Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK

PERCOBAAN VIII
“KEMAMPUAN KOAGULASI GARAM–GARAM SULFAT DAN KLORIDA”

Disusun Oleh:
Nama Praktikan : Lidia Leela Laksita
NIM : 24030119130080
Jurusan : Kimia
Jadwal Praktikum : Selasa, 22 September 2020
Asisten : Jihan Khansa N.

LABORATORIUM KIMIA ANORGANIK

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
LEMBAR PENGESAHAN
PERCOBAAN VIII
“KEMAMPUAN KOAGULASI GARAM-GARAM SULFAT DAN KLORIDA”

Semarang, 22 Sepetember 2020


Mengetahui,
Asisten Praktikan

Jihan Khansa N. Lidia Leela Laksita


24030117130098 24030119130080
PERCOBAAN VIII

KEMAMPUAN KOAGULASI GARAM-GARAM SUFAT DAN KLORIDA

I. TUJUAN
Mempelajari daya koagulasi dari berbagai macam – macam garam – garam
sulfat dan klorida.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Sistem Koloid
Koloid merupakan suatu bentuk keanekaragaman pada sistem yang
terdiri dari partikel atau makromolekul yang terbagi dalam ukuran yang
sangat kecil (seperti lem, gelatin, protein, dll.) yang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Pada koloid dikenal 2 fase yaitu fase terdispersi
dan fase pendispersi (Birdi, 2010). Fase terdispersi terjadi dimana
partikel terlarut (terdispersi) dalam sistem, sedankan fase pendispersi
merupakan medium dapat melarutkan partikel tersebut.
2.2. Penggolongan Koloid
Koloid ini dapat digolongkan berdasarkan fase terdispersinya, sebagai
berikut:
1. Sol
Pada golongan ini fase terdispersi berupa zat padat. Golongan
ini dapat dibedakan kembali berdasarkan medium
pendispersinya menjadi 3 yaitu sol padat (Contohnya : paduan
logam), sol cair (Contohnya : tinta dan cat) dan sol gas
(Contohnya : asap di udara).
2. Emulsi
Pada golongan ini fase terdispersi berupa zat cair. Golongan ini
dapat dibedakan kembali berdasarkan medium pendispersinya
menjadi 3 yaitu : emulsi padat/padat (Contohnya: keju,
mentega), emulsi cair/emulsi (Contohnya: susu, mayones) dan
emulsi gas/aerosol cair (Contohnya: awan, kabut).
3. Buih
Pada golongan ini fase terdispersi berupa gas. Golongan ini
dapat dibedakan kembali berdasarkan medium pendispersinya
menjadi buih padat (Contohnya: batu apung) dan buih cair
(Contohnya: busa sabun).
(Mose, 2014)
2.3. Kestabilan koloid
Stabilitas koloid (sebagai padatan atau cairan) ditentukan oleh
energi bebas (energi bebas permukaan atau energi bebas antar-
permukaan) dari sistem. Parameter utama yang perlu diperhatikan
adalah besarnya luas permukaan yang terekspos antara fase terdispersi
dan fase medium pendispersi (Birdi, 2010). Karena partikel koloid
bergerak secara konstan, energi dispersi mereka ditentukan oleh gerak
Brown. Energi yang diberikan oleh tumbukan dengan molekul di
sekitarnya pada suhu T = 300 K adalah 3/2 k BT = 3/2 1.38 10−23 300=
10−20 J ( dimana kB adalah konstanta Boltzmann). Energi dan gaya
antarmolekul ini akan menentukan stabilitas koloid (Birdi, 2010).
2.4. Mekanisme Pembentukan Koloid
Pemebentukan koloid ini dapat dilakukan dengan 2 cara, sebagai
berikut:
a. Cara Kondensasi
Cara kondensasi ini merupakan pembentukan agregat
berukuran koloid dari partikel kecil seukuran molekul atau ion
melalui reaksi kimia (Mose, 2014). Terdapat 3 jenis reaksi yang
dapat menghasilkan koloid, sebagai berikut:
1. Reaksi Hidrolisis
Reaksi hidrolisis merupakan reaksi penguraian
molekul air membentuk ion H+ dan ion OH. Contoh
pembentukan sol Fe(OH)3 dari hidrolisis FeCl3
Reaksinya :
FeCl3 + 3H2O → Fe(OH)3 + HCl
(Mose, 2014)
2. Reaksi Redoks
Reaksi redoks merupakan reaksi yang menyebabkan
penurunan dan kenaikan bilangan oksidasi. Contohnya
adalah pembentukan sol emas. Koloid sol emas dibentuk
melalui proses reduksi emas (III) klorida dengan
formalin. Reaksinya sebagai berikut :
2AuCl3 + CH3COH + 3H2O → 2Au + 6HCl +
CH3COOH
(Mose, 2014)
3. Reaksi Metatesis
Reaksi metatesis merupakan reaksi dimana
terjadinya pertukaran muatan antar ion-ion. Contoh : ke
dalam larutan natrium tisulfat ditambahkan larutan asam
klorida akan terbentuk partikel berukuran koloid.
Persamaan reaksinya :
Na2S2O3 + 2HCl → 2NaCl + H2SO3 + S

