Semenjak Claudius Ptolemeus menemukan bahwa alam semesta berpusat
pada matahari (heliosentris), yang kemudian dianut oleh Nicolas Copernicus, dikembangkan oleh Galileo Galilei dan dibuktikan kebenarannya oleh Johannes Kepler, pandangan bahwa alam semesta berpusat pada bumi (geosentris) dari kej 1 tidak bisa dipertahankan. Pandangan tentang asal usul manusia dalam kej 1 pun semakin dipertanyakan dan disangsikan dengan munculnya teori evolusi. Evolusi artinya perkembangan dari satu hal yang snagat sederhana menuju yang lebih sempurna secara perlahan-lahan tanpa unsur paksaan (Stanislaus, Surip. 2008 : 30). Teori evolusi pertama kalinya dicetuskan oleh Jean Baptiste de Monest Lamark, seorang sarjana biologi Perancis, yang hidup di tahun 1744-1829. Ia mengatakan bahwa suatu kehidupan berawal dari tumbuh-tumbuhan yang berkembang menjadi binatang dan akhirnya menjadi manusia. Teori ini lama tidak mendapat perhatian dunia karena dirasa aneh. Baru setelah Charles Darwin, seorang ahli zoologi Inggris, yang hidup pada tahun 1809-1882 mempublikasikan bukunya “Ueber die Entstebung der Arten durch naturliche” (On the origin of species by means of natural selection) di tahun 1859, teori evolusi mulai dikenal banyak orang. Garis besar isi dari buku itu adalah suatu spesies makhluk hidup terjadi berkat seleksi alam dan hanya makhluk yang bertahan hiduplah yang bisa menjaga populasinya dari keganasan alam, sehingga species makhluk hidup yang ada sekarang berasal dari species-species di masa lampau dan sel-sel purba bahan dasar makhluk hidup itu diciptakan oleh tuhan (Stanislaus, Surip. 2008 : 30).
Kejadian Alam Semesta
Menurut para ahli, alam semesta terjadi dari suatu “ledakan dahsyat” (big bang) dari titik tunggal yang bervolume nol dan inilah awal mula alam semesta. Titik tunggal ini mengandung pengertian berupa zat atau materi dengan kecepatan yang tidak terbatas (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 8). Menurut teori ini, mungkin miliaran tahun silam, terdapat tumpukan gas yang terdiri dari hidrogen dan helium yang berotasi, kemudian gas ini pecah karena peristiwa (ruang hampa) yang disebut big bang, membentuk benda-benda langit yang kini disebut dengan galaksi (pembentukan alam semesta tahap pertama). Dalam alam ssemesta ini terdapat miliaran galaksi masing-masing berotasi pada sumbunya. Selanjutnya galaksi ini pecah lagi menjadi miliaran bintang, salah satu di antara bintang itu adalah matahari, dan tahap selanjutnya gas yang membentuk bintang itu pecah lagi membentuk planet-planet yang berotasi pada sumbunya dan beredar mengelilingi bintang, diantaranya adalah matahari (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 8). Materi yang terdapat di alam semesta itu mula-mula berdesakan satu sama lain dalam suhu dan kepadatan yang sangat tinggi sehingga hanya berupa proton, nuetron dan elektron yang tidak mampu membentuk susunan yang lebih berat karena mengembung. Kemudian suhu menurun sehingga proton dan nuetron berkumpul membentuk inti atom. Kecepatan mengembung ini menentukan macam atom yang terbentuk. Ahli ilmu alam telah menghitung bahwa masa mendidih tidak lebih dari 30 menit. Bila kurang dari 30 menit artinya mengembung lebih cepat, alam semesta ini didominasi oleh unsur hidrogen. Jika lebih dari 30 menit, berarti mengembung lambat, alam semesta didominasi unsur berat (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 8). Selama 250 juta tahun sesudah ledakan dasyat, energi sinar lebih dominan terhadap materi, transformasi keduanya bisa terjadi sesuai dengan rumus Einstein, E = mc2. Selama proses pengembungan ini, energi sinar banyak terpkai dan materi makin dominan. Setelah 250juta tahun, masa dari materi dan sinar enjadi sama. Sebelum itu, tidak dibayangkan bahwa materi larut dalam air panas radiasi seperti garam larut dalam air (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 9). Pada masa itu, setelah lewat 250 juta tahun, materi dan gravitasi dominan, terdapat diferensiasi yang tadinya homogen. Bola-bola gas galaksi terbentuk dengan garis tengah lebih kurang 40.000 tahun cahaya dan bermassa 250 juta kali massa matahari kita. Awan gas gelap itu kemudian berdiferensiasi atau berkondensasi menjadi bola-bola gas bintang yang