Lapangan Aplikasi Metode T X PDF Free
Lapangan Aplikasi Metode T X PDF Free
Oleh :
LAILA SAMSIA ROATHAYNI
115.150.009
KELOMPOK 1
Laporan ini disusun sebagai syarat mengikuti acara Praktikum Seismik Refraksi
selanjutnya, tahun ajaran 2016/2017, Program Studi Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi
Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
DisusunOleh :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga
laporan tentang “Aplikasi Metode T-X” ini dapat tersusun hingga selesai. Kami
mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak yang telah berkontribusi
dalam penyelesaian laporan ini.
Kami berharap semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah
isi laporan agar menjadi lebih baik lagi.
Akibat keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam laporan ini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................................iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................vii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................viii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang....................................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan.............................................................................................1
1.3. Batasan Masalah..................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
A. TABEL PENGOLAHAN SEMUA KELOMPOK
B. GRAFIK T-X ITM DAN PROFIL KEDALAMAN SEMUA KELOMPOK
C. TURUNAN RUMUS ITM SATU LAPIS
D. TURUNAN RUMUS CDM SATU LAPIS
E. PAPER KELOMPOK
F. LEMBAR KONSUL
G. TABEL KECEPATAN BATUAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sketsa Peta Fisografi Sebagian Pulau Jawa dan Madura................3
Gambar 2.2 Stratigrafi Jalur Pegunungan Selatan..............................................7
Gambar 3.1 Prinsip Huygens..............................................................................11
Gambar 3.2 Hukum Pemantulan Snellius...........................................................12
Gambar 3.3 Skema perambatan gelombang pada lapisan miring dan hubungannya dengan
kurva T-X pada lapisan miring menggunakan forward dan reverse shoot
.......................................................................................................14
Gambar 3.4 Kurva waktu rambat gelombang bias dan gelombang pantul pada bidang
miring..............................................................................................16
Gambar 4.1 Desain Survei..................................................................................18
Gambar 4.2 Peralatan dan Perlengkapan............................................................19
Gambar 4.3 Diagram Alir Pengambilan Data.....................................................20
Gambar 4.4 Diagram Alir Pengolahan Data.......................................................22
Gambar 5.1 Grafik T-X ITM Lapisan Miring.....................................................26
Gambar 5.2 Profil Bawah Permukaan ITM Lapisan Miring..............................27
Gambar 5.3 Grafik T-X CDM Lapisan Miring...................................................28
Gambar 5.4 Profil Bawah Permukaan CDM Lapisan Miring............................29
Gambar 5.5 Perbandingan Peta V1 Lapangan 1 dan 2.......................................30
Gambar 5.6 Perbandingan Peta V2 Lapangan 1 dan 2.......................................33
Gambar 4.11 Perbandingan Peta Kedalaman ITM dan CDM..............................36
DAFTAR TABEL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
.
Secara stratigrafi, urutan satuan batuan dari tua ke muda menurut penamaan
litostratifrafi menurut Wartono dan Surono dengan perubahan (1994) adalah:
1. Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di
Perbukitan Jiwo.Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di
bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa
batugamping.Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa
batugamping.Jadi umur Formasi Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai
dengan Eosen Akhir (Sumarso dan Ismoyowati, 1975).
2. Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di lereng
dan kaki utara gawir Baturagung.Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa
batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat.Lingkungan
pengendapannya adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid.Ketebalan dari
formasi ini lebih dari 650 meter.
3. Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten.Litologi
penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih
serta terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal.Penyebaran lateral Formasi
Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan.Ketebalan formasi ini
diperkirakan lebih dari 460 meter.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak, namun secara
setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949).Formasi ini menjemari dengan Formasi
Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun tertindih secara tidak selaras oleh Formasi
Oyo (Surono, dkk., 1992).
4. Formasi Nglanggran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa
Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran
lava andesit-basal dan lava andesit serta kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit
basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi,
ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa kepingan.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah barat
hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur.Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar
sekitar 530 meter.Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi
Sambipitu dan secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi
Wonosari.Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka
lingkungan pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.
5. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu.Secara lateral, penyebaran
formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona
Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur.Ketebalan
Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar,
kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan
serpih, batulanau dan batulempung.Kandungan fosil bentoniknya menunjukkan adanya
percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam.Dengan hanya
tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di dalam Formasi
Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan gunungapi di
Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).
6. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo.Batuan penyusunnya pada bagian
bawah terdiri dari tuf dan napal tufan.Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh
batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan.Ketebalan formasi ini
lebih dari 140 meter dan kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi
Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan Formasi
Oyo.Lingkungan pengendapannya pada laut dangkal (zona neritik) yang dipengaruhi
kegiatan gunungapi.
7. Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung
yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit
untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Ketebalan formasi ini
diduga lebih dari 800 meter.Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari
dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi
Kepek.Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping
berlapis dan batugamping terumbu.Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal
(zona neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
8. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek.Batuan penyusunnya adalah
napal dan batugamping berlapis.Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.Formasi Kepek
umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari 10 o dan kaya akan fosil
foraminifera kecil. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik).
9. Endapan Permukaan
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua yang
terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini.Terdiri dari bahan lepas sampai padu
lemah, berbutir lempung hingga kerakal.Surono dkk(1992) membagi endapan ini
menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa).
C. Endapan Tersier
Di daerah Pegunungan Selatan bagian Timur, endapan yang paling muda adalah
endapan terarosa dan endapan sungai yang secara tidak selaras menutupi seri endapan
Tersier
Gambar 2.2. Stratigrafi Jalur Pegunungan Selatan menurut beberapa peneliti (Samodro,
1990)
D. Tektonik
Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa perlapisan
homoklin, sesar, kekar dan lipatan.Pada Formasi Semilir di sebelah barat, antara
Prambanan-Patuk, perlapisan batuan secara umum miring ke arah baratdaya. Sementara
itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan Dusun Jentir, perlapisan batuan miring
ke arah timur. Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ini mungkin disebabkan oleh
sesar blok (anthithetic fault blocks; Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya
pengkubahan (updoming) yang berpusat di Perbukitan Jiwo atau merupakan kemiringan
asli (original dip) dari bentang alam kerucut gunungapi dan lingkungan sedimentasi
Zaman Tersier (Bronto dan Hartono, 2001).
Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola anthithetic fault
blocks (van Bemmelen,1949). Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan setempat
berarah timurlaut-baratdaya.Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan Baturagung
dijumpai sesar geser mengkiri.
BAB III
DASAR TEORI
3.2.......................................................................................................................Hukum
Dasar
Perambatan gelombang menganut hukum-hukum dasar berikut:
a) Prinsip Huygens
Penjalaran gelombang seismik di dalam bumi dapat dijelaskan dengan
prinsipHuygens yang mengatakan bahwa setiap titik pada muka gelombang merupakan
sumber dari gelombang baru yang menjalar dalam bentuk bola (spherical).
.
Gambar 2.1. Prinsip Huygens
b) Hukum Snellius
Gelombang yang terpantul akan mengikuti hukum pemantulan gelombang,
yaituhukum Snellius “Gelombang akan dipantulkan atau dibiaskan pada bidang
batasantara dua medium”. Menurut persamaan:
v vp 1 vp 2 vs 1 vs 2
= = = = (2.1)
sini sin θp sin rp sinθs sin rs
c) Asas Fermat
Prinsip Fermat menyatakan bahwa jika sebuah gelombang merambat dari satutitik
ke titik yang lain, maka gelombang tersebut akan memilih jejak yangtercepat.
Kata tercepat diboldkan untuk memberikan penekanan bahwa jejakyang akan
dilalui oleh sebuah gelombang adalah jejak yang secara waktu tercepatbukan yang
terpendek secara jarak. Tidak selamanya yang terpendek itu tercepat.Dengan demikian,
jika gelombang melewati sebuah medium yang memilikivariasi kecepatan
gelombang seismik, maka gelombang tersebut akan cenderungmelalui zona-zona
kecepatan tinggi dan menghindari zona-zona kecepatan rendah.
3.3.........................................................................................................................Asumsi
– Asumsi Dasar
Dalam memahami perambatan gelombang seismik di dalam bumi, perlu mengambil
beberapa asumsi untuk memudahkan penjabaran matematis dan menyederhanakan
pengertian fisisnya. Asumsi-asumsi tersebut antara lain;
Medium bumi dianggap berlapis-lapis dan tiap lapisan menjalarkan gelombang
seismik dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Makin bertambah kedalamannya, batuan lapisan akan semakin kompak.
Panjang gelombang seismik < ketebalan lapisan bumi. Hal ini memungkinkan
setiap lapisan yang memenuhi syarat tersebut akan dapat terdeteksi.
Perambatan gelombang seismik dapat dipandang sebagai sinar, sehingga mematuhi
hukum-hukum dasar lintasan sinar di atas.
Pada bidang batas antar lapisan, gelombang seismik merambat dengan kecepatan
pada lapisan di bawahnya.
Kecepatan gelombang bertambah dengan bertambahnya kedalaman.
