Anda di halaman 1dari 52

PENILAIAN SECARA CEPAT, TEPAT DAN SISTEMATIS PADA

KEADAAN SEBELUM, SAAT, DAN SETELAH BENCANA

Dosen Pengampu: Suryagustina, Ners.,M.Kep.

Disusun Oleh:
Kelompok 2
S1 Keperawatan TKT 4A
Adyendy 2019.C.11a.0995
Adella Putri 2019.C.11a.0996
Arintina Herawati 2019.C.11a.1000
Cindy Masdy 2019.C.11a.1002
Desry Handayani 2019.C.11a.1004
Egga Ellisiya 2019.C.11a.1006
Erlisa 2019.C.11a.1008
Janwaria Changrila 2019.C.11a.1013
Khofifah Wulannor 2019.C.11a.1014
Malisa 2019.C.11a.1017
Muhammad Aldy Irfani 2019.C.11a.1018
Nataliana Doq 2019.C.11a.1020
Niko Wibowo 2019.C.11a.1021
Rischo Rasmara 2019.C.11a.1025
Sunardi 2019.C.11a.1029
Tina Novela 2019.C.11a.1030
Tri Berger 2019.C.11a.1031
Virgo Mandala Putra 2019.C.11a.1033
Yoandra Resa Veronika 2019.C.11a.1034

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang masih
memberikan penulis kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Keperawatan Bencana.Dalam makalah ini mengulas tentang “Penilaian Secara
Cepat, Tepat Dan Sistematis Pada Keadaan Sebelum, Saat, Dan Setelah
Bencana”
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun makalah ini.Penulis juga
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat
penulis harapkan dari para pembaca guna meningkatkan dan memperbaiki
pembuatan makalah pada tugas lain di waktu mendatang.

Palangka Raya, 9 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN...................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 4
2.1 Konsep dan Model-Model Triase Bencana........................................ 4
2.2 Berfikir Kritis dan Sistematis............................................................. 22
2.3 Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan Setelah Bencana Pada........
Korban, Survivor, Populasi Rentan, dan Berbasis Komunitas........... 28
2.4 Surveilan Bencana.............................................................................. 34
2.5 Dokumentasi dan Pelaporan Hasil Penilaian Bencana....................... 36
BAB 3 PENUTUP....................................................................................... 47
3.1 Kesimpulan......................................................................................... 47
3.2 Saran................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita tidak pernah tahu keadaan emergensi apa yang akan datang kepada
kita, yang kita bisa lakukan adalah memikirkan apa yang akan kita lakukan ketika
keadaan emergensi itu datang. Seperti kasus letusan gunung merapi di jogja pada
oktober lalu, yang merupakan letusan terbesar dalam satu abad belakangan ini,
banyak korban yang berjatuhan, keadaan panik, dan akhirnya mahasiswa pun akan
diturunkan dalam lapangan. sebelum melakukan terapi definitif, penting untuk
melakukan seleksi korban dilapangan, untuk menentukan prioritas mana korban
yang harus diselamatkan terlebih dahulu.
Kata Triage berasal dari bahasa perancis trier yang berarti memisahkan,
memilah, dan memilih. Triase atau triage adalah proses seleksi korban untuk
menentukan prioritas penanganan berdasarkan pada kriteria tertentu, sedang
pananganan pra-rumah sakit adalah tahap penanganan yang dilakukan sebelum
korban mencapai rumah sakit. Bebeda dengan fase pra-rumah sakit yang
mengutamakan tindakan resusitasi dan stabilisasi, pada fase rumah sakit juga
direncanakan penanganan sampai tahap definitif. Ketiga proses tersebut, triase –
penanganan pra-rs – penanganan intra rs, merupakan proses yang berurutan,
sehingga memerlukan kesamaan konsep dan koordinasi yang baik dari para
petugasnya. Sesuai dengan situasi yang dihadapi dan sumber daya yang tersedia,
maka proses triase dapat dilakukan dalam beberapa metode, yang kesemuanya
berdasar pada filosofi yang sama, yaitu memilih tindakan yang akan memberikan
manfaat bagi kelompok terbesar korban.Walaupun demikian, setelah triase
dilakukan, prinsip-prinsip pananganan korban sebagai individu tetap harus
dijalankan. Penanganan pra-rumah sakit meliputi penanganan di tempat kejadian
dan selama transportasi. Ditempat kejadian, pertolongan dimulai dari tindakan
penyelamatan ( rescue) dan evakuasi korban dari tempat kejadian, misalnya
gedung yang runtuh, yang umumnya dilakukan oleh petugas penyelamat dan
bukan oleh petugas medis. Setelah itu baru dilakukan proses triase oleh petugas
medis, sebelum dialkukan tindakan lebih lanjut. Jadi selain di rumah sakit, triase

1
juga dilakukan ditempat kejadian, sehingga diperlukan kerja sama yang baik
antara petugas penyelamat dan petugas medis.
Dalam triase, secara umum korban akan dikelompokkan menjadi 4
kelompok, yaitu kelompok Merah untuk korban yang memerlukan tindakan life
saving, Kuning untuk kelompok yang tindakannya dapat ditunda, Hijau untuk
kelompok yang tidak memerlukan tindakan emerjensi, serta Hitam untuk korban
yang meninggal. Penentuan prioritas penanganan ini dilakukan oleh Pimpinan
Triase atau TriageOfficer, sedangkan tindakan pertolongan dilakukan oleh petugas
lain dalam tim tersebut. Walaupun singkat, proses triase memerlukan waktu,
sehingga kalau terlalu banyak jumlah korban yang di triase oleh seorang pimpinan
triase, maka korban terakhir akan menunggu cukup lama untuk mendapat giliran
diperiksa, dan hal ini bisa berakibat fatal.
Untuk melakukan dasar triage tersebut seseorang petugas gawat darurat juga
dituntut untuk mampu dengan cepat menilai tanda – tanda dan kondisi vital dari
korban, menentukan kemungkinan kebutuhan medisnya, menilai kemampuan
keselamatannya, menilai perawatan medis yang ada ditempat, memprioritaskan
managemen korban dan memberikan pasien label warna sesuai dengan prioritas.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa Konsep dan Model-Model Triase Bencana?
2) Bagaimana Berfikir Kritis dan Sistematis?
3) Bagaimana Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan Setelah Bencana Pada
Korban, Survivor, Populasi Rentan, dan Berbasis Komunitas?
4) Bagaimana Surveilen Bencana?
5) Bagaimana Dokumentasi dan Pelaporan Hasil Penilaian Bencana?
1.3 Tujuan Penulisan
1) Untuk Mengatahui Konsep dan Model-Model Triase Bencana
2) Untuk Mengetahui Berfikir Kritis dan Sistematis
3) Untuk Mengetahui Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan Setelah
Bencana Pada Korban, Survivor, Populasi Rentan, dan Berbasis
Komunitas
4) Untuk Mengetahui Surveilen Bencana
5) Untuk Mengetahui Dokumentasi dan Pelaporan Hasil Penilaian Bencana

2
1.4 Manfaat Penulisan
Dengan adanya penyusunan makalah ini mampu mempermudah penyusun
dan pembaca guna memahami materi tentang penilaian secara cepat, tepat dan
sistematis pada keadaan sebelum, saat, dan setelah bencana.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Model-Model Triase Bencana
2.1.1 Definisi Triase (Triage)
Triase (Triage) berasal dari kata bahasa Perancis yaitu“trier” yang secara
literatur berarti mengurutkan, memisahkan, memilah atau memilih.Istilah ini
sering digunakan pada saat menyeleksi buah anggur untuk dijadikan minuman
anggur yang memiliki kualitas yang bagus. Penggunaan istilah triase berlanjut
digunakan pada kondisi peperangan yang dipakai untuk menyortir tentara yang
terluka untuk dilakukan penaganan atau rujukan ke rumah sakit dalam
mendapatkan perawatan. Penggunaan istilah triase terus berkembang bahkan pada
bidang keschatan hingga akhirnya pada tahun 1960 istilah triase mulai digunakan
di rumah sakit.
Istilah triase jika digunakan dalam area kegawatdaruratan maka dapat
didefinisikan sebagai tindakan mempriontaskan korban dengan cara memilih atau
mengelompokkan korban berdasarkan beratnya cidera, kemungkinan untuk hidup,
dan keberhasilan tindakan berdasarkan sumber daya dan sarana yang tersedia.
Pertimbangan yang harus diperhatikan dalam melakukan triase diantaranya model
triase yang digunakan, jumlah korban, jenis trawna, usia korban, kondisi bencana,
metode transfertasi dan jarak lokasi bencana ke pelayan kesehatan terdekat
(UGD).
Dalam pelaksanaan triase umumnya menggunakan warna atau label dalam
mengelompokkan atau kategorisasi korban berdasarkan tingkat kegawa
tdaruratannya. Yaitu warna merah untuk menggambarkan kondisi berat, kuning
kondisi sedang, hijau kondisi ringan dan hitam untuk kondisi korban sudah
meninggal. Selain menggunakan warna tindakan triase juga dapat
mengkategorikan korban dengan menggunakan level atau tingkatan biasanya
dimulai dari level IV sesuai dengan kondisi kegawat daruratannya.
Tindakan triase dilakukan oleh petugas kesehatan yang memiliki
kompetensi di bidang gawatdarurat, petugas triase harus memiliki pengetahuan
dan keterampilan serta pengalaman bekerja di UGD atau setidaknya pernah
mengikuti pelatihan terkait penanganan kegawatdaruratan seperti BTCLS (Basic

4
Trauma Cardiac Life Support) dan SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawar
Darurat Terpadu). Petugas triase di rumah sakit umumnya dilakukan oleh
perawat atau dokter sedangkan pada kondisi di lapangan dapat dilakukan oleh
penolong yang sudah terlatih seperti anggota tim SAR (Search and Rescue)
anggota PMI (Palang Merah Indonesia), anggota Tagana (Taruna Siaga Bencana)
atau anggota organisasi lainnya yang berkecimpung dalam bidang kegawatdarutan
dan bencana.
2.1.2 Prinsip Triase
a. CepatTriase yang dilakukan harus secepat mungkin dengan memperhatikan
keselamatan nyawa korban. Petugas triase harus memperhatikan gokien
time dalam menolong korban untuk meminimalkan kemungkinan atau
dampak buruk yang bisa berlanjut jika korban tidak segera mendapatkan
pertolongan.
b. Tepat
Dalam melakukan triase petugas harus melakukan triase dengan tepat
sebagai dasar menentukan tindakan penyelamatan selanjutnya. Petugas
dituntut memiliki kemampuan dan pengetahuan dalam melakukan kategori
dan penentuan prioritas berdasarkan kegawatdaruratan korban.
c. Efektif
Tindakan triase harus memperhatikan ketersediaan tenaga dan fasilitas yang
tersedia dalam menolong korban. Tindakan triase harus dilakukan seefektif
mungkin dengan mempertimbangkan kemapuan dan fasiltias yang dimiliki
instalasi gawat darurat atau fasilitas kesehatan dalam menolong korban. Jika
korban akan dilakukan rujukan ke rumah sakit maka harus
mempertimbangkan jarak dan waktu tempuh yang dibutuhkan.
2.1.3 Tujuan Triase
Triase yang dilakukan diharapakan dapat membantu atau memudahkan
petugas triase dalam melakukan proses seleksi atau pengkategorian pasien
sebelum mendapatkan penanganan, berikut adalah tujuan dari proses triase:
a. Untuk memastikan bahwa korban ditolong sesuai dengan urutan skala
prioritas berdasarkan urutan kegawat daruratannya.

