a. Masa Arkaekum
Masa ini merupakan masa yang tertua, masa ini diperkirakan terjadi 2,5 miliar tahun
yang lalu. Pada masa ini keadaan bumi masih labil, masih menyerupai gumpalan bola gas,
dan kulit bumi juga sedang dalam proses pembentukan. Pada masa ini belum ada tanda-tanda
kehidupan karena temperatur bumi memang masih sangat tinggi sehingga tidak
memungkinkan adanya makhluk hidup.
b. Masa Paleozoikum
Masa ini berlangsung sekitar 500-245 juta tahun yang lalu. Kondisi bumi sudah lebih
stabil meskipun secara menyeluruh belum dapat dikatakan demikian. Secara berangsur
temperatur bumi mendingin dan mulai terlihat adanya tanda-tanda kehidupan berupa makhluk
bersel satu atau yang lebih dikenal dengan nama mikroorganisme. Selanjutnya, muncul
hewan sejenis ikan tak berahang (trilobita), hewan amfibi (binatang yang dapat hidup di dua
tempat: di darat dan di air), dan beberapa jenis tumbuhan ganggang. Karena itulah, masa ini
dinamakan pula dengan zaman primer (zaman kehidupan pertama).
c. Masa Mesozoikum
Masa ini, yang disebut juga zaman sekunder (zaman kehidupan kedua), diperkirakan
berlangsung sekitar 245-65 juta tahun yang lalu. Bumi sudah semakin stabil. Mulai muncul
beragam hewan bertubuh besar, seperti berbagai jenis hewan reptil dinosaurus dan gajah
purba atau mamut. Menjelang berakhirnya masa ini, mulai muncul berbagai jenis burung dan
binatang menyusui.
Masa Mesozoikum juga dikenal sebagai zaman reptil. Dinosaurus menjadi penguasa
hampir sepanjang masa ini, namun kemudian punah secara mendadak pada 65 juta tahun
yang lalu. Kepunahan massal ini diperkirakan akibat tumbukan meteroit raksasa, yang
membuat bumi diliputi debu. Pada akhir masa ini, mulai muncul jenis mamalia.
d. Masa Neozoikum
Pada masa ini hewan berukuran besar sudah mulai jauh berkurang. Masa ini dibedakan
menjadi dua zaman, yaitu zaman tersier dan zaman kuarter.
HISTORIA
Temuan dan teori evolusi Darwin telah lama menjadi
kontroversi, terutama karena berlawanan dengan pandangan
kitab suci agama-agama samawi tentang penciptaan.
Posisi kita? Temuan-temuan itu adalah hasil dari
proses kerja ilmiah, dan karena itu selayaknya disikapi secara
ilmiah pula. Agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu
dicampuradukkan. Sebab, pendekatan agama dan
pendekatan sains dalam upaya memahami realitas alam
semesta berbeda. Agama berada dalam tingkat eksistensial
dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains
berada dalam tingkat faktual yang terkait dengan pembuktian
secara empiris. Dengan kata lain, agama dan sains memiliki
otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan
keagamaan tidak rasional. Perasaan keyakinan terhadap
Gambar 2.3 Buku On The Origin ofSpecics (kiri) karya Charles Darwin
Tuhan yang Maha Esa itu tetap dapat dijelaskan secara (kanan).
rasional. Sisi baiknya adalah bahwa temuan-temuan ilmiah
(sains), termasuk dalam ilmu sejarah, masih terus diuji kebenarannya. Tidak ada kebenaran yang mutlak dalam ilmu
sejarah. Sebuah temuan terus diuji kebenarannya sepanjang waktu melalui temuan-temuan berikutnya. Tidak
pernah ada kata "selesai" untuk itu. Sikap terbaik kita adalah terbuka dan kritis terhadap setiap penelitian ilmiah,
tanpa harus meyakininya sebagai sebuah dogma atau ideologi.
Secara khusus tentang evolusi manusia, Darwin mengatakan bahwa manusia sekarang
adalah bentuk sempurna dari dari sisa- sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis
primata, antropoidea, hominidae (bangsa kera dan simpanse), lalu Homo sapiens. Dengan
demikian, manusia berasal dari kera.
Teori evolusi, termasuk evolusi manusia, itu telah lama menjadi kontroversi. Para
penentangnya mengatakan, teori ini tidak sesuai dengan pandangan kitab suci agama-agama
samawi tentang penciptaan. Selain itu, dari sisi keilmuan, teori evolusi dianggap tidak dapat
menjelaskan adanya mata rantai yang hilang atau missing-link, yaitu penghubung antara
generasi makhluk berbulu-berekor seperti monyet dan makhluk cerdas Homo sapiens
(manusia).
Para penentang teori evolusi umumnya mendukung konsep kemunculan seketika
makhluk hidup tanpa ada kaitannya dengan semacam leluhur yang lebih primitif (teori
kreasionisme). Orang yang meyakini teori kreasionisme akan mengatakan bahwa
kemunculan tiba-tiba atau seketika itulah yang disebut penciptaan oleh Tuhan.
Sementara itu, menurut para pendukung teori evolusi, perkembangan makhluk hidup
tahap demi tahap dalam waktu yang sangat panjang itu (jutaan tahun) salah satunya
dibuktikan dengan adanya temuan berbagai fosil manusia purba serta binatang dan tumbuhan
purba di berbagai tempat di bumi. Ada juga bukti-bukti lain, misalnya, adanya variasi dalam
satu spesies (artinya masuk dalam spesies yang sama tapi tidak identik atau tidak persis
sama), adanya organ-organ tubuh manusia yang tidak berguna namun masih dijumpai dalam
tubuh manusia seperti usus buntu, tulang ekor, rambut pada dada, dan lain-lain.
Tugas A
Berikanlah penjelasan singkat dari tahapan masa berikut ini.
Nama Masa Penjelasan
Arkaekum
Paleozoikum
Mesozoikum
Neozoikum
m
pertahun
iambar2.4 Lempeng-lempeng di dunia serta lempeng-lempeng yang membentuk
Kepulauan Indonesia melalui apa yang disebut pergerakan lempeng tektonik (lihat gambar).
di antaranya bergerak ke selatan membentuk Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Banda. Hal yang sama
juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya bergerak ke utara membentuk pulau-
pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Maluku Tenggara. Pergerakan
pulau-pulau hasil pemisahan kedua benua tersebut telah mengakibatkan wilayah pertemuan
keduanya sangat labil.
Proses yang berlangsung selama berpuluh juta tahun itulah yang membentuk Gugusan
Kepulauan Indonesia hingga menjadi seperti sekarang ini.
Pergerakan subduksi antara dua lempeng juga menyebabkan terbentuknya deretan
gunung berapi dan parit (palung) samudera. Subduksi antara lempeng Indo-Australia dan
lempeng Eurasia, misalnya, menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi yang tak lain
adalah Bukit Barisan di Pulau Sumatera dan deretan gunung berapi di sepanjang Pulau Jawa,
Bali dan Lombok, serta parit samudera yang tak lain adalah Parit Jawa (Sunda).
2. Tenaga Eksogen
Sementara itu, tenaga eksogen yaitu tenaga yang berasal dari luar bumi. Sifat umum
tenaga eksogen adalah merombak bentuk permukaan bumi hasil bentukan dari tenaga
endogen. Bukit atau tebing yang terbentuk karena proses gerakan endogen terkikis oleh
angin, sehingga dapat mengubah bentuk permukaan bumi.
Secara umum tenaga eksogen berasal dari 3 sumber: (i) atmosfer, yaitu perubahan suhu
dan angin; (ii) air, yaitu bisa berupa aliran air, siraman hujan, hempasan gelombang laut,
gletser, dan sebagainya; (iii) organisme, yaitu berupa jasad renik, tumbuh-tumbuhan, hewan,
dan manusia.
3. Perubahan Iklim
Perubahan iklim berupa turunnya muka laut sekitar 60—70 meter di bawah muka
semula karena bagian terbesar air di dunia membeku (zaman glasial), terutama di bagian
bumi utara dan selatan. Laut-laut yang dangkal itu kemudian berubah menjadi daratan.
Kondisi yang berlangsung pada kala Pleistosen antara 3.000.000 sampai 10.000 tahun
yang lalu ini disebut juga dengan zaman es atau zaman glasial. Disebut zaman glasial karena
bumi pada saat itu temperaturnya menjadi sangat rendah dan gletser yang berada di wilayah
Kutub Utara mencair hingga menutupi sebagian besar seperti Asia, .Eropa, dan Amerika.
Selanjutnya, pecahan-pecahan es tersebut menyebar ke daerah-daerah sekeliling benua
tersebut. Meluasnya permukaan es menyebabkan turunnya permukaan air laut. Turunnya air
laut sampai mencapai kedalaman antara 100-150 meter dari permukaan semula memunculkan
daratan baru, yang memudahkan makhluk hidup berpindah tempat dalam rangka
mendapatkan makanan atau mempertahankan hidup.
Pada kala Pleistosen, bagian barat Kepulauan Indonesia yang sudah mulai stabil pernah
terhubung dengan daratan Asia Tenggara, sedangkan bagian timur seperti Pulau Papua dan
sekitarnya pernah terhubung dengan daratan Australia. Daratan di wilayah barat yang
menghubungkan Indonesia dengan daratan Asia Tenggara kemudian disebut Paparan Sunda
(Sunda Shelf), sedangkan di wilayah timur daratan yang menghubungkan Pulau Papua dan
pulau-pulau sekitarnya dengan Australia disebut Paparan Sahul (Sahul Shelf).
Hal itu dibuktikan dengan hasil kajian yang dikembangkan oleh A.R. Wallace yang
menyelidiki tentang persebaran fauna (zoogeografi) di Kepulauan Indonesia. Fauna yang
terdapat di daerah Paparan Sunda, yaitu daerah-daerah ]awa, Sumatra, dan Kalimantan,
mempunyai kesamaan dengan fauna yang terdapat di daratan Asia. Adapun fauna yang
terdapat di daerah Paparan Sahul, yaitu daerah Papua (Irian) dan sekitarnya mempunyai
kesamaan dengan fauna yang terdapat di Australia. Wallace menyimpulkan bahwa Selat
Lombok merupakan garis yang membagi dua jenis daerah zoogeografi di Indonesia. Di
sebelah barat garis tersebut terdapat fauna Asia, sedangkan di timurnya terdapat fauna
Australia. “Garis pemisah” fauna ini kemudian oleh Huxley diberi nama “Garis Wallace”.
Selanjutnya menurut Wallace, persebaran itu menjangkau lebih jauh ke arah utara, yaitu
dimulai dari Selat Lombok sampai Selat Makassar dan terus lagi ke utara melewari selat
antara Kepulauan Sangir dan Mindanao (Filipina).
Akan tetapi, dalam perkembangannya terjadi lagi kenaikan suhu bumi. Hal ini
mengakibatkan mencairnya es di Kutub Utara, yang membentuk lautan luas dan membuat
sebagian dataran rendah yang telah terbentuk tadi tenggelam kembali. Maka, dataran- dataran
yang menghubungkan Indonesia dengan Australia, ataupun yang menghubungkan Indonesia
dengan Asia Tenggara pun turut tenggelam. Dengan demikian, wilayah Indonesia bagian
barat terpisah dengan Asia Tenggara dan bagian timur terpisah dengan Australia.
