Paper Haemonchosis Bab I - Ringkasan
Paper Haemonchosis Bab I - Ringkasan
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta telah memberikan keluasan waktu
dan kesehatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah “Ilmu Penyakit Parasiter Veteriner”
dengan judul “Haemonchosis pada Sapi”.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada banyak pihak yang dengan tulus
memberi bantuan dengan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan
baik dan rapi. Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan
para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Sampul...................................................................................................i
Ringkasan.............................................................................................................ii
Kata Pengantar.....................................................................................................iii
Daftar Isi...............................................................................................................iv
Daftar Gambar.......................................................................................................v
Daftar lampiran.....................................................................................................vi
BAB I Pendahuluan ..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan....................................................................................2
BAB II Tinjauan Pustaka.......................................................................................3
2.1 Etiologi.....................................................................................................3
2.2 Morfologi.................................................................................................4
2.3 Defisiensi Mineral....................................................................................4
2.4 Defisiensi Vitamin...................................................................................6
BAB III Penutup......................................................................................................
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................
3.2 Saran..........................................................................................................
Daftar Pustaka.........................................................................................................
Lampiran Jurnal.......................................................................................................
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Scours pada Babi..........................................................................................9
Gambar 2. Feses pada Babi yang Mengalami Scours..................................................11
Gambar 3. Babi yang Mengalami Anemia...................................................................12
Gambar 4. Babi Kelelahan Akibat Anemia.................................................................13
Gambar 5. Agalactia pada Induk Babi.........................................................................15
Gambar 6. Rakhitis pada Babi ....................................................................................18
Gambar 7. Persimpangan kostokondral melebar, rosario rachitic, dengan tulang
rawan pertumbuhan tidak teratur dan memanjang (panah)..........................................19
Gambar 8. Fraktur rusuk distal multipel dengan pembentukan kalus (panah).............20
Gambar 9. Jantung pada Babi yang Mengalami MHD ..............................................21
Gambar 10. Miokardium dari Babi Mengalami MHD 22
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Scours pada Babi..........................................................................................9
Gambar 2. Feses pada Babi yang Mengalami Scours..................................................11
Gambar 3. Babi yang Mengalami Anemia...................................................................12
Gambar 4. Babi Kelelahan Akibat Anemia.................................................................13
Gambar 5. Agalactia pada Induk Babi.........................................................................15
Gambar 6. Rakhitis pada Babi ....................................................................................18
Gambar 7. Persimpangan kostokondral melebar, rosario rachitic, dengan tulang
rawan pertumbuhan tidak teratur dan memanjang (panah)..........................................19
Gambar 8. Fraktur rusuk distal multipel dengan pembentukan kalus (panah).............20
Gambar 9. Jantung pada Babi yang Mengalami MHD ..............................................21
Gambar 10. Miokardium dari Babi Mengalami MHD 22
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
apabila sapi terkena infeksi, gejala klinis yang dialami dan epidemiologinya.
Hingga dapat dilakukan diagnosa dan penanganan dan pengobatannya secara
tepat.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Haemonchus merupakan genus nematoda yang paling penting pada
domba, kambing dan sapi. Cacing ini hidup di abomasum domba, kambing,
sapi dan ruminansia lain. Berdasarkan habitat dan bentuknya sering di sebut
cacing lambung berpilin atau cacing kawat pada ruminansia. Klasifikasi cacing
Haemonchus sp. menurut Soulsby adalah sebagai berikut:
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Haemonchus
Species : Haemonchus contortus
Haemonchus placei
Haemonchus similis
Haemonchus longisitipes
2.2 Morfologi
Ujung anterior cacing berdiameter kurang dari 50 μm, dengan bukal
kapsul yang kecil berisi gigi yang ramping atau lanset di dasarnya. Terdapat
papilla servikal yang jelas menyerupai bentuk duri.
8
Cacing betina mempunyai ukuran panjang antara 18–20 mm dan
berdiameter 0,5 mm dengan warna spesifik yaitu berselang seling merah putih
seperti spiral. Uterus yang putih membelit secara spiral mengelilingi usus yang
berwarna merah.
Pada bagian posterior terdapat vulva yang tertutup oleh cuping vulva
di bagian depannya, yang terbentuk sebagai suatu tonjolan yang besar dan
panjang. Kadang-kadang cuping vulva tampak berbentuk seperti bungkul yang
kecil.
