PERCOBAAN VIII
“KEMAMPUAN KOAGULASI GARAM–GARAM SULFAT DAN KLORIDA”
Disusun Oleh:
Nama Praktikan : Lidia Leela Laksita
NIM : 24030119130080
Jurusan : Kimia
Jadwal Praktikum : Selasa, 22 September 2020
Asisten : Jihan Khansa N.
DEPARTEMEN KIMIA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
LEMBAR PENGESAHAN
PERCOBAAN VIII
“KEMAMPUAN KOAGULASI GARAM-GARAM SULFAT DAN KLORIDA”
I. TUJUAN
Mempelajari daya koagulasi dari berbagai macam – macam garam – garam
sulfat dan klorida.
(Mose, 2014)
b. Cara Dispersi
Cara disperse ini merupakan cara pembentukan koloid dari
partikel yang lebih besar. Metode yang digunakan dalam cara ini
adalah:
1. Cara Mekanik
Metode ini dilakukan dengan menggiling atau
menghaluskan zat yang akan didispersikan dalam
medium pendispersi sampai ukurannya berada pada
rentang partikel-partikel koloid. (Mose, 2014)
2. Cara Peptisasi
Metode ini dilakukan dengan memecahkan suspensi
kasar menjadi partikel terdispersi koloid, lalu
menambahkan ion-ion yang dapat diadsorpsi oleh
partikel-partikel koloid sehingga koloid tersebut stabil.
(Mose, 2014)
3. Cara homogenisasi
Metode ini dilakukan dengan memecahkan suspensi
menjadi partikel berukuran lebih kecil,lalu dilewatkan
melalui lubang dengan ukuran pori tertentu dengan
didukung dengan tekanan tinggi sehingga partikel yang
akan didispersikan ke mediumnya menjadi relative
homogen. (Mose, 2014)
4. Cara Busur Bredig
Metode ini dilakukan dengan menggunakan arus
listrik tegangan tinggi yang dialirkan melalui dua buah
elektroda yang terbuat dari kawat logam. Kedua
elektroda tersebut diletakkan berdekatan dalam air.
Terjadinya loncatan bunga api listrik mengakibatkan
sebagian kawat logam menguap lalu terlarut kedalam air
sebagai medium pendispersi sehingga terbentuk sol.
(Mose, 2014)
2.5. Larutan dan Suspensi
Larutan adalah suatu campuran berfasa tunggal dan homogen yang
terdiri dari dua zat atau lebih (Khaerunnisa, 2017). Komponen dalam
suatu larutan dapat dibedakan menjadi zat terlarut (solute) dan pelarut
(solvent). Pada larutan umumnya jumlah pelarut lebih banyak
dibandingkan zat yang terlarut.
Suspensi adalah sistem heterogen yang terdiri dari dua fase.
Suspensi ini merupakan suatu bentuk sediaan yang mengandung
partikel- partikel padat yang halus dan tidak larut, namun terdispersi
dalam cairannya (Gummi et al., 2010).
2.6. Teknologi Pengolahan air
Teknologi pengolahan air terutamanya teknologi pengolahan air
minum dapat dilakukan dengan berbagai cara contohnnya dengan
koagulasi dan flokulasi serta karbon aktif.
Metode koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan dengan melakukan
koagulasi dan flokulasi terhadap sampel air yang akan diolah.
Kemudian sampel tersebut akan terbentuk flok yang akan mengendap
(sendimentasi). Penyaringan dan filtrasi dilakuakan untuk memisahkan
endapan dengan air. Penanganan selanjutya dilakukan disinfeksi untuk
mematika mikroorganisme yang masih terkandung dalam air olahan.
