Anda di halaman 1dari 11

Menalar Takdir dan Kehendak Bebas:

Mekanisme Evolusi dan Konsekuensinya


Oleh: Fahmi Ilman Anbiya

Sejarah bumi telah dimulai 4 milyar tahun lampau, jauh sebelum kita hadir, jauh sebelum
adanya mahluk pertama hidup, bumi merupakan catastrophe alami. Bumi purba dipenuhi bebatuan
super masif1, yang barangkali hari ini kita tidak dapat melihat mineral murni sebesar itu—dari
struktur geologis semacam itu banyak para ahli yang menyimpulkan kehidupan justru bermula
diatas mineral-mineral raksasa sembari menerima sumbangan energi dari matahari, petir dan
radiasi kosmik.2 Meskipun sebagian peneliti tetap kokoh pada kerangka epistemik yang sejak 1871
sudah mulai diterima para naturalis, surat Darwin kepada Dalton Hooker 3 menjadi fundamental
dalam sejarah pemikiran asal-usul kehidupan.

Para filsuf alam memprakarsai pangkal cerita dari sejarah pemikiran asal-usul kehidupan,
sejak Thales sampai saat ini, kita terus bertanya mengenai dari mana kehidupan bermula dan seperti
apa kekuatan misterius yang barangkali memaksa kehidupan untuk berjalan? Sebelum 1953 4 para
naturalis yang juga berpredikat sebagai seorang saleh mengamini postulat Aristoteles tentang
pneuma5 6, konsekuensi logis dari postulasi Aristoteles mengilhami lahirnya mahzab vitalisme.
Sejarah tentang pneuma berarti juga riwayat pertentangan kompetensi intelektual penganut
Aristotelianisme dan Redisisme7.

Kehidupan merupakan keniscayaan, begitu pula rancangan asal-usul yang sejauh ini masih
merupakan teka-teki bagi umat manusia, berbagai hipotesis tumbuh, menghilang, beberapa

1
Lih. https://www.nytimes.com/2008/12/02/science/02eart.html?_r=1 Diakses pada 8/2/2021
2
Vincent, L. Chemical Ecosystem Selection on Mineral Surfaces Reveals Long-Term Dynamics Consistent with the
Spontaneous Emergence of Mutual Catalysis. 2019. University of Wisconsin-Madison Press. Hal.4
3
Lih. https://www.darwinproject.ac.uk/letter/DCP-LETT-7471.xml
4
Tahun 1953, Stanly Miller dan Harold Urey melakukan eksperimen untuk membuktian suatu hipotesis
abiogenesis yang digagas oleh Alexander Oparin.
5
Further reading: Freudenthal, Gad. Aristotle's Theory of Material Substance: Heat and Pneuma, Form and Soul.
Oxford, U.K.: Clarendon Press, 1995.
6
Abraham, Bos. PNEUMA AS QUINTESSENCE OF ARISTOTLE'S PHILOSOPHY. 2013. Franz Steiner Verlag, Sturrgart.
Hal. 423
7
Redisisme atau sering disebut juga para biogenesisme.
terbengkalai, sebagian timbul kembali. Enam puluh lima tahun sebelum Charles, seorang zoologi,
tahun 1794, Erasmus Darwin mengajukan suatu hipotesis yang sangat kontroversial, bukan hanya
melampaui zamannya, Erasmus menggoncang kerangka epistemik para esensialisme, “Sewaktu
daratan dan lautan barangkali hanya berisi tanaman yang dapat dimakan, jauh sebelum hewan yang
akan memakannya muncul; akankan kita mendalilkan bahwa cikal-bakal dari seluruh kehidupan
organik adalah sebuah benang hidup yang sejenis? 8 Konsepsi kesamaan leluhur pada akhirnya
dipopulerkan oleh cucu Erasmus, Charles Darwin.

Barangkali terbitnya Origin of Species merupakan revolusi intelektual terbesar yang pernah
dialami umat manusia.9 Dua gagasan penting Darwin tertuang dalam Origin, teori kesamaan
leluhur dan seleksi alam.

