Anda di halaman 1dari 276

DISERTASI RC143505

SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM UNTUK


SRPMK BETON BERTULANG PRACETAK
BERTINGKAT MENENGAH DENGAN
PENJANGKARAN TULANGAN BALOK
BERBENTUK U DAN L DI LUAR PANEL

DICKY IMAM WAHJUDI


3108301001

PEMBIMBING :
Prof. Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph.D.
Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., M.S.

PROGRAM DOKTOR
BIDANG KEAHLIAN REKAYASA STRUKTUR
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017
DISERTASI RC143505

SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM UNTUK


SRPMK BETON BERTULANG PRACETAK
BERTINGKAT MENENGAH DENGAN
PENJANGKARAN TULANGAN BALOK
BERBENTUK U DAN L DI LUAR PANEL

DICKY IMAM WAHJUDI


NIM. 3108301001

PEMBIMBING :
Prof. Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph.D.
Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., M.S.

PROGRAM DOKTOR
BIDANG REKAYASA STRUKTUR
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017
DISSERTATION RC143505

BEAM-TO-COLUMN CONNECTIONS FOR


MEDIUM-RISE PRECAST REINFORCED
CONCRETE SMRF WITH U AND LSHAPED
BEAM REINFORCEMENT ANCHORED OUTSIDE
THE PANEL

DICKY IMAM WAHJUDI


NIM. 3108301001

SUPERVISORS :
Prof. Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph.D.
Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., M.S.

DOCTORAL PROGRAM
FIELD OF STRUCTURAL ENGINEERING
DEPARTMENT OF CIVIL ENGINEERING
FACULTY OF CIVIL ENGINEERING AND PLANNING
SEPULUH NOPEMBER INSTITUTE OF TECHNOLOGY
SURABAYA
2017
Disertasi disusun untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar
Doktor (Dr.)

di
Institut Teknologi Sepulub Nopember

oleh:
Dicky Imam Wahjudi
NIM. 3108301001

Tanggal Ujian: 10 Februari 2017


Perioda Wisuda : Maret 2017

Disetujui oleh :

1. Prof Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph. D.


NIP. 19590911198403 1001.

2. Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., M.S.


NIP. 19550325 198003 1 004. ( Pembimbing - II )

3. Prof Dr. Ir. I Gusti Putu Raka


NIP. 19500403 197603 1 003 .

4. Dr. Ir. Agus Sigit Pramono, DEA.


Av--
·· ··· · ········ ··· · ··· ·· ·~· ·· · ·· ··· · ·· ·· ··

NIP. 19650810 199102 1 001.

5. Prof Ir. Adang Surahman, M .Sc., Ph.D.


NIP. 19540907 198602 1 001.
l~J ( Penguji )

. Tri Widjaja, M.Eng.


1021 198603 1 001.
SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM UNTUK SRPMK BETON
BERTULANG PRACETAK BERTINGKAT MENENGAH
DENGAN PENJANGKARAN TULANGAN BALOK
BERBENTUK –U DAN –L DI LUAR PANEL

Nama Mahasiswa : Dicky Imam Wahjudi


NIM : 3108301001
Pembimbing : Prof. Ir. Priyo Suprobo, MS., Ph.D.
Co-Pembimbing : Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., MS.

ABSTRAK
Suatu cara baru penyambungan balok-balok pracetak secara basah pada kolom
beton bertulang sistem rangka pemikul momen khusus (SRPMK) telah diusulkan. Dengan
cara ini, balok-balok disambungkan ke kolom di luar panel dengan memakai penjangkaran
yang berupa pembengkokan ujung-ujung tulangan yang berbentuk –U atau –L. Empat jenis
sambungan balok-ke-kolom (SBK) telah dipersiapkan di laboratorium untuk dipelajari,
yaitu Tipe 2 yang memakai tulangan penjangkaran –U, Tipe 3 dengan penjangkaran –L,
Tipe 4 dengan jangkar –U ditambah batang-batang tulangan pengunci yang disisipkan di
dalamnya, dan Tipe 5 dengan jangkar –L ditambah pengunci. Bersama-sama dengan Tipe
1, yaitu SBK dengan batang-batang tulangan yang menerus dan beton yang dituangkan
secara monolitik dengan karakteristik desain yang sama, yang akan bertindak sebagai
emulator atau bench-mark, keempat SBK tersebut akan dipelajari karakteristik kinerjanya.
Dari pengujian dengan beban siklik, ternyata didapatkan karakteristik kinerja dari
keempat jenis SBK pracetak yang lebih rendah daripada SBK monolitik. Dari butir-butir
daktilitas monotonik dan kuat lebih, SBK dengan penjangkaran berbentuk –L menunjukkan
nilai yang lebih baik daripada penjangkaran –U. Akan tetapi dari sisi kekuatan dan
kapasitas disipasi energi, ternyata SBK dengan penjangkaran –U menampilkan nilai yang
lebih tinggi daripada yang memakai jangkar –L. Sementara daktilitas kumulatif siklik untuk
keempat SBK menunjukkan kecenderungan yang sama dengan daktilitas monotoniknya.
Dari pengujian juga telah terlihat terjadinya perbaikan pada semua butir kinerja pada SBK
dengan disisipkannya batang-batang tulangan pengunci di dalam sambungan. Adapun
besarnya peningkatan nilai itu beragam pada masing-masing bentuk penjangkaran.
Karakteristik histeretik kelima SBK juga telah diperiksa dengan ACI 374.1-05.
Hasil pemeriksaan telah memperlihatkan tidak terpenuhinya syarat kekakuan awal dan
kekakuan residual semua SBK, sementara syarat-syarat desain kolom kuat – balok lemah,
deteriorasi kekuatan, dan kapasitas energi residual dapat dipenuhi. Tidak terpenuhinya
syarat-syarat kekakuan itu disebabkan oleh kurangnya tulangan transversal kolom akibat
kesulitan pada saat pemasanganya pada saat penyiapan spesimen SBK pracetak komposit.
Untuk melengkapi gambaran tentang kinerjanya, pada kelima SBK juga telah
dilakukan perbandingan dengan enam SBK yang lain. Keenam SBK itu telah dikaji oleh
beberapa peneliti yang berbeda, dan termasuk SBK unggulan dunia. Dari perbandingan
yang dilakukan atas beberapa butir penilaian, yaitu daktilitas monotonik, faktor kuat lebih,
daktilitas kumulatif monotonik dan kapasitas drift, ternyata kelima SBK yang dihasilkan
oleh riset ini telah menunjukkan hasil kinerja yang lebih baik.

Kata kunci : SRPMK, SBK, penjangkaran, beban siklik, daktilitas, kuat lebih, kekuatan,
kapasitas disipasi energi, kekakuan, pracetak komposit.

– vii –
BEAM-TO-COLUMN CONNECTIONS FOR MEDIUM-RISE
PRECAST REINFORCED CONCRETE SMRF WITH
U– AND L–SHAPED BEAM REINFORCEMENT ANCHORED
OUTSIDE THE PANEL

Name of Student : Dicky Imam Wahjudi


Registration Number : 3108301001
Supervisor : Prof. Ir. Priyo Suprobo, MS., Ph.D.
Co-Supervisor : Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., MS.

ABSTRACT
A new treatment of wet method in connecting precast beams to reinforced concrete
columns of a special moment resisting frame (SMRF) have been proposed. In this method,
the beams are connected to the column outside the panel by using anchorage in the way of
bending of their end reinforcements in U– or L–shapes. Four types of beam-to-column
connection (BCC) were prepared in the laboratory to be examined, i.e. the Type 2 which
used U–bent bar anchorage, the Type 3 with L–shaped anchorage, the Type 4 with U–
shaped anchorage plus some locking rods inserted therein, and type 5 with L–shaped
anchorage plus locking rods. Together with the Type 1, i.e. the BCC with continuous
reinforcements and monolithically-poured concrete with the same design characteristics,
which will act as an emulator, performance characteristics of the four BCCs will be studied.
From the cyclic loading test, it appears that performance characteristics of the four
precast BCCs are lower than those of monolithic one. By the points of view of monotonic
ductility and overstrength factor, BCCs with L–shaped anchorage show a better
performance than those with U–shaped anchorage. But in the points of strength and energy
dissipation capacity, the BCCs with U–anchorage display a higher value than those with
L–anchorage. While the cumulative cyclic ductility for the four BCCs comes into the same
tendency with the monotonic ductility. From the testing it was also seen the improvement
in all performance characteristics of BCCs with the insertion of locking rods in the
connection. The magnitudes of the value increased are varied in each shape of anchorage.
Hysteretic characteristics of the five BCCs were also been examined with the ACI
374.1-05 code. Test results show that there are no eligibility in both initial and residual
stiffness of all BCCs, while all conditions of the strong column – weak beam design,
strength deterioration, and residual energy capacity can be met. Non-fulfillment of the
stiffness criteria was caused by lack of transverse reinforcement in the column due to
difficulties in installing them at the time preparing the precast composite BCC specimens
in the workshop.
To obtain a better illustration in their performance, a comparison between the five
BCCs has also been inspected toward six other BCCs. Those six BCCs, which have been
reviewed by several different researchers, are belonging to the world's leading BCCs. From
the comparison carried out, it is found out that several performance characteristics, namely
the monotonic ductility, overstrength factor, monotonic cumulative ductility and drift
capacity, of the resulted five BCCs have shown a better performance.

Keywords : SMRF, BCC, anchorage, cyclic loading, ductility, overstrength, strength,


energy dissipation capacity, stiffness, precast composite.

– ix –
KATA PENGANTAR

Segala puji & syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT., yang atas perkenan, rahmat
dan pertolongan-Nya, telah menjadikannya berhasil menyelesaikan studi program doktor ini.
Selama masa itu Penulis telah mendapatkan ilmu dan pengalaman baru yang sangat luas dan
mendalam yang diajarkan-Nya melampaui batas-batas kompetensi keilmuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Semoga Dia berkenan pula memberikan kesempatan kepada Penulis untuk meng-
amalkan dan mengajarkan manfaat dan kebaikan ilmu yang telah diperolehnya itu sebagai
perwujudan rasa syukur kepada-Nya dan pertanggungjawaban moralnya kepada masyarakat.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia, yang
melalui kuasanya waktu itu, yaitu Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan
kesempatan Tugas Belajar dan tunjangan bea siswa pada tiga tahun pertamanya Penulis me-
nempuh pendidikan program doktor.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Rektor ITS yang telah mem-
berikan kemudahan berupa pembebasan dari tugas-tugas akademik selama yang bersangkutan
menjalani tugas belajar, disamping pemberian bantuan sejumlah dana yang dapat dimanfaatkan
bagi aktifitas risetnya di dalam masa studi.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada ayahandanya, alm. Imam
Hoedi, dan ayahanda mertuanya, alm. Joeswadi Joedopoespito, yang telah menanamkan arti
kesungguhan, keteguhan, kejujuran dan integritas diri, disamping tidak menyepelekan sesuatu
urusan betapapun kecilnya. Demikian juga kepada ibundanya, Respati Wahjoeni, dan ibunda
mertuanya, alm. Soekati, yang selalu tidak bosan-bosannya mengingatkan nilai kesabaran dan
istiqomah di dalam perjuangan.
Penghargaan dan terima kasih yang tak berhingga Penulis sampaikan kepada Bapak
Prof. Priyo Suprobo, sebagai Pembimbing Utama, atas segala wawasan, bimbingan, dukungan
moral dan empati yang telah diberikan. Dari Beliau, Penulis selalu dapat memperbarui sikap,
semangat dan motivasi setiap kali menjumpai sesuatu kesulitan, dan menemukan sisi positif
dari masalah yang dihadapinya.
Ucapan terima kasih tidak lupa juga Penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Hidajat
Sugihardjo, sebagai Pembimbing, atas segala bimbingan, informasi dan masukan-masukan
yang diberikan pada saat penulisan disertasi. Dari Beliau, Penulis telah mendapatkan gambaran
tentang penulisan ilmiah yang baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. I Gusti Putu Raka, sebagai
Penguji, atas masukan-masukannya yang telah mengingatkan kembali pada dasar-dasar ke-
ilmuan Struktur Beton dan tentang tata laksana pekerjaan pengujian di laboratorium.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Sigit Pramono dari
Jurusan Teknik Mesin ITS, sebagai Penguji, yang juga telah menyampaikan saran-saran dan
masukannya pada penyusunan laporan tentang pekerjaan pengujian di laboratorium.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Bapak Prof.
Adang Surahman dari ITB, sebagai Penguji, atas masukan-masukannya yang kritis pada
substansi masalah yang diteliti di dalam disertasi ini. Dari Beliau, Penulis telah memperoleh
cakrawala yang lebih luas pada parameter–parameter struktur yang mendapatkan pengaruh
pembebanan siklik.
Ucapan terima kasih yang tak berhingga Penulis sampaikan kepada Bapak alm. Prof.
Djauhar Manfaat, mantan Direktur Program Pascasarjana ITS, yang telah memberikan nasehat,
dukungan moral dan bantuan-bantuannya dengan tulus dan ikhlas. Dari Beliau, Penulis telah
mendapatkan penyelesaian atas beberapa masalah yang dijumpai pada masa-masa akhir

– xi –
studinya. Penulis juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof.
Tri Widjaja, yang bertindak melanjutkan posisi almarhum, yang juga masih mempertahankan
segala kebijakan almarhum.
Tidak lupa, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wilfred A. Singkali dan
Bapak Gambiro Suprapto dari PT. WIKA BETON atas dukungan dana yang diberikan untuk
keperluan riset. Melalui kedua Beliau, Penulis telah mendapatkan bantuan-bantuan material dan
supervisi yang sangat besar artinya bagi keberhasilan riset disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan Penulis kepada Bapak Sutadji Yuwasdiki dan
Bapak Lutfi Faizal dari Pusat Penelitian & Pengembangan Permukiman – Kementrian Pekerja-
an Umum dan Perumahan Rakyat, yang berkantor di Jalan Panyawungan, Kab. Bandung, Jawa
Barat. Penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari kedua Beliau itu untuk memanfaatkan
berbagai fasilitas peralatan laboratorium yang diperlukan bagi terlaksananya riset ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ratna Rin-
taningrum dan Ibu Luh Mas Ariyati dari UPT Bahasa & Budaya ITS atas bantuan-bantuannya
berupa proof-read pada beberapa naskah seminar dan jurnal dalam Bahasa Inggris.
Ucapan terima kasih dengan setulusnya Penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Endah
Wahyuni, Korprodi, dan Bapak Dr. Data Iranata, Sekprodi, atas segala bantuannya yang telah
diberikan selama Penulis menimba ilmu pada Prodi Pascasarjana Teknik Sipil ITS. Terima
kasih juga disampaikan kepada para staff, seperti Mas Robin, Mas Fauzi dan Mbak Lusi. Tanpa
bantuan mereka akan sulitlah bagi Penulis untuk menyelesaikan studinya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Moh. Sigit Darmawan, mantan
Korprodi Diploma Teknik Sipil ITS, atas segala bantuannya, baik moral maupun material yang
telah diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ridho Bayuadji atas
segala bantuannya dengan pengaturan-pengaturan yang memudahkan Penulis melaksanakan
tugas-tugas akademiknya selama masa penyelesaian disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Machsus, Korprodi,
dan Bapak Dr. Moh. Khoiri, Sekprodi, atas dukungannya, baik moral maupun material yang
telah diberikan. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada segenap
staff pengajar dan tenaga pendidik lainnya dari Prodi Diploma Teknik Sipil ITS, baik yang
masih aktif maupun yang sudah purna bakti, yang selalu memberikan dukungan moral dan
bantuan-bantuan lainnya yang diperlukan demi terselesaikannya disertasi ini. Mereka itu adalah
Bapak Prof. Indarto, Bapak Boedi Wibowo, Bapak Dr. Suharjoko, Ibu Pudiastuti, Ibu Ami
Asparini, Ibu Endah Yuswarini, Dik Syarif Ali, Dik Effendi, Dik Suwandi, Dik Tamirin, dan
mereka yang tidak sempat disebutkan namanya satu persatu di sini.
Tidak lupa, Penulis menyampaikan terima kasih kepada istrinya, Nana, anak sulung-
nya, Fernandy, anak panengahnya, Ganeswara, dan anak bungsunya, Humaira. Perasaan kasih
sayang dan penghargaan yang mendalam disampaikan kepada mereka atas segala kesabaran,
ketulusan, pengertian dan pengorbanan yang telah mereka persembahkan bagi terselesaikannya
disertasi ayahandanya ini.
Akhirnya, semoga apa yang disampaikan di dalam buku disertasi ini, baik yang tersurat
maupun yang tersirat, bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu rekayasa struktur beton pada
khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Amin.

Surabaya, Pebruari 2017

Penulis,
Dicky Imam Wahjudi

– xii –
DAFTAR ISI

Abstrak .......................................................... – vii


Abstract ......................................................... – ix
Kata Pengantar ................................................... – xi
Daftar Isi ........................................................ – xiii
Daftar Notasi .................................................... – xv
Daftar Singkatan ................................................. – xix
Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah ........................ ....... – 1
1.2 Perumusan Masalah .................................. – 7
1.3 Tujuan Penelitian .................................... – 8
1.4 Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Masalah . . . . . . . . . . . . . . – 9
1.5 Hipotesis ........................................... – 11
1.6 Keutamaan Penelitian ................................. – 12
1.7 Sistematika Penulisan Laporan .......................... – 13
Bab 2 Studi Pustaka
2.1 State-of-the-Art Sambungan Balok-ke-Kolom Beton Pracetak . . . . . – 15
2.2 Beberapa Bentuk Awal SBK yang Telah Dikenal . . . . . . . . . . . . . . – 20
2.3 Perbandingan Aspek Kinerja dan Kemudahan Kerja pada
Beberapa Jenis SBK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 26
2.4 Persyaratan Desain ACI untuk SRPM Tahan Gempa – Balok-balok,
Kolom-kolom dan Sambungan Balok-ke-Kolom . . . . . . . . . . . . . . – 27
Bab 3 Studi Analitik
3.1 Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 35
3.2 Beberapa Parameter pada Perilaku Respons Histeretik SBK . . . . . . – 37
3.3 Studi Analitik Respons Inelastik SBK yang Telah Dilakukan oleh
para Peneliti Terdahulu dan Model Konstitutif yang Didapatkan . . . – 43
3.4 Grafik Histeretik Respons SBK terhadap Beban Siklik dengan
Lintasan-lintasan Multilinier . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 51
3.5 Model Richard-Abbott untuk Menirukan Respons Histeretik SBK
terhadap Beban Siklik dengan Lintasan-lintasan Garis Lengkung
yang Terpepatkan (Pinched) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 56
Bab 4 Pekerjaan Eksperimental
4.1 Desain Spesimen SBK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 63
4.2 Prediksi Analitik Perilaku Respons Histeretik SBK Tipe 1 . . . . . . . – 67
4.3 Uji Tarik Baja Tulangan ................................ – 69
4.4 Pemasangan Strain-gauge pada Baja-baja Tulangan . . . . . . . . . . . . . – 71
4.5 Pengecoran Beton dan Urutan Pelaksanaan Pembuatan Spesimen . . – 71
4.6 Penyetelan Spesimen SBK untuk Pengujian dengan Beban Siklik . . – 79
4.7 Sedikit Catatan pada Pemberian Beban Vertikal Konstan N . . . . . . . – 81
4.8 Pengujian SBK dengan Beban Siklik dan Hasil yang Diperoleh . . . . – 82

– xiii –
Bab 5 Tinjauan Data Hasil Eksperimen pada Kinerja Sambungan Balok-ke-Kolom
5.1 Data Hasil Pengujian Spesimen SBK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 89
5.2 Respons Histeretik Beban – Perpindahan SBK Eksperimental dan
Perbandingannya dengan Hasil Analitik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 89
5.3 Kekuatan SBK ........................................ – 93
5.4 Daktilitas dan Kuat Lebih SBK ........................... – 97
5.5 Kapasitas Pemencaran Energi SBK ........................ – 106
5.6 Daktilitas Kumulatif SBK ............................... – 109
5.7 Perbandingan Kinerja SBK .............................. – 112
5.8 Kapasitas Drift ........................................ – 113
5.9 Evaluasi Kinerja SBK menurut ACI 374.1-05 ................ – 114
5.10 Perbandingan Kinerja SBK yang Dihasilkan Riset ini dengan
Beberapa SBK yang Sudah Dikenal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 118
Bab 6 Kesimpulan & Catatan Akhir
6.1 Kesimpulan ........................................... – 123
6.2 Catatan Akhir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 126
Lampiran – A – Studi pada Aspek Kinerja dan Kemudahan Kerja Sambungan
Balok-ke-Kolom . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . – 129
Lampiran – B – Desain Spesimen Uji – SBK Tipe 1, 2, 3, 4 & 5 . . . . . . . . . . . . . – 147
Lampiran – C – Hasil Uji Eksperimental – SBK Tipe 1, 2, 3, 4 & 5 .......... – 157
Lampiran – D – Sifat Mekanik Bahan Baja Tulangan dan Beton serta Pemodelan
Struktur SBK pada Perhitungan Analitik ................. – 207
Lampiran – E – Pemeriksaan Kinerja SBK menurut ACI 374.1-05 ........... – 223

Daftar Pustaka .................................................... – 243

Riwayat Hidup Penulis ............................................. – 251

– xiv –
DAFTAR NOTASI

Berikut ini disampaikan daftar notasi yang dipakai di dalam penulisan buku disertasi, arti-
nya, serta pada halaman berapa dijumpai untuk pertama kalinya.

A = luas bidang secara umum – 90


Ag = luas penampang gross beton – 27
Aj = luas efektif sambungan (joint) – 32
Ach = luas penampang inti beton komponen yang diukurkan dari sisi-sisi – 31
terluar batang tulangan transversal
Aj = luas effektif sambungan – 32
As = luas penampang baja tulangan – 27
Ash = luas penampang tulangan transversal pada arah yang ditinjau – 30
bc = ukuran melintang penampang inti beton diukurkan dari sisi-sisi terluar – 31
batang tulangan transversal
bf = lebar bagian sayap pada komponen penampang T – 50
bw = lebar bagian badan komponen – 27
C = gaya tekan di dalam penampang komponen – 38
Ca = parameter empirik yang menentukan tingkat kepepatan pada lintasan – 91
yang mendaki pada model Richard-Abbott
Cd = parameter empirik yang menentukan tingkat kepepatan pada lintasan – 91
yang menurun pada model Richard-Abbott
c = jarak garis netral penampang ke tepi serat tertekan – 150
c1 = dimensi penampang kolom, kepala kolom, atau konsol persegi panjang – 27
yang diukur pada arah bentang dimana arah momen diperhitungkan
c2 = dimensi penampang kolom, kepala kolom, atau konsol persegi panjang – 27
yang diukur pada arah bentang tegak lurus arah momen diperhitungkan
d = tinggi manfaat penampang komponen – 27
db = diameter batang tulangan – 32
d’ = tebal selimut beton – 50
E = energi secara umum, modulus elastisitas bahan secara umum – 39
= tahanan atau kekuatan secara umum – 114
Ec = modulus elastisitas beton = 4730 f c ' – 46
Emax-a = nilai deformasi maksimum yang dicapai pada riwayat pembebanan – 91
yang mendaki pada model Richard-Abbott
Emax-d = nilai deformasi maksimum yang dicapai pada riwayat pembebanan – 91
yang menurun pada model Richard-Abbott
Es = modulus elastisitas baja tulangan – 46
Esec = modulus sekan beton – 211
Esh = modulus strain-hardening baja tulangan – 229
Etot = energi yang terakumulasi pada keseluruhan riwayat pembebanan – 109
Ey = energi yang terakumulasi sampai dengan tercapainya awal leleh – 109
fc’ = kuat tekan hancur silinder beton pada umur 28 hari – 10
= tegangan tekan pada beton secara umum – 44
fs = tegangan pada baja tulangan – 43

– xv –
fsh = tegangan baja pada awal strain-hardening – 69
fsu = tegangan baja puncak/ultimate – 69
fy = tegangan leleh baja tulangan – 10
fyh = tegangan leleh baja tulangan sengkang – 10
fyt = tegangan leleh baja tulangan transversal – 31
G = modulus geser beton  1880 f c ' – 90
Ha = koefisien empirik yang menentukan tingkatan pengerasan isotropik – 91
pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott
Hd = koefisien empirik yang menentukan tingkatan pengerasan isotropik – 91
pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott
h = tinggi total penampang; tinggi secara umum – 27
hf = tinggi bagian sayap penampang - T – 50
hw = tinggi bagian badan penampang – 50
hx = spasi horizontal maksimum pusat-ke-pusat dari kaki-kaki sengkang – 30
ikatan
atau silang pada semua muka kolom
Ix = momen inersia penampang pada arah sumbu kuat – 90
Iy = momen inersia penampang pada arah sumbu lemah – 90
iKa = koefisien empirik yang menentukan laju degradasi kekakuan pada – 91
lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott
iKd = koefisien empirik yang menentukan laju degradasi kekakuan pada – 91
lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott
iMa = koefisien empirik yang menentukan laju deteriorasi kekuatan pada – 91
lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott
iMd = koefisien empirik yang menentukan laju deteriorasi kekuatan pada – 91
lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott
Ka = kekakuan awal dari lintasan yang mendaki dari kurva batas atas pada – 91
model Richard-Abbott
Kap = kekakuan awal dari lintasan yang mendaki dari kurva batas bawah pada – 91
model Richard-Abbott
Kd = kekakuan awal dari lintasan yang menurun dari kurva batas atas pada – 91
model Richard-Abbott
Kdp = kekakuan awal dari lintasan yang menurun dari kurva batas bawah – 91
pada model Richard-Abbott
Kh = kekakuan struktur pada saat strain-hardening – 52
Ko = kekakuan struktur dalam keadaan awal (elastik) – 52
K0.035 = kekakuan struktur pada drift = 0.035 – 212
Kpa = kekakuan paska-elastik dari lintasan yang mendaki dari kurva batas – 91
atas pada model Richard-Abbott
Kpap = kekakuan paska-elastik dari lintasan yang mendaki dari kurva batas – 91
bawah pada model Richard-Abbott
Kpd = kekakuan paska-elastik dari lintasan yang menurun dari kurva batas – 91
atas pada model Richard-Abbott
Kpdp = kekakuan paska-elastik dari lintasan yang menurun dari kurva batas – 91
bawah pada model Richard-Abbott
L, l = panjang secara umum – 80
ldc = panjang penyaluran dalam tekan – 33
ldh = panjang penyaluran, panjang penjangkaran – 32

– xvi –
lp = panjang daerah terplastifikasi pada komponen balok atau kolom – 36
ln = bentang bersih balok atau tinggi bersih kolom – 27
lo = perkiraan panjang plastifikasi pada ujung kolom – 29
M = magnitudo gempa dalam skala Richter – 5
= momen secara umum – 38
Ma = kekuatan batas atas pada lintasan yang mendaki pada model Richard- – 91
Abbott
Map = kekuatan batas bawah pada lintasan yang mendaki pada model – 91
Richard-Abbott
Md = kekuatan batas atas pada lintasan yang menurun pada model Richard- – 91
Abbott
Mdp = kekuatan batas bawah pada lintasan yang menurun pada model – 91
Richard-Abbott
Mnb = kapasitas momen nominal ujung balok – 20
Mnk = kapasitas momen nominal ujung kolom – 20
Mu = momen dalam keadaan kekuatan batas – 38
My = momen pada saat awal leleh – 38
N = gaya aksial pada komponen tekan – 82
Na = parameter bentuk untuk batas atas pada lintasan yang mendaki pada – 91
model Richard-Abbott
Nap = parameter bentuk untuk batas bawah pada lintasan yang mendaki pada – 91
model Richard-Abbott
Nb = kapasitas beban aksial tekan kolom pada keadaan keruntuhan seimbang – 20
Nd = parameter bentuk untuk batas atas pada lintasan yang menurun pada – 91
model Richard-Abbott
Ndp = parameter bentuk untuk batas bawah pada lintasan yang menurun pada – 91
model Richard-Abbott
Nu = beban aksial tekan terfaktor pada kolom – 20
P = gaya atau beban terpusat secara umum – 36
Po = kapasitas nominal gaya aksial penampang kolom – 150
Pu = beban terpusat dalam keadaan kekuatan batas – 98
= beban tekan terfaktor pada kolom – 27
Py = beban terpusat pada saat awal leleh – 98
R = faktor reduksi beban gempa rencana – 39
= tahanan dasar pada instrumen kelistrikan – 80
RDE = rasio dissipasi energi – 211
Ro = faktor kuat lebih (overstrength) – 98
R̂ = faktor modifikasi beban gempa yang diterapkan pada Sv – 105
r = tahanan jenis penghantar listrik – 81
Sa = besaran respons spektrum percepatan – 106
Sd = besaran respons spektrum perpindahan – 106
Sv = besaran respons spektrum kecepatan – 106
s = spasi pemasangan tulangan transversal – 31
so = spasi pemasangan tulangan transversal pada daerah plastifikasi kolom – 30
T = gaya tarik di dalam penampang komponen – 38
= perioda atau waktu getar struktur – 41
t1a = parameter empirik yang menentukan kepepatan pada lintasan yang – 91

– xvii –
mendaki pada model Richard-Abbott
t1d = parameter empirik yang menentukan kepepatan pada lintasan yang – 91
menurun pada model Richard-Abbott
t2a = parameter empirik yang menentukan kepepatan pada lintasan yang – 91
mendaki pada model Richard-Abbott
t2d = parameter empirik yang menentukan kepepatan pada lintasan yang – 91
menurun pada model Richard-Abbott
V = gaya geser secara umum – 50
Vn = kekuatan geser nominal – 32
Vu = gaya geser horizontal dalam keadaan batas – 152
z = jarak dari penampang kritis ke titik belok (point of contra-flexure) – 150
 = suatu koefisien pengali – 32
 = perpindahan secara umum – 36
 = pembacaan perpindahan dari LVDT atau regangan dari strain-gauge – 81
u = perpindahan pada keadaan batas – 39
y = perpindahan pada keadaan awal leleh – 39
 = regangan secara umum – 228
 c’ = regangan tekan pada beton – 44
s = regangan pada baja tulangan – 43
sh = regangan baja tulangan pada saat strain-hardening – 69
sf = regangan baja tulangan pada saat putus (fracture) – 69
sp = regangan beton pada saat pecah (spalls) – 211
su = regangan baja tulangan pada saat tercapai tegangan puncaknya – 69
y = regangan baja tulangan pada saat awal leleh – 69
 = faktor daktilitas kumulatif – 109
 = rotasi, jumlah perputaran sudut pada panjang tertentu – 148
 = faktor kuat lebih kolom terhadap balok SBK = Mnk / Mnb – 114
 = faktor daktilitas monotonik – 39
 = kelipatan per-jutaan ( 10–6 ) – 71
 = faktor redaman struktur – 105
 = bilangan 3.141592654…………. – 105
 = rasio tulangan, luas tulangan dibagi dengan luas beton penampang – 27
s = rasio volumetrik tulangan spiral atau sengkang lingkaran – 31
t = rasio tulangan total penampang kolom – 29
 = tegangan secara umum – 228
B’ = tegangan tekan beton puncak – 46
c’ = tegangan tekan beton – 46
 = perputaran sudut, rotasi per satuan panjang – 38
 = faktor reduksi kapasitas – 20
u = perputaran sudut pada saat keadaan batas – 39
y = perputaran sudut pada saat awal leleh – 39
 = faktor yang memperhitungkan pengaruh pelapisan pada baja tulangan – 151

– xviii –
DAFTAR SINGKATAN

Berikut ini disampaikan daftar singkatan yang dipakai di dalam penulisan buku disertasi,
kepanjangannya, serta pada halaman berapa dijumpai untuk pertama kalinya.

