Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PRAKTIKUM BIOMOLEKUL

ANALISIS PROTEIN

Oleh:

Nama : Armala Fidiyanti


NIM : 181810301002
Kelas :B
Kelompok :A
Asisten : Nur Rizkiyatus Saidah

LABORATORIUM BIOKIMIA
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Protein merupakan sumber nutrisi yang paling baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme, kemudian mikroorganisme tersebut akan menguraikan protein
menjadi metabolit berbau busuk, seperti indol, kadeverin, asam-asam organik,
CO2, H2S, dan sketol. Jika asam amino, peptida, dan senyawa-ssenyawa organik
bermolekul rendah telah habis maka mikroorganisme akan menghasilkan enzim-
enzim proteolitik yang mampu memecahkan protein bermolekul tinggi menjadi
oligopeptida dan asam-asam amino bebas yang nantinya juga akan dimanfaatkan
oleh mikroorganisme sebagai energi. Pada mekanisme reaksi tersebut akan
menghasilkan air, dan secara otomatis konsentrasi protein akan menurun (Borwn
and Rogers, 1981)
Protein merupakan salah satu zat dalam makanan yang penting bagi tubuh
manusia. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun, dan
zat pengatur. Protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung
unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.
Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang, dan beberapa jenis protein
mengandung unsur logam seperti tembaga dan besi (Winarno, 1992).
Analisis protein baik secara kualitatif maupun kuantitatif telah
dikembangkan, mulai dari eksistensi adanya protein dalam suatu sampel hingga
analisa jenis-jenis protein secara spesifik. Jenis karbohidrat sangat banyak di
alam, sehingga untuk membedakannya diperlukan pengetahuan mengenai sifat
fisik dan kimia dari ptotein. Uji protein banyak diterapkan diberdagai bidang
khususnya bidang kesehatan dan uji kualitas, uji informasi gizi produk dalam
bidang industri makanan. Uji protein dalam bidang kesehatan contohnya untuk
menentukan kadar protein dalam urin pada penderita albuminuria. Pentingnya
pengetahuan uji protein ini menjadi dasar dilakukannya percobaan analisa protein.
Percobaan ini akan dilakukan dua uji untuk analisa protein, yaitu uji
kualitatif dan kuantitatif. Uji kualitatif dapat dilakukan untuk mengetahui
keberadaan atau jenis protein dalam suatu bahan. Uji kuantitatif dilakukan untuk
untuk menghitung kadar dari kelompok maupun jenis protein baik dalam sampel
maupun larutan sampel yang tersedia.Uji kualitatif yang dilakukan pada
percobaan ini yaitu: Uji adanya unsur C,H, dan O, uji adanya atom N, Uji adanya
atom S, uji kelarutan protein, uji pengendapan dengan garam, uji pengendapan
dengan logam dan asam organik, uji ninhidrin, uji biuret, uji millon, uji
xantoprotein, dan uji hopkins-cole. Uji kuantitatif yang dilakukan pada percobaan
ini yaitu uji bardford.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada percobaan analisa protein adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara menganalisis kandungan protein dalam bahan dengan uji
kualitatif?
2. Bagaimana cara menganalisis jumlah kandungan protein dalam bahan
dengan uji kuantitatif?
1.3 Tujuan
Tujuan dari percobaan analisa protein adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui cara menganalisis kandungan protein dalam bahan dengan uji
kualitatif
2. Mengetahui cara menganalisis jumlah kandungan protein dalam bahan
dengan uji kuantitatif
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein
Protein menurut bahasa Yunani “protos” yang berarti "yang paling utama".
Protein dapat didefinisikan sebagai suatu zat makanan yang sangat penting atau
utama bagi tubuh. Protein merupakan zat yang sangat penting yang berfungsi
sebagai sumber energi dalam tubuh, sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein
mengandung unsur-unsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung unsur
logam seperti besi dan tembaga. Peranan protein diantaranya sebagai katalisator,
pendukung, cadangan, sistem imun, dan sebagainya (Winarno, 1992). Protein
tersusun dari serangkaian asam amino dengan berat molekul yang relatif sangat
besar, yaitu berkisar 8.000 sampai 10.000. Protein yang tersusun dari hanya asam
amino disebut protein sederhana. Protein yang mengandung bahan selain asam
amino, seperti turunan vitamin, lemak, dan karbohidrat, disebut protein kompleks
secara biokimiawi, 20% dari susunan tubuh orang dewasa terdiri dari protein.
Kualitas protein ditentukan oleh jumlah dan jenis asam aminonya (Devi, 2010).
Asam amino merupakan monomer dari protein. Asam amino dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino
esensial merupakan asam amino yang tidak dapat diproduksi dalam tubuh
sehingga sering harus ditambahkan dalam bentuk makanan, sedangkan asam
amino esensial dapat diproduksi dalam tubuh (Lehninger, 1982). Asam amino
yaitu molekul organik yang memiliki gugus karboksil dan gugus amino. Asam
amino sebagaian besar memiliki atom karbon kiral, kecuali glisin. Atom C kiral
biasanya mengikat gugus amino, gugus karboksil, atom hidrogen, dan berbagai
gugus yang disimbolkan dengan huruf R. Gugus R disebut juga sebagai rantai
samping (Sitompul, 2004). Struktur asam amino yaitu
Gambar 2.1 Struktur Asam Amino
(Sumber: Wirahadikusumah, 1989)

Asam-asam amino terikat satu sama lain melalui ikatan peptide, yaitu
ikatan antara gugus karboksil (-COOH) asam amino yang satu dengan gugus
amino (-NH2) dari asam amino yang lain dengan melepaskan satu molekul air.
Peptida yang terbentuk atas dua asam amino disebut dipeptida dan peptida yang
terdiri atas tiga, empat, atau lebih asam amino, masing-masing disebut tripeptida,
tetrapeptida, dan seterusnya (Lehninger, 1982).
Sumber protein di dalam makanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu
yaitu protein hewani dan nabati. Protein hewan merupakan protein yang berasal
dari hewan, sedangkan protein nabati merupakan protein yang berasal dari
tumbuhan. Makanan yang dapat digunakan sebagai sumber protein yaitu daging,
telur, susu, ikan, beras, kacang, dan buah-buahan. Protein yang dikonsumsi oleh
manusia akan dipecah menjadi asam amino dalam proses pencernaan yang
dibantu dengan enzim seperti pepsin dan tripsin. Asam-asam amino yang
dihasilkan kemudian diserap oleh usus dan dibawa ke arah hati atau
didistribusikan ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Harper, 1980).
2.2 Struktur Protein
Protein tersusun atas unit-unit individual asam-asam amino. Setiap asam
amino memiliki gugus amino (NH2) pada salah satu dari atom karbon pusat dan
sisi lainnya merupakan gugus asam (COOH). Di dalam makanan ada 20 jenis
asam amino yang berbeda, masing-masing memiliki struktur dasar yang sama,
yang membedakan hanyalah gugus R pada salah satu sisinya. Gugus R yang
berbeda dapat bervariasi dari atom tunggal hidrogen hingga molekul kompleks
yang membuat setiap asam amino unik (Forsythe, 1995).
Protein merupakan senyawa organik kompleks yang memiliki berat
molekul tinggi. Protein adalah salah satu bio-makromolekul yang penting
perananya bagi semua organisme. Protein juga berperan penting dalam struktur
dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus. Molekul protein mengandung
karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan beberapa mengandung sulfur serta fosfor.
Keistimewaan lain dari protein ini adalah strukturnya yang mengandung N
(15,30-18%), C (52,40%), H (6,90-7,30%), O (21-23,50%), S (0,8-2%),
disamping C, H, O (seperti juga karbohidrat dan lemak), dan S kadang-kadang P,
Fe dan Cu (sebagai senyawa kompleks dengan protein) (Yuwono, 2005).