A. Teori Kesamaan leluhur

Sebelum Darwin, evolusi dipahami melalui mekanika esensialisme 9 yang dipelopori oleh
Lamarck. Para esensialis memahami dunia sebagai gambaran dari suatu yang telah dirancang
sehingga cara berpikir demikian sama sekali menolak keragaman spesies yang berawal dari suatu
entitas tunggal pada masa lampau, para esensialis berpandangan bahwa setiap spesies merupakan
suatu yang konkret dan tak dapat terbagi atau berubah. Namun setelah terbitnya Origin of Species,
para esensialis merubah paradigma berpikir dalam kerangka yang lebih moderat. 10

Teori kesamaan leluhur berusaha melacak keragaman spesies menjadi tingkat yang lebih
homogen, fosil berumur 560 juta tahun yang lalu hingga saat ini dipatenkan sebagai nenek moyang
bersama semua vertebrata, fosil tua itu merupakan Agnatha—ikan tanpa rahang, yang ditemukan
di Yunan, angiospermae muncul pada zaman Trias, serangga pertama dapat ditelusuri keberadaan
380 juta tahun silam. Bukti terkuat dari setiap keberadaan nenek moyang mahluk hidup merupakan
fosil-fosil yang terkubur dalam lapisan tanah—seperti lingkaran tahunan pada pohon, dapat
menunjukan usia atau pada zaman apa tulang-belulang terkubur. Selama 3 milyar tahun sejarah
kehidupan, mahluk hidup tenggelam dan muncul, punah dan bervariasi, walaupun seleksi alam

8
Further Reading: Darwin, E. Zoonomia: or the Laws of Organic Life. 1794. London. Vol.1 9
Mayr. Ernst. Evolusi: dari teori ke Fakta. 2010. KPG. Jakarta. Hal 11.
9
Bowler, Peter J. Evolution. The History of an Idea. University of California Press. Hal. 128
10
Lih. https://evolution.berkeley.edu/evolibrary/article/history_12 “Cherles Lyell salah satu tokoh essensialisme,
merubah pandangannya tentang evolusi melalui teori Catastropisme dan Uniformitarianism.”
menunjukan lebih banyak kehidupan yang telah hilang daripada yang hidup hingga saat ini. tak
jarang fosil yang ditemukan para arkeolog menunjukan variasi yang sama sekali berbeda dari
mahluk hidup yang masih ada hingga saat ini, sehingga beberapa filogeni harus berubah.

Celah dari sukarnya pencarian dan kategorisasi fosil seringkali menjadi pencerah bagi para
kreasionisme untuk menunjukan betapa ratahnya teori kesamaan leluhur, misalnya ketika nenek
moyang manusia mengambil jalan yang berbeda dari nenek moyang gorilla lebih dari 6 juta tahun
lalu, terjadi di Afrika, akibat keringnya gurun Sahara sekelompok Hominid terbelah menjadi tiga
kelompok besar11, sebagian bermigrasi ke utara, tempat yang penuh dengan semak dan jarang
sekali ditemukan hutan lebat. 2,5 juta tahun lalu akibat pleistocene glaciation12, habitat pepohonan
begitu dirugikan, iklim yang sangat dingin dan kering tidak bisa menjadi penunjang kehidupan
bagi beberapa pohon, namun beruntung untuk beberapa semak yang secara genotipe lebih luwes
beradaptasi dengan temperatur cukup rendah. Dengan demikian Australopitechus di utara mulai
melakukan ekspedisi dengan dua kaki (bipedal), menelusuri semak, menggunakan batu sebagai
alat berburu dan mulai berpisah dengan simpanse serta ordo primata yang lain. (Gambar 1.1)

Teori kesamaan leluhur, umumnya dilandasi oleh suatu sistem taksonomi yang dicetuskan
oleh Linneaus. 13 14
Menentukan takson mahluk hidup merupakan suatu usaha yang tergantung
pada kecermatan peneliti dalam menalaah fosil. Sebelum maraknya biologi molekuler, teori
kesamaan leluhur dirangkai oleh filetik suatu mahluk hidup. Usaha ini, walaupun menjadi bentuk
perlawanan terbesar bagi Darwin 15 , nyatanya cukup berhasil diteruskan oleh beberapa peneliti
setelahnya. Walaupun begitu, celah (missing link) di antara takson sering ditemukan akibat
graduasi geologis dengan tempo yang lama atau fosil yang sudah hancur terurai renik.

