Anda di halaman 1dari 24

BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI”

MALOKLUSI (DEFINISI DAN KLASIFIKASI MALOKLUSI)

2.1 Pengertian Maloklusi

Maloklusi adalah setiap keadan yang menyimpang dari oklusi normal, maloklusi juga diartikan sebagai suatu kelainan susunan gigi
geligi atas dan bawah yang berhubungan dengan bentuk rongga mulut serta fungsi

Maloklusi dapat timbul kaena faktor keturunan dimana ada ketidaksesuaian besar rahang dengan besar gigi-gigi di dalam mulut.
Misalnya, ukuran rahang mengikuti garis keturunan Ibu, dimana rahang berukuran kecil, sedangkan ukuran gigi mengikuti garis
keturunan bapak yang giginya lebar-lebar. Gigi-gigi tersebut tidak cukup letaknya di dlaam lengkung gigi.

Kekurangan gizi juga dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tulang rahang terganggu.

2.1.1 Macam-macam Maloklusi

Maloklusi dibagi 3:

1. Maloklusi tipe dental, terjadi jika perkembangan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kepala normal, tapi gigi-
giginya mengalami penyimpangan

2. Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kepala tidak harmonis,
karena ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan rahang

3. Maloklusi fungsional, terjadi karena adanya kelainan otot-otot, sehingga timbul gangguan saat dipakai untuk mengunyah

2.2 Klasifikasi Maloklusi Menurut Angle

Kelas I Angle

 Tonjol Mesiobukal M1 atas beroklusi dengan cekung bukal M1 bawah

 Neutroklusi

kelas 1 angle

Kelas II Angle

 Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih kemesial dari posisi kelas 1

 telah melewati puncak tonjol mesiobukal M1 bawah

 gigi M1 bawah lebih ke distal : Distoklusi

kelas II angle

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 1


Kelas III Angle

 Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih Ke distal dari posisi klas 1

 Telah melewati puncak tonjol distobukal M1 bawah

 Gigi M1 bawah lebih ke mesial : Mesioklusi

kelas III angle

2.2.1 Kekurangan Klasifikasi Angle

Klasifikasi Angle ini masih merupakan system yang belum sempurna, masih terdapat kekurangan-kekurangan pada system ini,
karena Dr.Angle hanya berdasarkan hubungan gigi-gigi saja dan oklusi antara lengkung gigi dirahang atas dan rahang bawah. Hingga
sekarang klasifikasi Dr.Angle masih banyak dipakai. Selain itu, system ini terbatas dan tidak dapat dipakai untk segala keadaan
sehingga dengan sstem ini kita tidak dapat memecahkan masalah tentang hubungan gigi-gigi. Sebaba diagnose intra oral tidak
mencukupi untuk menentukan suatu anomaly, sebaiknya kita menggunakan ekstra oral dan diagnosis cephalometrik sebelum kita
memasukkan anomali itu kedalam suatu kelas. Apabila kita menggunakan M1 sebagai fixed point dalam menentukan klasifikasi
dalam maloklusi, maka kita akan kecewa, sebab suatu hubungan mesio-distal yang normal dari molar-molar. Dan perlu ditekankan
bahwa didalam makhluk hidup tidak ada yang dinamakan fixed point, khususnya pada masa pertumbuhan. Kita masih menggunakan
klasifikasi dari Dr.Angle untuk menentukan maloklusi hanyalah untuk penyederhanaan saja.

Apabila dengan system Angle kita mengalami kesulitan dalam menentukan klasifikasi dari maloklusi, maka kita dapat pula
menggunakan bantuan cara gnatognatik dan fotostatik. Bukan suatu diagnosis, hanya suatu penggolongan.

2.2.2 Batasan untuk Klasifkasi Menurut Angle dalam penilaian maloklusi.

Penilaian masalah vertical dan transversal tidak termasuk ke dalam klasifikasi menurut Angle. Overbite secara umum digunakan
untuk mengukur hubungan oklusal vertical pada gerigi , tapi tidak digunakan untuk pengukuran untuk hubungan vertical dari
struktur facial skeletal. “Crossbites” pada bidang transversal dapat berupa masalah sederhana seperti masalah antar 2 gigi atau yang
kompleks yang melibatkan sebagian besar gigi posterior maxilla dan mandibula. Klasifikasi Angle tidak menilai masalah-masalah
seperti rotasi , “crowding”, dan “spacing” yang terjadi pada gigi. Faktor lain seperti ketidakadaan gigi karena factor turunan atau
impaksi gigi yang membutuhkan perawatan orto , tidak berhubungan dengan klasifikasi menurut Angle. Karena itulah, percobaan
epidemiologi tidak dapat mengandalkan system klasifikasi Angle , karena factor penting seperti alignment gigi, overbite,overjet, dan
crossbite tidak dapat diukur.

Pengetahuan tntang hubungan antara “the angle classes” dan alignment gigi, serta masalah transversal dan vertical sangat berguna
pada perlakuan kesehatan. Hubungan ini sangat membantu untuk membedakan antara masalah maloklusi simple seperti
“alignment problem” pada maloklusi kelas 1 dengan maloklusi yang lebih kompleks seperti maloklusi divisi 1 kelas2 dengan crossbite
posterior dan anterior.

Beberapa pendapat tentang klasifiksi Angle bersifat sangat subjektif untuk ukuran epidemiologi. Pembahasan ini dapat berlaku saat
investigator tidak menyusun batas objektif pada variable seperti “tooth crowding” dan posisi anteroposterior gigi M1. Sebagai
contoh, seseorang dengan hubungan molar kelas 1 dapat memiliki oklusi yang ideal ,oklusi normal, dan maloklusi kelas 1. Tiga grup
ini dapat dibedakan dengan mendapatkan pengukuran secara objektif dari incisor yang tidak beres dan penilaian oklusi ideal dengan
skor 0 (alignment sempurna) , oklusi normal dengan skor 1 dan skor untuk maloklusi tingkat 1 adalah >1. Terdapat kemiripan pada
beberapa hubungan M1 antara kelas 1 dan 3, dan kelas 1 dan 2.Hubungan molar kelas 1, 2, dan 3 dapat dibedakan dengan dibuat
sebuah jarak yang objektif, seperti 2mm mesial dan distal ke buccal groove dari bagian bawah M1 .

2.3 Klasifikasi Incisivus

1. Kelas 1- Incisor edge pada incisive rahang bawah oklusi atau terletak di bawah cingulum plateau incisive rahang atas

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 2


kelas I incisivus

1. Kelas 2- incisor edge pada incisive rahang bawah oklusi atau terletak pada bagian palatal sampai cingulum plateau pada
incisive rahang atas. Terbagi menjadi:

kelas II incisivus

1.

1. Pembagian :

kelas II incisivus divisi 1

2. Pembagian 2: central incisor rahang atas mengalami retroklinasi

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 3


kelas II incisivus divisi 2

1. Kelas 3-incisor edge pada rahang bawah oklusi dengan atau terletak pada bagian anterior sampai cingulum plateau pada
incisive rahang bawah

kelas III incisivus

Pada oklusi yang normal adalah hubungan kelas 1 dan overjet sebesar 2-4mm. overbite terjadi saat incisive rahang atas menutupi ¼
sampai 1/3 incisive bagian bawah pada saat oklusi.

2.4 Klasifikasi caninus:

1. Kelas 1- canine rahang atas beroklusi pada ruang buccal antara canine rahang bawah dan premolar satu rahang bawah

2. Kelas II- canine rahang atas oklusi di anterior sampai ruang buccal di antara canine rahang bawah dan premolar satu rahang
bawah.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 4


kelas II caninus

3. Kelas III- canine rahang atas oklusi di posterior sampai ruang buccal di antara canine rahang bawah dan premolar satu
rahang bawah.

2.5 Klasifikasi Skeletal

Hubungan rahang satu sama lain juga bervariasi pada ketiga bidang ruang, dan variasi pada setiap bidang bisa mempengaruhi.

Hubungan posisional antero-posterior dari bagian basal rahang atas dan bawah, satu sama lain dengan gigi-gigi berada dalam
keadaan oklusi, disebut sebagai hubungan skeletal. Keadaan ini kadang-kadang disebut juga sebagai hubungan basis gigi atau pola
skeletal. Klasifikasi dari hubungan skeletal sering digunakan, yaitu:

1. Klas 1 skeletal-dimana rahang berada pada hubungan antero-posterior yang ideal pada keadaan oklusi.

kelas I skeletal

2. Klas 2 skeletal-dimana rahang bawah pada keadaan oklusi, terletak lebih ke belakang dalam hubungannya dengan rahang
atas, dibandingkan pada Klas 1 skeletal.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 5


kelas II skeletal

3. klas 3 skeletal-dimana rahang bawah pada keadaan oklusi terletak lebih ke depan daripada kelas 1 skeletal.

kelas III skeletal

Contoh dari Klas 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 4.3. Tentu saja, di sini ada berbagai macam kisaran keparahan Klas 2 dan Klas
3 skelatal.