(Mose, 2014)

b. Cara Dispersi
Cara disperse ini merupakan cara pembentukan koloid dari
partikel yang lebih besar. Metode yang digunakan dalam cara ini
adalah:
1. Cara Mekanik
Metode ini dilakukan dengan menggiling atau
menghaluskan zat yang akan didispersikan dalam
medium pendispersi sampai ukurannya berada pada
rentang partikel-partikel koloid. (Mose, 2014)
2. Cara Peptisasi
Metode ini dilakukan dengan memecahkan suspensi
kasar menjadi partikel terdispersi koloid, lalu
menambahkan ion-ion yang dapat diadsorpsi oleh
partikel-partikel koloid sehingga koloid tersebut stabil.
(Mose, 2014)
3. Cara homogenisasi
Metode ini dilakukan dengan memecahkan suspensi
menjadi partikel berukuran lebih kecil,lalu dilewatkan
melalui lubang dengan ukuran pori tertentu dengan
didukung dengan tekanan tinggi sehingga partikel yang
akan didispersikan ke mediumnya menjadi relative
homogen. (Mose, 2014)
4. Cara Busur Bredig
Metode ini dilakukan dengan menggunakan arus
listrik tegangan tinggi yang dialirkan melalui dua buah
elektroda yang terbuat dari kawat logam. Kedua
elektroda tersebut diletakkan berdekatan dalam air.
Terjadinya loncatan bunga api listrik mengakibatkan
sebagian kawat logam menguap lalu terlarut kedalam air
sebagai medium pendispersi sehingga terbentuk sol.
(Mose, 2014)
2.5. Larutan dan Suspensi
Larutan adalah suatu campuran berfasa tunggal dan homogen yang
terdiri dari dua zat atau lebih (Khaerunnisa, 2017). Komponen dalam
suatu larutan dapat dibedakan menjadi zat terlarut (solute) dan pelarut
(solvent). Pada larutan umumnya jumlah pelarut lebih banyak
dibandingkan zat yang terlarut.
Suspensi adalah sistem heterogen yang terdiri dari dua fase.
Suspensi ini merupakan suatu bentuk sediaan yang mengandung
partikel- partikel padat yang halus dan tidak larut, namun terdispersi
dalam cairannya (Gummi et al., 2010).
2.6. Teknologi Pengolahan air
Teknologi pengolahan air terutamanya teknologi pengolahan air
minum dapat dilakukan dengan berbagai cara contohnnya dengan
koagulasi dan flokulasi serta karbon aktif.
Metode koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan dengan melakukan
koagulasi dan flokulasi terhadap sampel air yang akan diolah.
Kemudian sampel tersebut akan terbentuk flok yang akan mengendap
(sendimentasi). Penyaringan dan filtrasi dilakuakan untuk memisahkan
endapan dengan air. Penanganan selanjutya dilakukan disinfeksi untuk
mematika mikroorganisme yang masih terkandung dalam air olahan.
(Priambodo & Indaryanto, 2017)
Sedangkan pada metode karbon aktif bertujuan untuk
menghilangkan kandungan zat-zat yang tidak dapat dibersihkan atau
dihilangkan dengan teknik pengolahan biasa seperti koagulasi, flokulasi
dan pengendapan. Karbon aktif yang digunakan dalam metode ini ada 2
tipe yaitu: yaitu karbon aktif bubuk atau Powder Activated Carbon
(PAC) dan Carbon Aktif butiran atau Granular Activated Carbon
(GAC). Pengolahan air dengan metode karbon aktif bubuk umumnya
dipilih atau dilakukan untuk pengolahan dalam keadaan darurat atau
untuk jangka pendek. (Said, 2018)
2.7. Koagulasi
Koagulasi merupakan suatu metode yang dapat diterapkan untuk
metode pengolahan air. Koagulasi sendiri adalah metode yang