Gambar 2.2 Struktur Protein


(Sumber: Susilawati, 2011)
Struktur protein memiliki puluhan hingga ribuah residu berdasarkan
ukurannya. Protein diklasifikasikan sebagai nanopartikel (1-100 nm) berdasarkan
ukuran fisik. Protein dapat mengalami perubahan struktural reversibel dalam
menjalankan fungsi biologisnya (Sastromidjojo, 2005).
Struktur alternatif protein yang sama disebut sebagai konformasi. Asam
amino merupakan unit dasar struktur protein. Asam amino-α terdiri dari gugus
amino, gugus karboksil, atom H dan gugus R tertentu yang semuanya terikat pada
atom karbon α . Atom karbon ini disebut α karena bersebelahan dengan gugus
karboksil (asam). Gugus R menyatakan rantai samping (Bintang, 2010).
Gambar 2.3 Perbandingan Struktur Primer, Sekunder, Tersier dan Kuartener
(Sumber: Susilawati, 2011).
Struktur protein terdiri atas struktur primer, sekunder, tersier, dan kuartener.
Struktur primer protein merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino
yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Penentuan struktur
primer protein dapat dilakukan dengan cara hidrolisis protein dengan asam kuat
kemudian komposisi asam amino ditentukan dengan instrumen amino acid
analyzer, penentuan massa molekular dengan spektrometri massa, analisis
sekuens dari ujung-N dengan menggunakan degradasi Edman dan, kombinasi dari
digesti dengan tripsin dan spektrometri massa (Susilawati, 2011).
Struktur sekunder protein adalah struktur tiga dimensi lokal dari berbagai
rangkaian asam amino pada protein yang distabilkan oleh ikatan hidrogen.
Berbagai bentuk struktur sekunder misalnya alpha helix yang berupa pilinan rantai
asam-asam amino berbentuk seperti spiral, beta-sheet yang berupa lembaran-
lembaran lebar yang tersusun dari sejumlah rantai asam amino yang saling terikat
melalui ikatan hidrogen atau ikatan tiol, beta-turn, dan gamma-turn. Penentuan
struktur sekunder bisa dilakukan dengan spektroskopi circular dichroism (CD)
dan Fourier Transform Infra Red (FTIR) (Yuwono, 2005).
Struktur tersier merupakan struktur tiga dimensi yang dibentuk dari gabungan
aneka ragam dari struktur sekunder. Struktur tersebut biasanya berupa gumpalan.
Struktur kuartener terbentuk dari beberapa molekul protein yang dapat
berinteraksi secara fisik tanpa ikatan kovalen membentuk oligomer yang stabil
seperti dimer, trimer, atau kuartomer. Contoh struktur kuartener yang terkenal
adalah enzim rubisco dan insulin (Sastrohamidjojo, 2005).
2.3 Sifat – Sifat Protein
Sifat-sifat yang tekandung dalam protein adalah sebagai berikut:
1. Denaturasi
Protein pada umumnya sangat sensitive terhadap pengaruh-pengaruh fisik
dari zat kimia, maka mudah mengalami perubahan bentuk. Perubahan atau
modifikasi pada struktur molekul protein disebut dengan denaturasi. Hal-hal
yang menyebabkan terjadinya denaturasi adalah panas, pH, tekanan, aliran
listrik, dan adanya bahan kimia seperti urea, alkohol, dan sabun. Temperatur
merupakan titik tengah dari proses denaturasi yang disebut dengan melting
temperature (TM). Protein umumnya mempunyai nilai TM kurang dari
100ºC, apabila diatas suhu TM, maka protein akan mengalami denaturasi.
Protein yang mengalami denaturasi akan menurunkan aktivitas biologinya
dan berkurang kelarutannya, sehingga mudah mengendap.
2. Ion zwitter dan pH isoelektrik
Larutan asam amino dalam air mempunyai muatan positif maupun negatif
sehingga asam amino disebut ion zwitter. Protein dalam larutan mempunyai
pH tertentu yang disebut pH isoelektrik yang mempunyai besaran sekitar
4-4,5. Molekul protein pada pH isoelektrik mempunyai muatan positif dan
negatif yang sama, sehingga saling menetralkan atau bermuatan nol. Protein
pada titik isoelektrik akan mengalami pengendapan atau koagulasi paling
cepat
3. Sifat amfoter
Sifat ini timbul karena adanya gugus amino (-NH2) yang bersifat basa dan
gugus karboksil (-COOH) yang bersifat asam yang terdapat pada molekul
protein pada ujung-ujung rantainya. Larutan asam atau pH rendah akan
menyebabkan gugus amino pada protein akan bereaksi dengan ion H+,
sehingga protein bermuatan positif. Larutan basa akan menyebabkan gugus
karboksilat bereaksi dengan ion OH-, sehingga protein bersifat negatif.
Muatan pada molekul protein menyebabkan protein bergerak dibawah
pengaruh medan listrik
(Yazid, 2006).
2.4 Klasifikasi Protein
Klasifikasi protein dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu : berdasarkan
komponen penyusu. fungsi fisiologisnya, berdasarkan kelarutannya dalam air atau
pelarut lain, san berdasarkan struktur molekulnya. Protein berdasarkan komponen
penyusunnya terbagi tiga yaitu protein sederhana (simple protein) yang bila
dihidrolisis menghasilkan asam amino (albumin), protein kompleks
(Complex/Conjugation Protein) yang bila dihidrolisis menghasilkan berbagai
jenis asam amino dan juga komponen lain yang bukan protein seperti unsur
logam, gugus fosfat, lipid, karbohidrat dan asam nukleat (kromoprotein,
lipoproterin, glikoprotein, fosfoprotein, dan nukleoprotein). Protein derivat yang
merupakan produk antara sebagai hasil hidrolisis parsial protein (albumosa,
pepton dan peptida) (Sediaoetama, 2008).
Berdasarkan fungsi fisiologisnya atau daya dukungnya bagi pertumbuhan
dan pemeliharaan jaringan, protein dibagi menjadi protein sempurna, protein
setengah sempurna dan protein tidak sempurna. Protein sempurna adalah protein
yang mengandung asam amino essensial lengkap baik macam maupun jumlahnya
sehingga mampu menyokong pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, contohnya
kasein dan albumin. Protein setengah sempurna adalah protein yang mengandung
asam amino essensial lengkap tetapi jumlahnya terbatas, protein ini tidak dapat
menyokong pertumbuhan dan hanya berfungsi untuk pemeliharaan jaringan,
contohnya: legumin dan gliadin (Sediaoetama, 2008).
Protein merupakan salah satu bio-makromolekul yang penting peranannya
dalam makhluk hidup. Fungsi dari protein itu sendiri secara garis besar dapat
dibagi kedalam dua kelompok besar yaitu sebagai bahan struktural dan sebagai
mesin yang bekerja pada tingkat molekular. Protein adalah zat makanan yang
paling kompleks. Protein terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan
sulfur dan biasanya fosfor. Protein sering disebut sebagai zat makanan bernitrogen
karena protein merupakan satu-satunya zat makanan yang mnegandung unsur
nitrogen. Protein essensial untuk pembangunan protoplasma hidup karena terdiri
dari unsur karbon, hidrogen, oksigen, hitrogen dan sulfur. Protein terkandung
dalam makanan nabati dan hewani tetapi protein hewani paling bernilai untuk
tubuh manusia sebagai materi pembangun karena komposisinya sama dengan
protein manusia. Protein nabati lebih bermanfaat sebagai bahan bakar tubuh
daripada sebagai pembangun tubuh, tetapi menyediakan asam amino lebih murah
yang dibutuhkan tubuh untuk membangun jaringan (Watson.2002).
Protein berdasarkan kelarutannya dalam air atau pelarut lain, yaitu sebagai
berikut: Albumin, bersifat larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas. Contohnya
adalah oval bamin (dalam telur), seral bumin (dalam serum), laktal bumin (dalam
susu). Skleroprotein, bersifat tidak larut dalam pelarut encer, baik larutan garam,
asam, basa, dan alkohol. Contohnya kolagen (pada tulang rawan), miosin (pada
otot), keratin (pada rambut). Globulin, bersifat tidak larut dalam air, terkoagulasi
oleh panas. Larut dalam larutan garam encer, dan dapat mengendap dalam larutan
garam konsentrasi tinggi (salting out). Contohnya adalah miosinogen (dalam
otot), ovoglobulin (dalam kuning telur), legumin (dalam kacang-kacangan).
Glutelin, bersifat tidak larut dalam pelarut netral, tetapi larut dalam asam atau
basa encer. Contonya adalah glutelin (dalam gandum), orizenin (dalam beras).
Prolamin (gliadin), bersifat larut dalam alkohol 70-80% dan tidak larut dalam air
maupun alcohol absolut. Contohnya adalah prolamin (dalam gandum), gliadin
(dalam jagung), zein (dalam jagung). Protamin, bersifat larut dalam air dan tidak
terkoagulasi dalam panas. Histon, bersifat larut dalam air dan tidak larut dalam
ammonia encer, dapat mengendap dalam pelarut protein lainnya, dan apabila
terkoagulasi oleh panas dapat larut kembali dalam asam encer (Winarno, 1991).
Protein berdasarkan berdasarkan struktur molekulnya yaitu sebagai berikut:
Protein globuler, yaitu suatu protein yang berbentuk bulat atau elips dengan rantai
polipeptida yang berlipat. Protein globuler pada umumnya dapat larut dalam air,
asam, basa, atau etanol. Contoh: albumin, globulin, protamin, semua enzim dan
antibodi. Protein fiber, yaitu suatu protein yang berbentuk serat atau serabut
dengan rantai polipeptida memanjang pada satu sumbu. Protein fiber memberikan
peran structural atau pelindung. Protein fiber tidak larut dalam air, asam, basa,
maupun etanol. Contoh: keratin pada rambut, kolagen pad tulangrawan, dan
fibroin pada sutera (Ngili, 2010).
Berat molekul protein sangat besar, ribuan sampai jutaan, sehingga diebut
dengan makromolekul. Senyawa polimer lain misalnya pati, protein dapat pula
dihidrolisis oleh asam, basa, atau enzim tertentu dan menghasilkan campuran
sam-asam amino. Sifat fisikokimia protein berbeda satu sama lain, bergantung
pada komposisi dan jenis asam amino penyusunnya. Protein bila dilarutkan dalam
air akan membentuk dispersi koloid dan tidak dapat berdifusi bila dilewatkan
melalui membran semipermeabel. Protein ada yang mudah larut dalam air, tetapi
ada pula yang sukar larut, namunsemua protein tidak dapat larut dalam pelarut
organik seperti eter, kloroform, atau benzena (Yazid, 2006).
Molekul protein mempunyai gugus amino (-NH2) dan gugus karboksilat
(-COOH) pada ujung-ujung rantainya. Hal ini menyebabkan protein mempunyai
banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan
asam dan basa. Protein akan bereaksi dengan ion H + sehingga protein bermuatan
positif ketika ditambahkan atau dalam larutan asam atau pH rendah, gugus amino
pada protein akan bereaksi. Protein akan bereaksi dengan ion OH- sehingga
protein bermuatan negatif ketika berada dalam larutan basa. Muatan pada molekul
protein akanmenyebabkan protein bergerak dibawah pengaruh medan listrik
(Yazid, 2006).
Jenis-jenis protein dalam larutan mempunyai pH tertentu yang disebut titik
isoelektrik (TI). Protein yang ada dalam pH isoelektrik (pI) mempunyai muatan
positif dan negatif yang sama sehingga saling menetralkan atau bermuatan nol,
akibatnya protein tidak bergerak dibawah pengaruh medan listrik. Protein dalam
pH isoelektrik akan mengalami pengendapan atau koagulasi paling cepat dan
prinsip dapat digunakan untuk pemisahan atau pemurnian suatu protein (Ngili,
2010).
2.5 Fungsi Protein
Protein dalam makanan berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan dan
perbaikan jaringan, sintesis enzim, sintesis hormon, sistem imun tubuh atau
mekanisme pertahanan tubuh dan juga sebagai cadangan energi (Tull, 1996).
Fungsi protein yang paling ditekankan adalah sebagai zat pembangun atau
pembentuk yang berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan,
menggantikan sel-sel yang mati dan rusak terpakai. Sebagai zat pengatur, protein
mengatur proses-proses metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon. Boleh
dikatakan bahwa semua proses metabolik (reaksi biokimia) di dalam tubuh diatur
dan dilangsungkan atas pengaturan enzim (Sediaoetama, 2008). Protein yang
berperan sebagai pembangun dan pembentuk adalah kolagen yang
menghubungkan tulang rawan, urat, otot dan pembuluh darah; elastin sebagai
penyambung jaringan ikat sendi; keratin sebagai protein pembentuk rambut dan
kuku. Peran protein dalam metabolisme ditunjukkan oleh kerja enzim misalnya
enzim hidrolase untuk proses hirolisis; lipase untuk pemecahan lemak. Aktivitas
enzim mempengaruhi kerja hormon agar terjadi hubungan yang harmonis antara
proses metabolisme yang satu dengan yang lain. Contohnya hormon pertumbuhan
(GH) dan somatotropin (STH) yang berfungsi untuk pertumbuhan dan
perkembangan jaringan dapat dirusak oleh enzim tripsin dan enzim pepsin
(Sumardjo, 2006).
Protein yang berperan dalam sistem imun tubuh adalah immunoglobulin
yang secara otomatis dibentuk oleh tubuh bila ada antigen yang masuk ke tubuh.
Sebagai zat pengangkut protein membawa ion dan molekul tertentu dari suatu
organ ke organ lainnya melalui aliran darah. Contohnya hemoglobin untuk
mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Sumardjo, 2006).
2.6 Penyebab Kerusakan Protein
Protein dapat rusak disebabkan oleh koagulasi dan denaturasi protein.
Koagulasi merupakan proses lanjutan yang terjadi ketika molekul protein yang
didenaturasi membentuk suatu massa yang solid. Cairan telur (sol) diubah
menjadi padat atau setengah padat (gel) dengan proses air yang keluar dari
struktur membentuk spiral-spiral yang membuka dan melekat satu sama lain.
Koagulasi ini terjadi selama rentang waktu temperatur yang lama dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya seperti panas, pengocokan,
pH, dan juga menggunakan gula dan garam. Hasil dari proses koagulasi protein
biasanya mampu membentuk karakteristik yang diinginkan, yaitu mengental yang
mungkin terjadi pada proses selanjutnya setelah denaturasi dan koagulasi
(Budianto, 2019).
Denaturasi merupakan suatu proses terpecahnya ikatan Hidrogen, interaksi
hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan atau win molekul. Ada dua
macam denaturasi, yaitu pengembangan rantai peptida dan pemecahan protein
menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul ikatan. Ikatan
yang dipengaruhi proses denaturasi yaitu ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik,
ikatan ionik dan ikatan intramolekuler. Denaturasi protein adalah modifikasi
konformasi struktur, tersier dan kuartener. Denaturasi protein mengakibatkan
turunnya kelarutan, hilangnya aktivitas biologi, peningkatan viskositas dan protein
mudah diserang oleh enzim proteolitik (Oktavia, 2007).
2.7 Analisa Protein
Analisis protein dapat dilakukan dengan dua cara yaitu analisa kualitatif dan
analisa kuantitatif.
a. Analisa kualitatif, analisa yang dilakukan secara langsung menggunakan zat
kimia yang spesifik terhadap protein. Contohnya seperti dengan pereaksi
ninhidrin, biuret, xantoprotein, dan hopkins-cole. Pereaksi ini menggunakan
metode pengikatan warna dimana konsentrasi ditentukan berdasarkan
kompleks warna yang terbentuk.
b. Analisa kuantitatif, analisa yang dilakukan secara tidak langsung dengan
menghitung jumlah nitrogen yang terkandung di dalam bahan. Contohnya
metode Kjeldahl dan metode Dumas. Metode ini dilakukan dimana kadar
protein sebanding dengan total N yang terkandung di dalamnya
(Soeharsono,2006).
2.7.1 Analisa Kualitatif
Protein berdasarkan bentuk molekulnya dibagi menjadi dua, yaitu protein
fibrosa, adalah protein yang bentuknya memanjang, misalnya kolagen fibrin,
miyosin dan keratin; dan  protein globuler, yaitu protein yang rantai
polipeptidanya melinhkar sehingga membentuk molekul membulat, misalnya
albumin, globulin, protein, enzim dan protein hormon. Protein berdasarkan
elemen penyusunnya, terbagi menjadi dua yaitu protein sederhana adalah protein
yang apabila terhidrolisis sempurna menghasilkan alfa asam amino saja;
dan protein majemuk   adalah protein ynang mengandung gugus non protein atau
prostetik di dalamnya. Uji kualitatif protein dapat dilakukan berdasarkan uji
warna atau melalui ujiendapan. Uji warna meliputi Ninhidrin, Biuret, Reduksi
