Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori

1. Konsep Diabetes Melitus

a. Definisi

Diabetes Melitus (DM) dari kata Yunani diabainein,

“tembus” atau “pancuran air”, dan kata lain mellitus “rasa

manis” yang umum dikenal sebagai kencing manis merupakan

penyakit yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah

makan. Sumber lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

diabetes mellitus merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai

berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang

menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal dan

pembuluh darah, disertai lesi pada membrane basalis dalam

pemeriksaan dengan mikroskop elektron.

Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip

dan komplikasi pada tingkat lanjut. Hiperglikemia sendiri dapat

menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis. Komplikasi jangka lama

termasuk penyakit kardiovaskuler (risiko ganda), kegagalan kronis

ginjal (penyebab utama dyalisis), kerusakan retina yang dapat

menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat


menyebabkan impotensi dan gangrene dengan risiko amputasi.

Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila control gula darah

buruk.

Menurut ADA (2014) Diabetes Melitus merupakan

sekelompok penyakit metabolik ditandai adanya hiperglikemia

yang dihasilkan dari cacat dalam sekresi insulin maupun aksi

insulin. Hiperglikemia kronik diabetes juga terkait akan kerusakan

jangka panjang, disfungsi dan kegagalan organ terutama ada organ

ginjal, saraf, jantng, mata, dan pembulu darah.

Menurut Joyce dan Jane (2014) Diabetes Melitus (DM)

merupakan penyakit kronis progresif yang ditandai dengan

ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolism karbohidrat,

lemak dan protein, mengarah ke hiperglikemia (kadar gula darah

tinggi). Diabetes mellitus (DM) terkadang dirujuk sebagai “gula

darah tinggi”, baik oleh klien maupun penyedia layanan kesehatan.

Diabetes mellitus merupakan suatu kondisi dimana kadar

gula di dalam darah lebih tinggi dari biasa/normal (normal 60ml/dl

sampai dengan 145 mg/dl), karena tubuh tidak dapat melepaskan

atau menggunakan hormon insulin dihasilkan oleh pankreas dalam

tubuh untuk mempertahankan kadar gula agar tetap normal. Hal ini

disebabkan tidak dapatnya gula memasuki sel-sel yang terjadi

karena tidak terdapat atau kekurangan atau resistensi terhadap

insulin.
b. Klasifikasi

Diabetes melitus diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Diabetes mellitus Tipe 1

Dm tipe 1 atau diabetes anak-anak dicirikan dengan hilangnya

sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans

pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh.

Diabetes tipe ini dapar diderita oleh anak-anak maupun orang

dewasa.

Sampai saat ini, diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah.

Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatn dan

berat badan yang baik saat penyakit ini mulai di deritanya.

Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta dari diabetes tipe

1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan

sel beta prankeas, hal tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi

pada tubuh.

Saat ini diabetes tipe 1 hanya dapat di obati dengan

menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap

tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah.

Tanpa insuliln, ketosis dan diabetic betaacidosis bisa

menyebabkan koma bahkan bisa menyebabkan kematian.

Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan

tidak akan mempengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila

kesadaran cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam


pemeriksaan dan pengobatan. Tingkat glukosa rata-rata untuk

pasien diabetes 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-

120 mg/dl, 4-6 mmol/I). Beberapa dokter menyarankan sampai

ke 140-150 mg/dl (7-7,5 mmol/I) untuk mereka yang

bermasalah dengan angka yang lebih rendah seperti “frequent

hypoglycemic events”. Tingkat glukosa darah yang rendah,

yang disebut hipoglikemia dapat menyebabkan kejang atau

seringnya kehilangan kesadaran.

2) Diabetes mellitus Tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 terjadi karena kombinasi dari

“kecacatan dalam produksi insulin” dan “resistansi terhadap

insulin”(adanya defekasi respon jaringan terhadap insulin)

yang menyebatkan reseptor insulin di membrane sel. Ppada

awal abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya

sensitivitas terhadap insulin, yang ditandai dengan

meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini,

hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan obat anti

diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin

atau mengurangi produksi gula dari hepar, namun semakin

parah penyakit,sekresi insulin pun semakin berkurang, dan

terapi dengan insulin kadang di butuhkan.

DM tipe 2 merupakan akibat dari defek sekresi insulin

progresif diikuti dengan resistensi insulin, umumnya


berhubungan dengan obesitas. Kegemukan yang ditemukan

kira-kira 90% dari pasien dunia didiagnosis mengembangkan

diabetes tipe 2 ini. Faktor lainnya bisa jadi karena faktor

sejarah keluarga dan kehamilan, walaupun pada dekade

terakhirnya hal itu terus meningkat dan mulai memengaruhi

remaja dan anak-anak.

Diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh kurang sensitifnya jaringan

tubuh terhadap insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin,

kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh

membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi

kekurangan insulin relative. Biasanya terdapat pada orang yang

berusia > 40 tahun, gemuk, dan tidak aktif. Gejala pada tipe 2

terjadi secara perlahan-lahan.