dilakukan untuk menghilangkan zat – zat yang terdispersi dalam bentuk
koloid, dengan menambahkan koagulan yang nantinya dapat terbentuk
mikroflok (Karamah & Lubis, 2014). Faktor – faktor yang dapat
mempengaruhi koagulasi diantaranya suhu air, derajat keasaman (ph),
jenis koagulan dan dosisnya, kadar ion terlarut, tingkat kekeruhan,
kecepatan pengadukan dan alkalinitas dalam air (Rahimah et al., 2016).
2.8. Flokulasi
Flokulasi ini merupakan tahap selanjutnya dari proses koagulasi.
Flokulasi merupakan proses pengadukan yang sangat lambat terhadap
larutan hasil koagulasi yang menghasilkan jonjot besar dan kemudian
mengendap secara cepat (Tjokrokusumo, 1995).
2.9. Mekanisme Pembentukan Endapan pada Koagulasi dan Flokulasi
Dalam campuran ditambahkan suatu senyawa kimia yang berperan
sebagai koagulan. Senyawa ini akan menyebabkan senyawa koloid
mengalami destabilisasi, sehingga partikel akan mengalami folukasi dan
akhirnya menggendap menjadi endapan (flok). Mekanisme
pembentukan endapan (flok) ini dapat dipisahkan menjadi 4 tahap,
yaitu:
a. Tahap destabilase partikel koloid
b. Tahap pembentukan partikel koloid
c. Tahap penggabungan mikroflok
d. Tahap pembentukan mikroflok
(Hakim & Supriyatna, 2008)
2.10. Mekanisme Penjernihan Air dengan Koagulasi dan Flokulasi
Mekanisme penjernihan air dengan metode koagulasi dan flokulasi ini
dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Flokulasi dan Koagulasi
Pada tahap ini dilakukan metode koagulasi dan flokulasi
yang dilkuakan dengan penambahan senyawa kimia sebagai
koagulan dan dilakuakn pengadukan dengan perlahan sehingga
terbentuk flok.
b. Tahap Sendimentasi
Tahap ini bertujuan untuk memisahkan flok yang terbentuk
dari air.
c. Tahap Filtrasi
Tahap ini dilkulakukan penyaringan yang bertujuan untuk
memisahkan endapan yang terbentuk dari tahap sendimentasi
dair air.
d. Tahap Desinfeksi
Tahap ini dilkukan untuk menghilangkan mokroorganisme
yang masih terdapat di air.
(Priambodo & Indaryanto, 2017)
2.11. Faktor yang Mempengaruhi Koagulasi
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi koagulasi diantaranya
adalah:
a. Suhu air
Suhu air ini dapat mempengaruhi pembubuhan dosis
koagulan. Misalnya jika suhu air diturunkan besarnya daerah pH
yang optimum akan berubah sehingga mempengaruhi
pembubuhan dosis koagulan (Rahimah et al., 2016).
b. Derajat keasaman (ph)
Proses koagulasi akan berjalan dengan maksimal jika
terjadi pada daerah pH yang optimum (Rahimah et al., 2016).
c. Jenis koagulan dan dosisnya
Umumnya koagulan dalam bentuk larutan lebih efektif
dalam penggunaanya dibanding koagulan dalam bentuk serbuk
atau butiran (Rahimah et al., 2016).
d. Kadar ion terlarut
Ion-ion yang terlarut dalam air yang diolah mempengaruhi
proses koagulasi. Pada umumnya pengaruh anion lebih besar
daripada kation (Rahimah et al., 2016).
e. Tingkat kekeruhan
Pada tingkat kekeruhan air yang tinggi maka proses
destabilisasi akan berlangsung dengan lebih cepat (Rahimah et
al., 2016).
f. Kecepatan pengadukan
Pengadukan yang terlalu cepat berakibat pecahnya flok
yang terbentuk, sedangkan pengadukan yang terlalu lambat akan
menyebabkan terbentuknya flok juga lambat (Rahimah et al.,
2016)
g. Alkalinitas dalam air
