Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN PRAKTIKUM

FITOKIMIA I
“EKSTRAKSI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA KIMIA
EKSTRAK ETANOL 70% DAUN JARAK PAGAR (Jatropha
curcas L.)”

DISUSUN OLEH :
TRANSFER A 2020
KELOMPOK II
ALVYOLIAN B. MANANGSANG (20018012)
ERNITA PARE TANGA (20018017)
MAGFIRAH P. ARIFIN (20018014)
MIKA YONATAN KALELEAN (20018015)
NURFEBYANTI YUSUF (20018011)
OWEN HENRY TANDIARRANG (20018013)
VINI ATIKA ARUM S. BEDES (20018010)

ASISTEN : MARWATI, S.Farm.,M.Si

LABORATORIUM BIOLOGI
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan Laporan Praktikum Fitokimia I “Ekstraksi Dan Identifikasi
Senyawa Kimia Ekstrak Etanol 70% Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.)” dengan baik.
Penyusunan Laporan Praktikum Fitokimia I ini tidak dapat terlaksana
tanpa bantuan dan bimbingan dari pihak yang dengan ikhlas bersedia
meluangkan waktu membantu kami dalam penyusunan laporan praktikum
fitokimia I. Oleh karena itu dengan penuh rasa hormat dan dengan
setulusnya saya berterima kasih kepada asisten atas bimbingan dan ilmu
yang telah diberikan kepada kami. Sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan laporan praktikum fitokimia I ini tepat pada waktunya dan
sesuai dengan yang kami harpakan. Dan kami ucapkan terimakasih
kepada rekan-rekan dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan
laporan praktikum fitokimia I ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Praktikum
Fitokimia I ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu, kami menerima
masukan, kritikan yang sifatnya membangun guna kesempurnaan
Laporan Praktikum Fitokimia I ini. Semoga laporan praktikum fitokimia I ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, Desember 2020

Kelompok 2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang..................................................................................1
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan.......................................................2
I.2.1 Maksud Percobaan.................................................................2
I.2.2 Tujuan Percobaan...................................................................2
I.3 Manfaat Percobaan..........................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)........................4
II.1.1 Klasifikasi Tanaman Jarak Pagar..........................................4
II.1.2 Morfologi Tanaman Jarak Pagar...........................................5
II.1.3 Nama Lain Tanaman Jarak Pagar.........................................5
II.1.4 Kandungan Kimia Tanaman Jarak Pagar..............................5
II.1.5 Khasiat Tanaman Jarak Pagar..............................................6
II.2 Simplisia..........................................................................................6
II.3 Ekstraksi..........................................................................................9
II.3.1 Ekstraksi Secara Dingin.........................................................9
II.3.2 Ekstraksi Secara Panas.......................................................10
II.4 Uji Fitokimia...................................................................................15
II.5 Senyawa Metabolit Sekunder........................................................15
II.6 Partisi.............................................................................................19
II.7 Kromatografi Lapis Tipis................................................................20
II.7.1 Pengertian Kromatografi Lapis Tipis...................................20
II.7.2 Penyinaran UV 254 nm dan 366 nm...................................21
II.7.3 Identifikasi KLT....................................................................21
II.7.4 Rf (Retention/Retadation factor)..........................................22
BAB III METODE KERJA
III.1 Waktu dan Tempat.......................................................................24
III.2 Alat dan bahan.............................................................................24
III.2.1 Alat......................................................................................24
III.2.2 Bahan..................................................................................24
III.3 Prosedur Kerja..............................................................................24
III.3.1 Pengambilan Sampel...........................................................24
III.3.2 Pembuatan Simplisia..........................................................25
III.3.3 Pembuatan Ekstrak.............................................................25
III.3.4 Uji Fitokimia........................................................................25
III.3.5 Cara Kerja Partisi................................................................26
III.3.6 Cara kerja Kromatografi Lapis Tipis...................................27
BAB IV HASIL DAN PEBAHASAN
IV.1 Pengolahan Simplisia...................................................................28
IV.2 Ekstraksi.......................................................................................29
IV.3 Uji Fitokimia..................................................................................30
IV.4 Partisi...........................................................................................35
IV.5 Kromatografi Lapis Tipis..............................................................38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan....................................................................................42
V.2 Saran.............................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................43
LAMPIRAN.................................................................................................48
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki iklim tropis dan kondisi geografis yang mendukung
tumbuhnya bermacam tanaman. Salah satu tanaman yang tubuh subur di
hampir setiap daerah di Indonesia adalah tanaman Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.). Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) adalah tanaman
perdu yang memiliki tinggi 1-7 m dengan cabang yang tidak teratur.
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) tergolong tanaman dikotil
dalam family Euporbeaceae dan genus Jatropha (Kesumasari, et al.
2018).
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.), banyak digunakan
masyarakat indonesia untuk mengobati berbagai macam penyakit karena
memiliki banyak manfaat. Biji jarak digunakan sebagai pencuci perut,
menghambat pertumbuhan bakteri xanthomas campestris yang
mengakibatkan penyakit busuk hitam pada tanaman kubis. Daun jarak
pagar (Jatropha curcas L.) digunakan sebagai obat malaria dan pembeku
atau penstabil darah, obat demam, penangan rematik, serta jaundice.
Serta getah pada tanaman ini dapat digunakan sebagai obat diare
(Nasution, et al. 2019).
Studi fitokimia Jatropha curcas L., mengungkapkan adanya
kandungan metabolit sekunder seperti saponin, steroid, tanin, glikosida,
alkaloid, dan flavonoid (Igbinosa, 2009). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Nwokocha, et al (2011), diketahui bahwa daun jarak pagar
(Jatropha curcas L.) mengandung senyawa alkaloid, saponin, tanin,
fenolik dan flavonoid.
Penelitian oleh Nasution, et al (2019) tentang skrining fitokimia daun
jarak pagar (Jatropha curcas L.), melakukan skrining fitokimia pada
ekstrak metanol daun jarak pagar dan pada daun jarak pagar yang masih
segar. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa ekstrak metanol

1
daun jarak pagar mengandung alkaloid (yang didapatkan saat
menambahan reagen wagner), dan steroid. Sedangkan pada daun jarak
pagar segar mengandung alkaloid, steroid, dan saponin.
Penelitian oleh Adinata, et al (2013), mengindektifikasi senyawa
metabolit sekunder fraksi aktif daun jarak pagar (Jatropha curcas L.)
menggunakan metode Kromotografi Lapis Tipis (KLT). Penelitian tersebut
melakukan uji fitokimia alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, kuinon, dan
steroid/tritepenoid pada serbuk daun, ekstrak etanol, fraksi n-heksan,
fraksi etil asetat, dan fraksi air. Didapatkan hasil bahwa pada serbuk daun
dan ekstrak etanol daun jarak pagar mengandung semua senyawa tetapi
tidak ditemukan adanya kuinon. Fraksi n-heksan daun jarak pagar tidak
ditemukan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, kuinon, namun
mengandung steroid/triteponoid. Begitupun pada fraksi air yang hanya
mengandung alkaloid dan saponin. Pada fraksi etil asestat hanya
mengandung alkaloid, flavonoid, tanin dan steroid/triterpenoid.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka ingin dilakukan identifikasi
kandungan senyawa yang terdapat pada ekstrak etanol 70% daun jarak
pagar (Jatropha curcas L.) menggunakan metode skrining fitokimia dan uji
penegasan dengan metode KLT serta melakukan fraksinasi dengan
metode partisi.

I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan


I.2.1 Maksud Percobaan
Maksud percobaan ini untuk mengetahui kadungan senyawa metabolit
sekunder dalam daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan metode
skrining fitokimia dan KLT, serta mengetahui metode partisi.
I.2.2 Tujuan percobaan
1. Untuk mengetahui metode ekstraksi daun jarak pagar (Jatropha
curcas L.)
2. Untuk mengetahui kandungan kimia atau metabolit sekunder dalam
ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha curcas L.)

2
3. Untuk mengetahui metode partisi, serta jumlah hasil fraksi
berdasarkan kepolaran pelarut yang berbeda
4. Untuk mengetahui nilai Rf fraksi yang digunakan dalam uji KLT

I.3 Manfaat Percobaan


Manfaat dari praktikum ini, diharapkan dapat memberikan informasi
tentang metode ekstraksi, metode partisi serta kandungan senyawa pada
ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang diteliti
menggunakan uji skrining fitokimia dan uji KLT agar dapat dijadikan
sebagai referensi selanjutnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Uraian Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)


Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman yang
banyak ditemukan didaerah tropik. Tanaman ini dikenal sangat tahan
kekeringan dan mudah diperbanyak dengan stek. Sesuai dengan namanya,
tanaman ini digunakan sebagai tanaman pagar dan obat tradisional
disamping sebagai bahan bakar hayati dan minyak pelumas. Jarak pagar
dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tetapi memiliki drainase baik,
tidak tergenang, dan pH tanah 5,0-6,5 (Budikafa, 2010).

Gambar 1. Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)


II.1.1 Klasifikasi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Adapun klasifikasi jarak pagar (Jatropha curcas L.) (Nurcholis dan
Surmasih, 2007) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnolipsida
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Spesies : Jatropha curcas Linn

II.1.2 Morfologi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

4
Jarak pagar (Jatropha curcas L.) adalah tanaman perdu yang memiliki
tinggi 1-7 meter dengan cabang yang tidak teratur. Batangnya berkayu dan
apabila dipotong atau terluka akan mengeluarkan getah. Daun jati tanaman
ini berlekuk, tunggal, memiliki sudut 3 atau 5 dimana memiliki tulang daun
yang menjari dengan 5-7 tulang utama, warna daun hijau namun warna
permukaaan daun bagian bawah lebih pucat. Tangkai tanaman ini dapat
mencapai 4-15 cm, bunga yang dihasilkan berupa bunga majemuk dengan
warna kuning kehijauan. Buah berwarna hijau Ketika muda dan akan
berubah menjadi kuning kecoklatan atau kehitaman ketika masak. Buah
terbagi menjadi tiga ruang, masing–masing ruang berisi satu biji sehingga
dalam setiap buah terdapat 3 biji, bijinya berbentuk bulat lonjong
(Kesumasari, et al., 2018).
II.1.3 Nama Lain Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Menurut Heyne (1987), menyatakan bahwa nama jarak pagar (Jatropha
curcas L.) sesuai dengan daerah tempat tumbuhnya, yaitu nawaib nawas
(Aceh); balacae (Manado); damar ende (Timor); jirak (Minangkabau), jarak
kosta (Sunda); jarak budge, jarak gundul, jarak iri, jarak pager, jarak cina
(Jawa); kaleke, kaleke paghar (Madura); jarak pageh (Bali); kuman newa
(Alor); beaw (Sulawesi Utara); bintalo, bian (Gorotalo); tondo ntomene
(Baree); tangang-tangang kali kanjoli (Makassar); paleng kaliki (Bugis); lulu
nau, lulu ai fula (Rote); paku kase, paku luba, paku lunat (Timor); ai huwa
kama, balacai, kodoto (Maluku).
II.1.4 Kandungan Kimia Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Tanaman Jatropha curcas mengandung berbagai macam senyawa
kimia, beberapa diantaranya merupakan senyawa aktif. Senyawa kimia yang
terisolasi dari bagian daun dan ranting J curcas meliputi siklik triterpen
stigmasterol, β-sitosterol, 7-keto-β-sitosterol. Selain itu, daun dan biji
Jatropha curcas mengandung fenol, terpenoid, flavonoid, saponin
(Okskoueian, et al., 2011), dan alkaloid (Gupta, et al., 2011).
Bagian daun jarak pagar mengandung saponin, flavonoid, tannin,
epigenin, vitexsin, dan senyawa polifenol. Batang jarak pagar mengandung

