SISTEM DISPERSI
Disusun Oleh :
Jaya Sukmana 260110110086
Firdha Senja M. 260110110096
Dita Apriani 260110110104
Aryo Dwi Wicaksono 260110110110
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014
I. PENDAHULUAN SISTEM DISPERSI
Sistem dispersi adalah campuran dari dua zat yang terdiri dari fase
terdispersi dan medium pendispersi dimana zat yang terdispersi tersebut berada
dalam bentuk partikel-partikel yang tersebar secara merata ke dalam medium
pendispersi (Kopeliovich, 2013).
Sistem dispersi dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa cara. Seperti
berdasarkan ukuran partikel, ada tidaknya pengendapan, dan gaya Brown
(Wikipedia, 2014).
a. Metode Dispersi
Pada metode ini, partikel-partikel kasar akan direduksi ukurannya.
Dispersi dapat dicapai dengan menggunakan generator ultrasonikyang
berintensitas tinggi yang bekerja pada frekuensi lebih dari 20.000 putaran per
menit. Dapat juga digunakan proses penggilingan (milling dan grinding) pada
metode ini, walaupun efisiensinya rendah. Alat yang digunakan yaitu
penggiling koloid (colloid mill), di mana bahan diiris antara dua set lempeng
yang berdekatan, hanya mengurangi sebagian kecil dari total partikel ukuran
partikel koloid.
b. Metode Kondensasi
Pada metode ini, bahan-bahan berdimensi subkoloid diagregasi
menjadi partikel-partikel yang berada pada daerah ukuran koloid. Syarat
terbentuknya koloid liofobik dengan cara kondensasi adalah adanya keadaan
lewat jenuh dengan derajat yang tinggi diikuti dengan pembentukan dan
pertubuhan inti. Keadaan lewat jenuh juga dapat dicapai dengan penggantian
pelarut atau mengurangi temperatur.
Metode kondensasi yang lain bergantung pada suatu reaksi kmia
seperti reduksi, oksidasi, hidrolisis, atau penguraian rangkap. Oksidasi
hidrogen sulfide menghasilkan pembentukan atom belerang dan suatu sol
belerang. Jika larutan FeCl3 ditambahkan ke dalam air dengan volume besar,
akan terjadi hidrolisis dengan pembentukan suatu sol besi (III) oksida hidrat.
Berikut ini adalah tabel perbedaan dari sol liofilik dan sol liofobik:
(Ratna dkk, 2009).
3. Koloid Gabungan
Koloid gabungan atau koloid amfifilik merupakan golongan ke tiga dari
penggolongan koloid. Molekul-molekul atau ion-ion tertentu disebut amfifil atau
zat aktif permukaan. Amfifil atau zat aktif permukaan ini berciri mempunyai dua
daerah yang berbeda yang melawan afinitas larutan dalam molekul atau ion yang
sama. Jika ada dalam suatu medium cair dengan konsentrasi rendah, amfifil
berada terpisah dan mempunyai ukuran seperti subkoloid. Jika konsentgrasi
ditingkatkan, terjadi agregasi pada suatu jangkauan konsentrasi yang sangat
sempit
Amfifil mungkin anionic, kationik, nonionik, atau amfolitik. Hal ini
menyebabkan mudahnya terjadi koloid gabungan.
(a) Misel bola dalam air; (b) misel dalam media nonair; (c) misel laminar,
terbentuk pada konsentrasi tinggi, dalam air
2. Difusi
Partikel akan berdifusi secara spontan dari tempat yang
berkonsentrasi tinggi ke rendah, sampai konsentrasinya seimbang.
dc
dq DS dt
dx
Berdasarkan hukum pertama Fick : jumlah zat dq yang berdifusi dalam
waktu dt melewati bidang seluas S adalah berbanding lurus dengan
perubahan konsentrasi dc terhadap jarak yang dilalui dx.
D: koefisien difusi yaitu jumlah zat yang berdifusi per satuan waktu
melewati satu satuan luas jika dx/dt ( disebut konsentrasi gradien) sama
dengan satu. D mempunyai dimensi luas per satuan waktu.
Partikel koloidal berbentuk sferis, maka persamaan Sutherland-
Einstein atau Stokes-Einstein:
kT RT RT 4N
D D 3
6r 6rN 6N 3Mv
(Martin, 1993).
