Anda di halaman 1dari 7

A.

Judul Percobaan : Koloid


B. Hari, tanggal percobaan : Kamis, 28 Februari 2019
Mulai Praktikum : Pukul 13.00 WIB
Selesai Praktikum : Pukul 15.30 WIB
C. Tujuan Percobaan :
1. Mengetahui cara pembuatan koloid.
2. Mengetahui sifat-sifat koloid.

D. Dasar Teori
Koloid adalah suatu camputan zat heterogen (dua fase) antara dua zat atau
lebih partikel-partikel zat yang berukuran kolid (fase terdispersi/yang dipecah)
tersebar secara merata di dalam zat lain (medium pendispersi/pemecah). Ukuran
partikel koloid berkisar antara 1-100 nm. Ukuran yang dimaksud dapat berupa
diameter, panjang, lebar, maupun tebal dari suatu partikel. Keadaan koloid
merupakan keadaan antara suatu larutan dan suatu suspensi. Bila suatu bahan
berada dalam keadaan subdifisi ini. Bahan itu memperagakan sifat-sifat yang
menarik dan penting yang tidak merupakan ciri dari bahan dalam agregat yang
lebih besar. (Keenan, 1984)
Partikel-partikel dalam suatu koloid terlalu kecil untuk dilihat dengan mata
atau dengan mikroskop biasa, walaupun demikian partikel ini dapat
mempengaruhi cahaya tampak, ukuran partikelnya yang cocok untuk
menyebabkan cahaya tersebar dengan sudut-sudut yang besar. Bila konsentrasi
koloidnya besar, penyebaran cahayanya ini akan menyebabkan larutan koloid
kelihatan jenuh. Jadi, cahaya tak diteruskan. Contohnya susu, sinar yang datang
pada susu disebarkan oleh partikel-partikel koloid. Susu kemudian diadsorbsi
sehingga tak diteruskan. Bila konsentrasi lebih kecil, dispersi koloidnya kelihatan
seperti awan dan bila diencerkan lagi bisa lebih terang (transparan) misalnya saja
larutan kanji yang encer akan kelihatan terang. (Syukri, 1999)
Ciri penting dari partikel koloid adalah tingginya nisbah antara luas
permukaan dengan volumenya. Telah diketahui bahwa atom, ion, atau molekul
pada permukaan zat agak berbeda dengan di bagian dalamnya. Hal ini disebabkan
karena spesies di permukaan mempunyai gaya-gaya yang berbeda dengan spesies
di bagian dalam. Untuk bahan biasa perbandingan atom, ion, atau molekul pada
permukaan sangat kecil dibandingkan di bagian dalam. Sehingga gejala istimewa
yang terdapat di permukaan tidak menonjol. (Petrucci, 1987)
Suatu koloid selalu mengandung dua fasa yang berbeda, mungkin berupa gas,
cair, atau padat. Pengertian fasa disini tidak sama dengan wujud, karena ada
wujud sama tetapi fasa berbeda, contohnya campuran air dan minyak bila dikocok
akan terlihat butiran minyak dalam air. Butiran itu mempunyai fasa berbeda
dengan air walaupun keduanya cair. Oleh karena itu, suatu koloid selalu
mempunyai fasa terdispersi dan fasa pendispersi. Fasa terdispersi dan fasa
pendispersi mirip dengan pelarut dan zat terlarut pada suatu larutan. Partikel
koloid yang telah mengadsorpsi ion akan bermuatan listrik sesuai dengan muatan
ion yang diserapnya. Muatan partikel ini dapat positif atau negatif. Contohnya
koloid Fe2O3 bermuatan positif setelah mengadsorpsi Fe3+ pada kolloid
Fe2O3XH2O. Koloid bila dibiarkan dalam waktu terntentu akan terpengaruh oleh
gaya gravitasi, sehingga partikelnya turun perlahan ke dasar bejana yang disebut
koagulasi atau penggumpalan. Waktu penggumpalan bervariasi antara satu dengan
yang lain, koagulasi dapat dibantu dengan alat sentrifugal ultra. (Syukri,1999)
Baik zat terdispersi maupun pendispersi dapat berbentuk gas, cairan ataupun
padatan (kecuali keduanya berbentuk gas, karena molekul gas tidaklah sebesar
koloid). Berikut jenis-jenis dari koloid :
1. Sol (fase terdispersi padat)
a. Sol padat adalah sol dalam medium pendispersi padat.
Contoh : Paduan logam, gelas warna, intan hitam.
b. Sol cair adalah sol dalam medium pendispersi cair.
Contoh : Cat, tinta, tepung dalam air.
c. Sol gas adalah sol dalam medium pendispersi gas.
Contoh : Debu di udara, asap pembakaran.
2. Emulsi (fase terdispersi cair)
a. Emulsi padat adalah emulsi dalam medium pendispersi padat.
Contoh : Jelly, keju, mentega, nasi.
b. Emulsi cair adalah emulsi dalam medium pendispersi cair.
Contoh : Susu, mayonais, krim tangan.
c. Emulsi gas adalah emulsi dalam medium pendispersi gas.
Contoh : Hairspray, obat nyamuk.
3. Buih (fase terdispersi gas)
a. Buih padat adalah buih dalam medium pedispersi padat.
Contoh : Batu apung, marsmallow, karet busa, styrofoam.
b. Buih cair adalah buih dalam medium pedispersi cair.
Contoh : Putih telur yang dikocok, busa sabun.
(Brady, 1986)