ACI = American Concrete Institute – 3


ASCE = American Society of Civil Engineers – 4
ASTM = American Society for Testing Materials – 69
BSN = Badan Standarisasi Nasional – 15
CIP = cast in place – 6
DDC = Dywidag Ductile Connection – 21
DSI = Dywidag System International – 21
EMRC = emulation of monolithic reinforced concrete construction – 17
IBC = International Building Code – 18
ICBO = International Conference on Building Officials – 15
JPUP = jointed precast relying on unique properties – 17
LRFD = load & resistance factored design – 4
LVDT = linear variable displacement transducer – 79
MRF = moment resisting frame – 15
NEHRP = National Earthquake Hazard Reduction Program – 17
NSF = National Science Foundation – 21
PCI = Precast/Prestressed Concrete Institute – 21
PCMAC = Precast/Prestressed Concrete Manufaturer Association of California – 22
PRESSS = PREcast Seismic Structural System – 21
SBK = sambungan balok-ke-kolom – 20
SDC = seismic design category – 19
SMRF = special moment resisting frames – 3
SNI = Standar Nasional Indonesia – 15
SPC = seismic performance category – 19
SRPM = sistem rangka pemikul momen – 1
SRPMK = sistem rangka pemikul momen khusus – 3
TCY = tension-compression yielding – 22
UBC = Uniform Building Code – 15

– xix –
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak sekitar dasawarsa 1950-an sampai dengan sekarang, di seluruh penjuru dunia
pemakaian beton bertulang pracetak pada bangunan gedung telah menunjukkan pening-
katan yang sangat pesat. Dari pengalaman yang diperoleh, terbukti bahwa konstruksi beton
pracetak menampilkan perilaku dan kinerja yang bagus, yaitu aman, awet, dan mudah/cepat
pelaksanaannya. Disamping durabilitasnya yang tinggi, komponen-komponen pracetak
yang dihasilkan oleh proses produksi di pabrik memiliki standar keseragaman mutu yang
sangat terkendali. Keuntungan lain yang didapatkan dengan penggunaan beton pracetak
adalah hemat lahan, keuntungan ekonomis pada pemakaian bahan dan metoda kerja, serta
ramah lingkungan karena kondisi proyek yang bersih. Dengan ditunjang oleh kemajuan
teknologi mekanik, material, dan peningkatan keahlian tenaga kerjanya, maka industri
konstruksi bangunan beton pracetak telah berkembang menjadi industri yang modern dan
padat teknologi.
Untuk bangunan gedung dengan sistem rangka pemikul momen (SRPM), terdapat
sambungan-sambungan yang terpasang pada pertemuan-pertemuan antara komponen kom-
ponen balok dengan kolom, kolom dengan kolom, balok anak dengan balok induknya, pelat
lantai dengan balok, tangga dengan balok, dinding dengan balok, dan seterusnya. Dari
jenis-jenis sambungan tersebut, sambungan balok-ke-kolom memiliki fungsi yang sangat
kritis, karena mekanisme respons struktur terhadap beban pada SRPM yang terutama terja-
di pada penyaluran gaya-gaya dari balok-balok ke kolom-kolom bangunan. Sambungan ini
biasanya dipakai untuk menghubungkan ujung-ujung balok pada kolom, sebagai yang
diperlihatkan pada Gambar 1.1. Sebelumnya telah pernah dicoba meletakkan sambungan-
sambungan balok pada tengah-tengah bentangnya, dan sambungan kolom pada tengah-
tengah ketinggiannya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.2. Bangunan-bangunan
tersebut dilaporkan melakukan kinerja yang baik terhadap gempa, karena sambungan,
sebagai titik-titik kritis penyaluran beban, berada di tengah-tengah bentang balok dan
ketinggian kolom, yang merupakan tempat-tempat intensitas gaya minimum (Yee, 1991).
Walaupun secara stuktural bagus, tetapi dari sisi kemudahan pelaksanaan (constructability)
alternatif ini dipandang bernilai rendah, karena adanya kesulitan transportasi dan instalasi
dari komponen-komponen pracetaknya yang berukuran besar. Beberapa kemungkinan lain
dari metoda konstruksi yang meliputi penentuan letak-letak dan bentuk-bentuk sambungan
antar-komponen telah pula ditunjukkan (Ghosh dkk., 1997) dan (Martin, 1990).

Bab 1 – 1
Balok-balok pracetak

Kolom-kolom pracetak
atau cor setempat

Sambungan luar
(Exterior connection)

Sambungan dalam
(Interior connection)

Gambar 1.1 : Sambungan balok-ke-kolom pada SRPM beton bertulang pracetak yang
diletakkan pada ujung-ujung balok.

Sambungan untuk
kolom

Komponen pracetak
untuk kolom-kolom tepi

Sambungan untuk
balok

Sambungan untuk
kolom

Sambungan untuk
balok

Komponen pracetak
untuk kolom-kolom
tengah

Gambar 1.2 : Sambungan balok pada SRPM pracetak yang diletakkan pada tengah ben-
tang, dan sambungan kolom yang diletakkan pada tengah ketinggiannya.

Pada umumnya, sambungan pada struktur beton pracetak dibagi ke dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu yang disebut dengan ‘sambungan basah’ dan ‘sambungan kering’. Pada
sambungan basah, campuran beton segar atau grout dituangkan untuk membungkus stek-
stek tulangan yang terpapar ke luar (exposed) pada daerah sambungan. Sedangkan pada
sambungan kering, hanya digunakan alat-alat penyambung mekanis, yang bisa berupa
baut-baut, atau las untuk mengikat pelat-pelat baja yang sudah disiapkan, yang dijang-
karkan pada komponen-komponen pracetaknya. Pada sambungan basah, batang-batang
tulangan di daerah sambungan bisa disambungkan dengan las atau penyambung mekanis.
Bentuk tipikal dari sambungan balok-ke-kolom yang dilaksanakan secara basah dan jenis-
jenis alat penyambung tulangan diperlihatkan pada Gambar 1.3. Alat penyambung yang
lazim digunakan adalah selongsong (sleeves) atau perangkai (coupler). Secara umum,

2  Bab 1
peraturan bangunan mengijinkan pemakaian las untuk sambungan pada bangunan yang
berada di daerah dengan tingkat resiko kegempaan yang tinggi (SMRF = special moment
resisting frames atau SRPMK = sistem rangka pemikul momen khusus), asalkan saja
sambungan itu dapat mengerahkan kekuatan pada batang-batang tulangan yang disambung
sampai sebesar 1.25 fy , dan sambungan tersebut tidak diletakkan pada daerah sampai sejauh
2  tinggi balok dari muka kolom (ACI Committee 318, 2011).

Beton cor setempat Selongsong dengan grout Selongsong dengan


bahan metalik
Kolom beton pracetak

Daerah sambungan balok-ke-kolom


Perangkai berulir Perangkai dengan
Alat penyambung mekanis batang berulir
( selongsong yang berisi grout )

Las tumpul Las dengan batang


lewatan

Balok beton pracetak

Beton cor setempat

Alat penyambung mekanis


( selongsong yang berisi grout )
Perangkai dengan baut

Gambar 1.3 : Bentuk tipikal sambungan pada SRPM pracetak yang dilaksanakan secara
basah, dan beberapa alat penyambung mekanis untuk batang tulangan.

Bagaimanapun, dengan pengecualian di wilayah Amerika Serikat, penggunaan


beton pracetak secara penuh di wilayah dengan intensitas kegempaan menengah sampai
tinggi masih sangat terbatas. Penyebabnya adalah masih terbatasnya peraturan tata cara
perencanaannya jika dibandingkan dengan peraturan desain untuk beton bertulang biasa.
Terutama sekali perspektif peraturan yang menyangkut masalah daktilitas (ductility) sam-
bungan antar komponen strukturnya, misalnya pada sistem sambungan antara balok de-
ngan kolomnya. Dari pengalaman dengan beberapa kejadian gempa besar, telah diidenti-
fikasi bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi secara meluas pada bangunan-bangunan
beton pracetak adalah disebabkan oleh kinerja yang buruk pada sistem sambungan antar
komponennya. Hal ini terungkap melalui beberapa publikasi, misalnya sebagai yang di-
laporkan pada saat gempa Northridge 1994 (Mitchell, dkk., 1995), dan gempa di Turki pada
1997 dan 1999 (Ertas, dkk., 2006).
Peraturan ACI, sampai dengan edisi 2011, yaitu ACI 318-11, masih tetap memper-
tahankan provisi daktilitas (ductility), disamping provisi-provisi kekuatan (strength) dan
daya layan (serviceability), pada syarat keamanan struktur. Karena filosofi desain diletak-

Bab 1 – 3
kan di atas landasan metoda kekuatan (LRFD = load & resistance factored design), maka
daktilitas diperlukan untuk mencegah keruntuhan total bangunan. Daktilitas didefinisikan
sebagai kemampuan struktur untuk mengalami deformasi paska-elastik yang besar sambil
tetap mempertahankan sebagian besar kekuatannya semula. Perilaku daktail (ductile) suatu
struktur didapatkan dengan pendetailan daktail (ductile detailing), yaitu dengan cara mem-
berikan/memasang komponen-komponen berikut sambungan-sambungannya yang mampu
mencegah terjadinya keruntuhan dini struktur. ASCE 7–10, di dalam Pasal C1.4, secara
lebih tegas menetapkan, bahwa pada umumnya sambungan antar komponen struktural
harus bersifat daktail dan memiliki kemampuan melakukan deformasi dan menyerap energi
yang besar yang terjadi di bawah kondisi-kondisi abnormal (ASCE–SEI, 2010). Lebih
lanjut dijelaskan, pendetailan daktail ini merupakan salah satu dari sebelas langkah-langkah
strategis untuk mendapatkan keutuhan stuktural secara umum (general structural inte-
grity). Kriteria ini yang disebutkan dapat mencegah keruntuhan lokal menjadi keruntuhan
total bangunan melalui mekanisme yang lazim dikenal dengan keruntuhan berantai (pro-
gressive collapse).
Pada umumnya, syarat daktilitas pada sambungan dapat dipenuhi dengan mem-
perhatikan parameter-parameter desain seperti : (1) mutu beton, (2) mutu, kandungan, dan
konfigurasi baja-baja tulangan longitudinal, (3) mutu, kandungan, spasi, dan konfigurasi
baja-baja tulangan transversal, dan – (4) kemungkinan pemberian pratekanan melalui
pemasangan baja-baja pratekanan seperti strands dan bars pada satu ujung balok –
menembus kolom – sampai ke ujung balok bentang berikutnya. Pada masalah mutu beton,
mutu baja tulangan dan kandungan baja tulangan longitudinal, telah diketahui bahwa
daktilitas yang tinggi didapatkan dengan memberikan mutu beton yang tinggi, tegangan
leleh baja yang rendah, dan rasio tulangan longitudinal yang rendah. Sedangkan masalah
konfigurasi tulangan diatur sedemikian agar didapatkan penyaluran tegangan-tegangan
yang lebih baik pada sambungan. Tulangan transversal, yang berwujud sengkang-sengkang
tertutup, baik pada balok, kolom, maupun panel sambungan, perlu diatur pemasangannya
agar fungsi yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal, yaitu : (1) memberikan efek
pengekangan (confinement) pada daerah inti beton (core), (2) mencegah tekuk (buckling)
pada tulangan longitudinal, dan – (3) mencegah keruntuhan struktur dalam ragam geser.
Adapun pemasangan baja-baja pratekanan dilakukan terutama untuk memperbaiki
kemampuan pikul tarik pada beton, yang akibat pembebanan bolak-balik akan mengalami
tegangan-tegangan tarik dan tekan secara berganti-ganti. Beberapa orang telah melakukan
penelitian pada penggunaan baja-baja pratekan pada sambungan balok-ke-kolom beton
pracetak (Stone, dkk., 1995), (Priestley, dkk., 1999), (Pampanin, dkk., 2001), (Nakano,

4  Bab 1
dkk., 2001), (Ozdil, dkk., 2002), dan (Pampanin, 2003). Informasi yang terungkap dari
penelitian-penelitian itu adalah pemberian pratekanan akan menghasilkan peningkatan
daktilitas, berkurangnya kerusakan pada beton, perbaikan perilaku respons siklik yang
lebih stabil, dan juga peningkatan kemampuan drift struktur. Proyek penelitian PRESSS
yang dilakukan oleh Priestley dkk. bahkan berhasil menambahkan satu butir lagi keutama-
an sambungan balok-ke-kolom dengan pratekanan ini. Dengan melakukan teknik khusus,
yaitu menghilangkan gesekan antara baja dengan beton (debonding techniques) pada
daerah kolom sambungan, telah didapatkan kemampuan struktur untuk melakukan
pemulihan diri segera setelah pembebanan bolak-balik dihentikan, yaitu balok-balok dan
kolom-kolom SRPM melakukan pelurusan diri kembali (self-centering).
Bagaimanapun, hasil kinerja yang tinggi pada jenis-jenis sambungan canggih
dengan pemberian pratekanan sebagai yang diuraikan pada paragraf di atas memerlukan
ketelitian pelaksanaan dan kemampuan/keahlian teknik yang tinggi dari para pekerjanya,
disamping juga bahan dan peralatan khusus yang berharga mahal. Sedangkan kecende-
rungan pengalaman praktis di lapangan, khususnya di negara-negara berkembang seperti
di Indonesia, adalah agar struktur bisa dilaksanakan dengan mudah dan sederhana, se-
hingga kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan dapat diperkecil.
Akibatnya lebih lanjut, adalah konstruksi bisa lebih cepat diselesaikan, selain juga akan
dihasilkan struktur yang lebih kuat dan awet (durable).
Seperti diketahui, Indonesia terletak di dalam kawasan dengan aktifitas seismik
yang sangat tinggi di dunia. Tercatat di dalam sejarah, beberapa kejadian gempa besar
dunia telah terjadi di dalam wilayah Indonesia, seperti : Sumatera bagian Utara (02/11/2002
– M = 7.4, 26/12/2004 – M = 9.1, 28/03/2005 – M = 8.6 & 12/09/2007 – M = 7.9), Sumatera
bagian Selatan (04/06/2000 – M = 7.9, 25/07/2004 – M = 7.3 & 12/09/2007 – M = 8.4),
Jawa (26/05/2006 – M = 6.5, 17/07/2006 – M = 7.7 & 08/08/2007 – M = 7.5), Bali & Nusa
Tenggara (20/01/1917 – M = 7.5, 14/07/1976 – M = 7.2, 12/12/1992 – M = 7.8 &
25/11/2007 – M = 6.5), Sulawesi & Maluku (01/02/1938 – M = 8.5, 26/05/2003 – M = 7.0,
28/01/2004 – M = 6.7, 11/11/2004 – M = 7.5, 02/03/2005 – M = 7.1, 27/01/2006 – M = 7.6
& 21/01/2007 – M = 7.5), dan Irian Jaya (25/06/1976 – M = 7.1, 10/10/2002 – M = 7.6,
05/02/2004 – M = 7.3 & 26/11/2004 – M = 7.1). Gempa-gempa tersebut telah menimbulkan
korban yang besar, baik berupa hilangnya jiwa manusia maupun rusak/hancurnya harta
benda, terutama diakibatkan oleh keruntuhan atau kerusakan bangunan hunian. Keadaan
yang lebih memberatkan harus dihadapi dengan kenyataan bahwa sebagian besar kota-kota
utama yang berpenduduk banyak di Indonesia terletak di dalam jalur wilayah dengan
aktifitas kegempaan yang tinggi. Rangkaian fakta di atas menunjukkan arti penting diterap-

Bab 1 – 5
kannya norma bangunan tahan gempa, yang sanggup melindungi para penghuninya dari
gempa-gempa sedang tanpa mengalami kerusakan, dan dari gempa-gempa besar tanpa
mengalami keruntuhan.
Kecenderungan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia pada saat ini, dimana
bangunan-bangunan gedung besar yang berpenghuni banyak, seperti apartemen, flat, dor-
mitory sampai rumah susun, didirikan dalam jumlah yang besar. Hal ini dilakukan untuk
mengatasi laju pertumbuhan dan perpindahan penduduk yang sangat tinggi, yang berakibat
pada meningkatnya kebutuhan pada bangunan perumahan. Apabila tidak mendapatkan
solusi yang tepat, hal itu akan menjadi ”bom waktu” pada masalah kependudukan di masa-
masa yang akan datang. Pada bangunan-bangunan semacam ini harus diberikan perhatian
yang lebih cermat tentang kekuatan & keamanannya, karena kegagalan pada sebuah ba-
ngunan pasti akan menimbulkan korban jiwa, disamping kerugian/kerusakan harta benda.
Tetapi di samping itu, bangunan tersebut haruslah murah harganya dan dapat dilaksanakan
dengan mudah sehingga konstruksinya bisa cepat diselesaikan.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa pada masa mendatang dipandang perlu me-
ngembangkan jenis-jenis sambungan untuk struktur beton pracetak yang lebih mengede-
pankan sisi kemudahan & kesederhanaannya untuk dilaksanakan (constructability), di-
samping tentu saja tanpa mengorbankan sisi kinerja sebagai yang disyaratkan pada struktur
bangunan gedung secara umum, yang meliputi aspek-aspek : (1) kekuatan (strength), (2)
kekakuan (stiffness), (3) daya layan (serviceability), (4) daktilitas (ductility), (5) kesatuan
(structural integrity), dan – (6) keawetan (durability). Hasil yang diperoleh diharapkan
untuk bisa lebih menggairahkan penggunaan beton pracetak pada struktur SRPM di daerah
yang beresiko gempa tinggi, karena beton pracetak ternyata bukan saja kuat, daktail dan
awet, tetapi juga mudah dan cepat pelaksanaannya.
Pada disertasi ini akan dilakukan kajian pada perilaku jenis baru dari sambungan
beton bertulang cor setempat (CIP = cast in place) untuk menghubungkan komponen-
komponen balok pracetak ke kolom cor setempat pada bangunan gedung SRPM bertingkat
menengah, yaitu dengan 4 @ 6 tingkat (Lihat Gambar 1.1). Sambungan yang dimaksudkan
tanpa menggunakan alat-alat penyambung mekanis, tetapi hanya dengan memberikan pen-
jangkaran kait 90o pada ujung-ujung batang tulangan bawah balok yang diletakkan di
daerah sambungan di muka kolom. Agar lebih mudah dilaksanakan (constructable), bebe-
rapa perbaikan pada pendetailan tulangan juga dilakukan, sehingga menjadikannya agak
sedikit lebih ringan daripada persyaratan menurut code (peraturan bangunan) yang asli,
ACI 318-11 misalnya. Karena bentuknya yang sederhana, maka sambungan ini dapat
dilaksanakan dengan lebih mudah dan cepat di lapangan, tanpa menggunakan bahan atau

6  Bab 1
peralatan khusus, kecuali hanya penyangga-penyangga sementara (temporary shores).
Sambungan yang dihasilkan ini diharapkan berperilaku secara daktail dengan membiarkan
terjadinya pembentukan daerah plastifikasi padanya, sehingga dapat dihindarkan terjadinya
kerusakan-kerusakan pada komponen-komponen balok & kolom pracetaknya. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui perilaku sambungan terhadap beban bolak-balik siklik, baik
secara eksperimental maupun analitik. Tentu saja, yang secara khusus ingin diketahui dari
penelitian ini adalah kekuatan, daktilitas, bentuk kurva histeretik responsnya, kapasitas
energinya, pola retak dan sebaran kerusakan, serta kapasitas drift-nya. Hasil penelitian ini,
yaitu berupa pengetahuan yang lebih komprehensif pada perilaku respons sambungan
terhadap beban bolak-balik, diharapkan dapat memberikan sumbangan positif pada tata
cara perencanaan struktur SRPM beton pracetak tahan gempa.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di depan, beberapa pokok masalah
akan diselidiki di dalam penelitian disertasi ini. Pokok-pokok masalah itu akan dicoba
untuk dicarikan jawabnya, yang akan muncul baik secara eksplisit maupun implisit di
dalam penjabaran bab-bab di dalamnya, dan yang akan disarikan di dalam bab kesimpulan
di belakang.

1. Apakah benar sambungan balok-ke-kolom cor setempat dengan penjangkaran 90o dan
dengan pendetailan tulangan yang lebih ringan daripada code dapat menampilkan peri-
laku respons yang daktail dengan bentuk kurva histeretik yang stabil ?

2. Bagaimana bentuk perilaku respons non-liniernya : (a) daktilitas, (b) faktor kuat lebih,
(c) degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatan, (d) kemampuan pemencaran energi,
dan  (e) deformasi ultimate yang ditunjukkan dengan kapasitas drift-nya ?

3. Bagaimana model perilaku respons histeretik beban vs. perpindahan sambungan jenis
ini, apa saja parameter-parameter yang menentukannya, dan bagaimana model konsti-
tutifnya ?

4. Bagaimana validasi antara model analitik dengan hasil eksperimental sambungan ter-
hadap pembebanan siklik ?

5. Bagaimana bentuk dan sebaran kerusakan yang ditimbulkan oleh pembebanan siklik
dengan pola riwayat siklik yang kira-kira mewakili kondisi yang ditimbulkan oleh
gempa kuat ?

Bab 1 – 7
6. Bagaimana kinerja sambungan jenis ini bila dibandingkan dengan sambungan yang
dilaksanakan secara monolith ?

7. Bagaimana data kinerja sambungan yang dihasilkan ini akan dapat dimanfaatkan pada
tata langkah perhitungan desain SRPM dengan pembebanan gempa ?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara garis besar, disertasi ini akan melakukan kajian mendalam, baik secara ana-
litik maupun eksperimental, pada perilaku sambungan balok-ke-kolom CIP komposit yang
menggunakan penjangkaran penulangan pada ujung balok dengan kait standar 90 o dan
dengan menggunakan pendetailan penulangan yang lebih ringan daripada yang ditetapkan
oleh peraturan bangunan. Darinya diharapkan akan dihasilkan sebuah prototipe sambungan
daktail balok-ke-kolom yang akan dipergunakan pada bangunan SRPM beton pracetak
yang terletak di wilayah dengan intensitas kegempaan menengah sampai tinggi. Adapun
tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan kompilasi pada beberapa jenis sambungan balok-ke-kolom, serta kompa-


rasi pada keunggulan dan kekurangan dari masing-masing jenis, ditinjau dari sisi ki-
nerja dan kemudahan kerjanya. Selanjutnya, melakukan inovasi dengan mengusulkan
bentuk sambungan yang baru dengan tetap memperhatikan kebiasaan-kebiasaan di
dalam praktek agar didapatkan spesimen yang tetap kuat, tetap daktail, tetap awet, dan
tentu saja lebih mudah dikerjakan serta lebih murah biayanya.

2. Melakukan rancang bangun pada bentuk sambungan balok-ke-kolom untuk SRPM


beton bertulang pracetak secara CIP dengan memperhatikan tata langkah desain me-
nurut peraturan bangunan yang baku. Penekanan dilakukan pada aspek pelaksanaan,
agar didapatkan kemudahan dan kecepatan dalam konstruksi (constructability), di-
samping murah harganya (economy).

3. Melakukan kajian dan analisis pada beberapa parameter rancang yang mempengaruhi
kriteria keunggulan struktur, yaitu kekuatan (strength), kekakuan (stiffness), daktilitas
(ductility), perpindahan ultimate (drift), dan keawetan (durability). Langkah-langkah
ini meliputi :
 Memilih komposisi ideal campuran beton agar didapatkan sifat-sifat kuat, daktail
dan awet. Termasuk di dalam langkah ini adalah melakukan uji perbandingan pada
kelayakan ditambahkannya material tambahan/additive ke dalam campuran beton
untuk badan sambungan.

8  Bab 1
 Mengatur peletakan, pemotongan & pembengkokan batang-batang tulangan agar
didapatkan penyaluran tegangan-tegangan yang lebih baik.
 Memilih bentuk dan banyaknya tulangan-tulangan transversal untuk memberikan
perlindungan pada struktur dari keruntuhan dini sambungan akibat kegagalan
geser (shear failure), kegagalan pada pengekangan (confinement failure), dan
tekuk pada batang-batang tulangan akibat tekan (compressive bar buckling).

4. Merancang dan membuat spesimen sambungan dengan memperhatikan beberapa butir


parameter desain yang ditetapkan.

5. Melakukan kajian secara analitik pada spesimen sambungan yang didapatkan dengan
menggunakan metoda elemen hingga. Adapun pemodelan struktur dan eksekusi per-
hitungan dilakukan dengan memanfaatkan beberapa paket piranti lunak yang sudah
tersedia di pasaran, misalnya SeismoStruct (SeismoSoft, 2011), dan sebagainya.

6. Melakukan uji eksperimental di laboratorium pada spesimen sambungan dengan pem-


bebanan bolak-balik siklik. Kemudian, data perilaku respons yang didapatkan di-
analisis karakteristiknya dan didokumentasikan untuk diverifikasikan dengan hasil
perhitungan analitik yang sudah didapatkan gambaran karakteristik sebelumnya.

7. Melakukan uji validasi data analitik terhadap data eksperimental dan mengkaji para-
meter-parameternya, seperti kekuatan dan deteriorasinya, kekakuan dan degradasinya,
kapasitas drift, dan akurasinya memprediksikan kekuatan struktur.

8. Mengkaji dan menyimpulkan hasil-hasil penelitian untuk dimanfaatkan sebagai acuan


bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Masalah

Pekerjaan penelitian ini bergerak di dalam ruang lingkup kajian-kajian secara


eksperimental dan numerik analitik dengan berpedoman pada studi kepustakaan pada
publikasi hasil yang telah dicapai oleh para peneliti terdahulu. Pokok masalah yang hendak
diteliti adalah perilaku daktail sambungan balok-ke-kolom beton cor setempat untuk di-
pakai pada SRPM beton pracetak tahan gempa.
Adapun di dalam pelaksanaannya, penelitian ini akan dilakukan pada batasan
masalah sebagai berikut :

1. Balok dan kolom dari beton bertulang pracetak dengan penampang masing-masing
berbentuk kotak/persegi panjang.

Bab 1 – 9
2. Bahan beton untuk komponen pracetak dibuat dari campuran mutu tinggi dengan nilai
tegangan karakteristik sekitar K-400 (fc’  33.25 MPa). Untuk mendapatkan hal ter-
sebut, sedapat mungkin dipakai agregat dan semen normal di dalam campuran.

3. Bahan beton untuk campuran sambungan cor setempat diusahakan berasal dari ke-
kuatan karakteristik yang sama dengan yang dipakai pada komponen pracetaknya.
Untuk mengatasi kesulitan pada pekerjaan penuangan melalui sela-sela tulangan sam-
bungan yang rapat dan mengisi sudut-sudut yang tersembunyi, agregat berukuran kecil
dari jenis batu pecah mesin akan dipakai dalam campuran. Zat tambahan/additive
mungkin juga akan dipakai untuk keperluan tersebut.

4. Bahan baja untuk tulangan diusahakan dipakai jenis-jenis yang tersedia di pasar,
dengan baja ulir mutu normal (fy  400 MPa) untuk semua tulangan longitudinal balok,
kolom, dan sambungan, serta baja tulangan polos (fyh  280 MPa) untuk sengkang-
sengkang.

5. Spesimen uji dibuat dalam bentuk planar subassemblies sambungan dalam (interior
joint) dari suatu struktur SRPM. Ukuran linier komponen-komponen dan dimensi pe-
nampang-penampangnya akan ditentukan dengan memperhatikan kemampuan per-
alatan pengujinya di laboratorium.

6. Sambungan dibuat dari beton CIP secara komposit yang diletakkan pada ujung-ujung
balok, dengan tulangan-tulangan balok yang dijangkarkan dengan kait siku standar di
dalam badan sambungan. Perhitungan desain dilakukan secara hati-hati agar sambung-
an mengalami plastifikasi yang mendahului komponen-komponen pracetaknya.
Parameter-parameter yang akan ditinjau pengaruhnya adalah rasio tulangan longitu-
dinal, spasi tulangan sengkang, dan panjang badan sambungan, yang dalam hal ini
dianggap mewakili panjang sendi plastik.

7. Pada spesimen sambungan yang sudah ter-set up akan diberikan riwayat pembeban-
an bolak-balik secara siklik dalam arah horizontal, yang bisa diberikan secara force
controlled ataupun displacement controlled. Pembebanan akan terus dilangsungkan
secara sempurna sampai struktur mencapai kondisi menjelang keruntuhan. Skema
pembebanan yang dipakai adalah sebagai yang disebutkan oleh ACI 374.1-05.
Sedangkan skema pembebanan long term secara bertahap (staged loading), yaitu
dengan cara memberikan jeda di sela-sela antar tahapan, tidak dilakukan. Hal ini
ditempuh untuk menyederhanakan masalah, yaitu agar effek terakumulasikannya
tegangan-tegangan sisa (residual stresses) yang akibatnya sulit diprediksikan, tidak
sampai berpengaruh pada hasil penelitian.

10  Bab 1
8. Pembebanan dalam arah vertikal untuk menirukan effek beban aksial pada kolom
tidak dilakukan atau dilakukan secara terbatas.

9. Pengujian pembebanan bisa segera dilakukan setelah beton cukup umurnya. Tidak
dilakukan pengujian pada spesimen yang sudah berumur sangat lanjut.

10. Penelitian di sini dilakukan pada spesimen yang masih baru (fresh), dan tidak dimak-
sudkan untuk spesimen-spesimen yang telah mengalami perbaikan (retrofitted) seba-
gai akibat mengalami kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari pengujian/pem-
bebanan sebelumnya.

1.5 Hipotesis

Sambungan-sambungan CIP dengan batang-batang tulangan yang dijangkarkan


biasanya menunjukkan perilaku yang kurang daktail bila dibandingkan dengan sambung-
an-sambungan monolith dengan batang-batang tulangan yang menerus. Sebagai yang te-
lah ditunjukkan oleh laporan hasil penelitian sebelumnya, sambungan dengan batang tu-
langan yang dijangkarkan menghasilkan grafik histeretik hubungan beban – perpindahan
yang agak pipih (pinched), sedangkan sambungan monolith dengan batang yang menerus
menghasilkan grafik yang lebih gemuk (Matsumoto, dkk., 2000). Akan tetapi, di sisi yang
lain, pada sambungan-sambungan monolith, kerusakan (retak-retak) banyak terkonsentrasi
pada bagian kolom. Hal ini tidak sejalan dengan aliran utama dari filosofi desain non-linier
sambungan SRPM yang dipakai pada saat ini, yaitu yang menghendaki pembentukan
sendi-sendi plastik pada ujung-ujung balok, dan bukan pada panel (kolom).
Disamping hal-hal yang disebutkan di atas, sambungan CIP dengan batang-batang
tulangan yang dijangkarkan juga mempunyai kekurangan dibandingkan dengan sambung-
an monolith, yaitu dalam hal penyaluran beban geser/gaya lintang. Dengan berkurangnya
atau tidak hadirnya komponen transfer gaya geser antar bidang muka yang ditimbulkan
oleh gaya aggregate interlock dan kerja dowel pada tulangan-tulangan longitudinal, maka
penyaluran gaya geser hanya akan mengandalkan perlawanan geser pada bagian beton yang
belum retak dan kemampuan pikul tulangan-tulangan geser. Masalah ini akan menjadi
semakin kritis, ketika beton sudah banyak mengalami retak-retak pada tingkat pembebanan
yang mendekati kondisi ultimate.
Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam penelitian ini akan dikaji kemung-
kinannya membuat sambungan balok-ke-kolom CIP komposit dengan tulangan-tulangan
balok yang dijangkarkan dengan kait siku standar. Adapun hipotesis yang hendak diuji
adalah :

Bab 1 – 11
1. Bahwa sambungan CIP yang diusulkan akan berperilaku paling tidak sama daktailnya
dibandingkan dengan sambungan monolith, yaitu dengan dihasilkannya grafik histe-
retik hubungan beban – perpindahan yang sama gemuk dan stabilnya,

2. Bahwa sambungan CIP yang diusulkan menampilkan kapasitas drift yang paling tidak
sama tingginya dengan sambungan monolith,

3. Bahwa di dalam subassembly sambungan balok-ke-kolom yang diuji, akan dihasilkan


pembentukan sendi plastik pada ujung balok, dan bukan pada kolom,

4. Bahwa pada spesimen sambungan CIP yang diuji akan dihasilkan ragam kegagalan
utama dalam lentur, dan bukan dalam geser, dan –

5. Bahwa desain sambungan jenis ini akan bisa dilakukan dengan menggunakan tata cara
desain menurut peraturan bangunan yang berlaku.

1.6 Keutamaan Penelitian

Pada struktur SRPM beton pracetak, untuk mendapatkan kinerja yang tinggi pada
sambungan basah (cor setempat), biasanya diperlukan persyaratan detail desain yang
tinggi. Persyaratan itu terutama meliputi penyambungan dan penjangkaran batang-batang
tulangan longitudinal komponen-komponen pracetak, agar diperoleh penyaluran tegangan-
tegangan yang lebih baik pada baja tulangan dan meminimalkan kerusakan pada beton.
Selanjutnya, masalah penjangkaran muncul pada alternatif tentang bagaimana bentuk pen-
jangkaran ujung batang tulangan, apakah dengan kait 90o, 135o, atau menggunakan jang-
kar mekanis. Dalam hal penyambungan di zona kritis sambungan, tersedia alternatif apa-
kah batang-batang tulangan akan diteruskan/disambung dengan alat penyambung mekanis
atau dengan las. Setiap alternatif yang dipilih akan berakibat, baik pada kerumitan-
kerumitan pada pelaksanaan maupun pada kinerja struktur, yang pada akhirnya harus
diterjemahkan pada peningkatan kebutuhan waktu dan biaya pelaksanaan. Pada jenis-jenis
terbaru dari sambungan, upaya untuk meminimalkan kerusakan (retak-retak) pada beton
dilakukan dengan memberikan pratekanan melalui tendon atau strands terutama pada
balok-balok yang diteruskan sampai menembus kolom. Teknik ini memang terbukti
memperbaiki kinerja sambungan, bukan hanya pada meningkatnya kekuatan, daktilitas,
dan kapasitas drift struktur, akan tetapi juga berkorelasi pada peningkatan biaya konstruksi
karena pelaksanaannya membutuhkan, bukan saja kemampuan teknik yang lebih tinggi dari
para pelaksana dan pengawas bangunannya, tetapi juga material dan peralatan berteknologi
tinggi yang berharga mahal. Penelitian ini bermaksud menawarkan bentuk baru dari sam-
bungan cor setempat dengan kekuatan, daktilitas, dan kapasitas drift yang cukup memadai

12  Bab 1
(reasonable), tapi dengan mempertahankan sifat kemudahan dan kesederhanaan pada
pelaksanaannya. Di dalam masa konstruksinya, tidak dibutuhkan penggunaan komponen
teknik, ataupun peralatan khusus, sehingga waktu dan biaya bisa ditekan jauh lebih rendah.
Juga, karena sambungan diletakkan di luar kolom, maka keruwetan (congestion) tulangan
di dalam badan kolom bisa dihindarkan. Seperti dimaklumi, bahwa batang-batang tulang-
an yang terpasang sangat rapat akan menyebabkan tertahannya beton basah pada saat pe-
nuangan untuk mengisi celah-celah atau sudut-sudut yang sempit, sehingga akan dihasil-
kan beton yang tidak padat/kompak karena meninggalkan rongga-ronga kosong di dalam-
nya. Masalah ini biasanya disebutkan sebagai penyebab berkurangnya kepercayaan pada
nilai kekuatan beton, dan hal ini akan diminimalisasikan di dalam jenis sambungan yang
diusulkan ini.