3. Viskositas
Viskositas dispersi koloid dipengaruhi oleh bentuk partikel fase
dispersi. Koloid bulat (sferokoloid) membentuk dispersi dengan viskositas
relatif rendah sedangkan koloid linier bersifat lebih kental. Jika koloid
linier didispersikan dalam pelarut yang afinitasnya rendah terhadap koloid
tersebut maka bentuknya cenderung dianggap bulat dan viskositasnya
menurun (Martin, 1993).
Hubungan viskositas dengan jenis koloid yaitu :
Pada koloid hidrofilik, partikel fase dispersnya tersolvatasi dengan
molekul solven maka dengan adanya kenaikan kadar akan
menyebabkan kenaikan viskositas secara nyata sehingga cps besar.
Pada koloid hidrofobik, dimana fase dispersnya tidak tersolvatasi oleh
molekul solven sehingga kadar tidak mempengaruhi vskositasnya
(Martin, 1993).
4. Sedimentasi
Kecepatan sedimentasi v dari partikel-partikel bulat yang
II.7 Solubilisasi
Kemampuan dari misel untuk meningkatkan kelarutan zat yang secara
normal tidak larut, atau hanya sedikit larut, dalam medium dispersi yang
digunakan. Tempat molekul mengalami penglarutan dalam suatu misel
berhubungan dengan keseimbangan antara sifat olar dan non polar dari molekul
tersebut. Lawrence menyatakan bahwa molekul non polar dalam sistem air dari
zat aktif permukaan ionic terletak pada inti hidrokarbon dari misel tersebut,
sedangkan molekul polar cenderung teradsorpsi pada permukaan misel. Molekul
polar- non polar akan cendrung meluruskan diri dalam posisi di tengah di dalam
molekul-molekul surfaktan membentuk misel (Martin, 1993).
III. SUSPENSI
III.1 Pendahuluan Suspensi
Suspensi adalah suatu dispersi kasar dimana partikel zat padat yang tidak
larut terdispersi dalam suatu medium cair. Suspensi memiliki diameter partikel >
0,1 mm. Partikel pada suatu suspensi tidak menggumpal dan tetap terdistribusi
merata di seluruh sistem dispersi. Persyaratan suatu suspensi ialah zat yang
tersuspensi tidak boleh cepat mengendap. Selain itu, bila partikel-partikel tersebut
mengendap maka tidak boleh membentuk gumpalan padat atau harus terdispersi
kembali apabila dikocok. Suspensi tidak boleh terlalu kental sehingga mudah
dituang dari botol atau melewati jarum injeksi. Untuk sediaan obat luar, suspensi
harus cukup cair sehingga dengan mudah tersebar di permukaan. Tetapi pada
sediaan obat luar, suspensi juga tidak boleh terlalu mudah bergerak sehingga
mudah hilang dari permukaan (Martin, 1993).
Untuk tujuan farmasi, kestabilan fisika dari suspensi bisa didefinisikan
sebagai keadaan dimana partikel tidak menggumpal dan tetap terdistribusi merata
diseluruh sistem dispersi. Walaupun merupakan suatu kemungkinan yang kecil
untuk benar-benar mencegah pengendapan dalam suatu periode waktu yang lama,
perlu juga dipertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pengendapan (Martin, 1993).
Dimana:
ΔF adalah kenaikan dalam kerja (W) atau energi bebas permukaan
γ SL adalah tegangan antarmuka medium cair dan partikel padat
ΔA adalah kenaikan luas permukaan total
Agar mencapai suatu keadaan yang stabil, sistem tersebut cenderung
mengurangi energi bebas permukaan; kesetimbangan dapat dicapai jika ΔF = 0.
Solusinya dapat dilakukan penambahan surfaktan untuk menurunkan tegangan
permukaan. Namun hasilnya tidak akan sampai 0, sehingga suatu suspensi
biasanya mempunyai tegangan antarmuka positif tertentu dan partikel cenderung
untuk berflokulasi (Martin, 1993).
= F /F ¥
F¥ adalah volume sedimentasi suspensi terdeflokulasi (terpeptisasi).
F¥ = V ¥ / Vo
Subtitusi persamaan diatas didapatkan:
Sehingga dapat dikatakan bahwa:
(Martin, 1993).