Alkalinitas dalam air dapat membentuk flok dengan
melepaskan ion hidroksida pada reaksihidrolisa koagulan.
Alkalinitas dalam air ini dipengaruhi oleh asam dan basa pada
larutan (Rahimah et al., 2016)
2.12. Garam Sulfat
Garam-garam sulfat yang umum terdapat secara alami dalam tanah
merupakan garam-garam sulfat (Husin, 2010). Garam-garam tersebut
adalah Natrium sulfat dan Magnesium sulfat, yang banyak ditanah
alkalis. Garam sulfat ini biasanya berupan zat padat kristal putih yang
tidak berbau dan tidak larut dalam air.
2.13. Garam Klorida
Garam klorida ini umumnya berupa kristal putih. Contoh dari garam
klorida ini adalah NaCl, MgCl2. Pada logam golongan 1 mudah
bereaksi dengan halogen, dengan reaksi sebagai berikut:
2M(s) + Cl2(g) → 2MCl(s) (reaksi redoks)
(Rahman, 2011)
Pada logam golongan 2 (kecuali Be) mudah bereaksi dengan halogen
panas, dengan reaksi sebagai berikut:
M(s) + Cl2(g) → MCl2(s)
(Rahman, 2011)
Garam yang dihasilkan ini merupakan padatan ionik kristal putih yang
larut dalam air dan pH larutannya 7 dan garam ini mempunyai titik
leleh dan titik didih tinggi (Rahman, 2011).
2.14. Analisa Bahan
2.14.1. Poli alumunium klorida (PAC)
 Sifat Fisika
 Berwujud serbuk dan berwarna kuning pucat
 Tidak berbau
 Nilai pH - nya: 2.3 ± 0.3
 Sifat Kimia
 Dapat digunakan sebagai koagulan dalam koagulasi
dan flokulasi
 Dapat membentuk endapan dengan HCl dan H2SO4
(MSDS, 2018)
2.14.2. FeCl3
 Sifat Fisika
 Berwujud serbuk
 Berwarna hijau sampai hitam
 Berbau pedih
 Titik lebur 306 °C (penguraian)
 Sifat Kimia
 dapat menyublim peka terhadap lembab
 Beresiko meledak dengan: Logam basa, Ethylen
oksida
 Reaksi yang hebat dapat terjadi dengan : allyl chloride
aluminium, dengan, panas
(MSDS, 2007)
2.14.3. ZnSO4
 Sifat Fisika
 Berwujud padat dan berwarna putih
 Tidak berbau
 Memiliki pH 4,5
 Memiliki titik leleh 100oC
 Sifat Kimia
 Dapat bereaksi dengan keras dengan basa kuat
 Dalam pembakaran dapat menghasilkan gas/uap yang
bersifat korosif
(MSDS, 2016)
2.14.4. CaSO4
 Sifat Fisika
 Berwujud serbuk
 Berwarna krem
 Desitasnya 2,96 g/cm3
 Sifat Kimia
 Bahan yang tidak cocok seperti senyawa pengoksidasi
kuat
 Hasil dekomposisi berbahaya dapat berupak sulfur
oksida
(MSDS, 2012a)
2.14.5. FeSO4
 Sifat Fisika
 Berwujud cairan
 Berwarna biru kehijauan
 Berbau sedikit asam
 Nilai ph-nya >2,0
 Sifat Kimia
 Kondisi yang dihindari adalah pemanasan yang
berlebihan, dan reaksi dengan asam dan basa kuat.
 Produk hasil dekomposisi adalah oksida dan sulfur
(MSDS, 2012b)
2.14.6. MgSO4
 Sifat Fisika
 Berwujud cairan
 Tidak berwarna
 Berbau ringan
 Sifat Kimia
 Stabil pada suhu ruang
 Tidak berbahaya
(MSDS, 2012c)
2.14.7. Air sungai
 Suhu air sungai maksimum 28°C
 Padatan tersuspensi maksimum 2 mg/L
 Kesadahan air maksimum 254,50 mg/L
(Rusmanto et al., 2004)
2.14.8.
III. METODE PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
3.1.1.1. Gelas Beker 250 ml
3.1.1.2. Erlenmeyer 250 ml
3.1.1.3. Pengaduk
3.1.1.4. Kertas saring whatman 42
3.1.1.5. Corong
3.1.1.6. Neraca analitik
3.1.1.7. Pompa vakum
3.1.2. Bahan
3.1.2.1. Poli alumunium klorida (PAC)
3.1.2.2. FeCl3
3.1.2.3. ZnSO4
3.1.2.4. CaSO4
3.1.2.5. FeSO4
3.1.2.6. MgSO4
3.1.2.7. Air sungai
3.1.3.
3.2. Gambar Alat

