Anda di halaman 1dari 16

RINGKASAN

Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Nematoda atau


cacing gilig. Cacing ini menyerang saluran pencernaan (gastro intestinalis) hewan
ruminansia seperti sapi, domba, dan kambing. Cacing ini menghisap sari-sari
makanan yang dibutuhkan oleh induk semang, menghisap darah atau cairan tubuh,
bahkan sampai merusak jaringan tubuh. Cacing ini dapat menyebabkan
penyumbatan pencernaan hingga menimbulkan penyakit dan berbagai macam
reaksi pada tubuh hewan ruminansia. Salah satu cacing nematode yang menyerang
hewan ruminansia seperti sapi adalah Haemonchus.

Taksonomi Haemonchus merupakan genus nematoda yang paling penting


pada hewan ruminansia seperti domba, kambing dan sapi. Cacing ini hidup pada
abomasum domba, kambing, sapi dan ruminansia lain. Berdasarkan habitat dan
bentuknya sering di sebut cacing lambung berpilin atau cacing kawat pada
ruminansia (Levine, 1990). Cacing ini sangat merugikan hewan ruminansia
karena Haemonchus merupakan cacing penghisap darah yang sangat rakus,
sehingga per hari dapat menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga hewan terkena
gejala anemia. Anemia berlangsung melalui 3 tahap, yaitu tahap I, 3 minggu
setelah infeksi ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar, hal ini
merupakan tahap akut, tahap II, antara 3-8 minggu setelah infeksi, kehilangan
darah dan zat besi ternak berlangsung terus tetapi masih diimbangi oleh kegiatan
eritropoetik, dan tahap III, terjadi kelelahan sistem eritropoetik yang disebabkan
oleh kekurangan besi dan protein, dan hal ini merupakan tahap kronis.

Gejala klinis yang ditemukan paling utama dari infeksi Haemonchus


adalah anemia. Kemudian dilanjuti dengan kehilangan darah dan kerusakan pada
sistem pencernaan terutama pada bagian usus. Kemudian hewan terdapat busung
di bawah rahang, terkena diare, dan bahkan hewan sudah terlanjur mati sebelum
gejala diare tersebut muncul. Gejala lain yang cukup terlihat adalah penurunan
berat badan yang drastis dan penurunan produksi susu hewan. Cara mencegah
penyakit ini adalah dengan cara memberikan pengobatan secara teratur,
mengurangi pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum, tidak
mengembalakan ternak terlalu pagi dan pemotongan rumput di siang hari.

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta telah memberikan keluasan waktu
dan kesehatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah “Ilmu Penyakit Parasiter Veteriner”
dengan judul “Haemonchosis pada Sapi”.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada banyak pihak yang dengan tulus
memberi bantuan dengan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan
baik dan rapi. Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan
para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.

Denpasar, 22 Februari 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman Sampul...................................................................................................i
Ringkasan.............................................................................................................ii
Kata Pengantar.....................................................................................................iii
Daftar Isi...............................................................................................................iv
Daftar Gambar.......................................................................................................v
Daftar lampiran.....................................................................................................vi
BAB I Pendahuluan ..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan....................................................................................2
BAB II Tinjauan Pustaka.......................................................................................3
2.1 Etiologi.....................................................................................................3
2.2 Morfologi.................................................................................................4
2.3 Defisiensi Mineral....................................................................................4
2.4 Defisiensi Vitamin...................................................................................6
BAB III Penutup......................................................................................................
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................
3.2 Saran..........................................................................................................
Daftar Pustaka.........................................................................................................
Lampiran Jurnal.......................................................................................................