Tabel 2.1

Perbedaan DM tipe 1 dan DM tipe 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2
Usia saat awal Biasanya pada Sering terjadi sesudah

diabets usia anak-anak usia 35 tahun gejala

atau pubertas timbul secara berangsur-

gejala timbul angsur

dengan cepat
Status gizi pada Sering sudah Biasanya terdapat
awal diabetes terlihat obesitas

kekurangan giji
Prevalensi < 10% dari >90% dari semua pasien

semua pasien diabetes yang

diabetes yang terdiagnosis

terdiagnosis
Predisposisi Sedang Sangat kuat

genetic
Defek atau Sel-β mengalami Resistensi insulin yang

defisiensi destruksi dan di sertai dengan ketidak

dengan mampuan sel-β untuk

demikian tidak memproduksi insulin

terdapat dalam jumlah yang tepat

produksi insulin
Frekuensi Sering terjadi Jarang terjadi

ketosis
Insulin plasma Rendah atau Tinggi pada awla

tidak terdpat penyakit, rendah hingga

tidak ada pada penyakit

yang sudah berjalan

lama
Komplikasi akut Ketoasidosis Keadaan hiperglikemia

hiperosmolar
Respons Tidak Responsive

terhadap obat responsive

hipoglikemia
oral
Terapi Insulin selalu di Diet,olahraga,obat

butuhkan hipoglikemia

oral,insulin,pengurangan

factor risiko merupakan

unsur esensial dalam

terapi
Sumber : Ferrier, 2014

c. Etiologi

Diabetes mellitus disebabkan karena berkurangnya produksi dan

ketersediaan insulin dalam tubuh atau terjadinya gangguan fungsi

insulin. Kekurangan insulin di sebabkan adanya kerusakan

sebagian kecil atau sebagian besar sel-sel beta pulau Langerhans

dalam kelenjar pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin.

Namun, jika dirunut lebih lanjut beberapa factor yang

menyebabkan DM sebagai berikut :

1) Genetik atau faktor keturunan

Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan

ditularkan. Anggota keluarga penderita DM memiliki

kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini dibandingkan

dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli

kesehatan menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut


kromoson seks atau kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi

penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan sebagai

pihak yang membawa gen untuk di wariskan kepada anak-

anaknya.

2) Virus dan bakteri

Virus penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human

coxssackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam

sel beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau peruksakan sel.

Bisa juga, virus ini menyerang melalui autoimunitas yang

menyebabkan hilangnya autoimun dalam sel beta. DM akibat

bakteri masih belum bisa di deteksi. Namun, para ahli

kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.

3) Bahan toksik atau beracun

Bahan beracun yang mampu meruksak sel beta secara langsung

adalah alloxsan, pyrinuron dan streptojoctin. Bahan lain adalah

sianida yang berasal dari singkong.

4) Nutrisi

Nutrisi yang berlebihan merupakan faktor risiko pertama yang

diketahui menyebabkan DM. Semakin berat badan berlebih

atau obesitas akibat nutrisi yang berlebihan, semakin besar

kemungkinan seseorang terjangkit DM.

5) Kadar kortikosteroid yang tinngi


6) Kehamilan diabetes gestasional, yang akan hilang setelah

melahirkan

7) Obat-obatan yang dapat merusak prankeas

8) Racun yang memengaruhi pembentukan efek dari insulin

Tabel 2.2

Kadar glukosa darah

Diagnosis Kadar glukosa


Glukosa puasa normal <100 mg/dl
Pradiabetes 110-126 mg/dl
Diabetes (2 pemeriksaan >126 mg/dl

terpisah)
Diabetes (sesudah makan) >200 mg/dl
Sumber : Barnes, 2012

d. Manifestasi Klinis

Pada dasarnya gejala awal diabetes berhubungan dengan efek

langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah

sampai di atas 160-180 mg/dl, maka glukosa akan dikeluarkan

melalui air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan

membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar

glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam

jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam


jumlah yang banyak (poliuria). Akibatnya, penderita merasakan

haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi).

Poliuria atau sering kencing terjadi karena pada orang dengan DM

akan terjadi penumpukan cairan dalam tubuhnya akibat gangguan

osmolaritas darah yang mana cairan tersebut harus dibuang melalui

berkemih. Karena banyaknya cairan yang keuar maka orang

dengan DM akan merasa kehausan sehingga mereka jadi ingin

sering minum. Akibat dari menurunnya kemampuan insulin

mengelola kadar gula dalam darah maka sering terjadi walau kadar

gulanya sedang dalam keadaan normal.

Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, sehingga

penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk

mengkompensasikan hal ini, penderita seringkali merasakan lapar

yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).

Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan

berkurangnya ketahanan tubuh selama melakukan olahraga.

Penderita diabetes yang gula darahnya kurang terkontrol lebih peka

terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka

sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe 1 hampir

selalu mengalami penurunan berat badan. Namun, sebagian besar

penderita diabetes tipe 2 tidak mengalami penurunan berat badan.

Penderita diabetes tipe 1 gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa

berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut


dengan ketoasidosis. Kadar gula di dalam darah tinggi, tetapi

karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa

insulin, maka sel-sel ini mengambil energy dari sumber yang lain.

Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan

senyawa kimia beracun yang bisa meneybabkan darah menjadi

asam (ketoasidosis). Pernafasan menjadi dalam dan cepat, karena

tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas

penderita tercium seperti bau aseton.

Penderita diabetes tipe 2 bisa tidak menunjukkan gejala-gejala

selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah,

timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa

haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat

tinggi (lebih dari 1000 mg/dl), maka penderita akan mengalami

dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental,

pusing, kejang, dan suatu keadaan yang disebut koma

hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik. Lebih jelasnya, tanda-

tanda seseorang terkena DM sebagai berikut : Gejala DM tipe 1

muncul secara tiba-tiba pada saat usia anak-anak sebagai akibat

dari kelainan genetika, sehingga tubuh tidak memproduksi insulin

dengan baik. Gejala lainnya antara lain sebagai berikut :

1) Sering buang air kecil

2) Terus-menerus lapar dan haus

3) Berat badan menurun


4) Kelelahan

5) Penglihatan kabur

6) Infeksi pada kulit yang berulang

7) Meningkatnya kadar gula dalam darah dan air seni

8) Cenderung terjadi pada mereka yang beusia dibawah 20 tahu

Sedangkan gejala DM tipe 2 muncul secara perlahan-lahan sampai

menajdi gangguan yang jelas, dan pada tahap permulaannya

seperti gejala Dm tipe 1 yaitu :

1) Kelelahan yang berkepanjangan

2) Sering buang air kecil

3) Terus-menerus lapar dan haus

4) Mudah sakit yang berkepanjangan

5) Biasanya terjadi pada mereka yang berusia diatas 40 tahun

Gejala lain yang biasanya muncul adalah :

1) Penglihatan kabur

2) Luka yang lama sembuh

3) Kaki keras kebas, geli atau merasa terbakar

4) Infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita

5) Impotensi pada pria

e. Patofisiologi

1) Diabetes mellitus tipe 1


DM tipe 1 tidak berkembang pada semua orang yang

mempunyai predisposisi genetic. Pada mereka yang memiliki

indikasi resiko penanda gen (DR3 dan DR4 HLA), DM terjadi

< 1%. Lingkungan telah lama di curigai pemicu DM tipe 1.

