Anda di halaman 1dari 6

Soal Quis Sistem Indera

Jelaskan prinsip terapi dan mekanisme kerja obat dari


a. Glaukoma
Prinsip terapi
Prinsip dari penatalaksanaan glaukomaakut adalah menurunkan TIO secepat
mungkin. Terapi yang digunakan untuk menurunkan TIO diawali dengan medikamentosa
dan terapi bedah. Simpulan, pada pasien dilakukan terapimedika mentosa dan dapat
menurunkan TIO sehingga mencegah kebutaan permanen akibat glaukoma

Mekanisme Kerja Obat: Meningkatkan aliran keluar akuos karena adanya kontraksi
badan siliar. Hal itu mengakibatkan penarikan tapis sklera dan penguatan clamp
trabekula. Padaglaukoma sudut tertutup, efek miotik dari obat melepaskan blok pupil dan
juga menarik iris menjauh dari sudut bilik mata depan.
b. Konjungtivitis

Penatalaksanaan konjungtivitis umumnya bersifat suportif. Umumnya baik konjungtivitis


bakterial dan konjungtivitis viral dapat sembuh sendiri dalam waktu 2-7 hari dan 2-3
minggu. Pengobatan antibiotik spesifik diberikan pada kasus-kasus konjungtivitis
tertentu saja. [1,17].

Terapi Suportif
Air mata buatan dapat diberikan 4 kali per hari. Pemberian air mata buatan dapat
membantu mengurangi keluhan, melarutkan, serta membilas alergen dan mediator-
mediator inflamasi yang terdapat pada permukaan mata. Sebaiknya gunakan air mata
buatan yang tidak mengandung bahan pengawet dan dalam kemasan single-dose agar
kemasan tetes mata tidak menjadi media penularan.

Antihistamin dan vasokonstriktor topikal (misalnya: antazoline, xylometazoline) dapat


diberikan untuk mengurangi keluhan gatal yang berat.

Steroid topikal, misalnya prednisolone 0,5% sebanyak 4 kali per hari dapat diberikan
pada konjungtivitis dengan gejala berat, pembentukan pseudomembran, atau adanya
infiltrat subepitel yang mengganggu penglihatan. Penggunaan steroid topikal harus hati-
hati karena dapat membantu replikasi virus dan memperpanjang masa penularan.
Evaluasi tekanan intraokular harus dilakukan berkala pada penggunaan jangka panjang.

Irigasi mata dapat dilakukan untuk mengurangi sekret mata yang banyak, misalnya pada
kasus konjungtivitis akibat infeksi Neisseria gonorrhoeae.

Kompres dingin juga dapat diberikan untuk mengurangi keluhan. Pasien juga diminta
untuk menghentikan penggunaan lensa kontak untuk sementara. [1,2,6,17]

Medikamentosa
Terapi medikamentosa konjungtivitis disesuaikan dengan penyebab yang
melatarbelakangi.

Konjungtivitis Viral

Tidak ada terapi medikamentosa spesifik untuk konjungtivitis viral oleh infeksi
adenovirus. Terapi menggunakan antivirus topikal, dilaporkan tidak efektif untuk
konjungtivitis yang disebabkan oleh adenovirus.

Antiviral topikal seperti gel ganciclovir, salep idoxuridine, salep vidarabine, dan tetes
mata trifluridine biasanya digunakan pada kasus konjungtivitis akibat infeksi virus herpes
simpleks. Pada kasus konjungtivitis akibat infeksi virus varicella zoster, pasien diberikan
antiviral berupa asiklovir 5 x 600-800 mg/ hari selama 7-10 hari. Valasiklovir 3x1000
mg/hari dan famsiklovir 3 x 500 mg/ hari selama 7-10 hari pemberian juga dapat
digunakan untuk mengobati konjungtivitis pada herpes zoster. Terapi antibiotik topikal
biasanya diberikan bila ada risiko superinfeksi oleh bakteri. [1-3,17]

Konjungtivitis Bakterial

Terapi medikamentosa konjungtivitis bakterial dapat berupa pemberian antibiotik topikal


seperti kloramfenikol, aminoglikosida (gentamisin, neomisin, tobramisin), kuinolon
(ofloxacin, levofloxacin, dan sebagainya), makrolid (azitromisin, eritromisin), polimiksin
B, dan bacitracin. Pemberian antibiotik topikal biasanya dengan dosis 4 kali per hari
selama 1 minggu pemberian. Pada kasus dengan gejala yang berat, pemberian antibiotik
dapat lebih sering untuk mempercepat penyembuhan, mencegah reinfeksi, dan mencegah
penularan.