5
β-sitosterol dan β-D-glukosida, marmesin, propacin, curculathrine A dan B,
diterpenoid jatropol, jatropholone A dan B, coumarin tomentin, dan
coumarino jatrophin. Getah Jatropha curcas mengandung tani, saponin, dan
flavonoid. Biji Jatropha curcas mengandung berbagai senyawa golongan
alkaloid, saponin, dan sejenis protein beracun, yang disebut kursin
(Hambali, 2007).
II.1.5 Khasiat Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Semua bagian tanaman jarak pagar telah digunakan sebagai obat
tradisional oleh masyarakat Indonesia. Jatropha curcas biasa digunakan
oleh masyarakat sebagai obat penyembuh luka, pengobatan penyakit kulit,
obat batuk, antiseptik pasca melahirkan dan sebagai obat untuk penyakit
rematik (Nurmillah, 2009).
Lateks dari biji Jatropha curcas memiliki sifat antibiotik terhadap
beberapa bakteri, dioleskan langsung pada luka dan dapat digunakan
sebagai antiseptik seperti pada ruam, luka bakar, dan infeksi kulit (Bartoli,
2008). Ekstrak biji Jatropha curcas dapat mengobati penyakit seperti hernia,
kanker, arthritis, gout, jaundice, luka bakar, kejang, demam, dan
peradangan (Prasad, et al., 2012).

II.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat, belum
mengalami pengolahan apapun, umumnya dalam keadaan kering, langsung
digunakan sebagai obat dalam atau banyak digunakan sebagai obat dalam
sediaan galenik tertentu atau digunakan sebagai bahan dasar untuk
memperoleh bahan baku obat. Sedangkan sediaan galenik berupa ekstrak
total mengandung 2 atau lebih senyawa kimia yang mempunyai aktifitas
farmakologi dan diperoleh sebagai produk ekstraksi bahan alam serta
langsung digunakan sebagai obat atau digunakan setelah dibuat bentuk
formulasi sediaan obat terbtetu yang sesuai. Simplisia dibagai menjadi 3
golongan, yaitu : simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan
(mineral) (Depkes RI, 1995) :

6
1. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman/eksudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat tanaman
adalah isi sel yang secara spotan keluar dari tanaman atau yang
dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati
lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya.
2. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian
hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum
berupa zat kimia murni.
3. Simplisia pelikan (mineral) adalah simplisia yang berupa bahan
pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa zat kimia murni.
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut
(Midian, dkk., 1985) :
1. Pengumpulan bahan baku, kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia
berbeda-beda tergantung pada bagian tanaman yang digunakan,
umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen,
dan lingkungan tempat tumbuh. Waktu panen sangat erat
hubungannya dengan pembentuk senyawa aktif didalam bagian
tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat
bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah
terbesar. Senyawa aktif terbentuk secara maksimal didalam bagian
tanaman atau pada umur tertentu.
2. Sortasi basah, dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada
simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan
asing seperti tanah, serta pengotoran lainnya harus dibuang.
3. Pencucian, dilakulan untuk menghilangkan tanaman dari pengotoran
lainnya yang melekat pada simplisia. Pencucian dilakukan dengan air
bersih, misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan
simplisia yang mengandung zat yang mudah larut didalam air yang

7
mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin.
Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah
awal mikroba dalam simplisia.
4. Perajangan, beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses
perajangan. Perjangan bahan simplisia dilakukan untuk
mempermudah proses pengeringan, pengepakan, dan penggilangan.
Tanaman yang bari diambil, jangan langsung dirajang tetapi dijemur
dalam keadaan utuh selama 1 hari. Perajangan dapat dilakukan
dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh
irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki. Semakin
tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air,
sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang
terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat
berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi
komposisi, bau dan rasa yang diinginkan.
5. Pengeringan, tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia
yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang
lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi
enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah
suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu
pengeringan dan luas permukaan bahan.
6. Sortasi kering, sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan
tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan
benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak
diinginkan dan pengotoran-pengotor lainnya yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum
simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan.
7. Pengepakan dan penyimpanan, simplisia dapat rusak mundur atau
berubah mutunya karena berbagai faktor luar dan dalam, antara lain :
cahaya, oksigen udara, reaksi kimia intern, dehidrasi, penyerapan air,

8
pengotoran, serangga, dan kapang. Penyebab kerusakan pada
simplisia yang utama adalah air dan kelembaban. Oleh karena itu
pada penyimpanan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal yang
dapat mengakibatkan kerusakan simplisia, yaitu cara pengepakan,
pembungkusan dan pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara
sortasi dan pemeriksaan mutu, serta cara pengawetannya.

II.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian zat aktif dari bagian tanman
obat yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam
bagian tanaman obat tersebut (Marjoni, 2016). Proses pemisahan senyawa
dalam simplisia, menggunakan pelarut tertentu sesuai dengan sifat senyawa
yang akan dipisahkan. Pemisahan pelarut berdasarkan kaidah ‘like
dissolved like’ artinya suatu senyawa polar akan larut dalam pelarut polar
dan senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar (Wicaksono,
2013). Berikut adalah macam-macam ekstraksi menurut Marjoni, 2016 :
II.3.1 Ekstraksi secara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan hanya
dengan cara merendam simplisia dalam satu atau campuran pelarut
selama waktu tertentu pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.
Ekstraksi dengan metode maserasi memiliki kelebihan yaitu terjaminnya
zat aktif yang diekstrak tidak akan rusak (Pratiwi, 2010). Pada saat proses
perendaman bahan akan terjadi pemecahan dinding sel dan membran sel
yang diakibatkan oleh perbedaan tekanan antara luar sel dengan bagian
dalam sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan
pecah dan terlarut pada pelarut organik yang digunakan (Novitasari dan
Putri, 2016).

9
Gambar 2. Alat Metode Maserasi
2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin dengan cara
mengalikan pelarut secara kontinu pada simplisia selama waktu tertentu.

Gambar 3. Alat Perkolator


II.3.2 Ekstraksi secara panas
1. Seduhan
Seduhan merupakan metode ekstraksi paling sederhana hanya
dengan merendam simplisai dengan air panas selama waktu tertentu (5-
10 menit).

10
Gambar 4. Metode Seduhan
2. Coque (Penggodokan)
Coque merupakan proses penyarian dengan cara menggodok
simplisia menggunakan api langsung dan hasilnya dapat langsung
digunakan sebagai obat baik secara keseluruhan termasuk ampasnya
atau hanya hasil gondokkannya saja tanpa ampas.

Gambar 5. Alat Metode Coque


3. Infusa
Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari
simplisia nabati dengan air pada suhu 90˚C selama 15 menit.

11
Gambar 6. Metode Infusa
4. Digesti
Digesti merupakan proses ekstraksi yang cara kerjanya hampir sama
dengan maserasi, hanya saja digesti menggunakan pemanasan rendah
pada suhu 30-40˚C. Metode ini biasanya digunakan untuk simplisia yang
tersari baik pada suhu biasa.

Gambar 7. Alat Metode Digesti


5. Dekokta
Dekokta adalah proses penyarian yang hampir sama dengan infusa.
Perbedaannya hanya terletak pada lamanya waktu pemanasan, waktu

12
pemanasan pada dekokta lebih lama, yaitu 30 menit dihitung setelah suhu
mencapai 90˚C.

Gambar 8. Alat Metode Dekokta

6. Refluks
Refluks merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik didih
pelarut selama waktu dan jumlah pelarut tertentu. Dengan adanya
pendingin balik (kondensor). Proses umumnya dilakukan 3-5 kali
pengulangan pada residu pertama sehingga termasuk proses ekstraksi
yang cukup sempurna.

Gambar 9. Alat Metode Refluks

13
7. Sokhlet
Sokhlet merupakan proses ekstraksi panas menggunakan alat khusus
berupa ekstraktor sokhlet. Suhu yang digunakan lebih rendah
dibandingkan dengan suhu pada metode refluks.

Gambar 10. Alat Soxhlet


Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman
adalah pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam
pelarut organic diluar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel
dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara
konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan luar sel (Adrian, 2000). Macam-
macam cairan penyari, yaitu: Air, Etanol, Gliserin, Eter, Solvent Hexane,
Acetonum, Chloroform (Gandjar dan Rohman, 2007).
Faktor- faktor yang mempengaruhi ekstraksi antara lain waktu,
suhu, jenis pelarut, perbandingan bahan dan pelarut, dan ukuran partikel.
Senyawa aktif saponin yang terkandung pada daun bidara akan lebih
banyak dihasilkan jika diekstraksi menggunakan pelarut metanol, karena
metanol bersifat polar sehingga akan lebih mudah larut dibandingkan
pelarut lain (Suharto et al., 2016).

14
II.4 Uji Fitokimia
Uji fitokimia atau skrining fitokimia merupakan metode yang
digunakan untuk mempelajari komponen senyawa aktif yang terdapat
pada sampel, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya,
penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi dan
perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis
tanaman. Sampel tanaman yang digunakan dalam uji fitokimia dapat
berupa daun, batang, buah, bunga umbi dan akarnya yang memiliki
khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam
pembuatan obat modern maupun obat-obatan tradisional (Rohyani, 2015).
Uji fitokimia atau skrining fitokimia merupakan uji pendahuluan
untuk mengetahui keberadaan senyawa kimia spesifik seperti alkaloid,
senyawa fenol, flavonoid, steroid, saponin, dan terpenoid tanpa
menghasilkan penapisan biologis. Uji ini merupakan tahapan awal dalam
isolasi senyawa bahan alam sehingga menjadi paduan bersama-sama
dengan uji aktivitas biologis senyawa tersebut. Tanaman yang diuji
fitokimianya dapat berupa tanaman segar, kering yang berupa rajangan,
sebuk, ekstrak atau dalam bentuk sediaan. Uji fitokimia dilakukan
berdasarkan pada reaksi yang menghasilkan warna atau endapan.
Selama bertahun-tahun uji warna sederhana dan reaksi tetes
dikembangkan untuk menunjukkan adanya senyawa tertentu atau
golongan tertentu karena sudah terbukti khas dan peka. Uji fitokimia
masih sering digunakan dalam pencirian senyawa karena mudah dan
tidak memerlukan perlatan yang rumit (Rafi, 2003).

