Anda di halaman 1dari 19

Plagiarism Checker X Originality Report

Similarity Found: 43%

Date: Friday, November 27, 2020


Statistics: 2390 words Plagiarized / 5520 Total words
Remarks: High Plagiarism Detected - Your Document needs Critical Improvement.
-------------------------------------------------------------------------------------------
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang rawan terhadap
bencana gempa dan tsunami (Fitriani 2014). Tsunami merupakan gelombang laut yang
dihasilkan oleh proses geologi bawah laut berupa letusan gunungapi, gempa bumi,
longsoran serta jatuhnya meteor di laut (Surmayadi 2012). Gempa Bumi dengan
kekuatan 7,4 SR yang terjadi pada tanggal 28 September 2018 di Kota Palu ternyata
memicu bencana lain Bencana gelombang tsunami dan bencana likuifaksi menyebabkan
kerusakan pada bangunan pemukiman yang jumlahnya mencapai 2.790 unit rumah,
2113 korban jiwa, 4612 jiwa korban luka dan 223.751 jiwa mengungsi (BNPB 2018).
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2018) wilayah Palu dan sekitar
memiliki sejarah gempa yang dapat menyebabkan tsunami.

Tercatat riwayat gempa di Kota tersebut pada tanggal 1 Desember 1927 terjadi gempa
berkuatan 6,3 SR. Lalu pada tanggal 19 Mei 1939 terjadi lagi gempa dengan magnitude
7,6. Berulang lagi pada 14 Agustus 1968 dengan kekuatan 7,4 SR. Berulang lagi pada 1
Januari 1996 dengan kekuatan 7,7 SR. Terakhir adalah gempa pada tanggal 28
September 2018 dengan gempa terkuat sebesar 7,4 SR berlokasi 0,18 LS dan 119,85 BT
dengan kedalaman 10 kilometer dari permukaan air laut. Kondisi tersebut membuat
Kota Palu menjadi daerah yang rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Oleh sebab
itu, menurut Hermon (2015) berbagai fenomena seperti gempa bumi dan erupsi gunung
api sering terjadi di Indonesia.

Ketinggian gelombang tsunami yang menyerang di sepanjang pantai Palu mencapai 10


meter dan limpasan tsunami ke daratan mencapai 500 meter dari garis pantai. Daerah
yang mengalami kerusakan paling parah adalah kawasan Mapaga. Ditempat ini
ditemukan 160 orang meninggal dan 40 orang dinyatakan hilang, serta 58 orang luka
parah. Terakhir, Gempabumi dan Tsunami Toli-Toli dan Palu 1996 (M 6,3) menyebabkan
9 orang tewas,serta kerusakan parah di Desa Bangkir, Toli-Toli, Tonggolobibi, dan Palu.

Gempabumi ini juga memicu tsunami dengan ketinggian 2 meter dengan limpasan air
laut ke daratan sejauh 400 meter (Suparto et al. 2006). Tercatat telah terjadi tiga kali
kejadian di sekitar Teluk Palu, yaitu pada tahun 1927, 1968 dan 1996, sementara sekitar
Kota Palu (Sulawesi Tengah) terdapat 6 kejadian. Wilayah Kota Palu dan sekitarnya
terdapat beberapa potongan sesar yang sangat berpotensi membangkitkan gempa
bumi yang cukup kuat.

Sesar tersebut adalah Sesar Palu-Koro yang memanjang dari Palu ke arah Selatan dan
Tenggara melalui Sulawesi Selatan bagian Utara menuju ke selatan Bone sampai di Laut
Banda (Pratomo dan Rudianto 2013). Kesiapan masyarakat yang terpapar oleh bahaya
tsunami secara optimal sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan kebanyakan wilayah
pantai dan pesisir pulau-pulau di wilayah Indonesia yang terancam oleh bahaya tsunami
digolongkan sebagai zona “near-source-generated tsunami” atau adanya potensi
sumber tsunami yang berjarak pendek. (Anwar 2011).

Berdasarkan arahnya tsunami yang diakibatkan reverse fault bentuk gerakan air laut
akan lurus menuju daratan sedangkan tsunami yang terjadi di Teluk Palu gerakan airnya
sangat bervariasi tergantung lokasi kelongsoran tanah. Secara geologi kedalaman Teluk
Palu mencapai 800 m dimana bagian pinggir merupakan sedimen pasir dengan
kemiringan lereng yang sangat tajam. Hal ini tentunya akan menimbulkan kerawanan
terhadap kelongsoran. Kerusakan akibat tsunami terutama adalah karena gaya dorong
dan gaya tarik dari gelombang air yang masuk ke daratan bersamaan dengan material
debris yang dibawanya mengapung berupa massa yang besar sehingga terjadi
tumbukan yang memberikan dampak kerusakan yang sangat besar (Hutabarat et al.
2019). Fakta terjadinya perubahan lahan di wilayah pesisir Teluk Palu tidak mengikuti
pemanfaatan secara berkelanjutan.

Prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan ruang wilayah pesisir untuk berbagai


kegiatan seharusnya dilakukan dengan pertimbangan antara kepentingan sosial-
ekonomi dan ekologi. Pertimbangan ini diterapkan agar kawasan yang diperuntukan
bagi kawasan lindung atau budidaya sesuai dengan kondisi biofisik wilayah tersebut dan
ekosistemnya tetap terjamin (Yonvitner et al. 2010). Oleh karena itu, pemanfaatan
sumber daya secara berkelanjutan perlu memperhatikan daya dukungnya. Beberapa
pendekatan yang digunakan dalam menentukan pemanfaatan ruang wilayah pesisir
secara berkelanjutan yaitu menggunakan pendekatan secara terpadu.

Secara ilmiah pendekatan terpadu ini dapat dicirikan dengan memperhatikan tingkat
adaptasi suatu wilayah pesisir agar dapat mendukung usaha perikanan sebagai indikator
ekonomi dan ekologi. Dengan memperhatikan daya dukung, kerentanan dan adaptasi
lingkungan pasca tsunami Teluk Palu sehingga dapat menentukan seberapa rentan dan
beresiko suatu lahan perairan tersebut dengan adanya perencanaan kawasan pesisir
yang memperhatikan aspek pengelolaan kawasan pesisir untuk meminimalisir dampak
bencana khususnya gelombang tsunami. Dengan harapan dapat memberikan masukan
pengelolaan kepada pemerintah mengenai pengelolaan wilayah pesisir Teluk Palu
berbasis pengelolaan lahan dan adaptasi lingkungan.