Flokulasi Terkontrol
Zat-zat yang digunakan elektrolit, surfaktan, dan polimer. Elektrolit
bekerja sebagai zat pemflokulasi dengan Menurunkan penghalang (barrier) listrik
di antara partikel dan pembentukan jembatan antar partikel sehingga terjadi
keterikatan satu sama lain membentuk struktur yang longgar. Surfaktan ionik
maupun non ionik dapat digunakan sebagai flokulasi partikel yang tersuspensi.
Polimer memiliki rantai panjang diadsorbsi pada permukaan partikel dengan
bagian tersisa mengarah keluar medium dispers membentuk jembatan flokulasi
(Martin, 1993).
Gambar. Diagram caking, memperlihatkan flokulasi suspensi bismut subnitrat
oleh KH2PO4
Pertimbangan Rheologik
Viskositas akan berhubungan dengan perubahan sifat aliran dan kualitas
penyebaran. Prinsip reologi dapat diterapkan dalam suatu penelitian mengenai
faktor-faktor berikut ini yaitu viskositas suspensi yang mempengaruhi
pengandapan partikel-partikel terdispersi, perubahan sifat alir suspensi jika wadah
dikocok dan jika produk dituang dari botol, serta kualitas penyebaran lotion ketika
dioleskan pada daerah tertentu. Pertimbangan reologi juga penting dalm pembutan
suspensi (Martin, 1993).
Pembuatan Suspensi
1. Skala Besar: Dispersi zat padat dalam cairan menggunakan bola, kelereng dan
colloid mill.
2. Skala Kecil: Menumbuk halus bahan tidak larut ditambahkan pembawa tang
mengandung penstabil dispersi dan perlahan menambahkan sisa fase cair
dimana obat dapat dilarutkan (Martin, 1993).
IV. EMULSI
IV.1 Pendahuluan Emulsi
Emulsi merupakan jenis koloid dengan fase terdispersinnya berupa fase
cair dengan medium pendispersinya bisa berupa zat padat, cair, ataupun gas.
Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua zat yang tidak dapat
bercampur, biasanya terdiri dari minyak dan air, dimana cairan yang satu
terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain. Dispersi ini tidak
stabil, butir – butir ini bergabung (koalesen) dan membentuk dua lapisan yaitu air
dan minyak yang terpisah yang dibantu oleh zat pengemulsi (emulgator) yang
merupakan komponen yang paling penting untuk memperoleh emulsi yang
stabil. Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting
agar memperoleh emulsi yang stabil. Zat pengemulsi adalah PGA, tragakan,
gelatin, sapo dan lain-lain. Emulsi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
emulsi vera (emulsi alam) dan emulsi spuria (emulsi buatan). Emulsi vera dibuat
dari biji atau buah, dimana terdapat disamping minyak lemak juga emulgator yang
biasanya merupakan zat seperti putih telur (Anief, 2000).
Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari cairan yang mudah dituang
hingga krim setengah padat. Umumnya krim minyak dalam air dibuat pada suhu
tinggi, berbentuk cair pada suhu ini, kemudian didinginkan pada suhu kamar, dan
menjadi padat akibat terjadinya solidifikasi fase internal. Dalam hal ini, tidak
diperlukan perbandingan volume fase internal terhadap volume fase eksternal
yang tinggi untuk menghasilkan sifat setengah padat, misalnya krim stearat atau
krim pembersih adalah setengah padat dengan fase internal hanya hanya 15%.
Sifat setengah padat emulsi air dalam minyak, biasanya diakibatkan oleh fase
eksternal setengah padat (Anief, 1999).
Polimer hidrofilik alam, semisintetik dan sintetik dapat digunakan bersama
surfakatan pada emulsi minyak dalam air karena akan terakumulasi pada antar
permukaan dan juga meningkatkan kekentalan fase air, sehingga mengurangi
kecepatan pembentukan agregat tetesan. Agregasi biasanya diikuti dengan
pemisahan emulsi yang relatif cepat menjadi fase yang kaya akan butiran dan
yang miskin akan tetesan. Secara normal kerapatan minyak lebih rendah daripada
kerapatan air, sehingga jika tetesan minyak dan agregat tetesan meningkat,
terbentuk krim. Makin besar agregasi, makin besar ukuran tetesan dan makin
besar pula kecepatan pembentukan krim (Anief, 1999).
Semua emulsi memerlukan bahan anti mikroba karena fase air
mempermudah pertumbuhan mikroorganisme. Adanya pengawetan sangat penting
untuk emulsi minyak dalam air karena kontaminasi fase eksternal mudah terjadi.