Sulfur, Xantroprotein, dan Millon Nasse. Sedangkan untuk uji pengendapan
biasanya menggunakan garam logam (Lehninger, 1982).
Uji kualitatif dari protein antara lain :
1. Uji Ninhidrin
Uji ninhidrin yaitu uji yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya asam
amino dalam suatu sampel. Prinsip dari uji ninhidrin yaitu asam amino akan
bereaksi dengan ninhidrin membentuk aldehid dengan satu atom C lebih rendah
serta melepaskan molekul NH3 dan CO2. Hasil positif dari uji ini yaitu akan
terbentuk kompleks berwarna biru keunguan.
2. Uji Biuret
Uji biuret adalah uji yang digunakan untuk membuktikan adanya ikatan
peptida dari protein. Prinsip dari uji biuret ini yaitu didasarkan pada reaksi antara
ion Cu2+ ikatan peptida dalam suasana basa. Hasil positif dari uji ini ditandai
dengan terbentuknya kompleks warna ungu atau violet.
3. Uji Xantoprotein
Pereaksi yang digunakan adalah asam nitrat pekat atau asam asetat pekat, dan
dapat juga asam sulfat pekat. Sebanyak 3 mL larutan sampel yang mengandung
protein ditambah dengan 2 mL HNO3 pekat dan dipanaskan pada penangas air.
Penambahan NH3 atau NaOH akan menyebabkan perubahan warna, jika
ditambahkan NH3 akan berwarna kuning dan jika ditambahkan NaOH akan
berwarna jingga. Uji Xantoproteat digunakan untuk menunjukan adanya cincin
benzen pada protein.
4. Uji Hopkins-Cole
Pereaksi Hopkins-cole dibuat dari asam oksalat dan serbuk magnesium dalam
air. Pereaksi ini positif terhadap protein yang mengandung asam amino dengan
gugus samping indol, seperti pada asam amino triptofan. Triptofan memberikan
hasil yang positif dengan tes Hopkins-cole karena mengandung gugus indol.
Asam glioksilat yang terbentuk mengkondensasi asam amino triftofan membentuk
senyawa berwarna. Penambahan H2SO4 pekat, akan terbentuk dua lapisan dan
beberapa saat kemudian terbentuk cincin ungu di antara batas kedua lapisan itu.
(Fried dan Hademenos, 2006)
5. Uji Millon
Uji millon umumnya digunakan untuk menunjukkan adanya asam amino
tirosin pada suatu zat. Uji millon bekerja terhadap derivat-derivat monofenol
seperti tirosin. Pereaksi yang digunakan merupakan larutan merkuri (Hg) dalam
asam nitrat (HNO3). Tirosin akan ternitrasi oleh asam nitrat sehingga memperoleh
penambahan gugus N=O, gugus tersebut secara reversible (bolak-balik) dapat
berubah menjadi N-OH (hidroksifenil). Merkuri dalam pereaksi millon akan
bereaksi dengan gugus hidroksifenil dari tirosin membentuk warna merah
(Poedjiadi, 2005).
6. Uji Susunan Erlementer Protein
Uji susunan erlenmenter protein digunakan untuk mengidentifikasi adanya
unsur unsur yang terkandung dalam protein. Semua jenis protein tersusun atas
unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N). Beberapa
protein ada juga yang mengandung sedikit belerang (S) dan fosfor (P) dengan
metode pembakaran atau pengabunan, sehingga akan diperoleh unsur-usur protein
yaitu C, H, O dan N (Sirajuddin, 2012).
7. Uji Kelarutan Protein
Protein bersifat atmosfer, yaitu dapat bereaksi dengan larutan asam maupun
basa. Daya larut protein berada dalam air, asam atau basa. Beberapa protein ada
yang mudah larut dan adapula yang sukar larut dalam ketiga pelarut tersebut.
Protein tidak larut dalam pelarut lemak seperti eter atau kloroform. Protein apabila
dipanaskan dan ditambah dengan etanol absolut akan terkoagulasi (menggumpal).
Hal tersebut dikarenakan etanol menarik mantel air yang melingkup molekul
protein (Sirajuddin, 2012).
8. Uji Pengendapan Protein dengan Garam
Pembentukan senyawa tak larut antara protein dengan amonium sulfat,
apabila terdapat garam-garam anorganik dalam konsentrasi tinggi dalam larutan
protein (albumin dan gelatin) maka kelarutan protein akan berkurang. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pengendapan protein. Hal tersebut terjadi karena ion
garam mampu mengikat air (terhidrasi) sehingga berkompetisi dengan molekul
protein dalam mengikat air (Ridwan, 1990).
9. Uji Pengendapan Dengan Logam
Protein pada pH di atas titik isoelektrik bermuatan negatif, sedangkan
apabila di bawah titik isoelektrik bermuatan positif. Pengendapan protein dengan
logam diperluakan pH larutan di atas titik isoelektrik, sedangkan untuk
pengendapan protein dengan ion negatif memerlukan pH larutan di bawah titik
isoelektrik. Ion- ion positif yang dapat mengendapkan protein adalah Ag +, Ca2+,
Zn2+, Hg2+,Pb2+,Cu2+,Fe2+. Ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein
adalah ion salisilat, trikloroasetat, pikrat, tanat dan sulfosalisilat (Ridwan, 1990).
2.7.2 Uji Kuantitatif Karbohidrat
Uji kuantitatif protein adalah uji untuk menentukan kadar protein dalam suatu
bahan. Analisis protein dapat digolongkan menjadi dua metode, yaitu metode
konvensional dan modern. Metode konvensional yaitu metode Kjeldahl (terdiri
dari destruksi, destilasi, titrasi) dan titrasi formol yang digunakan untuk protein
tidak terlarut (Poedjiadi, 1994). Metode modern, yaitu metode Lowry, metode
spektrofotometri visible, metode spektrofotometri UV yang digunakan untuk
protein terlarut. Uji kuantitatif protein dengan metode konvensional dapat
dilakukan berbagai metode sebagai berikut:
1. Metode Kjeldahl
Metode ini merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total
pada asam amino, protein, dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sampel
didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai
sehingga akan menghasilkan amonium sulfat. Pembebasan alkali dengan kuat
kemudian di ikuti amonia yang terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam
larutan penyerap dan ditetapkan secara titrasi (Sastrohamidjojo, 2005).
a. Destruksi
Destruksi dilakukan secara oksidasidegan asam sulfat dan katalis akan
mengubah nitrogen organik menjadi nitrogen anorganik berbentuk NH 3. Oksidasi
dilakukan dalam tabung Kjedahl. Atom karbon teroksidasi melalui warna hitam
dan hangus kemudian hilang sebagai gas karbondioksida. Atom hidrogen
teroksidasi menjadi uap air, dan nitrogen tidak hilang sebagai gas nitrogen, tetapi
sebagai NH3 yang larut dalam asam sulfat sebagai garam amonium sulfat
Nitrogen sebagai gugus amino mudah teroksidasi menjadi NH3, tetapi Nitrogen
dalam ikatan siklik misalnya indol dalam triptofan, imidazol dalam histidin,
pirolidin dalam prolin, tidak mudah teroksidasi menjadi NH3. Katalis tertentu
dibutuhka untuk mengoksidasi nitrogen siklik. Tanda proses oksidasi selesai:
adalah asam sulfat akan terurai menjadi SO3 dan H2O selama proses oksidsai,
asam sulfat direduksi mejadi gas SO2. Gas SO3 yang berwarna putih keluar dari
tabung Kjedahl, dan larutan amonium sulfat terlihat jernih. Reaksi dibiarkan
berlangsung terus selama 10 menit untuk penyempurna (Sastrohamidjojo, 2005).
b. Distilasi uap
Tujuan dari distilasi uap adalah untuk memisahkan amoniak dan ditampung
dalam larutan HCl atau larutan asam sulfat yang telah diketahui miliekivalennya
dan dalam keadaan berlebihan yang diperiksa dengan indikator. Catatan selama
distilasi uap jika digunakan Hg (raksa) dalam katalis, maka distilasi uap dari
amonia tidak akan sempurna karena sebagian dari amoniak bereaksi dengan Hg
membentuk kompleks. Hal ini dapat diatasi dengan cara, ke dalam larutan NaOH
yang ditambahkan sebelum distilasi, ditambahkan larutan Na tiosulfat agar
amoniak yang terikat oleh Hg dapat dilepaskan karena kompleks Hg dengan
tiosulfat lebih kuat (Sastrohamidjojo, 2005).
c. Titrasi
Titrasi sisa asam dengan asam klorida 0,1 N sehingga banyaknya amoniak
adalah selisih antara jumlah awal asam dengan sisa asam. Perhitungan kadar
protein adalah kadar nitrogen dikalikan faktor 6,25 (Sastrohamidjojo, 2005).
2. Metode Titrasi Formol
Larutan protein dinetralkan dengan basa (NaOH) lalu ditambahkan formalin
akan membentuk dimethilol. Dimethilolyang telah terbentuk menunjukkan bahwa
gugus aminonya sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam
dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator
yang digunakan adalah p.p., akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan warna
menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30 detik (Poedjiadi, 1994). Uji
kuantitatif protein dengan metode modern dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Metode Bradford
Uji Bradford adalah suatu uji untuk mengukur konsentrasi protein total dengan
secara kolorimetri dalam suatu larutan. Uji Bradford melibatkan pewarna
Coomassie Brilliant Blue (CBB) yang berikatan dengan protein dalam suatu
larutan yang bersifat asam sehingga memberikan warna (kebiruan). Warna yang
dihasilkan maka dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometri (Lambert ‐ Beer) pada panjang gelombang 465 ‐595 nm (cahaya
tampak). Kompleks warna biru pada larutan yang diberi reagen Bradford sangat
cepat terbentuk dan bersifat stabil. Kestabilan warna biru Commassie Brilliant
Blue G-250 ini karena adanya inteaksi antara lapisan hidrofobik dari protein
dengan bentuk anion dari zat warna Coomassie Brilliant Blue G-250 yang
menstabilkan bentuk anion tersebut (Bradford 1976).
Pengukuran absorbansi dapat digunakan alat spektrofotometer UV – Vis, yaitu
alat yang digunakan untuk analisis kuantitatif farmasi yang memiliki prinsip
radiasi pada rentang panjang gelombang 200 – 700 nm yang dilewatkan melalui
suatu larutan senyawa. Elektron-elektron pada ikatan di dalam molekul menjadi
tereksitasi sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam
proses penyerapan sejumlah energi yang melewati larutan tersebut. Keuntungan
dari metode ini adalah pereaksi yang digunakan sangat sederhana dan mudah
disiapkan, nilai akurasi dan presisi data yang didapatkan cukup tinggi serta untuk
menjamin keakuratan data sampel yang berada di luar jangkauan dapat dilakukan
uji ulang yang hanya membutuhkan beberapa menit saja. Hal itu membuat
keefektifan kerja sangat cepat (Watson, 2009).
2. Metode Spektrofotometri UV
Metode Asam amino penyusun protein diantaranya adalah triptofan, tirosin
dan fenilalanin yang mempunyai gugus aromatik. Triptofan mempunyai absorbsi
maksimum pada 280 nm, sedang untuk tirosin mempunyai absorbsi maksimum
pada 278 nm. Fenilalanin menyerap sinar kurang kuat dan pada panjang
gelombang lebih pendek. Absorpsi sinar pada 280 nm dapat digunakan untuk
estimasi konsentrasi protein dalam larutan. Hasil yang diperoleh supayalebih teliti
perlu dikoreksi kemungkinan adanya asam nukleat dengan pengukuran absorpsi
pada 260 nm. Pengukuran pada 260 nm untuk melihat kemungkinan kontaminasi
oleh asam nukleat. Rasio absorpsi 280/260 menentukan faktor koreksi yang ada
dalam suatu tabel.
Kadar protein mg/ml = A 280 x faktor koreksi x pengenceran.......(2.1)
(Lowry et al, 1951).
3. Metode Lowry
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Metode ini
terlibat 2 reaksi yaitu kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana
metode biuret, yang dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I).
Ion Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu, kompleks
phosphomolibdat-phosphotungstat, menghasilkan heteropoly molybdenum blue
akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu,
yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi secara kolorimetri.
Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan residu tryptophan dan
tyrosine -nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih sensitif (100 kali) daripada
metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit. Batas
deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL. Metode Lowry namun lebih
banyak interferensinya akibat kesensitifannya. Metode Lowry - Folin hanya dapat
mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat mengukur molekul peptida
panjang. Prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B)
menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein yang terdapat dalam protein. Ion
Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfomolibdat (reagen Lowry E)
membentuk warna biru, sehingga dapat menyerap cahaya (Lowry et al, 1951).
4. Metode Elektroforesis
Metode Elektroforesis digunakan untuk menentukan berat molekul suatu
protein.
Analisis protein menggunakan metode elektroforesis bertujuan untuk
memisahkan protein berdasarkan berat molekul dengan menggunakan matriks
penyangga akrilamid. Metode elektroforesis juga digunakan untuk menentukan
jenis protein dalam bahan atau sampel yang dianalisis. Elektroforesis dalam skala
besar memungkinkan digunakan sebagai metode pemisahan untuk menentukan
komponen protein (Wibowo, 2010). Jenis elektroforesis yang digunakan berupa
elektroforesis gel yang memanfaatkan gel sebagai fasa diam untuk memisahkan
molekul-molekul protein menjadi pita-pita. Elektroforesis gel adalah teknik
memisahkan suatu makromolekul dengan cara memberikan gaya pada
makromolekul tersebut untuk melewati medium berisi gel yang dibantuk dengan
tenaga listrik. Media gel yang digunakan untuk elektroforesis protein adalah
poliakrilamid gel. Laju pergerakan molekul dipengaruhi oleh ukuran molekul,
konsentrasi gel, bentuk molekul, densitas muatan, pori-pori gel, voltase, dan
larutan buffer elektroforesis (Martin, 2006). Metode elektroforesis yang
digunakan berupa SDS-PAGE. SDS-PAGE merupakan teknik elektroforesis gel
yang menggunakan untuk memisahkan protein yang bermuatan berdasarkan berat
molekulnya saja. SDS (sodium dedosil sulfat) merupakan detergen anionic yang
apabila dilarutkan meolekulnya memiliki muatan negatif dalam range pH yang
luas. Fungsi utama SDS pada metode SDSPAGE untuk memberikan muatan
negatif pada protein yang dianalisis. SDS juga dapat mendenaturasi protein,
mempermudah menyamakan kondisi, dan menyederhanakan protein berupa
bentuk, ukuran, dan muatan. Muatan negatif dari SDS akan menghancurkan
sebagian struktur kompleks protein dan secara kuat tertarik ke arah anoda apabila
ditempatkan pada suatu medan listrik. Akrilamid berfungsi untuk mencegah
difusi akibat timbulnya panas pada arus listrik. Gel akrilamid dimanfaatkan untuk
memisahkan molekul protein yang kecil. Konsentrasi akrilamid total dalam gel
dapat mempengaruhi proses migrasi protein (Anam, 2009). Proses elektroforesis
dengan metode SDS-PAGE juga harus dilakukan pewarnaan pada gel. Fungsi
pewarnaan gel adalah untuk membantu memonitor jalannya elektroforesis.
Pewarnaan gel terdiri dari commasie blue staining dan silver salt staining.
Pewarnaan dengan menggunakan perak nitrat digunakan untuk analisa jarak
migrasi pita-pita protein yang terbentuk pada gel pemisah. Jarak migrasi diukur
dan dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh pewatna biru bromofenol,
dimana biru bromofenol digunakan untuk mengamati migrasi molekul protein
selama elektroforesis (Anam, 2009)
BAB 3. METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan analisis protein yaitu: Cawan
porselin, kaca objek, tabung reaksi, penangas air, pipet tetes, cawan penguapan,
erlenmeyer, pengaduk, spektrofotometer, ball pipet, pipet volume, corong, botol
semprot, neraca analitik, cawan porselin.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu kertas lakmus, kertas
saring, albumin, NaOH 10%, Pb asetat 5%, HCl pekat, akuades, HCL 10%,
NaOH 40%, alkohol 96%, kloroform, NaCl 5%, CaCl 5%, MgSO 4 5%, (NH4)2SO4
jenuh, larutan TCA ( asam trikloroasetat), HgCl 2 5%, CuSO4 5%, ninhydrin,
kasein, CuSO4 0,1%, HNO3 pekat, gelatin, bubuk magnesium, asam oksalat jenuh
dingin, asam asetat glasial, H2SO4 pekat, Commasic Brilliant Blue G-250, etanol
95%, dan H3PO4 85% (w/v).
3.2 Diagram Alir Percobaan
3.2.1 Uji adanya unsur C, H, dan O
1 ml albumin