9
Gambar 4. Bursa kopulatrks Hemonchus contortus
pada jantan dewasa
10
10.000 butir setiap hari. Telur Haemonchus memiliki bentuk oval, selnya
berwarna kekuningan, mempunyai tiga lapisan di kulit luar dengan bentuk telur
sama panjang, serta mempunyai sel embrionik yang hampir menutupi seluruh
rongga telur
11
Perkembangan larva–larva ini dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan
yaitu temperatur, iklim dan kelembaban. Larva infektif lebih tahan terhadap
kekeringan dan udara dingin dibanding dengan larva stadium pertama dan
kedua karena selubung kutikula yang terdapat pada stadium kedua tidak
dilepaskan sehingga larva stadium ketiga mempunyai dua selubung. Larva
infektif tidak memperoleh makanan tetapi dapat hidup dari persediaan
makanan yang disimpan dalam sel–sel intestin.
Larva infektif bergerak aktif (mempunyai ekor) dan memanjat
rerumputan pada pagi hari dan malam hari. Penyebaran penyakit terjadi secara
langsung melalui rumput yang terkontaminasi larva infektif. Pada musim
penghujan penyebarannya cepat, oleh karena fluktuasi jumlah telur nematoda
pada kotoran cenderung di pengaruhi oleh fluktuasi curah hujan dengan titik
tertinggi pada musim hujan dan terendah pada musim kemarau.
2.4 Epidemiologi
Distribusi Haemonchus sp. terpencar di seluruh dunia (kosmopolitan),
namun lebih banyak dijumpai di daerah savanna tropis dan sub tropis yang
lembab dengan temperatur hangat (Olsen, 1967; Ristic, 1981; Urquhart, 1994)
dikutip oleh Subekti dkk (2001). Menurut Amin dan Nasution (1984) yang
dikutip oleh Subekti dkk (2001) menyatakan kejadian haemonchosis pada
ruminansia kecil di kabupaten Aceh besar sebesar 45 % dari semua tingkatan
umur penderita dengan derajat infeksi ringan. Menurut Suhardono (1995) yang
dikutip oleh Kusumaningsih (1997) pada sapi-sapi perah di Garut, Jawa Barat,
juga dijumpai cacing Haemonchus sp dan dengan persentase tertinggi pertama
di Provinsi Lampung
2.5 Patogenesis
Haemonchus adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap ekor
per hari menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia.
Anemia berlangsung melalui 3 tahap, yaitu tahap I, 3 minggu setelah infeksi
ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar, hal ini merupakan tahap
akut, tahap II, antara 3 – 8 minggu setelah infeksi, kehilangan darah dan zat
12
besi ternak berlangsung terus tetapi masih diimbangi oleh kegiatan eritropoetik,
dan tahap III, terjadi kelelahan sitem eritropoetik yang disebabkan oleh
kekurangan besi dan protein, dan hal ini merupakan tahap kronis.
13
2.7 Penanganan
2.7.1 Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan
menggembalakan ternak terlalu pagi, pemotongan rumput
sebaiknya dilakukan siang hari, pengobatan secara teratur dan
mengurangi pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum.
2.7.2 Pengobatan
Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok
benzilmidazole, yaitu :
a. Albendazole dengan dosis 5 – 10 mg/kg berat badan.
b. Mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan.
c. Thiabendazole dengan dosis 44 – 46 mg/kg berat badan.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Haemonchosis pada sapi disebabkan oleh cacing Nematoda
dari genus Haemonchus sp. Cacing ini berpredileksi di abomasum hewan
ruminansia seperti sapi, kambing, domba. Haemonchus adalah cacing
penghisap darah yang rakus, setiap ekor per hari menghabiskan 0,049 ml darah,
sehingga menyebabkan anemia. Anemia itu disertai dengan hipoproteinemia
dan udema di bawah mandibula (bottle jaw) atau bisa juga pada sisi ventral
dari dada dan abdomen. Haemonchosis kronis disebabkan oleh infeksi
berkepanjangan dengan jumlah parasit yang sedikit (100-1000 ekor).
Morbiditas dapat mencapai 100 % tapi angka kematiannya rendah. Untuk
penanganan parasit ini dapat dilakukan dengan pencegahan baik itu menjaga
sanitasi dan dengan pengobatan benzilmidazole.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan pada materi ini. Oleh karena itu, diperlukan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kelengkapan makalah ini. Sehingga di
masa yang akan datang makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk
belajar dan memahami Ilmu Penyakit Parasiter Veteriner.
15
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, P., Santosa, P.E., dan Siswanto. 2015. Tingkat Infestasi Cacing
Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung ( Infestation Rate of The Digestive Fluke on
Bali Cattle in Sukoharjo Sub-district Pringsewu District Lampung Province ).
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(3): 127-133.
16