Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit
I.1 Definisi
Lumbal spinal canal stenosis atau stenosis kanal lumbal adalah
merupakan penyempitan osteoligamentous kanalis vertebralis dan atau
foramen intervertebralis yang menghasilkan penekanan pada akar saraf
sumsum tulang belakang. Penyempitan kanal tulang belakang atau sisi
kanal yang melindungi saraf sering mengakibatkan penekanan dari akar
saraf sumsum tulang belakang (Richard, 2006).

Lumbal spinal canal stenosis atau stenosis kanal lumbal adalah


merupakan penyempitan osteoligamentous kanalis vertebralis dan atau
foramen intervertebralis yang menghasilkan penekanan pada akar saraf
sumsum tulang belakang. Penyempitan kanal tulang belakang atau sisi
kanal yang melindungi saraf sering mengakibatkan penekanan dari akar
saraf sumsum tulang belakang. Saraf menjadi semakin terdesak karena
diameter kanal menjadi lebih sempit. Prevalensinya 5 dari 1000 orang
diatas usia 50 tahun di Amerika. Pria lebih tinggi insidennya daripada
wanita, dan paling banyak mengenai L4-L5 dan L3-L4 (Jong W, 2006)

I.2 Etiologi
Ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap lumbal spinal canal stenosis,
antara lain:
1.2.1 Pertumbuhan berlebih pada tulang.
1.2.2 Ligamentum flavum hipertrofi
1.2.3 Prolaps diskus

Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif


tulang dan pertumbuhan berlebih jaringan lunak dari arthritis. Risiko
terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang:
1.2.4 Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
1.2.5 Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
1.2.6 Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan
dengan pertambahan usia)
1.2.7 Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya
I.3 Tanda dan Gejala
Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda tergantung pola dan
distribusi stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada
satu level. Adapun manifestasi kliniknya adalah (Peter, 2007)
1.3.1 Kebanyakan pasien mengeluh pada nyeri pinggang bawah (95%)
1.3.2 Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa terbakar yang
sifatnya hilang timbul, kesemutan, berat, geli di posterior atau
posterolateral tungkai
1.3.3 Kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah
memburuk dengan berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi
lumbal yang biasanya berkurang pada saat duduk, berbaring, dan
posisi fleksi lumbal.

I.4 Patofisiologi
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air,
kolagen, dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus.
Kolagen tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi
dan membuat ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai
komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor
jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus.
Komponen air memiliki porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya
bervariasi tergantung beban mekanis yang diberikan pada segment
tersebut. Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang,
akibatnya nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya
mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus.
Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus
tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu
menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi dengan memelihara cairan,
membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan deformitas.
Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah
yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih
tua dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil
dibanding pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah
rantai keratin sulfat dan kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan
diskus berkaitan dengan proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada
di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan
sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang
kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan
nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus
pulposus. Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh
kompresi akar saraf spinalis atau cauda equina, beberapa penelitian
menyebutkan bahwa nyeri diakibatkan oleh klaudikasi neurogenik.
Harus ada inflamasi dan iritasi pada akar saraf agar gejala muncul pada
ekstremitas bawah. Kompresi pada akaf saraf normal memunculkan
gejala paraestesia, defisit sensoris, penurunan motorik, dan reflex
abnormal, tapi nyeri biasanya tidak timbul. Iritasi dan inflamasi bisa
juga terjadi selama pergerakan ekstremitas bawah atau spina saat saraf
dipaksa untuk memanjang dan menyimpang dari posisi istirahatnya
(Richard, 2006).

I.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 Sensasi kulit Anda, kekuatan otot, dan refleks
1.5.2 Romberg tes, uji pinggul ekstensi dan tes fungsi neuromuskuler
1.5.3 Foto polos x-ray Lumbosacral
Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan back pain. Dibuat
dalam posisi AP lateral dan obliq, dengan tampak gambaran
kerucut lumbosacral junction, dan spina dalam posisi fleksi dan
ekstensi. Diharapkan untuk mendapat informasi ketidakstabilan
segmen maupun deformitas.
1.5.4 MRI (Magnetic Resonance Imaging).
MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbar stenosis
dan perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses
jumlah segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor,
infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa membedakan dengan baik
kondisi central stenosis dan lateral stenosis. MRI untuk
memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk mengevaluasi
perjalanan penyakit dan efek pengobatan.
1.5.5 CT Scan dapat menunjukkan taji tulang apapun yang dapat
menempel ke tulang punggung dan mengambil ruang di sekitar
saraf tulang belakang.
1.5.6 EMG (Elektromiogram). Dilakukan jika ada kekhawatiran tentang
masalah neurologis. Ini dilakukan untuk memeriksa apakah jalur
motor saraf bekerja dengan benar.
1.5.7 Somatosensori (SSEP) tes. Tes ini dilakukan untuk mencari lebih
tepatnya di mana saraf tulang belakang tertekan. SSEP digunakan
untuk mengukur sensasi saraf. Impuls sensorik perjalanan saraf,
menginformasikan tentang sensasi tubuh seperti rasa sakit, suhu,
dan sentuhan.

