5 % adalah pekerjaan utama. Koefisien untuk peubah
jumlah lahan adalah positif menunjukan bahwa semakin banyak jumlah lahan maka semakin tinggi
peluang untuk menanam kayu bawang. Petani yang mempunyai jumlah lahan lebih banyak maka,
mereka cenderung tidak mempunyai waktu untuk mengelola semua lahannya secara intensif.
Sehingga untuk lahan-lahan yang tidak dikelola mereka menanam tanaman-tanaman kayu yang
tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif seperti kayu bawang. Untuk peubah jarak ke lahan,
koefisiennya adalah negatif yang menunjukan bahwa semakin jauh jarak rumah ke lahan dengan
kebun maka semakin kecil peluang untuk menanam kayu bawang. Berbeda dengan pekerjaan, dimana
apabila pekerjaannya sebagai petani maka peluang untuk menanam kayu bawang lebih sedikit,
karena mereka menggantungkan pemenuhan kebutuhannya hanya dari hasil pertanian, jadi mereka
cenderung menanam tanaman perkebunan atau pertanian. Penelitian yang dilakukan Brokenshadan
& Riley (1987) menunjukkan bahwa rumah tangga miskin lebih cenderung menggunakan lahannya
untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon-pohon. Sedangkan
untuk peubah-peubah yang lainya meskipun tidak signifikan tetapi koefisien peubahnya masih
tetap sesuai dengan apa yang ada dilapangan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Oeba, et al
(2012) di Kenya Tengah, menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk
mempertahankan pohon di lahan pertaniannya antara lain lokasi kebun, luas kebun, umur petani,
penghasilan perbulan, penyuluhan, ketersediaan pasar, regulasi pemanenan, pengelolaan pohon dan
estetika. Mekonnen & Damte (2011) menambahkan bahwa secara umum faktor yang mempengaruhi
jumlah pohon yang ditanam petani di lahannya antara lain luas lahan, jumlah pekerja laki-laki dalam
keluarga dan pendidikan.
Pola tanam yang diterapkan umumnya adalah pola tanam campuran, dimana kayu bawang
ditanam di sela-sela tanaman pokok atau hanya sebagai tanaman pembatas lahan. Faktor yang
mempengaruhi peluang masyarakat untuk menanam kayu bawang adalah jarak dari rumah ke lahan
dan jumlah bidang lahan yang dimiliki signifikan pada α sebesar 1 %. Dimana semakin banyak jumlah
lahan maka semakin tinggi peluang untuk menanam kayu bawang sedangkan semakin jauh jarak
lahan dengan rumah makan semakin kecil peluang untuk menanam kayu bawang. Faktor lain yang
berpengaruh signifikan pada α 5 % adalah pekerjaan utama, dimana apabila pekerjaan utamanya
hanya sebagai petani maka peluang untuk menanam kayu bawang semakin kecil.
Kendala penyebaran hutan rakyat kayu bawang di luar wilayah aslinya antara lain adalah
keterbatasan bibit dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pengambangan kayu dalam
hal ini kayu bawang. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan bahwa untuk meningkatkan
penyebaran dan pengembangan hutan rakyat kayu bawang maka pengembangan kayu bawang
sebaiknya ditujukan kepada petani yang mempunyai jumlah lahan lebih luas dan mempunyai
pekerjaan lain selain petani. Selain itu perlu adanya peranserta parapihak terkait baik dari
pemerintah maupun masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Rejang Lebong Dalam Angka 2014
Brokensha, D., B.W. Riley. 1987. Privatization of Land and Tree Planting in Mbeere, Kenya. In
Raintree JB (ed). Land, Treesand Tenure. Hal. 187-192. ICRAF and The Land Tenure Center.
Nairobi and Madison.
Emtage, N., J. Suh. 2004. Socio-economic factors affecting smallholder tree planting and management
intentions in leyte province, the Philippines. Small-scale Forest Economics, Management and
Policy, 3(2): 257-270
Ewnetu, Z, J. C. Bliss. 2010. Tree Growing by Smallholder Farmers in the Ethiopian Highlands. Paper
presented on IUFRO Conference Small Scale Forestry in a Changing World: Opportunities and
Challenges and the Role of Extension and Technology Transfer
Filius, A.M.1997. Factors changing farmer’s willingness to grow trees in Gunung Kidul (Java,
Indonesia).Netherlands Journal of Agricultural Science 45: 329-345.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 199
KOMISI C
Franzel, S. 1999. Socioeconomic factors affecting the adoption potential of improved tree fallows in
Africa. Agroforestry Systems 47: 305–321
Gebreegziabher, Z., A. Mekonnen, M. Kassie, G. Köhlin. 2010. Household Tree Planting in Tigrai,
Northern Ethiopia: Tree Species, Purposes, and Determinants. Environment for Development
Discussion Paper Series EfD DP 10-01, January
Greene, W.H., 2000. Econometric Analysis, Fourth edition. Library of Congress Catalogging-in-
Publication Data. United States of America.
Karunarathna, K.M.R., H.M. Gunatilake. 2002. Socio-Economic Factors Affecting Tree Cultivation in
Home Gardens in Kandy and Kegalle Districts. Tropical Agricultural Research Vol. 14:292-303
Martin, E., A. Sofyan, M. Ulfa, A. Nopriansyah. 2002. Teknologi dan kelembagaan pengembangan
hutan rakyat di propinsi Sumatera Selatan. Laporan Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman
Indonesia Bagian Barat, Palembang.
Mekonnen, A., A. Damte. 2011. Private Trees as Household Assets and Determinants of Tree-Growing
Behavior in Rural Ethiopia. Environment for Development Discussion Paper Series EfD DP 11-
14, December
Nibbering, J.W. 1999. Privatization of Land and Tree Planting in Mbeere, Kenya. Agroforestry
Systems 46: 65–82.
Nurlia, A., E.A. Waluyo. 2012. Kebun Bibit Rakyat (KBR): Sarana pengembangan kayu potensial
hutan rakyat di provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian
Kehutanan Palembang. 23 Oktober. Palembang
Oeba, V. O., S. C. J. Otor, J. B. Kung’u, M. N. Muchiri. 2012.Modelling Determinants of Tree Planting and
Retention on Farm for Improvement of Forest Cover in Central Kenya. International Scholarly
Research Network ISRN Forestry Volume 2012.
Sood, K. K., C.P. Mitchell. 2009. Identifying important biophysical and social determinants of on-
farm tree growing in subsistence-based traditional agroforestry systems. Agroforestry Systems
75: 175-187.
ABSTRAK
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) dikenal oleh masyarakat Sumatera Selatan sejak awal
tahun 1900-an. Tanaman karet menjadi komoditas yang semakin menarik karena tanaman karet
bukan hanya menjadi komoditas perkebunan, melainkan juga termasuk tanaman kehutanan. Karet
mempunyai keunggulan di antaranya sebagai penghasil kayu, hasil hutan bukan kayu dan penambat
karbon. Pengembangan perkebunan karet pada areal-areal HTI yang berhimpitan dengan pemukiman
masyarakat juga dapat dijadikan alternatif untuk mencegah konflik antara perusahaan dengan
masyarakat sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan finansial pengusahaan hutan
tanaman karet rakyat di Sub DAS Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan hutan tanaman karet rakyat layak secara finansial,
yang ditunjukkan oleh NPV 185.778.134, BCR 2,67 dan IRR 55%.
Kata Kunci : hasil hutan bukan kayu, kayu, Hevea braziliensis, kelayakan finansial
LATAR BELAKANG
Pemanfaatan hutan alam di Indonesia secara besar-besaran sejak era pemberian ijin Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) pada tahun 1969 di luar Pulau Jawa memberikan dampak positif maupun
negatif. Dampak positif dari pemanfaatan hutan di akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1980
an adalah menjadikan sektor kehutanan sebagai penyumbang devisa negara terbesar kedua setelah
sektor migas. Dampak negatif dari pemanfaatan hutan alam dengan skema HPH yang berorientasi
pada hasil hutan kayu, adalah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.
Hasil penafsiran citra Landsat periode 1985-1997, pengurangan luas hutan di Indonesia
adalah sebesar 22,46 juta ha atau sebesar 1,87 juta ha /tahun. Kerusakan hutan meningkat tajam
pada periode 1997-2000 menjadi 2,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin
tidak terkendali pada periode tahun 2000-2004 karena aktivitas illegal logging, penyelundupan
kayu dan konversi hutan. Pada tahun 2006 laju degradasi hutan mencapai 2,83 juta ha per tahun,
sehingga luas hutan saat ini menjadi 120,3 juta ha (Dephut, 2006 dalam Suryandari dan Alviya,
2009). Deforestasi dan degradasi hutan semakin meningkat karena areal hutan eks HPH dan kawasan
hutan pada umumnya ditinggalkan tanpa kejelasan pengelola di tingkat tapak dan secara umum tidak
terdapat data mengenai kawasan hutan tetap. Selain itu, dari awal pengelolaan hutan di luar Pulau
Jawa tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan ekosistem.
Undang-Undang Kehutanan (UU No. 41/1999) menjadi dasar hukum pembentukan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) yang tidak hanya mencakup suatu kesatuan produksi tetapi juga
merupakan suatu kesatuan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Seluruh kawasan hutan di Indonesia
KPHP Lakitan merupakan salah satu KPH Model yang berlokasi di Sub DAS Lakitan. Wilayah
ini secara administrasi terletak di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa salah satu jenis yang potensial dikembangkan
sebagai hutan tanaman di wilayah Sub DAS Lakitan adalah hutan tanaman karet (Hevea brasiliensis).
Tanaman karet potensial untuk dikembangkan karena secara tradisional masyarakat di sekitar Sub
DAS Lakitan sudah mengenal tanaman ini sejak awal tahun 1900-an. Selain itu, secara geografis
tanaman karet sesuai untuk dikembangkan di Sub DAS Lakitan. Hal ini didukung oleh fakta yang
bersumber dari Dinas Perkebunan Sumatera Selatan bahwa sampai tahun 2011 kebun karet terluas
di Provinsi Sumatera Selatan berada di Kabupaten Musi Rawas.
Tanaman karet juga memberikan hasil berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu
yang berupa getah karet. Awalnya karet merupakan komoditas perkebunan sebagai penghasil getah.
Perkembangan produk dimulai tahun 1980-an, ketika karet mulai dipandang sebagai penghasil
kayu. Pada awalnya, kayu karet banyak dimanfaatkan untuk kayu pertukangan, namun akhir-akhir
ini kayu karet banyak digunakan sebagai bahan baku papan serat densitas medium (Medium Density
Fibreboard, MDF) (Boerhendhy et al. 2003).
Tanaman karet juga berfungsi sebagai penyerap karbondioksida yang cukup tinggi karena
memiliki kanopi lebih lebar dan permukaan hijau daun yang luas. Tanaman karet dalam satu siklus
dapat mengikat CO2 di udara sebanyak 660 ton per hektar, atau rata-rata per tahunnya adalah 23 ton
per hektar (Febbiyanti, 2010).
Tanaman karet juga dapat dijadikan alternatif untuk mencegah konflik antara masyarakat
yang tinggal di sekitar kawasan hutan, baik yang dikelola oleh perusahaan maupun dikelola oleh
negara. Pengembangan perkebunan karet pada areal-areal HTI yang berhimpitan dengan pemukiman
masyarakat juga dapat dijadikan alternatif untuk mencegah konflik antara perusahaan dengan
masyarakat sekitar.
Mengingat potensi tanaman karet yang sedemikian, maka dapat dinyatakan bahwa karet
potensial untuk dikembangkan sebagai hutan tanaman di Sub DAS Lakitan. Tujuan kajian ini adalah
memberikan gambaran secara finansial pengusahaan hutan tanaman karet sebagai penghasil kayu
dan getah.
METODE
A. Lokasi Penelitan
Lokasi kajian ini adalah wilayah Sub DAS Lakitan. Secara administratif terletak di Kabupaten
Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan, secara geografis terletak di102°46’12” sampai dengan
103°15’36” Bujur Timur dan 02°45’00” sampai dengan 03°16’48” Lintang Selatan (Gambar 1).
B. Analisis Finansial
Analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi biaya total proyek, yang mencakup seluruh
pembiayaan sejak persiapan lapangan sampai tanaman siap panen. Biaya total pengusahaan disebut
sebagai stumpage cost untuk kayu bulat dan farm-gate cost untuk getah karet.
Nilai pendapatan diperoleh dari perkalian antara jumlah output fisik yang dihasilkan dengan
harga per unit. Output proyek adalah seluruh output fisik yang diperoleh sebagai hasil kegiatan
proyek. Untuk menyeimbangkan pendapatan terhadap biaya yang dikeluarkan, pendapatan proyek
dihitung dengan harga ouput pohon berdiri (siap tebang), yang dikenal sebagai stumpage sales
revenue untuk kayu dan farm-gate price untuk getah karet.
Biaya dan pendapatan dihitung pada lokasi dan bentuk yang sama, untuk menghilangkan
perbedaan harga yang disebabkan oleh perbedaan lokasi maupun produk. Dalam hal ini dipilih lokasi
pada saat ouput masih berada di hutan. Biaya yang ditimbulkan oleh hilangnya kesempatan berusaha
di sektor lainnya sehubungan dengan pemilihan proyek ini didekati dengan suku bunga.
Kriteria kelayakan yang digunakan untuk menilai kelayakan pengusahaan hutan tanaman
karet adalah nilai manfaat bersih sekarang (Net Present Value, NPV), perbandingan antara biaya dan
manfaat (Benefit Cost Ratio, BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). Formulasinya adalah sebagai
berikut:
n
Bt − C t
NPV = ∑
t =0 (1 + r )t
n
Bt
∑ (1 + r )
t =0
t
BCR = n
C
t
∑ (1 + r )
t =0
t
di mana :
Bt = manfaat yang diperoleh pada waktu t (Rp)
Ct = biaya yang dikeluarkan pada waktu t (Rp)
t = tahun
r = discount rate
Kriteria kelayakan yang digunakan adalah jika NPV lebih besar dari nol dan BCR lebih besar
dari 1 (Benefit Cost Ratio, BCR). Sedangkan IRR adalah tingkat diskonto di mana nilai sekarang
bersih dari biaya (arus kas negatif) investasi sama dengan nilai sekarang bersih dari manfaat (arus
kas positif) investasi (Gregersen and Contreras, 1979).
5. Analisis Sensitivitas
Pengusahaan hutan tanaman karet, seperti umumnya proyek pembangunan hutan pada
umumnya merupakan kegiatan yang berlangsung dalam jangka waktu panjang. Lamanya jangka
waktu pengusahaan akan menimbulkan berbagai resiko akibat adanya fluktuasi berbagai variabel
yang berkaitan dengan proyek selama jangka waktu pengusahaan. Untuk menghindari keraguan atas
analisis tunggal, diperlukan analisis kepekaan (sensitivitas) atas berbagai perubahan yang mungkin
terjadi selama jangka waktu pengusahaan.
Variabel yang dianggap paling peka terhadap pembentukan komponen pernghasilan maupun
biaya adalah harga input dan harga jual produk. Dalam analisis finansial ini, analisis sensitivitas
yang dilakukan adalah :
6. Asumsi-asumsi
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis finansial ini adalah sebagai berikut:
- Pola penanaman
Tanaman karet ditanam secara monokultur, dengan jarak tanam 6 m x 3 m, sehingga jumlah
tanaman per hektar adalah 550 pohon.
Umur produktif karet untuk menghasilkan getah adalah antara 25 tahun sampai 30 tahun
(Anonim, 2013). Dalam analisis finansial ini umur tanaman karet yang digunakan untuk analisis
adalah 30 tahun dengan mempertimbangan hasil getah karet dan kayu (Djajapertjunda dan Nasution,
1989; Boerhendhy dan Agustina, 2006).
Volume kayu karet adalah 50 m3 per hektar (Djajapertjunda dan Nasution, 1989). Harga
tunggak (stumpage salses price) kayu karet adalah Rp. 257.500,00 per m3 (Irawanti dkk, 2008).
Panen kayu dilakukan saat tanaman berumur 30 tahun, bertepatan dengan peremajaan tanaman
karet.
Klon anjuran yang digunakan adalah BPM 1 dengan produksi rata-rata getah karet adalah
1945 kg per ha per tahun (Boerhendhy, 2006). Panen getah karet dimulai pada saat tanaman berumur
4 tahun. Harga karet yang digunakan dalam analisis adalah Rp.12.215,00 per kg, yang merupakan
harga rata-rata 5 tahun terakhir.
Berdasarkan perkembangan 5 tahun terakhir, tingkat suku bunga deposito adalah 7,396% sedangkan
inflasi rata-rata adalah 5,246%. Tingkat suku bunga riil yang digunakan dalam analisis ini adalah
2,09% yang merupakan selisih antara tingkat suku bunga deposito dengan inflasi.
- Komponen biaya dan pendapatan bersumber dari Dinas Perkebunan Kabupaten Musi Rawas dan
petani karet di Sub DAS Lakitan
1. Analisis finansial
Hasil analisis finansial pengusahaan hutan tanaman karet penghasil getah karet dan kayu di
Sub DAS Lakitan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Keuntungan Finansial Pengusahaan Hutan Tanaman Karet Penghasil Getah Karet dan Kayu
dengan Jangka Waktu Pengusahaan 30 Tahun
Berdasarkan tabel di atas, dapat dinyatakan bahwa pengusahaan hutan tanaman karet
penghasil getah karet dan kayu secara finansial layak untuk diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh
nilai manfaat bersih sekarang (NPV) positif, yaitu 185.778.134. Sedangkan nilai perbandingan
antara biaya dan manfaat (BCR) lebih dari 1. Angka harapan IRR lebih tinggi dari oportunitas kapital
dari proyek ini (2,09% konstan atau 7,396% per tahun). Hasil analisis finansial memperkuat alasan
pengusahaan hutan tanaman karet di Sub DAS Lakitan, di samping beberapa alasan yang telah
dikemukakan di atas.
Pengusahaan hutan tanaman karet di Sub DAS Lakitan juga dimungkinkan oleh terbukanya
peluang pasar kayu karet maupun getah karet baik di tingkat lokal maupun nasional. Untuk getah
karet, di tingkat kabupaten, terdapat 2 pabrik pengolahan karet di Kabupaten Musi Rawas dengan
kapasitas 48.000 ton per tahun. Sedangkan di tingkat provinsi, di Provinsi Sumatera Selatan
kapasitas seluruh pabrik pengolahn karet adalah 964.300 to per tahun.
Hasil hutan yang berupa kayu karet, mempunyai potensi sebagai penyuplai bahan baku
bagi industri Medium Density Fibreboard (MDF), pulp, furnitur, kayu serpih (chipwood) maupun
mainan (Tan et al. 1980; Paardekooper 1989; Sekhar, 1989). Pasar kayu karet sebagai bahan baku
industri juga terbuka lebar baik secara lokal maupun nasional. Secara lokal, si Provinsi Sumatera
Selatan terdapat pabrik MDF yang menggunakan kayu karet sebagai bahan baku dengan kapasitas
produksi sebesar 145.000 m3 per tahun atau 760-820 ton per hari. Selain itu juga terdapat pabrik
pulp dan kertas dengan kapasitas kapasitas produksi kayu serpih 900.000 BDT/tahun dan industri
bubur kertas (pulp) dengan kapasitas 450.000 ton per tahun (Anonim, 2010). Prospek pemasaran
kayu karet untuk industri pulp dan kertas secara nasional juga masih terbuka lebar. Industri pulp
dan kertas dalam negeri diproyeksikan masih tumbuh dalam beberapa tahun kedepan. Mengutip
data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dalam tiga tahun kedepan terdapat penambahan
kapasitas terpasang produksi untuk pulp sebanyak 2 juta ton, dan kertas sekitar 3 juta ton. Tahun
lalu kapasitas terpasang pabrik pulp di Indonesia mencapai 7,9 juta ton. Tahun 2017 nanti, kapasitas
terpasang pabrik pulp diproyeksi akan meningkat 26,5% menjadi sekitar 10 juta ton (Kontan, 2014).
2. Analisis sensitivitas
Hasil analisis sensitivitas untuk kegiatan pengusahaan hutan tanaman karet di KPH Lalan
Mangsang Mendis disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Sensitivitas Pengusahaan Hutan Tanaman Karet Penghasil Getah Karet dan
Kayu dengan Jangka Waktu Pengusahaan 30 Tahun
KESIMPULAN
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pengusahaan hutan tanaman karet layak untuk
diusahakan di Sub DAS Lakitan karena memiliki nilai NPV positif, BCR lebih dari 1 dan IRR angka
harapan IRR lebih tinggi dari oportunitas kapital dari kegiatan pengusahaan hutan tanaman di Sub
DAS Lakitan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Pengumuman Penerbitan Sertifikat Legalitas Kayu PT. Tanjungenim Lestari Pulp and
Paper.
Boerhendhy I dan Agustina DS. 2006. Potensi Pemanfaatan Kayu Karet untuk Mendukung Peremajaan
Perkebunan Karet Rakyat. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 : 61-67.
Djajapertjunda S. dan Nasution D. 1989. Kemungkinan Pembangunan Industri Kayu Karet di Sumatera
Utara. Prosiding Lokakarya Nasional Pembangunan HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989.
Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan : 381−392.
Paardekooper EC. 1989. Exploitation of the rubber tree. p. 349−414. In C.C. Webster and W.J. Baulkwill
(Eds.). Rubber. Longman Scientific & Technical Co. John Wiley & Sons, Inc, New York.
Gregersen H M and Contreras AH., 1979, Economic Analysis of Forestry Projects. FAO Forestry Paper
17, Rome : FAO.
Febbiyanti .R. 2010. Tanaman Karet Penyelamat Bumi dan Hidup Rakyat. Tersedia dalam http://
www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzMzMQ diakses tanggal 4 Agustus 2014.
Sekhar AC. 1989. Rubber Wood Production and Utilization. RRII, Kottayam 686009: 224 pp.
Suryandari, E.Y., dan I. Alviya. 2009. Implementasi dan Strategi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan Banjar. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 1, April 2009 : 57 – 70.
Tan, A.G., A. Sujan, and T.C. Khoo. 1980. Rubber wood for parquet manufacture. Planter’s Bulletin of
Rubber Research Institute of Malaysia (163): 81-87.
Industri Pulp dan Kertas Tambah Kapasitas Produksi. Kontan, Rabu, 22 Januari 2014.
ABSTRAK
Hutan rakyat kayu bawang (Azadirachta Excelsa Jack) merupakan hutan rakyat yang banyak
ditemukan di Kabupaten Bengkulu Utara dan telah menjadi budaya yang dikembangkan secara turun
temurun. Berkembangnya hutan rakyat kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara mengindikasikan
bahwa hutan rakyat kayu bawang mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi rumah tangga
petani sehingga keberadaannya tetap dipertahankan hingga saat ini. Besarnya kontribusi hutan
rakyat kayu bawang terhadap rumah tangga petani perlu diketahui sehingga dapat mendorong
minat dan usaha masyarakat untuk terus mengembangkan hutan rakyat kayu bawang dan dapat
menjadi motivasi bagi masyarakat di wilayah lain untuk mengembangkan di wilayahnya. Penelitian
dilakukan secara survei menggunakan metode dasar deskriptif kuantitatif dan pengumpulan data
dilakukan dengan observasi lapang, penggunaan kuesioner dan Focus Group Discussion (FGD). Hasil
penelitian menunjukkan hutan rakyat kayu bawang ditanam dengan berbagai pola tanam. Secara
ekonomi hutan rakyat kayu bawang dapat berkontribusi nyata terhadap perekonomian petani hingga
91,99% di Desa Sawang Lebar Ilir dan sebesar 93,03% di Desa Curup dengan kontribusi terbesar ada
pada pola hutan rakyat karet-kayu bawang dengan besar 82,98% di Desa Sawang Lebar Ilir dan 87,74%
di Desa Curup. Bagi lingkungan, hutan rakyat kayu bawang berkontribusi menjaga pasokan air serta
mencegah longsor. Sedangkan pada aspek sosial hutan rakyat kayu bawang berkontribusi dalam
penyerapan tenaga kerja. Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan hutan rakyat kayu bawang
adalah sulitnya mendapatkan bibit, kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pembudidayaan
kayu bawang yang benar dan kurangnya peran pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat kayu
bawang.
PENDAHULUAN
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh dilahan milik rakyat baik petani secara perseorangan
maupun bersama-sama yang terbentuk dari kegiatan swadaya masyarakat dengan maksud untuk
menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis dengan memperhatikan unsur-unsur
208 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI
KOMISI C
keberlanjutan dan perlindungan, dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga dan
sosial (Awang et., al, 2002). Bentuk hutan rakyat yang berkembang di masyarakat berbeda-beda
menyesuaikan dengan kesesuaian lahan dan budaya setempat. Hutan rakyat yang berkembang
di Kabupaten Bengkulu Utara adalah hutan rakyat kayu bawang, yaitu hutan rakyat dengan kayu
bawang sebagai tanaman kehutanan yang dipilih untuk dikembangkan bersama tanaman pokok
masyarakat. Kayu bawang merupakan tanaman lokal setempat yang dikembangkan secara turun
temurun dan telah menjadi budaya di masyarakat karena memiliki kualitas dan keawetan yang baik.
Martin dan Galle (2009), menyatakan kayu bawang mulai sengaja ditanam pada dekade tahun 1950-
60an di kebun atau bekas ladang.
Berkembangnya hutan rakyat kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara mengindikasikan
bahwa hutan rakyat kayu bawang mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi rumah tangga
petani sehingga keberadaannya tetap dipertahankan hingga saat ini. Oleh karena itu perlu adanya
penelitian yang dapat menggambarkan seberapa besar hutan rakyat kayu bawang memberikan
kontribusinya terhadap rumah tangga petani sehingga dapat mendorong minat dan usaha masyarakat
untuk terus mengembangkan hutan rakyat kayu bawang dan dapat menjadi motivasi bagi masyarakat
di wilayah lainnya untuk dapat mengembangkan hutan rakyat kayu bawang di wilayahnya.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian dan Metode Pengambilan contoh
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bengkulu Utara yang merupakan wilayah asli penyebaran
kayu bawang. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purpossive) pada dua desa yang memenuhi
syarat penelitian yaitu wilayah yang sebagian besar masyarakatnya mengembangkan hutan rakyat
kayu bawang dan telah melakukan kegiatan penebangan kayu bawang. Desa yang dipilih adalah Desa
Sawang Lebar Ilir dan Desa Curup dengan masing-masing responden sebanyak 45 responden di Desa
Sawang Lebar Ilir dan 62 responden di Desa Curup. Pemilihan responden dilakukan secara acak dan
responden yang terpilih adalah kepala rumah tangga yang merupakan pengambil keputusan dan
sebagai pelaku utama pada lahan usaha tani.
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur
yang bersifat open-ended sebagai alat bantu pengumpulan data. Wawancara mendalam (deep
interview) dan diskusi kelompok fokus (DKF) dilakukan untuk menyempurnakan data yang telah
diperoleh sebelumnya. Pengumpulan data sekunder yang mendukung tujuan penelitian diperoleh
dari instansi-instansi terkait di antaranya Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Kehutanan baik di
tingkat kabupaten maupun di tingkat provinsi.
B. Analisis Data
Analisis kontribusi hutan rakyat kayu bawang terhadap rumah tangga petani meliputi aspek
ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial. Untuk analisis terhadap aspek ekonomi digunakan rumus-
rumus berikut:
1. Analisis pendapatan rumah tangga petani
Untuk menghitung analisis pendapatan rumah tangga petani, digunakan rumus (Patty,
2010):
Prt = Put + Plut
Dimana : Prt = Pendapatan rumah tangga petani
Put = Pendapatan usaha tani; dalam hal ini adalah hutan rakyat kayu bawang
dengan berbagai pola tanam.
Plut = Pendapatan luar usaha tani.
2. Analisis kontribusi hutan rakyat kayu bawang terhadap ekonomi rumah tangga petani
Analisis kontribusi hutan rakyat kayu bawang terhadap ekonomi rumah tangga petani
diperoleh dengan menggunakan rumus :
Kriteria yang digunakan untuk menentukan besarnya kontribusi pendapatan dari hutan
rakyat, digunakan kriteria yang dikemukakan oleh Widodo (2001) dalam Patty (2010) sebagai
berikut:
a) Jika kontribusi pendapatan hutan rakyat kayu bawang < 25% dari pendapatan rumah tangga
petani, dikategorikan sangat rendah.
b) Jika kontribusi pendapatan hutan rakyat kayu bawang 25% - 49% dari pendapatan rumah tangga
petani, dikategorikan rendah.
c) Jika kontribusi pendapatan hutan rakyat kayu bawang 50% - 74% dari pendapatan rumah tangga
petani, dikategorikan tinggi.
d) Jika kontribusi pendapatan hutan rakyat kayu bawang > 75% dari pendapatan rumah tangga
petani, dikategorikan sangat tinggi.
Analisis kontribusi hutan rakyat kayu bawang terhadap aspek ekologi (lingkungan) dan sosial
rumah tangga petani di analisis dengan menggunakan metode dasar deskriptif yang disajikan secara
kualitatif dengan menggunakan narasi dan tabulasi sederhana untuk menggambarkan fenomena
yang terjadi.
A. Karakteristik Responden dan Karakteristik Hutan Rakyat Kayu Bawang di Kabupaten Bengkulu
Utara
Umur responden di kedua lokasi penelitian berada pada usia produktif dan relatif berusia
matang dengan rata-rata umur adalah 40 tahun di Desa Sawang Lebar Ilir dan 46 tahun di Desa
Curup. Hal ini menunjukkan petani sudah memiliki pengalaman yang cukup lama dalam mengelola
lahan. Selain itu, rumah tangga yang lebih matang atau berumur tua, yang umumnya kekurangan
tenaga kerja muda akan lebih mudah mengadopsi sistem penggunaan lahan yang kurang intensif
penggunaan tenaga kerjanya yaitu hutan rakyat (Cahyono et. al., 2005).
Pendidikan rata-rata responden adalah Sekolah Dasar (SD) dengan pekerjaan mayoritas
adalah petani. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat
dalam penguasaan teknologi, sehingga peluang untuk bekerja diluar sektor pertanian semakin
sempit dan optimalisasi lahan belum dilakukan dengan baik. Hal ini terlihat dari pola tanam yang
diterapkan masyarakat dimana belum teraturnya jarak tanam pada lahan milik yang dikelola.
Kondisi ini menjadi peluang untuk memberdayakan masyarakat melalui penanaman kayu bawang
dalam jumlah yang lebih banyak dengan memberikan penyuluhan mengenai usaha tani yang optimal
(Premono dan Lestari, 2013).
Rata-rata pendapatan di Desa Sawang Lebar Ilir lebih rendah dari rata-rata pendapatan di Desa
Curup karena kepemilikan lahan di Desa Sawang Lebar Ilir lebih sempit dibanding dengan kepemilikan
lahan di Desa Curup. Rata-rata kepemilikan lahan di Desa Sawang Lebar hanya seluas 1,4 hektar
sedangkan luas lahan di Desa Curup seluas 2,17 hektar. Hal ini dapat dilihat pada karakteristik hutan
rakyat di Kabupaten Bengkulu Utara pada Tabel 2.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 211
KOMISI C
Hutan rakyat kayu bawang yang dikembangkan masyarakat adalah hutan rakyat karet-kayu
bawang, hutan rakyat sawit-kayu bawang dan hutan rakyat kopi-kayu bawang dengan pola tanam
campuran yang diterapkan menyesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan lahan. Pola tanam yang
dikembangkan antara lain menanam kayu bawang di sela-sela tanaman pokok, dipinggir tanaman
pokok dan ditanam secara acak dimana terdapat ruang yang dapat digunakan untuk menanam kayu
bawang. Masyarakat mendapatkan bibit kayu bawang dari cabutan yang ditemukan dikebun hingga
membuat pembibitan sendiri.
Tanaman pokok yang dikembangkan masyarakat adalah karet, sawit dan kopi. Hal ini sesuai
dengan data dari Badan Pusat Statistik (2011) yang menyatakan bahwa komoditas utama masyarakat
di Kabupaten Bengkulu Utara adalah karet, sawit dan kopi dengan rata-rata produksi karet 1.482 kg/
ha, rata-rata produksi sawit 2.049 kg/ha dan rata-rata produksi kopi 628kg/ha untuk kopi robusta
dan 1536 kg/ha untuk kopi arabica.
Rata-rata bidang yang dimiliki adalah 1 bidang dengan luas 1,4 ha dan rata-rata jumlah kayu
bawang sebanyak 80 batang di Desa Sawang Lebar Ilir dan 2 bidang dengan luas 2,17 ha dan rata-rata
kayu bawang sebanyak 74 batang di Desa Curup. Kepemilikan kayu bawang di Desa Sawang Lebar Ilir
lebih banyak dibanding dengan Desa Curup karena jarak dari desa ke kota yang lebih dekat sehingga
memudahkan untuk pemasaran kayu bawang. Lahan yang dimiliki sebagian besar merupakan lahan
sendiri yang diperoleh dengan cara membeli.
Kontribusi berasal dari bahasa inggris yaitu contribution yang artinya adalah sumbangan,
andil maupun iuran. Sedangkan menurut kamus ekonomi (Guritno, 1992), dalam Adelina (2013)
kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya
atau kerugian tertentu atau bersama. Sehingga kontribusi yang dimaksud dapat diartikan sebagai
sumbangan yang diberikan oleh hutan rakyat kayu bawang terhadap kehidupan rumah tangga petani.
Kontribusi hutan rakyat terhadap kehidupan rumah tangga petani dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu
aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek lingkungan.
1. Kontribusi Hutan Rakyat Kayu Bawang terhadap Rumah Tangga Petani dipandang dari Aspek
Ekonomi.
Kontribusi hutan rakyat kayu bawang dari aspek ekonomi dilihat dari berapa besar hutan
rakyat kayu bawang dapat berkontribusi terhadap pendapatan total rumah tangga petani.
Pendapatan rumah tangga petani berasal dari pendapatan usaha tani dan pendapatan diluar usaha
tani. Pendapatan usaha tani merupakan pendapatan yang diperoleh dari setiap jenis pola hutan rakyat
yang dikembangkan di setiap desa, sedangkan pendapatan diluar usaha tani merupakan pendapatan
yang diperoleh dari pekerjaan sampingan rumah tangga petani yaitu berdagang, sopir, tukang dan
PNS. Kontribusi hutan rakyat terhadap ekonomi rumah tangga petani secra rinci dapat dilihat pada
Tabel 3.
pendapatan
Nama Desa Jenis Pendapatan Uraian %-tase
rata-rata/bln
Desa sawang Lebar Pendapatan Usaha Karet-kayu bawang 1,673,333 82.98
Ilir Tani
sawit-kayu bawang 181,667 9.01
Pendapatan luar Lain-lain (Sopir, 161,667 8.02
usaha tani tukang, pedagang)
Pendapatan 2,016,667 100.00
rumah tangga
petani
Desa Curup Pendapatan Usaha Karet-kayu bawang 3,155,500 87.74
Tani
Kopi-kayu bawang 192,508 5.35
Pendapatan luar Lain-lain (PNS) 248,387 6.91
usaha tani
Pendapatan 3,596,395 100.00
rumah tangga
petani
Sumber: Data primer penellitian (diolah)
Dari tabel diketahui hutan rakyat kayu bawang berkontribusi hingga 91,99% dari total
pendapatan rumah tangga di Desa Sawang Lebar Ilir dan sebesar 93,03% dari total pendapatan rumah
tangga di Desa Curup. Kontribusi terbesar ada pada pola hutan rakyat karet-kayu bawang dengan
besar 82,98% di Desa Sawang Lebar Ilir dan 87,74% di Desa Curup. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Premono dan Lestari (2013), dimana pola hutan rakyat karet-kayu bawang
memiliki nilai analisis finansial tertinggi dengan NPV sebesar Rp. 99.866.876, BCR sebesar 5,75 dan
IRR sebesar 28%. Berdasarkan hasil tersebut, maka kontribusi hutan rakyat kayu bawang tergolong
dalam kriteria berkontribusi sangat tinggi, dimana kontribusi hutan rakyat mencapai lebih dari 75%
terutama untuk pola hutan rakyat karet-kayu bawang.
Pemilihan pola hutan rakyat dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan ekonomi petani dimana jenis yang
banyak dikembangkan adalah jenis yang cepat menghasilkan, yaitu karet. Sedangkan kayu bawang
sudah menjadi identitas masyarakat bengkulu yang dikembangkan secara turun menurun karena
dapat memberikan kontribusi ekonomi yang cukup besar apabila telah mencapai daurnya.
2. Kontribusi Hutan Rakyat kayu Bawang Terhadap Lingkungan Rumah Tangga Petani (Aspek
Ekologi)
Salah satu alasan masyarakat Desa Curup dan Desa Sawang Lebar ilir mengembangkan hutan
rakyat kayu bawang pada lahan milik mereka, dikarenakan telah adanya kesadaran akan pentingnya
konservasi terhadap tanah dan air di wilayah mereka. Seluruh responden baik di Desa Sawang Lebar
maupun Desa Curup memahami bahwa hutan rakyat kayu bawang tidak hanya bermanfaat secara
ekonomi tetapi juga bermanfaat secara ekologi.
Masyarakat baik di Desa Sawang Lebar Ilir maupun Desa Curup menggantungkan sumber
airnya pada air sungai dan sumber mata air, sehingga mereka menyadari dengan mengembangkan
hutan rakyat kayu bawang secara ekologi dapat menjaga keberadaan sumber air khususnya di musim
kemarau. Dengan pola campuran yang diterapkan oleh masyarakat struktur dan komposisi ekosistem
hutan rakyat akan menjadi lebih kompleks sehingga akan semakin rendah limpasan permukaan dan
erosi. Namun, Penelitian mengenai seberapa besar kontribusi hutan rakyat kayu bawang terhadap
aspek lingkungan rumah tangga secara mendalam belum dilakukan, pengukuran yang dilakukan
hanya didasarkan pada persepsi masyarakat.
Dari tabel diketahui bahwa tenaga kerja di Kabupaten Bengkulu Utara masih terkonsentrasi
pada kegiatan sektor pertanian, hal ini membuka peluang untuk terus mengembangkan hutan rakyat
kayu bawang di daerah tersebut.
Mayoritas responden baik di Desa Sawang Lebar Ilir maupun di Desa Curup melakukan
sendiri kegiatan pengelolaan hutan rakyat kayu bawangnya. Hanya pada kegiatan-kegiatan tertentu
mereka menggunakan tenaga kerja harian lepas dan hanya beberapa petani saja yang menyerahkan
seluruh pengelolaan usaha taninya kepada orang lain. Responden yang mempercayakan kegiatan
pengelolaan usaha tani yang dimilikinya adalah responden yang pekerjaan utamanya bukan sebagai
petani, sehingga hasil pertanian hanya merupakan hasil sampingan saja.
C. Kendala-kendala dalam Pengembangan Hutan Rakyat Kayu Bawang di Kabupaten Bengkulu Utara
Meskipun hutan rakyat kayu bawang hingga saat ini masih tetap dipertahanlan oleh
masyarakat, namun sulitnya mendapatkan bibit kayu bawang menjadi salah satu pembatas dalam
pengembangannya. Kesulitan memperoleh bibit dikarenakan kayu bawang yang ada saat ini sudah
tidak berbuah sejak tahun 2010. Kesulitan berbuah ditengarai terjadi akibat adanya perubahan
iklim dimana musim panas dan musim penghujan tidak jelas lagi waktunya (Nurlia dan Waluyo,
2013). Selain itu, kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pembudidayaan kayu bawang yang
benar menyebabkan pembibitan yang dilakukan oleh masyarakat seringkali mengalami kegagalan.
Hal ini menyebabkan masyarakat hanya mengandalkan bibit cabutan untuk tanaman kayu bawang
yang akan ditanam dilahannya.
Minat masyarakat yang tergolong tinggi dalam membudidayakan kayu bawang untuk
ditanam dilahannya tidak diiringi oleh adanya peran aktif pemerintah dalam mengembangkan kayu
bawang, padahal kayu bawang merupakan kayu lokal unggulan Propinsi Bengkulu. Tidak pernah
adanya program-program pemerintah yang mendukung pengembangan kayu bawang menyebabkan
masyarakat harus mencari sendiri informasi yang dibutuhkannya.
KESIMPULAN
Hutan rakyat kayu bawang berkontribusi secara nyata terhadap rumah tangga petani terutama
pada aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Secara ekonomi, hutan rakyat kayu bawang berkontribusi
hingga 91,99% di Desa Sawang Lebar Ilir dan sebesar 93,03% di Desa Curup dengan kontribusi terbesar
ada pada pola hutan rakyat karet-kayu bawang dengan besar 82,98% di Desa Sawang Lebar Ilir dan
87,74% di Desa Curup. Pada aspek ekologi, hutan rakyat kayu bawang berkontribusi dalam menjaga
keberlangsungan sumber air dan mencegah erosi. Sedangkan pada aspek sosial hutan rakyat kayu
bawang berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam mengembangkan hutan rakyat kayu bawang adalah
sulitnya mendapatkan bibit, kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pembudidayaan kayu
bawang yang benar dan kurangnya peran pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat kayu
bawang.
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, Rima. 2013. Analisis Efektivitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) Terhadap pendapatan Daerah di Kabupaten Gresik. Jurnal Akuntansi UNESA. Vol. 1 No.
2 Hal 121-120.
Awang, S. A.., Wahyu A., Bariatul H., Wahyu T. W., dan Agus A. 2002. Hutan Rakyat: Sosial Ekonomi
dan Pemasaran. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta
Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 215
KOMISI C
Bengkulu. Bengkulu
Cahyono, S. A., N. P. Nugroho, N. A. Jariyah. 2005. Tinjauan Faktor Kelayakan, Keuntungan, dan
Kesinambungan pada Pengembangan Hutan Rakyat. Info Sosial Ekonomi Vol 5 No. 2 hal 1 -
13.
Martin, E., dan Fidelia B. G. 2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Penanam
Pohon Penghasil Kayu Pertukangan: Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang (Disoxylum
molliscimum BL) oleh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Jurnal Penelitian
Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 6 No. 2 Hal 117-134.
Nurlia, A., E. A. Waluyo. 2013. Faktor-faktor Pembatas yang Mempengaruhi Pengembangan Hutan
Rakyat Kayu Bawang (Dysoxylum Molissimum BL) di Propinsi Bengkulu. Prosiding seminar
Hasil Penelitian BPK Palembang. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Patty, Zeth. 2010. Kontribusi Komoditi Kopra Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Tani di Kabupaten
Halmahera Utara. Jurnal Agroforestry Vol 5 No. 3 Hal 212-220.
Premono, B. T., dan S. Lestari. 2013. Analisis Finansial Agroforestry Kayu Bawang (Dysoxilum
Mollissimum Blume.) dan Kebutuhan Lahan Minimum di provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian
Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vl 10 No.4 Desember 2013 Hal 211 - 223.
M.Kudeng Sallata
Hunggul Yudono SHN1
ABSTRAK
Fungsi ekosistem hutan sebagai penghasil kayu, oksigen, perlindungan plasma nutfah, dan
hasil air sering menjadi kontroversi apabila tidak bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat di
sekitarnya. Kerusakan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) yang selama ini menjadi satuan
unit perencanaan dan pelaksanaan program Rehabilitasi Hutan Nasional semakin mendorong
kehilangan harapan masyarakat terhadap peran ekosistem hutan yang ada di sekitarnya. Disisi
lain kerusakan hutan semakin melaju, tanah longsor semakin banyak, sungai semakin keruh dan
udara semakin terkontaminasi. Banyak inisiatif dan kegiatan telah dilakukan oleh berbagai
pihak untuk memperbaiki tata-kelola DAS namun semua itu belum cukup mampu menyelesaikan
permasalahan yang terjadi. Diperlukan strategi baru untuk merangsang motivasi masyarakat untuk
kembali mendukung pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan akhir terwujudnya kelestarian
hutan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya adalah diversifikasi pemanfaatan hasil air
yang mengalir dari kawasan hutan untuk menjadi sumber listrik melalui pembangkit listrik tenaga
mikro-hidro (PLTMH). Listrik sebagai sumber penerang merupakan kebutuhan utama masyarakat
zaman sekarang karena kemanfaatannya yang vital dalam keperluan sehari-hari. Sejak 2004
Balai Penelitian Kehutanan Makassar telah merancang pemanfaatan PLTMH yang disesuaikan
dengan kondisi geografi lokasi dan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan hasil
pengamatan dari beberapa lokasi PLTMH di wilayah Sulawesi yang dibangun melalui kerjasama baik
dengan institusi pemerintah, swasta, maupun masyarakat terbukti PLTMH dapat merubah persepsi
masyarakat menjadi positip dan meningkatkan partisipasinya dalam memperbaiki, mengamankan
dan mengelola hutan. Masyarakat dapat dengan mudah memahami manfaat hutan melalui fungsinya
sebagai penghasil air yang difungsikan memutar turbin penghasil listrik. Hal inilah yang menjadi
dasar pertimbangan sehingga tema “lestari hutanku – terang desaku” dipopulerkan oleh Balai
Penelitian Kehutanan Makassar.
LATAR BELAKANG
Masyarakat memiliki harapan besar terhadap fungsi ekosistem hutan tetap lestari
memberikan manfaat terhadap lingkungan dan kehidupan sekitarnya. Terjadinya banjir, longsor,
kekurangan air, konflik tenurial, kebakaran hutan, ilegal logging dan dampak lain, akhir-akhir
ini semakin meningkat, menghilangkan harapan masyarakat terhadap peran kawasan hutan yang
terdapat disekitarnya. Salah satu fungsi hutan yang sangat didambahkan masyarakat karena vital
1 Tim Peneliti Hidrologi dan Konservasi Tanah Balai Penelitian Kehutanan Makassar
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 217
KOMISI C
bagi kehidupan adalah sebagai pengatur tata air (water regulator). Pada masyarakat awam, fungsi
regulator ini diartikan sebagai fungsi penghasil air. Menurut Asdak (1995), keberlanjutan suatu
pembangunan hanya akan tercapai apabila kebutuhan manusia dan kapasitas sumberdaya alam
terbaharui tersebut seimbang seiring perjalanan waktu.