Oleh karena itu, penelitian ini diperlukan untuk mendukung penyusunan kebijakan dan
pengambilan keputusan dalam pengelolaan pesisir dan laut terpadu guna
pembangunan pesisir dan laut yang berkelanjutan di Teluk Palu. Rumusan Masalah
Wilayah pesisir yang terpapar tsunami menyebabkan terjadinya penurunan
pemanfaatan wilayah pesisir Teluk Palu. Tsunami yang mengkonversi mangrove dan
abrasi yang terjadi dapat berpengaruh pada semua aspek baik ekologi, ekonomi dan
sosial yang ada di pesisir Teluk Palu.

Fungsi mangrove sebagai daerah penyangga, daerah asuhan (nursery ground) dan
penahan abrasi hilang dan dapat menimbulkan kerugian seperti berkurangnya
pendapatan masyarakat yang bergantung pada hasil perikanan serta hilangnya daratan
akibat abrasi menyebabkan kerugian ekonomi dari lahan yang seharusnya dapat
dimanfaatkan. Apabila pesisir sudah berkurang pemanfaatannya, maka yang dapat
dilakukan adalah merehabilitasi atau mengoptimalkan penggunaan lahan yang ada.
Kesiapsiagaan berarti merencanakan tindakan untuk merespons jika terjadi bencana.
Kesiapsiagaan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan siap siaga dalam menghadapi
krisis, bencana atau keadaan darurat lainnya. (Kusumasari 2014).

Walaupun sudah terjadi perubahan peruntukan lahan dan penurunan luasan mangrove,
namun belum ada perhitungan secara ilmiah berapa kira-kira jumlah orang yang dapat
memanfaatkan lahan produktif yang tersedia dengan pola konsumsi seperti yang terjadi
saat ini. Penggunaan lahan akan menjadi suatu permasalahan apabila berhubungan
dengan perubahan penduduk terutama laju pertambahan penduduk dan
penyebarannya yang tidak merata terkhusus pada penggunaan lahan permukiman (Esti
2018). Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, perlu dicari metode
perhitungan daya dukung suatu lahan tersebut untuk mengoptimalkan penggunaan
lahan.

Dari latar belakang dan identifikasi rumusan masalah dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut: kondisi kawasan pesisir Teluk Palu pasca tsunami yang
belum pulih kawasan pesisir Teluk Palu masih rentan terhadap bencana tsunami. Perlu
adanya gambaran mengenai adaptasi kawasan pesisir di Teluk Palu pasca tsunami
berbasis kesesuaian lahan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
Mengidentifikasi kondisi eksisting kawasan pesisir Teluk Palu pasca tsunami.
Menganalisis risiko bencana berdasarkan tingkat kerentanan dan kesesuaian lahan
kawasan pesisir Teluk Palu. Menentukan adaptasi kawasan pesisir Teluk Palu terhadap
bencana tsunami berbasis kesesuaian lahan.

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : Memberikan informasi gambaran


kondisi eksisting Teluk Palu pasca tsunami. Memberikan gambaran berupa peta resiko
bencana berbasis kesesuaian lahan dan tingkat kerentanan. Memberikan informasi
adaptasi lingkungan terhadap tingkat resiko tsunami. Ruang Lingkup Penelitian Ruang
lingkup dan batasan penelitian adalah: Wilayah pesisir Kota Palu, Sulawesi Tengah
Pengelolaan yang dilakukan untuk mendukung sistem penyangga yang telah berubah
dari kondisi awalnya Parameter yang dikaji adalah : Potensi sumberdaya alam pesisir
dan sumberdaya manusia di wilayah peisir Kota Palu Kesesuaian kawasan untuk
kegiatan perikanan, penyangga dan ekowisata Pemanfaatan kawasan pesisir pasca
tsunami Kerangka Pemikiran Penelitian Kota Palu adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi
Tengah. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kota Palu (2018) penduduk Kota Palu pada
tahun 2017 sebanyak 379.593 jiwa yang terdiri atas 188.713 jiwa penduduk perempuan
dan 190.880 jiwa penduduk laki-laki.

Dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2016, penduduk Palu mengalami


pertumbuhan sebesar 1,49 persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan
penduduk perempuan sebesar 1,46 persen dan penduduk laki-laki sebesar 1,52 persen.
Kepadatan penduduk di Kota Palu tahun 2017 mencapai 961 jiwa/km2 dengan rata-rata
jumlah penduduk per rumah tangga 4 orang. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (2019) wilayah Palu dan sekitar memiliki sejarah gempa yang dapat
menyebabkan tsunami. Tercatat riwayat gempa di Kota tersebut pada tanggal 1
Desember 1927 terjadi gempa berkuatan 6,3 SR.

Lalu pada tanggal 19 Mei 1939 terjadi lagi gempa dengan magnitude 7,6. Berulang lagi
pada 14 Agustus 1968 dengan kekuatan 7,4 SR. Berulang lagi pada 1 Januari 1996
dengan kekuatan 7,7 SR. Terakhir adalah gempa pada tanggal 28 September 2018
dengan gempa terkuat sebesar 7,7 SR berlokasi 0,18 LS dan 119,85 BT dengan
kedalaman 10 kilometer dari permukaan air laut. Kondisi tersebut membuat Kota Palu
menjadi daerah yang rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Upaya mitigasi untuk
meminimalkan korban jiwa dan kerusakan materi pada saat terjadi bencana sangat
diperlukan.

Analisis dampak lanskap adalah salah satu cara untuk memperoleh data kerusakan
lanskap akibat gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang terjadi. Penelitian ini
menggunakan data-data yang diambil dari survey langsung ke lapangan (Data tata
ruang Kota, data perubahan penggunaan lahan, data zona bahaya bencana, data
geologi, data topografi, data hidrologi, vegetasi, iklim, aksesibilitas, sirkulasi, sarana
prasarana, data sosial-ekonomi penduduk, dan dokumentasi berupa foto atau video)
dan studi pustaka (Data sekunder, peta kondisi sebelum bencana, dan data penggunaan
lahan).

Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukan analisis untuk melihat dampak dari
bencana yang terjadi yang dapat dilihat secara singkat pada Gambar 1. / Gambar 1.
Kerangka pikir penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Wilayah Pesisir Wilayah
pesisir merupakan salah satu aset pembangunan Indonesia yang sangat penting,
dikarenakan wilayah tersebut didukung oleh dua komponen utama yaitu komponen
biofisik dan komponen sosial ekonomi. Wilayah pesisir Indonesia membentang kurang
lebih 81.000 km garis pantai dan tersebar pada sekitar 17.508 pulau yang memiliki
potensi sumber daya hayati yang melimpah dan jenis yang beragam.