3.4.........................................................................................................................Metode
T-X
Metode T-X merupakan salah satu cara yang dianggap paling sederhana dan
hasilnya relative cukup kasar, kedalaman lapisan diperoleh pada titik-titik tertentu saja,
namun pada system perlapisan yang cendrung homogeny dan relative rata cara ini
mampu memberikan hasil yang bisa diandalkan. (dengan kesalahan relative kecil).
Namun pada saat kondisi yang kompleksdiperlukan cara interpretasi lain yang lebh
akurat. Metode ini terdiri dari dua macam, yaitu Intercept Time Method (ITM) dan
Critical Distance Method (CDM).
3.5.........................................................................................................................Metode
Intercept Time Lapisan Miring
Bila reflektor mempunyai dip, maka:
a Kecepatan pada kurva T-X bukan kecepatan sebenarnya (true velocity),
melainkan kecepatan semu (apparent velocity)
b Membutuhkan dua jenis penembakan: Forward dan Reverse Shoot
c Intercept time pada kedua penembakan berbeda, maka ketebalan refraktor
juga berbeda
Apparent Velocity ialah kecepatan yang merambat di sepanjang bentangan
geophone. Metode sebelumnya hanya menggunakan forward shooting, sedangkan untuk
aplikasi lapisan miring menggunakan forward shooting dan reverse shooting. Pada
gambar 4, titik A = sumber dan B= geophone (forward shooting),sedangkan titik B=
sumber dan A= geophone (reverse shooting). Sumber energy di titik A menghasilkan
gelombang refraksi down-going (raypath A-M-P-B) , dan sumber energi di titik B
menghasilkan gelombang refraksi up-going (ray path B-P-M-A).
Gambar 2.4. Skema perambatan gelombang pada lapisan miring dan hubungannya dengan
kurva T-X pada lapisan miring menggunakan forward dan reverse shoot
Besar sudut kemiringan lapisan ( α ¿ dan sudut kemiringan (θc), dapat dicari
dengan:
α=
1
2 [ ( ) ( )]
V V
sin−1 1 −sin−1 1
Vd V2
1
[ ( ) ( )]
−1 V 1 −1 V 1
θc= 2 sin V + sin V
d 2
(2.20)
Sehingga, kedalaman di bawah sumber A (Za) dan sumber B (Zb) dapat dicari
menggunakan persamaan:
2td V 1 2t u V 1
Za= 2 cos θ dan Zb= 2 cos θ (2.23)
V 2 up +V 2 down
V2= 2 (2.25)
dimana,
x1 −x0 x1 −x0
V1up= y 1 − y 0 dan V1down= y 1 − y 0
(2.26)
Serta
x1 −x1 x1 −x1
V2up= y 1 − y 1 dan V2down= y 1 − y 1
(2.27)
Persamaan (2.26) dan (2.27) berlaku untuk semua metode yang surveynya
menggunakan kombinasi penembakan maju dan mundur (forward dan reverse
shooting).
Gambar 2.5 Kurva waktu rambat gelombang bias dan gelombang pantul pada bidang
miring
V1 V1
Sin ( c ) Sin ( c )
Vd Vu
Karena dan , maka diperoleh :
1 1 V1 V
sin sin 1 1
2 Vd Vu
(2.34)
1 1 V1 V
c sin sin 1 1
2 Vd Vu
(2.35)
Kecepatan V1 dihitung langsung dari slope gelombang langsung, Vd dan Vu
dihitung dari slope gelombang bias pada masing-masing arah penembakan. Dari harga
Vd dan Vu tersebut dapat kita peroleh harga V2 dengan persamaan berikut :
2V2 uV2 d
V2 cos
V2 u V2 d
(2.36)
sedang untuk memperoleh ketebalan down-dip dan up-dip dapat kita selesaikan
dengan persamaan sebagai berikut :
t id V1
hd
2 cos c
untuk down-dip (2.37)
t iuV1
hu
2 cos c
untuk up-dip (2.38)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada hari Sabtu, 25 Februari 2017 pukul 07.00 WIB
sampai pukul 09.30 WIB. Lokasi penelitian berada di wilayah Pugeran, Babarsari,
Sleman. Titik koordinat pengukuran kelompok 1 adalah 435674, 9141603. Kondisi pada
saat akuisisi data seismik cukup baik dengan cuaca yang sedikit mendung serta wilayah
pengukuran yang dipenuhi oleh bebatuan. Pada saat pemindahan geophone ada satu titik
pada lintasan pengukuran kelompok 1 yang terdapat batu besar sehingga sedikit
mengganggu proses akuisisi data seismik.