berkontraksi sangat cepat (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 9). Akibat konstraksi dan pemadatan itu, suhu naik sampai 20.000.000 derajat celcius, yaitu threshold reaksi inti dan bintang pun mulai bercahaya. Karena sebagian besar dari materi terisap ke pusat bintang, planet dibentuk dari sisa- sisanya yaitu butir-butir debu berbenturan satu sama lain dan membentuk massa yang elbih besar, berseliweran di ruang angkasa dan semakin lama semaki besar (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 9). Proses kondensasi bintang dan pembentukan planet membutuhkan waktu beberapa ratus juta tahun. Kita mengetahui bahwa bulan bergerak menjauhi bumi, hal ini berarti bahwa beberapa miliar tahun yang lalu bumi dan bulan ini satu dan bulan merupakan pecahan dari bumi yang memisahkan diri (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 9). Alam semesta terjadi karena adanya ledakan dari titik tunggal yang bervolume nol. Ledakan yang luar biasa dahsyat ini menandai mulainya alam semesta. Jadi alam semesta muncul dari ketidakadaan, dengan kata lain bahwa alam semesta ini pastilah ada yang menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Jadi, alam semesta yang besar diciptakan oleh sang pencipta yang Maha besar (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 9-10). Kejadian Makhluk Hidup Setelah bumi terbentuk dengan segala isinya dan peristiwa yang terkandung di dalamnya, kemudian bagaimana awal mulanya kejadian makhluk hidup, yaitu tumbuhan, hewan dan manusia. Dalam ajaran agama, semua makhluk hidup apa pun titik awalnya berasal dari ciptaan tuhan (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 10). Perbedaan pendapat berbagai ahli tertuju pada pertanyaan apakah makhluk hidup datang dengan sendirinya secara spontan di alam, makhluk hidup berasal dari benda mati, atau makhluk hidup berasal dari suatu yang hidup (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 10). Pada unumnya, pendapat masyarakat barat pada waktu itu bahwa makhluk hidup terjadi dengan sendirinya sehingga disebut kehidupan dengan secara tiba- tiba (Generatio spontanca). Beberapa contoh dikemukakan bahwa makhluk hidup berasal dari kotoran sampah yang mengeluarkan ulat atau belatung, cacing terjadi dari tanah atau dari air, dari dinding yang lembab dan basah tumbuh lumut. Di Prancis, petani gandum yang secara tidak snegaja kain kotor alas pemikul gandumnya tertinggal, ketika memikul gandum untuk disimppan masuk ke dalam lumbung padi, beberapa bulan kemudian ditemui tikus sehingga ia beranggapan bahwa kain kotor dan gandum dapat menjadi tikus (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 10). Asal-usul makhluk hidup berasal dari materi yang tidak hidup (zat anorganik) yang terdapat di alam. Pendapat ini juga dikenal dengan teori Abiogenesis. Teori ini dipelopori oleh seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles (384-322 SM) (Yunus, Roham. dkk. 2006 : 10). Pokok dari teori evolusi itu adalah bahwa hewan, tumbuhan, dan juga manusia dalam berbagai abad yang lalu telah berkembang dari makhluk yang berbentuk lebih sederhana. Semuanya itu melalui proses evolusi yang telah berlangsung beribu-ribu tahun, bahkan berjuta-juta tahun, dimulai dengan satu atau beberapa bentuk makhluk yang sederhana secara perlahan-lahan berkembang ke pelbagai bentuk (Widodo, 1989) (Lukman, Aprizal. 2008). Teori sel antara lain menyatakan bahwa: 1) sel merupakan unit struktural dan fungsional yang paling kecil dari makhluk hidup, dan 2) sel merupakan unit hereditas yang paling kecil dari makhluk hidup (Robertis, 1988) (Lukman, Aprizal. 2008). Pernyataan pertama mengandung arti bahwa sebuah sel dapat melakukan aktivitas hidup karena dilengkapi dengan “mesin” atau organel-organel untuk melakukan aktivitas tersebut, misalnya mitokondria, kloroplas, dsb. Sebagai unit hereditas berarti sel mengandung materi genetic (ADN) yang mengendalikan berbagai aktivitas sel. Dalam kenyataannya memang terdapat jenis-jenis organisme yang tubuhnya hanya tersusun dari satu sel (uniseluler), misalnya Paramaecium, Euglena dan masih banyak yang lain. Alberts (1989) menyatakan bahwa setiap organisme dan semua sel yang membentuknya dipastikan berasal dari atau diturunkan oleh sejenis sel purba melalui evolusi. Karena makhluk hidup dapat berupa sebuah sel tunggal, maka dalam pandangan evolusi, sel yang ada sekarang mestinya juga berkembang dari sel yang lebih sederhana, dan sel yang lebih sederhana tersebut juga merupakan hasil evolusi (Lukman, Aprizal. 