- dimasukkan ke cawan porselen


- diletakkan kaca objek di atasnya
- dipanaskan

Embun pada kaca objek (ada H dan O)

- dicium bau pada kaca objek

Bau rambut terbakar Terdapat arang ( ada


(ada atom N) karbon
3.2.2 Uji adanya atom N

1 ml albumin 1 L NaOH 10 %

dimasukkan dalam tabung reaksi

campuran
- dipanaskan
- dicium bau amonia
- diuji dengan kertas lakmus basah

Perubahan warna
pada lakmus

3.2.3 Uji adanya atom S

1 ml albumin 1 L NaOH 10 %

- dipanaskan

Campuran 1 Pb asetat 5 %

Campuran 2

Hasil negatif
Hasil positif Larutan menghitam (terbentuk PbS)

Larutan tidak menghitam


Larutan menghitam
(tidak terbentuk PbS)
(terbentuk PbS)

Bau khas belerang


3.2.4 Uji kelarutan protein

2 mL albumin
- ditambahkan ke 5 tabung reaksi

1 mL
HCl 10 %
akuades NaOH Alkohol kloroform
40 % 96 %

Kelarutan

3.2.5 Uji Pengendapan Protein dengan Garam

2 mL albumin

- ditambahkan ke 4 tabung reaksi

NaCl 5% CaCl2 5% (NH4)2SO4 jenuh


MgSO4 5 %

endapan

- ditambah garam berlebih

Hasil
3.2.6 Uji Pengendapan protein dengan logam dan asam organik

2 mL albumin

- ditambahkan ke 4 tabung reaksi

Larutan TCA 10 tetes CuSO4 5% Pb asetat 5 %


HgCl2 5 %

-dikocok dan diamati

hasil

3.2.7 Uji Ninhidrin

0,1 g ninhidrin Larutan yang akan


diuji (albumin dan
- dilarutan dalam
kasein)
100 ml akuades - ditambahkan larutan alkali
- diambil 2 ml
Larutan
ninhidrin 0,1% Larutan uji 2 ml

- diambil beberapa tetes - dimasukkan ke dalam


tabung
reaksi

- dicampurkan
- dipanaskan dalam penangas air mendidih
selama 10 menit

Warna biru violet (positif


asam amino bebas)
3.2.8 Uji Biuret

Larutan yang akan


1 tetes tembaga
diuji (albumin dan 2 ml NaOH 10%
sulfat 0,1%
kasein)

- dicampurkan
- jika warna merah muda atau
ungu belum terbentuk
ditambahkan 1-10 tetes lagi
tembaga sulfat 0,1%

Larutan merah
muda atau ungu
3.2.9 Uji Millon

140 ml asam nitrat


100 g Hg (merkuri)
pekat

- dilarutkan
- diencerkan dengan 2 kali
volume akuades
Larutan yang akan
diuji (albumin dan Pereaksi Millon
kasein)
- diambil 5-10 tetes
- diambil 2 ml
- dimasukkan ke tabung reaksi

Campuran dengan
ndapan putih

- dipanaskan

Positif
(warna merah)
3.2.10 Uji Xantoprotein

2 mL larutan yang akan diuji


(albumin ,kasein, gelatin 2% 1 mL HNO3 pekat
secara terpisah)

- dicampurkan

Endapan putih

- dipanaskan dengan hati-hati

Larutan kuning

- didinginkan pada air kran


- ditambahkan NaOH atau ammonium
hidroksida

hasil positif hasil negatif


Campuran berwarna Campuran tidak berwarna
kuning - jingga kuning - jingga
3.1.1 Uji Hopkins-Cole

10 g bubuk Akuades
magnesium

- dicampurkan sampai Mg terendam


- diaduk
250 mL larutan asam
Larutan magnesium oksalat jenuh dingin

- didinginkan dalam air mengalir


- dicampur dan diaduk
- disaring
Magnesium oksalat
- dicuci akuades

Asam asetat diasamkan Filtrat magnesium oksalat


glasial

Pereaksi 2 mL larutan uji (albumin,


Hopkin-Cole kasein, dan gelatin 2%
secara terpisah)

- dicampur

Campuran larutan uji 2 mL H2SO4


denagn pereaksi pekat

- dicampurkan hati-hati

hasil positif hasil (-)


Cincin violet Tidak terbentuk cincin violet
3.1.2 Uji Bradford

100 mg Commasic 100 mL H3PO4


50 mL etanol 95%
Brilliant Blue G-250 85% (w/v)

- dicampurkan
- diencerkan samapai 1L

Campuran
- disaring dengan kertas saring
Whatman No.1 NaOH

Sampel (albumin Pereaksi Bradford


atau gamma
globulin)

- diencerkan dalam
100 µL

Sampel konsentrasi 5-100 µg


protein

- dicampurkan
- ditunggu 5 menit

Campuran sampel dengan


pereaksi
- diukur absorban pada panjang gelombang 595 nm

Data absorban
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Uji adanya unsur C, H, dan O
Albumin telur dimasukkan sebanyak 1 Ml ke dalam cawan porselin. Kaca
objek diletakkan di atasnya dan selanjutnya dipanaskan. Pengembunan pada kaca
objek diamati yang menunjukkan adanya H dan O. Kaca objek diambil dan
dicium bau yang terjadi. Bau rambut yang terbakar menunjukkan terdapat atom N,
jika terdapat arang menunjukkan adanya karbon.
3.3.2 Uji adanya atom N
Larutan albumin telur sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
Larutan NaOH 10 % sebanyak 1 L selanjutnya dipanaskan. Bau amonia yang
teruji diperhatikan dan diuji menggunakan kertas lakmus yang dibasahi air.
3.3.3 Uji adanya atom S
Larutan albumin telur dimasukkan sebanyak 1 mL ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan larutan NaOH 10% sebanyak 1 L selanjutnya dipanaskan.
Pb asetat 5% ditambahkan sebanyak 4 tetes. Larutan yang menghitam
menunjukkan terbentuk PbS. Langkah selanjutnya yaitu penambahan 4 tetes HCl
pekat dan diperhatikan bau khas belerang yang berasal dari belerang teroksidasi.
3.3.4 Uji kelarutan protein
Tabung reaksi disediakan sebanyak 5 buah. Lima tabung reaksi masing-
masing diisi dengan akuades, HCl 10%, NaOH 40%, alkohol 96 %, dan kloroform
1 mL. Larutan albumin telur sebanyak 2 Ml kemudian ditambahkan pada setiap
tabung dan dikocok kuat kemudian diamati kelarutannya.
3.3.5 Uji pengendapan protein dengan garam
Tabung rekasi disediakan sebanyak 4 buah. Masing-masing tabung diisi
dengan 2 mL albumin. Tabung 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut diisi oleh NaCl 5%,
CaCl2 5%, MgSO4 5%, dan (NH4)2SO4 jenuh setetes demi setetes sampai timbul
endapan. Langkah selanjutnya yaitu penambahan garam berlebih kemudian
dikocok dan diamati.
3.3.6 Uji pengendapan protein dengan logam dan asam organik
Tabung reaksi sebanyak 4 buah disediakan. Masing-masing tabung diisi
dengan 2 mL albumin telur. Tabung 1, 2, 3, 4 berturut-turut ditambahkan 10 tetes
larutan TCA, HgCl2 5%, CuSO4 5%, Pb-asetat 5% kemudian dikocok dan diamati.
3.3.7 Uji Ninhidrin
Larutan ninhidrin dibuat dengan cara melarutkan 0,1 g ninhidrin dalam
100 mL aquades. Larutan yang akan diuji (albumin dan kasein) 0,2% diatur pH-
nya hingga mendekati 7 dengan menambahkan larutan alkali. Sebanyak 2 mL
larutan albumin dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan beberapa
tetes larutan ninhidrin 0,1%, kemudian dipanaskan dalam penangas air mendidih
selama 10 menit. Warna biru violet yang terbentuk menunjukkan hasil positif
adanya asam amino bebas.
3.3.8 Uji Biuret
Larutan yang akan diuji (albumin dan kasein) dicampurkan masing-masing
sebanyak 2 ml dengan 2 ml NaOH 10%. kemudian ditambahkan 1 tetes larutan
tembaga sulfat 0,1%. Larutan kemudian dicampurkan dengan baik, dan jika warna
merah muda atau ungu belum terbentuk, perlu ditambahkan lagi 1-10 tetes
tembaga sulfat 0,1% sampai terbentuk warna merah muda atau ungu.
3.3.9 Uji Millon
Pereaksi Millon dibuat dengan melarutkan 100 g Hg (merkuri) ke 140 mL
asam nitrat pekat (BJ = 1,42) dalam cawan penguapan dilemari asam, kemudian
diencerkan dengan 2 kali volume akuades. Larutan yang akan diuji (albumin,
gelatin dan kasein) dimasukkan masing-masing sebanyak 2 ml ke dalam tabung
rekasi, lalu ditambahkan 5-10 tetes pereaksi Millon, dan dicampur dengan baik.
Endapan putih kemudian akan terbentuk. Campuran lalu dipanaskan dengan hati-
hati sampai terlihat warna merah yang menunjukkan hasil positif terhadap uji
Millon.
3.3.10 Uji Xantoprotein
Larutan yang akan diuji (albumin, kasein, dan gelatin 2% secara terpisah)
sebanyak 2 mL dicampur dengan 1 mL asam nitrat pekat secara hati-hati,
kemudian endapan putih yang terbentuk catat. Dipanaskan dengan hati-hati
hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi kuning. Campuran didinginkan
pada air kran, dan larutan natrium hidroksida atau amonium hidroksida
ditambahkan secara hati-hati. Warna kuning hingga jingga menunjukkan hasil
positif terhadap reaksi ini.
3.3.11 Uji Hopkins-Cole
Pereaksi Hopkins-Cole dibuat dengan dimasukkan bubuk magnesium
sebanyak 10 g kedalam erlenmeyer dan akuades di masukkan sampai Mg
terendam, lalu diaduk. Larutan asam oksalat jenuh dingin (25 g asam oksalat
dalam 250 mL aquades) ditambahkan sebanyak 250 mL. Reaksi terjadi sangat
cepat dengan dibebaskannya panas yang besar, sehingga labu harus didinginkan
didalam air mengalir selama penambahan asam. Isi labu diaduk setelah
penambahan asam dan disaring untuk memisahkan magnesium oksalat yang tidak
larut kemudian dicuci dengan sedikit aquades yang dituangkan melalui filter, dan
filtrat diasamkan dengan asam asetat (ditambahkan 25 mL asam asetat glasial dan
diencerkan dengan aquades menjadi 1 Liter). Larutan uji (albumin, kasein, dan
gelatin 2% secara terpisah) sebanyak 2 mL dicampur dengan 2 mL pereaksi
Hopkins-Cole dalam tabung rekasi. Perlakuan selanjutnya 2 mL asam sulfat pekat
dituangkan secara hati-hati melaui dinding tabung sehingga terbentuk suatu
lapisan dibawah larutan protein. Jangan dikocok, setelah beberapa menit akan
terbentuk cincin violet pada perbatasan kedua cairan yang menunjukkan reaksi
positif adanya asam amino triptofan.
3.3.12 Metode Bradford
Pereaksi Bradford dibuat dengan dilarutkan Comassie Brilliant Blue G-
250 sebanyak 100 mg dalam 50 mL etanol 95%, dan ditambahkan 100mL 85%
(w/v) asam fosfat. Campuran tersebut diencerkan sampai volumenyan menjadi 1
L sampai warna melarut semua, dan disaring menggunakan kertas saring
Whatman No. 1. NaOH digunakan jika sampel susah larut dalam pereaksi warna.
Spektrofotometer sebelum digunakan dipanaskan terlebih dahulu. Sampel
diencerkan untuk memperoleh konsentrasi antara 5-100 µg protein dalam volume
100 µL. Larutan NaOH 1 M ditambahkan dengan volume yang sama untuk setiap
sampel protein standar jika sulit dilarutkan. Protein standar (albumin atau gamma
globulin) disiapkan dengan konsentrasi antara 5-100 µg protein dalam volume 100
µL, kemudian kedalam masing-masing tabung sampel dan tabung standar
ditambahkan 5 mL pereaksi Bradford. Sampel dan standard didiamkan/ditunggu 5
menit, lalu diukur absorban pada panjang gelombang 595 nm.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Kualitatif Protein