1.7 Sistematika Penulisan Disertasi

Buku disertasi ini disusun dengan sistematika sebagai diuraikan berikut ini. Mula-
mula, pada Bab 1 yang berupa pendahuluan dari keseluruhan tulisan, di dalamnya diurai-
kan latar belakang masalah yang menyebabkan timbulnya maksud untuk penelitian ini.
Kemudian pada perumusan masalah dijelaskan pokok-pokok masalah yang akan menjadi
arah tujuan penelitian ini. Berikutnya, pada tujuan penelitian disebutkan langkah-langkah
yang akan ditempuh dalam rangka untuk mencapai tujuan penelitian yang dimaksudkan.
Selanjutnya pada ruang lingkup penelitian dan batasan masalah disebutkan secara lebih
langsung dengan cara apa penelitian ini akan dilaksanakan. Pada hipotesis disebutkan
pokok-pokok pikiran yang menjadi dugaan awal yang akan diuji di dalam penelitian ini.
Dan akhirnya, pada keutamaan penelitian diuraikan pertimbangan-pertimbangan tentang
diperlukannya riset ini.
Pada Bab 2 disampaikan studi kepustakaan yang dilakukan untuk menentukan arah
penelitian. Pokok-pokok pikiran dibangun dengan melakukan tinjauan pada state-of-the-
art sambungan balok-ke-kolom dari pendekatan sudut pandang peraturan bangunan.
Tulisan kemudian dikembangkan dengan tinjauan praktis pada pendalaman beberapa jenis
sambungan yang telah dikenal dan melakukan identifikasi pada karakteristiknya masing-
masing, yang kemudian mengerucut pada pengenalan perbedaan jenis-jenis sambungan
tersebut pada aspek kinerja dan kemudahan kerjanya. Pembicaraan pada Bab 2 ditutup
dengan penyegaran ingatan pada persyaratan desain sambungan balok-ke-kolom, berikut
komponen-komponen struktur yang berupa balok dan kolom yang merangka padanya,
berdasarkan peraturan bangunan ACI 318-11.

Bab 1 – 13
Pada Bab 3 disampaikan pokok-pokok uraian mengenai studi analitik pada
sambungan balok-ke-kolom beton bertulang. Di dalamnya dijabarkan tentang jenis-jenis
sambungan balok-ke-kolom, gaya-gaya dalam yang timbul padanya akibat beban yang be-
kerja, dan sedikit uraian tentang kerusakan yang mungkin terjadi diakibatkan oleh gempa.
Beberapa parameter pada perilaku respons dan kinerja sambungan juga didefinisikan, yang
kemudian dilanjutkan dengan ringkasan tentang studi analitik tentang perilaku respons
histeretik sambungan yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Pembicaraan pada
bab ini ditutup dengan contoh perhitungan analitik pada penentuan perilaku respons histe-
retik sambungan terhadap beban siklik dengan menggunakan model multilinier dan dengan
lintasan-lintasan lengkung yang terpepatkan.
Pada Bab 4 diuraikan keseluruhan rangkaian pekerjaan eksperimental yang dilaku-
kan di dalam riset ini. Mula-mula dijabarkan masalah desain spesimen, yang meliputi
penetapan dimensi subassembly, spesifikasi material yang dipakai, dan detail penulangan-
nya. Kemudian, pada spesimen bayangan (imaginary) sambungan balok-ke-kolom tersebut
dicoba untuk melakukan prediksi respons histeretik secara analitik. Hasil yang diperoleh
bisa dipergunakan untuk memperkirakan besarnya beban yang harus diberikan dan drift
yang mungkin akan dicapai pada uji eksperimental nantinya. Berikutnya juga disampaikan
uraian pada pemasangan strain-gauge pada baja-baja tulangan yang sudah terakit. Perihal
pekerjaan pengecoran beton dan masalah-masalah yang muncul di dalam penentuan urut-
urutan langkah pada pembuatan spesimen juga diuraikan. Tidak lupa, hasil-hasil pengujian
tarik sample baja tulangan dan kuat tekan silinder beton juga disampaikan di dalamnya.
Demikian juga akan disampaikan masalah penyetelan (set up) spesimen sambungan balok-
ke-kolom ke dalam mesin penguji. Pengujian spesimen sambungan balok-ke-kolom dan
hasil-hasil yang diperolehnya akan menutup pembicaraan pada Bab 4 ini.
Perihal upaya untuk mengungkapkan perilaku dan kinerja sambungan balok-ke-
kolom dengan melakukan pemeriksaan pada data eksperimental disampaikan pada Bab 5.
Mula-mula diuraikan langkah-langkah yang lebih rinci untuk memperoleh validasi antara
data eksperimental dengan analitik pada perilaku respons histeretik sambungan. Darinya
kemudian dikembangkan cara-cara untuk meng-kwantifikasi-kan besaran-besaran kinerja
sambungan, seperti kekuatan, daktilitas, kapasitas energi, dan yang lain-lainnya. Dan akhir-
nya, pemeriksaan acceptance criteria kinerja sambungan secara keseluruhan menurut ACI
374.1-05 juga disampaikan yang sekaligus akan menjadi penutup bab ini.
Kesimpulan hasil penelitian disertasi ini akan disampaikan pada Bab 6. Padanya
juga disampaikan beberapa catatan yang mungkin berguna untuk mengembangkan riset-
riset lanjutan di masa yang akan datang.

14  Bab 1
BAB 2
STUDI PUSTAKA

2.1 State-of-the-Art Sambungan Balok-ke-Kolom Beton Pracetak

Menurut UBC-1997 (Uniform Building Code 1997), bangunan gedung dikelom-


pokkan ke dalam bentuk-bentuk sistem pemikul bebannya, yaitu sebagai yang dicantum-
kannya di dalam Table 16-N (ICBO, 1997). SNI (Standar Nasional Indonesia) mengutip
dan mengadaptasikannya ke dalam kebutuhan di Indonesia, dan kemudian memasukkan-
nya ke dalam Tabel 3 SNI 03-1726-2002 (BSN, 2002–1). Di dalamnya disebutkan, bahwa
bangunan gedung beton bertulang digolongkan ke dalam : (a) sistem dinding geser, (b)
sistem rangka ikatan (bracing), (c) sistem rangka pemikul momen (SRPM), dan (d) sistem
ganda (dual system). Di dalam edisi terbarunya, yaitu SNI 03-1726-2012, pembagiannya
muncul dalam bentuk yang lebih terinci, yaitu : (a) sistem dinding penumpu, (b) sistem
rangka bangunan, (c) sistem rangka pemikul momen khusus, (d) sistem ganda dengan
rangka pemikul momen khusus, (e) sistem ganda dengan rangka pemikul momen me-
nengah, (f) sistem interaktif dengan rangka pemikul momen beton bertulang biasa dengan
dinding geser bertulang biasa, (g) sistem kolom kantilever yang didetail untuk memenuhi
persyaratan tertentu, dan – (h) sistem baja yang tak didetail secara khusus untuk ketahanan
seismik (BSN, 2012). Satu di antaranya, yaitu SRPM (MRF menurut UBC-1997) adalah
sebagai yang ditunjukkan pada Gambar 1.1 di depan. Agar struktur berperilaku memuaskan
terhadap beban-beban, khususnya gempa, SRPM beton pracetak harus bergantung kepada
kinerja yang bagus dari sambungan-sambungan (connection = koneksi) balok-ke-kolom-
nya. Diagram pada Gambar 2.1 mengillustrasikan hal itu.
Menurut cara pengerjaannya, sambungan beton pracetak diklasifikasikan ke dalam
sambungan basah (wet connection) dan sambungan kering (dry connection). Sambungan
basah didapatkan dengan cara menuangkan beton cor setempat (cast in place = CIP) di
antara panel-panel pracetak. Untuk mendapatkan kesinambungan struktural, stek-stek
tulangan disambungkan dengan cara pengelasan (welding) atau dengan menggunakan alat
penyambung mekanis (mechanical splice devices) sebelum beton dituangkan. Sedangkan
sambungan kering dikerjakan secara agak lebih mudah, yaitu dengan cara membaut
(bolting) atau mengelas (welding) pelat-pelat baja yang ditanamkan pada ujung-ujung atau
tepi dari panel-panel pracetak, yang sudah dipersiapkan untuk maksud itu. Sambungan
basah kurang-lebihnya sama dengan konstruksi cor setempat, dimana penyaluran gaya-
gaya pada struktur disebarkan pada bagian yang agak luas. Sedangkan pada sambungan

Bab 2 – 15
16  Bab 2

Perilaku Komponen
Sistem Rangka Bresing Struktur Cast-In-Place (CIP) Perilaku Struktur
Struktur

Sistem Dinding Geser


Perilaku Komponen
Struktur Cast-In-Place (CIP) Perilaku Struktur
Wilayah Kegempaan Struktur
Rendah : 1 & 2 Sistem Rangka Pemikul Momen
Biasa (SRPMB) Perilaku Komponen
Struktur
Struktur dengan komponen2
Perilaku Struktur
Sistem Ganda : Dinding Geser Pracetak (Precast)
dengan SRPMB Perilaku Koneksi
antar-komponen

Sistem Dinding dengan Rangka


Baja Ringan dan Bresing Tarik
Perilaku Komponen
Struktur Cast-In-Place (CIP) Perilaku Struktur
Struktur
Sistem Rangka Bresing
Struktur dengan
Struktur Gedung
Wilayah Kegempaan Kinerja yang
Beton Bertulang
Sedang : 3 & 4 Sistem Rangka Pemikul Momen Perilaku Komponen Memuaskan terhadap
Tahan Gempa Struktur Cast-In-Place (CIP)
Menengah (SRPMM) Struktur Gempa
Perilaku Struktur

Sistem Ganda : Dinding Geser Struktur dengan komponen2 Perilaku Koneksi


dengan SRPMM Pracetak (Precast) antar-komponen

Sistem Dinding Geser


Kantilever Daktail

Sistem Dinding Geser Struktur Cast-In-Place (CIP) Perilaku Komponen


Berangkai Daktail Struktur
Wilayah Kegempaan Perilaku Struktur
Tinggi : 5 & 6
Sistem Rangka Pemikul Momen Struktur dengan komponen2 Perilaku Koneksi
Khusus (SRPMK) Pracetak (Precast) antar-komponen

Sistem Ganda : Dinding Geser


dengan SRPMK

Gambar 2.1 : Kinerja yang memuaskan pada SRPM beton bertulang pracetak bergantung kepada sambungan (koneksi) antar
antar komponen strukturnya menurut SNI 03-1726-2002.
kering, gaya-gaya tersebut disalurkan pada daerah yang terbatas (discrete) di sekitar titik-
titik sambungan. Tata cara perencanaan untuk struktur beton pracetak masih sangat terbatas
bila dibandingkan dengan peraturan desain untuk beton bertulang biasa (cor setempat),
khususnya pada kolom bangunan. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas beberapa
pedoman desain sambungan pracetak sebagai disebutkan oleh peraturan bangunan. Adalah
Provisi 1994 dari NEHRP (National Earthquake Hazard Reduction Program) yang mula-
mula menyebutkan adanya dua pendekatan di dalam melakukan desain sistem struktur
beton pracetak SRPM, khususnya untuk wilayah yang beresiko kegempaan tinggi, yaitu
zona 3 & 4 UBC-1997 (atau zona 5 & 6 menurut SNI 03-1726-2002) (Ghosh, dkk., 1997).
Yang pertama disebut Emulation of Monolithic Reinforced Concrete Construction
(EMRC), dan yang kedua Jointed Precast relying on Unique Properties (JPUP). EMRC,
yang dianut oleh kebanyakan peraturan yang ada pada saat ini, terbagi menjadi monolithic
connection (yang berupa sambungan basah) dan strong connection (sambungan kuat, yang
bisa berupa sambungan basah atau kering). Sedangkan JPUP sendiri didominasi oleh
sambungan kering. Pada penggunaan monolithic connection harus dipenuhi semua kriteria
beton bertulang yang monolith, sedangkan pada strong connection harus dijamin ber-
langsungnya mekanisme strong column – weak beam, serta disyaratkan daerah aksi non-
linier tidak boleh terjadi di dalam sambungan, melainkan pada tempat sejarak paling tidak
setengah tinggi balok dari muka kolom. Persyaratan itu kemudian diterima dan diambil
sebagai bagian dari peraturan UBC-1997. Secara garis besar dapat disebutkan, bahwa
konsep sambungan daktail akan lebih mudah didapatkan dari kelompok sambungan
monolith (baca : basah) ini. Perbandingan zona-zona kegempaan menurut berbagai peratur-
an disampaikan pada Tabel 2.1.
ACI (American Concrete Institute) mencantumkan tata cara perencanaan bangun-
an beton pracetak tahan gempa mulai dari ACI 318-02, yaitu dengan provisinya mengenai
Special Moment Frames (SMF), atau sistem rangka pemikul momen khusus (SRPMK)
menurut SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726-2012. Di dalam ACI 318-2002, SMF beton
pracetak dicantumkan di dalam Pasal 21.6, dan sistem dinding beton pracetak di dalam
Pasal 21.8 dan 21.13. Di dalam Pasal 21.6 disebutkan bahwa bangunan beton pracetak di
daerah intensitas kegempaan tinggi harus memakai SMF dengan penerapan baik sam-
bungan daktail (Pasal 21.6.1) maupun sambungan kuat (Pasal 21.6.2). Pada sambungan
daktail direncanakan untuk terjadinya pelelehan lentur di dalam sambungan, sedangkan
sambungan kuat mengharuskan terjadinya pelelehan itu terjadi pada tempat yang berjarak
paling tidak setengah tinggi balok di luar muka kolom sambungan. Lebih lanjut juga
disebutkan, bahwa baik sambungan daktail maupun sambungan kuat harus memenuhi

Bab 2 – 17
semua persyaratan sebagai yang ditetapkan pada bangunan beton cor setempat. Prinsip ini
tetap dipertahankan di dalam edisi-edisi berikutnya, yaitu ACI 318-05 (Pasal 21.6), ACI
318-08 (Pasal 21.8), ACI 318-11 (Pasal 21.8), dan ACI 318-14 (Pasal 18.8).

Precast Concrete Seismic


System

Emulation of Jointed Precast relying


Monolithic Behavior on Unique Properties

Frames Shear Walls

Monolithic Strong Connection


Connection ( Basah atau Kering )
( Basah ) Persyaratan yang diperlukan akan
Memenuhi persyaratan yang dimasukkan pada peraturan yang
diperlukan untuk konstruksi yang akan datang
monolith

Gambar 2.2 : Ketentuan desain struktur beton bertulang pracetak menurut UBC-1997.

Precast Seismic System

Monolithic Emulation Jointed Precast

Moment Structural Moment Structural


Frames Walls Frames Walls

Inter Ordinary Special Inter Ordinary Special Special


Special mediate mediate
No Pasal 21.8 No Pasal 21.11.4 Pasal 21.11.4
Pasal 21.12 Requirements Pasal 21.13 Requirements

Ductile Strong
Connection Connection
Pasal 21.6.1 Pasal 21.6.2

Gambar 2.3 : Ketentuan desain struktur beton bertulang pracetak menurut ACI 318-02.

Sebagai peraturan yang lebih tinggi tingkatan yurisdiksinya dan lebih umum
bidang lingkupnya, IBC (International Building Code), baik di dalam edisinya IBC-2006
maupun IBC-2009, tidak secara khusus menyoroti masalah sambungan beton pracetak ini.
Di dalam peraturan yang menggantikan kedudukan UBC-1997 ini disebutkan, bahwa

18 – Bab 2
berkaitan dengan struktur beton, peraturan tersebut disusun untuk berjalan sejajar dengan
dan menyertai ACI 318. Di dalamnya dikatakan, bahwa beton struktural harus di-desain
dan dilaksanakan sesuai dengan ACI 318 dan standar-standar lain yang disebutkan. Pada
Gambar 2.2 disampaikan bagan ketentuan desain struktur beton pracetak tahan gempa
menurut UBC-1997, dan pada Gambar 2.3 disampaikan bagan menurut ACI 318-02.

Tabel 2.1 : Perbandingan istilah-istilah sehubungan dengan masalah desain seismik yang dipakai
di dalam model peraturan

Tingkat resiko atau kinerja seismik atau


Peraturan atau Standar kategori desain sebagai yang ditentukan di
dalam peraturan
ACI 318-08; ACI 318-11, ACI 318-14, IBC 2000,
2003, 2006; NFPA 5000, 2003, 2006; ASCE 7-98,
SDC)1 A, B SDC C SDC D, E, F
7-02, 7-05, 7-10; NEHRP 1997, 2000, 2003; SNI
1726-2012
Resiko Resiko Resiko
kegempaan kegempaan kegempaan
ACI 318-05 dan edisi-edisi sebelumnya sedang/
rendah menengah tinggi

BOCA National Building Code 1993, 1996, 1999;


Standard Building Code 1994, 1997, 1999; ASCE 7- SPC)2 A, B SPC C SPC D, E
93, 7-95; NEHRP 1991, 1994
Zona Zona Zona
UBC 1991, 1994, 1997 kegempaan 0, kegempaan 2 kegempaan 3,
1 4
Zona Zona Zona
kegempaan 1, kegempaan 3, kegempaan 5,
SNI 1726-2002 2 4 6

Elastik Penuh Daktilitas Daktilitas


Parsial Penuh

)1
SDC = Seismic design category yang ditentukan di dalam peraturan
)2
SPC = Seismic performance category yang ditentukan di dalam peraturan
IBC 2006, 2009; ASCE 7-02, 7-05 tidak menggunakan istilah ‘zona kegempaan’ untuk mengekspresikan
tingkat resiko kegempaan yang dihadapi, melainkan dengan istilah ‘kategori penghunian’ atau ‘occupancy
category’. Istilah ini kemudian dicabut dan sebagai gantinya diperkenalkan istilah ‘kategori resiko’ atau ‘risk
category’ pada ASCE 7-10. Dan hal ini yang kemudian diikuti oleh SNI 1726-2012.

ACI sendiri baru menyadari pentingnya untuk memperhitungkan masalah desain


ketahanan gempa pada bangunan gedung pada awal 1970-an, yaitu dengan dimasukkan-
nya ketentuan-ketentuan khusus desain tahan gempa pada ACI 318-71. Walaupun peng-
aturan-pengaturan itu masih belum masuk sebagai tingkatan pasal di dalamnya, melainkan
hanya diberi nama sebagai ‘Appendix A – Special Provisions for Seismic Design’, tapi hal
itu sudah merupakan langkah maju yang tumbuh dari kesadaran atas fakta-fakta yang
dipelajari dari beberapa peristiwa gempa yang merusak yang terjadi di beberapa tempat di
dunia, antara lain : Skopje, Macedonia, 26-07-1963, M = 6.9; Anchorage, Alaska, 27-03-
1964, M = 9.2 (gempa Valdivia); dan Caracas, Venezuela, 29-07-1967, M = 6.5.

Bab 2 – 19
Persyaratan-persyaratan struktur yang disebutkan di dalamnya didasarkan pada informasi
dan rekomendasi yang diambil dari tulisan Blume dkk. (Blume dkk., 1961), dan Hanson &
Conner (Hanson dkk., 1967). Di dalamnya disebutkan syarat-syarat struktur beton
bertulang yang tahan gempa, antara lain mutu bahan beton dan baja tulangan yang
dipergunakan, detail penulangan pada balok dan kolom bangunan, sambungan balok-ke-
kolom (SBK), dan dinding geser (shear-wall). Di dalam hal SBK ini, memang belum
banyak ketentuan yang diatur di dalam Appendix A – ACI 318-71 ini. Tetapi untuk pertama
kalinya disebutkan bahwa tulangan transversal pada SBK harus diproporsikan agar SBK
(dan juga kolom) tidak rusak ketika beban aksial terfaktor pada kolom pada saat gempa
mencapai nilai lebih besar daripada 40% kapasitas balanced-nya : Nu > 0.4  Nb. Kemudian,
mulai ACI 318-83 dimasukkan aturan bahwa jumlah kekuatan lentur kolom-kolom yang
merangka pada suatu SBK haruslah lebih besar daripada jumlah kekuatan lentur balok-
6
baloknya : M nk 
5
 M nb . Masalah SBK ini secara konsisten selalu dipertahankan dan
diperbarui berturut-turut pada edisi-edisi 1989, 1992, 1995, 1999, 2002, 2005, 2008, 2011
dan 2014 dari ACI Building Code. Pada tahun 2002 Joint ACI – ASCE Committee 352
telah menerbitkan rekomendasi desain untuk SBK struktur beton bertulang monolitik (Joint
ACI – ASCE Committee 352, 2002). Rekomendasi ini, melengkapi pasal-pasal ACI 318,
ternyata telah dipakai secara meluas sebagai dasar per-timbangan untuk mendesain SBK
tahan gempa di seluruh dunia.

2.2 Beberapa Bentuk Awal SBK yang Telah Dikenal

Penelitian-penelitian tentang strong connections telah banyak dilakukan, dan be-


berapa jenis sambungan ini telah pula dipublikasikan. Kodifikasi tentang jenis-jenis sam-
bungan telah pula dilakukan (Martin & Korkosz, 1982). Khusus mengenai SBK, di
dalamnya telah dikumpulkan sebanyak 25 (dua puluh lima) jenis sambungan, hanya 4
(empat) di antaranya merupakan sambungan basah, yaitu yang diberi nama BC16, BC17,
BC18 dan BC19. Salah satunya, yaitu sambungan BC16, akan diperlihatkan pada Gambar
2.4. Pada era 1960-1980, SBK jenis ini menjadi yang paling disukai untuk dipergunakan
pada SRPM daktail. Mula-mula, balok-balok pracetak diletakkan di atas dudukan kolom
berbentuk kepala palu (hammerhead). Pelat landas pada bagian dasar balok kemudian
disambungkan dengan besi siku pada bagian konsol kolom dengan pengelasan. Berikut-
nya, batang-batang tulangan tarik disisipkan, dan beton overtopping komposit dituangkan.
Setelah masa perawatan (curing) pada beton overtopping ini, barulah kolom di atasnya di-
ereksi. SBK jenis ini memiliki keunggulan dalam menyediakan ketahanan momen secara

20 – Bab 2
penuh dan kemudahan dalam melakukan penyetelan di lapangan. Kekurangannya adalah
kecepatan ereksi yang rendah, karena kolom di atasnya baru bisa dipasang setelah bagian
komposit overtopping selesai menjalani perawatan, disamping sulitnya melakukan pekerja-
an pengelasan menghadap ke atas (overhead welding).
Dari Gambar 2.2 dan 2.3 dapat dilihat, bahwa sambungan daktail bisa dihasilkan
dari sambungan monolithic emulation yang disyaratkan harus memiliki kinerja yang se-
banding dengan konstruksi beton cor setempat. Untuk itu, sering kali tujuan mendapatkan
sambungan daktail diselesaikan dengan melakukan sambungan secara basah. Pada tahun
1992 dimulai riset pengembangan sambungan daktail yang dilakukan secara kering, yaitu
yang termasuk dalam kategori JPUP. Hasil yang didapatkan dipasarkan secara komersial
oleh Dywidag System International (DSI) dan diberi nama Dywidag Ductile Connection
(DDC) (Englekirk, 1996). Walaupun sistem ini diakui memberikan kemudahan & kece-
patan dalam pengerjaan, disamping kinerjanya yang di-klaim lebih baik daripada sam-
bungan beton cor setempat, namun harga pengadaan dan pemasangan sistem penyam-
bungnya yang mahal, yaitu dengan dipakainya bahan baja A706 Low-alloy yang mahal
sebagai ductile rod. Ditambah lagi dengan keterlibatan pemakaian alat-alat berat di dalam
proses konstruksi telah menjadikannya sulit untuk diterapkan di Indonesia, khususnya di
daerah-daerah yang agak jauh dari kota besar. Illustrasi SBK ini diperlihatkan pada Gambar
2.5.

Gambar 2.4 : SBK beton pracetak BC16 tahan momen (Martin & Korkosz, 1982).

Program riset lainnya yang menonjol adalah apa yang disebut PRESSS (PREcast
Seismic Structural System). Serangkaian pekerjaan penelitian telah dilakukan dalam ke-
rangka program ini, yaitu pada 1991, 1996 dan 1999. Program ini disponsori bersama-sama
oleh National Science Foundation (NSF), Precast/Prestressed Concrete Institute (PCI) dan

Bab 2 – 21
Precast/Prestressed Concrete Manufacturers Association of California, Inc. (PCMAC). Di
dalam program yang dipimpin oleh Profesor M.J.N. Priestley ini, telah dilakukan
koordinasi upaya-upaya dari sekitar selusin team riset dari seluruh wilayah Amerika Serikat
untuk memperbaiki kinerja bangunan-bangunan beton pracetak/prategang. Dari riset yang
dilakukan, telah dihasilkan 4 (empat) jenis sambungan baru, yaitu yang diberi nama : (1)
SBK pretensioned, (2) SBK Tension-Compression Yielding (TCY), (3) SBK TCY dengan
gap, − dan (4) SBK hibrida (Nakaki dkk., 1999) dan (Priestley dkk., 1999). Keempat jenis
sambungan itu diperlihatkan pada Gambar 2.6 di bawah ini.

PRECAST COLUMN

6"

TIE ROD
d (varies)

PRECAST
DUCTILE ROD BEAM
POCKET

1' - 3"
TEMPORARY
CORBEL
PL 4"X5"X1' - 21/2"
FOR EACH 2 ROD CORBEL
GROUP
(2) - 13/8" DYWIDAG ELEVATION
THREADERS W/HEX
NUTS PRECAST
COLUMN
PRECAST
BEAM
CORBEL
1' - 4"

13/4" DIA. DYWIDAG


11/2" DIA. A490 BOLTS DUCTILE RODS
PRETENSIONED TO
148k EACH 5" DIA. SHIM PL'S
PLAN VIEW

Gambar 2.5 : SBK pracetak secara kering dengan sistem DDC (Englekirk, 1996).

Dari pengembangan program tersebut telah dihasilkan jenis-jenis SBK innovative


yang sama sekali baru, yang termasuk ke dalam kelompok JPUP, yang berperilaku secara
sangat effisien terhadap pengaruh beban seismik. Keunggulan dari jenis-jenis SBK tersebut
didapatkan dengan menerapkan konsep unbonded pada batang-batang maupun tendon
pratekanan, pemberian partial grouting pada batang-batang baja lunak tulangan, atau
kombinasi pada keduanya. Salah satu dari inovasi sambungan yang dihasilkan adalah apa
yang disebut dengan SBK hibrida, yang memakai tendon unbonded bersama-sama dengan
batang-batang baja lunak sebagai tulangan longitudinal untuk meningkatkan kemampuan
pemencaran energi (energy dissipating capacity). Bila direncanakan dan dilaksanakan
dengan baik, sistem ini akan menampilkan kinerja yang dapat disetarakan dengan struktur
beton monolitik. Tambahannya lagi, sambungan ini juga memiliki kelebihan memperkecil
kerusakan dan “memulihkan diri sendiri” (self-centering) segera sesudah gempa berlalu.

22 – Bab 2
Sambungan ini telah dicoba pada Gedung Paramount berlantai 38 yang terletak di San
Francisco, yang merupakan bangunan beton pracetak tertinggi di wilayah kegempaan
tertinggi di Amerika Serikat pada waktu itu.

1'- 6" 1'- 6"


COLUMN LONGITUDINAL
COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS
REBAR SPLICE REINFORCING BARS
UNBONDED POST-TENSIONING 3" WRAP REBAR IN
0.50"  PRESTRESSING SLEEVES - TOP & BOTTOM 1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT
USING DYWIDAG THREADBARS
STRANDS ADDITIONAL REINFORCING
( DEBONDED IN BEAMS ) ADDITIONAL 2 - #4 EACH FACE
OF BEAM TERMINATING 1" PER BEAM SECTIONS
CLEAR FROM COLUMN FACE

1'-11"
1'-11"

MAIN BEAM REINFORCING TOP &


BOTTOM W/90o HOOKS AT COLUMN 1/2" JOINT - FILL W/FIBER
1/2" JOINT - FILL W/FIBER FACES GROUT
GROUT PRIOR TO MILD REINFORCING STEEL - TOP &
MILD REINFORCING STEEL IN CORRU- BOTTOM IN METAL CORRUGATED
STRESSING GATED SLEEVES - SOLID GROUTED UNBONDED POST-TENSIONING SLEEVES - SOLID GROUTED
0.50"  BONDED PRESTRESSING USING DYWIDAG THREADBARS
STRANDS

(a) (b)
MILD REINFORCING STEEL AT TOP
IN METAL CORRUGATED SLEEVES 1'- 6" 0.50" UNBONDED POST-TENSIONED 1'- 6"
SOLID GROUTED IN BEAM & STRANDS IN PVC SLEEVE W / NO COLUMN LONGITUDINAL
COLUMN GROUT REINFORCING BARS
COLUMN LONGITUDINAL
4" WRAP REBAR REINFORCING STEEL BARS 1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT
IN SLEEVES WRAP REBAR PRIOR TO STRESSING
BACKER RODS AROUND PVC SLEEVES (DEBONDED)
AT JOINT TO KEEP JOINT FREE OF ADDITIONAL REINFORCING
GROUT NOT IN SLEEVES PER BEAM
SECTIONS
1'-11"
1'-11"

ADDITIONAL REINFORCING MILD REINFORCING STEEL -


PER BEAM SECTIONS 1/2" JOINT - FILL W/FIBER TOP & BOTTOM IN METAL
1" JOINT - FILL BOTTOM 4" OF JOINT GROUT PRIOR TO STRESSING
W/FIBER GROUT PRIOR TO CORRUGATED SLEEVES -
UNBONDED POST- STRESSING SOLID GROUTED
TENSIONING USING UNBONDED POST-
DYWIDAG THREADBARS TENSIONING USING 0.50"  BONDED PRESTRESSING
DYWIDAG THREADBARS STRANDS

(c) (d)

Gambar 2.6 : Jenis-jenis sambungan yang dihasilkan dari program PRESSS


(a) SBK Pretensioned (b) SBK TCY
(c) SBK TCY dengan gap (d) SBK hibrida

Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini sungguh menarik untuk diperhatikan.


Sebagai terlihat pada beberapa publikasi riset untuk SBK beton pracetak yang banyak
dilakukan, para peneliti mengikuti kecenderungan masyarakat konstruksi yang meng-
inginkan kemudahan dalam pengerjaan beton pracetak, disamping murah harganya. Satu
prinsip yang dianggap paling penting dalam mendesain sambungan adalah menjadikan-nya
sesederhana mungkin. Nilai ekonomi yang maksimum akan didapatkan dengan desain
sambungan yang sederhana, dengan tetap mempertahankan kinerja pada tingkat yang
memadai, yang dikompromikan dengan kemudahan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan
pertimbangan itu, para peneliti mengarahkan riset-risetnya ke upaya-upaya pengembangan
konstruksi-konstruksi SBK yang lebih sederhana, sebagai yang telah dilakukan oleh para
peneliti dari Turki ini misalnya (Ertas dkk., 2006). Di dalam risetnya, mereka malah lebih
cenderung meneliti bentuk-bentuk SBK yang sederhana, yaitu yang mudah dikerjakan

Bab 2 – 23
(constructable), disamping murah (economy), dan yang banyak dipakai di masyarakat,
daripada menyelidiki lebih lanjut sambungan-sambungan yang canggih berkinerja tinggi
seperti produk PRESSS misalnya. Untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dari sisi
kinerjanya (performance), yaitu kekuatan dan daktilitas, mereka melakukan perbaikan
seperlunya pada detail konstruksi sambungannya. Beberapa jenis SBK yang telah mereka
teliti diperlihatkan pada Gambar 2.7 di bawah ini.

CAST-IN-PLACE
4 D20mm 3 D20mm
3 D20mm 3 D20mm

8.20 ft
6.30 ft
8.20 ft
6.30 ft

19.70 in 19.70 in

11.80 in
10mm - 4 in 10mm - 4 in
11.80 in

5.25 ft 5.25 ft
6.10 ft 6.10 ft

15.75 in 15.75 in
(a) 15.75 in (b)
15.75 in

CAST-IN-PLACE CAST-IN-PLACE
4 D20mm 2 D20mm ( U-Shaped )
3 D20mm 2 D20mm ( U-Shaped )
3 D20mm 3 D20mm
7.50
8.20 ft
6.30 ft

8.20 ft
6.30 ft

19.70 in 19.70 in

10mm - 4 in 10mm - 4 in
11.80 in
11.80 in

4 D20mm Steel Plate - Welded


5.25 ft 3 D20mm
5.25 ft
6.10 ft
6.10 ft

15.75 in 15.75 in

(c) (d)
15.75 in

15.75 in

Gambar 2.7 : Jenis-jenis sambungan yang diteliti oleh Ertas dkk., 2006.
(a) SBK monolith (b) SBK cor setempat pada kolom
(c) SBK cor setempat pada balok (d) SBK komposit dengan konsol

Masih ada beberapa lagi jenis SBK yang cukup istimewa untuk disebutkan di sini.
Suatu jenis SBK yang dikenal dengan nama Brooklyn system telah diperkenalkan oleh
Amaris dkk. (Amaris dkk., 2006). Sistem ini merupakan pengembangan lebih lanjut
daripada SBK hibrida dari program PRESSS. Memang, pemasangan tendon terbungkus
unbonded dan ‘pengunci geser’ (shear keys) telah menghasilkan peningkatan kemampuan
self-centering-nya. Tapi, pemasangan tendon, yang kadang-kadang tidak lurus pada
sepanjang bentang balok, adalah tidak mudah (dan juga tidak murah) untuk dilaksanakan
di dalam pekerjaan yang sebenarnya. Contoh lain dari pemakaian strand-strand tendon
pratekan yang unbonded dan batang-batang baja lunak yang di-grout pada sambungan
balok-ke-kolom juga telah diperkenalkan sebelumnya oleh Cheok dkk. (Cheok dkk., 1994).
Dengan dipakainya sambungan jenis ini, dilaporkan struktur telah menampilkan kinerjanya
dalam hal peningkatan kekakuan dan kemampuannya untuk meminimalisasi deformasi

24 – Bab 2
residual atau permanen setelah gempa. Tetapi sayangnya, keuntungan itu diperoleh dengan
menambahkan penebalan pada ujung-ujung balok, sehingga tidak menguntungkan pada sisi
estetika dan fungsionalnya. Akhirnya, disampaikan juga di sini jenis SBK hibrida yang
diperkenalkan oleh Rahman dkk. (Rahman dkk., 2006). Nampaknya, sambungan ini telah
dikembangkan dengan mempertimbangkan butir-butir kelebihan dari jenis-jenis SBK BC1,
BC2, BC3 dan BC5 dari buku yang disusun oleh Martin & Korkosz, 1982. Meskipun
pelaksanaannya mudah dan sederhana serta cepat pemasangannya, SBK ini memiliki
kekurangan dalam mobilisasi momen tahanan sepenuhnya, disamping daktilitasnya yang
rendah, terutama ketika dihadapkan dengan beban bolak-balik. Illustrasi jenis-jenis SBK
yang diperkenalkan oleh Amaris dkk., Cheok dkk., dan Rahman dkk. disampaikan pada
Gambar 2.8 berikut ini.