Teori kesamaan leluhur yang sebelumnya merupakan spekulasi Erasmus sejak 1859 mulai
menjadi suatu fakta yang cukup mencengankan bagi pada esensialis dan kreasionis, terlebih lagi
ketika biologi molekuler pada 1940-an mengalami perkembangan pesat sehingga, penelusuran usia

11
Mayr. Ernst. Evolusi: dari teori ke Fakta. 2010. KPG. Jakarta. Hal 290
12
Ehlers, Jürgen; Gibbard, Philip. Quaternary glaciation; Encyclopedia of Snow, Ice and Glaciers. Encyclopedia of
Earth Sciences Series. 2011. Hal 873-882
13
Further Reading: Carl Linnaeus. "Volume 2. Regnum Vegetabile. Systema Naturae (10th ed.). Stockholm:
Laurentius Salvius. 1759
14
Taksonomi Linnaeus berdasarkan suatu kesamaan pada ciri fenotip mahluk hidup.
15
Mayr. Ernst. Evolusi: dari teori ke Fakta. 2010. KPG. Jakarta. Hal 77.
nenek moyang mahluk hidup mulai ditentukan oleh jam radioaktif.16 17 Hingga saat ini penelitian
tentang kesamaan leluhur sangat konsisten dengan apa yang menjadi hipotesis bagi Darwin, para
antropolog, gelogis hingga peneliti biologi molekuler18 tidak berhenti dalam penemuan-penemuan
mengagumkan tentang leluhur kita, suatu renggang yang terlihat dalam sejarah kesamaan leluhur
adalah cacat tersendiri bagi para evolusionis.

Gambar 1.1

Filogenik nenek moyang bersama manusia.

16
E. Tamm. Nuclear laser spectroscopy of the 3.5 eV transition in 229Th. 2003. Hal 181-186
17
Perhitungan waktu akibat peluruhan unsur A dengan hasil nisbah unsur B
18
Lih. https://jurnal.ugm.ac.id/teknosains/article/view/7973
B. Seleksi Alam

Pertanyaan tentang mengapa spesies yang hidup bisa sangat beranekaragam pada mulanya
hanya bisa dijawab oleh ketetapan kreasionisme.19 Namun semenjak 1940—diawali oleh sintesis
evolusi modern 20 , logika evolusi semakin kokoh akibatnya keragaman mahluk hidup serta
bagaimana cara populasi dapat bervariasi dapat dijelaskan dengan gamblang oleh biologi modern.
Walaupun demikian beberapa evolusioner modern mengalami stagnasi dalam penempatan
paradigma epistemologinya, sebagian merupakan para egoisisme (seleksi gen) dengan Dawkins22
sebagai acuannya, sisanya merupakan para altruisme yang digagas oleh Maynard Smith. 21

Seleksi alam merupakan mekanisme kunci dalam memahami ekonomi evolusi, tidak
seperti lamarckisme yang melabeli evolusi sebagai tahap seleksi atau perubahan terus-menerus
dalam suatu individu, Darwin memahami evolusi sebagai perubahan dan pewarisan sifat pada
derajat populasi.22 Seleksi alam pada dasarnya selalu terjadi tanpa atau kita sadari, alam secara
kontinu mengeliminasi sekalian ketidakbergunaan dalam dirinya sendiri, sesuatu yang barangkali
tidak cocok untuk nilai keseimbangan atau terlalu boros untuk dipertahankan lambat-laun, setiap
jam, setiap detik, alam selalu bekerja menyesuaikan segala sifat-sifat yang sesuai dengan dirinya.
Variasi yang saat ini dapat kita saksikan merupakan yang paling ideal (fitted) diantara begitu
banyak spesies lampau yang sudah punah.

