Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

KONSEP DAN MODEL TRIAGE BENCANA DAN DOKUMENTASI


PELAPORAN HASIL PENILAIAN BENCANA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliahKeperawatan Bencana
Dosen : Suryagustina, Ners.,M.Kep

Kelompok 2 :
Agus Suhardi 2017.C.09a.0823
Dea 2017.C.09a.0831
Depranata 2017.C.09a.0832
Feby Yolanda A.M 2017.C.09a.0839
Fitri 2017.C.09a.0840
Indah Permata Sari 2017.C.09a.0844
Laksmi Ramadhanti P 2017.C.09a.0850
Marsiane Afiana A 2017.C.09a.0851
Theresia Nurhayati 2017.C.09a.0866
Yevin Adytia Pratama 2017.C.09a.0869
Yunika 2017.C.09a.0872

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Konsep
dan Model Triage Bencana dan Dokumentasi pelaporan hasil Penilaian Bencana.
Penyusunan makalah ini bertujuan agar para pembaca dapat menambah wawasan
dan pengetahuannya.
Kami menyadari bahwa makalah ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca dan mudah-mudahan makalah ini dapat mencapai sasaran yang
diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palangkaraya, September 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................

Daftar Isi.....................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................

1.3 Tujuan..................................................................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................

2.1 Konsep dan Model Triage Bencana dan Dokumentasi pelaporan hasil ..............

2.2 Berpikir Kritis dan Sematis..................................................................................

2.3 Keterampilan Berpikir Kritis dan Kebiasan Pikiran bagi ....................................

2.4 Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, Dan Setelah Bencana Pada Korban,

Survivor, Populasi Rentan Dan Berbasis Komunitas..........................................

2.5 Suveilen Bencana.................................................................................................

2.6 Dokumentasi Dan Laporan Hasil Penilaian Bencana..........................................

BAB 3 PENUTUP......................................................................................................

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................

3.2 Saran.....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Triase adalah penilaian, pemilihan dan pengelompokan penderita yang
mendapat penanganan medis dan evakusasi pada kondisi kejadian masal atau
kejadian bencana.Penanganan medis yang diberikan berdasarkan prioritas sesuai
dengan keadaan penderita.Tujuan Triage adalah untuk memudahkan penolong
untuk memberikan petolongan dalam kondisi korban masalah atau bencan dan
diharapkan banyak penderita yang memiliki kesempatan untuk bertahan hidup.
Bencana merupakan peristiwa yang terjadi secara mendadak atau tidak
terncana atau secara perlahan tetapi berlanjut, baik yang disebabkan alam maupun
manusia, yang dapat menimbulkan dampak kehidupan normal atau kerusakan
ekosistem, sehingga diperlukan tindakan darurat dan luar biasa untuk menolong,
menyelamatkan manusia beserta lingkunganya.
Saat ini kemampuan berpikir kritis sangat penting dalam kehidupan sehari-
hari, karena untuk mengembangkan kemampuan berpikir lainnya, seperti
kemampuan untuk membuat keputusan dan menyelesaian masalah. Banyak sekali
fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang perlu dikritisi.Kemampuan berpikir
kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan,
dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis telah
lama menjadi tujuan pokok dalam  pendidikan sejak lama. Penelitian dan berbagai
pendapat tentang hal itu, telah menjadi topik pembicaraan dalam sepuluh tahun
terakhir ini.
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan
tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early)
karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak
cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan
kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late, karena
trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
1.2 Rumusan Masalah
1,2,1 Bagaimana konsep dan model-model triase bencana :
1.2.2 Bagaimana berpikir kritis dan sistematis ?
1.2.3 Bagaimana penilain sistematis sebelum saat, dan setelah bencana pada
korban survivor, populasi rentan, dan berbasis komunitas ?
1.2.4 Bagaimana surveilans bencana ?
1.2.5 Bagaimana dokumentasi dan laporan hasil penilaian bencana ?