2008). Luria (1978) memberi batasan makhluk hidup sebagai unit penerus keturunan (bahan genetik) yang berkembang sejalan dengan evolusi. Di dalam sel eukariot terdapat beberapa organel yang memiliki struktur seperti sel prokariot. Organel tersebut, yaitu mitokondria dan kloroplas, memiliki ADN dan ribosom yang memungkinkan mensintesis protein. Kalau kita ikuti definisi Luria di atas dan juga kita bandingkan dengan struktur umum sel prokariot, maka dipandang dari sudut evolusi baik mitokondria maupun kloroplas kemungkinan semula merupakan semacam sel prokariot (Lukman, Aprizal. 2008). Evolusi merupakan salah satu teori maupun cabang dalam khasanah ilmu pengetahuan. Teori tersebut menyatakan terjadinya sebuah perubahan pada makhluk hidup atau spesies secara gradual (perlahan-lahan). Perubahan yang dihasilkan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghasilkan spesies atau makhluk hidup yang baru. Teori evolusi menjadi sebuah teori yang tenar ketika dipopulerkan oleh seorang ilmuan Inggris Chalres Darwin (1809-1882). Teori evolusi Darwin dihasilkan dari sebuah ekspedisi yang Darwinlakukan pada saat pelayaran menjelajahi daratan maupun lautan Amerika Selatan (Sutrisno, wayudi. 2015). Namun seiring dengan perjalanan waktu teori evolusi mengalami penyempurnaan atau modifikasi hingga sampai saat ini. Seperti halnya teori evolusi Darwin menjadi teori evolusi sintesis modern. Teori tersebut hingga sampai saat ini menjadi populer dikalangan masyarakat umum. Didalam gagasan teori evolusinya yang Darwin jelaskan dalam bukunya The On the Origin of Species terdapat dua pokok gagasan yang Darwin jelaskan dalam bukunya tersebut. Pertama adalah spesies-spesies yang ada sekarang ini merupakan keturunan dari spesies moyangnya. Diedisi pertama bukunya, Darwin tidak menggunakan kata evolusi. Darwin menyebutnya modifikasi keturunan (descent with modifcation). Gagasan utama yang kedua adalah seleksi alam sebagai mekanisme modifikasi keturunan (Luthfi dan Khusnuryani, 2005: 6) (Sutrisno, wayudi. 2015). Dari awal kemunculan teori evolusi Darwin telah memunculkan polemik dari berbagai kalangan naturalis (ilmuan), akademisi maupun agamawan. Ketidaksepakatan terhadap konsep evolusi Darwin diawali oleh Uskup Samuel Wilberforce pada saat pertemuan British AssocDarwintion for the Advancement of Scince (sekarang dikenal sebagai BA), diadakan di Oxford University Museum pada 1860 (The Natural History Museum, 2008: 2) (Sutrisno, wayudi. 2015). Sebagai kalangan agamawan mengaggap kreasionisme sesuai dengan ajaran agama. Karena hal tersebut sudah tersirat atau dinashkan dalam kitab suci agama samawi. Seperti halnya Harun Yahya yang merupakan pioner kreasionisme islam yang tampil didepan dalam mengkampayekan kreasionisme dari presfektif islam. Harun Yahya dan penganut kereasionisme islam mencoba menukil dalil Al- Quraan sebagai sebuah pijakan untuk menolak teori evolusi. Seperti surat At Tin 4 dan Al-Baqarah 30: Kesahihan teori evolusi hingga sampai saat ini masih menjadi sebuah pembahasan yang belum menemukan sebuah konklusi. Berbagai klaimpun terjadi diantara kubu yang menganggap bahwa pendapat masing-masing yang paling benar. Terutama dari kalangan evolusionis (pendukung) ataupun kreasionisme (penentang) dua arus yang mendominasi terkait asal usul makhluk hidup (Sutrisno, wayudi. 2015). Awal tahun 1940-an, Weidenreich (1943) mendiskusikan tentang evolusi dari kelompok populasi manusia yang berbeda pada tiap -tiap wilayah. Dalam monografi yang dia tulis mengenai Sinanthropus atau Homo erectus dari Zhoukoudian, Cina, Weidenreich mengidentifikasi beberapa pola morfologi yang bersifat regional, atau dengan kata lain morfologi yang merupakan karakteristik Asia Timur antara Sinanthropus dan kelompok -kelompok populasi manusia hidup di Asia, terutama di Cina bagian utara. Ciri khas atau karakteristik morfologi Asia Timur tersebut adalah: tonjol sagittal and cekungan paranasal; sutura metopica; tulang inca; ciri