Gelas Beker Corong

Erlenmeyer
Neraca Analitik

Pengaduk
Pompa Vakum
Kertas saring
3.3. Skema Kerja
3.3.1. Koagulasi dengan koagulan PAC

Air Sungai
Gelas Beker

Penambahan 1 gram PAC


Pengadukan
Pendiaman selama 30 menit
Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer

Pengamatan kejernihan

Hasil
3.3.2. Koagulasi dengan koagulan FeCl3

Air Sungai
Gelas Beker

Penambahan 1 gram FeCl3


Pengadukan
Pendiaman selama 30 menit
Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer

Pengamatan kejernihan

Hasil
3.3.3. Koagulasi dengan koagulan ZnSO4

Air Sungai
Gelas Beker

Penambahan 1 gram ZnSO4


Pengadukan
Pendiaman selama 30 menit
Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer

Pengamatan kejernihan

Hasil
3.3.4. Koagulasi dengan koagulan CaSO4

Air Sungai
Gelas Beker

Penambahan 1 gram CaSO4


Pengadukan
Pendiaman selama 30 menit
Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer

Pengamatan kejernihan

Hasil
3.3.5. Koagulasi dengan koagulan FeSO4

Air Sungai
Gelas Beker

Penambahan 1 gram FeSO4


Pengadukan
Pendiaman selama 30 menit
Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer

Pengamatan kejernihan

Hasil
3.3.6. Koagulasi dengan Koagulan MgSO4

Air Sungai
Gelas Beker

Penambahan 1 gram MgSO4


Pengadukan
Pendiaman selama 30 menit
Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer

Pengamatan kejernihan

Hasil
IV. DATA PENGAMATAN

No Perlakuan Hasil

1 Air Sungai + 1 gram PAC Campuran menjadi keruh

Pendiaman Terbentuk endapan

Penyaringan Filtratnya jernih tidak berwarna

2 Air Sungai + 1 gram FeCl3 Campuran berwarna oranye


kecoklatan

Pendiaman Terbentuk endapan

Penyaringan Filtratnya berwarna oranye


kecoklatan

3 Air Sungai + 1 gram ZnSO4 Campuran menjadi keruh

Pendiaman Terbentuk endapan

Penyaringan Filtratnya jernih tidak berwarna

4 Air Sungai + 1 gram FeSO4 Campuran menjadi keruh

Pendiaman Terbentuk endapan

Penyaringan Filtratnya jernih tidak berwarna

5 Air Sungai + 1 gram tawas Campuran menjadi keruh

Pendiaman Terbentuk endapan


Penyaringan Filtratnya jernih tidak berwarna

6 Air Sungai + 1 gram MgSO4 Campuran menjadi keruh

Pendiaman Terbentuk endapan

Penyaringan Filtratnya jernih tidak berwarna


V. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan percobaan yang berjudul “Kemampuan
Koagulasi Garam–Garam Sulfat Dan Klorida”. Tujuan dari percobaan ini
adalah untuk mempelajari daya koagulasi dari berbagai macam – macam
garam – garam sulfat dan klorida. Prinsip yang digunakan dalam percobaan ini
adalah destabilisasi koloid dengan menambahkan koagulan kationik untuk
mengurangi muatan negatif pada koloid atau penetralan gaya – gaya pemisah.
Sedangkan metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah koagulasi dan
flokulasi. Koagulasi adaah proses tereduksinya gaya tolak atau netralisasi atai
destabilisasi koloid sehingga menyebabkan terbentuknya agregat (agregasi).
Sedangkan Flokulasi merupakan proses terkumpulnya agregat menjad
komponen yang lebih besar sehingga bisa mngendap dan dipisahkan dengan
penyaringan. Dari percobaan ini akan diketahui sampel senyawa yang paling
baik digunakan sebagai koagulan dari tingkat kejernihan sampel air
VI. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini dilakukan percobaan yang berjudul “Kemampuan