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Scours pada Babi..........................................................................................9
Gambar 2. Feses pada Babi yang Mengalami Scours..................................................11
Gambar 3. Babi yang Mengalami Anemia...................................................................12
Gambar 4. Babi Kelelahan Akibat Anemia.................................................................13
Gambar 5. Agalactia pada Induk Babi.........................................................................15
Gambar 6. Rakhitis pada Babi ....................................................................................18
Gambar 7. Persimpangan kostokondral melebar, rosario rachitic, dengan tulang
rawan pertumbuhan tidak teratur dan memanjang (panah)..........................................19
Gambar 8. Fraktur rusuk distal multipel dengan pembentukan kalus (panah).............20
Gambar 9. Jantung pada Babi yang Mengalami MHD ..............................................21
Gambar 10. Miokardium dari Babi Mengalami MHD 22

4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Scours pada Babi..........................................................................................9
Gambar 2. Feses pada Babi yang Mengalami Scours..................................................11
Gambar 3. Babi yang Mengalami Anemia...................................................................12
Gambar 4. Babi Kelelahan Akibat Anemia.................................................................13
Gambar 5. Agalactia pada Induk Babi.........................................................................15
Gambar 6. Rakhitis pada Babi ....................................................................................18
Gambar 7. Persimpangan kostokondral melebar, rosario rachitic, dengan tulang
rawan pertumbuhan tidak teratur dan memanjang (panah)..........................................19
Gambar 8. Fraktur rusuk distal multipel dengan pembentukan kalus (panah).............20
Gambar 9. Jantung pada Babi yang Mengalami MHD ..............................................21
Gambar 10. Miokardium dari Babi Mengalami MHD 22

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia memiliki iklim tropis yang sangat cocok untuk
beternak sapi. Usaha peternakan sapi di Indonesia bisa dibilang sangat
menjanjikan untuk dijalankan. Disebabkan keperluan masyarakat Indonesia
terhadap daging sapi sangat tinggi. Beternak sapi juga dapat meningkatkan
sistem ekonomi para peternak sapi. Tetapi memelihara dan beternak sapi tidak
semudah yang dibayangkan. Beternak sapi tidak bisa secara instan dan menjual
ke konsumen dengan mudah. Beternak sapi perlu memiliki kesabaran yang
sangat tinggi dan ketelitian yang mendalam, terutama pada kualitas sapi.
Dengan menjamin kualitas ternak sapi, peternak perlu memperhatikan
kesehatan dan makanan yang diberi kepada ternaknya sehingga tidak muncul
penyakit. Contoh penyakit yang sangat umum pada ternak hewan ruminansia
seperti sapi adalah terkena penyakit cacing.
Infeksi oleh cacing parasit pada sistem pencernaan sapi dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan, dan dapat juga merugikan peternak dari
segi ekonomi. Umumnya infeksi cacing parasit ini disebabkan oleh
pemeliharaan ternak yang kurang baik. Salah satu cacing yang menginfeksi
pencernaan sapi adalah cacing Haemonchus. Cacing Haemonchus ini pada
umumnya menginfeksi bagian abomasum pada sapi dan memproduksi telur di
dalamnya. Cacing ini tidak membutuhkan hospes intermediet dalam siklus
hidupnya. Gejala yang biasa ditunjukkan oleh sapi yang terinfeksi cacing ini
adalah anemia yang parah, tinja berwarna gelap, penurunan berat badan secara
drastis dan kematian hewan mendadak karena kehilangan darah akut akibat
adanya gastritis hemorragis yang parah pada sapi.
Penyebaran penyakit terjadi secara langsung melalui rumput yang
terkontaminasi larva infektif. Pada musim penghujan penyebarannya lebih
cepat, karena fluktuasi jumlah telur nematode pada kotoran cenderung di
pengaruhi oleh fluktuasi curah hujan dengan titik tertinggi pada musim hujan
dan terendah pada musim kemarau. Dengan demikian akan dibahas lebih lanjut
mengenai morfologi, siklus hidus Haemonchus, pathogenesis yang terjadi