V ( kept constant )

200 kN Load Cell Column Section


Axial Load Jack

H ( cyclically )
250

Actuator
STIFFENED ANGLE CLEAT
50 kN Load Cell 250 DOUBLE
150X90X10 - 150 mm WIDE
Post-tensioning

BOLTED
4R8@40 mm U-LOOP
Transducer

Sheathed unbonded
Transducer

Tendon PLATE 2T20


Jack

Beam Section 150X80X10 mm R6-100


2T20
2000

Reaction Wall

330 2T16
Hidden Shear Bracket 3T10@40 mm

50 kN Load Cell
Pinned Steel Arm 250

4T2D
R6-200

1500

(a) (b)

(All dimensions are in mm) (All dimensions are in mm)


Dogbone Fully grouted mild steel Dogbone Fully grouted mild steel
(2 - #3, Grade 60) (2 - #3, Grade 60)

51 Unbonded PT bars
68

406 406

Fully bonded PT strands


677 677
305 305
Fiber reinforced grout Fiber reinforced grout
joint joint

305 305

(c) (d)
Gambar 2.8 : Beberapa jenis SBK yang diperkenalkan kemudian.
(a) ‘Brooklyn system’ oleh Amaris dkk. (b) SBK oleh Rahman dkk.
(c) SBK oleh Cheok dkk. (d) SBK oleh Cheok dkk.

Bab 2 – 25
2.3 Perbandingan Aspek Kinerja dan Kemudahan Kerja pada Beberapa
Jenis SBK

Untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristiknya masing-masing, maka


perlu dibuat perbandingan pada beberapa jenis SBK. Suatu studi perbandingan seperti itu
telah dilakukan terutama untuk meneliti aspek kinerja (performance) dan kemudahan kerja
(constructability) dari SBK (Wahjudi dkk., 2012–1) dan (Wahjudi dkk., 2012–3). Metoda
pemberian nilai (scoring) dilakukan dengan mendasarkan pada studi pustaka pada masing-
masing kelebihan dan kekurangan dari jenis-jenis sambungan yang dipilih. Adapun butir-
butir untuk penilaian meliputi kemudahan fabrikasi, kemudahan ereksi/instalasi, grouting
& tensioning, keawetan, kemudahan perbaikan setelah kerusakan, ketahanan bakar,
kemudahan pemasangan tendon & pemberian pratekanan, kemampuan self-centering,
kemampuan penyerapan energi, dan drift ratio. Metoda ini telah pernah dilakukan orang
(Camarena, 2006), dan dipakai di sini dengan melakukan beberapa perubahan seperlunya.
Sebanyak 12 (dua belas) SBK telah dipilih untuk memperbandingkan kelebihan
dan kekurangan masing-masing yang dipilih dari jenis-jenis yang menonjol yang sudah
dikenal sejak tahun 1980-an sampai dengan 2006. Uraian ringkas dari studi yang dilakukan
disampaikan pada Lampiran – A buku disertasi ini.
Dari studi yang dilakukan dapat ditarik penilaian yang hasilnya disampaikan pada
Tabel 2.2 di bawah ini. Adalah menarik untuk diperhatikan, bahwa 3 (tiga) score tertinggi
dipegang oleh jenis-jenis SBK yang constructable, yaitu Pilihan 11, kemudian Pilihan 12,
dan Pilihan 6. Darinya kemudian disusun pertimbangan untuk mengusulkan jenis SBK
yang baru, yang mengedepankan aspek kemudahan kerjanya.

Tabel 2.2 : Hasil evaluasi perbandingan berbagai jenis SBK.


Pilihan 10

Pilihan 11

Pilihan 12
Pilihan 1

Pilihan 2

Pilihan 3

Pilihan 4

Pilihan 5

Pilihan 6

Pilihan 7

Pilihan 8

Pilihan 9

Fabrikasi 4 5 4 5 3 4 4 3 3 3 5 5
Kemudahan Ereksi/Instalasi 4 3 4 4 2 4 5 4 3 3 4 4
Kemudahan pada Grouting & Tensioning 5 5 5 5 5 5 4 3 2 2 5 5
Kemudahan pemasangan tendon & pemberian pratekanan 5 5 5 5 5 5 4 3 2 2 5 5
Keawetan 3 4 3 5 3 4 4 4 4 5 5 5
Ketahanan bakar 3 4 3 4 2 4 5 4 4 3 5 5
Kemudahan perbaikan pada kerusakan 3 2 3 3 4 2 3 2 1 1 5 2
Kemampuan pemulihan diri 1 1 1 1 1 1 3 4 3 5 1 1
Kemampuan penyerapan energi 3 3 3 3 3 5 3 4 3 5 4 4
Kapasitas Drift 2 3 2 3 4 5 2 4 3 5 4 4
Skor Total 33 35 33 38 32 39 37 35 28 34 43 40

26 – Bab 2
2.4 Persyaratan Desain ACI untuk SRPM Tahan Gempa – Balok-balok,
Kolom-kolom dan Sambungan Balok-ke-Kolom
Untuk masalah bangunan tahan gempa, ACI memasukkan ketentuan-ketentuan
desainnya pada Bab 21 (ACI 318-11). Selanjutnya, masalah balok dicantumkan di dalam
Pasal 21.5, kolom bangunan di dalam Pasal 21.6, dan masalah SBK telah dimasukkan ke
dalam Pasal 21.7. Butir-butir persyaratan untuk balok-balok bangunan secara garis besar
dapat disebutkan sebagai berikut :

(B1) Balok-balok didesain terutama untuk memikul beban lentur dengan gaya aksial
tekan terfaktor yang bekerja padanya Pu tidak melebihi (fc’Ag/10)

(B2) Bentang bersih ln tidak boleh kurang dari 4 (empat) kali tinggi effektif balok d

(B3) Lebar balok bw tidak boleh kurang dari nilai terkecil antara 0.3h dan 250 mm.
(B4) Lebar penampang bw tidak boleh lebih besar daripada lebar komponen pendukung
c2 ditambah jarak yang terkecil dari : (a) c2, atau – (b) 0.75 kali ukuran penampang
komponen pendukung pada setiap sisi
(B5) Pada sebarang penampang komponen balok, jumlah luas tulangan longitudinal
minimum atas maupun bawah dihitung menurut :

fc ' 1.4
As ,min  bw  d  bw  d . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2-1)
4 fy fy

dimana : fc’ = kuat tekan silinder beton 28 hari, fy = tegangan leleh baja tulangan,
bw = lebar badan balok, dan d = tinggi manfaat penampang balok. Ratio tulangan
terpasang  tidak boleh lebih besar daripada 0.025. Paling tidak harus tersedia 2
(dua) batang tulangan masing-masing pada sisi atas dan bawah penampang.
(B6) Semua batang tulangan non-pratekanan harus dikurung di dalam sengkang tertutup
dan diikat oleh ikatan-ikatan silang (cross-tie), Diameter sengkang dan ikatan
silang minimum adalah 10 mm untuk batang tulangan 32 mm atau yang lebih kecil,
dan 13 mm untuk diamater batang tulangan yang lebih besar.
(B7) Kuat momen positif penampang balok pada muka SBK tidak boleh kurang dari 1/2
kuat momen negatifnya. Pada sebarang penampang di sepanjang bentang balok,
baik kuat momen positif maupun negatifnya tidak boleh kurang dari 1/4 kuat
momen maksimumnya pada muka SBK dari kedua ujung-ujungnya.
(B8) Sambungan lewatan tulangan longitudinal diperbolehkan hanya bila sambungan
tersebut dikurung di dalam tulangan transversal yang berupa sengkang tertutup
atau spiral pada sepanjang sambungan lewatannya. Spasi pemasangan tulangan

Bab 2 – 27
transversal tidak boleh melampaui d/4 atau 100 mm. Sambungan lewatan tidak
boleh dilakukan di dalam : (a) panel SBK, (b) tempat sejarak sampai dengan 2 (dua)
kali tinggi penampang komponen dari muka SBK, atau – (c) tempat dimana analisis
mengindikasikan terjadinya pelelehan lentur yang diakibatkan oleh perpindahan
inelastik pada SRPM.
(B9) Penggunaan alat penyambung mekanis dan las pada batang-batang tulangan di-
perkenankan dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan
kategori desain seismiknya masing-masing, yaitu Pasal 21.1.6 untuk penyambung
mekanis dan Pasal 21.1.7 untuk sambungan las.
(B10) Sengkang-sengkang tertutup harus dipasang pada daerah : (a) sepanjang 2 (dua)
kali tinggi penampang komponen yang diukurkan mulai dari bidang muka SBK
mengarah ke tengah bentang, pada kedua ujung-ujungnya, dan – (b) sepanjang 2
(dua) kali tinggi penampang komponen yang diukurkan mulai dari tempat yang
diperkirakan akan terjadi plastifikasi lentur sehubungan dengan terjadinya perpin-
dahan inelastik pada SRPM, dan mengarah ke tengah bentang.
(B11) Sengkang tertutup pertama harus dipasang pada jarak tidak lebih dari 50 mm yang
diukur dari muka komponen pendukung. Spasi tulangan sengkang tidak boleh
melebihi nilai terkecil dari : (a) d/4, (b) 6 (enam) kali diameter terkecil dari batang
tulangan lentur utama, dan – (c) 150 mm.
(B12) Di daerah yang memerlukan sengkang tertutup, batang-batang tulangan longitu-
dinal pada sekeliling penampang harus memiliki penahan lateral. Jarak dari batang-
batang tulangan longitudinal tidak boleh melebihi 350 mm.
(B13) Di daerah yang secara teoretik tidak memerlukan sengkang tertutup, sengkang-
sengkang tetap harus dipasang dengan spasi yang tidak lebih besar daripada d/2,
yang harus dipasang pada seluruh panjang bentang daerah tersebut.

(B14) Sengkang-sengkang yang dibutuhkan untuk memikul geser harus dipasang pada
seluruh bagian panjang bentang komponen.
(B15) Unit-unit sengkang diperkenankan terdiri dari dua jenis penulangan, yaitu seng-
kang tertutup yang memiliki kait seismik pada kedua ujungnya, dan ikatan-ikatan
silang (cross-tie). 2 (dua) ikatan silang yang berturutan pada sepanjang batang
tulangan akan diakhiri oleh kait 90o dan 135o secara berselang-seling.

Berbeda dengan balok, keruntuhan pada kolom akan lebih berbahaya, karena akan
mengundang keruntuhan total bangunan. Karenanya, pada kolom diterapkan standar
perlindungan yang lebih tinggi daripada balok. Butir-butir persyaratan untuk kolom-kolom

28 – Bab 2
bangunan dicantumkan pada Pasal 21.6 ACI yang secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut :

(K1) Kolom-kolom sebagai bagian dari sistem pemikul beban gempa didesain memikul
beban gaya aksial tekan terfaktor yang akibat berbagai kombinasi pembebanan
struktur Pu lebih besar dari (fc’Ag/10)
(K2) Dimensi penampang terpendek, diukur pada satu garis lurus yang ditarik melalui
titik pusat berat penampang, tidak boleh kurang dari 300 mm

(K3) Rasio dimensi penampang terpendek dengan dimensi yang tegak lurus padanya
tidak boleh kurang dari 0.4
(K4) Kekuatan lentur kolom harus lebih besar daripada kekuatan lentur balok, yaitu :

M nk  (6 / 5) M nb .................................... (2-2)

dimana : Mnk = jumlah kekuatan lentur nominal kolom yang merangka ke dalam
SBK, yang dihitung pada bidang muka sambungan. Kekuatan lentur kolom harus
diperhitungkan pada gaya aksial terfaktor yang terjadi, konsisten dengan arah gaya
lateral yang dipertimbangkan, sehingga menghasilkan kekuatan lentur yang paling

rendah. Mnb = jumlah kekuatan lentur nominal balok yang merangka ke dalam
SBK, yang dihitung pada bidang muka sambungan. Bila dipergunakan balok – T,
di mana bagian sayap (flange) berada dalam keadaan tarik, maka sumbangan
tulangan-tulangan pada pelat (slab) pada daerah sepanjang lebar effektif sayap
harus diperhitungkan pada Mnb.

(K5) Rasio tulangan longitudinal total t tidak boleh kurang dari 0,01 dan tidak boleh
lebih dari 0.06. Pada penampang berbentuk lingkaran harus terdapat sekurang-
kurangnya 6 (enam) batang tulangan.
(K6) Penggunaan alat penyambung mekanis dan las pada batang-batang tulangan di-
perkenankan dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan
kategori desain seismiknya masing-masing, yaitu Pasal 21.1.6 untuk penyambung
mekanis dan Pasal 21.1.7 untuk sambungan las. Sambungan lewatan diijinkan
hanya bila sambungan tersebut dimaksudkan sebagai sambungan tarik, dan sam-
bungan tersebut harus dimasukkan ke dalam kurungan tulangan transversal.

(K7) Tulangan transversal harus dipasang pada daerah sepanjang l0 yang diukurkan dari
muka SBK pada kedua sisinya dari suatu penampang yang mungkin terjadi
pelelehan lentur yang diakibatkan oleh terbentuknya perpindahan lateral inelastik
pada rangka. Panjang l0 harus ditentukan sebagai nilai terbesar dari : (a) tinggi

Bab 2 – 29
penampang komponen yang mungkin mengalami pelelehan, (b) 1/6 bentang bersih
komponen, dan – (c) 450 mm.
(K8) Tulangan transversal bisa berupa spiral lingkaran, sengkang lingkaran, ataupun
sengkang-sengkang siku dengan atau tanpa ikatan silang dengan diameter batang
yang sama. Setiap ikatan silang harus mengikat batang tulangan longitudinal yang
berada di sekeliling penampang. 2 (dua) ikatan silang yang berturutan pada
sepanjang batang tulangan akan diakhiri oleh kait 90o dan 135o secara berselang-
seling. Jarak antar ikatan silang atau antara ikatan silang dengan kaki sengkang hx
tidak boleh lebih besar daripada 350 mm pusat ke pusat.

(K9) Spasi tulangan transversal pada daerah sepanjang l0 tidak boleh melampaui nilai
terkecil dari : (a) 1/4 dari ukuran penampang yang paling kecil, (b) 6 (enam) kali
diameter batang tulangan longitudinal yang paling kecil, dan – (c) s0 sebagai
didefinisikan menurut persamaan berikut ini :

350  hx
100mm  s0  100   150mm ..................... (2-3)
3
dan hx sebagai didefinisikan menurut Gambar 2.9 di bawah.

diperpanjang 6 bdb 7575mm


diperpanjang 6d mm Kedua ujung ikatan
Ash2 silang yang berdekatan
dibengkokkan dengan
kait 90o dan 135o secara
berselang-seling

xi
bc2
xi
Ash1

xi xi xi

bc1

Jarak xi dari pusat ke pusat kaki-kaki ikatan silang tidak boleh melampaui
350 mm. Suku hx sebagai yang dimaksudkan di dalam butir (9) persyaratan
kolom adalah diambil nilai terbesar dari xi ini.

Gambar 2.9 : Contoh pemasangan tulangan transversal pada kolom.

(K10) Kebutuhan tulangan transversal pada daerah sepanjang l0 kolom harus ditentukan
menurut butir (a) atau (b), kecuali bila kebutuhan yang lebih besar akibat geser
menentukan lain :

30 – Bab 2
(a) rasio volumetrik spiral atau sengkang lingkaran s :

fc '  Ag f '
 s  0.12  0.45   1 c ........................ (2-4)
f yt  Ach  fy

(b) luas penampang melintang total dari sengkang empat persegi panjang tidak
boleh kurang dari persamaan (2-6) :
s  bc  f c '  Ag  s  bc  f c '
Ash  0.30   1  0.09 ............. (2-5)
f yt  Ach  f yt

Dari (a) dan (b) di atas, s = spasi sengkang, bc = ukuran melintang penampang inti
(core), yang diukurkan dari sisi-sisi terluar batang tulangan transversal, dari kolom
yang di dalamnya terkandung tulangan Ash , fc’ = kekuatan silinder beton 28 hari,
fyt = tegangan leleh baja yang dipakai sebagai tulangan transversal, Ag = luasan
gross penampang beton komponen, dan Ach = luas penampang inti komponen, yang
diukurkan dari sisi-sisi terluar batang tulangan transversal.

(K11) Pada daerah di luar panjang l0, kolom harus dipasangi spiral atau sengkang ter-
tutup untuk memikul beban geser dengan spasi s yang tidak boleh melampaui nilai
terkecil dari : (a) 16 kali diameter terkecil batang tulangan longitudinal kolom, dan
– (b) 150 mm.

Pasal 21.7 ACI 318-11 mengatur syarat-syarat desain bagi SBK dari SRPMK yang
merupakan bagian dari sistem pemikul beban seismik. Mengingat fungsi penting dari SBK
khususnya pada SRPMK, suatu kerja gabungan antara ACI dan ASCE pada tahun 2002
telah menghasilkan suatu rekomendasi pada desain SBK. Semula, rekomendasi itu di-
maksudkan untuk melengkapi pasal-pasal ACI 318-99 yang memang belum lengkap
mengatur mengenai SBK (Joint ACI–ASCE Committee 352, 2002). Tapi dengan berjalan-
nya waktu, pelan-pelan butir-butir dari rekomendasi itu akhirnya larut masuk ke dalam
pasal-pasal ACI 318 itu sendiri. Dari butir-butir persyaratan desain untuk SBK di bawah
ini, 4 (empat) yang pertama adalah berasal dari rekomendasi tersebut, sedangkan sisanya
berasal dari pasal-pasal ACI 318-11. Perumusan untuk menghitung kuat geser nominal
sambungan Vn sebagai disampaikan pada butir (3) telah disederhanakan, bila dibandingkan
dengan bentuknya semula di dalam rekomendasi.

(S1) Perbandingan antara kapasitas momen kolom dengan balok masing-masing bidang
antar muka SBK adalah : M nk  (6 / 5) M nb sebagai yang telah dituliskan

pada persamaan (2-2) dari butir – 4 persyaratan kolom di depan. Persyaratan ini

Bab 2 – 31
ditetapkan sehubungan dengan prinsip strong column – weak beam, dimaksudkan
agar balok mencapai pelelehan terlebih dahulu daripada kolom.
(S2) Ujung-ujung batang tulangan balok dalam tarik dijangkarkan dengan kait standar
90o yang masuk ke dalam kolom sambungan dengan panjang yang diukurkan dari
penampang kritis tidak kurang dari :
f y db
ldh   8db  150mm ............................ (2-6)
5.40 f c '

dimana : ldh = panjang penyaluran batang dengan kait 90o, fy = tegangan leleh baja
tulangan, db = diameter batang tulangan yang dipakai, dan fc’ = kekuatan silinder
beton umur 28 hari.
(S3) Untuk mencegah kegagalan geser sebelum pembentukan sendi plastik pada balok,
kekuatan geser Vn yang dihitung pada bidang horizontal di dalam sambungan harus
memenuhi :
Vn   f c '  Aj ........................................ (2-7)

dimana :  = 1.70, bila sambungan dikekang pada keempat sisinya, 1.20 bila
dikekang pada ketiga sisinya atau dua sisi yang berlawanan, atau 1.00 untuk kasus
yang selainnya. Sedangkan : Aj = luas effektif sambungan, yang dihitung dari
perkalian tinggi sambungan h dengan lebar effektif sambungan b. Tinggi effektif
sambungan adalah tinggi total penampang kolom. Lebar effektif sambungan adalah
lebar total kolom, terkecuali pada keadaan suatu balok yang merangka pada kolom
yang lebih lebar, lebar effektif tidak lebih besar daripada : (a) lebar balok ditambah
tinggi sambungan, b + h, atau – (b) 2 (dua) kali jarak tegak lurus terkecil yang
diukurkan dari garis tepi balok ke garis tepi kolom, b + 2x. Uraiannya sebagai yang
dijelaskan menurut Gambar 2.10.
(S4) Untuk mengendalikan kerusakan yang terus meningkat (deterioration) pada SBK
selama berlangsungnya beban gempa, tulangan transversal perlu dipasang di dalam
sambungan, yang berupa sengkang-sengkang tertutup dan ikatan-ikatan silang
dengan spasi menurut butir (K9), dan kebutuhan luas penampang tulangan menurut
butir (K10) dari persyaratan desain kolom di atas.
(S5) Gaya-gaya pada batang-batang tulangan longitudinal balok pada bidang muka SBK
harus dihitung dengan menganggap tegangan tarik lentur yang terjadi padanya
sebesar 1.25fy.

32 – Bab 2
Effective joint
area, Aj

Joint depth = h Effective joint


in plane of width = b + h
reinforcement  bb ++ 2x
2x
generating shear

x Note :
Effective area of joint for
Reinforcement h forces in each direction
generating shear b of framing is to be
considered separately.
Joint illustrated does not
Direction of meet conditions of
forces generating 21.7.3.2 and 21.7.4.1
shear necessary to be
considered confined
because the beams do
not cover at least 3/4 of
the width of each of the
faces of the joint.

Gambar 2.10 : Anatomi sambungan balok-ke-kolom secara umum.

(S6) Sebagai pelengkap dari butir (S2) di atas, dalam hal tulangan menyalurkan gaya
tekan, maka panjang penyaluran diambil menurut persamaan (2-8) :

fy
ldc  0.24  db  0.043 f y  db  200mm ............... (2-8)
 fc '

dimana : ldc = panjang penyaluran dalam tekan,  = faktor bernilai 0.75, dan db =
diameter batang tulangan.
(S7) Bila batang-batang tulangan longitudinal balok diperpanjang masuk menembus
SBK, ukuran penampang kolom yang sejajar dengan batang tulangan tidak boleh
kurang dari 20 (dua puluh) kali diameter terbesar dari tulangan untuk beton normal,
dan tidak boleh kurang dari 26 (dua puluh enam) kalinya bila diperuntukkan beton
ringan.
(S8) Di dalam hal balok-balok merangka pada keempat sisi SBK, dimana setiap balok-
nya memiliki lebar penampang sedikitnya 3/4 lebar kolom, maka banyaknya
penulangan transversal menurut persyaratan butir (S4) di atas boleh dikurangi
dengan separohnya, dan spasi boleh diperbesar sampai menjadi 150 mm pada
daerah sepanjang tinggi penampang h dari balok yang paling kecil.

(S9) Batang-batang tulangan longitudinal balok yang berada di luar inti kolom harus
dikekang oleh tulangan transversal dengan spasi menurut butir (B11), dan kebutuh-
an tulangan menurut butir-butir (B12), (B13), (B14) dan (B15) dari persyaratan
balok di depan.

Bab 2 – 33
diukur dari muka ke muka balok
panjang tak tersangga kolom,
llnn ) (2)
lulu–#22 ll00 *
)2
lu
lu
B B
bentang bersih balok,
diukur dari muka ke muka kolom

l0l0 A
) (1)
hh ¼¼lnln 22l0l0 ++ hh *) 1
tinggi penampang balok

l0l0 A

) (2)
2h 2h llnn –4h4h
-
lluu#– 22 ll00 *) 2

Pada daerah bagian bentang ini sengkang-sengkang tertutup


dipasang untuk memikul geser dengan spasi : s  d 2
Pada daerah bagian bentang ini sengkang-sengkang tertutup harus
dipasang untuk memikul geser :
a). Spasi sengkang : s  d 4  6d b  150mm ( db = dia. tul. long. balok )
b). Sengkang tertutup pertama dipasang pada jarak maksimum 50 mm
dari muka kolom

A–A B–B
As    bw d As ,t  t  bk hk
Lebar penampang :
Lebar penampang : bk  0.4hk  300mm
h bw  0.3h  250mm bk
d Persentase tulangan :
bw  2bk  bk  0.75hk
0.01  t  0.06
Diameter sengkang
minimum 10 mm Kapasitas nominal momen kolom :
As '   ' bw d M nk  (6 / 5) M nb
bw Persentase tulangan :
hk
1.4
   0.025
Catatan : fy

*) 1 - Untuk penentuan panjang l0 dan spasi tulangan transversal s  lihat catatan (K7) dan (K9),
sedangkan untuk kebutuhan tulangan  lihat catatan (K10)
*) 2 - Untuk daerah di luar l0 dari ujung-ujung kolom  sengkang-sengkang tertutup dipasang untuk
memikul geser dengan memperhatikan catatan (K11)

Gambar 2.11 : Persyaratan desain untuk SBK beserta balok-balok dan kolom-kolom
yang merangka padanya menurut ACI 318-11.

Hasil uraian dari persyaratan desain untuk SBK berikut balok-balok dan kolom-
kolom yang merangka padanya disampaikan pada Gambar 2.11. Bila butir-butir pesyaratan
di atas dilaksanakan dengan benar, maka urut-urutan terjadinya pelelehan pada struktur
SRPMK yang mendapatkan pembebanan sampai ke keadaan batasnya adalah : lentur balok
– geser balok – lentur kolom – geser kolom – SBK. Dengan demikian kemungkinan untuk
terjadinya kerusakan yang lebih meluas pada bangunan akan dapat dicegah, karena ke-
gagalan diarahkan untuk dimulai dari bagian bangunan yang paling kecil resikonya untuk
membawa akibat pada keruntuhan totalnya.

34 – Bab 2
BAB 3
STUDI ANALITIK

3.1 Umum

Pada bangunan SRPM, SBK merupakan titik-titik kritis di dalam hal mekanisme
penyebaran gaya-gaya. Karenanya, pemilihan jenis SBK dan pengetahuan pada kinerja-
nya terhadap beban-beban merupakan tahapan yang penting di dalam desain bangunan.
Sebagai ditunjukkan di dalam analisis mekanika struktur, pada daerah di sekitar SBK
memang terjadi konsentrasi yang besar dari gaya-gaya dalam, baik akibat beban vertikal
(gravitasi) maupun beban horizontal (angin & gempa). Juga, bukti-bukti pada bangunan-
bangunan yang mengalami kegagalan akibat gempa telah menunjukkan terjadinya
kerusakan-kerusakan yang besar pada SBK. Gambar 3.1 menunjukkan hasil analisis
struktur pada SRPM dan beberapa gambar contoh bangunan yang rusak akibat gempa.

(a) (b)

(c) (d) (e)


Gambar 3.1 : Pembentukan gaya-gaya dalam dan kerusakan yang besar di sekitar SBK
(a) Diagram M akibat beban gravitasi
(b) Diagram M akibat beban gempa
(c) Kerusakan SBK sudut akibat gempa Izmit, Turki, 1999
(d) Kerusakan pada SBK akibat gempa Christchurch, NZ, 2011
(e) Kerusakan SBK pada SRPM akibat gempa Haiti, 2010

Bab 3 – 35
Menurut letaknya di dalam SRPM, SBK terdiri dari SBK luar (exterior) dan SBK
dalam (interior). Untuk keperluan analisis, SBK bisa dimodelkan secara terpisah sebagai
suatu subassembly yang independen. Lihat Gambar 3.2. Kinerja SBK diukur dengan
melakukan pemeriksaan karakteristik responsnya terhadap beban, yang menggambarkan
terjadinya perubahan-perubahan keadaan yang dialaminya, yaitu : elastik – leleh – strain-
hardening – ultimate (batas). Untuk menirukan pembebanan bolak-balik acak seperti yang
terjadi pada saat gempa, maka dipergunakanlah simulasi pembebanan siklik dalam bentuk
yang teratur, misalnya sebagai yang telah ditentukan oleh ACI 374.1–05 (ACI Committee
374, 2005). Dengan skema pembebanan ini, beban siklik kwasi-statik*)1 akan diberikan
pada spesimen SBK secara inkremental sehingga perubahan keadaan yang terjadi padanya
dapat diamati secara seksama.

Sambungan Luar
(Exterior Joint)

Sambungan Dalam
(Interior Joint)

Gambar 3.2 : Subassembly SBK di dalam struktur SRPM

P P
Plastifications
are formed at Plastic hinge
the beam-ends as Link-beam
with zero
length
h

lp

(a) (b)

Gambar 3.3 : Subassembly SBK dengan beban lateral P.


(a) Terjadi plastifikasi pada ujung-ujung balok
(b) Daerah plastifikasi di-idealisasi-kan sebagai sendi plastik

*)1 – Di dalam ilmu mekanika padatan (solid mechanics), istilah beban kwasi-statik (quasi-static) merujuk
pada pembebanan dimana pengaruh inersialnya diabaikan. Dengan kata lain, pengaruh waktu di dalam
penerapan pembebanan dan massa kelembamannya tidak diperhatikan.

36  Bab 3
Pada Gambar 3.3 diperlihatkan suatu subassembly SBK yang mendapatkan beban
lateral P pada ujung bebas kolom untuk membangkitkan gaya-gaya dalam momen dan
geser pada sambungan. Untuk menirukan pembebanan gempa yang bolak-balik, maka
beban P itu diterapkan sebagai beban siklik, dan kemudian perpindahan yang ditimbul-
kannya  dicatat. Ketika pembebanan mencapai kekuatan lelehnya, maka pada SBK akan
terjadi plastifikasi yang muncul ke dalam bentuk kerusakan-kerusakan yang berupa retak-
retak pada beton dan perpanjangan yang tak dapat pulih pada baja-baja tulangan.
Kerusakan ini biasanya akan terkonsentrasi pada daerah-daerah kritik SBK, misalnya di
sekitar kedua ujung balok, yang kemudian di-idealisasi-kan sebagai sendi-sendi plastik.
Pasangan data antara P dan  akan membentuk suatu grafik respons histeretik.

3.2 Beberapa Parameter pada Perilaku Respons Histeretik SBK

Pada SBK akan terjadi keseimbangan gaya-gaya dalam yang terbentuk pada bidang
muka (interface) dari balok-balok dan kolom-kolom yang merangka padanya, sebagai yang
diperlihatkan pada Gambar 3.4-(a). Dari kompatibilitas regangan dan gaya-gaya yang
terbentuk pada keempat bidang mukanya, maka kekuatan SBK akan dapat dihitung. Ketika
kemudian pada SBK diberikan beban yang terus-menerus ditingkatkan, maka pada suatu
saat akan tercapailah kekuatan batasnya. Bila SBK didesain dengan prinsip strong column
– weak beam, maka tercapainya kekuatan batas itu akan ditandai dengan terjadinya
plastifikasi pada ujung-ujung balok, dan grafik histeretik momen – rotasi pada sendi plastik
balok-baloknya yang terbentuk akan sebagai yang terlihat pada Gambar 3.4-(d). Grafik
histeretik ini berupa lintasan gerak bolak-balik yang membentuk ‘loop’ tertutup, yang
ditimbulkan akibat tercapainya kondisi paska-leleh pada beton dan baja tulangan secara
berulang. Biasanya kurva yang dihasilkannya berbentuk ‘gemuk’, untuk merefleksikan
hubungan tegangan-regangan materialnya. Tetapi, bila pembebanan beralih dari ragam
lentur ke geser dan banyak retak terbentuk pada beton sehingga terjadi slip antara baja
tulangan dengan beton di sekelilingnya, maka kurva yang dihasilkan agak ‘kurus’/’pepat’
(pinched) di bagian tengahnya, sebagai terlihat pada Gambar 3.4-(d) tersebut.
Pada grafik histeretik tersebut bisa dihamparkan (overlaid) grafik respons mono-
tonik yang bisa dilacak dari perubahan-perubahan keadaan yang terjadi, yaitu : elastik –
leleh – strain-hardening – ultimate. Grafik monotonik tersebut adalah sebagai yang terlihat
pada lintasan berwarna merah pada Gambar 3.4-(d), disamping sebagai disajikan pada
Gambar 3.4-(e). Bila diperlukan, pada grafik monotonik ini juga bisa dibubuhkan catatan
tentang drift yang terjadi. Drift adalah simpangan lateral yang dialami  dibagi dengan
tinggi tingkat h, dan biasanya dinyatakan dalam bilangan %.