Gambar 4. 4 memperlihatkan efek variasi dari hubungan skeletal terhadap oklusi gigi-gigi jika posisi gigi pada rahang tetap konstan.

Variasi pada hubungan skeletal bisa disebabkan oleh:

1. Variasi ukuran rahang

2. Variasi posisi rahang dalam hubungannya dengan basis kranium

Jadi jika salah satu rahang terlalu besar atau kecil dalam hubungannya dengan rahang lainnya pada dimensi anteroposterior, akan
dapat terjadi perkembangan hubungan klas 2 atau 3 skeletal. Selanjutnya, jika salah stau rahang terletak lebih ke belakang atau ke
depan daripada yang lain dalam hubungannya dengan basis kranium, juga bisa terbentuk hubungan kelas 2 atau 3 skeletal.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 6


Ukuran relatif dari rahang pada dimensi lateral juga mempengaruhi oklusi gigi-gigi. Idealnya, kedua rahang cocok ukurannya,
sehingga oklusi dari gigi-gigi bukal pada relasi transversal adalah tepat. Kadang-kadang sebuah rahang lebih lebar dari yang lain
sedemikian rupa sehingga menimbulkan oklusi dari gigi-gigi terpengaruh, menimbulkan gigitan terbalik bukal jika rahang bawah
lebih lebar, atau oklusi lingual dari gigi-gigi bawah jika rahang atas yang lebih lebatr. Gigitan terbalik bukal bisa unilateral atau
bilateral.

Hubungan vertikal dari rahang atas dan bawah juga mempengaruhi oklusi. Efeknya paling jelas terlihat berupa variasi bentuk rahang
bawah pada sudut gonium. Mandibula dengan sudut gonium yang tinggi cenderung menimbulkan dimensi vertikal wajah yang lebih
panjang, dan pada kasus yang parah bisa menimbulkan gigitan terbuka anterior. Sebaliknya, mandibula dengan sudut gonium yang
rendah cenderung menimbulkan dimensi vertikal wajah yang lebih pendek.

2.6 Klasifikasi Profitt-Ackerman

Di tahun 1960-an, Ackerman dan Profitt meresmikan sistem tambahan informal pada metode Angle dengan mengidentifikasi lima
karakteristik utama dari malocclusi untuk digambarkan secara sistematis pada klasifikasi. Pendekatan tersebut menutupi kelemahan
utama skema Angle. Secara spesifik, ia (1) menyertakan evaluasi pemadatan dan asimetri pada gigi dan menyertakan evaluasi incisor
protrusion, (2) mengenali hubungan antara protrusion dan crowding, (3) menyertakan bidang transversal dan vertikal dan juga
anteroposterior, dan (4) menyertakan informasi tentang proporsi rahang pada titik yang tepat, yaitu pada gambaran hubungan pada
tiap bidang. Pengalaman membuktikan bahwa minimal lima karakteristik harus dipertimbangkan dalam evaluasi diagnostik lengkap.

Meskipun elemen-elemen skema Ackerman-Profitt biasanya tidak dikombinasikan seperti awalnya, sekarang banyak digunakan
klasifikasi dengan lima karakteristik utama. Namun perubahan terpenting adalah penekanan yang lebih besar pada evaluasi proporsi
jaringan lunak pada wajah dan hubungan gigi pada mulut dan pipi, pada senyum dan juga saat istirahat.

Penambahan Mengenai 5 Karakteristik Sistem Klasifikasi

Dua hal yang secara seksama membantu menganalisis hal ini adalah: (1) mengevaluasi orientasi dari garis estetik (esthetic line) dari
pertumbuhan gigi yang berhubungan tetapi berbeda dengan fungsi garis Angle pada oklusi dan (2) menambahkan mengenai 3
dekripsi dimensional dari wajah dan hubungan gigi dengan karakteristik rotasi sekitar daerah dari setiap alat.

1. Estethic Line of Dentition

Pada analisis moderen, garis kurva yang lain mengkarakteistikkan kemunculan dari pertumbuhan gigi sangatlah penting. Garis
estetik ini mengikuti tepi muka dari maksila gigi anterior dan gigi posterior. Orientasi dari garis ini, seperti pada kepala dan rahang
yang dideskripsikan ketika terjadi rotasi yang tepat (pitch) pada aksis, perputaran (roll), dan pergeseran (yaw) sebagai tambahan
pada bagian transverse, anteroposterior dan vertikal.

1. Ketepatan, Perputaran, Pergeseran dari dekripsi sitematik

Kunci dari aspek yang telah dijelaskan dari sistem klasifikasi di atas adalah penggabungan dari analisis sistematik dari skeletal dan
hubungan gigi pada tiga bagian, sehingga tingkat kesalahan (deviasi) pada setiap arah dapat digabungkan ke dalam daftar masalah
pasien. Deskripsi yang lengkap membutuhkan pertimbangan dari kedua pergerakan secara translasi (ke depan/ke belakang, ke
atas/ke bawah, ke kiri/ke kanan) pada bidang tiga dimensi dan rotasi mengenai garis tegak lurus pada aksis dengan posisi yang
tepat, berputar atau bergeser (pitch, roll, dan yaw). Pengenalan dari rotasi aksis ke dalam deskripsi yang sistematis dari ciri
dentofacial secara signifikan meningkatkan ketelitian dari pendeskripsian dan dengan demikian terjadi peningkatan fasilitas
terhadap setiap masalah yang ada.

Ketepatan, perputaran, dan pergeseran dari garis estetik pertumbuhan gigi berguna untuk mengevaluasi hubungan gigi dengan
jaringan lunak. Dari pandangan ini, rotasi ke atas/ ke bawah yang berlebihan dari gigi dan cenderung pada bibir dan dagu dapat
diperhatikan sebagai salah satu aspek dari ketepatan. Ketepatan dari pertumbuhan gigi cenderung pada jaringan lunak di daerah
wajah dan harus dievaluasi dengan percobaan klinis. Ketepatan dari rahang dan gigi satu dengan yang lainnya serta otot skeletal di
wajah dapat diperhatikan secara klinis, tetapi harus dipastikan dengan menggunakan cephalometric radiograph pada klasifikasi
akhir, di mana ketepatan dinyatakan sebagai orientasi/patokan dari palatum, oklusal, dan daerah mandibula ke bagian horisontal
yang benar.

Perputaran (roll) dideskripsikan sebagai perputaran/rotasi ke atas dan ke bawah pada satu sisi atau sisi yang lain. Pada percobaan
klinis, hal ini sangat penting untuk menghubungkan orientasi transverse dari gigi (garis estetik) dengan kedua jaringan lunak dan

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 7


skeleton pada wajah. Hubungan dengan jaringan lunak dievaluasi secara klinis dengan garis intercommissure sebagai referensi. Baik
cetakan maupun foto dapat digunakan untuk menandai bagian oklusal (Fox plane) yang akan memperlihatkan bagian frontal
maupun oblique ketika bibir tersenyum. Hubungan skeleton wajah memeperlihatkan keterkaitan dengan garis interokular.
Penggunaan Fox plane adalah dengan memberi tanda pada kemiringan dari bidang oklusi yang dapat memepermudah untuk
memperlihatkan hubungan gigi pada garis oklusal namun dengan perlengkapan ini tidak mungkin untuk dapat melihat hubungan
gigi dengan garis intercommissure. Hal ini membuat dokter gigi dapat mendeteksi ketidaksesuaian antara sisi-sisi dari gigi ke bibir
yang berjarak 1mm sedangkan pada orang normal berjarak 3mm.

Rotasi dari rahang dan gigi satu dengan yang lainnya disekitar aksis vertikal memproduksi skeletal atau ketidaksesuain garis tengah
yang disebut dengan pergeseran. Pergerakan gigi yang relatif ke rahang, atau pergerakan dari rahang bawah atau rahang atas yang
mengambil gigi dengan hal itu, dapat terjadi. Efek pergerakan, selain gigi dan atau penyimpangan yang skeletal midline, biasanya
terjadi secara unilateral antara hubungan Kelas II atau Kelas II molar. Pergerakan yang ekstrim berhubungan dengan asmetris
posterior crossbite, buccal pada satu sisi dan pada bagian lingual yang lain. Pergerakan meninggalkan klasifikasi sebelumnya, tetapi
pada bagian transverse yang asimetris memudahkan pendeskripsisan hubungan yang akurat.