4.1.1 Uji Adanya Atom C, H, dan O
No. Perlakuan Hasil
1. 2 mL albumin telur ke dalam Timbul pengembunan pada kaca
cawan dan ditutup dengan kaca arloji yang menunjukkan adanya
arloji, dipanaskan atom H dan O
2. Kaca arloji diambil dan dicium Tercium rambut terbakar maka
baunya menunjukkan adanya unsur N.
Pada cawan porselen terbentuk
arang yang menunjukkan adanya
atom C
4.1.2 Uji Adanya Atom N
No. Perlakuan Hasil
1. 1 mL albumin dimasukkan Tercium bau ammonia
dalam tabung reaksi + 1 mL
NaOH, larutan dipanaskan
2. Larutan diteteskan pada kertas Kertas lakmus biru tetap berwarna
lakmus biru, menunjukkan sampel
mengandung atom N
4.1.3 Uji Adanya Atom S
No. Perlakuan Hasil
1. 1 mL albumin dimasukkan Larutan menghitam, menunjukkan
dalam tabung reaksi + 10 mL terbentuk PbS
NaOH 10%, larutan dipanaskan
+ Pb asetat 5%
2. + HCl pekat Tercium bau belerang,
menunjukkan sampel
mengandung atom S

4.1.4 Uji Kelarutan Protein


No. Perlakuan Hasil
1. Tabung 1 (1 mL akuades) + 2 Larut
mL albumin, dikocok
2. Tabung 2 (1 mL HCl 10%) + 2 Tidak larut
mL albumin, dikocok
3. Tabung 3 (1 mL NaOH 40%) + Tidak larut
2 mL albumin, dikocok
4. Tabung 4 (alkohol 96%) + 2 mL Terbentuk 2 fasa (tidak larut)
albumin, dikocok
5. Tabung 5 (1 mL kloroform) + 2 Terbentuk 2 fasa ( tidak larut)
mL albumin, dikocok
4.1.5 Uji Pengendapan Protein dengan Garam
No. Perlakuan Hasil
1. Tabung 1 (2 mL albumin + NaCl Tidak terbentuk endapan (bening)
5% setetes demi setetes sampai
timbul endapan, dikocok,
diamati)
2. Tabung 2 (2 mL albumin + Tidak terbentuk endapan, lebih
CaCl2 setetes demi setetes keruh dibanding MgSO4
sampai timbul endapan, dikocok,
diamati)
3. Tabung 3 (2 mL albumin + Tidak terbentuk endapan (bening)
MgSO4 5% setetes demi setetes
sampai timbul endapan, dikocok,
diamati)
4. Tabung 4 (2 mL albumin + Terdapat endapan putih
NH4.2SO4 setetes demi setetes
sampai timbul endapan, dikocok,
diamati)

4.1.6 Uji Pengendapan Protein dengan Logam dan Asam Organik


No Perlakuan Hasil
.
1. Tabung 1 (2 mL albumin + 10 Endapan/gel berwarna putih
tetes TCA, dikocok, diamati) kekuningan
2. Tabung 2 (2 mL albumin + Endapan/gel berwarna putih
HgCl2 5%, dikocok, diamati) kekuningan
3. Tabung 3 (2 mL albumin + Endapan/gel berwarna biru
CuSO4 5%, dikocok, diamati)
4. Tabung 4 (2 mL albumin + Pb Endapan/gel berwarna putih
asetat 5%, dikocok, diamati) kekuningan
4.1.7 Uji Nihidrin
No Perlakuan Hasil
.
1. Albumin 2 mL dimasukkan Terjadi perubahan warna dari
dalam tabung reaksi + 6 tetes tidak berwarna menjadi biru violet
larutan nihidrin 0,1%,
dipanaskan selama 10 menit
2. Kasein 2 mL dimasukkan dalam Terjadi perubahan warna dari
tabung reaksi + 6 tetes larutan tidak berwarna menjadi biru violet
nihidrin 0,1 %, dipanaskan
selama 10 menit
4.1.8 Uji Biuret
No Perlakuan Hasil
.
1. Albumin 2 mL dimasukkan ke Terjadi perubahan warna menjadi
dalam tabung reaksi + 2 mL merah muda
NaOH 10% + 1 tetes CuSO4
2. Kasein 2 mL dimasukkan ke Terjadi perubahan warna menjadi
dalam tabung reaksi + 2 mL merah muda
NaOH 10% + 1 tetes CuSO4

4.1.9 Uji Millon


No. Perlakuan Hasil
1. Albumin 2 mL + 5 hingga 10 tetes Terdapat endapan putih (+)
pereaksi millon
2. Gelatin 2 mL + 5 hingga 10 tetes Tidak terdapat endapan (-)
pereaksi millon
3. Kasein 2 mL + 5 hingga 10 tetes Terdapat endapan putih (+)
pereaksi millon
4.1.10 Uji Xantoprotein
No. Perlakuan Hasil
1. Albumin 2 mL + 1 mL asam nitrat Terbentuk endapan, setelah
pekat, dipanaskan sampai berubah pemanasan berubah warna
warna dan didinginkan kembali + menjadi kuning dan setelah
ammonium hidroksida tetes demi penambahan ammonium
tetes terbentuk warna kuning
2. Gelatin 2 mL + 1 mL asam nitrat Tidak terbentuk endapan,
pekat, dipanaskan sampai berubah setelah pemanasan berubah
warna dan didinginkan kembali + warna menjadi kuning dan
ammonium hidroksida tetes demi setelah penambahan
tetes ammonium tidak terbentuk
warna (bening)
3. Kasein 2 mL + 1 mL asam nitrat Terbentuk endapan, setelah
pekat, dipanaskan sampai berubah pemanasan berubah warna
warna dan didinginkan kembali + menjadi kuning dan setelah
ammonium hidroksida tetes demi penambahan ammonium
tetes terbentuk warna kuning

4.1.11 Uji Hopkins-Cole


No. Perlakuan Hasil
1. Albumin 2 mL + 2 mL pereaksi Tidak terbentuk cincin
Hopkins-Cole + 2 mL H2SO4
pekat
2. Kasein 2 mL + 2 mL pereaksi Terbentuk cincin violet
Hopkins-Cole + 2 mL H2SO4
pekat
3. Gelatin 2 mL + 2 mL pereaksi Tidak terbentuk cincin
Hopkins-Cole + 2 mL H2SO4
pekat

