Disusun Oleh:
Yuli Kartilla Panjaitan
NIM. 180631026
Dosen Pembimbing:
Dr.Ervina Sofyanti, drg., Sp. Ort (K)
NIP. 19800113 200812 203
DEPARTEMEN ORTODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2020
MAKALAH SUBSITUSI KONTROL
DEPARTEMEN ORTODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2020
PENDAHULUAN
Maloklusi merupakan suatu abnormalitas susunan gigi dalam lengkung rahang
dan dalam hubungannya dengan gigi antagonisnya.1 Maloklusi klas II adalah salah
satu kelainan perkembangan yang paling umum dengan prevalensi mulai dari 15
sampai 30% di sebagian besar populasi. Maloklusi yang tidak dirawat dapat
menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, fonetik, dan estetik
yang berakibat pada gangguan fisik maupun psikologis seseorang. 1,2
Anomali yang dihasilkan dapat menunjukkan berbagai tingkat keparahan
maloklusi klas II pada usia yang berbeda, yang menentukan tiap pendekatan yang
berbeda untuk manajemen klinisnya. Diagnosis yang tepat dan perawatan ortodonti
maloklusi pada masa tumbuh kembang dinilai tepat oleh karena beberapa alasan
diantaranya: untuk mencegah trauma pada insisivus maksila, disfungsi psikososial dan
memperbaiki prognosis hasil perawatan pada masa remaja.1,2
Alat fungsional merupakan metode yang telah dilakukan dalam merawat
diskrepansi rahang arah antero-posterior pada anak. Alat tersebut dipilih sesuai dengan
kasus dan pola pertumbuhannya. Arah pertumbuhan, besar pertumbuhan dan waktu
pemakaian merupakan kesuksesan dalam perawatan metode ini. Alat fungsional ini
dapat menambah tinggi muka dan lengkung anterior serta menyebabkan retroklinasi
gigi insisivus maksila dan proklinasi gigi insisivus mandibula. 3
Beberapa pilihan perawatan pesawat fungsional diantaranya aktivator,
bionator, Frankel, twin block, dan lain-lain. Andresen menyatakan bahwa aktivator
dan bionator sering menjadi pilihan karena hasilnya yang dramatis pada perawatan
maloklusi.1,3
MALOKLUSI
Definisi Maloklusi
Gardiner mendefinisikan maloklusi sebagai suatu kondisi dimana adanya
penyimpangan hubungan normal antara gigi dengan gigi lain pada lengkung rahang
yang sama dan/atau dengan gigi pada lengkung rahang antagonisnya. Definisi
maloklusi oleh Gardiner ini sudah disetujui oleh American Association of
Orthodontics.1
Klasifikasi Maloklusi
Terdapat beberapa klasifikasi maloklusi, namun secara garis besar berdasarkan
bagian pada oral dan maksilofasial yang mengalami penyimpangan, maloklusi
dikategorikan atas tiga kelompok, yaitu:2,3
1. Maloklusi dental (Dental dysplasias / Dental malocclusion)
Maloklusi dental hanya melibatkan gigi, sedangkan relasi antara maksila dan
mandibula, pola skeletal, keseimbangan fasial, dan fungsi muskular dalam keadaan
normal. Maloklusi dental terjadi apabila gigi individual pada salah satu atau kedua
rahang memiliki relasi yang abnormal terhadap satu sama lain. Relasi yang abnormal
ini dapat berupa:
a. Malposisi gigi individual (intra-arch malrelationship), yaitu relasi atau
posisi abnormal gigi terhadap gigi lain pada lengkung rahang yang sama, seperti
inklinasi mesial, inklinasi distal, inklinasi lingual, inklinasi labial/bukal, infra oklusi,
supra oklusi, rotasi, dan transposisi.
b. Malrelasi lengkung rahang (inter-arch malrelationship), yaitu relasi
abnormal antara gigi atau beberapa gigi pada suatu lengkung rahang terhadap
lengkung rahang lainnya yang dapat terjadi dalam tiga dimensi, yaitu:
Dimensi sagital, meliputi overjet berlebih dan crossbite anterior.
Dimensi vertikal, meliputi open bite anterior dan deep bite.
Dimensi transversal, meliputi crossbite posterior dan pergeseran midline.