5
b. Untuk memastikan pengobatan terhadap korban tepat guna dan tepat
waktu.
c. Untuk mengetahui kebutuhan tenaga dan peralatan dalam menangani
korban.
d. Untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menolong
korban.
e. Untuk mengetahui kemungkinan dan peluang pasien dapat diselematkan.
f. Untuk memindahkan pasien ke lokasi yang lebih aman dan ke lokasi
fasilitas kesehatan terdekat.
g. Untuk mengumpulkan informasi dalam penanggulangan korban.
2.1.4 Jenis-jenis Triase
a. Triase Rumah Sakit Jenis triase ini dilakukan di dalam area rumah sakit
dengan jumlah pasien bisa tunggal atau multiple kasus. Triase rumah sakit
dilakukan di depan atau dalam ruangan Unit Gawat Darurat. Petugas triase
rumah sakit sendiri atau menggunakan mobil ambulance, Korban yang telah
dilakukan penilaian dan pencatuan kategori kegawadaruratan maka
selanjutnya korban akan dilakukan tindakan dengan mengikuti arah jalur
triase.
Jalur Triase Rumah Sakit Empat Warna

Sumber: detik health.com


b. Triase Lapangan
Triase lapangan atau biasa juga disebut triase pre hospital merupakan jenis
triase yang dilakukan pada lokasi terjadinya bencana atau musibah secara
langsung. Petugas triase atau penolong harus mampu mengidentifikasi
dan mengelompokkan korban dengan cepat terutama jika itu merupakan

6
korban massal. Fada triase lapangan petugas triase dan penolong harus
selalu memperhatikan kondisi Iingkungan sekitar yang dapat mengancam
keselamatan korban dan penolong.
Korban yang telah dilakukan penilaian maka akan diberikan label atau
penanda pada korban berupa tag triage untuk memudahkan penolong pada
saat proses evakuasi korban ke tempat yang lebih aman. Korban dengan
kondisi ringan hingga sedang akan dilakukan evakuasi ke posko darurat
untuk mendapatkan penanganan sedangkan korban yang kategori berat
dapat dilakukan penanganan langsung di lokasi jika memungkinkan atau
dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat dengan menggunakan jenis
transfortasi yang tersedia.
Tag Triage

Sumber:wikidoc.org & cbsaustin.com


2.1.5 Model Triase
Dalam pelaksanaan triase terdapat beberapa model yang telah
dikembangkan dari berbagai negara dari institusi yang berhubungan dengan
sistem kegawadaruratan, namun model triase yang sering digunakan baik model
triase rumah sakit maupun model triase lapangan, diantaranya:
1. The CTAS (Canadian Triage and Acuity Scale)
Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) merupakan model triase yang
dikembangkan oleh Negara Canada. Model ini dikembangkan untuk
meningkatkan pelayanan triase di bagian gawat darurat. Sejak pertama kali
diterapkan pada tahun 1995 model ini telah mengalami perubahan

7
diantaranya pada tahun 1999, 2001, 2003 dan terakhir pada tahun 2008.
Model CTAS dikembangkan untuk pasien dewasa dan anak anak.
CTAS merupakan model triase yang menggunakan 5 tingkatan atau level
yang didasarkan pada daftar keluhan pasien. Tujuan Operasional utamanya
adalah menentukan waktu untuk pemeriksaan awal pasien oleh petugas
triase.

a. Level I = Resuscitationz Segera mungkin(The Canadian Triage and


Acuity Scale: Education Manual Module 1, no date)
Level I merupakan level tertinggi pada model triase CTAS, pada kondisi
ini pasien akan mendapatkan tindakan penyelamatan segera mungkin dan
diberi label triase warna biru. Nyawa atau anggota tubuh dari pasien
sangat terancam, kondisi ini biasanya sudah mendapatkan penanganan
pre hospital dan akan membutuhkan tindakan intensif dan segera
mungkin setelah tiba di rumah sakit untuk menyelamatkan nyawa
korban. Korban kategori level I memiliki masalah pada Airway (A),
Breathing (B) dan Circulation (C) yang kompleks, umumnya pasien
datang dengan kesadaran menurun atau tidak berespon, tanda-tanda vital
tidak stabil bahkan tidak ada, dehidrasi berat dan gangguan pernapasan
yang berat. Berikut beberapa kondisi atau kasus yang masuk kategori
level 1 yaitu: Serangan jantung, gagal napas, pnemothoraks, cedera
kepala berat, luka bakar parah, trauma dada dan abdomen, syok
kardiogenik/hipovclemi, intoksikasi/overdosis dan sepsis syndrome.

8
b. Level II = Emergency = Penilaian maksimal 15 menit.
Pada kondisi ini pasien berpotensi untuk mengalami ancaman nyawa dan
bagian anggota tubuh jika tidak segera mendapatkan pertolongan dan
pengobatan yang terkontrol. Pasien biasanya pernah mengalami kondisi
yang serius sebelumnya sehingga membutuhkan pengobatan yang tepat
untuk menstabilkan kondisinya agar tidak menjadi kategori level I. Batas
toleransi waktu yang bisa diberikan sampai dilakukan penanganan
maksimal 15 menit dengan label trise warna merah. Umumnya pasien
datang dengan kondisi status mental yang bervariasiseperti agitasi,
letargi, kebingungan, semikoma, bahkan sampai koma. Pasien juga
biasanya datang dengan keluhan nyeri yang tidak terkontrol. Berikut
beberapa kondisi atau kasus yang masuk kategori level II yaitu: Infark
miokard, angina unstabil, asma berat, penyakit paru kronik, cedera kepala
sedang, multiple fraktur, perdarahan, infeksi berat, nyeri abdomen terus
menerus, kolik ginjal, sakit kepala berat, overdosis, keracunan, syok
anafilaksis, demam tinggi terutama pada bayi dan anak-anak, diabetes
mellitus tidakterkontrol, gangguan imun (HIV dengan infeksi
opportunistik) kanker dengan terapi kemoterapi, gangguan kejiwaan
berat, dan korban kekerasan seksual.
c. Level III » Urgencys Penilaian maksimal 30 menit.
Pada level ini kondisi pasien berpotensi untuk mengalami masalah ke
arah yang lebih serius dan membutuhkan tindakan yang darurat. Kondisi
pasien tidak mengancam nyawanya namun dapat membuat pasien tidak
nyaman serta mempengaruhi aktifitas kesehariaanya. Pasien umumnya
memiliki tanda tanda vital yang normal namun menunjukkan keluhan
yang bersifat akut yang lebih serius. Batas toleransi waktu yang bisa
diberikan sampai dilakukan tindakan maksimal 30 menit dengan label
triase warna kuning. Berikut beberapa kondisi atau kasus yang masuk
kategori level III yaitu: Gangguan pernapasan sedang (sesak napas atau
sumbatan jalan napas), trauma tembus (kepala, dada dan perut),
gangguan neurovascular, stroke, fraktur terbuka, luka bakar sedang (5-25

9
dari luas permukaan tubuh), kondisi nyeri sedang (skala 4-7), muntah
darah dan berak darah, diare dan muntah (anak usia di bawa 2 tahun).
d. Level IV z Less urgent/semi urgent: Penilaian maksimal 60 menit.
Pada level ini kondisi pasien lebih dikaitkan dengan faktor usia, kondisi
stress dan komplikasi penyakit lainnya. Pasien tidak membutuhkan
tindakan yang darurat dan segera serta umumnya memiliki tanda tanda
vital yang stabil dan skala nyeri yang lebih rendah. Batas toleransi waktu
yang bisa diberikan sampai dilakukan intervensi maksimal 60 menit
dengan label triase warna hijau. Berikut beberapa kondisi atau kasus
yang masuk kategori level IV yaitu: Cedera kepala ringan, fraktur ringan,
dislokasi, otitis media akut, batuk, radang tenggorokan, muntah disertai
diare.
e. Level V » Non urgent” Penilaian maksimal 120 menit.
Pada level ini kondisi pasien lebih bersifat akut namun tidak bersifat
darurat. lebih dikaitkan dengan bagian dari penyakit kronik yang
menimbulkan keluhan tambahan, penanganan pada keluhan masi bisa
ditunda karena tidak memberikan risiko yang besar bagi pasien dan
tanda-tanda vital dalam batas normal. Toleransi waktu yang diberikan
bisa sampai 120 menit sebelum mendapatkan perawatandengan label
triase warna putih. Berikut beberapa kondisi atau kasus yang masuk
kategori level V yaitu: Luka ringan (lecet, memar) perdarahan ringan,
sakit perut ringan (skala 1-3), demam, diare, muntah.
Pertanyaan penilaian triase CTAS.
a. Keluhan utama ?
b. Tingkat keparahan keluhan? (ringan, sedang, berat)
c. Respon emosional?
d. Validasi dan penilain keluhan utama namun dapat ditunda jika pasien
berada pada level I,Il dan III yang membutuhkan penanganan segera,
pertanyaaanya meliputi:
1) Kapan keluhan mulai dirasakan (waktu yang spesifik)?
2) Apa yang sudah dilakukan sejak keluhan dimulai?
3) Sudah berapa lama keluhan berlangsung?

10
4) Apakah keluhan menetap atau hilang timbul?
5) Apakah saat ini keluhan masi dirasakan?
6) Coba jelaskan apa yang dirasakan saat ini?
7) Apa yang bisa meringankan atau dapat memperberat keluhan?
8) Apakah keluhan ini sebelumnya sudah pernah terjadi?
9) Apakah ada Riwayat penggunaan obat obatan untuk mengatasi
keluhan?
10) Apakah ada Riwayat alergi dalam penggunaan obat-obatan tertentu.
2. The ESI (Emergency Severity Index)
Emergency Severity Index (ESI) merupakan algoritma triase pada unit
gawat darurat yang menggunakan lima tingkat atau level, model triase ini
dikembangkan pada tahun 1999 oleh Agency for Healthcare Research and
Guality (AHRO) Amerika. Kelebihan model ini karena mempertimbangkan
ketersediaan dan perkiraan kebutuhan tenaga dalam menangani pasien.
Level ESI diberi nomor 1-5, dimana level 1 menunjukkan kondisi
kegawatdaruratan tertinggi.