4.2 Uji Kuantitatif Protein


4.2.1 Uji Bradford
No Perlakuan Hasil
.
1. Larutan standar 5 ppm yang telah Larutan berwarna hitam
diencerkan sebanyak 100 μL ke Absorbansi 0.110
dalam tabung reaksi + 5 mL reagen
Bradford, didiamkan selama 5
menit dan diukur absorbansi pada
panjang gelombang 595 nm
2. Larutan standar 10 ppm yang telah Larutan berwarna hitam lebih
diencerkan sebanyak 100 μL ke pekat
dalam tabung reaksi + 5 mL reagen Absorbansi 0.221
Bradford, didiamkan selama 5
menit dan diukur absorbansi pada
panjang gelombang 595 nm
3. Larutan standar 15 ppm yang telah Larutan berwarna kebiruan
diencerkan sebanyak 100 μL ke Absorbansi 0.303
dalam tabung reaksi + 5 mL reagen
Bradford, didiamkan selama 5
menit dan diukur absorbansi pada
panjang gelombang 595 nm
4. Larutan blanko Larutan berwarna coklat
kehitaman
5. Sampel albumin telur Absorbansi 0,082
4.3 Pembahasan
Praktikum ini membahas tentang analisa protein secara kualitatif dan
kuantitatif. Protein dapat didefinisikan sebagai suatu zat makanan yang sangat
penting atau utama bagi tubuh. Protein merupakan zat yang sangat penting yang
berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh, sebagai zat pembangun dan
pengatur. Protein mengandung unsur-unsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang
mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Protein merupakan suatu
makromolekul yang terbentuk dari asam amino yang berurut-urutanyang diikat
oleh ikatan peptida. Protein berdasarkan bentuk molekulnya dibagi menjadi
protein globular dan protein serat. Protein globular contohnya adalah albumin,
globulin dan hemoglobin, sedangkan contoh protin serabut adalah keratin dan
fibrroin. Protein berdasarkan strukturnya dibagi menjadi empat tingkatan dari
yang paling kecil tingkatanyya adalah struktur primer, struktur sekunder, struktur
tersier dan struktur kuartener Peranan protein diantaranya sebagai katalisator,
pendukung, cadangan, sistem imun, dan sebagainya. Kandungan dalam protein
dapat dianalisa secara kuantitatif maupun kualitatif.
Percobaan pertama adalah analisa kualitatif protein. Analisa kualitatif
protein ini bertujuan untuk mengetahui kandungan protein dalam suatu bahan.
Percobaan analisa protein ini dilakukan dengan menggunakan beberapa metode.
Metode yang digunakan diantaranya yaitu: Uji adanya unsur C, H, dan O, uji
adanya atom N, uji adanya atom S, uji kelarutan protein, uji pengendapan protein
dengan garam, uji pengendapan protein dengan logam dan asam organik, uji
ninhidrin, uji biuret, uji millon, uji xantoprotein, dan uji Hopkins-Cole.
Uji pertama yaitu uji adanya unsur C, H, dan O. Perlakuan pertama yaitu
sebanyak 2 mL albumin telur dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditutup rapat
lalu dipanaskan. Hasil yang diperoleh yaitu timbul pengembunan pada kaca arloji.
Hal tersebut menandakan pada kedua zat yang diuji terdapat unsur hidrogen dan
oksigen, di mana jika kedua unsur ini bereaksi dan membentuk ikatan karena
pemanasan, maka akan membentuk unsur dalam bentuk gas. Perlakuan
selanjutnya yaitu kaca arloji diambil dan dicium baunya. Hasil yang diperoleh
yaitu tercium baurambut terbakar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa positif
terhadap uji adanya unsur N. Hal tersebut dikarenakan bahwa di dalam rumus
empiris larutan tersebut memiliki unsur nitrogen. Uji kandungan unsur karbon
terbukti larutan positif mengandung karbon. Hal tersebut ditandai oleh adanya sisa
gumpalan hitam (arang) pada hasil pemanasan larutan tersebut. Hasil yang
diperoleh telah sesuai dengan warna alami karbon yaitu berwarna hitam.
Uji selanjutnya yaitu uji adanya atom N. Perlakuan pertama yaitu
sebanyak 1 mL albumin ditambahkan dengan 1 mL NaOH kemudian dipanaskan.
Penambahan larutan NaOH tersebut bertujuan untuk mempertahankan larutan
dalam keadaan basa. Proses pemanasan bertujuan untuk proses penguapan. Hasil
yang diperoleh yaitu tercium bau amonia. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
albumin positif mengandung atom N. Perlakuan selanjutnya yaitu larutan
diteteskan pada kertas lakmus. Hasilnya yaitu pada kertas lakmus biru tetap
berwarna biru. Hasil tersebut menunjukkan bahwa albumin positif mengandung
atom N. Perubahan warna pada lakmus tersebut disebabkan karena larutan bersifat
basa.
Uji selanjutnya yaitu uji adanya atom S. Perlakuan pertama yaitu albimun
sebanyak 1mL, kemudian ditambah dengan NaOH 10% sebanyak 10 mL
kemudian dipanaskan. Campuran setelah dipanaskan kemudian ditambah dengan
Pb asetat 5%. Hasil yang diperoleh yaitu larutan menjadi berwarna hitam. Hal
tersebut menunjukkan bahwa telah terbentuk PbS. Hasil tersebut kemudian
ditambah dengan HCl pekat. Penambahan larutan tersebut bertujuan untuk
membentuk PbS dan bau khas belerang. Perubahan warna pada larutan pada saat
penambahan HCl pekat yaitu menjadi coklat keruh dan terbentuk endapan. Bau
belerang yang tinbul pada reaksi menunjukkan bahwa larutan tersebut positif
mengandung atom S.
Uji selanjutnya yaitu uji kelarutan protein. Uji ini bertujuan untuk
mengamati sifat kelarutan pada protein. Perlakuan pertama yaitu menyiapakan 5
tabung reaksi. Tabung pertama diisi 1 mL aquades, tabung kedua diiisi 1 mL HCl
10%, tabung ketiga diisi 1 mL NaOH 40%, tabung keempat diisi alkohol 96% dan
tabung kelima diisi 1 mL klorofom. Masing-masing tabung kemudian
ditambahkan dengan 2 mL albumin. Perlakuan selanjutnya yaitu dilakukan
pengocokan kuat yang bertujuan untuk menghomogenkan larutan pada setiap
tabung reaksi. Hasil pada tabung 1 menunjukkan bahwa albumin telur dapat larut
dalam akuades. Hasil pada tabung 2 menunjukkan albumin telur dapat larut dalam
HCl 10%. Hasil pada tabung 3 yang didapat yaitu terbentuk larutan putih keruh.
Hasil pada tabung 4 yaitu terdapat dua fase. Fase atas yaitu gumpalan sedangkan
fase bawah yaitu air. Hasil yang didapatkan pada tabung 5 yaitu larutan menjadi
putih keruh dan terdapat 2 fase.
Protein bersifat amfoter yaitu dapat bereaksi dengan asam ataupun basa.
Daya larut protein berbeda didalam air, asam, dan basa, dimana sebagian ada yang
mudah larut dan ada pula yang sukar larut. Proses pengujian dengan kloroform
didapatkan hasil yang tidak larut, hal tersebut disebabkan karena kloroform
merupakan pelarut pada lemak. Kesimpulannya bahwa protein dapat larut dalam
akuades, HCl 10%, dan NaOH 40%, tetapi tidak larut dalam alkohol 96% dan
kloroform.
Uji selanjutnya yaitu uji pengendapan protein dengan garam. Tujuan dari uji
ini adalah untuk mengetahui atau mengamati sifat kelarutannya dan juga untuk
mengendapkan protein yang dibuat. Perlakuan ini bergantung pada konsentrasi
dan jumlah muatan ion dalam larutan, semakin tinggi konsentrasi dan jumlah
muatannya maka akan semakin efektif garam yang akan diendapkan. Peristiwa
pemisahan atau pengendapan protein oleh garam konsentrasi tinggi disebut
sebagai salting out. Garam yang digunakan yaitu natrium klorida, kalsium klorida,
magnesium sulfat, dan ammonium sulfat. Perlakuan pertama yang dilakukan yaitu
menambahkan 2 mL albumin telur ke dalam 4 tabung reaksi dan masing-masing
ditambahkan garam yang berbeda kemudian dikocok. Tabung reaksi pertama
ditambahkan dengan NaCl 5% tetes demi tetes sampai timbul endapan. Hasil yang
didapatkan yaitu larutan berubah menjadi kuning cerah dan terdapat sedikit
endapan. Tabung kedua ditambahkan dengan CaCl2 5% tetes demi tetes. Hasil
yang didapatkan yaitu larutan lebih keruh dibandingkan dengan MgSO4 5%.
Tabung ketiga ditambahkan dengan MgSO4 5%. Hasil yang didapatkan yaitu
larutan bening dan tidak terbentuk endapan. Tabung keempat ditambahkan dengan
(NH4)2SO4 ¬tetes demi tetes. Hasil yang didapatkan yaitu putih keruh dan
terdapat endapan. Endapan paling banyak yaitu pada (NH4)2SO4.
Uji selanjutnya yaitu uji pengendapan protein dengan logam dan asam
organik. Uji ini bertujuan untuk mengetahui penambahan logam berat dan asam
organik terhadap sifat kelarutan protein. Perlakuan pertama yaitu sebanyak 2 mL
albumin telur dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi yang berbeda. Tabung reaksi
pertama ditambahkan dengan larutan TCA (Asam trikloroasetat). Hasil yang
didapatkan yaitu terbentuk larutan putih keruh dan terdapat endapan. Endapan
terbentuk karena protein mengalami denaturasi oleh asam organik tersebut.
Penambahan asam menyebabkan terbentuknya garam proteinat yang tidak larut.
Denaturasi pada protein akibat asam organik bersifat reversible, karena protein
dapat kembali ke wujud semula apabila dilakukan proses pemanasan. Tabung
reaksi kedua ditambahkan dengan HgCl2 5%. Hasil yang didapatkan yaitu
terbentuk larutan putih keruh dan terdapat endapan. Tabung reaksi ketiga yaitu di
tambahkan dengan CuSO4 5%. Hasil yang didapatkan yaitu terbentuk larutan biru
muda keruh dan terbentuk endapan. Tabung keempat ditambahkan dengan Pb
asetat 5%. Hasil yang didapatkan yaitu terbentuk larutan putih keruh dan
terbentuk endapan. Endapan yang terbentuk tersebut disebabkan karena adanya
denaturasi pada protein. Denaturasi oleh logam bersifat irreversible yang berarti
protein tidak dapat kembali pada wujud semula. Protein mengalami denaturasi
irreversible karena adanya logam-logam berat pada larutan yaitu Cu2+, Hg2+, dan
Pb2+, sehingga mudah mengendap. Berdasarkan teori (Yazid,2006) menyatakan
bahwa protein yang mengalami denaturasi akan menurunkan aktivitas biologinya
dan berkurang kelarutannya sehingga mudah untuk mengendap.
Uji selanjutnya yaitu uji ninhidrin yang bertujuan untuk mengetahui adanya
asam amino bebas atau tidak pada sampel larutan yang diuji. Prinsip dari uji
ninhidrin yaitu suatu asam amino bereaksi dengan triketohidrindenahidrat
(ninhidrin) untuk membentuk aldehida yang lebih kecil, dengan membebaskan
karbon dioksida, ammonia, dan menghasilkan warna biru violet. Reagen yang
digunakan dalam uji ninhidrin ini merupakan hidrat dari triketon siklik dan bila
bereaksi dengan asam amino akan menghasilkan zat warna ungu. Menurut (Hart,
2003), hanya atom nitrogen dari zat warna ungu yang berasal dari asam amino,
selebihnya terkonversi menjadi aldehid dan karbondioksida. Warna ungu yang
terbentuk dihasilkan dari semua asam amino α dengan gugus amino primer dan
intensitas warnanya berbanding lurus dengan konsentrasi asam amino yang ada.
Menurut (Bintang, 2010), reaksi yang seharusnya terjadi pada uji ninhidrin adalah
sebagai berikut Senyawa-senyawa amonium kuat, senyawa amina, sebagian besar
peptida, dan protein bereaksi dengan jalur yang sama meskipun tidak
menghasilkan karbon dioksida dan amonia. Asam amino adalah unsur unsur yang
membentuk protein. Asam amino didalam strukturnya terdapat gugus alkil (-R),
gugus R tersebut dapat berikatan oleh gugus yang lain sehingga terdapat
klasifikasi asam amino. Pengklasifikasian asam amino dalam penyusun protein
terdapat 20 jenis asam amino yang berdasarkan perbedaan gugus rantai
sampingnya. Asam amino memiliki dua gugus yaitu gugus karboniil dan amino.
Asam amino pada protein memiliki struktur yang sama yaitu amino dan gugus
karbonil terikat pada atom karbon yang sama (Lehninger,1982). Struktur asam
amino secara umum adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1 Struktur Asam Amino secara umum (Sumber: Winarno, 1986)
Asam amino dalam kondisi netral berada dalam bentuk ion dipolar (ion
zwitter), seperti pada gambar 4.1. Gugus amino pada asam amino dipolar
mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi (Winarno,
1986). Perlakuan pertama yaitu albumin sebanyak 2 mL dan kasein sebanyak 2mL
masing-masing ditambah dengan reagen ninhidrin 0,1% sebanyak 6 tetes,
kemudian dipanaskan. Pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat terjadinya
reaksi yang akan membebaskan atau mengeluarkan karbon dioksida dan amonia,
sehingga dapat mengetahui kandungan asam amino bebas yang berada dalam
larutan. Pemanasan juga berfungsi untuk memisahkan ikatan antara asam amino.
Asam amino akan bereaksi dengan triketohidrindina hidrat (ninhidrin) untuk
membentuk aldehida yang lebih kecil, dengan membebaskan karbon dioksida,
amonia yang akan menghasilkan warna biru violet sedangkan untuk prolina dan
hidroksiprolina dihasilkan warna kuning. Uji positif dari uji ninhidrin adalah
terbentuknya warna biru violet. Reaksi yang negatif yaitu menghasilkan warna
kuning atau selain warna biru violet yang merupakan suatu bukti bahwa dalam
sampel yang diuji tidak mengandung asam amino. Albumin dan kasein
menunjukkan hasil yang positif ketika ditambahkan dengan reagen ninhidrin.
Hasil ini ditandai dengan terbentuknya warna biru violet pada larutan. Warna biru
violet yang dihasilkan berasal dari reaksi ninhidrin dengan asam amino. Kasein
merupakan protein yang terbesar yang terkandung didalam susu yang
mengandung asam amino berupa tirosin dan triptofan. Kasein termasuk dalam
asam amino essensial yaitu asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh manusia
namun tidak dapat memproduksinya sendiri sehingga membutuhkan asupan
makanan atau minuman untuk mendapatkannya. Hasil yang diperoleh pada
larutan sesuai dengan literatur yaitu menghasilkan warna biru violet yang artinya
mengandung kasein. Albumin merupakan asam amino non essensial yang
diproduksi oleh hati dalam bentuk prcalbumin dan memenuhi sekitar 60% jumlah
serum darah. Asam amino penyusun albumin berjumlah 19 macam, sehingga hasil
yang diperoleh telah sesuai dengan literatur.