Insiden meningkat, baik pada musim semi maupun musim

gugur, dan onset sering bersamaan dengan epidemic berbgai

jenis virus. Autoimun aktif langsung menyerang sel beta

prankeas dan produknya. ICA dan antibodi insulin secara

progresif menurunkan keefektifan kadar sirkurasi insulin.

Hal ini secara pelan-pelan terus menyerang sel beta dan

molekul insulin endogen sehingga menimbulkan onset

mendadak DM. Hiperglikemia dapat timbul akibat dari

penyakit akut atau stress, dimana meningkatkan kebutuhan

insulin melebihi cadangan dari kerusakan massa sel beta.

Ketika penyakit akut atau stress terobati, klien dapat kembali

kepada status terkompensasi dengan durasi yang berbeda-beda

dimana prankeas kembali mengatur produksi sejumlah insulin

secara adekuat. Status kompensasi ini disebut sebagai periode

honeymoon, secara khas bertahan untuk 3-12 bulan. Proses

berakhir ketika massa sel beta yang berkurang tidak dapat

memproduksi cukup insulin untuk meneruskan kehidupan.

Klien menjadi bergantung kepada pemberian insulin eksogen

(Diproduksi di luar tubuh) untuk bertahan hidup.


2) Diabetes mellitus tipe 2

Patogenesis DM tipe 2 berbeda signifikan dari DM tipe 1.

Respons terbatas sel beta terhadap hiperglikemia tampak

menjadi faktor mayor dalam perkembangannya. Sel beta

terpapar secara kronis terhadap kadar glukosa darah tinggi

menjadi secara progresif kurang efisien ketika merespons

peningkatan glukosa. Fenomena ini dinamai desensitisasi,

dapat kembali dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio

proisulin (precursor insulin) terhadap insulin tersekresasi juga

meningkat.

Proses patofisiologi kedua dalam DM tipe 2 adalh resistensi

terhadap aktivitas insulin biologis, baik dihati maupun jaringan

perifer. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Orang

dengan DM tipe 2 memiliki penurunan sensiticitas insulin

terhadap kadar glukosa, yang mengakibatkan produksi glukosa

hepatik berlanjut, bahkan sampai dengan kadar glukosa darah

tinggi. Hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot dan

jaringan lemak untuk meningkatkan glukosa. Mekanisme

penyebab resistensi insulin perifer tidak jelas, namun ini

tampak terjadi setelah insulin berikatan terhadap reseptor pada

permukaan sel.

Insulin adalah hormone pembangun (anabolik). Tanpa insulin

tiga masalah metabolic mayor terjadi:


a) Penurunan pemanfaatan Glukosa

Sel-sel yang memerlukan insulin sebagai pembawa glukosa

dapat hanya mengambil kira-kira 25% dari glukosa yang

sel-sel perlukan untuk bahan bakar. Jaringan saraf, eritrosit,

serta sel-sel saluran pencernaan, hati, dan tubulus ginjal

tidak memerlukan insulin untuk transport glukosa. Namun

demikian, jaringan lemak, sepanjang otot jantung dan

tulang memerlukan insulin untuk transport glukosa. Tanpa

jumlah insulin yang adekuat, banyak dari glukosa yang

dimakan tidak dapat digunakan.

Dengan jumlah insulin yang tidak adekuat, kadar glukosa

darah meningkat. Peningkatan ini berlanjut karena hati

tidak dapat menyimpan glukosa sebagai glikogen tanpa

kadar insulin yang cukup. Di dalam upaya mengembalikan

keseimbangan dan mengembalikan kadar glukosa darag

menjadi normal, ginjal mengeluarkan glukosa berlebihan.

Glukosa muncul dalam urine (glukosuria). Glukosa

dikeluarkan dalam urine bertindak sebagai dieresis osmotic

dan menyebabkan pengeluaran jumlah air meningkat,

mengakibatkan deficit volume cairan.

b) Peningkatan mobilisasi lemak

DM tiep 1 kadang-kadang dengan stress berat pada DM

tiep 2, tubuh mengubah simpanan lemak untuk produksi


energi ketika glukosa tidak tesredia. Metabolism lemak

menyebabkan pemecahan produk yang disebut keton

terbentuk. Keton terakumulasi dalam darah dan dikeluarkan

melalui ginjal dan paru-paru. Kadar keton dapat diukur

dalam darah dan urine, kadar tinggi mengindikasikan tidak

terkontrolnya DM.

Keton mengganggu keseimbangan asam basa tubuh dengan

menghasilkan ion hidrogen. Selain itu, ketika keton

diekskresikan, natrium juga keluar, mengakibatkan

kehabisan natrium serta asidosis. Pengeluaran keton juga

meningkatkan tekanan osmotic, mengarah kepada

peningkatan kehilangan cairan. Juga, ketika lemak

merupakan sumber primer energi, kadar lemak tubuh dapat

meningkat menjadi 5 kali normal., mengarah kepada

peningkatan aterosklerosis.

c) Peningkatan pemanfaatan protein

Kekurangan insulin emngarah kepada pemborosan protein.