Sol adalah partikel berukuran koloid 0,001 – 0,1 1/4 m yang tidak dapat
membentuk dispersi koloid dalam air, karena ukuran partikelnya sol koloid ini
cenderung tidak stabil. Gel merupakan sistem padatan yang bersifat elastis karena
terbentuknya suatu jalinan antara partikel-partikel koloid sol. Transformasi koloid
sol menjadi gel apabila tercipta beberapa kondisi seperti perubahan suhu,
perubahan agensia pembentuk gel, pengurangan jumlah gugus bermuatan akibat
perubahan derajat keasaman atau penambahan garam. (Lesmana, dkk, 2008)
Selain dari jenis-jenis koloid, terrdapat juga sifat-sfat koloid :

1. Efek Tyndall

Untuk menentukan apakah suatu campuran merupakan larutan sejati atau


koloid, sering digunakan metode efek Tyndall, jika cahaya melewati larutan sejati.
Pengamat yang melihatnya dari arah tegak lurus terhadap sinar tidak melihat
cahaya. Tetapi, dalam suspensi koloid cahayanya dibaurkan ke segala arah dan
dapat dilihat dengan mudah.

Sifat ini mula-mula dipelajari oleh Tyndall pada tahun 1869, dan dikenal
sebagai Efek Tyndall. Contoh lain mengenai pembauran ialah oleh partikel debu
dalam cahaya dan proyektor film dalam ruang gelap. (Petrucci, 1987)

Efek Tyndall adalah efek yang terjadi jika suatu larutan terkena sinar. Pada
saat larutan sejati disinari dengan cahaya, maka larutan tersebut tidak akan
menghamburkan cahaya, sedangkan pada sistem koloid cahaya akan
dihamburkan. Hal itu terjadi karena partikel-partikel koloid mempunyai partikel-
partikel yang relatif besar untuk dapat menghamburkan sinar tersebut. Sebaliknya,
pada larutan sejati, partikel-partikel relatif kecil sehingga hamburan yang terjadi
hanya sedikit dan sangat sulit diamati. (Petrucci, 1987)

2. Gerak Brown

Partikel-partikel koloid hanya dapat bergerak dengan sedikit, tetapi karena


adanya tumbukan dengan molekul-molekul fasa pendispersinya gerakannya akan
berbentuk zig zag, ini disebut gerakan Brown. (Petrucci, 1987)

3. Muatan Koloid (sifat listrik)

Partikel koloid yang telah mengadsorpsi ion akan bermuatan listrik sesuai dengan
muatan ion yang diserapnya. Muatan koloid dapat diketahui dengan mencelupkan
batang elektroda, yang bermuatan positif akan tertarik (berkumpul) ke elektroda
negatif, sedangkan yang bermuatan negatif tertarik ke keletroda positif.
(Syuktri, 1999)

NORIT

Karbon aktif, atau sering juga disebut sebagai arang aktif, adalah suatu jenis
karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat besar. Hal ini bisa dicapai
dengan mengaktifkan karbon atau arang tersebut. Hanya dengan satu gram dari
karbon aktif, akan didapatkan suatu material yang memiliki luas permukaan kira-
kira sebesar 500 m2 (didapat dari pengukuran adsorpsi gas nitrogen). Biasanya
pengaktifan hanya bertujuan untuk memperbesar luas permukaannya saja, namun
beberapa usaha juga berkaitan dengan meningkatkan kemampuan adsorpsi karbon
aktif itu sendiri.