Gambar 4.2 Reaksi ninhidrin dengan asam amino bebas


Asam amino yang mengandung asam alpa amino akan memberikan reaksi
ninhidrin membentuk warna ungu. Reaksi awal yang terjadi adalah reaksi oksidasi
alpa amino oleh ninhidrin. Produk yang dihasilkan adalah ninhidrin teruduksi,
karbondioksia, dan amonia dan senyawa dari gugus aldehid. Proses yang terjadi
selanjutnya adalah kondensasi antara ninhidrin tereduksi, amonia, dan ninhidrin
(belum bereaksi) membentuk kompleks berwarna ungu (Sudarmadji, 2003).
Uji selanjutnya yaitu uji biuret. Biuret adalah senyawa dengan dua ikatan
peptida yang terbentuk pada  pemanasan dua molekul urea. Prinsip dasar dari uji
biuret adalah pengukuran serapan cahaya oleh ikatan kompleks ungu yang terjadi
karena adanya interaksi antara protein dengan ion Cu2+. Uji biuret digunakan
untuk mengetahui adanya ikatan peptide (-CO-NH-) pada sampel protein. Reaksi
ini dilakukan dalam suasana basa (penambahan NaOH), ion Cu 2+ yang berasal dari
pereaksi  biuret (CuSO4) akan bereaksi dengan gugus  –CO dan  – NH dari rantai
peptida yang menyusun protein membentuk kompleks berwarna violet (ungu).
Gambar 4.3 Reaksi Uji Biuret
Hasil positif ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi ungu ketika
sampel telah direaksikan dengan peraksi beuret yang terdiri dari NaOH dan
CuSO4 0,1%. Fungsi pereaksi NaOH dan CuSO4 adalah untuk membuat suasana
larutan menjadi basa dan untuk menghasilkan senyawa kompleks berwarna ungu.
Uji biuret ini tidak dilakukan pemanasan karena pereaksi dari uji biuret ini
mengandung CuSO4 yang apabila dipanaskan akan membentuk kristal dan juga
apabila dilakukan pemanasan, ikatan peptida dari sampel akan rusak dan tidak
akan bisa dideteksi. Larutan protein dibuat alkalis dengan NaOH kemudian
ditambahkan larutan CuSO4 encer. Uji ini untuk menunjukkan adanya senyawa-
senyawa yang mengandung gugus amina asam (-CONH2) yang berada bersama
gugus amida asam yang lain. Uji Biuret merupakan reaksi warna untuk peptida
dan protein. Suatu peptida yang mempunyai dua buah ikatan peptida atau lebih
dapat bereaksi dengan ion Cu2+ dalam suasana basa dan membentuk suatu
senyawa kompleks yang berwarna biru ungu. Protein yang mempunyai ikatan
peptida sebanyak dua buah atau lebih akan berwarna ungu, warna ungu terjadi
karena kompleks ikatan peptida dengan tembaga, semakin banyak ikatan peptida
maka semakin pekat warna ungu yang terbentuk (Lehninger, 1993).
Sampel yang digunakan pada percobaan ini yaitu albumin dan kasein.
Sampel tersebut kemudian ditambah dengan reagen NaOH yang berfungsi sebagai
katalis yang berfungsi untuk menghancurkan atau memecahkan protein, kemudian
ditambah dengan reagen CuSO4. Larutan tembaga sulfat yang bersifat basa
bereaksi dengan polipeptida yang merupakan penyusun protein. Hasil yang
diperoleh setelah sampel ditambah dengan reagen NaOH dan CuSO4
menghasilkan perubahan warna larutan yaitu menjadi merah muda. Hal tersebut
menunjukkan bahwa albumin dan kasein positif terhadap uji biuret. Hal tersebut
telah sesuai dengan literatur. Albumin dan kasein merupakan protein kompleks
yang memiliki lebih dari dua ikatan peptide, (Almatsier, 2010).
Uji selanjutnya yaitu uji Millon. Reagen millon adalah larutan merkuro
dan merkuri nitrat dalam asam nitrat. Reagen millon apabila ditambahkan pada
larutan protein, akan menghasilkan endapan putih dan apabila dipanaskan dapat
berubah menjadi merah. Uji millon dilakukan untuk mengetahui adanya gugus
fenol dalam protein. Protein mengandung gugus hidroksil fhenil (-OH) dapat
bereaksi dengan larutan merkuri nitrat menghasilkan larutan atau endapan
berwarna putih dan akan berubah menjadi merah apabila dilakukan proses
pemanasan (Sumardjo, 2008). Reaksi yang terjadi pada uji millon adalah sebagai
berikut:

Gambar 4.4 Reaksi Uji Millon


Prinsip uji millon yaitu pembentukan garam merkuri dari tirosin yang
ternitrasi. Tirosin merupakan asam amino yang mempunyai molekul fenol pada
gugus R-nya, yang akan membentuk garam merkuri dengan reagen millon.
Perlakuan pertama yaitu dengan menambahkan 5-10 tetes pereaksi millon e dalam
2 mL larutan albumin. Tujuannya yaitu untuk mengetahui adanya endapan putih
pada setiap campuran. Larutan albumin dan kasein terdapat endapan putih,
sedangkan pada gelatin tidak terdapat endapan putih. Albumin dan kasein positif
dalam uji millon karena tirosin mempunyai molekul fenol pada gugus R-nya.
Albumin dan kasein mengandung tirosin sebagai salah satu atom penyusunnya
(Sumardjo, 2008).
Uji selanjutnya yaitu uji Xantoprotein. Uji ini bertujuan untuk
membuktikan adanya cincin benzena pada protein. Inti benzene akan ternitrasi
oleh asam nitrat pekat membentuk turunan nitrobenzene berwarna kuning hingga
jingga. Uji Xantoprotein pada suasana basa (ditambahkan larutan basa), akan
mengubah kompleks warna kuning tua pada sampel menjadi warna orange. Uji
yang positif terhadap reagen xantropotein ditandai dengan terbentuknya kompleks
berwarna kuning tua/kuning muda ketika berada dalam suasana asam
(ditambahkan HNO3). Senyawa nitro yang terbentuk dalam suasana basa akan
terionisasi dan warnanya berubah menjadi jingga. (Poedjiadi 2007). Uji
xantoprotein membuktikan adanya asam amino torisin, triptofan, atau fenilalanin
yang terdapat dalam protein (Yazid & Nursanti, 2006).
Perlakuan pada uji xantoprotein ini yaitu albumin sebanyak 2 mL
ditambah dengan asam nitrat pekat sebanyak 1 mL. Penambahan HNO3 berfungsi
sebagai  penyebab terjadinya reaksi nitrasi karena inti benzena dari asam amino
akan  bereaksi dengan HNO3 dan menghasilkan campuran berwarna kuning
(Girindra,1986). Asam nitrat yang ditambahkan bertujuan untuk memecah protein
menjadi gugus benzena. Reaksi yang digunakan adalah reaksi nitrasi pada inti
benzena yang terdapat di protein oleh asam nitrat pekat. Penambahan asam nitrat
akan menghasilkan endapan putih. Proses penambahan asam nitrat menyebabkan
tabung reaksi terasa panas, hal itu menunjukkan bahwa reaksi yang terjadi adalah
reaksi eksoterm(pelepasan kalor). Perlakuan selanjutnya yaitu dilakukan
pemanasan hingga endapan putih berubah menjadi larutan berwarna kuning.
Pemanasan akan mempercepat terjadinya reaksi karena saat pemanasan partikel-
partikel dalam larutan akan bergarak lebih cepat sehingga tumbukan lebih sering
terjadi dan reaksi dapat berjalan lebih cepat. Pemanasan membuat protein
mengalami denaturasi atau kerusakan, sehingga diharapkan molekul protein yang
terdiri dari banyak polipeptida dapat terputus menjadi molekul-molekul
penyusunnya yang lebih kecil, sehingga hal ini diharapkan dapat mempercepat
reaksi. Proses pemanasan juga akan menyebabkan terjadinya reaksi antara cincin
aromatik dengan asam nitrat sehingga akan menghasilkan warna kuning.
Gambar 4.5 Reaksi cincin benzene dengan HNO3
(Sumber : Harper, 1980)
Perlakuan selanjutnya yaitu campuran didinginkan dan ditambah dengan
amonium hidroksida. Penambahan NH4OH akan menghasilkan kompleks
berwarna jingga. Uji Xantoprotein dilakukan penambahan amonium hidroksida
bertujuan merenaturasi protein dan menetralkan larutan. Renaturasi adalah
penataan ulang molekul akibat dari perubahan pH. Kompleks berwarna jingga
akan muncul dalam suasana basa.
Hasil yang diperoleh yaitu sampel albumin ditambah dengan HNO3
sebelum dipanaskan terbentuk endapan, setelah dipanaskan berubah menjadi
berwarna kuning, dan setelah ditambah dengan NH4OH tetap berwarna kuning.
Sampel gelatin ditambah dengan HNO3 sebelum dipanaskan tidak terbentuk
endapan, setelah dipanaskan terbentuk warna kuning, dan setelah ditambah
dengan NH4OH menjadi tidak berwarna. Sampel kasein ditambah dengan HNO3
sebelum dipanaskan terbentuk endapan, setelah dipanaskan menjadi berwarna
kuning, dan setelah ditambah dengan NH4OH tetap berwarna kuning. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa albumin dan kasein positif terhadap uji
xantoprotein. Albumin merupakan protein yang mengandung gugus benzen. Hal
tersebut dapat dilihat pada struktur berikut ini:
Gambar 4.6 Struktur Albumin
(Sumber : Girindra, 1986)
Sampel kasein menunjukkan hasil yang positif, yaitu menghasilkan warna
kuning. Hal tersebut membuktikan bahwa kasein mempunyai cincin benzen yang
ikatan rangkapnya bisa beresonansi. Struktur kasein dapat dilihat pada gambar
berikut ini:

Gambar 4.7 Struktur Kasein


(Sumber: Hintono, 2003)
Sampel gelatin pada percobaan ini menunjukkan hasil yang negatif yaitu
tidak menghasilkan warna kuning. Hal tersebut sesuai dengan literatur karena
menurut Bintang (2010), gelatin merupakan senyawa turunan dari protein dan
tidak memiliki inti benzena pada strukturnya sehingga tidak dapat mengalami
reaksi nitrasi akibat penambahan asam nitrat.

Gambar 4.8 Struktur Gelatin


(Sumber: Bintang, 2010)
Analisa kualitatif yang terakhir yaitu dengan uji Hopkins-Cole. Percobaan
ini bertujuan untuk menunjukkan adanya asam amino triptofan pada beberapa
sampel yang akan diuji. Uji Hopkins-Cole bergantung adanya triptofan dalam
sampel. Reagen yang digunakan dalam uji ini adalah reagen Hopkins-Cole yang
terkandung asam glioksilat (HOO-CHO) di dalamnya dimana dibuat dari asam
oksalat dengan bubuk magnesium. Perubahan yang dihasilkan apabila suatu
sampel mengandung triptofan adalah terbentuknya cincin berwarna keunguan
pada bidang batas. Sampel yang digunakan dalam uji ini yaitu: albumin, kasein,
dan gelatin. Perlakuan pada uji yaitu sampel albumin, kasein, gelatin sebanyak 2
mL masing-masing ditambah dengan 2 mL pereaksi Hopkins-cole dan 2 mL
H2SO4 pekat. Penambahan H2SO4 dalam percobaan ini berfungsi sebagai oksidator
agar terbentuk cincin ungu pada larutan bahan yang positif mengandung triptofan.
Hasil dari percobaan Hopkins-Cole yaitu positif pada pada kasein dan.
Hasil positif ditunjukkan dengan adanya cincing ungu pada larutan yang
disebabkan oleh pereaksi yang terdiri dari asam glioksilat (CHOCOOH). Asam
sulfat (H2SO4) digunakan dalam praktikum ini. Asam glioksilat (CHOCOOH)
akan berkondensasi dalam asam sulfat (H 2SO4) dengan aldehid dan akan
membentuk kompleks berwarna dari jenis asam 2,3,4,5-tetrahidro- ß-karbolin-4-
karboksilat. Reaksinya dapat dituliskan :
H H
CH2 CH2 CO 2H HC O CO 2H
+ HC O
N NH
N
H
H H H
triptofan asam glioksilat asam 2,3,4,5,tetrahidro- β
-karbolin-4-karboksilat