Amanat Undang-Undang No.41 tentang kehutanan tahun 1999 bahwa untuk mencapai
kesuksesan dalam mengelola hutan dan manfaatnya, adalah dengan mengakomodir kepentingan
masyarakat serta menggiatkan partisipasi masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan.
Apabila pengelola hutan sukses mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan,
maka sebagian besar persoalan yang dihadapi sudah terpecahkan. Prinsip utama dalam kesuksesan
pengembangan partisipasi masyarakat menjaga hutan di sekitarnya adalah apabila ”hutan mampu
memberikan manfaat nyata” bagi mereka dan masyarakat dapat melihat dan merasakan langsung
keterkaitan yang tegas antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan (Yudono dan
Sallata,2012).
Berdasarkan hasil pengamatan dari beberapa lokasi tersebut yang tersebar di wilayah
Sulawesi dengan berkerjasama baik institusi pemerintah maupun swasta terbukti PLTMH dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengamankan dan mengelola hutan dengan baik
karena merasa hutan adalah sumber air yang difungsikan memutar turbin listrik. Dalam makalah ini
disampaikan hasil monitoring dan evaluasi bersama analisis dampak kepada masyarakat sasaran.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi dari 11(sebelas) PLTMH yang dibangun tim
peneliti konservasi sumberdaya alam Balai Penelitian Kehutanan Makassar pada beberapa lokasi
di Sulawesi (Tabel 1.) dapat diketahui enimo/kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi untuk
mendapatkan dan memanfaatkan listrik. Pembangkit listrik tenaga air skala kecil (PLTMH) adalah
pemasok daya listrik yang berjumlah sedikit atau industri pedesaan yang terpisah jauh dari system
grid (IMIDAP, 2009). Berdasarkan klasifikasi pembangkit daya listrik hidro oleh IMIDAP (Integrated
Microhydro Development and Application Program), Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan
Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ditetapkan bahwa pembangkit listrik skala
mikrohidro mempunyai daya 5-100 kW (1 KW= 1.000 watt) digolongkan pembangkit listrik tenaga
mikro-hidro (PLTMH).
Kelayakan PLTMH dibangun di suatu kampung tentunya memerlukan beberapa studi secara
sederhana untuk menjamin keberlanjutan operasionalnya yaitu: aspek hidrologi, aspek sipil, aspek
lingkungan, aspek sosial budaya dan aspek finansial. Faktor utama yang menjadi pegangan oleh
kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam Balai Penelitian Kehutanan Makassar membangun
PLTMH di suatu kampung pemukiman adalah “Pemanfaatan aliran air yang berasal dari kawasan
hutan untuk menghasilkan listrik terhadap masyarakat di sekitarnya”. Hal inilah yang menjadi
dasar pertimbangan sehingga tema “lestari hutanku – terang desaku” dipopulerkan oleh Balai
Penelitian Kehutanan Makassar. Mikrohidro dibangun berdasarkan keberadaan air yang mengalir
di suatu daerah/ tempat/lokasi dengan kapasitas dan ketinggian yang memadai. Kapasitas adalah
kemampuan yang mengacu pada jumlah volume air per satuan waktu (flow capacity), sedangkan beda
ketinggian daerah aliran sampai ke instalasi dikenal dengan istilah head. Oleh karena itu mikrohidro
dapat diartikan sebagai berikut: mikro berarti kecil, sedangkan hidro artinya air. Walaupun istilah
ini bukan sesuatu yang baku namun dapat dipastikan bahwa mikrohidro menggunakan air bergerak
sebagai sumber energi. Dengan demikian instalasi pembangkit listrik mikrohidro menggunakan
sumberdaya yang telah disediakan alam dan ramah lingkungan (IMIDAP, 2009).
Berdasarkan deskripsi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu pembangkit listrik tenaga
mikrohidro tergantung dengan debit air, ketinggian jatuh air (head), dan efisiensi (teknologinya).
Menurut studi kelayakan IMIDAP (2009), formulasi sederhana untuk analisis daya (P) yang
dibangkitkan dari suatu pembangkit mikrohidro adalah: P = 9,8 x Q x H x ę (P = daya yang dibangkitkan;
Q = debit air (m3/det); H = beda tinggi (m); ę = efisiensi; 9,8 = konstanta gravitasi bumi (m/det2).
Sangat mudah dipahami bahwa energi listrik mikrohidro merupakan energi listrik terbarukan
yang berasal dari hutan (Anwar, 2013). Keunggulan lain dari listrik tenaga air mini adalah jaringan
distribusi yang mudah dan sederhana. Dari sisi biaya PLTMH relatif murah sehingga peluang besar
dapat mengoptimalkan hasil air dari hutan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan.
Secara teknis peluang membangun mikrohidro di sekitar kawasan hutan sangat besar. Asal ada air
yang mengalir dan terdapat beda ketinggian (lereng), listrik dapat dihasilkan. Secara umum potensi
air di sekitar hutan di hulu-hulu DAS ketersediaan air sepanjang tahun melimpah, dan topografi
yang bergunung-gunung memungkinkan adanya beda ketinggian (Indarto, Juwono, & Rispiningtati,
2012).
PLTMH diharapkan dapat membantu pembangunan nasional khususnya dalam penyediaan
energi listrik. Dari sisi teknis, mikrohidro merubah tenaga yang dihasilkan oleh aliran sungai kecil
mejadi energi listrik secara bersih dan ramah lingkungan. Mikrohidro sangat ideal sebagai solusi
pemenuhan energi listrik untuk daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh PLN, seperti daerah-
daerah terpencil, daerah pegunungan sekitar kawasan hutan(Kementerian Pekerjaan Umum, 2011).
220 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI
KOMISI C
Sebagian besar responden (98%) menyebutkan poin yang sama yaitu mereka merasa senang
karena listrik sudah menyalah dengan baik di rumahnya, anak mereka sudah dapat belajar pada
malam hari dengan tenang. Kehidupan malam telah berkembang seperti yang dituturkan oleh
beberapa anak pengajian di beberapa lokasi (Dusun malimbu Kab.Luwu Utara, Desa Powelua Kab.
Donggala) bahwa pada umumnya mereka hanya belajar ngaji pada waktu siang hari, namun sekarang
sudah belajar ngaji pada waktu malam hari bertempat di mesjid dan pulang kerumah masing-masing
sudah tidak takut karena jalanan sudah terang. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian (Purwanto,
2011) di Provinsi Jawah Tengah yaitu: PLTMH Desa Karangtengah dan Desa Pubasari yang secara
langsung memasok listrik kepada masyarakat berdampak nyata terhadap kehidupan perekonomian
mereka. Sehubungan dengan itu PLTMH di beberapa tempat telah dimasukkan salah satu teknologi
pembantuan PNPM (Kurniawan, Manar, & Kushadayani, 2013.).
Partisipasi masyarakat dinilai s ebagai faktor yang paling strategis dalam pencapaian tujuan
kelestarian fungsi hutan. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan di sekitarnya
dapat sukses apabila hutan mampu memberikan manfaat nyata bagi mereka dan masyarakat dapat
melihat dan merasakan langsung keterkaitan yang tegas antara kesejahteraan masyarakat dan
kelestarian hutan. Partisipasi ini muncul sebagai dampak dari hubungan timbal-balik positif hutan
dan masyarakat (Yudono, 2009). Setelah listrik menyalah di rumah masing-masing anggota, ajakan
untuk membentuk kelompok kerja sangat mudah direspon. Oleh karena mereka merasa salah satu
kebutuhan dasarnya terpenuhi sehingga arahan dan binaan yang diberikan kepada mereka sepertinya
sangat antosias menerimanya. Kelompok dibentuk untuk mempermudah komunikasi kepada semua
anggota yang bergabung. Melalui rapat kelompok ditentukan semua peraturan dan kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan kelompok. Pemilihan ketua dan pengurus kelompok serta peraturan disepakati
secara musyawarah melalui rapat kelompok. Penentuan besaran iuran bulanan dan uang muka serta
pekerjaan yang berhubungan turbin dilakukan dengan bergotong-royong (Gambar 1). Dalam kondisi
demikian disepakatilah kewajiban setiap anggota termasuk kewajiban kegiatan yang berhubungan
dengan kelestarian hutan misalnya: kewajiban menanam pohon, menjaga dan memelihara cagar
alam serta taman wisata alam.
Powelua Kab. Donggala dan SPKP (sentra penyuluhan kehutanan pedesaan) binaan BKSDA di Pulau
Buton seperti di Desa Lanosangai yang bisa menanam pohon sampai 10.000 pohon; Desa Torambia
dan Desa Labuan walio Kab. Buton Utara yang berpartisipasi menjaga, melindungi hutan suaka
margasatwa. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan oleh kelompok kerja secara swadaya. Peran
pemerintah terutama dalam pembinaan dan pendampingan serta bantuan seperti bibit tanaman
kayu-kayuan untuk memenuhi kebutuhan kayu bangunan dan kayu bakar masyarakat. Peran
ini akan semakin dikurangi dengan berjalannya waktu seiring dengan meningkatnya kesadaran
dan kemampuan masyarakat. Pembinaan dan pendampingan diberikan dalam bentuk bimbingan
melalui alih teknologi dan pelatihan serta diskusi dan pembelajaran partisipatif. Pembinaan dan
pendampingan diberikan oleh instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah (NGO).
Kegiatan pembangunan PLTMH sebagai bagian dari kegiatan kehutanan diarahkan untuk
meningkatkan komitmen masyarakat untuk memelihara hutan. Dengan kesepakatan yang dibangun
sebelum pembangunan dilaksanakan, kegiatan menanam dan atau menjaga hutan dijadikan kewajiban
yang melekat, sama halnya dengan iuran bulanan yang diatur oleh kelompok. Sebagai contoh di
beberapa tempat binaan BPK Makassar, ada kelompok pengguna turbin mempunyai kewajiban iuran
bulanan dan menanam 5 pohon per bulan (60 pohon per tahun) dan persemaiannya difasilitasi oleh
pemerintah. Penanaman pohon dan pemeliharaannya ini akan melekat selama anggota kelompok
masih men-jadi konsumen listrik. Kegiatan dan bentuk akan berbeda pada setiap lokasi tergantung
pada kelompok masyarakat yang terbentuk. Setiap kegiatan yang akan dilaksanakan oleh kelompok,
sebelum-nya ditentukan melalui musyawarah dan kesepakatan serta diputuskan melalui kelompok.
Sejak tahun 2007 BPK Makassar telah mengembangkannya dengan memfasilitasi dan
membantu berbagai instansi di daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, BKSDA, BDK,
BPDAS) untuk membangun mikrohidro dalam konsep yang utuh di berbagai tempat, baik melalui
dana APBN maupun APBD, antara lain di Kabupaten Pangkep dan Luwu Utara (Sulawesi Selatan),
Kabupaten Donggala dan Poso (Sulawesi Tengah), Kabupaten Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara),
Kabupaten Buton Utara (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Halmahera Tengah (Maluku Utara), dan
Kabupaten Kutai Timur (Kalimantan Timur). Pada tahun 2012 ada satu kegiatan kerjasama dengan
sebuah perusahaan pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara (Sulawesi Tenggara). Kisaran
biaya pelaksanaan kegiatan dengan kapasitas 10-20 KVA untuk sekitar 80-150 KK masyarakat di
sekitar hutan adalah sebesar ± 200 juta rupiah. Pada kondisi tertentu biaya dapat meningkat atau
berkurang tergantung pada disain unit turbin, kondisi fisik lokasi (debit air, beda tinggi, panjang
saluran, dan lain-lain) dan panjang jaringan kabel (jarak dari unit turbin ke pemukiman). Rancangan
turbin dilakukan pada workshop BPK Makassar (lihat gambar 2).
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH) adalah turbin yang dapat dibuat oleh
masyarakat dibangun berpasangan dengan dinamo secara gotong royong dengan menggunakan
tenaga aliran air yang bersumber dari kawasan hutan dan merupakan bentuk pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (community based forest management). Pemanfaatan listrik tenaga air skala
kecil (listrik mikrohidro) sangat membantu masyarakat di daerah hulu DAS yang masih jauh dari
jangkauan listrik PLN dan juga ramah lingkungan. Dengan biaya yang relatif murah, kehutanan
dapat mengoptimalkan hasil air dari hutan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan dan
menjadi perekat masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan demi kelangsungan suplai air sebagai
sumber pembangkit listrik mereka.
Berdasarkan analisis kegiatan pembangunan PLTMH di beberapa lokasi oleh peneliti bidang
konservasi sumberdaya alam Balai Penelitian Kehutanan Makassar yang bekerjasama dengan pihak
lain berhasil memotivasi masyarakat untuk membantu pemerintah melestarikan fungsi hutan dengan
imbalan saling menguntung (simbiose mutualistis) secara nyata. Disarankan PLTMH menjadi salah
satu pilihan utama untuk membangun kesejahteraan masyarakat yang bermukim sekitar hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. (2013). Knowledge Management System Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro.
Politeknologi, Vol.12 No 2(Depok, Jakarta), 7.
Asdak.C. (1995). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Badan Planologi Kehutanan. (2007). Identifikasi desa dalam ka-wasan hutan. Kerjasama Pusat
Rencana dan Statistik Kehu-tanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik
Pertanian, Badan Pusat Statistik. Jakarta: Badan Planologi Kehutanan.
Direktorat Jenderal Planologi. (2009). Identifikasi desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Kerjasama, Departemen Kehu-tanan dengan Badan Pusat Statistik. Jakarta: Direktorat Jen-
deral Planologi Kehutanan.
Dep. Kelautan Dan Perikanan Kerjasama Pt. Bina Marina. (2006). Panduan Pengambilan Data Dengan
Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) Dan Participatory Rural Appraisal (PRA) (Vol. 2). Jakarta:
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
IMIDAP. (2009). Pedoman Studi Kelayakan Mekanikal Elektrikal. Jakarta: Direktorat Jenderal Listrik
dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Indarto, A., Juwono, P. T., & Rispiningtati. (2012). Kajian Potensi Sungai Srinjing Untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Brumbung Di Kabupaten Kediri. Jurnal Teknik Pengairan,
Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Bawijaya, Malang, Volume 3, Nomor
2, , hlm 174–184.
Kurniawan, D. T., Manar, D. G., & Kushadayani. (2013.). Inovasi Pemberdayaan Masyarakat
Perdesaan Studi Kasus Pada Unit Pengelola Kegiatan (Upk) Dalam Pelaksanaan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri Perdesaan (Pnpmmpd) Kecamatan Wonosalam
Kabupaten Demak. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 2, Nomer 2.
Purwanto. (2011). Analisis Finansial Dan Ekonomi Pembangkit Listrik Mikrohidro Di Berapa Lokasi,
Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 8 (4)
,(Bogor), 251 - 264.
Yudono, H. (2009). Microhidro , Energi Listrik Terbarukan untuk masyarakat sekitar hutan,
Membangun Desa Mandiri Energi dengan Hasil-Air dari Kawasan Hutan (M. K. Sallata &
H.Yusuf Eds.). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
ABSTRAK
Metode penelitian ini disusun berdasarkan pengambilan sampel masyarakat sekitar kawasan
menggunakan metode purposive sampling. Data yang diperoleh dari masyarakat sekitar dianalisis
menggunakan analisis regresi linear berganda dengan variabel dependent (Y) adalah pengembangan
ekowisata dan variabel independent (Xi) yaitu umur, mata pencaharian, tingkat pendapatan, jumlah
tanggungan, persepsi masyarakat tentang panorama dan fasilitas kawasan, serta tingkat pendidikan
masyarakat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari sekian banyak faktor-faktor sosial yang ada seperti
umur, pekerjaan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, persepsi masyarakat tentang panorama
alam dan fasilitas kawasan, serta tingkat pendidikan masyarakathanya dua yang berpengaruh
nyata terhadap pengembangan kawasan yaitu persepsi masyarakat tentang panorama alam dan
tingkat pendidikan masyarakat. Sedangkan variabel independent seperti umur, mata pencaharian,
tingkat pendapatan, jumlah tanggungan danpersepsi masyarakat tentang fasilitas kawasantidak
berpengaruh nyata terhadap pengembangan di objek wisata air terjun. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor sosial masyarakat berpengaruh nyata terhadap pengembangan kawasan wisata Air Terjun
Lasolo dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat sekitar kawasan masih relatif sedang. Prospek
pengembangan kawasan wisata Air Terjun Lasolo perlu adanya penambahan fasilitas, melibatkan
masyarakat sekitar kawasan dengan memperhatikan konsep sustainable tourism development dan
low impact and low energi.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan ekowisata, kawasan hutan
tropika yang tersebar di kepulauan yang sangat menjanjikan untuk ekowisata dan wisata khusus.
Kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai kawasan wisata yang berbasis lingkungan adalah
kawasan pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam), Kawasan
Suaka Alam (Cagar Alam, Suaka Margasatwa) melalui kegiatan wisata alam terbatas, serta Hutan
Produksi yang berfungsi sebagai wana wisata.
Salah satu bentuk pemanfaatan hutan secara tidak langsung adalah pemanfaatan jasa
lingkungan hutan. Jasa lingkungan yang dapat digunakan bermacam-macam seperti fungsi
penyimpan karbon, pengatur kestabilan iklim dan wisata. Dari ketiga bentuk tersebut yang secara
praktis dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adalah suatu pengelolaan wisata. Pada beberapa
kawasan Tahura, pelaksanaan program wisata sudah banyak dilakukan namun seringkali tidak
ada atau sedikit saja pelibatan dari masyarakat, yang semestinya melalui kegiatan wisata ini
masyarakat dapat mengambil keuntungan secara ekonomi sekaligus mengurangi ketergantungan
terhadap pemakaian sumberdaya fisik kawasan. Untuk itu dibutuhkan suatu bentuk wisata dimana
masyarakat bukan hanya menjadi obyek namun juga menjadi subyek dari kegiatan wisata tersebut.
Taman Hutan Raya Nipa-Nipa yang merupakan salah satu kawasan ekowisata berada di
Kawasan pegunungan Nipa-Nipa, Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Tahura tersebut merupakan
salah satu dari 16 kawasan konservasi alam yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Luas taman hutan
raya ini sekitar 7.877,5 ha dan berada pada ketinggian 25-500 m dari permukaan laut (dpl) yang
meliputi wilayah administrasi Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara (Wardaya,
et.al., 2010). Kawasan Tahura Nipa-Nipa memiliki berbagai kawasan wisata alam, salah satunya
yaitu Air Terjun Lasolo yang berada di Kelurahan Sanua Kecamatan Kendari Barat.Keberadaan obyek
wisata Air Terjun Lasolo merupakan salah satu obyek wisata yang memberikan nilai tersendiri
dari keindahan panorama yang dimilikinya, yang letaknya tidak jauh dari dari pemukiman warga
masyarakat sekitar Hutan Tahura Nipa-Nipa. Dalam rencana pengembangan ekowisata Air Terjun
Lasolo, keberadaan masyarakat tersebut mempunyai peranan pentingdalam pembangunan ekowisata
yang berbasis kerakyatan.
Untuk itu diperlukan penelitian mengenai hubungan antara faktor-faktor sosial terhadap
pengembangan ekowisata Air Terjun Lasolo di Kelurahan Sanua Kecamatan Kendari Barat agar
kegiatan wisata di Kelurahan Sanua tersebut dapat berjalan sesuai harapan dari masyarakat dan
tetap memperhatikan aspek kelestarian Tahura Nipa-Nipa.
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor sosial masyarakat sekitar
Tahura yang mempengaruhi pengembangan ekowisata Air Terjun Lasolo dan mengetahui adanya
hubungan faktor-faktor sosial masyarakat sekitar Tahura terhadap pengembangan ekowisata Air
Terjun Lasolo di Kelurahan Sanua Kecamatan Kendari Barat.
C. Kegunaan
Kegunaan penelitian ini adalah diperolehnya data mengenai potensi ekowisata Air Terjun
Lasolo di Kelurahan Sanua Kecamatan Kendari Barat dan sebagai bahan informasi bagi penelitian
selanjutnyayang berkaitan dengan penelitian ini.
KAJIAN PUSTAKA
Kawasan wisata alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun
perairan dengan mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis
satwa dan ekosistem (Suwantoro, 1997dalam Widjanarko dan Wismar’ein, 2011).
Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami maupun
buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk
menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama
yaitu; keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi
dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung
memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam,
intelektual dan budaya masyarakat lokal (Satria, 2009).
Eplerwood (1999) dalam Fandeli (2000), mengatakan bahwa di dalam pemanfaatan areal alam
untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan
ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini
jangan justru dibalik. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada
masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraannya.
Pitana (1997) dalam Amiani (2008) mengatakan bahwa paradigma pariwisata kerakyatan
adalah berarti pembangunan yang mempunyai keberpihakan kepada rakyat, atau mengutamakan
kepentingan rakyat. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi
masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari
jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dan
lain-lain
Penduduk lokal berperan sebagai subjek dan objek dalam pengembangan ekowisata. Sebagai
subyek, pola pikir, kelembagaan lokal dan kearifan penduduk lokal dapat diadopsi dalam proses
perencanaan. Penduduk lokal juga dapat berperan aktif, melalui peningkatan pendidikan dan
keterampilan, dalam ragam kegiatan ekonomi jasa ekowisata. Sebagai objek, penduduk lokal dan
lingkungannya memerlukan sentuhan pengelolaan agar tercapai tujuan upaya-upaya konservasi
dan menghasilkan aliran manfaat bagi banyak pihak. Perlu diciptakan kebijakan yang mampu
menyeimbangkan atau memelihara aliran manfaat kepada penduduk lokal. Mereka perlu diberikan
kesempatan aktif mengidentifikasi, mengolah dan menjual produk dan jasa wisata yang khas
sesuai dengan lingkungannya. Sajian budaya lokal, dengan kemasan spesifik, merupakan sumber
ilmu pengetahuan yang sangat berarti bagi pengunjung. Partisipasi penduduk lokal, menghasilkan
kesempatan kerja dan sumber pendapatan sebagai unsur penting kesejahteraan masyarakat.
Interaksi penduduk lokal dan pengunjung juga memberi dampak positif dalam hal kesepahaman
budaya (Nugroho, 2011).
Penelitian ini telah dilakukandi kawasan Ekowisata Air Terjun Lasolo di Kelurahan Sanua
Kecamatan Kendari Barat, penelitian dilakukan pada bulan September-oktober 2012.
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalahalat tulis-menulis dan kamera
digital dan kuisioner.
C. Metode Penelitian
Penelitian diawali dengan melakukan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Pertama mencari literatur mengenai kawasan atau lokasi
penelitian, baik potensi kawasan maupun panorama atau keindahan kawasannya. Setelah itu
mengumpulkan data dari masyarakat sekitar kawasan wisata Air Terjun Lasolo melalui wawancara
untuk mendapatkan faktor-faktor sosial yang akan diteliti, penentuan sampel dilakukan dengan cara
purposive sampling (sengaja) sebanyak 40 KK. Setelah itu kemudian faktor-faktor sosial tersebut
diolah ke dalam analisis data yang menggunakan analisis regresi linear berganda dimana tujuannya
untuk mengetahui adanya pengaruh faktor sosial terhadap pengembangan kawasan ekowisata.
D. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif cara mengumpulkan data primer
lalu dikelompokkan ke dalam tabulasi menurut kecenderungan jawaban dari responden berdasarkan
aspek-aspek yang diteliti lalu menyajikan deskripsi tentang kaitan antara satu aspek dengan aspek
lainnya dan analisis regresi analisis yang bertujuan untuk menentukan model yang paling sesuai
untuk pasangan data serta dapat digunakan untuk membuat model dan menyelidiki hubungan antara
dua variabel atau lebih. Dalam pengolahan datanya menggunakan program SPSS (Statistical Product
and Service Solution).
Untuk mengetahui sejauh mana dari faktor-faktor sosial yang berhubungan dengan
keterkaitan antara pengembangan obyek wisata berdasarkan persepsi masyarakat pada kawasan
wisata tersebut, maka dapat dilakukan pendekatan dengan analisis regresi linear berganda antara
pengembangan ekowisata dengan faktor-faktor tersebut.
Y = a + b1X1+b2X2+…+bnXn
Dengan,
Y = Pengembangan Ekowisata
a = konstanta
b1,b2,bn…. = Koefisien regresi
X1 = Umur
X2 = Pendapatan
X3 = Pekerjaan
X4 = Jumlah tanggungan keluarga
X5 =Persepsi masyarakat terhadap fasilitas
X6 =Persepsi masyarakat terhadap panorama alam
X7 = Tingkat pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat bahwa jumlah responden yang memiliki pekerjaan
sebagai pedagang sebanyak 52,5%, swasta sebanyak 27,5%, swasta sebanyak 37,5%, sedangkan
untuk mahasiswa/pelajar dan PNS masing-masing sebanyak 5% saja.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 229
KOMISI C
Tabel 3 menunjukkan jumlah responden yang berpenghasilan perbulan pada < Rp 1.000.000
sebanyak 70%, berpenghasilan antara Rp 1.000.000 – 2.000.000 sebanyak 22,5% dan yang
berpenghasilan antara Rp. 2.000.000 – 3.000.000 sebanyak 7,5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga responden diperoleh sebanyak
22,5% yang mempunyai tanggungan 1 – 3 orang, sebanyak 47,5% yang mempunyai tanggungan
4 – 6 orang, sebanyak 7,5% yang mempunyai tanggungan > 6 orang, dan sebanyak 22,5% yang
belum berkeluarga. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa jumlah tanggungan yang terbanyak oleh
masyarakat setempat paling banyak berjumlah besar yaitu 4-6 orang. Sehingga dengan banyaknya
jumlah tanggungan yang ada pada suatu keluarga mengakibatkan semakin banyak pula biaya hidup
yang dibutuhkan.
Berdasarkan hasil yang didapat pada Tabel 12, terlihat bahwa menurut masyarakat sekitar
keadaan atau kondisi dari kawasan wisata tersebut masih cukup bagus sebanyak 40%, yang
mengatakan masih bagus sebanyak 22,5% sedangkan yang mengatakan sudah jelek sebanyak 37,5%.
Berdasarkan hasil yang didapat pada Tabel 13, terlihat bahwa menurut masyarakat sekitar
keadaan fasilitas atau sarana dan prasarana kawasan wisata tersebut masih cukup bagus sebanyak
12,5%, sedangkan yang mengatakan sudah jelek sebanyak 87,5%.
Berdasarkan hasil Tabel 14 diketahui bahwa tingkat pendidikan yang ada pada masyarakat
sekitar kawasan masih relatif tinggi ini dibuktikan dari tingkat pendidikan terakhir masyarakat
sekitar rata-rata tamat SMA. Hal ini terlihat dari Tabel 14 bahwa yang tamat SMA sebanyak 23
orang dengan persentase sebesar 57,5%., tidak sekolah sebanyak 1 orang dengan persentase 2,5%,
SD dan SMP memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak 7 orang dengan persentase 17,5%, dan yang
melanjutkan ke perguruan tinggi sebanyak 2 orang dengan persentase 5%.
Untuk menganalisis pengaruh variabel bebas (X) seperti umur, tingkat pendapatan, pekerjaan,
jumlah tanggungan keluarga, persepsi masyarakat tentang panorama alam dan keadaan fasilitas
kawasan, serta tingkat pendidikan masyarakat terhadap variabel terikat (Y) yaitu pengembangan
ekowisata dengan model regresi linear berganda digunakan alat analisis software SPSS 16.0 hasil
analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda dan Hubungan Faktor Sosial Masyarakat Terhadap
Pengembangan Kawasan Wisata Air Terjun Lasolo
Berdasarkan hasil analisis regresi berganda tersebut diatas menunjukkan bahwa nilai R2 =
0,725 artinya sebesar 72,5% variasi pengembangan di obyek wisata air terjun dipengaruh oleh variasi
variabel jumlah umur, jumlah mata pencaharian, jumlah tingkat pendapatan, jumlah tanggungan
keluarga, jumlah tingkat pendidikan, persepsi masyarakat tentang fasilitas dan panorama alam
kawasan wisata Air Terjun Lasolo, sedangkan sebesar 27,5% dipengaruhi oleh variasi variabel lain
yang tidak dimasuk dalam model.
Hasil analisis koefisien regresi yang diperoleh sangat bervariasi, seperti ditunjukkan oleh
persamaan garis regresi linier berganda sebagai berikut :
Y=3,129-0,024X1+0,075X2-0,024X3+0,062X4+0,083X5-0,152X6+ 0,421X7
Hasil analisis uji t-hitung secara parsial antara variabel dependent (Y) dengan variabel
independen (Xi) masing-masing diperoleh hasil koefisien sebagai berikut :
Pada persamaan garis regresi linier berganda tersebut, dapat diartikan bahwa setiap
variabel independent mempunyai pengaruh bervariasi.Kenyataan demikian dapat disimpulkan
bahwa variabel independent tersebut memiliki pengaruh terhadap terjadinya variasi terhadap
pengembangan ke objek wisata air terjun, namun setiap variabel besar pengaruhnya berbeda-beda.
Oleh karena itu untuk mengetahui kuat lemahnya pengaruh tersebut dilakukan uji signifikansi t
terhadap setiap koefisien regresi.
Hasil uji Analisis of Variance (ANOVA) diperoleh nilai Fhitung sebesar 12,040 signifikan pada
tingkat kesalahan 5%, yang menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel independent
berpengaruh nyata terhadap pengembangan obyek wisata air terjun.
Berdasarkan hasil uji signifikan t terhadap koefisien regresi secara parsial menunjukkan
bahwa ketujuh variabel independent tersebut, terdapat dua variabel independent yang menunjukkan
t-hitung dengan derajat kepercayaan (confidence level) tinggi yaitu X6 = -2,299% dengan signifikan
t = 0,028 dan X7 = 7,455 dengan signifikan t = 0,000. Selanjutnya lima variabel independent lainnya
memiliki t-hitung dengan derajat kepercayaan (confidence level) sangatrendah yaitu X1 = -0,320%
dengan signifikan t = 0,751, X2 = 1,504% dengan signifikan t = 0,142, X3 = -0,301% dengan signifikan
t = 0,765, X4 = 0,719% dengan signifikan t = 0.47, serta X5 = 0,447% dengan signifikan t = 0,658.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, terkait hubungan anatara faktor sosial masyarakat
terhadap pengembangan kawasan wisata maka faktor yang paling berpengaruh secara nyata (dengan
kepercayaan lebih atau sama dengan 95%) terhadap pengembangan kawasan ekowisata (Y) adalah
persepsi masyarakat tentang panorama alam kawasan wisata Air Terjun Lasolo (X5) dan tingkat
pendidikan masyarakat (X7).
Untuk variabel independent yakni umur (X1), pekerjaan (X2), tingkat pendapatan (X3),
jumlah tanggungan (X4), dan persepsi masyarakat tentang fasilitas kawasan (X5) yang memiliki nilai
signifikan t terlalu besar (lebih besar dari derajat kepercayaan yang ditetapkan yaitu 5% atau kurang
dari 95%), maka tidak berpengaruh secara nyata pada terjadinya variasi terhadap pengembangan di
objek wisata air terjun. Ini terbukti bahwa variabel umur (X1), pekerjaan (X2), tingkat pendapatan
(X3), jumlah tanggungan (X4), dan persepsi masyarakat tentang fasilitas kawasan (X5) merupakan
faktor-faktor sosial yang tidak berpengaruh terhadap pengembangan (Y) di objek wisata air terjun.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pengembangan ekowisata secara nyata adalah persepsi
masyarakat tentang panorama alam dan tingkat pendidikan masyarakat.
2. Hubungan antara faktor sosial masyarakat terhadap pengembangan ekowisata dengan tingkat
korelasi yang sangat tinggi yaitu persepsi masyarakat tentang panorama alam dengan signifikan
t= 0.028 dan tingkat pendidikan masyarakat dengan signifikan t= 0.000 dengan tingkat
kepercayaan 95%, sedangkan untuk umur, pendapatan, pekerjaan, tanggungan, dan persepsi
tentang fasilitas tidak berpengaruh nyata. Hal ini membuktikan bahwa faktor sosial masyarakat
mempengaruhi pengembangan kawasan wisata Air Terjun Lasolo.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang telah diperoleh, terdapat beberapa saran sebagai berikut:
1. Pemerintah Kota Kendari bersamaKantor Balai Tahura Nipa-Nipa sebagai pengelola kawasan
wisata Air Terjun Lasolo agar lebih meningkatkan infrastruktur wisata sehingga menghasilkan
manfaat yang dapat dirasakan oleh semua pihak.
2. Program pengembangan kawasan wisata Air Terjun Lasolo ke depan perlu melibatkan masyarakat
setempat dengan cara melakukan sosialisasi dan memberikan pendidikan konservasi dengan
tetap memperhatikan konsep sustainable tourism development yang berwawasan low impact and
low energy.
3. Perlu adanya penambahan fasilitas pada kawasan wisata dengan partisipasi dari pihak swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Amiani, Dini, N,. 2008. Pengembangan Ekowisata Yang Berbasis Masyarakat Menuju Pariwisata
Berkelanjutan di Kelurahan Serangan, Bali. Ringkasan Tesis. Jurnal Kepariwisataan Indonesia.
(http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3208330339.pdf)
Arikunto, Suharsimi,. 2005. Manajemen Penelitian Edisi Revisi. Rineka Cipta. Jakarta
Flamin, A. 2005.Analisis Sosiodemografi dan Psiokografi Wisatawan Terhadap Obyek Daya Tarik
Taman Wisata Alam Bantimurung. Tesis Program Studi Kehutanan Kelompok Ilmu-Ilmu
Pertanian. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Latupapua, Th Yosevita., 2008. Study Potensi Kawasan dan Pengembangan Ekowisata di Tual
Kabupaten Maluku Tenggara. Fakultas Pertanian Universitas Patimura. Ambon
Satria, Dias,. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal Dalam Rangka
Program Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Kabupaten Malang. Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya. Malang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990.Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.(http://www.Indonesianforest.com) diakses tanggal 15 juni 2012
Wahyono, Teguh. 2012. Analisis Statistik Mudah dengan SPSS 20.PT Elex Media Komputindo.
Jakarta.
Wardaya, Darmayanti, S.A, Tarmudji, Suef, A, dan Waluyo, B,.2010. Laporan Kegiatan Eksplorasi
Flora di Kawasan Taman Hutan Raya Nipa-Nipa (MURHUM) Kodya Kendari Provinsi Sulawesi
Tenggara.UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi Pasuruan. Jawa Timur.
ASYSYIFA, S.HUT, M.P. 1), Ir. Hj. FONNY RIANAWATI, M.P. 1) ,ADITIA RISANDI 1),
Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani
KM 36 Kotak Pos 19, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
ABSTRACT.
The resources of the natural resources which are essential for the survival of the human and
the opening of the land often lacking tact. In connection with the environment minister regulation
no. 10 (2010) chapter 3 of article 2, paragraph (1) that caretaker business and or activity which
exploit the forest and land to make PLTB (Pembukaan Lahan Tanpa Bakar)/ zero burning policy. He
hoped that the farm and fishery perpartisipasi on the technology.
Because of that, the study is to analyze the participation gapoktan technology PLTB
(Pembukaan Lahan Tanpa Bakar). This research was conducted in the village of Telaga Langsat, Sub-
district of Takisung, Tanah Laut Regency during the months of November 2013 through January
2014. The method used in this research are method of descriptive.
Based on the information collected interview that technological innovations PLTB came to
farmers, it very well could be seen from 73% of the respondents said it is aware of the socialization and
87% of respondents agreed with technological innovation.The interests of the farmers technological
innovations PLTB is very large, because they realize that it is a better and more effective. It is seen
from the 90% he interested in technological innovation PLTB. There is a great concern among others
the science of agriculture to share knowledge to a griculture and the other as a result they now, it can
be seen from the farmers get other people to feel the benefits of technologies that 100%.
ABSTRAK.
Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan
hidup manusia tetapi pemilihan teknologi pembukaan lahan seringkali kurang bijaksana.
Sehubungan dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 (2010) Bab II Pasal 3
ayat (1) yaitu Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan hutan dan/atau lahan
wajib melakukan PLTB (Pembukaan Lahan Tanpa Bakar) maka diharapkan para pelaku perkebunan
dan pertanian perpartisipasi pada teknologi tersebut.
Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tingkat partisipasi gapoktan terhadap
teknologi Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Penelitian ini di lakukan di Desa Telaga Langsat
di Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, selama bulan Nopember 2013 sampai dengan
Desember 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Berdasarkan hasil wawancara yang didapat bahwa informasi tentang inovasi teknologi (PLTB)
sudah sampai kepada para petani, sudah sangat baik dapat dilihat dari 73% responden menyatakan
mengetahui informasi tersebut dari kegiatan sosialisasi dan 87% responden setuju dengan inovasi
teknologi tersebut. Sedangkan minat petani terhadap inovasi teknologi (PLTB) tersebut sangat besar,
karena mereka menyadari bahwa teknologi tersebut lebih baik dan lebih efektif, ini terlihat dari 90%
menyatakan berminat terhadap inovasi teknologi (PLTB). Adanya kepedulian yang sangat baik antar
sesama pelaku pertanian untuk membagi ilmu dan pengetahuan kepada pelaku pertanian yang lain
dari hasil yang sudah mereka rasakan, ini dapat dilihat dari pernyataan para petani mengajak warga
yang lain agar juga merasakan manfaat dari teknologi tersebut sebanyak 100%.
PENDAHULUAN
Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan
hidup manusia karena diperlukan dalam kegiatan manusia terutama pada bidangpertanian khususnya.
Tetapi pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan
aspek yang lainnya. Seperti pada sistem perladangan berpindah yang menggunakan metode
pembakaran dalam pembukaan lahannya. Perladangan berpindah merupakan titik awal kearifan
lokal masyarakat di dalam memanfaatkan lahan untuk kegiatan pertanian. Perkembangan sistem ini
dari waktu ke waktu akhirnya berubah menjadi suatu tradisi (Hafizianor, 2003).
Sehubungan dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010
Tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan
Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan Bab II Pasal 3 ayat (1) yaitu Penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan yang memanfaatkan hutan dan/atau lahan wajib melakukan PLTB (Pembukaan Lahan
Tanpa Bakar) zero burning policy (PermenLH nomor 10, 2010).
Pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada areal perusahaan perkebunan/
kehutanan relatif lebih mudah, karena aturan pelaksanaan dalam Peraturan Mentri Pertanian
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang termuat pada Bab III
Pasal 15 Ayat (k) yaitu, Pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk
melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran. Telah ditetapkan
oleh pemerintah sehingga segala bentuk penyimpangan akan mudah dikontrol dan pemberian sanksi
dengan lebih tegas (Permentan nomor 26, 2007).
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah pembakaran lahan yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia dari teknologi pembukaan lahan, maka dari itu partisipasi
kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan sangat diperlukan untuk ikut serta memulai penerapan
teknologi Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB), sehingga mendorong masyarakat lain untuk ikut
serta menerapkan teknologi pengelolaan lahan yang diusahakan dapat dilakukan tanpa bakar.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman
gapoktan Telaga Langsat Kecamatan Takisung tentang penerapan teknologi pembukaan lahan
tanpa bakar, dan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat Desa Telaga Langsat
Kecamatan Takisung khususnya gapoktan terhadap teknologi pembukaan lahan tanpa bakar.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran, data atau informasi
kepada Instansi terkait, khususnya Dinas Kehutanan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA), dan masyarakat setempat untuk mengetahui bagaimana partisipasi dan pemahaman
masyarakat pelaku usaha perkebunan/petani khususnya gapoktan dalam teknologi pembukaan
lahan tanpa bakar yang sudah dicanangkan oleh pemerintah.
Data variabel Tahap minat/ Interesting berikut peneliti menggali informasi apakah responden
sudah mulai menaruh minat terhadap ide/inovasi tentang teknologi PLTB yang sudah diatur
pemerintah sebagai syarat pembukaan lahan.
Data Variabel Tahap Percobaan/ Trial peneliti menggali informasi apakah responden mulai
menerapkan inovasi tersebut setelah mengetahui dan berminat untuk ikut berpartisipasi dalam
penerapan teknologi PLTB.
Data variabel Tahap Partisipasi dimana sasaran sudah yakin dengan inovasi teknologi PLTB
tersebut dapat berguna terhadapatnya kemudian sasaran menggunakan inovasi tersbut.
B. PEMBAHASAN
Pemerintah melalui Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan telah melakukan
sosialisasi melalui media masa dan pertemuan langsung kepala pelaku perkebunan melalui kegiatan
sosialisasi tentang pelaksanaan PLTB dimaksud, sehingga diharapkan masyarakat pelaku usaha
perkebunan menyadari dan mau melaksanakan pembukaan lahan tanpa bakar untuk menghindarkan
terjadinya kebakaran lahan dan kebun yang dapat menimbulkan asap lintas batas.
Pada gambar 1 (Tahap Mengetahui dan Memahami) peneliti menggali informasi apakah
sasaran/responden sudah mengetahui dan menyadari tentang inovasi teknologi PLTB yang sudah
diatur pemerintah untuk syarat pembukaan lahan pertanian dan perkebunan khusunya. Untuk
mengetahui lebih rinci gambaran tahap mengetahu dan menyadari respoden terhadap kegiatan PLTB
dapat di lihat pada gambar 1.
Berdasarkan dari gambar 1 dapat di lihat bahwa 73% responden menyatakan tahu, ternyata
masih ada responden yang belum mengetahui secara jelas tentang inovasi teknologi PLTB tersebut
sebesar 27%, padahal informasi tersebut merupakan hal wajib untuk mereka ketahui sebagai
pelaku pertanian dan sudah tergabung kedalam kelompok tani dan gabungan kelompok tani Langsat
Membangun.
Sebanyak 60% responden menyatakan bahwa informasi tersebut didapat dari kegiatan
penyuluhan/Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Pertanian, 13% dari media masa dan 27% dari
teman/kerabat sesama petani. Dari persentase tadi dapat disimpulkan bahwa informasi tentang
program PLTB dari pemerintah sudah disampaikan secara langsung melalui kegiatan penyuluhan
dan sosialisasi kepada para pelaku pertanian/Kelompok Tani. Adanya kegiatan rutin berupa
pertemuan antar kelompok tani yang diatur oleh dinas pertanian menjadi wadah dan sarana untuk
menyampaikan berbagai informasi yang berhubungan dengan pertanian dan perkebunan sehingga
dapat disampaikan dan diterima dengan baik oleh para petani, ini terlihat dari anggota kelompok
tani yang terlibat langsung pada kegiatan tersebut menyatakan setuju sebanyak 87% lebih dari
setengah responden. Kekurang tahuan para petani terhadap informasi tersebut ternyata berdampak
pada pernyataaan kurang setuju sebanyak 13%, pada lampiran hasil rekapitulasi jawaban responden
ternyata sebagian mereka yang memperoleh informasi dari media massa khusunya TV tidak
memperoleh penjelasan secara terperinci perihal informasi tersebut hanya mengetahui ancaman
hukuman bagi warga yang melakukan pelanggaran/pembakaran lahan sehingga mereka merasa
terbebani dengan adanya hukuman tanpa mengerti tujuan yang sebenarnya dari inovasi teknologi
PLTB tersebut. Hal ini dikarenakan kesadaran dari sebagian anggota kelompok tani untuk ikut serta
dalam kegiatan penyuluhan tersebut masih kurang sehingga mereka mengabaikan kegiatan-kegiatan
yang sebenarnya sangat bermanfaat untuk menunjang kesejahteraan dan menambah pengetahuan di
bidang mereka sebagai petani.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa jauh lebih banyak anggota petani sudah
mengetahui dan menyadari inovasi teknologi PLTB dan dapat disetujui oleh masyarakat pelaku
pertanian khusunya di desa telaga langsat sehingga seharusnya akan timbul minat dari para petani
untuk meninggalkan inovasi yang lama dan beralih ke inovasi ini yang labih baik.
Tahap ini bertujuan untuk mengetahui persentase minat anggota tani untuk ikut berpartisipasi
menerapkan inovasi teknologi PLTB. Sehubungan dengan buku pedoman Pembukaan Lahan Tanpa
Bakar (PLTB) yang dikeluarkan pemerintah sehingga dianjurkan oleh Dinas Pertanian dilakukan
oleh petani dengan cara Manual, Mekanis, dan Kimiawi sehingga diharapkan para petani tetap tidak
membakar lahan untuk pembukaannya.
Berdasarkan dari gambar 2, 90% responden menyatakan bersedia untuk mengikuti petunjuk
karena mereka menyadari teknologi tersebut merupakan teknologi yang lebih baik dan berharap
dengan teknologi tersebut dapat mensejahterakan dan meningkatkan perekonomian mereka. 10%
lainya dari responden menyatakan bersedia tetapi tidak mengikuti petunjuk, mereka berpendapat
bahwa setiap orang memiliki kemampuan dan keahlian masing-masing berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan, sehingga tidak harus berpedoman dengan aturan pemerintah dan yang paling penting
mereka melakukan pembukaan lahan tidak dengan bakar. Ini merupakan dampak dari berkurangnya
kepercayaan sebagian masyarakat kepada aturan pemerintah pemerintah khususnya di bidang
pertanian.
Pada umumnya minat terhadap suatu inovasi akan timbul apabila inovasi tersebut diketahui
memiliki keuntungan-keuntungan yang lebih baik dari berbagai aspek pada inovasi sebelumnya.