Hal ini membuat wilayah pesisir merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif.
Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting untuk ditinjau dari berbagai
sudut pandang perencanaan dan pengelolaan (French 2004). Transisi antara daratan dan
lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beraneka jenis yang dapat
memberikan nilai ekonomi yang luar biasa bagi manusia (Nurmalasari 2013). Adapun
definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah wilayah pertemuan antara
darat dan laut, kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun
terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang
masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi
dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri et al. 2001). Wilayah pantai/pesisir
mempunyai karakter yang spesifik.

Wilayah ini merupakan agregasi dari berbagai komponen ekologi dan fisik yang saling
terkait dan saling mempengaruhi, serta secara ekologis sangat rapuh (Rais et al. 2004).
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa pembangunan sumberdaya alam yang
tidak memperhatikan prinsip-prinsip ekologi akan sangat mudah merusak proses atau
berfungsinya ekosistem pantai. Suatu ekosistem pantai adalah komposisi dari berbagai
komponen (komponen ekologi dan biologi, serta lingkungan fisik pantai) serta
interaksinya (Supriharyono 2002).

Komponen ekologi dan biologi dari ekosistem pantai termasuk spesies binatang,
tumbuhan dan organisme. Setiap spesi mempunyai peranan fungsi yang unik di dalam
ekosistem pantai dan mempunyai habitat tertentu. Lingkungan fisik pantai meliputi
perairan pantai, muara sungai, karang pantai. Interaksi antar komponen dari ekosistem
pantai terjadi melalui pertukaran energi dan zat, yang dimulai dengan konservasi cahaya
matahari, nutrien dasar, karbon dioksida dan mineral oleh tumbuhan (primary
produsers) menjadi jaringan tumbuh-tumbuhan (plant tissues) yang merupakan bahan
dasar makanan untuk binatang (Djunaedi 2002). Kondisi Umum Kota palu secara
geografis berada di sepanjang pantai Teluk Palu.

Secara administratif wilayah Kota Palu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Donggala dan
Teluk Palu, yang terlihat dari batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara : Teluk
Palu dan Kabupaten Donggala Sebelah Timur : Teluk Palu Sebeleh Selatan : kabupaten
Donggala Sebelah Barat : Kabupaten Donggala Morfologi Kota Palu dapat dibagi
menjadi 2 (dua) satuan, yaitu : a) Morfologi Dataran Kenampakan morfologi berupa
topografi tidak teratur, lemah, merupakan wilayah dengan banjir musiman, dasar sungai
umumnya meninggi akibat sedimentasi fluvial. Morfologi ini disusun oleh material
utama berupa aluvial sungai dan pantai dengan bentukan morfologi berupa dataran
dan kemiringan lereng 0-5 %.

Wilayah tengah Kota Palu didominasi oleh satuan geomorfologi ini. b) Morfologi
Denudasi dan Perbukitan Kenampakan berupa morfologi bergelombang lemah sampai
bergelombang kuat. Wilayah kipas aluvial (aluvial fan) termasuk dalam satuan morfologi
ini. Bentuk morfologinya berupa perbukitan berelief halus dengan kemiringan lereng 5-
15 %. Di wilayah Palu morfologi ini meluas di wilayah Palu Timur, Palu Utara, membatasi
antara wilayah morfologi dataran dengan morfologi pegunungan. Tsunami Secara
harfiah tsunami berasal dari Bahasa Jepang. Tsu berarti pelabuhan dan nami adalah
gelombang. Secara umum tsunami diartikan sebagai gelombang laut yang berasal dari
pelabuhan (Levin dan Nosov 2009).

Istilah tsunami dikenal luas oleh masyarakat dunia setelah adanya kejadian gempa besar
15 Juni 1896, yang menimbulkan tsunami besar melanda kota Pelabuhan Sanriku
(Jepang). Tsunami sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan
gangguan implusif yang terjadi pada medium laut. Gangguan implusif bisa berupa
gempabumi tektonik di laut, erupsi vulkanik (meletusnya gunung api) di laut, longsoran
(land slide) di laut atau jatuhnya meteor di laut.

Akibat dari gangguan impulsive menyebabakan terjadinya gelombang laut yang datang
tiba-tiba, sebagai akibat terganggunya kestabilan air laut, yang menghempas pantai dan
menimbulkan bencana (Bien 2005). Tsunami yang ditimbulkan oleh gaya implusif
bersifat transien, artinya tsunami semakin melemah dengan bertambahnya waktu dan
hanya berlangsung sesaat (Kajiura dan Shuto 1994). Sistem Informasi Geografis (SIG)
Analisis spasial yang ada di dalam SIG memungkinkan adanya pemodelan numerik
tsunami yaitu pemodelan genangan/inundasi tsunami berdasarkan nilai koefisein
permukaan (Berryman 2006).

ESRI (2001) spasial analisis menunjukkan perspektif lokasi dalam masing-masing lokasi
sel dan nilai diasosiasikan dengan identitas sel. Fungsi dengan sel raster dapat dilakukan
pemodelan, dengan perlakukan pada satu sel (fungsi lokal), sel dan tetangganya, sel dan
zonanya (fungsi zonal), dan perlakuan sel secara menyeluruh pada satu raster (fungsi
global). Fungsi yang digunakan untuk pemodelan genangan/inundasi tsunami adalah
fungsi cost-distance (Berryman 2006). Fungsi cost-distance menyediakan pemodelan
untuk membuat harga permukaan dan menghitung koridor optimum di permukaan
(ESRI 2006).

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Kejadian tsunami mengakibatkan kerentanan


sumberdaya alam di pesisir. Kejadian bencana tidak dapat dielak, kerentanan dapat
direduksi oleh perencanaan yang tepat (Sonak et al. 2008). Tingkat kompleksitas
masalah di wilayah pesisir menjadi perhatian khusus ICZM sebagai mekanisme
pemerintah untuk mengetahui berbagai jenis aspek aktivitas manusia dan
pengelolaannya. Pandangan World Bank terhadap ICZM sebagai pendekatan yang
interdisplin dan intersektoral (Xue et al. 2004).

Kerangka kerja pengelolaan ICZM digunakan untuk pesisir dan masalah-masalah


kelautan lingkungan dan konflik-konflik untuk memperoleh pemanfaatan kesesuaian
sumberdaya pesisir dalam pembangunan wilayah- wilayah. ICZM terdiri atas ekologi,
institusional dan dimensi sosial-ekonomi. Peningkatan kelangsungan kegiatan ICZM,
melalui beberapa faktor-faktor meliputi: 1. memerlukan hubungan manajemen untuk
meningkatkan kondisi biofisik, 2. pentingnya peraturan partisipasi stakeholder dalam
proses pengambilan keputusan, dan 3. kontribusi untuk pemulihan ekonomi dan mata
pencaharian (White et al. 2005).