Secara prinsip model triase ESI memiliki kesamaan dengan model triase
lainnya yang menggunakan 5 level dalam hal penentuan kategori pasien
berdasarkan kondisi kegawatdaruratannya. Berikut penjelasan terkait
kategori 5 level pada model triase ESI:
a. Level 1 = Immediate Intervention
Level 1 merupakan tingkatan kategori tertinggi pada model triase ESI,
dimana pada kondisi ini pasien membutuhkan tindakan penyelamatan
nyawa segera mungkin. Kondisi atau kasus yang masuk kategori level 1

11
seperti: Henti jantung dan paru, gagal napas, kondisi SPO2 di bawah 90”,
kondisi trauma atau cedera berat dengan tidak sadar,
intoksikasi/overdosis, syok anafilaksis, hipoperpusi dan hipoglikemik.
Sedangkan tindakan penyelamatan nyawa yang biasa dilakukan pada
pasien kategori level 1 diantaranya: Resuisitasi jantung paru, tindakan
intubasi, pemasangan ventilasimekanik, pemasangan CPAP, tindakan
defibrilasi, kardioversi, resuisitasi cairan, control perdarahan.
b. Level 2 = High Risk Situation and Vital Sign
Kondisi pasien pada level 2 berada pada risiko tinggi dengan tanda-tanda
vital yang tidak stabil, sehingga petugas triase harus memiliki kepekaan
dalam melihat kondisi pasien dan tidak membiarkan terlalu lama
menuggu untuk mendapatkan tindakan, batas toleransi waktu yang
diberikan maksimal 10 menit sebelum pasien mendapatkan penanganan.
Pasien pada level ini tetap mendapatkan prioritas penanganan untuk
menghindari menjadi kategori level 1. Contoh kasus atau situasi yang
masuk kategori high risk seperti: Sindrom koroner akut (Infark miokard,
angina unstabil), asma berat, trauma tembus (kepala, perut), gangguan
kesadaran (gelisah bingung, disorientasi) nyeri sedang hingga berat,
demam (39 derajat ke atas), cpusi pleura, pneumothoraks, radang
tenggorokan (sulit menelan) infeksi saluran pernapasan, kehamilan
ektopik, stroke, pasien kemoterapi dengan gangguan imun, korban
kekerasan seksual, muntah disertai diare (khusus anak).
c. Level 3, 4 & 5 s Resource needs.
Kelebihan dari model triase ESI adalah mempertimbangkan kebutuhan
tenaga terutama untuk menentukan kategori level 3, 4 dan 5. Pertama-
tama petugas harus melihat kondisi kegawatan pasien, kemudian tanda-
tanda vital pasien lalu selanjutnya menghitung kebutuhan tenaga untuk
sebuah tindakan atau jenis pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
Rumah sakit yang menggunakan model triase tersebut harus memiliki
standar pelayanan khususnya kebutuhan tenaga yang tersedia pada UGD
setiap harinya untuk menjamin pelayanan dapat berjalaan dengan lancar.

12
Contoh perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan kondisi pasien dan
jenis tindakan atau pemeriksaan yang dilakukan:

Kebutuhan
No Tindakan/
Skenario tenaga/Level
. Pemeriksaan
ESI
1. Seorang perempuan berusia 1) Pengkajian skala 2-3 orang/Level
25 tahun masuk UGD nyeri 3
dengan keluhan sakit perut 2) Pemberian terapi
pada daerah sebelah kanan cairan infus
bawah, keluhan dirasakan 3) Pemeriksaan darah
sekitar 3 jam yang lau dan rutin
disertai muntah. Tanda-tanda 4) CT Scan Abdomen
vital masih dalam batas 5) Konsul bedah
normal
2. Seorang Laki-lald berusma 1) Pengkajian skala 1 orang / Level 4
20 tahun masuk UGD nyeri
dengan keluhan nyeri 2) Pemasangan Gips
pergelangan kaki akibat 3) Foto X-Ray
terkilir setelah bermain bola,
tampak mengalami
pembengkakan pada area
cedera.
3 Seorang Laki-laki berusia 28 1) Pemberian obat Tidak butuh
tahun mauk UGD dengan sesuai indikasi. tenaga / Level 5
keluhan gatal pada area 2) Tidak ada
pungung dan tampak ada nya pemeriksaan
ruam pada area tersebut.

13
Level model triase ESI dapat ditentukan dengan mengikuti tahapan
pertanyaan pada Point A sampai point D. Jawaban pertanyaan dapat
diperoleh melalui hasil pengkajian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh
petugas triase. Pertanyaan point A adalah pertanyaan pertama dalam
penentuan kategori level 1 atau level 2, jika pasien datang dengan kondisi
nyawa terancam atau sudah meninggal maka level triase masuk kategori
level 1, sedangkan jika pasien berada pada situasi risiko tinggi dan
membutuhkan tindakan segera maka masuk kategori level 2, jika kondisi
pasien masi bisa menunggu makan selanjutnya kita akan melihat jenis
tindakan dan pemeriksaan yang dilakukan untuk penentuan kebutuhan
tenaga yang dibutuhkan, jika tidak membutuhkan tenaga untuk pemeriksaan
penunjang maka masuk kategori level 5, jika membutuhkan tenaga 1 orang
untuk pemeriksaan lanjutan masuk kategori level 4 dan jika membutuhkan
lebih dari 2 tenaga maka kita harus mempertimbangkan tanda-tanda vital
pasien jika itu masi dalam batas normal atau stabil masuk kategori level 3,
namun jika tanda-tanda vital tidak stabil atau berada pada zona berbahaya
maka kita pertimbangkan untuk memasukkan ke dalam kategori level 2.

14
3. The MTS (Mancheater Triage System)
Manchester Triage System merupakan model triase yang dikembangkan di
Inggris pada tahun 1995 oleh Manchester Triage Group yang beranggotakan
dokter dan perawat pada daerah setempat. Model triase tersebut didukung
dan terus dikembangkan oleh asosiasi perawat gawat darurat lokal dan
secara luas digunakan oleh negara-negara Eropa. MTS merupakan model
triase yang menggunakan 5 level atau skala.

a. Level 1 = Immediate = Respon segera mungkin


Pasien level 1 membutuhkan respon secepat mungkin setelah tiba di
UGD dengan label warna merah. kondisi atau kasus yang masuk level 1
seperti: Henti Jantung dan Henti nafas, Sumbatan jalan nafas total. Syok
dan tidak sadar.
b. Level 2 = Very Urgents = Respon time maksimal 10 menit.
Pada level 2 kondisi pasien cukup serius sehingga membutuhkan
penanganan segera agar tidak menjadi semakin buruk kondisinya.
Penilaian dan perawatan berlangsung dalam waktu 10 menit dengan label
warna orange. Kondisi yang masuk level 2 seperti: Penurunan saturasi
oksigen, masalah pernapasan, penurunan kesadaran, cedera akut dan
kelelahan.
c. Level 3 = Urgents = Respon time 60 menit.
Pada level ini sangat berpotensi mengancam kehidupan pasien namun
situasinya masi bisa terkendali, Penilaian dan perawatan berlangsung
dalam waktu 60 menit dengan label warna kuning. Kondisi atau kasus

15
yang masuk kategori 3 yaitu: Perdarahan sedang, Saturasi oksigen 90-
95"5, nyeri sedang, trauma minor.
d. Level 4 = Standart= Respon time 120 menit.
Pada level ini kondisi pasien memiliki risiko yang lebih kecil dan tanda-
tanda vital dalam batas normal, meskipun tidak segera medapatkan
penanganan, toleransi waktu yang diberikan untuk pemeriksaan dan
penangananhingga 120 menit. Kondisi atau kasus yang masuk level 4
yaitu: Cedera ringan, trauma dada, nyeri ringan-scdang
e. Level 5 « Non-Urgentr Respon time 240 menit.
Pada level ini kondisi pasien tidak memiliki risiko yang besar dan
mengancam kehidupan pasien meskipun tidak segera dilakukan tindakan,
toleransi waktu yang diberikan untuk pemeriksaan dan penanganan
hingga 240 menit dengan label triase warna putih. Kondisi atau kasus
yang masuk level 5 yaitu: Nyeri ringan, luka ringan, trauma monor.
4. The ATS (Astralian Triage Scale)
Australian Triage Scale /ATS) mulai diterapkan sejak tahun 1994, dan terus
mengalami perbaikan.ATS ini menjadi dasar berkembangnya sistim triase di
Inggris dan Kanada.Skala Triase Australia dirancang untuk digunakan pada
Unit Gawat Darurat Rumah Sakit di seluruh Australia dan Selandia Baru.
ATS juga merupakan model triase yang menggunakan 5 level atau kategori
dengan mempertimbangkan waktu penanganan pada pasien.

16
a. Category 1 = Immediately = Respon segera mungkin
Pasien kategori 1 membutuhkan respon secepat mungkin dan pengkajian
secara berkelanjutan, pada kategori ini kondisi pasien memberikan
ancaman bagi hidupnya dan juga bagian anggota tumbuhnya schigga
membutuhkan tindakan yang intensif. kondisi atau kasus yang masuk
kategori 1 seperti: Henti Jantung Henti nafas Sumbatan jalan nafas
mendadak yang berisiko menimbulkan henti jantung, Pernafasan <
10x/menit Distres pernafasan berat.
Tekanan darah sistole < 80 (dewasa) atau anak dengan klinis shock berat
Kesadaran tidak ada respon atau hanya berespon dengan nyeri Kejang
berkelanjutan, Gangguan perilaku berat yang mengancam diri pasien dan
orang lain.
b. Category 2 = Critical conditionRespon time maksimal 10 menit.
Pada kategori 2 kondisi pasien cukup serius atau memburuk dengan
sangat cepat sehingga ada potensi ancaman terhadap kehidupan, atau
kegagalan sistem organ. Penilaian dan perawatan berlangsung dalam
waktu 10 menit (penilaian dan perawatan secara simultan) Kondisi yang
masuk kategori 2 seperti: Jalan nafas : ada stridor disertai distres
pernafasan berat Akral dingin, Denyut nadi « 50 kali per menit atau lebih
dari 150x/menit pada dewasa, Hipotensi dengan gangguan hemodinamik
lain, kehilangan darah banyak, nyeri dada tipikal, nyeri hebat apapun
penyebabnya, Delirum atau gaduh gelisah, defisit neurologis akut
(hemiparesis, disfasia), demam dengan letargi, mata terpercik zat asam
atau zat basa, trauma multipel yang membutuhkan respon tim, trauma
lokal namun berat (traumatic amputation, fraktur terbuka dengan
perdarahan). Riwayat menelan bahan beracun dan berbahaya, riwayat
tersengat racun binatang tertentu, nyeri yang diduga berasal dari emboli
paru, diseksi aorta, kehamilan ektopik, Perilaku agresif dan kasar,
perilakuyang membahayakan diri sendiri dan orang lain dan
membutuhkan tindakan restraint.