Klasifikasi Angle
Edward Angle memperkenalkan sistem klasifikasi maloklusi ini pada tahun
1899. Menurut Angle, kunci oklusi terletak pada molar pertama maksila. Berdasarkan
hubungan antara molar permanen pertama maksila dan mandibula, Terdapat tiga
kategori yang disebut sebagai "Klas" dan diwakili oleh angka Romawi-I, II dan III.1,2
3. Etiologi
Klasifikasi Graber adalah salah satu dari yang paling mudah untuk dimengerti
dan diingat karena ia mengasosiasikan maloklusi dengan faktor etiologi. Graber
membagi faktor etiologi menjadi faktor secara umum dan faktor lokal.1,2
I. Faktor umum:
1) Hereditas : Anak-anak mewarisi gen dari kedua orang tua dengan materi
genetik yang berbeda-beda, mewarisi sifat yang bertentangan pada anomali dental
kompleks. Ras, etnik, percampuran daerah juga merupakan penyebab maloklusi.
2) Kongenital: Kecacatan kongenital atau kecacatan pertumbuhan merupakan
malformasi yang terlihat pada tanggal kelahiran. Kecacatan seperti itu dapat disebabkan
oleh beberapa macam faktor seperti genetik, radiologik, bahan kimia, endokrin, infeksi,
dan faktor mekanik. Berbagai macam cacat kongenital dapat menyebabkan maloklusi
seperti celah bibir dan palatum, cerebral palsy, congenital syphilis, dan lain-lain.
3) Lingkungan: prenatal (trauma, materi diet, German measles, dan lain-lain)
dan post natal (cedera saat kelahiran, cerebral palsy,cedera TMJ, dan lain-lain).
4) Defisiensi nutrisi.
5) Kebiasaan abnormal seperti kelainan cara mengisap, kebiasaan menghisap
ibu jari, mendorong lidah dan kebiasaan menghisap lidah, kebiasaan menggigit bibir
atau kuku, dan lain-lain.
6) Trauma dan kecelakaan.
Gambar 8. (a) Foto frontal dan profil pasien pada usia 12 tahun sebelum perawatan.
(b) Foto intraoral pasien yang menunjukkan maloklusi klas II div 1 dengan peningkatan
overjet dan overbite sebelum perawatan. (c) Foto-grafik pasien pada usia 14 tahun setelah
perawatan selama 8 bulan dengan Twin-block, diikuti dengan perawatan ortodontik cekat.
(d) Foto intraoral pasien setelah perawatan. (e) Cephalogram lateral sebelum perawatan dan
pasca perawatan.7
Gambar 7. (a) Foto frontal dan profil pasien sebelum perawatan. (b) Foto intraoral
sebelum perawatan. (c) removable anterior bite plate dan sekrup di bagian midpalatal.
(d) Foto intraoral pasien 6 bulan setelah perawatan. (e) Cephalogram lateral sebelum
perawatan dan pasca perawatan. 7
Gambar 9. Foto intraoral sebelum dan sesudah perawatan dari pasien yang
menggunakan perawatan non-ekstraksi dan cervical headgear.7
Gambar 10. (a) Profil dan foto intraoral pasien usia 13 tahun. Rencana
perawatan adalah mencabut gigi premolar satu atas dan premolar dua bawah. (b) Foto
pasien setelah perawatan pada usia 15 tahun. 7
Aktivator
Pada tahun 1902 Robin pertama kali memperkenalkan bentuk umum pesawat
monoblok, dan pada tahun 1963 Andresen juga memperkenalkan pesawat fungsional
monoblok aktivator. Aktivator mengubah fungsi otot-otot wajah dan rahang dengan
tujuan:7
• Memberikan lingkungan yang lebih menguntungkan untuk perkembangan gigi
dan pertumbuhan tulang-tulang.
• Mengoptimumkan potensial pertumbuhan.
• Mengubah vektor pertumbuhan.
• Memandu perkembangan gigi ke posisi yang lebih baik.