1.3 Tujuan
Untuk mengetaui bagaimana teori dan pandangan mahasiswa tentang
konsep dan model-model triase bencana, berpikir kritis dan sistematis, penilaian
sistematis sebelum saat dan setelah bencana pada korban survivor, rpopulasi
rentan dan berbasis komunitas, surveilans bencana hingga dokumentasi dan
laporan hasil penilaian bencana supaya bisa dipahami dan dimengerti dengan baik.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Model Triage Bencana dan Dokumentasi pelaporan hasil
Penilaian Bencana
2.1.1 Konsep Triage Bencana
Triage adalah suatu cara untuk menseleksi atau memilah korban
berdasarkan tingkat kegawatan. Menseleksi dan memilah korban tersebut
bertujuan untuk mempercepat dalam memberikan pertolongan terutama pada para
korban yang dalam kondisi kritis atau emergensi sehingga nyawa korban dapat
diselamatkan. Untuk bisa melakukan triage dengan benar maka perlu Anda
memahami tentang prinsip-prinsip triage.
Triage juga sebagai pintu gerbang perawatan pasien, memegang peranan
penting dalampengaturan darurat melalui pengelompokan dan memprioritaskan
paien secara efisien sesuai dengan tampilan medis pasien. Triage adalah
perawatan terhadap pasien yangdidasarkan pada prioritas pasien ( atau korban
selama bencana) bersumber pada penyakit/tingkat cedera, tingkat keparahan,
prognosis dan ketersediaan sumber daya. Dengan triagedapat ditentukan
kebutuhan terbesar pasien/korban untuk segera menerima perawatansecepat
mungkin. Tujuan dari triage adalah untuk mengidentifikasi pasien
yangmembutuhkan tindakan resusitasi segera, menetapkan pasien ke area
perawatan untukmemprioritaskan dalam perawatan dan untuk memulai tindakan
diagnostik atau terapi.
1. Mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa
1.1 Prioritas I (merah)
Menganjam jiwa tau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar.Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi.Contohnya sumbatan jalan nafas syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III
>25%.

1.2 Prioritas II (kuning)


Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat.Penanganan da pemindahan bersifat jangan
terlambat.Contoh patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan
III <25%.
1.3 Prioritas III (hijau)
Perlu penanganan seperti pelayanan biasa tidak perlu segera penanganan
dan pemindahan bersifat terakhir.Contoh luka-luka ringan.
1.4 Prioritas 0 (hitam)
Kemungkinan hidup sangat kecil luka sangat parah, hanya perlu terapi
suportif.Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis.
2. Mempioritaskan pasien menurut keakutannya
1. Kelas I
Pemeriksaan fisik rutin (misalnya memar minor); dapat menunggu lama
tanpa bahaya.
2. Kelas II
Nonutgen/ tidak mendesak (misalnya ruam, gejala flu) dapat menunggu
lama tanpa bahaya
3. Kelas III
Semiurgen/ semi mendesak (misalnya otitismedia); dapat menunggu
sampai 2 jam sebelum pengobatan.
4. Kelas IV
Urgen/ mendesak (misalnya fraktur panggul, raserisasi berat,asma); dapat
menunggu selama 1 jam.
5. Kelas V
Gawat darurat (misalnya henti jantung, syok); tidak boleh ada
keterlambatan pengibatan; situasi yang mengancam hidup.
3. Waktu pengkategorian
1. Prioritas I (merah) waktu tunggu 0 menit
2. Prioritas II ( kuning) waktu tunggu <30 menit
3. Prioritas III (hijau) waktu tunggu >30 menit
4. Prioritas IV (hitam) waktu tunggu tidak ada
4. Memberi prioritas lebih tinggi untuk triage
1. Gawat adalah suatu kedaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat
2. Darurat adalah suatu keadaan yang tidak mengancam jiwa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan
3. Gawat Darurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang
disebabkan oleh gangguan ABC (airway/jalan nafas. Breathing/
pernafasan, circulation/sirkulasi). Jika tidak ditolong segera maka dapat
meninggal
4. Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :
4.1 Gawat darurat (P1)
Keadaan yang mengancam nyawa atau adannya gangguan ABC
dan perlu tindakan segera, misalnya cardiac arrest, penurunan
kesadaran, trauma mayor dan pendarahan hebat,
4.2 Gawat Tidak Darurat (P2)
Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak memerlukan tindakan
darurat, setelah dilakukan resustasi maka tindakan lanjutan oleh
dokter spesialis, misalnya : pasien kanker tahap lanjut, fraktur
sickle call dan lainnya
4.3 Darurat Tidak Gawat (P3)
Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi memerlukan
tindakan darurat, pasien sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat
langsung diberikan terapi devinitif. Untuk tindak lanjut dapat
kepoliklinik, misalnya laserasi fraktur minor / tertutup, sistitis,
otitis media, dan nlainnya
4.4 Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan tindakan
gawat. Gejala dan tanda klinis ringan/ asimpotomatis misalnya
penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainnya.
Jika ragu pilih prioritas yang lebih tinggi untuk menghindari
penurunn triage pililah prioritas yang lebih cepat ditanggani.
Contoh prioritas kuning yakini jika ragu memberikan pelabeling
menentukan prioritas yang.
2.1.2 Model triage bencana
1. Single triage
Digunakan untuk keadaan dimana pasien dating satu persatu seperti
misalnya diinstalsi atau unit gawat darurat sehari-hari.Atau pada MCI
(mass casualty incident)/ bencana dimana fase akut dan telah terlewati
(setelah 5-10 hari). Jika beban jumlah pasien terlalu banyak, atau
permasalahan yang ada terlalu kompleks, sistem ini akan kacau.
2. Simple triage
Pada keadaan masal (MCI) awal-awal, dimana sarana tranfortasi belum
ada, atau ada tapi terbatas, dan terutama sekli, belum ada tim medis atau
paramedic yang kompeten. Pemilahan dam pemilihan pasien terutama
ditunjukan untuk prioritas transfortasi pasien dan kemudian tingkat
keparahan penyakitnya. Biasanya, digunakan triage/ kartu triage
3. S.T.A.R.T (Simple triage and Rapid treatment)
Penambahan kata Rapid treatment berarti ada tim atau orang-orang yang
cukup kompeten melakukan perawatan dan penanganan korban/ pasien.
Jika keadaanya masih terlampui kemampuan penolong maka start dapat
pula berarti simpe triage and Rapid transfortation.