II.5 Senyawa Metabolit Sekunder


Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk
metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, saponin,
triterpenoid, dan lain-lain. Senyawa metabolit sekunder merupakan
senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan

15
berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama
penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Lenny, 2006).
1. Tanin
Tanin dapat membentuk kompleks irrevesible dengan protein kaya pro
lin. Sintesis protein terhambat, Sifat utamanya dapat berikatan dengan pro
tein atau polimer lainnya seperti selulosa dan pektin untuk membentuk ko
mplek yang stabil. Serangan dari ternak dapat diproteksi dengan menimbu
lkan rasa sepat, sedangkan serangan dari mikroorganisme dan insekta dip
roteksi dengan menonaktifkan enzim-enzim protease dari bakteri dan inse
kta yang bersangkutan (Dewi, 2010).

2. Saponin
Senyawa saponin merupakan zat yang dapat meningkatkan permea
bilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel, apabila saponin berintera
ksi dengan sel bakteri maka dinding sel bakteri tersebut akan pecah ata
u lisis. Begitu pula senyawa flavonoid merupakan senyawa fenol yang m
emiliki kecenderungan untuk mengikat protein bakteri sehingga mengha
mbat aktivitas enzim bakteri yang pada akhirnya mengganggu proses m
etabolisme bakteri (Devi, 2008).

3. Flavonoid

16
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri atas 15 atom karbon yang umu
mnya ditemukan didalam tumbuhan. Flavonoid dalam tubuh manusia ada
yang berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk mencega
h terjadinya kanker, terutama yang diakibatkan oleh rusaknya struktur sel
akibat serangan radikal bebas. Flavonoid dapat berperan secara langsung
sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari mikroorganisme seperti
bakteri dan virus sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh (Marham,
2010).

4. Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa organik bahan alam yang terbesar jumla
hnya, baik dari segi jumlah maupun sebenarnya. Alkaloid didefinisikan seb
agai senyawa yang bersifat basa, mengandung atom nitrogen, serta beras
al dari tumbuhan dan hewan. Umumnya alkaloid adalah senyawa metaboli
t sekunder yang bersifat basa dan mengandung satu atau lebih atom nitro
gen, biasanya dalam bentuk cincin heterosiklik dan bersifat aktif biologis m
enonjol (Marham, 2010).

5. Terpenoid

17
Terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan yang
mempunyai bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan
dan disebut sebagai minyak atsiri. Minyak atsiri yang berasal dari bunga
pada awalnya dikenal dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu
dengan perbandingan atom hidrogen dan atom karbon dari suatu
senyawa terpenoid yakni 8:5 dan dengan perbandingan tersebut dapat
dikatakan bahwa senyawa tersebut adalah golongan terpenoid. Fungsi
terpenoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur pertumbuhan
(seskuitertenoid dan giberelin), karotenoid sebagai pewarna dan memliki
peran membantu fotosintesis. Klasifikasi terpenoid, yaitu minyak atsiri,
diterpenoid dan giberelin, triterpenoid dan steroid, karotenoid (Harbone,
1987).

6. Steroid
Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidrofenantren. Steroid umumnya terdapat dalam bentuk
bebas dan sebagai glikosida sederhana. Steroid banyak terdapat dalam
jaringan tumbuhan tingkat tinggi maupun tumbuhan tingkat rendah.
Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokan ini
didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh masing-masing
senyawa. Kelompok-kelompok itu adalah sterol, asam-asam empedu,
hormon seks, hormon andrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin.
Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena, yaitu
lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan obat (Indrayani, dkk., 2006).

18
II.6 Partisi
Partisi adalah proses pemisahan untuk memperoleh komponen zat
terlarutbdari campurannya dalam padatan dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Dapat juga didefinisikan sebagai dispersi komponen kimia dari
ekstrak yang telah dikeringkan dalam suatu pelarut yang sesuai
berdasarkan kelarutandari komponen kimia dan zat-zat yang tidak
diinginkan seperti garam-garam tidak dapat larut. Operasi ekstraksi ini dapat
dilakukan dengan mengaduk suspensi padatan di dalam wadah dengan
atau tanpa pemanasan (Najib, 2013).
Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, suatu ekstraksi
dibedakan menjadi ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair (Yazid,
2005) :
1. Ekstraksi Padat-Cair
Ektraksi padat-cair adalah zat yang diekstraksi terdapat di
dalam campuran yang berbentuk padatan. Ekstraksi jenis ini
banyak dilakukan di dalam usaha mengisolasi zat berkhasiat yang
terkandung di dalam bahan alam seperti steroid, hormon,
antibiotika dan lipida pada biji-bijian.
2. Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi cair-cair adalah zat yang diekstraksi terdapat di dalam
campuran yang berbentuk cair. Ekstraksi cair-cair sering juga
disebut ekstraksi pelarut banyak dilakukan untuk memisahkan zat
seperti iod atau logam-logam tertentu dalam larutan air.

19
Ekstraksi cair-cair digunakan untuk memisahkan senyawa atas
dasar perbedaan kelarutan pada dua jenis pelarut yang berbeda
yang tidak saling bercampur. Jika analit berada dalam pelarut
anorganik, maka pelarut yang digunakan adalah pelarut organik,
dan sebaliknya (Almin, 2007).

II.7 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


II.7.1 Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan yang
memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi, memisahkan dan
memurnikan komponen-komponen yang terdapat dalam campuran.
Pemisahan dalam kromatogradi ditunjang oleh adanya fase diam dan fase
gerak. Prinsip dari kromatogradi adalah proses penarikan komponen zat
berkhasiat dan zat lain yang ada di fase diam oleh fase gerak yang
berdasarkan proses partisi, adsorbsi, dan pertukaran ion (Skoog, 1985).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah salah satu teknik yang sederhana
yang banyak digunakan, metode ini menggunakan lempeng kaca atau
lembaran plastik yang ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk
menotolkan larutakn cuplikan pada lempeng kaca, pada dasarnya
menggunakan mikropipet atau pipa kapiler. Selain itu, bagian bawah dari
lempeng dicelup dalam larutan pengelusi didalam wadah yang tertutup
(Soebagio, 2002).
Prinsip dari metode KLT adalah sampel ditotolkan pada lapisan tipis
(fase diam) kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi fase gerak
(eluen) sehingga sampel tersebut terpisah menjadi komponen-
komponennya. Salah satu fase diam yang paling umum digunakan adalah
silika gel F₂₅₄ yang mengandung indikator flurosensi ditambahkan untuk
membantu penampakan bercak tanpa warna pada lapisan yang
dikembangkan. Fase gerak terdiri dari satu atau beberapa pelarut (dengan
perbandingan volume total 100) yang akan membawa senyawa yang
mempunyai sifat yang sama dengan pelarut tersebut (Nyiredy, 2002).

20
Dalam kromatogradi adsorbsi, pengelusi eluen naik sejalan dengan
pelarut (misalnya dari heksana ke aseton, ke alkohol, ke air). Eluen
pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran pelarut dengan
susunan tertentu. Terdapatnya sejumlah air atau zat pengotor lainnya dapat
menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan, maka eluen
pengembang yang digunakan harus memiliki potensi baik untuk
memisahkan senyawa-senyawa aktif (Soebagio, 2002).
II.7.2 Penyinaran UV 254 nm dan UV 366 nm
Dalam KLT dilakukan penyinaran UV 254 nm dan UV 366 nm
(Soebagio, dkk.,2000) :
1. UV 254 nm, lempeng akan berfluoresensi sedangkan sampel akan
tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm
terjadi karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator
flurosensi. Mekanisme kerja pada UV 254 nm ialah terjadinya
fluoresensi pada lempeng ini dikarekan cahaya yang tampak
merupakan emisi cahaya yang dipancarkan suatu energi rendah ke
tingkat energi tinggi, ini dapat menyebabkan energi yang dihasilkan
akan terlepas.
2. UV 366 nm, noda akan berfluoresensi sedangkan lempeng akan
tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm
adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus
kromofor yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi
yang lebih tinggi kemudian kembali lagi ke keadaan semula sambil
melepas energi. Mekanisme kerja lampu UV 366 nm ialah terjadinya
fluoresensi noda atau penampakan pada noda. Ini disebabkan karena
daya interaksi antara lampu UV 366 nm dengan gugus kromofor yang
terdapat pada sampel merupakan emisi cahaya yang dipancarkan
oleh komponen tersebut. Sehingga ketika elektron tereksitasi yakni
perubahan suatu energi rendah ketingkat energi tinggi dapat
menyebabkan energi yang dihasilkan akan terlepas.