Terdapat peningkatan sosial dan pemanfaatan lingkungan yang dilakukan oleh


masyarakat merupakan hal yang logis dalam pengelolaan pesisir secara berkelanjutan.
Hal ini merupakan faktor yang utama dalam pengelolaan pesisir (Christie et al. 2005).
Pencapaian tujuan Integrated Coastal Management (ICM) memerlukan gambaran yang
jelas dari kemajuan program yang disusun, kondisi lingkungan 34 34 10 dan pengaruh
faktor-faktor anthropogenik memberikan tantangan yang signifikant (Bowen dan Riley
2003). pengoperasian ICM melalui serangkaian tahapan dan aksi dalam proses kebijakan
harus tepat diperlukan dan pada tempat yang tepat (Olsen 2003).

Mitigasi Tsunami dengan Ekosistem Mangrove Tsunami dapat direduksi dengan


ekosistem mangrove dengan cara menanam sabuk hijau (green belt) (Coachard et al.
2008). Mangrove yang tumbuh pada substrat yang memiliki bagian dasarnya lempung
dapat mereduksi gelombang tsunami, disamping itu juga kepadatan vegetasi mangrove
tersebut yang terdiri dari batang, cabang dan akar, contoh mangrove spesies Kandelia
candel (Quartel 2007).

Faktor yang menentukan mangrove dapat mereduksi tsunami meliputi: lebar hutan,
kemiringan hutan, kerapatan pohon, diameter pohon, proporsi biomassa di atas
permukaan tanah yang terdapat di akar, tinggi pohon, tekstur tanah, lokasi hutan, tipe
vegetasi dataran rendah yang berdekatan dengan vegetasi mangrove, keberadaan
habitat tepi pantai (padang rumput padang lamun, terumbu karang, bukit), ukuran dan
kecepatan tsunami, jarak dari kejadian tektonik, dan sudut datang tsunami yang relatif
terhadap garis pantai (Alongi 2005).
Pengelolaan Wilayah Pesisir Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated
Coastal Zone Management/ICZM) merupakan suatu wawasan baru dengan cakupan
yang luas, sehingga bagi masyarakat masih menggangpan sebagai cabang ilmu yang
baru. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan (environmental
service) yang terdapat pada kawasan pesisir dilakukan dengan cara penilian menyeluruh
(compherehensive assessment) tentang kawasan pesisir serta sumberdaya alam serta
jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya kemudian menentukan tujuan dan sasaran
pemanfaatn. Selanjutnya, merencanakan dan mengelola berbagai kegiatan
pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.

Proses pengelolaannya dilakukan dengan kontinyu dan dinamis dengan


mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta tanpa melupakan aspirasi
masyarakat pengguna kawasan pesisir, konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan
kawasan pesisir yang tersedia (Bohari 2010). Menurut UU No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil. Wilayah Pesisir adalah daerah
peralihan antara ekosistem darat & laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat &
laut. Belum ada kesepakatan dunia tentang berapa jarak batas wilayah pantai ke laut
maupun ke darat, namun setiap negara memberikan batasan wilayah pesisir sesuai
tujuan pengelolaannya.

Batas wilayah pantai yang digunakan adalah batas administrasi daerah, batas wilayah
politik negara, bentuk fisik pantai, unit-unit ekologi (arbitrary). Dalam kesepakatan
nasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara darat dan laut,
mencakup daerah yang masih terkena percikan air laut/pasang surut, ke arah laut
meliputi daerah paparan benua. Dalam proyek perencanaan dan evaluasi sumberdaya
kelautan, batas wilayah pantai ke arah laut sesuai dengan peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) yang diterbitkan oleh Bakorsurtanal, sedang ke arah darat meliputi batas
administrasi seluruh desa pantai berdasarkan Departemen Dalam Negeri (Dahuri 2001).
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum
Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, ke arah laut 12 mil
dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut (kewenangan propinsi)
untuk kabupaten/Kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/Kota (Wiwik et
al. 2013).

Dalam keterkaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, terjadi kerusakan hutan


mangrove, abrasi dan akresi pantai, perubahan tataguna lahan di wilayah pesisir, intrusi
air laut, dan pencemaran air laut merupakan aspek penting penyebab menurunnya
produksi perikanan dan kegiatan perikanan lainnya. Degradasi lingkungan di kawasan
pesisir disebabkan oleh fenomena alam seperti abrasi dan akresi pantai, eksploitasi
sumberdaya marine yang berlebih-lebihan, konversi lahan mangrove menjadi tambak,
depresi air tanah tawar, dan tidak berkelanjutannya praktek pengelolaan lahan di daerah
hulu DAS (Yusvianty 2010). Pengembangan Kebijakan Wilayah Pesisir Indonesia memiliki
banyak kawasan pantai dan pesisir dengan potensi pembangunan yang sangat besar.

Akan tetapi, seringkali pengembangan kawasan pantai tersebut menimbulkan dampak


negatif bagi lingkungan. Pembangunan intensif yang tidak berkelanjutan banyak terjadi
di beberapa kawasan pantai KotaKota besar Indonesia. Menurut Dahuri et al. (2001),
kapasitas berkelanjutan dari banyak ekosistem pesisir telah terancam oleh pola
pembangunan yang tidak berkelanjutan (unsustainable development pattern) melalui
pencemaran, erosi, degradasi fisik habitat penting pesisir, eksploitasi berlebihan sumber
daya alam, serta konflik penggunaan ruang dan sumber daya. Akan tetapi, pola
pembangunan yang begitu merusak kualitas lingkungan belum berhasil
mensejahterakan sebagian penduduk setempat.

Bahkan ada kecenderungan bahwa industrialisasi yang terjadi di kawasan pantai selama
ini seringkali justru memiskinkan penduduk setempat, seperti yang terjadi di Aceh, Riau
dan Kalimantan Timur. Implementasi berbagai kebijakan dalam mengelola wilayah
pesisir selama ini mengalami kendala dikarenakan tidak adanya payung hukum, untuk
menjadikan landasan kebijakannya. Dalam menjawab permasalahan tersebut, maka
lahirlah UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. UU tersebut memiliki arti penting dan strategis bagi pembangunan wilayah pesisir
di Indonesia. Adapun implikasi dari lahirnya UU No.