4.2.......................................................................................................................Peralat
an dan Perlengkapan
Gambar 4.2. Peralatan dan Perlengkapan
Dalam proses akuisisi data terdapat beberapa perlatan dan perlengkapan yang
diperluka demi menunjang kegiatan tersebut. Berikut ini adalah peralatan dan
perlengkapan yang digunakan pada akuisisi data seismik di Pugeran, Babarsari:
a) Kompas Geologi
Digunakan untuk menentukan nilai azimuth
b) Bantalan Seismik
Merupakan plat baja yang digunakan sebagai alas saat menggunakan palu.
c) Palu Seismik
Merupakan alat yang digunakan sebagai source dalam akuisisi.
d) Meteran
Meteran digunakan untuk mengukur lintasan tang berfungsi sebagai acuan
posisi pemasangan geophone
e) OYO
f) Merupakan alat yang berfungsi untuk membaca data yang terekam oleh
geophone
g) Geophone
Geophone merupakan alat yang sistemnya berupa kumparan dan berguna
untuk merekam data kecepatan yang diberikan oleh sumber.
h) Kabel Geophone
Kabel geophone berfungsi sebagai konektor anatara geophone dengan OYO.
4.3.......................................................................................................................Diagra
150
Refraksi Forward Linear (Refraksi Forward)
100 f(x) = - 3.7x + 108.33
Langsung Reverse
TIME (ms) Linear (Langsung Reverse)
50 f(x) = - 5.05x + 93.57 f(x) = 2.1x + 28.73
f(x) = 3.92x - 5.81
Refraksi Reverse Linear (Refraksi Reverse)
0
0 5 10 15 20 25
Linear (Refraksi Reverse)
Offset (m)
5.2.1.2................................................................................................. Profil
Pada profil bawah permukaan yang tertera di atas, ditunjukkan bahwa dari source
dan geophone terbentang sepanjang 20meter terdapat dua lapisan. Kita dapat
mengetahui lapisan pertama memiliki kedalaman ±1,2meter pada offset 0meter dan
±12meter pada offset 20meter. Lapisan kedua memiliki kedalaman ≥14 meter pada
offset 0meter maupun pada offset 20meter.
Kita bisa menginterpretasi profil bawah permukaan tersebut dengan menggunakan
tabel kecepatan gelombang P (Kohnen,1974). Berdasarkan tabel tersebut lapisan
pertama memiliki kecepatan V1F 254,77m/s dan V1R 168,06m/s. V1 rerata adalah
211,42m/s dimana lapisan tersebut merupakan soil. Sedangkan lapisan di bawahnya
memiliki kecepatan V2F 476,19/s dan V2R 270,27/s. V2 rerata adalah 373,2304m/s
dimana pada tabel adalah soil dengan kecepatan VP 100-500m/s.
Dari hasil pengolahan data, lapisan miring dengan metode ITM memiliki nilai Ic
52,09˚. Berdasarkan nilai Ic tersebut kita dapat mengetahui bahwa pada daerah
penelitian cukup berpotensi untuk terjadi longsor. Hal ini dikarenakan pada umumnya
daerah yang berpotensi longsor memiliki nilai Ic ≥20˚.
Langsung Forward
Grafik CDM
Linear (Langsung Forward)
120
100 f(x) = - 3.7x + 108.33
Refraksi Forward Linear (Refraksi Forward)
80
60 f(x) = - 5.05x + 93.57 f(x) = 2.1x + 28.73
TIME (ms)
40 f(x) = 3.92x - 5.81
Langsung Reverse Linear (Langsung Reverse)
20
0
0 5 10 15 20 25
Refraksi Reverse Linear (Refraksi Reverse)
Offset (m)
Grafik T-X
Gambar 5.3. Grafik T-X CDM Lapisan Miring
Pada grafik T-X di atas ditunjukkan bahwa ketika nilai offset 0m dan time 0ms
hingga offset 16m dan time 64,533ms merupakan gelombang forward langsung (direct)
yang ditandai garis berwarna biru. Persamaan yang berlaku pada garis biru tersebut
adalah y=3,921x – 5.806. Kemudian dibiaskan ketika nilai offset 16m dan time 62,8ms
hingga offset 20m dan time 71,2ms merupakan gelombang forward refraksi yang
ditandai garis berwarna hijau. Persamaan yang berlaku pada garis berwarna hijau adalah
y=2,1x+28,73. Sedangkan ketika nilai offset 20m dan time 0ms hingga offset 8m dan
time 47,6 ms merupakan gelombang reverse langsung (direct) yang ditandai garis
berwarna merah. Persamaan yang berlaku pada garis merah adalah y=-5,053x+93,57.
Kemudian dibiaskan ketika nilai offset 6m dan time 50,8ms hingga offset 0m dan time
110ms merupakan gelombang reverse refraksi yang ditandai garis berwarna ungu.
Persamaan yang berlaku pada garis ungu adalah y=-3,7+108,3.