Variasi di alam dapat terjadi kerena masifnya proses seleksi yang sebagian besar
menghasilkan kebaruan (novelty), dalam relung populasi hewan, murni akan selalu ada perbedaan
sifat akibat suatu perubahaan atau persaingan di alam, misalnya sosietas spesies hewan yang
terisolasi oleh rentang geologis yang begitu jauh (allopatric speciation) akibat migrasi atau

19
Teori penciptaan
20
“Sintesis evolusioner modern merupakan perpaduan gagasan berbagai bidang keahilian biologi yang
menjelaskan evolusi secara logis. Sintesis modern umumnya diterima luas oleh kebanyakan ahli biologi.
Sintesis modern dikembangkan selama satu dasawarsa (1936–1947) dan perkembangan genetika populasi
(1918–1932) merupakan gaya dorong lahirnya sintesis modern. Sintesis modern menunjukkan bahwa genetika
Mendel konsisten dengan seleksi alam dan evolusi gradual.” 22 Further Reading: Selfish Gene by Richard
Dawkins
21
Further Reading: Evolution and the Theory of Games by John Maynard Smith
22
Cf. Darwin, Charles. Origin of Species: Teori Evolusi Manusia. 2020. Indoliterasi. Yogyakarta. Hal. 79
bencana (genetic drift) atau persaingan memperoleh sumber daya yang maksimal pada relung
tertentu (coevolution) dan proses frekuensi perkawinan serta diferensiasi perilaku (sympatric
speciation), lambat-laun menghasilkan spesiasi. Selanjutnya, perbedaan genotipe dan fenotipe
dalam spesies yang “beradaptasi” ini dapat menghasilkan suatu kombinasi yang sama sekali baru
(heredity), kombinasi terjadi saat spesies melakukan reproduksi, sel gamet pembawa sifat indukan
akan mewarisi suatu kebaruan dalam beberapa generasi setelahnya. (lihat gambar 1.2)

Gambar 1.2

Persebaran Ursus di benua Amerika.

Dalam kerangka Darwinian yang holistik dapat disimpulkan bahwa suatu kontinuitas
perubahan selalu merangkap dengan kausalitas, maka konsekuensi logis dari evolusi justru
meniadakan kehendak bebas, apa yang seharusnya dilakukan oleh mahluk hidup merupakan
keharusan yang telah “dirancang” sedemikian rupa oleh kehendak alam, kehendak bebas
merupakan suatu delusi atas ketidakmampuan kita melaah motif-motif di balik setiap perilaku
diri.23 Beberapa evolusionis modern seperti Robert Trivers, mengungkapkan bahwa penolakan

23
Ridley, Matt. Genom: Kisah Spesies Manusia Dalam 23 Bab. 2005. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 413
terhadap determinisme biologis merupakan suatu kebohongan yang barangkali membantu manusia
dalam peran adaptasinya. 24 Dewasa ini pihak yang hampir selalu disalahkan atas terjadinya
determinisme biologis adalah genom.

Dublin, 1943. Erwin Schrodinger, setelah begitu banyak berseteru dengan dunia kuantum,
ditengah kesibukan luar biasa, disuatu aula Trinity Collage, ia mengawali ceramah dengan tajuk
“Apakah Hidup Itu?” ia merasa demikian menemukan suatu rahasia kehidupan, dimana letak
perilaku, bentuk dan segala hal yang disebut hidup, sedang dan telah dirancang sedemikian rupa
diruang kecil bernama kromosom. 25 Genom merupakan suatu autobiografi mahluk hidup yang
begitu rumit, dirancang oleh hanya 4 huruf yang setiap satu huruf melambangkan satu basa
nitrogen (adenin, citosin, guanin dan timin—nukleotida penyusun DNA)26, ke 4 huruf tersebut
menyusun suatu paragraf (Ekson) untuk melakukan sintesis protein. Dewasa ini penelitian
menyangkut genom berkembang sangat pesat, banyak para moralis menentang rencana besar
tentang pembacaan genom. Nampaknya beberapa orang begitu khawatir akan suatu rahasia besar
yang mungkin terungkap dari translasi genom, kisah tentang masa depan dan masa lalu, kecerdasan
dan perilaku hingga rahasia tentang kematian tersimpan rapi di dalam seutas benang kehidupan.
Beberapa temuan terkini perihal sifat protein dalam genom sudah dapat kita telusuri, beberapa
ternyata mengatur kehendak manusia, sisanya mengatur persoalan takdir setiap individu.