21
II.7.3 Identifikasi KLT
Adapun hasil identifikasi KLT menunjukkan pemisahan yang baik
dengan munculnya bentuk spot yang jelas, tidak berekor, dan resolusinya >
1,25. Menurut Wonorahardjo (2013), bahwa nilai resolusi yang tinggi
menunjukkan kesempurnaan keterpisahan antara dua buah puncak
kromatogram (spot) dengan nilai Rs mendekati 1,25 atau lebih dari 1,25
memberikan hasil pemisahan 2 spot yang sangat baik dan kecil
kemungkinan terjadinya tumpang tindih senyawa.
Senyawa yang stabil adalah tidak menghilangnya noda yang sama pada
dimensi pertama dan kedua. Stabilitas suatu senyawa dapat ditentukan
dengan tingkat presisi, yaitu dengan mencermati pola sidik jari (noda). Hasil
dapat diterima jika pola sidik jari (noda) identik terkait jumlah, letak, warna,
dan syarat keberterimaan simpangan baku (intraplat) tidak lebih dari 0,02
dan simpang baku (interplat) tidak lebih dari 0,05. Secara visual presisi
semakin baik jika pola yang terlihat mendekati garis lurus (Reich dan Shibli,
2006).
Dalam KLT juga dilakukan penyemprotan H₂SO₄ 10%, alasan
penyemprotan adalah karena H₂SO₄ 10% sebagai pereaksi berdasarkan
kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam merusak gugus
kromofor demi zat yang aktif pada simplisia sehingga panjang
gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi Vis)
sehingga noda akan tampak oleh mata (Soebagio, dkk., 2000).
II.7.4 Rf (Retention/Retardation factor)
Identifikasi dari senyawa-senyawa hasil pemisahan KLT dapat dilakukan
dengan penambahan perekasi kimia dan reaksi-rekasi warna. Tetapi
lazimnya untuk identifikasi digunakan harga Rf. Rf dihitung dengan
menggunakan perbandingan sebagaimana persamaan sebagai berikut
(Gandjar dan Rohman, 2007) :
Jarak yang ditempuh senyawa
Rf = Jarak yang ditempuh eluen

22
Harga maksimum Rf adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan
sama dengan eluen. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika
sampel tertahan pada posis titik awal dibandingkan dengan harga-harga
standar. Perlu diperhatikan bahwa harga-harga Rf yang diperoleh hanya
berlaku untuk campuran tertentu dari pelarut dan penyerap yang digunakan.
Nilai Rf sangat karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengidetifikasi adanya perbedaan senyawa
dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai
kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan
fasa diam bersifat polar, senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada
fasa diam, sehingga menghasilkan Rf yang rendah (Gandjar dan Rohman,
2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerak noda dalam KLT yang juga
mempengaruhi harga Rf, yaitu struktur kimia dari senyawa yang sedang
dipisahkan, sifat penyerap dan derajat aktivitasnya biasanya aktivitas
dicapai dengan pemanasan oven hal ini menepati pusat-pusat serapan dari
penyerapan. Adanya ketebalan dan ketidakrattan dari lapisan penyerapan
bisa menyebabkan aliran pelarut tidak rata dalam daerah kecil dari plat.
Jumlah cuplikan yang digunakan terlalu berlebihan memberikan penyebaran
noda-noda dengan kemungkinan terbentuk ekor dan efek tidak seimbang
hingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada nilai Rf (Lau, dan
Agustina. 2018).

23
BAB III
METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat


Waktu dan tempat pecobaan ini dilakukan pada hari sabtu tanggal 12
Desember 2020 di Laboratorium Biologi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Makassar.

III.2 Alat dan Bahan


III.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini adalah batang
pengaduk, blender, bunsen, cawan porselin, corong pisah, tabung reaksi
iwaki, kleam, sendok tanduk, gelas ukur, gelas beaker iwaki, gegep, pipet
testes, rak tabung reaksi, penjepit tabung reaksi, pipet kapiler timbangan
analitik.
III.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah Ekstrak
Daun jarak pagar (Jatropha curcas L.), aquadest, asam asetat anhindrat,
asam sulfat pekat, asam klorida pekat (HCL P), asam klorida (HCL 2N),
besi III klorida (FeCl3), etanol 70%, etil asetat, natrium hidroksida (NaOH),
natrium klorida (NaCl), n-heksan, reagen mayer, reagen wagner, reagen
dragendrof, Serbuk Mg.

III.2 Cara Kerja


III.2.1 Pengambilan Sampel
Sampel daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) diambil di kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar dan Pangkep pada saat terjadi fotosintesis
(pukul 09.00–12.00) dipetik langsung pada tangkai daunnya.
III.2.2 Pengolahan Simplisia
Daun segar yang telah didapatkan dilakukan sortasi basah untuk
memisahkan kotoran yang masih ada pada daun. Kemudian dicuci bersih

24
dan dilakukan perajangan serta dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan pada tempat yang tidak terkena cahaya matahari langsung.
Setelah kering, dilakukan kembali sortasi kering lalu diblender dan diayak
menggunakan ayakan mesh 18 agar didapatkan serbuk simplisia.
III.2.3 Pembuatan Ekstrak
Sebanyak 500 g serbuk simplisia dimasukkan kedalam toples lalu
ditambahkan pelarut etanol 70% sebanyak 750 ml, ditutup menggunakan
aluminium foil sampai rapat. Dibiarkan selama kira-kira 3x24 jam atau
lebih, sesekali diaduk dalam kurung waktu 12 jam. Sehingga semua zat
aktif dapat terekstrak dengan baik. Kemudian ekstrak cair daun jarak
pagar disaring lalu diuapkan hingga menjadi ekstrak kental kemudian
ditimbang.
III.2.4 Uji Fitokimia
1. Uji Pendahuluan
Dimasukkan sampel ekstrak daun jarak pagar kedalam tabung
reaksi secukupnya ditambahkan 10 mL aquadest, kemudian
dipanaskan amati perubahan warna menjadi kuning-merah,
ditambahkan NaOH amati perubahan warna intensif yang terjadi.
2. Pemeriksaan Kandungan Alkoloid
Dimasukkan sampel ekstrak daun jarak pagar ke dalam tabung
reaksi secukupnya, ditambahkan 2 mL HCL 2N, kemudian
dipanaskan selama 2-3 menit lalu dibagi menjadi 3 bagian
dimasukkan kedalam tiap-tiap tabung. Untuk tabung pertama
ditambahkan reagen mayer hasil positif dari reagen mayer terdapat
endapan putih, tabung kedua ditambahkan reagen wagner hasil
positif reagen wagner terdapat endapan coklat, pada tabung ketiga
ditambahkan reagen dragendrog hasil positif terdapat endapan
merah atau jingga.
3. Pemeriksaan kandungan Flavonoid
Dimasukkan sampel ekstrak daun jarak pagar ke dalam tabung
reaksi secukupnya, dilarutkan dengan etanol 70% ditambahkan HCl

25
pekat sebanyak 3 tetes, homogenkan. Lalu ditambahkan serbuk
magnesium diamati perubahan warna hijau, merah dan jingga jika
terjadi perubahan warna berarti positif.
4. Pemeriksaan Kandungan Tanin
Dimasukkan sampel ekstrak daun jarak pagar ke dalam tabung
reaksi secukupnya, dilarutkan dengan air panas 10 mL dikocok
sampai homogen. Ditambahkan NaCl 3-4 tetes kemudian disaring
lalu filtratnya ditambahkan fecl3 sebanyak 3 tetes. Jika berwarna biru
kehitaman berarti positif adanya tannin progalol sedangkan berwara
hijau kebiruan berarti positif tannin katekol.
5. Pemeriksaan kandungan saponin
Dimasukkan sampel ekstrak daun jarak pagar ke dalam tabung
reaksi secukupnya, dilarutkan dengan air panas 10 ml lalu dikocok
kuat-kuat selama 1 menit hingga konstan. Kemudian didiamkan
selama 10 menit lalu diukur dan ditambahka HCl 2 N apabila busa
tetap konstan dan tidak hilang berarti positif mengandung saponin.
6. Pemeriksaan Kandungan Steroid/Triterpenoid
Dimasukkan sampel ekstrak daun jarak pagar ke dalam tabung
reaksi secukupnya, ditambahkan pelarut eter, dikocok diambil lapisan
eter lalu diuapkan hingga kering. Kemudian ditambahkan 2 tetes
asam asetat dan 1 tetes asam sulfat pekat diamati perubahan warna
merah, jingga, ungu positif terpenoid dan warna biru positif steroid.
III.2.5 Cara Kerja Partisi
1. Ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-heksan
Sebanyak 4 gram sampel ekstrak daun jarak pagar dimasukkan
ke dalam gelas kimia, lalu dilarutkan dengan air sebanyak 20 mL
dimasukkan dalam corong pisah ditambahkan n-heksan sebanyak 40
mL, lalu dikocok didiamkan sanpai terbentuk 2 fase kemudian
dipisahkan fase air dan n-heksan.
2. Ekstraksi cair-cair dengan etil asetat

26
Lapisan air pada ekstraksi cair-cair n-heksan dimasukkan
kembali dalam corong pisah ditambahkan etil asetat sebanyak 40 mL,
lalu dikocok didiamkan sanpai terbentuk 2 fase kemudian dipisahkan
fase air dan fase etil asetat.
III.2.6 Cara Kerja kromotografi Lapis Tipis
Perbadingan eluen n-heksan dan etil asetat yang digunakan yaitu,
7:3. Dimasukkan n-heksan sebanyak 7 mL ke dalam gelas kimia
ditambahkan etil asetat sebanyak 3 mL, dimasukkan kertas saring
whatman dengan ukuran 7,5 x 1,5 cm kedalam gelas kimia ditunggu
sampai eluen berhenti bergerak pada kertas saring atau hingga jenuh.
Dibuat garis batas dengan pensil sekitar 1 cm dari pinggir bawah lempeng
dan 0,5 cm dari pinggir atas lempeng kemudian diambil sampel dengan
menggunakan pipet kapiler. Ditotolkan pada lempeng bagian bawah yang
sudah ditandai dengan garis lalu dimasukkan kedalam wadah
kromotografi untuk dielusi kemudian diangkat setelah fase gerak (eluen)
mencapai garis atas, dikeringkan dimasukkan ke spektrofotometer UV
dihitung nilai Rf.

27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Pengolahan Simplisia


Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain,
berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1989). Pada pembuatan
simplisia, sampel daun jarak pagar diambil di kecamatan biringkanaya
kota Makassar pada saat terjadi fotosintesis (pukul 09.00 – 12.00) dipetik
langsung pada tangkai daunnya.
Cara pembuatan simplisia diawali dengan proses panen. Dalam
proses panen ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pada
pengambilan daun menurut Manarung (2015), dilakukan dengan cara
pemangkasan menggunakan pisau atau gunting bersih dan diambil saat
tumbuhan berfotosintesis sekitar pukul 9 hingga 12. Setelah proses
pemanenan dilakukan sortasi basah. Sortasi basah dilakukan pada saat
tumbuhan masih segar dengan tujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran
atau bahan-bahan asing lainnya dengan cara membuang bagian-bagian
yang tidak perlu sebelum proses pengeringan (Wahyu, 2014).
Setelah bahan disortasi kemudian dilakukan proses pencucian di
bawah air yang mengalir, menurut Dapundu (2015) tujuan sampel dicuci
dengan air mengalir agar kotoran dan debu yang menempel pada
tanaman tersebut dapat terbawa mengalir bersama air. Setelah sampel
dicuci kemudian sampel dirajang. Menurut Nugroho (2008) perajangan
bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan. Sampel yang dirajang
tidak bisa terlalu tebal menurut Indartiyah (2011) jika rajangan terlalu tebal
maka waktu yang diperlukan untuk penjemuran akan lama dan
kemungkinan sampel akan ditumbuhi jamur.