1.5.8 Tes darah untuk menentukan apakah gejala disebabkan dari


kondisi lain, seperti arthritis atau infeksi.

1.6 Komplikasi
Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia
maka kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi
daripada orang yang lebih muda. Selain itu juga lebih banyak penyakit
penyerta pada orang lanjut usia yang akan mempengaruhi proses
pemulihan pasca operasi. Komplikasi dibagi menjadi empat grup yaitu ,
infeksi, vaskuler, kardiorespirasi, dan kematian. Kematian berkorelasi
dengan usia dan penyakit komorbid. Peningkatan resiko komplikasi
yang berkaitan dengan fusi meliputi infeksi luka, DVT (deep vein
thrombosis) atau emboli paru, kerusakan saraf. Komplikasi pada graft,
dan kegagalan pada instrumen. Komplikasi laminektomi bisa terjadi
fraktur pada facet lumbar, dan spondilolistesis postoperatif.
1.7 Penatalaksanaan
1.7.1 Terapi Konservatif
Apabila tidak terdapat keterlibatan saraf berat atau progresif, kita
dapat menangani stenosis tulang belakang menggunakan tindakan
konservatif berikut ini:
1.7.1.1 Obat antiinflamasi nonsteroid untuk mengurangi inflamasi
dan menghilangkan nyeri
1.7.1.2 Analgesik untuk menghilangkan nyeri
1.7.1.3 Blok akar saraf dekat saraf yang terkena untuk
menghilangkan nyeri sementara
1.7.1.4 Program latihan dan/atau fisioterapi untuk mempertahankan
gerakan tulang belakang, memperkuat otot perut dan
punggung, serta membangun stamina, semua hal tersebut
membantu menstabilkan tulang belakang. Beberapa pasien
dapat didorong untuk mencoba aktivitas aerobik dengan
gerak progresif perlahan seperti berenang atau
menggunakan sepeda latihan.
1.7.1.5 Korset lumbal untuk memberikan dukungan dan membantu
pasien mendapatkan kembali mobilitasnya. Pendekatan ini
terkadang digunakan pada pasien dengan otot perut yang
lemah atau pasien berusia lanjut dengan degenerasi
beberapa tingkat. Korset hanya dapat digunakan sementara,
karena penggunaan jangka panjang dapat melemahkan otot
punggung dan perut.
1.7.1.6 Akupunktur dapat menstimulasi lokasi-lokasi tertentu pada
kulit melalui berbagai teknik, sebagian besar dengan
memanipulasi jarum tipis dan keras dari bahan metal yang
memenetrasi kulit.
1.7.2 Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan
adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.2
Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.
1.7.2.1 Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya
persinggungan dengan nervus skiatika yang tidak
membaik dengan bed rest total selama 2 hari :
a. Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah
penyulit yang mungkin terjadi hanya jika sebuah
neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari normal.
b. Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4
mm atau tinggi foramen sampai kurang dari 15 mm
sesuai dengan diagnosis kompresi saraf yang diinduksi
osteofit.
c. Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis,
maka stenosis spinalis adalah komplikasi yang mungkin
terjadi.
d. Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma
aorta. Aneurisma aorta dapat menyebabkan erosi
tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika osteofit
muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali
adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga
tidak nampak lagi.
e. Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang
menekan duodenum.
1.8 Pathway
II. Rencana asuhan klien dengan gangguan canal stenosis lumbal
II.1Pengkajian
II.1.1 Riwayat keperawatan
II.1.1.1 Keluhan utama
II.1.1.2 Riwayat penyakit sekarang
II.1.1.3 Riwayat penyakit dahulu
II.1.1.4 Riwayat penyakit keluarga
II.1.2 Pemeriksaan fisik: data fokus
2.1.2.1 Keadaan umum
B1 (Breathing) : Inspeksi, Palpasi, Perkusi,
Auskultasi.
2.1.2.2 B2 (Blood)
2.1.2.3 B3 (Brain) : Pengkajian fungsi serebral, Pengkajian
saraf kranial, Pengkajian sistem motorik, Pengkajian
Refleks, Pengkajian sistem sensorik.
2.1.2.4 B4 (Bladder)
2.1.2.5 B5 (Bowel)
2.1.2.6 B6 (Bone)
II.1.3 Pemeriksaan Penunjang
2.1.3.1 Sensasi kulit Anda, kekuatan otot, dan refleks
2.1.3.2 Romberg tes, uji pinggul ekstensi dan tes fungsi
neuromuskuler
2.1.3.3 Foto polos x-ray Lumbosacral
Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan
back pain. Dibuat dalam posisi AP lateral dan
obliq, dengan tampak gambaran kerucut
lumbosacral junction, dan spina dalam posisi fleksi
dan ekstensi. Diharapkan untuk mendapat
informasi ketidakstabilan segmen maupun
deformitas.
2.1.3.4 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis
lumbar stenosis dan perencanaan operasi.
Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah
segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada
tumor, infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa
membedakan dengan baik kondisi central stenosis
dan lateral stenosis. MRI untuk memperlihatkan
plak-plak kecil dan untuk mengevaluasi
perjalanan penyakit dan efek pengobatan.
2.1.3.5 CT Scan dapat menunjukkan taji tulang apapun
yang dapat menempel ke tulang punggung dan
mengambil ruang di sekitar saraf tulang belakang.
2.1.3.6 EMG (Elektromiogram). Dilakukan jika ada
kekhawatiran tentang masalah neurologis. Ini
dilakukan untuk memeriksa apakah jalur motor
saraf bekerja dengan benar.
2.1.3.7 Somatosensori (SSEP) tes. Tes ini dilakukan untuk
mencari lebih tepatnya di mana saraf tulang
belakang tertekan. SSEP digunakan untuk
mengukur sensasi saraf. Impuls sensorik perjalanan
saraf, menginformasikan tentang sensasi tubuh
seperti rasa sakit, suhu, dan sentuhan.
2.1.3.8 Tes darah untuk menentukan apakah gejala
disebabkan dari kondisi lain, seperti arthritis atau
infeksi.