27 Tahun 2007 yakni: Perubahan paradigma pembangunan dari berbasis sumberdaya


daratan ke sumberdaya kelautan. Perubahan kebijakan pengalokasian anggaran
pembangunan dengan memperhatikan param luas wilayah perairan laut. Perubahan
pendekatan pembangunan sesuai dengan karakteristik bio-geofisik wilayah P3K.
Obligasi bagi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk mitigasi bencana di
wilayah P3K. Membuat sepadan pantai, dan mengkonversi wilayah pesisir untuk :
perlindungan wilayah pesisir, pelestarian biodiversity, perlindungan manusia dari
bencana, pelestarian nilai-nilai sosial budaya pesisir.

Ada kebutuhan kapasitas di bidang pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated


coastal managment). Kesesuaian Lahan Permukiman Kesesuaian lahan merupakan
penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (FAO
2007). Analisis kesesuaian lahan pada dasarnya berhubungan dengan evaluasi untuk
penggunaan tertentu. Dalam prosesnya dapat ditinjau dari sifat biofisik lingkungan
seperti iklim, tanah, topografi, hidrologi atau drainase. Hasil evaluasi kesesuaian lahan
dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan penggunaan lahan, sehingga tanah
dapat digunakan secara optimal dan lestari.

Perbedaan mendasar antara kesesuaian lahan (land suitability) dan kemampuan lahan
(land capability) adalah, kemampuan lahan lebih menekankan pada potensi lahan untuk
penggunaan pertanian secara umum atau potensi lahan terhadap pilihan penggunaan
lahan. Semakin banyak jenis/pilihan penggunaan lahan, maka semakin tinggi
kemampuan lahannya. Sedangkan kesesuaian lahan menunjukkan kesesuaian dari
sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Widiatmaka et al. 2016). Kriteria kesesuaian
lahan permukiman berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 41/PRT/M/2007
adalah sebagai berikut: Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 -
25%); Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara
dengan jumlah yang cukup.

Untuk air PDAM suplai air antara 60 liter/org/hari - 100 liter/org/hari; Tidak berada pada
daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); Drainase baik sampai sedang;
Tidak berada pada wilayah sempadan Tidak berada pada kawasan lindung; Tidak
terletak pada kawasan budidaya pertanian/penyangga; Menghindari sawah irigasi
teknis. Daya dukung mencakup seberapa luas suatu lahan perairan tersebut dapat
memproduksi hasil perikanan dan seberapa banyak sumber daya manusia yang
memungkinkan dapat memanfaatkan lahan yang tersedia.

Apabila tingkat pemanfaatan dan daya dukung suatu perairan telah diketahui, maka
dapat dijadikan landasan dalam pengelolaan suatu perairan sehingga tingkat
pemanfaatan tidak melebihi daya dukung yang ada (Waluyo et al. 2016). Kerentanan
Fisik Noson (2000) mendefinisikan kerentanan sebagai kondisi spesifik atau karakteristik
yang mengakibatkan meningkatnya kerusakan, kerugian dan kehilangan akibat suatu
bencana tergantung pada karakteristik seperti jenis material konstruksi, demografi dan
letak geografis. Sulanjutnya, kerentanan fisik didefinisikan sebagai sifat struktur fisik
yang menentukan potensi kerusakan terhadap bencana (jenis material dan kualitas
bangunan) (Ebert et al. 2009).

Kerentanan memiliki sisi ekternal dan internal (Birkmann 2006). Sisi internal adalah
coping yang dapat diartikan kemampuan untuk mengantisipasi, menanggulangi dengan
cara bertahan dan memperbaiki akibat dari bencana; berbeda dengan sisi eksternal
termasuk exposure yang berhadapan dengan risiko dan gangguan. Konsep kerentanan
didefinisikan sebagai tingkat yang menerangkan sebuah sistem (dalam konteks ini
sistem pesisir dan pulau-pulau kecil) mengalami bencana disebabkan karena pesisir dan
pulau-pulau kecil berada di wilayah terpapar (exsposure) sehingga mudah terkena
tekanan dan gangguan (Adrianto 2007).
Kawasan Rawan Bencana dan Mitigasi Bencana Pulau Sulawesi Kawasan rawan bencana
adalah suatu wilayah yang memiliki kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi yang
untuk jangka waktu tertentu tidak dapat atau tidak mampu mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, sehingga mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak
buruk bahaya tertentu. Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang secara
keseluruhan haruslah merupakan upaya intervensi terhadap kerentanan wilayah dan
meningkatkan kondisi ketahanan ruang wilayah terhadap kemungkinan adanya bahaya
yang terjadi.

Mitigasi merupakan titik tolak utama dari manajemen penanggulangan bencana.


Dengan mitigasi dilakukan usaha-usaha untuk menurunkan dan/atau meringankan
dampak/korban yang disebabkan oleh suatu bencana pada jiwa manusia, harta benda,
dan lingkungan. Mitigasi juga merupakan tindakan pencegahan bencana. Pencegahan
bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan risiko bencana,baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentananpihak yang terancam bencana. Identifikasi kawasan rawan bencana
merupakan salah satu kegiatan dalam mitigasi bencana.

Karena dalam kegiatan identifikasi kawasan rawan bencana dilakukan : Identifikasi


sumber bencana dan memetakannya, terutama di wilayah dan/atau kawasanyang sudah
menunjukan ciri-ciri perKotaan dan/atau terbangun. Mengklasifikasikan kawasan-
kawasan yang berpeluang terkena bencana berdasarkan jenis dan tingkat besar/kecilnya
ancaman bencana dan dampak bencana yang ditimbulkan (tipologi bahaya).
Menginformasikan tingkat kerentanan wilayah terhadap masing-masing tipologi
bahaya. 3 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan
pantai Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.

Penelitian direncanakan selama 5 bulan, dari bulan Januari 2019 hingga Mei 2019.
Penelitian Lapangan direncanakan pada bulan Maret hingga Mei 2019. / Gambar 2.
Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan
berasal dari berbagai sumber antara lain Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palu, Badan
Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kota Palu, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan
instansi lain yang terkait.

Data yang digunakan adalah data primer hasil proses observasi langsung di lapangan,
wawancara langsung dengan pakar dan pengisian kuisioner oleh respoden terpilih di
lokasi penelitian, sedangkan data sekunder yang terdiri dari data kependudukan Kota
Palu, data PDRB Kota Palu, RTRW Kota Palu, RZWP3K Kota Palu, RDTR Kota Palu, data
Podes, data kondisi biofisik wilayah seperti; peta administrasi, peta penggunaan lahan,
peta tanah, peta geologi, kesesuaian lahan, dan luas lahan wilayah. Jenis data menurut
tujuan, teknik analisis dan keluaran (output) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1.