Koagulasi Garam–Garam Sulfat Dan Klorida”. Tujuan dari percobaan ini adalah
untuk mempelajari daya koagulasi dari berbagai macam – macam garam – garam
sulfat dan klorida. Prinsip yang digunakan dalam percobaan ini adalah
destabilisasi koloid dengan menambahkan koagulan kationik untuk mengurangi
muatan negatif pada koloid atau penetralan gaya – gaya pemisah. Sedangkan
metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah koagulasi dan flokulasi.
Koagulasi adaah proses tereduksinya gaya tolak atau netralisasi atai destabilisasi
koloid sehingga menyebabkan terbentuknya agregat (agregasi). Sedangkan
Flokulasi merupakan proses terkumpulnya agregat menjad komponen yang lebih
besar sehingga bisa mngendap dan dipisahkan dengan penyaringan.

Pada percobaan ini bahan yang digunakan adalah 2 liter air sungai, poli
alumunium klorida (PAC), FeCl3, ZnSO4, tawas, FeSO4, dan MgSO4. Dalam hal
ini air sungai digunakan sebagai sampel koloidnya, sedangkan garam seperti poli
alumunium klorida (PAC), FeCl3, ZnSO4, CaSO4, FeSO4, dan MgSO4 digunakan
sebagai koagulannya. Air sungai sebanyak 2 liter yang telah diperoleh ini
kemudian dibagi menjadi 6 gelas sesuai dengan jumlah koagulannya.

Pada percobaan ini dilakukan dengan menambahkan masing – masing 1 gram


garam koagulan (PAC), FeCl3, ZnSO4, tawas, FeSO4, dan MgSO4 ke dalam gelas
yang berisi air sungai tersebut. Tujuan dari penambahan garam koagulan ini
bertujuan untuk mengkoagulasi koloid yang larut dalam campuran sehingga
mendestabilisasi koloid dan mendorong terjadinya pengendapan koloid dalam
campuran. Koagulasi metode yang dilakukan untuk menghilangkan zat – zat yang
terdispersi dalam bentuk koloid, dengan menambahkan koagulan yang nantinya
dapat terbentuk mikroflok (Karamah & Lubis, 2014). Dalam suatu campuran
terdapat partikel – partikel yang terdispersi di dalamnya, campuran ini disebut
koloid. Sedangkan partikel dalam koloid sendiri dalam dibedakan menjadi dua
yaitu partikel organik (misalnya bakteri) dan anorganik (misalnya partikel tanah).
Koloid ini bermuatan negatif sehingga dapat menarik muatan positif dalam larutan
sehingga membentuk lapisan, lapisan ini merupakan lapisan pertama. Sedangkan
lapisan kedua dalam koloid terdiri muatan negatif dan positif yang jumlahnya
sama atau ekuivalen. Hal ini menyebabkan partikel koloid stabil sehingga
mempunyai gaya tolakan (responsive force) dengan partikel lain. Akibat adanya
gaya tolakan (responsive force) ini, koloid pun dapat terdispersi merata dalam
suatu campuran. Suatu garam koagulan yang ditambahkan ke dalam campuran
tersebut akan terionisasi menjadi muatan positif dan negatif. Muatan positif
(koagulan kationik) ini akan tertarik oleh koloid yang bermuatan negatif.
Kemudian akan mengkompress (memperkecil) ukuran partikel koloid dan
menghilangkan gaya pemisah dari koloid tersebut sehingga partikel – partikel ini
akan membentuk agregat – agregat dalam campuran. Selanjutnya dilakukan
pengadukan yang bertujuan untuk mempercepat terjadinya tumbukan antara
antara partikel yang terlarut dalam campuran. Tahap ini disebut flokulasi, yang
merupakan tahap selanjutnya dari koagulasi. Flokulasi merupakan proses
pengadukan yang sangat lambat terhadap larutan hasil koagulasi yang
menghasilkan jonjot besar dan kemudian mengendap secara cepat
(Tjokrokusumo, 1995). Dari tahap ini agregat – agregat yang tebentuk dari tahap
koagulasi kemudian membentuk gumpalan yang lebih besar (Flok). Pengadukan
dilakukan secara perlahan karena pengadukan yang terlalu cepat dapat
menyebabkan pecahnya flok yang terbentuk (Rahimah et al., 2016). Tahap
selanjutnya dilakukan pendiaman yang bertujuan untuk mengendapkan flok yang
terbentuk ke bawah agar koloid dapat terpisah dari larutan. Selanjutnya dilakukan
penyaringan yang bertujuan untuk memisahkan endapan koloid (flok) dengan air.