17
c. Categori 3 = Situational urgencyRespon time 30 menit.
Pada level ini berpotensi mengancam kehidupan pasien serta dapat
mengancam anggota tubuh, atau dapat menyebabkan kematian yang
signifikan, jika penilaian dan pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga
puluh menit maka kondisi pasien bisa menjadi lebih berbahaya. Kondisi
atau kasus yang masuk kategori 3 yaitu: Hipertensi berat, kehilangan
darah sedang, Kehilangan darah moderat Sesak nafas, Saturasi oksigen
90-95 %
Paska kejang Demam pada pasien immunokompromais (pasien AIDS,
pasien onkologi, pasien dalam terapi steroid), Muntah menetap dengan
tanda dehidrasi, Nyeri kepala dengan riwayat pingsan, saat ini sudah
sadar Nyeri sedang apapun penyebabnya, Nyeri dada atipikal
Nyeri perut tanpa tanda akut, Pasien dengan usia > 65 tahun Trauma
ekstremitas moderat (deformitas, laserasi, sensasi perabaan menurun,
pulsasi ekstremitas menurun mendadak, mekanisme trauma memiliki
risiko tinggi), Neonatus dengan kondisi stabil Gangguan perilaku yang
sangat tertekan, menarik diri, agitasi, gangguan isi dan bentuk pikiran
akut, potensi menyakiti diri sendiri.
d. Categori 4 = Potentially serious" Respon time 60 menit.
Pada level ini kondisi Berpotensi serius, kondisi pasien dapat memburuk,
atau hasil yang merugikan dapat terjadi, jika penilaian dan pengobatan
tidak dimulai dalam satu jam setelah kedatangan di UGD. Pasien
membutuhkan pemeriksaan dan konsultasi yang tepat kondisi atau kasus
yang masuk kategori 4 yaitu: Cedera ringan, Perdarahan ringan, aspirasi
benda asing, cidera dada tanpa tanpa fraktur tulang iga, kesulitan
menelan, nyeri rinagn hingga sedang, muntah atau diare tanpa dehidrasi,
peradangan mata, trauma tungkai, fraktur minor.
e. Kategori 5 » Less urgents Respon time 120 menit.
Pada level ini kondisi kurang mendesak, kondisi pasien cukup kronis atau
minor sehingga gejala atau hasil klinis tidak akan terpengaruh secara
signifikan. kondisi atau kasus yang masuk kategori 5 yaitu: Nyeri ringan,
gejala minor penyakit yang stabil, luka ringan, laserasi minor (tidak perlu

18
dijahit). Kunjungan ulang untuk ganti verban, evaluasi jahitan, kunjungan
untuk imunisasi, Pasien kronis psikiatri tanpa gejala akut dan
hemodinamik stabil.
5. The START (Simple Triage And Rapid Thereatment)
Model triase START (Simple Triage And Rapid Treatment) merupakan
model triase yang biasa digunakan di lapangan atau kondisi banyak korban,
model ini dikembangkan untuk korban dewasa dan anak-anak. Prinsip triase
ini sama dengan model triase lainnya dimana petugas atau penolong tetap
mengutamakan atau memprioritaskan korban berdasarkan prinsip ABC.
Petugas triase pada model ini tidak memberikan penanganan melainkan
hanya memberikan label atau tag pada korban untuk memudahkan proses
evakuasi korban. Model triase START menggunakan empat label warna
yaitu merah, kuning hijau dan hitam.

a. Prioritas 1 = Immediate
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang kritis
keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan,
perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status
mental, luka terbuka di perut, Hipo/hiptermia, Luka bakar berat
b. Prioritas 2 = Delayed
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderita yang
mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran napas atau
kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat berjalan,
cedera punggung.

19
c. Prioritas 3 = Minor
Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal juga
sebagai “Walking Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan
sendiri.
d. Prioritas O = Deccased
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang
mematikan.
1) Kumpulkan semua penderita yang dapat / mampu berjalan sendiri ke
areal yang telah ditentukan, dan beri mereka label HIJAU.
2) Setelah itu alihkan kepada penderita yang tersisa periksa :
3) Pernapasan :
a) Bila pernapasan lebih dari 30 kali / menit beri label MERAH.
b) Bila penderita tidak bernapas maka upayakan membuka jalan napas
dan bersihkan jalan napas satu kali, bila pernapasan spontan mulai
maka beri label MERAH, bila tidak beri HITAM.
c) Bila pernapasan kurang dari 30 kali /menit nilai waktu pengisian
kapiler
4) Waktu pengisian kapiler :
a) Lebih dari 2 detik berarti kurang baik, beri MERAH, hentikan
perdarahan besar bila ada.
b) Bila kurang dari 2 detik maka nilai status mentalnya.
5) Pemeriksaan status mental :
a) Pemeriksaan untuk mengikuti perintah perintah sederhana.
b) Bila penderita tidak mampu mengikuti suatu perintah sederhana
maka beri MERAH.
c) Bila mampu beri KUNING.
Setelah memberikan label kepada korban maka tugas anda berakhir dan
segera lanjutkan ke korban selanjutnya.
6. The Salt (Sort-Asses-lifesaving/Intervention Treatment/Transport)
Model triase SALT (Sort-AssesLifesaving/ intervention-Treatment/
Transport) merupakan model triase pre hospital yang biasa digunakan untuk
mass casuality atau kondisi dengan banyak korban, missal korban ledakan

20
boma atau kebakaran Gedung yang besar. Model triase ini juga
dikembangkan untuk korban dewasa dan anak-anak. Model ini didukung
dan dikembangkan oleh persatuan kampus dan dokter gawat darurat
Amerika.

a. Red = Immediate
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang
mengalami cedera berat, namun masi memiliki potensi untuk hidup
sehingga harus segera dievakuasi, seperti mengalami luka parah,
perdarahan dan tension pneumotoraks.
b. Yellow = Delayed
Merupakan prioritas berikutnya kepada korban yang mengalami cedera
serius dan tidak bisa melakukan pergerakan secara bebas, seperti korban
yang mengalami fraktur tulang Panjang.
c. Greens = Minimal
Merupakan kelompok korban yang tidak memiliki masalah serius dan
masi mampu melakukan pergerakan dan bisa membantu korban lain
untuk bergerak menuju lokasi yang lebih aman.
d. Black = Expectant
Kategori korban yang masi memiliki harapan untuk hidup jika
mendapatkan pertolongan yang cepat dengan ketersediaan sumber daya,

21
korban kategori expectant dipindahkan setelah kategori lainnya selesai
dipindahkan.
e. Greys = Dead
Kategori korban yang memiliki cedera serus dan tidak bisa lagi
diselamatkan, korban kategori ini tidak dievakuasi ke titik berkumpul.
2.2 Berfikir Kritis dan Sistematis
2.2.1 Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi
informasi. Informasi tersebut didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal
sehat atau komunikasi. Dalam keperawatan berpikir kritis adalah suatu
kemampuan bagaimana perawat mampu berpikir dengan sistematis dan
menerapkan standart intelektual untuk menganalissi proses berpikir. Berpikir 20
kritis dalam keperawatan adalah suatu komponen penting dalam
mempertanggungjawabkan profesionalisme dan kualitas pelayanan asuhan
keperawatan.Berpikir kritis merupakan pengujian rasional terhadap ide, pengaruh,
asumsi, prinsip, argumen, kesimpulan, isu, pernyataan, keyakinan, dan aktivitas.
Berpikir bukan suatu proses yang statis, tetapi selalu berubah secara konstan
dan dinamis dalam setiap hari atau setiap waktu. Tindakan keperawatan
membutuhkan proses berpikir, oleh karena itu sangat penting bagi perawat untuk
mengerti berpikir secara umum. Pemikir kritis dalam praktik keperawatan adalah
seorang yang mempunyai keterampilan pengetahuan untuk menganalisis,
menerapkan standar, mencari informasi, menggunakan alasan rasional,
memprediksi dan melakukan transformasi pengetahuan. Pemikir kritis dalam
keperawatan menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baik dalam berpikir, yaitu :
yakin, kontekstual, perspektif, kreatif, fleksibel, integritas intelektual, intuisi,
berpikir terbuka, refleksi, inquistiviness, dan perseverance.
Menurut Wilkinson (1992), karakteristik berpikir kritis dalam keperawatan
pada prinsipnya merupakan suatu kesatuan dari berpikir (thinking, merasakan
(feeling), dan melakukan (doing). Mengingat profesi perawat merupakan profesi
yang langsung berhadapan dengan nyawa manusia, maka dalam menjalankan
aktifitasnya, perawat menggunakan perpaduan antara thinking, feeling, dan doing
secara komperhensif dan bersinergi.Perawat menerapkan keterampilan berpikir

22
dengan menggunakan pengetahuan dari berbagai subjek dan lingkungannya,
mengenai perubahan yang berasal dari stresor lingkungan, dan membuat
keputusan penting.
2.2.2 Karakteristik Berpikir Kritis
Berikut ini adalah karakteristik dari proses berpikir kritis dan
penjabarannya.
a. Konseptualisasi
Konseptualisasi artinya proses intelektual membentuk suatu konsep.
Sedangkan konsep adalah fenomena atau pandangan mental tentang realitas,
pikiran-pikiran tentang kejadian, objek, atribut, dan sejenisnya.Dengan
demikian konseptualisasi merupakan pikiran abstrak yang 21 digeneralisasi
secara otomatis menjadi simbol-simbol dan disimpan dalam otak.
b. Rasional dan beralasan (reasonable)
Artinya argumen yang diberikan selalu berdasarkan analisis dan mempunyai
dasar kuat dari fakta fenomena nyata.
c. Reflektif
Artinya bahwa seorang pemikir kritis tidak menggunakan asumsi atau
persepsi dalam berpikir atau mengambil keputusan tetapi akan menyediakan
waktu untuk mengumpulkan data dan menganalisisnya berdasarkan disiplin
ilmu, fakta dan kejadian.
d. Bagian dari suatu sikap
Yaitu pemahaman dari suatu sikap yang harus diambil pemikir kritis akan
selalu menguji apakah sesuatu yang dihadapi itu lebih baik atau lebih buruk
dibanding yang lain.
e. Kemandirian berpikir
Seorang pemikir kritis selalu berpikir dalam dirinya tidak pasif menerima
pemikiran dan keyakinan orang lain menganalisis semua isu, memutuskan
secara benar dan dapat dipercaya.
f. Berpikir kritis adalah berpikir kreatif
Secara tradisional, profesi keperawatan dan pendidikan keperawatan
termasuk kurang kreatif.Namun, saat ini telah ada perubahan untuk
membuat seorang perawat berpikir kreatif, yaitu selalu menggunakan

23
keterampilan intelektialnya untuk mencipta berdasarkan suatu pemikiran
yang baru dan dihasilkan dari sintesis beberapa konsep.
g. Berpikir adil dan terbuka
Yaitu mencoba untuk berubah dari pemikiran yang salah dan kurang
menguntungkan menjadi benar dan lebih baik.
h. Pengambilan keputusan berdasarkan keyakinan
Berpikir kritis digunakan untuk mengevaluasi suatu argumentasi dan
kesimpulan, mencipta suatu pemikiran baru dan alternatif solusi tindakan
yang akan diambil.
2.2.3 Model Berpikir Kritis
a. Total recall/kemampuan mengingat
Kemampuan mengingat kembali fakta dimana dan bagaimana menemukan
pengalaman dalam memorinya ketika dibutuhkan.Fakta-fakta keperawatan
didapatkan berasal dari berbagai sumber, baik di kelas, buku, informasi dari
klien atau sumber lainnya.Misalnya, data-data tentang klien dapat
ditemukan dalam pengumpulan data.Selain itu, dapat dikatakan juga sebagai
sebagai kemampuan untuk mengakses pengetahuan, karena pengetahuan
menjadikan sesuatu dapat dipelajari dan disimpan dalam pikiran.Setiap
orang mempunyai berbagai kelompok pengetahuan yang berfariasi di
pikirannya.
Total recall sangat tergantung pada kemampuan memori otak. Memori
adalah suatu proses yang kompleks, yaitu proses untuk mengingat kembali
hal-hal yang berhubungan dengan fakta dari beberapa pengalamannya.
Kemampuan mengkaji pengetahuan sangat penting, karena dengan
pengetahuan itu seseorang belajar dan mengaplikasikannya dengan
wawasan yang luas. Seorang perawat pemula yang pengetahuan dan
wawasannya tentang keperawatan sangat sedikit akan mengalami masalah
dalam pengaplikasian ilmunya. Sebagai contoh, perawat telah sering
melakukan intervensi keperawatan pemberian obat intravena. Demi
kepentingan evaluasi dan peningkatan aktivitasnya di kemudian hari,
perawat tersebut mencoba mengingat kembali apa dan bagaimana
pemberian obat intravena yang pernah dilakukan. Selanjutnya, mereka akan