Bab 3 – 37
3% 4% 6%
2% Drift
Mka , Vka , Nka
Mbl , Vbl
Vjh

Moment
Vjv

Mbl , Vbl
Mkb , Vkb , Nkb

BeamRotation
(a)
(d)
+
Onset of
- + Strain-hardening
Ultimate

Load, P or M
Mu
Yield Completely Failure
My First Yield

Design EQLoad Level


+

+ - 
 yy 
 uu

Deformation,  or 
(b) (e)
C
T P or M
M
C Energy'transmitted'
Energy'dissipated' by structure
or 'absorbed' by
T structure in one cycle
of loading
D
T  or


C
T C (f)
(c)

Gambar 3.4 : Gaya-gaya dan perpindahan yang terjadi di dalam SBK


(a) Gaya-gaya pada bidang muka SBK (b) Distribusi regangan-regangan
(c) Distribusi tegangan dan gaya-gaya (d) Grafik histeretik respons siklik
(e) Grafik respons monotonik (f) Energi dari 1 siklus respons

Dari grafik yang didapatkan, dapat dievaluasi beberapa sifat karakteristik perilaku
respons suatu SBK terhadap beban siklik. Sifat-sifat ini akan bersifat spesifik pada sistem
SBK itu, dan akan berbeda-beda dari suatu sistem ke sistem yang lainnya. Dengan mem-
perhatikan bentuk grafik histeretiknya, beberapa parameter utama bisa dievaluasi dari suatu
SBK, yaitu : (1) daktilitas, (2) kapasitas pemencaran energi, (3) degradasi kekakuan, (4)
deteriorasi kekuatan, dan – (5) kapasitas drift.
Daktilitas adalah kemampuan struktur untuk melakukan deformasi paska-elastik
yang besar sambil tetap mempertahankan kekuatannya semula. Nilai daktilitas ditentukan
sebagai perbandingan antara deformasi ultimate dengan deformasi pada saat awal leleh.
Dengan mengacu pada Gambar 3.4 (e), daktilitas dituliskan sebagai :

38  Bab 3
u
 .................................................. (3-1)
y
Selanjutnya, energi dinyatakan sebagai nilai integrasi beban ke deformasi, yaitu :
E   Md  ................................................. (3-2)

Dengan Gambar 3.4-(f) ditunjukkan, bahwa pada saat pembebanan (loading) siklus akan
terkumpul energi sebagai yang ditunjukkan dengan luasan daerah yang dibatasi oleh lin-
tasan kurva dengan sumbu horizontal. Ketika lepas beban (unloading), terjadi pelepasan/
transmisi energi sebesar luasan daerah yang diarsir warna kuning. Sisanya, luasan daerah
yang diarsir warna merah muda, akan dipencarkan (dissipated) atau diserap (absorbed)
atau diredam (damped) oleh sistem struktur dan diubah menjadi bentuk energi gesekan atau
panas yang tak bisa kembali ke dalam bentuknya semula (irrecoverable).
Kemampuan pemencaran energi ini menjadi pertimbangan penting dalam pemi-
lihan suatu sistem struktur daktail, termasuk di dalamnya : SBK. Disamping berhubungan
dengan keamanan dan kenyamanan bangunan terhadap gempa, nilai ini juga berkaitan
dengan penentuan reduksi beban gempa rencana R. Melalui Gambar 3.4-(f) akan terlihat,
bahwa sistem yang memiliki kapasitas pemencaran energi besar akan ditunjukkan dengan
kurva yang ‘gemuk’ (fat loop), sedangkan kapasitas yang kecil ditunjukkan oleh kurva
yang ‘kurus’ (pinched loop). Biasanya struktur dengan kapasitas pemencaran energi yang
besar (kurva gemuk) lebih disukai daripada yang kapasitasnya kecil (kurva kurus).
Degradasi kekakuan adalah fenomena berkurangnya nilai kekakuan struktur oleh
bertambahnya bilangan siklus di dalam pembebanan bolak-balik. Pada struktur beton,
gejala ini akan nampak dengan jelas. Ketika beban-beban sudah mencapai paska-leleh, saat
ulang beban (reloading) pada suatu siklus akan terjadi pembukaan retak. Dengan peretakan
ini terjadilah ketidak-sepadanan (incompatibility) antara regangan-regangan baja tulangan
dengan beton, yang mengakibatkan terjadinya slip tulangan. Selanjutnya, pada saat lepas
beban (unloading), retak-retak itu akan berusaha menutup kembali, tapi tidak bisa sepenuh-
nya. Maka, ketika ulang beban siklus berikutnya, retak-retak itu akan membuka lebih lebar
lagi, dengan membawa akibat berkurangnya kekakuan strukturnya. Dengan mengamati
kurva histeretik yang terekam dari suatu uji pembebanan, gejala itu bisa dievaluasi dari
berkurangnya nilai beban untuk mencapai deformasi atau perpindahan yang sama dengan
yang diberikan pada siklus sebelumnya. Illustrasinya diperlihatkan pada Gambar 3.5.
Deteriorasi kekuatan terjadi pada pembebanan paska-leleh secara siklik, yaitu
peristiwa berkurangnya nilai beban pada angka bilangan siklus pembebanan yang semakin
besar. Hal ini nampak jelas dengan menurunnya lintasan grafik selongsong (envelope
curve) dari kurva respons histeretik yang terekam. Gambar 3.6 menampilkan hasil peng-

Bab 3 – 39
ujian atas 3 (tiga) spesimen yang berbeda. Dengan mengamati bentuk-bentuk grafik
selongsong yang berbeda pada ketiganya, maka terlihatlah bahwa deteriorasi kekuatan
paling besar sampai ke yang paling kecil terjadi secara berturut-turut pada spesimen-
spesimen W0, W0-M1, dan W0-M2. Pada umumnya, deteriorasi kekuatan ini menjadi
indikator pada tingkat kerusakan struktur, khususnya pada hilangnya lekatan pada tulangan
dan kegagalan pada penjangkaran tulangan balok.
ki
Beban, P (ton) ki+1
7.93
6.79

Perpindahan ujung,  (mm)

Siklus ke-i+3

Siklus ke-i+1  = 67.09 mm

Siklus ke-i+2 Siklus ke-i

Gambar 3.5 : Illustrasi degradasi kekakuan.

Drift (%) Drift (%) Drift (%)


Actuator Load, P (kN)

P/Pn
P/Pn

Displacement (mm) Displacement (mm) Displacement (mm)

Gambar 3.6 : Illustrasi deteriorasi kekuatan

Seperti telah disebutkan di depan, drift adalah perpindahan lateral struktur pada
suatu tingkat relatif terhadap tingkat di atas atau di bawahnya. Pada struktur dengan pem-
bebanan siklik, kapasitas drift ini memberikan indikasi langsung pada daktilitasnya. Untuk
mengetahui besarnya drift, pada struktur diberikan riwayat pembebanan siklik dengan pola
yang sudah ditentukan, dimana pembebanan siklik akan diberikan secara bertahap, dengan
masing-masing tahap diulangi 2@3 kali untuk melihat pengaruh degradasi kekakuan dan

40  Bab 3
deteriorasi kekuatannya (ACI Committee 374, 2005). Yang ditetapkan sebagai kapasitas
drift adalah perpindahan lateral terbesar yang dilakukan oleh struktur pada siklus terakhir
sebelum mengalami keruntuhan. Sebagai contoh, ketiga SBK dengan grafik respons histe-
retik sebagai yang ditunjukkan pada Gambar 3.6, menampilkan drift ratio = 6.83 in = 8%+,
sementara SBK dengan grafik respons seperti terlihat pada Gambar 3.4-(d) menampilkan
drift yang lebih besar daripada 6% (pada keadaan tersebut struktur belum runtuh).

Story Drift (%) Story Drift (%)


Load (kip)

Load (kip)

Load (kip)
Story Drift (%) Story Drift (%)
(a) (b)
Story Drift (%) Story Drift (%)

rupture of
Load (kip)

Load (kip)

Load (kip)
reinforcement

Story Drift (%) Story Drift (%)


(c) (d)

Gambar 3.7 : Kurva histeretik respons sambungan yang diteliti oleh Ertas dkk., 2006.
(a) Sambungan monolith (b) Sambungan CIP pada kolom
(c) Sambungan CIP pada balok (d) Sambungan komposit dengan konsol.

Di dalam Bab 8 SNI 03-1726-2002 telah ditetapkan bahwa drift, yang ditimbul-
kan oleh beban gempa nominal yang telah dibagi oleh suatu faktor skala, tidak boleh
melampaui nilai : 3% R untuk kinerja batas layan, dimana R adalah faktor reduksi beban
gempa yang merefleksikan tingkat daktilitas strukturnya. Sedangkan untuk kinerja batas
ultimate, drift akibat beban gempa rencana tidak boleh lebih besar daripada 2% (BSN,
2002). Penetapan ini hampir sama persis dengan yang disebutkan oleh UBC-1997. Oleh
UBC-1997, nilai tersebut ditetapkan dengan lebih rinci, yaitu drift maksimum oleh respons
inelastik = 2.50% untuk struktur dengan perioda : T  0.70 detik, dan drift maksimum =

Bab 3 – 41
2% untuk perioda : T  0.70 detik (ICBO, 1997). Di dalam ASCE 7-10, penetapan design
drift disebutkan di dalam Table 12.12-1, yaitu di dalam kategori “All other structures” :
2%, 1.50% dan 1%, masing-masing untuk kategori resiko I/II (rendah), III (sedang) dan IV
(tinggi) (ASCESEI, 2010). Dengan mengabaikan sumbangan deformasi oleh balok dan
kolom pada perpindahan global struktur, maka kebutuhan drift dari peraturan bangunan
tersebut biasanya akan selalu dapat dipenuhi oleh jenis-jenis SBK yang sudah dikenal.
Banyak riset yang telah dilakukan menunjuk pada hasil kemampuan drift yang
lebih besar daripada syarat yang ditetapkan oleh peraturan. Salah satunya dapat diajukan
di sini sebagai contoh. Dalam publikasinya, peneliti dari Turki ini melaporkan hasil riset-
nya yang telah dilakukan atas 5 (lima) jenis SBK, dimana 4 (empat) buah di antaranya akan
ditampilkan di sini. Keempat SBK itu adalah : (1) SBK monolith, (2) SBK CIP (cast in
place = cor setempat) pada kolom, (3) SBK CIP pada balok, dan – (4) SBK komposit
dengan konsol. Kurva respons histeretik dari keempatnya disajikan pada Gambar 3.7 di
atas. SBK monolith pada umumnya menampilkan respons siklik yang bagus, khususnya
dari sisi daktilitas dan disipasi energinya. Padanya hampir tak terlihat terjadinya pinching
effect. Juga tidak terjadi deteriorasi kekuatan sampai drift ratio tercapai 4%. Retak-retak
terbentuk merata pada ujung balok, dan sedikit pada bagian kolom sambungan. SBK jenis
ke-dua, yaitu sambungan CIP pada kolom, menunjukkan grafik respons yang hampir sama
dengan SBK monolith sampai dengan drift ratio kira-kira 2.75%. Selanjutnya, deteriorasi
telah terjadi dan dapat terlihat dengan jelas, yaitu sehubungan dengan hancurnya selimut
beton oleh tekan pada ujung balok, dan menekuknya (buckling) tulangan longitudinal.
Tidak terjadi kehilangan lekatan (bond) pada baja tulangan dengan beton, karena bagian
cor setempat pada sambungan di kolom memakai beton berserat baja (steel fiber concrete).
Pada SBK jenis ke-tiga, kerusakan pada umumnya terjadi pada pertemuan antara beton CIP
dengan beton pracetak, baik pada sisi balok maupun kolom. Pada saat drift ratio mencapai
2.75%, retak pada antarmuka di sisi balok membuka lebih lebar. Pada drift yang lebih
tinggi, pembukaan retak ini meningkat lebih cepat, yang nampaknya hal ini menyebabkan
keruntuhan spesimen. Sama seperti SBK monolith, pada SBK ini hampir tak terlihat terjadi-
nya pemepatan (pinching effect). Pada SBK jenis ke-empat, yaitu SBK komposit, telah
dihasilkan respons dengan kekakuan yang lebih besar dibandingkan dengan spesimen-
spesimen lainnya. Hal ini nampaknya disebabkan oleh meningkatnya momen tahanan
dalam pada balok dengan disalurkannya gaya tarik pada batang tulangan longitudinal
bagian bawah balok pada tulangan-tulangan konsol, dan pemasangan tulangan longitudinal
tambahan pada bagian topping balok. Pada SBK ini dihasilkan kurva respons dengan
daktilitas dan drift yang lebih kecil bila dibandingkan dengan ketiga spesimen lainnya.

42  Bab 3
Kinerja yang lebih buruk ini disebabkan oleh putusnya secara mendadak batang tulangan
bawah pada balok, yang mungkin terjadi akibat perubahan sifat mekanis baja yang menjadi
getas karena proses pengelasan pada saat mempersiapkan penjangkaran balok pada baja
pelat landas konsol (Ertas, dkk., 2006).

3.3 Studi Analitik Respons Inelastik SBK yang telah Dilakukan oleh para
Peneliti Terdahulu dan Model Konstitutif *)1 yang Didapatkan
Perilaku respons SBK beton bertulang sangat tergantung pada sifat-sifat mekanik
bahan-bahan pembentuknya. Untuk baja tulangan, perilaku hubungan tegangan – regangan
yang paling populer dipakai adalah model Menegotto–Pinto. Di dalam model ini, sifat-sifat
penting dari baja pada saat leleh dan strain-hardening-nya dapat ditampilkan dengan tepat.
Fenomena pelunakan regang yang dikenal dengan efek Bauschinger dapat pula diperlihat-
kan dengan jelas (Menegotto & Pinto, 1973). Sedangkan perilaku tegangan – regangan
beton yang banyak dipakai adalah model Mander. Di dalam model yang dapat berlaku
untuk beton yang tak terkekang (unconfined – selimut beton) dan yang terkekang (confined
– beton inti) ini, telah dapat dengan jelas didefinisikan batas-batas kekuatan dan deformasi
bagi kedua keadaan tersebut (Mander dkk., 1988). Illustrasi kedua model tersebut diper-
lihatkan pada Gambar 3.8 dan 3.9 berikut ini.

Gambar 3.8 : Hubungan tegangan–regangan baja tulangan menurut Menegotto–Pinto, 1973.

*)1 – Model konstitutif biasanya berupa pemodelan ilmiah (scientific modeling) yang disusun secara
konseptual yang terdiri dari serangkaian ekspresi matematika untuk menjelaskan suatu fenomena alam
yang sulit untuk diamati secara langsung. Model ini digunakan untuk menjelaskan dan memprediksikan
perilaku dari suatu masalah dan telah dipakai secara meluas pada beberapa disiplin keilmuan. Walaupun
demikian, pemodelan adalah merupakan pendekatan dari masalah yang diwakilinya – bukan merupakan
tiruan yang secara persis mewakilinya. Karenanya, para ilmuwan secara tetap dan berkelanjutan terus
berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.

Bab 3 – 43
Gambar 3.9 : Hubungan tegangan–regangan beton menurut Mander, 1988.

Publikasi pertama tentang studi analitik pada perilaku histeretik SBK terhadap
beban siklik adalah seperti yang telah dikerjakan oleh Harajli (Harajli, 1988). Menyadari
kurangnya literatur teknis tentang model analitik yang menjelaskan perilaku respons histe-
retik SBK beton, dilakukanlah studi pada model-model sambungan dari beton pratekan,
beton pratekan parsial, dan beton bertulang. Di dalam studinya ditemukan 2 (dua) meka-
nisme utama yang berperan pada deformasi SBK beton di bawah pembebanan siklik
inelastik yang di-desain dengan tulangan transversal yang cukup, yaitu : (1) rotasi inelastik
balok relatif terhadap kolom yang terjadi di daerah sendi plastik sepanjang tinggi penam-
pang balok di luar bidang antarmuka balok-ke-kolom, dan – (2) slip batang-batang tulangan
dari beton di sekelilingnya. Slip ini, yang terjadi khususnya di zona retak di sekitar bidang
antarmuka balok ke kolom, akibat mengalami beban siklik tekan di satu ujung – dan siklik
tarik pada ujung lainnya, telah membangkitkan apa yang disebut dengan rotasi ujung jepit.
Berdasarkan pada azas-azas yang diuraikan di dalam paper tersebut, Penulis pada tahun
1992 telah melakukan risetnya secara analitik. Kajian dilakukan terutama berpusat pada
upaya penyusunan model matematika yang menyatakan hubungan antara beban dengan
deformasi suatu SBK beton bertulang yang mendapatkan pembebanan siklik. Model kemu-
dian diuji dengan data eksperimental yang ada, dan terbukti menunjukkan hasil yang me-
muaskan (Wahjudi, 1992). Gambaran tentang data spesimen uji dan hasil pengujiannya
disampaikan pada Gambar 3.10.
Melompat ke tahun 1996, ketika Kashiwazaki & Noguchi menulis di dalam
publikasinya, yang menyebutkan bahwa di dalam SBK, bagian beton yang terkekang di
dalam panel SBK menerima tegangan triaksial. Keadaan yang lebih lengkap terjadi pada
interior joint, dimana bagian beton SBK mendapatkan tekanan-tekanan pengekang yang

44  Bab 3
berasal dari tulangan transversal sambungan, balok-balok dan pelat beton melintang, dan
gaya aksial dari kolom. Desain SBK seharusnya memperhitungkan kondisi-kondisi tegang-
an tersebut (Kashiwazaki, dkk., 1996).
Di dalam risetnya, dilakukan kajian pada 2 (dua) model SBK, yaitu satu model
sambungan interior 2D, dan satunya lagi sambungan eksterior 3D. Pembebanan mono-
tonik diberikan sebagai gaya lintang pada ujung-ujung balok sehingga menghasilkan sudut
drift sebesar 1/200, 1/100, 1/50, 1/33, dan 1/25 radian. Gaya tekan aksial diberikan pada
ujung atas kolom sebesar 0.10 fc’. Di dalam penelitian tersebut akan dicocokkan antara
hasil analitik dengan pengamatan secara eksperimental.

Perilaku Momen - Rotasi Plastik


Balok Kantilever T - 3

Momen Penampang [ 106 N.mm ]

(b)

Rotasi Plastik [ rad ]


Perilaku Momen - Rotasi Ujung Jepit
Balok Kantilever T - 3
Momen Penampang [ 106 N.mm ]

(c)

(a) Rotasi Ujung Jepit [ rad ]

Perilaku P - Delta
Balok Kantilever T - 3
Beban Terpusat, P [ 103 N ]

(d)

Simpangan Ujung, Delta [ mm ]

Gambar 3.10 : SBK yang telah diteliti oleh Wahjudi, 1992.


(a) SBK eksterior (b) Respons momen – rotasi plastik
(c) Respons momen – rotasi ujung jepit (d) Respons beban – perpindahan.

Bab 3 – 45
Kajian secara analitik dilakukan dengan metoda elemen hingga (MEH) dengan
paket program ABAQUS. Model matematika SBK dimasukkan dengan memperhitungkan
butir-butir assumsi sebagai berikut :

(1) Beton dimodelkan sebagai elemen solid 8 node, dan diassumsikan sebagai bahan
ortotropik hipo-elastik dengan tegangan uniaksial yang ekwivalen. Kondisi runtuh
ditentukan dengan menggunakan penilaian atas 5 (lima) parameter menurut William-
Warnke-Kupfer. Hubungan tegangan-regangan beton ditentukan fungsinya sebagai
disampaikan pada Gambar 3.11. Rasio Poisson dimodelkan sebagai fungsi dari ke-
kuatan tekan beton. Retak pada beton diassumsikan sebagai retak smear. Sesudah
retak terjadi, tegangan tarik dianggap bernilai 0 (= nol), demikian juga kekakuan pada
arah tegak lurus retak, sedangkan tegangan tekan mengalami reduksi sebesar suatu
nilai persentase tertentu.

Fafitis-Shah Model :
   '   where :
A

 ie '   B ' 1  1   ; A  E0  ie
B '   '  
 ie  B
Stress, c'

Kent-Park Model

Plain Concrete

0.20B'

ie' e'
Strain, c'
Gambar 3.11 : Hubungan tegangan-regangan beton yang dipakai
di dalam riset Kashiwazaki dkk., 1996.

(2) Semua baja tulangan balok dan kolom, baik longitudinal maupun transversal, dima-
sukkan sebagai elemen linier. Hubungan tegangan-regangan baja longitudinal di-
assumsikan bilinier, sedangkan untuk baja transversal dimodelkan trilinier.

(3) Antara baja tulangan dengan beton dianggap terjadi lekatan yang sempurna, yaitu baja
tulangan tidak mengalami slip pada beton di sekelilingnya.

Pemodelan struktur dan hasil analisis yang dilakukan disampaikan pada Gambar
3.12. Adalah menarik untuk menyampaikan hasil kajian analitik dengan eksperimental-
nya. Nilai kekakuan awal yang didapatkan secara analitik lebih besar daripada nilai
eksperimentalnya, karena gaya geser yang dihitung ternyata lebih besar daripada yang
sebenarnya diberikan. Prediksi analitik bahwa keruntuhan geser terjadi mendahului leleh
lentur ternyata terbukti dengan hasil-hasil pengamatan eksperimental. Deformasi pada
ujung-ujung balok juga nampak dengan jelas, sebagai yang terlihat pada Gambar 3.12-(c).

46  Bab 3
Demikian juga, mekanisme kerja busur pada balok, kolom, dan diagonal compressive strut
pada SBK dapat terlihat dengan jelas melalui contour tegangan sebagai yang tersajikan
pada Gambar 3.12-(d).

Column 300 x 300 Beam 200 x 300 130


Main Bars : D13 Main Bars : D13
Hoops : 6 Stirrups : 6
585 mm

300

585 mm

130

1200 mm 300 1200 mm


130

130

(a) (b)

(c) (d)

Envelope

(e)

Gambar 3.12 : Data analitik yang didapatkan dari penelitian Kashiwazaki & Noguchi., 1996.
(a) Subassembly SBK (b) Pemodelan struktur dengan MEH
(c) Deformasi pada SBK (d) Contour tegangan yang terbentuk.
(e) Grafik hasil perbandingan respons SBK

Bab 3 – 47
Dalam hal perilaku respons SBK, studi analitik yang dilakukan oleh Kashiwazaki
& Noguchi di atas hanya bisa menghasilkan hubungan antara beban vs. deformasi secara
monotonik, yaitu pembebanan statik yang besarnya ditingkatkan secara inkremental.
Hubungan ini disampaikan sebagai grafik fungsi selongsong (envelope) pada Gambar 3.12-
(e). Keterbatasan hasil dari studi analitik ini juga dijumpai di dalam laporan 7 (tujuh) riset
yang dilakukan oleh para peneliti berikutnya (Owada, 2000), (Noguchi, dkk., 2000), (Joh,
dkk., 2000), (Kamimura, dkk., 2000), (Kashiwazaki, dkk., 2000), (Goto, dkk., 2004), dan
(Tajima, dkk., 2004).
Dengan belajar dari pengalaman riset pada 1996 di atas, Noguchi & Kashiwazaki,
pada tahun 2004 telah mengembangkan model analitiknya, yang semula untuk beban
monotonik, menjadi berkemampuan untuk menganalisis beban secara bolak-balik siklik.
Suatu tata langkah analisis berbasis metoda elemen hingga telah disusun dengan tujuan
untuk men-simulasi-kan perilaku histeretik dari suatu komponen struktur dengan benar.
Dengan tujuan untuk memberikan dasar yang kuat pada perhitungan desain, disusunlah
cara untuk melakukan prediksi analitik pada besarnya energi yang diserap oleh komponen
struktur akibat pembebanan yang diberikan. Melalui pengujian, ternyata program berhasil
menampilkan estimasi yang menyerupai bentuk-bentuk histeresis lepas beban (unloading)
dan ulang beban (reloading) dari grafik beban vs. perpindahan, setelah dibandingkan
dengan data eksperimentalnya (Noguchi, dkk., 2004).
Di dalam studinya tersebut telah dirumuskan langkah-langkah yang diperlukan
untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Pokok-pokok masalah yang menjadi pusat per-
hatian adalah : (1) penetapan model perilaku siklik beton pada regangan-regangan tekan
maupun tarik, (2) penetapan model perilaku siklik baja tulangan, (3) penetapan model
kerusakan komponen struktur beton bertulang, (4) penentuan model pembentukan retak
beton, dan – (5) perhitungan energi regang pada komponen struktur. Hasil pengujian
analisis respons histeretik pada beberapa spesimen SBK disampaikan pada Gambar 3.13.
Darinya terlihat bahwa model yang dikembangkan itu telah berhasil memberikan gambar-
an pada perilaku histeretik respons SBK terhadap beban siklik secara lebih realistik.
Walaupun demikian, model tersebut nampaknya masih memiliki keterbatasan,
yaitu hanya cocok dipakai untuk jenis-jenis SBK atau komponen struktur yang monolitik
dengan batang-batang tulangan yang menerus. Untuk jenis-jenis SBK dengan detail yang
lain sepertinya masih dibutuhkan kajian-kajian yang lebih lanjut. Juga, masih terdapat
selisih antara grafik histeretik yang dihasilkan secara analitik dengan hasil eksperimental-
nya. Namun, tetap harus diakui bahwa hasil-hasil yang dicapai telah memberikan sum-
bangan yang besar pada riset perilaku SBK yang mendapatkan beban bolak-balik.

48  Bab 3
Gambar 3.13 : Hasil perbandingan data analitik dari Noguchi & Kashiwazaki., 2004,
dengan data eksperimental.

Tidak bisa dipungkiri, bagian paling penting dan sekaligus paling sulit ditangani
dari kajian analitik perilaku respons beton bertulang terhadap pembebanan adalah ke-
tidaksepadanan (incompatibility) antara regangan-regangan baja tulangan dengan beton di
sekitarnya, yang ditimbulkan oleh rusaknya tegangan lekatan (bond stress) antara kedua
bahan tersebut ketika pembebanan telah melewati keadaan lelehnya. Pada bagian

Bab 3 – 49
penampang yang mengalami tarik, retak-retak beton akan terbentuk setelah tegangan tarik

melampaui : f r  4730 f c ' . Bersamaan dengan pembukaan retak ini, batang-batang baja

tergelincir (slipped) dari beton, yang menyebabkan regangan baja tidak sama besarnya

LAYER-LAYER BETON

B-B

M V V M V M
LAYER BAJA

B-B LENTUR DENGAN


GESER

LAYER-LAYER BETON
bf LAYER BAJA TULANGAN ATAS DISTRIBUSI
REGANGAN BETON

TULANGAN ATAS
hf TS = AS fS
DISTRIBUSI
REGANGAN
BAJA

hw d d TULANGAN
BAWAH
d'
ep CC
yi yi
CS = AS' fS'
bw
LAYER BAJA TULANGAN
BAWAH

Gambar 3.14 : Ketidaksepadanan antara regangan-regangan baja dengan beton yang


diakibatkan oleh peretakan pada beton.

Gambar 3.15 : Fungsi hubungan antara tegangan - slip pada baja tulangan yang
dipakai oleh Harajli 1988 dan Wahjudi 1992 dalam studinya.

dengan regangan yang terjadi pada beton pada elevasi serat yang sama. Pada saat beban
berbalik, daerah yang sebelumnya mengalami tekan akan berubah menjadi tarik, sehingga
mengalami proses peretakan yang sama. Sedangkan retak-retak yang terbentuk pada paruh-

50  Bab 3
siklus sebelumnya akan berusaha menutup, tetapi masih menyisakan sebagian yang tidak
bisa menutup kembali secara sempurna. Semakin lama, retak-retak ini akan semakin
melebar, disebabkan oleh sisa lebar retak dari paruh siklus pembebanan sebelumnya yang
tidak bisa menutup kembali, yang kemudian diperbesar oleh siklus pembebanan berikut-
nya. Oleh Harajli, masalah ini diatasi dengan meng-introdusir suatu parameter baru, yaitu
fungsi hubungan tegangan – slip baja. Selanjutnya, slip ini akan mengoreksi regangan beton
dari regangan bajanya (Harajli, 1988). Langkah ini juga dilakukan oleh Wahjudi di dalam
risetnya (Wahjudi, 1992). Pada Gambar 3.14 diperlihatkan uraian analisis pada penampang
yang dipakai di dalam studi, sedangkan illustrasi fungsi tegangan – slip baja disampaikan
pada Gambar 3.15.

3.4 Grafik Histeretik Respons SBK terhadap Beban Siklik dengan Lintas-
an-lintasan Multilinier
Studi analitik SBK biasanya bertujuan pada upaya untuk memperoleh pola peri-
laku hubungan antara beban dengan perpindahannya. Untuk keperluan bangunan tahan
gempa, beban itu bisa diwakili oleh pembebanan siklik. Pembebanan yang kuat akan
membawa struktur mengalami plastifikasi, yang ditandai dengan terjadinya kerusakan-
kerusakan pada beberapa tempat yang terkonsentrasi. Pada struktur beton bertulang,
kerusakan-kerusakan itu akan berwujud pada : (1) pembentukan retak-retak pada beton, (2)
perpanjangan yang tak dapat pulih pada batang-batang tulangan longitudinal, (3) tekuk
(buckling) pada batang tulangan, (4) leleh sampai putusnya tulangan-tulangan transversal,
(5) terkelupasnya (spalling) selimut beton, dan – (6) hancurnya (crush) beton terkekang
pada inti (core) penampang. Bila SBK didesain dengan mendapatkan tulangan transversal
yang cukup, maka kerusakan itu hanya akan terbatas sampai pada butir ke-2 saja.
Pola perilaku hubungan beban – perpindahan yang diperoleh akan berwujud loop-
loop tertutup yang terdiri dari lintasan gerak bolak-balik. Lintasan-lintasan itu berupa garis-
garis lengkung untuk merefleksikan sifat-sifat (properties) bahannya, yaitu grafik tegangan
– regangan beton dan baja yang dipakai. Di dalam perhitungan, lintasan-lintasan garis
lengkung itu bisa disederhanakan dengan bentuk-bentuk multilinier. Illustrasi dari bentuk
grafik histeretik yang berupa lintasan-lintasan garis lengkung dan multilinier diperlihatkan
pada Gambar 3.16.
Ada banyak model multilinier yang sudah dipublikasikan, akan tetapi di dalam
pembahasan di sini hanya akan disampaikan 5 (lima) model saja. Mereka itu adalah : (1)
bilinier umum atau asimetrik (BA), (2) bilinier dengan deteriorasi kekuatan (BD), (3)

Bab 3 – 51
Takeda yang disederhanakan (TS), (4) vertex oriented (VO), dan – (5) trilinier dengan
deteriorasi kekuatan (TD). Illustrasinya disampaikan pada Gambar 3.17.

P (kips)
P (kips)

(inch) (inch)

(a) (b)

P P

 

(c) (d)

Gambar 3.16 : Grafik respons inelastik SBK terhadap beban siklik


(a) Lintasan lengkung, gemuk (b) Lintasan lengkung, pinched
(c) Model multilinier (d) Model multilinier

Pada model bilinier asimetrik (BA), respons loading (lintasan 0-1-2), unloading
(lintasan 2-3-4), dan reloading (lintasan 4-5-6), hanya diwakili oleh dua garis lurus dengan
kekakuan yang berbeda, yaitu Ko (kekakuan elastik), dan Kh (kekakuan paska leleh = strain-
hardening). Selama batas-batas lelehnya belum dilampaui, respons akan mengikuti lintasan
elastik dengan kekakuan Ko. Selanjutnya, setelah terjadi plastifikasi, hubungan antara P
dan  mengikuti lintasan leleh dengan kekakuan Kh. Dalam hal penampang tak simetri,
maka untuk menampung karakteristik beban dan perpindahan yang berbeda pada arah
momen yang sebaliknya, pada model ini juga dimungkinkan untuk memasang batas-batas
leleh yang berbeda, yaitu : Py+  Py- dan : y+  y-. Model ini sangat populer karena
kesederhanaannya. Uraian yang lebih rinci mengenai model ini dapat dijumpai pada
beberapa textbook standar tentang dinamika struktur atau rekayasa gempa.

52  Bab 3
Model kedua, bilinier dengan deteriorasi (BD), seperti yang terlihat pada Gambar
3.17-(b), merupakan pengembangan dari model BA. Karakteristik responsnya secara
umum sama dengan model BA, hanya saja pada model BD ini terjadi deteriorasi (penurun-
an) pada kekuatannya, sehingga batas beban yang sanggup dipikulnya pada suatu siklus
akan lebih kecil daripada siklus sebelumnya : Py(n)+ < Py(n-1)+ dan : Py(n)- < Py(n-1)-. Untuk itu,
suatu faktor yang disebut strength decay parameter di-introdusir ke dalam model ini.

Kh = arc tan
P 6
P
2 2
1 1 6
5 5
Kh = arc tan
Py+ Py0+ Py1+ Ko = arc tan
Ko = arc tan
0
0
y y

-
Py1-
Py Py0-
Kh = arc tan
7
3 8 3
4 4 Kh = arc tan

(a) (b)

P P 7
2 8
1 2
1
7
11

x0 14 12 8 3 0 3 9
6 10 0 6
Dm ' x1 Dm

13

9 4
5 4 11 5
10

(c) (d)

P
1 2
8
7 14
13 20
19

18 3 9 15
12 6 0 21

22
16
23 17 10
11 5 4

(e)

Gambar 3.17 : 5 (lima) model analitik multilinier respons SBK terhadap beban siklik
(a) Bilinier asimetrik (BA) (b) Bilinier dengan deteriorasi (BD)
(c) Takeda disederhanakan (TS) (d) Vertex oriented (VO)
(e) Trilinier dengan deteriorasi (TD)

Model yang ketiga, yaitu Takeda yang disederhanakan (TS), sebagai diperlihat-
kan pada Gambar 3.17-(c), pertama kalinya dipublikasikan oleh Takeda dkk. pada tahun
1970. Model yang semula bercirikan trilinier ini kemudian disederhanakan oleh Otani dkk.