Pada bab II sudah dijelaskan berbagai keuntungan yang didapat dari terapan teknologi ini diantaranya
adalah inovasi ini merupakan teknologi yang ramah lingkungan. 80% responden sudah menyadari
bahwa inovasi ini lebih baik karena tidak menimbulkan asap pemicu penyakit dan mengganggu
lahan milik petani yang lain sehingga mengurangi resiko terjadinya kerugian akibat dari ganti
rugi kerusakan tanaman petani yang lain, mereka menyadari akibat dari pembukaan lahan sangat
berpengaruh pada kesuburan tanahnya. Kemudian 20% sisanya menyatakan keuntungan yang
didapat dari teknologi tersebut adalah kayu-kayu yang tidak dibakar dapat dijual atau dimanfaatkan
untuk hal yang lebih menguntungkan dan menghasilkan uang. Hal ini juga merupakan salah satu
keuntungan yang dapat langsung dirasakan oleh para petani, karena dengan tidak melakukan
pembakaran, tanaman berkayu yang berpotensi dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pertukangan
atau bahkan dapat dijual sehingga mengurangi beban baiaya dari pembukaan lahan tersebut.
Banyak sekali dampak negatif dari kebakaran lahan dan 77% dari responden mengetahui
bahwa membakar lahan dapat mengganggu ekosistem dan polusi udara sehingga akan menimbulkan
kerugian finansial maupun non finasial secara global nantinya, tetapi 23% hanya mengatahui akibat
dari pembakaran tersebut hanya merusak tanaman saja, dan nantinya tanaman tersebut akan tumbuh
dengan sendirinya, ini tentu saja masih ada kekurang tahuan dari para petani terhadap dampak dari
kebakaran lahan yang mungkin dikarenakan kurangnya usaha dan kesadaran dari para petani itu
sendiri untuk mendapat pengetahuan dan informasi dari berbagai sumber.
Pada umumnya para petani khusunya akan memperhatikan segala sesuatu sebelum
menentukan teknologi yang mereka terapkan untuk membuka lahan mereka , mulai dari biaya,
dampak dari pembukaan lahan dan lama proses, sehingga sesuai dengan kondisi dan harapan
mereka kedapan. Paragraf selanjutnya akan membahas apakah sasaran mulai menerapkan inovasi
tersebut setelah mengetahui, menyadari dan menyatakan berminat untuk ikut berpartisipasi dalam
penerapan teknologi PLTB.
Dapat di lihat pada gambar 3, 87% responden menentuan teknologi yang dipilih untuk
diterapkan adalah yang tidak merusak ekosistem, tidak merugikan orang lain dan lahan nantinya
dapat di gunakan secara berkelanjutan. 13% lainnya menyatakan akan menentukan teknologi
berdasarkan biaya yang lebih murah dan prosesnya cepat tetapi juga masih dalam konteks aman untuk
diterapkan, sehingga dapat segera dilakukan penanaman. Kemudian 50% responden menyatakan
tertarik untuk mencoba inovasi PLTB tersebut karena dirasa sesuai dengan harapan mereka dalam
pemilihan pembukaan lahan yang aman dan tidak menggangu atau merusak lahan/tanaman orang
lain. 43% lainya menyatakan ingin mencoba setelah melihat hasil yang nyata dari terapan inovasi
tersebut. Tetapi ada 7% responden yang menyatakan mungkin akan mencoba karena sudah menjadi
peraturan pemerintah, sehingga mau tidak mau harus menggunakan inovasi tersebut. Sehubungan
pada gambar 1 rekapitulasi tahap mengetahui dan menyadari diatas ada 13% responden mendapatkan
informasi minim perihal inovasi teknologi PLTB melalui media massa dimana 7% responden merasa
terpaksa untuk menyetujui inovasi tersebut karena adanya sangsi hukum yang diberikan pemerintah
kepada pelanggar sehingga ini menjadi alasan bagi sebagian responden untuk mencoba menerapkan
inovasi tersebut. Kemudian 60% menyatakan terdorong untuk mencoba inovasi PLTB karena telah
mengetahui bahwa teknologi tersebut lebih baik dan 33% selebihnya menyatakan terdorong setelah
memperoleh ilmu dari teknologi dan pengetahuan sehingga dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan
orang lain.
Upaya pemerintah dalam memberikan sangsi kepada para pelaku pelanggaran ternyata
berpengaruh pada hal yang positif dimana parapetani yang belum tau manfaat dan kurang setuju
dari inovasi PLTB akan juga tetap menerapkan inovasi tersebut karena takut akan adanya ancaman
sangsi sehingga pada akhirnya mereka menyadari keuntungan dari inovasi PLTB secara nyata.
dan dapat diterapkan pada lahan mereka yang luasnya hanya 0,5 ha. Selebihnya 47% memilih cara
mekanis dengan menyewa/menggunakan alat berat seperti hand tractor, agar pembukaan lahan
tersebut dapat lebih cepat dengan luasan lahan yang lebih besar. Cara kimia tidak menjadi pilihan
utama dari para petani karena obat-obatan yang digunakan sulit didapat, sehingga mereka hanya
menggunakan bahan kimia jenis pestisida untuk jenis liana dan rumput-rumputan saja. Setelah
mengetahui, menerapkan dan merasakan sendiri manfaat dari teknologi pembukaan lahan tanpa
bakar 100% para petani menyatakan akan mengajak warga yang lain agar juga merasakan manfaatn
dari teknologi tersebut.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil dan pembahasan adalah sebagai berikut :
1. 73% responden menyatakan cukup mengetahui dan memahami teknologi tersebut,
2. Tingkat partisipasi Gapoktan terhadap teknologi PLTB sudah baik, dapat dilihat sebanyak 90% responden
menyatakan berminat untuk menerapkan PLTB dan 100% responden menyatakan sudah pernah melekukan
PLTB di lahan pribadi maupun orang lain.
B. Saran
Sebagian anggota kelompok tani masih ada yang kurang menyadari akan pentingnya kegiatan
penyuluhan dan sosialisasi dari pemerintah maupun pertemuan/musyawarah sesama pelaku
pertanian dan perkebunan di Desa Telaga Langsat sehingga mereka ketertinggalan informasi dan
teknologi. Maka dari itu perlu adanya pemberdayaan masyarakat pelaku pertanian dan perkebunan
dari pemerintah agar mengurangi dampak dari keterlinggalan informasi dan teknologi tersebut.
Kemudian berdasarkan hasil penelitia ini, penulis menyarankan adanya penelitian lanjutan
tentang dampak sosial ekonomi dan lingkungan dari teknologi PLTB dengan teknologi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha. 2005. Pengertian Partisipasi dan Keterlibatan. Bogor.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta. (diakses tanggal, 10
Februari 2014).
Canter, 1977. Peran-serta Dalam Pencegahan Kebakaran Hutan.Deptan, 2006. Pemberdayaan
Kelembagaan Kelompok Tani. Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2006. Lusuk Itah (Membangun Informasi
Agribisnis).
file/Permentan-26-07.pdf (diakses tanggal, 18 desember 2013).
Hafizianor. 2003. Pengelolaan Dukuh Ditinjau Dari Perspektif Sosial Ekonomi dan Lingkungan. Tesis
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
http://www.slideshare.net/mureni/doc4350775 (diakses tanggal, 10 Februari 2014).
https://sites.google.com/a/skpdkalsel.co.cc/tanah-laut/kondisi-fisik diakses tanggal, 10 Februari
2014).
Istijanto. 2005. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kelembagaan DAS, 2007. Pedoman Penumbuhan Dan Pengembangan Kelompok Tani Dan Gabungan
Kelompok Tani.
Majid. R.A 1997. Pembukaan areal baru perkebunan kelapa sawit dengan teknik tanpa bakar (zero
burning).
Mardikanto Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta : University Press.
Meider, 1958. Pengertian Keterlibatan dan Peran Penting Terhadap Dampak Kebakaran. Jakarta.
Nazir, 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. (diakses tanggal, 10 Februari 2014).
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010, Tentang Mekanisme Pencegahan
Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/
Atau Lahan. http://blh.bantulkab.go.id/documents/20100615081049 permng_lh_10_2010.pdf
(diakses tanggal, 18 Desember 2013).
Peraturan Mentri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007, Tentang Syarat Dan Tata Cara Permohonan Izin
Usaha Perkebunan. http://perundangan.deptan.go.id/admin/ (diakses tanggal, 18 desember
2013).
Siti Marhamah, 2000. Partisipasi Dan Persepsi Wanita Terhadap Usaha Konservasi Tanah Dan Air
Didaerah Aliran Sungai Riam Kanan Kalimantan Selatan. Fakultas Kehutanan Unlam banjarbaru.
Supranto, J. 2003. Metode Riset. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya. http://www.slideshare.net/mureni/
doc-4350775 (diakses tanggal, 10 Februari 2014).
ABSTRAK
Penelitian dilakukan pada Januari 2012 hingga Juni 2012 di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Lokasi ini dipilih karena merupakan
daerah yang masih menerapkan pengetahuan lokal dalam mengelola hutannya hingga masih lestari
hingga saat ini. Pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
tujuan menguraikan dan memberikan penjelasan (eksplanasi), memberikan pemahaman yang
bersifat menyeluruh (komprehensif) dan mendalam (in-depth) tentang fenomena-fenomena yang
menjadi objek studi.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu daerah yang masih mempertahankan aturan – aturan adat dalam mengelola hutan
adalah Komunitas Adat Kajang yang terdapat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka
mengembangkan aturan-aturan adat yang berdasar Pasang (pesan-pesan leluhur) untuk mengatur
pemanfaatan hutan dengan sistem sentralistik yang berpusat di bawah kepemimpinan ketua adat
yang disebut Ammatoa. Pasang-Pasang yang disampaikan oleh Ammatoa mengatur hampir seluruh
aspek kehidupan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Kajang hidup dan mengatur
kehidupannya senantiasa bersandar pada Pasang, sedangkan hutan dianggap sebagai tumpuan hidup
(staff of life) dan menjadi hak milik yang paling berharga (Ibrahim, 2001).
Urgensi penelitian ini adalah penekanannya pada pengetahuan lokal masyarakat adat Kajang
dalam mengelola hutan adatnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengetahuan lokal Masyarakat Adat Kajang dalam
mengelola hutan adat. Penelitian ini diharapkan menjadi input bagi para pihak yang terkait dengan
pengelolaan hutan khususnya hutan adat.
METODE PENELITIAN
Agar dapat memberikan gambaran yang akurat dan representatif lokasi ditetapkan pada
wilayah adat di Desa Tana Toa yaitu IlalangEmbaya (kawasan inti) dan dilaksanakan selama 6 bulan.
Dua bulan pertama di lokasi penelitian dialokasikan masing-masing satu bulan untuk observasi,
mendekati sumber-sumber informasi, mengidentifikasi dan membina hubungan yang baik dengan
calon informan serta satu bulan untuk wawancara. Dua bulan selanjutnya adalah wawancara
mendalam dengan Ammatoa, tokoh adat dan tokoh masyarakat yang ada pada Komunitas Adat
Kajang dan dua bulan selanjutnya adalah observasi dan wawancara dengan stakeholder yang ada di
luar Komunitas Adat Kajang. Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan observasi, wawancara
mendalam, rekaman arsip dan dokumentasi.
Analisis data utama yang digunakan adalah analisis data kualitatif dengan langkah-langkah: reduksi
data, penyajian data, kemudian menarik kesimpulan
Komunitas Adat Kajang sebagai masyarakat lokal yang berinteraksi langsung dengan hutan
dan sumberdaya alamnya menetapkan wilayah-wilayah hutan dalam beberapa zona. Model pemba-
gian zona-zona ini berbeda dengan model pembagian zona pengelolaan kawasan konservasi. Model
zonasi kawasan konservasi dan pelestarian alam dilakukan berdasarkan data flora fauna, potensi
dan sebaran gua, serta karakteristik alam yang unik. Sedangkan hutan dalam kawasan Ammatoa
secara teknis merupakan hasil penetapan secara adat.
Hutan adat yang terdapat dalam kawasan Ammatoa dibatasi oleh empat sungai yaitu Sungai
Tuli, Sungai Limba, Sungai Doro dan Sungai Sangkala yang juga merupakan batas wilayah Ilalang
embayya (di dalam kawasan adat) dan ipantarang embayya (di luar kawasan adat).
Penggunaan batas kawasan hutan yang menggunakan sungai sebagai batas kawasan hutan
memiliki beberapa keunggulan yakni sifatnya lebih permanen, mudah didapatkan serta mudah dike-
nali oleh masyarakat.
Komunitas Adat Kajang membagi zona pengelolaan hutannya menjadi tiga bagian yakni : Zona
pertama diistilahkan sebagai borong karamaka atau hutan keramat. Konsep ini mirip dengan hutan
lindung pada pembagian wilayah hutan yang biasa diterapkan pada berbagai kawasan hutan yang
dikelola oleh negara. Zona kedua, disebut Borong Batasayya yang diartikan sebagai hutan batas atau
hutan pembatas. Pemanfaatan borong batasayya hanya bisa dilakukan untuk tujuan membangun
sarana umum dan membangun rumah. Untuk keperluan membangun rumah hanya berlaku bagi
masyarakat yang benar-benar tidak mampu. Zona ketiga disebut Borong Luarayyaatau hutan di luar.
Kawasan ini sering disebut oleh masyarakat sebagai hutan yang luas karena memang zona ini memang
kawasan ini merupakan kawasan yang luas hutannya,pada intinya merangkum semua wilayah hutan
yang dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pengetahuan tentang hidrologi pada Komunitas Adat Kajang mengikuti penggarisan tentang
arti penting dari “borong” (hutan) yang tertuang dalam Pasang:
Punna nita’bangi kajua ri boronga. Anggurangi bosi, appakaanre’i timbusu. Anjo boronga
angngontaki bosiya. Aka’na kajua appakalompo tumbusu. Napau tau rioloa
Artinya: Jika pohon ditebang di hutan. Maka akan mengurangi hujan, menghilangkan mata
air. Hutanlah yang mendatangkan hujan akar kayulah yang memperbesar mata air. Menurut pesan
orang terdahulu
Ammatoa menuturkan bahwa pohonlah yang menahan air hujan, mengalirkannya ke dalam
tanah dan selanjutnya akar-akar pohon menahan air tersebut dan mengeluarkannya dalam bentuk
mata air.
Puto Nungga, salah satu tokoh masyarakat mengemukakan bahwa dari semua mata air yang
ada di dalam kawasan adat, disekelilingnya terdapat banyak pepohonan, bahkan mata air terbesar
yang terletak di dekat pintu masuk ke kawasan adat berada persis dibawah akar pohon.
Penjelasan ini sejalan dengan ajaran Pasang bahwa Anjo boronga anggontaki bosiya. Aka’na
kajua appakalompo timbusu (hutanlah yang mendatangkan hujan, akar kayulah yang memperbesar
mata air). Pasang lain menegaskan fungsi hidrologis hutan :
Anjo boronga iya kontaki bosia. Nasaba kunni mae anre’ paenre’ ere’. Iya minjo boronga nikua
paenre’ ere. Nasaba iya nakabattui bosi
Artinya: Hutanlah yang mendatangkan air hujan. Sebab disini tidak ada pengairan. Hutanlah
yang menjadi pengairan, Karena ia didatangi oleh hujan
Pasang ini secara implisit menjelaskan tentang siklus air yang terjadi di alam semesta, serta
bagaimana peranan hutan dalam mengatur tata air sebagaimana dikemukakan Irwanto (2010).
Saat itu (2012) semut tidak bermigrasi besar-besaran menuju ke tempat yang lebih tinggi,
hal ini berarti terjadi musim kemarau yang agak panjang. Perpindahan semut pernah terjadi besar-
besaran tahun 2006 yang lalu dan memang terjadi musim hujan yang panjang sehingga beberapa
daerah di Bulukumba banjir.
Biasanya pada saat akan hujan suhu udara meningkat, masyarakat memastikan hujan akan
turun. Pada saat suhu udara sering meningkat, maka populasi nyamuk juga makin meningkat karena
telur-telur yang ada pada genangan air akan segera menetas menjadi nyamuk.
Pada saat musim hujan terjadi, populasi nyamuk akan menurun drastis karena sangat jarang
terjadi penggenangan air. Menurut Puto Palasa, daerah-daerah di ketinggian seperti di Balagana,
Sobbu, Benteng, Sapiri, Balambina tidak banyak ditemui nyamuk, masyarakat tidak perlu memakai
kelambu, selain daerah tersebut banyak terdapat nyamuk. Hal ini sesuai laporan Usop (1978) yang
melaporkan keadaan yang sama dengan penuturan Puto Palasa. Selanjutnya Puto Palasa menuturkan
bahwa jarang terdapat nyamuk pada musim hujan karena tidak ada air tergenang, semuanya
mengalir karena curah hujan yang tinggi. Pada saat populasi nyamuk sudah mulai meningkat
kembali pertanda musim hujan akan segera berakhir. Populasi yang meningkat pada Capung (Pedo’)
dan ngengat putih (beka’-beka’/pucang-pucang) juga merupakan pertanda tibanya musim hujan.
Pertanda ini kemudian dijadikan dasar bagi masyarakat untuk mulai mempersiapkan musim tanam
dari berbagai komoditi yang dikembangkannya. Menurut Azis Tambi:Ngengat putih biasanya muncul
bersamaan rayap (lintana) pada saat hujan pertama turun, karena biasanya rayap dan ngengat putih
melakukan perkawinan pada saat awal musim hujan. Indikator inilah yang dijadikan masyarakat
sebagai penanda awal musim hujan.
Lebah juga merupakan indikator yang sering dipakai oleh Komunitas Adat Kajang. Jika lebah
banyak terlihat beterbangan di sekitar pemukiman itu pertanda musim kemarau segera tiba, karena
lebah akan aktif bila musim kemarau, karena bunga-bunga bermekaran dan mengeluarkan nektar
sebagai bahan baku untuk pembuatan madu.
Banyaknya lebah madu juga merupakan pertanda tingkat keberhasilan pemanenan bahan
makanan yang kelak akan diperoleh baik berupa buah-buahan maupun biji-bijian. Menurut Puto
Palasa: pada umumnya, upacara adat dilakukan pada saat musim kemarau, karena salah satu
perangkat upacara adalah sarang lebah, yang hanya tersedia dalam jumlah cukup pada saat musim
kemarau. Makin banyak lebah maka makin banyak hasil panen karena lebah adalah penghulunya
bunga untuk mengawinkan bunga.
Beberapa gejala alam juga dijadikan oleh Komunitas Adat Kajang sebagai petunjuk iklim
bahkan hujan telah dikelompokkan menjadi beberapa jenis sesuai dengan pengamatan dan
pengalaman Komunitas Adat Kajang, (Gising, 2008)
Artinya: Menebang Kayu (pohon). Membakar Lebah. Menangkap Udang dan Menebang Rotan
Keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna merupakan kekayaan hutan yang dapat
memberikan manfaat bagi Komunitas Adat Kajang setidaknya dari empat aspek yakni ekonomi,
ekologi, kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Zoraya, 2002). Secara ekonomi hutan
memberikan manfaat baik langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Usaha tani yang
dilakukan masyarakat sangat tergantung kepada integritas ekologi hutan yang ada dalam kawasan
hutan adat, meskipun usaha tani dilakukan di luar kawasan hutan adat, tetapi eksistensi sumber air
di kawasan hutan adat merupakan faktor penentu keberadaan beberapa sungai yang ada di sekitar
kawasan hutan (Mahbub, 2010)
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Basrah, Gising 2008. Kearifan Ekologis Tu’Kajang Dalam Pengelolaan Hutan Lestari di Wilayah Adat
Kajang Kabupaten Bulukumba. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar,
Tidak Dipublikasikan.
Ibrahim, Tamzil. 2001. “Pasang”, Studi Kelembagaan Yang Menunjang Pelestarian Sumberdaya
Hutan di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Thesis
Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin. Tidak Dipublikasikan
Katu, Mas Alim. Muhtamar, Shaff (Editor), 2008. Kearifan Manusia Kajang. Pustaka Refleksi,
Makassar, Cetakan Kedua.
Mahbub, M.Asar Said. Ibrahim,Tamzil. 2010. Peranan Lembaga Adat Komunitas Ammatoa Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Pasang di Desa Tanatoa, Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian UNHAS, Makassar.
Zoraya, Andi Fatma. 2002. Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian. Bogor.
Oleh
Golar
Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu
Email: golar_untad@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendesainresolusi konflik dan model pemberdayaan
komunitas peladang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu.Metode penelitian yang digunakan
adalah studi kasus,dimana kasusnya adalah pemanfaatan lahan oleh komunitas Dongi-dongi di
kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Metode analisis yang digunakan terdiri atas analisis
spasial, analisis stakeholder (4 Rs), dan pemodelan deskriptif menggunakan software The Bridge.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dinamika pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Dongi-
dongi hingga saat ini terus berlangsung, dengan luas lokasi yang dimanfaakan hingga akhir tahun
2012 mencapai ±3.872 Ha, atau bertambah 1.8% dari luas sebelumnya ±3.804 Ha (tahun 2010).
Dari luasan tersebut,±1.455Ha (37%) merupakan kebun yang dikuasai masyarakat dandimanfaatkan
secara intensif, memiliki pola menyerupaisistem agroforestri (AF) kompleks. Di dalam pemanfatan
lahan, selain memiliki tujuan ekonomi, mereka juga memiliki tujuan sosial dan ekologis (biospheric).
Komunitas ini telah berkomitment dan siap untuk berkolaborasi dalam mempertahankan kelestarian
TNLL, asalkan mereka juga dapat diberikan ruang kelola bersama dalam mempertahankan
keberlangsungan hidup mereka di wilayah Dongi-dongi.Pola yang paling cocok diterapkan sebagai
skema pemberdayaan mereka adalah pengembangan pola agroforestri kompleks di lahan-lahan yang
telah dikuasainya.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya lahanterutama perladangan, sering dijumpai di beberapa wilayah
hutan negara, tidak terkecuali taman nasional. Aktifitas perladangan sering memicu konflik
multi pihak, terutama dengan otoritas kawasan hutan. Laju pertambahan penduduk yang memicu
kebutuhan terhadap lahan usaha pertanian/perkebunan sering dijadikan alasan rasionalnya.
Konflik terjadi bukan saja disebabkan oleh desakan kebutuhan yang terus meningkat terhadap
akses pemanfaaan lahan hutan (Wyatt, et.al., 2013; Golar et.al.,2013), namun lebih jauh disebabkan
oleh keterbatasan kemampuan pengelola taman nasional, keterbatasan data dan informasi, sarana
dan prasarana, rencana pengelolaan yang belum tersedia dan lemahnya dukungan masyarakat
(Cottleet.al., 2012; Golar dan Muis, 2009).
Di provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
dijumpai pula aktivitas perladangan yang dilakukan secara kolektif oleh komunitas masyarakat.
Satu diantaranya adalah perladangandi wilayah Dongi-dongi (Livawanti, 2012; Udin, 2001; Golar,
2010a; Golar, 2010b). Aktivitas perladangan tersebut telah berlangsung lama,tepatnya saat wilayah
ini mulai didiami dan dikelola oleh masyarakat sejak pertengahan tahun 2000. Meskipun aktivitas
perladangan di kawasan taman nasional dipandang sebagai kegiatan perambahan hutan, namun
eksistensi komunitas peladang perlu pula mendapatkan perhatian. Mereka adalah subsistem dari
sumberdaya hutan, yang juga ikut menentukan baik-buruknya pengelolaan sumberdaya hutan.
Artinya, bila dikelola dengan baik maka eksistensi mereka justeru bisa mendukung kelestarian
hutan(Wyatt, et.al., 2013; Newman, 2009).
Ragam penelitian telah dilakukan untuk mencari metode penyelesaian konflik pemanfaatan
sumberdaya hutan. Beberapa kajian menyimpulkan bahwa dibutuhkan suatu pendekatan kolaborasi
yang bersifat adaptif. Artinya, resolusi harus lahir dari hasil rumusan bersama pihak-pihak yang
terkait dengan konflik yang dihadapi, dan harus sesuai dengan karakteristik biofisik, dinamika sosial
ekonomi dan budaya masyarakat setempat (Zhang et.al., 2013; Golar et.al., 2013; Kartodihardjo,
2007; Kusumanto,2006; Borrini. et.al., 2000). Artinya, dibutuhkan satu model resolusi konflik, yang
mampu mengakomodir kepentingan multi pihak (Borrini et.al., 2000), dan mampu menciptakan
model adaptif pemberdayaan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam
secara berkelanjutan(Hammi et.al., 2010; Kusumanto, 2006).
Pendekatan kolaborasi dipandang sebagai suatu jalan menuju pengelolaan multipihak taman
nasional, yang dapat mengembangkan wadah di mana para pihak melakukan dan memerankan
aksinya secara kolektif, dalam menemukan wujud kinerja terbaik menuju pengelolaan tamam
nasional yang didukung oleh kelembagaan sosial yang kokoh (Putro, et al., 2012). Telah banyak
model pendekatan pengelolaan taman nasional yang pernah dilakukan mengarah pada manajemen
kolaborasi (Haeruman, 1999), diantaranya: Pendekatan Integrated Conservation and Development
Project (ICDP) di TN Kerinci Seblat dan TN Berbak, TNL, dan TN Lauser; Integrated Protected Areas
System (IPAS) di TN Siberut; Pendekatan Learning fir Innovaion Loan (LIL) untuk konservasi Sumber
Daya Alam Maluku.
Konsep pengelolaan tersebut memandang bahwa wilayah taman nasional merupakan bagian
terintegrasi suatu wilayah yang lebih luas, yang keberadaannya bergantung pada kepedulian
masyarakat di sekitarnya dan kepedulian lembaga, baik pemerintah, swasta dan masyarakat.
Disinilah pentingnya sebuah manajemen kolaborasi dalam mempertahankan wilayah dilindungi,
mengembangkan daerah penyangga, dan mendukung pembangunan sosial ekonomi dan budaya
masyarakat (Putro et al., 2012).
Oleh karena itu, dibutuhkan kajian mendalam yang efektif digunakan sebagai salah satu
alternative resolusikonflik Dongi-dongi di kawasan TNLL. Untuk mewujudkannya, dilakukan
analisis terhadap eksisting kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai lokasi perladangan dan peran
stakeholder terhadap pegelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Dongi-dongi. Hasil analisis
tersebut akan digunakan dalam merancang dan mengembangkan model manajemen kolaborasi-
adaptifresolusi konflik Dongi-dongi.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah:Bagaimana desain resolusi
konflik dan model pemberdayaan yang efektif diterapkan dalam konteks Dongi-dongi?
METODE PENELITIAN
Secara umum penelitianini masuk dalam kategori eksploratif. Teknik pengumpulan data
yang digunakan terdiri atas:desk evaluasi (interpretasi citra), wawancara menggunakan kuisioner
(interview) yang dipadukan dengan depth interview, diskusi kelompok terfokus (FGD), dan
pengamatan lapangan (survey lapang).Analisis data terdiri atas: analisis spasial, analisis 4 Rs, dan
Pengembangan model pemberdayaan.
Analisis Spasial
Pengukuran intensitas perladangan dan penyebarannya menggunakan analisis spasial
berbasis GIS (Arronof, 1991;Prahasta, 2002; Jaya INS,2002). Intensitas dan luasan perladangan
diperoleh dengan cara memadukan antara hasil interpretasi Citra Spot 26 Juli 2012 dengan data Citra
landast Band 452 tahun 2012.
Analisis 4 Rs
Desain kolaborasi adaptif pengelolaan konflik dianalisis menggunakan pendekatan 4Rs: Right,
Responsibility, Revenue, dan Relationship(Suporahardjo,2005). Analisis sebatas pada peran para
pihak terkait eksistensi TNLL.
Pengembangan model pemberdayaan menggunakan bantuan software The Bridge (CIFOR,
2002). Metode ini diawali dengan pengembangan visi bersama terkait konflik Dongi dongi.
Selanjutnya, visi digunakan untuk pencapaian konsensus multipihak. Dalam menjalankan strategi
untuk mencapai visi tersebut dilakukan indentifikasi komponen kekuatan, kelemahan, peluang,
dan ancaman. Pengembangan model ini sangat bergantung pada hasil analisis 4 Rs. Sebab, desain
visi yang dibangun harus lahir dari stakeholders di TNLL, yang merupakan hasil identifikasi melalui
analisis 4 Rs.Sumber data, metode, dan output yang dihasilkan disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1 Peta Perbandingan Luas Perambahan Hutan di Dongi-dongi TNLL Tahun 2010 dan Tahun
2012
Di samping itu, penerapan agroforestri pada lahan-lahan masyarakat juga merupakan salah
satu indikasi bahwa mereka telah menerapkan pola intensifikasi. Bila pola pemanfaatan lahan ini
diterapkan secara konsisten dan dapat didukung oleh teknologi agroforestri berskala lanskap, maka
akan menghasilkan nilai tambah bagi kesejahteraan mereka, sekaligus merupakan insentif dalam
mempertahankan eksistensi kawasan hutan (Wulandari, 2009; Arifin, 2009; Arifin et. al., 2008).
Kebun pekarangan
a
Dekat Pemukiman
Agrisilvikultur
c
Agrosilvopastura
d
Kebun Campuran
KESIMPULAN
1. Sebagian besar lahan-lahan yang dikuasai masyarakat telah ditanami dengan pola agroforestri, dalam
bentuk kebun campuran (mixed garden).
2. Pengembangan pengelolaan kolaborasi di Dongi-dongi sebagai upaya resolusi konflik memiliki peluang
yang sangat besar untuk dilakukan, asalkan kesetaraan peran dan tanggung jawab, serta pola relasi yang
terbangun berasal dari kesepakatan multi pihak.
3. Pola pemanfaatan lahan yang cenderung cocok diterapkan sebagai skema pemberdayaan masyarakat
adalah pengembangan pola agroforestri kompleks di lahan masyarakat, khususnya lahan okupasi
di dalam kawasan TNLL, dikuti oleh pembinaan dan pendampingan teknis secara intensif dan
berkelanjutan.
Ucapan Termakasih
1. Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dan Masyarakat Dongi-dongi
2. Komunitas Manajemen Hutan (KOMHINDO)
DAFTAR PUSTAKA
Arifin H.S., Suhardi, Wulandari, C. Sn Pramukanto, Q. 2008. Agroforestry Landscap analysis in
Mendalam River Basin, the Upper Stream of Kapuas Watershed, West Kalimantan Province,
Indonesia. Research Report, SEANAFE-ICRAF. 70pp. dalam Analisis lanskap Agoforestri,
Konsep, Metode, dan Pengelolan Agroforestri Skala Lanskap dengan Studi Kasus Indonesia,
Filipina, Laos, Thaialand, dan Vietnam. Bogor: IPB Press.
Arifin H.S. 2009. Manajemen Lanskap Pedesaan bagi Kelestarian dan kesejahteraan: dalam Analisis
lanskap Agoforestri, Konsep, Metode, dan Pengelolan Agroforestri Skala Lanskap dengan
Studi Kasus Indonesia, Filipina, Laos, Thailand, dan Vietnam. Bogor: IPB Press.
Arronof S. 1991. Geographic Information System: A management perspective. Ottawa: WDL
Publication.
Borrini-Feyerabend G., Farvar MT., Nguinguiri JC., Ndangang VA. 2000. Co-management of natural
resources: organising, negotiating and learning-by-doing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag,
Heidelberg Germany.
CIFOR. 2002. Co-Learn (Collaborative Learning). http://www.cifor.org/acm/pub/co-learn.html
Cotlle, M.A., Howard, T.A. 2012. Conflict management and community support for conservation
in theNorthern Forest: Case studies from Maine Environmental Impact Assessment: Forest
Policy and Economics 20; 66–71. http: www.elsevier.com/locate/forpol
Golar. 2007. Adaptation Strategy On Maintaining Forest Sustainability: Jurnal Agrisains, Tadulako
University, Palu.
Golar dan Muis, H. 2009. Analisis Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Aktivitas Perambahan
di Taman Nasional Lore Lindu. Jurnal Foresains, Edisi XI. Univ. Tadulako, Palu
Golar 2010a. Kajian Penerapan Metode Manajemen Kolaborasi Adaptif (ACM) dalam mengidentifikasi
Perambahan Hutan (Studi Kasus di Desa Sintuwu Kecamatan Palolo Sulawesi Tengah),
Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Tadulako. Sulawesi Tengah
2010b. Identifikasi Dinamika Sosial Ekonomi Perambahan Hutan di Dongi-Dongi. Laporan Penelitian
Inventarisasi Lahan Perambahan, kerjasama Untad dan Balai Besar Taman Nasional Lore
Lindu.
Golar, Ali M N, Fadhlia, Muis H. 2013. Pengembangan Model Kolaborasi-Adaptif Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Hutan sebagai Alternatif Resolusi Konflik dan Pemberdayaan ekonomi Peladang
di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Laporan Penelitian Strategis Nasional (Tidak
Dipublikasikan). DP2M DIKTI.
Haeruman H. 1999. Kebijaksanaan Pembangunan Taman Nasional dalam Rangka Otonomi Daerah.
Dalam Proseding Pertemuan Regional Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur
Indonesia: Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional tanggal 24–27 Agustus 1999. NRM/
EPIC. Jakarta.
Hammi S., Simonneaux., Cordier, J.B., Genin, D., Alifriqui, M., Montese, N., Auclaird, L. 2010.
Can traditional forest management buffer forest depletion? Dynamics of Moroccan High
Atlas Mountain forests using remote sensing and vegetation analysis. Forest Ecology and
Management 260; 1861–1872. http://www.elsevier.com/locate/foreco
Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan. Bogor: Fakultas Kehutanan
IPB.
Kartodihardjo H. 2007. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan: Menguak Masalah Institusi dan Politik
Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Kusumanto T. 2006. Belajar Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia. Bogor,
CIFOR .
Livawanti. 2012. Masalah dan Prospek Penanganan Konflik Tenurial Masyarakat Dongi-Dongi Di
Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah(Disertasi) Universitas Mulawarman,
Samarinda.
Newman, D.G. 2009. The Duty to Consult: New Relationships with Aboriginal Peoples. Purich
Publishing, Saskatoon, Canada.
Prahasta E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika.
Purnomo, H. 2012. Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Bogor: IPB Press
Putro, HR., Supriatin, Sunkar A.,Rossanda D., Prihatini ER. 2012. Pengelolaan Kolaboratif Taman
Nasional di Indonesia. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Japan International
Cooperation Agency. Bogor: IPB Press.
Sardjono M.A. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian
Sumberdaya. Jogyakarta: Debut press.
Schmitz, M.F., Matos DGG., De Aranzal., Ruiz-Labourdette P., Aguilera, P., Pineda, F.D. 2012.Effects
of a protected area on land-use dynamics and socioeconomic development of local populations.
Biological Conservation 149: 122–135. http://www.elsevier.com/locate/biocon.
Schultz W., Gouveia, Cameron, Geetika T., Peter S., and Marek F. 2005, Values and their Relationship
to Environmental Concern and Conservation Behavior Journal of Cross-Cultural Psychology
36; 457
Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Plurarisme Membangun Konsensus,
Pustaka LATIN, Bogor.
Udin. 2011. Dinamika dan Keragaman Penggunaan Lahan Pertanian Masyarakat Dongi-Dongi di
Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, (Tesis) Universitas Mulawarman,
Samarinda.
Wulandari C. 2009. Karakteristik lanskap Agroforestri: dalam Analisis lanskap Agoforestri, Konsep,
Metode, dan Pengelolan Agroforestri Skala Lanskap dengan Studi Kasus Indonesia, Filipina,
Laos, Thaialand, dan Vietnam. Bogor: IPB Press.
Wyatt, S., Fortier, J.-F.,Natcher, D., Smith, P., Hébert, M. 2013. Collaboration between Aboriginal
peoples and the Canadian forest sector: A typology of arrangements for establishing control
and determining benefits of forestlands. Journal of Environmental Management 115;21-31.
http://www.elsevier.com/locate/jenvman.
Zhang Z., Sherman R., Yang Z., Wu R., Wanga W., Yin M., Yang G., Ou X. 2013. Integrating a
participatory process with a GIS-based multi-criteria decision analysis for protected area
zoning in China Journal for Nature Conservation 21; 225–240.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk kearifan lokal masyarakat dalam menjaga
dan memanfaatkan sumber daya hutan untuk perlindungan dan pelestarian fungsi hidrologi hutan
di Sub-Sub DAS Lengkese. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi di
dalam membuat kebijakan pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November - Desember 2011 di Dusun Bawakaraeng,
Desa Manimbahoi Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam masyarakat di Dusun Bawakaraeng
Sub-Sub DAS Lengkese, berpedoman kepada ketentuan leluhur yang disebut Appasang (amanah).
Kearifan lokal Appasang ternyata mampu mempertahankan kelestarian hutan hingga saat ini.
Berdasarkan kearifan lokal appasang, masyarakat di Dusun Bawakaraeng membagi hutan
menurut peruntukannya menjadi tiga bagian yaitu Kabbung Lompoa, Tinra Ballia dan Koko. Hutan
Kabbung Lompoa dan Tinra Ballia masuk ke dalam kawasan hutan (hutan negara) dengan fungsi pokok
sebagai hutan lindung sedangkan koko tidak masuk dalam kawasan hutan (hutan hak).
Pada kawasan hutan ini (Kabbung Lompoa dan Tinra Ballia) dilarang dimanfaatkan kayunya
namun diperbolehkan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu seperti rotan dan bahan ramuan
obat-abatan. Pada kawasan hutan ini dilarang menebang kayu kecuali untuk membangun kepentingan
umum seperti untuk membangun rumah ibadah (mesjid/mushala), membangun rumah baru bagi
para pengantin baru. Dibolehkan juga menanaman kopi pada kawasan tersebut pada areal kosong.
Izin pemanfaatan kayu ini diberikan setelah melalui musyawarah tokoh adat dalam hal ini Kapala
Kampong, Imang, Sandro, Pinati dan Panrita Balla.
Koko atau juga dikenal dengan hutan rakyat ini terletaknya dekat dengan pemukiman
masyarakat. Kawasan ini dimanfaatkan sebagai kawasan agroforestry dan budidaya tanaman
hutan, pertanian dan perkebunan. Masyarakat boleh menebang kayu di kawasan mereka masing-
masing terutama untuk kebutuhan pembuatan rumah ataupun untuk dijual. Pada kawasan ini juga
dimanfaatkan juga untuk menanam sayur-sayuran dan buah-buahan.
Ditemukan pula bahwa nilai lokal masyarakat Dusun Bawakaraeng yang merupakan kearifan
lokal setempat sudah mulai tergangngu. Karena itu diperlukan upaya-upaya pemberdayaan.
Pemberdayaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penguatan kelembagaan kearifan lokal dan
menularkan nilai-nilai kearifan lokal untuk meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai.
PENDAHULUAN
Keberadaan masyarakat lokal di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) sampai saat ini masih
kurang berperanan dalam pembangunan, khususnya pembangunan di bidang kehutanan. Program
hutan desa, hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan (HKm) dan lain-lain merupakan
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MANAJEMEN HUTAN LESTARI 261
KOMISI C
sebagian program pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan yang bertujuan melibatkan
masyarakat dalam pembangunan di bidang kehutanan. Pelibatan masyarakat lokal merupakan
rangkaian kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan mesyarakat dimaksudkan adalah
upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat melalui pemberian akses
terhadap sumberdaya, pendidikan, pelatihan dan pendampingan (Kementrian Kehutanan, 2013).
Program-program tersebut setiap tahun dilaksanakan secara serentak diseluruh Indonesia dan
selalu diikuti dengan monitoring dan evaluasi. Namun, sampai saat ini hasilnya belum sesuai dengan
yang diharapkan. Faktor fisik wilayah dan sosial ekonomi adalah merupakan faktor-faktor yang
membuat Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), berhaasil atau gagal / kurang berhasil.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam program RHL yang belum optimal hingga saat ini, merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan Program RHL tersebut. Tidak berlebihan untuk menyatakan
bahwa masa depan keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia berada di tangan masyarakat adat
yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-peraktek pengelolaan sumberdaya alam,
masyarakat adat memliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan
kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi Hak Pengelolaan Hutan dan lahan-lahan hutan kritis
(community-based reforestation and rehabilitation ) dengan pohon-pohon jenis asli komersial (Raden
dan Nababan, 2003).
Nur Hayati (2005) di Hutan Adat Rumbio Riau, masyarakat adat Rumbio menganggap kalau
kayu yang ada di hutan ditebang maka akan mengurangi curah hujan dan meniadakan mata air karena
hutan berfungsi sebagai pengairan. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa pemahaman mereka
akan fungsi hutan sebagai penyimpan air dan penadah air cukup sederhana. Pengetahuan tentang
fungsi hutan tidak diperoleh secara ilmiah namun hanya berdasar pada pesan dari leluhur mereka
agar tidak menebang pohon dan sampai sekarang larangan tersebut masih ditaati. Pengelolaan
Hutan Adat Rumbio merupakan bentuk pembelajaran kepada pemerintah bahwa kearifan lokal yang
dianggap terbelakang ternyata mampu menjadi penyelamat hutan.
Masyarakat adat mengelola hutan secara bijaksana dan menganggap hutan sebagai titipan
dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dilindungi dan dilestarikan karena memiliki berbagai
manfaat bagi masyarakat dan lingkungan baik secara ekonomi, sosial budaya dan religi. Menurut
Karyono dan Herawati (2005), masyarakat adat memegang teguh prinsip bahwa segala sumber daya
alam yang dikelola adalah milik “Yang Empunya” sehingga setiap kegiatan yang mereka lakukan
dalam mengelola alam haruslah sesuai dengan aturan “Yang Empunya” agar hasil yang diperoleh
bermanfaat dan dapat dinikmati dengan baik. Konsep pengelolaan sumber daya alam terpadu mulai
dari sumberdaya air, kebun, sawah, hutan dan kelembagaan adat yang dilakukan oleh masyarakat
adat telah melestarikan kawasan hutan karena kearifan tradisional yang mereka pertahankan. Hal
lain dikemukakan Hidayah (2007), di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan krisis identitas
budaya lokal yang telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat
di tanah air, ternyata masih ada kekuatan yang terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan
kearifan budaya di kalangan masyarakat adat.
Di hulu DAS Jeneberang tepatnya di Dusun Bawakaraeng, Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi
Kabupaten Gowa ditemukan hutan yang masih terjaga baik. Juga terlihat adanya pertanaman campur
antara pohon dengan tanaman pertanian/perkebunan. Tampingan sawah diperkuat dengan susunan
batu gunung yang banyak tersedia di lokasi tersebut. Kesemua itu menunjukkan bahwa masyarakt di
Dusun Bawakaraeng mempunyai kepedulian terhadap lingkungan yang cukup baik. Untuk itu maka
dipandang perlu untuk mengungkap kepedulian masyarakat tersebut melalui suatu penelitian.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November - Desember 2011 di sub-sub DAS Lengkese.
Dusun Bawakaraeng, Desa Manimbahoi, Kacamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bermukim di sekitar hutan di sub-
sub DAS Lengkese. Desa Manimbahoi, kacamatan Parigi, kabupaten Gowa. Penentuan responden
dilakukan dengan metode multi stage purposive sampling. Pengambilan sampel secara bertingkat
(multi stage) berdasarkan tingkatan status sosial di masyarakat Lengkese.. Informan kunci dalam
penelitian ini adalah : tokoh masyarakat seperti Kepala Kampong, Imang, Sandro, Pinati, dan Panrita
Balla. Informan juga diambil dari aparat desa dan masyarakat petani hutan .
Pengumpulan data dengan melakukan wawancara terhadap tokoh-tokoh adat, aparat
desa dan masyarakat setempat untuk memperoleh informasi tentang pranata sosial dan kearifan
lokal masyarakat. Wawancara dilakukan dengan menggunakan dua teknik yaitu wawancara semi
terstruktur dan wawancara terstruktur. Dalam wawancara semi terstruktur dalam pengumpulan
data ini, hanya pokok pembicaraan ditentukan terlebih dahulu, sementara pertanyaan yang rinci
dikembangkan selama wawancara berdasarkan hasil pembicaraan antara pewawancara dan yang
diwawancarai. snow ball. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan
(kuisioner) untuk memperoleh informasi tentang pranata sosial dan kearifan lokal masyarakat
menggunakan beberapa pertanyaan meliputi :
1. Karakteristik hutan dan kelembagaan.
2. Aktifitas pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal di Sub-sub DAS Lengkese.
3. Keterlibatan stakeholder terkait.
Data primer diperoleh dengan mengadakan observasi langsung di lapangan dan wawancara.
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas responden (nama, umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, pekerjaan dan jumlah
tanggungan keluarga).
b. Karakteristik hutan.
c. Pranata sosial dan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan hutan meliputi :
1) Pemanfaatan lahan hutan.
2) Pengamanan dan perlindungan hutan.
3) Sangsi adat baik fisik maupun sosial, kebiasaan-kebiasaan serta aturan masyarakat adat.
Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan lingkup penelitian. Data
yang dikumpulkan seperti :
1) Keadaan umum lokasi penelitian, untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian meliputi
letak geografis, tingkat pendidikan masyarakat, pendapatan serta pemanfaatan sumber daya
hutan oleh masyarakat.