2.2 Berpikir Kritis Dan Sematis


Berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan  atau strategi kognitif
dalam   menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan,
mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran merupakan bentuk
berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah,
merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat
keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam
konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan
mengevaluasi-mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala
menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis
juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang
akan dituju.
Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1995: 6), berpikir  kritis adalah
mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan
menganalisis, mensintesis,  mengenal permasalahan dan pemecahannya,
menyimpulkan, dan mengevaluasi.
Dari dua pendapat tersebut, tampak adanya persamaan dalam hal
sistematika berpikir yang ternyata berproses. Berpikir kritis harus melalui
beberapa tahapan untuk sampai kepada sebuah kesimpulan atau penilaian.
Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir dilontarkan pula oleh
Scriven, berpikir kritis yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan
keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan,
menganalisis, membuat sistesis, dan mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut
berdasarkan hasil observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan
komunikasi, yang akan membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan
(Walker, 2001: 1).
Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Angelo (1995: 6), bahwa
berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir yang meliputi :
analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan, dan
penilaian.
Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan
sistematis. Ketertiban berpikir dalam berpikir kritis diungkapkan MCC General
Education Iniatives. Menurutnya, berpikir kritis ialah sebuah proses yang
menekankan kepada sikap penentuan keputusan yang sementara, memberdayakan
logika yang berdasarkan inkuiri dan pemecahan masalah yang menjadi dasar
dalam menilai sebuah perbuatan atau pengambilan keputusan. Berpikir kritis
merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam
pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis (1985: 54), berpikir kritis
adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang
difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan
2.3 Keterampilan Berpikir Kritis dan Kebiasan Pikiran bagi
Keperawatan
2.3.1 Keterampilan serta proses Berpikir Kritis :
1. Menganalisis : memisahkan atau membagi suatu kesatuan menjadi
beberapa bagian untuk untuk menentukan sifat, fungsi dan hubungan antar
bagian tersebut.
2. Menerapkan standar: menilai sesuai dengan peraturan atau kriteria yang
telah ditetapkan secara personal,professional, atau social.
3. Mendiskriminasi: mengenali perbedaan dan kesamaan dianatra beberapa
hal atau situasi dna membedakannya secara cermat untuk dimasukan
kedalam kategori atau criteria.
4. Mencari informasi: mencari bukti, fakta, atau pengetahuan dengan
mengidenbtifikasi sumber-sumber yang relevan dan mengumpulkan data
objektif, subjektif, historis, dan data terbaru dari sumber tersebut.
5. Membuat alasan logis : membuat suatu kesimpulan yang didukung atau
dijustifikasi oleh bukti.
6. Memprediksikan :membayangkan sebuah rencana dan konsekuensinya.
7. Mentransformasi pengetahuan : mengubah atau mengonversi kondisi,
sifat, bentuk, atau fungsi beberapa konsep dianatra beberapa konteks.