Pada orang sehat, protein akan dipecah dan dibangun ulang.

Pada orang dengan DM tipe 1, tanpa insulin untuk

menstimulasi sintesis protein, keseimbangan berubah,

mengarah kepada peningkatan katabolisme

(pembongkaran). Asam amino diuabh menajdi glukosa di

dalam hati, sehingga meningkatkan kadar glukosa. Jika


kondisi ini tidak diobati, klien dengan DM tipe 2 tampak

kurus. Proses patofisiologis DM berlanjut, mengarah ke

komplikasi akut dan kronis.

f. Diagnosis DM

Pemeriksaan fisik, riwayat medis dan uji laboratorium dilakukan

untuk mengkaji klien dengan DM. Manifestasi klinis meyakinkan

adanya DM, akan tetapi uji laboratorium dibutuhkan menegakkan

diagnosis pasti. Beberapa diagnosis DM sebagai berikut :

1) Kadar Glukosa Darah Puasa

Sample glukosa darah puasa diambil saat klien tidak makan

selain minum air selama paling tidak 8 jam. Sample darah ini

secara umum mencerminkan kadar glukosa dari produksi hati.

Jika klien mendapatkan cairan dextrose intravena (IV), hasil

pemeriksaan harus dianalisis dengan hati-hati. Pada klien yang

diketahui memiliki DM, makan dan insulin tidak diberikan

sampai setelah sample diperoleh. Diagnosis DM dibuat ketika

kadar glukosa darah klien >126 mg/dl. Nilai antara 110-125

mg/dl mengindikasikan intoleransi glukosa puasa. Pengukuran

kadar glukosa darah puasa memberikan indikasi paling baik

dari keseluruhan homoostasis glukosa dan metode terpilih

untuk mendiagnosis DM.

2) Kadar Glukosa Darah Sewaktu


Klien mungkin juga didiagnosis DM berdasarkan manifestasi

klinis dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl. Sample

glukosa darah sewaktu diambil sewaktu-waktu tanpa puasa.

Peningkatan kadar glukosa darah mungkin terjadi setelah

makan, situasi stress, dan dalam sample yang diambil dari

lokasi IV atau dalam kasus DM.

3) Kadar Gula Darah Post Prandial (Setelah Makan)

Kadar glukosa darah setelah makan dapat juga diambil dan

digunakan untuk mendiagnosis DM. kadar glukosa darah

setelah makan diambil setelah 2 jam makan standar dan

mencerminkan efisiensi ambilan glukosa yang diperantai

insulin oleh jaringan perifer. Secara normal, kadar glukosa

darah seharusnya kembali ke kadar puasa didalam 2 jam. Kadar

glukosa darah 2 jam setelah makan >200 mg/dl selama tes

toleransi glukosa oral (OGTT) memperkuat diagnosis DM.

Pada lansia kadar glukosa setelah makan lebih tinggi, secara

spesifik meningkat 5-10 mg/dl per decade setelah usia 50 tahun

karena penurunan normal toleranso glukosa berhubungan

dengan usia. Merokok dan minum kopi dapat mengarah kepada

peningkatan nilai palsu saat 2 jam, sedangkan stress olahraga

dapat mengarah kepada penurunan nilai palsu.

Tabel 2.3

Kadar Glukosa Darah


Pemeriksaan Kadar Normal DM
Gula darah <200 mg/dl >200 mg/dl

sewaktu (GDS)
Gula darah puasa 80-125 mg/dl >126 mg/dl

(GDP)
Gula darah 2 jam <200 mg/dl >200 mg/dl

setelah makan

(GDPP)
Sumber : PERKENI, 2019.

g. Uji Laboratorium

1) Kadar Hemoglobin Glikosilase

Glukosa secera normal melekat dengan sendirinya pada

molekul hemoglobin dalam sel darah merah. Sekali melekat,

glukosa tidak dapat di pisahkan. Oleh karena lebih tinggi kadar

glukosa darah,kadar hemoglobin glikosilase juga lebih tinggi

(HbAIc). Batasan HbAIc dirujuk sebagai AIC. AIC adalah

kadar glukosa darah yang di ukur lebih dari 3 bulan

sebelumnya. AIC dinyatakan dalam persentase dan bermanfaat

dalam mengevaluasi pengendalian glikemia jangka panjang.

Untuk menghindari komplikasi terkait diabetes, ADA

merekomendasikan menjadi kadar AIC dibawah 7%.


ADA merekomendasikan bahwa tes AIC dilakukan secara rutin

pada semua orang dengan DM. AIC seharusnya dilakukan tiap

6 bulan pada klien yang telah memenuhi target primer

pengendalian glikemik (<7%) dan tiap 3 bulan pada klien yang

belum mencapai target primer pengendalian glikemik. Kondisi-

kondisi yang meningkatkan pergantian eritrosit, seperti

perdarahan, kehamilan, atau asplenia (kondisi tidak adanya

limpa didalam tubuh),mengarah ke pada konsentrasi AIC

rendah palsu. Dosis tinggi aspirin, alcohol, terapi heparin dapat

menyebabkan peningkatan AIC palsu.

2) Kadar Albumin Glikosilase

Glukosa juga melekat pada protein, albumin secara primer.

Konsentrasi albumin glikosilase (fruktosamin) mencerminkan

kadar glukosa darah rata-rata >7-10 hari. Pengukuran ini

bermanfaat ketika penentuan glukosa darah rata-rata jangka

pendek di perlukan.