24
coba membangdingkan dengan standar, mencari kesenjangan yang terjadi,
serta coba menjawab mengapa kesenjangan itu terjadi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa total recall adalah mengingat
fakta-fakta dimana dan mengapa serta menemukan sesuatu yang diperlukan
dan fakta dalam keperawatan yang diperoleh dari berbagai sumber termasuk
klien dan keluarganya.
b. Habits/kebiasaan
Pola pikir yang dilang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan baru (second
nature) yang secara spontan dapat dilakukan. Hasil dari kebiasaan 23
tersebut menjadi cara baru dalam melakukan suatu pekerjaan. Orang sering
mengartikan bahwa suatu kebiasaan dilakukan itu dilakukan tanpa berpikir.
Hal itu sebenarnya bukan perilaku kebiasaan, tetapi hanya proses berpikir
untuk menjadi kebiasaan. Proses berpikir dalam suatu kebiasaan sudah
tersusun secara sistematis dan dapat berjala mendekati otomatis tanpa
banyak waktu untuk mempertimbangkan penggunaan cara-cara baru dalam
melakukan suatu aktifitas tertentu. Sebagai contoh, kebiasaan perawat
mencuci tangan adalah suatu kebiasaan yang sangat berguna dalam profesi
keperawatan, yang selanjutnya akan menjadi kebiasaan yang menetap.
c. Inquiry/penyelidikan
Adalah suatu penemuan fakta melalui pembuktian dengan pengujian
terhadap suatu isu penting atau pertanyaan yang membutuhkan suatu
jawaban.Penyelidikan merupakan buah pikiran utama yang digunakan
dalam memperoleh suatu kesimpulan. Walaupun kesimpulan dapat
diperoleh tanpa harus menggunakan penyelidikan, tetapi penggunaan
penyelidikan akan menghasilkan suatu kesimpulan yang lebih baik dan
akurat. Tahap penyelidikan dalam praktik perawatan sangat penting, dimana
perawat harus mampu berpikir dengan membandingakan dan menganalisis
antara informasi yang telah ditemukan dengan pengetahuan atau ilmu yang
pernah dipelajari.
Penyelidikan dalam praktek keperawatan sangat penting, terutama pada
tahap pengkajian, meliputi :
1. Mencari atau mendapatkan informasi suatu hal.

25
2. Membuat rangkuman sementara dari informasi yang didapat.
3. Mengenali beberapa kesenjangan atas rangkuman yang dibuat.
4. Mengumpulkan informasi tambahan yang berhubungan dengan informasi
pertama.
5. Membandingkan antara informasi baru dengan apa yang lebih dulu
diketahuinya.
6. Mencoba menjawab beberapa pertanyaan dan analisis yang bias.
7. Mempertimbangkan satu atau lebih alternatif kesimpulan. 24
8. Memvalidasi keaslian alternatif kesimpulan dengan lebih banyak
informasi.
d. New ideas and creativity/ide-ide baru dan kreativitas
Adalah ide-ide dan kreativitas yang menekankan bentuk berpikir yang
sangat khusus.Berpikir kreatif (creative thinking) adalah kebalikan dari
kebiasaan (habits).Pemikir kreatif sangat menghargai adanya kesalahan dan
perbedaan terhadap nilai-nilai yang dipelajarinya.Ide-ide baru dan
kreativitas dasar perlu dikembangkan dalam keperawatan, karena
keperawatan emmiliki banyak standar yang dapat menjamin pekerjaan lebih
baik, tetapi tidak selalu dapat dilakukan.Oleh karena itu, perawat harus lebih
banyak belajar, sehingga memperoleh informasi baru yang berkualitas untuk
melakukan praktek keperawatan.Sebagai contoh adalah bagaimana perawat
menggunakan ide-ide dan kreativitasnya dalam menyiasati kurangnya
peralatan dalam memberikan asuhan keperawatan.
e. Knowing how you think/tahu bagaimana kamu berpikir
Adalah kemampuan pengetahuan kita tentang bagaimana kita berpikir.
Model ”tahu bagaimana kamu berpikir ini” dapat membantu perawat
bekerja secara kolaborasi dengan profesi kesehatan lain. Suatu hal yang
sangat penting dari tahu bagaimana kamu berpikir ini adalah mereka bekerja
dengan refleksi, bagaimana yang telah perawat dan klien pikirkan dalam
bekerja sama sewaktu menjalankan asuhan keperawatan. Misalnya, pada
saat melakukan perawatan luka, perawat harus selalu berpikir dan menjawab
tentang apa dan mengapa perawatan luka dilakukan, dan bagaimana
keterlibatan nurani perawat dan berempati saat melakukan tindakan itu.

26
2.2.4 Fungsi Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis dalam asuhan keperawatan mempunyai peranan
yang sangat penting. Berikut ini merupakan fungsi atau manfaat berpikir kritis
dalam keperawatan.
a. Penggunaan proses berpikir kritis dalam aktivitas keperawatan sehari-hari.
b. Membedakan sejumlah penggunaan dan isu-isu dalam keperawatan.
c. Mengidentifikasi dan merumuskan masalah keperawatan.
d. Menganalisis pengertian hubungan dari masing-masing indikasi, penyebab
dan tujuan, serta tingkat hubungan.
e. Menganalisis argumen dan isu-isu dalam kesimpulan dan tindakan yang
dilakukan.
f. Mengaji asumsi-asumsi yang berkembang dalam keperawatan.
g. Melaporkan data dan petunjuk-petunjuk yang akurat dalam keperwatan.
h. Membuat dan mengecek dasar analisis dan validasi data keperawatan.
i. Merumuskan dan menjelaskan keyakinan tentang aktivitas keperawatan.
j. Digunakan dalam memberikan penjelasan, kerja sama, pembenaran,
keyakinan, dan kesimpulan serta tindakan keperawatan yang dilakukan.
k. Memberikan alasan-alasan yang relevan terhadap keyakinan dan kesimpulan
yang dilakukan.
l. Merumuskan dan menjelaskan nilai-nilai keputusan dalam keperawatan.
m. Mencari alasan-alasan, kriteria, prinsip-prinsip, dan aktivitas nilai-nilai
keputusan.
n. Mengevaluasi penampilan kinerja perawat dan kesimpulan asuhan
keperawatan.
2.2.5 Berpikir Sistematik
Berpikir sistemik (Systemic Thinking) adalah sebuah cara untuk memahami
sistem yang kompleks dengan menganalisis bagian-bagian sistem tersebut untuk
kemudian mengetahui pola hubungan yang terdapat didalam setiap unsur atau
elemen penyusun sistem tersebut. Pada prinsipnya berpikir sistemik
mengkombinasikan dua kemampuan berpikir, yaitu kemampuan berpikir analis
dan berfikir sintesis.

27
Ada beberapa istilah yang sering kita jumpai yang memiliki kemiripan
dengan berpikir sistemik (systemic thinking), yaitu Systematic thinking (berpikir
sistematik), Systemic thinking (berpikir sistemik), dan Systems thinking (berpikir
serba-sistem). Jika dikaji, maka semua istilah itu berakar dari kata yang sama
yaitu “sistem” dan “berpikir”, namun menunjukkan konotasi yang berbeda, karena
itu memiliki tujuan yang berbeda pula.
Konsep sistem setidaknya menyangkut pengertian adanya elemen atau unsur
yang membentuk kesatuan, lalu ada atribut yang mengikat mereka, yaitu tujuan
bersama. Karena itu, setiap elemen berhubungan satu sama lain (relasi)
berdasarkan suatu aturan main yang disepakati bersama. Kesatuan antar elemen
(sistem) itu memiliki batas (boundary) yang memisahkan dan membedakannya
dari sistem lain di sekitarnya.
Berpikir sistematik (sistematic thinking), artinya memikirkan segala sesuatu
berdasarkan kerangka metode tertentu, ada urutan dan proses pengambilan
keputusan. Di sini diperlukan ketaatan dan kedisiplinan terhadap proses dan
metoda yang hendak dipakai. Metoda berpikir yang berbeda akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda, namun semuanya dapat dipertanggungjawabkan karena
sesuai dengan proses yang diakui luas.
2.3 Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan Setelah Bencana pada Korban,
Survivor, Populasi Rentan, dan Berbasis Komunitas
2.3.1 Definisi Penilaian Sistematis Bencana
Pengertian penilaian tidak hanya digunakan untuk proses pembelajaran,
tetapi juga digunakan dalam hal lain yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi yang berguna dalam mengambil keputusan. Berdasarkan Walsh dan
Betz (1995) “penilaian cenderung lebih masuk akal jika didasarkan pada
informasi yang bermakna-yaitu, andal dan valid-, dan suatu keterampilan
penilaian dapat dikembangkan dengan meningkatkan pengetahuan seseorang
tentang penilaian yang digunakan untuk mengumpulkan informasi yang berarti
tentang orang dan lingkungan".
Sistematis adalah upaya untuk mendefinisikan dan mengatur sesuatu secara
logis dan teratur untuk menciptakan sistem yang bermakna yang lengkap,
komprehensif, terintegrasi, dan mampu menjelaskan sejumlah sebab dan akibat

28
yang berkaitan dengan objek (Vardiansyah, 2008). Jadi, penilaian sistematis
adalah suatu kegiatan proses pengumpulan informasi dan data yang terkait secara
kualitatif dan kuantitatif yang disusun secara berurutan, lengkap, komprehensif
dan terintegrasi dalam menjelaskan rangkaian sebab-akibat suatu objek.
Penilaian sistematis pada bencana merupakan suatu kegitan proses
pengumpulan data yang berkaitan dengan bencana, meliputi penilaian sebelum,
selama dan sesudah bencana. Peneliaan dilakukan untuk memberikan suatu
gambaran mengenai dampak bencana yang akan terjadi, ketahanan suatu daerah
dalam menghadapi bencana dan menentukan langkah intervensi yang tepat dalam
mengurangi resiko bencana.
Pra-bencana meliputi tahapan mitigasi dan kesiapsiagaan meliputi penilaian
mengenai resiko bencana,kerentanan suatu daerah, faktor resiko, penilaian
kapasitas daerahdan analisa kebijkana daerah (BNPB, 2019; Anwar 2018).
Penilaian selama bencana meliputi tahapan tanggap darurat yang dilakukan sesaat
setelah bencana. Penilaian ini meliputi cakupan lokasi bencana, jumlah korban,
kerugian dan kerusakan sara dan prasarana yang dialami, gangguan terhadap
fungsi pelayanan umum dan pemerintah, dan kemampuan daerah untuk
beresponterhadap bencana (BPBD Bogor, 2019). Penilaian sesudah bencana
dilakukan pada minggu terakhir dari waktu tanggap darurat atau setelah masa
tanggap darurat dianggap selesai adalah penilaian kerusakan, kerugian,dan
kebutuhan sumber daya. Persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan
pelaporan digunakan untuk melakukan penilaian (Ma'arif, 2014). Temuan
penilaian mencakup informasi dan data penting yang dapat digunakan untuk
meningkatkan sumber daya. Program penguatan sumber daya pasca bencana
tersebut harus didukung oleh kebijakan manajemen krisis pasca bencanadan
berdasarkan fakta dan pengalaman.
2.3.2 Penilaian Sebelum Bencana
2.3.2.1 Penilaian Risiko Bencana
Penilaian risiko bencana meliputi: identifikasi bahaya; tinjauan
karakteristik teknis bahaya seperti lokasi, intensitas, frekuensi, dan
probabilitasnya; analisis paparan dan keretanan, termasuk dimensi fisik, sosial,
kesehatan, lingkungan, dan ekonomi; dan evaluasi efektivitas kapasitas koping