Berdasarkan grafik tersebut, gelombang langsung (direct) baik forward atau reverse
terekam lebih dulu dari gelombang refraksi. Gelombang langsung ini berlangsung dari
titik pertama hingga titik ke delapan (forward) dan titik pertama sampai titik ke tujuh
(reverse). Selanjutnya terjadi pembiasan dari titik ke sembilan sampai titik ke terakhir
(forward) dan titik ke delapan sampai titik terakhir (reverse). Hal ini menunjukkan
bahwa dari hasil pengukuran yang dilakukan, kita memperoleh gambaran dua lapisan
miring di bawah permukaan.
5.2.2.2................................................................................................. Profil
Bawah Permukaan
Gambar 5.4. Profil Bawah Permukaan CDM Lapisan Miring
Pada profil bawah permukaan yang tertera di atas, ditunjukkan bahwa dari source
dan geophone terbentang sepanjang 20meter terdapat dua lapisan. Kita dapat
mengetahui lapisan pertama memiliki kedalaman ±2,3meter pada offset 0meter dan
±2,8meter pada offset 20meter. Lapisan kedua memiliki kedalaman ≥2,9meter pada
offset 0meter dan pada offset 20meter.
Kita bisa menginterpretasi profil bawah permukaan tersebut dengan menggunakan
tabel kecepatan gelombang P (Kohnen,1974). Berdasarkan tabel tersebut lapisan
pertama memiliki kecepatan V1F 254,78m/s dan V1R 168,1/s. V1 rerata adalah 211,42/s
dimana lapisan tersebut merupakan soil. Sedangkan lapisan di bawahnya memiliki
kecepatan V2F 476,2m/s dan V2R 270,27m/s. V2 rerata adalah 373,2304m/s dimana
pada tabel adalah soil dengan kecepatan VP 100-500m/s.
Dari hasil pengolahan data, lapisan miring dengan metode CDM memiliki nilai Ic
52,09˚. Berdasarkan nilai Ic tersebut kita dapat mengetahui bahwa pada daerah
penelitian berpotensi longsor. Hal ini dikarenakan pada umumnya daerah yang
berpotensi longsor memiliki nilai Ic ≥20˚.
Gambar 5.5. merupakan peta kecepatan V1 pada lapangan 1 dan 2. Peta kecepatan
sendiri adalah peta yang menggambarkan cepat rambat gelombang di lapisan bawah
permukaan dan terekam oleh geophone. Peta di atas menggambarkan kecepatan
gelombang pada lintasan pengukuran kelompok 1, 2 , 3 dan 4 pada peta kiri dan
kelompok 5, 6, 7 dan 8 pada peta kanan.
Legenda berupa skala warna pada peta V1 lapangan 1 merupakan keterangan
terkait kecepatan wilayah pengukuran. Warna ungu hingga biru mengindikasikan
kecepatan rambat gelombang dengan nilai 100-600m/s. Warna hijau hingga kuning
mengindikasikan kecepatan rambat gelombang dengan nilai 600-1100m/s. Warna
kuning hingga merah mengindikasikan kecepatan rambat gelombang dengan nilai 1100-
1700m/s.
Sedangkan skala warna pada peta V1 lapangan 2 merupakan keterangan terkait
kecepatan wilayah pengukuran yang mana warna ungu hingga biru mengindikasikan
kecepatan rambat gelombang dengan nilai 200-280m/s. Warna hijau hingga kuning
mengindikasikan kecepatan rambat gelombang dengan nilai 280-360m/s. Warna kuning
hingga merah mengindikasikan kecepatan rambat gelombang dengan nilai 360-470m/s.
Lintasan pengukuran kelompok 1 berada pada barat laut peta yang berhimpit
dengan garis tepi peta. Lintasan tersebut berada pada zona yang ditandai oleh warna
relatif ungu dengan kecepatan ±100-300m/s. Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh
Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan terdapat lapisan soil pada
lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 2 berada pada bagian tengah peta dan mengarah
ke tenggara peta. Lintasan tersebut berada pada zona yang ditandai oleh warna relatif
biru dengan kecepatan ±300-600m/s. Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen,
1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan terdapat lapisan soil pada lintasan
tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 3 berada pada bagian tenggara peta yang
mengarah dari timur hingga ke selatan peta. Lintasan tersebut berada pada zona yang
ditandai oleh warna relatif ungu dengan kecepatan ±100-300m/s. Berdasarkan tabel
kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan terdapat
lapisan soil pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 4 berada pada bagian tengah peta dan mengarah
ke barat daya peta. Lintasan tersebut berada pada zona yang ditandai oleh warna relatif
merah dengan kecepatan ±1500-1700m/s. Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh
Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan terdapat lapisan pasir lepas
pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 5 berada pada utara peta. Lintasan tersebut berada
pada zona yang ditandai oleh warna relatif kuning dengan kecepatan ±380-390m/s.
Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut
mengindikasikan terdapat lapisan soil pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 6 berada di tengah peta. Lintasan tersebut berada
pada zona yang ditandai oleh warna relatif ungu dengan kecepatan ±200-220m/s.
Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut
mengindikasikan terdapat lapisan soil pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 7 berada di tengah peta. Lintasan tersebut berada
pada zona yang ditandai oleh warna relatif ungu dengan kecepatan ±210-230m/s.
Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut
mengindikasikan terdapat lapisan soil pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 8 berada pada selatan peta. Lintasan tersebut
berada pada zona yang ditandai oleh warna relatif biru dengan kecepatan ±250-260m/s.
Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut
mengindikasikan terdapat lapisan soil pada lintasan tersebut.
Perbedaan yang menonjol dari peta kecepatan V1 pada lapangan 1 dan 2 adalah
rentang nilai kecepatan pada setiap lintasan. Lintasan di lapangan 1 memiliki rentang
kecepatan yang cukup jauh karena arah pengambilan data memotong kontur. Sedangkan
lintasan di lapangan 2 memiliki rentang kecepatan yang kecil karena arah pengambilan
data searah dengan kontur. Namun kedua peta didominasi oleh soil.
Daerah Sleman didominasi lebih dari 90% oleh endapan vulkanik Merapi muda.
Sisanya tersusun oleh sedimen dan batuan terobosan. Jenis tanah yang mendominasi
Sleman adalah regosol. Apabila dikaji lebih dalam mengenai pedogenesis, maka regosol
merupakan tanah yang terbentuk dari abu vulkanik yang kemudian terendapkan dan
mengandung fraksi pasir lebih dari 60%.
Sedangkan pasir terbentuk dari batuan hasil erupsi gunung api yang kemudian
tertransportasi jauh dari sumbernya sehingga ukuran butirnya mengecil. Selama proses
transportasi tersebut batuan mengalami pelapukan baik secara fisik maupun kimia
sehingga secara umum partikelnya lemah. Kedua hal tersebut disebabkan karena daerah
Sleman berada di selatan gunung Merapi. Informasi geologi lokal tersebut sangat
mendukung data seismik yang diperoleh, sehingga hasil akuisisi, pengolahan dan
interpretasi baik lapangan 1 maupun 2 cukup akurat.
5.2.4. Perbandingan Peta V2 Lapangan 1 dan 2
Gambar 5.6. merupakan peta kecepatan V2 pada lapangan 1 dan 2. Peta kecepatan
sendiri adalah peta yang menggambarkan cepat rambat gelombang di lapisan bawah
permukaan dan terekam oleh geophone. Peta di atas menggambarkan kecepatan
gelombang pada lintasan pengukuran kelompok 1, 2 , 3 dan 4 pada peta kiri dan
kelompok 5, 6, 7 dan 8 pada peta kanan.
Legenda berupa skala warna pada peta merupakan keterangan terkait kecepatan
wilayah pengukuran. Warna ungu hingga biru mengindikasikan kecepatan rambat
gelombang dengan nilai 100-900m/s. Warna hijau hingga kuning mengindikasikan
kecepatan rambat gelombang dengan nilai 1000-1800m/s. Warna kuning hingga merah
mengindikasikan kecepatan rambat gelombang dengan nilai 1800-2800/s.
Sedangkan skala warna pada peta V2 lapangan 2 merupakan keterangan terkait
kecepatan wilayah pengukuran yang mana warna ungu hingga biru mengindikasikan
kecepatan rambat gelombang dengan nilai 340-480m/s. Warna hijau hingga kuning
mengindikasikan kecepatan rambat gelombang dengan nilai 480-640m/s. Warna kuning
hingga merah mengindikasikan kecepatan rambat gelombang dengan nilai 640-840m/s.