Ilustrasi Paparan Sunda dan Paparan Sahul beserta Garis Wallace, Garis Weber, dan Garis Lydekker.
Terjadinya perubahan alam di dunia ini memunculkan banyak teori tentang
kemunculan manusia purba di Indonesia. Ilmuwan Belanda Eugene Dubois berpendapat
bahwa manusia purba menyukai hidup di daerah tropis yang iklimnya mulai stabil. Pendapat
ini dibuktikan dengan beberapa penemuan fosil manusia purba di daerah Trinil, Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur.
.8 Teori Nusantara menyatakan nenek moyang bangsa Indonesia (lihat gambar) berasal
dari Indonesia sendiri.
1) Meganthropus
Fosil manusia yang paling primitif yang ditemukan di Indonesia disebut Meganthropus
paleojavanicus. Meganthropus paleojavanicus sering disebut manusia raksasa dari Jawa
karena memiliki tubuh yang besar dan berbadan tegap. Manusia purba yang kemudian
berkembang atau berevolusi menjadi Fithecanthropus ini diyakini sebagai jenis
Australopithecus. Fragmen-fragmen rahang atas serta gigi-gigi lepas ditemukan oleh G.H.R.
von Koenigswald antara tahun 1936—1941 di Sangiran, Jawa Tengah; fragmen rahang
bawah lain ditemukan oleh Marks pada tahun 1952 di tempat yang sama.
Sebagian gigi geraham yang tersisa dari makhluk ini menunjukkan ia hanya memakan
tumbuh-tumbuhan. Dilihat dari ukuran kepalanya, volume otaknya masih kecil sehingga
kemampuannya membuat alat sangat terbatas. Ukuran gerahamnya lebih besar daripada jenis
manusia purba lainnya. Diperkirakan Meganthropus merupakan manusia tertua di Indonesia.
Adapun ciri-ciri Meganthropus paleojavanicus adalah:
1. Fulang pipi tebal
2. Otot kunyah kuat
3. Tonjolan kening mencolok
4. Tonjolan belakang tajam
Sebuah diorama di Museum Nasional, Jakarta, yang memperlihatkan sebuah keluarga Homo erectus di
Sangiran sekitar 900.000 tahun yang lalu. Meganthropus adalah nama yang umum untuk fosil-fosil geraham dan
tengkorak berukuran besar yang ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah. Namun, kini nama genus Meganthropus
dipandang keliru. Para ahli kini menyebutnya dengan Homo erectus paleojavanicus karena dipandang masih
memiliki hubungan dengan Homo erectus.
2) Pithecanthropus
Fosil manusia yang paling banyak ditemukan di Indonesia ialah Pithecanthropus. Fosil
manusia purba jenis ini ditemukan oleh Eugene Dubois di desaTrinil, Kabupaten Ngawi,
Jawa Timur pada tahun 1891. Nama Pithecanthropus erectus menjelaskan karakteristik utama
manusia purba ini: dari kata pithecos yang berarti kera, anthropus yang berarti manusia, dan
erectus yang berarti berjalan tegak; jadi, secara harfiah berarti manusia kera yang berjalan
tegak.
Sisa-sisa tulang-belulangnya ditemukan di Perning, Kedungbrubus,
Trinil, Sangiran, Sambungmacan, dan Ngandong. Hidupnya di lembah-lembah atau di
kaki-kaki pegunungan dekat perairan darat di Jawa Tengah dan Jawa Timur (sekarang), yang
mungkin merupakan padang rumput dengan pepohonan yang jarang.
Adapun ciri-ciri umum Pithccanthropus adalah sebagai berikut.
1. Tinggi badan berkisar antara 80[-65 إcm dengan tubuh dan anggota badan yang
tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus.
2. Alat-alat pengunyah juga tidak sekuat Meganthropus, demikian pula otot-otot
tengkuk.
3. Geraham memang besar, rahang kuat, tonjolan kening tebal serta melintang
pada dahi dari pelipis ke pelipis, dan tonjolan belakang kepalanya nyata.
4. Dagu belum ada,
5. Hidungnya lebar.
6. Perkembangan otaknya belum menyamai Homo: perkembangan kulit otak
masih kurang, terutama pada bagian-bagian yang berhubungan dengan fungsi
otak yang tinggi dan koordinasi otot yang cermat. Karena itu, muka terlihat
menonjol ke depan, dahi miring ke belakang, bagian terlebar pada tengkorak
masih terdapat di dekat dasar tengkorak dan belakang kepalanya masih
membulat.
7. Isi tengkoraknya berkisar antara 750—1300 cc.
Fosil manusia purba jenis ini juga ditemukan di daerah Perning, Kabupaten
Mojokerto, ]awa Timur oleh G.H.R. von Koenigswald pada tahun 1936, yang diberi nama
Pithecanthropus mojokertensis. p. mojokertensis merupakan jenis Pithecanthropus tertua.
Pithecanthropus ini juga digolongkan sebagai Homo erectus.
Di Cina, ditemukan juga fosil manusia jenis ini, yang diberi nama
Pithecanthropuspekinensis (Manusia Peking). Sementara itu di Eropa jenis ini dinamakan
Manusia Piltdown dan Manusia Heidelbergensis.
3) Homo
Fosil manusia dari genus Homo adalah Homo wajakensis, Homo soloensis, dan
Homofloresiensis. Dibandingkan dua fosil yang disebut pertama, kesimpulan ilmiah terkait
hobbit dari Flores yang disebut Homofloresiensis masih menjadi kontro¥ersi sampai
sekarang. Genus Homo diyakini sebagai hasil evolusi dari Pithecanthropus.
Temuan genus Homo di Nusantara mengisyaratkan bahwa sekitar 40.000 tahun yang
lalu, Nusantara sudah dihuni Homo sapiens. Homo mempunyai ciri-ciri yang lebih progresif
daripada Pithecanthropus. Isi tengkoraknya bervariasi antara 1.000-2.000 cc, dengan nilai
rata-rata antara 1.350-1.450 cc. Badannya juga lebih tinggi, yaitu antara 130—210 cm,
demikian pula berat badannya, yaitu antara 30-150 kg.
Otaknya lebih berkembang, terutama kulit otaknya, sehingga bagian terlebar tengkorak
terletak tinggi di sisi tengkorak dan dahinya membulat serta tinggi. Bagian belakang
tengkorak juga membulat dan tinggi otak kecil sudah berkembang lebih jauh pula dan otak
tengkuk sudah mengalami banyak reduksi karena tidak begitu diperlukan lagi dalam ukuran
yang besar. Hal ini disebabkan alat mengunyah sudah menyusut; gigi mengecil, begitu pula
rahang serta otot kunyah, dan muka tidak begitu menonjol ke depan. Letak tengkorak di atas
tulang belakang sudah seimbang. Berjalan serta berdiri tegak sudah lebih sempurna dan
koordinasi otot sudah jauh lebih cermat.
Rangka Homo Wajakensis yang pertama ditemukan dekat Campurdarat, Tulungagung
(Jawa Timur) oleh B.D. van Rietschoten pada tahun 1889. Rangka ini merupakan fosil
manusia pertama yang dilaporkan ditemukan di Indonesia. Temuan ini kemudian diselidiki
oleh Dubois, dengan rangka berupa tengkorak, fragmen rahang bawah, dan beberapa buah
ruas leher.
Rangka Wajak kedua ditemukan pada tahun 1890 di tempat vang sama dan terdiri atas
fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah, serta tulang paha dan tulang
kering. Fosil ini digolongkan sebagai Homo sapiens.
Sementara itu, fosil Homo Soloensis ditemukan di Ngandong, Blora, di Sangiran dan
Sambungmacan, Sragen, oleh Ter Haar, W.F.F. Oppenoorth, dan von Koenigswald pada
tahun 1931-1933. Hasil temuan berupa sebelas fosil tengkorak, tulang rahang dan gigi. Saat
pertama kali ditemukan, fosil manusia purba ini digolongkan sebagai Homo sapiens dan
diberi nama Homo (Javanthropus) soloensis oleh W.F.F Oppenoorth. Homo soloensis
diperkirakan hidup sekitar 900.000 sampai 300.000 tahun yang lalu. Menurut von
Koenigswald, makhluk ini lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan Pithecanthropus
erectus.
Adapun ciri-ciri Homo soloensis adalah:
1. Volume otak antara 1.000-1.200 cc
2. Tinggi badan antara 130—210 cm
3. Otot tengkuk mengalami penyusutan
4. Muka tidak menonjol ke depan
5. Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna
Selanjutnya, Homo Floresiensis atau “Manusia Flores” adalah nama yang diberikan
oleh kelompok peneliti terhadap kerangka hobbityang ditemukan ditemukan di Liang Bua,
sebuah gua kapur di Ruteng, Manggarai, Pulau Flores pada tahun 2001. Di gua itu para
peneliti menemukan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari
sembilan individu. Kesembilan sisa-sisa tulang itu menunjukkan postur paling tinggi
sepinggang manusia modern, sekitar 100 cm, dengan volume otak 380 cc. Usia kerangka-
kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu. Selain sisa-sisa
tubuh yang belum membatu itu, ditemukan juga berbagai mamalia seperti makhluk mirip
gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar, yang barangkali menjadi bahan makanan mereka,
alat-alat batu seperti pisau,
Liang Bua, gua tempat ditemukannya fosil Homo floresiensis. Gambar insert adalah gambaran Homo
floresiensis berdasarkan hasil rekonstruksi para ahii (gambar atas) dan tengkorak asli hobbit ini (gambar bawah).
beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat
peradaban penghuninya.
Pemberian nama tersebut berangkat dari keyakinan bahwa Homo floresiensis bukan
manusia modern, melainkan spesies yang berbeda. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian
bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) dan
Manusia Neanderthal. Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen
kerangka Homo floresiensis lebih primitif daripada Homo sapiens dan berada pada wilayah
variasi Homo erectus.
Namun, pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia (modern)
ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, seperti Prof. Teuku
Jacob dari Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal
dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa
populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut
mikrosefali (“kepala kecil”); jadi, merupakan nenek moyang dari manusia modern. Menurut
tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang
sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka
yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita mikrosefali, yaitu bertengkorak kecil
dan berotak kecil.
Makanan manusia purba pada masa ini bergantung sepenuhnya pada alam dengan
berburu dan mengumpulkan makanan. Itu karena pada masa ini, hewan dan tumbuh-
tumbuhan telah hidup merata di bumi—Kala Pleistosen sampai Holosen merupakan masa
puncak perkembangan hewan menyusu (mamalia). Maka, berburu hewan menjadi aktivitas
pokok untuk bertahan hidup. Hewan-hewan yang diburu antara lain rusa, kuda, babi hutan,
kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan sebagainya.
Karena berburu menjadi sarana utama untuk bertahan hidup, kehidupan manusia purba
Indonesia pada masa ini, sejak Pithecanthropus sampai Homo sapiens, bersifat nomaden atau
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (nomaden) mengikuti gerak binatang
buruan serta sumber air. Kehidupan menetap (sedenter) belum dikenal.
Migrasi (perpindahan) hewan buruan itu umumnya dipengaruhi beberapa faktor utama
sebagai berikut.