29
yang belaku dan alternatif sehubungan dengan kemungkinan skenario risiko
(UNDRR, 2009).
Pengkajian resiko bencana dilakukan dengan menganalisis potensi dampak
negative yang ditimbulkan oleh bencana serta mempertimbangkan kerentanan
social, geospacial daerah tersebut. Potensi dampak negativ yang ditimbulkan
mencangkup data mengenai kemungkinan kerugian material, lingkungan, dan
korban jiwa yang terdampak oleh bencana.
Kajian resiko bencana telah ditetapkan secara global oleh program
pengembangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan memperhatikan 3
faktor utama,yaitu: Bahaya, Populasi terekspos dan kerentanan (Peduzzi et al.,
2009; Shi et al., 2010). Penilaian resiko bencana menggunakan Disaaster Risk
Indeks (DRI)yang telah ditetapkan secara global dengan menggunakan rumus:

(UNDP, 2004)
Keterangan :
R : Jumlah korban tewat dari potensi bencana
H : Bahaya, tergantung pada frekuensi dan intensitas bahaya
Pop : Total populasi daerah yang terkana dampak
Vul : Kerentanan, tergantung pada sosial, politik, dan ekonomi status daerah
terdampak
DRI ditentukan oleh bahaya, paparan bahaya (populasi yang terkena
dampak), dan kerentanan, tetapi tidak memiliki pertimbangan tantang efek
lingkungan formatif bahaya dalam sistem bencana, serta kerugian properti dan
kerusakan pada sumber daya dan lingkungan akibat bencana (shiet et al., 2010)
2.3.3 Penilaian Saat Bencana
Pengkajian bencana memberikan informasi yang objektif kepada menajer
bentuan bencana tentang dampak bencana pada suatu populasi, yang berdasarkan
hasil penyelidikan lapangan dengan cepat. Penilain digunakan untuk
mencocokkan sumber daya yang tersedia dengan kebutuhan darurat populasi.

30
2.3.3.1 Penilaian Cepat Tanggap Darurat Bencana
Tanggapan darurat bencana adalah kegiatan yang dilakukan dengan segara
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan,
yaitu meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan,
serta pemulihan prasarana sarana (BNPB, 2011b). Tindakan ini dilakukan oleh
tim penanggulangan bencana yang dibentuk oleh masing-masing daerah atau
organisasi. Menurut Arsyad (2017) langkah-langkah dilakukan dalam kondisi
tanggapan darurat, antara lain :
1. Siaga darurat : penyebarluasan peringatan bencana kepada masyarakat
secara cepat
2. Pengkajian cepat dengan memperhatikan beberapa indikator:
a. Jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka
b. Tingkat kerusakan infrastruktur
c. Tingkat ketidakberfungsian pelayanan-pelayanan dasar
d. Cakupan wilayah bencana
e. Kapasitas pemerintah setempat dalam merespon bencana.
3. Penentuan status kedaruratan
2.3.3.2 Penilaian Korban Bencana
1. Sistem triase dalam penilaian korban bencana
Penilaian awal korban bencana meliputi tahap persiapan, triase, survei
primer, resusitasi stabilisasi, survei sekunder, tindakan definitive dan
rujukan pelayanan kesehatan.Pada saat darurat bencana diagnostic mutlak
tidak dibutuhkan untuk menentukan tindakan, tetapi hanya berdasarkan
penilaian klinis korban bencana.
TRiase adalah sebuah proses untuk memilah pasien dengan berpedoman
pada beratnya cedera atau penyakit yang diderita dan urgensi untuk
mementukan prioritas perawatan darurat dan transportasi pasien (Ulya et
al., 2019). Pada bencana, system triase START (Simple Triaseand Rapid
Treatment) digunakan untuk memberikan penilaian korban bencana.
START adalah metode triase yang digunakan oleh responden pertama
untuk dengan cepat mengklasifikasikan korban selama insiden korban

31
massal/ Mass Causality Incidents (MCI) berdasarkan tingkat keparahan
cedera (Hoganand Burstein, 2007). Responden pertama yang
menggunakan START mengevaluasi korban dan menetapkan mereka
kesalah satu dari empat kategori berikut:
a. Meninggal/harapan hidup kecil (hitam)
b. segera (merah)
c. Tertunda (kuning)
d. Terluka ringan/dapat berjalan (hijau)(Lerner et al.,2011).
Penilaian START berpedoman padapenilaian airway, breathing,
circulation dan statusmental pasien (REMM, 2022).
2. Penilain lingkungan
Penilaian lingkungan saat terjadinya bencana dilakukan untuk memberikan
keamanan bagi korban bencana yang selamat. Penilaian lingkungan
meliputi :
a. Penilaian daerah akan bencana susulan
b. Penilaian kondisi lingkungan yang aman untuk pembangunan
pengungsian
c. Penilaian kondisi lingkungan akan bahaya vector yang menyusul sesaat
setelah bencana terjadi.
2.3.4 Penilaian Sesudah Bencana
Setelah masa tanggap darurat dianggap selesai, maka dimulai penialain
mengenai kerusakan, kerugian, dan kebutuhan sumber daya. Hasil penilaian
mencangkup informasi dan data penting yang digunakan untuk meningkatkan
sumber daya pasca bencana.
2.3.4.1 Damage and Loss Assessment (DaLA) atau Penilaian Kerusakan dan
Kehilangan
Dilakukan penilaian pada saat sesudah terjadi bencana. Menurut The
Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR), DaLA merupakan
alat penilaian untuk mengukur dampak dan kerugian yang diakibatkan oleh
bencana, berdasarkan perhitungan ekonomi suatu negara dan kebutuhan
penghidupan individu untuk menentukan kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi
(GFDRR, 2011).

32
2.3.4.2 Post Disaster Needs Assessment (PDNA) atau Kajian Kebutuhan Pasca
Bencana (JITU-PASNA)
DaLA adalah bagian dari pengkajian kebutuhan pasca bencana (JITU-
PASNA) atau Post Disaster Needs Assessment (PDNA) yang dilaksanakan
bersamaan dengan Penilaian Kebutuhan Pemulihan Kemanusiaan (Human
Recovery Need Assessment/HRNA). Hasil Penilaian DaLA dan HRNA
merupakan komponen dari JITU-PASNA yang dijadikan dasar untuk Pengkajian,
Perumusan kebutuhan, Pemrioritasan untuk penyusunan Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi, yang berisi berbagai langkah penanganan pasca
bencana (BNPB,2011a). JITU-PASNA terdapat lima komponen penilaian, antara
lain:
1. Kerusakan (dampak langsung)
Kerusakan padaaset fisik dan infrastruktur milik pemerintah, badan usaha,
masyarakat, dan keluarga, yang mengalami gangguan sebagian atau
seluruh fungsinya sebagai dampak langsung bencana;
2. Kerugian (dampak tidak langsung)
Peningkatan biaya atau penuruanan perolehan keuntungan ekonomi akibat
kerusakan langsung dari bencana;
3. Gangguan Akses
Gangguan atau hilangnya akses pemenuhan kebutuhan dasar individu,
keluarga, masyarakat terdampak bencana
4. Gangguan Fungsi
Fungsi social, kemasyarakatan dan pemerintahan terganggu atau hilang
akibat bencana
5. Peningkatan Risiko
Peningkatan kerentanan dan/atau disertai dengan penurunan kapasitas
individu, masyarakat, badan usaha, daerah dan pemerintahan akibat
bencana (BNPB,2011a).
2.3.4.3 Penilaian Indeks Pemulihan Bencana
Indeks Pemulihan Pasca bencana (Post Disaster Recovery Index) atau
PDRI merupakan suatu proses penilaian tentang pemulihan pasca terjadiya

33
bencana disuatu daerah yang dilakukan secara periodik dengan melihat berbagai
indikator tertentu seperti kesehatan, pendidikan, dan pendapatan (Sikoki,2013).
2.4 Surveilan Bencana
2.4.1 Definisi
Peristiwa bencana sangat sulit untuk diprediksi sehingga diperlukan upaya
yang dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan.Tenaga kesehatan dituntut
untuk mampu berespon secara cepat di setiap fase penangulangan bencana.Salah
kegiatan yang dilakukan adalah studi epidemologi. Dengan data/informasi yang
akurat dan tepat akan lebih memudahkan dalam menentukan arah kebijakan dan
tindakan selama fase mitigasi dan kesiap siagaan, alokasi sumber daya manusia,
hingga pemulihan berjalan dapat tepat dan efektif. Surveilan bencana adalah
pengamatan yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan terhadap
data/masalah kesehatan untuk keperluan penentuan kebijakandan tindakan yang
tepat dalam penanggulangan bencana (CDC, 2012).
2.4.2 Tujuan Surveilan Bencana
Ketika terjadi bencana, masyarakat tidak hanya akan mengalami dampak
primer, namun juga akan merasakan dampak sekunder, oleh karena itu diperlukan
sebuah upaya untuk untuk mengidentifikasi masalah kesehatan yang meliputi
jenis, lokasi, penyebab, dan kelompok yang terdampak. Adapun tujuan dari
surveilan sebagai berikut (Husein, A. Onasis, A, 2017):
a. Mendeteksi kejadian wabah dan masalahkesehatan sedini mungkin;
b. Mengidentifikasi waktu, lokasi, jenis trauma, penyakit, dan angka kematian;
c. Mencegah dampak buruk masalah kesehatan yang sedang berlangsung;
d. Mengidentifikasi skala masalah kesehatan;
e. Mengidentifikasi risiko pada kelompok maupun area geografis;
f. Menginformasikan dan memonitor tindakan pada fase tanggap darurat dan
pemulihan;
g. Membantu program perencanaan mitigasi untuk mengurangi dampak
bencana dikemudian hari
Dalam banyak kondisi, tugas surveilan tidak hanya melakukan pelacakan
pada kasus kematian, cidera, dan penyakit menular, namun juga pada penyakit
kronik lainnya seperti Diabetes Melitus dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik

34
(PPOK) serta masalah perilaku dan gangguan jiwa. Tanpa adanya surveilan
bencana, tindakan penanggulangan bencana tidak akan tepat pada kebutuhan yang
paling dibutuhkan pada kelompok terdampak. Pada saat pelaksanaan surveilan
bencana, perlu digaris bawahi bahwa data yang terkumpul harus disampaikan
kepada pemerintah, petugas kesehatan, dan tim tanggap darurat yang bertugas
sehingga keputusan dan tindakan berdasarkan data yang ada. Hal tersebut
merupakan tugas utama surveilan bencana dimana menyediakan data akurat, tepat
waktu dan juga relevan.
2.4.3 Jenis Surveilan
Secara garis besar jenis surveilan dibagi berdasarkan jenis pengamatan yang
dilalukan, yaitu (CDC, 2017):
a. Surveilan Aktif
Surveilan aktif merupakan pengamatan langsung yang dilakukan oleh
seorang petugas yang ditunjuk untuk mencari informasitentang kesehatan
dari laboratorium, rumah sakit, masayarakat, dan pelayanan kesehatan
lainnya.Aktif surveilen sering digunakan dalam kondisi bencana dimana
posko darurat didirikan, penampungan sementara untuk pengungsi, dan
klinik kesehatan untuk perawatan jangka pendek.Surveilen aktif digunakan
karena dapat melengkapi laporan/data secara regular yang tidak ditemukan
atau terganggu oleh karena dampak bencana; dapat menentukan kebutuhan
khusus dan mengidentifikasi risiko masalah kesehatan yang mungkin
muncul pada kelompok tertentu; dan menyediakan informasi yang lengkap
daripada surveilen pasif.
b. Surveilan pasif
Surveilan pasif adalah pengamatan yangdilakukan secara tidak langsung dan
pelaporan dilakukan secara regular dari lembaga kesehatan ke otoritas
kesehatan. Pada pelaksanaan sistem surveilan pasif, tidak dilakukan
pencarian kasus secara aktif dan lebih kepada pelaporan pasif dari pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, klinik, laboratorium dan pelayanan kesehatan
lainnya atau sumber lain. Surveilan pasif sering digunakan karena relative
murah; mudahdalam pengumpulan data dan menyediakan data penting
untuk proses monitoring status kesehatan pada populasi.

35
2.5 Dokumentasi dan Pelaporan Hasil Penilaian Bencana
2.5.1 Dokumentasi
Kegiatan surveilen merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan
secara sistematis dan terstruktur dengan melihat beberapa hal yang menjadi acuan
dalam menghimpun data yang relevan dalam mengurangi dampak dan juga arah
kebijakan dari bencana. Adapun hal-hal yang tersebut, yakni (Husein, A. Onasis,
A, 2017):
1. Penyakit sebelum bencana
Dampak bencana yang timbul seperti cidera, korban jiwa, dan kerusakan
infrastruktur tidak hanya dialami populasi di wilayah bencana, namun dapat
menimbulkan masalah kesehatan lain berupa penyakit menular yang
biasanya diakibatkan oleh penyakit endemis di wilayah tersebut oleh karena
itu diperlukan perhatian khusus agar tidak terjadi penularan antar sesama
pengungsi maupun relawan.
2. Perubahan ekologi
Perubahan ekologi dapat menjadi factor penyebab terjadinya bencana dan
juga dampak dari bencana itu sendiri.Hal yang sangat berkaitan dengan
masalah kesehatan yang di akibatkanperubahan ekologi adalah penyakit
yang ditularkan melalui vector dan juga air.
3. Pengungsian
Bencana yang disertai dengan pengungsian sering menimbulkan masalah
kesehatan yang baru berupa penularan penyakit menular yang diakibatkan
oleh luas lokasi penampungan yang tidak sebanding dengan jumlah
pengungsi, minimnya jumlah MCK dan air bersih sehingga berdampak
kualitas sanitasi yang buruk dan perilaku yang mengesampingkan hidup
sehat.
4. Kepadatan penduduk
Penanganan pengungsi sangat bergantung pada jumlah populasi yang
terdampak bencana. Semakin banyak populasi di lokasi bencana maka akan
banyak penampungan yang dibuat dan relatif tidak memenuhi syarat akibat
proses pembuatan secara mendadak yang berdampak pada tingginya risiko
perkembangan penyakit menular.

36
5. Fasilitas umum
Dalam kondisi bencana, semua aspek kehidupan dapat terdampak.
Terganggunya layanan pemerintahan, perekonomian, moda tranportasi,
komunikasi, dan kerusakan infrastruktur publik menambah kesulitan dalam
penanganan bencana.
6. Kasus prioritas
Proses pengamatan dan pengendalian penyakit menular dilakukan dengan
membuat skala prioritas karena tidak semua penyakit menular akan muncul
dan menjadi perhatian pada fase paska bencana. Beberapa pertimbangan
penyakit menular menjadi prioritas didasari oleh beberapapertimbangan
sebagai berikut:
a. Penyakit yang rentan epidemik (kondisi padat):
1) Acute watery diarrhoea/cholera
2) Diare berdarah
3) Typhoid fever
4) Hepatitis
5) Meningitis
b. Penyakit yang penting dalam program pengendalian nasional
1) Campak
2) Tetanus
c. Penyakit endemis yang dapat meningkat paskabencana:
1) Kenaikan kasus malaria
2) Demam berdarah dengue
Selain pertimbangan di atas yang menjadi aspek dalam pengumpulan data,
perlu juga kita pahami kegiatan surveilen yang dilakukan selama fase
penanggulangan bencana, yaitu sebagai berikut:
1. Saat Bencana:
Pada fase ini, tenaga surveilen harus berada dalam TIM Reaksi Cepat yang
diturunkan dalam kurun waktu 0-24 jam setelah terjadinya bencana untuk
melakukan pengamatan cepat terkait informasi korban jiwa, cidera,
kebutuhan dasar, penampungan, sanitasi, dan gizi pada semua kelompok
umur.

37
2. Setelah Bencana:
Setelah data-data dikumpulkan kemudian dilakukan analisis dan
disimpulkan dalam sebuah pelaporan. Dari data hasil laporan tersebut
kemudian dijadikan sebagai acuan dalam membuat rencana kerja untuk
proses kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi.
3. Menentukan arah respon/penanggulangan dan menilai keberhasilan
respon/evaluasi. Manajemen penanggulangan bencana meliputi Fase I untuk
tanggap darurat, Fase II untuk fase akut, Fase III untuk recovery(rehabilitasi
dan rekonstruksi). Prinsip dasar penanggulangan bencana adalah pada tahap
Preparedness atau kesiapsiagaan sebelum terjadi bencana.
Dalam langkah surveilen pengendalian penyakit pada saat bencana tentu
tidak mudah ditengah keterbatasan waktu, SDM, dan tempat, oleh karena
dipelukan langkah atau prosedur dibuat secara sederhana meliputi (Husein, A.
Onasis, A, 2017):
1. Pengumpulan data
a. Data kesakitan dan kematian
1) Data kesakitan yang dikumpulkan meliputi jenis penyakit yang
diamati berdasarkankelompok Usia
2) Data kematian adalah setiap kematianpengungsi, penyakit yang
kemungkinanmenjadi penyebab kematian berdasarkan kelompok usia
3) Data denominator (jumlah korban bencana dan jumlah penduduk
berisiko diperlukan untuk menghitung pengukuran epidemiologi,
misalnya angka insidensi, angka kematian dan sebagainya.
b. Sumber data
Datadikumpulkanmelalui laporan masyarakat, petugas pos kesehatan,
petugas rumah sakit, coordinator penanggulanganbencana setempat.
c. Jenis formulir yang digunakan
Sedangkan jenis-jenis format pengumpulan data antara lain:
1) Form BA-3: Register Harian Penyakit pada Korban Bencana;

38
2) Form BA-4: Rekapitulasi Harian Penyakit Korban Bencana

3) Form BA-5: Laporan Mingguan Penyakit Korban Bencana;

4) Form BA-6: Register Harian Kematian Korban Bencana;

39
5) Form BA-7: Laporan Mingguan Kematian Korban Bencana

2. Pengolahan dan penyajian data


Pengolahan data hasil surveilan yang telah dikumpulkan secara cepat dan
sistematis diolah untuk disajikan berdasarkan data informasi epidemiologi
sesuai kebutuhan.Penyajian data meliputi deskripsi maupun grafik data
kesakitan penyakit menurut umur dan data kematian menurut penyebabnya
akibat bencana. Selain hal tersebut, juga dilakukan proses Kegiatan
Surveilan di Pos kesehatan. Kegiatan Surveilan yang dilakukan di pos
kesehatan, meliput (Husein, A, 2017):
a. Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian
melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan ;
b. Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat;

40
2.5.2 Pelaporan Hasil Penilaian Bencana
Petunjuk Pengisian Data Pra Bencana
Provinsi :(nama provinsi)
Kabupaten/Kota :(nama kabupaten/kota)
Sumber Data :(literatur/daftar pustaka)
Tahun :(tahun penerbitan sumber data)

No Uraian
1 Letak geografis: diisi Longitude/Latitude dan tinggi dpl (diatas
permukaan laut).
Luas: diisi luas wilayah dalam satuan km2.
Batas Wilayah: diisi batas Utara, Timur,Selatan dan Barat.
Geologi: diisi jenis batuan gunung berapi.
Klimatologi: diisi keadaan iklim atau cuaca,misalkan arus angin,
temperatur dankelembaban udara.
Geomorfologi: diisi bentukan lahan.
Topografi: diisi ketinggian pegunungan, perbukitan dan dataran.
Fisiografi: diisi kondisi bentuk permukaan suatu daerah.
Stratigrafi: diisi jenis-jenis lapisan batuan.
Kondisi Tanah: diisi jenis tanah dan luasnya, sebagai contoh jenis tanah
aluvial hidromorf dengan luas 163.444.
Hidrologi: diisi nama sungai dengan daerah alirannya.
2 Tata Guna Lahan: diisi uraian tentang penggunaan lahan pada suatu
daerah. Sebagai contoh persawahan, perindustrian, dll serta diisikan pula
luasan lahan yang digunakan dan prosentasenya.
3 Gunung: diisi nama gunung, tipe gunung (A,B,C), nama kawah dan
jumlah kawah kalau ada, lokasi gunung (LS dan BT), tinggi dari
permukaan laut (meter), nama & jarak kab/kota terdekat dari gunung
(km), status gunung (aktif/non aktif), serta sejarah letusan gunung.
4 DAS (Daerah Aliran Sungai): diisi nama sungai, hulu sungai, muara
sungai, daerah aliran sungai (nama kecamatan) serta karakteristik/kondisi
DA
5 Danau : diisi nama danau, lokasi danau, luasdanau (hektar) dan kondisi

41
6 Jalan: diisi nama ruas jalan, status jalan(nasional, provinsi, kab/kota, dan
lain-lain),panjang jalan (kilometer), lebar jalan(meter),permukaan jalan
dan kondisi jalan
7 Jembatan: diisi nama jembatan, statusjembatan, panjang dan lebar (m2),
konstruksi(contoh terbuat dari beton, aspal, hotmix),kondisi jembatan
(baik, sedang, rusak, danrusak berat), koordinat (x,y).
8 Cakupan Air Bersih: diisi PAM, PMA, PAH,sumur gali, sumur pompa
tanga
9 Irigasi: diisi jenis irigasi (teknis, setengahteknis, non teknis), panjang
saluran, jumlahbendungan air, dan jumlah pintu air.
10 Listrik: diisi jenis sumber energi (PLN, PLTD, PLTU, PLTA) dan daya
tersambung (kva) perkecamatan.
11 Telekomunikasi: diisi jumlah sambungan telepon, jumlah tower, dan
keterangan (penyedia layanan) per kecamatan.
12 Demografi diisi jumlah penduduk: berdasarkan klasifikasi usia dan jenis
kelamin, mulai dari kurang 1 tahun sampai dengan lebih dari 60 tahun,
dan total penduduk per kecamatan.
13 Saranapendidikan: jumlah bangunan sekolah berdasarkan klasifikasi
tingkat pendidikan dari TK, SLB, SD/MI, SMP/MTS, SMA/SMK/MA
dan Perguruan Tinggi.
14 Bandar udara: diisi nama lokasi bandara,kelas bandara, panjang landasan,
jenislandasan, disertai sarana dan prasarana.
15 Lokasi Pelabuhan Laut/Sungai/Danau : diisi nama Pelabuhan
Laut/Sungai/Danau, kelas pelabuhan, panjang dermaga, sarana
danprasarana.
16 Sarana Kesehatan: diisi Rumah Sakit, Puskesmas, Pustu
17 Sarana Peribadatan: diisi Jumlah masjid, gereja, pura, wihara dan lainnya

Ketersediaan Sumber Daya

No Uraian

42
1 Logistik: diisipangan, sandang, logistik lainnya, paket kematian
2 Peralatan: diisi standar minimal jenis, peralatan penanggulangan bencana
3 Sumber Daya Manusia: diisi relawan, tenaga kesehatan, TNI/Polri,
tenaga SAR dan desa siaga.

