Anda di halaman 1dari 7

Fungsi Aqidah Dalam Islam

Sesuai dengan fungsinya sebagai dasar agama, maka keberadaan aqidah


Islam sangat menentukan bagi seorang muslim, sebab dalam system teologi
agama ini diyakini bahwa sikap, perbuatan dan perubahan yang terjadi dalam
perilaku dan aktivitas seseorang sangat dipengaruhi oleh system teologi atau
aqidah yang dianutnya. Untuk itu signifikansi akidah dalam kehidupan
seseorang muslim dapat dilihat paling tidak dalam empat hal, yaitu:

1. Aqidah Islam merupakan landasan seluruh ajaran Islam. Di atas


keyakinan dasar inilah dibangun ajaran Islam lainya, yaitu syari’ah
(hukum islam) dan akhlaq (moral Islam). Oleh karena itu, pengamalan
ajaran Islam lainya seperti shalat, puasa, haji, etika Islam (akhlak) dan
seterusnya, dapat diamalkan di atas bagunan keyakinan dasar tersebut.
Tanpa keyakinan dasar, pengamalan ajaran agama tidak akan memiliki
makna apa-apa.
2. Akidah Islam berfungsi membentuk kesalehan seseorang di dunia,
sebagai modal awal mencapai kebahagiaan di akhirat. Hal ini secara
fungsional terwujud dengan adanya keyakinan terhadap kehidupan
kelak di hari kemudian dan setiap orang mempertanggungjawabkan
perbuatanya di dunia.
3. Akidah Islam berfungsi menyelamatkan seseorang dari keyakinan-
keyakinan yang menyimpang, seperti bid’ah, khurafat, dan
penyelewengan-penyelewengan lainya.
4. Akidah islam berfungsi untuk menetapkan seseorang sebagai muslim
atau non muslim. Begitu pentingnya kajian akidah islam hingga bidang
ini telah menjadi perbincangan serius di kalangan para ahli sejak
zaman awal Islam sampai hari ini, termasuk di Indonesia. Di dalam
apresiasinya, kajian mengenai bidang ini melahirkan beberapa aliran,
seperti Suni [ Maturidiyah, Asy’ariyah,-Ahlussunnah wal Jama’ah]
Murjiah, Muktazilah, Wahabiyah, Syiah, Khawarij, Qadariyah,
Jabbariyah dan lain-lain.

Berbuat ihsan
1. Ihsan kepada Allah swt.

Yaitu berlaku ihsan dalam menyembah/beribadah kepada Allah baik dalam bentuk ibadah
khusus yang disebut ibadah mahdah (murni) seperti salat, puasa dan sejenisnya. ataupun
ibadah umum yang disebut dengan gairu mahda (Ibadah sosial) seperti belajar-mengajar,
berdagang, makan,tidur, dan semua perbuatan manusia yang tidak bertentangan dengan
aturan agama. Berdasarkan hadis tentang ihsan di atas, ihsan kepada allah mengandung dua
tingkatan berikut ini.

a beribadah kepada Allah seakan akan melihatnya

keadaan ini merupakan tingkatan ihsan yang paling tinggi, karena dia berangkat dari sikap
membutuhkan, harapan dan kerinduan. Doa menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-
Nya.

b. beribadah dengan penuh keyakinan bahwa Allah melihatnya.

Kondisi ini lebih rendah tingkatannya daripada tingkatan yang pertama, karena sikap
ihsannya didorong dari rasa diawasi dan takut akan hukuman.

Kedua jenis ihsan inilah yang akan mengantarkan pelakunya kepada puncak keikhlasan
dalam beribadah kepada Allah swt. jauh dari motif riya'.

2. Ihsan kepada sesama makhluk ciptaan Allah swt.

dalam Q.s al-Qassash/28:77 Allah berfirman :

"... dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang orang yang berbuat kerusakan."

Dari berbagai ayat dan hadis, berbuat kebajikan (ihsan) kepada sesama makhluk Allah swt.
meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya. lebih kongkritnya seperti penjelasan berikut :

a. Ihsan kepada kedua Orang tua

Allah berfirman : " Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia.Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S Al-Isra'/17:23-24)

Dalam sebuah hadis riwayat at-tirmizi dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda
(artinya): "Keridaan Allah berada pada keridaan orang tua dan kemurkaan Allah berada
pada kemurkaan Orang tua" (HR at-Tirmizi).