II.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Nyeri berhubungan dengan Agen-agen penyebab
cedera (misalnya, biologis, kimia, fisik dan psikologis)
2.2.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial, atau digambarkan; awitan yang tiba-tiba atau
perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya
kurang dari 6 bulan dan lebih dari 6 bulan.
2.2.2Batasan karakteristik
2.2.2.1 Subjektif
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan
nyeri dengan isyarat
2.2.2.2 Objektif
a. Posisi untuk menghindari nyeri
b. Perubahan tonus otot
c. Perubahan selera makan
d. Mengkomunikasikan deskriptor nyeri (misalnya
rasa tidak nyaman, mual, berkeringat malam
hari, kram otot, gatal kulit, mati rasa, dan
kesemutan pada ekstremitas)
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Agen-agen penyebab cedera (misalnya, biologis, kimia,
fisik dan psikologis).
Diagnosa 2: Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan
Muskoluskeletal
2.2.1Definisi
Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah
pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
2.2.2Batasan karakteristik
2.2.2.1Perubahan cara berjalan (misalnya, penurunan
aktivitas dan kecepatan berjalan, kesulitan untuk
memulai berjalan, langkah kecil, berjalan dengan
menyeret kaki, pada saat berjalan badan mengayun
ke samping).
2.2.2.2 Keterbatasan rentang pergerakan sendi
2.2.2.3 Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
2.2.2.4 Kesulitan membolak balikkan posisi tubuh
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.3.1 Gangguan neuromuscular
2.2.3.2 Gangguan musculoskeletal
2.2.3.3 Gangguan sensori persepsi

Diagnosa 3 : Ansietas (Buku saku diagnosis keperawatan, hal 42)


2.2.1 Definisi Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang
samar disertai respon autonom, perasaan takut yang
disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Perasaan ini
merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan
bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu
melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.