(Priambodo & Indaryanto, 2017)
Sedangkan pada metode karbon aktif bertujuan untuk
menghilangkan kandungan zat-zat yang tidak dapat dibersihkan atau
dihilangkan dengan teknik pengolahan biasa seperti koagulasi, flokulasi
dan pengendapan. Karbon aktif yang digunakan dalam metode ini ada 2
tipe yaitu: yaitu karbon aktif bubuk atau Powder Activated Carbon
(PAC) dan Carbon Aktif butiran atau Granular Activated Carbon
(GAC). Pengolahan air dengan metode karbon aktif bubuk umumnya
dipilih atau dilakukan untuk pengolahan dalam keadaan darurat atau
untuk jangka pendek. (Said, 2018)
2.7. Koagulasi
Koagulasi merupakan suatu metode yang dapat diterapkan untuk
metode pengolahan air. Koagulasi sendiri adalah metode yang
dilakukan untuk menghilangkan zat – zat yang terdispersi dalam bentuk
koloid, dengan menambahkan koagulan yang nantinya dapat terbentuk
mikroflok (Karamah & Lubis, 2014). Faktor – faktor yang dapat
mempengaruhi koagulasi diantaranya suhu air, derajat keasaman (ph),
jenis koagulan dan dosisnya, kadar ion terlarut, tingkat kekeruhan,
kecepatan pengadukan dan alkalinitas dalam air (Rahimah et al., 2016).
2.8. Flokulasi
Flokulasi ini merupakan tahap selanjutnya dari proses koagulasi.
Flokulasi merupakan proses pengadukan yang sangat lambat terhadap
larutan hasil koagulasi yang menghasilkan jonjot besar dan kemudian
mengendap secara cepat (Tjokrokusumo, 1995).
2.9. Mekanisme Pembentukan Endapan pada Koagulasi dan Flokulasi
Dalam campuran ditambahkan suatu senyawa kimia yang berperan
sebagai koagulan. Senyawa ini akan menyebabkan senyawa koloid
mengalami destabilisasi, sehingga partikel akan mengalami folukasi dan
akhirnya menggendap menjadi endapan (flok). Mekanisme
pembentukan endapan (flok) ini dapat dipisahkan menjadi 4 tahap,
yaitu:
a. Tahap destabilase partikel koloid
b. Tahap pembentukan partikel koloid
c. Tahap penggabungan mikroflok
d. Tahap pembentukan mikroflok
(Hakim & Supriyatna, 2008)
2.10. Mekanisme Penjernihan Air dengan Koagulasi dan Flokulasi
Mekanisme penjernihan air dengan metode koagulasi dan flokulasi ini
dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Flokulasi dan Koagulasi
Pada tahap ini dilakukan metode koagulasi dan flokulasi
yang dilkuakan dengan penambahan senyawa kimia sebagai
koagulan dan dilakuakn pengadukan dengan perlahan sehingga
terbentuk flok.
b. Tahap Sendimentasi
Tahap ini bertujuan untuk memisahkan flok yang terbentuk
dari air.
c. Tahap Filtrasi
Tahap ini dilkulakukan penyaringan yang bertujuan untuk
memisahkan endapan yang terbentuk dari tahap sendimentasi
dair air.
d. Tahap Desinfeksi
Tahap ini dilkukan untuk menghilangkan mokroorganisme
yang masih terdapat di air.
(Priambodo & Indaryanto, 2017)
2.11. Faktor yang Mempengaruhi Koagulasi
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi koagulasi diantaranya
adalah:
a. Suhu air
Suhu air ini dapat mempengaruhi pembubuhan dosis
koagulan. Misalnya jika suhu air diturunkan besarnya daerah pH
yang optimum akan berubah sehingga mempengaruhi
pembubuhan dosis koagulan (Rahimah et al., 2016).
b. Derajat keasaman (ph)
Proses koagulasi akan berjalan dengan maksimal jika
terjadi pada daerah pH yang optimum (Rahimah et al., 2016).
c. Jenis koagulan dan dosisnya
Umumnya koagulan dalam bentuk larutan lebih efektif
dalam penggunaanya dibanding koagulan dalam bentuk serbuk
atau butiran (Rahimah et al., 2016).