Berbuat baik kepada orang tua ialah dengan cara mengasihi, memelihara dan menjaga mereka
dengan sepenuh hati serta memenuhi semua keinginan mereka selama tidak bertentangan
dengan aturan Allah Swt. mereka telah berkorban untuk kepentingan anak mereka sewaktu
masih kecil dengan perhatian penuh dan belas kasihan. Mereka mendidik dan mengurus
semua keperluan anak anak ketika masih lemah. Selain itu, orangtua memberikan kasih
sayang yang tidak ada tandingannya. jika demikian, apakah tidak semestinya orang tua
mendapat perlakuan yang baik pula sebagai imbalan dari budi baiknya yang tulus itu?
sedangkan Allah Swt telah menegaskan dalam firman-Nya: "Tidak ada balasan untuk
kebaikan kecuali kebaikan (pula)"(Q.S Ar-Rahman/55:60)

 b. Ihsan kepada kerabat karib

menjalin hubungan baik dengan karib kerabat adalah bentuk ihsan kepada mereka, bahkan
Allah menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silaturahmi dengan perusak di
muka bumi. Allah berfirman : "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Q.S
Muhammad/47:22).

Silaturahmi merupakan kunci menapat keridaan Allah sebab paling utama terputusnya
hubungan seorang hamba dengan tuhannya adalah karena terputusnya hubungan
silaturahmi .dalam hadis qudsi, allah berfirman :" Aku adalah Allah, aku adala Rahman, dan
aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku, Maka, barang siapa
yang menyambungnya, akan Kusambungkan pula baginya dan barangsiapa yang
memutuskannya, akan Ku putuskan hubanganKu dengannya" (H.R at-tirmizi)

c. Ihsan kepada Anak Yatim.

Berbuat baik kepada anak yatim ialah dengan cara mendidiknya dan memelihara hak haknya.
Banyak ayat dan hadis menganjurkan berbuat baik kepada anak yatim, di antaranya adalah
sabda Rasulullah saw : "Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan
seperti ini... (seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya). " (H.R al-Bukhari, Abu
Dawud, dan at-Tirmizi)

d. Ihsan kepada fakir miskin.

Berbuat ihsan kepada orang miskin ialah dengan memberi bantuan kepada mereka terutama
pada saat mereka mendapat kesulitan. Rasulullah bersabda, "Orang orang yang menolong
janda dan orang miskin, seperti orang yang berjuang di jalan Allah" (HR Muslim dari Abu
Hurairah)

e. Ihsan kepada Tetangga.

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada
di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari
rumah.

Teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman
sekolah atau kampus, perjalan, ma'had, dan sebagainya. mereka semua masuk kedalam
kategori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi
tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang
tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim
dan, sebagai kerabat.

Rasulullah saw bersabda: "Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman." Para
sahabat bertanya: "Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?" Beliau menjawab:
"Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya." (H.R at-Tabrani)
f. Ihsan kepada tamu

Ihsan kepada tamu secara umum adalah dengan menghormati dam menjamunya. Rasulullah
saw bersabda: " Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan
tamunya" (HR. Jamaah, kecuali Nasa'i)

Tamu yang datang dari tempat yang jauh, termasuk dalam sebutan ibnu sabil (orang yang
dalam perjalanan jauh). cara berbuat ihsan terhadap ibnu sabil dengan memenuhi ke
butuhannya. menjaga hartanya. memelihara kehormatannya, menunjuki jalan jika ia meminta.

g. Ihsan kepada Karyawan/Pekerja

kepada karyawan atau orang orang yang terikat perjanjian kerja dengan kita, termasuk
pembantu, tukang, dan sebagainya, kita diperintahkan agar membayar upah mereka sebelum
keringat mereka kering (segera), tidak membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak
sanggup melakukannya. Secara umum kita juga harus menghormati dan menghargai profesi
mereka.
RELATED:Pengertian Serta Macam Macam dari Riba

h. Ihsan kepada semama manusia

Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari kiamat, hendaklah
ia berkata yang baik atau diam " (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Wahai manusia, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai satu sama lain
dalam pergaulan, menyuruh kepada yang mar'ruf dan mencegah kemungkaran. Menunjuki
jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak hak mereka, dan tidak
menggangu mereka dengan tidak melakukan hal hal dapat mengusik serta melukai mereka.

i Ihsan kepada Binatang.

Berbuat Ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya di luar kemampuannya, tidak menyiksa jika
ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. bahkan pada saat menyembelih hendaklah
dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya serta menggunakan
pisau yang tajam.