2.3.2 Kebiasaan pikiran untuk berpikir kritis :


1. Percaya diri : yakin akan kemampuan seseorang untuk membuat alasan
yang masuk akal.
2. Perspektif kontekstual : mewmpertimbangankan keseluruhan situasi,
termasuk hubungan, latar belakang, dan lingkungan yang relevan dengan
beberapa kejadian atau peristiwa.
3. Fleksibilitas : kemampuan untuk beradaptasi,mengakomodasi,
memodifikasi, mengubah fikiran, ide dan perilaku.
4. Kreativitas : daya cipta intelektual yang digunakan untuk menghasilkan,
menentukan atau merestrukturisasi ide; membayangkan alternative.
5. Rasa ingin tahu : hasrat untuk mengetahui segala seuatu dengan mencari
pengetahuan dan pemahaman melalui observasi dan pengajuan pertanyaan
yang telah dipikirkan dengan baik untuk mengeksplorasi beberapa
kemungkinan dan alternative
6. Integritas intelektual : mencari kebenaran melalui proses yang tulus dan
jujur, meski jika hasilnya bertentangan dengan asumsi dan keyakinan
seseorang.
7. Intuisi : rasa mengetahui sesuatu secara naluri atau alamiah tanpa
memiliki alasan secara sadar.
8. Berpikiran terbuka: suatu sudut pandang yang dicirikan dengan bersikap
menerima terhadap berbagai pandangan yang berbeda dan sensitive
terhadap bias yang dimiliki oleh seseorang.
9. Tekun : bekerja keras menjalani suatu proses dengan kebulatan tekad
untuk mengatasi berbagai rintangan.
10. Refleksi : kontemplasi atau perenungan tentang suatu subjek terutama
asumsi dan pemikiran seseorang dengan tujuan untuk memiliki
pemahaman yang lebih dalam dan utuk mengevaluasi diri.
2.3.3 Ciri-Ciri Orang Yang Berpikir Kritis Sistematis
Beberapa hal yang menjadi ciri khas dari pemikir kritis itu sendiri adalah :
1. Mampu membuat simpulan dan solusi yang akurat, jelas, dan relevan
terhadap kondisi yang ada.
2. Berpikir terbuka dengan sistematis dan mempunyai asumsi, implikasi, dan
konsekuensi yang logis.
3. Berkomunikasi secara efektif dalam menyelesaikan suatu masalah yang
kompleks
4. Berpikir kritis merupakan cara untuk membuat pribadi yang terarah,
disiplin, terkontrol, dan korektif terhadap diri sendiri. Hal ini tentu saja
membutuhkan kemampuan komunikasi efektif dan metode penyelesaian
masalah serta komitmen untuk mengubah paradigma egosentris dan
sosiosentris kita.
Saat kita mulai untuk berpikir kritis, ada beberapa hal yang perlu kita
perhatikan disini, yaitu :
1. Mulailah dengan berpikir apa dan kenapa, lalu carilah arah yang tepat
untuk jawaban dari pertanyaan tersebut.
2. Tujuan pertanyaan akan apa dan kenapa
3. Informasi yang spesifik untuk menjawab pertanyaan diatas.
4. Kriteria standar yang ditetapkan untuk memenuhi jawaban atas
pertanyaan.
5. Kejelasan dari solusi permasalahan/pertanyaan.
6. Konsekuensi yang mungkin terjadi dari pilihan yang kita inginkan.
7. Mengevaluasi kembali hasil pemikiran kita untuk mendapatkan hasil yang
maksimal.
Beberapa kriteria yang dapat kita jadikan standar dalam proses
berpikir kritis ini adalah kejelasan (clarity), tingkat akurasi (accuracy),
tingkat kepresisian (precision) relevansi (relevance), logika berpikir yang
digunakan (logic), keluasan sudut pandang (breadth), kedalaman berpikir
(depth), kejujuran (honesty), kelengkapan informasi (information) dan
bagaimana implikasi dari solusi yang kita kemukakan (implication).
Kriteria-kriteria di atas tentunya harus menggunakan elemen-
elemen penyusun kerangka berpikir suatu gagasan atau ide. Sebuah
gagasan/ide harus menjawab beberapa hal sebagai berikut.
1. Tujuan dari sebuah gagasan/ide
2. Pertanyaan dari suatu masalah terhadap gagasan/ide
3. Sudut pandang dari gagasan/ide
4. Informasi yang muncul dari gagasan/ide
5. Interpretasi dan kesimpulan yang mungkin muncul.
6. Konsep pemikiran dari gagasan/ide tersebut
7. Implikasi dan konsekuensi
8. Asumsi yang digunakan dalam memunculkan gagasan/ide tersebut
Dasar-dasar ini yang pada peinsipnya perlu dikembangkan untuk
melatih kemampuan berpikir kritis kita. Jadi, berpikir kritis adalah
bagaimana menyeimbangkan aspek-aspek pemikiran yang ada di atas
menjadi sesuatu yang sistemik dan mempunyai dasar atau nilai ilmiah
yang kuat. Selain itu, kita juga perlu memperhitungkan aspek alamiah
yang terdapat dalam diri manusia karena hasil pemikiran kita tidak lepas
dari hal-hal yang kita pikirkan.
Sebagaimana fitrahnya, manusia adalah subjek dalam kehidupan
ini. Artinya manusia akan cenderung berpikir untuk dirinya sendiri atau
disebut sebagai egosentris. Dalam proses berpikir, egosentris menjadi hal
utama yang harus kita hindari. Apalagi bila kita berada dalam sebuah tim
yang membutuhkan kerjasama yang baik. Egosentris akan membuat
pemikiran kita menjadi tertutup sehingga sulit mendapatkan inovasi-
inovasi baru yang dapat hadir. Pada akhirnya, sikap egosentris ini akan
membawa manusia ke dalam komunitas individualistis yang tidak peka
terhadap lingkungan sekitar. Bukan menjadi solusi, tetapi hanya menjadi
penambah masalah.
Semakin sering kita berlatih berpikir kritis secara ilmiah, maka kita
akan semakin berkembang menjadi tidak hanya sebagai pemikir kritis
yang ulung, namun juga sebagai pemecah masalah yang ada di
lingkungan. Khususnya pemecah masalah bangsa Indonesia ini.