Bab 3 – 53
pada tahun 1981 menjadi bilinier saja. Pada model ini, respons menempuh lintasan-lintasan
unloading dan reloading dengan kekakuan yang selalu berubah, yang besarnya tergantung
pada respons yang dicapai pada siklus sebelumnya. Walaupun cukup populer, tetapi model
ini memiliki keterbatasan pemakaian, yaitu hanya dapat diterapkan untuk memodelkan
respons penampang-penampang yang simetri saja. Hal ini bisa dimaklumi, karena pada
awalnya dia dikembangkan untuk struktur kolom yang mendapatkan pembebanan lateral.
Untuk uraian dan diskusi yang lebih mendalam, Pembaca dapat merujuknya pada pustaka
yang bersangkutan (Takeda, dkk., 1970), dan (Otani, 1981).
Pada model yang keempat, yaitu Vertex oriented (VO), sebagai yang terlihat pada
Gambar 3.17-(d), lintasan-lintasan unloading dan reloading ditempuh dengan berorientasi
pada puncak-puncak (vertex) respons siklus sebelumnya dengan mendapatkan koreksi dari
degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatannya. Hal yang hampir sama juga terjadi pada
model yang kelima, yaitu trilinier dengan deteriorasi (TD), sebagai terlihat pada Gambar
3.17-(e). Hanya saja terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu model VO bercirikan
bilinier, sedangkan model TD adalah trilinier. Sepertinya model TD ini lebih cocok untuk
mensimulasikan perilaku respons penampang yang menampilkan kemampuan disipasi
energi yang lebih besar daripada model VO.
Kelima model tersebut di atas telah dipakai untuk menirukan riset eksperimental
yang dilakukan oleh Ma dkk. (Ma dkk., 1976), dan hasil yang diperoleh juga telah di-
publikasikan (Wahjudi dkk., 2012–2). Data spesimen SBK eksterior yang diuji adalah
sebagai yang disampaikan pada Gambar 3.18, sedangkan grafik respons yang dihasilkan-
nya diperlihatkan pada Gambar 3.19.

32 in
Beam R-1, R-3, R-6, T-3
75.5 in

62.5 in
36 in

2 1/4 in
4#6 4#6 4#6 4#6
13 3/8 in cc.

16 in

3#5 3#5 4#6 4#6

9 in 9 in 9 in 9 in

R-1 R-3 R-6 T-3

Gambar 3.18 : Spesimen SBK yang diteliti oleh Ma pada 1976.

54  Bab 3
 

P P

(a) (b)

 

P P

(c) (d)

 

P P

(e) (f)

 

P P

(g) (h)

Gambar 3.19 : Perbandingan respons eksperimental oleh Ma 1976 dengan model multilinier
(a) R-1 dengan bilinier asimetrik (BA) (b) R-1 dengan bilinier deteriorasi (BD)
(c) R-1 dengan Takeda sederhana (TS) (d) R-1 dengan vertex oriented (VO)
(e) R-1 dengan trilinier deteriorasi (TD) (f) R-3 dengan vertex oriented (VO)
(g) R-6 dengan Takeda sederhana (TS) (h) T-3 dengan trilinier deteriorasi (TD)

Bab 3 – 55
Dari kelima model tersebut di atas, hanya model-model TS, VO dan TD yang bisa
mewakili secara lebih realistik perilaku respons histeretik keempat spesimen yang dipilih.
Keempat spesimen ini merupakan gambaran umum SBK beton bertulang yang di-desain
dengan azas kolom kuat – balok lemah yang umum dipakai. Dengan ragam keruntuhan
yang didominasi oleh lentur, respons akan menampilkan bentuk grafik yang pada umumnya
gemuk. Ditambah dengan sedikit pengaruh gaya geser, telah menjadikan grafik agak sedikit
terpipihkan (pinched) pada bagian tengahnya. Untuk kondisi yang seperti ini, pemakaian
model-model multilinier untuk menirukan perilaku responsnya terhadap beban siklik masih
menunjukkan kesesuaian hasil yang baik. Pemilihan model yang sederhana biasanya
didahulukan sebelum memutuskan memakai model-model yang lebih canggih untuk
pertimbangan waktu dan biaya desain.
Dari pemakaian ketiga model di atas, telah terlihat karakteristik SBK beton ber-
tulang, yaitu terjadinya degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatan. Dikombinasikan
dengan pengaruh strain-hardening, kedua fenomena di atas akan muncul di dalam grafik
respons sebagai jenjang-jenjang permukaan pada puncak-puncak kekuatan. Walaupun
tidak dengan laju kecepatan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh hasil eksperimental-
nya, model analitik yang disebutkan telah dapat merekam dan menampilkan kembali kedua
fenomena tersebut dengan baik.

3.5 Model Richard–Abbott untuk Menirukan Respons Histeretik SBK


terhadap Beban Siklik dengan Lintasan-lintasan Garis Lengkung yang
Terpepatkan (Pinched)
Memprediksikan perilaku SBK beton bertulang merupakan suatu pekerjaan yang
sangat rumit (complicated), karena dia menggabungkan beberapa fenomena seperti sifat
non-linier material (plastisitas, strain-hardening, peretakan pada beton), sifat non-linier
dari bidang kontak dan lucutan (slip), sifat non-linier geometrik (instabiltas lokal),
tegangan sisa, dan konfigurasi geometrik yang tidak sederhana. Ditambah lagi dengan
penerapan pembebanan siklik, perilaku tersebut bertambah lagi kerumitannya dengan di-
alaminya pergantian kondisi loading – unloading – reloading yang bersinambung.
Model Richard-Abbott semula dikembangkan pada 1975, yang pada awalnya di-
pakai untuk men-simulasi-kan respons SBK terhadap beban monotonik statik (Richard &
Abbott, 1975). Dengan perbaikan yang terus-menerus dilakukan melalui beberapa kajian
yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain, maka menjadilah dia suatu model yang baik
dan bisa diterapkan untuk berbagai model pembebanan siklik (Simoes dkk., 2001). Di
dalam model ini, sesuatu titik umum sebarang (M, ) pada suatu lintasan pembebanan, baik

56  Bab 3
dengan atau tanpa pemepatan, akan memenuhi persamaan (3-3). Untuk menunjukkan
pengaruh pemepatannya, diperkenalkanlah dua kurva pembatas, yaitu yang diberi nama
batas atas (upper bound) dan batas bawah (lower bound).

 K ot  K ht   
M  1
 K ht   ............................. (3-3)
  K ot  K ht   
nt
 nt

1  
 M ot 

dimana parameter-parameter pengendalinya ditunjukkan pada Gambar 3.18 dan dituliskan


sebagai berikut :

Kot = Kop + (Ko – Kop)  t .......................................... (3-3-a)


Mot = Mop + (Mo – Mop)  t .......................................... (3-3-b)
Kht = Khp + (Kh – Khp)  t ........................................... (3-3-c)
nt = np + (n – np)  t ................................................ (3-3-d)

M M
Upper-bound
Curve Lower-bound
 h  arctan K h Curve

M
 K 0t  K ht     K ht  
1
  K  K    nt
 nt
0t
1 
ht
M0 M 0t

M
 K 0t  K ht     K ht  
  1
  K  K    nt
 nt
0t ht
 0  arctan K 0 1  
M 0t
 
 
(a) (b)

Gambar 3.20 : Penjelasan lintasan beban M–pada model Richard-Abbott


(a) Tanpa pemepatan (b) Dengan pemepatan

Parameter t, yang nilainya berkisar pada harga antara 0 – 1, menentukan transisi dari batas
bawah ke batas atas. Nilainya ditentukan dengan persamaan berikut ini, sedemikian
sehingga akan menghasilkan keadaan yang paling mendekati bentuk kurva eksperimental-
nya :
t1
  lim t1 
t  ............................................. (3-4)
  lim  1  1 
t

dimana t1, t2 dan lim adalah tiga parameter yang harus dikalibrasikan terhadap data eks-
perimental. Sedangkan parameter lim harus disesuaikan dengan deformasi maksimum yang
dialami pada arah pembebanan yang dipertimbangkan, dan nilainya ditentukan menurut
persamaan berikut ini :

Bab 3 – 57
lim  C  o  max  ............................................ (3-5)

dimana |o| adalah harga absolut deformasi pada titik awal lintasan yang bersangkutan, max
adalah harga absolut dari deformasi maksimum yang dicapai pada riwayat pembebanan
sebelumnya pada arah yang dipertimbangkan, dan C adalah parameter kalibrasi. Lintasan
unloading diassumsikan linier dengan sudut kemiringan yang sama dengan kekakuan
awalnya Ko sampai mencapai titik perpotongannya dengan garis lurus yang ditarik sejajar
dengan garis strain-hardening dari titik awalnya. Hal ini telah menjadikan efek Bauschinger
dapat menampilkan pengaruhnya.

M M
Kh
C<1
My+
K0
My+ K0
C=1

C>1  My-
y

 max
(a) (b)

Gambar 3.21 : Penentuan lintasan-lintasan dengan model Richard-Abbott


(a) Parameter C (b) Lintasan unloading

Pembebanan siklik di daerah inelastik menghasilkan akumulasi deformasi plastik,


sampai daktilitas sistem terlampaui secara lokal dan tercapailah keruntuhan. Pada banyak
kasus, pengulangan pembebanan akan menyebabkan pelemahan pada respons yang di-
akibatkan oleh degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatan. Kedua hal tersebut bisa di-
perhitungkan pengaruhnya di dalam respons dengan diperkenalkannya persamaan berikut
ini :
 Eh 
M o ,Re d  M o   1  iM   ............................... (3-6-a)
 M y   u ,o 
 
 Eh 
K o ,Re d  K o  1  iK   ................................ (3-6-b)
 K o   u ,o 
 

dimana  u , o adalah nilai deformasi ultimate dari satu lintasan tunggal dari titik awal

(beban monotonik), Eh adalah energi histeretik yang terakumulasi dari semua lintasan yang
sudah ditempuh sebelumnya, My adalah nilai tahanan leleh, Ko adalah kekakuan awal, dan

58  Bab 3
koefisien iM dan iK adalah tetapan-tetapan empirik yang mewakili laju kerusakan pada
kekuatan dan kekakuan struktur.
Pengerasan yang diakibatkan oleh deformasi plastik siklik dianggap bersifat iso-
tropik. Pada keadaan plastik ini, hasil-hasil pengujian eksperimental telah menunjukkan
bahwa pemberian amplitudo deformasi yang konstan tidak menyebabkan terjadinya
deteriorasi kekuatan. Dengan ini dapat disimpulkan, bahwa pengerasan siklik hanya ber-
kembang pada beberapa siklus awal dan kemudian menjadi stabil.

M o ,inc  M o bila : max  y ................... (3-7-a)


 max   y 
M o ,inc  M o   1  H h   bila : max > y ................... (3-7-b)
 y
 

dimana Mo and Mo,inc adalah nilai awal dan nilai yang sudah ditingkatkan dari kekuatan,
max adalah deformasi maksimum yang dicapai pada lintasan pembebanan sebelumnya, y
adalah deformasi leleh, Hh adalah koefisien empirik yang menentukan level pengerasan
isotropik. Untuk informasi lebih lanjut mengenai masalah yang dibicarakan, Pembaca
dipersilakan untuk merujuk pada referensi yang disebutkan.
Untuk selanjutnya, di dalam implementasinya, perhitungan secara analitik pada
respons histeretik SBK, sebagai diuraikan dengan rumus-rumus dan tata langkah di atas,
bisa dilakukan dengan menggunakan suatu program komputer. Program komputer itu, yang
bernama SeismoStruct, pada saat sekarang ini sudah tersedia di pasar (SeismoSoft Inc.,
2011). Untuk memakainya, mula-mula dilakukan pemodelan struktur yang akan dibahas.
Data yang perlu di-input ke dalamnya meliputi keterangan mengenai sifat-sifat bahan,
geometri struktur, dimensi-dimensi penampang anggota rangka, dan skema pembebanan.
Bila plastifikasi dikehendaki terjadi, maka sendi-sendi plastik yang dimaksudkan juga
harus didefinisikan dengan jelas sebelumnya.
Suatu kajian telah dilakukan untuk menirukan perilaku respons SBK secara analitik
dengan menggunakan model Richard-Abbott pada sejumlah spesimen. Adapun SBK yang
diteliti meliputi spesimen Ma dkk. 1976, ditambah dengan spesimen BJ-3 yang telah diteliti
oleh Penulis (Wahjudi, 1999). Hasil dari pekerjaan analitik itu juga telah di-publikasikan
(Wahjudi dkk., 2012–3). Rincian spesimen SBK selengkapnya disampaikan pada Gambar
3.22 dan hasil analisisnya disampaikan pada Gambar 3.23.
Pada Gambar 3.23-(a) s/d. (g) diperlihatkan hasil analitik yang hampir sama dengan
data eksperimental. Disamping puncak-puncak kekuatannya yang hampir identik pada
keduanya, fenomena degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatan juga nampak jelas
kejadiannya pada data analitik yang menyerupai eksperimentalnya. Parameter yang tidak

Bab 3 – 59
32 in
Beam R-1, R-3, R-6, T-1, T-3

75.5 in

62.5 in
36 in

2 1/4 in
4#6 4#6 4#6 4#6
13 3/8 in cc.

16 in

3#5 3#5 4#6 3#5

9 in 9 in 9 in 9 in

R-1 R-3 R-6 T-1

38.5 in
Beam R-5
75.5 in

36 in

2 1/4 in
4#6 4#6
13 3/8 in cc.

57 in 16 in

4#6 4#6

9 in 9 in

R-5 T-3

(a)

1600 mm 300 1600 mm

POT. I - I

50
50
300 mm

50
I 1285 mm
12 D19
50
50
50

II 100 100 Sengkang : 8 - 50 mm


50

50

300 mm
2920 mm

350 mm
POT. II - II
3 D19
50
50
2 8
350 mm

75

1285 mm 75
3 D19
50
50

Sengkang : 8 - 75
50
80
50

180 mm
3500 mm

(b)

Gambar 3.22 : Spesimen uji analitik SBK dengan model Richard-Abbott (Wahjudi dkk., 2012-3)
(a) Spesimen Ma dkk., 1976 (b) Spesimen Wahjudi, 1999

60  Bab 3
 

P P

(a) (b)

 

P P

(c) (d)

 

P P

(e) (f)

(g)

Gambar 3.23 : Hasil uji analitik SBK dengan model Richard-Abbott (Wahjudi dkk., 2012-3)
(a) R-1 oleh Ma dkk., 1976 (b) R-3 oleh Ma dkk., 1976
(c) R-5 oleh Ma dkk., 1976 (d) R-6 oleh Ma dkk., 1976
(e) T-1 oleh Ma dkk., 1976 (f) T-3 oleh Ma dkk., 1976
(g) BJ-3 oleh Wahjudi, 1999

Bab 3 – 61
bisa diharapkan kesamaannya antara hasil analitik dengan hasil eksperimental adalah
energi. Melalui pengamatan pada grafik yang dihasilkan, jelaslah antara data analitik
dengan data eksperimental terdapat perbedaan nilai energi sebagai yang dibentuk oleh
lintasan-lintasan siklus responsnya, yaitu hasil analitik memberikan nilai energi yang lebih
besar daripada eksperimentalnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan model multilinier, pe-
makaian model Richard–Abbott telah memperkecil perbedaan itu. Dengan demikian telah
ditunjukkan kesesuaian antara model analitik yang dipakai dengan data eksperimentalnya.

62  Bab 3
BAB 4
PEKERJAAN EKSPERIMENTAL

4.1 Desain Spesimen SBK

Di dalam riset ini akan diteliti kinerja SBK pracetak komposit yang mudah di-
kerjakan. Pertimbangan aspek kemudahan kerja (constructability) terutama ditekankan
pada penentuan bentuk-bentuk penjangkaran sambungan dari batang-batang tulangan
balok ke kolom, dan pemasangan tulangan transversal di dalam SBK. Bahan beton untuk
komponen-komponen pracetak dan sambungan dari mutu K-400 (f’c  33.25 MPa pada 28
hari), sedangkan untuk batang-batang tulangan direncanakan memakai mutu baja : fy ≤ 400
MPa untuk tulangan longitudinal, dan : fyh  280 MPa untuk tulangan transversal.
Spesimen uji berupa subassembly SBK interior 2 dimensi (planar interior beam-
to-column connection). Ada 5 (lima) buah spesimen SBK yang dipersiapkan dengan rincian
sebagai berikut : (1) tipe 1, yang berupa SBK monolith sebagai bench-mark, (2) tipe 2
dengan penjangkaran tulangan berbentuk U, (3) tipe 3 dengan penjangkaran tulangan ber-
bentuk L, (4) tipe 4 dengan penjangkaran tulangan berbentuk U ditambah batang tulangan
pengunci, dan – (5) tipe 5 dengan penjangkaran tulangan berbentuk L ditambah batang
tulangan pengunci. Rancangan SBK secara garis besar disampaikan pada Gambar 4.1.

Kolom cor setempat


Overtopping sambungan
Beton overtopping

Penjangkaran Balok pracetak


tulangan balok
pada sambungan Sambungan balok

(a) (b) (c)

Gambar 4.1 : Rancangan kasar SBK yang akan diteliti di dalam riset ini
(a) SBK Tipe 1 monolith sebagai bench-mark
(b) SBK Tipe 2 dan 4
(c) SBK Tipe 3 dan 5

Spesimen SBK didesain dengan memperhatikan peraturan ACI 318-11, khusus-


nya Pasal 21.7 yang telah dicuplik secara ringkas pada Pasal 2.4 buku disertasi ini.
Penentuan ukuran benda uji haruslah memperhatikan Gambar 3.2, dimana setiap spesimen
bisa dianggap sebagai satu subassembly yang independen dengan ujung-ujung balok dan
kolomnya menggambarkan titik-titik belok (point of contraflexure) pada SRPM. Agar

Bab 4 – 63
didapatkan tempat yang cukup untuk aplikasi pembebanan dan gaya restraining, maka
diberikanlah perpanjangan seperlunya pada masing-masing ujung balok dan kolomnya.
Kolom dengan penampang persegi 450/450 (mm) dan balok berukuran penampang
300/450. Batang-batang tulangan dipakai D16 untuk tulangan longitudinal dan 10 untuk
sengkang-sengkangnya.
Sedapat mungkin, pengerjaan pembuatan spesimen dibuat menirukan urut-urutan
pelaksanaan di lapangan. Khususnya bagi sambungan yang akan diteliti ini, yang termasuk
ke dalam jenis sambungan komposit, pelaksanaan pengecoran beton dilakukan dalam 2
(dua) tahap, yaitu pengecoran balok pracetak dan pengecoran sambungan & overtopping.
Untuk tulangan longitudinal balok, luasannya dipilih sedemikian sehingga dihasilkan
tulangan lemah (under-reinforced). Sedangkan untuk kolom, diameter batang dan luasan
tulangan longitudinal dipilih dengan memperhatikan ketentuan agar luasan yang tersedia
tidak melampaui batas-batas maksimum yang ditetapkan di dalam peraturan ACI 318-11,
yaitu persentase tulangan : tot = 1%  6%, serta momen kolom ≥ 120% momen balok.
Tulangan transversal di dalam panel sambungan didesain untuk mencegah terjadinya
keruntuhan geser sebelum leleh lentur tercapai. Sedangkan tulangan transversal pada
balok-balok dan kolom-kolom, yang dimaksudkan untuk memikul gaya geser yang terjadi,
biasanya selalu dapat dipenuhi dengan persyaratan minimum yang ditentukan di dalam
peraturan. Untuk seluruh bentang balok dan kolom, tulangan transversal berwujud
sengkang-sengkang tertutup dengan spasi 100 mm. Dengan maksud untuk memberikan
penekanan pada sisi kemudahan dalam pelaksanaan di laboratorium, khususnya bagi SBK
Tipe 2, 3, 4 & 5, maka tulangan transversal tambahan berupa ikatan-ikatan silang (cross-
ties) di dalam penampang kolom sambungan terpaksa tidak bisa diberikan.
Butir-butir pertimbangan di atas dan langkah-langkah perhitungan yang dilakukan
telah menghasilkan spesimen SBK Tipe 1, yang berupa sambungan monolith. SBK Tipe 2,
3, 4 & 5 didesain menyerupai SBK Tipe 1 (sama bahan, dimensi struktur dan isi tulangan-
nya), hanya saja diberikan penambahan dengan detail sambungan pada ujung-ujung balok
pada pertemuan dengan kolomnya. Panjang sambungan ditetapkan sama dengan nilai yang
lebih besar dari panjang daerah plastifikasi (sendi plastik) atau syarat panjang penjangkaran
tulangan balok. Estimasi panjang sendi plastik pada ujung-ujung balok ditentukan sebagai
nilai terbesar dari beberapa model yang dikenal. Penentuan desain spesimen SBK, yang
meliputi dimensi-dimensi dan kebutuhan penulangannya, berikut perhitungan-perhitungan
kontrolnya telah dilakukan pada Lampiran – B buku laporan disertasi ini, dan hasilnya
disampaikan pada Gambar 4.2 s/d. 4.6 berikut ini.

64  Bab 4
POT. I - I
1600 mm 450 1600 mm

50
70

450 mm
70

Sengkang : 10 - 100 mm


14 D16 70
70
70
I 1285 mm 50

Sengkang :
10 -100 mm
175 175

50

50
II
450 mm

450 mm
POT. II - II

4 D16
50

Sengkang : 10 - 100 mm


Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10 - 100 mm
2 D13

450 mm
350
1285 mm
Sengkang :
10 -100 mm
50
4 D16

50
81
38
81
50
300 mm

Gambar 4.2 : Desain spesimen SBK Tipe 1 monolith

POT. I - I

50
70

450 mm
70
14 D16 70
70
70
1600 mm 450 1600 mm
50

Sengkang :
10 -100 mm
175 175
50

50
Sengkang : 10 - 100 mm

450 mm

I 1285 mm
POT. II - II
4 D16
( Batang2 tul.
50
III II 50
negatip )

4 D16
450 mm

+ 3 D16
300
450 mm 3 D16
( Batang2 - U
penyambung )
50
400 400 400 400 4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )
Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm

50
65
70
65
50

1285 mm
300 mm

POT. III - III


4 D16
( Batang2 tul.
50 negatip )
50
450 mm

2 D13
300
Sengkang :
10 -100 mm
50
4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )
50
65
70
65
50

300 mm

Gambar 4.3 : Desain spesimen SBK Tipe 2 komposit pracetak

Bab 4 – 65
POT. I - I

50
70

450 mm
70
14 D16 70
70
1600 mm 450 1600 mm 70
50

Sengkang :

Sengkang : 10 - 100 mm


10 -100 mm
175 175

50

50
I 450 mm
1285 mm

POT. II - II
4 D16
III II 50 ( Batang2 tul.
50 negatip )

450 mm
450 mm 300
3 D16
400 400 ( Batang2 kait )
50
4 D16
( Batang2 tul.

Sengkang : 10 - 100 mm


Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10- 100 mm balok pracetak )

50
65
70
65
50
1285 mm
300 mm

POT. III - III


4 D16
50 ( Batang2 tul.
50 negatip )

450 mm
300 2 D12
( Batang2 tul.
balok pracetak )

50
4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )

50
65
70
65
50
300 mm

Gambar 4.4 : Desain spesimen SBK Tipe 3 komposit pracetak

POT. I - I

50
70
450 mm

70
14 D16 70
70
70
1600 mm 450 1600 mm
50

Sengkang :
10 -100 mm
175 175
50

50
Sengkang : 10 - 100 mm

450 mm

I 1285 mm
II POT. II - II
3 D16
4 D16
( Batang2 tul.
50
III 3 D16 50
negatip )

4 D16
450 mm

+ 3 D16
300
450 mm 3 D16
( Batang2 - U
penyambung )
50
400 400 400 400 4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )
Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm

50
65
70
65
50

1285 mm
300 mm

POT. III - III


4 D16
( Batang2 tul.
50 negatip )
50
450 mm

2 D13
300
Sengkang :
10 -100 mm
50
4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )
50
65
70
65
50

300 mm

Gambar 4.5 : Desain spesimen SBK Tipe 4 komposit pracetak

66  Bab 4
POT. I - I

50
70

450 mm
70
14 D16 70
70
1600 mm 450 1600 mm 70
50

Sengkang :

Sengkang : 10 - 100 mm


10 -100 mm
175 175

50

50
I 450 mm
1285 mm
II
3 D16 POT. II - II
4 D16
III 3 D16 50 ( Batang2 tul.
50 negatip )

450 mm
450 mm 300
3 D16
400 400 ( Batang2 kait )
50
4 D16
( Batang2 tul.

Sengkang : 10 - 100 mm


Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10- 100 mm balok pracetak )

50
65
70
65
50
1285 mm
300 mm

POT. III - III


4 D16
50 ( Batang2 tul.
50 negatip )

450 mm
300 2 D12
( Batang2 tul.
balok pracetak )

50
4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )

50
65
70
65
50
300 mm

Gambar 4.6 : Desain spesimen SBK Tipe 5 komposit pracetak

4.2 Prediksi Analitik Respons Histeretik SBK Tipe 1

Untuk mengetahui perilaku respons SBK terhadap pembebanan siklik yang akan
diberikan, maka dilakukanlah perhitungan prakiraan secara analitik, terutama bagi SBK
Tipe 1. Perhitungan dilakukan dengan memakai model Richard-Abbott sebagai telah di-
jabarkan pada Pasal 3.5 buku disertasi ini. Pembebanan diberikan berupa displacement
history sebagai disajikan pada Gambar 4.7, dan hasilnya disampaikan pada Gambar 4.8.

Riwayat Perpindahan sebagai Pembebanan


pada SBK Tipe 1
20
15.10
15 13.14 14.19
10.57
(cm)

10 6.64
4.22
5 1.10 2.26
0.60
Perpindahan,

0
-0.60 -1.10
-5 -2.26
-4.22
-6.64
-10
-10.57
-15 -13.14 -14.19
-15.10
-20
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65
Nomor Siklus Pembebanan

Gambar 4.7 : Riwayat perpindahan sebagai pembebanan pada SBK Tipe 1

Bab 4 – 67
Perkiraan Grafik P - Spesimen SBK Tipe 1
Coba 2
160
Pmaks (+) = 135 kN  13.77 ton
Beban Lateral, P (kN) 120
Runtuh karena fracture baja
longitudinal balok pada siklus ke-56 80
Perpindahan :  = 13.36 cm
Drift = 5.75 %
40

-40

-80

-120
Pmaks (–) = 135 kN  13.77 ton
-160
-0.16 -0.12 -0.08 -0.04 0 0.04 0.08 0.12 0.16
Perpindahan, (m)

Perkiraan Grafik P - Spesimen SBK Tipe 1


Coba 9
160
Pmaks (+) = 132 kN  13.46 ton
120
Beban Lateral, P (kN)

Runtuh karena fracture baja


longitudinal balok pada siklus ke-56 80
Perpindahan :  = 13.36 cm
Drift = 5.75 % 40

-40

-80

-120
Pmaks (–) = 133 kN  13.56 ton
-160
-0.16 -0.12 -0.08 -0.04 0 0.04 0.08 0.12 0.16
Perpindahan, (m)

Perkiraan Grafik P - Spesimen SBK Tipe 1


Coba 21
160
Pmaks (+) = 132 kN  13.46 ton
120
Beban Lateral, P (kN)

Runtuh karena fracture baja


longitudinal balok pada siklus ke-56 80
Perpindahan :  = 13.36 cm
Drift = 5.75 % 40

-40

-80

-120 Pmaks (–) = 127 kN  12.95 ton

-160
-0.16 -0.12 -0.08 -0.04 0 0.04 0.08 0.12 0.16
Perpindahan, (m)

Gambar 4.8 : 3 hasil perkiraan analitik respons histeretik SBK dengan kepepatan yang berbeda.

68  Bab 4
Pada Gambar 4.8 disampaikan hasil dari 3 (tiga) perhitungan analitik untuk mem-
perkirakan karakteristik respons histeretik dari SBK Tipe 1 dengan menggunakan derajat
kepepatan (degree of pinchedness) yang berbeda, dari yang paling gemuk di bagian atas
halaman sampai ke yang paling pepat di bagian paling bawah. Dari ketiganya telah di-
peroleh gambaran, bahwa beban maksimal yang akan diterapkan nantinya di dalam uji
eksperimental adalah sekitar 14 ton. Gambaran tentang daktilitas spesimen juga telah di-
dapatkan, yaitu SBK akan mengalami keruntuhan paling tidak pada drift = 5.75%.

4.3 Uji Tarik Baja Tulangan

Untuk mengetahui kekuatan baja tulangan maka dilakukan uji tarik sesuai dengan
ASTM E8/E8M-09. Untuk setiap diameter batang diambil 3 (tiga) spesimen dengan
panjang  35 cm. Pada masing-masing spesimen dilakukan pengujian tarik sampai putus.
Data tegangan vs. regangan akan secara otomatik diolah untuk ditampilkan di layar kom-
puter sebagai grafik, dan hasil akhirnya bisa dicetak di atas selembar kertas.
Pada Gambar 4.9 disampaikan grafik tegangan vs. regangan dari baja tulangan,
D16, 12 dan 10 yang dipakai di dalam riset eksperimental. Dari masing-masing nilai
diameter baja ditampilkan grafik individualnya dan yang mewakilinya. Ternyata bahwa
kuat leleh baja yang semula diharapkan fy ≤ 400 MPa untuk tulangan longitudinal, dan :
fyh  280 MPa untuk tulangan transversal telah terlampaui dengan 488.32 MPa dan 417.80
MPa berturut-turut. Ditambah dengan kemungkinan tercapainya kekuatan silinder beton
yang lebih tinggi daripada yang direncanakan semula, maka tentu akan dihasilkan kekuatan
SBK yang lebih tinggi daripada yang telah diprediksikan menurut Pasal 4.2 di depan. Data
selengkapnya dari titik-titik penting pada grafik tegangan – regangan baja tulangan di-
sampaikan pada Tabel 4.1. Data itu akan dipergunakan nantinya pada saat melakukan
kajian analitik pada perilaku histeretik SBK yang sebenarnya.

Tabel 4.1 : Titik-titik penting pada kurva tegangan – regangan baja-baja tulangan.
Nilai-nilai tegangan dalam kg/cm2, nilai di dalam kurung dalam satuan MPa.

Strain-hardening Putus
Jenis baja Leleh (Y) Ultimate (U)
(SH) (F)
tulangan
y fy sh fsh su fsu sf
4979.47 4979.47 6583.97
Baja D16 0.002371 0.017784 0.173711 0.194300
(488.32) (488.32) (645.67)
4252.80 4252.80 5975.27
Baja 12 0.002025 0.021547 0.206879 0.233433
(417.06) (417.06) (585.97)
4260.43 4260.43 5483.90
Baja 10 0.002029 0.032408 0.245969 0.278400
(417.80) (417.80) (537.79)

Bab 4 – 69
(a)

(b)

(c)
Gambar 4.9 : Grafik hubungan tegangan – regangan baja-baja tulangan
(a) Baja D16 (b) Baja 12 (c) Baja 10

70  Bab 4
4.4 Pemasangan Strain-gauge pada Baja-baja Tulangan

Strain-gauge telah digunakan secara meluas untuk keperluan pengukuran gaya-


gaya secara fisika, terutama di dalam cabang ilmu rekayasa mekanika dan sipil. Ada
beberapa cara untuk mengukur regangan secara mekanik dan elektrik, tetapi sebagian
besarnya adalah dengan menggunakan strain-gauge disebabkan oleh beberapa keunggul-
an yang dimilikinya. Prinsipnya adalah bila suatu gaya luar dikerjakan pada sesuatu
material yang mengandung logam besi, maka dia akan menghasilkan deformasi dan per-
ubahan tahanan listrik di dalam material tersebut. Bila material tersebut ditempelkan pada
suatu spesimen uji melalui insulasi listrik, maka material itu akan menghasilkan perubahan
tahanan listrik yang sebanding dengan deformasi yang terjadi. Strain-gauge yang mengan-
dung bahan dengan tahanan listrik dapat dipakai untuk mengukur kwantitas regangan yang
besarnya sesuai dengan perubahan dalam tahanan listrik yang terjadi.
Di dalam pekerjaan eksperimental ini, strain-gauge dari tipe FLA-6-11 dari merk
TML telah dipakai. Setiap strain-gauge ditempelkan pada batang-batang baja tulangan
yang akan diukur regangannya, sedangkan ekornya disambungkan dengan kabel listrik
yang akan terhubung ke terminal logger. Masing-masing dari strain-gauge mampu meng-
ukur regangan sampai sebesar 5% = 50,000  10-6 (atau disebut dengan   baca : micro-
strain). Baja tulangan yang dipakai di dalam riset ini berasal dari kelas Bj.TD-16 dengan
regangan leleh : y = 0.002371, dan regangan strain-hardening : sh = 0.017784. Untuk
tujuan pengukuran jenis baja tersebut, strain-gauge tipe yang ditentukan itu cukup me-
madai. Dari rekaman yang didapatkan selama pengujian, pembebanan yang diberikan telah
menghasilkan regangan yang tidak lebih besar daripada 6,000  (= 0.6%). Berdasarkan
beberapa parameter regangan yang ingin diketahui, maka sebanyak 43 strain-gauge telah
dipasang pada SBK Tipe 1. Selanjutnya, masing-masing sebanyak 56, 51, 56 dan 51 untuk
Tipe 2, 3, 4 dan 5. Penentuan tempat-tempat pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK
disampaikan pada Gambar 4.10 sampai dengan 4.14.