Gambar 1. Aktivator 1
Modifikasi Aktivator
Dalam perkembangan pemakaian aktivator, para ahli telah merancang dengan
membuat modifikasi pesawat aktivator sesuai dengan kasus yang dirawat. Modifikasi
aktivator dari Herren dengan membuat claps ke gigi maksila untuk memperkuat
kedudukan aktivator sewaktu dipakai pasien tidur sehingga tidak mengurangi
keefektivannya.1,7
Tipe kedua dengan satu lengkung labial untuk maksila dan bentuk spring
Coffin yang hampir sama dengan pesawat Frankel (Gambar 4b).1
Gambar 16. Tipe kedua aktivator Schmuth
Tipe ketiga dengan dua lengkung labial ditambah spring Coffin tanpa
pemisahan akrilik. Penambahan loops atau spring Coffin untuk retensi dalam
mencegah pergerakan gigi molar permanen ke anterior selama pergantian gigi molar
desidui atau menahan gigi posterior setelah pencabutan.1
Aktivator Van Beek memiliki dua bow untuk dikaitkan dengan high-pull
headgear force dan bow tertanam di dalam akrilik di bagian anterior dan lebih pendek.
Titik tarikan berada pada kaninus maksila. Digunakan pada kasus dimensi vertikal
tinggi dan menghambat pola pertumbuhan maksila dalam arah vertikal. 7
Salah satu alat fungsional yang sering digunakan dalam merawat klas II adalah
Bionator. Bionator pertama kali dikembangkan oleh Wihelm Balter tahun 1964 dan
merupakan alat terbuat dari akrilik dengan kawat pada bagian palatinal dan
vestibulum. Alat ini bekerja untuk memajukan mandibula, mengokoreksi overbite,
mengatur erupsi gigi dan memperbaiki profil pasien.4,9
Perawatan dibagi menjadi dua tahap yaitu perawatan menggunakan alat
myofungsional dan perawatan dengan menggunakan alat cekat straight. Perawatan
tahap satu menggunakan alat myofungsional dengan pertimbangan usia pasien masih
dalam masa tumbuh kembang sehingga skeletalnya dapat dipacu agar relasi skeletal
klas II menjadi normal. Pertimbangan pemilihan alat myofungsional bionator
dibandingkan alat lainnya karena alat tersebut disamping dapat mengokoreksi relasi
skeletal juga dapat mengokoreksi deepbite dengan mengekstrusi gigi-gigi posterior dan
mempunyai efek ekspansi serta bagian akrilik yang lebih tipis dibandingkan dengan
aktivator sehingga pasien lebih merasa nyaman.9,10
Alat myofungsional bekerja dengan 2 cara yaitu:2,4
1) kekuatan yang dikeluarkan alat myofungsional pada struktur yang terlibat
dan menyebabkan perubahan bentuk dan ukuran sehingga terjadi adaptasi.
2) eliminasi kekuatan pada daerah abnormal sehingga terjadi perkembangan
dan pertumbuhan pada bagian tersebut. Prinsip kerja alat myofungsional seperti
proses terjadinya maloklusi yaitu dengan mengarahkan kekuatan otot-otot menuju
arah yang diinginkan sehingga perkembangan dan pertumbuhan terjadi sesuai
rencana. Alat myofungsional juga memperbaiki kondisi otot yang tidak seimbang,
jaringan lunak dan fungsi mulut, hidung dan pharing. 1, 7
Bionator merubah mandibula lebih ke depan sehingga terjadi pula perubahan
jarak gigit, tumpang gigit, SNB, occlusal plane angle. Sekrup ekspansi dan coffin
yang ada pada bionator akan menyebabkan lengkung gigi menjadi lebih lebar serta
retraksi gigi anterior yang mengakibatkan perubahan pada angle of convecity, SNA,
U-NA. Bionator juga menyebabkan gigi posterior bawah bererupsi ke oklusal dan ke
depan, dengan mengurangi akrilik bagian oklusal gigi-gigi posterior dan menahan
erupsi gigi anterior yang berakibat terjadinya rotasi bidang oklusal dan perbaikan
relasi molar. Pergerakan mandibula ke depan berakibat reaksi jaringan lunak menahan
pertumbuhan maksila ke depan dan membantu koreksi kecenderungan klas II. 7,8
Pemakaian bionator sangat membutuhkan kerjasama pasien. Kesulitan yang
terjadi adalah pasien mulai jenuh menggunakan alat setelah beberapa bulan
pemakaian sehingga ekspansi yang telah terjadi menjadi relaps dan retraksi gigi
anterior atas tidak dapat dilakukan. Kesulitan dan kegagalan berupa ekspansi yang
tidak maksimal tidak mengurangi keberhasilan perawatan menggunakan bionator.