1) adanya perubahan iklim yang ekstrem, misalnya kemarau panjang yang
membuat banyak padang rumput dan sumber air menjadi kering, atau musim
hujan berkepanjangan yang membuat suhu lingkungan menjadi sangat dingin;
2) bencana alam, yang juga ikut membuat manusia bermigrasi;
3) ancaman dari sesama hewan, yaitu hewan karnivora;
4) gangguan manusia (baca: perburuan);
5) tumbuh-tumbuhan biasanya lebih mudah tumbuh dan berkembang di daerah-
daerah beriklim lebih panas, yang membuat hewan-hewan pemakan tumbuhan
(herbivora) ikut berimigrasi, mengikuti “migrasi” tumbuh-tumbuhan itu.
Migrasi hewan-hewan herbivora ini dengan sendirinya membuat hewan-hewan
karnivora ikut bermigrasi juga.
Manusia purba Indonesia masa ini hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Interaksi
antaranggota kelompok saat berburu menimbulkan sistem komunikasi dalam bentuk bunyi-
mulut, yakni dalam bentuk kata-kata atau gerakan badan (bahasa isyarat) yang sederhana.
d. Hasil-hasil Budaya
Dengan benda/alat apakah manusia berburu dan mengolah hasil buruannya? Mereka
tidak berburu dengan tangan kosong, tetapi menggunakan alat tertentu. Sesuai perkembangan
otaknya yang masih terbatas, alat yang mereka gunakan juga masih sangat sederhana, yaitu
alat-alat dari batu, kayu, dan tulang binatang yang masih kasar. Temuan alat-alat dari batu
yang ditemukan di Indonesia paling banyak berupa kapak perimbas, alat-alat serpih, dan alat-
alat dari tulang. Selain ketiga alat tersebut, ditemukan pula alat-alat seperti kapak genggam
dan kapak penetak.
Berikut ini jenis alat yang ditemukan di Indonesia pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat sederhana (budaya Paleolithik):
1) Kapak perimbas
Kapak perimbas adalah sejenis kapak yang digenggam dan berbentuk masif. Teknik
pembuatannya pada umumnya masih kasar dan tidak mengalami perubahan dalam waktu
perkembangan yang panjang.
Gambar (a) adalah alat serpih dalam berbagai bentuk, yang digunakan untuk mengupas makanan,
menguliti hewan, mengiris daging buruan, dan memotong umbi-umbian; gambar (b) adalah kapak genggam yang
digunakan untuk menumbuk biji-bijian, menggali umbi-umbian, membuat serat dari pohon, dan bahkan sebagai
senjata; dan gambar (c) adalah kapak perimbas (penetak), yang digunakan untuk menebang pohon, merimbas
(menghaluskan) kayu, dan memotong tulang.
3) Alat tulang
Pembuatan alat-alat tulang sementara ini hanya diketahui di Ngandong sebagai unsur
yang ditemukan dalam konteks Pithecanthropus soloensis dan alat-alat lain yang dibuat dari
tanduk, serpih, dan batu-batu bundar.
Berikut ini terdapat 10 kalimat yang belum selesai. Tugasmu adalah memilih kata-kata
yang tepat untuk mengisi titik-titik yang ada di tengah dan di akhir kalimat agar kalimat-
kalimat tersebut menjadi sempurna.
No. Soal Piiihan kata
1. Pada zaman ... suhu bumi masih sangat panas, dan Pithecanthropus
belum ada tanda-tanda kehidupan. erectus
2. Hewan ini diperkirakan baru muncul pada zaman Flores
tersier. Jenis hewan yang dimaksud ini adalah .... Miosen
Homo wajakensis
Fosilnya ditemukan pertama kali oleh von Pleistosen
Koenigswald. Berdasarkan hasil analisis dari Homo floresiensis
temuan potongan geraham dan susunan giginya, Kaukasoid
makhluk ini hanya memakan ....
4. Karena telah mampu berjalan dengan tegak tumbuh-
(bipedal), makhluk ini diberi nama .... tumbuhan
5 Garis yang memisahkan antara fauna tipe Asia dan Meganthropus
paleojavanicus
fauna tipe Australia adalah ....
Arkaekum
Jenis Homo sapiens yang mempunyai ciri yang kera
sangat berbeda, di antaranya bertubuh kerdil Garis Wallace
dinamakan .... dan ditemukan di ... . Garis Weber
Manusia purba diperkirakan muncul di bumi pada
kala
Masa ini diperkirakan rerjadi antara 10.000-2.500 tahun yang lalu. Menurut
Poesponegoro dan Notosutanto (1990), manusia purba yang hidup di Nusantara pada masa ini
adalah ras pendatang baru, yaitu ras Australomelanesoid dan ras Mongoloid.
Apakah ada kaitan antara ras pendatang baru ini dan manusia purba yang hidup
sebelumnya, yaitu Homo wajakensis dan Homo soloensis? Hipotesis yang populer
mengatakan, Homo wajakensis dan Homo soloensis telah punah atau dalam
proses.kepunahan ketika kedua ras pendatang baru ini tiba. Faktor utama kepunahan adalah
keterbatasan kemampuan otak mereka membuat strategi-strategi baru menyesuaikan diri
dengan alam, termasuk keterbatasan menggunakan otak untuk mengatasi berbagai penyakit
yang timbul. Hal semaeam ini juga terjadi pada manusia purba sebelum mereka:
Pitheeanthropus dan Meganthropus.
Hipotesis lain mengatakan, Manusia Solo dan Manusia Wajak tidak punah, tetapi
melebur melalui proses kawin-mawin (kohabitasi) dengan ras pendatang baru itu;
percampuran itu menghasilkan manusia Indonesia seperti sekarang.
Terlepas dari hal itu, pandangan populer mengatakan pada masa ini Nusantara dihuni
kedua ras pendatang baru itu, jenis Homo sapiens yang sudah sama persis dengan manusia
modern.
Ras Australomelanesoid diyakini sebagai keturunan Proto Australoid yang berpindah
dari sekitar Laut Tengah dan tinggal di India. Pada saat bangsa Dravida datang ke India,
sebagian terdesak ke pegunungan, sebagian lagi menyingkir ke timur seperti Kamboja, Cina,
Semenanjung Malaya, dan Indonesia. Pandangan ini diperkuat oleh Sarasin bersaudara
sebagaimana dikutip Restu Cunawan, dkk. (2013: 54). Menurut mereka, penduduk asli
Kepulauan Indonesia, yang ciri-ciri fisik dan kemampuan otaknya sudah sama dengan
manusia modern sekarang, adalah ras bertubuh agak gelap dan bertubuh kecil. Pada mulanya,
mereka tinggal di Asia bagian tenggara, deh Sarasin, penduduk asli Indonesia itu disebut
sebagai bangsa Vedda. Mereka mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Melanesia
masa kini dan orang vedda yang saat ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan (termasuk
India), dan Oceania.
Orang-orang Vedda atau ras Australomelanesoid ini hidup dalam budaya Mesolithik.
Tidak mengherankan, hasil-hasil budaya di Indonesia pada masa ini mendapat pengaruh
kuat dari wilayah-wilayah Asia Tenggara, khususnya kebudayaan Bacson-Hoa Binh di
daerah Tonkin (Vietnam bagian utara). Ras yang masuk dalam kelompok
ini adalah bangsa Hieng di Kamboja, Miao-tse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di
Semenanjung Malaya.
Di Indonesia, termasuk dalam ras ini dan keturunannya masih ada sampai sekarang
adalah suku bangsa Kubu atau Suku Anak Dalam (Jambi), Lubu atau orang Ulu (Jambi dan
Sumatera Selatan), Talang Mamak (Riau), dan Toala di Sulawesi.
Corak kehidupan mereka tetap sama dengan masa sebelumnya, yaitu berburu dan
mengumpulkan makanan dari alam. Bedanya, selain alat-alat dari batu, pada masa ini mereka
juga mampu membuat alat-alat dari tulang dan kulit kerang.
Mereka mengenal mbagian kerja: laki-laki berburu, ؛edangkan perempuan
mengumpulkan makanan berupa tumbuh- rambuhan dan hewan-hewan kecil, memasak atau
memelihara api, dan membimbing anak.
Hal itu jugalah yang membuat mereka mengenal kebiasaan bertempat tinggal secara
tidak tetap (semi-sedenter), terutama di (,abris sous roche). Mereka memilih gua-gua yang
:idak jauh dari sumber air atau sungai yang terdapat sumber makanan seperti ikan, kerang,
dan siput.
Sela
in bertempat tinggal di gua-gua, ada juga kelompok manusia lain yang bertempat tinggal di
tepi pantai, yang hidupnya lebih tergantung pada bahan-bahan makanan yang terdapat di laut.
Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kulit kerang dan ؛؟put dalam jumlah banyak selain
tulang-belulang manusia dan alat-alatnya di dalam timbunan kulit kerang (remis) dan siput
yang membukit yang disebut dengan kjokkenmoddinger. Kenyataan ini juga menunjukkan
bahwa mereka telah mengenal pencarian dan pengumpulan makanan di laut.
12 Gambar di atas adalah contoh abris sous roche. Gambar insert adalah tumpukan
sampah dari kulit kerang.
13 Lukisan gua berupa cap tangan manusia dan lukisan babi rusa yang terdapat di
Leang Petta Kere, Taman Prasejarah Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan. Lukisan tangan
tersebut diperkirakan sebagai simbol kekuatan atau lambang kekuatan pelindung terhadap
gangguan roh-roh jahat, dan cap-cap tangan yang jari-jarinya tidak lengkap diperkirakan
sebagai ungkapan duka atau berkabung.
Selama bertempat tinggal di gua-gua, selain mengerjakan alat-alat, mereka juga mulai
mengenal tradisi di dinding-
dinding gua atau dinding karang. Sumber inspirasi dari lukisan- lukisan ini adalah cara
hidup mereka yang serba tergantung pada alam. Lukisan-lukisan itu menggambarkan suatu
pengalaman, perjuangan, harapan hidup, dan bahkan kepercayaan mereka.
Pada masa ini pula, untuk pertama kalinya manusia purba ؛api. Penemuan api tidak
terlepas dari perkembangan otak mereka sebagai akibat dari tuntutan menyesuaikan diri
dengan perkembangan alam dan lingkungan. Secara khusus, api berperan penting dalam
kehidupan gua, seperti menghangatkan tubuh, menghalau binatang buas di malam hari, serta
memasak makanan.
Di tahap akhir masa ini, mereka telah mengenal cara bercocok tanam yang sangat
sederhana dan dilakukan secara berpindah- pindah menurut kondisi kesuburan tanah. Hutan
yang dijadikan tanah pertanian dibakar terlebih dahulu dan dibersihkan (
rri). Di sana mereka menanam umbi-umbian seperti keladi.
Hasil-hasil budaya
Pada masa ini berkembang tiga tradisi pokok pembuatan alat-alat di Indonesia, yaitu:
tradisi serpih-bilah, alat tulang, dan kapak genggam Sumatera. Tradisi pembuatan alat pada
masa ini mendapat
14 Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat awal (Paleolithikum) dan
tingkat a n j u t (Mesolithikum) alat-alat yang berasal dari tulang dan tanduk hewan
digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti memukul, menggali tanah, sudip, jarum, pisau,
dan alat serut. Alat tulang banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara
Timur.
pengaruh kuat kebudayaan Bacson dan Hoa Binh (+12.000-8000 SM) dari Vietnam
utara, yang diduga merupakan daerah asai pendatang baru ras Australomelanesoid itu.