28
Setelah sampel dirajang kemudian dikeringkan. Pengeringan
dilakukan untuk mendapatkan awetan yang tahan lama. Pengeringan
terbagi menjadi dua macam yaitu secara alami dan buatan, pengeringan
secara alami yaitu dengan matahari langsung dan dengan cara diangin-
anginkan sedangkan yang secara buatan dilakukan dengan cara
dimasukkan kedalam oven. Setelah sampel dikeringkan kemudian sampel
disortasi kembali atau dilakukan sortasi kering. Sortasi kering adalah
penyortiran ulang pada tanaman yang sudah dikeringkan agar sisa-sisa
kotoran yang masih menempel pada tanaman tidak terbawa saat akan
dikemas (Haidar, 2015).
Setelah disortasi kering kemudian dilakukan pengawetan dengan
cara pemyemprotan alkohol menggunakan botol semprot. Penggunaan
alkohol bertujuan untuk membunuh mikroba yang ada pada tanaman dan
dapat mempercepat pengeringan (Isdianto, 2011). Kemudian simplisia
yang telah kering, diblender agar didapatkan serbuk simplisia untuk
memudahkan dalam penarikan senyawa kimia dalam metode ekstraksi.

VI.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan senyawa aktif dari suatu
simplisia menggunakan pelarut tertentu, dimana ekstraksi memiliki prinsip
umum yaitu difusi dan osmosis. Ekstrak adalah sediaan kental yang
diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau
simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai (Adrian, 2000).
Tujuan ekstraksi yaitu penyarian komponen kimia atau zat-zat aktif
dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis hewan termasuk
biota laut. Komponen kimia yang terdapat pada tanaman, hewan dan
beberapa jenis ikan pada umumnya mengandung senyawa-senyawa yang
mudah larut dalam pelarut organik (Adrian, 2000).
Pada pembuatan ekstrak jarak pagar (Jatropha curcas) dengan
menggunakan metode maserasi digunakan serbuk simplisia sebanyak
570 gram dan digunakan cairan penyari etanol 70% sebanyak 750 mL.

29
Maserasi dilakukan untuk menarik senyawa-senyawa yang berkhasiat,
baik yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan.
Pemilihan metode maserasi karena pengerjaan dan peralatan yang
digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Penggunaan etanol 70%
sebagai cairan penyari karena bersifat netral, kapang dan kuman sulit
tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, absorbsinya baik, etanol
dapat bercampur dengan air dalam segala perbandingan, selektif dalam
menghasilkan jumlah senyawa aktif yang optimal, serta panas yang
diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit (Depkes RI, 1986).
Setelah itu sampel daun jarak pagar (Jatropha Curcas) sebanyak
570 gram dan cairan penyari dimasukkan kedalam toples. Ditutup dengan
aluminium foil sampai rapat, kemudian dibiarkan selama 24 jam sambil
sesekali diaduk. Tujuan pengadukan adalah agar dapat terjadi
keseimbangan konsentrasi golongan senyawa aktif yang lebih cepat di
dalam cairan (Nuria, dkk, 2009).
Kemudian sampel disaring dan ditampung lalu dilakukan
pemekatan dengan cara diangin-anginkan menggunakan kipas angin.
Penyaringan dan pemekatan dilakukan dengan tujuan agar golongan
senyawa aktif dapat tertarik secara sempurna dan didapat jumlah maserat
sesuai yang dikehendaki (Nuria, dkk, 2009). Setelah itu dilakukan
identifikasi senyawa dengan menggunakan metode skrining fitokimia.
Berikut tabel 1. Hasil
Tabel 1. Ekstraksi
Bobot daun Bobot
Bobot Ekstrak %Rendamen
segar Simplisia
1.350 gr 570 gr 13,9 gr 2,438 gr

VI.3 Uji Fitokimia


1. Uji pendahuluan
Uji pendahuluan secara kualitatif dilakukan untuk
mengetahui kandungan senyawa kimia (metabolit sekunder)
dalam tumhuhan daun jarak pagar (Jatropha curcas) (Nasution,

30
dkk.,2019). Hal pertama yang dilakukan adalah dimasukkan ekstrak
daun jarak pagar secukupnya kedalam tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan 10ml aquadest hal ini bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya gugus kromofor didalam ekstrak. Lalu dipanaskan dan
diamati hingga terjadi perubahan warna menjadi kuning-merah.
Perubahan warna tersebut dikarenakan adanya penambahan
gugus hidroksil pada struktur senyawa. Lalu ditambahkan NaOH,
untuk memperoleh warna larutan agar lebih intensif (Wardhani,
2012). Hasil uji ini mendapatkan warna sampel daun jarak pagar
intensif.
2. Uji Alkaloid
Pada Uji alkaloid sampel ekstrak ditambahkan dengan 2 ml
HCl 2N kemudian dipanaskan. Fungsi penambahan HCl sendiri
untuk meningkatkan kelarutan alkaloid, karena senyawa alkaloid
akan bereaksi dengan senyawa asam klorida dan akan membentuk
garam yang mudah larut dalam air. Selain itu tujuan lain
penambahan HCl yakni karena alkaloid bersifat basa sehingga
biasanya diekstrak dengan pelarut yang mengandung asam
(Harbone, 1987).
Reaksi positif alkaloid pada tumbuhan jarak pagar ditandai
dengan terbentuknya endapan putih pada uji Mayer, endapan
kemerahan pada uji Dragendorf, dan endapan kuning dengan
pereaksi Wagner (Halimatussakdiah, 2018). Pada uji ini sampel
daun jarak pagar (Jatropa Curcas) mendapatkan hasil negatif.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sharma, dkk
(2012) menunjukkan bahwa sampel daun jarak pagar mengandung
zat-zat berupa alkaloid, saponin, tannin, terpenoid, steroid,
glikosida, senyawa fenol, dan flavonoid.
3. Uji Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa yang tergolong dalam
metabolit sekunder. Kemungkinan keberadaannya di daun pada

31
tumbuhan dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis sehingga pada
bagian tanaman yang mengandung daun muda belum terlalu banyak
mengandung flavonoid (Markham, 1988).
Pada uji flavonoid sampel ditambahkan dengan etanol 70%
dan HCl 3 tetes kemudian dihomogenkan. Sifat dari pelarut HCl
70% dalam etanol adalah polar begitu pula dengan sifat dari
senyawa flavonoid adalah polar juga (Kusumasari 2018). Fungsi
lain dari penambahan HCl adalah pembentukan garam flavillium
yang berwarna merah jingga. Langkah terakhir pada uji flavonoid
yaitu direaksikan dengan serbuk magnesium sehingga terbentuk
senyawa flavon. Penambahan magnesium juga bertujuan agar
gugus karbonil flavonoid berikatan dengan Mg (Egina, dkk, 2014).
Pada uji ini sampel daun jarak pagar (Jatropa Curcas)
mendapatkan hasil positif hal ini sudah sesuai dengan literatur
karena menurut Sharma dkk (2015) Pada daun jarak pagar
mengandung senyawa flavonoid.
4. Uji Tanin
Pada uji ini sampel dihomogenkan menggunakan air panas
10 ml, hal ini dikarenakan tannin merupakan senyawa yang mudah
larut dalam air dan kelarutannya bertambah besar apabila
dilarutkan dalam air panas (Muryati, 2015). Kemudian ditambahkan
NaCl 3-4 tetes. Penambahan NaCl sendiri berfungsi untuk
mengendapkan zat-zat lain yang bukan tannin (Muthmainnah,
2017). Kemudian disaring lalu filtratnya ditambahkan FeCl 3 3—4
tetes. Penambahan FeCl3 ini adalah untuk menghidrolisis golongan
tannin sehingga menghasilkan perubahan biru kehitaman dan
tannin terkondensasi yang menghasilkan warna hijau kehitaman
(Sangi dkk, 2008)
Pembentukan warna hijau kebiruan atau biru kehitaman
menunjukkan adanya tanin. Pada uji ini sampel daun jarak pagar
(Jatropa Curcas) mendapatkan hasil positif terbentuk warna hijau

32
kebiruan menunjukkan postif senyawa katekol. Secara kimia tanin
dibagi menjadi dua golongan yaitu piragalol dan katekol. Hal ini
sudah sesuai dengan literatur karena menurut penelitian yang
dilakukan oleh Nwokocha dkk (2011) menunjukkan bahwa daun
Jatropha curcas memiliki kandungan tannin dan saponin yang
paling tinggi.
5. Uji Saponin
Pada uji ini sampel ditambahkan dengan air panas 10 ml
kemudian dikocok kurang lebih 1 menit. Saponin mengandung
gugus glikosida/glikosil yang bersifat polar sehingga dilarutkan
dalam air panas agar cepat terlarut. Pengocokan menyebabkan
terbentuknya busa karena adanya glikosida yang dapat membentuk
busa dalam air dan terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa
lainnya. Kondisi ini terjadi karena pengocokan dengan air saponin
dapat membentuk misel, dimana struktur polar akan menghadap
keluar sedangkan gugus non polar menghadap kedalam. Kemudian
ditambahkan HCl 2N yang bertujuan untuk menambah kepolaran
sehingga gugus hidrofil akan berikatan lebih stabil dan buih yang
terbentuk juga akan stabil (Simaremare, 2014).
Pada uji ini sampel daun jarak pagar (Jatropa Curcas)
mendapatkan hasil positif saponin yang ditunjukkan dengan
terbentuknya busa 1 cm yang stabil selama 10 menit. Hal ini sudah
sesuai dengan literatur karena menurut penelitian yang dilakukan
oleh Nwokocha dkk (2011) menunjukkan bahwa daun Jatropha
curcas memiliki kandungan tannin dan saponin yang paling tinggi.
6. Uji Steroid/Triterpenoid
Pada uji ini sampel ditambahkan dengan eter/kloroform
kemudian dikocok. Lalu diuapkan hingga kering. Kemudian
ditambah 2 tetes asam anhidrat dan 1 tetes asam sulfat.
Penambahan asam anhidrat dan asam sulfat dikarenakan karena
berdasarkan reaksi Lieberman-Buchard yang menyatakan bila

33
suatu steroid/terpenoid direaksikan dengan asam asetat anhidrat
dan setetes asam sulfat pekat maka akan menghasilkan warna
hijau atau biru. Fungsi lainnya yaitu untuk melarutkan senyawa
steroid yang bersifat non polar (Halimatussakdiah, 2018)
Pada uji ini sampel daun jarak pagar (Jatropa Curcas)
mendapatkan hasil negatif sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Sharma dkk (2012) menunjukkan bahwa sampel
daun jarak pagar mengandung zat-zat berupa alkaloid, saponin,
tannin, terpenoid, steroid, glikosida, senyawa fenol, dan flavonoid.
Berikut adalah tabel 2 hasil dari uji skrining fitokimia yang telah
dilakukan pada praktikum ini :
Tabel 2. Identifikasi Senyawa Kimia
No. Pengujian Sampel Hasil Keterangan
1. Uji Pendahuluan Positif Warna intensif
Reagen wagner tidak
terdapat endapan
Reagen Mayer tidak terdapat
2. Uji Alkaloid Negatif
endapan
Reagen dragendroff tidak
terdapat endapan