2) Data curah hujan, untuk mengetahui berapa besar intensitas curah hujan di lokasi penelitian
dalam kaitannya terhadap kerusakan catchment area sub-sub DAS Lengkese.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif eksploratif yang didasarkan pada
data primer dan data sekunder. Hasil analisis kemudian ditabulasikan dan diklasifikasikan sesuai
dengan tujuan penelitian.
keberadaan dan kondisi hutannya, Masyarakat Lengkese sudah menyatu dengan hutan sekitar
mereka, karena nenek moyang mereka sudah merancang dan memanfaatkan sumberdaya hutan
bagi kelangsungan hidup mereka. Dalam perjalanan hidup mereka selalu mempelajari alam yang
memberikan kehidupan pada mereka, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan
terhadap alam. Pengetahuan semacam ini kemudian terus diwariskan kepada generasi berikutnya,
dijaga dan dipertahankan kelestariannya sampai saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Darmayanti, Rizki E. 2008. Sistem Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat di kawasan Hutan Adat
Karampuang Kabupaten Sinjai. Tesis tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2007 Taman Nasional Batang Gadis. Mutiara Hutan
Tropis di Bukit Mandailing. (online) (http://www.dephut.go.id diakses 19 April 2014).
Hidayah, Nurul. 2007. Upaya Pelestarian Lingkungan oleh Masyarakat Batu Kerbau melalui Wanatani
(Agroforestry). (online) (http://64.203.71. 11/ kompascetak/0705/02/humaniora/349225.
htm diakses 19 April 2014).
Karyono, OK. dan Tuti Herawati. 2005. Peran Masyarakat Adat Kasepuhan Cipta Gelar dalam
Mendukun Kelestarian Hutan di Kawasan Taman Nasional Halimun-Salak. Jurnal Info Sosial
Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Vol.5
1 : 1-8.
Kementrian Kehutanan, 2013. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.9 /
Menhut-II / 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pndukung dan Pemberian Insentif
Kegiatan Rahabilitasi Hutan dan Lahan. Direktoran Jenderal Bina PengelolaanDaerah Aliran
Sungai dan Perhutanan Sosial, Jakarta.
Nur Hayati. 2005. Kearifan Tradisional Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan Adat Rumbio
di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Info Sosial Ekonomi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 5 (1) : 81-89.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan. lembaran
Presiden Republik Indonesia.
Raden, Bestari dan Abdon Nababan. 2003. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (Antara
Konsep dan Realitas). (online) (http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi diakses 19 April
2014).
Agus Setiawan
Balai Diklat Kehutanan Samarinda
Jl. P. Untung Suropati, Sei Kunjang – Samarinda
Email : guswan.tnk@gmail.com
ABSTRAK
Perkembangan pemulihan tegakan bekas penebangan akan menuju pada kondisi kestabilan
tegakan yang sejalan dengan proses suksesi sepanjang waktu. Waktu yang dibutuhkan akan
bervariasi tergantung karakteristik tegakan awal, intensitas gangguan dan dinamika tegakan
berdasarkan kemampuan biologis hutan itu sendiri. Penelitian bertujuan untuk mengetahui proyeksi
pemulihan hutan alam bekas tebangan berdasarkan kemampuan hutan itu sendiri aspek tegakan
dan fisik tanah. Penelitian dilaksanakan di areal pengusahaan hutan di Kabupaten Kutai Timur,
Kalimantan Timur. Pengumpulan data tegakan secara sensus limit diameter 10 cm kelompok jenis
Dipterocarpaceae dengan pembangunan plot temporer meliputi data: jenis dan diameter/keliling
pohon. Pengukuran data fisik tanah berdasarkan tahanan penetrasi menggunakan alat penetrometer
saku dan silinder sampel tanah pada lokasi tempat pengumpulan kayu, jalan sarad primer dan jalan
sarad sekunder. Pengumpulan data tegakan dan tanah dilakukan pada kondisi areal 4, 8 dan 26
tahun bekas tebangan serta hutan primer. Berdasarkan analisis regresi, proyeksi pemulihan tegakan
bekas tebangan didasarkan kondisi yang mendekati hutan primer. Proyeksi pemulihan berdasarkan
aspek kerapatan adalah pada tahun ke-28 setelah penebangan, sedangkan berdasarkan aspek bidang
dasar tegakan memerlukan jangka waktu 31 tahun. Proyeksi pemulihan kepadatan tanah pada
tempat pengumpulan kayumemerlukan jangka waktu 27 tahun, sedangkan pada jalan sarad primer
memerlukan 26 tahun serta pada jalan sarad sekunder memerlukan waktu yang lebih singkat yaitu
24 tahun setelah penebangan. Kondisi tegakan dan kepadatan tanah pada areal bekas penebangan
mempunyai kecenderungan kebutuhan waktu untuk pulih atau mendekati kondisi hutan primer yang
berbeda, sehingga perlu tindakan silvikultur terutama pada tegakan untuk mempercepat pemulihan
hutan bekas tebangan.
LATAR BELAKANG
Kegiatan pemanenan kayu di hutan tropika walaupun hanya sedikit pohon yang dipanen
tetapi dampaknya terhadap hutan akan luas baik terhadap tegakan maupun terhadap lingkungan
(Whitmore, 1990). Beberapa elemen hutan mengalami perubahan setelah pemanenan antara
lain struktur tajuk, komposisi tegakan dan laju pertumbuhan (Silva et al., 1995). Hutan setelah
pemanenan bervariasi dalam struktur, kerapatan tegakan, laju kematian dan laju ingrowth. Aspek-
aspek ini merupakan variabel input utama dalam berbagai analisis populasi tegakan hutan dan
dalam mendeskripsikan dinamika hutan tropika (Lewis et al., 2004). Indrawan (2000) menyatakan
bahwa kegiatan pemanenan kayu akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan
ekosistem hutan sehingga secara langsung dan tidak langsung dengan perubahan ini mempengaruhi
struktur dan komposisi jenis pada tegakan hutan. Pemulihan hutan setelah kegiatan pemanenan
akan berlangsung secara berangsur-angsur melalui proses suksesi sekunder. Smith dan Nichols
(2005) menyatakan bahwa pemulihan pertumbuhan tegakan hutan berjalan seiring waktu. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa proses pemulihan hutan ini mungkin tidak dapat mencapai keadaan yang
sama seperti kondisi hutan semula, tetapi setidaknya akan dicapai tegakan hutan yang dalam
keadaan keseimbangan dinamik dengan lingkungannya.Hutan tropika setelah mengalami kegiatan
pemanenan akan mampu untuk pulih ke kondisi awal, selama volume kayu yang dipanen tidak
melebihi daya dukung ekologis hutannya dan hutan bekas pemanenan dijaga dari berbagai gangguan
(Tyrie, 1999).
Pemulihan pada hutan alam produksi pada skala pengusahaan hutan pada umumnya lebih
dipahami sebagai kembalinya kondisi potensi tegakan jenis-jenis komersial pada areal tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa indikator pemulihan pada hutan alam produksi hanya bersifat
parsial. Pemahaman ini kemudian akan mengarahkan pola manajemen atau sistem silvikultur
yang digunakan pada hutan alam produksi untuk meningkatkan potensi saja yang berarti akan
diusahakan pada pengembangan jenis-jenis komersial dominan tertentu. Pada dasarnya pemulihan
pada hutan alam produksi tidak hanya pada aspek potensi tetapi merupakan proses interaksi kondisi
ekofisiologis yang akan membentuk struktur, keanekaragaman jenis, potensi dan kondisi lahan
yang spesifik, yang lebih mengarah pada kondisi hutan alam yang ada atau diketahui sebelumnya.
Pemulihan kondisi hutan alam ini akan mengarah pada pembentukan hutan yang sedekat mungkin
ke bentuk hutan alam yang pernah tumbuh di tempat itu.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui proyeksi pemulihan hutan alam bekas tebangan
berdasarkan kemampuan hutan itu sendiri aspek tegakan dan fisik tanah.
METODE
Penelitian lapangan dilaksanakan di areal kerja Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu –
Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Gunung Gajah Abadi, Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan
Timur, sedangkan analisis tanah dilakukan pada Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumber
Daya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan penelitian adalah semua jenis pohon dari kelompok jenis Dipterocarpaceae yang
mempunyai ukuran diameter minimal 10 cm dan contoh tanah. Alat yang digunakan dalam penelitian
ini berupa pita ukur, phi band, kompas, tambang tally sheet, Yamanaka’s soil hardness meter
(penetrometer saku), ring sampel tanah dengan setang, timbangan, oven, alat tulis menulisserta
program pengolah dan analisis data.
Pengumpulan data untuk tegakan adalah pohon dengan limit diameter 10 cm ke atas meliputi:
nama jenis, keliling batang, tinggi. Plot penelitian berukuran 100 m x 100 m (1 ha) yang terbagi
dalam subplot berukuran 20 m x 20m sebanyak 25 buah. Plot penelitian terdiri dari:areal hutan
bekas pemanenan 4, 8 dan 26 tahun dan hutan primer.
Pengambilan sampel tanah dilakukan pada jalan sarad primer, jalan sarad sekunder dan
tempat pengumpulan kayu dengan kedalaman 10, 20, 30 cm pada masing-masing kondisi hutan
bekas pemanenan dan hutan primer dengan menggunakan alat Yamanaka’s soil hardness meter
(penetrometer saku) dan ring sampel tanah (cylinder soil sampler).
Untuk melihat proyeksi pemulihan hutan bekas tebangan ini dilakukan dengan analisis
regresi berdasarkan aspek tegakan dan fisik tanah.
Analisis regresi hubungan waktu setelah pemanenan (tahun) dan kerapatan tegakan (pohon/
ha) menunjukkan bahwa jika dilihat dari aspek kerapatan maka kondisi hutan setelah pemanenan
akan mendekati kondisi pada hutan primer pada tahun ke-28 setelah pemanenan.
Hasil simulasi pemanenan Krisnawati (2001) menunjukkan jika dilakukan intensitas pemanenan
0.4% per tahun (3–4 pohon per hektar) maka kondisi kerapatan tegakan hutan bekas pemanenan
akan mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-42 setelah pemanenan, sedangkan Bone (2010)
menyatakan bahwa kondisi struktur tegakan pada areal bekas pemanenan akan mendekati kondisi
hutan primer pada tahun ke-21 setelah pemanenan.
Analisis regresi hubungan waktu setelah pemanenan dan bidang dasar tegakan kelompok jenis
Dipterocarpaceae ditunjukkan pada Gambar 2.
Berdasarkan nilai bidang dasar, analisis regresi hubungan waktu setelah pemanenan (tahun)
dan bidang dasar tegakan (m2/ha) menunjukkan bahwa keeratan hubungan terjadi R2=78%, maka
kondisi hutan bekas pemanenan akan mendekati kondisi hutan primer pada jangka waktu setelah
pemanenan 31 tahun setelah pemanenan.
Indrawan (2000) menyatakan bahwa berdasarkan hasil simulasi pada plot permanen di areal
HPH di wilayah Kalimantan Selatan, proses pemulihan secara alami setelah proses penebangan
untuk rotasi tebang I memerlukan waktu ± 24 tahun dan untuk rotasi tebang II memerlukan
waktu ± 37 tahun. Jika model diterapkan pada areal hutan yang bukan merupakan plot permanen
di Kalimantan Timur maka rotasi tebang I memerlukan waktu ±30 tahun dan untuk rotasi tebang
II memerlukan waktu ±43 tahun. Selanjutnya dinyatakan bahwa frekuensi pohon inti dan pohon
masak tebang berkembang sesuai dengan persamaan regresi non linier, dimana semakin lama umur
tegakan setelah pemanenan aka nilai frekuensi akan semakin tinggi.
Hubungan tahanan penetrasi tanah dan jangka waktu setelah pemanenan ditunjukkan pada
Gambar 3.
40
y = 35.144e-0.145x TPn
Waktu setelah Pemanenan (tahun)
Hasil analisis regresi yang dilakukan terhadap nilai tahanan penetrasi menunjukkan bahwa
kondisi kepadatan tanah pada tempat pengumpulan kayu akan memiliki kondisi kepadatan yang
mendekati kondisi hutan primer pada jangka waktu 27 tahun setelah pemanenan, sedangkan pada
jalan sarad primer waktu yang diperlukan mendakti kondisi kepadatan tanah pada hutan primer
adalah 26 tahun setelah pemanenan. Jalan sarad sekunder memerlukan waktu yang lebih singkat
untuk mendekati kondisi kepadatan tanah hutan primer yaitu selama 24 tahun setelah pemanenan.
Hasil penelitian Matangaran (2002) pada jalan sarad di Riau (Indonesia) dan Hokkaido
(Jepang) menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan tanah untuk mendekati kondisi kepadatan
semula (hutan primer) adalah selama 14 tahun (Riau) dan 11 tahun (Hokkaido) untuk jalan sarad
cabang, sedangkan untuk jalan sarad utama adalah selama 28 tahun hutan alam di Riau dan 37 tahun
hutan alam di Hokkaido setelah kegiatan pemanenan kayu. Hasil penelitian lainnya menunjukkan
bahwa pada jalan sarad cabang dan jalan sarad utama di hutan alam di hutan Universitas Tokyo di
Hokaido, jangka waktu yang diperlukan tanah untuk mendekati kondisi kepadatan hutan primer
akan dicapai selama 14 tahun dan 55 tahun (Matangaran et al., 2006).
272 KEHUTANAN UMUM
KOMISI D
Perbedaan waktu yang diperlukan untuk mendekati kondisi kepadatan pada hutan primer
disebabkan karena pada daerah tropis perbedaan suhu tanah yang kecil antara musim yang satu
dengan yang lainnya (Boul, 1973 diacu dalam Sanchez, 1992) dibandingkan daerah sub tropis,
yang akan mempengaruhi aktivitas pertumbuhan tanaman dan aktivitas mikroorganisme, dimana
aktivitas ini pada daerah tropis akan lebih tinggi dibandingkan daerah sub tropis. Hal ini yang
menyebabkan kondisi kepadatan tanah mendekati kondisi hutan primer di daerah tropis lebih cepat
dibandingkan daerah sub tropis. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pemadatan tanah adalah
jenis atau tipe traktor yang digunakan, karena tiap-tiap traktor akan mempunyai tekanan terhadap
permukaan tanah (ground pressure) yang berbeda-beda.
Hubungan tahanan penetrasi tanah dengan waktu setelah pemanenan ini (Gambar 3) dapat
digunakan untuk menduga waktu setelah pemanenan dengan melihat kondisi tahanan penetrasinya.
Kondisi tahanan penetrasi dapat digunakan untuk melihat apakah pada suatu areal ada kegiatan
pemanenan yang dilakukan sebelum waktu yang ditetapkan. Misalnya areal tersebut baru bisa
dilakukan pemanenan pada tahun ke-35, tetapi sudah dilakukan kegiatan pemanenan sebelum
waktunya, maka dengan melihat tahanan penetrasi yang tinggi maka hal ini bisa diketahui.
Rotasi tebang merupakan faktor penting yang berhubungan dengan cara pengelolaan hutan,
disamping teknik pemanenan. Rotasi tebang yang singkat akan mengabaikan kemampuan pemulihan
secara alami hutan sehingga hutan akan semakin terdegradasi dari rotasi penebangan yang satu ke
rotasi tebangan berikutnya (Hutz dan Ditzer, 2001). Siklus tebang kurang dari 40 tahun menyebabkan
pemanfaatan hutan menjadi berlebihan, sehingga hasil pemanenan akan semakin berkurang dan
komposisi jenis menjadi terganggu. Direkomendasikan untuk mempertahankan komposisi jenis
dan meminimalkan resiko erosi, rotasi penebangan sebaiknya 80–100 tahun dan dikombinasikan
dengan teknik pemanenan ramah lingkungan.
Penelitian struktur tegakan dan kepadatan tanah tidak bisa dilakukan pada lokasi atau
plot yang sama, karena umumnya pada areal bekas jalan sarad dan tempat pengumpulan kayu
tidak ditemukan yang bervegetasi pohon. Pada areal bekas jalan sarad dan tempat pengumpulan
kayu biasanya ditumbuhi oleh rumput-rumputan dan jenis-jenis pakis, walaupun telah dilakukan
kegiatan penanaman pada bekas jalan sarad dan tempat pengumpulan kayu. Sehingga akan sulit
untuk menentukan hubungan antara kondisi tegakan tinggal dengan kepadatan tanah.
Struktur tegakan dan kepadatan tanah ini hanya bisa digunakan sebagai dasar penentuan
berapa lama suatu bekas jalan sarad bisa digunakan kembali apabila diinginkan kerusakan yang
tidak melebihi ambang batas ekologi. Penggunaan bekas jalan sarad untuk kegiatan pemanenan pada
rotasi tebang berikutnya akan mempertimbangkan antara lain apakah pada areal bekas pemanenan
terdapat potensi tegakan komersial yang bisa dipanen pada pada rotasi tebang berikutnya atau
tidak, jika terdapat potensi jenis komersial yang siap dipanen maka penggunaan jalan sarad
cenderung untuk menggunakan jalan sarad yang sama. Sebaliknya, jika tidak terdapat potensi jenis
komersial yang siap dipanen maka penggunaan akan cenderung untuk membuat jalan sarad yang
baru. Pertimbangan lain adalah pertimbangan secara ekonomis, jika dipandang secara ekonomis
penggunaan jalan sarad yang sama tidak efisien maka biasanya kegiatan pemanenan akan membuat
jalan sarad yang baru yang lebih ekonomis.
Dari perspektif ekonomis, dampak pemanenan yang tinggi dan pemanfaatan yang rendah
dapat dilihat sebagai ketidakefisienan operasional. Dampak yang tinggi seringkali merupakan hasil
dari pergerakan mesin yang berlebihan dan dengan demikian dianggap sebagai pengeluaran biaya
untuk mesin disamping penggunaan waktu mesin yang tinggi. Pemanfaatan yang rendah dipandang
sebagai kegagalan memanfaatkan potensi ekonomis hutan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kepadatan tanah pada hutan setelah pemanenan
mempunyai kecenderungan untuk kembali kekondisi yang mendekati kepadatan tanah pada hutan
primer dalam jangka waktu yang kurang dari rotasi tebang 35 tahun. Jika dilihat dari kondisi
tegakan (kerapatan dan luas bidang dasar tegakan) maka hutan setelah pemanenan juga mempunyai
kecenderungan untuk kembali kekondisi yang mendekati hutan primer dalam jangka waktu yang
kurang dari rotasi tebang 35 tahun.
Hutan bekas tebangan mempunyai kecenderungan untuk pulih atau mendekati kondisi
hutan primer.Proyeksi pemulihan tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae berdasarkan aspek
kerapatan adalah pada tahun ke-28 setelah penebangan, sedangkan berdasarkan aspek bidang
dasar tegakan memerlukan jangka waktu 31 tahun. Proyeksi pemulihan kepadatan tanah pada
tempat pengumpulan kayumemerlukan jangka waktu 27 tahun, sedangkan pada jalan sarad primer
memerlukan 26 tahun serta pada jalan sarad sekunder memerlukan waktu yang lebih singkat yaitu
24 tahun setelah penebangan. Kondisi tegakan dan kepadatan tanah pada areal bekas penebangan
mempunyai kecenderungan kebutuhan waktu untuk pulih atau mendekati kondisi hutan primer yang
berbeda, sehingga perlu tindakan silvikultur terutama pada tegakan untuk mempercepat pemulihan
hutan bekas tebangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bone I. 2010. Model dinamika struktur tegakan untuk pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan:
Kasus HPH PT. Gema Hutan Lestari Pulau Buru Provinsi Maluku [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Huth A, Ditzer T. 2001. Long-term impacts of logging in a tropical rain forest a simulation study. Forest
Ecol Manag. 142:33–51.
Indrawan A. 2000. Perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam Sistem
Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Krisnawati H. 2001. Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika struktur
tegakan (Kasus hutan alam bekas tebangan) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lewis SL, Phillips OL, Sheil D, Vinceti B, Baker TR, Brown S, Graham AW, Higuchi N, Hilbert DW,
Laurance WF, Lejoly J, Malhi Y, Monteagudo A, Vargas VN, Sonké B, Supardi NMN, Terborgh JW,
Martínez RV. 2004. Tropical forest tree mortality, recruitment and turnover rates: Calculation,
interpretation and comparison when census intervals vary. J Ecol.92:929–944.
Matangaran JR. 2002. Pemulihan kepadatan tanah pada jalan sarad. JTHH.15:38–47.
Matangaran JR, Aruga K, Sakurai R, Sakai H, Kobayashi H. 2006. Effect of multiple passes of tractor on
soil bulk density – A case study in the boreal natural forest of Tokyo University Forest in Hokaido.
J Jpn Forest Eng Soc. 21:227–231.
Sanchez PA. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 1. Jayadinata JT, penerjemah. Bandung
(ID): Penerbit ITB.
Silva JNM, de Carvalho JOP, Lopes J do CA, de Almeida BF, Costa DHM, de Oliveira LC, Vanclay JK,
Skovsgaard JP. 1995. Growth and yield of a tropical rain forest in the Brazilian Amazon 13 years
after logging. Forest Ecol Manag. 71:267–274.
Smith RGB, Nichols JD. 2005. Patterns of basal area increment, mortality and recruitment were
related to logging intensity in subtropical rainforest in Australia over 35 years. Forest Ecol Manag
218:319–328.
Tyrie G. 1999. Sepuluh Tahun Riset Hutan Hujan Tropica Dataran Rendah di Labanan, Kalimantan
Timur Plot Penelitian STREK. Jakarta (ID): Berau Forest Manajemen Project.
Whitmore TC. 1990. Tropical Rain Forest. Oxford (UK): Clarendon Press.
ABSTRACT
The experiment was conducted at the Laboratory of the Faculty of Forestry University of Gastric
Mangkurat Banjarbaru (burning shell pecans and coconut pulp), for processing brket charcoal and
testing was conducted in Research and Industry Standards, Banjarbaru. Research using test patterns
faktoral 3 x 3 to 3 x replicates (A factor is the percentage of pecan shell + coconut pulp), factor B is a
clamp. The purpose of the study is to determine the quality of charcoal produced and determine the
effect of the treatment given to the values of charcoal briquettes
The results of the study the average value is 9.92% water content (yet meet ISO standards), ash
content (5:28%) meets theISO standard, volatile matter (22:44%) according toJapanese standards. bound
carbon (72.38%) according to the standard ofJapan and the USA, the average calorific value is 6346.33 cal
/ g (according to ISO standards and Japan), density (1:05) according to the standard of Japan and the USA
Keywords: quality, charcoal briquettes, shell pecans, coconut pulp,
ABSTRACT
Hasil penelitian yaitu nilai rata-rata kadar air adalah 9.92% (belum memenuhi standar SNI),
kadar abu (5.28%) memenuhi standar SNI, zat terbang (22.44%) sesuai standar Jepang. karbon
terikat (72.38%) sesuai standar Jepang dan USA, nilai kalor rata-rata adalah 6.346,33 cal/gr (sesuai
standar SNI dan Jepang), kerapatan (1.05) sesuai standar Jepang dan USA
PENDAHULUAN
Energi yang digunakan oleh masyarakat saat ini ada yang masih berasal dari fosil, yaitu
bahan bakar minyak, batubara dan gas, dan ada yang berasal dari kotoran hewan (biogas), kerugian
penggunaan energi yang berasal dari fosil tersebut di atas adalah selain merusak lingkungan juga
energi tidak dapat diperbaharui artinya tidak berkelanjutan.
Kebutuhan akan energi semakin lama semakin meningkat dan ketersediaan bahan bakar
minyak juga semakin menipis seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, hal ini sudah
barang tentu akan menyebabkan harga energi semakin mahal dan subsidi pemerintah juga semakin
berat.. cadangan bahan bakar konvensional yang tidak dapat diperbaharui makin menipis dan
akan habis pada suatu saat nanti. Karena itu berbagai usaha diversifikasi sumber energi telah
banyak dilakukan dan salah satu diantaranya adalah pemanfaatan limbah pertanian, perkebunan
dan kehutanan (Khairati, 2008). Kenaikan harga BBM (khususnya minyak tanah) dan BBG(elpiji)
menyadarkan kita bahwa konsumsi energi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tidak
seimbang dengan ketersediaan sumber energi tersebut.Kelangkaan dan kenaikan harga minyak akan
terus terjadi karena sifatnya yang nonrenewable. Hal ini harus segera diimbangi dengan penyediaan
sumber energi alternatif yang renewable, melimpah jumlahnya, dan murah harganya sehingga
terjangkau oleh masyarakat luas (Hermawan, 2006).
Berbagai usaha terus dilakukan dalam rangka mengurangi ketergantungan akan energi yang
berasal dari fosil, juga untuk mengurangi emisi CO2 guna mencegah terjadinya pemanasan global.
Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong penggunaan energi biomasa sebagai pengganti energi
bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Bahan bakar biomassa merupakan energi
paling awal yang dimanfaatkan manusia dan dewasa ini menempati urutan keempat sebagai sumber
energi yang menyediakan sekitar 14% kebutuhan energi dunia (Winaya, 2008).
Biomassa adalah bahan organik yang berasal dari jasad hidup baik tumbuh – tumbuhan
maupun hewan. Contoh biomassa adalah dedaunan, rerumputan, ranting, gulma, serta limbah
pertanian dan peternakan serta gambut (Mulia, 2007).
Beberapa jenis limbah seperti limbah penggergajian dan limbah pertanian dapat
dimanfaatkan sebagai sember energi alternative pengganti bahan bakar minyak dan gas. Untuk
mengolah limbah tersebut menjadi lebih bermanfaat diperlukan teknologi alternative. Teknologi
tersebut diantaranya adalah teknologi pembuatan briket arang arang dari cangkang kemiri dan
ampas kelapa, diharapkan produk ini lebih mempunyai nilai ekonomi seperti arang aktif, serat
karbon, arang kompos.
Pada umumnya warga membuang begitu saja cangkang kemiri, meski sebagian lagi
digunakan untuk pengeras tanah di sekitar rumah, bahan bakar pengasap kemiri agar tetap kering.
Di sisi lain, limbah atau tempurung kemiri ini bisa membahayakan pejalan kaki khususnya mereka
yang tidak menggunakan alas kaki karena biasanya kulit luar kemiri yang sudah pecah keras dan
tajam.. Padahal cangkang kemiri ini bisa digunakan untuk bahan bakar, berdasarkan hal tersebut di
atas maka kita melakukan penelitian untuk memanfaatnya menjadi bahan bakar dengan membuat
briket dari cangkang kemiri.
Melalui inovasi ini, briket cangkang kemiri ini menjadi salah satu komoditi yang memiliki
nilai ekonomis sebagai bahan bakar altenatif yang murah untuk rumah tangga dan industri kecil.
Ampas kelapa merupakan hasil sampingan pembuatan minyak kelapa, ampas kelapa yang
telah diubah menjadi briket biomassa memiliki nilai kalor sebesar 7.245,9 kal/gr (Wahab, 2010),
tempurung kemiri yang sudah dijadikan briket memiliki nilai kalor sebesar 7.958.33 kal/gr
(Sihombing, 2006)
Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh komposisi bahan baku pada briket arang terhadap
sifat-sifat briket.
A. Kadar Air
Hasil rata-rata pengujian kadar air briket cangkang kemiri dan ampas kelapa dengan variasi
tekanan kempa disajikan pada Gambar 1 berikut
16 15.19
14
11.31
12 10.11 10.28
Berdasarkan data rata-rata maka dilakukan analisis keragaman untuk mengetahui pengaruh
masing-masing perlakuan seperti tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis keragaman kadar air briket dari cangkang kemiri dan ampas kelapa
Kadar air tertinggi pada perlakuan A3B1 (15.19%) dan terendah pada perlakuan A1B3 (6.96%),
berdasrkan hasil analisis keragaman dapat diketahui bahwa faktor A (persentase cangkang kemiri
dan ampas kelapa), faktor B (tekanan kempa), dan interaksi AB berpengaruh sangat nyata terhadap
kada air briket yang dihasilkan.
Kadar air yang tinggi kemungkinan disebabkan karena tekanan kempa yang diberikan kecil,
semakin besar tekanan yang diberikan maka semakin kecil kadar air yang dihasilkan.
Dengan bertambahnya tekanan kempa mengakibatkan kerapatan briket dari cangkang kemiri
dan ampas kelapa semakin bertambah, sehingga terjadi ikatan yang kuat antara partikel-partikel
arang tersebut, sehingga pori-pori tersebut memaksa air untuk keluar selama proses pengempaan.
semakin rendah tekanan kempa maka kerapatan briket juga lebih rendah, dengan rendahknya
kerapatan tersebut, pori-pori menjadi lebih besar, sehingga menyebabkan air yang berada di dalam
briket arang tersebut hanya sedikit yang dikeluarkan, hingga kadar air menjadi lebin tinggi
Hasil pengujian rata-rata kadar air keseluruhan perlakuan sebesar 9.92%, hasil ini jauh lebih
besar dari persyaratan kandungan kadar air arang dari Standart Industri Indonesia (SII) yaitu 6%
(maksimum), hal ini diduga cangkang kemiri dan ampas kelapa yang dipergunakan untuk pembuatan
briket arang ini mempuyai kadar air yang tinggi, sehingga hasil akhir yang diperoleh kandungan air
juga tinggi.
278 KEHUTANAN UMUM
KOMISI D
B. Kadar Abu
Hasil rata-rata pengujian kadar abu briket cangkang kemiri dan ampas kelapa dengan variasi
tekanan kempa disajikan pada Gambar 2 berikut
9 8.00
8
7 6.46
5.47 5.63 5.45 5.55
Kadar Abu ( %)
6 5.21
5
4 3.14
2.59
3
2
1
0
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Perlakuan
Berdasarkan data rata-rata maka dilakukan analisis keragaman untuk mengetahui pengaruh
masing-masing perlakuan seperti tersaji pada Tabel 2
Tabel 2. Analisis keragaman kadar abu briket dari cangkang kemiri dan ampas kelapa
Kadar abu rata-rata adalah 5.28, kadar terendah pada perlakuan A1B3 (2.59%), kadar abu
tertinggi pada A3B1 (8.00 %), Perlakuan A1B1, A1B2, A2B1, A2B2, A2B3, A3B3 memenuhi standar
Jepang (3 - 6 %), menurut SNI kadar abu yang dihasilkan dari seluruh perlakuaan memenuhi standar
( ≤ 8), berdasarkan nilai analisis keragaman maka seluruh perlakuan memberikan pengaruh sangat
nyata terhadap kadar abu.
Briket yang dihasilkan termasuk briket yang berkualitas baik sebagai bahan bakar, karena
kadar abu yang dihasilkan rendah, apabila kadar abu rendah maka karbon terikat tinggi, apabila
karbon terikat tinggi maka kalor yang dihasilkan juga tinggi.
Meningkatnya kadar abu pada perlakuan A3B3 diduga disebabkan karena terjadi
pengentalan perekat sehingga kerapatannya menurun menyebabkan banyak ruang pori yang terisi
oleh mineral organic dan non organic sehingga kadar abu meningkat. Kadar abu briket arang dapat
dipengaruhi oleh kandungan mineral dalam cangkang kemiri dan ampas kelapa maupun dari bahan
perekat.
Hasil rata-rata pengujian kadar zat terbang briket cangkang kemiri dan ampas kelapa dengan
variasi tekanan kempa disajikan pada Gambar 3 berikut
35 33.16
30.83
30
25.47
Kadar Zat Terbang (%)
24.38
25 21.06 19.69
20 18.25
15.62
15 13.5
10
5
0
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Perlakuan
Berdasarkan data rata-rata maka dilakukan analisis keragaman untuk mengetahui pengaruh
masing-masing perlakuan seperti tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis keragaman kadar zat terbang briket dari cangkang kemiri dan ampas kelapa
Kadar zat terbang rata-rata berkisar antara 13.50 % - 33.16 %, kadar terendah pada perlakuan
A1B3 (13.50%) dan tertinggi pada A3B3 (33.16%). Menurut Joseph dan Hislop (2010), untuk dapat
digunakan sebagai sumber energy, briket arang yang baik sebagai sumber panas mempunyai kadar
zat terbang lebih kecil dari 15%.. Nilai rata-rata keseluruhan perlakuan (22.44 %) masih termasuk
dalam standar briket Jepang (15 – 30 %). Berdasarkan nilai analisis keragaman maka seluruh
perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar zat terbang.
Zat terbang yang dihasilkan memenuhi standar Jepang (15-30 %) pada seluruh perlakuan
kecuali perlakuan A3B1 dan A3B2.
Hasil rata-rata pengujian kadar karbon terikat briket cangkang kemiri dan ampas kelapa
dengan variasi tekanan kempa disajikan pada Gambar 4 berikut
100
Kkadar Karbon Terikat (%)
79.16 83,92
78,62 74,86
80 70,15 73,32 68,98
58,84 62,71
60
40
20
0
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Perlakuan
Berdasarkan data rata-rata maka dilakukan analisis keragaman untuk mengetahui pengaruh
masing-masing perlakuan seperti tersaji pada Tabel 4
Tabel 4. Analisis keragaman kadar karbon terikat briket dari cangkang kemiri dan ampas kelapa
Kadar karbon terikat rata-rata adalah 72,28 %, dengan kadar terendah pada perlakuan A3B1
(58,84 %) dan tertinggi pada A1B3 (83,92%). Secara keseluruhan kadar yang dihasilkan termasuk
dalam standar briket Jepang 60 –80 %), keadaan ini termasuk dalam kualitas baik sebagai sumber
panas, hal ini sesuai dengan pendapat Sudrajat (2005), yang mengemukakan bahwa briket arang yang
baik sebagai sumber panas adalah briket arang yang mengandung karbon terikat ≥ 60%. Berdasarkan
nilai analisis keragaman maka seluruh perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap
kadar karbon terikat. Menurunnya kadar karbon diduga disebabkan karena pengaruh bahan baku
dan tekanan kempa, hal ini terjadi pada saat dilakukan pengempaan dengan tekanan yang lebih
tinggi, ampas kelapa dan minyak yang digunakan semakin banyak terbuang/keluar sehingga pori-
pori semakin besar dan kerapatan semakin kecil, akibatnya kadar karbon makin berkurang.
E. Nilai Kalor
Hasil rata-rata pengujian kadar karbon terikat briket cangkang kemiri dan ampas kelapa
dengan variasi tekanan kempa disajikan pada Gambar 5 berikut
6,750.00
6,646.40 6,623.46
6,600.00 6,530.51
6,450.00
6,327.49 6,318.69
6,281.45
6,300.00
Nilai kalor 6,209.67
6,157.71
(cal/gr)
6,150.00 6,087.57
6,000.00
5,850.00
5,700.00
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Perlakuan
Berdasarkan data rata-rata maka dilakukan analisis keragaman untuk mengetahui pengaruh
masing-masing perlakuan seperti tersaji pada Tabel 5
Tabel 5. Analisis keragaman nilai kalor briket dari cangkang kemiri dan ampas kelapa
Nilai kalor rata-rata adalah 6.353,66 cal/gr, nilai terendah pada perlakuan A3B1 (6.087,57
cal/gr) dan tertinggi pada A1B3 (6.646,40 cal/gr). Secara keseluruhan nilai kalor yang dihasilkan
termasuk dalam standar briket Jepang (6000 – 7000 cal/gr), Berdasarkan nilai analisis keragaman
maka hanya perlakuan A yang memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kalor
Meningkatnya nilai kalor diduga dengan semakin besarnya tekanan kempa yang menyebabkan
tingginya kerapatan.sehingga kalor yang dihasilkan juga tinggi, Nilai kalor juga dipengaruhi oleh
bahan baku dan tekanan kempa yang diberikan.
F. Kerapatan
Hasil rata-rata pengujian kerapatan briket cangkang kemiri dan ampas kelapa dengan variasi
tekanan kempa disajikan pada Gambar 6 berikut
1.04
1.02 1.02
Kerapatan
1.02
1 0.99
0.98
0.96
0.94
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Perlakuan
Berdasarkan data rata-rata maka dilakukan analisis keragaman untuk mengetahui pengaruh
masing-masing perlakuan seperti tersaji pada Tabel 6
Tabel 6. Analisis keragaman kerapatan briket dari cangkang kemiri dan ampas kelapa
Kerapatan rata-rata adalah 1.05, kerapatan terendah pada perlakuan A1B1 (0.00) dan
tertinggi pada A3B3 1.09). Secara keseluruhan kerapatan yang dihasilkan termasuk dalam standar
briket Jepang, Inggris dan USA.
KEHUTANAN UMUM 283
KOMISI D
Dilihat dari pengaruh perlakuan (factor B) berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan yang
dihasilkan, briket arang yang dihasilkan baik digunakan sebagai bahan bakar karena mempunyai
kerapatan lebih dari 0.
PENUTUP
1. Rata-rata kadar air yang dihasilkan (9.92%), belum memenuhi Standar Indonesia
2. Rata-rata kadar abu (5.28%), memenuhi Standar Indonesia
3. Kadar zat terbang yang dihasilkan 22.44% sesuai dengan standar Jepang
4. Karbon terikat (72.28%), sesuai dengan standar Jepang dan USA
5. Nilai kalor sebesar 6.346,33 cal/gr sesuai dengan standar Jepang dan USA
6. Kerapatan (1.05), sesuai dengan standar Jepang dan USA
7. Perlakuan A1B3 menghasilkan kualitas briket yang terbaik
DAFTAR PUSTAKA
Joseph dan Hislop. 2010. Kualitas Briket Bioarang., Erlangga, Jakarta selatan
Sihombing, 2006. Bahan bakar dari Tempurung Kemiri. Balai Penelitian Kehutanan, Ciamis.
ABSTRAK
Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas tegakan hutan.
Tinjauan dampak penebangan akan bervariasi pada setiap kondisi hutan berdasarkan karakteristik
ekologi tegakan. Penelitian ini bertujuan menentukan pola perubahan status floristik pada hutan
alam setelah penebangan melalui indikator kekayaan, kemerataan dan kesamaan jenis tegakan
secara periodik. Pengumpulan data dilakukan pada plot permanen setelah penebangan sepanjang
17 tahun dengan pemantauan periodik tiap 2 tahun dan hutan pimer (kontrol) dengan luas total 24
ha. Data pengukuran semua pohon berdiameter minimal 10 cm meliputi: nomor pohon, subplot,
jenis, keliling/diameter setinggi dada. Pengolahan data meliputi perhitungan indeks kekayaan jenis
Margallef, indeks kemerataan jenis Pielou dan indeks kesamaan Sorensen pada kondisi sebelum
dan sesudah penebangan. Berdasarkan kriteria kekayaan jenis Magurran adalah tinggi (>5.0)
sepanjang jangka waktu 17 tahun setelah penebangan. Secara relatif tingkat kekayaan hutan setelah
tebangan akan menurun sampai dengan tahun ke-3 dan selanjutnya akan meningkat sepanjang
jangka waktu pemulihan tegakan. Berdasarkan klasifikasi indeks kemerataan, tegakan setelah
penebangan menunjukkan tingkat kemerataan yang tinggi (>0.6). Hal ini mengindikasi bahwa
dalam tegakan setalah penebangan mempunyai dominansi yang menyebar ke banyak jenis atau
dengan kata lain tidak terpusat ke satu jenis saja. Pada hutan primer mempunyai indeks kekayaan
jenis dan indeks kemerataan jenis dan yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi hutan yang telah
terganggu. Tingkat kesamaan komunitas tegakan setelah penebangan sepanjang 17 tahun masih
memiliki kesamaan > 62% dibandingkan kondisi hutan awal (hutan primer). Pertimbangan dimensi
biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi menjadi penting untuk pengelolaan populasi
tegakan di hutan-hutan bekas tebangan dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis.
PENDAHULUAN
Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas tegakan hutan.
Populasi tegakan dan perilakunya merupakan proses pada tingkat individu pohon dan tegakan yang
membangun bentuk ekologinya (Krebs 2006). Tinjauan dampak penebangan akan bervariasi pada
setiap kondisi hutan berdasarkan karakteristik ekologi tegakan. Hasil-hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa perbedaan kondisi tegakan hutan akan memberikan variasi karakteristik
ekologi tegakan yang mencakup tingkat keanekaragaman (Fedorov 1966 dalam Ipor et al. 1999; Ng
et al. 2009), kekayaan jenis (Bischoff et al. 2005; Sodhi et al. 2010) dan sebaran spasial jenis dalam
tegakan (Bunyavejchewin et al. 2003; Lee et al. 2006).
Perhitungan keragaman jenis dalam skala regional masih merupakan tantangan karena
kesulitan dalam pengukuran kelimpahan dan distribusi jenis, sehingga inventarisasi floristik dan
studi dinamika hutan umumnya dilakukan pada plot sampling. Penilaian kuantitatif sampling
floristik dalam inventarisasi keragaman jenis pohon terutama mencakup jumlah, ukuran atau
dimensi dan bentuk plot sampling yang memberikan dasar kondisi floristik yang sangat penting
dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan Parthasarathy 2006). Pertimbangan
dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi menjadi penting untuk pengelolaan
populasi tegakan di hutan-hutan bekas tebangan dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi
jenis (Naito et al. 2008; Sodhi et al. 2010).
Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan dan
keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Hal ini menunjukkan kebutuhan
akan metode pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek kelestarian produksi maupun aspek
konservasi menjadi sangat penting. Perubahan atau pergeseran kondisi jumlah dan komposisi
jenis penyusun tegakan setelah tebangan yang merupakan status floristik jenis dalam tegakan
akan mempengaruhi tindakan pengelolaan yang perlu dilakukan, terutama dalam meningkatkan
produktivitas hutan alam produksi. Penelitian ini bertujuan menentukan pola perubahan status
floristik pada hutan alam setelah penebangan melalui indikator kekayaan, kemerataan dan kesamaan
jenis tegakan secara periodik.
METODE PENELITIAN
Plot penelitian berupa petak ukur permanen yang berada dalam wilayah stasiun penelitian
hutan Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Secara geografis terletak antara 117°10’22”-
117°15’35” Bujur Timur dan 1°52’43”-1°57’34” Lintang Utara. Risalah kondisi tegakan berupa
hutan alam bekas penebangan dengan teknik konvensional dan hutan primer sebagai kontrol. Desain
plot penelitian adalah berukuran 200 m x200m (4 ha) yang terbagi dalam 4 subplot dengan ukuran
100 m x100 m (1 ha). Plot penelitian sebanyak 6 dengan total luas plot penelitian 24 ha.
Obyek penelitian adalah semua jenis tegakan dengan limit diameter 10 cm (keliling 3,14 cm)
setinggi dada atau 20 cm diatas banir pada hutan bekas tebangan dan hutan primer. Alat-alat yang
dipergunakan adalah peta sebaran pohon, kompas, clinometer dan pita ukur/phi band. Pengumpulan
data dengan inventarisasi secara sensus meliputi: nama jenis pohon, keliling batang, setiap 2 tahun.
R1 =
dimana:
R1 = Indeks Margallef
S = Jumlah jenis
n = Jumlah individu seluruh jenis
Kriteria kekayaan jenis adalah tinggi jika R1>5.0, sedang jika R1 berkisar antara 3.5-5.0 dan
rendah jika R1<3.5 (Magurran 1988).
Makin besar nilai E maka komposisi jenis makin merata (tidak dominan pada satu jenis
tertentu). Kriteria kemerataan jenis adalah: tinggi jika nilai E>0.6, sedang jika nilai E berkisar antara
0.3-0.6 dan rendah jika nilai E<0.3 (Magurran 1988).
3) Indeks Kesamaan Komunitas (Similarity Index)
Untuk mengetahui indeks kesamaan komunitas menggunakan rumus Sorensen dalam
Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) berikut:
2w
IS = x100%
a+b
dimana:
IS= Indeks kesamaan komunitas
w = Nilai kuantitatif yang £ dari jenis yang sama dalam dua komunitas a dan b
a = Nilai kuantitatif pada komunitas a
b = Nilai kuantitatif pada komunitas b
Nilai kuantitatif yang digunakan adalah nilai kerapatan jumlah pohon dan luas bidang dasar
tegakan.
Penilaian kecenderungan parameter kuantitatif ekologis dilakukan dengan analisis regresi.
Persamaan regresi yang dicobakan adalah persamaan linear, polinomial, eksponensial dan logaritma.
Y = α + βX (Linear)
Y = α + β1X + β2X2 (Polinomial/kuadratik pangkat 2)
Y = αе βX
(Eksponensial)
Y = α + β logX (Logaritma)
Pemilihan model yang paling sesuai dilakukan dengan diagram scatter technique
berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai standar
eror (SE) terkecil (Steel dan Torrie 1995).
35
25
20
15
10
Hutan bekas tebangan Hutan primer
5
0
HP 1th 3th 5th 7th 9th 11th 13th 15th 17th
Umur tebangan (tahun)
Gambar 1. Indeks kekayaan jenis (Indeks Margaleff/R1) tegakan hutan bekas tebangan dan hutan
primer
Tingkat kekayaan jenis tegakan pada hutan bekas tebangan setelah 17 tahun masih memiliki
tingkat yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Tingkat kekayaan dan kelimpahan
jenis pada hutan yang terganggu akan menurun dibandingkan pada kondisi hutan klimaks (Sodhi et
al. 2010). Setelah dilakukan tebang pilih akan terjadi peningkatan kekayaan dan keanekaragam jenis
terutama pada areal-areal yang terbuka. Kondisi ini mendukung terjadinya perkembangan jenis-
jenis yang sebelumnya tidak mendapat kesempatan berkembang dibawah tajuk (gapopportunist
species). Pembukaan kanopi yang diakibatkan penebangan memacu pertumbuhan jenis-jenis
pionerr (Bischoff et al. 2005). Menurut Holloway et al. (1992 dalam Sodhi et al. 2010), hal inilah
yang menyebabkan perubahan struktur vegetasi dan keanekaragaman hutan setelah penebangan
menjadi lebih beragam.
Indeks kemerataan jenis (Indeks Pileou/E) menunjukkan tingkat kemerataan kelimpahan jenis-
jenis vegetasi penyusun pada suatu komunitas hutan (Magurran 1988). Semakin besar nilai E
menunjukkan bahwa komposisi jenis semakin merata atau tidak dominan pada satu jenis tertentu
saja. Pola fluktuasi tingkat kemeraatan sebaran jenis dalam tegakan sepanjang periode pengamatan
(Gambar 2) menunjukkan bahwa setelah penebangan cenderung akan meningkat tetapi kemudian
akan mendekati kondisi hutan primernya (sebelum penebangan).