Tradisi serpih terutama berlangsung dalam kehidupan di gua-gua Sulawesi Selatan
seperti di Leang Karassa dan pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, sedangkan di gua-gua di
Jawa serpih-bilah tidak memainkan peran penting dalam konteks tradisi tulang.
Alat tulang banyak ditemukan di Jawa Timur. Arkelog L.J.C. van Es berjasa
menemukan alat-alat ini. Adapun temuan alat-alat tulang yang terkenal di Jawa ialah di Gua
Lawa, dekat Sampung (Jawa Timur). Di tempat itu ditemukan juga serpih-bilah sederhana,
alat-alat tulang (dua macam bentuk sudip tulang dan semacam belati dari tanduk), mata panah
batu yang bersayap dan berpangkal konveks, hematit (besi oksida), lesung batu, serta
perhiasan dari kulit kerang.
Sejumlah alat batu yang di Indonesia dikenal dengan istilah “Sumatralith” atau kapak
genggam Sumatera, berasal dari Asia Tenggara dan ditemukan di Cina Selatan, Vietnam,
Kamboja, Annam, Muang hai, dan di Semenanjung Malaya. Melalui daerah Semenanjung
Malaya tradisi ini menyebar ke Indonesia, dan ditemukan di daerah pantai Sumatera Utara
yang berhadapan dengan semenanjung itu.
Bentuk kepercayaan awal
Selama bertempat tinggal di gua-gua, mereka mulai mengenal tradisi melukis di
dinding-dinding gua.
Lukisan yang terkait dengan sistem kepercayaan awal banyak terlihat di gua-gua di
Sulawesi Selatan dan Papua. Lukisan tangan dengan latar belakang cat merah di Gua Leang-
Leang (Sulawesi Selatan), misalnya, diyakini sebagai simbol kekuatan atau lambang
kekuatan pelindung terhadap gangguan roh-roh jahat; cap-cap tangan yang jari-jarinya tidak
lengkap diperkirakan merupakan ungkapan berduka atau berkabung—sedangkan menurut
etnoarkeolog H.R. van Heekeren, cap tangan menggambarkan suatu perjalanan dari arwah
mereka yang telah meninggal, yang sedang meraba-raba menuju alam arwah.
Menurut Robert dan Galis, lukisan-lukisan gua bertalian dengan upacara-upacara
penghormatan nenek moyang, upacara kesuburan, inisiasi, dan mungkin juga untuk keperluan
ilmu dukun, untuk meminta hujan dan kesuburan, atau memperingati suatu kejadian yang
penting.
Selain lukisan-lukisan di dinding gua atau di dinding-dinding karang, alam kepercayaan
masyarakat pada masa itu terlihat juga dalam peristiwa atau upacara penguburan. Bukti-bukti
tentang penguburan ditemukan di Gua Lawa (Jawa Tengah), di Gua Sodong (Jawa Tengah),
dan di bukit kerang di Sumatera Utara.
Para ahli juga meyakini kebiasaan ini merupakan bentuk kepercayaan awal manusia
purba akan adanya kehidupan setelah mati, yaitu berupa roh-roh orang yang telah meninggal,
dan karena itu jasad dan roh-rohnya patut mendapatkan penghormatan atau pemujaan.
3. Masa Bercocok Tanam: Budaya Neo tnik
Asai usul manusia
Sekitar tahun ' , datanglah gelombang pertama dari
bangsa Melayu Austronesia dari ras Mongoloid ke Nusantara. Mereka lazim juga
disebut bangsaatau Melayu Tua.
Jumlah mereka lebih banyak dari penduduk asli, yaitu orang-orang dari ras
Australomelanesoid dan Mongoloid dari masa berburu- meramu tingkat lanjut. Kemungkinan
juga mereka berbaur dengan penduduk asli tersebut.
Gelombang pertama ini datang dari Yunan, wilayah Cina bagian selatan (sekarang
menjadi provinsi tersendiri di Cina). Mereka bermigrasi ke Indonesia melalui dua jalur,
sebagai berikut: ٠ ilur Bar , dari Yunan menuju Thailand (Siam), Semenanjung Malaya
kemudian ke Sumatera, Jawa, dan Flores.
٠ lur ؛, dari Yunan melalui Vietnam menuju Taiwan, Kepulauan Filipina kemudian ke
Kepulauan Maluku, Sulawesi, Halmahera, dan Papua.
Keturunan Melayu Tua yang sampai sekarang masih ada di Indonesia adalah suku
bangsa Dayak, Toraja, Batak, dan Papua.
Berdasarkan temuan persebaran kebudayaan Neolithikum, bangsa Melayu Austronesia
atau Proto-Melayu ini menyebar merata di seluruh Indonesia. Mereka membawa kebudayaan
baru yang disebut budaya Neolithik (budaya batu baru).
Masa ini disebut juga zaman kebudayaan kapak persegi karena banyaknya ditemukan
kapak dari batu yang sudah halus seperti beliung, kapak corong, dan kapak lonjong.
Selain itu, ciri khas serta sumbangan berharga lain dari bangsa pendatang baru ini
adalah tradisi bercocok tanam. Hal ini tidak mengherankan karena wilayah yang pertama kali
disinggahi orang- orang Yunan ini adalah Vietnam (orang-orang Dong Son) dan Thailand
yang sejak ratusan tahun sebelumnya telah mengenal tradisi bercocok tanam.
Itu juga berarti migrasi orang Yunan (atau Vietnam) yang terjadi pada masa ini
menggunakan jalur laut. Sebab, selain petani vang andai, orang-orang Dong Son yang
bermigrasi dari Yunan itu juga dikenal sebagai pelaut-pelaut andai.
Pendatang dari Dong Son ini berbaur dengan penduduk asli dari ras
؛؛؛؟
Australomelanesoid. Selanjutnya, kedatangan orang-orang Dong Son, yang merupakan
campuran bangsa Yunan dengan penduduk asli Dong Son, membuat jumlah penduduk pada
masa ini lebih besar dari sebelumnya. Faktor-faktor lain bertambahnya jumlah penduduk
adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan karena pengelolaan pertanian dan peternakan
yang lebih baik.
Cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan perlahan-lahan ditinggalkan. Seiring
dengan itu, masyarakat memelihara hewan- hewan tertentu (pastoralisme). Sebagian kecil
penduduk yang tinggal di tepi pantai memproduksi garam dan mencari ikan.
Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan menebang dan membakar pohon-pohon
dan belukar {slash and burn) sehingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil-hasil
pertanian, meskipun sifatnya masih sederhana. Tanaman yang dikembangkan di antaranya
keladi, pisang, kelapa, salak, rambutan, sukun, dan duku; sedangkan jenis hewan yang
diternakkan di antaranya ayam, kerbau, anjing, dan babi.
Sebagai konsekuensi dari tradisi baru itu (bercocok tanam), mereka sudah tinggal
(sedenter). Perkampungan terdiri atas
tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa
keluarga. Bangunan tempat tinggal dibuat dari kayu atau bambu.
juga telah menjadi bagian dari corak kehidupan masyarakat. Menebang hutan,
membakar semak belukar, menabur
mbar 2.15 Cara bercocok tanam dengan cara shsh and burn (tebang lalu bakar) yang
masih berlangsung di beberapa daerah di Indonesia hingga kini.
benih, memetik hasil, membuat gerabah, kegiatan tukar-menukar, berburu dan menangkap
ikan dilakukan secara gotong royong.
Mereka juga mengenal pembagian kerj ؛antara kaum wanita dengan laki-laki. Misalnva,
pekerjaan berburu yang menghabiskan tenaga banyak dilakukan oleh para lelaki. Menangkap
ikan yang dekat dengan tempat tinggal (sungai, rawa, atau tempat-tempat yang dangkal di
danau-danau) dapat dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak, sedangkan menangkap ikan
di laut lepas pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki. Selain itu, ada anggota masyarakat
yang membuat beliung kasar di tempat yang disebut atelier, ada yang bertugas
menghaluskannya, dan sebagainya.
Sementara itu, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kegiatan-kegiatan
dalam kehidupan perkampungan yang terutama ditujukan untuk mencukupi kehidupan
bersama mulai diatur dan dibagi di antara anggota-anggota masyarakat. Pemimpin yang
merupakan yang pertama dari yang sederajat semakin berperan penting pada masa itu.
c. Hasil-hasil budaya
Masa bercocok tanam di Indonesia dimulai kira-kira bersamaan dengan berkembangnya
kemahiran mengupam (menggosok dan mengkilapkan) alat-alat batu serta dikenalnya
pembuatan gerabah. Dari hasil pengupaman itu, lahir bentuk beliung persegi, kapak, mata
panah, dan tombak. Beliung dan kapak batu ditemukan tersebar di seluruh wilayah Nusantara
dan seringkah dianggap sebagai petunjuk umum tentang masa bercocok tanam di Indonesia.
Beliung persegi adalah alat batu paling menonjol dari masa bercocok tanam. Daerah
penemuannya meliputi hampir seluruh Kepulauan Indonesia. Umumnya berbentuk
memanjang 6 Gambar (a) adalah belincung tampak depan (kiri) dan belakang (kanan);
gambar (b) adalah kapak persegi yang masih kasar; gambar (c) adalah kapak persegi yang
sudah dihaluskan; gambar (d) adalah kapak persegi yang sudah
ditambahkan gagang dari kayu.
dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagiannya diupam halus, kecuali pada
bagian pangkalnya sebagai tempat ikatan tangkai. Ukuran dan bentuknya macam-macam,
tergantung penggunaannya.
Ada beberapa variasi beliung persegi. Variasi yang paling
umum ialah , beliung berpunggung tinggi.
--"v
Tradisi kapak lonjong diduga lebih tua daripada tradisi beliung persegi.
Bentuk umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman.
Bagian tajaman diasah dari dua arah dan menghasilkan bentuk tajaman yang simetris. Bahan
vang dipakai umumnya batu kali yang berwarna kehitam-hitaman.
Daerah penemuan kapak lonjong di Indonesia hanya terbatas di daerah timur, yaitu
Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Maluku,
Leti, Tanimbar, dan Papua.
Gambar 2.17 Kapak lonjong
Alat-alat yang khusus dibuat dari batu kecubung (obsidian) berkembang sangat terbatas
di beberapa tempat saja seperti Jambi,
Leles (sekitar Danau Cangkuang dekat Garut, Leuwiliang (Bogor), sekitar Danau
Tondano (Minahasa), dan dalam jumlah sangat terbatas di Flores Barat.
Alat ini berhubungan dengan kehidupan berburu. Ada dua tempat penemuan yang
penting, yaitu Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Tempat-tempat penemuan mata panah di
Jawa Timur
Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia yaitu: Sampung (Gua Lawa), daerah Tuban
(Gua Gede dan Kandang), dan gua-gua kecil di bukit-bukit dekat Tuban, di Besuki (Gua
Petpuruh), Bojonegoro (Gua Kramat dan Lawang), Punung (tersebar di permukaan bukit-
bukit kecil di Song Agung, Sembungan, Gunung Galuh), dan lain-lain.