Penyimpangan midline gigi hanya dapat sebagai bayangan dari salah penempatan incisive karena gigi yang tumpang tindih. Hal ini
harus dibedakan dari ketidaksesuaian pergerakan dimana seluruh lengkung gigi dapat berputar di satu sisi. Jika ketidaksesuaian
pergerakan terjadi, pertanyaan berikutnya adalah apakah rahang itu sendiri mengalami penyimpangan, atau apakah gigi cenderung
menyimpang ke arah rahang. Penyimpangan pergerakkan maksila dapat terjadi namun jarang, suatu kasus asimetri dari mandibula
terjadi pada 40% pasien dari pasien normal mandibular pertumbuhan yang berlebihan, dan pada pasien ini giginya akan cenderung
mengalami penyimpangan dalam penyeimbangan arah ke rahang. Hal ini dapat terdeteksi dengan pemeriksaan klinis dengan
seksama karena mungkin tidak terlihat jelas dalam catatan diagnostik.
Meskipun merupakan tambahan kepada evaluasi diagnostik, ciri-ciri dentofacial harus dapat menggambarkan lima karakteristik
utama. Pemeriksaan lima karakteristik utama sesuai dengan urutan akan mempermudah dalam mengorganisir informasi diagnostik
untuk meyakinkan bahwa tidak ada hal penting yang terlewatkan.

2.7 Maloklusi Dental dan Skeletal

Klasifikasi melalui 5 karakteristik ciri dentofacial

 Penampakan dentofacial

Perbandingan frontal dan oblique facial, gigi anterior, orientasi terhadap garis estetik oklusi, profil

 Penjajaran (allignment)

Rapat/ terdapat ruang, membentuk lengkung, simetris, orientasi terhadap garis fungsional oklusi

 Anteroposterior

Klasifikasi Angle, skeletal dan dental

 Transverse

Crossbite, skeletal dan dental

 Vertikal

Kedalaman menggigit, skeletal dan dental

2.8 Maloklusi dalam Sistem Stomatognatik

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi efek dari maloklusi terhadap kinerja mastikasi. Pasien dewasa dengan
maloklusi dental dan skeletal yang parah memiliki kemampuan mastikasi terbatas dibandingkan dengan individu yang oklusinya
normal.

Beberapa penelitian juga telah mengevaluasi efek dari maloklusi terhadap kinerja mastikasi pada anak-anak. Manly and Hoffmeistr
melaporkan bahwa anak-anak dengan maloklusi kelas I dan kelas II memiliki kemampuan mastikasi yang sama dengan anak-anak

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 8


oklusi normal, dan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kinerja mastikasinya, tetapi anak-anak dengan maloklusi kelas III
tidak memiliki kemampuan mastikasi sebaik anak-anak dengan maloklusi kelas I dan II.

Sebenarnya maloklusi tidak mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menggigit dan memroses makanan. Tetapi jika
dibandingkan dengan maloklusi kelas I, kelas II, dan kelas III, individu dengan oklusi normal dapat menghasilkan distribusi partikel
yang lebih luas sehingga mengidikasikan adanya kemampuan mastikasi yang lebih baik.

Setiap penyimpangan dari oklusi statis serta fungsional yang ideal akan bisa menimbulkan kelainan pada komponen-komponen
sistem pengungunyahan yang lain, khususnya sendi temporomandibula dan otot-otot pengunyahan. Anggapan ini tidak benar
sejauh menyangkut oklusi alami. Banyak penelitian yang sudah dilakukan pada pasien dengan disfungsi sendi temporomandibular
dan otot. Kebanyakan peneliti sependapat bahwa masalah ini mempunyai etiologi multifaktor, dengan maloklusi sebagai salah satu
faktor di antaranya, tetapi tidak ada faktor tunggal yang bisa menimbulkan masalah ini. Sebaliknya, penelitian-penelitian mengenai
maloklusi sebagian besar gagal untuk menemukan hubungan yang pasti antara tipe atau keparahan suatu maloklusi dengan
disfungsi temporomandibular. Meskipun demikian, disfungsi oklusal bisa timbul akibat perawatan ortodonsi, bahkan dewasa ini
makin tumbuh kesadaran bahwa di samping upaya untuk mendapatkan oklusi statis yang ideal, perawatan ortodonsi juga harus
dilakukan dengan tujuan mendapatkan oklusi fungsional yang baik.

Klasifikasi Maloklusi

1. Sistem Klasifikasi Angle.

Edward Angle memperkenalkan sistem klasifikasi maloklusi ini pada tahun 1899. Klasifikasi Angle ini masih digunakan dikarenakan
kemudahan dalam penggunaannya.

Menurut Angle, kunci oklusi terletak pada molar permanen pertama maksila. Berdasarkan hubungan antara molar permanen
pertama maksila dan mandibula, Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas, yaitu :

a. Klas I

Klas I maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan adanya hubungan normal antar-lengkung rahang. Cusp mesio-buccal dari
molar permanen pertama maksila beroklusi pada groove buccal dari molar permanen pertama mandibula. Pasien dapat
menunjukkan ketidakteraturan pada giginya, seperti crowding, spacing, rotasi, dan sebagainya. Maloklusi lain yang sering
dikategorikan ke dalam Klas I adalah bimaxilary protusion dimana pasien menunjukkan hubungan molar Klas I yang normal namun
gigi-geligi baik pada rahang atas maupun rahang bawah terletak lebih ke depan terhadap profil muka.

b. Klas II

Klas II maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan hubungan molar dimana cusp disto-buccal dari molar permanen pertama
maksila beroklusi pada groove buccal molar permanen pertama mandibula.

Klas II, divisi 1.

Klas II divisi 1 dikarakteristikkan dengan proklinasi insisiv maksila dengan hasil meningkatnya overjet. Overbite yang dalam dapat
terjadi pada region anterior. Tampilan karakteristik dari maloklusi ini adalah adanya aktivitas otot yang abnormal.

Klas II, divisi 2.

Seperti pada maloklusi divisi 1, divisi 2 juga menunjukkan hubungan molar Klas II. Tampilan klasik dari maloklusi ini adalah adanya
insisiv sentral maksila yang berinklinasi ke lingual sehingga insisiv lateral yang lebih ke labial daripada insisiv sentral. Pasien
menunjukkan overbite yang dalam pada anterior.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 9


c. Klas III

Maloklusi ini menunjukkan hubungan molar Klas III dengan cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada
interdental antara molar pertama dan molar kedua mandibula.

True Class III

Maloklusi ini merupakan maloklusi skeletal Klas III yang dikarenakan genetic yang dapat disebabkan karena :

· Mandibula yang sangat besar.

· Mandibula yang terletak lebih ke depan.

· Maksila yang lebih kecil daripada normal.

· Maksila yang retroposisi.

· Kombinasi penyebab diatas.

Pseudo Class III

Tipe maloklusi ini dihasilkan dengan pergerakan ke depan dari mandibula ketika rahang menutup, karenya maloklusi ini juga disebut
dengan maloklusi ‘habitual’ Klas III. Beberapa penyebab terjadinya maloklusi Klas III adalah :

· Adanya premature kontak yang menyebabkan mandibula bergerak ke depan.

· Ketika terjadi kehilangan gigi desidui posterior dini, anak cenderung menggerakkan mandibula ke depan untuk mendapatkan
kontak pada region anterior.

Klas III, subdivisi

Merupakan kondisi yang dikarakteristikkan dengan hubungan molar Klas III pada satu sisi dan hubungan molar Klas I di sisi lain.

2. Modifikasi Dewey dari Klasifikasi Angle.

Dewey memperkenalkan modifikasi dari klasifikasi maloklusi Angle. Dewey membagi Klas I Angle ke dalam lima tipe, dan Klas III
Angle ke dalam 3 tipe.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 10


a. Modifikasi Dewey Klas I.

Tipe 1 : maloklusi Klas I dengan gigi anterior yang crowded.

Tipe 2 : maloklusi Klas I dengan insisiv maksila yang protrusif.

Tipe 3 : maloklusi Klas I dengan anterior crossbite.

Tipe 4 : maloklusi Klas I dengan posterior crossbite.

Tipe 5 : maloklusi Klas I dengan molar permanen telah bergerak ke mesial.

b. Modifikasi Dewey Klas III.

Tipe 1 : maloklusi Klas III, dengan rahang atas dan bawah yang jika dilihat secara terpisah terlihat normal. Namun, ketika rahang
beroklusi pasien menunjukkan insisiv yang edge to edge, yang kemudian menyebabkan mandibula bergerak ke depan.

Tipe 2 : maloklusi Klas III, dengan insisiv mandibula crowded dan memiliki lingual relation terhadap insisiv maksila.

Tipe 3 : maloklusi Klas III, dengan insisiv maksila crowded dan crossbite dengan gigi anterior mandibula.