2.2.2 Batasan karakteristik


2.2.2.1 Perilaku
a. Penurunan produktivitas
b. Mengekspresikan kehawatiran akibat perubahan
dalam peristiwa hidup
c. Gerakan yang tidak relevan
d. Gelisah
e. Memandang sekilas
f. Insomnia
2.2.2.2 Afektif
a. Gelisah
b. Kesedihan yang mendalam
c. Distres
d. Ketakutan
e. Perasaan tidak adekuat
2.2.2.3 Fisiologis
a. Wajah tegang
b. Insomnia
c. Peningkatan keringat
d. Peningkatan ketegangan
e. Terguncang
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.3.1 Terpajan toksin
2.2.3.2 Hubungan keluarga/hereditas
2.2.3.3 Transmisi dan penularan interpersonal
2.2.3.4 Krisis situasi dan maturasi
2.2.3.5 Stres
2.2.3.6 Penyalahgunaan zat
2.2.3.7 Ancaman kematian

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria) : berdasarkan
NOC
2.3.1.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria)
a. Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang
dibuktikan oleh indicator sebagai berikut
(sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-
kadang, sering atau selalu)
b. Mengenali awitan nyeri
c. Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional : berdasarkan NIC
2.3.2.1 Intervensi : Ajarkan manajemen nyeri
Rasional : Untuk menghilangkan nyeri atau
menurunkan nyeri ketingkat yang lebih nyaman
yang dapat ditoleransi oleh pasien
2.3.2.2 Intervensi : Ajarkan manajemen alam perasaan
Rasional : Untuk memberikan keamanan,
stabilisasi, pemulihan dan pemeliharaan pada
pasien yang mengalami disfungsi alam perasaan
baik depresi maupun peningkatan alam perasaan.
Diagnosa 2: Hambatan mobilitas fisik
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria) : berdasarkan
NOC
2.3.1.1 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria)
a.Pasien akan mencapai mobilitas ditempat tidur
yang dibuktikan oleh pengaturan posisi tubuh:
kemauan sendiri, performa mekanika tubuh,
gerakan terkoordinasi, pergerakan sendi aktif, dan
mobilitas yang memuaskan.
b. Pasien akan melakukan rentang pergerkan penuh
seluruh sendi
c. Pasien akan berbalik sendiri di tempat tidur atau
memerlukan bantuan pada tingkat yang realistis.

2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional : berdasarkan NIC


2.3.2.1 Terapi latihan fisik : ambulasi, keseimbangan, sendi,
pengendalian otot.
Rasional : Membantu untuk mempertahankan atau
mengembalikan fungsi tubuh outonom dan gerakan
tubuh yang terkendali.
2.3.2.2 Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur
dan mekanika tubuh yang benar saat melakukan
aktivitas.
Rasional : mencegah terjadinya cedera saat pasien
melakukan aktivitas.
2.3.2.3 Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif
atau pasif untuk mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
Rasional : mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan dan ketahanan otot.
Diagnosa 3: Ansietas
2.3.1 Diagnosa 3: Ansietas (Buku saku diagnosis keperawatan,
hal 42)
2.3.1.1 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria):
berdasarkan NOC
a. Ansietas berkurang, dibuktikan oleh tingkat
ansietas hanya ringan sampai sedang dan selalu
menunjukkan pengendalian diri terhadap
ansietas, konsentrasi dan koping.
b. Pasien menunjukkan pengendalian diri terhadap
ansietas, yang dibuktikan oleh indicator sebagai
berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang,
kadang-kadang, sering dan selalu)
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC
2.3.2.1 Intervensi : Lakukan bimbingan antisipasi
Rasional : Agar pasien mampu
menghadapi kemungkinan krisis
perkembangan dan situasional
2.3.2.2 Intervensi: Ajarkan teknik menenangkan diri
Rasional : Untuk meredakan
kecemasan pada pasien yang mengalami
distres akut
2.3.2.3 Intervensi : Ajarkan cara peningkatan
koping
Rasional : Membantu pasien untuk
beradaptasi dengan persepsi stressor,
perubahan atau ancaman yang menghambat
pemenuhan tuntutan dan peran hidup
III. Daftar Pustaka
Richard Snell Price, Sylvia A, 2006. Neuroanatomi Klinik :
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6. EGC,
Jakarta. 2006.

Peter Duus, 2007 Diagnosis topik neurologi : anatomi, fisiologi, tanda,


dan gejala, Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat R, Jong W. 2006. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta:
EGC.

Wilkinson, Juddith M. 2012. BUKU SAKU Diagnosis Keperawatan


EDISI 9. Jakarta : EGC.
Banjarmasin, Desember 2016

Preseptor akademik, Preseptor klinik,

( ) ( )

Anda mungkin juga menyukai