Penyelidikan arkeologis membuktikan benda-benda gerabah mulai dikenal pada masa
bercocok tanam. Bukti-bukti tersebut berasal dari Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua
(Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sipakka (Sulawesi), sekitar bekas
Danau Bandung, dan Paso (Minahasa).
Kendati demikian, dari temuan-temuan tersebut tampak bahwa teknik pembuatan dan
pola hias gerabah pada masa bercocok tanam masih sangat sederhana: semuanya dikerjakan
dengan tangan serta hanya menggunakan goresan sederhana di lingkar luarnya.
Beberapa dari alat ini yang dibuat dari batu ditemukan di Kalimantan (Ampah) dan
Sulawesi Tengah (Kalumpang, Minanga Sipakka, Langkoka, dan Poso).
Dalam masa bercocok tanam perhiasan-perhiasan berupa gelang dari batu dan kulit
kerang telah dikenal. Perhiasan seperti ini umumnya ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa
Barat.
Hal penting lain yang terjadi di Nusantara pada masa ini adalah berkembangnya sistem
kepercayaan yang disebut animisme dan dinamisme.
Animisme
Animisme, dari bahasa Latin anima yang berarti “roh”, adalah kepercayaan bahwa
segala sesuatu yang ada di bumi ini baik hidup maupun mati (seperti kawasan tertentu,
gunung, laut, sungai, gua, pohon atau batu) memiliki roh. Manusia mesti berhubungan baik
atau menghormati roh-roh itu dengan cara melakukan acara pemujaan atau memberi sesaji.
Berhubungan baik dengan cara melakukan acara pemujaan atau memberi sesaji dimaksudkan
agar roh-roh itu bisa melindungi manusia dan bahkan membantu kehidupan manusia.
Bagian yang tak terpisahkan dari animisme adalah kepercayaan akan adanya roh orang-
orang yang telah meninggal. Hal itu tercermin dalam upacara penguburan dan tradisi
megalithik. Orang yang sudah meninggal dibekali bermacam-macam barang keperluan
sehari-hari seperti perhiasan dan periuk, dan dikubur bersama-sama dengan maksud agar
perjalanannya ke dunia arwah dan kehidupan selanjutnya terjamin.
Sejarah Indonesia SMA/MA Jilid ١ I
ii m
Tradisi bangunan megalithik (mega berarti besar, lithos berarti batu) didasarkan pada
kepercayaan akan adanya hubungan antara orang yang masih hidup dan yang telah
meninggal, terutama pengaruh kuat orang yang telah meninggal terhadap kesejahteraan
masyarakat serta kesuburan tanaman. Jasa seorang kerabat yang telah meninggal diabadikan
dengan mendirikan bangunan batu besar (megalithik). Bangunan ini menjadi sarana
penghormatan, tempat singgah, serta lambang dari orang yang telah meninggal itu.
Bangunan dan tradisi megalithik tersebar hampir di seluruh Kepulauan Indonesia, di
antaranya Nias, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sumbawa, Kalimantan, Toraja, Flores, dan
Sumba.
Bentuk bangunannya bermacam-macam. Bangunan yang paling tua mungkin berfungsi
sebagai kuburan dengan bentuk beraneka ragam. Bentuk tempat penguburan dapat berupa
dolmen, peti kubur batu, bilik batu, sarkofagus (keranda batu), kalamba atau bejana batu,
waruga, batu kandang, dan temugelang. Di tempat-tempat penguburan seperti ini biasanya
terdapat beberapa batu besar lainnya sebagai pelengkap pemujaan seperti menhir, patung
nenek moyang, batu saji, batu lumpang, batu lesung, batu dakon, pelinggih batu, tembok batu
atau jalan berlapis batu.
Peninggalan megalithik di Sumatera Selatan terutama berupa menhir, dolmen, kubur
berundak, peti kubur batu, palung, lesung batu, serta patung-patung batu bergaya statis dan
dinamis. Sementara itu, monumen-monumen megalithik yang telah diteliti di Jawa Barat
ialah di Kosala, Lebaksibedug, Pasir Angin (Bogor), Leles (Garut), Kuningan, dan Kampung
Muara (Bogor).
٦ Buatlah model detail patung ٦Bakarlah cetakan tadi agar -Setelah logam dingin dan
dari lilin terlebih dahulu. Z_ menjadi lebih keras dan lilin *J mengeras, pecahkan cetakan
Tempelkan tanah liat ke seluruh di dalamnya meleleh. Lilin yang mencair dari tanah liat itu dengan palu dan pahat.
permukaan patung tersebut untuk itu akan menciptakan rongga kosong. Rapikan dan bersihkan logam yang
membuat cetakan. Jangan lupa, berilah Letakkan di tempat yang rata dan berlebihan. Poleslah agar patung terlihat
lubang untuk memasukkan logam cair. tuangkan logam cair ke dalam cetakan. lebih indah dan mengilap. Hasil akhir
Tunggu sampai cetakan dari tanah liat Biarkan sampai dingin dan mengeras. pembuatan patung
Ilustrasi proses pengolahan logam dengan teknik cetak tuang {a cire perdue).
nik a cire perdue
datar dan bagian bawah yang terbuka. Bentuk nekara umumnya tersusun atas tiga bagian:
bagian atas terdiri dari bidang pukul yang datar dan bagian bahu dengan pegangan; bagian
tengah berbentuk silinder, dan bagian bawah atau kaki yang melebar.
Mula-mula dari wilayah Dong Son, Vietnam (antara tahun 3000—2000 SM),
persebaran nekara perunggu meluas sampai ke seluruh wilayah Asia Tenggara seperti
Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos, Malaysia, dan Indonesia. Masyarakat Dong Son adalah
masyarakat pelaut. Mereka dikenal sebagai pelaut tangguh, yang berlayar dengan perahu
yang panjang. Dengan perahu tersebut, mudah berpindah-pindah atau bergerak dari satu
tempat ke tempat lain, terutama untuk berdagang, termasuk di antara wilayah-wilayah di Asia
Tenggara.
Dari hasil ekskavasi di berbagai tempat di Asia Tenggara, nekara memiliki beragam
fungsi: alat upacara keagamaan, sebagai genderang perang, alat memanggil hujan, benda
tukar, wadah atau bekal kubur, penanda status, atau mas kawin. Setiap wilayah umumnya
mengambil salah satu atau dua fungsi tersebut. Di Alor, Flores, dan Rote (ketiganya di NTT),
misalnya, fungsi nekara lebih kompleks: sebagai sarana upacara, lambang status sosial, dan
sebagai mas kawin. Saat upacara, misalnya, nekara dipukul; biasanya disertai sesaji.
Di Bali, nekara berfungsi sebagai benda pujaan (sakral) dan wadah kubur. Sebagai
benda pujaan, misalnya, nekara disimpan di tempat yang dianggap sakral, yaitu di Pura
Penataran Sasih. Melalui media nekara tersebut, masyarakat Bali Kuno memohon
keselamatan, menolak bala, meminta hujan, dan mengusir roh-roh jahat. Sedangkan fungsi
nekara sebagai wadah kubur ditemukan di Desa Manikliyu, Kintamani.
Nekara produk Indonesia sendiri adalah nekara tipe Pejeng (Bali); vang berukuran kecil
disebut “moko” atau “mako”. Nekara dari Pejeng yang berukuran besar memiliki tinggi
l,98m. Pendapat bahwa nekara tipe Pejeng merupakan produk asli Indonesia didasarkan pada
temuan berupa cetakan dari batu, yang diduga sebagai cetakan untuk membuat nekara, di
Desa Manuaba (Gianyar-Bali). Situs Manuaba sendiri diduga kuat merupakan situs
perbengkelan alat-alat logam yang ada di Bali. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 5
(lima) buah fragmen cetakan batu.
Moko banyak beredar di bagian timur Indonesia. Orang Alor menyebutnya “moko”
atau “mako”, sedangkan penduduk Pulau Pentar menamakan benda ini “kendang perunggu”.
Bentuk moko ini masuk dalam nekara tipe Pejeng, tetapi dengan ukuran kecil dengan hiasan-
hiasan yang lebih sederhana. Di daerah Manggarai (Flores), orang menyebut moko dengan
nama “gendang gelang” atau “tambur”. Di Jawa moko disebut “tambra” atau “tamra”, di Leti
disebut “moko malai”, yang artinya “palu besar dari Malai (Malaya)”, dan di Maluku
digunakan nama “tifa guntur”. Daerah- daerah persebaran moko di Indonesia terutama ialah
Alor, Solor, Flores, dan Pentar. Moko yang paling istimewa berasal dari Pulau Selayar,
Sulawesi Selatan.
Kapak perunggu
Berdasarkan tipenya, kapak perunggu dibagi dalam dua golongan, yaitu kapak corong
(kapak sepatu) dan kapak upacara. H.R. van Heekeren menambahkan satu tipe lagi, yaitu
tembilang atau tajak. Ada dua fungsi kapak perunggu yaitu: sebagai alat upacara atau benda
pusaka, dan sebagai perkakas atau alat untuk bekerja.
Di Indonesia ditemukan hanya 2 (dua) buah bejana perunggu, yaitu di Sumatera dan
Madura.
Patung perunggu yang ditemukan di Indonesia mempunyai bentuk yang bermacam-
macam, seperti bentuk orang atau binatang. Patung berbentuk orang antara lain berupa
penari-penari yang bergaya dinamis. Patung-patung ini ditemukan di Bangkinang (Riau).
Sementara itu, sebuah patung perunggu berbentuk binatang (yaitu kerbau) ditemukan di
Limbangan (Bogor).
(e) (jelang dan cincin perunggu
Gelang dan cincin perunggu umumnya tanpa hiasan, namun ada juga yang dihias
dengan pola geometris atau pola bintang. Bentuk- bentuk yang kecil mungkin hanya
digunakan sebagai alat penukar atau benda pusaka. Gelang yang berhias umumnya besar dan
tebal.
Dibandingkan perunggu, penemuan-penemuan benda-benda besi terbatas jumlahnya.
Sering ditemukan sebagai bekal kubur, misalnya di kubur-kubur di Wonosari (Jawa Tengah)
dan Besuki (Jawa Timur).
Tradisi gerabah Nusantara pada masa perundagian mendapat pengaruh dari dua tradisi
gerabah di Asia Tenggara, yaitu Tradisi Gerabah Sa-Huynh-Kalanay dan Tradisi Gerabah
Bau-Malayu.
Kendati alat-alat dari logam telah dikenal luas, peranan dan penggunaan gerabah
berlanjut dan tak tergantikan. Bahkan selama masa perundagian, penggunaannya
berkembang: tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga untuk kepentingan upacara
penguburan, misalnya sebagai tempayan dan bekal kubur.
Gerabah memang telah dikenal sejak masa bercocok tanam, namun pada masa
perundagian pembuatan gerabah telah mencapai tingkat yang lebih maju daripada
sebelumnya. Daerah penemuannya lebih jelas serta ragamnya lebih kaya. Hal ini
menunjukkan peranan gerabah dalam kehidupan masyarakat tidak mudah digantikan oleh
alat-alat dari logam baik perunggu maupun besi. Hal itu karena tidak setiap orang dapat
membuat apalagi memiliki alat-alat dari logam. Maka, gerabah tetap menjadi alat yang
banyak dipakai.