Antibiotik topikal dalam bentuk salep dan gel akan mencapai konsentrasi yang lebih
tinggi karena kontak yang lebih lama, namun tidak dapat digunakan pada siang hari
karena menyebabkan penglihatan kabur.

Untuk kasus konjungtivitis Neisseria gonorrhoeae antibiotik topikal pilihan adalah


kuinolon, gentamisin, kloramfenikol, atau bacitracin dengan frekuensi pemberian setiap
1-2 jam sekali disertai pemberian antibiotik sistemik golongan sefalosporin generasi
ketiga dan beberapa antibiotik golongan makrolida.

Antibiotik sistemik yang dapat digunakan pada konjungtivitis Haemophilus influenzae


(khususnya pada anak) adalah amoksisilin klavulanat. Konjungtivitis akibat infeksi
Meningococcus dapat diberikan ceftriaxone, cefotaxime, benzilpenisilin, atau
ciprofloxacin.

Pada kasus infeksi Chlamydia trachomatis, antibiotik sistemik pilihan adalah


azithromycin 1 gram dosis tunggal, dapat diulang 1 minggu kemudian. Antibiotik lain
yang dapat digunakan adalah doxycycline 2 x 100 mg selama 10 hari, eritromisin 2 x 500
mg selama 14 hari, amoksisilin, atau ciprofloxacin. [1,6]
Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi dapat diterapi menggunakan beberapa jenis obat seperti antihistamin
topikal, mast cell stabilizer, vasokonstriktor, kortikosteroid, dan obat antiinflamasi non
steroid (OAINS).

Antihistamin topikal mata yang dapat digunakan adalah epinastine dan azelastine.
Antihistamin oral juga dapat diberikan untuk mengurangi keluhan gatal sehingga pasien
tidak mengusap mata terus menerus.

Mast cell stabilizer digunakan sebagai terapi jangka panjang untuk mencegah proses
degranulasi sel mast akibat paparan alergen sehingga mengurangi frekuensi terjadinya
eksaserbasi akut. Mast cell stabilizer biasanya digunakan bersama dengan terapi lainnya.
Regimen yang dapat digunakan adalah lodoxamide, nedocromil, sodium cromoglycate,
dan alcaftadine.

Vasokonstriktor tersedia dalam bentuk tunggal seperti phenylephrine, oxymetazoline,


naphazoline, atau gabungan dengan antihistamin. Vasokonstriktor topikal dapat
mengurangi injeksi konjungtiva untuk sementara dan tidak efektif digunakan pada
konjungtivitis alergi berat.

Kortikosteroid digunakan pada eksaserbasi akut dengan gejala berat atau bila ditemukan
keratopati. Kortikosteroid diberikan per 2 jam dalam jangka waktu pendek yang
kemudian di-tapering off. Sediaan yang dapat digunakan adalah prednisolone 0,5%,
rimexolone 1%, fluorometholone 0,1%, loteprednol etabonate 0,2-0,5%. Efek samping
yang mungkin ditimbulkan adalah terjadinya infeksi sekunder, peningkatan tekanan
intraokular, dan pembentukan katarak.

Sediaan OAINS topikal mata seperti ketorolak 0,5% dan diklofenak 0,1% dapat
dikombinasikan dengan mast cell stabilizer. OAINS topikal bekerja menghambat
mediator non histamin sehingga dapat mengurangi keluhan pasien. [1,7]

Pembedahan
Tidak ada tindakan pembedahan khusus untuk kasus konjungtivitis. Pada kasus
konjungtivitis yang menyertai infeksi Moluscum contagiosum, tindakan pengeluaran
badan moluskum dilakukan menggunakan ujung jarum suntik. [1]