3. Modifikasi Lischer dari Klasifikasi Angle.

Lischer memberikan istilah neutrocclusion, distocclusion, dan mesiocclusion pada Klas I, Klas II, dan Klas III Angle. Sebagai tambahan,
Lischer juga memberikan beberapa istilah lain, yaitu :

Neutrocclusion : sama dengan maloklusi Klas I Angle.

Distocclusion : sama dengan maloklusi Klas II Angle.

Mesiocclusion : sama dengan maloklusi Klas III Angle.

Buccocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke buccal.

Linguocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke lingual.

Supraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi diatas batas normal.

Infraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi dibawah batas normal.

Mesioversion : lebih ke mesial daripada posisi normal.

Distoversion : lebih ke distal daripada posisi normal.

Transversion : transposisi dari dua gigi.

Axiversion : inklinasi aksial yang abnormal dari sebuah gigi.

Torsiversion : rotasi gigi pada sumbu panjang.

4. Klasifikasi Bennet.

Norman Bennet mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan etiologinya.

Klas I : posisi abnormal satu gigi atau lebih dikarenakan faktor lokal.

Klas II : formasi abnormal baik satu maupun kedua rahang dikarenakan defek perkembangan pada tulang.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 11


Klas III : hubungan abnormal antara lengkung rahang atas dan bawah, dan antar kedua rahang dengan kontur facial dan
berhubungan dengan formasi abnorla dari kedua rahang.1

Sumber :

1. Bhalaji Sundaresa Iyyer. Orthodontics The Art and Science. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006. P.69-78

GANGGUAN AKIBAT MALOKLUSI

Akibat Maloklusi

a. Gangguan pengunyahan

Dapat berupa rasa tidak nyaman pada saat mengunyah, nyeri pada TMJ dan mengakibatkan nyeri pada kepala dan leher. Tanggalnya
gigi bisa mengakibatkan perubahan pola pengunyahan, misalnya mengunyah pada satu sisi, hal ini juga bisa mengakibatkan nyeri
pada TMJ.

b. Gangguan pembersihan

Pada gigi yang crowded (berjejal) dapat mengakibatkan kesulitan pada saat pembersihan dan hal ini mengakibatkan gigi jadi lebih
mudah terserang karies.

c. Gangguan bicara

Maloklusi mengakibatkan ketidakjelasan bicara seseorang. Apabila ciri maloklusinya adalah distoklusi maka susah mengucapkan
huruf p dan b. Apabila ciri maloklusinya berupa mesioklusi maka akan kesulitan mengucapkan huruf s, z, t dan n.

Menurut Bruggeman,anomali dental yang mengakibatkan gangguan bicara adalah :

1. Ruang antar gigi (spaces) yaitu terjadi kelainan bunyi saat mengucapkan semua huruf terutama s, sh, z, zh kecuali huruf
n dan y.

2. Lebar lengkung yaitu terjadi kelainan saat mengucapkan huruf s, z, th.

3. Open bite yaitu terjadi kelainan bunyi saat mengucapkan huruf s, sh, z, zh, th, dan kadang-kadang pada huruf t dan d.

4. Derajat protrusi yaitu terjadi kelainan bunyi saat mengucapkan huruf s, sh,z, zh.

5. Pada gigi yang rotasi kelainan bunyi yang terjadi sama dengan kelainan pada ruang antar gigi.

d. Gangguan estetis

Gigi yang tidak rapi bisa mengurangi nilai estetis dari seseorang dan penampilan wajah yang menjadi kurang menarik sehingga
mempunyai dampak yang tidak menguntungkan pada perkembangan psikologis seseorang, apalagi pada saat usia masa remaja.
Dibiase menyatakan beberapa kasus maloklusi pada anak remaja sangat berpengaruh terhadap psikologis dan perkembangan sosial
yang disebabkan oleh penindasan yang berupa ejekan atau hinaan dari teman sekolahnya. Pengalaman psikis yang tidak
menguntungkan dapat sangat menyakitkan hati sehingga remaja korban penindasan tersebut akan menjadi sangat depresi.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18207/4/Chapter%20II.pdf)

MALOKLUSI: OPEN BITE

Posted March 15, 2015 by Admin PSMKGI & filed under Artikel Umum, Liputan PSMKGI.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 12


Maloklusi sering menjadi masalah utama pasien orthodonsi. Adanya posisi postural adaptif, gerak penutupan translokasi,
mekanisme refleks, gigi berjejal-jejal, susunan gigi yang tidak teratur, trauma gigi terhadap jaringan lunak dan penampilan pribadi
yang buruk atau gangguan pada bicara normal yang disebabkan oleh posisi gigi. Jenis-jenis maloklusi adalah sebagai berikut:

1. Protrusi

2. Intrus dan Ekstrusi

3. Crossbite

4. Deep bite

5. Open bite

6. Crowded

7. Diastema

Beberapa permasalahan yang paling mengganggu adalah open bite. Baik secara estetis maupun fungsional. Open bite adalah adanya
ruangan oklusal atau insisal dari gigi saat rahang atas dan rahang bawah oklusi sentrik. Open bite dibagi menjadi tiga. Open bite
anterior, open bite posterior, serta kombinasi dari keduanya. Open bite anterior adalah tidak adanya overbite antara insisal edge
gigi anterior maksila dan mandibula, sedangkan gigi posterior dalam keadaan oklusi. Prevalensi open bite anterior antara 1,5%
sampai dengan 11% dan bervariasi antar kelompok etnis, umur, dan masa pertumbuhan gigi.1 Sedangkan posterior open bite adalah
tidak adanya oklusi gigi-gigi posterior sedangkan gigi-gigi anterior dalam keadaan oklusi.

Faktor etiologi yang bertanggung jawab menyebabkan open bite adalah:

1. pertumbuhan gigi yang tidak menentu (gigi depan inklinasi ke depan, rahang atas sempit, gigi posterior supra oklusi)

2. herediter

3. kebiasaan menggigit jari

4. menghisap jempol

5. kebiasaan mendorong lidah

Akibat dari open bite adalah terjadi kelainan bunyi saat mengucapkan huruf s, sh, z, zh, th dan kadang-kadang pada huruf t dan d,
penampilan menjadi tidak menarik, dan fungsi gigi anterior menjadi berkurang dalam pengunyahan maupun menggigit makanan.
Untuk itu perawatan pada pasien dengan kasus open bite sangat diperlukan.

Untuk mendapatkan perawatan yang sukses, perlu dianalisis terlebih dahulu etiologi dari open bite tersebut, serta komponen
dentocraniofasial yang terlibat. Sassouni2 membagi open bite menjadi dua klasifikasi, dental dan skeletal. Open bite dental
dihubungkan dengan kondisi klinis sebagai berikut: pola craniofasial yang normal, proklinasi insisal, intrusi gigi anterior, tinggi molar
normal, inklinasi mesial dari pertumbuhan gigi posterior, kegagalan erupsi gigi tanpa diketahui penyebab yang jelas, mengecilnya
bidang oklusal rahang atas dan bawah, tidak memiliki gummy smile, kebiasaan menghisap jempol, tidak ada kelebihan tinggi
maksila, kebiasaan mendorong lidah, tanpa ditemukan rontgen cephalometri yang tidak normal.

Kondisi klinis open bite skeletal dihubungkan dengan salah satu dari ciri berikut: sudut bidang mandibula yang curam, meningkatnya
sudut gonial, ramus mandibula yang rendah, bagian dari maksila atau bidang palatal miring ke anterior, meningkatnya tinggi wajah

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 13


anterior bawah, menurunnya tinggi wajah bagian anterior atas, meningkatnya anterior dan menurunnya posterior dari tinggi wajah,
naiknya kelenturan cranial base, cranial base anterior yang curam, jarak nasion-basion yang pendek, kecilnya badan mandibula dan
ramus dan retrognasi mandibula.

Penatalaksanaan open bite tergantung pada etiologi dari masing-masing kasus, umur dan ekspektasi pasien. Mizrahi 3 menjalaskan
empat cara penatalaksanaan dari open bite: modulasi pertumbuhan, orthodonthic mechanotherapy, bedah orthognathic, dan
kombinasi dari dua atau lebih. Pada salah satu case report4 ekstraksi dan retraksi sangat direkomendasikan untuk mengurangi
overjet dan open bite pada pasien open bite anterior dental, serta memperpanjang gigi anterior dengan menggunakan drawbridge
effect. Untuk itu sangat penting mengetahui etiologi dari kasus open bite dari pasien supaya dapat ditentukan perawatan yang tepat
sehingga bisa berhasil mengembalikan oklusi pasien ke keadaan yang normal.