mongoloid pada pipi, maxilla, telinga; platymerisme pada femur; tuberositas deltoid pada humerus; bentuk shovel- shaped pada incisivus atas; sutura nasofrontal dan frontomaxillary yang lurus (Wolpoff et al. 1984) Berdasarkan kekhasan karakteristik morfologi ini, Weidenreich menarik kesimpulan bahwa Sinanthropus adalah nenek moyang langsung dari Homo sapiens di Cina yang juga mempunyai hubungan lebih dekat dengan populasi - populasi Mongolia daripada dengan populasi - populasi lainnya. Lebih jauh Weidenreich memperkenalkan teori Polycentric yang mengatakan bahwa evolusi manusia modern tidak terbatas dan terpusat pada geogra fis tertentu tetapi melintasi semua area di seluruh dunia. Dalam proses tersebut selalu ada variasi yang besar dengan tendensi yang mengarah pada perbedaan rasial. Proses evolusi dan perbedaan rasial ini terjadi dalam waktu yang lama dimulai dari pertenga han sampai pada akhir Pleistosin atas dengan variasi interupsi yang diduga sebagai akibat dari perubahan lingkungan. Dengan demikian, Weidenreich mengajukan asumsi awal dari Multiregional Evolution Model (Wollpoff et al., 1984) Melanjutkan pemikiran dar i Weidenreich, para pendukung Polycentric Model mengembangkan teori ini dengan menekankan pada perbedaan morfologi pada fosil terutama yang ditemukan di Asia Timur dan Australasia. Thorne (1977, dalam Wolpoff et al., 1984) mengajukan hipotesis the Centre and Edge dimana ia menyatakan bahwa polimorpisme kurang tampak pada wilayah-wilayah pinggiran sebagai akibat dari tingginya tingkat seleksi. Di sisi lain, populasi di wilayah periferi lebih condong menjadi monomorpis sebagai akibat dari gene flow yang datang dari berbagai arah. Dengan demikian tingkatan gene flow pada daerah periferi memungkinkan adanya perbedaan dan sekaligus sebagai stabilisator pola morfologi Wolpoff et al. (1984) menemukan sejumlah karakter yang menjadi kekhasan fosil Asia Timur, yang dipandang mempunyai relevansi dengan Polycentric Model. Fosil-fosil tersebut adalah: Yuanmou, Lantian, Zhoukoudian, Hexian, Dali, Maba, Dingcun, Changyang, Ziyang, Chilinshan, Liujiang dan Upper Cave. Wu (1997) melengkapi model ini berdasarkan fakta bahwa ada beberapa karakter morfologi umum yang dimiliki bersama baik oleh Homo erectus Pekinensis maupun kelompok populasi Mongolia modern. Selain fosil dari Asia Timur, karakteristik Australasia juga ditemukan pada spesimen dari Sambungmacan, Sangiran, Ngandong, Wajak, Keilor, Cohuna, Kow Swamp dan Wilandra Lakes. Berdasarkan hasil pengamatan ini Wolpoff et al. menyimpulkan bahwa ada bukti mengenai diferensiasi lokal dan bukti mengenai kontinuitas genetik di area periferi (Wolpoff et al., 1984, 1985, 1989, 199 2; Frayer et al., 1993) Pemikiran dasar dari Weidenreich dan pengembangan hipotesis dari Polycentric Model ini kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi dasar dari teori Multiregional Evolution Model yang menurut para pendukung teori MRE adalah merup akan sebuah penjelasan pola evolusi manusia modern pada masa Pleistosin 1. Seleksi alamiah (natural selection) Proses evolusi adalah perubahan-perubahan struktur organisme sepanjang waktu. Perubahan-perubahan tersebut dilandasi oleh sebuah mekanisme yang bersifat kausal, yakni seleksi alamiah. Seleksi alamiah mempunyai tiga unsur, yaitu (a) Variasi (variation). Hewan dalam satu spesies yang sama dapat bervariasi dalam berbagai cara, misalnya dalam hal panjang sayap, struktur sel, kemampuan berkelahi dan sebagainya, (b) Warisan (inheritance), hanya sejumlah variasi yang akan diwariskan secara ajeg dari orangtua kepada keturunannya. Variasi-variasi lain tidak akan diwariskan kepada keturunan. Hanya variasi yang diwariskan saja yang akan berperan dalam proses evolusi. (c) Seleksi (selection). Organisme yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang dapat diwariskan akan memproduksi lebih banyak keturunan dibandingkan dengan organisme yang kurang memiliki sifat-sifat yang dapat diwariskan oleh karena sifat-sifat tersebut membantu memecahkan problem khusus dan dengan demikian memberi sumbangan kepada reproduksi dalam satu lingkungan tertentu (Buss et al., 1998) (Hastjarjo, Dicky. 2003). 