1
Indeks Pileou (E)
0.8
0.6
0.4
Hutan bekas tebangan Hutan primer
0.2
0
HP 1th 3th 5th 7th 9th 11th 13th 15th 17th
Umur tebangan (tahun)
Gambar 2. Indeks kemerataan jenis (Indeks Pileou/E) tegakan hutan bekas tebangan dan hutan primer
Berdasarkan klasifikasi indeks kemerataan menurut Magurran (1988), pada tegakan setelah
penebangan menunjukkan tingkat kemerataan yang tinggi (E>0.6). Hal ini menunjukkan bahwa
dalam tegakan tersebut mempunyai dominansi yang menyebar ke banyak jenis atau dengan kata lain
tidak terpusat ke satu jenis saja. Pada hutan bekas tebangan mempunyai kenaikan tingkat kemerataan
hingga tahun ke-5 setelah penebangan, kemudian menurun dan cenderung tidak berubah. Kondisi
kemerataan jenis pada tegakan setelah penebangan sampai dengan 17 tahun masih lebih rendah
dibandingkan pada kondisi hutan primer. Perlu adanya tinjauan komposisi penyusun dalam tingkat
kemerataan jenis sebagaimana dinyatakan Krebs (2006) bahwa dalam penilaian ekologi tegakan
adalah merupakan penilaian dalam tingkat jenis (species) penyusun vegetasi.
Perhitungan nilai indeks kesamaan dilakukan pada kondisi tegakan awal sebelum
penebangan terhadap setiap perubahan kondisi tegakan sepanjang periode pengukuran (setiap
2 tahun). Tingkat kesamaan komunitas berdasarkan hasil perhitungan indeks kesamaan jenis
berdasarkan jumlah individu per jenis atau kerapatan (Indeks Sorensen/ISn) dalam tegakansetelah
penebangan sepanjang 17 tahun adalah >62% dibandingkan kondisi hutan awalnya (hutan primer).
Pada hutan primer sepanjang 17 tahun pengamatan, akan mengalami perubahan komunitas dengan
tingkat kesamaan yang lebih tinggi yaitu sebesar >78% (Gambar 3).
100
Indeks Sorensen (IS)
80
60
40
Hutan bekas tebangan Hutan primer
20
0
HP 1th 3th 5th 7th 9th 11th 13th 15th
Umur tebangan (tahun)
Gambar 3. Indeks kesamaan komunitas (Indeks Sorensen/IS) tegakan hutan bekas tebangan dan
hutan primer
Penilaian komunitas berkisar antara 0-100%, dimana jika semakin mendekati nilai 100 maka
tingkat kesamaan komunitas semakin sama sebaliknya semakin rendah atau mendekati 0 maka
kondisi tegakan akan semakin berbeda.Penilaian tingkat kesamaan komunitas tegakan digunakan
untuk menilai tingkat perubahan setelah adanya penebangan sepanjang waktu pemulihan tegakan
secara alami (Soerianegara dan Indrawan 2005). Berdasarkan nilai kuantitatif jumlah individu
jenis atau kerapatan, indeks kesamaan komunitas antara tegakan sebelum penebangan (kondisi
hutan primer) dengan tegakan setelah penebangan terjadi perubahan atau pergeseran tingkat
kesamaan yang semakin menurun sepanjang waktu pengamatan. Gangguan berupa penebangan
pada hutan alam menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas tegakan hutan. Berbagai tinjauan
ragam kondisi atau perbedaan antara hutan bekas tebangan dan hutan primer menunjukkan adanya
perbedaan antara lain berupa struktur (Ishida et al. 2005) dan komposisi jenis penyusun tegakan
utama (Muhdi 2012).
Kecenderungan atau pola perubahan sepanjang waktu pemulihan tegakan hutan berdasarkan
analisis regresi menunjukkan hasil yang disajikan pada Tabel 1 berikut. Pada kondisi hutan bekas
tebangan, fungsi waktu sepanjang pemulihan merupakan faktor yang penting (dapat menjelaskan
>88%) dalam membentuk nilai kuantitatif ekologis baik tingkat kekayaan (keragaman jenis), tingkat
dominansi jenis dalam tegakan maupun tingkat kesamaan komunitas untuk mendekati kondisi
awal tegakan (hutan primer). Dengan parameter penduga jangka waktu (tahun), pada hutan bekas
tebangan cenderung mempunyai pola yang sama yaitu berbentuk polinomial. Sedangkan pada kondisi
hutan primer terjadi fluktuasi kuantitatif ekologis berdasarkan fungsi waktu (dapat menjelaskan
>75,8%). Pola yang terbentuk pada hutan primer untuk semua parameter ekologis berdasarkan
fungsi waktu tersebut adalah eksponensial. Penilaian kondisi tegakan yang lebih spesifik untuk
mendukung kebutuhan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang lebih efektif dengan melibatkan
aspek dinamika karakteristik ekologi (Chertov et al. 2005).
Tabel 1. Hubungan antara fungsi waktu setelah penebangan dan parameter penilaian ekologis
kuantitatif
Penilaian status jenis atau kelompok jenis dalam tegakan memerlukan pengetahuan tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukannya yaitu sifat genetis dan proses ekologisnya (Lee
et al. 2006). Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis tegakan akan
bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi menunjukkan bahwa
pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keanekaragaman
jenis pada hutan hingga 18-20 tahun setelah penebangan, tetapi dibandingkan dengan kondisi hutan
primer maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang lebih
rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).
PENUTUP
Status floristik jenis tegakan pada hutan setelah penebangan akan mampu mempunyai
tingkat kekayaan jenis yang tinggi, walaupun secara relatif akan tetap lebih rendah dibandingkan
kondisi hutan primer. Dengan tebang pilih, sebaran kemerataan dominansi jenis terjadi pergeseran
dengan tetap mempertahankan sebaran keragaman jenisdalam tegakan. Sepanjang 17 tahun setelah
penebangan, komunitas tegakan akan cenderung mendekati kondisi komunitas tegakan hutan
primer.
Pertimbangan status floristik jenis penyusun tegakan terutama pada areal-areal hutan
produksi menjadi penting untuk pengelolaan populasi tegakan di hutan-hutan bekas tebangan,
terutama dengan tujuan kelestarian hasil untuk jenis-jenis yang ditebang/komersial dengan tetap
mempertahankan aspek konservasi dari kekayaan keragamanhayati jenis yang ada.
Diucapkan terima kasih kepada Balai Besar Penelitian Dipterokarpa atas ijin pemanfaatan
data pengukuran tegakan plot ukur permanen pada stasiun hutan Labanan.
DAFTAR PUSTAKA
Bischoff W, Newbery DM, Lingenfelder M, Schnaeckel R, Petol GH, Madani L, Risdale CE. 2005.
Secondary succession and Dipterocarp recruitment in Bornean rain forest after logging. Forest
Ecol Manag. 218:174-192. doi:10.1016/j.foreco.2005.07.009.
Bunyavejchewin S, LaFrankie JV, Baker PJ, Kanzaki M, Ashton PS, Yamakura. 2003. Spatial
distribution pattern of the dominant canopy Dipterocarp species in a seasonal dry evergreen
forest in Western Thailand. Forest Ecol Manag. 175:87-101.
Ipor IB, Tawan CS, Ismail J, Bojo O. 1999. Floristic Compositions and Structures of Forest at Bario
Highlands, Sarawak. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation. 15hlm.
Ishida H, Hattori T, Takeda Y. 2005. Comparison of species composition and Richness between primary
and secondary lucidophyllous forests in two altitudinal zones of Tsushima Island, Japan. Forest
Ecol Manag. 213:273-287.
Krebs CJ. 2006. Ecology after 100 years: Progress and pseudo-progress. N Z J Ecol.30(1):3-11.
Lee SL, Ng KKS, Sawa LG, Lee CT, Muhammad N, Tanib N, Tsumurab Y, Koskelac J. 2006. Linking the
gaps between conservation research and conservation management of rare dipterocarps: A case
study of Shorea lumutensis. Biol Conser. 131:72-91.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB): Croom Helm Limited.
Mani S, Parthasarathy N. 2006. Tree diversity and stand structure in island and coastal tropical dry
evergreen forests of peninsular India. Curr Sci. 90(9):1238-1246.
Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York (US):
John Wiley & Son.
Muhdi. 2012. Efektivitas pemanenan kayu dengan teknik Reduced Impact Loggingterhadap cadangan
massa karbon di hutan alam tropika, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Naito Y, Kanzaki M, Iwata H, Obayashi K, Lee SL, Muhammad N, Okuda T, Tsumura Y. 2008. Density-
dependent selfing and its effects on seed performance in a tropical canopy tree species, Shorea
acuminata (Dipterocarpaceae). Forest Ecol Manag. 256:375-383.
Ng KKS, Lee SL, Ueno S. 2009. Impact of selective logging on genetic diversity of two tropical tree
species with contrasting breeding systems using direct comparison and simulation methods.
Forest Ecol Manag. 257:107-116. doi:10.1016/j.foreco.2008.08.035.
Sodhi NS, Koh LP, Clements R, Wanger TC, Hill JK, Hamer KC, Clough Y, Tscharntke T, Posa MRC, Lee
TM. 2010. Conserving Southeast Asian forest biodiversity in human-modified landscapes. Biol
Conserv. 143:2375-2384.doi:10.1016/j.biocon.2009.12.029.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
Populasi dan produksi alam gaharu jenis Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke di Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) saat ini sudah semakin menurun. Pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober
2004 di Bangkok jenis ini telah dimasukkan ke dalam Apendix II. Hal ini karena banyaknya gangguan
seperti illegal logging, teknik pemanenan yang tidak tepat, dan belum banyak dilakukan penanaman.
Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu segera dilakukan konservasi berupa pengembangan
penanaman, dan perlindungan pohon gaharu yang masih ada, oleh karena itu untuk tujuan konservasi
perlu diketahui data status sebaran dan populasi gaharu saat ini. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendapatkan data dan informasi status sebaran dan populasi gaharu saat ini di NTT. Metode
penelitian dengan menggunakan plot sistimatik sampling 1 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
populasi gaharu menyebar secara alami di kawasan hutan pulau Flores (Kabupaten Manggarai Barat,
Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagakeo, Ende, Sikka, dan Flores Timur), Sumba (Sumba
Timur, Sumba Tengah), dan Timor (Amfoang Utara dan Selatan-Kabupaten Kupang), Populasi pohon
induk gaharu di pulau Sumba dan Timor sudah sangat rendah. Jumlah pohon induk dan permudaan
alam gaharu yang dihasilkan di pulau Flores,Timor, Sumba, bervariasi yaitu jumlah 2-3 pohon/ha,
dengan regenerasi tingkat semai, pancang dan tiang. Jumlah pohon induk per pohon induk yang
dapat menghasilkan permudaan alam adalah 36-82 %, dengan rata-rata jumlah permudaan 0,80-
53,59 anakan/pohon. Status populasi masih cukup baik untuk menunjang regenerasi perlu kegiatan
mendesak dilakukan untuk konservasi gaharu.
PENDAHULUAN
Gaharu mempunyai nama perdagangan agarwood, eaglewood atau aloewood yang merupakan
merupakan salah satu jenis hasil hutan bukan kayu yang sangat potensial dan bernilai ekonomi
tinggi di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Gaharu selama ini dikenal karena memiliki sifat khas
dan nilai ekonomi tinggi yang disebabkan oleh adanya bau wangi dari pendamaran (senyawa minyak
atsiri) pada bagian tertentu dari bagian kayu pohon penghasil gaharu akibat infeksi oleh jamur
atau bakteri (Beniwal, 1989). Gaharu banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum,
pewangi ruangan, hio, dupa, minyak wangi, dan sebagai obat tradisional. Bentuk perdagangan gaharu
beragam mulai dari kayu bongkahan, chip, serbuk, dan minyak gaharu. Gaharu banyak diekspor ke
Negara-Negara Arab, Singapura, dan China (Wiradinata, 1995).
Pohon inang penghasil gaharu di NTT yang banyak dieksploitasi adalah jenis Gyrinops
versteegii Domke. Jenis ini mempunyai nilai ekonomi tinggi dan laku di pasar dunia seperti Cina,
Jepang, Korea, Hongkong. Para pekerja yang mencari gaharu biasanya mencoba dari pohon bagian
batang lapuk, ditumbuahi anggrek atau benalu, akan tetapi sangat sulit dikenali secara pasti tentang
tingkatan kandungan dan kualitas gaharunya. Oleh karena ketidak pastian yang tinggi, masyarakat
pencari gaharu umumnya mengadakan pengumpulan gaharu dengan cara mencoba-coba menebang
pohon–pohon yang mereka duga menghasilkan gaharu. Kadang kala sering dilakukan oleh orang yang
tidak berpengalaman dan dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa terkendali. Hal
ini akan banyak mempercepat kerusakan dan penurunan populasi pohon penghasil gaharu.
Dampak dari terjadinya penurunan populasi ini, maka makin menipisnya persediaan gaharu
dan pada tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok gaharu jenis Gyrinops sp. telah dimasukkan ke dalam
Apendix II CITES (Species of Wild Fauna and Flora) gaharu dimasukkan ke dalam jenis Appendix II
(WWF Indonesia, 2008) dan menurut IUCN (2007) status gaharu sudah dimasukkan jenis yang
berisiko punah (vulnerable) (IUCN, 2007). Oleh karena itu perlu segera dilakukan upaya penyelamatan
atau perlindungan populasi gaharu. Akan tetapi sistem ini belum bisa melindungi inang gaharu dari
kepunahan karena pencurian yang masih tetap tinggi dan produk gaharu terdiri dari banyak jenis dan
sulit membedakan asal usul hasil gaharu yang dijual berasal dari jenis/species mana yang termasuk
dilindungi, apa lagi yang sudah berbentuk minyak, dan juga tergantung persetujuan pedagang dari
negera penjual dan pembeli.
Upaya-upaya tersebut berupa konservasi untuk menanggulangi permasalahan ini maka perlu
segera dilakukan berupa pengembangan budidaya dan pelestarian baik in situ maupun ek situ oleh
pengusaha, pemerintah, dan masyarakat sehingga dapat mempertahankan kelestarian, dan sebagai
konservasi berupa pengembangan populasi.
Oleh karena itu maka diperlukan data dan informasi mengenai status lokasi sebaran dan
populasi saat ini, sehingga dalam perlindungan sisa populasi yang masih tersisa bisa dilakukan tepat
guna. Oleh karena itu maka penyusunan IPTEK konservasi berupa pelestarian dan pengembangan
budidaya serta produksi gaharu sangat diperlukan terutama data dan informasi tentang status
sebaran gaharu saat ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi
karakteristik sebaran, dan status populasi, gaharu saat ini di NTT. Hasil penelitian yang ini berguna
untuk konservasi gaharu saat ini dan dimasa mendatang.
B. Bahan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan bahan peta : peta kawasan hutan, peta administratif. Alat
ukur: phi band, haga meter, meter roll, kaliper, kompas, termometer, higrometer, luks meter, bor
tanah, dan kamera. Alat bantu yang digunakan antara lain: tali nilon, kantung plastik, spidol, label,
cat, tiner, kuas, dan parang.
C. Metode Penelitian
Untuk mengetahui status populasi dan sebaran alam pohon penghasil gaharu di NTT, dilakukan
pengamatan data dengan cara wawancara dengan instansi pemerintah, kelompok masyarakat
pengumpul gaharu, dan masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran informasi awal tentang sebaran dan status populasi gaharu di daerah tersebut saat ini.
Pada lokasi-lokasi kawasan hutan yang ada populasi pohon gaharunya dilakukan pengamatan
data jumlah populasi gaharu tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dengan cara membuat plot
secara sistimatik sampling dengan intensitas 1 %, pada setiap lokasi, yaitu dengan cara membuat
plot transek. Penempatan awal titik dengan cara random sampling secara jalur dengan ukuran lebar
20 m yang memanjang mulai dari dataran rendah sampai pucak sampai ketinggian tempat tumbuh
yang masih ada populasi gaharunya. Setiap lokasi dibuat 2 jalur dengan jarak antar jalur 100 m. Pada
masing-masing ketinggian tempat tumbuh dilakukan pengamatan data dengan membuat 1 plot
ukuran 20 m x 20 m, dengan mencari pohon induk gaharu yang dipakai sebagai pusat plot dengan
cara membuat plot berbentuk segi empat ukuran 20 x 20 m dimana plot 1 x 1 m untuk pengamatan
tingkat semai, 5 x 5 m untuk tingkat sapih (tinggi batang < 1,5 m dan diameter batang < 5 cm), dan 10
x 10 m untuk tingkat tiang (diameter batang 5-19 cm), dan 20 x 20 m untuk tingkat pohon (diameter
batang > 19 cm Masing-masing lokasi- diamati pada 3 ketinggian tempat tumbuh (< 300 m, 300-600
m dpl. 600-900 m).
Di Propinsi NTT (pulau Timor, Flores dan Sumba) ditemukan 3 jenis tumbuhan yang
potensial sebagai penghasil gaharu antara lain Gyrinops verstegii (Gig) Domke, Wikstromia sp. dan
gaharu buaya (Excoecaria agallocha L.). Jenis-jenis pohon gaharu di NTT terdiri dari 2 suku yaitu:
Thymeleaceae, dan Euporbiacea dan tiga marga yaitu: Wikstromia, Gyrinops, Excoecaria.
Gaharu di NTT dari jenis Gyrinops verstegii (Gig) Domke populasinya paling banyak dan
ukuran pohonnya lebih tinggi, sedangkan sedangkan jenis Wikstromia jarang ditemukan dan
memiliki pertumbuhan pohon yang lebih kecil dan pendek. Dari 3 jenis inang penghasil gaharu maka
jenis Gyrinops versteegii Domke yang dieksploitasi karena memiliki kualitas kadar minyak, nilai
ekonomi cukup tinggi dan sangat diminati serta laku di pasaran dunia. Jenis ini mempunyai nama
lokal yang berbed-beda setiap daerah sesuai dengan lokasi penyebarannya di Flores dikenal dengan
nama nuko (Ngada), cue (Manggarai), kua (Flores Timur), kayu garu (Ende), hauma (Sumba), akusu
(Amfoang, Kabupaten Kupang). Jenis ini menyebar tumbuh di daerah perbukitan-pegunungan dan
masyarakat lokal sering menyebut dengan nama gaharu gunung.
Hasil eksplorasi penyebaran pohon gaharu disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebaran gaharu (Gyrinops versteegii) di NTT ditemukan di pulau
Flores (Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagakeo, Ende, Sikka,
dan Flores Timur), Sumba (Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat), dan Timor (Kabupaten
Kupang: Amfoang Utara, Amfoang Tengah, dan Amfoang Selatan di Kawasan Hutan lindung Mutis
Timau. Penyebaran populasi gaharu paling banyak terdapat di pulau Flores yang hampir menyebar di
seluruh kabupaten di daerah pegunungan, sedangkan di pulau Timor dan Sumba.
Jumlah populasi gaharu di pulau Flores, Timor, dan Sumba saat ini disajikan pada Tabel 2. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jumlah populasi gaharu di NTT berturut-turut dari yang tertinggi-
terendah yang ada di pulau Flores bervariasi dengan jumlah pohon 2,04-20,5 pohon/ha yang terdiri
dari permudaan alam tingkat semai, sapih, dan tiang 13,25-39,10, disusul di pulau Timor dengan
jumlah pohon 0,22-0,43 pohon/ha dengan permudaan alam tingkat semai, sapih, tiang 1,92 – 3,24
anakan/ha dan pulau Sumba jumlah pohon 0,01-0,02 pohon/ha dengan permudaan alam tingkat
semai, sapih, tiang 0,81 – 1,01 anakan/ha. Jumlah populasi gaharu di pulau Flores lebih baik dari
pada di pulau Timor dan Sumba yang dewasa ini sudah sangat berkurang. Populasi anakan gaharu di
pulau Sumba dan Timor baik pada tingkat semai dan sapih sangat kurang.
Tabel 2. Jumlah rata-rata populasi gaharu tingkat semai, pancang, dan pohon induk
Flores
Nawakoten (Flotim) 5,35 3,70 2,10 4,40 17,65
Egon (Sikka) 16,70 10,77 7,86 5,60 40,93
Illigae (Ende) 15,11 4,04 3,23 2,04 24,,62
Wawawae (Ngada) 77,00 49,00 36,00 20,5 50,35
Mulwa (Manggarai) 20,15 11,50 7,45 11,25 50,35
Timor
Hunuk,Amfoang Utara (Kupang) 0,66 1,00 0,26 0,22 2,14
Oaem (Amfoang Selatan) 0,03 0,67 2,53 0,43 3,67
Sumba
0,11
Tanadaru 0,70 0,20 0,01 1,02
0,82
Wanggameti 0,21 0,50 0,10 0,02
Status populasi alami gaharu dewasa ini sudah semakin terbatas. Penyusutan ini karena
eksploitasi yang dilakukan secara berlebihan, pemotongan pohon gaharu dilakukan dengan
mencoba-coba walaupun belum mengandung gaharu. Disamping itu perburuan anakan alam untuk
pengembangan tanaman mempercepat penurunan sebaran populasi alam (Surata et. al., 2009).
Hal ini banyak dijumpai di pulau Timor dan Sumba karena permintaan dan harganya yang tinggi,
kondisi ini meningkatkan perburuan gaharu oleh masyarakat. Minimnya jumlah pohon induk
karena dieksploitasi secara terus menerus menyebabkan semakin berkurangnya pohon induk
untuk permudaan alam gaharu. Oleh karena itu guna perlindungan populasi perlu segera dilakukan
penghentian penebangan pohon induk dan anakan gaharu di alam dan secepatnya digalakkan
kegiatan budidaya.
Jumlah permudaan alam pohon gaharu (tingkat semai, sapih dan tiang) di Flores, Timor dan
Sumba disajikan pada Tabel 3. Rata-rata jumlah permudaan alam tingkat semai pancang dan tiang di
ketiga lokasi tersebut berbeda. Keberhasilan pohon induk menghasilkan permudaan alam gaharu di
pulau Flores sebanyak 82 % (53,59 anakan/ha), kemudian disususl pulau Timor sebanyak 58 % pohon
nduk (2,49 anakan/ha) dan pulau Sumba 36 % (0,81 anakan/ha) Jumlah permudaan yang tumbuh
pada ke tiga lokasi tersebut bervariasi dari 0-25 anakan/ha. Dengan demikian di pulau Flores adalah
yang terbanyak pohon induk yang menghasilkan permudaan alam. Pohon induk di pulau Flores paling
baik meningkatkan jumlah permudaan karena di pulau Flores pohon induk ukuran diameternya lebih
besar dan tingkat gangguannya terhadap pohon induk lebih rendah.
Tabel 3. Jumlah rata-rata permudaan, tingkat semai pancang pohon induk, frekuensi tertinggi
permudaan pada masing-masing pulau
Pada hutan campuran yang terlalu rapat pertumbuhan permudaan alam gaharu dihambat
oleh naungan pohon hal ini menyebabkan meningkatkan kematian semai. Perbandingan total rata-
rata pohon induk dan permudaan alam di pulau Flores tinggi sedangkan di pulau Sumba dan Timor
rendah (Tabel 3). Data ini juga menunjukkan bahwa populasi permudaan alam gaharu tingkat semai
di Sumba dan Timor lebih kecil dari pada sapih dan tiang. Hal ini karena kematian anakan permudaan
gaharu pada tingkat semai cukup tinggi akibat gangguan kekeringan dan juga pencabutan anakan
alam untuk budidaya.
Jumlah permudaan alam pohon induk di pulau Timor dan Sumba dinilai masih rendah yaitu 36-
58 % pohon induk dan beregenerasi alam rata-rata 49 % (Tabel 3). Hal ini menunjukkan kelestarian
gaharu di Sumba dan Timor sangat terancam mengingat tidak semua pohon induk mempunyai
permudaan alam. Untuk mempertahankan dan meningkatkan permudaaan alam yang masih kurang
dan permudaan yang sudah ada, perlu dilakukan pemeliharaan berupa perlindungan dari gangguan
dan perburuan pengambilan anakan di alam.
Jarak tumbuh permudaan dari pohon induk 0,12 – 3,20 m, dengan komposisi 75 % pada jarak
< 1 m dan 25 % jarak ≥ 1 m. Dengan demikian pertumbuhan permudaan alam gaharu mendekati pohon
induk, dan hal ini diduga karena agen penyebar sangat kurang.
Menurut Young et. al. (2000) konservasi eks situ dapat didekati dengan dua pendekatan
sekaligus yaitu dinamis dan statis. Konservasi genetik eks situ dinamis adalah preservasi populasi di
dalam hutan buatan yang terdiri dari tanaman hasil perbanyakan seksual di luar habitat alaminya
untuk tujuan pemuliaan dan pembangunan hutan tanaman. Saat ini konservasi genetik eks situ
dinamis belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu segera dilakukan pengumpulan materi
genetik baik generatif maupun vegetatif yang unggul dan harus segera dilakukan untuk mendukung
program konservasi. Pendekatan statis mengandung makna preservasi flora dengan pembangunan
kebun raya atau kebun biologi /arboretum untuk penyelamatan dan sebagai wahana pendidikan
dan penelitian. Sampai saat ini pembangnan kebun biologi di NTT belum ada. Oleh karena itu
pembangunan kebun biologi untuk penyelamatan jenis gaharu yang khas perlu segera dilakukan.
Konservasi eks situ bertujuan untuk meningkatkan populasi dan juga untuk melayani program
breeding dan bioteknologi, sehingga lokasi breeding dan bioteknologi diharapkan pada wilayah yang
dirancang untuk pengembangan pembangunan hutan tanaman gaharu yang komersial.
Selain konservasi eks situ pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah koonservasi in situ.
Konservasi in situ adalah konservasi genetik suatu species atau group species di daerah sebaran
alaminya. Secara teori konservasi ini sangat cocok untuk konservasi genetik jangka panjang pada
sebagian besar jenis terutama jenis yang sudah mulai langka dan terancam punah seperti gaharu,
sehingga interaksi genetik dengan lingkungannya serta adaptasi dan evolusi yang ada tetap dapat
dipertahankan secara lestari. Jadi meskipun pertanaman dalam konservasi eks situ sudah dilakukan,
maka konservasi in situ masih perlu dilakukan. Konservasi in situ memiliki keunggulan agar jenis
target masih dapat berevolusi secara alami di habitat aslinya, sehingga dalam jangka panjang dapat
memberikan variasi tambahan.
Akhir kegiatan eksploitasi mendapatkan bahan genetik tanaman gaharu dari sebaran
alaminya di NTT untuk tujuan konservasi eks situ dalam rangka kegiatan menjaga agar populasinya
meningkat dan memeliki keragaman genetik yang tinggi (konservasi in situ) merupakan suatu
agenda mendesak yang harus segera dilakukan, dengan harapan populasi gaharu di NTT tetap terjaga
dan lestari.
A. Kesimpulan
1. Status penyebaran populasi gaharu (Gyrinops versteegii Domke) di NTT tumbuh menyebar secara
alami di kawasan hutan di pulau Flores (Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai
Timur, Ngada, Nagakeo, Ende, Sikka, dan Flores Timur), Sumba (Sumba Timur, Sumba Tengah
dan Sumba Barat), dan Timor (Kabupaten Kupang).
2. Jumlah populasi gaharu di pulau Flores lebih baik dari pada di pulau Timor dan Sumba. Jumlah
populasi gaharu di NTT berturut-turut dari yang tertinggi-terendah ada di pulau Flores dengan
variasi jumlah pohon 2,04-20,5 pohon/ha dengan permudaan alam tingkat semai, sapih, tiang
13,25-39,10 pohon/ha.
3. Permudaan alam gaharu yang dihasilkan di pulau Flores,Timor dan Sumba bervariasi yaitu
jumlah pohon induk yang dapat menghasilkan permudaan alam adalah 36-82 %, rata-rata jumlah
permudaan 0,80-53,59 anakan/pohon.
4. Untuk menjaga agar populasinya memiliki keragaman genetik yang tinggi (konservasi in situ)
di habitat alaminya, merupakan suatu agenda mendesak yang harus segera dilakukan, dengan
harapan populasi gaharu di NTT tetap terjaga dan lestari.
B. Saran
Jumlah pohon induk gaharu di NTT kususnya di P. Timor dan p. Sumba sudah sangat
mengkawatirkan oleh karena itu sisa populasi yang masih perlu dilakukan konservasi melalui
perlindungan dan adanya upaya budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Beniwal, B.S. 1989. Silvica Characteristics of Aquilaria agallocha Rob. Indian Forester.
Schmidt, F.G.and J.H.A. Ferguson .1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia
with Western New Guinea. Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakarta.
Frankel, O.H., Brown, A.H.D, 1998. The Conservation of Plant Biodiversity. United Kingdom.
Cambridge University Press.
IUCN 2007. IUCN Red List of Threatened Species. <http://www.iucnredlist.org/> diakses tanggal 23
Maret 2011
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1993. Peta Tanah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor.
Bogor.
Surata, I.K. N. Estikasari, N.A. Prasetio., G.S. Saragih. 2009. Status teknik budidaya dan produksi
gaharu di NTT. Laporan Hasil penelitian Program Insentif Riset. Direktorat Jendral Pendiikan
Tinggi. Balai penelitian Kehutanan Kupang (Tidak dipublikasikan).
WWF Indonesia, 2007. Tanaman langka di Indonesia <http://www.wwf. org.id/> diakses tanggal 11
Januari 2009
Young, A.. D. Boshier and T. Boyle. 2000. Forest Conservation Genetic, Principle and Practice. CABI
Publishing.
ABSTRAK
Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin Maros memiliki kondisi lingkungan yang beragam
baik dari karakteristik tanah dan topografi maupun karakteristik vegetasi penyusunnya yakni
terdapat tegakan pinus, mahoni, akasia, dan campuran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mendeskripsikan karakteristik tanah berupa
hara ( kimia) tanah pada tegakan tegakan pinus tahun tanam 1952 dan tahun tanam 1970 dan
mengetahui biomassanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hara tanah cukup beragam pada kedua tegakan dengan
kriteria rendah sampai sedang, namun secara umum tegakan Pinus Tahun tanam 1970 lebih tinggi
kandungan haranya. Sedangkan biomassa maupun volume tegakan pinus tahun tanam 1952 lebih
tinggi daripada tahun tanam 1970, akan tetapi berat jenis rata-rata pohon pinus tahun tanam 1952
lebih rendah daripada tahun tanam 1970.
Kata kunci: tegakan, hara tanah, biomassa, volume tegakan, berat jenis
ABSTRACT
Hasanuddin University Experimental Forest has a variety of soils, topographic feature, and
vegetation including pinus, mahoni, acacia, and natural mixed stands.
This research aims to provide soil chemical characteristics description under both Pinus
merkussii 1952 and 1970 stands. Field research was carried out from 2013 to 2014. Through
purposive plot samples. Soil description and analysis were perform to describe C-organic content, total
CEC, available phospore and potassium. Biomass is analysed by diametre, volume, and wood density
analysis.
Research results showed that under those varieties of plantation stand both pinus 1952 and
pinus 1970 have a heterogenous soil nutrient characteristics. Pinus 1952 is higher in biomass and
volume than pinus 1970, whenever it is contrast in wood density.
PENDAHULUAN
Kondisi edhapis atau tempat tumbuh merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat
mempengaruhi proses fisiologis pohon, sehingga akan menyebabkan pertumbuhan pohon yang
beragam. Sesuai dengan konsep Klebs yang menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman atau pohon
sangat ditentukan oleh proses fisiologis tanaman atau pohon itu sendiri, dimana proses fisiologis ini
merupakan interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan.
Salah satu bagian dari faktor edhapis adalah sifat tanah, dimana sifat tanah merupakan
bagian dari faktor lingkungan. Sifat fisik dan kimia tanah sangat menentukan potensi lahan, karena
turut mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman atau produktivitas tegakan (Hakim dkk.,
1986).
Dari segi Topografi, Kawasan Hutan Pendidikan berada pada ketinggian 300-800 m dpl,
dengan keadaan lapangan berbukit, bergunung-gunung di bagian Utara dan Barat, makin ke Timur
Selatan bergelombang sampai datar. Hal tersebut semakin memperjelas bahwa kondisi edhapis di
kawasan hutan pendidikan sangat bervariasi. Belum lagi tipe dan struktur tegakan sebagai penyusun
vegetasi di hutan pendidikan, dimana terdiri atas hutan alam/campuran dan hutan tanaman. Hutan
tanaman terdiri atas jenis pinus (Pinus merkusii), mahoni (Swietenia macrophylla), dan akasia
(Acacia sp.).
Mengingat beragamnya karakteristik biofisik pada hutan pendidikan Unhas tersebut, maka
memerlukan kajian ilmiah lanjutan yang mendalam untuk menggali informasi kandungan hara
pada berbagai kondsi tegakan serta biomassa pada tegakan Pinus sehingga menjadi bahan untuk
menerapkan teknik silvikultur yang tepat dalam rangka mempertahankan kelestarian tegakan hutan
sebagai sistem penyangga kehidupan.
dengan menggunakan metode penjenuhan ammonium asetat; P2O5 tersedia dianalisis dengan
menggunakan metode Olsen; K2O tersedia dianalisis dengan metode penjenuhan asam klorida dan
ditetapkan dengan flame photometer.
1.Hara Tanah
Status nilai rataan konsentrasi terendah dan tertinggi sifat kimia tanah serta kriteria
penilaiannya masing-masing tegakan berdasarkan Staf PPT (1983) disajikan pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Karakteristik Hara Tanah di Bawah Tegakan Pinus Berdasarkan Staf PPT (1983)
Bahan organik P2O5 Nilai Tukar Kation (NH4-Acetat 1N, pH7)
Walkley Kri- Kjel- Kri-
Kri- Bray Kri- Kri- Kri- Kri- Kri-
Kode & Black teria dahl C/N teria Ca Mg K Na
Urut teria teria teria teria teria teria
sampel C N P2O5
Rataan konsentrasi C organik tanah di bawah tegakan pinus (tahun tanam 1970) lebih tinggi
dibanding tegakan pinus (tahun tanam 1952), namun berdasarkan Kriteria PPT 1983, kedua lokasi
termasuk rendah. Tinggi rendahnya kadar C organik berhubungan dengan produksi bahan organik
tegakan itu sendiri maupun tumbuhan bawahnya. Berdasarkan kondisi tegakannya di lapangan,
serasah yang dihasilkan oleh tegakan pinus (tahun tanam 1970) sendiri terlihat lebih banyak
dibanding tegakan pinus (tahun tanam 1952), tingginya kadar bahan organik tersebut diduga berasal
dari serasah.
Kecepatan dekomposisi serasah merupakan faktor lain yang berpengaruh pada kadar C organik.
Hal ini tergantung pada kualitas serasah dan peran organisme tanah yang dapat berdampingan
dengan tegakan tersebut. Tegakan pinus (tahun tanam 1952) dengan nilai C organik lebih rendah,
KEHUTANAN UMUM 303
KOMISI D
mengingat pada lantai hutan tegakan pinus terdapat akumulasi bahan organik, namun tidak
terdekomposisi menjadi unsur hara tersedia bagi tanaman. Hal ini terjadi karena pH yang rendah
dan serasah pinus yang mengandung lignin yang tinggi sehingga sukar mengalami perombakan oleh
mikroorganisme.
b. Nitrogen (N)
Berdasarkan standar PPT (1983) konsentrasi N pada tanah-tanah di bawah tegakan pinus
tahun tanam 1952 dan 190 memiliki kisaran tergolong sedang (S) pada lapisan atas dan rendah (R)
pada lapisan bawah. Artinya semakin ke bawah semakin berkurang kadar N. Fenomena ini terjadi
karena pada lapisan atas terdapat serasah (sumber bahan organik) yang lebih banyak, sehingga
kadar N juga meningkat. Hutan pinus meskipun banyak serasah pinus, namun lambatnya proses
dekomposisi menyebabkan kadar nitrogen pada bagian bawah menjadi menurun.
Pada umumnya kecenderungan N seiring dengan kecenderungan C organiknya karena bahan
organik merupakan sumber utama N. Rata-rata hampir semua tipe tegakan memiliki kriteria kadar C
organik yang sama dengan kandungan N. Namun, kadar N tidak semata-mata hanya tergantung pada
kadar C organiknya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perombakan bahan organik mempunyai
pengaruh terhadap kadar N, faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu, kelembaban, tata udara
tanah, pengolahan, pH dan jenis bahan organik (Hardjowigeno, 2007). Pinus merupakan spesies
yang daunnya sulit lapuk sehingga walaupun kadar C organiknya lebih besar namun kadar N nya
lebih kecil. Alasan lainnya, diduga bahwa pinus mempunyai kemampuan memfiksasi N lebih rendah
dibanding tegakan lainnya. Kemampuan memfiksasi N inilah yang menyebabkan kadar N pada
masing-masing tegakan berbeda.
c. Fosfor (P).
Secara vertikal konsentrasi P yang terdapat pada tanah padakedua tegakan pinus menunjukkan
adanya keseragaman, yaitu sama sangat rendah kadar P. Namun kalau dilihat nilai P maka tegakan
pinus tahun tanam 1952 lebih tinggi daripada tahun tanam 1970.
Reaksi tanah (pH) sangat menentukan tinggi rendahnya konsentrasi P tersedia di dalam tanah. pH
tanah yang harus dipertahankan agar P tersedia dalam jumlah maksimum adalah 6 - 7. Tanah di
areal penelitian mempunyai pH 4,48 – 5,71 maka pH merupakan penghambat bagi ketersediaan P
(Soepardi, 1983).
d. Kalium (K)
Konsentrasi K total tanah yang terdapat pada tegakan pinus tahun tanam 1952 lebih tinggi
daripada tahun tanam 1970. Bahan organik merupakan salah satu sumber penyumbang K tanah,
sehingga terdapat korelasi antara kandungan C organik dengan kandungan K, hal ini sesuai dengan
landasan teoritis dimana bahan organik segar selain mengandung unsur-unsur C, H, dan O juga
mengandung unsur-unsur N, P, K Ca, Mg, dan S. (Mindawati, 1996 dan Sudarsono, 1996). Selain
itu penyumbang kandungan K tanah berasal dari mineral-mineral biotit, ortoklas, feldspar, illit,
vermikulit, montmorilonit dan alofan(Soepardi (1983); Ruhiyat (1993) dan Hardjowigeno (2007)).
e. Kalsium (Ca).
Konsentrasi Ca++ menurun dari lapisan atas ke lapisan bawah. Pola tersebut mengikuti pola
konsentrasi C organik tanahnya, yang berarti bahwa bahan organik merupakan sumber utama Ca++
tanah yang diteliti. Kecilnya konsentrasi mineral sumber Ca++ pada kedua tegakan pinus memperkuat
asumsi bahwa sumber utama Ca++ berasal dari bahan organik.
Kelarutan Al dan Fe yang tinggi sehingga akan mengikat P menjadi Al-P dan Fe-P sehingga
menjadi tidak larut dalam tanah. Hal ini bisa terjadi ketika pH tanah dalam keadaan masam. Beberapa
senyawa Fe yang dapat memfiksasi P terdapat dalam bentuk antara lain ferrioksida, goethit, limonit,
2. Biomassa
Untuk mengetahui besarnya biomassa setiap tipe tegakan, maka diperlukan data berat jenis
masing-masing contoh batang yang diperoleh dari perhitungan berat jenis sampel batang yang
diambil di lapangan atau diperoleh dari ketetapan yang sudah ada. Besaran biomassa masing-masing
plot pengamatan dan tipe tegakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Volume, Bera Jenis, dan Biomassa Beberapa Jenis Tegakan di Hutan Pendidikan Unhas
Tahun 1952 Tahun 1970
No. Plot Volume Volume
Berat jenis Biomassa Berat jenis Biomassa
(m3/ha) (m3/ha)
1 142.64 0.77 109.83 86.50 0.82 70.93
2 148.06 0.6 106.60 65.03 0.8 52.02
3 137.16 0.6 82.30 103.38 0.73 75.47
4 111.90 0.65 72.73 107.13 0.88 94.28
5 126.12 0.71 89.55 134.81 0.7 94.37
Rata-rata 133.18 0.67 92.20 99.37 0.79 77.41
Nilai Biomassa pada tegakan Pinus (Pinus merkusii) tahun 1952 rata-rata sebesar 92,2
kg/ha, sementara tegakan Pinus (Pinus merkusii) tahun 1970 rata-rata sebesar 77,41 kg/ha.
Hal ini disebabkan volume tegakan pinus tahun tanam 1952 lebih besar yaitu sebesar 133,18 m3/
ha, sedangkan pada pinus tahun tanam 1970 lebih rrendah hanya sebesar 99,37 m3/ha. Namun
kecenderungan ini tidak berlaku pada berat jenis kayunya, dimana justru berat jenis pinus tahun
tanam 1970 lebih tinggi daripada tahun tanam pula. Untuk lebih ringkasnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
Secara umum tinggi rendahnya biomassa sangat ditentukan oleh umur tegakan, dimana
tegakan pinus yang ditanam tahun 1952 atau telah berumur kurang lebih 62 tahun memiliki
biomassa lebih tinggi dibandingkan tegakan pinus yang ditanam pada tahun 1970 atau telah berumur
kurang lebih 44 tahun, dengan nilai biomassa masing-masing yaitu 92,20 kg/ha dan 77,40 kg/ha.
Tingginya biomassa pada tegakan yang lebih tuatersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa biomassa tegakan mahoni yang lebih tua termasuk tinggi terutama pada
batang yang mencapai 235,764 kg (Adinugroho dan Sidiyasa, 2006).
Hasil penelitian lainnya pada tegakan lain yaitu akasia memiliki biomassa 86,91 kg/ha
dengan jumlah biomassa terbesar pada bagian batang dengan nilai biomassa 82,72 kg/ha. Hal ini
menyebabkan tingginya produktivitas tegakan akasia disebabkan adanya perlakuan pemberian
pupuk pada tanaman sela berupa kakao (Tsai, 1986).
Perbedaan nilai biomassa tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Antara jenis berdaun jarum
dan berdaun lebar mempunyai perbedaan metabolisme dan fisiologis pohon, sehingga hal itu yang
menyebabkan proses penyerapan, translokasi, fotosintesa, respirasi yang berbeda pula. Pada
akhirnya kualitas dan kuantitas pertumbuhan (fenotip) juga berbeda-beda.
Faktor reaksi tanah (pH) turut mempengaruhi biomassa, dimana umumnya pH tanah di
bawah tegakan pinus lebih masam. Kemasaman tanah berarti meningkatnya ion H+ yang terikat oleh
koloid. Ikatan kuat tersebut menyebabkan sukarnya melepaskan kation-kation sehingga kapasitas
tukar kation rendah. Hal inilah yang menyebabkan tegakan pinus memiliki biomassa yang lebih
rendah dibanding jenis lain karena KTK rendah (Hardjowigeno, 2001).
KESIMPULAN
Karakteristik hara tanah cukup beragam pada kedua tegakan dengan kriteria rendah sampai
sedang, namun secara umum tegakan Pinus Tahun tanam 1970 lebih tinggi kandungan haranya.
Sedangkan biomassa maupun volume tegakan pinus tahun tanam 1952 lebih tinggi daripada tahun
tanam 1970, akan tetapi berat jenis rata-rata pohon pinus tahun tanam 1952 lebih rendah daripada
tahun tanam 1970.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, WC dan Sidiyasa, Kade, 2006. Model Pendugaan Biomassa Pohon Mahoni (Swietenia
macrophylla King) Di Atas Permukaan Tanah. Jurnal penelitian Hutan dan Konservasi
alam 3 (1), 103-117. Jakarta.
Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Anonim. 1991. KimiaTanah. Direktorat Jendral Pendidikan. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta.
Arsyad, S. 2005. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Binkley, D. and C. Giardina. 1997. Biological Nitrogen Fixation in Plantations. Chapter 9 in Nam-
biar EKS and A. Brown.(Eds) Management Soil, Water and Nutrients in Tropical Planta-
tion Forests. CSIRO/CIFOR. p 297-337.
Budirman, Bachtiar dan Mukrimin, 2010. Analisis Potensi Permudaan Tegakan Hutan di Hu-
tan Pendidikan Unhas Bengo-Bengo Kabupaten Maros. Prosiding Dies Natalies Unhas.
Makassar.
Cardelus, Catherine L.; Mack, Michelle C.; Woods, Carrie; Marco Jennie De.; Treseder, Kathleen K.,
2009. The Influence ofTree Species on Canopy Soil Nutrient Status in aTropical Lowland
Wet Forest in Costa Rica. Plant Soil Journal (2009) 318:47-61. DOI 10.1007/s11104-
008-9816-9.
Dykstra dan Patriawan. 1976. Biomass and Productivities of The Tropical Moist Secondary Forest in
East Kalimantan Implication for PlantingTropical Forest and Research, PT ITCI Kenangan,
Balikpapan, Indonesia.
Fakultas Kehutanan Unhas. 2010. Kerangka Kebijakan Roadmap Penelitian Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin. Tidak dipublikasikan.
Foth H. D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah, Edisi 6. Adisoemarto S. Jakarta: Erlangga. Terjemahan
dari: Fundamental of Soil Science.
Hakim N, Yusuf N, Am Lubis, Sutopo GN, M Amin D, Go BH, HH Bailley. 1986. Dasar-dasar Ilmu
Tanah. Lampung: Universitas Lampung.
Hanafiah K A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Sarana Perkasa. Jakarta. Hal 12-28.