REFERENSI

1. Tang El. Occlusal features of Chinese adults in Hong Kong. Aust Orthod J. 1994; 13:159-63.

2. Sassouni V. A clasiification of skeletal facial types Am J Orthod Dentofacial Orthop. 1969; 55:109-23.

3. Mizrahi E. A review of anterior open bite. Br J Orthod. 1978; 5:21-7.

4. Shrestha, Basanta K. Orthodontic treatment of anterior dental open bite with drawbridge effect: A case repport.
Orthodonthic Journal of Nepal. Hal 69-72. 2013.

Penulis : Risma Diningtyas (UMS)

Pradhica Shanaz Inaray (UMS)

JENIS - JENIS MALOKLUSI

Jenis - jenis maloklusi terdapat berbagai jenis maloklusi, seperti:

1. Deepbite

adalah suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal gigi insisivus maksila terhadap insisal gigi insisivus mandibula dalam
arah vertikal melebihi 2-3 mm. Pada kasus deepbite, gigi posterior sering linguoversi atau miring ke mesial dan insisivus mandibula
sering berjejal, linguoversi, dan supra oklusi.

2. Openbite

adalah keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi saat rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik.
Macam-macam open bite menurut lokasinya antara lain :

· Anterior openbite

Klas I Angle anterior openbite terjadi karena rahang atas yang sempit, gigi depan inklinasi ke depan, dan gigi posterior supra oklusi,
sedangkan Klas II Angle divisi I disebabkan karena kebiasaan buruk atau keturunan.

· Posterior openbite pada regio premolar dan molar.

· Kombinasi anterior dan posterior/total openbite terdapat baik di anterior, posterior, dapat unilateral ataupun bilateral.

3. Crowded (Gigi berjejal)

adalah keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal. Penyebab gigi berjejal adalah lengkung basal yang terlalu kecil
daripada lengkung koronal. Lengkung basal adalah lengkung pada prossesus alveolaris tempat dari apeks gigi itu tertanam, lengkung
koronal adalah lengkung yang paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah mesiodistal yang paling besar dari mahkota gigi
geligi. Faktor keturunan merupakan salah satu penyebab gigi bejejal, misalnya ayah mempunyai struktur rahang besar dengan gigi

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 14


yang besar-besar, ibu mempunyai struktur rahang kecil dengan gigi yang kecil. Kombinasi genetik antara rahang kecil dan gigi yang
besar membuat rahang tidak cukup dan gigi menjadi berjejal. Kasus gigi berjejal dibagi berdasarkan derajat keparahannya, yaitu:

a. Gigi berjejal kasus ringan

Terdapat gigi-gigi yang sedikit berjejal, sering pada gigi depan mandibula, dianggap suatu variasi yang normal dan dianggap tidak
memerlukan perawatan.

b. Gigi berjejal kasus berat

Terdapat gigi-gigi yang sangat berjejal sehingga dapat menimbulkan oral hygiene yang buruk.

4. Diastema (Gigi renggang)

Gigi renggang adalah suatu keadaan terdapatnya ruang di antara gigi geligi yang seharusnya berkontak. Diastema ada 2 macam,
yaitu:

a. Lokal, jika terdapat diantara 2 atau 3 gigi. Penyebabnya antara lain frenulum labial yang abnormal, kehilangan gigi, kebiasaan
jelek, dan persistensi.

b. Umum, jika terdapat pada sebagian besar gigi, dapat disebabkan oleh faktor keturunan, lidah yang besar dan oklusi gigi yang
traumatis.

IDENTIFIKASI ETIOLOGI MALOKLUSI DAN ADA TIDAKNYA GANGGUAN SENDI

ETIOLOGI MALOKLUSI

Maloklusi merupakan penyimpangan dari pertumbuhkembangan disebabkan faktor-faktor tertentu. Secara garis besar etiologi atau
penyebab suatu maloklusi dapat digolongkan dalam faktor herediter (genetik) dan faktor lokal. Kadang-kadang suatu maloklusi
sukar ditentukan secara tepat etiologinya karena adanya berbagai faktor(multifaktor) yang memengaruhi pertumbuhkembangan.

Faktor Herediter

Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi
rahangnya menunjukkan relasi yang sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi primitif
sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik untuk
mempelajari pengaruh herediter adalah dengan mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan sama. Suatu
penelitian menyimpulkan bahwa 40% variasi dental dan fasial dipengaruhi faktor herediter sedangkan penelitian yang lain
menyimpulkan bahwa karakter skelet kraniofasial sangat dipengaruhi faktor herediter sedangkan pengaruh herediter terhadap gigi
rendah.

Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu 1) disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan
maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai, 2)
disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi
kraniofasial, ukuran dan jumlah gigi sangat dipengaruhi faktor genetik sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor
lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang paling tinggi adalah mandibula yang prognatik, mukia yang panjang serta adanya
deformitas muka.

Menurut Mossey (1999) berbagai komponen ikut menentukan terjadinya oklusi normal ialah: 1) ukuran maksila dan mandibula
termasuk ramus dan korpus 2) faktor yang ikut mempengaruhi relasi maksila dan mandibula seperti basis kranial dan lingkungan 3)

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 15


jumlah, ukuran dan morfologi gigi 4) morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir, lidah, dan pipi). Kelainan pada komponen tersebut
serta interaksinya dapat menyebabkan maloklusi.

Implikasi klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor herediter adalah kasus tersebut mempunyai prognosis yang
kurang baik bila dirawat ortodontik, namun sayangnya sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor herediter pada
maloklusi tersebut. Perkembangan pengetahuan genetik molekuler diharapkan mampu menerangkan penyebab etiologi herediter
dengan lebih tepat.

Kelainan Gigi

Beberapa kelainan gigi yang dipengaruhi faktor herediter ialah kekurangan jumlah gigi (hiodontia), kelebihan jumlah gigi
(hiperdontia), misalnya adanya mesiodens, bentuk gigi yang khas misalnya karabeli pada molar, kaninus yang impaksi di palatal,
transposisi gigi misalnya kaninus yang terletak diantara premolar pertama dan kedua.

Kekurangan jumlah Gigi

Kelainan jumlah gigi dapat berupa tidak ada pembentukan gigi atau agenesis gigi. Anadontia adalah suatu keadaan tidak terbentuk
gigi sama sekali, untungnya frekuensinya sangat jarang dan biasanya merupakan bagian Dario sindrom dysplasia ektodermal. Bentuk
gsnggusn pertumbuhan yang tidak separah anadontia adalah hipodontia, yaitu suatu keadaan beberapa gigi mengalami agenesis
(sampai dengan 4 gigi), sedangkan oligodontia adalah gigi yang tidak terbentuk lebih dari empat gigi. Sebagai panduan dapat
dikatakan apabila gigi sulung agenesis maka gigi permanennya agenesis. Gigi yang agenesis biasanya adalah gigi sejenis tetapi yang
letaknya lebih distal sehingga dapat dipahami bahwa yang sering agenesis adalah molar ketiga, premolar kedua dan insisivi lateral.

Kelebihan Jumlah Gigi

Yang paling sering ditemukan adalah gigi kelebihan yang terletak di garis median rahang atas yang biasa disebut mesiodens. Jenis
gigi kelebihan lainnya adalah yang terletak di sekitar insisivi lateral sehingga ada yang menyebut laterodens, premolar tambahan
bisa sampai dua premolar tambahan pada satu sisi sehingga pasien mempunya 4 premolar pada satu sisi. Adanya gigi-gigi kelebihan
dapat menghalangi terjadinya oklusi normal.

Disharmoni Dentomaksiler

Disharmoni dentomaksiler ialah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi dan rahang dalam lengkung geligi. Menurut Anggraini
(1957) etiologi disharmoni dentomaksiler adalah faktor herediter. Karena tidak adanya harmoni antara besar gigi dan lengkung gigi
maka keadaan klinis yang dapat dilihat adalah adanya lengkung geligi dengan diastema yang menyeluruh pada lengkung geligi bila
gigi-gigi kecil dan lengkung geligi normal, meskipun hal ini jarang dijumpai. Keadaan yangs erring dijumpai adalah gigi-gigi yang besar
pada lengkung geligi yang normal atau gigi-gigi yang normal pada lengkung geligi yang kecil sehingga menyebabkan letak gigi
berdesakan. Meskipun pada disharmonie dentomaksiler didapatkan gigi-gigi berdesakan tetapi tidak semua gigi-gigi yang
berdesakan disebabkan karena disharmoni dentomaksiler. Disharmoni dentomaksiler mempunyai tanda-tanda klinis yang khas.
Gambaran maloklusi seperti ini bisa terjadi di rahang atas maupun di rahang bawah.