4.5 Pengecoran Beton dan Urutan Pelaksanaan Pembuatan Spesimen

Setelah rakitan tulangan terselesaikan, maka tibalah waktunya untuk mengecor


beton. Ada 2 (dua) bagian SBK yang harus dilaksanakan pengecorannya secara terpisah,
yaitu kolom dan balok-balok pracetak. Setelah kedua bagian itu cukup umurnya, maka di-
rangkaikanlah keduanya, untuk kemudian dilakukan pengecoran pada bagian sambungan-
nya. Pada setiap langkah pengecoran itu, contoh adukan beton diambil untuk dicetak ke
dalam bentuk silinder-silinder beton untuk kelak akan diperiksa nilai kekuatannya, fc’.

Bab 4 – 71
SG-15
SG-8
SG-12 SG-3
SG-16 ; SG-17
SG-13 ; SG-14 SG-25

SG-19 SG-26
SG-18
SG-22 SG-27

SG-21 SG-28
SG-20 SG-29

SG-23 SG-31
SG-24 SG-30
SG-6 ; SG-7 SG-9 ; SG-10
SG-1 ; SG-2
SG-4 ; SG-5
SG-11
SG-42 ; SG-43
SG-40 ; SG-41
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : SG-38 ; SG-39
Tulangan utama Balok : BM = 10 SG-36 ; SG-37
Tulangan utama Kolom : CM = 15 SG-34 ; SG-35
Tulangan sengkang Balok : BH = 6 SG-32 ; SG-33
Tulangan sengkang Kolom : CH = 12

Total = 43

Gambar 4.10 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1

SG-11 SG-15
SG-31 SG-8
SG-12 SG-3

SG-13 ; SG-14
SG-6 ; SG-7 SG-16 ; SG-17
SG-1 ; SG-2 SG-9 ; SG-10
SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23
SG-37 ; SG-38 ; SG-39

SG-18 ; SG-19 ; SG-20


SG-32 ; SG-33 ; SG-34

SG-29 ; SG-30 SG-35 ; SG-36

SG-24 SG-44
SG-25 SG-43
SG-26 SG-42
SG-27 ; SG-28
SG-40 ; SG-41

Banyaknya Strain-Gauge dipasang : SG-55 ; SG-56


Tulangan utama Balok : BM = 15 SG-53 ; SG-54
Tulangan utama Kait Balok : HM = 8 SG-51 ; SG-52
Tulangan utama Kolom : CM = 15 SG-49 ; SG-50
: BH = 6 SG-47 ; SG-48
Tulangan sengkang Balok SG-45 ; SG-46
Tulangan sengkang Kolom : CH = 12

Total = 56

Gambar 4.11 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2

72  Bab 4
SG-12 SG-15
SG-8
SG-3
SG-13 ; SG-14
SG-6 ; SG-7
SG-1 ; SG-2 SG-16 ; SG-17
SG-9 ; SG-10
SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23

SG-32 ; SG-33 ; SG-34

SG-18 ; SG-19 ; SG-20


SG-29 ; SG-30 ; SG-31

SG-24 ; SG-25 ; SG-26


SG-37 ; SG-38 ; SG-39
SG-27 ; SG-28
SG-35 ; SG-36
SG-11
SG-50 ; SG-51
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : SG-48 ; SG-49
SG-46 ; SG-47
Tulangan utama Balok : BM = 13 SG-44 ; SG-45
Tulangan utama Kait Balok : HM = 5 SG-42 ; SG-43
Tulangan utama Kolom : CM = 15 SG-40 ; SG-41
Tulangan sengkang Balok : BH = 6
Tulangan sengkang Kolom : CH = 12

Total = 51

Gambar 4.12 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3

SG-11 SG-15
SG-31 SG-8
SG-12 SG-3

SG-13 ; SG-14
SG-6 ; SG-7 SG-16 ; SG-17
SG-1 ; SG-2 SG-9 ; SG-10
SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23
SG-37 ; SG-38 ; SG-39

SG-18 ; SG-19 ; SG-20


SG-32 ; SG-33 ; SG-34

SG-29 ; SG-30 SG-35 ; SG-36

SG-24 SG-44
SG-25 SG-43
SG-26 SG-42
SG-27 ; SG-28
SG-40 ; SG-41

Banyaknya Strain-Gauge dipasang : SG-55 ; SG-56


Tulangan utama Balok : BM = 15 SG-53 ; SG-54
Tulangan utama Kait Balok : HM = 8 SG-51 ; SG-52
Tulangan utama Kolom : CM = 15 SG-49 ; SG-50
Tulangan sengkang Balok : BH = 6 SG-47 ; SG-48
: CH = 12 SG-45 ; SG-46
Tulangan sengkang Kolom

Total = 56

Gambar 4.13 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4

Bab 4 – 73
SG-12 SG-15
SG-8
SG-3
SG-13 ; SG-14
SG-6 ; SG-7
SG-1 ; SG-2 SG-16 ; SG-17
SG-9 ; SG-10
SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23

SG-32 ; SG-33 ; SG-34

SG-18 ; SG-19 ; SG-20


SG-29 ; SG-30 ; SG-31

SG-24 ; SG-25 ; SG-26


SG-37 ; SG-38 ; SG-39
SG-27 ; SG-28
SG-35 ; SG-36
SG-11
SG-50 ; SG-51
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : SG-48 ; SG-49
SG-46 ; SG-47
Tulangan utama Balok : BM = 13 SG-44 ; SG-45
Tulangan utama Kait Balok : HM = 5 SG-42 ; SG-43
Tulangan utama Kolom : CM = 15 SG-40 ; SG-41
Tulangan sengkang Balok : BH = 6
Tulangan sengkang Kolom : CH = 12

Total = 51

Gambar 4.14 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5

Campuran untuk beton direncanakan portland cement : batu pecah : pasir beton :
air = 50 kg : 84.95 kg : 78.35 kg : 16.50 liter. Semua bahan diaduk menjadi satu di dalam
mesin pengaduk (mixer), dan dihasilkan suatu campuran beton dengan nilai slump = 8.50
cm. Sedangkan untuk sambungan dipergunakan campuran beton grout. Untuk setiap batch
pengadukan dimasukkan komposisi semen grout 3 zaak (@ 25 kg) + batu pecah ½
sebanyak 35 kg + air 16 liter. Campuran beton grout dipakai untuk dapat menutup celah-
celah yang sempit dan mengisi sudut-sudut yang tajam, sehingga dihasilkan beton yang
padat (compact) dan tidak berongga atau keropos.
Pelaksanaan pembuatan spesimen SBK diusahakan dapat menirukan urut-urutan
pelaksanaan yang sebenarnya di lapangan, disamping memperhatikan keterbatasan ruang-
an di dalam balai laboratorium. Total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan ke lima
spesimen SBK, dihitung mulai dari pembelian bahan-bahan (baja, kayu dan lain-lainnya)
sampai dengan pengecoran terakhir sambungan dan beton overtopping, adalah selama  6
(enam) bulan. Urut-urutan pelaksanaan penyiapan spesimen SBK diperlihatkan pada
Gambar 4.15 dan Gambar 4.16. Pada Gambar 4.17 diperlihatkan beberapa foto yang
diambil pada saat pelaksanaan untuk mempersiapkan spesimen-spesimen SBK. Sedangkan
hasil pengujian kuat tekan beton disampaikan pada Gambar 4.18 untuk beton kolom dan
balok-balok pracetak, dan pada Gambar 4.19 untuk beton grout sambungan.

74  Bab 4
Rakit besi-besi Tegakkan besi Cor beton untuk
penulangan tulangan kolom, balok pracetak &
1 untuk kolom & 2 Pasang cetakan 3 kolom bagian
balok pracetak balok pracetak & bawah.
kolom bagian
bawah.

Setel balok pra-


cetak pada posi-
Tampak proyeksi miring 4 400
sinya & setel tu-
langan jangkar.
400

skema penulangan spesi-


men sambungan. Ukuran
panjang & jarak tidak di-
skala-kan. Garis putus-
putus menunjukkan tepi
beton.

Pasang & setel


5 penyangga se-
mentara.

Pasang sengkang
Spesimen sambungan 6 & sisipkan tulang-
an overtopping.
yang sudah jadi dan siap
untuk diuji. (Baja-baja
tulangan dinampakkan
dalam Gambar).

Oleskan bonding
Lepas cetakan.
Pindahkan ke 7
11 12 tempat penyim- agent pada muka
beton lama.
panan.

Pasang & setel Cor beton sam-


Cor beton kolom
10 bagian atas. 9 cetakan kolom 8 bungan balok &
overtopping.
bagian atas.

Gambar 4.15 : Urut-urutan pembuatan spesimen SBK yang direncanakan semula.

Bab 4 – 75
Pasang cetakan untuk Cor beton untuk
balok pracetak & kolom, balok pracetak &
Rakit besi-besi
1 penulangan.
2 setel tulangan jangkar 3 kolom.

Tegakkan
kolom,setel balok
Tampak proyeksi miring 4 pracetak pada
posisi sambungan.
400 400
skema penulangan spesi-
men sambungan. Ukuran
panjang & jarak tidak di-
skala-kan. Garis putus-
putus menunjukkan tepi
beton.

Pasang & setel


5 penyangga se-
mentara.

Pasang sengkang
Spesimen sambungan 6 & sisipkan tulang-
an overtopping.
yang sudah jadi dan siap
untuk diuji. (Baja-baja
tulangan dinampakkan
dalam Gambar).

Oleskan bonding
Lepas cetakan & Pindahkan ke 7 agent pada muka
11 singkirkan peran-
cah.
12 tempat penyim-
panan. beton lama.

Cor beton over- Cor beton Cor beton sam-


10 topping sam-
bungan
9 overtopping. 8 bungan balok.

Gambar 4.16 : Urut-urutan pelaksanaan pembuatan spesimen SBK yang diterapkan.

76  Bab 4
(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g) (h)

Gambar 4.17 : Beberapa gambar yang diambil pada saat pelaksanaan pembuatan spesimen SBK.
(a) Perakitan baja-baja tulangan (b) Pekerjaan pembuatan cetakan beton
(c) Strain-gauges dalam kemasan (d) Memasang strain-gauges
(e) Menuang & memadatkan beton (f) SBK Tipe 1 sudah jadi
(g) Menyambung balok ke kolom (h) Sambungan & topping sudah tertuang

Bab 4 – 77
Rerata : fcm’ = 360.18 kg/cm2
Standar deviasi : n-1 = 18.38 kg/cm2
Koefisien statistik :  = 1.16

Gambar 4.18 : Hasil pengujian silinder beton normal pada pembuatan spesimen SBK.

Rerata : fcm’ = 500.52 kg/cm2


Standar deviasi : n-1 = 85.78 kg/cm2
Koefisien statistik :  = 1.16

Gambar 4.19 : Hasil pengujian silinder beton grout pada pembuatan spesimen SBK.

78  Bab 4
4.6 Penyetelan Spesimen SBK untuk Pengujian dengan Beban Siklik

Pengujian SBK dengan beban siklik dilaksanakan di Balai Struktur Bangunan –


Pusat Penelitian & Pengembangan Permukiman – Kementrian Permukiman & Prasarana
Wilayah (BSB Puslitbangkim Kimpraswil) yang bertempat di desa Cileunyi – Kabupaten
Bandung – Provinsi Jawa Barat. Karena banyak pihak yang juga berkepentingan dengan
pemanfaatan segala fasilitas yang dimilikinya, maka waktu pengujian SBK juga ditentu-
kan dengan menunggu jadwal yang tersedia. Pengujian SBK baru bisa dimulai kira-kira 3
(tiga) bulan semenjak pekerjaan penyiapan/pembuatan spesimennya berakhir. Adapun pe-
nyelesaian pengujian bagi kelima SBK membutuhkan waktu kira-kira 2 (dua) bulan lagi.
Sebelum pengujian dimulai, dilakukan penyetelan (set up) terlebih dahulu pada
spesimen SBK-nya. Penyetelan meliputi : (1) memasang SBK pada posisinya di dalam
mesin penguji, (2) pemasangan cantelan (attachment) untuk menentukan tempat penerap-
an beban-beban dan gaya-gaya restraint, (3) pemasangan transducer (LVDT = linear
variable displacement transducer) dan menghubungkan channel-channel-nya ke terminal
Data Logger, (4) menghubungkan kabel-kabel strain-gauge melalui channel-channel-nya
ke Data Logger, dan – (5) menguji coba semua peralatan dan instrumen kelistrikan yang
dipasang agar dapat berfungsi dengan baik. Proses set up ini membutuhkan waktu 1 (satu)
hari kerja, sedangkan pelaksanaan pengujiannya membutuhkan waktu 1 (satu) hari juga.
Sesudahnya, untuk melepaskan spesimen uji SBK berikut instrumennya dari mesin peng-
uji juga dibutuhkan waktu 1 (satu) hari. Jadi total waktu yang dibutuhkan untuk melaku-
kan pengujian sebuah SBK adalah 3 (tiga) hari. Penyetelan SBK disajikan pada Gambar
4.20, sedangkan skema pemasangan transducer-nya disampaikan pada Gambar 4.21.

3000 1500
3000 1500 1500
1000

STRONG WALL
600

100
1600

60 100
600

STRONG WALL

2090
6600
40

360
5000

1100

2200

350
2900

725
1100
1125
1800

400
360

700

500
340

STRONG FLOOR
1000

STRONG FLOOR

1400 1200 1400


2500
2500 2200
3200

Gambar 4.20 : Penyetelan spesimen SBK di dalam mesin penguji dengan beban siklik.

Bab 4 – 79
Long range : SDP-300D N Long range : SDP-300D
+ Wire gauge : DP-1000E
Kapasitas = 300 mm Kapasitas = 300 mm Kapasitas = 1000 mm
General use : SDP-100C
Kapasitas = 100 mm

High sensitivity : CDP-50D Tr-3 Tr-1 P 350


Kapasitas = 50 mm

High sensitivity : CDP-50D


High sensitivity : CDP-25D Kapasitas = 50 mm
Kapasitas = 25 mm 1285 mm
Tr-4
Tr-11 Tr-13 High sensitivity : CDP-25D
Long range : SDP-200D Kapasitas = 25 mm High sensitivity : CDP-25D
Kapasitas = 200 mm Kapasitas = 25 mm
Tr-17
Tr-15 Tr-19 Tr-9 Long range : SDP-200D
Tr-7 Kapasitas = 200 mm
450 mm
Tr-16 Tr-20
Tr-8 Tr-18 Tr-10
General use : SDP-100C
Kapasitas = 100 mm
LC-L Tr-12 Tr-14 LC-R
Load Cell : TCLM-NB 1285 mm
High sensitivity : CDP-25D Kapasitas = 200 kN
General use : SDP-100C High sensitivity : CDP-25D
Kapasitas = 25 mm
Kapasitas = 100 mm Kapasitas = 25 mm

350 240
Tr-5
High sensitivity : CDP-50D
Kapasitas = 50 mm High sensitivity : CDP-50D
Load Cell : TCLM-NB
Tr-6 Kapasitas = 50 mm
Kapasitas = 200 kN
Keterangan :
High sensitivity : CDP-25D
Kapasitas = 25 mm General use : SDP-100C General use : SDP-100C LVDT
240 Kapasitas = 100 mm Kapasitas = 100 mm
Load Cell
1600 mm 450 1600 mm

Gambar 4.21 : Skema pemasangan transducer pada SBK

Pada Gambar 4.21 diperlihatkan letak titik-titik pemasangan transducer dan load-
cell pada spesimen SBK. Transducer untuk mengukur perpindahan, sedangkan load-cell
untuk mengetahui besarnya gaya pada restraint. Tipe transducer yang dipasang disesuai-
kan dengan kebutuhan dan besarnya perpindahan yang akan terjadi, seperti general use,
long range, high sensitivity, wire gauge dan lain-lain.
Baik strain-gauge maupun transducer adalah merupakan peralatan instrumentasi
kelistrikan yang bekerja pada nilai-nilai tahanan (resistivity) yang tertentu. Karenanya,
penggunaan kabel-kabel penghubung dari unit-unit instrumen tersebut ke data logger yang
terlalu panjang akan mempengaruhi ketelitian pembacaannya. Besarnya ketelitian itu ter-
gantung pada jenis strain-gauge dan transducer yang dipakai, jenis bahan kabel, ukuran
penampang dan panjangnya. Adapun semua strain-gauge dan transducer yang dipakai di
dalam pekerjaan eksperimental ini memiliki nilai tahanan dasar : R = 350 . Dari suatu
strain-gauge atau transducer yang memakai kabel dengan tahanan jenis r dan panjang L,
maka strain atau perpindahan yang terbaca darinya read harus diinterpretasikan sebagai
suatu nilai terkoreksi corr sebagai berikut :

80  Bab 4
R
 corr    read ......................................... (4-1)
RrL

Untuk jenis kabel tembaga, nilai r dapat dipakai sebagai yang disampaikan pada Tabel 4.2
berikut ini.

Tabel 4.2 : Nilai-nilai tahanan jenis beberapa ukuran kabel tembaga.

Luas penampang Tahanan jenis, Bila dipakai kabel dengan penampang 0.30 mm2
kabel, A (mm2) r (/m)
sepanjang L = 15.00 m, maka besarnya koreksi :
0.005 7.200
0.050 0.630 350
0.080 0.440
 corr    read  0.9949 read
350  0.12  15
0.090 0.400
0.140 0.250 Bila kabel yang dipakai penampang 0.14 mm2 ,
0.300 0.120 maka koreksinya adalah sebesar :
0.350 0.110
0.500 0.070 350
 corr    read  0.9894 read
0.750 0.048 350  0.25  15

Karena nilai koreksi mendekati 1 (satu), maka kesalahan yang ditimbulkannya dapat diabaikan, dan
nilai yang sebenarnya corr dianggap sama dengan nilai yang terbaca read dari strain-gauge atau
transducer.

4.7 Sedikit Catatan pada Pemberian Beban Vertikal Konstan N

Pemberian beban vertikal konstan di dalam pengujian dimaksudkan untuk men-


simulasikan suasana yang mendekati keadaan yang sebenarnya pada saat pembebanan
gempa. Hal ini sebetulnya dianggap tidak penting sekali, karena gaya aksial yang terbentuk
pada kolom selama gempa biasanya selalu lebih kecil daripada beban balanced-nya, Nub.
Dengan mengabaikan gaya aksial kolom berarti telah membawa desain SBK pada sisi yang
konservatif, karena pada keadaan tersebut terkandung faktor overstrength kolom yang lebih
rendah. Sebagai ditunjukkan, bahwa ketiadaan gaya aksial kolom merujuk pada kondisi
yang paling buruk dari suatu SBK (Brooke, dkk., 2006).
Sementara itu, para peneliti yang lain telah pula mengajukan kesimpulan yang ber-
beda. Sebagai contoh, dari serangkaian riset yang dilakukan, telah disimpulkan beberapa
keuntungan yang diperoleh dengan diberikannya gaya aksial kolom pada saat pengujian
SBK. Beberapa hal dapat disebutkan, misalnya terjadinya peningkatan kekuatan SBK, baik
interior maupun eksterior, sekitar 15% – 25%. Hal-hal lainnya adalah berkurangnya gejala
deteriorasi kekuatan pada SBK eksterior, tertundanya pembentukan retak-retak geser, dan
tersedianya pengekangan yang lebih baik pada batang-batang tulangan yang tertanam di
dalamnya (Pessiki, dkk., 1990), (Beres, dkk., 1992) dan (Beres, dkk., 1996). Kesimpulan
yang lain juga telah dihasilkan oleh peneliti lainnya. Dari riset yang dilakukan, telah di-

Bab 4 – 81
simpulkan bahwa pemberian gaya aksial sampai pada taraf tertentu pada kolom dapat me-
ningkatkan ketahanan geser dari SBK (Li, dkk., 2003) dan (Li, dkk., 2009).
Pada sisi yang lain, suatu studi eksperimental yang dilakukan pada SBK eksterior
satu arah dengan pendetailan tulangan yang kurang telah mengungkapkan fakta-fakta yang
menarik lainnya sebagai akibat diberikannya gaya aksial pada kolom. Darinya disimpulkan
terjadinya pengurangan kapasitas disipasi energi, terbentuknya retak-retak yang lebih lebar,
dan tingkat resiko yang lebih tinggi pada kolom untuk mengalami keruntuhan secara brittle
(Clyde, dkk., 2002). Karenanya, diputuskanlah di dalam riset ini untuk memberikan gaya
aksial pada ujung atas kolom pada tingkatan yang tidak terlalu tinggi. Pada spesimen-
spesimen SBK di dalam riset disertasi ini diberikan gaya aksial konstan pada kolom hanya
sebesar : N = 14 ton (= 137.3 kN  0.025 fc’ Ag).

4.8 Pengujian SBK dengan Beban Siklik dan Hasil yang Diperoleh

Setelah persiapan dianggap cukup dan pemeriksaan pada semua peralatan dan
instrumen yang dipergunakan berhasil dengan baik, maka dilakukanlah pengujian SBK
dengan beban siklik. Pengujian bertujuan memeriksa perilaku respons histeretik SBK
terhadap pembebanan bolak-balik siklik yang ditingkatkan secara bertahap. Pembebanan
yang diberikan adalah beban horizontal P secara siklik dan beban vertikal N yang tetap
besarnya (lihat Gambar 4.21 di atas). Beban P diberikan secara displacement controlled
dengan menggunakan riwayat menurut ACI 374.1-05 sebagai diperlihatkan pada Gambar
4.22 (ACI Committee 374, 2005). Beban ini serupa dengan beban pada Gambar 4.7 di
depan, hanya saja perpindahan dinyatakan dengan % drift tingkat.

Riwayat Pembebanan Siklik yang Dipergunakan


Displacement-Controlled menurut ACI 374.1-05
5
4.00
3.50

4
2.75

3
2.20
1.75
Drift Tingkat ( % )

1.40

2
1.00
0.75
0.50
0.35
0.20

0.25

1
0
-0.20

-0.25

-1
-0.35

-0.50

-0.75

-1.00

-2
-1.40

-1.75

-2.20

-3
-2.75

-4
-3.50

-4.00
-5
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Nomor Siklus Pembebanan

Gambar 4.22 : Riwayat pembebanan pada SBK secara displacement-controlled.

82  Bab 4
Pengujian menghasilkan beberapa jenis data yang akan memberikan gambaran
tentang perilaku respons SBK. Data itu adalah : (1) respons siklik dari transducer yang
terpasang, (2) respons regangan-regangan baja tulangan sebagai yang dicatat oleh strain-
gauge, (3) foto-foto pelaksanaan pengujian, dan – (4) pola kerusakan (retak) yang ter-
bentuk. Hasil pembacaan seluruh transducer dan strain-gauge untuk kelima tipe SBK
disampaikan selengkapnya pada Lampiran – C di belakang.

Respons Histeretik P - SBK Tipe 1


25
20
Beban Lateral, P ( ton )

15
10
5
0
-5
-10
-15
-20
-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Perpindahan, ( % Drit )

(a)
Respons Histeretik P - SBK Tipe 2 Respons Histeretik P - SBK Tipe 3
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Perpindahan, ( % Drit ) Perpindahan, ( % Drit )

(b) (c)
Respons Histeretik P - SBK Tipe 4 Respons Histeretik P - SBK Tipe 5
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Perpindahan, ( % Drit ) Perpindahan, ( % Drit )

(d) (e)

Gambar 4.23 : Respons histeretik SBK sebagai terbaca dari pembacaan transducer Tr-1
(a) SBK Tipe 1
(b) SBK Tipe 2 (c) SBK Tipe 3
(d) SBK Tipe 4 (e) SBK Tipe 5

Bab 4 – 83
Tidak semua data transducer dan strain-gauge itu dapat didiskusikan di dalam
buku ini, karena hal itu akan membutuhkan waktu yang sangat panjang, disamping akan
dapat mengaburkan tujuan semula dari buku laporan ini. Karenanya, di sini akan disampai-
kan satu saja dari sekian banyaknya data pembacaan yang dapat memberikan gambaran
secara global pada perilaku respons SBK terhadap pembebanan siklik. Data itu adalah
transducer Tr-1, yang menunjukkan hubungan antara beban lateral P dengan perpindahan
 pada ujung kolom. Pada Gambar 4.23 di atas disampaikan hasil pembacaan Tr-1 untuk
kelima SBK. Data pembacaan strain-gauge yang menggambarkan pelelehan yang terjadi
pada beberapa tempat kritik pada baja tulangan juga telah dicuplik dari Lampiran – C dan
yang akan diperlihatkan pada Gambar 4.24. Pola peretakan yang terbentuk pada SBK
ditampilkan pada Gambar 4.25. Sedangkan beberapa foto yang menunjukkan aktifitas pada
saat pelaksanaan pengujian akan diperlihatkan pada Gambar 4.26.
Dari uji tarik baja tulangan telah diketahui tegangan leleh baja D16 : fy = 4979.47
kg/cm2, sehingga regangan leleh : y = 4979.47/(2.1106) = 0.002371 = 2371 . Dengan
demikian letak titik awal leleh pada grafik riwayat regangan baja-baja tulangan dapat
ditunjukkan. Pada Gambar 4.24 diperlihatkan letak titik-titik awal leleh baja tulangan itu
sebagai bulatan kecil. Misalnya untuk grafik strain-gauge SG-11 pada SBK Tipe 1, telah
diberikan keterangan di dalam text-box : 23, 543, 2594, yang berarti baja tersebut meng-
alami awal leleh pada siklus ke-23, titik pembebanan ke-543, dan regangan tarik yang
terjadi sebesar 2594  (= 259410-6 = 0.002594). Informasi tentang titik awal leleh
batang-batang tulangan akan sangat berguna di dalam pemeriksaan bagian-bagian mana
yang terlebih dahulu mengalami pelelehan, apakah pada balok atau pada kolom.
Pada Gambar 4.25 diperlihatkan pola peretakan yang terjadi di daerah sekitar per-
temuan balok dangan kolom dari SBK. Warna tinta yang berbeda, yaitu merah dan hitam,
dipakai untuk membedakan arah pembebanan yang menyebabkannya. Pada Gambar 4.25
(a) disampaikan pola peretakan pada SBK Tipe 1 monolith yang dipakai sebagai bench-
mark untuk menilai kinerja SBK-SBK yang lainnya. Pada Gambar 4.25 (b) s/d. (e) dapat
dilihat kerusakan yang intensif terjadi di daerah panel sambungan, dan sedikit di daerah
balok. Kenyataan ini terjadi, walaupun SBK sudah didesain dengan prinsip strong column
– weak beam. Juga, pemeriksaan pada regangan-regangan yang tercatat pada baja-baja
tulangan telah menunjukkan pelelehan terjadi pada balok terlebih dahulu daripada kolom
(lihat pembicaraan pada Pasal 5.4 – Daktilitas dan Kuat Lebih SBK dari buku laporan
disertasi ini). Hal ini kemungkinan terjadi disebabkan oleh dipakainya tulangan transversal
yang kurang di daerah panel sambungan, disamping dipergunakannya campuran beton
grout dengan kekuatan yang lebih tinggi pada daerah sambungan.

84  Bab 4
Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik
Tulangan Longitudinal Balok : SG-11 pada SBK Tipe 1
4000

3000 Awal Leleh : 23, 543, 2594


2000

Regangan, 1000

-1000
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400
Nomor Titik Pembebanan

Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik


Tulangan Longitudinal Balok : SG-11 pada SBK Tipe 2
6000
5000
4000

3000 Awal Leleh : 19, 448, 2383


2000
Regangan,

1000
0
-1000
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300
Nomor Titik Pembebanan

Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik


Tulangan Longitudinal Balok : SG-28 pada SBK Tipe 3
4000

3000 Awal Leleh : 23, 541, 2540


2000
Regangan,

1000

-1000
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300
Nomor Titik Pembebanan

Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik


Tulangan Longitudinal Balok : SG-11 pada SBK Tipe 4
4000

3000 Awal Leleh : 19, 448, 2425


2000
Regangan,

1000

-1000
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300
Nomor Titik Pembebanan

Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik


Tulangan Longitudinal Balok : SG-12 pada SBK Tipe 5
6000
5000
4000

3000 Awal Leleh : 19, 447, 2395


2000
Regangan,

1000
0
-1000
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300
Nomor Titik Pembebanan

Gambar 4.24 : Riwayat regangan baja-baja tulangan yang terekam dari pembacaan strain-gauge

Bab 4 – 85
(a)

SBK Tipe 1

(b)

SBK Tipe 2

(c)

SBK Tipe 3

(d)

SBK Tipe 4

(e)

SBK Tipe 5

Gambar 4.25 : Pola pembentukan retak yang terjadi pada SBK dengan pembebanan siklik
(a) SBK Tipe 1 (b) SBK Tipe 2 (c) SBK Tipe 3
(d) SBK Tipe 4 (e) SBK Tipe 5

86  Bab 4
(a) (b)

(c) (d) (e) (f)

(g) (h)

(i) (j) (k)

Gambar 4.26 : Beberapa foto yang diambil pada saat pengujian siklik SBK
(a) & (b) Pemeriksaan instrumen pengukur pada saat set-up pengujian
(c) Persiapan pengujian kekuatan silinder beton
(d) Silinder beton sesudah diuji kuat tekannya
(e) Set-up SBK pada mesin uji dengan beban siklik
(f) SBK selesai di set-up dan siap menjalani pengujian beban siklik
(g) Meja pengendali pengujian
(h) Layar monitor komputer untuk memantau perilaku SBK
(i) Pola retak yang terbentuk pada SBK Tipe 1 pada akhir pengujian
(j) Pola retak yang terbentuk pada SBK Tipe 2 pada akhir pengujian
(k) Pola retak yang terbentuk pada SBK Tipe 3 pada akhir pengujian

Bab 4 – 87
Pada Gambar 4.25 (a) dan 4.26 (i) diperlihatkan pola kerusakan pada SBK Tipe 1.
Padanya terlihat retak-retak yang tersebar pada kedua ujung balok dan juga pada panel
sambungan. Bahkan pada Gambar 4.26 (i) dapat terlihat dengan jelas kerusakan pada kedua
pangkal balok. Hal ini menunjukkan ciri keruntuhan struktur yang didesain secara kolom
kuat – balok lemah. Tersebarnya retak-retak yang agak intensif di daerah panel disebabkan
oleh pemasangan tulangan transversal yang kurang padanya. Atas pertimbangan kemudah-
an di dalam pengerjaan pembuatan spesimen, tulangan transversal pada panel sambungan
terpaksa tidak bisa dipasangkan sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan kinerjanya.
Pada SBK Tipe 2, 3, 4 dan 5, kerusakan pada daerah panel ini menjadi lebih jelas
kelihatan, seperti ternampak pada Gambar 4.25 (b) s/d. (e) dan Gambar 4.26 (j) & (k). Pada
3 (tiga) siklus terakhir pembebanan siklik dengan drift 5% telah terbuka retak-retak yang
lebar pada panel sambungan keempat SBK tersebut. Bahkan sebagian dari selimut beton-
nya sudah terlepas keluar, walaupun bagian beton intinya tidak rusak. Dengan merujuk
pada grafik respons histeretik sebagai yang diperlihatkan pada Gambar 4.23, dapat di-
tunjukkan bahwa pada siklus-siklus terakhir dari pembebanan telah terjadi peningkatan
beban yang menampilkan ciri-ciri peristiwa strain-hardening pada kurva tegangan –
regangan baja. Dengan demikian, mestinya pembebanan masih bisa dilanjutkan lagi
dengan drift 6%, 7% dan mungkin 8%, sampai SBK benar-benar runtuh yang ditunjukkan
dengan penurunan beban pada grafik histeretiknya. Dalam riset ini, pembebanan telah di-
hentikan pada drift 5% karena keterbatasan kapasitas mesin penguji. Akan halnya
kerusakan yang terjadi lebih besar pada panel SBK dan bukan pada ujung-ujung baloknya,
hal ini dapat dijelaskan dengan dipakainya campuran beton grout pada sambungan dengan
hasil uji kuat tekan silinder yang mencapai : fcm’  500 kg/cm2, yang lebih tinggi daripada
kuat tekan silinder beton untuk balok & kolom yang hanya : fcm’ = 360 kg/cm2. Pemakaian
beton grout pada sambungan terpaksa dilakukan mengingat terjadinya perubahan skenario
pada pelaksanaan pembuatan spesimen SBK, sebagai yang ditunjukkan pada Gambar 4.15
dan 4.16 di depan. Bahan beton grout telah digunakan agar campuran beton basah cukup
plastis/encer untuk mengisi celah-celah yang sempit dan sudut-sudut yang tajam dari
sambungan yang terletak di antara kolom dan balok-balok SBK.

88  Bab 4
BAB 5
TINJAUAN DATA HASIL EKSPERIMEN PADA KINERJA
SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM

5.1 Data Hasil Pengujian Spesimen SBK

Dari pengujian eksperimental SBK yang telah dilakukan diperoleh serangkaian


data angka-angka di dalam susunan matriks yang bermakna riwayat beban-beban dan
deformasi yang dialami. Deformasi bisa berupa pembacaan LVDT ataupun strain-gauge.
Uraian selengkapnya data pembacaan LVDT maupun strain-gauge untuk kelima SBK
telah disampaikan ke dalam bentuk grafik pada Lampiran – C di belakang.
Terutama dari data pembacaan LVDT, khususnya Tr-1, beberapa parameter dari
kinerja SBK akan bisa di-evaluasi. Butir-butir yang utama dari kinerja adalah kekuatan,
daktilitas dan kapasitas pemencaran energi. Karenanya, ketiga hal tersebut akan dibahas
untuk didapatkan nilai-nilainya bagi kelima SBK. Sedangkan nilai kinerja yang penting
lainnya, yaitu drift, akan bisa dilihat dari grafik P –  secara langsung. Pada kelima SBK,
pengujian beban siklik telah dilakukan hingga tercapai drift = 5%. Walaupun padanya telah
terjadi beberapa kerusakan, tetapi dari grafik histeretik P –  yang terekam terlihat bahwa
SBK masih sanggup untuk menerima siklus-siklus pembebanan lebih lanjut. Hanya oleh
sebab keterbatasan kapasitas mesin penguji sajalah, maka pembebanan telah dihentikan
pada drift maksimum yang dapat dicapai ± 12 cm (kira-kira = 5% dari tinggi tingkat spe-
simen). Berikut ini disampaikan uraian pada beberapa parameter kinerja SBK.