______________. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika Pressindo.
______________. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hasibuan B A. 2006. Ilmu Tanah. Universitas Sumatra Utara, Fakultas Pertanian. Medan.
Kopittke, Peter M., 2012. Interactions between Ca, Mg, Na dan K: Alleviation of Toxicity in Saline
Solutions. Journal Plant Soil (2012) 352:352-362. DOI 10.1007/s11104-011-1001-x.
Liu, Shihai and Yu, Xinxiao., 2009. Nutrient Cycle ofPalnted Forest of Pinus tabulaeformis in the
Miyun Reservoir Watershed, Beijing. Journal Front For China 2009, 4(1): 46-52. DOI
10.1001/s11461-009-0019-1.
Mackensen, J. 1997. Integrated Nutrient Management in Tropical Plantation System. Ph D Thesis
Faculty of Forestry. University of Gottingen, Germany
Millang; Syamsuddin, dan Bachtiar Budirman, 2011. Pertumbuhan Awal Tanaman Gaharu (Gyrinops
sp) Asal Nusa Tenggara Barat di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin. Proceeding
Seminar Nasional Dalam rangka Dies Natalis ke 47 Fak. Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Nurkin; B., Mukrimin, Restu; Muh., Paembonan S.A., Umar; Anwar, Millang; Syamsuddin,
Bachtir; Budirman, and Gusmiaty, 2012. Exploration of Ebony’s Habitat and Population
in South Sulawesi (Gowa and Barru Regency). Forestry Research Institute of Makassar.
Makassar, pp. 1-3.
Purwanto I. 1995. Karakteristik Suhu Tanah di Bawah Beberapa Jenis Tegakan Hutan Tanaman.
Buletin Penelitian Hutan No. 587. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam.
Purwanto I, dan Gintings AN. 1995. Analisis Potensi Kesuburan Alami Tanah di Lahan HTI Muaradua
PT. Inhutani V, Lampung Utara. Buletin Penelitian Hutan No. 590. Bogor : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Rohlini dan Soeprapto Soekodarmodjo, 1989. Pengaruh Pemberian Bahan Organik, Kapur dan
Ferrisulfat terhadap Beberapa Sifat Fisik Tanah Kaitannya dengan Pertumbuhan Tanaman
pada Lahan Kritis. Berkala Penelitian Pascasarjana UGM No. 2 (1B), Yogyakarta. Hal 185-
195.
Raison, R. J.; Khanna, P. K.; and Woods, P.V. 1985. Transfer of Elements to The Atmosphere During
Low Intensity Prescribed Fires in Three Australian Subalpine Eucalypt Forest. Can. J. For.
Res. 15, 657-664
Rosmarkam, A. dan N.W. Yuwono, 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta.
Ruhiyat, D.. 1993. Dinamika Unsur Hara dalam Pengusahaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Siklus
Biogeokimia. Prosiding Lokakarya Pembinaan Hutan Tropis Lembab yang berwawasan
lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya. Departemen Kehutanan R I dan Fakultas
Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. h. 13-26.
Satto, T. and H.A.I Madgwick. 1982. Forestry Biomass. Martinus Nihjhoff, M. / Dr. W. Junk
Publishers The Hague / Boston / London.
S. Rahutomo dan E.S. Sutarta, 2001. Kendala Budidaya Kelapa Sawit pada Tanah Sulfat Masam.
Warta Penelitian Kelapa Sawit: Vol. 9 (1). PPKS Medan.
Tan, K.H. 1982. Principle of Soil Chemistry. Marce; Dekker Inc. New York.
Tambunan, W.A., 2008. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Tanah Hubungannya dengan Produksi Kelapa
Sawit di PTPN II. Tesis Sekolah Pascasarjana USU. Medan . Hal. 28.
To’uma, S. M., 2011. Studi Potensi Permudaan Tegakan Eboni dan Nyatoh di Hutan Pendidikan
Unhas Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan. Skripsi S1
(tidak dipublikasikan), Fakultas Kehutanan Unhas. Makassar.
Tsai, Lim Meng., 1986. Biomass and Productivity of 4.5 year-old Acacia mangium in Sarawak. Jurnal
Pertanika 9(1), 81-87. Selangor, Malaysia.
Umar; Anwar, Mukrimin, Nurkin, dan Gusmiaty, 2013. Kajian Sifat-Sifat Tanah Di Bawah Beberapa
Jenis Tegakan dan Produktivitasnya di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin Maros,
Laporan Akhir, LP2M Unhas, Makassar.
ABSTRAK
Getah damar merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) potensial yang telah ternama dan
memiliki nilai ekonomi tinggi serta secara signifikan berperan dalam perkembangan peradaban
dunia. Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) yang berada di Maluku Utara adalah salah satu
wilayah penyebaran alamiah Agathis dammara yang potensial untuk kawasan Timur Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi pemanfaatan HHBK getah damar sesuai fungsi
kawasan konservasi dan daya dukungnya terhadap masyarakat dan kelestarian kawasan TNAL.
Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu kombinasi teknik observasi dan pengukuran, teknik
wawancara secara mendalam, serta teknik kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penjualan
getah damar yang diperoleh Masyarakat Gosale antara Rp.18.900.000-Rp.37.800.000 per tahun dan
berkontribusi sebesar 57,80%-86,22% dari pendapatan total masyarakat. Sedangkan Masyarakat
Tayawi memperoleh keuntungan antara Rp.7.200.000-Rp.43.200.000 per tahun dan berkontribusi
11,77%-30,17% dari total pendapatan masyarakat. Pendapatan tertinggi dihasilkan oleh Masyarakat
Tayawi, namun batas minimal terendah dari pendapatan tersebut juga berasal dari Tayawi. Artinya
bahwa kontribusi pendapatan dari getah damar pada masing-masing Masyarakat tidak merata.
Dari sisi konservasi teknik penyadapan masyarakat Gosale lebih baik karena kowakan yang dibuat
tidak lebar sehingga proses menutupnya kembali kulit akan lebih cepat. Selain berkontribusi secara
ekonomi Agathis dammara juga mendukung aktivitas satwa dimana teridentifikasi sekitar 23 jenis
avifauna.
Kata kunci : Agathis dammara, daya dukung, masyarakat, Taman Nasioanal Aketajawe Lolobata
PENDAHULUAN
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) didefenisikan sebagai hasil hutan baik nabati dan hayati
beserta produk turunan dan budidayanya selain kayu seperti daun, buah, akar, dan getah yang
dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan (Dephut, 2007). Paradigma pengelolaan HHBK di
Indonesia merupakan pilihan dan kebijakan yang sangat cerdas saat ini sebab pengelolaan hutan
berbasis kayu sudah sangat mengkhawatirkan (Ekayanake et al. 2007). Kerusakan hutan akibat
pengelolaan yang kurang bijaksana dan konsisten berimplikasi pada permasalahan yang hingga kini
belum tertangani dengan baik. Pengalihan kebijakan pengelolaan HHBK akan mereduksi tekanan
dan hambatan pada pemulihan hutan, dimana keberhasilan pengalihan tersebut akan menjadi salah
satu pilar konservasi hutan, dan pelestarian biodiversitas (Prayitno, 2009).
Getah Agathis dammara (Lambert) L.Rich merupakan salah satu HHBK potensial yang memiliki
nilai ekonomi tinggi dan secara signifikan berperan dalam perkembangan peradaban dunia. Dahulu
kala getah damar digunakan sebagai bahan bakar atau media penerangan ketika malam hari dan saat
KEHUTANAN UMUM 309
KOMISI D
ini getah damar telah menjadi komoditi penting pada industri kehutanan. Getah damar menghasilkan
produk akhir berupa kopal dimana Indonesia salah satu negara penghasil kopal terbesar berkualitas
dunia, khususnya dari Sulawesi Tengah yang diekspor ke Inggris, Amerika, Perancis, Jerman dan
Belanda (Waluyo et al, 2004). Kopal digunakan sebagai bahan dasar cairan pelapis kertas agar tinta
tidak menyebar, bahan ini juga dipakai sebagai campuran lak dan vernis (Baharuddin dan Taskirawati,
2009).
Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) yang berada di Maluku Utara adalah salah satu
wilayah penyebaran alamiah A.damarra yang potensial untuk Kawasan Timur Indonesia. Potensi
A.dammara yang melimpah membuat masyarakat sekitar TNAL memanfaatkannya sebagai sumber
mata pencaharian untuk menopang perekonomian keluarga melalui penyadapan getah. Pemanfaatan
A.dammara oleh masyarakat sekitar kawasan TNAL dilakukan pada zona tradisional yaitu pada
Hutan Bukit Durian dan Hutan Tayawi. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang
ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena sejarahnya
memiliki ketergantungan dengan sumberdaya alam (Dephut, 2006).
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi pemanfaatan potensi HHBK khususnya
getah damar sesuai fungsi kawasan dan daya dukungnya terhadap masyarakat dan kelestarian TNAL.
Hal ini penting diketahui mengingat areal tersebut menjadi usulan zona tradisional oleh TNAL
berdasarkan kriteria, indikator dan karakteristik yang dimilikinya. Sehingga informasi ini dapat
digunakan untuk validitas data sebagai pendukung dalam penetapan zona tradisional tersebut.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Oktober 2013 di wilayah Seksi Pengelolaan
Taman Nasional (SPTN) I Weda di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Pengamatan dan
pengambilan data dilakukan pada Hutan Bukit Durian (650-850 mdpl) yang secara administrasi
merupakan bagian Desa Gosale Kecamatan Oba Utara dan Hutan Tayawi (400-500 mdpl) di Dusun
Tayawi Desa Koli Kecamatan Oba.
Bahan yang digunakan adalah peta kawasan TNAL, peta tutupan lahan, dan alkohol.
Sedangkan alat yang digunakan terdiri dari rol meter (100 m), tali, flaging tape, meteran kain,
karung, koran, plastik spesimen ukuran 100 cm x 58 cm, spidol permanen, alat tulis, terpal,
kuesioner, tally sheet, papan board, parang, gunting stek, GPS, lux meter, termohigro, dan kamera.
C. Metode Penelitian
Jenis-jenis data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer merupakan kombinasi
dari teknik survei lapangan (observasi dan pengukuran) dan teknik wawancara secara mendalam (in
depth interview). Data primer yang diambil antara lain :
D. Analisis Data
Data potensi, jenis dan manfaat di tabulasi dan interaksi masyarakat dianalisis secara
deskriptif. Analisis manfaat ekonomi yang digunakan adalah :
Desa Gosale merupakan pemekaran dari Desa Guraping dan defenitif menjadi desa pada
tanggal 17 Desember 2012 dengan ± 118 kk dan 480 orang usia pilih (Monografi Desa Gosale,
2012). Desa Gosale adalah salah satu pemukiman yang berada disekitar kawasan TNAL, dimana
masyarakatnya memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hutan. Salah satu aktivitas
ketergantungan masyarakat Gosale terhadap hutan adalah kegiatan pemanenan HHBK getah
A.dammara. Aktivitas penyadapan getah damar telah dilakukan oleh Masyarakat Gosale jauh sebelum
ditetapkannya kawasan sebagai taman nasional, dimana pengetahuan dalam mengekstrak damar
didapatkan dari warisan turun temurun. Masyarakat mengklaim bahwa kawasan TNAL yang berada
dibelakang pemukiman Gosale (Hutan Bukit Durian) merupakan tempat leluhur mereka mencari
nafkah yang kini secara otomatis menjadi warisan kepada masyarakat Gosale.
Masyarakat Dusun Tayawi (Suku Togutil) adalah masyarakat tradisional hasil relokasi dari
dalam kawasan yang kemudian ditempatkan pada batas luar taman nasional. Sebagian masyarakatnya
telah menetapdan masih ada yang nomaden, penduduk tayawi bergantungsepenuhnya dari hasil hutan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, berburu dan bertani secara subsisten merupakan aktivitas
utama mereka (Nurrani dan Tabba, 2013). Populasi Suku Togutil sebanyak 66 orang dengan 14 KK
dan secara utuh menjadi bagian dari ekosistem hutan tayawi. Mencari lokasi berburu merupakan
alasan utama suku ini bermigrasi kewilayah-wilayah lain yang lebih potensial. Kehidupan Suku
Tayawi masih tradisional, rumah mereka hanya terdiri dari ranting kayu beratapkan daun woka
(Livistona rotundifolia) tanpa atau dengan dinding dan peralatan rumah tangga seadanya.
Beberapa bentuk interaksi masyarakat Gosale dan Tayawi terhadap kawasan taman nasional
diantaranya adalah pengambilan kayu untuk keperluan bangunan, perkakas maupun sarana
pendukung pertanian, pengambilan/ekstraksi HHBK seperti damar, sagu dan keladi sebagai bahan
makanan pokok masyarakat lokal serta burung untuk diperjualbelikan. Getah damar disadap untuk
diperjualbelikan, selain itu pada skala rumah tangga digunakan sebagai penerangan dan bahan
bakar. Mencari buah-buahan di hutan masih menjadi aktivitas utama Suku Togutil, kebiasaan
tersebut terkait dengan keterampilan dan pengetahuan masyarakatnya yang masih minim. Mata
pencaharian utama masyarakat dapat dilihat pada Tabel 1.
Sebagian besar masyarakat mempunyai pekerjaan utama sebagai petani, pemburu dan
hanya sebagian kecil dari mereka yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dan Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Tanaman yang dibudidayakan pada wilayah ini adalah kelapa (Cocos nucifera) dan pala
(Myristica fragrans) sebagai komoditas utama daerah Maluku Utara secara umum. Pengetahuan
teknik membudidayakan dan cara memperoleh produksi panen maksimal serta peluang dalam
pemasaran merupakan alasan pemilihan kemoditas tersebut.
C. Metode Penyadapan
Kopal merupakan salah satu komoditas atau hasil akhir dari pengolahan getah damar yang
memiliki nilai jual yang tinggi. Maluku Utara (TNAL) adalah satu dari beberapa wilayah potensi
penyebaran tegakan damar di Indonesia. Pemanenan getah damar sangat tergantung pada kondisi
iklim dan cuaca, ketika musim penghujan pembekuan getah damar membutuhkan proses yang lebih
lama bila dibandingkan pada musim kemarau. Karena proses pengerasan getah membutuhkan sinar
matahari yang cukup, semakin terik maka semakin cepat pula proses pembekuan getah. Berdasarkan
hasil wawancara masyarakat, getah damar mulai dapat dipanen ± 3 minggu setelah pelukaan pada
musim kemarau. Sedangkan apabila musim penghujan maka pemanenan getah menjadi lebih lama ±
2 bulan setelah pelukaan.
Metode penyadapan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Gosale umumnya dengan membuat
takikan (kowakan) pada kedua sisi pohon. Posisi kowakan dibuat selang seling untuk memberikan
ruang pada akar agar dapat menyuplai unsur hara dan makanan keseluruh bagian tumbuhan
melalui kambium. Kowakan dibuat pada pangkal pohon dengan tinggi berkisar antara 58-140 cm
dari permukaan tanah dengan tujuan agar getah damar yang keluar akan mengeras sebelum sampai
ketanah sehingga pemanenan getah damar lebih mudah dilakukan dengan hasil pamanenan yang
bersih. Lebar kowakan dibuat antara 10-40 cm, bertujuan agar getah damar yang keluar akan
mengumpul dan menggumpal dengan baik. Jika kowakan dibuat terlalu lebar maka getah yang keluar
tidak beraturan dan tidak mengumpul dan berimplikasi pada volume produksi dan waktu panen yang
lebih lama. Tebal kowakan dari kulit sampai batang berkisar antara 2–3 cm, hal ini bertujuan agar
volume getah yang keluar dapat maksimal. Berdasarkan informasi masyarakat diketahui bahwa
kowakan akan menutup kembali setelah berusia 5 tahun. Metode pembuatan kowakan untuk
penyadapan getah damar yang dilakukan oleh masyarakat Desa Gosale dapat dilihat pada Gambar 1
dan 3.
Masyarakat Dusun Tayawi membuat kowakan setinggi 130-140 cm dari permukaan tanah,
posisi kowakan ini lebih tinggi dari pada yang dibuat oleh Masyarakat Gosale. Masyarakat Tayawi
berasumsi bahwa semakin tinggi kowakan maka hasil yang diperoleh pun nantinya akan semakin
bersih karena potensi getah untuk menyentuh tanah sebelum mengeras sangat kecil. Lebar dan
panjang kowakan dibuat lebih besar dibandingkan oleh masyarakat Gosale dengan asumsi bahwa
semakin lebar dan panjang pembutan kowakan maka getah damar yang keluar akan lebih banyak,
namun kenyataannya kowakan yg lebih lebar membuat getah keluar dan membeku tidak beraturan
sehingga tidak efektif karena banyak yang terbuang (lihat Gambar 2 dan 4).
Jika produksi getah mulai berkurang maka masyarakat akan membuat kowakan baru diatas
kowakan sebelumnya. Kelebihan dari teknik penyadapan getah pada masyarakat Desa Gosale adalah
memudahkan dalam membuat kowakan baru pada batang damar. Karena jarak kowakan lama masih
dapat terjangkau, sedangkan pada masyarakat dusun Tayawi akan sangat sulit karena tingginya
posisi kowakan yang dibuat sebelumnya. Dari sisi konservasi teknik penyadapan masyarakat Gosale
lebih baik karena kowakan yang dibuat tidak lebar sehingga proses menutupnya kembali kulit akan
lebih cepat dan resiko menimbulkan kematian lebih kecil.
Masyarakat intensif melakukan penyadapan getah damar secara kontinyu dan berkala,
umumnya masyarakat masuk hutan selama satu hingga dua minggu untuk memanen getah damar.
Tingginya potensi damar pada kawasan TNAL sehingga sangat memungkinkan untuk pengembangan
jenis tersebut dari sisi teknologi penyadapannya. Pengembangan tersebut diperuntukkan sebagai
sarana untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bermukim disekitar kawasan. Selain itu
kegiatan ini diharapkan menjadi media pengalihan bagi masyarakat agar tidak melakukan aktivitas
negatif ke dalam kawasan TNAL.
Pemanfaatan HHBK di wilayah Hutan Bukit Durian dan Hutan Tayawi oleh masyarakat
Desa Gosale dan Suku Togutil memiliki karakteristik yang berbeda (Tabel 2). Meski jarak antara
pemukiman dan habitat damar sangat jauh namun masyarakat Desa Gosale mendapatkan fasilitas
antar jemput dari pengepul. Kompensasi dari hal tersebut adalah pengepul membeli getah damar
dengan harga yang sangat murah yaitu sebesar Rp. 3000/kg. Namun dengan adanya kompensasi
tersebut memudahkan pengangkutan hasil panen dan frekuensi pengambilan getah pun menjadi
lebih singkat antara 1-2 minggu sekali. Rata-rata produksi getah berkisar antara 6,3-12,6 ton/
orang per tahun.
Satu-satunya akses bagi Suku Togutil dalam melakukan pemanenan getah damar adalah
dengan berjalan kaki. Lokasi penyadapan ditempuh selama sehari semalam dari pemukiman Suku
Togutil dengan frekuensi pengambilan dua minggu sekali. Harga jual getah lebih tinggi dibandingkan
pada Desa Gosale yaitu Rp. 6000/kg. Produksi rata-rata yang dapat dihasilkan berkisar antara 1,2-
4,8 ton/orang per tahun. Minimnya produksi disebabkan masyarakat belum memahami teknik
penyadapan yang tepat dan konservatif serta keterbatasan pengangkutan hasil panen.
Permasalahan pokok yang menjadi isu utama adalah status pembeli yang merupakan pengepul
tunggal sehingga terjadi monopoli harga, dengan demikian masyarakat tidak memiliki posisi tawar
dalam menentukan harga.
Tabel 3. Pendapatan dan kontribusi hasil pemanfaatan HHBK kopal terhadap pendapatan total
masyarakat
Berdasarkan Tabel 3 dapat dikemukakan bahwa hasil penyadapan getah damar memberikan
kontribusi yang cukup signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Dari penjualan
getah damar, masyarakat Gosale memperoleh keuntungan antara Rp.18.900.000-Rp.37.800.000
per tahun. Artinya bahwa keuntungan tersebut memberikan kontribusi sebesar 57,80%-86,22%
terhadap pendapatan total masyarakat. Jumlah Penghasilan tertinggi dari penjualan getah damar
dihasilkan oleh masyarakat Tayawi, namun batas minimal terendah dari pendapatan tersebut juga
berasal dari Tayawi. Artinya bahwa kontribusi pendapatan dari getah damar pada masing-masing
masyarakat Tayawi tidak merata.
Peningkatan teknologi berkaitan dengan penyadapan getah damar yang lebih modern
dan konservatif untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal perlu dimplementasikan. Hal
ini sangat penting untuk dilakukan mengingat masih tradisionalnya metode penyadapan getah
damar yang diterapkan oleh masyarakat. Dengan demikian produksi getah damar diharapkan lebih
meningkat dengan hasil yang lebih bersih dan berkualitas, selain itu jumlah getah yang rusak dan
terbuang akibat proses pemanenan dapat diminimalkan.
Peran dan fungsi satwa pada suatu ekosistem amatlah penting karena satwa diciptakan
sebagai penyeimbang siklus ekosistem dalam rantai makanan dan membantu proses permudaan
secara alamiah. Satwa merupakan binatang yang masih mempunyai sifat-sifat liar, mempunyai
peranan yang penting dalam keseimbangan ekosistem di suatu wilayah (Achmad, 2011).
Keberadaan avifauna memberi gambaran terhadap stabilitas ekosistem kawasan sebab terkait
dengan spesies tumbuhan tertentu sebagai pakan kegemaran. Hal ini terlihat dari avifauna yang
teridentifikasi, dimana umumnya spesies yang teramati adalah jenis-jenis endemik. Satwa yang
teramati beraktivitas pada plot pengamatan damar yaitu sekitar 23 jenis avifauna, dua mamalia,
satu amfibi, satu reptilia, kupu-kupu dan selebihnya adalah serangga dan satwa air lainnya. Jenis
satwa khususnya avifauna yang teramati pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis-jenis satwa yang teridentifikasi pada plot pengamatan damar
Kawanan Srigunting lencana (Dicrurus bracteatus) banyak dijumpai disepanjang jalan utama
dan beberapa kali teramati melalui suara kicauan pada saat pembuatan plot pengamatan. Dominasi
tegakan damar disinyalir merupakan faktor utama kehadiran satwa tersebut, karena Srigunting
merupakan salah satu avifauna yang sangat mengemari serangga sebagai pakan. Disisi lain serangga
cenderung senang hinggap pada tegakan-tegakan yang mengeluarkan aroma khas dan wangi seperti
damar untuk mengisap sari pati bunganya. Selain dominansi tegakan damar kehadiran Srigunting
disepanjang jalan utama juga disebabkan kondisi tutupan lahan yang cenderung terbuka. Sehingga
berimplikasi pada kehadiran jenis-jenis satwa untuk memperoleh sinar matahari yang cukup
termasuk serangga.
Bidadari Halmahera (Semioptera wallacei) adalah burung endemik Kepulauan Maluku Utara
yang teramati pada plot pengamatan di hutan bukit durian. Burung Bidadari jenis betina tersebut
terpantau sedang bernyanyi dan menikmati teriknya matahari pagi pada dahan pohon damar. Burung
ini termasuk yang sangat aktif bergerak, sesekali terlihat melompat dari ranting ke ranting dan
kemudian dengan cepat telah hilang dari pandangan mata dan hanya terdengar suara kicauannya
saja.
Satwa ini adalah salah satu daya tarik bagi hutan bukit durian khususnya di camp petani
damar pada kilometer 21. Burung bidadari terpantau dari suara kicauan dan nyayian sekitar pukul
09.00 s/d 10.00 WITA pagi hari dan pukul 04.00 s/d 05.30 WITA disore hari. Avifauna teramati
dan terdokumentasikan ketika tim peneliti melakukan pengambilan data pada kilometer 25 sekitar
pukul 05.00 WITA. Bidadari Halmahera merupakan jenis cenderawasih sejati yang tersebar paling
barat di luar Papua, jenis ini hanya ditemukan pada Pulau Halmahera dan Pulau Bacan. Burung ini
adalah satwa utama yang dilindungi TNAL, pakan utama jenis ini terdiri dari serangga, artropoda dan
buah-buahan (palem merah). Ciri utama jenis ini adalah dua pasang bulu putih panjang yang keluar
menekuk dari sayapnya yang dapat ditegakkan atau diturunkan.
Burung ini mengindikasikan bahwa ekosistem kawasan masih baik karena karakteristik
dan sifat burung cenderawasih ini amat peka terhadap perubahan habitat. Bidadari Halmahera
merupakan salah satu jenis burung yang sangat sulit untuk dijumpai pada kawasan TNAL, umumnya
satwa ini dijumpai pada kawasan yang masih belum mengalami gangguan. Keberadaan dua marga
monotipe burung cenderawasih yaitu Semioptera wallacei dan Lycocorax pyrrhopterus di Maluku
Utara merupakan fakta adanya pengaruh elemen Papua di Kepulauan Maluku (Monk et al, 2000).
Aktivitas pemanfaatan getah damar memberikan pengaruh pada pola pikir masyarakat
terhadap kelestarian kawasan TNAL. Masyarakat menjadi sadar bahwa jika hutan rusak maka
mereka akan kehilangan sebagian dari mata pencaharian. Selain memperoleh penghasilan dari
menyadap getah damar, masyarakat juga mendapatkan manfaat dari satwa buruan seperti Babi
Hutan dan Rusa yang dijual. Sehingga masyarakat kemudian dengan sadar turut menjaga kelestarian
kawasan dengan tidak melakukan penebangan liar, sebab tanpa menebang sekalipun mereka telah
memperoleh banyak keuntungan dari keberadaan TNAL.
B. Saran
Penyadapan getah damar oleh masyarakat perlu mendapatkan pendampingan dan penyuluhan
oleh pihak terkait. Hal ini penting sebagai evaluasi terhadap pemanfaatannya, sebab jika tidak
terkontrol dikhawatirkan masyarakat akan melakukan pemanenan getah tanpa adanya selektifitas
dan konservasi terhadap tegakan damar. Menetapkan lokasi dimana terdapat pemanfaatan getah
damar sebagai zona tradisional mengingat belum adanya keputusan penetapan zonasi.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, A. 2011. Rahasia Ekosistem Hutan Bukit Kapur. Cetakan Kesatu. Brilian Internasional.
Surabaya.
Baharuddin dan I. Taskirawati. 2009. Buku Ajar Hasil Hutan Bukan Kayu. Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Coates, B.J. dan K.D Bishop. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallacea :
Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Bird Life Internasional – Indonesian Programme & Dove
Publication. Bogor.
Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No 35/Menhut II/2007: tentang Hasil
Hutan Bukan Kayu. Jakarta.
Monk, K.A.,Y. D. Fretes, dan G.R. Lilley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi
Indonesia Buku V. Prenhallindo. Jakarta.
Monografi Desa Gosale. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Gosale Kecamatan Oba
Utara Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Gosale.
Nurrani, L. dan S. Tabba. 2013. Persepsi Dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap
Sumberdaya Alam Taman Nasional Aketajawe Lolobata Di Provinsi Maluku Utara. Jurnal
Penelitian Sosial Ekonomi. Vol. 30 No 1 Hal (227-244).
Nurrani, L., S. Tabba, S. Shabri, Y. Kafiar, H.S. Mokodompit dan R. Mamonto. 2013. Kajian Daya
Dukung Hasil Hutan Bukan Kayu Untuk Pengembangan Pemanfaatan Biodiversitas Secara
Lestari Di Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Laporan
Hasil Penelitian. Manado.
Nurrani, L., Halidah, S. Tabba dan S. N. Patandi. 2012. Karakteristik Kualitatif Tipe Penggunaan Lahan
Di Zona Peyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea.
Vol 1 No. 2 Hal (227-244).
Prayitno, T.A. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pendekatan Teknologi.
Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Waluyo, T.K., E. Dalian dan E. Edriana. 2004. PercobaanPembuatanPernis Dari Kopal Asal Probolinggo.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 22 No. 1 Hal. (35-41).
RINGKASAN
Ir. Hj. FONNY RIANAWATI, MP ; KHAIRUN NISA, S.Hut. MP, HJ.ARFA AGUSTINA REZEKIAH
S.HUT.,M.P “Produksi Dan Laju Dekomposisi Serasah Panggal Buaya (Zanthoxyllum rhetsa).”
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produksi dan laju dekomposisi serasah daun
panggal buaya. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang laju produksi
dan dekomposisi serasah daun panggal buaya, sehingga dari data tersebut selanjutnya kita dapat
menentukan teknik konservasi yang mungkin dilaksanakan untuk pengembangan pohon Panggal
buaya. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan perangkap serasah (litter-trap) ukuran
1 m x 1 m untuk mengukur produksi serasah dan kantong serasah (litter-bag) ukuran 20 cm x 25 cm
untuk mengukur laju atau kecepatan dekomposisi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah total rata-rata produksi serasah Panggal buaya
yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebesar 31,5 gr/m2/50hari atau 0,63 gr/m2/hari, dimana
produksi serasah yang terbesar terdapat pada pohon ke-2 yaitu dengan memproduksi rata-rata
serasah sebanyak 59,9 gr/m2/50hari atau 1,20 gr/m2/hari. Penurunan produksi serasah sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: suhu, curah hujan, angin, dan kerapatan jenis.
Laju Dekomposisi serasah panggal Buaya berkisar antara 1,28 % / hari - 2,16 % / hari dengan
nilai rata-rata sebesar 1,60 % / hari.
PENDAHULUAN
Serasah adalah lapisan tanah bagian atas yang terdiri dari bagian tumbuhan yang telah mati
seperti guguran daun , ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit kayu serta bagian lainnya, yang
menyebar di permukaan tanah di bawah hutan sebelum bahan tersebut mengalami dekomposisi.
Serasah berfungsi sebagai penyimpanan air sementara secara berangsur akan melepaskan ke
tanah bersama dengan bahan organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah,
dan menaikkan kapasitas penyerapan. Serasah berperan penting dalam meningkatkan kesuburan
tanah. Serasah yang terdekomposisi akan menghasilkan unsur hara yang diserap oleh tanaman dan
digunakan oleh jasad renik di lantai hutan dan sebagian lagi akan terlarut melalui aliran permukaan
yang terjadi di lantai hutan. Guguran serasah daun ke lantai hutan akan memberikan sumbangan
bahan organic yang dapat mempertahankan kesuburan tanah.
Dekomposisi Serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh
mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya) atau sering juga disebut dengan
proses mineralisasi, yaitu suatu proses penghancuran bahan organic yang berasal dari hewan atau
tumbuhan menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sutedjo, dkk. 1991 dikutip oleh Gultom,
IM., 2009). Laju dekomposisi serasah sangat dipengaruhi oleh factor lingkungan seperti pH, iklim
(temperatur dan kelembaban), komposisi kimia dari serasah dan mikro organisme tanah (Saetre,
1998).
Setelah mengalami penguraian atau proses dekomposisi, serasah menjadi senyawa organik
sederhana dan menghasilkan hara, sehingga dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Peran
serasah dalam proses penyuburan tanah dan tanaman sangat tergantung pada laju produksi dan laju
dekomposisinya. Selain itu komposisi serasah akan sangat menentukan dalam penambahan hara ke
tanah dan dalam menciptakan substrat yang baik bagi organisme pengurai. Proses ini sangat besar
peranannya dalam siklus energi dan rantai makanan pada ekosistem. (Handayani, 2004).
Luas kawasan hutan di Kalimantan Selatan berdasarkan SK Menhut no. 435/Kpts-II/2009
tanggal 23 Juli 2009 adalah 1.779.982 Ha, dimana seluas 761.131,6 ha merupakan lahan kritis,
dimana 493.372,4 ha berada di kawasan hutan. Bertitik tolak dari hal tersebut maka sejak
tahun 2003 kegiatan reboisasi dan penghijauan kembali di gaungkan melalui kegiatan GN-RHL,
pengembangan Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM),
dimana didalam kegiatannya digunakan jenis-jenis yang cepat tumbuh (fast growing spesies) yang
mampu untuk merehabilitasi dan mengkonservasi tanah, juga merupakan tanaman yang disenangi
oleh masyarakat dan mempunyai nilai jual (komersil).
Panggal Buaya merupakan tanaman yang berprospek bagus untuk dikembangkan karena
selain bermanfaat dalam merehabilitasi lahan kritis, karena mampu tumbuh pada lahan-lahan
dengan kesuburan rendah (lahan marginal dan lahan kritis), juga dapat menahan erosi, dapat
digunakan sebagai sebagai sekat bakar jalur hijau alternative dan pagar hidup pekarangan dan kebun
karena tidak disukai oleh ternak. Selain itu juga dapat memberikan solusi bagi penyediaan bahan
baku industri meubel dan bahan bangunan.
Penanaman jenis secara monokultur dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan yang
umumnya dilakukan pada tanah-tanah yang miskin hara diharapkan tidak terjadinya pemiskinan
terhadap kandungan hara tanah tempat tumbuhnya, karena selain digunakan untuk pertumbuhannya
hara tanah juga akan hilang karena adanya proses leaching melalui erosi dan aliran permukaan,
sehingga diharapkan dengan adanya penanaman jenis Panggal Buaya dapat memberikan sumbangan
(penambahan) unsur hara terhadap tanah melalui produksi dan dekomposisi serasahnya.
B. Produksi Serasah
Serasah merupakan hasil suatu proses pengguguran bagian-bagian pohon yang sudah tua
berupa daun, ranting, cabang, atau pohonnya sendiri yang tumbang (Saifuddin, 1985). Medwecka
dan Kornas (1970) dikutip oleh Simatupang (1991) menyebutkan bahwa serasah adalah bahan
yang terdapat dipermukaan tanah, tersusun oleh bagian tanaman yang telah mati, sehingga bahan
mati yang masih berdiri seperti pohon, cabang yang masih belum jatuh tidak dimasukan dalam
pengertian tersebut. Soerianegara (1964) dikutip oleh Ruslan (1989) memberikan batasan bahwa
yang dimaksud dengan serasah adalah bagian komponen tumbuhan mati, jatuh dipermukaan tanah
dan tidak mengalami proses pertumbuhan lagi dimana akhirnya mengalami proses dekomposisi dan
mineralisasi.
Serasah yang jatuh ke lantai hutan tidak langsung mengalami pelapukan oleh
mikroorganisme, tetapi dihancurkan atau dicacah-cacah dulu menjadi bagian yang kecil-kecil
untuk selanjutnya oleh organisme yang lebih kecil (bakteri dan fungi) diuraikan menjadi protein dan
karbohidrat (Arief, 2003).
Hasil pengamatan produksi serasah Panggal Buaya disajikan pada Tabel 1
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui besarnya produksi total serasah yang dihasilkan pada
tiap-tiap pohon menunjukan nilai yang bervarisasi untuk masing-masing jenis serasah yang
dihasilkan. Berdasarkan nilai rata-ratanya bahwa produksi yang terbesar adalah serasah dalam
bentuk ranting (tangkai daun) sebesar 16,3 gr/m2/50hari atau 0,33 gr/m2/hari dalam kondisi kering
tanur atau sebesar 51,7 % dari total keseluruhan serasah yang tertampung dalam jala penampung
yang berukuran 1 m2. Daun Panggal Buaya tersusun menyirip sehingga ketika daunnya sudah tidak
berfungsi lagi secara biologis dia akan jatuh bersamaan dengan tangkainya. Hal ini menyebabkan
berat kering serasah ranting (tangkai daun) lebih besar dibandingkan daunnya.
Produksi total serasah untuk masing-masing pohon dapat dilihat pada gambar 1
Berdasarkan data pada tabel 1 dan gambar 1 dapat di lihat bahwa jumlah total produksi
serasah terbesar adalah pada Pohon 2 sebesar 1,20 gr/m2/hari, hal ini disebabkan karena Pohon
2 mempunyai tajuk yang lebih lebar dan tebal di bandingkan pohon-pohon lainnya. Sedangkan
jumlah total produksi serasah terkecil adalah pohon 4, sebesar 0,28 gr/m2/hari karena pohon 4
mempunyai tajuk yang lebih tipis dan sempit. Penelitian Rianawati, F (2004) menunjukkan bahwa
selain faktor lingkungan (temperature dan kelembaban) bentuk dan ketebalan tajuk pohon juga akan
mempengaruhi produktivitas serasah yang dihasilkan, karena tajuk yang tebal dan lebar otomatis
akan menghasilkan serasah yang lebih banyak dibandingkan dengan pohon yang mempunyai tajuk
yang lebih tipis dan sempit.
Serasah bunga dan buah yang diproduksi tanaman panggal buaya tidak ada sama sekali, hal
ini dikarenakan tanaman panggal buaya yang ada tersebut rata-rata masih berumur muda (4 tahun)
dan masih dalam kategori tiang, sehingga tanaman tersebut belum memproduksi bunga dan buah.
Selain itu berdasarkan diskripsi umum panggal buaya disebutkan bahwa masa berbunga tanaman
ini sekitar bulan Agustus dan buah akan matang sekitar bulan Januari – April. Dilihat dari kondisi
lingkungan yang ada pada setiap petak dimana suhu pada ketiga tegakan tersebut berkisar antara
290C - 340C merupakan suhu yang berada pada daerah tropis sehingga suhu tersebut sesuai bagi
kehidupan dan produksi serasah panggal buaya dan sesuai untuk pertumbuhannya.
Dekomposisi adalah suatu proses penguraian bahan organik yang berasal dari binatang dan
tanaman secara fisik maupun kimia menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana yang dilakukan
oleh makroorganisme tanah yang memberi hasil berupa hara mineral (sumber nutrisi tanaman),
merupakan suatu proses yang sangat penting dalam dinamika dan keseimbangan hara dalam suatu
ekosistem (Regina & Tarazona,2001) dalam Y. Sulistiyanto, dkk, 2005) yang mana secara langsung
dimanfaatkan oleh tanaman. Untuk mengetahui laju dekomposisi serasah dilakukan dengan melihat
pengurangan bobot serasah pada kantung serasah (litter bag) yang berisi contoh serasah yang
dibusukkan pada lantai hutan selama proses dekomposisi. Penyusutan bobot serasah diketahui dari
nilai pengurangan berat awal dengan berat sisa dekomposisi. Laju dekomposisi serasah diperoleh
dari persentase penguraian mutlak perhari (Brotonegoro dan Abdulkadir (1979) ; Bonruang (1984).
Berdasarkan hasil penelitian selama 50 hari, diperoleh data seperti pada tabel 2. Dari tabel 2
tersebut terlihat adanya penurunan bobot kering serasah yang bervariasi dari setiap periode waktu
pengamatan (per 10 hari) dimana semakin lama waktu dekomposisi, semakin besar juga penyusutan
bobot serasah yang terjadi..
Tabel 2. Penurunan Berat Kering Tanur Serasah Daun Pohon Panggal Buaya (Zanthoxyllu rhetsa) (gr).
Pohon Awal 10 20 30 40 50
1 10 8,7 6,9 5,2 4,1 2,2
2 10 8,6 7,1 5,3 4,8 3,6
3 10 8,0 6,1 4,6 3,5 2,4
4 10 7,9 5,8 4,3 3,8 2,5
5 10 8,5 7,0 5,5 4,1 3,0
10 20 30 40 50
Pohon Awal
gr % gr % gr % gr % gr %
1 0 1.3 13 3.1 31 4.8 48 5,9 59 7.8 78
2 0 1.4 14 2.9 29 4.7 47 5.2 52 6.4 64
3 0 2,0 20 3.9 39 5.4 54 6.5 65 7.6 76
4 0 2.1 21 4.2 42 5.7 57 6.4 64 7.5 75
5 0 1.5 15 3,0 30 4.5 45 5.9 59 7,0 70
Pada tabel 2 dapat terlihat adanya perubahan bobot kering serasah pohon panggal buaya
yang bervariasi selama waktu pengamatan. Sisa bobot kering terbesar terjadi pada pohon 2 yaitu
sebesar 3,6 gr dari berat awal 10 gr dengan persentase penyusutan bobot serasah (bobot serasah
yang hilang/ terdekomposisi) sebesar 64 %. Sedangkan yang terendah adalah pohon 1 dengan
sisa bobot kering sebesar 2,2 gr dengan persentase penyusutan bobot serasah (bobot serasah yang
hilang/ terdekomposisi) sebesar 78 %, tetapi nilainya tidak jauh berbeda dengan pohon 3 (Sisa bobot
keringnya sebesar 2,4 gr dari berat awal 10 gr dengan persentase penyusutan bobot serasah (bobot
serasah yang hilang/ terdekomposisi) sebesar 76 %) dan pohon 4 (Sisa bobot kering sebesar 2,5
gr dari berat awal 10 gr dengan persentase penyusutan bobot serasah (bobot serasah yang hilang/
terdekomposisi) sebesar 75 %. Sedangkan untuk pohon 5 nilainya mendekati pohon ke 2 (Sisa bobot
kering sebesar 3,0 gr dari berat awal 10 gr dengan persentase penyusutan bobot serasah (bobot
serasah yang hilang/ terdekomposisi) sebesar 70%).
Tabel 3 menunjukkan bahwa adanya perbedaan terhadap bobot kering dan persentasi sisa
dekomposisi serasah ini diduga karena adanya perbedaan faktor lingkungan dimana pohon tersebut
berada, dimana untuk pohon 1, 3 dan 4 berada pada daerah yang tergenang air ( relatif basah) ketika
hujan turun di bandingkan dengan pohon 2 dan 5 dengan kondisi tanah yang relatif kering. Y.
Sulistiyanto, dkk (2005) mengemukakan bahwa tingkat penghancuran serasah (kehilangan berat)
lebih tinggi didaerah yang relatif basah (mixed swamp forest) dibandingkan daerah yang kering (low
pole forest). Brandy (1977) dan Latter (1998) yang dikutip Y. Sulistiyanto, dkk. (2005) menyatakan
bahwa laju dekomposisi akan menurun selama kondisi anaerobic (tergenang). Selain itu juga laju
dekomposisi dipengaruhi oleh kelembaban dan temperatur udara di atas permukaaan tanah dimana
proses dekomposisi itu berlangsung (Fogel and Cromach, (1977); Gill and lavender, (1983) dalam
Hardiwinoto, dkk (1997)).
Berdasarkan hasil penyusutan bobot kering tanur serasah yang diperoleh selama peride
pengukuran (50 hari) dapat dihitung besarnya laju dekomposisi serasah (%). Yaitu perbandingan
antara persentasi serasah yang terdekomposisi dengan hari (Brotonegoro dan Abdulkadir (1979);
Bonruang (1984)). Berdasarkan persamaan tersebut maka diperoleh nilai kecepatan serasah
terdekomposisi seperti pada Tabel 4.
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai kecepatan terdekomposisi (%/hari) masing-
masing litterbag bervariasi pada masing-masing pohon selama periode pengukuran yaitu antara
1,28 %/hari – 2,16 %/hari. Laju dekomposisi terbesar terdapat pada pohon 4 pada 10 hari pertama
sedangkan yang terkecil adalah pada pohon ke 2 pada hari ke 50, dimana rata-rata nilai kecepatan
dekomposisi serasah selama waktu pengamatan (50 hari) adalah 1,60 % / hari.
KESIMPULAN
1. Produksi serasah Panggal Buaya adalah sebesar 31,5 gr/m2/50 hari atau 0,63 gr/m2/hari.
2. Laju Dekomposisi serasah panggal Buaya berkisar antara 1,28 % / hari - 2,16 % / hari dengan
nilai rata-rata sebesar 1,60 % / hari.
DAFTAR PUSTAKA
Bonruang, P. 1984. The Rate of Degradation of Mangrove Leaves, Rhizopora apiculata BL and Avicennia
marina (FORSK) VIERH at Phuket Island, Western Peninsula of Thailand: Kuala Lumpur, June
1984.pp.200-208.
Brotonegoro, S. Dan Abdulkadir. 1978. Penelitian Pendahuluan tentang Kecepatan Gugur Daun dan
Pengurainnya dalam Hutan Bakau Pulau Rambut. Prosiding Seminar I Ekosystem Hutan
Mangrove, hal.81-85.
Departemen Kehutanan. 1997. Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Edisi pertama. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Handayani, T.2004. Laju Dekomposisi Sewrasah Mangrove Rhizophora mucronata Lamk di pulau
Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Jakarta. IPB Press : Bogor.
Purwaning, D.P. dan I. Nurwanto. 2004. Informasi singkat benih: Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D.C.
Indonesia Forest Seed Project. Bandung.
Rianawati, F. Kajian Bahan Bakar Serasah Sebagai Indikator Tingkat Kerawanan Kebakaran pada
Jenis-Jenis Tanaman Hutan Rakyat (2004)
Rulliaty, S. 1988. Kayu Panggal Buaya (Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) D.C.) sebagai Kayu Perpatungan.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 4(2): 26-27.
Y. Sulistiyanto, dkk. 2005. Laju Dekomposisi dan pelepasan Hara Dari Serasah Pada Dua Sub Tipe
Hutan Rawa Gambut di Kalimantan tengah.