3) Kadar Connecting Peptide (C-Peptide)

Ketika proinsulin di produksi oleh sel beta prankeas sebagian

di pecah oleh enzim,2 produk terbentuk, insulin, dan

connecting peptide, umumnya di sebut C-peptide. Oleh karena

C-peptide dan insulin di bentuk dalam jumlah yang sama,

pemeriksaan ini mengindikasikan jumlah produksi insulin


endogen. Klien dengan DM tipe 1 biasanya memiliki

konsentrasi C-peptide rendah atau tidak ada. Kline dengan DM

tipe 2 cenderung memiliki kadar normal atau peningkatan C-

peptide.

4) Ketonuria

Kadar kepton urine dapat di tes dengan tablet atau dipstrip oleh

klien. Adanya keton dalam urine mengindikasikan bahwa

tubuh memiliki lemak sebagai sumber utama energy, yang

mungkin mengakibatkan ketoasidesis. Hasil pemeriksaan yang

menunjukkan perubahan warna, mengindikasikan adanya

keton. Semua klien dengan DM seharusnya memeriksakan

keton dengan urine selama mengalami sakit akut atau stress,

ketika kadar glukosa darah naik (>240 mg/dl), dan ketika hamil

atau memiliki bukti ketoasidesis (missal mual, muntah, atau

nyeri perut).

Beberapa strip mendeteksi keton seperti halnya mendeteksi

glukosa. Walaupun pemeriksaan urine penting untuk

mengetahui keberadaan keton, pemeriksaan glukosa di dalam

urine bukanlah metode yang reliable untuk pemantauan.

5) Proteinuria

6) Pemantauan Glukosa Darah Sendiri (PGDS)

h. Komplikasi
Menurut Lemone, Burke & Bauldoff (2015), komplikasi pada

Diabetes Melitus terbagi dalam komplikasi akut dan komplikasi

kronis.

1) Komplikasi Akut

a) Hiperglikemia

Menurut International society for pediatrics and

Adolescent Diabetes (2007),hiperglikemia adalah suatu

keadaan kadar gula darah sewaktu ≥ 11,1 mmol/L (200

mg/dl) ditambah dengan gejala diabetes atau kadar gula

darah puasa (tidak mendapatkan masukan kalori setidaknya

dalam 8 jam sebelumnya ) ≥ 7,0 mmol/L (126mg/dl).

Masalah utama akibat hiperglikemia pada penyandang DM

adalah DKA dan HHS, dua masalah ini adalah fenomena

fajar dan faenomena somogyi. Fenomena fajar adalah

kenaikan glukosa darah antara jam 4 pagi dan jam 8 pagi

yang bukan merupakan responds terhadap hipoglikemia.

Pemyebab pastinya tidak diketahui namun bisa dipastikan

dikarenakan peningkatan hormone pertumbuhan pada

malam hari. Fenomena somogyi adalah kombinasi

hipoglikemia selama malam hari dengan pantulan kenaikan

glukosa darah di pagi hari terhadap kadar hiperglikemia.

b) Diabetik Ketoasidosis (DKA)


Diabetik ketoasidosis (DKA) adalah keadaan dekompensasi

kekacauan metabolic yang ditandai dengan trias DKA yaitu

hiperglikemia, asidosis dan ketosis yang merupakan salah

satu komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang

paling serius dan mengancam nyawa. Keberhasilan

penatalaksaan DKA membutuhkan koreksi dehidrasi,

hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi

factor presipitasi komorbid dan yang terpenting adalah

pemantauan kondisi pasien terus-menerus.

c) Hiperglikemik Hiperosmolar (HHS)

HHS ditandai dengan osmolaris plasma 340 msOsm/L atau

lebih (kisaran normal adalah 280-300 msOsm/L), naiknya

kadar glukosa darah dengan cepat (lebih dari 600 mg/dl dan

sering kali 1000-2000 mg/dl), dan perubahan tingkat

kesadaran yang berat. Factor pemicu HHS yang paling

umum adalah infeksi. Manifestasi gangguan ini dapat

muncul dari 24 jam hingga 2 minggu. Manifestasi dimulai

dengan hiperglikemia yang menyebabkan haluaran urine

sehingga menyebabkan plasma berkurang dan laju GFR

menurun. Akibatnya, glukosa ditahan dan air menjadi


hilang, glukosa dan natrium akan menumpuk di darah dan

meningkatkan osmolaritas serum yang akhirnya

menyebabkan dehidrasi berat, yang mengurangi air

intraseluler di semua jaringan termasuk otak.

2) Komplikasi Kronik

Komplikasi kronis terdiri atas komplikasi makrovaskular dan

mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular yaitu :

a) Perubahan pada system kardiovaskular

Makrosirkulasi (pembuluh darah besar) pada penyandang

DM mengalami perubahan akibat aterosklerosis, trombosit,

sel darah merah, dan factor pembekuan yang tidak normal

serta adanya perubahan dinding arteri. Faktor risiko lain

yang menimbulkan perkembangan penyakit makrovaskular

pada DM adalah hipertensi, hiperlipidimia, merokok, dan

kegemukan. Perubahan mikrosirkulasi pada penyandang

DM melibatkan kelainan struktur di membrane basalis

pembuluh darah kecil dan kapiler. Efek perubahan pada

mikrosirkulasi mempengaruhi semua jaringan tubuh tetapi

paling utama dijumpai pada mata dan ginjal.

b) Penyakit Arteri Koroner

Penyakit arteri koroner adalah suatu penyakit akibat

terjadinya sumbatan pada arteri koroner. Penyakit arteri

koroner merupakan factor risiko utama terjadinya infark


miokard pada pasien DM, khususnya DM tipe 2 yang usia

nya sudah paruh baya hingga lansia. Penyandang DM yang

mengalami infark miokard akan beresiko mengalami gagal

jantung kongestif sebagai komplikasi infark (AHA, 2015).

c) Hipertensi

Hipertensi merupakan komplikasi umum pada DM yang

menyerang sekitar 75% penyandang DM dan merupakan

factor risiko utama pada penyakit jardiovaskular dan

komplikasi mikrovaskular seperti retinopati dan nefropati.

Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks,

hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin

(resistensi insulin). Padahal insulin berperan meningkatkan

ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga

mengatur metabolism karbohidrat, sehingga jika terjadi

resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah

juga dapat mengalami gangguan.

d) Stroke ( Cedera serebrovaskular)

Penyandang DM khususnya lansia dengan DM tipe 2, dua

hingga empat kali lebih sering mengalami stroke (CDC,

2014). Pasien dengan diabetes mellitus biasanya akan

mengalami viskositas darah atau terjadi kekentalan p darah

sehingga memicu terjadinya thrombosis yang akhirnya

akan menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah besar


dan pembuluh darah kecil. Pada pembuluh darah besar

akan menyebabkan aliran darah ke jantung, serebral dan

ekstremitas terganggu. Ketika terjadi gangguan pada aliran

darah ke serebral maka akan terjadi stroke.

e) Penyakit Vaskular Perifer

Kerusakan sirkulasi vascular perifer karena aterosklerosis

menyebabkan insufisiensi vaskular perifer dengan

kaludikasi (nyeri) intermiten di tungkai bawah dan ulkus

pada kaki. Sumbatan dan trombosis di pembuluh darah

besar, dan arteri kecil dan arteriol, serta perubahan fungsi

neurologis dan infeksi mengakibatkan gangrene (nekrosis

atau kematian jaringan). Gangrene akibat DM merupakan

penyebab terbanyak amputasi non-traumatik di tungkai

bawah. Pada penyandang DM, gangrene kering paling

banyak terjadi, yang dimanifestasikan dengan jaringan

yang dingin, kering, mengerut, dan berwarna hitam di jari

kaki. Gangrene biasanya dimulai dari ibu jari kaki dan

bergerak kea rah proksimal kaki.

Komplikasi mikrovaskular diantaranya adalah :

a) Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik adalah istilah untuk reina yang terjadi

pada penyandang DM. Struktur kapiler retina mengalami

perubahan aliran darah, yang menyebabkan iskemia retina


dan kerusakan sawar retina darah. Retinopati diabetic

merupakan penyebab terbanyak kebutaan pada orang

berusia antara 20 dan 74 (CDC,2014).

b) Nefropati Diabetik

Nefropati diabetic adalah penyakit ginjal yang di tandai

dengan adanya albumen dalam urine, hipertensi, edema,

dan insufisiensi ginjal progresif. Nefropati terjadi 30 - 40%

penyandang DM tipe 1 dan 15-20% dengan tipe 2.

c) Neuropati Viseral

Neuropati visceral atau sering disebut neuropati otonom

yang menyebabkan berbagai manifestasi bergantung pada

SSO yang terkena. Neuropati ini dapat mencakup gangguan

berkeringat, fungsi pupil tidak normal, gangguan

kardiovaskular, gangguan gastrointestinal, gangguan

genitourinari.

d) Perubahan Mood

Penyandang DM baik tipe 1 maupun tipe 2 menjalani

ketegangan kronik hidup dengan perawatan diri kompleks

dan berisiko tinggi mengalami depresi dan distress

emosional spesifik karenan DM. depresi mayor dan gejala

depresi mempengaruhi 20% penyandang DM yang

membuatnya menjadi dua kali lebih sering terjadi di

kalangan penyandang DM dibanding populasi umum.


e) Peningkatan Kerentanan Terhadap Infeksi

Penyandang DM mengalami peningkatan risiko terjadinya

infeksi. Hubungan pasti antara DM dan infeksi tidak jelas,

tetapi banyak gangguan yang terjadi akibat komplikasi

diabetic memicu seseorang mengalami infeksi. Kerusakan

vascular dan neurolois, hiperglikemia, dan perubahan

fungsi neutrofil dipercaya menjadi penyebabnya.

f) Penyakit Periodontal

Meskipun penyakit periodontal tidak terjadi lebih sering

pada penyandang DM, tetapi dapat memburuk dengan

cepat, khususnya jika DM tidak terkontrol dengan baik.

Dipercaya bahwa penyakit ini disebabkan oleh

mikroangipati, dengan perubahan pada vaskularisasi gusi.

Akibatnya, gingivitis (inflamasi gusi) dan periodontitis

(inflamasi tulang dibawah gusi) terjadi.

2. Konsep 3M (Mencuci tangan, Memakai masker dan Menjaga

jarak)

Menurut Hms, Dkip (2020) mematuhi protokol kesehatan

merupakan langkah penting supaya covid-19 dapat ditekan

penyebarannya. Karena itu, dibutuhkan perilaku disiplin individu

maupun kolektif yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Sosialisasi

3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) harus menjadi


prioritas utama. Karena terbukti penerapan protokol kesehatan mampu

menekan penularan virus covid-19. Perilaku 3M masih menjadi

protokol kesehatan yang relevan meski langkah vaksinasi oleh

pemerintah semakin dekat.

Ketua IAKMI (2020) mengatakan perilaku 3M bisa dikatakan

sebagai upaya pencegahan dilevel 1 dalam teori kesehatan masyarakat.

Setelah menyentuh benda apapun harus mencuci tangan terlebih

dahulu. Begitu pula dengan pemakaian masker dan menjaga jarak.

Masyarakat dinilainya harus tetap melakukan perilaku 3M untuk

menjaga kesehatan diri sendiri dan orang disekitarnya. Penularan virus

covid-19 melalui droplet yang dikeluarkan oleh orang yang sakit,

sehingga pemakaian masker, jaga jarak dan mencuci tangan menjadi

langkah pencegahan paling efektif.

Selain itu, penerapan 3M secara utuh juga dapat meminimalkan

penyebaran virus, terutama bagi orang yang tidak menunjukkan gejala.