Dalam genom mahluk hidup seringkali terjadi suatu pengulangan kata yang justru
merugikan bagi kelestarian, tampaknya evolusi tidak selalu berjalan dengan baik, beberapa
penyakit yang diturunkan biasanya bersifat genetic dan tentu saja, tidak ada satupun psikolog
handal atau dokter hebat hingga saat ini yang mampu menyembuhkan penyakit genetic. Jika dalam
kromosom 4 seseorang terjadi pengulangan kata CAG sebanyak 39 kali atau lebih, maka
kewarasan dan kematiannya sudah ditentukan bahkan sebelum menghadapi kehidupan 27, penyakit
ini dinamai untuk menghargai seorang dokter yang pertama kali mendiognosanya, George
Huntington. Penyakit huntington merenggut fungsi otak dan kesadaran manusia pada usia baya,
biasanya tergantung pada jumlah pengulangan kata CAG dalam kromosom manusia, semakin

24
Further Reading: Trivers, Robert. Natural Selection and Social Theory. 2002. Oxford University Press.
25
Schrodinger, Erwin. What is Life?. 1994. Dublin Institute. Hal. 7
26
Further Reading: Travers, Andrew. DNA Structure and Function. 2015. The FEBS Journal. Vol. 282
27
Wexler, M. Clairvoyance and Caution: Repercussion from the Human Genom Project. 1992. Harvard University
Press. Hal. 211
banyak laju pengulangan maka semakin cepat seorang menderita penyakit huntington. Setelah
fatwa tentang kematian datang dari kromosom 4, selanjutnya kisah kematian datang dari onkogen,
suatu gen yang bersembunyi pada ujung kromosom 17 yang jika mengalami aktivasi atau termutasi
maka akan menyebabkan pembelahan sel tidak terkendali, penyakit ini nampaknya sangat familiar
bagi semua orang, kanker. Namun beruntung bagi kita, karna pada kromosom 17 sudah tersedia
genom yang bertugas untuk menekan pembelahan sel (TP53). Celakanya tidak semua heretabilitas
TP53 berlangsung normal, pada beberapa orang, sangat disayangkan mereka terlahir membawa
satu gen TP53 yang keliru sehingga persentase terjangkit kanker mencapai 95%. 28 Barangkali,
kedua penyakit bawaan tersebut kurang memadai untuk membuktikan seberapa jauh determinisme
biologis berperan untuk menentukan usia mahluk hidup, Jika kita mencari yang lebih membumi,
jawabannya ada pada gen ABO, salah satu sistem homeostatis manusia. Proses evolusi seringkali
mencita-citakan perangkat resistan untuk kelestarian setiap mahluk, namun pada pola tertentu
ternyata sistem resistan hanya berlaku pada relung atau sosietas yang cocok, katakan lah, golongan
darah O sangat pupoler di Asia, ini bukan merupakan suatu kebetulan yang begitu saja terjadi atau
diciptakan, melainkan tipe O merupakan bentuk pertahanan diri dari malaria29, sayangnya, tipe O
rentan terhadap esophageal cancer 30 , sehingga demi kelestarian, gen ABO memberikan suatu
stimulus agar orang-orang Asia tidak berlebihan dalam mengkonsumi alcohol. 33

Setelah persoalan pelik perihal takdir, sejarah genetikan juga menyerembet persoalan
kebebasan, barangkali kita bisa dengan tegas mengatakan bahwa kehendak adalah kehendak,
apaapa saja yang menjadi tindak perilaku manusia berpijak pada asas ke-diri-an, semenjak Francis
Galton, citra kebebasan yang sudah mapan sejak Magna Carta, runtuh. Menurut Galton, bukan
hanya hewan domestikasi yang dapat diternak, melainkan juga manusia. Pada tahun 1885 Galton
memperkenalkan—untuk pertama kalinya, istilah eugenika (well-born). Galton membuktikan
tesisnya dengan menelaah silsilah orang-orang cerdas pada zamannya, seterusnya didapati bahwa
kecerdasan dan kepribadian merupakan heretabilitas. Selanjutnya, lebih mencengangkan daripada
Galton, Robert Plomin melakukan uji coba pada beberapa anak cerdas (dengan hasil test IQ