Matrik Hubungan Antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran
yang Diharapkan No Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Output/Keluaran 1
Mengidentifikasi kondisi eksisting kawasan pesisir Teluk Palu pasca tsunami. Citra
Quickbird Peta Administrasi BIG (Badan Informasi Geospasial) LAPAN Analisis Spasial
Peta Kondisi Eksisting Kawasan Pesisir Kota Palu 2 Menganalisis risiko bencana
berdasarkan tingkat kerentanan dan kesesuaian lahan kawasan pesisir Teluk Palu.

Peta klimatologi, topografi, geologi , hidrologi, penggunaan lahan ,pola ruang, tekstur
tanah, kedalaman efektif , tingkat bahaya Tsunami dan drainase RTRW Kota Palu
RZWP3K Kota Palu BPS Kota Palu BAPPEDA Kota Palu Overlay Table Matching Limiting
Factor
MCE ( Multy Criteria Evaluation ) Peta Kemampuan Lahan Peta Kesesuaian Lahan Peta
Kerentanan 3. Menentukan adaptasi kawasan pesisir Teluk Palu terhadap bencana
tsunami berdasarkan kesesuaian Lahan Peta Hazard, Peta Kerentanan, Capacity Hasil
Analisis Tabulasi Silang Sistem Matriks Peta Risiko Bencana kawasan pesisir Kota Palu
Jenis dan Sumber Data Data fisik air dan tanah diperoleh melalui observasi dan
pengukuran di lapangan secara area purposive sampling. Data fisik yang telah diperoleh
dianalisis di laboratorium.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode skoring dengan pembobotan
pada setiap faktor penghambat yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove.
Parameter yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove antara lain, salinitas air,
salinitas tanah, tekstur tanah, pH, bentuklahan, dan tutupan lahan yang terlihat pada
Tabel 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Tabel 2. Skor Tutupan Lahan No Tutupan Lahan Nilai Bobot
1 Lahan Kosong (di sekitar Pesisir) 5 2 2 Vegetasi Pantai 5 2 3 Mangrove 5 2 4 Tambak
3 2 5 Tegalan 1 2 6 Kebun campuran 1 2 7 Permukiman 1 2 Sumber: Hartono, 1995
dalam Gustiar 2016 (dengan modifikasi) Tabel 3.

Skor Bentuk Lahan No Bentuk Lahan Nilai Bobot 1 Dataran Delta 5 3 2 Rataan Lumpur
5 3 3 Rawa Payau 5 3 4 Dataran Alluvial Pantai 3 3 5 Rawa Belakang 3 3 6 Dataran
Alluvial 1 3 7 Dataran Banjir 1 3 8 Gisik 1 3 9 Tanggul Alam 1 3 10 Beting Gisik 1 3
Sumber: Hartono, 1995 dalam Gustiar 2016 (dengan modifikasi) Tabel 4. Skor Tekstur
Tanah No Tekstur Nilai Bobot 1 Lempung 5 2 2 Lempung Berdebu 5 2 3 Lempung
Berpasir 5 2 4 Geluh Berlempung 3 2 5 Geluh Berdebu 1 2 6 Geluh 1 2 7 Pasir Halus 1
2 8 Pasir 1 2 Sumber: Hartono, 1995 dalam Gustiar 2016 (dengan modifikasi) Tabel 5.
Skor Salinitas Air No Salinitas (%) Nilai Bobot 1 <15 1 3 2 15- 25 3 3 3 25-30 5 3 4 30-
40 3 3 5 >40 1 3 Sumber: Poedirahajoe, 1998 Tabel 6.
Skor Salinitas Tanah No Salinitas (%) Nilai Bobot 1 0,61-0,80 1 2 2 0,41-0,60 3 2 3 0,21-
0,40 5 2 4 0,01-0,20 3 2 5 <0,01 1 2 Sumber: Wiradinata, 1992 (dengan modifikasi)
Tabel 7. Skor pH Air No pH Air Nilai Bobot 1 < 6,5 1 1 2 6,5-7 3 1 3 7 – 8,5 5 1 4 8,5-
9,5 3 1 5 >9,5 1 1 Sumber: Kepmen No.51/MENKLH/2004 (dalam Zaky,A et Al 2012)
Tabel 8. Skor Gelombang No Gelombang (m) Nilai Bobot 1 <0,5 5 2 2 0,5-1 3 2 3 >1 1
2 Sumber: DKP, 2018 Tabel 9.

Skor Arus No Arus (cm/d) Nilai Bobot 1 <1 5 1 2 1-9 3 1 3 >10 1 1 Sumber: DKP, 2018
ANALISIS DATA Analisis Spasial Analisis citra dilakukan dengan interpretasi visual.
Identifikasi obyek adalah bagian pokok dalam interpretasi citra yang mendasar pada
karakteristik citra. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra digunakan untuk
mengenali obyek yang disebut interpretasi citra (Sutanto 1986). Terdapat delapan unsur
interpretasi, antara lain: Rona. Tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Rona
dapat pula diartikan sebagai tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Bentuk.
Konfigurasi atau kerangka suatu obyek, Ukuran.

Suatu obyek meliputi dimensi jarak, luas, tinggi, dan volume, Tekstur. Frekuensi
perubahan rona pada citra fotografi. Tekstur adalah gabungan dari bentuk, ukuran, pola,
bayangan, dan rona, Pola. Hubungan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum
tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah dan akan
memberikan suatu pola yang dapat membantu interpreter untuk mengenali obyek
tertentu, Bayangan. Obyek tidak tembus cahaya terpresentasikan sebagai suatu daerah
yang tidak terkena sinar secara langsung yang disebut sebagai bayangan. Bayangan
bersifat menyembunyikan obyek yang terdapat di daerah bayangan, Situs.

Lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek lain, yang dapat berguna untuk
membantu pengenalan suatu obyek, Asosiasi. Keterkaitan antara obyek satu dengan
obyek yang lain. Berdasarkan hasil interpretasi yang dilakukan, beberapa penggunan
lahan yang mendominasi pada lokasi penelitian adalah penggunaan lahan yang dikaji
dalam penelitian ini. Penggunaan lahan tersebut antara lain tambak, mangrove,
permukiman, sawah, ladang/tegalan, dan perairan pesisir (Laut 4 mil). Hasil yang
diperoleh dari analisis citra adalah peta penggunaan lahan pada Tahun 2018 Kawasan
Pesisir Kota Palu.

Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Teluk Palu. Data primer yang diperlukan dalam
penelitian ini, antara lain suhu air, salinitas tanah, salinitas air, tekstur tanah,
bentuklahan, penggunaan lahan, dan pH air. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi
peta citra di kawasan pesisir Teluk Palu, peta geologi skala 1:100.000, peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI) skala 1:25.000. Analisis Kerentanan Analisis kerentanan menggambarkan
aset-aset yang terekspose oleh bencana termasuk kehidupan manusia kerentanan sosial,
wilayah ekonomi, struktur fisik dan wilayah ekologi.

Indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk menjabarkan analisis kerentanan
dapat dihitung kependudukan, ekonomi, dan fisik lingkungan. Analisis kerentanan
kemudian dibagi kedalam tiga kelas, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Menurut
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No 2 Tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, analisis mengenai kerentanan terbagi
menjadi 4 unsur pembahasan, yaitu: Kerentanan Sosial = (0,6* kepadatan penduduk) +
(0,1* rasio jenis kelamin) + (0,1* rasio kemiskinan) + (0,1* rasio orang cacat) + (0,1* rasio
kelompok umur) Kerentanan Ekonomi = (0,6 * skor lahan produktif) + (0,4 skor PDRB)
Kerentanan Fisik = (0,4*Skor Rumah) + (0,3*Skor Fasilitas Umum) + (0,3*Skor Fasilitas
Kritis) Kerentanan Lingkungan = (0,1*Skor Hutan Lindung) + (0,3*Skor Hutan Alam)
+(0,4*Skor Hutan Mangrove) +(0,1* Skor semak belukar) + (0,1* Skor rawa) Indeks
Kerentanan Kerentanan ancaman gelombang dan abrasi = (0,4*Skor kerentanan sosial)
+ (0,25*skor kerentanan ekonomi) + (0,25*skor kerentanan fisik) + (0,1*skor kerentanan
lingkungan) Analisis Kesesuaian Lahan Mangrove Kelas kesesuaian lahan untuk
mangrove dihitung dengan mengalikan nilai parameter (salinitas air, salinitas tanah,
tekstur tanah, penggunaan lahan, bentuklahan, dan pH) masing-masing bobot dengan
perhitungan rumus sebagai berikut. Y= S ai.

Xn Keterangan: Y= Nilai akhir ai = Faktor Pembobot Xn = Nilai Tingkat Kesesuaian


Klasifikasi kesesuaian lahan mangrove dapat diketahui dengan perhitungan interval
kelas kesesuaian lahan untuk mangrove. Perhitungan interval kelas dilakukan dengan
metode Equal Interval (Prahasta, 2002 dalam Eka, 2018). Perhitungannya sebagai beri??
Keterangan: I = Interval Kelas Kesesuaian Lahan K=Jumlah Kelas Kesesuaian Lahan yang
diinginkan Klasifikasi kesesuaian lahan mangrove dapat dibagi menjadi empat kriteria,
antara lain: S1 (Sangat Sesuai), S2 (Cukup Sesuai), S3 (Sesuai Bersyarat) dan N (Tidak
Sesuai). Pembobotan yang telah dilakukan akan menghasilkan peta kesesuaian lahan
mangrove.

Peta kesesuaian lahan mangrove yang telah dihasilkan dapat digunakan untuk
mengetahui kawasan potensial untuk pengembangan ekosistem mangrove di wilayah
pesisir Teluk Palu. Diagram alir penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada
Gambar 2. Analisis Kelembagaan Analisis kelembagaan yang dilakukan menggunakan
pengembangan model kelembagaan pengelolaan Teluk dengan menggunakan metoda
ISM yang dikembangkan oleh Saxena et al. (1992). Langkah-langkah ISM adalah sebagai
berikut (Kanungo and Batnagar, 2002 dalam Eriyatno and Sofyar, 2007) terdiri dari :
Identification of Element: elemen sistem diidentifikasi dan di daftar, Contextual
Relationship: sebuah hubungan kontekstual antara elemen dibangun tergantung pada
tujuan dari pemodelan, Structural Self Interaction Matrix (SSIM): matriks ini mewakili
elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju, Reachability Matrix
(RM): Sebuah RM yang disiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam
sebuah matriks biner, Level Partitioning: seluruh elemen sistem dikelompokkan ke
dalam level-level yang berbeda, Canonical Matrix: pengelompokkan elemen-elemen
dalam level yang sama, Digraph: konsep yang berasal dari Directional Graph yaitu
sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level
hierarki,dan Interpretative Structural Model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual.

Matriks Interaksi Tunggal terstruktur Structural Self Interaction Matrix (SSIM) mewakili
elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju. Empat simbol yang
digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang
dipertimbangkan adalah : V, A, X dan O. V = hubungan dari elemen Ei terhadap Ej , tidak
sebaliknya A = hubungan dari elemen Ej terhadap Ei , tidak sebaliknya X = hubungan
interrasi antara Ei dan Ej , dapat sebaliknya O = tidak ada hubungan antara Ei dan Ej .

Adapun aturan-aturan konversi berikut menerapkan:. Adapun aturan-aturan konversi


berikut menerapkan: Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1
dan Eji = 0 dalam RM; Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij =
0 dan Eji = 1 dalam RM; Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM, maka elemen Eij
= 1 dan Eji = 1 dalam RM; dan Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM, maka
elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM.