Terbentuk warna jingga


3. Uji Flavonoid Positif menunjukkan positif
flavonoid

Terbentuk warna hijau


4. Uji Tanin Positif kebiruan menunjukkan positif
katekol
Tinggi Busa 1 cm, stabil
5. Uji Saponin Positif
selama 10 menit
Uji
6. Steroid/Triterpenoi Negatif Negatif Steroid/Triterpenoid
d

34
VI.4 Partisi
Ekstraksi cair-cair adalah metode corong pisah, dimana jika suatu
cairan ditambahkan ke dalam ekstrak yang telah dilakukan dalam cairan
lain yang tidak dapat bercampur dengan pertama dan terbentuk dua
lapisan. Hal tersebut memungkinkan karena adanya sifat senyawa yang
dapat terlarut dalam air dan adapula senyawa yang dapat larut dalam
pelarut organik (Mirwan, 2013).
Tujuan dilakukannya partisi yaitu untuk memisahkan komponen
kimia dari sampel berdasarkan tingkat kepolarannya. Proses partisi
sebenarnya dapat dilakukan dengan partisi cair-cair ataupun partisi padat
cair, namun pada praktikum kali ini hanya dilakukan partisi cair-cair
(Gunawan, 2005). Prinsip kerja ekstraksi cair-cair adalah cara pemisahan
komponen kimia diantara 2 fase pelarut yag tidak saling bercampur.
Dimana sebagian komponen larut pada fase pertama, dan sebagian larut
pada fase kedua. Lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi
dikocok, dan didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan
terbentuk dua lapisan. Yakni fase cair dan komponen kimia yang terpisah
(Sudjadi, 1994).
Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi dengan metode partisi cair-
cair untuk memisahkan senyawa yang bersifat polar dan non polar pada
sampel daun jarak pagar (Jatropa curcas) yang sebelumnya telah
dilakukan proses ekstraksi dengan metode maserasi dan menggunakan
pelarut etanol.
Hal pertama yang kami lakukan yaitu menyiapkan alat dan bahan
dan dilanjutkan dengan merangkai alat partisi cair cair. Alat yang kami
gunakan adalah corong pisah. Digunakannya corong pisah untuk
melakukan ekstraksi secara sederhana dengan dua pelarut yang tidak
saling bercampur (Febriyanti, 2004). Partisi yang dilakukan menggunakan

35
pelarut n-heksan dan etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar
dan dapat melarutkan senyawa semi polar pada dinding sel (Harborne,
1987). Sedangkan N-heksana merupakan jenis pelarut nonpolar sehingga
n-heksana dapat melarutkan senyawa-senyawa bersifat nonpolar (Maulida
dan Zulkarnaen, 2010). Senyawa metabolit sekunder yang dapat larut
dalam pelarut non polar, yaitu steroid dan terpenoid. Senyawa metabolit
sekunder yang bersifat semi polar, yaitu senyawa golongan fenolik
termasuk flavanoid. Sedangkan senyawa yang bersifat polar adalah
alkaloid, saponin, dan tanin (Septyaningsih, 2010).
Kemudian dilakukan uji kelarutan ekstrak etanol daun jarak pagar
sebelum dilakukan metode partisi, dari uji tersebut didapatkan bahwa
ekstrak etanol daun jarak pagar larut dalam air, etil asetat, dan larut
sebagian dalam n-heksana. Menurut kami, hal ini dapat terjadi karena
senyawa yang benar-benar larut dalam pelarut non polar tidak terdapat
dalam ekstrak etanol daun jarak pagar. Diketahui dari hasil skrining
fitokimia bahwa steroid dan terpenoid tidak terdapat dalam ekstrak etanol
daun jarak pagar, dimana kedua senyawa tersebut bersifat non polar.
Pengerjaan awal partisi, dilarutkan ekstrak etanol daun jarak pagar
dengan air. Selain bersifat polar, air juga memiliki sifat semi polar
sehingga senyawa yang polar dan non polar pada ekstrak dapat terlarut
dengan homogen dalam air. Kepolaran dari air dapat membuat ekstrak
tidak terikat kuat dengan etanol untuk mencegah terjadinya noda berekor
pada uji KLT selanjutnya (Adinata, dkk. 2013). Perbandingan pelarut yang
digunakan dalam partisi air dan n-heksana adalah 2:2. Sedangkan air dan
etil asetat adalah 2:4.
Digunakan n-heksana sebagai pelarut awal, tujuannya untuk
memisahkan komponen non polar (metabolit sekunder bersifat polar)
terlebih dahulu, karena jika pengerjaan awal digunakan pelarut polar maka
dikhawatirkan akan ada senyawa non polar yang ikut terlarut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pelarut polar merupakan pelarut
universal (mampu menyari senyawa polar, semi polar, maupun non polar

36
(Prasetyo, dkk. 2015). Setelah proses partisi dengan menggunakan
pelarut n-heksana selesai, dilanjutkan dengan menggunakan pelarut etil
asetat yang langsung ditambahkan ke lapisan air dalam corong pisah. Etil
asetat sebagai pelarut semi polar, akan menarik senyawa-senyawa yang
bersifat semi polar dan sedikit senyawa polar.
Saat penambahan pelarut n-heksan atau pelarut etil asetat ke
larutan ekstrak dalam corong pisah, dilakukan pengocokan untuk
memisahkan larutan organik dan non organik dimana terjadi distribusi
diantara kedua pelarut tersebut saat terjadi pengocokan larutan Sesekali
membuka penutup corong pisah untuk mengeluarkan udara dari hasil
pengocokan (Malik, 2013). Pemisahan atau terbentuknya dua lapisan
yang terjadi setelah pengocokan disebabkan karena air memiliki massa
jenis yang lebih besar daripada n-heksana dan etil asetat. Sehingga akan
terbentuk dua lapisan, lapisan air dibagian bawah sedangkan lapisan atas
adalah lapisan n-heksana atau etil asetat. Setelah didapatkan ekstraksi
pelarut n-heksana dan etil asetat, keduanya kemudian diuapkan hingga
didapatkan partisi kental.
Hasil yang diperoleh dari ekstrak cair-cair ekstrak daun jarak pagar
menggunakan pelarut n-heksan dengan berat bobot fraksi n-heksan 0,397
gram, sedangkan pelarut etil asetat diperoleh bobot fraksi 0,675 gram.
Hasil praktikum metode partisi dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Hasil fraksi n-heksan, etil asetat, dan fraksi air
No. Sampel Hasil
1. Partisi Ekstraksi Cair-Cair
2. Bobot fraksi n-heksan 0,1397 gram
3. Bobot fraksi etil asetat 0,675 gram
4. Bobot fraksi air 1,874 gram

37
IV.5 Kromatografi Lapis Tipis
Analisis dengan menggunakan KLT merupakan pemisahan komponen
kimia berdasarkan prinsip absrobsi dan partisi yang ditentukan oleh fase
diam (adsorben) dan fase gerak (eluen). Komponen kimia bergerak naik
mengikuti fase gerak karena daya serap adsorben terhadap komponen-
komponen kimia tidak sama sehingga komponen kimia dapat bergerak
dengan jarak yang berbeda berdasarkan tingkat kepolarannya. Hal ini
menyebabkan terjadinya pemisahan komponen-komponen kimia didalam
ekstrak (Alen, dkk. 2017).
Prinsip kerja kromatografi lapis tipis adalah adsorbsi dan partisi
dimana adsorbsi adalah penyerapan pada permukaan, sedangkan partisi
adalah penyebaran atau kemampuan suatu zat yang ada dalam larutan
untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan. Kecepatan gerak
senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung pada pelarut
(Soebagil, 2002).
Kromatografi lapis tipis dapat dipakai dengan dua tujuan, pertama
dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif,
kuantitatif, atau preparatif. Kedua, sebagai uji pendahuluan untuk optimasi
sistem fase gerak dan sistem fase diam yang akan dipakai dalam
kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.
Pada praktikum ini, kami menggunakan eluen n-heksana dan etil
asetat dengan perbandingan 7:3. Hal ini Menurut Rohman, (2009) bahwa
dua sistem pelarut yang berbeda dapat dipakai secara berurutan pada
campuran tertentu untuk memungkinkan pemisahan campuran yang
mengandung komponen yang kepolarannya yang berbeda. Etil asetat
merupakan pelarut semi polar dan dapat melarutkan senyawa semi polar
pada dinding sel (Harborne, 1987). Sedangkan N-heksana merupakan
jenis pelarut nonpolar sehingga n-heksana dapat melarutkan
senyawasenyawa bersifat nonpolar (Maulida dan Zulkarnaen, 2010).