2. Adaptasi (adaptation) Adaptasi adalah produk proses evolusioner. Adaptasi adalah satu karakteristik yang berkembang secara reliabel dan dapat diwariskan yang muncul menjadi satu ciri satu spesies melalui seleksi alamiah oleh karena karakteristik tersebut membantu secara langsung atau tidak langsung untuk memfasilitasi reproduksi selama periode evolusinya (Buss et al., 1998). Fungsi adaptasi adalah untuk memecahkan satu problem adaptif. Pengertian adaptasi dalam psikologi evolusioner ini berbeda dengan pengertian adaptasi yang umum dipakai oleh psikologi. Pengertian umum adaptasi biasanya menunjuk pada pengertian yang menyangkut kebahagiaan pribadi, kesesuaian sosial, kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah atau kesejahteraan hidup (Hastjarjo, Dicky. 2003). Adaptasi merupakan karakteristik yang bersifat dapat diwariskan. Adaptasi diturunkan oleh orang tua kepada anak keturunan. Agar supaya adaptasi dapat diwariskan kepada keturunan maka perlu ada gen adaptasi. Meskipun adaptasi merupakan karakteristik yang diwariskan, faktor lingkungan mungkin memainkan peranan penting dalam perkembangan ontogenetiknya (Buss et al., 1998) (Hastjarjo, Dicky. 2003). Satu karakteristik dinilai sebagai adaptasi jika memenuhi dua kriteria (Buss et al., 1998), yakni (a) karakteristik tersebut harus secara ajeg muncul dalam bentuk yang lengkap pada saat yang tepat dalam kehidupan organisme, (b) karakteristik itu merupakan karakteristik yang tipikal dari semua atau kebanyakan anggota spesies (Hastjarjo, Dicky. 2003). Adaptasi tidak selalu harus ada pada saat kelahiran. Misalnya, gerakan dengan dua kaki merupakan satu karakteristik yang berkembang secara ajeg dari manusia, namun kebanyakan manusia baru mampu berjalan dengan dua kaki pada usia setahun (Hastjarjo, Dicky. 2003). 3. Mekanisme psikologis hasil evolusi (evolved psychological mechanism) Semua perilaku yang kasat-mata akan dilandasi oleh mekanisme psikologis selain oleh input (Buss, 1995a). Misalnya, jika seorang anak dan seorang dewasa merespons secara berbeda stimulus yang sama, maka hal ini disebabkan karena mereka memiliki mekanisme psikologis yang berbeda. Contoh lain, jika seorang pria dan wanita mempunyai respons yang berbeda terhadap stimulus yang sama, hal itu disebabkan karena pria dan wanita memiliki mekanisme psikologis yang berbeda. Mekanisme fisiologis dan juga psikologis merupakan hasil proses evolusi dengan cara seleksi alami (Hastjarjo, Dicky. 2003). Buss (1995a, h. 6) merumuskan mekanisme psikologis sebagai sekumpulan proses didalam diri organisme yang (a) ada dalam bentuk yang sekarang ini oleh karena mekanisme ini memecahkan satu problem khusus dari keberlangsungan hidup atau reproduksi individu secara berulang kali sepanjang sejarah evolusioner manusia, (b) hanya mengambil informasi atau input tertentu yang dapat bersifat internal atau eksternal, dapat disarikan secara aktif atau diterima secara pasif dari lingkungan, dan menetapkan bagi individu problem adaptif tertentu yang dihadapinya, dan (c) mengubah informasi menjadi output melalui satu prosedur dimana outputnya akan mengatur aktivitas fisiologis, memberikan informasi pada mekanisme psikologis lain atau menghasilkan tindakan, dan memecahkan satu problem adaptif tertentu. Salah satu tugas utama psikologi evolusioner adalah mengidentifikasikan, menggambarkan dan memahami mekanisme psikologis. Fungsi mekanisme psikologis adalah memecahkan problem adaptif khusus yang telah didesain oleh proses seleksi alami (Buss, 1995a, h. 6). Tabel berikut ini merupakan contoh beberapa kandidat mekanisme psikologis dengan kemungkinan fungsinya (Hastjarjo, Dicky. 2003). Pengertian dan Fungsi Museum Secara umum museum dapat dipahami sebagai tempat untuk menyimpan atau mengoleksi benda-benda yang dianggap langka maupun benda-benda hasil temuan yang dinilai mempunyai arti dan makna bagi perkembangan budaya atau ilmu pengetahuan (Mohammad Iskandar, 2009: 103). Menurut Parker yang dikutip dalam Abraham Nurcahyo dan Yudi Hartono (2011: 69) menerangkan bahwa museum adalah suatu lembaga yang aktifitasnya mengabdikan diri pada tugas interpretasi dunia manusia dan lingkungannya. Pengertian yang sama diungkapkan oleh Soenatris (2001: 5) tentang istilah museum berasal dari bahasa Yunani, yaitu Musion yang berarti sebuah bangunan tempat