6
apabila sapi terkena infeksi, gejala klinis yang dialami dan epidemiologinya.
Hingga dapat dilakukan diagnosa dan penanganan dan pengobatannya secara
tepat.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana pathogenesis dan gejala klinis pada sapi yang terinfeksi
cacing Haemonchus ?
1.2.2 Bagaimana epidemiologi Haemonchus ?
1.2.3 Bagaimana cara mendiagnosa dan penanganan serta pengobatan
pada sapi yang terinfeksi Haemonchus ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk memahami pathogenesis dan gejala klinis pada sapi yang
terinfeksi cacing Haemonchus.
1.3.2 Untuk mengetahui epidemiologi Haemonchus.
1.3.3 Untuk memahami cara mendiagnosa dan penanganan serta
pengobatan pada sapi yang terinfeksi Haemonchus.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Sebagai bahan pertimbangan bagi dosen pengampu mata kuliah
Ilmu Penyakit Parasit dalam memberikan penilaian sesuai dengan
apa yang telah dikerjakan oleh mahasiswa.
1.4.2 Agar mahasiswa kedokteran hewan dapat lebih memahami
mengenai Haemonchosis pada sapi.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi
Haemonchus merupakan genus nematoda yang paling penting pada
domba, kambing dan sapi. Cacing ini hidup di abomasum domba, kambing,
sapi dan ruminansia lain. Berdasarkan habitat dan bentuknya sering di sebut
cacing lambung berpilin atau cacing kawat pada ruminansia. Klasifikasi cacing
Haemonchus sp. menurut Soulsby adalah sebagai berikut:
 Filum : Nemathelminthes
 Kelas : Nematoda
 Ordo : Strongylida
 Famili : Trichostrongylidae
 Genus : Haemonchus
 Species : Haemonchus contortus
Haemonchus placei
Haemonchus similis
Haemonchus longisitipes

2.2 Morfologi
Ujung anterior cacing berdiameter kurang dari 50 μm, dengan bukal
kapsul yang kecil berisi gigi yang ramping atau lanset di dasarnya. Terdapat
papilla servikal yang jelas menyerupai bentuk duri.

Gambar 1. Cacing Haemonchus sp,

8
Cacing betina mempunyai ukuran panjang antara 18–20 mm dan
berdiameter 0,5 mm dengan warna spesifik yaitu berselang seling merah putih
seperti spiral. Uterus yang putih membelit secara spiral mengelilingi usus yang
berwarna merah.

Gambar 2. Daerah vulva Hemonchus contortus


dewasa betina : a. labium, b. vulva, c. vagina

Pada bagian posterior terdapat vulva yang tertutup oleh cuping vulva
di bagian depannya, yang terbentuk sebagai suatu tonjolan yang besar dan
panjang. Kadang-kadang cuping vulva tampak berbentuk seperti bungkul yang
kecil.

Gambar 3. Ujung anterior Hemonchus contortus


dewasa: a. mulut, b. esophagus, c. papilla servikalis

Cacing jantan memiliki ukuran panjang antara 10–20 mm dan


berdiameter 0,4 mm. Cacing berwarna coklat kemerahan yang sesungguhnya
adalah warna bagian intestin yang penuh dengan darah dari induk semangnya.

9
Gambar 4. Bursa kopulatrks Hemonchus contortus
pada jantan dewasa

Pada ujung posteriornya terdapat bursa kopulatrik yang terdiri dari


tiga lobi, yaitu sepasang lobus lateral dengan ukuran yang relatif besar, dan
sebuah lobus dorsal yang terletak asimetris dan lebih dekat dengan lobus lateral
yang sebelah kiri. Spikula yang dimiliki berukuran panjang antara 0,46–0,50
mm dan mempunyai gubernakulum yang panjangnya sekitar 0,2 mm dengan
ujung berkait.

Gambar 5. Telur Haemonchus contortus


sp,

Telur Haemonchus sp. mempunyai ukuran antara 62-90 μm x 39-50


μm. Biasanya dikeluarkan bersama feses induk semangnya dalam keadaan
mengandung sel telur yang sudah mengadakan pembelahan menjadi 16 – 32
sel. Seekor cacing betina diperkirakan mampu memproduksi telur sebanyak

10
10.000 butir setiap hari. Telur Haemonchus memiliki bentuk oval, selnya
berwarna kekuningan, mempunyai tiga lapisan di kulit luar dengan bentuk telur
sama panjang, serta mempunyai sel embrionik yang hampir menutupi seluruh
rongga telur

Gambar 6. Struktur Telur H. contortus: a. kulit telur, b. segmen


embrional, c. larva stadium pertama (L1) dalam telur

2.3 Siklus Hidup


Pada lingkungan yang menguntungkan telur akan menetas menjadi
larva stadium pertama. Dalam waktu kurang lebih empat hari larva mengalami
ekdisis menjadi larva stadium kedua. Larva stadium pertama dan kedua ini
akan memakan mikroorganisme yang terdapat pada tinja induk semang. Larva
stadium kedua mengalami ekdisis menjadi larva yang infektif yaitu larva
stadium ketiga dalam waktu 4 sampai 6 hari.