38
Kemudian dimasukkan kertas saring whatman dengan ukuran 7,5 x
1,5 cm kedalam gelas kimia ditunggu sampai eluen berhenti bergerak
pada kertas saring/ hinnga jenuh. Menurut Arisanti (2015), proses
penjenuhan menggunakan tersebut bertujuan agar terjadi absorbsi,
sampai keadaan eluen sudah konstan dan dapat mengalirkan sampel
dalam keadaan stabil dan sesuai. Kertas saring whatman yang digunakan
kemudian digantungkan ke dalam gelas kaca. Dibuat garis batas dengan
pensil sekitar 1 cm dari pinggir bawah lempeng dan 0,5 cm dari pinggir
atas lempeng. Digunakannya pensil pada penandaan batas atas dan
batas baah karena pensil mengandung senyawa karbon yang tidak larut
dalam eluen. Jika ini dilakukan dengan tinta bolpoint, pewarna dari tinta
akan bergerak selayaknya kromatogram dibentuk (Ewing, 1985).
Setelah itu diambil sampel dengan menggunakan pipet kapiler.
Ditotolkan pada lempeng bagian bawah yang sudah ditandai dengan
garis. lalu dimasukkan kedalam chamber untuk dielusi kemudian diangkat
setelah fase gerak (eluen) mencapai garis atas atau terjadi jenuh,
dikeringkan dimasukkan ke spektrofotometer UV. Kemudian diamati
menggunakan spektroskopi dengan penyinaran UV 254 nm dan UV 366
nm. Alasan penggunaan penyinaran UV 254 nm ialah untuk pengamatan
pada lempeng atau untuk melihat flouresensi pada lempeng. Sedangkan
alasan penggunaan penyinaran UV 366 nm ialah untuk menampakkan
nodanya atau untuk melihat flouresensi pada noda. Karena bercak noda
yang tampak tidak jelas, maka kami melakukan penyemprotan
menggunakan H₂SO₄ 10%. Alasan dari penggunakan H₂SO₄ 10% adalah
sebagai pereaksi berdasarkan kemampuan asam sulat yang bersifat
reduktor dalam merusakn gugus kromofor demi zat aktif simplisia
sehingga panjang gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih
panjang (UV menjadi Vis) sehingga noda menjadi tampak oleh mata
(Gibbons, 2006).
Kemudian dihitung nilai Rf (Retention/retardation factor) yaitu nilai
atau ukuran yang mana didapat berdasarkan posisi noda setiap zat

39
terlarut pada plat kromatografi lapis tipis. Nilai Rf didapatkan dengan cara
membagi nilai antara jarak dari awal penotolan suatu 27 senyawa hingga
noda senyawa tersebut berhenti ketika proses eluasi selesai (a) dibagi
dengan jarak eluasi (b). Nilai Rf memiliki rentang nilai dari 0.0 hingga 1.0,
nilai ini dapat bervariasi karena disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
kualitas sorben, kelembaban, ketebalan plat, jarak eluasi, dan suhu
lingkungan (Srivastava, 2011). Menurut Wonorahardjo (2013), hasil
identifikasi KLT menunjukkan pemisahan yang baik dengan munculnya
bentuk spot jelas, tidak berekor, dan resolusinya > 1,25. Nilai resolusi
yang tinggi menunjukkan kesempurnaan keterpisahan antara dua buah
puncak kramotogram (spot) dengan nilai Rs mendekati 1,24 atau lebih
dari 1,25 memberikan hasil pemisahan 2 spot yang sangat baik dan kecil
kemungkinan terjadinya tumpang tindih senyawa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerak noda dalam KLT yang juga
mempengaruhi harga Rf, yaitu struktur kimia dari senyawa yang sedang
dipisahkan, sifat penyerap dan derajat aktivitasnya biasanya aktivitas
dicapai dengan pemanasan oven hal ini menepati pusat-pusat serapan
dari penyerapan. Adanya ketebalan dan ketidakrattan dari lapisan
penyerapan bisa menyebabkan aliran pelarut tidak rata dalam daerah
kecil dari plat. Jumlah cuplikan yang digunakan terlalu berlebihan
memberikan penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuk ekor
dan efek tidak seimbang hingga akan mengakibatkan kesalahan-
kesalahan pada nilai Rf (Lau, dan Agustina. 2018).
Dari percobaan ini diperoleh hasil yaitu noda pada eluen n-heksan 1
cm, pada etil asetat 0,2 cm dan etanol 0,3 cm. Dengan nilai Rf untuk n-
heksan 0,16, etil asetat 0,03, dan etanol 0,05. Dari literatur dan data yang
didapatkan dapat dikatakan bahwa data yang didapatkan sesuai dengan
literatur. Berikut tabel 4 hasil praktikum KLT :

40
Tabel 4. Kromatografi Lapis Tipis
No Bercak UV 254 UV 366
Fraksi
. Noda Rf Warna Rf Warna
1. N-Heksan 1 cm 0, 16 Ungu 0, 16 Ungu
(7:3)
2. Etil Asetat 0,2 cm 0,03 Hijau 0,03 Hijau
3. Air - - - - -
4. Etanol 0,3 cm 0,05 Orange 0,05 Orange

41
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum ini dapat disimpulkan bahwa :


1. Ekstrak tanaman daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) didapatkan
dengan ekstraksi melalui metode maserasi.
2. Dari hasil skrining fitokimia didapatkan bahwa kstrak etanol daun
jarak pagar (Jatropha curcas L.) memiliki kandungan flavonoid,
saponin, dan tanin.
3. Metode partisi yang dapat dilakukan dalam praktikum ini adalah
ekstraksi cair-cair, dengan hasil fraksi n-heksan 0,1397 gram dan
fraksi etil asetat 0,675 gram.
4. Diperoleh nilai Rf pada eluen n-heksan 0,16, etil asetat 0,03 dan
etanol sebesar 0,05.

V.2 Saran

Sebaiknya ketelitian dan kecermatan mengenai praktikum dan


pengamatan lebih ditingkatkan lagi agar mendapatkan hasil yang
maksimal.

42
DAFTAR PUSTAKA

Adinata, Ika, P.K., Khairul, A., Dewi, K. 2013. Identifikasi Senyawa


Metabolit Sekunder Fraksi Aktif Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.) dan Uji Aktivitas Larvasida terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti.
Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi. Vol.16(2):42-43.

Adrian, Peyne. 2000. Analisa Ekstraktif Tumbuhan Sebagai Sumber


Bahan Obat. Pusat Penelitian. Universitas Negeri Andalas.

Alen, Y., Fitria, L.A., Yori, Y. 2017. Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT_
dan Aktivitas Antiperurisemia Ekstrak Rebung Schizostachyum
brachycladum Kurtz (Kurz) pada Mencit Putih Jantan. Jurnal Sains
Farmasi & Klinis. Vol.3(2):148.

Alimin, M.S., Muhammad, Y., dan Irfan, I. 2007. Kimia Analitik. Makassar:
UIN Alauddin Makassar.

Amilia, R. 2013. Fraksi Non Polar Metanol Buah Sinyo Nakal (Durata
repens). Skripsi. Bogor: Departemen Kimia MIPA. IPB.

Bartoli. 2008. Physic Nut (Jatropha curcas) Cultivation in Hoduras-


Handbook. Hoduras: Agricultural Communication Center of the
Honduran Foundation for Agricultural Research (FHIA).

Budikafa, M, J. 2014. Profil Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri Tanaman


Obat di Sulawesi Tenggara terhadap Bakteri Salmonella typhi
YTCTC. Skripsi. Jurusan Farmasi Universitas Halu Oleo Kendari.

Depkes RI. 1986. Sediaan Galenik 2&10. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Depkes RI. 1995. Materi Medika Indonesia, Jilid IV. Jakarta: Departemen
Kesehata Republik Indonesia.

Dewi Andriyani, Pri Iswati Utami dan Binar Asrining Dhiani. 2010. Penetap
an Kadar Tanin Daun Rambutan (Nephelium lappaceum. L ) secara S
pektrofotometri Ultraviolet Visibel. Journal Pharmacy. Vol.07(02):2.

Devi Juariah. 2008. Pemanfaatan Daun Jarak (Jatropha Curcas L.) sebag
ai Antibakteri Alami dan Pengaruhnya Terhadap Performa Serta Kese

43
imbangan Mikroflora Saluran Pencernaan Ayam Pedaging. Skripsi . F
akultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Hal.6-7.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Ergina, Siti Nuryanti, Indarini Dwi Pursitasari. 2014. Uji Kualitatif Senyawa
Metabolit Sekunder Pada Daun Palado (Agave Angustifolia) Yang
Diekstraksi Dengan Pelarut Air Dan Etanol. Palu: Universitas
Tadulako.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:


Pustaka Belajar.

Gupta, M, S., Arif, M., dan Ahmed, Z. 2011. Antimicrobal Activity in Leaf,
Seed Extract and Seed Oil of Jatropha curcas L. Journal of Applied
and Natural Science. Vol.3(1):102-105.

Hambali, dkk. 2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodisel. Jakarta:


Penebar Swadaya.

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern


Menganalisis Tumbuhan. Terbitan kedua. Terjemahan Padmawinata,
K. dan Soediro, I. Penerbit ITB: Bandung.

Hayati, E.K., A, Ghanaim, F., Lalis, S. 2010. Fraksinasi dan Identifikasi


Senyawa Tanin Pada Daun Belimbing Wuluh (Averroho bilimbi L.)
Jurnal Kimia. Vol.4(2):195.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 3 . Jakarta: Yayasan


Sarana Wana Jaya.

Indrayani, L., dkk. 2006. Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak
Daun Pencut Kuda (Stachytarpheta jamaicensis L. Vahl) terhadap
Larva Udang Artemia salina Leach. Jurnal Fakultas MIPA Universitas
Kristen Satya Wacana.

Igbinosa, O.O., E.O. Igbinosa, and O.A, Aiyegoro. 2009. Antimicrobial


Activity and Phytochemical Screening Of Stem Bark Extracts From
Jatropha curcas (Linn). African J. Of Pharmacy and Pharmacology.
Vol.3:58-62.

44
Kesumasari, M.N., Napitulu M., dan Jura, R.M. 2018. Analisis Kadar
Flavonoid Pada Batang Jarak Pagar (Jatropha curcas L.), Jarak
merah (Jatropha gossypifolia). Jurnal Akademia Kimia. Vol.7(1):28-
31.

Lau, S.H.A., dan Agustina, F.W. 2018. Identifikasi Fitokimia Ekstrak


Metanol Daun Faliusa (Melochiaumbellata (Houtt) staff) dari Desar
Renggaris dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Jurnal
Farmasi Sandi Karsa. Vol.4(7):32.

Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida dan Alkaloida.


Karya Ilmiah. Medan: Departemen Kimia FMIPA Universitas
Sumatera Utara.

Marjoni, R. 2016. Dasar-Dasar Fitokimia Untuk Diploma III Farmasi.


Jakarta: Trans Info Media.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Diterjemahkan


oleh Kosasih Padmawinata, 15. Penerbit ITB: Bandung.

Marham, Sitorus. 2010. Kimia Organik Umum. Graha Ilmu.

Midian, S., dkk. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta: Departemen


kesehatan Republik Indonesia.

Muthmainnah B. 2017. Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder


Dari Ekstrak Etanol Buah Delima (Punica Granatum L.) Dengan
Metode Uji Warna. Stikes Nani Hasanuddin Makassar.

Najib, A. 2013. Ringkasan Materi Kuliah Fitokimia. Makassar: Fakultas


Farmasi Universitas Muslim Indonesia.

Nasution, Anggi, D.M., Ulil, A., Halumatussakdiah. 2019. Skrining


Fitokimia Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dari Kota Langsa.
Jurnal Kimia Sains dan Terapan. Vol.1(1):11-15.

Novitasari, A.E., dan Putri, D.Z. 2016. Isolasi dan identifikasi saponin pada
ekstrak daun mahkota dewa dengan ekstraksi maserasi. Jurnal Sains.
6(12):10-14.

Nurcholis, M., dan Sumarsih, S. 2007. Jarak Pagar dan Pembuatan


Biodiesel. Yogyakarta: Kanisius.