suci untuk memuja dewa seni dan dewa ilmu pengetahuan yang terletak di gunung Parnanus (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). Tentang Museum Trinil Dalam catatan Soenatris Hadi (2001: 1), Museum Trinil merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba pada zaman Pleistosen tengah ± 1 juta tahun yang lalu. Selain ditemukan data manusia purba, di Trinil juga menyimpan bukti konkrit tentang lingkungannya baik flora maupun faunanya (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). Soenatris juga mengemukakan asal-usul kata Trinil yaitu Penggalian manusia purba (Pithecanthropus Erectus) di tiga perbatasan desa ditengah bengawan Solo, yaitu sebelah barat desa Kawu, sebelah utara desa Gemarang dan sebelah timur desa Ngancar. Selain itu juga Eugene Dubois menggunakan kata Trinil untuk menyebut kode penemuan, dan akhirnya menjadi nama “Museum Trinil” (2001: 24-25). (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). Museum Trinil berdiri sekitar tahun 1980-1981 dimana pendirian museum ini pada awalnya dirintis oleh salah seorang penduduk setempat bernama Wirodiharjo pada tahun 1968. Mulai didata koleksinya tahun 1979 dengan semakin banyak ditemukan fosil-fosil purba baik oleh para arkelog maupun warga sekitar. Kemudian pembangunan Museum Trinil diresmikan oleh Soelarso Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur pada tanggal 20 November 1991 (Soenatris Hadi, 2001: 2) (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan tentang pengertian Museum Trinil adalah suatu gedung yang menyimpan, memelihara, merawat serta memamerkan benda-benda sejarah berupa benda-benda purbakala terletak di Kabupaten Ngawi. Disamping berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda- benda purbakala untuk sarana edukasi, Museum Trinil juga digunakan sebagai tempat rekreasi (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). 1. Struktur Kepengurusan Museum Trinil Museum Trinil merupakan salah satu museum yang masuk dalam kategori jenis museum lokal dimana ruang lingkup tugasnya terbagi atas provinsi dan juga kabupaten. Sehingga untuk kepengurusan Museum Trinil tersebut juga berasal dari dua golongan atau kelompok, yaitu pengelola museum dari Pemerintah Kabupaten Ngawi dan pengurus dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Berikut ini adalah daftar pengelola Museum Trinil: a. Pengelola dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan 1) Catur Hari Gumono (Pengelola Museum Trinil) 2) Agus H.W (Pengelola Museum Trinil) 3) Mardi (Pengelola Museum Trinil) 4) Sugianto (Pengelola Museum Trinil) 5) Suwardi (Pengelola Museum Trinil) 6) Juwono (Pengelola Museum Trinil) 7) Suwono (Pengelola Museum Trinil) 8) Yayuk S. (Pengelola Museum Trinil) 9) Nanik Limawati (Pengelola Museum Trinil) 10) Sri Wardayati (Pengelola Museum Trinil)
b. Pengelola dari Pemerintah Kabupaten Ngawi
1) Martha Karuniawati (Kepala Museum Trinil) 2) Sujono (Pengelola Museum Trinil) 3) Suyono (Pengelola Museum Trinil) 4) Suryono (Pengelola Museum Trinil) 5) Suprapto (Pengelola Museum Trinil) 6) Sulistyo Budi (Pengelola Museum Trinil) Dari paparan tersebut nampak Museum Trinil merupakan museum lokal yang terbagi ke dalam museum provinsi dan museum kabupaten, maka dalam pengelolaan Museum Trinil tersebut juga terbagi dua yaitu pengelolaan dari pihak Pemerintah Kabupaten Ngawi dan pengelolaan dari BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Trowulan. Pemerintah Kabupaten Ngawi lebih cenderung mengelola dalam hal sarana prasarana, seperti penataan taman bermain maupun area parkir kendaraan di museum. Sedangkan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan Mojokerto Jawa Timur, dalam pengelolaan Museum Trinil lebih difokuskan pada koleksi-koleksi yang tersimpan di museum baik koleksi yang dipamerkan maupun koleksi yang masih berada di laboratorium (sumber: daftar pengelola Museum Trinil 2014) (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). 