Tanda-tanda klinis suatu harmoni dentomaksiler di region anterior yang mudah diamati antara lain sebagai berikut:

 Tidak ada diastema fisiologis pada fase geligi sulung yang secara umum dapat dikatakan bahwa bila pada fase geligi sulung
tidak ada diastema fisiologis dapat diduga bahwa kemungkinan besar akan terjadi gigi berdesakan bila gigi-gigi permanen
telah erupsi.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 16


 Pada saat insisivi sentral permanen akan erupsi, gigi ini meresorpsi akar insisivi sentral sulung dan insisivi lateral sulung
secara bersamaan sehingga insisivi lateral sulung tanggal premature.
 Insisivi sentral permanen tumbuh dalam posisi normal oleh karena mendapat tempat yang cukup. Bila letak insisivi sentral
permanen tidak normal berarti penyebabnya bukan disharmoni dentomaksiler murni tetapi ada penyebab lain.
 Pada saat insisivi lateral permanen akan erupsi dapat terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama insisivi lateral
permanen meresorpsi akar kaninus sulng sehingga kaninus sulung tanggal premature dan insisivi lateral permanen tumbuh
dalam letak yang normal karena tempatnya cukup. Selanjutnya kaninus permanen akan tumbuh diluar lengkung geligi
(biasanya di bukal) karena tidak mendapat cukup tempat yang sebagian telah ditempati insisivi lateral permanen. Pada
kasus dengan kekurangan tempat yang besar sisi distal insisivi lateral permanen berkontak dengan sisi mesial molar
pertama sulung.
Kemungkina kedua adalah insisivi lateral permanen tidak meresorpsi akar kaninus sulung tetapi tumbuh di palatal sesuai
dengan letak benihnya. Selanjutnya kaninus permanen tumbuh normal pada tempatnya karena mendapatkan tempat yang
cukup.

Faktor Lokal

Gigi sulung tanggal premature


Gigi sulung yang tanggal premature dapat berdampak pada susunan gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat
terjadi tanggal premature gigi sulunhg semakin besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivi sentral dan lateral sulung yang
tanggal premature tidak begitu berdampak tetapi kaninus sulung akan menyebabkan adanya pergeseran garis median.
Perlu diusahakan agar kaninus sulung tidak tanggal premature. Sebagian peneliti mengatakan bahwa bila terjadi tanggal
premature kaninus sulung karena resorpsi insisivi lateral atau karena karies disarankan dilakukan balancing extraction,
yaitu pencabutan kaninus sulung kontralateral agar tidak terjadi pergeseran garis median dan kemudian dipasang space
maintainer.
Molar pertama sulung yang tanggal premature juga dapat menyebabkan pergeseran garis median. Perlu tidaknya
dilakukan balancing extraction harus dilakukan observasi lebih dahulu. Molar kedua sulung terutama rahang bawah
merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal premature karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser kea
rah diastema sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi
molar kedua sulung yang tanggal premature juga dapat menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi berdesakan serta
kemungkinan terjadi supra erupsi gigi antagonis.
Bila molar kedua sulung tanggal premature banyaknya pergeseran molar pertama permanen ke mesial dipengaruhi oleh
tinggi tonjol gigi. (bila tonjol gigi tinggi pergeseran makin sedikit) dan waktu tanggal gigi tersebut (pergeseran paling
banyak bila molar kedua sulung tanggal sebelum molar permanen erupsi).

Presistensi Gigi
Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained deciduous teeth berarti gigi sulung yang sudah melewati waktunya
tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang jelas
menunjukkan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak
tanggal. Bila diduga terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada di rongga mulut, perlu diketahui
anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang
bertumpuk di region tersebut.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 17


Trauma
Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi
permanen sedang terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah
terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami
dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak
ada pilihan lain kecuali dicabut. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi permanen perlu diketahui
anamnesis apakah pernah terjadi trauma disekitar mulut untuk lebih memperkuat dugaan adanya trauma. Trauma pada
salah satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri muka.

Pengaruh Jaringan Lunak


Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memeberi pengaruh yang besar terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot
ini jauh lebih kecil daripada tekanan otot pangunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian tekanan yang
berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi dan lidah yang
menempel terus pada gigi hamper selama 24 jam dapat sangat memengaruhi letak gigi.
Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istirahat tidak benar atau karena adanya makroglosi dapat
mengubah keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivi bergerak ke labial. Dengan demikian patut
dipertanyakan apakah tekanan lidah pada saat menelan dapat memengaruhi letak insisivi karena meskipun tekanannya
cukup besar yang dapat menggerakkan gigi tetapi berlangsung dalam waktu yang singkat.
Bibir yang telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-lngit kadang-kadang mengandung jaringan parut yang banyak
selain tekanannya yang besar oleh karena bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga member tekana yang
lebih besar dengan akibat insisivi tertekan kea rah palatal.

Kebiasaan Buruk
Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat
menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu berkepanjangan dapat
menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung.
Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak pada gigi permanen bila kebiasaan tersebut
telah berhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanen erupsi akan terdapat
maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivi atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit
serta retroklinasi insisivi bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari mana yang diisap dan bagaimana pasien
meletakkan jarinya pada waktu mengisap.
Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabakan proklinasi insisivi atas disertai jarak gigit yang bertambah dan
retroklinasi insisivi bawah. Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan kebiasaan tetapi berupa adaptasi
terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih besar
daripada yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan bahwa gigitan terbuka anterior
terjadi karena adanya dorongan lidah pada saat menelan. Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi
teta[I biasanya dampaknya hanya pada satu gigi.

Faktor Iatrogenik

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 18


Pengertian kata iatrogenic adalah berasal dari suatu tindakan professional. Perawatan orthodontic mempunyai
kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenic. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan peranti lepasan
tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga yang terjadi gerakan gigi ke
distal dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk menggerakkan gigi dapat menyebabkan
resorbsi akar gigi yang digerakkan, resorpsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi. Kelainan
jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan orthodontic, misalnya gerakan gigi kea rah labial atau bukal
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.

Rahardjo, Pambudi. 2009. Orthodonti Dasar. Surabaya: Airlangga University Press.

2.3 Etiologi Maloklusi

Costanty menjelaskan penyebab kelainan bentuk gigi pada anak adalah sebagai berikut

1. Kebiasaan buruk

Kebiasaan adalah suatu perbuatan tertentu yang dilakukan secara berulang ulang, sedangkan kebiasaan oral merupakan kebiasaan
yang dapat menimbulkan perubahan pada hubungan oklusal seperti mengisap jari, bernapas melalui mulut, mengisap dan menggigit
bibir, memajukan rahang ke depan, mendorong lidah, atau menggigit kuku.

2. Gigi berjejal

Gigi yang tumbuh dengan kondisi berjejal dan tidak teratur susunannya. Hal ini disebabkan bila gigi seorang anak dicabut sebelum
waktunya dan menyebabkan keompongan dan akhirnya rahang tidak berkembang. Kondisi ini menyebabkan tempat tumbuhnya gigi
permanen menjadi berkurang untuk mendapatkan posisi yang cukup

3. Genetika

Faktor genetik misalnya seorang ibu memiliki gigi yang kecil dan bapak yang memiliki rahang yang besar, cenderung akan memiliki
anak dengan rahang kecil dan giginya besar, otomatis menyebabkan gigi berjejal. 17

4. Trauma

Benturan keras pada mulut dan mencederai rahang serta gigi, juga merupakan penyebab terjadinya maloklusi.

Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan maloklusi mencakup penyakit, status nutrisi, dan kebiasaan oral. Salah satu contoh
penyakit yang dapat menyebabkan maloklusi adalah talasemia. Talasemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan. Tubuh
penderita tidak dapat membentuk hemoglobin dalam jumlah yang cukup. Selain itu, sel darah merah pecah sebelum waktunya
sehingga penderita menderita anemia berat.7

Akibat anemia hemolitik, anak talasemia mengalami hambatan tumbuh kembang fisik berat dan tinggi badan berkurang serta
hambatan pertumbuhan tulang penyangga gigi. Rahang bawah pendek sehingga muka bagian atas tampak maju. Pertumbuhan
vertikal juga terganggu sehingga tampak divergen, muka lebih cembung. Wajah tidak proporsional, pipi lebih tinggi, jarak kedua
mata lebih lebar. Dalam kaitan itu, untuk mencegah gangguan pertumbuhan tulang dan gigi, anak perlu mendapat transfusi darah
terus menerus agar tidak anemia.17

2.3.1 Etiologi maloklusi klas I tipe I

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 19


Maloklusi klas 1 tipe 1 merupakan maloklusi dengan kontak molar dan kaninus yang normal, tetapi terdapat gigi anterior yang
berjejal. Maloklusi ini dapat disebabkan oleh sebagai berikut;