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru,
KalimantanSelatan. E-mail: marinuskh@yahoo.co.id
ABSTRAK
Salah satu masalah lingkungan di lahan gambut adalah tingginya laju degradasi lahan dan
deforestasi. Pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa menjadi salah satu solusi
alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini memerlukan adanya keterpaduan
unsur-unsur yang membentuk sistem pengembangan, yakni: subsistem hulu, subsistem tengah,
subsistem hilir dan subsistem pendukung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis model
pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa untuk merehabilitasi lahan gambut
terdegradasi. Parameter yang diteliti mencakup design (pola) agroforestri berbasis jelutung rawa
di lahan gambut, performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai pola agroforestri di lahan
gambut dan kelembagaan pengembangan jelutung rawa untuk merehabilitasi lahan gambut. Data
primer diperoleh melalui pendekatan wawancara dengan informan, wawancara mendalam dengan
informan kunci, observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta Focus Group Discussion (FGD)
dengan stakeholders. Penelitian ini dilakukan di Desa Mantaren, Desa Jabiren dan Desa Tumbang
Nusa, yang termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau serta Kelurahan Kalampangan, yang termasuk
wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Desa-desa tersebut dipilih sebagai lokasi
dalam penelitian ini karena jelutung rawa telah dikembangkan dengan berbagai pola agroforestri
khas masing-masing tipologi lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di masing-masing
tipologi lahan gambut telah berkembang beberapa pola agroforestri. Pada tipologi lahan gambut
tipis pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni:
alleycropping dengan teknik gundukan, alleycropping dengan teknik surjan dan agrosilvofishery
dengan teknik surjan. Pola agroforestri di lahan gambut tebal yang telah berkembang secara
umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yakni: mixed cropping dengan teknik petak berparit dan
alleycropping dengan teknik petak berparit. Performansi pertumbuhan jelutung pada berbagai
pola agroforestri menunjukkan riap tinggi batang mencapai 86,55 – 127,94 cm per tahun dan riap
diameter batang mencapai 1,56 – 2,15 cm per tahun. Kelembagaan pengembangan jelutung rawa
dengan sistem agroforesri dapat dilakukan dengan sistem kebersamaan ekonomi (SKE) berdasarkan
manajemen kemitraan dengan mempertimbangkan kearifan lokal.
Kata kunci: jelutung rawa, sistem agroforestri, kemitraan, sistemkebersamaan ekonomi, rehabilitasi,
lahan gambut.
PENDAHULUAN
Kondisi terkini lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikuatirkan
tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologinya secara optimal, karena upaya yang mengarah
kepada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan adanya kerusakan
lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35% (Limin, 2004). Lahan gambut yang terdegradasi
tersebut pada perkembangannya menjadi lahan terlantar, yang pada musim kemarau sangat
Salah satu teknologi pengelolaan lahan gambut yang dapat diterapkan untuk menjawab
tantangan di atas adalah sistem agroforestri berbasis jenis lokal (indigenuos tree species). Penerapan
sistem ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan ekonomi petani lokal dengan kepentingan
kelestarian lingkungan lahan gambut. Faktor lain yang turut menentukan keberhasilan upaya
memulihkan lahan gambut terdegradasi adalah pemilihan jenis yang tepat dari aspek teknis, sosial,
ekonomi dan lingkungan. Salah satu jenis yang memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung rawa.
Jenis ini mempunyai nama ilmiah Dyera polyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii
Hook F. yang merupakan salah satu jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jelutung
rawa merupakan jenis pohon endemik, sebab di dunia hanya terdapat di dua negara, yakni Indonesia
dan Malaysia. Jenis pohon ini di Indonesia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Jenis
jelutung saat ini mulai banyak digunakan dalam pengembangan hutan tanaman indutri (HTI) di
lahan gambut. Kayunya memiliki sifat-sifat yang sangat baik untuk bahan baku industri pensil dan
getahnya sebagai bahan baku industri permen karet (Daryono, 2000). Makalah ini bertujuan untuk
membahas model pengembangan agroforestri berbasis jelutung rawa untuk memulihkan kondisi
lahan gambut yang terdegradasi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di empat desa utama, yakni: Desa Jabiren, Desa Mentaren, Desa
Tumbang Nusa, yang termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kelurahan Kalampangan, yang
termasuk wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Keempat desa tersebut dipilih
sebagai desa utama dalam penelitian ini karena jelutung rawa telah dikembangkan dengan berbagai
pola agroforestri khas masing-masing tipologi lahan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari –
Maret Tahun 2011.
Pola agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani lokal di lahan gambut mempunyai
karakteristik yang spesifik (khas). Pola yang telah dikembangkan oleh petani tersebut dapat
dijadikan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut. Aspek penting budidaya jelutung
rawa dengan sistem agroforestri di lahan gambut dangkal (ketebalan gambut 50-100 cm) oleh petani
lokal yang perlu diperhatikan meliputi: penyiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan
air dan pola tanam. Tabel 1 menjelaskan pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut
dangkal.
Tabel 1 Pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut tipis (dangkal)
Agrosilvofishery Lahan dibagi menjadi tabukan yang berfungsi Pohon: karet, jelutung,
dengan teknik sebagai kolam ikan peliharaan maupun beje (kolam gaharu, mangga
surjan. perangkap ikan) dan bagian guludan yang ditanami kueni, dan durian.
tanaman keras (jelutung, durian, gaharu, karet dan Tanaman buah-
mangga kueni) serta tanaman buah-buahan (salak buahan: salak pondoh.
pondoh). Kolam ikan dan beje.
Gambar 1 menampilkan profil pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang di lahan
gambut tipis.
Aspek-aspek penting budidaya jelutung rawa dengan sistem agroforestri di lahan gambut
dalam (ketebalan gambut 200-300 cm) meliputi penyiapan lahan, penanaman, pengelolaan
kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Tabel 2 menjelaskan pola agroforestri yang telah
berkembang di lahan gambut dalam (tebal).
Tabel 2 Pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dalam (tebal)
Gambar 2 menampilkan profil pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang di lahan
gambut tebal.
Gambar 2 Sistem agroforestri di lahan gambut tebal. Mixedcropping (kiri) dan alleycropping (kanan).
Tabel 3. Sistem silvopastoral dan agrisilvopastoral berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan
untuk merehabilitasi lahan gambut
Tabel 4 Sistem agrisilvikultur berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk
merehabilitasi lahan gambut
3. Alley cropping Jelutung sebagai pagar, tanaman jelutung rawa, Lahan gambut dengan
pertanian diantaranya, susunan rambutan, pisang, tekanan populasi
baris karet, ketela pohon, penduduk (produktif
tanaman sayuran dan tapi rentan).
padi tahun.
4. Multilayer tree Multi species, kelompok Jelutung rawa, karet, Lahan gambut
garden tanaman dengan tajuk rapat durian, pisang, subur, murah tenaga
tanpa susunan yang jelas. rambutan dan tanaman kerja dan tekanan
semusim tahan penduduk besar.
naungan.
5. Tanaman Jelutung rawa tersebar Jelutung, karet, Pada daerah
serbaguna pada sembarangan atau tanaman tanaman buah, HMT pertanian subsisten
lahan pertanian. batas lahan dan teras. dan tanaman pertanian dan ternak.
pada umumnya.
6. Pekarangan Rapat, kombinasi multi tajuk: Jelutung, tanaman Lahan gambut dengan
(Home garden) jelutung dan tanaman pertanian merambat, dan tanaman populasi penduduk
di sekitar temapt tinggal. pertanian tahan padat.
naunggan.
7. Jelutung untuk Jelutung, karet pada tepi teras, Jelutung rawa, karet Pada lahan gambut
konservasi dan pelindung dll. Dengan atau dan tanaman pertanian tebal yang terlanjur
reklamasi tanah tanpa baris rumput, tanaman pada umumnya. dikonversi menjadi
kayu pada reklamasi tanah. lahan pertanian.
8. Plantations crop a. Penggabungan multitajuk Jelutung rawa, karet, Pada pertanian
combinations. (campuran, rapat), rambutan, dan tanaman subsisten dengan
pencampuran tanaman semusim tahan lahan yang terbatas.
pertanian. naunggan.
b. Pencampuran tanaman
pertanian dengan pola
berseling atau susuann
teratur yang lain.
c. Pohon peneduh yang
tersebar untuk tanaman
pertanian.
d. Intercropping dengan
tanaman pertanian.
9. Selterbelts, Jelutung rawa pada sekeliling Jelutung rawa dan Pada daerah yang
windbreaks, lahan pertanian. tanaman pertanian berangin.
pagar hidup. setempat.
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa riap tinggi tanaman jelutung rawa yang ditanam
dengan sistem agroforestri pada berbagai tipologi lahan gambut adalah 86,55 – 127,94 cm per tahun,
sedangkan riap diameternya adalah 1,56 – 2,15 cm per tahun. Hal ini jika dibandingkan dengan
pertumbuhan jelutung rawa pada kondisi alaminya di Pulau Sumatra, riap diameter jelutung rawa
berkisar antara 1,5 - 2,0 cm/tahun (Bastoni dan Riyanto, 1999). Sedangkan pada jelutung rawa yang
dibudidayakan dengan pemeliharaan semi intensif di Pulau Sumatra dapat diperoleh riap diameter
2,0 - 2,5 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil pengukuran pertumbuhan jelutung yang dilakukan oleh
Balittaman Palembang pada tahun 2001 menunjukkan pada umur 9 tahun, riap tinggi berkisar 164
- 175 cm/tahun, dan riap diameter berkisar antara 2,18 - 2,38 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil
riap pertumbuhan jelutung rawa di Pulau Sumatra yang lebih tinggi dari pertumbuhan jelutung rawa
yang dibudidayakan dengan sistem agroforestri pada penelitian ini disebabkan karena lahan gambut
yang lebih subur. Hasil penelitian Indrayatie dan Suyanto (2009) menunjukkan bahwa pada aspek
topografis, jelutung rawa menyukai bentuk lahan dataran, artinya wilayah yang memiliki air tanah
dangkal, baik yang terendam secara permanen maupun musiman, elevasi dataran rendah (< 100 m
dpl.), hidup ditempat terbuka tanpa naungan maupun berasosiasi dengan vegetasi lain. Pada aspek
edafis, jelutung rawa dapat hidup pada tanah mineral (alluvial) maupun tanah organik. Kondisi ini
dipresentasikan untuk daerah subsistem alluvio - marine seperti daerah rawa (swamp), paya pasang
surut (marsh), delta, tidal flat; daerah alluvial sub sistem seperti daerah banjir (flood plain), jalur
meander (meander belt); daerah alluvio – colluvial sub sistem seperti daerah cekungan terisolasi
(isolated miniplain); daerah closed alluvial sub sistem seperti daerah rawa tanpa pengaruh air laut
(swamp or marsh without marine influence).
KEHUTANAN UMUM 331
KOMISI D
Strategi yang dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa
untuk memproduktifrkan lahan gambut mencakup dua hal, yakni: (a) membangun kelompok tani
pengembang sistem agroforestri berkategori kelompok produktif dan (b) membangun kelembagaan
pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan
manajemen kemitraan. Pendekatan yang dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestri
berbasis jelutung rawa di lahan gambut berprinsip pada 2 aspek berikut. Pertama, pemberdayaan
melalui pembangunan kapasitas. Kedua, mendukung perencanaan dan peningkatan matapencaharian
(livelihood). Penyusunan konsepsi pelibatan petani lokal dalam pengembangan sistem agroforestri
di lahan gambut dilakukan dengan konsep pendekatan pemberdayaan petani lokal. Hal ini dilakukan
melalui pembangunan kapasitas petani lokal yang mendukung perencanaan dan peningkatan
matapencaharian. Proses konsep tersebut dijelaskan pada Gambar 3.
Tujuan utama dari PRA dalam pengembangan agroforestri di lahan gambut adalah untuk
menyusun rencana program tersebut di tingkat desa yang memenuhi persyaratan: dapat diterima
petani lokal, secara ekonomi menguntungkan dan berdampak positif bagi lingkungan. Metode ini
dilakukan dengan memobilisasi sumberdaya petani dan alam setempat, serta lembaga lokal untuk
mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat
serta melestarikan sumberdaya alam setempat (Daniel, et al., 2005). Pendekatan partisipatif dalam
kegiatan ini akan memberikan keuntungan, antara lain: petani peserta program akan lebih energik,
lebih komit dan lebih bertanggung jawab. Agar terjadi pemberdayaan petani lokal dalam kegiatan
tersebut maka perlu adanya dukungan bagi petani lokal untuk mengemukakan pendapatnya, berbagi
pengetahuan dan pengalaman, mengkaji dan menyusun rencana, menciptakan kondisi yang kondusif
dan berfokus pada proses dengan tidak meninggalkan isi proses. Esensi pendekatan partisipatif
adalah seperti puisi karya pujangga klasik Cina, Lao Tzu, berikut.
Kelompok Kerja Desa (KKD) merupakan lembaga yang terdiri atas kelompok peminat program,
tenaga ahli lokal, LSM Pendamping dan perangkat pemerintahan desa. Lembaga ini berfungsi untuk
memfasilitasi, melatih, mendampingi dan mengasistensi individu petani peminat program (kepala
rumah tangga peminat program).
Ujung tombak keberhasilan pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut adalah
individu petani (kepala rumah tangga peminat program). Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan
tersebut perlu memperhatikan aspirasi individu petani, utamanya dalam preferensi jenis pohon
yang akan ditanam dan pola tanam yang akan digunakan. Perencanaan pengembangan agroforestri
untuk memproduktifkan lahan gambut tingkat rumah tangga merupakan mekanisme pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang bottom-up.
d. Konsolidasi
Konsolidasi merupakan tahapan setelah masing-masing individu petani (kepala rumah tangga
peminat program) menyelesaikan usulannya, dan usulan tersebut telah dibahas oleh kelompok kerja
desa (KKD). Selanjutnya KKD akan mengajukan hasil pembahasan kepada pemerintah. Implementasi
pengembangan agroforestri untuk RHL partisipatif di lahan gambut dilakukan dengan metode seperti
tersaji pada Gambar 4.
4. Implementasi
1. Kelompok Peminat
Program
Aksi Pengembangan
agroforestri di lahan
gambut
2. Tenaga Ahli
3. Kontrak
Lokal
Lokasi lahan tempat pengembangan agroforestri lahan gambut di tingkat desa ditentukan
bukan berdasarkan pola hamparan tetapi berdasarkan pada petani peminat program. Petani yang
berminat mendaftarkan dirinya sebagai petani peserta program yang selanjutnya bergabung dalam
kelompok peminat program.
b. Tenaga Ahli Lokal
Bagi petani di desa, faktor tokoh panutan mempunyai pengaruh besar pada cara pandang
dan cara tindak mereka. Secara umum, petani di desa mencirikan masyarakat yang paternalistik,
KEHUTANAN UMUM 333
KOMISI D
dimana faktor karakter tokoh desa akan banyak mempengaruhi dinamika kehidupan mereka
(Pranadji, 2003). Lebih lanjut Pranadji (2003) menjelaskan bahwa ciri paternalistik petani lokal di
pedesaan dapat dipandang sebagai potensi kelembagaan petani di pedesaan untuk dijadikan energi
bagi kemajuan perekonomian (dalam hal ini keberhasilan pengembangan agroforestri untuk RHL di
lahan gambut).
c. Kontrak
Kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan musyawarah yang dituangkan dalam surat
kesepakatan bermaterai. Hal ini dimaksudkan agar kesepakatan tersebut mengikat kepada semua
pihak yang terlibat dalam penyusunan kesepakatan tersebut.
d. Implementasi
Langkah selanjutnya adalah implementasi semua hal yang telah disepakati dalam kontrak
kerja. Pada aspek implementasi faktor keberlanjutan merupakan hal yang pokok. Keberlanjutan
dapat tercipta jika kondisi berikut terpenuhi, yakni: (a) pelatihan bagi petani peminat program
untuk memfasilitasi dan melatih petani yang lainnya; (b) dukungan keuangan dan teknis membangun
kapasitas; (c) mempercepat dan mendukung terbentuknya institusi lokal yang kuat; (d) pelaksanaan
program berprinsip: petani lokal yang memutuskan, memilih dan mengelola; (e) jaringan kerja antar
desa-desa (antar kelompok kerja desa/KKD); dan (f) desentralisasi budget dan sumberdaya.
Inti dari pembentukan partisipasi petani lokal pada pengembangan agroforestri untuk kegiatan
RHL di lahan gambut adalah bagaimana para pihak pemangku kepentingan (stakeholders) mampu
membangun komunikasi yang sehat dengan mengedepankan nilai-nilai persamaan hak, kesetaraan,
bertanggungjawab, saling menghormati dan menghargai. Selain itu, Lokasi pengembangan
agroforestri untuk RHL di lahan gambut seharusnya ditentukan berdasarkan pada petani peminat
bukan hamparan lahan dengan alasan sebagai berikut. Individu petani peminat program (kelompok
pehobi) masing-masing telah mempunyai kesadaran (awareness), ketertarikan (interest), keinginan
yang kuat (desire) dan kemampuan untuk bertindak (action) dalam mensukseskaan kegiatan RHL.
Keempat sikap positif tersebut sangat penting dalam pelaksanaan RHL partisipatif.
Kesadaran (awareness) petani muncul didasari oleh beberapa hal mendasar berikut. Pertama,
kesadaran petani untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan seperti erosi, banjir dan
bencana ekologis lainnya. Kedua, kesadaran petani bahwa menanam pohon dapat menjadi tabungan
di hari tua dan anak cucu. Ketiga, kesadaran petani bahwa hutan yang cenderung semakin berkurang
luasannya dan semakin jauh dari pemukiman menyebabkan mereka akan kesulitan memperoleh kayu
baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual. Keempat, kesadaran petani bahwa penanaman
pohon mempunyai peranan menjaga kesuburan lahan gambut. Sistem perladangan berpindah
merupakan bukti nyata peranan pohon dalam mengembalikan kesuburan tanah.
Ketertarikan (interest) petani untuk berpartisipasi selain ditentukan oleh faktor internal
juga faktor eksternal utamanya pola insentif yang ditawarkan. Dengan karakteristik petani yang
marjinal (subsistem) maka tawaran hasil yang besar merupakan salah satu faktor pemacu yang
sangat memotivasi petani lokal mengembangan agroforestri di lahan gambut.
Keinginan yang kuat (desire) untuk memproduktifkan lahan gambutnya selanjutnya
mendorong petani untuk melakukan aksi (action) untuk mengembangkan agroforestri sesuai
dengan minat dan kebutuhannya. Pemberdayaan petani yang dilakukan harus mencakup lima aspek
pengembangan, yakni: sumberdaya manusia (SDM), organisasi, budidaya (teknis usaha), keuangan/
ekonomi dan kemitraan. Pola pembinaan dan pengembangan seperti tersebut di atas diharapkan
mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta mampu mendorong perekonomian
petani lokal kearah yang lebih maju.
Kesejahteraan petani lokal dapat terwujud jika empat faktor berikut terpenuhi, yakni: (1)
produktivitas kebun yang setinggi-tingginya, (2) kualitas produksi yang sebaik-baiknya, (3) adanya
diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal, dan (4) adanya mitra usaha yang menangani
aspek pengolahan, pemasaran dan keuangan. Keempat faktor tersebut dapat terwujud, bila
persyaratan berikut terpenuhi. Pertama, sumberdaya petani yang profesional. Kedua, kebersamaan,
kekompakan dan keharmonisan seluruh petani (warga desa). Ketiga, kelembagaan petani yang kuat
dan berfungsi melayani kebutuhan petani yang didukung oleh sistem keuangan yang transparan. Inti
dari kegiatan pemberdayaan petani adalah mengakumulasikan potensi yang dimiliki individu petani
(pendekatan dari bawah) untuk digunakan secara maksimal mewujudkan kesejahteraan mereka.
Dalam konteks pelibatan petani lokal dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan
gambut, desain program seharusnya tidak hanya sekedar mengatur aspek teknis, tetapi juga desain
program kegiatan yang dapat menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan secara ekologis
dan sosial ekonomi, yaitu hutan tetap lestari dan petani lokal sejahtera. Oleh karena itu, penetapan
tujuan kegiatan dilakukan untuk mendesain program dengan tujuan dan kegiatan yang menjamin
tingkat kelestarian yang tinggi dari penggunaan sumberdaya lahan gambut dan petani lokal dengan
penekanan pada keterlibatan dan peran serta petani lokal secara aktif.
Keterlibatan dan peran serta petani lokal dalam kegiatan RHL akan sangat tergantung dari
sejauhmana petani lokal merasa dan menerima tanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya,
yaitu seperti dalam bentuk kesempatan untuk mengontrol dan mengawasi sumberdaya, dimilikinya
bentuk tugas dan kewajiban yang jelas, adanya hak yang jelas, pengetahuan dan kemampuan
yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut dan diperolehnya imbalan yang memadai untuk
melakukan kontrol tersebut dan diperolehnya imbalan yang memadai (Gueye dan Laban, 1990).
Uraian berikut menjelaskan tentang kaitan antara hak, kompetensi (kemampuan), manfaat dan
kelembagaan (organisasi) petani lokal yang kuat sebagai prasyarat penting untuk menjamin peran
serta dan tumbuhnya tanggungjawab dalam pengembangan agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan
gambut.
a. Kepentingan/Manfaat Ekonomi
Masyarakat akan terlibat dalam kegiatan RHL hanya apabila mereka melihat secara jelas
manfaatnya baik intangible maupun tangible berupa hasil fisik, jasanya ataupun dalam bentuk
penerimaan. Mereka akan membuat perkiraan biaya-manfaat (untung rugi) baik untuk kepentingan
jangka pendek maupun jangka panjang dalam kontek tujuan ekologis maupun sosial ekonomi.
Karenanya pembangunan dan pengembangan hutan rakyat harus mempertimbangkan kepentingan
ganda (multiple interest) yang dapat dinikmati petani lokal. Apabila kepentingan ekonomi
pembangunan hutan rakyat tidak cukup memadai seperti yang mereka perkirakan, maka dapat
menyebabkan mereka kurang termotivasi mengorbankan waktu, tenaga ataupun dananya untuk
melakukan kegiatan tersebut. Penerimaan finansial dari pola agroforestri yang dikembangkan erat
sekali hubungannya dengan rasa memiliki terhadap keberadaan jenis tanaman yang ditanamnya.
b. Kompetensi/Kapasitas
Masyarakat akan termotivasi untuk terlibat dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di
lahan gambut hanya apabila memiliki kompetensi (pengetahuan atau teknologi) untuk mengerjakan
kegiatan tersebut. Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa kemampuan analisis untuk melihat
situasi dan kondisi aktual (saat ini) dan potensi dimasa depan ataupun kemampuan untuk melakukan
pilihan terbaik dari beragam aktivitas beserta dampaknya. Hal ini berkaitan dengan pengorganisasian
dan pengelolaan aktivitas tersebut. Kompetensi untuk melakukan pengelolaan tanaman RHL
seharusnya didasarkan pada pengetahuan setempat dan dapat diadaptasikan ke kondisi lingkungan
yang berubah sebagai tujuan atau sasaran yang diinginkan. Kompetensi ini dapat dilakukan melalui
pelatihan atau bentuk pendidikan lainnya.
Apabila dipandang tidak ada jaminan berupa kewenangan dan hak yang mereka dapat peroleh
dari aktivitas yang mereka lakukan, dapat dipastikan mereka akan ragu bahkan meninggalkan
aktivitas tersebut dan beralih ke aktivitas lain yang lebih memberikan jaminan hasilnya. Pada
beberapa kasus terkadang sistem kewenangan dan hak tradisional sedang dalam proses disintegrasi
dimana perlahan tergantikan oleh ketentuan formal yang hanya memberikan sedikit keleluasaan
bagi berkembangnya kewenangan dan hak setempat. Kewenangan dan hak akan hasil, akses dan hak
kepemilikan individu ataupun kolektif sebaiknya dibuat secara eksplisit dalam kerangka ketentuan
formal, misalnya dalam bentuk peraturan pemerintah atau perundangan lainnya.
Organisasi lokal yang kuat sebaiknya juga diikuti pada tingkat individu. Untuk meningkatkan
pengakuan bahwa individu-individu petani pengembang agroforestri dalam organisasi lokal
memiliki kapasitas/kompetisi, sebaiknya kepentingan-kepentingan individu tersebut di dukung
oleh organisasi lokal yang kuat. Pengelolaan agroforestri yang dikembangkan mendapat dukungan
peran serta dan tanggung jawab petani ditingkat lokal apabila pada tingkat tersebut dipenuhi empat
prakondisi yaitu adanya jaminan hak, dimilikinya pengetahuan/kompetensi, ada jaminan manfaat
dan adanya kelembagan lokal yang kuat.
Sedangkan di tingkat nasional, berjalannya secara efektif instrumen kebijakan yang terdiri
dari peraturan yang menjamin adanya hak, training/pelatihan dan penelitian yang terus-menerus
dan ditetapkan adanya insentif. Apabila dicermati, dalam proses pengembangan agroforestri, petani
lokal sebagai pelaku utama memiliki tanggungjawab yang besar yaitu melestarikan fungsi hutan,
namun pada saat yang sama mereka juga dituntut untuk mampu meningkatkan kesejahteraan
mereka sendiri. Padahal, tingkat kelestarian fungsi hutan dan tingkat kesejahteraan masyarakat
akan memiliki ciri-ciri spesifiknya masing-masing. Sebagai pelaku atau pengelolaan tanaman
RHL, petani lokal harus mengenal ciri-ciri fungsi hutan yang lestari tersebut, bagaimana kriteria
dan indikatornya. Begitu halnya, kriteria dan indikator petani lokal yang sejahtera perlu dikenali
dan diusahakan oleh para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam kegiatan RHL partisipatif. Dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan petani lokal tersebut perlu adanya kemitraan. Kata kemitraan
berasal dari kata “mitra” yang berarti teman. Kata teman ini mengajak kita mempersepsikan
hubugan antar personal yang berkelanjutan dan selalu menghasilkan hal yang baik/positif, sedangkan
lawan dari kata teman adalah musuh yang dapat diartikan hubungan antar makhluk yang terputus dan
menghasilkan efek yang negatif. Dasar pemikiran yang perlu kita pahami sebenarnya adalah perlunya
landasan keikhlasan antara kedua pihak untuk menjalin hubungan kemitraan tersebut. Apabila tidak
ada keikhlasan atau kerelaan, maka sebenarnya hubungan kemitraan tersebut diragukan kekuatan
dan ketahanannya. Hubungan kemitraan yang dilandasai dengan keikhlasan, akan menjadi hubungan
kemitraan yang kuat. Kerelaan atau keikhlasan dalam menjalin hubungan kemitraan akan memotivasi
kita memahami, mengerti dan mencoba mengadaptasi diri sendiri dengan orang lain (teman) sehingga
kita cenderung selalu membuat suasana yang ramah, baik dan kondusif. Kerjasama tersebut tercipta
karena pihak mitra melihat bahwa dengan adanya kebersamaan dalam masyarakat peluang-peluang
usaha akan muncul dengan nilai efisiensi tinggi. Sebagai contoh apabila produksi dipasarkan secara
kolektif, maka kontinyuitas produksi akan tercapai dan pemasaran akan menguntungkan. Sementara itu
dengan kebersamaan pola pikir (motivasi memperbaiki hidup), kualitas produksi akan meningkat dengan
adanya kebersamaan motivasi untuk mempertinggi nilai tawar (bargaining position). Namun demikian,
perlu disadari bahwa pada hubungan kemitraan yang kuat sekalipun, resiko hubungan kemitraan tersebut
lambat laun akan hilang dapat saja terjadi.
Degradasi hubungan kemitraan dapat disebabkan karena adanya eliminasi sikap saling
yang makin lama semakin diragukan oleh masing-masing pihak yang bermitra. Apalagi dalam
kemitraan usaha dimana setiap pihak sudah meragukan komitmen pihak yang lain dalam bermitra.
Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan sistem yang menjamin bahwa setiap pihak tetap
mendapatkan keuntungan materiil maupun moril secara adil. Sistem tersebut disebut dengan
Sistem kebersamaan ekonomi (SKE). Sistem kebersamaan ekonomi (SKE) adalah suatu sistem yang
mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh laba (profit oriented) dengan menggunakan
pendekatan kebersamaan. Pendekatan ini diperlukan untuk memperkuat rasa kebersamaan
masing-masing pihak karena kebersamaan yang paling kuat apabila kebersamaan tersebut dapat
mengakomodir kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada keuntungan ekonomis yang
dirasakan oleh masing-masing pihak, maka kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan
yang produktif dan tidak bertahan lama.
Dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut kedepan kiranya perlu
dirancang pola insentif yang memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, menarik minat petani
untuk berpartisipasi secara aktif. Kedua, mampu meningkatkan kesejahteraan petani melalui
pemberdayaan potensi yang dimiliki masing-masing individu petani dan kelompoknya. Insentif
kegiatan RHL selama ini (termasuk insentif GN-RHL/GERHAN) lebih banyak didasari oleh keinginan
petani lokal untuk mendapatkan “upah”. Hal ini berakibat, partisipasi petani lokal lebih dilandasi
kepentingan memperoleh keuntungan materi yang bersifat sesaat, sehingga setelah kegiatan tidak
lagi dibiayai oleh proyek (pemerintah) maka kondisi tanaman menjadi kurang terawat. Hal ini
berakibat pada rendahnya keberhasilan tanaman RHL.
Memperhatikan hal tersebut maka untuk menarik minat petani berpartisipasi dalam kegiatan
RHL perlu melakukan upaya berikut. Pertama, lahan lokasi pengembangan agroforestri di lahan milik
tidak harus berupa satu hamparan, tetapi letak lahan bisa saja tidak dalam satu hamparan tergantung
pada kepemilikan lahan oleh petani peminat program. Kedua, insentif kegiatan pengembangan
agroforestri dapat berupa peminjaman uang untuk modal kerja usaha produktif seperti perbengkelan,
peternakan (ayam, itik, kambing, sapi, dll.), warung makan, penjahit pakaian, dan usaha produktif
lainnya. Kesepakatan inidisepakatisecara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program
di atas surat kesepakatan (MoU) bermeterai. Ketiga, insentif kegiatan RHL dapat berupa pemberian
beras (food for work) untuk petani peserta program yang jumlah ditentukan per bulan. Jumlah
beras yang diterima per bulan dan jangka waktu pemberian beras tersebut ditentukan berdasarkan
luasan lahan dan jumlah batang pohon per ha yang ditanam oleh petani. Kesepakatan ini disepakati
secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat kesepakatan (MoU)
bermeterai. Keempat, insentif berupa upah langsung sebaiknya dilakukan dengan mekanisme “beli
tanaman tumbuh”. Pada pola ini, mekanisme pemberian upah dilakukan secara periodik (misalnya
per 3 bulan atau per 6 bulan sesuai pertumbuhan tanaman). Besarnya upah yang diterima petani
peserta ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah tanaman yang ditanam yang hidup atau tumbuh.
Luas lahan yang ditanami atau jumlah pohon per ha yang ditanam merupakan hasil kesepakatan atau
musyawarah dengan petani peminat program. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama
oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat kesepakatan (MoU) bermeterai.
Selain itu, mengingat kondisi ekologi lahan gambut maka praktek pertanian seharusnya
mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut: (1) praktek pertanian yang dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai
macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia sehingga
saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar; (2) praktek pertanian yang
dapat mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur
yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia. Dalam
KEHUTANAN UMUM 337
KOMISI D
memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulangdan minimalisasi
kerusakan lingkungan; (3) praktek pertanian yang tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi
dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam
jangka panjang.
Memperhatikan kondisi petani maka teknologi yang diaplikasikan dalam pengembangan
agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan gambut harus berprinsip berikut: (a) pemahaman akan
kebutuhan dan aspirasi petani lokal, (b) fasilitasi/pendampingan tentang cara-cara berorganisasi
kepada petani lokal, (c) paket teknologi yang akan dikembangkan harus dimulai dari apa yang
mereka ketahui, (d) kegiatan dibangun atas dasar apa yang mereka miliki (potensi SDA dan SDM
setempat), (e) asistensi peningkatan kapasitas dan keterampilan mereka, (f) bekerja sambil belajar,
(g) membimbing dengan peragaan dan contoh.
KESIMPULAN
1. Pola-pola agroforestri berbasis jenis jelutung yang telah dikembangkan oleh petani setempat
dapat diadopsi untuk menunjang keberhasilah RHL di lahan gambut.
2. Performansi pertumbuhan jelutung rawa untuk riap tinggi berkisar antara 86,55 – 127,94 cm per
tahun, untuk riap diameter berkisar antara 1,56 – 2,15 cm per tahun.
3. Pengembangan agroforestri berbasis jelutung rawa untuk RHL di gambut dapat dilakukan dengan
sistem kebersamaan ekonomi berdasarkan manajemen kemitraan .
DAFTAR PUSTAKA
Bastoni. 2001. Pertumbuhan hasil dan kualitas tapak hutan tanaman di Sumatera bagian Selatan.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan.
Bastoni dan H.D. Riyanto. 1999. Teknik Silvikultur untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan Basah Bekas
Tebangan di Sumatera Selatan dan Jambi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi
Palembang. Tidak dipublikasikan.
Daryono, H. 2000. Teknik Membangun Hutan Tanaman Industri Jenis Jelutung (Dyera spp.). Informasi
Teknis Galam No. 3/98. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Kalimantan Selatan.
Indrayatie, E.R. dan Suyanto. 2009. PenyusunanDatabase Digital Karakteristik Habitat Jelutung (Dyera
polyphylla Miq. V. Steenis) di Lahan Basah Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Fakultas
Kehutanan. Manajemen Hutan. Universitas Lambung Mangkurat (tidak dipublikasikan).
Limin, S.H. 2004. Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi pemulihannya.
Di dalam A.P. Tampubolon, T.S. Hadi, W. Wardani dan Norliani [Editor]. Kesiapan Teknologi
untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding
Seminar Ilmiah. Palangkaraya, 12 Mei 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan.
Yogyakarta. pp 1 – 14.
Raintree, J.B. 1990. Theory and practice of agroforestry diagnosis and design. In: K.G. Macdiken and
N.T. Vergara [Editors]. Agroforestry: Classification and Management. John Wiley and Sons,
Inc. New York.
Siti Hamidah 1,2), Yudi Firmanul Arifin 1,2), Yulian Firmana Arifin 3)
1) Fakultas Kehutanan Unlam
2) Konsorsium Pengelolaan Hutan Tropis Berkelanjutan
3) Fakultas Teknik Unlam
Email; konsorsium.phtb@gmail.com; yudifirmanul@yahoo.com
ABSTRAK
Hingga kini kebutuhan bahan baku kayu, khususnya kayu gelam (Melaleuca cajuputi), dalam
mendukung pembangunan perumahan dan infratruktur lainnya semakin besar di Indonesia. Di
Pulau Kalimantan yang sebagian wilayahnya terdiri dari kawasan rawa membutuhkan kayu gelam
sangat besar dan terus menerus khususnya untuk pembangunan perumahan. Akan tetapi kawasan
hutan rawa gambut yang menjadi habitat tumbuhan ini dari tahun ketahun mengalami degradasi
dan penyusutan. Keadaan ini tentu saja sangat besar sekali pengaruhnya secara ekologis terhadap
populasi gelam, sedangkan sistem pengelolaan dan tata niaganya belum diatur dengan baik.
Penelitian ini bertujuan menganalisa sistem peredaran dan tata niaga kayu gelam khususnya di
Kalimantan Selatan untuk memberikan masukan bagi pemegang kebijakan dalam upaya pelestarian
kayu gelam. Metode yang digunakan adalah survey dan interview terhadap pedagang kayu gelam
serta pemegang kebijakan berkaitan aturan yang berlaku. Hasil penelitian menunjukan kayu
gelam di Kalimantan Selatan bersumber dari hutan rawa gambut yang sebagian besar berasal dari
Kabupaten Batola dengan potensi antara 2,9-7,1 m3/ha, dan Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah.
Kabupaten lainnya yang juga menghasilkan kayu gelam adalah Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten
Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Dari kabupaten-kabupaten tersebut beredar ke seluruh
wilayah di Kalimantan Selatan dan sebagian dikirim ke Pulau Jawa. Adapun urutan perdagangan
dimulai dari peramu yang melakukan penebangan di hutan selanjutnya dijual ke pengumpul kecil,
setelah itu ke pengumpul besar dan seterusnya diperdagangkan keberbagai kabupaten/kota yang
ada di Kalimantan Selatan, industri pengolahan kayu, dan sebagian dikirim ke Pulau Jawa. Sistem
pengelolaannya menggunakan sistem tebang pilih sesuai dengan tujuan penggunaan. Klasifikasi
ukuran kayu gelam yang diperdagangkan berdasarkan diameter, yaitu 3-4cm, 5-6cm, 7-8cm,
9-10cm, 11-12cm, 13-14cm,15-19cm dan >20cm dengan panjang 4m. Penggunaannya terdiri dari
diameter kecil (3-10cm) untuk pengecoran bangunan dan kayu bakar, sedang diameter besar (10-
20cm) untuk konstruksi pembangunan rumah di daerah rawa, dan limbahnya serta batang yang
bengkok dan cacat digunakan untuk kayu bakar. Hingga kini kayu gelam menjadi usaha masyarakat
yang potensial dan sumber pendapatan pemerintah daerah jika dikelola dengan baik. Namun karena
aturan pengelolaan dan tata niaga kayu gelam di Kalimantan Selatan tidak berjalan dengan baik,
sehingga mengancam kelestariannya terlebih lagi dengan makin luasnya lahan rawa gambut yang
dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
LATAR BELAKANG
Perkayuan menjadi salah satu prioritas dalam pembuatan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Indonesia untuk koridor 3 Regional Kalimantan, tentunya mencakup semua
jenis kayu yang besar perananya dalam pembangunan. Kayu gelam sebagai bahan baku yang sangat
dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur tentunya mendapat perhatian yang sangat penting
untuk dikelola dan diatur tata niaganya, serta dioptimalkan pemanfaatannya.
Tujuan penelitian adalah menganalisa sistem peredaran dan tata niaga kayu gelam di provinsi
Kalimantan Selatan. Diharapkan hasil kegiatan penelitian ini memberikan manfaat bagi pemegang
kebijakan dalam penyusunan sistem peredaran dan tata niaga kayu gelam di Kalimantan Selatan
untuk tujuan pelestariannya.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Batola, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tapin, dan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Keempat kabupaten tersebut dijadikan tempat penelitian karena
menjadi sumber bahan baku gelam di Kalimantan Selatan.
Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian pada tahap ini merupakan penelitian survey, yang mana penelitian dilakukan
berdasarkan data sampel yang diambil dari populasi, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif,
distribusi, dan hubungan-hubungan antar variable, dan sosiologis. Penelitian survey adalah
penyelidikan yang pada umumnya mengambil suatu generalisasi dari pengamatan.
Populasi dalam penelitian ini adalah penjual kayu gelam (wantilan). Penentuan sampel dalam
populasi ditentukan sendiri oleh peneliti secara purposive disesuaikan dengan tujuan penelitian,
atau yang menjadi sampel hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi yang relevan saja.
Responden yang dijadikan sampel kadang-kadang dapat menunjukkan orang lain yang relevan
untuk mendapatkan data, sehingga data bertambah terus, yang disebut snowball sampling. Untuk
memperoleh data tertentu sampel data diteruskan, sehingga mencapai taraf redundancy, yaitu
dengan menggunakan sampel baru lainnya ternyata tidak menambah informasi baru yang bermakna.
Analisis data dilakukan sejak penelitian dimulai sampai penelitian selesai.
Pemilihan responden
Responden dalam penelitian ini adalah penjual kayu gelam (wantilan). Pemilihan responden
berdasarkan informasi atau data dari berbagai pihak yang terkait, yaitu masyarakat setempat
yang tahu keberadaan penjual kayu gelam dan Dinas Kehutanan. Sampel dapat bertambah dengan
menggunakan metode snowball sampling seperti disebutkan sebelumnya. Jumlah sampel akan
dibatasi hingga informasi yang didapatkan sudah mencapai titik jenuh.
Uraian distribusi kayu gelam mulai dari penebangan di hutan rawa gambut hingga penjualan
kepada konsumen seperti diuraikan pada Gambar 1. Secara umum pengumpul kecil beranggotakan
25 orang dan ketua kelompok sebagai pemegang ijin pengumpul. Mereka menebang kayu gelam
dengan berbagai ukuran mulai dari diameter kecil 3-5cm hingga diameter besar 10-20cm dan >20cm.
Dari pengumpul kecil-pengumpul kecil dijual kepada pengumpul besar. Pungutan-pungutan hanya
dilakukan pada pengumpul besar saat kayu gelam akan diperdagangkan. Dokumen pengangkutan
kayu gelam bulat menggunakan SKSKB cap”KR”. Dari pengumpul besar dijual dalam daerah (lokal),
dijual keluar daerah khususnya Pulan Jawa, dan industri pengolahan kayu (umumnya diameter > 12
cm).
Gambar 1. Skema distribusi kayu gelam mulai dari peramu hingga ke konsumen
Penjual kayu gelam di Kabupaten Batola dan juga di Tanah Laut sudah berdagang antara 15-20
tahun yang dilakukan secara turun temurun. Mereka mendapatkan kayu gelam dari pengumpul yang
berada di Dadahup Kabupaten Kapuas, Kabupaten Batola, dan Liang Anggang. Frekuensi pembelian
kayu gelam dari pengumpul dalam satu bulan berkisar antara 25-150 truk. Pembeli kayu gelam
umumnya masyarakat lokal, industri pengolahan kayu, dan dari Pulau Jawa, seperti; Surabaya, Bali,
dan Cirebon. Kendala yang mereka hadapi hingga kini adalah semakin menurunnya tegakan gelam
yang tersedia di hutan, sehingga sebagian penjual tidak mengirim lagi ke Pulau Jawa.
Harga kayu gelam tergantung dari ukuran (diameter dan panjang), kualitas batang (bengkok,
lurus, cacat), kondisi batang sudah dikuliti atau tidak. Secara rinci harga kayu gelam yang berlaku di
masyarakat seperti pada Tabel 1.
Dari hasil wawancara diketahui harga kayu gelam dengan diameter antara 5cm panjang
3,5m dijual dengan harga Rp. 2.500-3.000 per batang, panjang 5m Rp. 4.000. Kayu gelam ukuran
kecil ini banyak digunakan untuk pengecoran bangunan, kandang ternak, ajir tanaman (diameter
2-3cm). Sedangkan kayu gelam diameter 10cm panjang 3m dijual dengan harga Rp. 7.500-8.000/
batang, panjang 4m Rp. 12.000/batang, panjang 7,5m Rp. 14.000-15.000/batang. Ukuran diameter
>10cm ini banyak digunakan untuk kontruksi rumah panggung yang memerlukan pasak untuk tiang
panggungnya, untuk siring tanah yang longsor, dan kayu pertukangan (balok dan papan) untuk
rumah dan peti untuk packing.
Pembahasan
Kayu gelam yang beredar di wilayah Kalimantan Selatan mulai dari diameter kecil 3-5cm
hingga diameter besar 10-20cm dan >20cm, kondisi ini mengancam kelestarian kayu gelam.
Menurut peraturan yang berlaku di Kabupaten Batola bahwa diameter <4cm dan >30cm tidak boleh
ditebang untuk tujuan pelestarian seperti disebutkan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa peraturan
yang berlakukan di sana tidak berjalan dengan baik, sehingga pengawasan dan penegakan hukum
secara tegas perlu dilakukan.
Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sendiri yang sebagian wilayahnya merupakan hutan rawa
dan menghasilkan kayu gelam berdasarkan Surat Keputusan Bupati Hulu Sungai Selatan No. 500/04/
Ekobang tanggal 5 Januari 2009 secara tegas menyebutkan moratorium /penghentian/pelarangan
sementara penebangan kayu baik di kawasan hutan rakyat maupun kawasan hutan lainnya. Keadaan
ini menunjukkan bahwa kayu gelam yang ditebang di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah
illegal. Akan tetapi kenyataannya dilapangan masih beredar kayu gelam yang diperoleh dari wilayah
ini.
Penebangan kayu gelam yang berasal dari wilayah Kalimantan Selatan hanya digunakan
untuk kebutuhan lokal di provinsi ini. Kekurangan penyediaan kayu gelam untuk wilayah Kalimantan
Selatan sebagian besar berasal dari Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Selatan.
KESIMPULAN
1. Potensi kayu gelam di Kalimantan Selatan relative kecil, yaitu antara 2,9-7,1m3/ha, sebagian
kebutuhan provinsi ini diperoleh dari Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah.
2. Kayu gelam yang dihasilkan dari wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar hanya untuk
kebutuhan lokal, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk kontruksi rumah,
jembatan, pembuatan papan/balok, dan kayu bakar.
3. Distribusi perdagangan kayu gelam di awali dari peramu, pedagang kecil, pedagang besar. Dari
pedagang besar beredar ke masyarakat lokal, industry perkayuan, dan sebagian ke Pulau Jawa.
4. Pengelolaan kayu gelam di Kalimantan Selatan secara umum tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku sehingga mengancam kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. SK Bupati Hulu Sungai Selatan No. 500/04/Ekobang tanggal 5 Januari 2009
Dephut, 2003. Budidaya kayu Putih (Melaleuca cajuputi). Departemen Kehutanan, Jakarta. 29p.
Lazuardi, D. dan Supriadi, R., 2000. Teknik Pengelolaan Hutan Gelam Rakyat di Kalimantan Selatan.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Banjarbaru.unpublished.
Mac Kinnon, K., Hatta, G., Halim, H., and Mangalik, A., 1996. The ecology of Kalimantan (Indonesia
Borneo). Periplus Editions (HK) Ltd. P130-458.