Gambar 7. Siklus Hidup Haemonchus contortus

11
Perkembangan larva–larva ini dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan
yaitu temperatur, iklim dan kelembaban. Larva infektif lebih tahan terhadap
kekeringan dan udara dingin dibanding dengan larva stadium pertama dan
kedua karena selubung kutikula yang terdapat pada stadium kedua tidak
dilepaskan sehingga larva stadium ketiga mempunyai dua selubung. Larva
infektif tidak memperoleh makanan tetapi dapat hidup dari persediaan
makanan yang disimpan dalam sel–sel intestin.
Larva infektif bergerak aktif (mempunyai ekor) dan memanjat
rerumputan pada pagi hari dan malam hari. Penyebaran penyakit terjadi secara
langsung melalui rumput yang terkontaminasi larva infektif. Pada musim
penghujan penyebarannya cepat, oleh karena fluktuasi jumlah telur nematoda
pada kotoran cenderung di pengaruhi oleh fluktuasi curah hujan dengan titik
tertinggi pada musim hujan dan terendah pada musim kemarau.

2.4 Epidemiologi
Distribusi Haemonchus sp. terpencar di seluruh dunia (kosmopolitan),
namun lebih banyak dijumpai di daerah savanna tropis dan sub tropis yang
lembab dengan temperatur hangat (Olsen, 1967; Ristic, 1981; Urquhart, 1994)
dikutip oleh Subekti dkk (2001). Menurut Amin dan Nasution (1984) yang
dikutip oleh Subekti dkk (2001) menyatakan kejadian haemonchosis pada
ruminansia kecil di kabupaten Aceh besar sebesar 45 % dari semua tingkatan
umur penderita dengan derajat infeksi ringan. Menurut Suhardono (1995) yang
dikutip oleh Kusumaningsih (1997) pada sapi-sapi perah di Garut, Jawa Barat,
juga dijumpai cacing Haemonchus sp dan dengan persentase tertinggi pertama
di Provinsi Lampung

2.5 Patogenesis
Haemonchus adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap ekor
per hari menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia.
Anemia berlangsung melalui 3 tahap, yaitu tahap I, 3 minggu setelah infeksi
ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar, hal ini merupakan tahap
akut, tahap II, antara 3 – 8 minggu setelah infeksi, kehilangan darah dan zat

12
besi ternak berlangsung terus tetapi masih diimbangi oleh kegiatan eritropoetik,
dan tahap III, terjadi kelelahan sitem eritropoetik yang disebabkan oleh
kekurangan besi dan protein, dan hal ini merupakan tahap kronis.