Keberhasilan berupa perubahan jarak gigit dan besar SNB menyebabkan perubahan
profil menjadi lebih baik dan perawatan dapat dilanjutkan dengan alat cekat straight
untuk koreksi ekpansi dan koreksi malposisi gigi-geligi.9
Relapse
Terlepas dari koreksi maloklusi klas II, sejumlah besar pasien klas II
mengalami beberapa tingkat kekambuhan yang tidak dapat diprediksi pada tahun-
tahun berikutnya setelah perawatan. Tingkat kekambuhan yang dilaporkan setelah
perawatan ini berkisar antara 20 hingga 52%. Satu-satunya bukti yang tersedia tentang
stabilitas pengobatan berkaitan dengan alat Herbst. Beberapa faktor termasuk jenis
kelamin, fungsi otot dan kebiasaan sebelum perawatan, modalitas perawatan yang
berbeda, dan oklusi pasca perawatan telah dianggap sebagai faktor potensial yang
mempengaruhi stabilitas hasil. Namun, tinjauan sistematis terbaru menyimpulkan
bahwa saat ini, sangat terbatas untuk mendukung pengaruh faktor prediktif pada
relapse atau stabilitas hasil perawatan.10
Meskipun kemajuan mandibula oleh osteotomi split sagital bilateral
tampaknya menjadi pilihan pengobatan yang baik untuk skeletal klas II, ini kurang
stabil daripada kemunduran dalam jangka pendek dan panjang. Pelat mini
mendemonstrasikan hasil jangka panjang yang lebih baik daripada sekrup bikortikal
dari titanium, baja tahan karat, atau bahan yang dapat diserap. Namun, tingkat relaps
jangka pendek hampir sebanding pada pasien maloklusi klas II. Relapse tergantung
pada berbagai karakteristik yang berpusat pada pasien dan berpusat pada ahli bedah
yang melibatkan keterampilan dan pengalaman ahli bedah di posisi dari kondilus,
jumlah yang tepat dari kemajuan mandibula, ketegangan otot dan jaringan lunak,
sudut bidang mandibula, dan usia pasien. Pasien dengan sudut bidang mandibula
9,10
rendah dan tinggi mengalami peningkatan relaps vertikal dan horizontal.
Treatment maloklusion klas II 7
Activator
Bionator
Removable
Frankel
Fungsional Twin Block
MARA
Growing
Fix Cemented Twin Block
Herst
Servikal
Headgear
High pull
(skeletal effect)
Combinasi
Non‐extraction
regimen with class II
elastics
Distal movement of Pendulum
upper teeth ± second Headgear
molar extraction (dental effect)
Camouflage
Miniscrew‐
assisted
Non Growing distalizations
Extraction of
maxillary premolars
Mandibular
Orthognathic surgery advancement
Bimax surgery
Bimax surgery
Laporan Kasus
Kasus 1
Pasien berusia 12 tahun dan telah dirawat dengan aktivator selama 3 tahun.
Perbaikan Klas II terutama dicapai dalam perubahan skeletal. Pertumbuhan
mandibula melebihi pertumbuhan maksila dalam arah sagital sebesar 4,0 mm.
Perubahan dental berupa overjet 2,0 mm dan pergerakan gigi insisivus maksila dan
mandibula ke posterior sebesar 3,5 mm dan 1,5 mm. Penegakan gigi insisivus
mandibula kemungkinan disebabkan oleh reaksi kompensasi terhadap besarnya
pertumbuhan mandibula yang dijumpai. Selain itu, perubahan dental juga meliputi
perubahan hubungan molar mencapai 1,0 mm disertai pergerakan gigi molar maksila
dan mandibula ke anterior sebesar 1,0 mm dan 2,0 mm.
Gambar 1. Foto ekstraoral dan model studi sebelum (kiri) dan setelah (kanan)
perawatan aktivator. Superimposisi Tracing sefalometri pada NSL di sella. Garis
panduan OL dan OLp 10,11
Keterangan:
NSL : Garis nasion - sella
OL : Garis oklusal
OLp : Garis perpendikular oklusa
Kasus 2
Pasien berusia 9 tahun 8 bulan dan telah dirawat dengan aktivator selama 3
tahun. Perbaikan Klas II dicapai terutama perubahan dental. Pertumbuhan mandibula
melebihi pertumbuhan maksila dalam arah sagital sebesar 1,5 mm. Perubahan dental
menghasilkan overjet 3,5 mm dan pergerakan gigi insisivus maksila ke posterior
sebesar 3,0 mm, insisivus mandibula ke anterior sebesar 0,5 mm. Perubahan dental
lainnya diantaranya perubahan hubungan molar mencapai 3,0 mm disertai
pergerakan gigi molar maksila dan mandibula ke anterior sejauh 1,0 mm dan 4,0 mm.