Karena jamur dan ragi lebih sering ditemukan daripada bakteri, lebih diperlukan
yang bersifat fungistatik atau bakteriostatik. Bakteri ternyata dapat menguraikan
bahan pengemulsi ionik dan nonionik, gliserin dan sejumlah bahan pengemulsi
alam seperti tragakan dan gom (Anief, 1999).
Masing – masing emulsi dengan medium pendipersi yang berbeda juga
mempunyai nama yang berbeda,yaitu sebagai berikut:
a) Emulsi gas (aerosol cair)
Emulsi gas merupakan emulsi dengan fase terdispersinnya berupa fase
cair dan medium pendispersinnya berupa gas.Salah satu contohnya hairspray,
dimana dapat membentuk emulsi gas yang diingikan karena adannya bantuan
bahan pendorong atau propelan aerosol.
b) Emulsi cair
Emulsi cair merupakan emulsi dengan fase terdispersinya maupun
pendispersinnya berupa fase cairan yang tidak saling melarutkan karena kedua
fase bersifat polar dan non polar.Emulsi ini dapat digolongkan menjadi 2
jenis yaitu emulsi minyak didalam air contoh susu terdiri dari lemak sebagai
fase terdispersi dalam air jadi butiran minyak didalam air atau emulsi air
dalam minyak contoh margarine terdispersi dalam minyak jadi butiran air
dalam minyak.
c) Emulsi padat
Emulsi padat merupakan emulsi dengan fase terdispersinnya cair
dengan fase pendispersinnya berupa fase padat.Contoh : Gel yang dibedakan
menjadi gel elastic dan gel non elastic dimana gel elastic ikatan partikelnya
tidak kuat sedangkan non elastic ikatan antar partikelnya membentuk ikatan
kovalen yang kuat (Anief, 1999).
Gel elastic dapat dibuat dengan mendinginkan sol iofil yang pekat contoh
gel ini adalah gelatin dan sabun.Sedangkan gel non-elastis dapat dibuat secara
kimia sebagai contoh gel silica yang terbentuk karena penambahan HCl pekat
dalam larutan natrium silikat sehingga molekul – molekul asam silikat yang
terbentuk akan terpolimerisasi dan membentuk gel.
Terdapat 2 tipe emulsi yaitu sebagai berikut (Anief, 1999) :
1) Emulsi A/M yaitu butiran – butiran air terdispersi dalam minyak
Pada emulsi ini butiran – butiran air yang hidrofilik stabil dalam minyak yang
hidrofobik.
2) Emulsi M/A yaitu butiran – butiran minyak terdispersi dalam air
Minyak yang hidrofobik stabil dalam air yang hidrofilik
Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan zat
pengemulsi atau emulgator untuk menstabilkan. Tujuan dari penstabilan adalah
untuk mencegah pecahnya atau terpisahnya antara fase terdispersi dengan
pendispersinnya. Dengan penambahan emulgator berarti telah menurunkan
tegangan permukaan secara bertahap sehingga akan menurunkan energi bebas
pembentukan emulsi, artinya dengan semakin rendah energi bebas pembentukan
emulsi akan semakin mudah (Anief, 1999).
Namun kesetabilan emulsi juga dipengaruhi beberapa faktor lain yaitu, ditentukan
gaya – gaya:
Gaya tarik – menarik yang dikenal gaya Van der walss. Gaya ini menyebabkan
partikel – partikel koloid membentuk gumpalan lalu mengendap
Gaya tolak – menolak yang terjadi karena adanya lapisan ganda elektrik yang
muatannya sama saling bertumpukan.
Sedangkan bentuk – bentuk ketidak stabilan dari emulsi sendiri ada beberapa
macam yaitu sebagai berikut (Ladytulipe, 2009) :
o Flokulasi, karena kurangnya zat pengemulsi sehingga kedua fase tidak tertutupi
oleh lapisa pelindung sehingga terbentuklah flok –flok atau sebuah agregat
o Koalescens, yang disebabkan hilangnya lapisan film dan globul sehingga
terjadi pencampuran
o Kriming, adanya pengaruh gravitasi membuat emulsi memekat pada daerah
permukaan dan dasar
o Inversi massa (pembalikan massa ) yang terjadi karena adannya perubahan
viskositas
o Breaking/demulsifikasi, lapisan film mengalami pemecahan sehingga hilang
karena pengaruh suhu.