25 Dikenalnya teknik pembuatan gerabah menjadi salah satu ciri khas hasil budaya
pada masa bercocok tanam, yang telah berkembang sejak seribuan tahun lalu ini masih
dipraktikkan sampai sekarang.
L'mumnya gerabah dibuat untuk kepentingan rumah tangga «rhiri-hari, misalnya
sebagai tempat air, alat untuk memasak itikanan, dan tempat untuk menyimpan makanan dan
barang- barang lain. Dalam upacara-upacara keagamaan gerabah digunakan pula sebagai
tempayan kubur dan sebagai bekal kubur.
Ditinjau dari daerah persebarannya gerabah dari masa jwrundagian dapat digolongkan
paling sedikit dalam tiga kompleks ~؛disi gerabah, yaitu kompleks gerabah Buni, kompleks
gerabah Gilimanuk, dan kompleks gerabah Kalumpang.
Kepercayaan kepada pengaruh arwah nenek moyang terhadap perjalanan hidup
manusia serta upacara-upacara religius yang menyertainya semakin berkembang pada masa
perundagian. Hasil budayanya berupa bangunan-bangunan besar atau megalithik {mega ?
erarti besar, dan lithikum atau lithos berarti batu) yang berfungsi ؛ebagai sarana pemujaan
Sumber d iaspor ،١ iq bal bloy •>poi c om
kepada roh nenek moyang, seperti menhir, Datu berundak, dolmen, kubur batu, sarkofagus,
waruga, serta berbagai jenis arca berukuran besar. Diyakini bahwa arwah nenek moyang itu
akan melindungi dan menyertai perjalanan hidupnya manusia bila arwah-arwah itu selalu
diperhatikan dan dipuaskan melalui upacara-upacara.
Menhir adalah tugu atau batu yang tegak, yang sengaja ditempatkan di suatu tempat
untuk memperingati orang yang sudah meninggal. Batu tegak ini merupakan media
penghormatan dan sekaligus lambang bagi orang-orang yang sudah meninggal tersebut.
Punden berundak merupakan bangunan yang disusun secara bertingkat-tingkat yang
dimaksudkan untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Bangunan ini
kemudian menjadi konsep dasar bangunan candi pada masa Hindu-Buddha.
Bentuknya mirip seperti bangunan kuburan seperti yang dapat kita lihat saat ini:
umumnya tersusun dari batu yang terdiri dari dua sisi panjang dan dua sisi lebar. Sebagian
besar kubur batu yang ditemukan terletak membujur dari arah timur ke barat.
Kompleks bangunan megalithik berupa menhir (batu tegak) di Bori, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Menurut
konstruksinya, bentuk kubur batu yang tersebar di Indonesia dapat dibedakan dalam beberapa
jenis, yaitu kubur dolmen, kubur peti batu, kubur bilik, tempayan batu (kalamba, waruga),
dan keranda batu atau sarkofagus.
adalah kubur batu yang tidak memiliki tutup; waruga banyak di temukan di situs
Gilimanuk, Bali.
adalah sejenis kubur batu tetapi memiliki tutup di atasnya; biasanya antara wadah dan
tutup berukuran sama. Pada dinding muka sarkofagus biasanya diberi ukiran manusia atau
binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Dolmen merupakan bangunan megalithik yang memiliki banyak bentuk dan lungsi:
sebagai pelinggih roh atau tempat sesaji pada saat upacara.
Dolmen biasanya diletakkan di tempat-tempat yang dianggap keramat, atau di tempat-
tempat pelaksanaan upacara yang ada hubungannya dengan pemujaan kepada roh leluhur.
Arca batu banyak ditemukan di beberapa tempat di wilayah Indonesia, di antaranya di
Pasemah (Sumatra Selatan) dan di Sulawesi Tenggara. Bentuknya dapat menyerupai binatang
atau manusia dengan ciri negrito. Di Pasemah, ditemukan arca yang dinamakan Batu Gajah,
yaitu sebongkah batu besar berbentuk bulat di atasnya terdapat pahatan wajah manusia yang
mungkin merupakan perwujudan dari nenek moyang yang menjadi objek pemujaan.
Suatu tempat yang khusus dimaksudkan untuk keperluan pemujaan semacam itu adalah
di Pasir Angin, sebuah bukit yang terletak di dekat Leuwiliang (Jawa Barat). Di atas bukit ini,
ditemukan gerabah (polos dan berhiasan), benda-benda perunggu ؛kapak, perhiasan, dan
tongkat upacara) serta beberapa beliung persegi, tersusun dalam deretan yang menghadap ke
sebuah monolit. Berbagai jenis manik ditemukan pula di tempat ini. Monolit di atas bukit ini
merupakan pusat pemujaan; menurut kepercayaan, arwah nenek moyang turun pada waktu-
waktu tertentu untuk dimohon restunya. Sebagai tanda berbakti ditanamlah benda-benda
tertentu di pelataran tempat pemujaan ini.
Selain itu, orang yang telah meninggal diberikan penghormatan dan sesajian selengkap
mungkin dengan maksud mengantar arwah dengan sebaik-baiknya ke tempat tujuannya, yaitu
dunia arwah. Dalam kaitannya dengan hal itu, penguburan orang yang meninggal dilakukan
dengan dua cara, yakni dengan cara langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder).
Pada penguburan langsung (primer), mayat langsung dikuburkan di tanah atau
diletakkan dalam suatu wadah di dalam tanah. Penguburan ini biasa dilakukan di sekitar
tempat kediaman dan seringkali mayat diletakkan mengarah ke tempat yang dipandang
sebagai asal-usul suatu kelompok penduduk atau yang dianggap sebagai tempat arwah nenek
moyang bersemayam.
Penguburan langsung ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumbawa,
Sumba, dan Flores. Posisi mayat yang dikubur ialah membujur atau terlipat.
Penguburan tak langsung dilakukan dengan mengubur mayat lebih dahulu dalam tanah
atau kadang-kadang dalam peti kayu yang dibuat berbentuk seperti perahu. Kuburan ini
dianggap sebagai kuburan sementara karena upacara yang terpenting dan terakhir belum
dilaksanakan. Setelah semua persiapan untuk upacara disediakan, mayat yang sudah jadi
rangka itu diambil, dibersihkan atau mungkin dicuci, dibungkus lagi, lalu dan dikuburkan di
tempat vang disediakan. Penguburan yang kedua ini dapat dilakukan di dalam tempayan,
kubur batu, atau wadah dalam tanah.
Setelah mengikuti pembahasan tentang kehidupan masyarakat purba dari sisi kehidupan
sosial dan sistem mata pencariannya, kerjakan tugas di bawah ini secara individu. Dari setiap
karakteristik yang disajikan, Anda diminta untuk memberi tanda centang {/) pada kotak
kosong yang sesuai dengan karakteristik yang ditunjukkan.
No Karakteristik Berburu- Berburu- Bercocok Perundagian
meramu meramu tanam
tingkat awal tingkat lanjut
1 nomaden V -
2 api
3 bahasa isyarat
4 semi-sedenter
5 sedenter
6 agraris
7 perhiasan
8 pemimpin
9 mulai menetap
10 sudah menetap
11 tukang
12 ladang berpin-
dah
13 barter
14 food gathering
15 food producing
16 perdagangan
17 pembagian
kerja &
18 gerabah
tembikar
19 perahu seder-
hana
20 makan kerang
21 tadah hujan
22 ladang berpin-
dah
23 peternakan
24 upacara
25 aturan
26 kepercayaan
27 kampung
28 logam
Kerjakan tugas di bawah ini secara individu. Dari setiap karakteristik yang disajikan, Anda
diminta menyesuaikan petunjuk-petunjuk di bagian "Ciri Khas" dengan zaman di sebelah
kanannya (pilih salah satu
zaman yang sesuai).
No Zaman
Ciri Khas Paleolithik Mesolithik Neolithik Megalithik Loga
1 g era bah um um um um m
2 ± 600.000 tahun
yang lalu
3 peralatan dari batu
yang masih sangat
4 sarkofagus
5 lukisan tapak
6 tangan
dolmen
7 kapak lonjong
a zaman batu tua
9 kapak genggam
10 Sumatra
semi-sedenter
١ 1 menhir
12 lukisan gua
13 kebudayaan
Ngandong
14 moko
15 zaman batu baru
16 kapak persegi
17 kala Holosen
18 tradisi gerabah
19 kjokkenmoddinger
2.0 zaman batu madya
21 kebudayaan
22 Pacitan
peralatan dari
23 logam
batu berundak
24 zaman batu besar
25 bangunan-
bangunan
26 candrasa
27 ritual
23 alat upacara
29 belanga
30 batu api
Bentuk-bentuk Folklor
Menurut J.H. Brunvand, bentuk (genre) folklor dibedakan dalam tiga golongan, yaitu:
(1) Folklor lisan. Termasuk dalam folklor lisan adalah: bahasa rakyat (seperti logat bahasa,
julukan, gelar kebangsawanan), ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional (seperti teka-
teki), puisi rakyat (gurindam dan syair), dan cerita prosa rakyat (seperti mitos, dongeng, dan
legenda).
Folklor sebagian lisan. Bentuk ini merupakan campuran antara folklor lisan dan bukan
lisan; termasuk dalam bentuk ini adalah kepercayaan, permainan teater, tarian, pesta,
nyanyian rakyat, adat istiadat, dan upacara.
Folklor bukan lisan. Disebut folklor bukan lisan karena folklor ini lebih banyak
berbentuk benda nyata yang sangat erat hubungannya dengan kegiatan manusia sehari-hari,
seperti arsitektur rakyat, kerajinan tangan, makanan dan minuman tradisional, pakaian dan
perhiasan tradisional, serta obat-obatan tradisional; selain itu, termasukjuga gerak atau isyarat
tradisional, seperti kentungan, dan alat musik rakyat, seperti gamelan, angklung, dan kecapi
sasando.
Hampir setiap suku bangsa di Indonesia memiliki mitos, zmumnya mitos yang terkait
dengan asai usul masyarakat tersebut.
Dapatkah Anda menyebutkan contoh mitos di daerahmu?
Mirip dengan mitos, legenda adalah prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya
cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi.
Bedanya dengan mitos, tokoh dalam legenda lebih bersifat duniawi.
Terdapat beberapa ciri legenda, di antaranya:
bersilat duniawi, artinya bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi
pada masa yang belum terlampau lama;
1 ditokohi oleh manusia, yang ada kalanya mempunyai sifat dan kekuatan yang luar
biasa, serta sering kali dibantu oleh makhluk-makhluk gaib;
5 milik bersama suatu komunitas tempat legenda tersebut lahir;
4 sering mengalami penyimpangan dari versi sebelumnya (terutama karena tidak
ditulis);
١ diwariskan secara turun-temurun;
6 ؛banyak mengandung ajaran tentang kebaikan dan kejahatan sehingga dapat dijadikan
pedoman hidup.
Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat kategori, yakni sebagai
berikut.