Lintasan pengukuran kelompok 1 berada pada barat laut peta yang berhimpit
dengan garis tepi peta. Lintasan tersebut berada pada zona yang ditandai oleh warna
relatif ungu dengan kecepatan ±100-900m/s. Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh
Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan terdapat lapisan soil pada
lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 2 berada pada bagian tengah peta dan mengarah
ke tenggara peta. Lintasan tersebut berada pada zona yang ditandai oleh warna relatif
biru dengan kecepatan ±400-800m/s. Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen,
1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan terdapat lapisan pasir lepas kering pada
lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 3 berada pada bagian tenggara peta yang
mengarah dari timur hingga ke selatan peta. Lintasan tersebut berada pada zona yang
ditandai oleh warna relatif ungu dengan kecepatan ±100-400m/s. Berdasarkan tabel
kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan terdapat
lapisan soil pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 4 berada pada bagian tengah peta dan mengarah
ke barat daya peta. Lintasan tersebut berada pada zona yang ditandai oleh warna relatif
merah dengan kecepatan ±2500-2800/s. Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh
Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan terdapat lapisan batupasir pada
lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 5 berada pada utara peta. Lintasan tersebut berada
pada zona yang ditandai oleh warna biru dengan kecepatan ±400-420m/s. Berdasarkan
tabel kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut mengindikasikan
terdapat lapisan soil pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 6 berada di tengah peta. Lintasan tersebut berada
pada zona yang ditandai oleh warna relatif ungu dengan kecepatan ±360-380m/s.
Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut
mengindikasikan terdapat lapisan soil pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 7 berada di tengah peta. Lintasan tersebut berada
pada zona yang ditandai oleh warna relatif ungu dengan kecepatan ±360-380m/s.
Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut
mengindikasikan terdapat lapisan soil pada lintasan tersebut.
Lintasan pengukuran kelompok 8 berada pada selatan peta. Lintasan tersebut
berada pada zona yang ditandai oleh warna relatif biru dengan kecepatan ±700-720m/s.
Berdasarkan tabel kecepatan batuan oleh Kohnen, 1974 pada kecepatan tersebut
mengindikasikan terdapat lapisan pasir lepas kering pada lintasan tersebut.
Perbedaan yang menonjol dari peta kecepatan V2 pada lapangan 1 dan 2 adalah
rentang nilai kecepatan pada setiap lintasan. Lintasan di lapangan 1 memiliki rentang
kecepatan yang cukup jauh karena arah pengambilan data memotong kontur. Sedangkan
lintasan di lapangan 2 memiliki rentang kecepatan yang kecil karena arah pengambilan
data searah dengan kontur. Namun kedua peta didominasi oleh soil.
Daerah Sleman didominasi lebih dari 90% oleh endapan vulkanik Merapi muda.
Sisanya tersusun oleh sedimen dan batuan terobosan. Jenis tanah yang mendominasi
Sleman adalah regosol. Apabila dikaji lebih dalam mengenai pedogenesis, maka regosol
merupakan tanah yang terbentuk dari abu vulkanik yang kemudian terendapkan dan
mengandung fraksi pasir lebih dari 60%.
Sedangkan pasir terbentuk dari batuan hasil erupsi gunung api yang kemudian
tertransportasi jauh dari sumbernya sehingga ukuran butirnya mengecil. Selama proses
transportasi tersebut batuan mengalami pelapukan baik secara fisik maupun kimia
sehingga secara umum partikelnya lemah. Batupasir sendiri merupakan susunan atas
butiran-butiran pasir. Kedua hal tersebut disebabkan karena daerah Sleman berada di
selatan gunung Merapi. Informasi geologi lokal tersebut sangat mendukung data
seismik yang diperoleh, sehingga hasil akuisisi, pengolahan dan interpretasi cukup
akurat.
Gambar 5.7. merupakan peta kedalaman menggunakan metode ITM dan CDM.
Peta kedalaman sendiri adalah peta yang menggambarkan kedalaman di lapisan bawah
permukaan berdasarkan hasil pengolahan data kecepatan. Peta di atas menggambarkan
kedalaman pada lintasan pengukuran kelompok 1 menggunakan ITM pada peta kiri dan
menggunakan CDM pada peta kanan.
Legenda berupa skala warna pada peta kedalaman ITM merupakan keterangan
terkait kedalaman wilayah pengukuran. Warna biru hingga ungu mengindikasikan
kedalaman dengan nilai 16-23meter. Warna kuning hingga hijau mengindikasikan
kedalaman dengan nilai 10-16meter. Warna merah hingga kuning mengindikasikan
kedalaman dengan nilai 1-10meter.
Legenda berupa skala warna pada peta kedalaman CDM merupakan keterangan
terkait kedalaman wilayah pengukuran. Warna biru hingga ungu mengindikasikan
kedalaman dengan nilai 11-16meter. Warna kuning hingga hijau mengindikasikan
kedalaman dengan nilai 5-10meter. Warna merah hingga kuning mengindikasikan
kedalaman dengan nilai 0-5meter.
Lintasan pengukuran kelompok 1 berada pada barat laut peta yang berhimpit
dengan garis tepi peta. Berdasarkan peta kedalaman ITM lintasan tersebut berada pada
zona yang ditandai oleh warna relatif merah hingga hijau dengan kedalaman ±1-
12meter. Berdasarkan peta kedalaman CDM lintasan tersebut berada pada zona yang
ditandai oleh warna relatif merah hingga oranye dengan kedalaman ±2-4meter.