Petunjuk Pengisian Data Tanggap Darurat

No Uraian
1 Kejadian Bencana
a. Jenis bencana: (gempa bumi, banjir, tanah longsor dan lain-lain)
b. Tanggal kejadian: (tanggal pada saat terjadinya bencana, bukan
tanggalperkembangan bencana)
c. Waktu kejadian: waktu terjadinya bencana pertama kali (jam
kejadianbencana)
d. Lokasi bencana: (provinsi, kabupaten,daerah cakupan bencana
(desa/kel,kecamatan))
e. Letak geografi: koordinat bencana (long X, lat y), cakupan dampak
bencana (panjang,lebar,radius), khusus bencana banjir (luas dan
tinggi genangan)
f. Penyebab bencana: (pemicu terjadinya bencana)
g. Deskripsi tentang bencana tersebut
h. Kondisi Cuaca: diisi cuaca pada saat pelaporan
2 Jumlah korban: diisi jumlah total korban meninggal, hilang, luka
berat,luka ringan, pengungsi dan penderita/terdampak namun dibedakan
per usia dan jenis kelaminnya.
3 Meninggal: diisi nama korban yang meninggal beserta alamat, jenis
kelamin, usia, ahli waris dan keterangan (informasi lainnnya).
4 Hilang: diisi nama korban yang hilang beserta alamat, jenis kelamin,
usia, lokasi hilang, ahli waris dan keterangan (informasi lainnya).
5 Luka ringan :diisi nama korban luka ringan beserta alamat, jenis kelamin,
usia dan keterangan (informasi lainnya).
6 Luka berat : diisi nama korban luka berat beserta alamat, jenis kelamin,
usia, status medis (dirujuk/dirawat), lokasi (nama Rumah Sakit) dan

43
keterangan (informasi lainnya).
7 Lokasi pengungsia :diisi kode lokasi pengungsi, lokasi (tempat
pengungsian, seperti sekolah, tempat ibadah, aula, dll), alamat
pengungsian, kapasitas (jumlah maksimal jiwa dari tempat pengungsian),
jenis hunian (tenda darurat, barak, balai desa, sekolah, rumah ibadah, dll)
dan keterangan (informasi lainnnya).
8 Jumlah pengungsi: diisi nama wilayah (bisa dipilih kab/kota atau sampai
kelurahan), lokasi (merupakan kode lokasi pengungsian), jumlah
pengungsi merupakan total dari pengklasifikasian pengungsi berdasarkan
usia, jenis kelamin dan kelompok rentan.
9 Jumlah penderita/terdampak : diisinama wilayah (bisa dipilih kab/kota
atau sampai kelurahan), alamat, jumlah penderita merupakan total dari
pengklasifikasian penderita berdasarkan usia, jenis kelamin dan
kelompok rentan.
10 Kerusakan :diisi wilayah kerusakan, jenis kerusakan serta jumlah
kerusakan yang diklasifikasikan menjadi rusak berat, sedang dan ringan,
serta totalkeseluruhan dari jumlah kerusakantersebut.
11 Fasilitas umum yang masih bisadigunakan : diisi dengan uraian
berdasarkan pertanyaan yang telahtersedia.
12 Upaya penanganan yang telah dilakukan: diisi dengan uraian
tentangpenanganan darurat apa saja yang telahdilakukan oleh BPBD
setempat, instansi terkait, BNPB maupun K/L terkait di Pusat.
Sumber daya diisi dengan ketersediaan kebutuhan, kebutuhan yang
diperlukan dan kekurangan kebutuhan.
13 Relawan nasional: diisi data relawan nasional yang terlibat dalam
penanganan bencana, beserta asal organisasi, jumlah relawan, keahlian
relawan, penempatan dan tugas relawan, keterangan(informasi lainnya).

14 Relawan internasional: diisi datarelawan internasional yang terlibatdalam


penanganan bencana, beserta asal organisasi, jumlah relawan, keahlian
relawan, penempatan dan tugas relawan, keterangan (Informasi lainnya).
15 Bantuan dalam negeri: diisi data bantuan yang berasal dari dalam negeri,

44
yaitu tanggal penerimaan bantuan, asal bantuan, jenis bantuan, jumlah
bantuan dan satuannya serta nilai bantuan(nominal) dan keterangan
(informasilainnya).
16 Bantuan luar negeri: diisi data bantuan yang berasal dari luar negeri,
yaitu tanggal penerimaan bantuan, asal bantuan, jenis bantuan, jumlah
bantuan dan satuannya serta nilai bantuan (nominal) dan keterangan
(informasi lainnya).
17 Pendistribusian/pengangkutan : diisiberupa uraian tentang jenis logistik
spesifikasi, cara pendistribusian dan tujuannya
18 Potensi bencana susulan: diisi dengan uraian untuk potensi bencana
susulan yang kemungkinan akan terjadi pascabencana

Petunjuk Pengisian Data Pasca Bencana

No Uraian
1 1. Kejadian bencana (gempa bumi,banjir, tanah longsor, dan lain-lain)
2. Tanggal kejadian (tanggal saat terjadinya bencana)
3. Lokasi bencana (provinsi, kabupaten kota, dan kecamatan)
2 Penilaian kerusakan berisi :
1. Bidang/sector.
2. Lokasi.
3. Tingkat kerusakan (rusak berat, rusaksedang dan rusak ringan) dan
satuannya mengacu pada data kerusakan saat tanggap darurat.
4. Harga satuan (rusak berat, rusaksedang, rusak ringan)
diisiberdasarkan penilaian dari bidangrehabilitasi dan rekonstruksi.
5. Nilai kerusakan merupakanpenjumlahan dari perkalian masingmasing
tingkat kerusakan denganharga satuan Nilai Kerusakan =(RBpada Tk.
Kerusakan x RB pada Hargasatuan) + (RS pada Tk. Kerusakan x
RSpada Harga satuan) + (RR pada Tk.Kerusakan x RR pada Harga
satuan).
6. Taksiran kerugian berasal daripenilaian kerugian dari tabel penilaian
Taksiran kerugian.
7. Hasil verifikasi BNPB/BPBD/KL di isi oleh tim dari

45
BNPB/BPBD/KL
8. Kepemilikan (pemerintah dan nonpemerintah).
3 Penilaian taksiran kerugian berisi sub sektor/jenis sub sektor, lokasi,
rincian kerugian, asumsi perhitungan, jumlah, satuan, harga satuan,
penilaian kerugian (jumlah x harga satuan) dan keterangan(informasi
lainnya).
4 Rencana kegiatan dan pendanaan berisi uraian kegiatan, jumlah
(penjumlahan dari tk. kerusakan pada tabel penilaian kerusakan), satuan,
usulan, kebutuhan dana (Hasil verifikasi dari Tim BNPB/BPBD/KL) dan
rencana sumber dana, terdiri dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, K/L dan BNPB.
5 Realisasi berisi uraian kegiatan, jumlah, satuan, kebutuhan dana, rencana
sumber dana yang berisi Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, K/L dan BNPB serta kolom tambah kurang (kebutuhan
dikurangi dengan hasil penjumlahan dari seluruh rencana sumber dana)
6 Sumber dana dalam negeri berisi tanggal, asal, jenis bantuan dan nilai
dari bantuan serta keterangan (informasi lainnya)
7 Sumber dana dalam negeri berisi tanggal, asal, jenis bantuan dan nilai
dari bantuan serta keterangan (informasi lainnya)

46
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi.
Tindakan ini merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengelolaan
musibah massal. Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang
tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena
status triase pasien dapat berubah. Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk
triase. Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging
system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation).
Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir pada level
yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Berpikir kritis
mengandung aktivitas mental dalam hal memecahkan masalah, menganalisis
asumsi, memberi rasional, mengevaluasi, melakukan penyelidikan, dan
mengambil keputusan.
Berpikir sistematis artinya memikirkan segala sesuatu berdasarkan kerangka
metode tertentu, ada urutan dan proses pengambilan keputusan. Di sini diperlukan
ketaatan dan kedisiplinan terhadap proses dan metoda yang hendak dipakai.
Metoda berpikir yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda,
namun semuanya dapat dipertanggungjawabkan karena sesuai dengan proses yang
diakui luas. Penilaian sistematis dibagi menjadi tiga bagian yaitu : sebelum terjadi
bencana, saat terjadi atau fase gawat darurat, dan setelah terjadi bencana atau
masa pemulihan.
Surveilan bencana adalah pengamatan yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan terhadap data/masalah kesehatan untuk keperluan penentuan
kebijakan dan tindakan yang tepat dalam penanggulangan bencana (CDC, 2012).
Kegiatan surveilen merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan secara
sistematis dan terstruktur dengan melihat beberapa hal yang menjadi acuan dalam

47
menghimpun data yang relevan dalam mengurangi dampak dan juga arah
kebijakan dari bencana.
3.2 Saran
Demikian makalah yang telah kami buat, pembuatan makalah ini sangat
jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan sumber yang kami peroleh. Sehingga
isi dari makalah ini masih bersifat umum, oleh karena itu kami harapkan agar
pembaca bisa mecari sumber yang lain guna membandingkan dengan pembahasan
yang kami buat. Atas kekurangan dan kelebihan kami mohon maaf yang sebesar–
besarnya.Kami juga memohon untuk saran dan kritik untuk makalah kami apabila
ada yang kurang berkenan.

48
DAFTAR PUSTAKA
Kartikawati, Dewi. (2013). Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta: Salemba Medika.
Jainurakhma,Janes,dkk.(2022).Keperawatan Bencana Dan Kegawatdaruratan
(Teori Dan Penerapan).Bandung: CV. Media Sains Indonesia.
Risnawati, ddk. (2021). Keperawatan Bencana Dan Gawat Darurat. Bandung;
CV Media Sains Indonesia.
Sheehy.(2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana. Singapore: Elsevier.

49

Anda mungkin juga menyukai