Legenda keagamaan, yaitu legenda yang berkisah tentang para pemuka agama. Contoh:
legenda Wali Songo. Wali Songo adalah tokoh-tokoh penting dalam penyebaran agama
Islam, terutama di Jawa. Mereka dikisahkan memiliki kemampuan melebihi manusia biasa
(sakti), seperti menyembuhkan orang sakit dan menaklukkan penjahat tanpa perlawanan.
Sesuai namanya, legenda ini berbentuk kisah yang benar-benar terjadi atau pernah
dialami manusia sehubungan dengan makhluk gaib, hantu, siluman, genderuwo, gejala-gejala
alam gaib, sundel bolong, dan sebagainya. Fungsinya adalah meneguhkan kebenaran dan
kepercayaan terhadap alam gaib yang sering disebut takhayul. Contoh: legenda mandor
Kebun Raya Bogor yang lenyap begitu saja sewaktu bertugas di kebun itu, yang menurut
penduduk setempat karena melangkahi setumpuk batu-bata bekas pintu gerbang Kerajaan
Pajajaran.
Legenda perorangan adalah kisah tentang orang-orang tertentu dan dianggap benar-
benar terjadi. Contoh: legenda tentang cerita Panji (Jawa Timur). Panji adalah seorang
pangeran dari Kerajaan Kahuripan yang senang sekali menyamar menjadi orang biasa untuk
mengetahui keadaan rakyatnya. Contoh lain: Sabai nan Aluih dan Si Pahit Lidah dari
Sumatra, Si Pitung dan Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung Kasarung dari Jawa Barat, Rara
Mendut dan Jaka Tingkir dari Jawa Tengah, Suramenggolo dari Jawa Timur, serta Jayaprana
dan Layonsari dari Bali.
Legenda tempat adalah kisah yang berhubungan dengan nama suatu tempat atau bentuk
topografi suatu daerah. Legenda ini berkembang hampir di semua tempat di Indonesia.
Contoh: legenda terjadinya Danau Toba di Sumatra, legenda Gunung Tangkuban Parahu di
Jawa Barat, legenda asal-usul nama kota Banyuwangi.
Pertunjukan wayang wong dengan kekhasan pada penggunaan kostum sesuai tuntutan
cerita.
Wayang beber adalah bentuk wayang yang agak berbeda dengan wayang-wayang yang
lain. Wayang beber menggunakan media gambar yang lakon-lakonnya dilukis di atas kertas
(daluang) dengan ukuran antara 200 x 70 cm, lalu dibentangkan (dibeber). Dalang kemudian
mulai menceritakan kisah yang sudah disiapkan. Wayang beber tidak melakonkan epos-epos
besar seperti Mahabharata dan Ramayana, tetapi mengambil cerita dari kisah Panji yang
terjadi pada masa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kediri (sekitar abad ke-8 hingga awal
abad ke-16).
Untuk menghidupkan cerita, baik dalam wayang beber ataupun dalam wayang-wayang
lain, dalang dibantu seperangkat gamelan. Dalang harus mampu mengekspresikan setiap
tokoh dalam gambar yang dibeberkan tersebut. Sementara itu, suasana pertunjukan dibangun
dengan kesan mistis dan gaib; sebab, selain sebagai pencerita, dalang juga dipercaya
memiliki kemampuan mengusir roh jahat.
Mak yong adalah sejenis pertunjukan tradisi lisan yang berasal dari Pattani, Thailand
selatan. Mak yong masuk ke Indonesia melalui Riau, lalu Sumatra Utara, kemudian
Kalimantan Barat. Mak yong kemudian menjadi bagian dari kebudayaan Melayu.
Ada banyak unsur seni dalam pementasan mak yong, seperti drama, tari, musik, dan
mimik. Dialog disampaikan dalam bentuk prosa dan tanpa naskah. Beberapa tokoh utamanya
adalah punakawan, yaitu para pengasuh; Wak Pedanda, yaitu orang bijak dan ahli ilmu
pengetahuan; dan Mak Yong sendiri berperan sebagai putri raja.
Cerita yang paling disukai dalam pertunjukan mak yong adalah kisah cinta antara Mak
Yong dan Dewa Muda. Meski melakonkan kisah cinta, uniknya semua pelakonnya
perempuan.
Pertunjukan ini merupakan bentuk ucapan terima kasih kepada Tuhan. Dengan
demikian, pertunjukan ini sering dianggap sebagai pertunjukan suci. Karena itulah awal
pertunjukan selalu didahului pembacaan doa yang dilakukan oleh panjak atau bomah.
Didong merupakan kesenian tradisional masyarakat Gayo, Provinsi Aceh. Kata didong
berasal dari kata dendang yang artinya sama dengan denang atau donang yang dalam bahasa
Gayo, yaitu menghibur diri sendiri dengan menyanyi.
Awalnya kesenian ini dipentaskan hanya untuk pesta perkawinan, upacara tradisional,
dan hari libur penting, namun dalam perkembangannya telah menjadi seni pertunjukan untuk
umum.
Seorang passiririliq
dengan rebabnya. Passinriliq adaiah
penutur tradisi lisan dalam
masyarakat Sulawesi Selatan. Cerita
dituturkan olehnya sambil diirin gi
musik dari rebab yang juga
dimain kan olehnya.
sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa melalui nilai-nilai luhur yang
diwariskannya. Tradisi lisan juga dapat menjadi pintu masuk untuk memahami permasalahan
masyarakat pemilik tradisi yang bersangkutan. Di dalam tradisi itu, kita dapat mengenal
kehidupan komunitas suatu masyarakat mulai dari kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan
tradisional, sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, serta
berbagai hasil seninya. Karena itu, tradisi lisan masih sangat relevan dengan kehidupan
masyarakat kita sekarang.
Namun kenyataannya, sudahkah kita menghargai tradisi lisan sebagaimana seharusnya?
Tradisi lisan Nusantara, seperti dongeng, puisi, syair, pantun, dan teater, justru semakin
berjarak dengan masyarakat, masih terpinggirkan, potensinya masih terabaikan, dan masih
banyak yang menganggap bahwa tradisi lisan hanyalah peninggalan masa lalu yang hanya
cukup menjadi kenangan manis belaka. Tradisi lisan seolah-olah tidak relevan lagi dengan
kehidupan modern yang semakin melaju sangat cepat saat ini. Dengan kata lain, pewarisan
tradisi lisan ternyata tidak berjalan secara alamiah seperti yang diharapkan. Akibatnya, para
penutur dan komunitas tradisi lisan di negeri ini semakin berkurang.
Itu semua karena ada berbagai kendala yang masih dihadapi dalam pengembangan dan
penguatan tradisi lisan. Kendala tersebut antara lain:
Masa Aksara
Setelah mengenal tulisan (masa aksara), masyarakat mulai mempraktikkan apa yang
disebut :,adisi tulisan. Masuknya bangsa India ke Indonesia, yang diperkirakan dimulai pada
abad pertama Masehi, dianggap menjadi tonggak penting pengenalan tradisi tulisan di
Indonesia. Tujuan utama mereka memang untuk berdagang, namun dalam prosesnya mereka
juga membawa serta kebudayaannya, termasuk di antaranya budaya tulis, seni bangunan, seni
rupa, pemerintahan, sosial dan kepercayaan.
Budaya tulis yang mereka bawa menggunakan bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa.
Buktinya dapat kita saksikan melalui prasasti-prasasti, kitab, dan/atau manuskrip-manuskrip
kuno (saat ini masih tersimpan di museum, perpustakaan, ataupun di warga masyarakat di
seluruh pelosok Tanah Air). Dalam ketiga sumber tradisi tulisan itu terkandung informasi
tentang keadaan, gambaran, sikap, pandangan hidup, cita-cita hidup, sistem kepercayaan, dan
adat-istiadat mereka.
kebijakan dan strategi kebudayaan yang tepat belum siap;
biaya terbatas;
٠ teknologi mengasingkan tradisi dari masyarakatnya;
peran masyarakat dan keluarga dalam menjaga warisan budaya menurun.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mendorong berbagai ^saha mempercepat
proses penguatan tradisi lisan sebagai identitas radaya dalam membangun peradaban, di
antaranya sebagai berikut.
1. Menguatkan peran masyarakat pendukungnya
Upaya revitalisasi (menghidupkan kembali) tradisi lisan harus juga melibatkan
masyarakat pendukung seperti penutur, penonton, dan rihak lain, sehingga tradisi lisan tidak
kehilangan kekuatannya. Revitalisasi tradisi lisan sebagai seni pentas saja tidak efektif dalam
menjaga keberlangsungan tradisi secara maksimal. Tradisi iru perlu terus dihidupkan dalam
pementasan, pertunjukan, dan perayaan kemasyarakatan. Pementasan, pertunjukan, dan
perayaan pemasyarakatan menjadi sesuatu yang penting. Reproduksinya, baik dalam hal
dokumentasi, pembuatan hlm, ataupun dalam bentuk lain menjadi sarana pembantu untuk
menghadirkan dan membangun ingatan akan tradisi yang menjadi khazanah berharga dari
suatu komunitas. Pemahaman akan hal tersebut ^erlu disosialisasikan ke berbagai pihak
berkenaan dengan berbagai cara: melalui media massa, jalur pendidikan, dan kontak langsung
dengan masyarakat.
2. Masuk dalam kurikulum sekolah
Hal ini dapat diwujudkan dengan mendorong pemerintah menjadikan tradisi lisan salah
satu bahan ajar di sekolah. Dalam rangka itu pula pemerintah bersama masyarakat perlu
menggagas kompetensi guru dan tenaga pendidik yang dibekali pengetahuan soal tradisi lisan
11طه. Itu karena tradisi lisan membantu anak didik, terutama pada usia dini, mengembangkan
mimpi dan karakter mereka saat dewasa. Karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
multibudaya dan menghargai keharmonisan mestinya bisa dibentuk sejak awal jika tradisi
lisan tetap hidup dan menjadi stimulus bagi setiap anak didik. Selain itu, tradisi lisan berperan
penting untuk membangun karakter bangsa karena kandungan nilai-nilai moral yang ada
dalam tradisi lisan.
1. Para ilmuwan meyakini bahwa awal mula terbentuknya alam semesta (termasuk bumi)
adalah terjadinya apa yang disebut Big Bang (Ledakan Dahsyat atau Dentuman Besar)
sekitar 13,7 miliar juta tahun lalu. Ledakan tunggal ini melontarkan materi dalam
jumlah sangat besar ke segala penjuru alam semesta. Materi-materi ini kemudian
mengisi alam semesta ini dalam bentuk bintang, planet, debu kosmis, asteroid/ meteor,
energi, dan partikel lainnya di alam semesta ini; ringkasnya, membentuk sistem tata
surya.