28
Ridley, Matt. Genom: Kisah Spesies Manusia Dalam 23 Bab. 2005. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 311
29
Lih.
https://www.researchgate.net/publication/297615510_Epidemiologic_features_of_overseas_imported_malaria_i
n_the_People's_Republic_of_China
30
Salah satu penyebab esophageal cancer adalah konsumsi berlebihan terhadap alcohol. 33
Lih. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6875758/
minimal 160) ketika sampelnya diambil, Plomin dapat bercerita banyak mengenai penemuannya
tentang IGF-131, gen yang mengatur pertumbuhan serta kecerdasan otak manusia. Lebih jauh dari
itu, Dean Hamer, menunjukan bahwa kepribadian manusia merupakan kausalitas dari gen D4DR,
yang bertugas sebagai pembuat protein reseptor dopamine, semakin kecil sensitivitas gen reseptor
dopanim maka semakin pemurung pengembannya.

Jika hampir segala hal dapat dirancang oleh genom, maka bagaimana peran ilmu sosial
yang sejauh ini malang-melintang untuk mendeskripsikan suatu fenomena sosial, atau lebih jauh
dari itu, ada kah sesungguhnya kehendak bebas? Atau setidaknya determinisme sosial yang
barangkali untuk sebagian dari kita, terlihat lebih manusiawi. Ernst Mayr dan Matt Ridley, tentu
menyikapi determinisme biologis sebagai upaya yang moderat dari norma reaksi (keluwesan
genetik). Determinisi genetic—pada tahap perilaku, tidak demikian kaku, setiap genom
menunjukan keluwesan norma reaksi, dan norma reaksi dapat diciptakan oleh kebiasaan interaksi
sosial. Maka, determinisme genetic dan sosial merupakan proses panjang dari evolusi yang bersifat
simbiosis spiral, saling mempengaruhi demi kepentingan “mesin survival”. Timbal-balik antara
ekpresi gen dan tindakan sosial seringkali dalam jangka pendek perilaku manusia tidak dapat di
prediksi, namun tidak dapat diprediksi bukan berarti tidak dapat ditentukan. Berangkali kebebasan
terletak diantara keduanya. Sampai saat ini tidak ada bukti kuat yang membeberkan satu kebenaran
antara dikotomi (determinisme biologis atau sosial) tersebut. Para ilmuwan hingga saat ini masih
meraba-raba dalam penterjemahaan autobiografi kehidupan, namun mungkin kita hanya satu-
satunya spesies yang memiliki cukup kemampuan untuk menjadi juru bicara kehidupan.

31
M. J. Chorney, K. Chorney, N. Seese, M. J. Owen, J. Daniels, P. McGuffin, L. A. Thompson, D. K. Detterman, C.
Benbow, D. Lubinski, T. Eley and R. Plomin. A Quantitative Trait Locus Associated with Cognitive Ability in Children.
1998. Sage Publications. Hal. 1-8
Kepustakaan:

Darwin, Charles. Origin of Species: Teori Evolusi Manusia. 2020. Indoliterasi. Yogyakarta.

Trivers, Robert. Natural Selection and Social Theory. 2002. Oxford University Press.

Schrodinger, Erwin. What is Life?. 1994. Dublin Institute.

Wexler, M. Clairvoyance and Caution: Repercussion from the Human Genom Project. 1992.
Harvard University Press.

Ridley, Matt. Genom: Kisah Spesies Manusia Dalam 23 Bab. 2005. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

M. J. Chorney, K. Chorney, N. Seese, M. J. Owen, J. Daniels, P. McGuffin, L. A. Thompson, D.


K. Detterman, C. Benbow, D. Lubinski, T. Eley and R. Plomin. A Quantitative Trait Locus
Associated with Cognitive Ability in Children. 1998. Sage Publications.

Mayr. Ernst. Evolusi: dari teori ke Fakta. 2010. KPG. Jakarta.

Darwin, E. Zoonomia: or the Laws of Organic Life. 1794. London. Vol.1

Abraham, Bos. PNEUMA AS QUINTESSENCE OF ARISTOTLE'S PHILOSOPHY. 2013. Franz


Steiner Verlag, Sturrgart.

Ehlers, Jürgen; Gibbard, Philip. Quaternary glaciation; Encyclopedia of Snow, Ice and Glaciers.
Encyclopedia of Earth Sciences Series. 2011

Anda mungkin juga menyukai