Karbon aktif adalah karbon padat yang memiliki luas permukaan yang cukup
tinggi berkisar antara 100 sampai dengan 2000 m 2/g. Bahkan ada peneliti yang
mengklaim luas permukaan karbon aktif yang dikembangkan memiliki luas
permukaan melebihi 3000 m2/g. Bisa dibayangkan dalam setiap gram zat ini
mengandung luas permukaan puluhan kali luasan lapangan sepak bola. Hal ini
dikarenakan zat ini memiliki pori – pori yang sangat kompleks yang berkisar dari
ukuran mikro dibawah 20 A (Angstrom), ukuran meso antara 20 sampai 50
Angstrom dan ukuran makro yang melebihi 500 A (pembagian ukuran pori
berdasarkan IUPAC). Sehingga luas permukaan disini lebih dimaksudkan luas
permukaan internal yang diakibatkan dari adanya pori – pori yang berukuran
sangat kecil. Karena memiliki luas permukaan yang sangat besar, maka karbon
aktif sangat cocok digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan luas kontak yang
besar seperti pada bidang adsorpsi (penyerapan), dan pada bidang reaksi dan
katalisis. Contoh yang mudah dari karbon aktif adalah yang banyak dikenal
dengan sebutan norit yang digunakan untuk mengatasi gangguan pencernaan.

Prinsip kerja norit adalah ketika masuk kedalam perut dia akan mampu
menjerap bahan – bahan racun dan berbahaya yang menyebabkan gangguan
pencernaan. Kemudian menyimpannya di dalam permukaan porinya sehingga
nantinya keluar nantinya bersama tinja. Secara umum karbon aktif ini dibuat dari
bahan dasar batu bara dan biomasa. Intinya bahan dasar pembuat karbon aktif
haruslah mengandung unsur karbon yang besar. Dewasa ini karbon aktif yang
berasal dari biomasa banyak dikembangkan para peneliti karena bersumber dari
bahan yang terbarukan dan lebih murah. Bahkan karbon aktif dapat dibuat dari
limbah biomasa seperti kulit kacang-kacangan, limbah padat pengepresan biji –
bijiaan, ampas, kulit buah dan lain sebagainya. Proses pembuatan arang aktif
dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pengaktifan secara fisika dan secara kimia.
Pengaktifan secara fisika pada dasarnya dilakukan dengan cara memanaskan
bahan baku pada suhu yang cukup tinggi (600 – 900 C) pada kondisi miskin
udara(oksigen), kemudian pada suhu tinggi tersebut dialirkan media pengaktif
seperti uap air dan CO2. (Wahyudi, 2017)

Sedangkan pada pengaktifan kimiawi, bahan baku sebelum dipanaskan


dicampur dengan bahan kimia tertentu seperti KOH, NaOH, K 2CO3 dan lain
sebagainya. Biasanya pengaktifan secara kimiawi tidak membutuhkan suhu tinggi
seperti pada pengaktifan secara fisis, namun diperlukan tahap pencucian setelah
diaktifkan untuk membuang sisa – sisa bahan kimia yang dipakai. Sekarang ini
telah dikembangkan pengabungan antara metode fisika dan kimia untuk
mendapatkan sekaligus kelebihan dari kedua tipe pengaktifan tersebut.
AMILUM
Amilum merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Amilum
terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai
struktur lurus sedangkan amilopektin mempunyai cabang. Amilosa merupakan
komponen amilum yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam air . Umumnya
amilosa menyusun amilum (pati) 17-20%, terdiri dari satuan glukosa yang
bergabung melalui ikatan α-(1,4) D-glukosa. Amilosa juga mempunyai sifat
kompresibilitas, sehingga dapat digunakan sebagai formulasi tablet cetak
langsung. Sementara amilopektin merupakan komponen amilum yang mempunyai
rantai cabang, terdiri dari satuan glukosa yang bergabung melalui ikatan α-(1,4)
D-glukosa dan α-(1,6) D-glukosa. Amilopektin tidak larut dalam air tetapi larut
dalam butanol dan bersifat kohesif sehingga sifat alir dan daya kompresibilitasnya
kurang baik. Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang terjadinya
proses mekar (puf fing) dimana produk makan yang berasal dari amilum yang
kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, garing dan renyah.
Kebalikannya amilum dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan
produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas. Rasio
amilosa dan amilopektin dalam amilum sangat menentukan aplikasinya dalam
industri.
Menurut Nisperos-Carriedo (1994) di dalam Krochta, et al. (1994), aplikasi
yang membutuhkan viskositas, stabilitas dan kekuatan mengental yang tinggi,
digunakan amilum dengan kandungan amilopektin yang tinggi. Sedangkan untuk
membentuk film dan gel yang kuat, digunakan amilum dengan kandungan
amilosa yang tinggi. Rasio kadar kandungan amilosa dan amilopektin pada suatu
bahan sangat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Kadar amilosa dan
amilopektin sangat berperan pada saat proses gelatinisasi, retrogradasi dan lebih
menentukan karakteristik pasta amilum menunjukkan amilum yang berkadar
amilosa tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena
jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang
lebih besar untuk gelatinisasi. Pada proses pembuatan tepung rasio amilosa dan
amilopektin sangat diperhatikan, hal ini untuk mendapatkan kualitas tepung
dengan tekstur yang lebih bagus. Pada penelitian ini dilakukan analisis rasio kadar
kandungan amilosa dan amilopektin dalam amilum umbiumbian yang terdapat
dalam beberapa jenis umbi dengan metode spektrofotometri UV-Vis.
(Pramesti,2016)