Gambar 4.9 Reaksi Hopkins-Cole


Hasil negatif ditunjukkan pada sampel albumin dan gelatin. Hal tersebut
dikarenakan pada kedua larutan tersebut tidak terjadi pembentukan cincin
berwarna violet. Hasil negatif tersebut terjadi karena pada kedua larutan tidak
terdapat asam amino triptofan.
Percobaan selanjutnya yaitu analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif dari
protein pada percobaan kali ini dilakukan untk menentukan kadar protein pada
sampel. Metode yang digunakan adalah dengan uji Bardford. Metode Bradford
adalah salah satu metode dalam penentuan kadar protein suatu bahan. Prinsip
kerjanya didasarkan pada peningkatan secara langsung zat warna Coomasie
Brilliant Blue G250 (CBBG) oleh protein yang mengandung residu asam amino
dengan rantai samping aromatik (tirosin, triptofan, dan fenilalanin) atau bersifat
basa (arginin, histidin, dan leusin). Reagen CBBG bebas berwarna merah
kecoklatan (Imaks 465 nm), sedangkan dalam suasana basa reagen CBBG akan
berbentuk anion yang akan mengikat protein membentuk warna biru (I maks 595
nm). Jumlah CBBG yang terikat pada protein proporsional dengan muatan positif
yang ditemukan pada protein (Stoscheck 1990). Sampel yang digunakan pada
percobaan ini adalah albumin telur. Albumin telur digunakan sebagai sampel
karena putih dan kuning telur mengandung kadar protein yang cukup tinggi.
Perlakuan pertama pada percobaan kali ini adalah pembuatan kurva
kalibrasi. Pembuatan kurva standar protein dilakukan menggunakan larutan
standar dengan berbagai variasi konsentrasi. Variasi konsentrasi dilakukan agar
dapat diketahui hubungan antara konsentrasi dengan nilai absorbansi dengan cara
membandingkan nilai konsentrasi satu dengan yang lain pada kurva kalibrasi.
Larutan standar yang digunakan adalah larutan Bovine Serum Albumin (BSA)
1000 ppm. Larutan BSA merupakan larutan standar yang sering digunakan untuk
menentukan protein untuk metode bradford (Keenan, 1992). Larutan stok BSA
dibuat dengan konsentrasi 100 ppm, kemudian dari larutan tersebut dibuat larutan
standar dengan konsentrasi 5, 10, dan 15 ppm dalam labu ukur 5 mL. Larutan
yang telah diencerkan diambil sebanyak 100 μL ke dalam tabung reaksi.
Larutan standar 5, 10, 15 ppm yang telah dibuat masing-masing ditambah
dengan reagen bradford. Reagen Bradford dibuat dengan melarutkan 100 g
Coomasie Brilliant Blue ke dalam 50 mL etanol 95%, dan ditambahkan 100 mL
85% (w/v) asam fosfat. Campuran kemudian dihomogenkan dan didiamkan
selama 5 menit agar larutan dapat bereaksi secara sempurna. Reaksi yang terjadi
pada saat penambahan reagen bradford ini adalah terjadi pengikatan protein yang
memiliki cicin aromatik, bersifat basa dan residu asam amino oleh reagen CBS.
Reagen CBS pada kondisi padat dan mengalami pengikatan dengan protein akan
berwarna biru. Larutan blanko yang digunakan dibuat dengan mencampurkan 0,1
mL akuades dengan 5 mL reagen Bradford. Reagen Coomasie Brilliant Blue yang
telah berwarna biru ini selanjutnya akan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 595 nm menggunakan spektrofotometer visible. Panjang gelombang
595 digunakan sebagai penjang gelombang pengukuran karena pada panjang
gelombang ini merupakan panjang gelombang saat serapan maksimum oleh
larutan. Warna larutan yang berwarna biru akan menyerap maksimal pada panjang
gelombang warna komplementernya yaitu warna jingga yang memiliki kisaran
warna 590-620 nm, oleh karena itu panjang gelombang yang dipakai adalah 595
nm.
Nilai absorbansi yang diperoleh dari larutan standar 5 ppm, 10 ppm, 15
ppm berturut-turut yaitu: 0.110; 0.221; Absorbansi 0.303. Nilai absorbansi dari
larutan standar kemudian diplotkan dengan sumbu x adalah nilai variasi
konsentrasi dan sumbu y adalah nilai absorbansinya. Kurva kalibrasi yang didapat
adalah:

Gambar 4.10 Kurva standar Albumin Telur


Kurva pada gambar 4.10 menunjukkan hubungan absorbansi seabagai
sumbu Y dan konsentrasi sebagai sumbu X. Hasil kurva tersebut menunjukkan
bahwa semakin besar konsentrasi maka semakin besar juga nilai absorbansinya.
Kurva terebut ditunjukkan oleh garis yang linear. Hal itu menunjukkan sinar yang
diserap oleh partikel glukosa sebanding dengan semakin besarnya konsentasi
larutan. Kurva kalibrasi tersebut memiliki nilai korelasi linearitasnya sebesar
0,9954. Kurva 4.7 diperoleh persamaan y = 0,0204x + 0,0055 yang akan
digunakan untuk menentukan kadar protein dalam sampel.
Perlakuan selanjutnya penentuan kadar protein dalam sampel. Sampel
yang digunakan adalah albumin telur. Albumin telur sebanyak 0,2 mL diencerkan
menjadi 1 mL dan ditambahkan dengan 5 mL reagen Bradford. Penambahan
pereaksi bradford menghasilkan perubahan warna pada larutan albumin telur.
Larutan albumin telur mengahasilkan warna larutan biru kehijauan. Bradford
(1976) menyatakan bahwa kompleks warna biru pada larutan yang diberi pereaksi
Bradford sangat cepat terbentuk dan bersifat stabil. Kestabilan warna
biru Commassie Brilliant Blue G-250 ini karena adanya inteaksi antara lapisan
hidrofobik dari protein dengan bentuk anion dari zat warna Coomassie Brilliant
Blue G-250 yang menstabilkan bentuk anion tersebut. Warna yang dihasilkan dari
penambahan pereaksi Bradford menunjukkan zat warna telah berikatan dengan
protein sehingga kandungan protein tersebut dapat diukur secara spektrofotometri.
Pengukuran secara spektrofotometri didasarkan pada serapan sinar radiasi
elektromagnetik dari sumber sinar dengan materi yang berupa molekul. Intensitas
warna dari suatu larutan sebanding dengan jumlah cahaya yang diserap. Sampel
diukur absorbansi pada panjang gelombang 595 nm. Hasil pengukuran tersebut
didapatkan absorbansi pada albumin telur sebesar 0,082. Persamaan kurva
tersebut digunakan untuk mengetahui kadar protein pada albumin telur sebesar
3,75%. Hasil kadar protein tersebut jauh lebih kecil dibandingkan literatur
menurut Winarno dan Suwarno (2002) untuk kadar protein dalam putih telur
sebesar 10,30 %.
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan analisa protein adalah sebagai berikut:
1. Analisis kualitatif protein pada percobaan ini dilakukan dengan beberapa uji
yaitu sebagai berikut: pertama, uji adanya unsur C, H, dan O pada protein
positif yang ditunjukkan dengan adanya kerak (arang) merupakan unsur C,
dan terdapat uap pada kaca arloji menunjukkan adanya unsur H dan O.
Kedua, uji adanya unsur N dilakukan dengan albumin telur yang
menunjukkan hasil positif pada reaksi dengan adanya bau rambut terbakar dan
terjadi perubahan warna kertas lakmus merah menjadi biru. Ketiga, uji adanya
unsur S ditunjukkan dengan adanya bau belerang serta terdapat endapan
hitam. Keempat, uji kelarutan protein menunjukkan bahwa pada akuades,
HCl, dan NaOH dapat larut, sedangkan pada alkohol dan kloroform protein
tidak dapat larut. Kelima, uji pengendapan protein dengan garam
menunjukkan bahwa pada (NH4)2SO4 menunjukkan hasil yang positif,
sedangkan pada NaCl 5%, CaCl2 5%, dan MgSO4 5% tidak terbentuk endapan
putih. Keenam, uji pengendapan protein dengan logam dan asam organik
yang menunjukkan bahwa pada logam dan asam organik mengalami
pengendapan baik bersifat reversible maupun irreversible. Ketujuh, ninhidrin
menggunakan sampel albumin dan kasein, dimana kedua sampel
menunjukkan terbentuknya cincin violet, yang artinya kedua sampel tersebut
megnandung asam amino. Kedelapan, uji biuret menunjukkan hasil positif
pada albumin dan kasein ditandai dengan terbentuknya larutan merah muda,
artinya kedua sampel tersebut mengandung gugus amida. Kesembilan, uji
millon menunjukkan hasil positif pada albumin dan kasein, sedangkan pada
gelatin tidak. Hasil tersebut ditandai dengan adanya endapan putih pada
larutan, artinya kedua sampel tersebut mengandung gugus fenol. Kesepuluh,
uji Xantroprotein menunjukkan bahwa pada albumin dan kasein bernilai
positif, sedangkan pada gelatin tidak. Hasil tersebut ditunjukkan dengan
adanya larutan menjadi kuning, artinya kedua sam9pel tersebut mengandng
cincin fenil. Kesebelas, uji Hopkins-Cole menunjukkan bahwa pada albumin
dan kasein bernilai positif, sedangkan pada gelatin tidak. Hasil tersebut
ditunjukkan dengan adanya endapan putih pada larutan yang menunjukkan
bahwa kedua sampel tersebut mengandung asam glioksilat (HOOC-CHO).
2. Analisis kuantitatif protein bertujuan untuk mengetahui kadar protein dalam
suatu sampel. Metode yang digunakan adalah metode Bardford. Sampel yang
diidentifikasi kadar proteinnya yaitu albumin telur. Hasil percobaan diperoleh
kadar protein pada albumin telur yaitu 3,75 %.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Anam, K. 2009. SDS-PAGE dengan Silver Staining dan Zimograf. Bogor :
Bioteknologi Sekolah Pascasarjana ITB.
Bintang, M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta: Erlangga.
Bradford, M. 1976. Rapid and sensitive method for the quantitation of microgram
quantities of protein utilizing the principle dye binding. Analytical of
Biochemistry. vol 72, 248−254.
Brown and Rogers. 1981. General Organic and Biochemistry. Boston: Willars
Grant Press.
Budianto, A K. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang : UMM Pers.
Devi, N. 2010. Nutrition and Food Gizi Untuk Keluarga. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara.
Fried, George H. dan George J. Hademenos. 2006. Schaum’s Outlines: Biologi
Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Forsythe, W. 1998. Soy protein, thyroid regulation and cholesterol metabolism.
The journal of nutrion 125,3 : 619S-623S.
Girindra A. 1986. Biokimia 1. Jakarta: Gramedia.
Harper, et al. 1980. Biokimia (Review Of Physilogical Chemistry) Edisi 17.
Jakarta : EGC.
Hart, Harold., Craine, Leslie E., dan Hart, David J. 2003. Kimia Organik Edisi
Kesebelas. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hintono, S. 2003. An Introduction to Practical Biochemistry. Second Edition.
Tata Mc.Graw-Hill Publishing Company, New Delhi
Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Lowry, O. H., N. J., Rosebrough, A. L., Farr, and R. J. Randall. 1951. Protein
measurement with the folin phenol reagent. J. Biol. Chem. 193 – 265
Martin, R. 2006. Gel Elektroforesis : Nucleid Acids. Oxford : Bross Scientific
Publishers Ltd.
Ngili, Yohanis. 2010. Biokimia Dasar. Jakarta: Rekayasa Sains..
Oktavia, D. A. (2007). Kajian SNI 01-2886-2000 Makanan Ringan Ekstrudat.
Jurnal Standardisasi Vol 9 No. 1 Tahun 2007: 1-9.
Poedjadi, Anna. 2005.Dasar-dasar Biokimia. Jakarta : Universitas Indonesia.
Ridwan, S.1990. Kimia Organik edisi I.Jakarta: Binarupa Aksara
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Organik Stereokimia, Karbohidrat, Lemak, dan
Protein. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sediaoetama.2008. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Sirajuddin, D. 2012. Penuntun Praktikum Biokimia. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Sitompul, S. 2004. Analisis Asam Amino Tepung Ikan dan Bungkil Kedelai.
Jurnal Teknik Pertanian, 9(1): 33-37.
Soeharsono. 2006. Biokimia 1. Yogyakarta: UGM Press.
Sumardjo. 2006. Pengantar Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata 1 Fakultas Bioeksakta. Jakarta: EGC.
Susilawati. 2011. Biokimia Struktur dan Fungsi Biomolekul. Yogyakarta: Graham
Ilmu.
Watson, D.G. 2002. Analisis Farmasi. Jakarta: EGC
Wibowo, M.S. 2010. Elektroforosis. Bandung : Sekolah Farmasi ITB.
Winarno, F. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wirahadikusumah, M. 1989. Biokimia. Bandung: ITB.
Yazid, E. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia. Yogyakarta: Andi.
Yuwono, T. 2005. Biologi Molekuler. Jakarta: Erlangga
LEMBAR PERHITUNGAN

 Penentuan kadar protein albumin telur menggunakan metode


bradford
y=0,024 x+ 0,0055
0,082=0,024 x+ 0,0055
0,024 x=0,082−0,0055
0,024x=0,0765
x=3,75

Anda mungkin juga menyukai