Lintasan pengukuran kelompok 2 berada pada bagian tengah peta dan mengarah
ke tenggara peta. Berdasarkan peta kedalaman ITM lintasan tersebut berada pada zona
yang ditandai oleh warna merah hingga biru dengan kedalaman ±1-18meter.
Berdasarkan peta kedalaman CDM lintasan tersebut berada pada zona yang ditandai
oleh warna relatif merah dengan kedalaman ±0-2meter.
Lintasan pengukuran kelompok 3 berada pada bagian tenggara peta yang
mengarah dari timur hingga ke selatan peta. Berdasarkan peta kedalaman ITM lintasan
tersebut berada pada zona yang ditandai oleh warna merah hingga ungu dengan
kedalaman ±1-23meter. Berdasarkan peta kedalaman CDM lintasan tersebut berada
pada zona yang ditandai oleh warna reflatif merah dengan kedalaman ±0-2meter.
Lintasan pengukuran kelompok 4 berada pada bagian tengah peta dan mengarah
ke barat daya peta. Berdasarkan peta kedalaman ITM lintasan tersebut berada pada zona
yang ditandai oleh warna oranye hingga biru dengan kedalaman ±6-16meter.
Berdasarkan peta kedalaman CDM lintasan tersebut berada pada zona yang ditandai
oleh warna relatif merah hingga ungu dengan kedalaman ±0-16meter.
Perbedaan yang menonjol dari peta kedalaman ITM dan CDM adalah rentang
nilai kedalaman pada setiap lintasan. Lintasan di lapangan 1 memiliki rentang
kedalaman yang cukup jauh karena arah pengambilan data memotong kontur.
Sedangkan lintasan di lapangan 2 memiliki rentang kedalaman yang kecil karena arah
pengambilan data searah dengan kontur. Selain itu, peta kedalaman CDM lebih
menyerupai kon kondisi lapangan pada praktikum ini berdasarkan ilustrasi yang
ditampilkan melalui garis kontur.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari praktikum lapangan Metode T-X ini, dihasilkan beberapa data yang berupa
grafik, profil kedalaman, peta kecepatan V1, peta kecepatan V2 dan peta kedalaman.
Secara keseluruhan, kesimpulan yang dapat ditarik dari praktikum lapangan Metode T-
X ini antara lain:
1. Grafik T-X pada ITM maupun CDM memiliki hasil yang sama, hal ini karena
perbedaan keduanya adalah nilai kedalaman. Gelombang forward langsung
terjadi pada titik pengukuran 1 sampai 8 lalu pada titik ke 9 sampai 11 adalah
gelombang forward refraksi. Gelombang reverse langsung terjadi pada titik
pengukuran 1 sampai 8 lalu pada titik ke 9 sampai 11 adalah gelombang reverse
refraksi.
2. Profil kedalaman ITM dan CDM memiliki kesamaan nilai kecepatan V1 =
211,42m/s dan V2 = 373,2304m/s. Pada kedua lapisan tersebut terindikasi soil
yang pada tabel kecepatan batuan (Kohnen, 1974) memiliki nilai kecepatan 100-
500m/s. Sedangkan perbedaan profil kedalaman ITM dan CDM adalah pada
lapisan pertama ITM memiliki kedalaman ±1,2meter pada offset 0meter dan
±12meter pada offset 20meter. Lapisan kedua memiliki kedalaman ≥14 meter
pada offset 0meter maupun pada offset 20meter. Pada lapisan pertama CDM
memiliki kedalaman ±2,3meter pada offset 0meter dan ±2,8meter pada offset
20meter. Lapisan kedua memiliki kedalaman ≥2,9meter pada offset 0meter dan
pada offset 20meter.
3. Berdasarkan data yang dihasilkan yaitu nilai Ic (sudut kritis) pada lapisan
miring, kita dapat menginterpretasi terkait mitigasi bencana. Pada ITM dan
CDM nilai Ic 52,09˚ sehingga pada daerah penelitian berpotensi terjadi longsor.
5.2. Saran
Dalam kegiatan eksplorasi seismik refraksi menggunakan ITM dan CDM,
praktikan sebaiknya lebih teliti dalam akuisisi, pengolahana serta interpretasi karena
cukup rumit. Selain itu, diperlukan pengetahuan lebih terkait geologi untuk menunjang
keakuratan data yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Seno, Wrego dan Tim Asisten Seismik Refraksi. 2017. Buku Panduan Praktikum
Seismik Refraksi. Yogyakarta: UPN “Veteran” Yogyakarta.