Besi (III) klorida atau FeCl3

Besi(III) klorida, atau feri klorida, adalah suatu senyawa kimia yang
merupakan komoditas skala industri, dengan rumus kimia FeCl3. Senyawa ini
umum digunakan dalam pengolahan limbah, produksi air minum maupun sebagai
katalis, baik di industri maupun di laboratorium.
Warna dari kristal besi(III) klorida tergantung pada sudut pandangnya: dari
cahaya pantulan ia berwarna hijau tua, tetapi dari cahaya pancaran ia berwarna
ungu-merah. Besi(III) klorida bersifat deliquescent, berbuih di udara lembap,
karena munculnya HCl, yang terhidrasi membentuk kabut.

Bila dilarutkan dalam air, besi (III) klorida mengalami hidrolisis yang
merupakan reaksi eksotermis (menghasilkan panas). Hidrolisis ini menghasilkan
larutan yang coklat, asam, dan korosif, yang digunakan sebagai koagulan pada
pengolahan limbah dan produksi air minum. Larutan ini juga digunakan sebagai
pengetsa untuk logam berbasis-tembaga pada papan sirkuit cetak (PCB). Anhidrat
dari besi(III) klorida adalah asam Lewis yang cukup kuat, dan digunakan sebagai
katalis dalam sintesis organik. (Aziz, 2018)

E. Alat Dan Bahan


 Alat – alat
1. Tabung reaksi 4 buah
2. Rak tabung reaksi 1 buah
3. pipet tetes 3 buah
4. Gelas ukur 100 mL 1 buah
5. Mortar 1 buah
6. Sendok 1 buah
7. Spatula 1 buah
8. Corong 1 buah
9. Pembakar bunsen/spiritus 1 buah
10. Kertas saring secukupnya
11. Penjepit kayu 1 buah
12. kertas label secukupnya
 Bahan :
1. Aquades secukupnya
2. FeCl3 jenuh secukupnya
3. Amilum (Tepung kanji) secukupnya
4. Larutan Iod secukupnya
5. Larutan Benzena secukupnya
6. Na-Oleat secukupnya
7. Gula Pasir secukupnya
8. Norit secukupnya
Daftar Pustaka
Aziz, M. F. (2018). Reaksi esterifikasi menggunakan katalis FeCl3. Kimia Student
Jurnal, 765-771.

Brady, J. (1986). Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta: Erlangga.

Keenan, C. (1984). Kimia Untuk Universitas . Jakarta: Erlangga.

Pramesti, H. A. (2016). analisis rasio kadar amilosa/amilopektin dalam amilum


dari beberapa jenis umbi. Indonesian journal of chemical science, 26-29.

Petrucci, Ralph. (1987). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta:
Erlangga.

Semarang, S. p. (2017). Adsorbsi ion logam natrium dan kalium dengan karbon
aktif(norit). Journal of chemistry education, 17-18.

Tim Kimia Dasar. (2018). Penuntun Praktikum Kimia Dasar II. Surabaya: Unesa
University Press.

Anda mungkin juga menyukai