d. Kadar ion terlarut
Ion-ion yang terlarut dalam air yang diolah mempengaruhi
proses koagulasi. Pada umumnya pengaruh anion lebih besar
daripada kation (Rahimah et al., 2016).
e. Tingkat kekeruhan
Pada tingkat kekeruhan air yang tinggi maka proses
destabilisasi akan berlangsung dengan lebih cepat (Rahimah et
al., 2016).
f. Kecepatan pengadukan
Pengadukan yang terlalu cepat berakibat pecahnya flok
yang terbentuk, sedangkan pengadukan yang terlalu lambat akan
menyebabkan terbentuknya flok juga lambat (Rahimah et al.,
2016)
g. Alkalinitas dalam air
Alkalinitas dalam air dapat membentuk flok dengan
melepaskan ion hidroksida pada reaksihidrolisa koagulan.
Alkalinitas dalam air ini dipengaruhi oleh asam dan basa pada
larutan (Rahimah et al., 2016)
2.12. Garam Sulfat
Garam-garam sulfat yang umum terdapat secara alami dalam tanah
merupakan garam-garam sulfat (Husin, 2010). Garam-garam tersebut
adalah Natrium sulfat dan Magnesium sulfat, yang banyak ditanah
alkalis. Garam sulfat ini biasanya berupan zat padat kristal putih yang
tidak berbau dan tidak larut dalam air.
2.13. Garam Klorida
Garam klorida ini umumnya berupa kristal putih. Contoh dari garam
klorida ini adalah NaCl, MgCl2. Pada logam golongan 1 mudah
bereaksi dengan halogen, dengan reaksi sebagai berikut:
2M(s) + Cl2(g) → 2MCl(s) (reaksi redoks)
(Rahman, 2011)
Pada logam golongan 2 (kecuali Be) mudah bereaksi dengan halogen
panas, dengan reaksi sebagai berikut:
M(s) + Cl2(g) → MCl2(s)
(Rahman, 2011)
Garam yang dihasilkan ini merupakan padatan ionik kristal putih yang
larut dalam air dan pH larutannya 7 dan garam ini mempunyai titik
leleh dan titik didih tinggi (Rahman, 2011).
2.14. Analisa Bahan
2.14.1. Poli alumunium klorida (PAC)
Sifat Fisika
Berwujud serbuk dan berwarna kuning pucat
Tidak berbau
Nilai pH - nya: 2.3 ± 0.3
Sifat Kimia
Dapat digunakan sebagai koagulan dalam koagulasi
dan flokulasi
Dapat membentuk endapan dengan HCl dan H2SO4
(MSDS, 2018)
2.14.2. FeCl3
Sifat Fisika
Berwujud serbuk
Berwarna hijau sampai hitam
Berbau pedih
Titik lebur 306 °C (penguraian)
Sifat Kimia
dapat menyublim peka terhadap lembab
Beresiko meledak dengan: Logam basa, Ethylen
oksida
Reaksi yang hebat dapat terjadi dengan : allyl chloride
aluminium, dengan, panas
(MSDS, 2007)
2.14.3. ZnSO4
Sifat Fisika
Berwujud padat dan berwarna putih
Tidak berbau
Memiliki pH 4,5
Memiliki titik leleh 100oC
Sifat Kimia
Dapat bereaksi dengan keras dengan basa kuat
Dalam pembakaran dapat menghasilkan gas/uap yang
bersifat korosif
(MSDS, 2016)
2.14.4. CaSO4
Sifat Fisika
Berwujud serbuk
Berwarna krem
Desitasnya 2,96 g/cm3
Sifat Kimia
Bahan yang tidak cocok seperti senyawa pengoksidasi
kuat
Hasil dekomposisi berbahaya dapat berupak sulfur
oksida
(MSDS, 2012a)
2.14.5. FeSO4
Sifat Fisika
Berwujud cairan
Berwarna biru kehijauan
Berbau sedikit asam
Nilai ph-nya >2,0
Sifat Kimia
Kondisi yang dihindari adalah pemanasan yang
berlebihan, dan reaksi dengan asam dan basa kuat.