Samingan, T., 1971. Tipt-tipe vegetasi (Pengantar Dendrologi). Yayasan Pembinaan Fakultas
Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Nirawati ; Stiper Yapim Maros Jl.Dr. Ratulangi No.62 Telp. (0411) 372161 Fax. (0411) 373181
Maros Sulawesi Selatan, 085255559524, nirawati45@yahoo.com.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan pohon
pada kegiatan GN-RHL di TN-Babul Kecamatan Simbang Kabupaten Maros yang ditanam tahun
2003, 2004, 2005 dan 2007. Penelitian dilaksanakan di Kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung tepatnya Kecamatan Simbang Kabupaten Maros Propvinsi Sulawesi Selatan. Data yang
dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
pengukuran diameter pohon, kelerengan dan titik koordinat serta mencatatat nama jenis dan
menghitung jumlah pohon, sedangkan data sekunder diperoleh melalui data rancangan dan laporan
hasil penilaian tanaman. Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan penduga
kepercayaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tingkat keberhasilan kegiatan
reboisasi dan pengayaan pada tahun 2003 – 2007 relatif rendah dengan persentase tumbuh 9,21 % -
47-39 % kecuali untuk kegiatan pengayaan tahun tanam 2007 dengan persentase hidupnya 83,84%
yang digolongkan kategori berhasil. Rendahnya tingkat keberhasilan kegiatan tersebut karena letak
dan kondisi lokasi kegiatan sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional merupakan lokasi taman
wisata yang sampai sekarang masih difungsikan, sehingga banyak aktifitas manusia di dalamnya
seperti rekreasi, perkemahan, penagkapan kupu-kupu, dan penggembalaan ternak sapi. Hal ini
menyebabkan pohon yang ditanam banyak yang mati terinjak dan dimakan ternak sapi. Selain itu
pada periode tahun tanam 2003 – 2005 pelaksanaan kegiatannya tidak dilaksanakan dalam satu
kesatuan kegiatan yang utuh, melainkan suatu kegiatan yang terpisah-pisah mulai dari pembibitan,
penanaman sampai pemeliharaannya sehingga tahapan setiap kegiatannya tidak berkesinambungan.
Kata Kunci :Rehabilitasi, Reboisasi, pengaayaan
PENDAHULUAN
Rehabiliatasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan salah satu upaya strategis kebijakan
prioritas pembangunan kehutanan, diantaranya dilaksanakan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan). GN-RHL atau populer dengan sebutan Gerhan adalah suatu
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang terkoordinasi dengan mendayagunakan segenap
kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah daerah
aliran sungai (DAS) prioritas.
Kawasan Hutan saat ini kondisinya sangat menghawatirkan akibat terjadinya aksi penebangan
liar, besarnya tekanan penduduk, konversi fungsi hutan, bencana alam, kebakaran hutan serta
managemen pengelolaan hutan yang tidak lestari, merupakan faktor-faktor yang mempercepat laju
kerusakan hutan dan lahan di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Kawasan Alam (PHKA) pada Tahun 2011, kerusakan dalam kawasan konservasi mencapai
460.408 ha, dengan rincian kerusakan di taman nasional seluas 316.384 ha dan sisanya di kawasan-
kawasan yang dikelola oleh Balai Besar/Balai KSDA (cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata
alam, maupun taman buru).
Dalam rangka menyelamatkan sumberdaya hutan dan lahan dari bahaya kerusakan yang
semakin besar, maka di Sulawesi Selatan, sejak Temu Nasional “Tekad Malino 2003” kegiatan
GN-RHL/Gerhan telah dilaksanakan di wilayah kerja Balai Pengelolaan DAS Jeneberang Walanae
termasuk rehabilitasi dalam kawasan konservasi khususnya di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung Kecamatan Simbang Kabupaten Maros. Kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas
dan peranannya dalam mendukung system penyanggah kehidupan tetap terjaga.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2003 sampai 2007
realisasi pelaksanaan kegiatan penilaian tanaman GN-RHL di TN-Babul sudah mencapai 1.450
ha yang mencakup dua kabupaten yaitu Kabupaten Maros dan Pangkep. Khusus untuk Kecamatan
Simbang realisasi pelaksanaan kegiatan GN-RHL seluas 600 ha mencapai tingkat pertumbuhan pohon
berkisar 48,17% - 97,3 %. Untuk menjamin kelangsungan hidup pohon pada kondisi pertumbuhan
yang stabil dan mampu bersaing dengan kondisi fisik lingkungan dan iklim yang ekstrim, maka
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat keberhasilan pertumbuhan pohon dan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan pohon pasca rehabilitasi pada kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan yang ditanam tahun 2003, 2004, 2005 dan 2007 di TN-Babul.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di lokasi atau areal pelaksanaan Program kegiatan GN-RHL di
TN - Babul di Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, mulai tahun tanam 2003 lokasi Pattunuang,
tahun tanam 2004 lokasi Sambueja, tahun tanam 2005 lokasi Sambueja dan tahun tanam 2007 lokasi
Samangki. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 3 bulan.
Alat–alat yang digunakan adalah GPS, kompas, roll meter, pita diameter, hagameter, tali rafiah,
tally sheet dan alat tulis menulis, sedangkan bahan yang digunakan adalah pohon yang ditemukan
tumbuh pada lokasi penelitian.
Jenis dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah jenis pohon, jumlah pohon, diameter pohon,
kelerengan dan titik koordinat dari setiap petak pengamatan (plot) dan dicatat dalam tally sheet yang
telah disiapkan. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan adalah rancangan teknis kegiatan
dari BBKSDA, laporan pelaksanaan kegiatan dari Dinas Kehutanan Provinsi dan BPDAS Jeneberang
Walanae, dan deskripsi setiap jenis pohon yang bersumber dari berbagai literatur.
Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling sistematik dengan
intensitas sampling 1 % pada setiap lokasi kegiatan. Petak pengamatan (plot berbentuk empat persegi
panjang dengan ukuran 20 m x 50 m) dan jarak antar plot 100 m x 400 m.
Analisis Data
Data sekunder dianalisis secara deskriptif dengan tujuan mengetahui kondisi awal lokasi atau
areal penelitian. Data primer dianalisis dengan metode deskriptif dan penduga selang kepercayaan.
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pertumbuhan pohon pada setiap
lokasi kegiatan GN-RHL.
Menurut WG.Cochran (2010), pendugaan proporsi pohon hidup dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
HASIL
Tingkat Keberhasilan pertumbuhan pohon yang hidup pada kegiatan GN-RHL di TN-
Babul dapat diduga dengan menghitung proporsi hidup pohon pada setiap tahun tanam kegiatan.
Berdasarkan data pengukuran diameter, proporsi hidup pohon setiap tahun tanam kegiatan disajikan
pada Tabel 1.
Kegiatan reboisasi tahun tanam 2004 lokasi Sambueja dengan luas 150 ha, rata-rata proporsi
pohon hidupnya sebesar 0,077 pohon perplot pengamatan dan ragam proporsi pohon hidupnya
sebesar 0,0007 dengan derajat bebas n-1, sedangkan ragam proporsi pohon rata-rata per-plotnya
sebesar 0,01. Pada selang kepercayaan 95% diduga proporsi keberhasilan pertumbuhan pohon
berkisar 6,26 % – 9,21 %. Berdasarkan klasifikasi dan kriteria keberhasilan tanaman reboisasi
yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Program Ditjen RHL Departemen Kehutanan, maka tingkat
keberhasilan pertumbuhan tanaman pada tahun tanam 2004 di kategorikan gagal karena pada umur
7 – 8 keatas persen pertumbuhan pohonnya < 54%.
Kegiatan reboisasi tahun tanam 2005 lokasi Sambueja dengan luas 100 ha, rata-rata
proporsi pohon hidupnya sebesar 0,089 pohon perplot pengamatan dan ragam proporsi pohon
hidupnya sebesar 0,0008 pohon dengan derajat bebas n-1, sedangkan ragam proporsi pohon rata-
rata per-plotnya sebesar 0,007 pohon. Pada selang kepercayaan 95% diduga proporsi keberhasilan
pertumbuhan pohon berkisar 6,90 % – 10,92 %. Berdasarkan klasifikasi dan kriteria keberhasilan
tanaman reboisasi yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Program Ditjen RHL Departemen Kehutanan,
maka tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada kegiatan reboisasi tahun tanam 2005 di
kategorikan gagal karena pada umur 7 – 8 keatas persen pertumbuhan pohonnya < 54%.
Kegiatan pengkayaan tahun tanam 2005 lokasi Sambueja dengan luas 100 ha, rata-rata
proporsi pohon hidupnya sebesar 0,405 pohon perplot pengamatan dan ragam proporsi pohon
hidupnya sebesar 0,001 pohon dengan derajat bebas n-1, sedangkan ragam proporsi pohon rata-
rata per-plotnya sebesar 0,009 pohon. Pada selang kepercayaan 95% diduga proporsi keberhasilan
pertumbuhan pohon berkisar 33,11 % – 47,39 %. Berdasarkan klasifikasi dan kriteria keberhasilan
tanaman reboisasi yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Program Ditjen RHL Departemen Kehutanan,
maka tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada kegiatan reboisasi tahun tanam 2005 di
kategorikan gagal karena pada umur 7 – 8 keatas persen pertumbuhan pohonnya < 54%.
Kegiatan reboisasi tahun tanam 2007 lokasi Samangki dengan luas 50 ha, rata-rata proporsi
pohon hidupnya sebesar 0,252 pohon perplot pengamatan dan ragam proporsi pohon hidupnya sebesar
0,002 pohon dengan derajat bebas n-1, sedangkan ragam proporsi pohon rata-rata per-plotnya
sebesar 0,01 pohon. Pada selang kepercayaan 95% diduga proporsi keberhasilan pertumbuhan pohon
berkisar 18,96 % – 31,44 %. Berdasarkan klasifikasi dan kriteria keberhasilan tanaman reboisasi
yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Program Ditjen RHL Departemen Kehutanan, maka tingkat
keberhasilan pertumbuhan tanaman pada kegiatan reboisasi tahun tanam 2007 di kategorikan gagal
karena pada umur 5 – 6 tahun persen pertumbuhan pohonnya < 64 %.
Kegiatan pengkayaan tahun tanam 2007 lokasi Samangki dengan luas 50 ha, rata-rata
proporsi pohon hidupnya sebesar 0,53 pohon perplot pengamatan dan ragam proporsi pohon
hidupnya sebesar 0,06 pohon dengan derajat bebas n-1, sedangkan ragam proporsi pohon rata-
rata per-plotnya sebesar 0,25 pohon. Pada selang kepercayaan 95% diduga proporsi keberhasilan
pertumbuhan pohon berkisar 22,16 % – 83,84 %. Berdasarkan klasifikasi dan kriteria keberhasilan
tanaman reboisasi yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Program Ditjen RHL Departemen Kehutanan,
maka tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada kegiatan reboisasi tahun tanam 2007
dikategorikan berhasil karena pada umur 5 – 6 tahun persen pertumbuhan pohonnya > 75 %.
nilai persentase sebesar 83,84 %, dengan kesalahan penarikan contoh sebesar 11,16%. Dengan
demikian kegiatannya tergolong berhasil. Untuk kegiatan Reboisasi tahun tanam 2003,2004, 2005,
2007 dan kegiatan pengkayaan tahun tanam 2005 persen tumbuh tanamannya sangat rendah dengan
nilai persentase berkisar 9,21 % - 47,39 % sehingga tergolong gagal.
Tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman/ persen tumbuh tanaman pada kegiatan GN-
RHL di TN-Babul sangat dipengaruhi oleh sistem pelaksanaan kegiatannya mulai dari pengadaan
bibit, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Pengadaan bibit pada tahun 2003 diadakan oleh
perusahaan pengada/pengedar bibit (pihak ketiga) melalui penunjukan langsung (Departemen
kehutanan, 2009). Pada tahun 2004 – 2005 penyediaan bibit dilaksanakan oleh pihak ketiga yang
penunjukkannya diserahkan pada BPDAS sedangakan penanaman dan pemeliharaan tanaman
pada tahun 2003 -2005 dilakukan secara swakelola oleh kelompok tani melalui SPKS (Permenhut
No.02/Menhut-V/2004) sedangkan tahun tanam 2007 pelaksanaan kegiatan mulai pengadaan bibit,
penanaman sampai kegiatan pemeliharaan dilakukan dalam satu paket pekerjaan dengan sistem
kontrak tahun jamak (kontraktual multiyers) dimana sistem pembayarannya berdasarkan prestasi
pekerjaannya (Perpres RI No.89 tanggal 3 September 2007). Kegiatan penanaman dan pemeliharaan
pada semua lokasi kegiatan GN-RHL di TN-Babul mulai tahun 2003 – 2007 dilakukan oleh
masyarakat/kelompok tani yang tinggal disekitar lokasi yang dibayar dengan sistem upah harian.
Selain itu rendahnya tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada kegiatan GN-RHL di TN-
Babul juga disebabkan karena penggembalaan ternak dalam kawasan TN-Babul (Dinas Kehutanan
Propinsi Sulawesi Selatan, 2004/2005). Berdasarkan data sensus jumlah ternak yang dilakukan oleh
BPS Kabupaten Maros banyaknya ternak yang ada di Kecamatan Simbang tahun 2011 adalah 4214
ekor yang terdiri dari jenis kerbau 171 ekor, sapi 5435 ekor, kuda 312 ekor, dan kambing 1138 ekor tapi
fasilitas penggembalaannya tidak ada sehingga terpaksa digembalakan dalam kawasan TN-Babul.
Hal ini menyebabkan kematian tanaman karena terinjak ataupun termakan oleh ternak tersebut.
PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil penilaian tanaman pada tahun kedua pemeliharaan, kondisi tanaman
reboisasi dan pengayaan yang baru ditanam pada umumnya relatif terpelihara, sehingga persen
tumbuh tanamannya menunjukkan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Namun demikian pada
masing-masing lokasi kegiatan tersebut terdapat variasi/perbedaan yang sangat mencolok dalam
hal pertumbuhan tanaman (tinggi dan diameter). Hal ini dikarenakan pertumbuhan tanaman
tidak normal, walaupun belum/tidak sampai menyebabkan kematian tumbuhan. Terjadinya
pertumbuhan yang tidak normal, menyebabkan persaingan hidup yang ketat, dimana pohon-pohon
dengan pertumbuhan kurang baik akan tertekan dan lambat laun pohon-pohon tersebut akan mati.
Kondisi ini terlihat jelas pada keberhasilan tumbuh tanaman, dimana pada tanaman yang berumur
lebih dari 7-8 tahun mengalami penurunan (rata-rata keberhasilan menjadi 9,21 % - 83,84%),
akibat persaingan semakin ketat yang disebabkan tidak ada kegiatan pemeliharaan lanjutan pasca
rehabilitasi dimana areal sudah diserahkan oleh kelompok tani kepada pihak pengelola.
Persentase hidup yang rendah tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
keadaan bibit yang ditanam diduga sudah dalam keadaan yang rusak melihat kondisi lokasi yang sulit
dijangkau dan keadaan tanah yang berbatu dengan kedalaman < 25 cm, sehingga untuk dapat hidup
maksimal sangat sulit, penanaman yang tidak tepat musim tanam yang baik karena terlambatnya
anggaran (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi selatan, 2004/2005), dan pemeliharan lanjutan yang
kurang maksimal. Penyulaman tanaman yang mati dilakukan dengan mengganti tanaman baru
(sulaman), jenis tanaman sulaman tidak selalu sama dengan jenis tanaman yang mati. Bibit yang
ditanam sebagai tanaman sulaman adalah bibit dari hasil persemaian kelompok tani sendiri (yang
di peroleh dari jenis bibit yang berasal dari habitat setempat atau bibit yang sejenis dengan tanaman
setempat dari lokasi lain) (Permenhut No.26/Menhut-II/2010)
Selain itu rendahnya tingkat keberhasilan tanaman diduga karena adanya penggembalaan
ternak di dalam lokasi TN-Babul sehingga tanaman yang ditanam tidak sempat tumbuh karena
termakan ataupun terinjak oleh ternak tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan dan
perlindungan kawasan TN-Babul masih sangat kurang sehingga diperlukan pola perlindungan
hutan yang mantap melalui penempatan polhut dengan pola pendekatan teritorial. Penyebarannya
harus efektif dengan penentuan luas kawasan yang dijaga yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kerawanan kawasan (Sitorus, 2006), polhut harus mampu menguasai teritorialnya dan selalu siaga
sehingga tidak membuka peluang terjadinya pelanggaran.
Hasil penelitian ini menyimpulkan tingkat keberhasilan hidup pohon tertinggi terdapat
pada lokasi kegiatan pengayaan tahun tanam 2007 dengan kategori berhasil.Tingkat keberhasilan
hidup pohon terendah terdapat pada lokasi kegiatan reboisasi GN-RHL tahun 2003, 2004, reboisasi/
pengayaan 2005 dan reboisasi 2007 dikategorikan tidak berhasil atau gagal. Faktor yangmemengaruhi
rendahnya keberhasilan pertumbuhan pohon adalah keadaan bibit yang ditanam diduga sudah dalam
keadaan rusak, penanaman yang tidak tepat musim tanam, pemeliharaan yang kurang maksimal
dan penggembalaan ternak. Faktor yang memengaruhi tingginya keberhasilan pertumbuhan pohon
adalah sistem pelaksanaan/mekanisme pelaksanaan kegiatan dan pemilihan jenis tanaman.
Untuk mencapai keberhasilan yang optimal, disarankan sistem pelaksanaan kegiatan GN-
RHL sebaiknya menggunakan tata waktu yang multiyears, sistem penganggaran yang berotasi yaitu
penetapan anggaran seharusnya minimal sampai pada tahun kelima dimana dalam penyusunan
anggaran tersebut harus mempertimbangkan komponen kegiatan sesuai dengan sistem silvikultur
jenis seperti pemeliharaan, perlindungan hingga pemanenan, sehingga diharapkan terbentuk hutan
produktif sesuai dengan fungsinya. Evaluasi dan monitoring sebaiknya dilakukan secara periodik
dan terus menerus oleh pihak pengelola supaya menjadi acuan untuk pemeliharaan berikutnya,
Kegiatan penyuluhan kepada kelompok tani dilakukan secara regular agar permasalahan lapangan
seperti konversi penggunaan lahan dan menyangkut pelaksanaan kegiatan (pembibitan, penanaman
dan pemeliharaan) harus sesuai dengan kaidah-kaidah silvikultur. Melakukan pola perlindungan
kawasan yang mantap, dengan menempatkan polhut dengan pola pendekatan teritorial.
DAFTAR PUSTAKA
Cohran, W.G. 2010. Tehnik Penarikan Sampel. Penerbit Universitas Indonesia (UI- Pres), Jakarta.
Departemen Kehutanan, 2009. Gema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Wilayah balai
Pengelolaan DAS Jeneberang Walanae, Dirjen RPLS BPDAS Jeneberang Walanae, Makassar
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004/2005. Laporan Akhir Penilaian Tanaman Tahun
2004-2005. Makassar
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 89 Tahun 2007 Tanggal 3 September 2007 tentang
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Departemen Kehutanan. Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 89 Tahun 2007 Tanggal 3 September 2007 tentang
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Departemen Kehutanan. Jakarta.
Rudianto, W, 2011. Rehabilitasi dalam Kawasan Konservasi, Balai Taman Nasional Wakatobi,
Sulawesi Tenggara
Sitorus, T. 2006. Pola Perlindungan Hutan yang Mantap pada Tingkat Hulu. Surilli vo.38/No.1/Maret
2006
ABSTRAK
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan salah satu jenis pohon potensial yang
multifungsi. Selain untuk biofuel, jenis ini berfungsi antara lain sebagai penahan api, penahan angin
di pantai, perindang, bahan kerajinan dan perahu. Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan Yogyakarta telah melakukan upaya konservasi eks-situ Nyamplung sejak tahun 2009 di
Cilacap. Tujuan pembangunan konservasi eks situ Nyamplung tersebut adalah mempertahankan
sumberdaya genetik dan mendukung program pemuliaan nyamplung, disamping untuk sumber
benih mendukung upaya rehabilitasi lahan. Tanaman yang dikoleksi dalam plot tersebut berasal
dari 6 populasi di Jawa : Banyuwangi, Carita, Cilacap, Purworejo, Sobang dan Yogyakarta yang
dirancang kedalam 6 blok dengan jarak tanam 5 m x 5 m dengan jalur isolasi 20 m. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa daya adaptasi tanaman Nyamplung pada umur 3 tahun dan 4 tahun masih
bervairasi dengan kisaran 48 % - 92,5 % dengan dengan menempatkan Nyamplung asal Purworejo
menjadi yang terbaik diikuti dari Sobang. Performa pertumbuhan tanaman terbaik berdasarkan
populasi asal benih memperlihatkan dinamika yang menarik. Pada umur 3 tahun, populasi
Banyuwangi memiliki rata-rata pertumbuhan terbaik untuk diameter batang (3,87 cm) dan tinggi
tanaman (2,22 m), sedangkan pada umur 4 tahun populasi Banyuwangi terbaik untuk diamater
batang (5,06 cm) dan populasi Sobang terbaik untuk tinggi tanaman (2,81 m). Rata-rata lebar tajuk
tanaman Nyamplung umur 4 tahun mencapai 1,47 m dengan menempatkan populasi Sobang menjadi
populasi terbaik (2,30 m). Informasi pertumbuhan dan lebar tajuk tanaman Nyamplung tersebut
sangat bermanfaat sebagai acuan kegiatan rehabilitasi lahan pada site dan jenis tanaman sama.
Kata Kunci : Konservasi Nyamplung, rehabilitasi lahan, populasi, tinggi tanaman, diameter batang
ABSTRACT
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) is one of promissing multi purpose species. The main
purpose of Nyamplung is not only for biodisel, but also for firebreak species, windbreak species, shader
and row material for handicraft and boat. The main objective of the establishment of Nyamplung ex situ
conservation are to conserve the genetic resources and support the breeding program besides for seed
sources relating to land rehabilitation. Nyamplung are collected in the plot is comprises of 6 population
of Java : Banyuwangi, Carita, Cilacap, Purworejo, Sobang dan Yogyakarta that disigned to 6 block, 5 m x
5 m spacing and 20 m in isolation stripe. The result showed that growth adaptation of nyamplung range
is 48% - 92,5% where Nyamplung from Purworejo is the best followed by Sobang. The best performance
of seed sources/population based growth is dynamic. At 3 years old, the Banyuwangi population showed
the highest growth average in stem diamater (3,87 cm) dan tree height (2,22 m), while at 4 years old
the Banyuwangi showed the highest in stem diamater (5,06 cm) and Sobang is the best in tree height
(2,81 m). The crown wide of Nyamplung at 4 years is 1,47 m where Sobang population is the best (2,30
m). The growth and the crown wide is very important information relating to land conservation and land
rehabilitation of the adjacent site type.
Keyword : Nyamplung conservation, land rehabilitation, population, tree height, stem diameter
PENDAHULUAN
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan salah satu jenis pohon potensial
penghasil biofuel. Biofuel tersebut dihasilkan dari bijinya melalui proses penyulingan. Kandungan
minyak pada biji nyamplung sebesar 40-73% setara dengan kandungan minyak pada biji beberapa
jenis tanaman penghasil biofuel lainnya, seperti kusambi (Sleichera trijuga) sebesar 55-70% dan
jarak pagar (Jatropha curcas) sebesar 40-70% (Wirawan, 2007 dalam Handoko, dkk., 2013). Selain
untuk biofuel, Nyamplung juga berfungsi sebagai penahan api, penahan angin dan garam di pantai,
tanaman untuk perindang di taman dan kayunya bisa dimanfaatkan untuk kerajinan serta perahu
(Friday dan Okano, 2006 dalam Adinugraha dkk 2013).
Sebaran alami nyamplung cukup luas. Di Indonesia, nyamplung tersebar mulai dari Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Sulawesi, Maluku, hingga Nusa Tenggara Timur dan Papua. Di pulau Jawa banyak ditemui di sekitar
Cilacap, Kendal dan Jepara (Wirawan, 2007). Nyamplung merupakan tanaman asli Indonesia dan
tumbuh secara alami di area pantai sampai pegunungan (Bustomi dkk, 2008). Sebaran yang luas ini
akan menjadi basis genetik yang sangat berharga.
Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta sejak tahun 2009 telah
melakukan upaya konservasi eks-situ jenis nyamplung seluas 9 Ha dengan tujuan awal untuk
mempertahankan potensi keragaman genetik nyamplung yang ada serta mendukung program
pemuliaan jenis tersebut di masa yang akan datang melalui penyediaan basis genetik nyamplung.
Disamping kegiatan pemeliharaan, tanaman nyamplung pada plot tersebut juga dievaluasi dan
diamati secara periodik. Tulisan berikut menyajikan hasil evaluasi pertumbuhan tanaman dan
karakter lebar tajuk tanaman konservasi eks situ Nyamplung pada beberap tingkat umur.
Lokasi penelitian berada di Desa Jambusari, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa
Tengah. Lokasi tersebut, sebagaimana ditunjukan pada gambar 1 di bawah ini :
Gambar 1. Peta Lokasi Plot Konservasi Eks Situ Nyamplung di Jeruklegi, Cilacap
B. Bahan Penelitian
Plot konservasi eks situ nyamplung memiliki luas 9 ha. Koleksi tanaman berasal dari enam
populasi yang tersebar alami di Pulau Jawa. Keenam populasi tersebut berasal dari Sobang, Carita,
Cilacap, Purworejo, Gunung Kidul dan Banyuwangi. Didalam areal seluas 9 Ha, setiap populasi
ditanam dalam satu blok yang terpisah antara satu dengan lainnya dengan jarak tanam 5 x 5 m dan
jarak antar plot 20 m. Jarak antar populasi ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dan tidak
terjadi saling kawin silang, sehingga karakter genetik setiap populasi masih bisa dipertahankan.
Pemeliharan tanaman yang meliputi penyulaman, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit
serta penyiangan gulma secara rutin di lakukan.
Diskripsi geografis sebaran asal enam populasi nyamplung yang diteliti dapat dilihat pada
Tabel 1 di bawah :
Tabel 1. Diskripsi Geografiis Asal Sebaran Enam Populasi Tanaman pada Plot Koservasi Eks Situ
Nyamplung di Jeruklegi, Cilacap.
Tinggi tempat
No. Populasi Diskripsi Lokasi Asal tanaman
(m dpl)
Topografi datar berbukit dengan kemiringan 0 – 150, vegetasi
1. campuran, tanah grumosol hitam (tanah berbatu. Vegetasi
Gunung Kidul 150
yang berasosiasi dengan nyamplung antara lain Podocarpus
sp, Tritinopsis canariodes Boer.
Lokasi eksplorasi di Banyuwangi merupakan hutan pantai
pada kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Hutan ini
merupakan hutan alam dengan komposisi jenis campur.
Banyuwangi 12-17 Secara umum diameter pohon nyamplung pada kawasan ini
2.
berkisar antara 50 cm – 100 cm dengan taksiran tinggi antara
12 m – 17 m. Jenis tanahnya berpasir, karena lokasi ini berada
di tepi pantai.
C. Cara Penelitian
A. Daya adaptasi
Populasi Nyamplung
Gambar 2. Grafik persen hidup tanaman Nyamplung umur 3 tahun dan 4 tahun
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa kisaran persen hidup pada umur 3 tahun dari ke 6
populasi Nyamplung tersebut 48 % - 92,5 %. Nyamplung dari Banyuwangi menunjukan daya adaptasi
yang terendah dan dari Purworejo yang terbaik, sedangkan dari Cilacap sendiri mancapai 63,5%. Pada
umur 4 tahun, kisaran persen hidup tanaman Nyamplung 45 % - 90 %. Secara umum persen hidup
tanaman pada umur 4 tahun lebih rendah dibandingkan umur 3 tahun, tetapi hanya Nyamplung dari
Cilacap yang tetap stabil 63,5 %. Daya adaptasi Nyamplung dari Purworejo dan Sobang menunjukan
yang terbaik >90%.
pertumbuhan diameter mencapai 3,06 cm dan tinggi 1,87 m. Nyamplung dari Banyuwangi memiliki
rerata pertumbuhan terbaik yakni diamater 3,87 cm dan tinggi tanaman 2,22 m dan terendah dari
Cilacap. Performa tanaman dilapangan pada umur 4 tahun dapat dilihat pada gambar 2, sedangkan
hasil pengukuran tinggi dan diameter batang selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil pengukuran karakter pertumbuhan Nyamplung umur 3 dan 4 tahun di Jeruk legi
Cilacap.
Karakter pertumbuhan tinggi, diameter dan lebar tajuk berpotensi dikaitkan dengan upaya
rehabilitasi lahan. Kemampuan beradaptasi, pertumbuhan yang cepat dan kecepatan menutup
permukaan lahan dari spesies yang ditanam menjadi sangat penting. Sejalan dengan umur tanaman,
maka tinggi, diameter batang serta lebar tajuknya akan meningkat sehingga luas penutupan lahan
juga akan meningkat.
KEHUTANAN UMUM 357
KOMISI D
Evaluasi pertumbuhan dari Nyamplung umur 3 tahun dan 4 tahun di Jeruklegi ini belum
menunjukan konsistensi, namun demikian kecenderungan dari hasil yang ditunjukkan dari berbagai
populasi nyamplung yang diuji menarik untuk diperhatikan. Setidaknya sampai umur 4 tahun ini,
dari aspek pertumbuhan Nyamplung populasi Banyuwangi dan Sobang berpotensi menjadi sumber
benih yang baik untuk keperluan penanaman di kawasan Jeruklegi Cilacap dan tapak-tapak yang
setipe di sekitarnya, sedangkan terkait dengan kecepatan melindungi permukaan tanah diantaranya
dari hentakan air hujan, dilihat dari lebar tajuk tanaman yang diuji, nyamplung dari Sobang dengan
rata-rata lebar tajuk sebesar 2,30 m berpotensi sangat baik untuk dikembangkan.
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Hasil pengamatan tanaman konservasi eks situ Nyamplung umur 3 tahun dan 4 tahun di
Jeruklegi Cilacap memberi informasi beberapa hal penting :
1. Daya adaptasi tanaman Nyamplung dari 6 populasi yang diuji pada dua tingkat umur menunjukan
kisaran variasi yang lebar, dengan menempatkan Nyamplung asal Purworejo (Jawa Tengah) dan
Sobang (Banten) menjadi yang terbaik.
2. Prestasi pertumbuhan tanaman Nyamplung dari 6 populasi yang diuji pada dua tingkat umur
masih terlihat belum stabil dengan menempatkan kecenderungan populasi Banyuwangi yang
terbaik dan diikuti populasi Sobang.
3. Lebar tajuk tanaman Nyamplung dari populasi Sobang adalah terbaik dibanding lima populasi uji
lainnya.
B. Saran
Terkait dengan pengamatan Nyamplung dari 6 populasi yang diuji pada umur 3 dan 4 tahun
tersebut, berikut disampaikan beberap saran :
1. Kencenderungan hasil ini masih perlu terus diamati pada tingkat umur berikutnya sehingga
diperoleh prestasi daya adaptasi dan pertumbuhan yang stabil.
2. Perlu penelitian khusus untuk melihat dampak dari tanaman Nyamplung ini terhadap upaya
melindungi erosi lahan.
3. Dengan komposisi tanaman uji yang minimal sama (6 populasi) sebaiknya dikembangkan
pengujian di daerah lain agar dapat dibandingkan.
DAFTAR PUSTAKA
Handoko C.. Resti Wahyuni. Retno Agustarini. Krisnawati dan Lutfi Anggadhania. 2013. Pengaruh
Variabel-Variabel Lingkungan Terhadap Periode Pembungaan dan Pembuahan Nyamplung
(Calophyllum inophyllum) : Studi Kasus di Pulau Lombok dan Nusa Penida. Prosiding Seminar
Nasional Hasil Hutan Bukan Kayu. Peranan Hasil Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam
Mendukung Pembangunan Kehutanan. Mataram. 12 September 2012.
Adinugraha H.A.. Tri Maria Hasnah dan Sugeng Pudjiono. 1013. Beberapa Teknik Produksi Tanaman
Untuk Mendukung Penyediaan Bibit Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Secara Massal.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Hutan Bukan Kayu. Peranan Hasil Litbang Hasil Hutan Bukan
Kayu Dalam Mendukung Pembangunan Kehutanan. Mataram. 12 September 2012.
Wirawan, S.S. 2007. Future Biodiesel Research in Indonesia. Institute of Engineering and Technology
System Design, BPPT. Jakarta.
Atmojo, SW. 2009. Peran Agroforestri dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor DAS.
http://suntoro.staff.uns.ac.id/files/2009/04/3-agroforestri-banjir-dan-longsor-das.pdf diakses
tanggal 25 agutus 2014
Budiaman
Jurusan Kehutaan, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin
Jl.Perintis Kemerdekaan km.10, Makassar 90245
Telp. (0411) 585917, Faksimile (0411) 585917
Email: budiamanl@yahoo.co.id
ABSTRACT
Integration of honey bees and flowering vegetation is potential for abundant natural resources
and untapped optimally in villages located in the watershed area. There are approximately 500 species
of honey bee Trigona spp. spread in some parts of the world, and some of them are in the watershed
area.
This study aims to determine the level of diversification and income of farmers and the factors
which influence the production of bee Trigona spp. management in the area of Regional watershed.
The experiment was conducted by using the survey method, while determining the location of the
study sample are purosive sampling. Respondents determined based on purposive sampling with a
sampling intensity of 20 percent. Economic data (production, costs, and revenues,) conducted by
direct observation, semi-structured interviews (questionnaires), discussions with the target group
(focus group discussion) and a review of secondary data (secondary data review). Descriptive analysis
is used to determine the diversification of production, while the analysis is used to determine farm
income and farmers’ production factor apisilvikultur.
The results showed that : (1). Apisilvikultur system has produced 18 types diverisivikasi of 6
species of plants / animals apisilvikultur system constituent composition, whereas for the honey
bee Trigona spp. There are 8 types of products that potentially could be produced to be sold as product
diversification of apisilvikultur systems, ie: honey, bee bread, candles , propolis, queen larvae, male
larvae, the larvae of workers, the bee colony and seeds, (2). The average farm income is 8.196.147,-
per head of the Family (KK) per year or Rp.683.012, - per month, but the results are still lower
when compared with the standard Worthy Life Needs (KHL) is worth Rp. 3.566.643,- per month,
(3). Production factors that have real impact on production is apisilvikultur area and the number of
colonies, (4). Diversification of production and increase farmers’ income from the management of
honey bee Trigona spp. in the watershed area, may be an alternative / initial trigger to prevent illegal
logging.
Keywords: Trigona spp., diversification, income and watersheds
ABSTRAK
Keterpaduan lebah madu dan vegetasi berbunga merupakan potensi sumber daya alam yang
melimpah dan belum tergarap secara optimal di desa-desa yang berada di wilayah daerah aliran
sungai. Ada kurang lebih 500 spesies lebah madu Trigona spp. menyebar di beberapa bagian dunia,
dan sebagian diantaranya berada di wilayah daerah aliran sungai.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan diversifikasi dan tingkat pendapatan petani serta
faktor faktor yang mempengaruhi produksi dari pengelolaan lebah Trigona spp di wilayah derah
aliran sungai. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survey, sedangkan penentuan
lokasi sampel penelitian secara purosive sampling. Responden ditentukan berdasarkan purposive
sampling dengan intensitas sampling 20 persen. Data ekonomi (produksi, biaya, dan pendapatan,)
dilakukan dengan observasi langsung, wawancara semi terstruktur (kuisioner), diskusi dengan
kelompok sasaran (fokus group discussion ) dan tinjauan data sekunder (secondary data review).
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui diversifikasi produksi, sedangkan analisis usaha
tani digunakan untuk mengetahui pendapatan dan faktor produksi petani apisilvikultur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1). Pengelolaan lebah madu Trigona spp. memiliki 18
jenis diverisivikasi produksi dari 6 jenis tanaman/ternak komposisi penyusun sistem apisilvikultur,
sedangkan untuk lebah madu Trigona spp. terdapat 8 jenis produk yang potensial dapat dihasilkan
untuk dijual sebagai produk diversifikasi dari sistem apisilvikultur, yaitu: madu, bee bread, lilin,
propolis, larva ratu, larva jantan, larva pekerja, dan bibit koloni lebah, (2). Rata-rata pendapatan
usahatani apisilvikultur adalah Rp. 8.196.147,- per Kepala Keluarga (KK) per tahun atau
Rp.683.012,- per bulan, namun hasil tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan standar
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang nilainya Rp. 3.566.643,- juta per bulan, (3). Faktor produksi
yang berpengaruh nyata terhadap produksi apisilvikultur adalah luas lahan dan jumlah koloni,
(4). Diversifikasi produksi dan peningkatan pendapatan petani dari hasil pengelolaan lebah madu
Trigona spp. di wilayah daerah aliran sungai, dapat menjadi alternatif/ pemicu awal untuk mencegah
penebangan liar.
Kata kunci : Trigona spp, diversifikasi, pendapatan dan daerah aliran sungai
I. PENDAHULUAN
Keterpaduan lebah madu dan vegetasi berbunga merupakan potensi sumber daya alam yang
melimpah dan belum tergarap secara optimal di desa-desa yang berada di wilayah daerah aliran sungai.
Ada kurang lebih 500 spesies lebah madu Trigona spp. menyebar di berbagai benua, di Indonesia
terdapat 38 spesies yang sudah teridentifikasi (Erniwati. 2013), dan sebagian di antaranya berada
di wilayah daerah aliran sungai yang merupakan sumber pakan dan habitat lebah madu Trigona spp.
(Karikari, et.al. 2010).
Lebah madu Trigona spp. merupakan jenis lebah yang jinak, tidak menyengat, sehingga lebih
mudah dimanipulasi dan dikendalikan, dibandingkan dengan lebah jenis lain serta populasinya
melimpah pada berbagai wilayah daerah aliran sungai dan dapat menghasilkan 13 jenis produk
bernilai ekonomi tinggi (Sila,1990). Petani diharapkan dapat mengikutsertakan lebah Trigona spp,
di samping upaya intensifikasi yang lain dalam upaya mengkonversi bunga yang ada di wilayah
daerah aliran sungai tersebut menjadi produk bernilai ekonomi tinggi, seperti bee bread, royal jelly,
propolis, dan lilin yang merupakan bahan baku industri dan ekspor (Lucki, 2011).
Lebah madu Trigona spp. memiliki produksi madu istimewa dari segi harga dan khasiat
dibandingkan dengan madu jenis lebah lain (Crane, 1979). Produksi propolisnya cukup tinggi, yaitu
berkisar Rp. 750.000,- sampai dengan Rp. 1.500.000,- per kg atau Rp. 80.000,- per gram setelah
diekstrak, karena merupakan salah satu bahan baku utama industri farmasi dan kosmetik, sedangkan
harga madunya berkisar antara Rp.50.000,- sampai Rp. 150,- per kg.
B. Prosedur Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian ini menggunakan metode survey dengan tahapan sebagai berikut :
1. Pengumpulan data awal dan peta-peta penunjang.
2. Penentuan lokasi sampel penelitian secara purosive sampling, yaitu berdasarkan banyaknya
petani yang mengelola lebah madu Trigona spp.di daerah aliran sungai.
3. Penentuan responden berdasarkan purposive sampling yaitu petani yang memiliki pengalaman
usaha tani Apisilvikultur minimal satu tahun dengan intensitas sampling 20 persen.
4. Data ekonomi dan sosial-budaya (produksi, biaya, dan pendapatan,) dilakukan dengan observasi
langsung, wawancara semi terstruktur (kuisioner) , Diskusi dengan kelompok sasaran (Fokus
Group Discussion ) dan tinjauan data sekunder (Secondary Data Review).
5. Produksi teknologi lebah dapat diketahui dengan menimbang setiap jenis produk yang dihasilkan,
sedangkan proporsi produksi lebah dapat diketahui dengan formulasi sbb :
x
P = ----- x 100 %
T
keterangan :
P = Proporsi
X = berat bagian sarang (kg)
T = berat total sarang satu koloni lebah (kg)
6. Data sekunder pendukung lainnya diperoleh dari laporan hasil penelitian terdahulu, atau
publikasi ilmiah, dan instansi/ departemen terkait yaitu :
a. Peta administrasi,penggunaan lahan, topograpi
b. Data statisitik kabupaten
c. Kependudukan
d. Tenaga kerja
e. Mata pencaharian
f. Sarana pendidikan dan keagamaan
g. Kelembagaan
C. Analisis Data
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui sejarah perkembangan apisilvikultur dan
diversifikasi produksi, sedangkan analisis pendapatan menurut Suratiyah, (2006) digunakan untuk
mengetahui kontsribusi pendapatan petani apisilvikultur dalam kehidupannya, dengan kepala
keluarga (KK) sebagai unit analisisnya, yaitu:
Pd = TR – TC
keterangan :
Pd = pendapatan bersih (net profit) usahatani apisilvikultur
TR = Total Revenue ( penerimaan)
TC = Total Cost (biaya )
TR = Y.Py
keterangan :
TR = total revenue (penerimaan total)
Y = jumlah produksi
Py = harga produksi
TC = FC +VC
keterangan:
TC = total cost (biaya total)
FC = fixed cost (biaya tetap)
VC= variable cost (biaya variabel)
Pendapatan usaha tani dari sistem apisilvikultur akan dibandingkan dengan Hasil analisis
Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di lokasi penelitian berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:PER-17/MEN/VIII/2005. Selanjutnya untuk
membandingkan hasil usahatani dari petani apisilvikultur (agroforestri dengan lebah Trigona spp.)
dan agroforestri tanpa lebah Trigona spp. maka digunakan analisis uji kesamaan dua rata-rata (uji
t.student) (Sudjana, 1984; Steel & Torrie, 1991) dengan persamaan sebagai berikut:
B
t= ---------
(SB/√n)
keterangan:
B = beda nilai setiap pasangan data
SB = simpangan baku
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan software SPSS Ver.13
(Santoso, 2001) dengan asumsi bahwa kepala keluarga adalah unit analisisnya.
KHL Rp 3.566.643,-
Lm= -------- = ---------------- = 5,22 ha
Pb Rp.683.012,-
keterangan:
Lm= luas lahan minimal
Pb= pendapatan bersih
Asumsi: kapasitas daya dukung pakan masih mendukung
Hasil analisis perbandingan uji t.student pada Lampiran 2 menunjukkan hasil t = - 4,934 dengan
tingkat signifikansi 0,0000. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara penghasilan
petani agroforestri tanpa lebah dengan petani agroforestri dengan lebah Trigona spp. (apisilvikultur),
dalam hal ini petani apisilvikultur memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan
agroforestri tanpa lebah (Gambar 2).
Gambar 2. Rata-rata pendapatan usaha tani apisilvikultur, agroforestri tanpa lebah Trigona spp.,
budidaya lebah Trigona spp .dan standar KHL.
Figure 2. The average farm income of apisilvikultur system , agroforestry wihout Trigona spp. bees,
beekeeping with Trigona spp. and standard Worthy Life Needs (WLN)
Dimana Y1 adalah produksi madu, Y2 adalah produksi bee bread, Y3 adalah produksi
propolis, Y4 adalah produksi koloni, X1 adalah luas lahan dan X2 adalah jumlah koloni. Dari hasil
analisis regresi terlihat bahwa persamaan 1 mempunyai nilai koefisien determinasi 0,918 artinya
persamaan dapat menjelaskan pengaruh faktor produksi luas lahan dan jumlah koloni sebesar 0,918,
sementara sisanya tidak dapat dijelaskan, sementara F hitung yaitu 61,848 lebih besar dari F tabel
maka persamaan tersebut valid. Persamaan 2 menunjukkan nilai koefisien determinasi 0,698
artinya persamaan dapat menjelaskan 0,698 faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bee bread,
sementara F hitung 12,723 lebih besar dari F tabel maka persamaan tersebut valid. Persamaan 3
menunjukkan nilai koefisien determinasi 0,898 artinya persaman dapat menjelaskan 0,898 faktor-
faktor yang mempengaruhi produksi propolis, sementara F hitung 52,080 lebih besar dari F tabel
maka persamaan tersebut valid. Persamaan 4 menunjukkan nilai koefisien determinasi 0,234 berarti
hanya 0,234 faktor-faktor yang mempengaruhi produksi koloni, sementara F hitung 1,684 lebih kecil
dari F tabel berarti tidak ada signifikansi. Hal ini diduga karena produksi koloni bergantung kepada
kemampuan petani melakukan pembelahan atau perbanyakan koloni pada lahan apisilvikulturnya.
KEHUTANAN UMUM 365
KOMISI D
DAFTAR PUSTAKA
Crane E, editor. 1979. Honey A Comprehensive Survey. Heinemann London:Morrison and Gibb
Ltd.608 p.
DepartemenTenagaKerjadanTransmigrasi. 2005.PeraturanMenteriNo. 17 Th2005tentangKebutuhan
Hidup Layak. http://naker.tarakankota.go.id/produkhukum.php?op=detil&mid=63..
Erniwati. 2013. Kajian Biologi Lebah Tak Bersengat (Apidae : Trigona) di Indonesia Fauna Indonesia
Vol 12 (1) Juni 2013: 29-34
Kwapong P, Aidoo K, Combey R, Karikari A. 2010. Stinggless Bees, Importance, Management and
Utilisation: A Training Manual for Stinggless Beekeeping. Unimax Macmillan Ltd. 82 p.
Lucky. 2011. Definisi Pakan. Dari website http://myluckyta.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.
Marwah S. 2008. Optimalisasi Pengelolaan sistem agroforestry untuk Pembangunan berkelanjutan
Root AI. 1983. The ABC and XYZ of Bee Culture. Medina, Ohio, USA: A.I. Root Company.
Sila M. 1990. Pakan Lebah. Makassar: Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian dan Kehutanan.
Universitas Hasanuddin. (belum dipublikasikan).
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedure Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Cobb-Douglas. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada.
Sudjana. 1984. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Hlm. 232 - 233.
Suratiyah K. 2006. Ilmu Usaha Tani. Yogyakarta: Penebar Swadaya.
Lampiran 1. Hasil analisis uji t.student pendapatan usahatani agroforestri tanpa lebah Trigona spp.
dan agroforestri berbasis (dengan) lebah Trigona spp.
Appendix 1. The t.student test result analysis of agroforestry farmer incomme without Trigona spp.
bees and agroforestry with (based on) Trigona spp. Bees