Dari perlakuan tersebut diperoleh residu yang berupa endapan koloid


sedangkan filtrat yang diperoleh dari masing – masing percobaan dengan
koagulan Tawas, ZnSO4, FeSO4, tidak berwarna dan jernih. Pada penambahan
koagulan FeCl3 sampel larutan menjadi berwarna oranye kecoklatan dan filtrat
yang diperoleh pun juga berwarna oranye kecoklatan. Hal ini karena warna
tersebut merupakan warna dari FeCl3. Berdasarkan urutan kejernihannya (daya
koagulasi dari koagulan) yang baik diperoleh urutan sebagai berikut: tawas,
ZnSO4, FeSO4, MgSO4, FeCl3, PAC. Dalam koagulasi ini terdapat dua prinsip
yaitu semakin besar muatan positif dari koagulannya itu maka kemampuan
destabilisasinya dan semakin kecil jari – jari koagulan itu maka semakin bagus
bekerja (semakin menjernihkan). Tawas merupakan koagulan yang paling baik
dari percobaan ini karena jari – jari atomnya kecil sehingga semakin bagus dalam
mengendapkan koloid. Sedangkan koagulan yang paling buruk kinerjanya adalah
PAC. Hal ini karena PAC merupakan suatu polimer yang tersusun atas monomer
– monomer. Karena bentuknya polimer maka ikatannya stabil sehingga tidak bisa
terionisasi. Oleh karena itu, PAC sulit untuk mengikat partikel – partikel kotoran.
Dari percobaan ini juga diketahui bahwa koagulan dari garam – garam sulfat lebih
baik dalam menjernihkan air dibandingkan dengan koagulan dari garam klorida.
Hal ini karena garam klorida mempunyai keelektronegatifan yang besar sehingga
lebih sulit dalam mengendapkan koloid. Sedangkan urutan koagulan yang paling
baik dari garam sulfat adalah ZnSO4, FeSO4, MgSO4. Hal ini dipengaruhi oleh jari
– jari koagulan tersebut. Sesuai dengan table periodik jari – jari dari koagulan
kationik tersebut adalah Zn < Fe < Mg. Hal ini sesuai dengan kemampunya dalam
menjernihkan air yaitu semakin kecil jari – jari atomnya makan semakin baik
kemampunya dalam menjernihkan air. Pada FeCl3 kemampunya sebagai koagulan
lebih buruk dibandingkan garam – garam sulfat karena FeCl3 merupakan garam
klorida yang bersifat higroskopis sehingga gaya listriknya rendah.

Berdasarkan literatur faktor – faktor yang dapat mempengaruhi koagulasi


diantaranya adalah suhu air, Derajat keasaman (pH), Jenis koagulan dan dosisnya,
Kadar ion terlarut, Tingkat kekeruhan, Kecepatan pengadukan dan Alkalinitas
dalam air (Rahimah et al., 2016). Sedangkan Dari percobaan diketahui faktor –
faktor lain yang dapat mempengaruhi proses koagulasi antara lain: besarnya
muatan positif, jari – jari atom koagulannya, kelektronegativitasan dari anionnya
dan sifat dan bentuk dari senyawa koagulan tersebut (polimer, higroskopis)

Reaksi hidrolisis yang terjadi pada percobaan ini adalah sebagai berikut:

1. Reaksi Hidrolisis tawas,


Al2SO4 + 6 H2O → Al(OH)3 + 6H+ + SO42-
2. Reaksi Hidrolisis ZnSO4
Zn 2+ + 2H2O→ Zn(OH)2 +2H+
3. Reaksi Hidrolisis FeSO4
Fe 2+ +2 H2O→ Fe(OH)2 +2H+
4. Reaksi Hidrolisis MgSO4
Mg 2++2H2O→ Mg(OH)2 + 2H+
5. Reaksi Hidrolisis FeCl3
Fe 3+ +2H2O→ Fe(OH)3 + 3H+
6. Reaksi Hidrolisis PAC
Al2(OH)3 + 2 H2O →2Al(OH)3 + 3H+
VII. PENUTUP
7.1. Kesimpulan
7.1.1. Dari percobaan ini diketahui bahwa urutan koagulan dari yang baik
digunakan dalam koagulasi adalah sebagai berikut tawas, ZnSO4,
FeSO4, MgSO4 FeCl3, PAC.
7.1.2. Berdasarkan percobaan ini garam – garam sulfat lebih baik
digunakan sebagai koagulan untuk menjernihkan air dibandingkan
dengan koagulan dari garam klorida.
7.2. Saran
7.2.1. Untuk percobaan selanjutnya sebaiknya dapat menggunakan
variasi garam klorida yang lebih banyak sehingga perbedaan dapat
teramati dengan lebih signifikan.
7.2.2. Untuk percobaan selanjutnya dapat pula menggunakan variasi
sampel koloid selain dari air sungai.
DAFTAR PUSTAKA