2. Koleksi Museum Trinil Apabila dilihat dari jenis museum yang ada di Indonesia, museum Trinil tergolong dalam museum khusus yaitu koleksi-koleksi yang ada di Museum Trinil hanya satu jenis saja yang berkaitan dengan dengan satu cabang seni maupun cabang ilmu yaitu kepurbakalaan. Jumlah koleksi yang ada di Museum Trinil ±131 fosil purba yang terdiri fosil manusia purba, fosil binatang purba dan fosil tumbuhan purba, sedangkan yang ada di laboratorium ±1000 fosil purba. Koleksi yang dimiliki Museum Trinil terdiri dari fosil manusia purba diantaranya: a. Fosil gigi geraham manusia purba Pithecanthropus Erectus b. Fosil tengkorak manusia purba Pithecanthropus Erectus c. Fosil tulang paha manusia purba Pithecanthropus Erectus d. Fosil atap tengkorak manusia purba Pithecanthropus Erectus e. Fosil tengkorak manusia purba Pithecanthropus Soloensis Sedangkan koleksi fosil hewan purba yang ada di ruang pameran Museum Trinil maupun yang ada di laboratorium diantaranya fosil gajah purba atau fosil gading purba, fosil kerbau purba, badak kuda nil purba, fosil kerang dan tumbuhan purba (wawancara WR-02, 27 April 2014) (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). 3. Sejarah Museum Trinil
Menurut WR-02 kata Trinil diartikan sebagai penggalian manusia purba
(Pithecanthropus Erectus) di tiga perbatasan desa ditengah bengawan Solo, yaitu sebelah barat desa Kawu, sebelah utara desa Gemarang dan sebelah timur desa Ngancar. Selain itu, Eugene Dubois menggunakan kata Trinil untuk menyebut kode penemuan, dan akhirnya menjadi nama “Museum Trinil”. Pendirian museum ini dirintis oleh salah seorang penduduk setempat bernama Wirodihardjo pada tahun 1968 (wawancara 27 April 2014) (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). Wirodihardjo atau Wiro Balung lahir pada tanggal 18 Agustus 1918 di Desa Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi. Penyebutan nama Wiro Balung itu melakat dikarenakan Wirodihardjo suka mengumpulkan balung atau tulang dalam hal ini yang dimaksudkan adalah fosil-fosil yang telah ditemukan. Pada tahun 1930 Wirodihardjo lulus dari Sekolah Rakyat atau SR. Kemudian melanjutkan ke Gubernemen pada masa penjajahan Belanda dan lulus tahun 1932. Pada tahun 1941 Wirodihardjo menjadi BKR (Barisan Keamanan Rakyat) di desa dan masuk menjadi pasukan Seinedan pada tahun 1942 ketika Indonesia masa penjajahan Jepang. Setelah Indonesia merdeka Wirodihardjo menjadi hansip, sedangkan pada tahun 1965-1967 diangkat menjadi Bayan Desa Kawu (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). Sesudah menjabat sebagai Bayan, Wiro menjadi petani biasa. Ditengah- tengah kesibukannya menjadi petani tersebut, Wiro menjadi tenaga pembantu ekspedisi penelitian Eugene Dubois dan Salenka ilmuan asal Belanda. Berbekal dari pengalaman tersebut Wiro mulai gemar mengumpulkan fosil-fosil disekitar tepian sungai Bengawan Solo yang arah alirannya melalui Dukuh Pilang Desa Kawu dimana penemuan fosil yang Wiro lakukan tersebut secara tidak sengaja. Kemudian fosil yang Wiro temukan pada saat itu diteliti oleh Eugene Dubois dan Salenka. Ternyata fosil-fosil tersebut merupakan salah satu jenis fosil Pithecanthropus Erectus. Penemuan tersebut mengundang banyak perhatian masyarakat sekitar, sehingga hal itu menyebabkan Wiro termotivasi untuk mengumpulkan fosil-fosil yang lain. Tujuan pengumpulan yang dilakukan Wiro hanya sebatas ingin melestarikan benda-benda peninggalan sejarah tersebut. Sedangkan penemuan fosil oleh masyarakat yang tidak sengaja atau secara kebetulan diberikan imbalan jasa misalnya berupa rokok maupun beras. Hal itu dilakukan dengan harapan bahwa nantinya fosil yang ditemukan tidak dijual kepada orang luar atau orang asing (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014). Tentang Museum Sangiran Terletak lima belas kilometer di sebelah utara kota Surakarta, kemasyhuran Situs Sangiran telah bergema dan terekam dalam kitab-kitab ilmiah bangsa seberang. Eugene Dubois, ahli anatomi berkebangsaan Belanda misalnya, pada tahun 1893 sudah melakukan eksplorasi di Situs Sangiran (Simanjuntak 2005: 16). Latar belakang memperlihatkan bahwa dokter militer ini tertarik melakukan penyelidikan fosil manusia purba di Situs Sangiran karena terpengaruh oleh teori gurunya, Ernst Haeckel, yang beranggapan bahwa manusia purba harus dicari di daerah tropis yang tidak banyak mengalami perubahan iklim di mana kera-kera besar masih banyak yang hidup. Sementara itu, seorang ahli biologi Inggris, Alfred Russel Wallace, menyatakan bahwa jejak kera-kera