INTERNET SOURCES:
-------------------------------------------------------------------------------------------
<1% - http://digilib.uinsby.ac.id/1954/2/Bab%201.pdf
1% - http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/download/911/883
<1% - http://jurnaltunasagraria.stpn.ac.id/JTA/article/view/41/60
<1% - https://www.amalmadani.com/blog-2/
1% - https://www.scribd.com/document/379285988/MAKALAH-BENCANA
<1% - https://zonasultra.com/sejarah-gempa-di-tanah-tadulako.html
2% - https://www.scribd.com/document/379285852/BAB-I-tsunami-palu
<1% - http://www.jrisetgeotam.com/index.php/jrisgeotam/article/download/48/pdf_66
1% - https://jurnal.uns.ac.id/GeoEco/article/download/19180/15204
<1% - https://id.123dok.com/document/4zpm44oz-analisis-genangan-banjir-pasang-
pesisir-jakarta-menggunakan-satelit.html
2% - https://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt/article/view/21600/16653
<1% - https://text-id.123dok.com/document/nzwxkg0y-analisis-ekonomi-dan-
kebijakan-pengelolaan-ekosistem-mangrove-berkelanjutan-di-desa-pabean-udik-
kabupaten-indramayu.html
<1% - https://id.123dok.com/document/myj8lgmq-pembangunan-aplikasi-e-
commerce-pada-dq-boutique.html
<1% - https://isty-mallewai.blogspot.com/
<1% - https://pt.scribd.com/document/244338255/Profil-Kesehatan-Indonesia-2013
<1% - https://makassar.terkini.id/warga-makassar-butuh-114-ribu-rumah-baru/
<1% - https://issuu.com/waspada/docs/waspada_jumat_2_oktober_2009
<1% - https://imeinars.blogspot.com/2011/02/penanggulangan-bencana-sebelum-saat-
dan.html
<1% - https://didiarpindi.wordpress.com/2015/03/11/pendekatan-sosiologi-perikanan-
lampung-selatan/
<1% - https://pwk012.blogspot.com/2015/
<1% - https://msp0960galinpardede.blogspot.com/
<1% - http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/58614/Chapter
%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y
<1% -
http://administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jap/article/viewFile/96/84
<1% - http://balithutmakassar.org/wp-content/uploads/2014/11/02-
Nyamplung_Andry.pdf
1% - https://id.scribd.com/doc/303875745/Pemberdayaan-Masyarakat-Pesisir-Melalui-
Pengembangan-Wisata-Bahari
1% - https://pepenm87.blogspot.com/2013/
1% - https://pepenm87.blogspot.com/2013/06/
2% - https://luk.staff.ugm.ac.id/artikel/gempa/Palu/RisnaWidyaningrumPaper2012.pdf
<1% - https://www.mukroni.com/2011/04/tsunami-sebuah-ancaman-bencana.html
<1% - https://arasy.wordpress.com/2009/04/11/aplikasi-sig-dalam-mitigasi-tsunami/
2% - http://jppipa.unram.ac.id/index.php/jpmpi/article/download/242/147
<1% - https://kependudukan.lipi.go.id/en/population-study/human-ecology/393-
perkembangan-kebijakan-kelautan-dan-perikanan-di-indonesia
<1% - http://ojs.uma.ac.id/index.php/jppuma/article/download/918/932
<1% - https://www.slideshare.net/HelvyEffendi/potensi-wilayah-pesisir-untuk-
pengembangan-dan-kearifan-lokal
1% - https://id.scribd.com/doc/289172727/1226-1918-1-SM-pdf
<1% - https://www.slideshare.net/alamin52643/konsep-dan-defenisi-pengelolaan-
wilayah-pesisir
<1% - http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/jkn/article/view/6275
<1% -
https://www.kompasiana.com/nawawimnoer/5ab89b56dd0fa868be7e2612/sosial-
ekonomi-masyarakat-pesisir
<1% - https://zarifah91.blogspot.com/2013/05/masyarakat-pesisir.html
1% - https://123dok.com/document/yevn0e4z-perencanaan-pembangunan-
berkelanjutan-wilayah-pesisir-kabupaten-pesisir-selatan.html
<1% - http://jdih.kkp.go.id/bahanrapat/bahanrapat_02052020130351.pdf
<1% - https://id.123dok.com/document/oy88xr0y-analisis-perencanaan-pembangunan-
perikanan-budidaya-berkelanjutan-wilayah-provinsi.html
1% - https://text-id.123dok.com/document/oy88on4y-pengembangan-dan-rencana-
pengelolaan-lanskap-pantai-kota-makassar-sebagai-waterfront-city.html
<1% - https://omtanah.com/2013/09/30/hak-pengusahaan-perairan-pesisir-hp-3/
1% - https://issuu.com/malutpost/docs/malut_post__16_juni_2015/16
<1% - http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl/article/download/10957/8442
<1% - https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-
litbang/index.php/JPED/article/download/2124/1844
<1% - http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/43466/Chapter
%20II.pdf;sequence=4
<1% - https://id.scribd.com/doc/223103143/Bahan-Tayangan-Pedoman-Kriteria-Teknis-
Kawasan-Budi-Daya
<1% - https://www.slideshare.net/GitaSaraswati/tinjauan-literatur-skripsi-penyusunan-
peraturan-zonas
<1% - https://samsirzainuddin.blogspot.com/2018/01/
<1% - http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt/article/view/21600/16653
<1% - https://www.scribd.com/document/367806385/Tugas-Hukum-Lingkungan
4% - http://sulutiptek.com/documents/kawasanrawanbencana.pdf
<1% - https://idoc.pub/documents/profil-kesehatan-indonesia-2012pdf-vlr0ymqo1wlz
<1% - http://repository.utu.ac.id/725/1/I-V.pdf
<1% - https://id.123dok.com/document/lzgkg88y-analisis-multikriteria-spasial-
penentuan-ketersediaan-lahan-kabupaten-cianjur.html
4% - http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/download/1045/6565656640
<1% - https://remotesensing1a.blogspot.com/2009/12/definisi-remote-sensing.html
<1% - https://allchitra.blogspot.com/2015/10/perbedaan-interpretasi-citra-manual-
dan.html
<1% - https://text-id.123dok.com/document/9yn242ly-analisis-land-rent-sawah-irigasi-
dan-lahan-terbangun-di-kecamatan-depok-kabupaten-sleman.html
<1% - https://pewedhi.wordpress.com/2017/03/04/interpretasi-citra/
<1% - https://bhianrangga.files.wordpress.com/2013/12/makalah-interpretasi-citra-
ikonos-kawasan-pesisir-pantai-selatan-pulau-jawa.pdf
<1% -
https://www.researchgate.net/publication/323123945_ANALISIS_MULTI_TEMPORAL_CIT
RA_SATELIT_LANDSAT_UNTUKPEMANTAUAN_CADANGAN_KARBON_NASIONAL
<1% - https://www.bappenas.go.id/files/3413/5071/6654/matrriks-ekonomi-
seluruhnya__20090202214831__1762__1.doc
<1% - https://id.123dok.com/document/wye53w1y-modal-sosial-strategi-koping-
ekonomi-dan-kesejahteraan-objektif-keluarga-dengan-perempuan-sebagai-kepala-
keluarga.html
<1% - https://123dok.com/document/nq789woz-analisis-risiko-arahan-mitigasi-
longsor-kabupaten-provinsi-sumatera.html
<1% - http://jurnal.unsyiah.ac.id/JTS/article/download/10058/7932
<1% - https://www.yumpu.com/id/document/view/16139191/terumbu-karang-teluk-
lampung-ok
4% - http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/sosek/article/download/1216/1113
1% -
https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/beningjournal/article/download/1457/1100

Anda mungkin juga menyukai