Produk hasil dekomposisi adalah oksida dan sulfur
(MSDS, 2012b)
2.14.6. MgSO4
Sifat Fisika
Berwujud cairan
Tidak berwarna
Berbau ringan
Sifat Kimia
Stabil pada suhu ruang
Tidak berbahaya
(MSDS, 2012c)
2.14.7. Air sungai
Suhu air sungai maksimum 28°C
Padatan tersuspensi maksimum 2 mg/L
Kesadahan air maksimum 254,50 mg/L
(Rusmanto et al., 2004)
2.14.8.
III. METODE PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
3.1.1.1. Gelas Beker 250 ml
3.1.1.2. Erlenmeyer 250 ml
3.1.1.3. Pengaduk
3.1.1.4. Kertas saring whatman 42
3.1.1.5. Corong
3.1.1.6. Neraca analitik
3.1.1.7. Pompa vakum
3.1.2. Bahan
3.1.2.1. Poli alumunium klorida (PAC)
3.1.2.2. FeCl3
3.1.2.3. ZnSO4
3.1.2.4. CaSO4
3.1.2.5. FeSO4
3.1.2.6. MgSO4
3.1.2.7. Air sungai
3.1.3.
3.2. Gambar Alat
Erlenmeyer
Neraca Analitik
Pengaduk
Pompa Vakum
Kertas saring
3.3. Skema Kerja
3.3.1. Koagulasi dengan koagulan PAC
Air Sungai
Gelas Beker
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
3.3.2. Koagulasi dengan koagulan FeCl3
Air Sungai
Gelas Beker
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
3.3.3. Koagulasi dengan koagulan ZnSO4
Air Sungai
Gelas Beker
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
3.3.4. Koagulasi dengan koagulan CaSO4
Air Sungai
Gelas Beker
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
3.3.5. Koagulasi dengan koagulan FeSO4
Air Sungai
Gelas Beker
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
3.3.6. Koagulasi dengan Koagulan MgSO4
Air Sungai
Gelas Beker
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
IV. DATA PENGAMATAN
No Perlakuan Hasil
Pada percobaan ini bahan yang digunakan adalah 2 liter air sungai, poli
alumunium klorida (PAC), FeCl3, ZnSO4, tawas, FeSO4, dan MgSO4. Dalam hal
ini air sungai digunakan sebagai sampel koloidnya, sedangkan garam seperti poli
alumunium klorida (PAC), FeCl3, ZnSO4, CaSO4, FeSO4, dan MgSO4 digunakan
sebagai koagulannya. Air sungai sebanyak 2 liter yang telah diperoleh ini
kemudian dibagi menjadi 6 gelas sesuai dengan jumlah koagulannya.
Reaksi hidrolisis yang terjadi pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
Gummi, P., Uji, A., Fisik, S., Daya, D. A. N., & Surakarta, P. (2010). Formulasi
suspensi doksisiklin menggunakan.
MSDS. (2012a). Calcium Sulfate. Material Safety Data Sheet, 4(2), 8–10.
https://us.vwr.com/assetsvc/asset/en_US/id/16490607/contents
MSDS. (2012c). Magnesium Sulfate. Material Safety Data Sheet, 4(2), 8–10.
https://us.vwr.com/assetsvc/asset/en_US/id/16490607/contents
Rahimah, Z., Heldawati, H., & Syauqiah, I. (2016). Pengolahan Limbah Deterjen
dengan Metode Koagulasi - flokulasi Menggunakan Koagulan Kapur dan
PAC. Konversi, 5(2), 13–19. https://doi.org/10.20527/k.v5i2.4767
Rusmanto, T., Gunung, B., Yogyakarta, K., & Bribin, S. (2004). Analisis sifat
fisika, kimia, biologi dan radioaktivitas sampel air sungai bribin gunung
kidul yogyakarta. 189–196.