Rujukan
Rujukan ke dokter spesialis mata dapat dilakukan pada pasien konjungtivitis dengan
produksi sekret mukopurulen yang banyak, nyeri mata sedang hingga berat, penurunan
tajam penglihatan, jaringan parut pada konjungtiva, ada keterlibatan kornea,
konjungtivitis yang rekuren, dan pasien dengan infeksi virus herpes simpleks. Pasien juga
harus dirujuk bila tidak mengalami perbaikan setelah 1 minggu terapi.
Pada konjungtivitis yang disebabkan oleh patogen penyakit menular seksual atau
ureteritis, rujukan ke spesialis kulit dan kelamin juga diperlukan untuk penanganan yang
sesuai. [1,10]
c. Sinusitis

Sebagian besar sinusitis akut yang disebabkan oleh virus, dapat sembuh dengan
sendirinya. Namun, ada beberapa langkah penanganan yang dapat dilakukan untuk
meringankan gejala sinusitis akut. Di antaranya adalah:
 Saline nassal irrigation, digunakan beberapa kali dalam sehari untuk
membersihkan saluran hidung. Semprotan ini merupakan campuran dari beberapa
bahan, yaitu air matang (400 ml), garam (1 sendok teh), dan baking soda (1
sendok teh).
 , untuk meredakan hidung tersumbat akibat penumpukan lendir. Obat
dekongestan tersedia dalam bentuk cairan, tablet, dan semprotan hidung.
 Pereda nyeri, untuk meredakan sakit kepala atau nyeri di bagian wajah yang
disebabkan oleh sinus. Beberapa jenis obat nyeri yang umum digunakan adalah
paracetamol dan Hindari penggunaan aspirin pada anak-anak usia di bawah 18
tahun, karena menimbulkan efek samping yang berbahaya.
 Kostikosteroid hidung, untuk mencegah dan mengobati peradangan pada sinus.
Obat kortikosteroid yang biasa digunakan antara lain
adalah fluticasone dan budesonide.
 , umumnya diberikan ketika sinusitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri dan
gejala yang dirasakan semakin memburuk.
 Imunoterapi, diberikan jika sinusitis disebabkan oleh alergi. Terapi ini dilakukan
untuk membantu mengurangi reaksi tubuh terhadap alergen.
Untuk sinusitis kronis, langkah pengobatan dilakukan untuk mengurangi peradangan
sinus, menjaga saluran hidung tetap kering, menangani penyebab dasar sinusitis, dan
mengurangi serangan sinusitis. Pengobatan sinusitis kronis umumnya serupa dengan
sinusitis akut, namun ada beberapa langkah penanganan tambahan yang dapat dilakukan
untuk meredakan gejala. Di antaranya adalah:
 nasal irrigation, untuk mengurangi penumpukan cairan dan membersihkan zat
penyebab iritasi dan alergi.
 Kompres hangat, untuk membantu mengurangi rasa nyeri di rongga sinus dan
hidung.
 Dekongestan semprot dan hidung. Ikuti petunjuk dokter untuk jangka waktu
pemakaiannya.
Jika terapi obat tidak lagi efektif untuk meredakan gejala sinusitis kronis akibat deviasi
septum hidung atau polip, dokter dapat mengambil langkah pembedahan yang disebut
prosedur bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Prosedur ini dilakukan untuk
membuka atau melebarkan sinus dengan cara:
Mengangkat jaringan, misalnya polip hidung, yang menyumbat saluran sinus.
Memompa balon kecil untuk membuka saluran sinus yang tersumbat. Tindakan ini lebih
dikenal sebagai dilatasi kateter balon.
Selanjutnya, dokter akan memasukkan implan untuk menjaga sinus tetap terbuka dan
menambahkan kortikosteroid yang diarahkan ke dinding sinus.
d. Hayfever
Terapi Farmakologi
1. Antihistamin
Antihistamin dapat mengurangi bersin, gatal pada hidung, tenggorok dan palatum
namun hanya sedikit pengaruhnya untuk mengatasi kongesti hidung. Antihistamin terdiri
dari generasi-1 dan generasi-2. Pada antihistamin generasi-1, sifat obat ini yaitu lipofilik
sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek
antikolinergik. Contoh dari antihistamin generasi-1 yaitu difenhidramin, prometasin,
yang digunakan secara topikal yaitu azelastin. Sedangkan untuk antihistamin generasi-2
bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar darah otak, bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 dan tidak mempunyai efek antikolinergik. Contohnya yaitu lloratadin,
desloratadin, dan cetirizin.
Antihistamin intranasal seperti azelastin memiliki onset yang cepat (15 menit) dan
mengurangi hidung tersumbat. Antihistamin intranasal ini sering dikombinasikan dengan
kortikosteroid intranasal pada pasien yang tidak terkontrol dengan monoterapi.
2. Kortikosteroid intranasal
Merupakan terapi lini pertama pada rinitis alergi intermiten sedang-berat dan
persisten. Efek terapeutik biasanya dirasakan pada 7-10 hari terapi. Penggunaannya
dikatakan cukup aman pada anak dan orang dewasa. Pemberian kortikosteroid intranasal
pada rinitis alergi dalam periode waktuyang lama juga dapat menimbulkan efek samping
berupa iritasi pada hidung (Small dan Kim, 2011) dan juga batuk, iritasi, bersin, mimisan,
dan bau yang tidak enak. Komplikasi yang biasa terjadi adalah epistaksis dan iritasi
hidung. Kortikosteroid sistemik jangka pendek dapat diberikan pada rinitis alergi
intermiten berat yang tidak terkontrol dengan pengobatan. Contoh obat golongan ini yaitu
fluticasone, mometasone, dan ciclesonide.
3. Antileukotrien
Golongan yang disebut juga dengan leukotrien receptor antagonist pilihan yang tepat
diberikan pada rinitis alergi yang disertai asma. Antileukotrien ini memiliki efektivitas
sama dengan antihistamin oral namun kurang efektif jika dibandingkan dengan
kortikosteroid intranasal. Contoh obatnya yaitu montelukast dan zafirlukast.
4. Mast cell stabilizer
Golongan ini bekerja dengan cara menurunkan kemampuan sel mast untuk
melepaskan mediator proinflamasi. Contoh dari obat golongan ini yaitu sodium kromolin
dan nedokromil yang dapat digunakan 4-8 jam sebelum terpapar dengan alergen. Mast
cell stabilizer ini kurang efektif jika dibandingkan dengan antihistamin dan kortikosteroid
intranasal.
5. Dekongestan
Golongan ini bekerja padareseptor adrenergik α1 dan α2 yang memiliki efek
vasokonstriksi. Efeknya muncul setelah 5-10 menit pada penggunaan intranasal dan 30
menit pada penggunaan oral. Dekongestan digunakan pada rinitis alergi dengan keluhan
sumbatan hidung yang menonjol. Efek samping yang bisa timbul diantaranya insomnia,
cemas, tremor, palpitasi dan peningkatan tekanan darah. Contoh dari obat golongan ini
yaitu ephedrine, pseudoephedrine, xylometazoline.