1. Pencabutan dini gigi sulung

Pencabutan gigi sulung yang terlalu dini, jauh sebelum gigi permanen pengganti dibawahnya muncul dapat menyebabkan gig
berjejal. Gigi sulung merupakan penunjuk jalan gigi permanen, sehingga gigi sulung yang dicabut terlalu dini membuat gigi
permanen dibawahnya kehilangan arah dan tumbuh bukan pada tempat semestinya. Dalam keaadaan normal, secara berurutan gigi
insisivus desidui akan diganti dengan gigi insisivus permanen, gigi molar desidui akan diganti oleh gigi premolar permanen, dan gig
kaninus desidui akan diganti oleh gigi kaninus permanen.7

2. Gigi yang berlubang

Gigi yang berlubang pada bagian yang berkontak dengan gigi tetangganya, akan menyebabkan titik kontak gigi hilang dan dapat
menyebabkan pergeseran gigi. Pergeseran gigi permanen kecendrungannya adalah ke arah mesial. Pergeseran ini menyebabkan
panjang lengkung rahang menjadi berkurang, sehingga gigi yang nantinya akan tumbuh kekurangan tempat.13

3. Genetik

Misalnya ibu memiliki gigi kecil dan bapak yang memiliki rahang yang besar, cenderung akan memiliki anak dengan rahang yang
kecil dan giginya besar, otomatis giginya akan berjejal.15

2.3.2 Etiologi maloklusi klas I tipe II

Maloklusi klas I divisi II merupakan maloklusi yang memiliki hubungan gigi molar normal, akan tetapi gigi anterior terutama gigi
rahang atas labioversi. Etiologi maloklusi klas I tipe II biasanya disebabkan oleh karena faktor kebiasaan buruk yang berlansung lama
seperti mengisap jari, jika berlansung selama beberapa tahun hal tersebut dapat mengakibatkan rahang atas dan rahang bawah
berubah sehingga terjadi gigitan terbuka dan terjadi pergeseran posisi pada gigi rahang bawah sehingga terjadi protrusi. Selain itu,
kebiasaan bernapas melalui mulut. 15

Moyers mengatakan bahwa kebiasaan bernapas melalui mulut dapat menyebabkan penyimpangan oklusi, yaitu gigi anterior atas
protrusi. Kebiasaan bernapas melalui mulut juga mempunyai pengaruh yang besar pada daerah dentofasial estetik. Bernapas
melalui mulut dapat disebabkan oleh alergi, tonsil, dan adenoid. Sehingga, anak cenderung menempatkan posisi lidah dibawah
dasar mulut untuk memudahkan aliran udara. Penempatan posisi lidah dibawah dasar mulut menyebabkan palatum menjadi
sempit, sehingga lidah cenderung untuk ke depan atau ke samping diantara gigi atas dan bawah dan akan mengganggu erupsi gigi
geligi serta perubahan pola fungsi otot sehingga terjadi maloklusi.13

Kebiasaan bernapas melalui mulut juga menyebabkan gangguan orofasial yaitu fungsi abnormal dari otot wajah dan rongga
mulut. Gangguan tersebut melibatkan kombinasi antara bibir yang abnormal, rahang, posisi lidah selama istirahat, menelan, atau
berbicara. Pada gangguan tersebut, lidah bergerak ke depan berada diantara gigi insisivus atas dan bawah pada saat berbicara,
menelan dan istirahat. Komponen paling utama pada gangguan otot orofasial adalah lidah bagian depan dan posisi mulut yang
terbuka pada saat istirahat. Penempatan posisi lidah yang salah jika dibiarkan akan menyebabkan pola penelanan menjadi
abnormal. Penempatan ujung lidah diantara gigi insisivus atas dan bawah saat penelanan disebut tongue thrust. Penempatan posisi
lidah yang salah akan menahan bibir bawah berkontak dengan gigi atas sehingga menghalangi fungsi otot orbicularis oris sebagai
penahan stabilisasi, sehingga otot tersebut menjadi lemah. 15

2.3.3 Etiologi maloklusi klas I tipe III

Maloklusi klas I tipe III merupakan maloklusi dengan hubungan molar dan kaninus normal, tetapi terdapat gigitan silang anterior.
Maloklusi ini dapat disebabkan oleh faktor sebagai berikut:

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 20


1. Skeletal

Faktor skeletal merupakan gigitan silang dengan basis skeletal dengan maksila yang mengalami konstriksi dan mandibula yang
lebar. Gigitan silang skeletal dapat disebabkan oleh kebiasaan dan faktor kerusakan lokal yang lain seperti;

1) Bersifat herediter

2) Disebabkan defisiensi pertumbuhan anterior maksila

3) Melampaui batas abnormal pertumbuhan mandibula ke anterior

4) Bernapas melalui mulut

5) Posisi lidah yang rendah

6) Tongue thrust

7) Kebiasaan menggigit jari. 7

2. Faktor gigi

Gigitan silang yang disebabkan oleh distorsi lengkung rahang dimana rahang normal. Faktor gigi ini merupakan akibat dari;

1) Luka traumatik pada gigi sulung yang menyebabkan kelainan pertumbuhan lingual pada benih gigi permanen.
Persistensi dari gigi sulung menyebabkan penyimpangan keberhasilan erupsi gigi area palatal yang menyebabkan satu
gigi anterior yang bersilang.

2) Gigi berlebih

3) Kebiasaab buruk menggigit bibir atas

4) Kasus perbaikan celah bibir

5) Panjang lengkung rahang yang tidak adekuat yang menyebabkan penyimpangan pertumbuhan ke arah lingual selama
erupsi gigi permanen.

6) Tulang atau jaringan penyangga fibrosa yang disebabkan oleh kehilangan dini gigi sulung

7) Posisi dari benih gigi dan perpanjangan retensi dari gigi susu. 17

3. Cross bite Fungsional

Gigitan silang fungsional merupakan akibat dari fungsi mandibular, yaitu adanya gangguan oklusal yang memerlukan mandibula
bergerak ke anterior atau ke lateral untuk mendapatkan oklusi maksimum. Hal ini harus ditangani secara dini jika diketahui, karena
gigitan silang sesungguhnya akan terjadi seiring dengan modifikasi pertumbuhannya. Faktor fungsional ini merupakan akibat dari:

1) Pseudo klas III

Ketika dua atau lebih gigi insisivus atas mengalami gigitan silang anterior prognosisnya sebaiknya baik sehingga gigitan silang
dapat dikurangi dengan baik. Hitchock mencatat bahwa jika lebih dari tiga minggu terapi alat tidak berhasil dalam mengurangi
gigitan silang, hal itu mungkin merupakan kasus klas III tersamar kasus klas I tipe III.

2) Kebiasaan memposisikan mandibula untuk memperoleh oklusi sentris yang maksimum

3) Postur abnormal mandibula

4) Gangguan insisal. 16

2.3.4 Etiologi maloklusi klas 1 tipe IV

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 21


Berdasarkan posisi relasi bukolingual dari gigi posterior rahang atas pada oklusi fungsional dengan gigi rahang bawah, ada tiga
jenis gigitan silang posterior yaitu :

a. Gigitan silang lingual

b. Gigitan silang lingual komplit

c. Gigitan silang bukkal

Setiap jenis gigitan silang posterior ini dapat secara fungsional dinyatakan hanya satu sisi pada lengkung atau yang disebut
unilateral, atau kedua sisi dari lengkung, bilateral.

1) Gigitan silang bilateral

Keadaan ini biasanya disebabkan oleh lengkung basal dari rahang atas lebih sempit daripada rahang bawah. Juga disebabkan oleh
penyimpangan posisional antara kedua rahang, dengan rahang bawah terlalu jauh ke depan dalam hubungan dengan rahang atas
sehingga divergensi dari lengkung mandibular ke arah belakang menimbulkan gigitan silang

2) Gigitan silang unilateral

Biasanya disebabkan oleh lengkung rahang atas yang sedikit lebih sempit daripada lengkung rahang bawah. Pada kondisi ini,
lintasan penutupan sentral dari mandibular akan membawa gigi bukal ke kontak oklusal tonjol ketemu tonjol (cups to cups). 15

2.3.5 Etiologi maloklusi klas II divisi I

Menurut Moyers pada penderita maloklusi klas II divisi I biasanya ditandai dengan profil wajah yang konveks, overjet yang besar,
kadang kadang disertai gigitan dalam. Adapun penyebab maloklusi klas II divisi I

a. Hubungan skeletal

Hubungan posisional antero-posterior bagian basal rahang atas dan bawah, satu sama lain, dengan gigi geligi berada dalam keadaan
oklusi, disebut sebagai hubungan skeletal

b. Mengisap jari dan ibu jari

Kebiasaan mengisap jari atau ibu jari hanya akan benar benar merupakan masalah jika kebiasaaan ini berlanjut sampai periode gigi
geligi permanen. Namun, yang paling sering terjadi adalah adanya ibu jari diantara gigi geligi yang sedang bererupsi akan
menimbulkan gigitan terbuka anterior yang biasanya asimetris.