2. Dalam mahakaryanya berjudul On The Origin of Species (Asai Usul Spesies) yang
terbit pada tahun 1859, Charles Darwin (1809-1882) secara khusus memusatkan
perhatian pada evolusi makhluk hidup, termasuk manusia. Menurutnya, aneka
organisme yang berkeriapan di muka bumi (termasuk manusia) bukanlah hasil
penciptaan dadakan (seketika), melainkan terbentuk melalui proses panjang selama
ribuan, bahkan jutaan tahun, melalui sistem seleksi alam (survival of the fittest), yang
disebutnya proses evolusi. Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa
kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera. Keterbukaan
terhadap teori evolusi berangkat dari kenyataan banyaknya temuan fosil manusia purba
di berbagai tempat di muka bumi, termasuk juga di Indonesia. Keterbukaan itu tidak
lalu harus mengguncang iman. Sebab, pendekatan agama dan pendekatan sains (ilmu
pengetahuan) dalam upaya memahami realitas alam semesta berbeda. Agama bermain
di level eksistensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains bermain di
level faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan sains memiliki
otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan keagamaan tidak rasional. Perasaan
keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu tetap dapat dijelaskan secara rasional.
Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.
3. Berdasarkan teori geologi, bumi terbentuk melalui empat tahapan zaman, yaitu Masa
Arkaekum, Masa Paleozoikum, Masa Mesozoikum, dan Masa Neozoikum.
4. Kendati telah memungkinkan muncul dan berkembangnya manusia purba pertama
keadaan alam (bumi) pada kala Pleistosen (masa Neozoikum) belum sepenuhnya stabil.
Ketidakstabilan itu disebabkan tiga faktor utama, yaitu adanya perubahan bentuk
daratan akibat gerakan (tenaga) endogen dan eksogen, perubahan iklim berupa es yang
mencair dan/atau membeku yang mengakibatkan perubahan suhu
5. bumi dan luas daratan—itulah alasannya kala Pleistosen disebut juga zaman es atau
zaman glasial, serta letusan gunung api. Gabungan ketiga faktor tersebut, terutama
gerakan (tenaga endogen) berupa pergerakan lempeng tektonik, juga ikut membentuk
Kepulauan Indonesia seperti yang kita diami sekarang ini.
6. Perkembangan hasil budaya masyarakat awal Indonesia dapat dikelompokkan dalam
pembabakan zaman sebagai berikut: zaman paleolithikum, zaman mesolithikum, zaman
neolithikum, zaman megalithikum, dan zaman logam.
7. Dari segi corak kehidupan dan sistem mata pencaharian hidup, masyarakat purba di
Indonesia dapat dibagi menjadi: masyarakat berburu dan meramu (tingkat sederhana
dan tingkat lanjut), masyarakat bercocok tanam, dan masyarakat perundagian.
8. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, diperkirakan
terjadi sejak munculnya manusia purba pertama sampai sekitar 12.000 tahun yang lalu
(kala Pleistosen). Di Indonesia pada masa ini, hidup manusia purba jenis
Meganthropus, Pithecanthropus, dan Homo. Asai usul manusia-manusia purba itu
sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Jawaban atas asal-usul manusia purba itu
tidak pernah jelas dan tuntas.
9. Manusia purba pada masa ini bergantung sepenuhnya pada alam dengan berburu dan
mengumpulkan makanan. Karena berburu menjadi sarana utama untuk bertahan hidup,
kehidupan manusia purba Indonesia pada masa ini, sejak Pithecanthropus sampai Homo
sapiens, bersifat nomaden atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain
mengikuti gerak binatang buruan serta sumber air. Kehidupan menetap (sedenter)
belum dikenal. Mereka juga hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Interaksi
antaranggota kelompok saat berburu menimbulkan sistem komunikasi dalam bentuk
bunyi-mulut, yakni dalam bentuk kata-kata atau gerakan badan (bahasa isyarat) yang
sederhana.
10. Mereka tidak berburu dengan tangan kosong, tetapi menggunakan alat tertentu. Sesuai
perkembangan otaknya yang masih terbatas, alat yang mereka gunakan juga masih
sangat sederhana, yaitu alat-alat dari batu, kayu, dan tulang binatang yang masih kasar.
Temuan alat-alat dari batu yang ditemukan di Indonesia paling banyak berupa kapak
perimbas, alat-alat serpih, dan alat-alat dari tulang. Selain ketiga alat tersebut,
ditemukan pula alat-alat seperti kapak genggam dan kapak penetak.
11. Jenis-jenis manusia purba di Indonesia yang hidup pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan adalah sebagai berikut.
12. Meganthropus,
13. Pithencanthropus, dan
14. Homo.
15. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut diperkirakan terjadi antara
10.000-2.500 tahun yang lalu. Corak kehidupan mereka tetap sama dengan masa
sebelumnya, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Bedanya, selain
alat-alat dari batu, pada masa ini mereka juga mampu membuat alat-alat dari tulang dan
kulit kerang.
16. Manusia praaksara pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut juga
telah mengenal pembagian kerja, kebiasaan bertempat tinggal secara tidak tetap (semi-
sedenter), terutama di gua-gua payung (abris sous roche), sebagian juga bertempat
tinggal di tepi pantai yang dibuktikan dengan penemuan kjokkenmoddinger. Selain itu,
mereka juga mulai mengenal tradisi melukis (yang menggambarkan munculnya
kepercayaan awal pada masa ini) serta menemukan api.
17. Pada masa bercocok tanam, sekitar tahun 1500 SM, Nusantara juga dihuni oleh
pendatang baru dari bangsa Melayu Austronesia dari ras Mongoloid. Mereka lazim juga
disebut bangsa Proto-Melayu atau Melayu Tua. Jumlah mereka lebih banyak dari
penduduk asli, yaitu orang-orang dari ras Australomelanesoid dan Mongoloid dari masa
berburu-meramu tingkat lanjut. Kemungkinan juga mereka berbaur dengan penduduk
asli tersebut. Mereka datang dari Yunan, wilayah Cina bagian selatan (sekarang
menjadi provinsi tersendiri di Cina) serta membawa kebudayaan baru yang disebut
budaya Neolithik (budaya batu baru). Masa ini disebut juga zaman kebudayaan kapak
persegi karena banyaknya ditemukan kapak dari batu yang sudah halus seperti beliung,
kapak corong, dan kapak lonjong. Selain itu, ciri khas serta sumbangan berharga lain
dari bangsa pendatang baru ini adalah tradisi bercocok tanam.
18. Masyarakat pada masa bercocok tanam sudah mengenal kehidupan menetap,
pembagian kerja, dan gotong royong. Pembuatan gerabah juga sudah mulai dikenal
meski dengan bentuk yang masih sederhana. Selain itu, kepercayaan dalam bentuk
animisme dan dinamisme berkembang. Seiring dengan hal itu, muncul banyak
bangunan megalithik seperti menhir, punden berundak-undak, dan sebagainya.
19. Sekitar tahun 300 SM, gelombang kedua dari bangsa Melayu Austronesia dari ras
Mongoloid tiba di Nusantara, yang mengawali masa perundagian. Mereka lazim juga
disebut bangsa Deutero-Melayu atau Melayu Muda dan langsung berbaur dengan
penduduk sebelumnya. Sebagaimana gelombang, mereka juga datang dari Yunan,
wilayah Cina bagian selatan. Bangsa deutero-Melayu ini hidup bersama dan bahkan
kawin-mawin (kohabitasi) dengan penduduk asli dari bangsa dan ras yang sama yang
jauh lebih dulu tiba di Nusantara (pada masa bercocok tanam), yang biasa disebut
dengan bangsa Proto-Melayu.
20. Masa ini disebut masa perundagian—dari kata undagi yang berarti terampil— karena
pada masa ini muncul golongan undagi atau golongan yang terampil melakukan suatu
jenis usaha tertentu, seperti membuat alat-alat dari logam, rumah kayu, gerabah,
perhiasan, dan sebagainya. Kendati demikian, dalam arti khusus, golongan undagi
mengacu pada orang-orang yang ahli membuat alat-alat dari logam. Karena itu,
dikenalnya logam menandai awal masa perundagian.
21. Tidak semua orang mampu membuat alat-alat tersebut. Hanya golongan terampil atau
golongan undagilah yang mampu membuatnya. Hal itu karena kegiatan tersebut
membutuhkan keterampilan khusus, dan keterampilan itu diperoleh dari latihan yang
membutuhkan waktu tertentu. Karena membutuhkan keahlian khusus, barang logam
ini, terutama di awal masa perundagian dan kemungkinan besar selama periode
pertengahan, termasuk barang mahal dan langka. Hanya orang-orang tertentu juga yang
dapat memiliki alat-alat dari logam.
22. Kendati demikian, alat-alat dari logam ini tidak menggantikan gerabah. Gerabah tetap
memainkan peran penting. Dapat dikatakan, munculnya alat-alat dari logam hanya
mengganti alat-alat dari batu dan tulang, dan tidak menggantikan gerabah. Pembuatan
gerabah bahkan mengalami kemajuan yang pesat: tidak lagi menggunakan tangan dan
tatap batu, tetapi juga menggunakan roda pemutar.
23. Hasil budaya yang khas pada masa perundagian adalah alat-alat dari logam perunggu
berupa nekara dan moko, kapak perunggu, bejana perunggu, patung perunggu, gelang
dan cincin perunggu, alat-alat dari besi, serta perhiasan berupa cincin dan manik-manik.
24. Folklor adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan bersifat
tradisional yang diwariskan secara lisan dan turun-temurun.
25. Bentuk-bentuk folklor: (i) folklor lisan (seperti bahasa rakyat, pertanyaan tradisional
[teka-teki], cerita prosa rakyat); (ii) folklor sebagian lisan (seperti kepercayaan,
permainan teater, tarian, pesta, dan nyanyian rakyat); dan (iii) folklor bukan lisan
(seperti arsitektur rakyat, kerajinan tangan, makanan dan minuman tradisonal, pakaian
dan perhiasan tradisional serta obat-obatan tradisional). Termasuk dalam golongan
folklor bukan lisan adalah gerak atau isyarat tradisional seperti kentongan, dan alat
musik rakyat seperti gamelan, angklung, kecapi, dan sasando.
26. Mitologi adalah cerita prosa rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah
dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar- benar terjadi
oleh yang empunya cerita atau oleh penganutnya.
27. Legenda adalah prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai sesuatu
yang benar-benar terjadi. Ada empat kategori legenda: legenda keagamaan, legenda
alam gaib, legenda perorangan, legenda setempat. Sedangkan dongeng adalah cerita
fiktif atau cerita imajinatif, yang kemudian diceritakan secara turun- temurun.
28. Nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang terdiri dari teks dan lagu.
Umumnya beredar dalam suatu masyarakat tertentu dan memiliki banyak variasi.
29. Fungsi upacara dalam suatu masyarakat adalah untuk menyadarkan atau mewujudkan
kesadaran manusia tentang masa lalunya. Sistem upacara berkembang berkaitan dengan
kepercayaan yang hidup dalam masyarakat tersebut, atau kenangan terhadap suatu
peristiwa yang tertentu yang pernah terjadi pada masyarakat tersebut.
30. Proses pewarisan kebudayaan pada masyarakat pra-aksara dilakukan melalui keluarga,
masyarakat, dan penatua (tokoh masyarakat).
31. Diperlukan upaya untuk mendorong berbagai usaha mempercepat proses penguatan
tradisi lisan sebagai identitas budaya dalam membangun peradaban, di antaranya:
32. Mendorong agar tradisi lisan menyatu dengan penguatan peran masyarakat
pendukungnya
33. Memasukkan tradisi lisan ke dalam kurikulum sekolah