2.4 Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, Dan Setelah Bencana Pada


Korban, Survivor, Populasi Rentan Dan Berbasis Komunitas
2.4.1 Pengertian Penilaian Sistematis
Menurut Eko Putro Widoyoko, 2012: 3, Penilaian ialah sebagai kegiatan
menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan kriteria dan aturan-aturan
tertentu.Penilaian memberikan informasi lebih konprehensif dan lengkap dari
pada pengukuran, karena tidak hanya mengunakan instrument tes saja, melainkan
mengunakan tekhnik non tes lainya. Penilaian merupakan kegiatan mengambil
keputusan dalam menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik dan buruk serta
bersifat kualitatif
Sistematis adalah bentuk usaha menguraikan serta merumuskan sesuatu hal
dalam konteks hubungan yang logis serta teratur sehingga membentuk system
secara menyeluruh, utuh dan terpadu yang mampu menjelaskan berbagai
rangkaian sebab akibat yang terkait suatu objek tertentu.(Abdulkadir Muhammad :
2004)
Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses pengumpulan data data
dan informasi yang bersifat kualitatif yang disusun secara berurutan, utuh dan
terpadu untuk menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek
tertentu. Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan data dan
informasi yang berkaitan dengan bencana yang termasuk didalamnya bentuk
bencana, lokasi, dampak, korban, dan usaha dalam menghadapi bencana sebelum,
saat dan setelah terjadinya bencana. Penilaian sistematis ini disusun untuk
memberikan gambaran mengenai resiko dan dampak yang akan dialami jika
terjadi bencana.
1. Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor, populasi rentan dan
berbasis masyarakat. Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih
banyak melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency
response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster
reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal, apabila kita
memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana,
kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin
timbul ketika bencana.
1.1 Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan
istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan
dampak yang ditimbulkan oleh bencana.Mitigasi bencana mencakup
baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk
mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan
sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-
tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
1.2 Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur
dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi
terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa,
dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun
membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding
pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan
dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari
wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana
yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah
serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.
1.3 Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu
penilaian bahaya, peringatan dan persiapan
2. Penilaian bahaya (hazard) Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia
merupakan Negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat
tinggi dan beragam baik berupa bencana alam, bencana ulah manusia
ataupun kedaruratan kompleks. Beberapa potensi tersebut antara lain
adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah
longsor,kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan
permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan teknologi dan
konflik sosial. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama
(main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard).
Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat
antara lain pada peta rawan bencana gempa di Indonesia yang
menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa
yangrawan, peta kerentanan bencana tanah longsor, peta daerah
bahayabencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta
potensi bencana banjir, dan lain-lain.
Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk
mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat
ancaman.Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik
sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian
bencana di masa lalu.Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana
yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya.
Penilaian risiko bencana / bahaya dibedakan berdasarkan
karakteristik utama yaitu :
1. Penyebab : alam atau ulah manusia
2. Frekuensi : berapa sering terjadinya
3. Durasi : beberapa durasinya terbatas seperti pada ledakan sedang
lainnya mungkin lebih lama seperti banjir dan epidemic.
4. Kecepatan onset : bisa muncul mendadak hingga sedikit atau tidak ada
pemberitahuan yang bisa diberikan atau bertahap seperti pada banjir
(kecuali banjir bandang) memungkinkan cukup waktu untuk
pemberitahuan dan mungkin tindakan pencegahan atau peringatan. Ini
mungkin berulang dalam periode waktu tertentu seperti pada gempa
bumi.
5. Luasnya dampak : bisa terbatas dan mengenai hanya area tertentu atau
kelompok masyarakat tertentu atau menyeluruh mengenai masyarakat
luas mengakibatkan kerusakan merata pelayanan dan fasilitas.