Emulsi dapat mengalami kestabilan namun juga dapat mengalami
kerusakan (demulsifikasi) dimana rusaknya emulsi ini disebabkan faktor suhu,
rusaknya emulgator sendiri, penambahan elektrolit sehingga semua ini akan dapat
menyebabkan timbulnya endapan atau terjadi sedimentasi atau membentuk
krim.Contoh penggunaan proses demulsifikasi dengan menambahkan elektrolit
guna pemisahan karet dalam lateks yaitu menambahkan asam format asam asetat
(Nuranimahabah,2009).
Cara Menentukan Tipe Emulsi
1) Uji pengenceran.
Metode ini tergantung pada kenyataan bahwa suatu emulsi M/A dapat
diencerkan dengan air dan emulsi A/M dengan minyak. Saat minyak
ditambahkan, tidak akan bercampur ke dalam emulsi dan dan akan nampak
nyata pemisahannya. Tes ini secara benar dibuktikan bila penambahan air
atau minyak diamati secara mikroskop.
2) Uji Konduktivitas.
Emulsi dimana fase kontinyu adalah cair dapat dianggap memiliki
konduktivitas yang tinggi dibanding emulsi dimana fase kontinyunya adalah
minyak. Berdasarkan ketika sepasang elektrode dihubungkan dengan sebuah
lampu dan sumber listrik, dimasukkan dalam emulsi M/A, lampu akan
menyala karena menghantarkan arus untuk kedua elektrode. Jika lampu
tidak menyala, diasumsikan bahwa sistem A/M.
IV.2Teori Emulsifikasi
Teori emulsifikasi ini dapat terbagi menjadi 2, yaitu "Teori Tegangan
Permukaan" dan "Teori Oriented-Wedge".
Adsorpsi Monomolekuler.
Zat yang aktif pada permukaan, mengurangi tegangan antarmuka karena
adsorpsinya pada batas minyak/air membentuk lapisan-lapisan monomolekular.
Tetesan-tetean terdispersidikelilingi oleh suatu lapisan monolayer yang saling
melekat yangmembantu mencegah terjadinya pengelompokkan antar dua
tetesan ketikakedua tetesan tersebut saling mendekat (Martin, 1993).
Adsorpsi Molekular.
Adsorsi molekular dapat terjadi dengan penggunaanzat pengemulsi
(seperti ; koloida liofilik berhidrat) yang dapat membentuksuatu lapisan
multimolekular pada antarmuka dan bukan suatu lapisanmonomolekular. Karena
zat pengemulsi itu membentik lapisan-lapisanmultilayer sekeliling tetesan yang
bersifat hidrofilik, maka zat ini cenderunguntuk membentuk emulsi o/w (Martin,
1993).
V. GEL
Gel adalah sistem padat atau setengah padat dari paling sedikit dua
konstituen yang terdiri dari massa seperti pagar yang diselusupi oleh cairan. Jika
matriks yang saling melekat kaya akan cairan maka produk ini seringkali
disebut jelly. Contoh jelly ephedrin sulfat dan jelly yang biasa dimakan. Jika
cairannya hilang dan tinggal kerangkanya saja, gel ini dikenal sebagai xerogel
(Martin, 1993).
Gel bisa digolongkan baik dalam sistem dua fase atau dalam sistem satu
fase. Massa gel dapat terdiri dari gumpalan (flokulat) partikel-partikel kecil dan
bukan molekul-molekul besar seperti ditemukan pada gel aluminium hidroksida,
magma bentonit dan magma magnesium. Struktur ge1 dalam sistem dua fase ini
tidak selalu stabil. Gel-gel tersebut mungkin tiksotropik yang membentuk massa
setengah padat pada pendiaman dan menjadi cairan jika dikocok (Martin, 1993).
Sebaliknya, suatu gel mungkin terdiri dari makromolekul-makromolekul
yang berupa jalinan/anyaman benang-benang. Unit-unit tersebut seringkali terikat
bersama-sama dengan gaya van der Walls yang lebih kuat sehingga membentuk
daerah kristal dan daerah amorf di seluruh sistem tersebut seperti terlihat pada
Gambar 13d. Contoh gel seperti itu ialah tragacanth dan karboksimetilselulosa.