"... Maka apabila kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika
kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan
pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya" (HR. Muslim)

j. ihsan kepada Alam sekitar

Alam raya beserta isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. untuk kepentingan
kelestarian hidup alam dan manusia sendiri, alam harus dimanfaatkan secara
bertanggungjawab, Allah berbifrman : ".... dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang berbuat
kerusakan" (Q.S al- Qasas/28:77)

MENERAPKAN NILAI IHSAN

Sikap dan perilaku terpuji yang harus dikembangkan terkait dengan Ihsan ialah semua
perbuatan baik kepada Allah swt. dan kepada sesama makhluk ciptaannya. Secara ringkas
perilaku tersebut ialah.

1. Melakukan ibadah ritual (salat, zikir dan sebagainya) dengan penuh kekhusyukan dan
keikhlasan;
2. Birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orangtua), dengan mengikuti semua
keinginannya jika memungkinkan, dengan syarat tidak bertentangan dengan aturan Allah swt;
3. Menjalin hubungan baik dengan kerabat;
4. Menyantuni anak yatim dan fakir miskin;
5. Berbuat baik kepada tetangga;
6. Berbuat baik kepada teman sejawat;
7. Berbuat baik kepada tamu dengan memberikan jamuan dan penginapan sebatas
kemampuan;
8. Berbuat baik kepada karyawan/pembantu dengan membayarkan upah sesuai perjanjian;
9. membalas semua kebaikan dengan yang lebih baik
10. Membalas kejahatan dengan kebaikan, bukan dengan kejahatan
11. Berlaku baik kepada binatang, dengan memelihara atau memperlakukannya dengan baik.
Jika menyembelih ataupun membunuh, lakukan dengan adab yang baik dan tidak ada unsur
penganiayaan

12. Menjaga kelestarian lingkungan, baik daratan maupun lautan dan tidak melakuka
tindakan yang merusak.

Menerapkan Perilaku Mulia dalam Berbuat Ihsan - mungkin itu yang dapat saya sampaikan,
kurang lebihnya mohon di maafkan karena saya juga manusia yang tak luput dari kesalahan,
apabila itu benar datangnya dari Allah swt. sekian dan terimakasih

‫ َم ْن‬:ُ‫ْت َرسُوْ َل هللاِ صلى هللا عليه وسلم يَقُوْ ل‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ع َْن أَبِي َس ِعيْد ْال ُخ ْد ِري َر‬
‫ف‬ُ ‫ َع‬l‫ض‬ْ َ‫كَ أ‬llِ‫ ِه َو َذل‬l ِ‫تَ ِط ْع فَبِقَ ْلب‬l‫إ ِ ْن لَ ْم يَ ْس‬lَ‫ ف‬،‫انِ ِه‬l‫تَ ِط ْع فَبِلِ َس‬l ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْس‬،‫َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكراً فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه‬
‫رواه مسلم‬. ‫ْا ِإل ْي َما ِن‬
Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Siapa
yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka
rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal
tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)[3]

Ø  Penjelasan Hadist
          Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar berasal dari kata bahasa Arab ‫ أمر‬/ ‫األمر‬ merupakan
mashdar atau kata dasar dari fi’il atau kata kerja ‫أمر‬ yang artinya memerintah atau menyuruh.
Jadi ‫ أمر‬/ ‫ر‬ll‫األم‬ artinya perintah. l‫روف‬ll‫مع‬ artinya yang baik atau kebaikan / kebajikan.
Sedangkan ‫بيح‬ll‫ر الق‬ll‫ر = األم‬ll‫المنك‬ yaitu perkara yang keji.[4] Yang dimaksud amar ma’ruf
adalah ketika engkau memerintahkan orang lain untuk bertahuid kepada Allah, menaati-Nya,
bertaqarrub kepada-Nya, berbuat baik kepada sesama manusia, sesuai dengan jalan fitrah dan
kemaslahatan.[5] Atau makruf adalah setiap pekerjaan (urusan yang diketahui dan dimaklumi
berasal dari agama Allah dan syara’-Nya. Termasuk segala yang wajib yang mandub. Makruf
juga diartikan kesadaran, keakraban, persahabatan, lemah lembut terhadap keluarga dan lain-
lainnya.
          Sedang munkar adalah setiap pekerjaan yang tidak bersumber dari agama Allah dan
syara’-Nya. Setiap pekerjaan yang dipandang buruk oleh syara’, termasuk segala yang haram,
segala yang makruh, dan segala yang dibenci oleh Allah SWT. Allah berfirman:
‫ االثم والعدوان‬l‫وتعاونواعلى البروالتقوى والتعاونواعلى‬
“Tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan bertaqwalah, serta jangan tolong
menolong dalam hal dosa dan kejahatan”.  (QS. 5 Al Maidah: 2)
            Termasuk tolong menolong ialah menyerukan kebajikan dan memudahkan jalan
untuk kesana , menutup jalan kejahatan dan permusuhan dengan tetap mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.[6]
            Agama Islam adalah agama yang sangat memperhatikan penegakan Amar Ma’ruf dan
Nahi Munkar. Amar Ma’ruf merupakan pilar dasar dari pilar-pilar akhlak yang mulia lagi
agung. Kewajiban menegakkan kedua hal itu adalah merupakan hal yang sangat penting dan
tidak bisa ditawar bagi siapa saja yang mempunyai kekuatan dan kemampuan melakukannya.
Bahkan Allah swt beserta RasulNya mengancam dengan sangat keras bagi siapa yang tidak
melaksanakannya sementara ia mempunyai kemampuan dan kewenangan dalam hal tersebut.
[7]
             

  ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرا‬


Menurut beberapa ulama maksud dari hadis ini adalah ketika ada kemungkaran maka harus
diubah dengan beberapa cara, yaitu :
·       Kekuasaan bagi para penguasa
·       Nasihat atau ceramah bagi para Ulama, kaum cerdik pandai, juru penerang, para wakil rakyat,
dan lain-lain.
·       Membencinya di dalam hati bagi masyarakat umum.
            Setiap orang memiliki kedudukan dan kekuatan sendiri-sendiri untuk mencegah
kemungkaran. Dengan kata lain, hadis tersebut menunjukkan bahwa umat Islam harus
berusaha melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar menurut kemampuannya, sekalipun hanya
melalui hati. [8] ada beberapa karakter masyarakat dalam menyikapi amar ma’ruf nahi
munkar. Antara lain :
1.      Memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar, atau dinamakan karakter orang
mukmin.
2.      Memerintahkan yang munkar dan melarang yang ma’ruf, atau dinamakan karakter orang
munafik.
3.      Memerintahkan sebagian yang ma’ruf dan munkar, dan melarang sebagian yang ma’ruf dan
munkar. Ini adalah karakter orang yang suka berbuat dosa dan maksiat.[9]

            Dengan melihat ketiga karakter tersebut, maka sudah jelas bahwa tugas beramar
ma’ruf nahi munkar bukanlah hanya tugas seorang da’i, mubaligh, ataupun ustadz saja,
namun merupakan kewajiban setiap muslim. Dan ini merupakan salah satu kewajiban penting
yang diamanahkan Rasulullah SAW kepada seluruh kaum muslim sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing. Rasulullah mengingatkan, agar siapa pun jika melihat
kemunkaran, maka ia harus mengubah dengan tangan, dengan lisan, atau dengan hati, sesuai
dengan kapasitas dan kemampuannya.
            Begitu juga Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, beliau menekankan,
bahwa aktivitas “amar ma’ruf dan nahi munkar” adalah kutub terbesar dalam urusan agama.
Ia adalah sesuatu yang penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Jika
aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar’ hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi
rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajalela, satu negeri akan binasa. Begitu juga
umat secara keseluruhan.[10]
            Syaikh Shalih Abdul Aziz menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut :
·         Bahwa ‫فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه‬  (mengubah kemungkaran dengan tangan) bersifat wajib jika disertai
Qudrah (kemampuan dan kekuasan). Contohnya: kepala rumah tangga atau kepala
pemerintahan, mereka wajib mengubah kemungkaran yang terjadi di wilayah kekuasaannya
dengan tangan. Jika tidak, maka mereka berdosa.
·         Namun jika suatu kemungkaran terjadi di luar wilayah kekuasaan seseorang, maka ini di luar
Qudrah, sehingga tidak wajib mengubahnya dengan tangan. Akan tetapi wajib mengingkari
kemungkaran dengan lisan, yaitu dengan dakwah dan nasehat. Jika tidak mampu, maka wajib
mengingkari dengan hati, yaitu dengan membenci dan tidak ridha dengan kemungkaran
tersebut. Tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk tidak bisa mengingkari kemungkaran
dengan hati. Karena jika tidak, sungguh keimanannya dalam bahaya yang besar.
·         Sarat wajibnya nahi munkar menurut hadits di atas adalah ketika “melihat kemungkaran”.
(Jadi tidak boleh nahi munkar yang hanya didasarkan oleh prasangka dan tuduhan atau kabar
burung dan desas-desus. Tidak boleh sengaja memata-matai aib orang dengan dalih
menegakkan nahi munkar).
·         Menurut hadits di atas, yang diubah ketika melihat kemungkaran adalah al-munkar
(kemungkarannya). Adapun pelakunya, maka ini perkara yang berbeda. Menyangkut
penegakan hukuman.[11]

Anda mungkin juga menyukai