6. Potensi merusak : kemampuan penyebab bencana menimbulkan tingkat
kerusakan tertentu (berat, sedang atau ringan) serta jenis (cedera
manusia atau kerusakan harta benda) dari kerusakan.
3. Peringatan (warning) Setelah mendapat pemetaan daerah rawan bencana
selanjutnya dibutuhkan system peringatan dini (Early Warning System)
melalui BMKG.Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)
merupakan serangkaian sistem untuk memberitahukan akan timbulnya
kejadian alam, dapat berupa bencana maupun tanda-tanda alam lainnya.
Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan
memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh
masyarakat.Dalam keadaan kritis, secara umum peringatan dini yang
merupakan penyampaian informasi tersebut diwujudkan dalam bentuk
sirine, kentongan dan lain sebagainya. Namun demikian menyembunyikan
sirine hanyalah bagian dari bentuk penyampaian informasi yang perlu
dilakukan karena tidak ada cara lain yang lebih cepat untuk mengantarkan
informasi ke masyarakat. Semakin dini informasi yang disampaikan,
semakin longgar waktu bagi penduduk untuk meresponnya.
Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya
tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan
gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang
terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran
komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang
maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam
harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
Hal-hal yang perlu dinilai dalam proses peringatan/warning sebelum
bencana adalah :
3.1 Tersedianya system dan akses komunikasi yang memadai dan
mencakup seluruh daerah khususnya didaerah resiko tinggi bencana
alam seperti daerah yang dilewati lempeng/patahan pemicu gempa dan
tsunami, dataran tinggi yang rawan longsor, dan daerah dataran rendah
yang berdekatan dengan sungai yang rawan banjir bandang.Hal ini
diperlukan dalam penyampaian informasi secara cepat dan akurat dari
sumber terpercaya.
3.2 Pengetahuan masyarakat dalam menerima informasi bencana yang
akan terjadi yang termasuk didalamnya menjangkau tempat
perlindungan yang aman secepatnya setelah peringatan diberikan.
3.3 System sensor pendeteksi (peralatan EWS) gempa, tsunami dan
letusan gunung berapi yang dipasang di area area patahan apakah
bekerja baik dan real time. Sehingga mempercepat penyampaian
informasi.
4. Persiapan (preparedness)
Persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi(atau kemungkinan akan
terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-
kebutuhan dalam keadaan darurat danidentifikasi atas sumber daya yang
ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Perencanaan ini dapat
mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.
Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya
(penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan
tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan
tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan
evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan
pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat
bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang
yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona
bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan
untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi
struktur akan bencana (mitigasi struktur).
Penilaian dalam kegiatan persiapan ini meliputi :
4.1 Tersedianya jalur evakuasi yang jelas dan bisa dijangkau oleh
masyarakat.
4.2 Fasilitas pelayanan public terutama fasilitas kesehatan yang akan
menjadi tempat rujukan bila terjadi bencana.
4.3 Kesiapan dan pengetahuan masyarakat di daerah rawan bencana
dalam menghadapi dan menyelamatkan diri saat terjadi bencana.
Kegiatannya berisi simulasi dan pelatihan bencana.
4.4 Pemahaman Tentang Kerentanan Masyarakat Kerentanan
(vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya
atau ancaman. Penilaian kerentanan ini dapat berupa:
4.5 Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya
tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan
rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya
tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai dan sebagainya.
4.6 Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya.Pada
umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu
lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan
finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau
mitigasi bencana.
4.7 Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan
terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan
pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi
tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang
rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.
4.8 Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi
kerentanan. Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit
air akan selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di
lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah
longsor dan sebagainya.
5. Penilaian saat bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah
saat bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses
peringatan dini, maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh
karena itu diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat
mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban
atau kerugian dapat diminimalkan.
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
sarana prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan
bencana yang dibentuk dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi
tanggap darurat antara lain:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude
bencana, luas area yang terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
2. Penentuan status keadaan darurat bencana.
3. Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana
sehingga dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat
bencana terlalu besar dan berdampak luas, mungkin bencana tersebut
dapat digolongkan sebagai bencana nasional.
6. Penilaian korban
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel
merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau
mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah
kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa
menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma,
immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk
menghambat kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer,
resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke
RS sesuai.Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan
klinis kritis yang diketahui pada awal proses.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan
klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik
serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk
tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau penyebab ancaman
hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses
yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase
inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat
dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase
pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan
retriase.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode
triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau
sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana
Mengakibatkan Kombinasi Keduanya Lebih Layak Digunakan.
2.5 Suveilen Bencana
Surveilans adalah kegiatan “analisis” yang sistematis dan
berkesinambungan melalui kegiatan pengumpulan dan pengolahan data serta
penyebar luasan informasi untuk pengambilan keputusan dan tindakan segera.
Surveilans Bencana adalah mengumpulkan data pada situasi bencana ,data
yang dikumpulkan berupa jumlah korban meninggal, luka sakit, jenis luka,
pengobatan yang dilakukan, kebutuhan yang belum dipenuhi, jumlah korban
anak-anak, dewasa, lansia. Surveilans sangat penting untuk monitoring dan
evaluasi dari sebuah proses, sehingga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan
dan rencana program.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa surveilans adalah
pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit
tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu
untuk kepentingan pencegahan dan penganggulangannya.
2.4.1 Tujuan surveilens
Tujuan Surveilans adalah untuk mendukung fungsi pelayanan bagi korban
bencana secara keseluruhan untuk menekan dampak negatif yang lebih
besar.
1. Mengurangi jumlah kesakitan, resiko kecacatan dan kematian saat terjadi
bencana.
2. Mencegah atau mengurangi resiko munculnya penyakit menular dan
penyebarannya.
3. Mencegah atau Mengurangi resiko dan mengatasi dampak kesehatan
lingkungan akibat bencana(misalnya perbaikan sanitasi.)
3.1 Berperan dalam:
3.1.1 Saat Bencana : Rapid Health Assesment (RHA), melihat dampak-
dampak apa saja yang ditimbulkan oleh bencana, seperti berapa
jumlah korban, barang-barang apa saja yang dibutuhkan, peralatan
apa yang harus disediakan, berapa banyak pengungsi lansia, anak-
anak, seberapa parah tingkat kerusakan dan kondisi sanitasi
lingkungan.
3.1.2 Setelah Bencana : Data-data yang akan diperoleh dari kejadian
bencana harus dapat dianalisis, dan dibuat kesimpulan berupa
bencana kerja atau kebijakan, misalnya apa saja yang harus
dilakukan masyarakat untuk kembali dari pengungsian,
rekonstruksi dan rehabilitasi seperti apa yang harus diberikan.
3.1.3 Menentukan arah respon/penanggulangan dan menilai keberhasilan
respon/evaluasi.
3.1.4 Managemen Penanggulangan bencana meliputi Fase I untuk
tanggap darurat, Fase II untuk fase akut, Fase III untuk recovery
(rehabilitasi dan rekonstruksi). Prinsip dasar penaggunglangan
bencana adalah pada tahap  Preparedness atau kesiapsiagaan
sebelum terjadi bencana.
2.4.2 Surveilens Bencana meliputi :
1. Surveilans penyakit-penyakit terkait bencana, terutama penyakit menular.
Di lokasi pengungsian korban bencana, sangat perlu dilakukan survey
penyakit-penyakit yang ada, terutama penyakit menular. Dengan ini
diharapkan nantinya ada tindakan penanganan yang cepat agar tidak terjadi
transmisi penyakit tersebut. Ada 13 besar penyakit menular dan penyakit
terkait bencana : Campak, DBD, diare berdarah, diare biasa, hepatitis,
ISPA, keracunan makanan, malaria, penyakit kulit, pneumonia, tetanus,
trauma (fisik), dan thypoid.
Penyakit Menular Prioritas (dalam pengamatan dan pengendalian) :
1.1 Penyakit yang rentan epidemik (kondisi padat)
1.2 Kolera : Diare berdarah, Thypoid fever, Hepatitis
1.2 Penyakit dalam program pengendalian nasional : Campak, Tetanus
1.3 Penyakit endemis yang dapat meningkat paska bencana : Malaria,
DBD