Dengan memakai masker, partikel virus yang tersebar akan semakin

sedikit sehingga potensi penularannya pun berkurang. Pemakaian

masker bisa memblokir hembusan partikel udara dari individu yang

kemungkinan terinfeksi covid-19 namun tidak memiliki gejala.

Dengan memblokir hembusan partikel virus ke udara disekitar, masker

menjaga virus agar tidak menyebar. Selain itu, masker berfungsi

sebagai penghalang fisik yang sangat membantu ketika batuk atau

bersin.
Menurut WHO (2020) penggunaan masker merupakan salah satu

langkah pencegahan yang dapat membatasi penyebaran penyakit-

penyakit saluran pernafasan yang diakibatkan oleh virus, termasuk

covid-19. Namun, penggunaan masker saja tidak cukup memberikan

tingkat perlindungan yang memadai, dan harus dilakukan juga

langakah-langkah lain. Terlepas dari apakah masker digunakan atau

tidak. Kepatuhan maksimal dalam menjaga kebersihan tangan dan

langkah-langkah PPI lainnya sangat penting untuk mencegah

penularan covid-19 dari orang ke orang. WHO telah menyusun

panduan strategi-strategi PPI untuk perawatan dirumah dan ditempat

pelayanan kesehatan yang dapat digunakan saat diduga covid-19.

Penting disadari bahwa penularan parasimtomatik terjadi karena

adanya penyebaran virus melalui percikan yang dapat menyebabkan

infeksi atau melalui sentuhan dengan permukaan benda yang

terkontaminasi virus.

Hasil penelitian yang diterbitkan di proceedings of the national

academy of sciences (2020) menunjukan bahwa masker efektif

mencegah infeksi virus covid-19 di dua kota ketimbang kebijkan

lockdown. Penelitian itu menyebutkan, bahwa masker bisa mencegah

lebih dari 78.000 kasus covid-19 di italia pada tanggal 6 april-9 mei

2020. Dan lebih dari 66.000 kasus covid di new York pada 17 april-9

mei 2020. Pemakaian masker saat diluar rumah dengan cara yang

benar dan merupakan cara efektif untuk mencegah penularan virus-19.


Agar lebih efektif, peneliti juga menyebutkan bahwa penggunaan

masker diruang publik ditunjang praktik jaga jarak aman. Disiplin

karantina, dan pelacakan kontak dari pasien positif covid-19. Di

Indonesia, protokol kesehatan dengan mencuci tangan dengan air

mengalir menjadi jurus tambahan menekan penyebaran dan penularan.

Pemerintah meminta masyrakat untuk menjalankan protokol kesehatan

dengan 3M yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga

jarak. Berdasarkan banyak penelitian juga, rajin mencuci tangan juga

bisa menurunkan risiko penularan virus, termasuk virus covid-19

sebesar 13% mencuci tangan dengan air mengalir selama 20 detik

menggunakan sabun atau antiseptik bisa mengurangi risiko penularan

covid-19. Risiko semakin mengecil jika kita semua disiplin menjaga

jarak minimal 1 meter. Jaga jarak, termasuk menghindari kerumunan

menjadi jurus meminimalisir penularan sekaligus penyebaran hingga

85%.

3. Konsep Pengetahuan

a. Deifinisi pengetahuan

Menurut Donsu (2017) pengetahuan merupakan suatu hasil

dari rasa keingintahuan mellaui proses sensoris, terutama pada

mata dan telingan terhadap objek tertentu. Pengetahuan

merupakan domain yang penting dalam terbentuknya perilaku

terbuka atau open behavior. Menurut Notoadmodjo (2014)


pengetahuan atau knowledge merupakan hasil penginderaan

manusia atau hasil tahu seseorang terhadap sutau objek melalui

pancaindra yang dimilikinya. Pancaindra manusia guna

penginderaan terhadap objek yakni penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan perabaan. Pada waktu penginderaan untuk

menghasilkan pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh intensitas

perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang

sebagian besar diperoleh melalui indra pendengaran dan indra

penglihatan.

Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal

dan sangat erat hubungannya. Diharapkan dengan pendidikan

yang tinggi maka akan semakin luas pengetahuannya. Tetapi

orang yang berpendidikan rendah tidak mutlak berpengetahuan

rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari

pendidikan formal saja, tetapi juga dapat diperoleh dari

pendidikan non formal. Pengetahuan akan suatu objek

mnegandung dua aspek positif dan aspek negative. Kedua aspek

ini akan menentukan sikap seseorang. Semakin banyak aspek

positif dan objek yang diketahuinya, maka akan menimbulkan

sikap semakin positif terhadap objek tertentu.

b. Tingkat pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2014) pengetahuan seseorang terhadap

suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda.

Secara garis besar dibagi menjadi 6 tingkat pengetahuan, yaitu :

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai recall atau memanggil memori yang

telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu yang spesifik

dan seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan yang

telah diterima. Tahu disini merupakan tingkatan yang paling

rendah. Kata kerja yang digunakan untuk mengukur orang

yang tahu tentang apa yang dipelajari yaitu dapat

menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan dan

sebagainya.

2) Memahami (Comprehention)

Memahami suatu objek bukan hanya sekedar tahu terhadap

objek tersebut, dan juga tidak sekedar menyebutkan, tetapi

orang tersebut dapat menginterpretasikan secara benar tentang

objek yang diketahuinya. Orang yang telah memahami objek

dan materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menarik kesimpulan, meramalkan terhadap suatu objek yang

dipelajari.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek

yang dimaksud dapat menggunakan ataupun mengaplikasikan


prinsip yang diketahui tersebut pada situasi atau kondisi yang

lain. Aplikasi juga diartikan aplikasi atau penggunaan hukum,

rumus, metode, prinsip, rencana program dalam situasi yang

lain.