45
Nuria Cut Maulita, Sumantri, Arvin Faizatun. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Etanol Daun Jarak Pagar (Jatropha Curcas L) Terhadap
Bakteri Staphylococcus Aureus Atcc 25923, Escherichia Coli Atcc
25922, Dan Salmonella Typhi Atcc 1408. Yogyakarta : UGM.

Nurmillah, Ovi, Y. 2009. Kajian Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba


Ekstrak Biji, Kulit Buah, Batang, dan Daun Tanaman jarak Pagar
(Jatropha curcas L.) Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institusi
Pertanian Bogor.

Nwokocha., IO, Blessing., IO, Agbagwa., BE, Okoli. 2011. Comprative


Phytochemical Screening of Jatropha L. Species in the Nigeria Delta.
Research Kurnal of Phytochemistry. Vol.5(2):107-114.

Nyiredy, Sz. 2002. Planar Chormatographic Method Development Using


The Prisma Optimization System and Flow Charts. Jurnal
Chromatografi Scientific.

Oskoueian, E., Norhani, A., Wan, Z. 2011. Antioxidant, Anti-inflamatory


and Anticancer Activities of Methanolic Extracts from Jatropha curcas
Linn. Malaysia: Journal of Medicinal Plants Research.

Prasad, D.M.R., Izam, A., and Khan, M.R. 2012. Jatropha curcas: Plant of
Medical Benefits. Journal od Medicinal Plants Research. Vol.6(14).

Prasetyo, S., Wesley, A., Tedi, H. 2015. The Pre Chromatography


Purification of Crude Oleoresin of Phalesia Macrocarpa Fruit Extracts
by Using 70%-v/v Ethanol. Seminar Nasional Teknik Kimia.

Rafi, M. 2003. Identifikasi Fisik dan Senyawa Kimia Pada Tumbuhan


Obat: Focus pada Tanaman Obat untuk Diabetes Mellitus. Di dalam
Pelatihan Tanaman Obat Tradisional (Swamedikasi): Pengobatan
Penyakit Diabetes Mellitus. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka Lembaga
Penelitian IPR.

Reich, E., Schibli, A. 2008. Validation of High Performance Thin Layer


Chromatographic Methods For Identification of Botanicals in a cGMP
environment. JAOAC Int.

Rohyani, I.S., Aryanti, E., Suripto. 2015. Kandungan Fitokimia


Beberapa Jenis Tumbuhan Lokal yang sering dimanfaatkan
sebagai Bahan Baku Obat di Pulau Lombok. Pros. Sem. Nas.
Masy. Biodiv. Indon 1(2): 388-391.

46
Septiyaningsih, D. 2010. Isolasi dan Identifikasi Komponen Utama Ekstrak
Biji Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.) Skripsi. Jurusan Kimia.
Fakultas MIPA. Universitas Sebelas Maret.

Setijo, Bismo., dkk. 2008. Studi Awal Degradasi Fenol dengan Teknik Ozo
nasi di Dalam Reaktor Annular. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Sharma, A.K., Gangwar, M., Tilak, R., Nath, G., Sinha, A.S.K.,Tripathi,
Y.B. dan Kumar, D. 2012. Comparative in vitro antimicrobial and
phytochemical evaluation of methanolic extract of root, stem and leaf
of Jatropha curcas Linn. Journal of Pharmacognosy.

Simaremare, dkk. 2014. Formulasi dan evaluasi daun gatal (Laportea


decumana (Roxb.) Wedd) sebagai kandidat antinyeri, Tanaman Obat
Indonesia.

Skoog, D. 1985. Principles of Instrumental Analysis. Japan: CBS College


Publishing.

Soebagio., dkk. 2000. Kimia Analitik II. Malang: Universitas Negeri


Malang.

Soebagio. 2002. Kimia Analitik. Makassar: Universitas Negeri Makassar


Fakultas MIPA.

Suharto, M.A.P., H.J, Edy., dan J.M, Dumanauw. 2016. Isolasi dan
Identifikasi Senyawa Sponin dari Ekstrak Metanol Batang Pisang
Ambon (Musa paradisiaca var. Sapientum L.). Jurnal Sains. Vol.3(1).

Wicaksono, P. Daya Perendaman Radikal Bebas Ekstrak Etanol Buah


Papino Putih dan ungu (Solanum muricatum Aitor Var Putih dan ungu)
terhadap DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl). Caliptra, no.2.

Wonorahadjo, S. 2013. Metode-Metode Pemisahan Kimia Sebuah


Pengantar. Jakarta: Akademia Permata.

Yazid, E. 2005. Kimia Fisika Untuk Para Medis. Yogyakarta: ANDI.

47
LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja Pengolahan Simplisia Daun Jarak Pagar

Pengumpulan Daun
Jarak Pagar

Sortasi Basah

Pencucian

Perajangan

Pengeringan

Sortasi Kering

48
Lampiran 2. Skema Kerja Ekstraksi

Penimbangan simplisia
Daun jarak pagar

Diayak menggunakan
pengayak nomor 18

Diekstraksi menggunakan
etanol 70% selama 3 x 24 jam

Disaring dengan kertas saring

Filtrat diambil dan diuapkan


pearutnya hingga diperoleh
ekstrak yang kental

Ditimbang bobot ekstrak kental

49
Lampiran 3. Skema Kerja Skrining fitokimia
a. Uji Pendahuluan

Diambil sampel ekstrak kemudian


ditambahkan 10 ml aquadest

Dipanaskan

Berwarna kuning-merah adanya


senyawa kromofor

KOH (warna intensif)

b. Uji Alkaloid

Ditambahkan sampel ekstrak lalu


ditambahkan 2 ml HCl 2 N

Larutan

Ditambahkan Ditambahkan Ditambahka


reagen reagen n reagen
mayer. wagner dragendorft

(+) endapan
(+) endapan (+) endapan merah/jingg
putih coklat a

50
c. Uji Flavonoid

Ditambahkan sampel ekstrak kemudian


ditambahkan etanol 70% ke dalam
tabung reaksi. Lalu ditambahkan 3
tetes HCl P

homogenkan

Serbuk Mg

(+) hijau (Aglikon)


(+) merah (Flavonoid)
(+) jingga (Flavon)

d. Uji Tanin

Ditambahkan sampel ekstrak


kemudian ditambahkn air panas 10 ml
(homogenkan)

Ditambahkan Nacl 3-4


tetes
(+) biru kehitaman
(Piragolol)
Kemudian diambil filtrat
(+) hijau kebiruan
(katekol)

Ditambahkan FeCl3 sebanyak 3


tetes
51
e. Uji Steroid/Terpenoid

Ditambahkan sampel ekstrak


lalu ditambahkan
eter/kloroform (kocok)

Diambil lapisan eter/kloroform


(diuapkan hingga kering)

Ditambahkan 2 tetes asam


asetat anhidrat dan 1 tetes
asam sulfat P

(+) merah, jingga, ungu


(Terpenoid)
(+) biru (steroid)

52
f. Uji Saponin

Ditambahkan sampel
ekstrak kemudian air
panas 10 ml

(kocok ± 1 menit)
Terbentuk busa (1-10 cm)
selama 10 menit. Ukur.

Ditambahkan HCl 2 N (1
tetes) (busa konstan dan
tidak hilang).

53
Lampiran 4. Skema Kerja Partisi Ekstraksi Cair-Cair

4 gram sampel ekstrak daun


jarak pagar dimasukkan ke
dalam gelas kimia

Dilarutkan dengan air sebanyak


20 mL lalu dimasukkan dalam
corong pisah

Ditambahkan n-heksan
sebanyak 40 mL, lalu dikocok.

Didiamkan sampai terbentuk 2


fase kemudian dipisahkan fase
air dan n-heksan.

Lapisan air pada ekstraksi


cair-cair n-heksan dimasukkan
kembali dalam corong pisah

Didiamkan sampai terbentuk 2


fase kemudian dipisahkan fase
air dan fase etil asetat.

54
Lampiran 5. Skema Kerja Kromatografi Lapis Tipis

Dimasukkan n-heksan sebanyak


7 mL ke dalam gelas kimia

Ditambahkan etil asetat


sebanyak 3 mL

Dimasukkan kertas saring whatman


dengan ukuran 7,5 x 1,5 cm
kedalam gelas kimia. Ditunggu
sampai eluen berhenti bergerak
pada kertas saring/hingga jenuh

Diambil sampel dengan menggunakan


pipet kapiler lalu ditotolkan pada
lempeng yang sudah diberi batas atas
dan bawah

Dimasukkan kedalam wadah


kromotografi untuk dielusi

Diangkat setelah fase gerak (eluen)


mencapai garis atas, dikeringkan.

Dimasukkan ke spektofotometri UV
dihitung nilai Rf.

55
Lampiran 6. Perhitungan

a. Perhitungan % Rendemen

Bobot ekstrak yang diperoleh


x 100%
%rendemen = Bobot simplisia yang diekstraks i

13,9 gram
x 100%
= 570 gram

= 2,438%

b. Perhitungan Eluen

N-heksan : etil asetat = 7 : 3

7
1) x 10 ml = 7 ml
10

3
2) x 10 ml = 3 ml
10

c. Perhitungan nilai Rf

Jarak noda
Rumus Rf =
Jarak pelarut

1) Fraksi n-heksan

1
Rf = = 0,16
6

2) Fraksi Etil asetat

0,2
Rf = = 0,03
6

3) Ekstrak Kasar (Pelarut Etanol)

0,3
Rf = = 0,05
6

56
Lampiran7. Ekstraksi Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

No. Gambar Keterangan


1.

Daun Jarak Pagar (Jatropha

Curcas L.)

2.

Simplisia kering

3.

Proses ekstraksi dengan

metode maserasi

4.

Ekstrak Daun Jarak Pagar

57
Lampiran 8. Skrining Fitokimia

No. Gambar Keterangan

Uji Pendahuluan

Uji Tanin

3.

Uji Flavonoid

4.

58
Uji Saponin

5.

Uji Steroid / Terpenoid

6.

Uji Alkaloid (Mayer,


Dragendorff, Wagner)

Lampiran 9. Partisi

No. Gambar Keterangan


1.

59
Penentuan Eluen

Melarutkan ekstrak dalam


air

3.

Proses partisi

4.

Hasil fraksi metode


ekstraksi cair-cair (n-
heksana, etil asetat, air,
etanol)

60
Lampiran 10. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

No. Gambar Keterangan

61
1. Penyinaran UV 254 nm

2. Penyinaran UV 366 nm

3. Sinar Tampak

62

Anda mungkin juga menyukai