besar (antropoida) pertama kemungkinan besar dapat ditemukan di hutan tropis di Indonesia (Sémah et al. 1990: 7) (Sulistyanto, B. 2009). Secara administratif Situs Sangiran ini berada di dua wilayah kabupaten, yaitu Sragen dan Karanganyar di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan peta wilayah cagar budaya dapat diketahui bahwa wilayah ini terdiri atas empat kecamatan, 22 desa, dan 163 dusun. Jumlah desa yang masuk wilayah Cagar Budaya Sangiran berbeda dengan jumlah desa secara administratif karena tidak semua desa yang ada di dalam wilayah administratif juga masuk ke dalam wilayah Cagar Budaya; pada Gambar 1 dapat dilihat pintu gerbang masuk Situs Sangiran itu. Berdasarkan perhitungan dari sumber monografi yang diperoleh dari 22 desa di wilayah Cagar Budaya Sangiran pada tahun 2006 dapat diketahui bahwa penduduk di daerah Cagar Budaya Sangiran berjumlah 82.427 jiwa yang terdiri atas 22.135 kepala keluarga (KK). Perbandingan rasio jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan relatif seimbang. Jumlah penduduk laki-laki 40.791 jiwa, sedangkan jumlah penduduk perempuan 41.636 jiwa. Kepadatan penduduk rata- rata 4.587 orang per km2 (Sulistyanto, B. 2009). Situs berskala dunia ini menyimpan satuan stratigrafi yang tidak terputus sejak zaman Pliosen Akhir hingga akhir Plistosen Tengah, antara dua juta hingga 200.000 tahun yang lalu. Menurut perhitungan para ahli, di Situs Sangiran seluas 56 km2 ini telah ditemukan lebih dari 70 individu manusia purba dari takson Homo erectus; suatu jumlah yang melebihi 50% dari seluruh penemuan Homo erectus di dunia (Widianto 1996: 3). Lapisan tanah tua berfosil di kawasan Situs Sangiran dipandang sebagai laboratorium alam yang sangat langka di dunia. Sangiran oleh para ahli dinilai sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia dan dipakai sebagai tolok ukur kajian proses evolusi manusia dan lingkungan purbanya (Widianto et al. 1995/1996: 1). Potensi situs yang demikian itu menyebabkan UNESCO pada Desember 1996 menetapkan Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) bernomor 593 (lihat Gambar 2) (Sulistyanto, B. 2009). Namun demikian, sejak Sangiran ditetapkan sebagai situs warisan dunia tiga belas tahun lalu, pengelolaan Situs Sangiran itu kurang mengalami banyak kemajuan. Artinya, seluruh potensi yang ada belum dapat dinikmati secara maksimal baik untuk kepentingan ideologi, akademik maupun ekonomi. Situs berperingkat dunia ini bahkan telah memunculkan beragam konflik kepentingan sebagai dampak atas perbedaan persepsi dalam memaknai warisan budaya. Persepsi pemerintah terhadap Situs Sangiran berbeda dengan persepsi yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar situs. Bagi pemerintah, Situs Sangiran merupakan wilayah cagar budaya penghasil fosil yang keberadaannya sangat langka di dunia sehingga perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya. Sementara bagi penduduk, daerah perbukitan Sangiran dengan seluruh isinya adalah tanah warisan leluhurnya yang menurut persepsi mereka berhak didayagunakan oleh anak-cucunya untuk berbagai kepentingan hidup mereka. Bagi pemerintah, fosil dan lingkungannya merupakan benda yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan yang sangat tinggi tetapi bagi penduduk fosil tidak bedanya dengan sumber daya alam lain seperti batu, kayu atau pasir yang memiliki nilai ekonomi sehingga dianggap mereka sebagai objek pendukung mata pencaharian sehari-hari (Sulistyanto, B. 2009). DAFTAR PUSTAKA Astutik, Yuli & Soebijantoro. 2014. Dampak Kunjungan Wisatawan Terahdap Pelestarian Museum Trinil Tahun 2010-2013. Jurnal penelitian. Hastjarjo, Decky. 2003. Mengenal Sepintas Psikologi Evolusioner. Jurnal buletin Psikologi, Vol, XI (2). Lukman, Aprizal. 2008. Evolusi Sel Sebagai Dasar Perkembangan Makhluk Hidup Saat Ini. Jurnal Biospecies, Vol, 1 (2). Jambi. Stanislaus, Surip. 2008. Harmoni Kehidupan- Asal-usul Alam Semesta, mengembalakan Ciptaan. Yogyakarta : Kanisius. Sulistyanto, Bambang. 2009. Warisan Dunia Situs Sangiran. Jurnal Wacana, Vol, 11 (1). Sutrisno, Wahyudi. 2015. Teori Evolusi Darwin Dalam Perspektif Islam. Naskah Publikasi Skripsi. Yunus, Rosman. dkk. 2006. Teori Darwin Dalam Pandangan Sains & Islam. Jakarta : Prestasi.