4) Analisis (Analysis)

Analisis merupakan kemampuan seseorang dalam menjabarkan

atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara

komponen-komponen dalam suatu objek atau masalah yang

diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang telah sampai

pada tingkatan ini adalah jika orang tersebut dapat

membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat bagan

(diagram) terhadap pengetahuan objek tersebut.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis merupakan kemampuan seseorang dalam merangkum

atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari

komponen pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dengan kata

lain suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi yang sudah ada sebelumnya.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-

norma yang berlaku dimasyarakat.


c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014) faktor-faktor yang mempengaruhi

pengetahuan adalah sebagai berikut :

1) Faktor Internal

a) Pendidikan

Pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan

seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju

impian atau cita-cita tertentu yang meentukan manusia

untuk berbuat dan mengisi kehidupan agar tercapai

keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk

mendapatkan informasi berupa hal-hal yang menunjang

kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

b) Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu keburukan yang harus

dilakukan demi menunjang kehidupannya dan kehidupan

keluarganya. Pekerjaan tidak diartikan sebagai sumber

kesenangan, akan tetapi merupakan cara mencari nafkah

yang membosankan, berulang, dan memiliki banyak

tantangan. Sedangkan bekerja merupakan kegiatan yang

menyita waktu.

c) Umur

Usia merupakan umur

d) Faktor Lingkungan
e) Sosial Budaya

2) Faktor Eksternal

4. Konsep Usia Lansia

a. Definisi Lansia

Menurut Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia bab 1 pasal 1 ayat 2, lanjut usia adalah

seseorang yang telah mencapai 60 tahun ke atas (Azizah, 2011).

Menurut WHO dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998

tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang

menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua.

Menua bukanlah suatu penyakit, akan tetapi merupakan proses

yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif,

yaitu proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi

rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan

kematian (Padila, 2013).

b. Batasan Lansia

Menurut World Health Organization (WHO, 2013) batasan lansia

dikelompokkan menjadi beberapa bagian, seperti :

1) Usia pertengahan ( Middle age ) usia 45-59 tahun

2) Lanjut usia ( Elderly ) usia 60-74 tahun

3) Lanjut usia tua ( Old ) usia 75-90 tahun

4) Usia sangat tua ( Very old ) usia > 90 tahun


5. Perkembangan Diabetes Melitus

Dinkes Jabar (2014) mengungkapkan bahwa kota Depok

menduduki peringkat ke 2 terbanyak penderita Diabetes mellitus se-

Indonesia setelah Cirebon, tercatat sebanyak 15% penduduk Depok

menderita DM. Berdasarkan studi pendahuluan dengan pengumpulan

data melalui wawancara tidak terstruktur dengan kader kesehatan di Gg.

Nangka kedaung sawangan depok di dapatkan data masyarakat dari

Puskesmas yang mengidap penyakit Diabetes Melitus di Rt 02 Rw 03

pada tahun 2019 sekitar 13 orang. Dari studi pendahuluan yang

dilakukan kepada responden yang pernah menderita covid-19 dengan

komorbid DM pada tanggal 25 januari 2021 dilakukan pengambilan

data dari 10 responden yang di wawancarai dan 7 dari 10 responden

mengatakan bahwa kurangnya kesadaran diri dalam melaksanakan

protokol kesehatan, seperti jika ke kerumunan baik keluar rumah jarang

menggunakan masker, dan menjaga jarak. Dari 10 responden tidak

semua tahu pentingnya menggunakan protokol 3M (memakai masker,

mencuci tangan, menjaga jarak) pada pengidap DM yang rentan terkena

infeksi di Masa pandemic Covid-19 dan hasil wawancara dari kepala

kader juga bahwa banyak sekali di Wilayah gang Nangka penderita DM

yang terkena covid-19 .

B. Penelitian Terkait
Dalam mencari sumber informasi atau referensi terkait judul yang

akan diteliti, maka penulis menemukan materi dari penelitian-penelitian

sebelumnya yang berkaitan dengan latar belakang masalah pada proposal

ini. Berikut ini penelitian terdahulu :

1) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi, A. D. (2020) “

Gambaran Penggunaan Masker di Masa Pandemi Covid-19”. Jenis

penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan

pendekatan cross sectional study. Sampel penelitian ini berjumlah 431.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden di

Kabupaten Muna selalu menggunakan masker saat bepergian keluar

rumah (57,8%). Namun, masih ada 35,5% yang mengaku jarang

menggunakan masker saat keluar rumah dan 6,7% yang mengaku tidak

menggunakan masker saat keluar rumah.

2) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari, D. P. (2020) “ Hubungan

antara Pengetahuan Masyarakat dengan Kepatuhan Penggunaan

Masker Sebagai Upaya Pencegahan Penyakit Covid-19”. Penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan survey deskriptif metode

kuantitatif dengan pendekatan cross sectional study. Sampel penelitian

ini sebanyak 62 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebagian besar masyarakat patuh menggunakan masker yaitu sebanyak

46 responden (74,19%) dan sebagian kecil masyarakat tidak patuh

yaitu sebanyak 16 responden (25,81%). Hasil penelitian ini masih

ditemukannya ketidakpatuhan masyarakat.


3) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mujibarrahman etc al (2020) “

Pengetahuan Berhubungan Dengan Peningkatan Perilaku Pencegahan

Covid-19”. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif

dengan rancangan cross sectional study. Sampel penelitian ini adalah

104 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan

pengetahuan yang baik dan perilaku pencegahan dengan cukup sebesar

43,2%. Berdasarkan uji yang dilakukan dengan spss terdapat nilai p-

value = 0,001 dan nilai p-alpha = 0,05, sehingga nilai p-value < p-

alpha (0,001<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa Ha diterima dan H0

ditolak yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara

pengetahuan dengan perilaku pencegahan covid-19 pada masyarakat.

C. Kerangka Teori Penelitian

Anda mungkin juga menyukai