c. Menjulurkan lidah

Pola penelanan yang abnormal biasanya disebabkan oleh hipertrofi tonsil dan adenoid. Ketika lidah ditarik kemungkinan akan
menyentuh tonsil yang bengkak dan mempersempit jalan napas, sehingga lidah akan dijulurkan ke depan untuk menjauh dari faring.

d. Mengisap dan menggigit bibir

Pada sebagian besar kasus, kebanyakan bibir bawah yang terlibat. Ketika bibir bawah diletakkan berulang kali di bawah gigi anterior
rahang atas, dapat terjadi labioversi, gigitan terbuka dan linguoversi dari gigi insisivus mandibular. 13

e. Gigi berjejal

Kesalahan letak didaerah labial gigi geligi insiisvus rahang atas dan bawah disebabkan oleh gigi geligi berjejal dan akhirnya
menyebabkan overjet yang besar.7

2.3.6 Etiologi maloklusi klas II divisi II

Etiologi secara umum maloklusi klas II divisi II

a. Hubungan skeletal

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 22


Dewasa ini pada umumnya dikatakan bahwa bentuk dan hubungan skeletal adalah lebih tergantung pada faktor keturunan, dengan
aspek fungsional yang berperan pada pertumbuhan rahang normal, juga terutama sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. 17

b. Faktor jaringan lunak

Pengaruh jaringan lunak pada klas II divisi II biasanya juga disebabkan oleh pola skeletal. Jika tinggi wajah bagian bawah tereduksi,
garis bibir bawah akan lebih tinggi terhadap mahkota gigi insisivus atas yaitu menutupi lebih dari 1/3 mahkota gigi insisivus atas.
Bibir bawah juga cenderung terletak jauh ke belakang dari pada bibir atas pada hubungan skeletal klas II. Hal ini bisa menyebabkan
bibir bawah memodifikasi lintasan erupsi gigi geligi insisivus atas. Klas II divisi II hubungan insisivus mungkin juga merupakan hasil
dari bimaksilari retroklinasi yang disebabkan oleh otot aktif bibir ( bibir bawah hiperaktif), terlepas dari pola skeletalnya. 18

c. Faktor gigi

Faktor gigi geligi yang menyebabkan maloklusi ini adalah posisi gigi insisivus yang tegak lurus, ukuran gigi kecil, tipisya gigi insisivus
dengan singulum yang kecil. singulum pada insisivus atas tereduksi atau tidak ada, dapat memperburuk overbite. Retroklinasi dari
gigi insisivus atas dan insisivus bawah juga dapat membuat gigi berjejal.16

2.3.7 Etiologi maloklusi klas III

Klas III memiliki karakterisitik mandibula prognatik atau defesiensi maksila, hubungan klas III molar, dimana insisivus rahang
bawah lebih ke labial dibanding insisivus rahang atas. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Angle, maloklusi kals III
menujukkan proprosi yang paling kecil dari total maloklusi yang ada. Etiologi dari maloklusi ini secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. 13

a. Faktor genetik

Etiologi yang berupa faktor genetik, telah banyak ditemukan dalam beberapa penelitian. Aneuploidal X- kromosom juga berperan
dalam pembentukan mandibula yang prognatik. Beberapa studi mengenai genetik dan perannya sebagai salah satu etiologi dari
maloklusi klas III menunjukkan bahwa pertumbuhan dan ukuran mandibula dipengaruhi oleh faktor keturunan. 7

b. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang berperan pada maloklusi klas III diantaranya pembesaran tonsil, bernapas melalui mulut, defek anatomi
kongenital, penyakit pada kelenjar pituitari, gangguan hormonal, kebiasaan yang membuat mandibula menjadi protrusi, postur
tubuh, trauma dan penyakit, kehilangan prematur pada molar pertama, dan erupsi irregular dari insisivus permanen atau
kehilangan insisivus desidui. Faktor lain yang juga berperan serta adalah ukuran dan posisi relatif dari basis kranial, maksila dan
mandibular, dan posisi dari sendi temporomandibula dan beberapa salah letak dari rahang bawah yang mempengaruhi baik
hubungan sagital dan vertikal dari rahang dan gigi. Posisi dari foramen magnum dan batang spinal dan posisi kepala juga
berpengaruh pada pola wajah. 14

PENGARUH BAD HABIT PADA OKLUSI

Maloklusi adalah suatu keadaan yang menyimpang pada oklusi normal meliputi ketidakteraturan gigi-geligi dalam lengkung rahang
seperti gigi berjejal, protrusi (gigi maju), letak gigi yang tidak seharusnya maupun hubungan yang tidak harmonis dengan gigi
antagonisnya. Maloklusi dapat mengganggu fungsi pengunyahan, penelanan, bicara dan keserasian wajah serta estetik dapat
terganggu. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan maloklusi pada anak, sala satunya adalah faktor kebiasaan buruk.

Tanpa disadari, terkadang seorang anak memiliki kebiasaan buruk. Oleh karena itu orangtua harus memperhatikan kebiasaan anak
karena dapat mempengaruhi perkembangan gigi dan rahang anak. Beberapa kebiasan buruk yang dapat menyebabkan maloklusi
diantaranya menghisap ibu jari tangan, menjulurkan lidah, menggigit kuku, menghisap bibir, mengunyah satu sisi dan bernafas
melalui mulut.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 23


1. Mengisap ibu jari tangan

Menghisap ibu jari adalah kebiasaan menempatkan ibu jari ke dalam mulut dengan bibir tertutup di sekitar ibu jari. Aktivitas
menghisap ibu jari sangat berkaitan dengan otot-otot di dalam mulut. Kebiasaan menghisap ibu jari hanya akan benar-benar
merupakan masalah jika kebiasaan ini berlanjut sampai periode gigi geligi tetap. Kebiasaan ini normal 3,5 – 4 tahun meskipun lebih
baik menghentikannya lebih awal. Apabila kebiasaan ini berlangsung hingga periode gigi geligi tetap, maka akan berdampak pada
gigi maju atau tonggos.

2. Menjulurkan lidah

Kebiasaan menjulurkan lidah ke depan adalah menempatkan lidah berada diantara gigi depan atas dan bawah selama proses
menelan, berbicara maupun sedang istirahat. Gigi yang terdorong oleh desakan lidah dapat menyebabkan gigi maju dan tidak
bertemunya gigi depan atas dan bawah.

3. Menggigit kuku

Kebiasaan mengigit kuku adalah suatu kebiasaan yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja yang uumnya terjadi pada usia
anak 3-4 tahun dan menngkat pada masa remaja. Biasanya terjadi karena faktor stress yang meningkat atau kecemasan yang tinggi.
Kebiasaan ini dapat menyebabkan terganggunya posisi gigi dan menyebabkan keretakan pada gigi.

4. Menghisap bibir

Menghisap bibir adalah suatu kebiasaan yang dapat dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Kebiasaan ini biasa dilakukan anak
saat butuh konsentrasi atau berada pada keadaan yang sulit. Menghisap bibir dapat menyebabkan profil wajah yang pendek.

5. Mengunyah satu sisi

Kebiasaan mengunyah satu sisi biasanya terjadi karena kesenangan atau karena menghindari gigi yang sakit. Sisi yang sering dipakai
akan memicu perkembangan rahang sedangkan sisi yang tidak digunakan menyebabkan rahang tidak berkembang sehingga terjadi
ketidakseimbangan wajah dan pergeseran garis tengah gigi sehingga tidak harmonis. Selain itu, dapat juga terjadi kelainan sendi.

6. Bernafas melalui mulut

Bernafas melalui mulut adalah keadaan abnormal yang terjadi karena kesulitan bernafas secara normal melalui hidung yang
menyebabkan kebutuhan pernapasan melalui mulut. Bernafas melalui mulut menyebabkan mulut selalu terbuka kecuali saat
menelan. Kebiasaan ini dapat menyebabkan mulut terasa kering sehingga terjadi peradangan gusi, gigi maju, lengkung rahang
menyempit dan bibir tidak dapat menutup dengan rapat.

Orangtua sangat berperan penting dalam memperhatikan kebiasaan anak-anak terutama selama masa tumbuh kembang gigi geligi
dan rahang. Apabila orangtua menemukan kebiasaan buruk seperti diatas, maka orangtua harus waspada dan harus mencegah
secepat mungkin sebelum terjadi kelainan gigi dan rahang.

NADA ADRIANTONI (1711411024) – BLOK 8 MODUL 2 “MALOKLUSI” Page 24

Anda mungkin juga menyukai