Gel-gel ini dianggap sebagai sistem satu fase, karena tidak ada batas-batas yang
jelas antara makromolekul terdispers dan cairan (Martin, 1993).
Gel bisa dibagi dua golongan, yakni: gel anorganik dan gel organik. Gel
anorganik umumnya merupakan sistem dua-fase, sedangkan gel organik
merupakan sistem satu-fase, karena matriks padat dilarutkan dalam cairan
membentuk suatu campuran gelatin yang homogen. Gel bisa juga mengandung
air, dan ini disebut hidrogel, contohnya: gelatin gel. Gel bisa juga mengandung
cairan organik, dalarn hal ini disebut organogel, misalnya: petrolatum (Martin,
1993).
VI. PENGGOLONGAN SEMISOLID FARMASETIK
Sediaan-sediaan semisolid, terutama preparat semisolid yang digunakan
sebagai basis untuk jelly, salep-salep dan suppositoria, dapat digolongkan seperti
yang terlihat pada Tabel dibawah. Susunan tersebut adalah asal saja (seadanya)
dan masih mengandung beberapa kesulitan, seperti juga penggolongan lain.
II. Hidrogel
A. Hidrogel organic Pasta pectin, Jelly tragacanth
B. Hidrgel anorganik Gel bentonit, gel Magn Al silikat koloidal
(Martin, 1993).
Selama ini ada kekacauan dalam definisi, sebagian karena cepatnya
perkembangan tipe basis yang lebih baru. Batasan seperti "tipe emulsi", "tercuci-
air", "larut dalam air", "mengabsorbsi air", "basis pengabsorpsi", "hidrofilik";
"tidak berlemak" dan lainnya telah ada daiam Iiteratur, seperti juga pada label-
label basis dalam perdagangan, di mana artinya tidak jelas dan-kadang-kadang
membingungkan. Misalnya tidak berlemak telah digunakan baik untuk basis yang
dapat terdispersi dalam air yang tidak mengandung lemak, serta untuk basis-basis,
o/w karena mereka rasakan tidak berlemak jika disentuh dan dapat dihilangkan
dari kulit dan pakaian “krim" dan "pasta" juga sering dikacaukan. Pasta pektin
adalah suatu jelly, sedangkan pasta zink oksida adalah suatu suspensi semisolid.
Apakah arti dari basis_mengadsorpsi (adsorption base)? Apakah tersirat bahwa
basis tersebut teradsorpsi dengan cepat ke dalam kulit? Apakah obat tersebut
tercampur sedemikian rupa dalam basis tersebut sehingga mudah dilepaskan dan
di-absorpsi secara berurutan atau apakah basis tersebut sanggup
mengabsorbsi airdalam jumlah besar? Contoh di atas menunjukkan kesulitan-
kesulitan yang timbul bila digunakan nama-nama yang berbeda untuk produk
yang sama atau jika diberikan definisi-defmisi yang berbeda untuk istitah yang
sama (Martin, 1993).
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Lala. 2009. Emulsi. Tersedia online di
http://ladytulipe.wordpress.com/2009/01/04/emulsi/ [diakses 01 Juli 2014]
Anief, M., (1999). Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Anief. 2000. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktek. Jogjakarta : UGM Press
Kopeliovich, D. 2013. Classification of Dispersion. Available online at
http://www.substech.com/dokuwiki/doku.php?
id=classification_of_dispersions [diakses tanggal 1 Juli 2014].
Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik: Dasar-Dasar
Kimia Fisika dalam Ilmu Farmasetika. UI Press. Jakarta.
Nuranimahabah. 2009, koloid suspense larutan (kimia). Tersedia online di
http://nuranimahabbah.wordpress.com/2009/05/16/koloid-suspensi-
larutan-kimia/ [diakses 01 Juli 2014]
Ratna dkk. 2009. Koloid Liofil dan Koloid Liofob. Tersedia di http://www.chem-
is-try.org/materi_kimia/kimia-smk/kelas_x/koloid-liofil-dan-koloid-liofob/
[diakses tanggal 1 Juli 2014].
Sumardjo, D. 2006. Pengantar Kimia. EGC. Jakarta.
Wikipedia. 2014. Dispersion (Chemistry). Available online at
http://en.wikipedia.org/wiki/Dispersion_(chemistry) [diakses tanggal 1 Juli
2014].