6. Antikolinergik intranasal
Golongan ini bekerja dengan mengontrol sekresi hidung dengan cara menghambat
fungsi saraf parasimpatis pada mukosa hidung. Contoh dari obat jenis golongan ini yaitu
ipratropium bromide yang memiliki kelebihan efek baik pada gejala rhinorrhea dan
kekurangan yaitu penggunaan 3 kali sehari. Sedangkan efek samping yang dihasilkan
yaitu hidung kering, epistaxis, retensi urin, dan glaucoma.
Terapi Non Farmakologi
1. Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan penyakit, dan tujuan
penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk mengurangi gejala atau
mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi hipersensitivitas, atau keduanya.
Selain itu, pasien juga harus diberikan informasi mengenai keuntungan dan efek samping
yang mungkin terjadi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap obat yang diserepkan
2. Menghindari alergen
Menurut studi placebo-controlled oleh O’Meara (2005) dalam Greiner, Hellings,
Ratiroti, dkk. (2011), penggunaan nasal filter, yang dapat mencegah akses serbuk sari ke
dalam hidung, mengurangi gejala rinitis pada subjek yang alergi terhadap serbuk sari.
e. Gangguan telinga
Pemberian Kortikosteroid Sistemik
pengobatan yang maksimal, dosis terapi prednison oral yang direkomendasikan
adalah 1 mg/kgbb/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60 mg/hari selama 10-14
hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan metilprednisolon 48 mg dan
deksametason 10 mg. Efek samping prednison meliputi insomnia, dizziness, kenaikan
berat badan, berkeringat, gastritis, perubahan mood, fotosensitif, dan
hiperglikemia.

Anda mungkin juga menyukai