Gambar 2. Foto ekstraoral dan model studi sebelum (kiri) dan setelah (kanan)
perawatan aktivator. Superimposisi Tracing sefalometri pada NSL di sella. Garis
panduan OL dan OLp 10,11
Perawatan dengan aktivator tidak selamanya memberikan hasil perawatan yang
diinginkan. Hal ini dipengaruhi oleh masa tumbuh kembang dan pola pertumbuhan.
Pentingnya pola pertumbuhan dalam arah yang baik ditekankan sebagai faktor
penting untuk mendapatkan hasil baik. Aktivator memiliki efek stimulasi pada
pertumbuhan mandibula. Pesawat hanya dipakai di malam hari sehingga batas
ambang untuk proses remodeling adaptif pada kondilus mungkin tidak tercapai pada
kasus-kasus tertentu. Bila mandibula secara terus menerus dipertahankan pada posisi
protrusi 24 jam sehari, seperti pada pesawat Herbst, pertumbuhan mandibula
tampaknya akan meningkat.11
KESIMPULAN
Diagnosis yang tepat dan perawatan ortodonti maloklusi klas II pada masa
tumbuh kembang dinilai tepat. Dokter gigi harus dapat memanfaatkan masa tumbuh
kembang pasien sehingga maloklusi dapat berhasil dirawat dan harus memperhatikan
desain pesawat dan dataran petunjuk sehingga aktivator dapat efektif selama
perawatan serta harus mampu menciptakan hubungan yang baik dengan pasien dan
mampu memotivasi pasien untuk dapat bekerja sama dalam melaksanakan perawatan
sehingga dapat menghasilkan perawatan yang sesuai dengan harapan. Perubahan
skeletal dan dental dapat dicapai dengan perawatan pesawat fungsional, yaitu
aktivator, bionator, dan alat fungsional lainnya. Keberhasilan pesawat fungsional
tergantung dalam hal: masa tumbuh kembang pasien, kelainan skeletal, dan kerja
sama pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Joelijanto R. Oral habit that cause malocclusion problem. IDJ 2012; 1(2): 108- 14.
2. Dimberg L, Arnrup K, Bondemark L. The impact of malocclusion on the quality
of life among children and adolescents: A systematic review of quantitative
studies. Eur J Orthod 2015; 37(3): 238-47.
3. Prekumar S. Textbook of orthodontic. New Delhi: Elsevier. 2015: 145-8, 233-4,
438-49.
4. Bahreman A. Early-age orthodontic treatment. Chicago: Quintessence Publishing
Co, Inc. 2013: 116-9, 261-306.
5. Graber TM, Rakosi T, Petrovic AG. Dentofacial orthopedics with functional
appliances. St. Louis: Mosby Co. 1985: 150–155,157–158,206–208,346–352.
6. Cozza P, Toffol LD, Lacopini L. An analysis of the corrective contribution in
activator treatment. Angle Orthod 2004; 74(6):741–748.
7. Tehranchi A, Behnia H, Younessian F. A Textbook of Advanced Oral and
Maxillofacial Surgery: Advances in Management of Class II
Malocclusions.2016:455-478.
8. Cozza P, Toffol LD, Colagrossi S. Dentoskeletal effects and facial profile
changes during activator therapy. Euro J Orthop 2004; 26(3):293–301.
9. Turkkahraman H, Sayin MO. Effects of activator and activator headgear treatment:
comparison with untreated Class II subjects. Euro J Orthop 2006; 28:27–34.
10. Basciftci FA, Uysal T, Buyukerkmen A, Sari Z. The effects of activator treatment
on craniofacial structures of Class II division 1 patients. Euro J Orthop 2003;
25:87–93.
11. Baltromejus S, Ruf S, Pancherz H. Effective temporomandibular joint growth and
chin position changes: Activator versus Herbst treatment. A cephalometric
roentgenogrphic study. Euro J Orthop 2002; 24:627–637.