Birdi, K. S. (2010). Surface and Colloid Chemistry: Principle and Applications.


CRC Press Taylor & Francis Group.
file:///C:/Users/youhe/Downloads/kdoc_o_00042_01.pdf

Gummi, P., Uji, A., Fisik, S., Daya, D. A. N., & Surakarta, P. (2010). Formulasi
suspensi doksisiklin menggunakan.

Hakim, L., & Supriyatna, Y. I. (2008). Pengambilan Logam Ni dalam Limbah


Elektroplating dengan Proses Koagulasi Flokulasi. 1–8.

Husin, A. A. (2010). Penelitian Pengaruh Larutan Garam Sulfat terhadap Kualitas


Beton Ringan. Jurnal Pemukiman, 5(2), 78–84.

Karamah, E. F., & Lubis, A. O. (2014). Pralakuan Koagulasi Dalam Proses


Pengolahan Air Dengan Membran: Pengaruh Waktu Pengadukan Pelan
Koagulan Aluminium Sulfat Terhadap Kinerja Membran. Penelitian UI.
http://repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/1707.pdf

Khaerunnisa, F. (2017). Larutan. Kimia Fisika 2, 1–56.


http://repository.ut.ac.id/4650/2/PEKI4310-M1.pdf

Mose, Y. (2014). Penerapan model Pembelajaran Predict-Observe-Explain


(POE) pada materi koloid untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis
dan keterampilan proses sains siswa. 1–14.

MSDS. (2007). Iron (III) Chloride. 1907, 1–6.

MSDS. (2012a). Calcium Sulfate. Material Safety Data Sheet, 4(2), 8–10.
https://us.vwr.com/assetsvc/asset/en_US/id/16490607/contents

MSDS. (2012b). Ferrous Sulfate. 50(Section 11), 1–6.

MSDS. (2012c). Magnesium Sulfate. Material Safety Data Sheet, 4(2), 8–10.
https://us.vwr.com/assetsvc/asset/en_US/id/16490607/contents

MSDS. (2016). Zinc Sulfate. 77(58), 1–7.


MSDS. (2018). Poly Aluminum Chloride (PAC). 1–4.

Priambodo, E. A., & Indaryanto, H. (2017). Perancangan Unit Instalasi


Pengolahan Air Minum Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Jurnal Teknik ITS, 6(1), 1–6. https://doi.org/10.12962/j23373539.v6i1.21998

Rahimah, Z., Heldawati, H., & Syauqiah, I. (2016). Pengolahan Limbah Deterjen
dengan Metode Koagulasi - flokulasi Menggunakan Koagulan Kapur dan
PAC. Konversi, 5(2), 13–19. https://doi.org/10.20527/k.v5i2.4767

Rahman, S. (2011). Sifat Kimia Garam Klorida dan Karbonat | Keer-Tech.


http://syakir-berbagiilmu.blogspot.com/2012/04/sifat-kimia-garam-klorida-
dan-karbonat.html

Rusmanto, T., Gunung, B., Yogyakarta, K., & Bribin, S. (2004). Analisis sifat
fisika, kimia, biologi dan radioaktivitas sampel air sungai bribin gunung
kidul yogyakarta. 189–196.

Said, N. I. (2018). PENGOLAHAN AIR MINUM DENGAN KARBON AKTIF


BUBUK Prinsip Dasar Perhitungan, Perencanaan Sistem Pembubuhan Dan
Kriteria Disain. Jurnal Air Indonesia, 3(2), 96–110.
https://doi.org/10.29122/jai.v3i2.2330

Tjokrokusumo. (1995). Pengantar Konsep Teknologi Bersih Khusus Pengelolaan


dan Pengolahan Air. STTL “YLH.”

Anda mungkin juga menyukai