2.6 Gejala Klinis dan Diagnosis


Haemonchosis perakut tidak umum terjadi, tetapi dapat terlihat ketika
hewan yang rentan terinfeksi larva dalam jumlah banyak secara mendadak.
Jumlah parasit yang banyak menyebabkan anemia yang parah, tinja berwarna
gelap dan kematian hewan mendadak karena kehilangan darah akut akibat
adanya gastritis hemorragis yang parah. Haemonchosis akut pertama kali
terlihat ketika hewan-hewan rentan baru saja terinfeksi cacing yang berat.
Anemia bisa parah, tapi ada respon eritropoetik dari sumsum tulang.
Anemia itu disertai dengan hipoproteinemia dan udema di bawah mandibula
(bottle jaw) atau bisa juga pada sisi ventral dari dada dan abdomen. Hewan
akan menjadi lemah, tinja berwarna gelap dan bulu rontok. Diare bukan
merupakan ciri yang umum, kadang timbul diare atau konstipasi, sedangkan
nafsu makan bervariasi. Diare dapat terjadi bila infeksi tejadi bersamaan
dengan banyaknya hijauan muda yang dimakan ataupun ada infeksi campuran
dengan cacing Trichostrongylus. Beberapa saat sebelum kematian, hewan
menjadi sangat lemah sehingga tidak dapat berdiri.
Pemeriksaan darah menunjukkan penurunan yang tajam dari jumlah
eritrosit dan terdapat adanya selsel darah yang abnormal. Telur dalam feses
biasanya jumlah banyak dan bisa terdapat 1000-10000 parasit pada abomasum.
Haemonchosis kronis disebabkan oleh infeksi berkepanjangan dengan jumlah
parasit yang sedikit (100-1000 ekor). Morbiditas dapat mencapai 100 % tapi
angka kematiannya rendah. Hewan menjadi lemah dan kurus. Anemia dan
hipoproteinemia dapat menjadi parah atau tidak parah, tergantung pada
kapasitas eritropoietik dari hewan tersebut, zat besi yang tersimpan dan
cadangan metabolisme. Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, identifikasi
telur-telur cacing di bawah mikroskop, serta bedah bangkai pada ternak yang
mati juga akan membantu penetapan diagnosis.

13
2.7 Penanganan
2.7.1 Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan
menggembalakan ternak terlalu pagi, pemotongan rumput
sebaiknya dilakukan siang hari, pengobatan secara teratur dan
mengurangi pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum.

2.7.2 Pengobatan
Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok
benzilmidazole, yaitu :
a. Albendazole dengan dosis 5 – 10 mg/kg berat badan.
b. Mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan.
c. Thiabendazole dengan dosis 44 – 46 mg/kg berat badan.

Catatan untuk Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan


awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting,
tetapi thiabendazole sering menyebabkan resistensi.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit Haemonchosis pada sapi disebabkan oleh cacing Nematoda
dari genus Haemonchus sp. Cacing ini berpredileksi di abomasum hewan
ruminansia seperti sapi, kambing, domba. Haemonchus adalah cacing
penghisap darah yang rakus, setiap ekor per hari menghabiskan 0,049 ml darah,
sehingga menyebabkan anemia. Anemia itu disertai dengan hipoproteinemia
dan udema di bawah mandibula (bottle jaw) atau bisa juga pada sisi ventral
dari dada dan abdomen. Haemonchosis kronis disebabkan oleh infeksi
berkepanjangan dengan jumlah parasit yang sedikit (100-1000 ekor).
Morbiditas dapat mencapai 100 % tapi angka kematiannya rendah. Untuk
penanganan parasit ini dapat dilakukan dengan pencegahan baik itu menjaga
sanitasi dan dengan pengobatan benzilmidazole.

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan pada materi ini. Oleh karena itu, diperlukan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kelengkapan makalah ini. Sehingga di
masa yang akan datang makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk
belajar dan memahami Ilmu Penyakit Parasiter Veteriner.

15
DAFTAR PUSTAKA

Karim, W.A., Kenta, A.M. 2018. Perbandingan Prevalensi Cacing


Gastrointestinal pada Sapi Bali Dan Lokal di Kabupaten Banggai. Jurnal
Pendidikan Glasser., 2(2): 48-53.

Handayani, P., Santosa, P.E., dan Siswanto. 2015. Tingkat Infestasi Cacing
Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung ( Infestation Rate of The Digestive Fluke on
Bali Cattle in Sukoharjo Sub-district Pringsewu District Lampung Province ).
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(3): 127-133.

Supriadi. 2020. Identifikasi Parasit Cacing Nematoda Gastrointestinal pada Sapi


Bali ( Bos sondaicus ) di Desa Taman Ayu Kabupaten Lombok Barat.
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi, 8(1): 58-66

Supriyanto, S. 2019. Pengaruh Pemberian Albendazole Terhadap Helminthiasis


Sapi Potong (The Influence Of Albendazole Giving On Helmipengaruh
Pemberian Albendazole Terhadap Helminthiasis Sapi Potong (The
Influence Of Albendazole Giving On Helminthiasis Beef Cattle) Nthiasis
Beef Cattle). Jurnal Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 14(25): 12-23.

16

Anda mungkin juga menyukai