2.6 Dokumentasi Dan Laporan Hasil Penilaian Bencana


Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti
dalam persoalan hukum.Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat
atau merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan)
yang dianggap berharga dan penting.Dokumentasi asuhan dalam pelayanan
keperawatan adalah bagian dari kegiatan yangharus dikerjakan oleh perawat
setelah memberi asuhan kepada pasien.
Dokumentasi merupakansuatu informasi lengkap meliputi status kesehatan
pasien, kebutuhan pasien, kegiatan asuhankeperawatan serta respons pasien
terhadap asuhan yang diterimanya.Dengan demikiandokumentasi keperawatan
mempunyai porsi yang besar dari catatan klinis pasien yangmenginformasikan
faktor tertentu atau situasi yang terjadi selama asuhan dilaksanakan.Disamping itu
catatan juga dapat sebagai wahana komunikasi dan koordinasi antar
profesi(Interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk mengungkap suatu fakta
aktual untuk dipertanggungjawabkan.
Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian integral dari asuhan
keperawatanyang dilaksanakan sesuai standar.Dengan demikian pemahaman dan
ketrampilan dalammenerapkan standar dengan baik merupakan suatu hal yang
mutlak bagi setiap tenagakeperawatan agar mampu membuat dokumentasi
keperawatan secara baik dan benar.Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang
mencerminkan standar nasional berperansebagai alat manajemen resiko bagi
perawat UGD. Hal tersebut memungkinkan peninjau yangobjektif menyimpulkan
bahwa perawat sudah melakukan pemantauan dengan tepat dan
mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan. Pencatatan,
baik dengancomputer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan bahwa
perawat gawat darurattelah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan
dan kolaborasi, implementasi danevaluasi perawatan yang diberikan, dan
melaporkan data penting pada dokter selama situasiserius.Lebih jauh lagi, catatan
tersebut harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat bertindak sebagai
advokat pasien ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yangmengancam
keselamatan pasien. (Anonimous,2011). Pada tahap pengkajian, pada proses triase
yang mencakup dokumentasi :
5.1 Waktu dan datangnya alat transportasi
5.2 Keluhan utama (misal. “Apa yang membuat anda datang kemari?”)
5.3 Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan
5.4 Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
5.5 Penempatan di area pengobatan yang tepat (msl. kardiak versus trauma,
perawatan minor versus perawatan kritis)
5.6 Permulaan intervensi (misal. balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur
diagnostik seperti pemeriksaan sinar X, elektrokardiogram (EKG), atau
Gas Darah Arteri (GDA))(ENA, 2015).
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi.
Tindakan ini merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengelolaan
musibah massal. Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang
tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena
status triase pasien dapat berubah. Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk
triase.
Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging
system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation).Prioritas tindakan dalam triase yaitu terdiri dari Prioritas Nol
(Hitam), Prioritas Pertama (Merah), Prioritas Kedua (Kuning), dan Prioritas
Ketiga (Hijau).
Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir pada level
yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Berpikir kritis
mengandung aktivitas mental dalam hal memecahkan masalah, menganalisis
asumsi, memberi rasional, mengevaluasi, melakukan penyelidikan, dan
mengambil keputusan.Berpikir sistematis artinya memikirkan segala sesuatu
berdasarkan kerangka metode tertentu, ada urutan dan proses pengambilan
keputusan.

3.2 Saran
Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena
keterbatasan sumber yang kami peroleh. Sehingga isi dari makalah ini masih
bersifat umum, oleh karena itu kami harapkan agar pembaca bisa mecari sumber
yang lain guna membandingkan dengan pembahasan yang kami buat, guna
mengoreksi bila terjadi kelasahan dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,


PDF diakses pada 20 September 2020
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan, PDF diakses pada 20 September 2020
Peraturan Pemerintan Republik Indonesia Nomor 21 Tahu 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PDF diakses pada 20
September 2020
Elon, Yunus. Aspek Etik dan Legal dalam Keperawatan Gawat Darurat,
Emergency and Critis Universitas Advent Indonesia, PDF Diakses pada
20 September 2020
Widyastuti, Merina. Aspek Legal Keperawatan Bencana, PPT diakses pada 20
September 2020.

Anda mungkin juga menyukai