5.2 Respons Histeretik Beban – Perpindahan SBK Eksperimental dan Per-


bandingannya dengan Hasil Analitik
Untuk menguji akurasi model analitik dalam memprediksikan perilaku histeretik
SBK, maka hal yang diperlukan adalah membandingkan antara grafik P –  yang diperoleh
secara analitik dengan yang didapatkan melalui uji eksperimental. Respons histeretik
secara analitik dihitung dengan menggunakan model Richard–Abbott sebagai yang telah
ditunjukkan pada Bab 3 di depan. Dengan aplikasi program SeismoStruct, maka dibutuh-
kanlah beberapa data sebagai input pada model matematika dari masalah yang dihadapi.
Data itu antara lain informasi pada sistem sumbu koordinat struktur yang dipakai dan
susunan matriks kekakuan elemen yang didapatkannya. Sistem sumbu yang dipakai dan
susunan matriks kekakuan disampaikan pada Gambar 5.1 dan 5.2. Sedangkan data sendi
plastik, yang diassumsikan terbentuk pada ujung-ujung balok yang bertemu dengan kolom,

Bab 5 – 89
disampaikan pada Tabel 5.1. Rincian data input material, model struktur dan parameter
sendi plastik disampaikan pada Lampiran – D. Hasil analisis yang diperolehnya akan
disampaikan terhampar (overlaid) di atas grafik hasil eksperimental sebagai diperlihatkan
pada Gambar 5.3 sampai dengan 5.7, masing-masing untuk SBK Tipe 1 sampai dengan 5.

(a) (b) (c)

Gambar 5.1 : Sistem sumbu yang dipakai di dalam studi analitik dengan SeismoStruct
(a) SBK tampak 2 dimensi
(b) SBK tampak ruang
(c) Gaya-gaya yang bekerja pada sumbu koordinat struktur

Gambar 5.2 : Matriks kekakuan elemen pada struktur rangka

90  Bab 5
Tabel 5.1 : Parameter sendi plastik yang terbentuk pada kedua ujung balok SBK

Parameter Sendi Plastik Nama Spesimen


SBK Tipe 1 SBK Tipe 2 SBK Tipe 3 SBK Tipe 4 SBK Tipe 5
Ka (kN.m/rad) 53755. 71094. 77517. 71094. 77517.
Ma (kN.m) 173.4 299.9 203.7 299.9 206.6
Kpa (kN.m/rad) 524.7 260.44 307.58 260.44 307.58
Cabang Mendaki (Ascending Branch)

Na 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6


Kap (kN.m/rad) 53755. 71094. 77517. 71094. 77517.
Map (kN.m) 78. 134.96 70.25 134.96 80.64
Kpap (kN.m/rad) 524.7 260.44 307.58 260.44 307.58
Nap 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
t1a 38. 42. 40. 38.5 39.5
t2a 0.5 0.5 0.51 0.5 0.5
Ca 1. 1. 1. 1. 1.
iKa 0.000006 0.000004 0.000005 0.000006 0.000006
iMa 0.028 0.03 0.028 0.03 0.031
Ha 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07
Emax-a (rad) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Kd (kN.m/rad) 53755. 64286. 46105. 64286. 46105.
Md (kN.m) 173.4 152.1 162.4 152.1 164.7
Cabang Menurun (Descending Branch)

Kpd (kN.m/rad) 524.7 305.87 199.38 305.87 199.38


Nd 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
Kdp (kN.m/rad) 53755. 64286. 46105. 64286. 46105.
Mdp (kN.m) 78. 68.45 52.47 68.45 64.2
Kpdp (kN.m/rad) 524.7 305.87 199.38 305.87 199.38
Ndp 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
t1d 38. 42. 40. 38.5 39.5
t2d 0.5 0.5 0.51 0.5 0.5
Cd 1. 1. 1. 1. 1.
iKd 0.000006 0.000004 0.000005 0.000006 0.000006
iMd 0.028 0.03 0.028 0.03 0.031
Hd 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07
Emax-d (rad) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1

V
P

Gambar 5.3 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 1

Bab 5 – 91
V
P

Gambar 5.4 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 2

V
P

Gambar 5.5 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 3

V
P

Gambar 5.6 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 4

92  Bab 5
V
P

Gambar 5.7 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 5

5.3 Kekuatan SBK

Kekuatan adalah kemampuan struktur untuk bertahan terhadap gangguan dari luar,
baik yang berupa beban gaya maupun perpindahan. Untuk kelima SBK yang dikaji di
dalam riset ini, kekuatan tampil ke dalam bentuk gaya sebagai perlawanan terhadap gang-
guan yang diberikan berupa perpindahan. Dari Gambar 5.3 sampai dengan 5.7 telah
diketahui gambaran nilai-nilai kekuatan SBK antara analitik dengan eksperimentalnya
yang berbeda-beda. Gambaran yang lebih jelas tentang kekuatan ini dapat diberikan dengan
menarik suatu kurva yang dikenal dengan nama kurva backbone. Kurva ini merupakan
selongsong (envelope) dari grafik histeretik respons yang diperoleh dengan menghubung-
kan titik-titik puncak respons pada setiap siklusnya. Dengan memperhatikan grafik back-
bone, seseorang akan dapat dengan cepat mengevaluasi kekuatan SBK.
Hampir sama dengan grafik backbone adalah grafik pushover. Bedanya, kalau pada
grafik backbone lintasan kurvanya didapatkan langsung secara grafis, yaitu dengan meng-
hubungkan titik-titik koordinat puncak respons setiap siklusnya, tetapi pada grafik push-
over lintasannya didapatkan dengan perhitungan analitik. Terdapat beberapa cara yang
sudah dikenal untuk analisis pushover ini, antara lain cara-cara Ramberg–Osgood, bilinier
kinematik, dan Richard–Abbott. Pada Gambar 5.8 disampaikan grafik backbone dan push-
over SBK Tipe 1 yang di-overlay-kan di atas grafik histeretiknya. Dengan maksud untuk
mendapatkan tampilan yang bersih dan jelas, maka pada Gambar 5.9 disajikan gambar yang
sama dengan Gambar 5.8 tetapi dengan menghilangkan grafik histeretiknya. Selanjutnya
pada Gambar 5.10 sampai dengan 5.17 akan disampaikan untuk SBK Tipe 2 sampai dengan
5, masing-masing grafik backbone bersama-sama dengan pushover yang di-overlay-kan di
atas kurva histeretiknya, dan grafik backbone bersama pushover-nya saja.

Bab 5 – 93
Gambar 5.8 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 1

Gambar 5.9 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 1

Gambar 5.10 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 2

94  Bab 5
Gambar 5.11 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 2

Gambar 5.12 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 3

Gambar 5.13 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 3

Bab 5 – 95
Gambar 5.14 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 4

Gambar 5.15 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 4

Gambar 5.16 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 5

96  Bab 5
Gambar 5.17 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 5

V
P

Gambar 5.18 : Perbandingan kekuatan kelima SBK dinyatakan sebagai grafik backbone.

Perbandingan kekuatan kelima SBK dinyatakan dengan grafik backbone eksperi-


mental ditampilkan pada Gambar 5.18. Terlihat urut-urutan kekuatan SBK dari yang ter-
tinggi sampai ke yang terendah adalah SBK Tipe 1, 4, 2, 5 dan 3. Bila kekuatan dinyatakan
sebagai nilai beban pada drift (+) 5%, maka nilainya adalah 18.83 ton (Tipe 1), 17.44 ton
(Tipe 4), 16.31 ton (Tipe 2), 14.79 ton (Tipe 5), dan 14.53 ton (Tipe 3).

5.4 Daktilitas dan Kuat Lebih SBK

Menurut ilmu mekanika struktur, daktilitas didefinisikan sebagai kesanggupan


struktur untuk melakukan sejumlah besar deformasi paska leleh sambil tetap mempertahan-
kan sebagian besar kekuatannya semula. Untuk bisa melakukan evaluasi dengan benar pada
daktilitas ini dibutuhkan grafik hubungan beban – deformasi bilinier yang terkandung di
dalamnya informasi tentang saat struktur tersebut pertama kalinya mengalami leleh (Y) dan

Bab 5 – 97
saat tercapai keadaan batasnya (U). Bagi kelima SBK yang sedang dikaji ini, kebutuhan itu
dapat dipenuhi dengan grafik beban – deformasi monotonik sebagai yang ditampilkan pada
Gambar 5.9, 5.11, 5.13, 5.15 dan 5.17, baik yang berupa backbone maupun pushover.
Walaupun tidak secara langsung terhubung dengan data eksperimentalnya, grafik
pushover dapat memberikan gambaran yang lebih jelas daripada grafik backbone tentang
letak titik-titik Y dan U tersebut. Sebagai dapat diamati pada Gambar 5.8, 5.10, 5.12, 5.14
dan 5.16, grafik pushover, khususnya dengan metoda bilinier kinematik, telah memberikan
hasil yang paling mendekati grafik respons histeretik kelima SBK. Agar tetap dapat me-
refleksikan kondisinya yang aktual, posisi titik-titik tersebut (khususnya titik Y) juga akan
diperiksa kesesuaiannya dengan data riwayat regangan baja tulangan dari strain-gauge.
Pada Gambar 5.19 ditunjukkan cara menentukan grafik bilinier dengan pendekatan
pushover. Cara ini sudah pernah dilakukan sebelumnya (Englekirk, 2003). Ambil contoh
untuk SBK Tipe 1. Mula-mula overlay-kan grafik pushover bilinier kinematik di atas grafik
histeretik. Titik-titik Y+ dan Y– ditentukan letaknya pada lintasan grafik pushover dengan
mengacu pada data titik awal pelelehan dari pengujian siklik eksperimental. Sebagai
disarikan pada Tabel 5.2, awal leleh terjadi pada drift = 0.5556%. Maka titik-titik Y+ dan
Y– tersebut ditentukan pada grafik pushover sebagai titik dengan nilai drift yang terdekat
darinya. Selanjutnya letak titik U+ dan U– ditentukan sebagai ujung/akhir pembebanan.

Daktilitas :
+ = 8.89
– = 8.00
rerata = 8.44

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.74
Ro– = 1.39
Ro-rerata = 1.56

Gambar 5.19 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 1 dan daktilitasnya

Daktilitas adalah :
u
 ..................................................... (5-1)
y
dan faktor kuat lebih (overstrength) dinyatakan :
Pu
Ro  ..................................................... (5-2)
Py

98  Bab 5
Tabel 5.2 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 1

Tempat Strain-gauge  (×10-6 ) No. Titik


Pembebanan
SG–19 2376 557
SG–24 2529 544
BTU Balok SG–25 2375 446 Awal leleh terjadi
SG–30 2444 557 pada Balok
SG–31 2384 872 → SG-25
SG–6 2380 982 Pada titik
BTU Kolom SG–8 2393 640 pembebanan ke-
Panel SG–9 2413 963 446 :
SG–16 2391 1083 → Drift Tr-1
BTU Balok SG–11 2594 543 = 12.89 mm
Panel SG–12 2410 557 = 0.5556%
SG-37 2036 1037
BTL Kolom
SG-40 2157 883
Panel
SG-41 2052 1101
Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2
y = 0.002371 = 2371 × 10-6
Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2
y = 0.002029 = 2029 × 10-6

Pada Tabel 5.2 ditunjukkan bahwa awal leleh memang terjadi pada tulangan balok,
yaitu SG-25 yang mencatat leleh pertama kalinya pada titik pembebanan ke-446. Pada titik
pembebanan tersebut telah terekam drift yang terjadi :  = 12.89 mm = 0.5556%. Dari
Gambar 5.19 terlihat, bahwa bila nilai  tersebut di-plot-kan pada grafik pushover, maka
dihasilkanlah titik Y+ :  = 0.5702% dan : P = 10.8060 ton. Sedangkan titik U+ terbentuk
pada saat :  = 5.0681% dan : P = 18.8122 ton. Sedangkan titik Y– :  = – 0.6335% dan : P
= – 11.6695 ton, sedangkan titik U– terbentuk pada :  = – 5.07% dan : P = – 16.1921 ton.

Sehingga akan dapat dihitung daktilitas,  dan faktor kuat lebih , Ro sebagai berikut :

5.0681 18.8122
  8.89 dan : Ro   1.74  bila dilihat dari sisi beban (+)
0.5702 10.8060
serta :
5.0681 16.1921
  8.00 dan : Ro   1.39  bila dilihat dari sisi beban (–)
0.6335 11.6695
Nilai rata-rata dari kedua sisi pembebanan tersebut adalah :  = 8.45 dan Ro = 1.56

Demikian selanjutnya titik-titik Y dan U pada SBK Tipe 2, 3, 4 dan 5 juga akan dilakukan
dengan cara menjadikan grafik bilinier sebagai idealisasi grafik pushover-nya. Uraian ber-
ikut daktiltas dan faktor kuat lebih yang didapatkannya disampaikan pada Gambar 5.20,
5.21, 5.22 dan 5.23, sedangkan kontrol urut-urutan pelelehan pada batang-batang tulangan
SBK disampaikan pada Tabel 5.3, 5.4, 5.5 dan 5.6.

Bab 5 – 99
Daktilitas :
+ = 6.67
– = 7.27
rerata = 6.97

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.18
Ro– = 1.24
Ro-rerata = 1.21

Gambar 5.20 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 2 dan daktilitasnya

Daktilitas :
+ = 6.90
– = 6.80
rerata = 6.85

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.31
Ro– = 1.29
Ro-rerata = 1.30

Gambar 5.21 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 3 dan daktilitasnya

Daktilitas :
+ = 6.67
– = 6.67
rerata = 6.67

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.26
Ro– = 1.23
Ro-rerata = 1.24

Gambar 5.22 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 4 dan daktilitasnya

100  Bab 5
Daktilitas :
+ = 7.00
– = 6.71
rerata = 6.85

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.30
Ro– = 1.28
Ro-rerata = 1.29

Gambar 5.23 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 5 dan daktilitasnya

Tabel 5.3 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 2

Tempat Strain-gauge  (×10-6 ) No. Titik


Pembebanan
SG–18 2799 1216
SG–19 2552 1102
BTU Balok SG–20 2459 764
SG–32 2491 748
SG–33 2381 1085
SG–34 2473 1204
SG–2 2447 965
SG–6 2431 639
SG–7 3055 748
BTU Kolom
SG–9 2418 981
Panel
SG–10 2436 1103
SG–13 2466 764
SG–14 2406 872
SG–11 2383 448 Awal leleh terjadi
BTU Balok
SG–12 2378 641 pada Balok Panel
Panel
SG–31 2402 1203 → SG-11
SG–46 2060 854 Pada titik
SG–47 2070 638 pembebanan ke-
SG–48 2112 749 448 :
BTL Kolom
SG–50 2119 1082 → Drift Tr-1
Panel
SG–51 2271 748 = 16.79 mm
SG–54 2109 1202 = 0.7237%
SG–55 2071 781
Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2
y = 0.002371 = 2371 × 10-6
Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2
y = 0.002029 = 2029 × 10-6

Bab 5 – 101
Tabel 5.4 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 3

Tempat Strain-gauge × No. Titik


Pembebanan
SG–19 2403 657
SG–20 2451 657
SG–27 2394 543
SG–28 2540 541
BTU Balok
SG–29 2403 504
SG–30 2486 641
SG–35 2398 460
SG–36 2377 460
BTU Kolom SG–8 2454 1215
Panel SG–10 2461 1176
BTU Balok SG–11 2435 873
Panel SG–12 2388 448 Awal leleh terjadi
SG–43 2163 984 pada Balok Panel
SG–44 2093 1057 → SG-12
BTL Kolom
Pada titik
Panel SG–46 2096 963
pembebanan ke-
SG–47 2074 1003
448 :
Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2 → Drift Tr-1
y = 0.002371 = 2371 × 10-6 = 17.19 mm
Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2 = 0.7253%
y = 0.002029 = 2029 × 10-6

Tabel 5.5 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 4

Tempat Strain-gauge × No. Titik


Pembebanan
SG–19 2406 873
SG–20 2387 764
SG–27 2428 544
BTU Balok SG–28 2415 641
SG–32 2440 857
SG–33 2384 857
SG–40 2443 764
SG–41 2438 873
SG–6 2425 965
SG–7 3152 1215
BTU Kolom
SG–9 2446 1084
Panel
SG–10 2373 763
SG–14 2424 1024
BTU Balok SG–11 2425 448 Awal leleh terjadi
Panel pada Balok Panel
SG–46 2058 982 → SG-11
SG–48 2159 980 Pada titik
BTL Kolom SG–50 2151 981 pembebanan ke-
Panel SG–51 2062 673 448 :
SG–52 2205 1085 → Drift Tr-1
SG–56 2118 1202
= 17.49 mm
Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2
= 0.7380%
y = 0.002371 = 2371 × 10-6
Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2
y = 0.002029 = 2029 × 10-6

102  Bab 5
Tabel 5.6 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 5

Tempat Strain-gauge × No. Titik


Pembebanan
SG–19 2490 1213
SG–20 2377 872
SG–28 2397 857
BTU Balok SG–29 2511 640
SG–30 2390 1085
SG–31 2379 1201
SG–35 2406 1213
SG–36 2373 765
BTU Kolom SG–7 2373 1001
Panel
BTU Balok SG–11 2390 656
Panel SG–12 2395 447 Awal leleh terjadi
SG–42 2202 905 pada Balok Panel
SG–43 2073 1038 → SG-12
BTL Kolom Pada titik
Panel SG–44 2112 1231
pembebanan ke-
SG–47 2127 1084 447 :
Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2 → Drift Tr-1
y = 0.002371 = 2371 × 10-6 = 14.89 mm
Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2 = 0.7253%
y = 0.002029 = 2029 × 10-6

Grafik bilinier juga bisa diperoleh dengan memakai secara langsung data drift dan
beban sebagai yang didapatkan dari data eksperimental pengujian siklik sebagai koordinat
titik Y dan U. Illustrasi dan nilai-nilai daktilitas serta faktor kuat lebih yang didapatkannya
disampaikan pada Gambar 5.24, 5.25, 5.26, 5.27 dan 5.28. Ringkasan hasil perhitungan
daktilitas dan faktor kuat lebih untuk kelima SBK akan disampaikan pada Tabel 5.7,
bersama-sama dengan besaran-besaran kinerja yang lainnya yang akan diuraikan pada
pasal-pasal berikut ini.

Daktilitas :
+ = 9.12
– = 7.91
rerata = 8.52

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.70
Ro– = 1.50
Ro-rerata = 1.60

Gambar 5.24 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 1 dan daktilitasnya

Bab 5 – 103
Daktilitas :
+ = 7.02
– = 6.72
rerata = 6.87

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.35
Ro– = 1.42
Ro-rerata = 1.39

Gambar 5.25 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 2 dan daktilitasnya

Daktilitas :
+ = 6.99
– = 6.80
rerata = 6.90

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.49
Ro– = 1.42
Ro-rerata = 1.46

Gambar 5.26 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 3 dan daktilitasnya

Daktilitas :
+ = 6.88
– = 6.96
rerata = 6.92

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.48
Ro– = 1.57
Ro-rerata = 1.52

Gambar 5.27 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 4 dan daktilitasnya

104  Bab 5
Daktilitas :
+ = 7.00
– = 7.04
rerata = 7.02

Faktor kuat lebih :


Ro+ = 1.55
Ro– = 1.55
Ro-rerata = 1.55

Gambar 5.28 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 5 dan daktilitasnya

Di dalam hal desain seismik struktur dikenal faktor-faktor lain yang terkait dengan
daktilitas. Yang pertama adalah yang disebut dengan redaman histeretik. Redaman histere-
tik adalah redaman struktur ekwivalen yang berasal dari energi yang dipencarkan selama
siklus-siklus respons inelastik, yang dirumuskan sebagai :

2    1
 hist  .............................................. (5-3)

atau :

 1 .............................................. (5-4)
 hist 
 
dan :
tot     hist .............................................. (5-5)

dimana : hist = redaman histeretik


 = komponen non-struktural dari redaman sistem
tot = redaman viscous total

Persamaan (5-3) diusulkan oleh Chopra & Goel, disebutkan lebih cocok digunakan pada
struktur baja (Chopra, dkk., 2001). Sedangkan untuk struktur beton lebih sesuai dipakai
persamaan (5-4) sebagai yang diperkenalkan oleh Priestley (Priestley, dkk., 2000).
Suatu faktor dimasukkan untuk memperhitungkan reduksi respons struktur rencana
Sv terhadap gempa, yaitu yang disebut dengan R̂  faktor modifikasi respons seismik :

3.38  0.67 ln tot


Rˆ  ....................................... (5-6)
2.30

Bab 5 – 105
Dengan tot dinyatakan dalam %, faktor ini dipakai untuk mereduksi respons gempa di
dalam desain sehingga struktur tidak perlu memikul beban gempa secara penuh, melainkan
hanya sebagiannya saja. Illustrasinya diperlihatkan pada Gambar 5.29 di bawah ini.

100.00
Pseudo-Velocity, Sv ( cm/s )

10.00

Sv

Rˆ  Sv
1.00

0.10
0.01 0.10 1.00 10.00
Elastic response spectrum Period, T ( seconds )
Reduced response spectrum

Gambar 5.29 : Reduksi beban gempa Sv pada proses desain struktur

5.5 Kapasitas Pemencaran Energi SBK

Pada struktur yang mengalami gerakan tanah, hukum kekekalan energi akan meng-
ubah energi input menjadi energi elastik dan energi lain yang hilang terpencarkan (dissi-
pated). Pada awalnya, semua energi diubah menjadi energi elastik, baik dalam bentuk
energi kinetik atau deformasi elastik lainnya yang bersifat non-permanen. Tetapi ketika
terjadi peningkatan energi input, bagian utama dari energi didissipasikan oleh energi histe-
resis dan sisanya akan didissipasikan oleh redaman intrinsik dari struktur.
Pada struktur rangka, energi histeresis muncul ketika tegangan-tegangan yang di-
timbulkan oleh gempa bumi pada elemen-elemen struktur melampaui batas-batas perilaku
elastik dari bahannya, dan karena itu struktur bergeser ke wilayah perilaku inelastik-nya.
Hal ini bisa berlangsung asalkan struktur memiliki daktilitas yang cukup. Sejak saat itu,
energi yang disebabkan oleh gempa hanya akan menghasilkan deformasi inelastik dan ke-

106  Bab 5
rusakan. Hal ini terwujud ke dalam fenomena seperti retak pada beton, pelelehan pada baja,
dan pembentukan sendi plastik pada elemen struktur.
Dengan grafik histeretik beban – perpindahan, energi pada siklus ke-i akan dapat
di-evaluasi dengan menghitung luasan daerah yang dibatasi oleh lintasan-lintasan respons
siklusnya. Sebagai yang diperlihatkan pada Gambar 5.30, energi pada pembebanan siklus
ke-i dinyatakan dengan luasan daerah yang diarsir berwarna gelap. Kapasitas energi pada
SBK Tipe 1, 2, 3, 4 dan 5 disajikan pada Gambar 5.31 sampai dengan 5.35. Sedangkan per-
bandingan energi antara kelima SBK diperlihatkan pada Gambar 5.36. Gambar ini disaji-
kan dengan sumbu horizontal maupun vertikal yang terpotong (tidak dimulai dari nol)
untuk bisa diperlihatkan lebih jelas perbedaan antara kelima grafiknya. Besarnya kapasitas
energi SBK sampai pada akhir pembebanan diurutkan dari yang tertinggi sampai yang
terendah adalah Tipe 1 (177.33 kJ), Tipe 4 (164.27 kJ), Tipe 2 (163.82 kJ), Tipe 5 (161.71
kJ) dan Tipe 3 (155.11 kJ). Dari sini dapat disimpulkan bahwa penjangkaran sambungan
berbentuk U menampilkan kapasitas energi yang lebih besar daripada bentuk L, dan pem-
berian batang tulangan pengunci telah ikut meningkatkan kapasitas energi itu.

Beban, P
Siklus ke - i
Pi+

Energi
-
i

+
i
Perpindahan,

Pi-

Gambar 5.30 : Grafik respons histeretik beban vs. perpindahan struktur

Gambar 5.31 : Grafik kumulatif SBK Tipe 1 pada akhir setiap siklus

Bab 5 – 107
Gambar 5.32 : Grafik kumulatif SBK Tipe 2 pada akhir setiap siklus

Gambar 5.33 : Grafik kumulatif SBK Tipe 3 pada akhir setiap siklus

Gambar 5.34 : Grafik kumulatif SBK Tipe 4 pada akhir setiap siklus

108  Bab 5
Gambar 5.35 : Grafik kumulatif SBK Tipe 5 pada akhir setiap siklus

Gambar 5.36 : Perbandingan energi kumulatif SBK Tipe 1 s/d. 5 dengan sumbu dipotong

5.6 Daktilitas Kumulatif SBK

Nilai daktilitas kumulatif diperoleh dengan melihat keseluruhan riwayat respons


struktur terhadap beban siklik. Daktilitas kumulatif siklik ini s dihitung dari perbandingan
antara energi histeretik total, Et , dengan energi pada saat awal leleh, Ey :
Etot
s  ................................................. (5-7)
Ey

Nilai daktilitas kumulatif ini muncul sejak siklus pembebanan terjadinya awal pelelehan
struktur. Grafik daktilitas kumulatif untuk kelima SBK disampaikan pada Gambar 5.37
sampai dengan 5.41. Perbandingannya disajikan pada Gambar 5.42.

Bab 5 – 109
Gambar 5.37 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 1 pada akhir setiap siklus

Gambar 5.38 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 2 pada akhir setiap siklus

Gambar 5.39 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 3 pada akhir setiap siklus

110  Bab 5
Gambar 5.40 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 4 pada akhir setiap siklus

Gambar 5.41 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 5 pada akhir setiap siklus

Gambar 5.42 : Perbandingan daktilitas kumulatif SBK Tipe 1 s/d. 5 dengan sumbu dipotong

Bab 5 – 111
5.7 Perbandingan Kinerja SBK

Pada Tabel 5.7 berikut ini disampaikan ringkasan hasil perhitungan daktilitas  dan
faktor kuat lebih Ro untuk kelima SBK, bersama-sama dengan besaran-besaran kinerja yang
lainnya. Untuk daktilitas dan faktor kuat lebih, hanya nilai-nilai yang dihitung berdasarkan
grafik bilinier yang memakai informasi awal leleh dan beban ultimate langsung dari data
eksperimental yang dipakai. Sedangkan nilai-nilai yang didapatkan dari perhitungan ber-
dasarkan grafik bilinier dengan pendekatan pushover tidak ditampilkan di sini karena mem-
berikan gambaran yang berbeda pada pembentukan titik awal leleh Y, sehingga dari hasil
perhitungan  dan Ro yang diperolehnya dapat mengarah pada pembentukan kesimpulan
terjadinya kecenderungan yang tak konsisten.

Tabel 5.7 : Perbandingan kinerja SBK Tipe 1 sampai dengan 5


SBK Tipe SBK Tipe SBK Tipe SBK Tipe SBK Tipe
Parameter Kinerja
1 2 3 4 5
Daktilitas monotonik,  8.52 6.87 6.90 6.92 7.02
Faktor kuat lebih, Ro 1.60 1.39 1.46 1.52 1.55
Redaman histeretik ekwivalen, hyst 0.2093 0.1969 0.1971 0.1964 0.1967
Faktor mod. respons seismik, R̂ *)1 0.5213 0.5355 0.5353 0.5361 0.5358
Kekuatan pada drift = 5% ( ton ) * )2
18.83 16.31 14.53 17.44 14.79
Kapasitas dissipasi energi ( kJ ) 177.3278 163.8221 155.1076 164.2725 161.7092
Daktilitas kumulatif siklik, s 17.5159 16.7502 17.4906 17.1718 18.1508

*)1 – Berdasarkan redaman struktur  = 5%


*)2 – Dihitung berdasarkan pembebanan (+)

Dari Tabel 5.7 di atas dapat dilihat bahwa daktilitas monotonik  lebih tinggi di-
peroleh pada sambungan dengan tulangan penjangkaran berbentuk L dibandingkan dengan
penjangkaran berbentuk U. Dengan pemberian tulangan pengunci, daktilitas SBK telah
mengalami peningkatan sedikit. Urut-urutannya dari yang tertinggi sampai terendah adalah
Tipe 1 (8.52), Tipe 5 (7.02), Tipe 4 (6.92), Tipe 3 (6.90) dan Tipe 2 (6.87).
Sama halnya dengan pada daktilitas, nilai faktor overstrength yang lebih tinggi
ternyata didapatkan pada sambungan dengan tulangan penjangkaran berbentuk L daripada
yang berbentuk U. Sekali lagi, pemberian tulangan pengunci ternyata telah meningkatkan
nilai faktor kuat lebih ini. Urut-urutannya dari yang tertinggi sampai terendah adalah Tipe
1 (1.60), Tipe 5 (1.55), Tipe 4 (1.52), Tipe 3 (1.46), dan Tipe 2 (1.39).
Berbeda dengan faktor kuat lebih di atas, nilai kekuatan ternyata didapatkan lebih
tinggi pada sambungan dengan tulangan jangkar berbentuk U daripada yang berbentuk L.
Urut-urutan kekuatan SBK dari yang tertinggi sampai ke yang terendah adalah SBK Tipe
1, 4, 2, 5 dan 3. Bila kekuatan dinyatakan sebagai beban pada drift (+) 5%, maka urut-

112  Bab 5
urutannya sebagai terlihat pada Tabel 5.7 di atas adalah Tipe 1 (18.83 ton), Tipe 4 (17.44
ton), Tipe 2 (16.31 ton), Tipe 5 (14.79 ton), dan Tipe 3 (14.53 ton).
Sama halnya dengan kekuatan, kapasitas energi ternyata juga diperoleh lebih tinggi
pada sambungan dengan tulangan jangkar berbentuk U daripada yang berbentuk L. Urut-
urutan SBK dengan nilai energi dari yang tertinggi sampai ke yang terendah adalah SBK
Tipe 1 (177.3278 kJ), Tipe 4 (164.2725 kJ), Tipe 2 (163.8221 kJ), Tipe 5 (161.7092 kJ),
dan Tipe 3 (155.1076 kJ).
Grafik daktilitas kumulatif untuk kelima SBK disampaikan pada Gambar 5.42.
Sama seperti pada Gambar 5.36, Gambar 5.42 juga ditampilkan dengan sumbu-sumbu hori-
zontal dan vertikal yang tidak dimulai dari nol. Karena grafik daktilitas kumulatif untuk
kelima SBK hampir berhimpit pada bagian awalnya, maka akan sulit dibedakan satu ter-
hadap yang lainnya. Karena itu maka grafik diperlihatkan hanya pada bagian akhir pem-
bebanannya, sehingga akan dapat dilihat lebih jelas perbedaannya. Nilai daktilitas kumu-
latif, diperiksa pada akhir pembebanan, diurutkan mulai dari yang tertinggi sampai yang
terendah adalah SBK Tipe 5 (18.15), Tipe 1 (17.52), Tipe 3 (17.49), Tipe 4 (17.17), dan
Tipe 2 (16.75). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sambungan balok dengan
tulangan penjangkaran berbentuk L lebih daktail daripada yang berbentuk U, sedangkan
pemberian batang tulangan pengunci telah ikut meningkatkan nilai daktilitas SBK.
Untuk parameter-parameter daktilitas monotonik, faktor kuat lebih, kekuatan dan
kapasitas dissipasi energi, kinerja dari semua SBK pracetak tidak lebih tinggi daripada SBK
monolitik (Tipe 1), yang di dalam hal ini bertindak sebagai emulator (pembanding)-nya.
Terkecuali untuk parameter kinerja daktilitas kumulatif, dimana SBK Tipe 5 mencapai nilai
yang lebih tinggi daripada SBK Tipe 1.

5.8 Kapasitas Drift


Kapasitas drift adalah drift (perpindahan lateral atau pergoyangan) tertinggi yang
dapat dicapai sebelum terjadinya keruntuhan struktur. Besaran ini didapatkan nilainya dari
grafik beban – perpindahan yang berasal dari uji pembebanan monotonik atau kwasi-statik.
Menurut pengertian para ahli mekanika struktur, definisi yang tepat dari kapasitas drift sulit
untuk dijelaskan, tetapi biasanya ditetapkan sebagai nilai perpindahan pada saat terjadinya
kehilangan kekuatan sebesar 20% atau lebih sesudah beban lateral puncaknya tercapai.
Walaupun hal ini agak bersifat subyektif, bagaimanapun juga kriteria ini telah diterima dan
dipakai oleh sebagian besar peneliti di dalam bidang ini (Salmanpour, dkk., 2013).
Dari grafik backbone sebagai disajikan pada Gambar 5.18, terlihat bahwa tidak ada
satupun dari kelima SBK yang mengalami kehilangan kekuatan sampai sebesar 20%.

Bab 5 – 113
Dengan pengamatan yang agak teliti, kondisi yang paling buruk terdapat pada SBK Tipe
2. SBK ini telah mengalami kehilangan kekuatan dari 17.60 ton (pada drift = 1.67%) men-
jadi 15.12 ton (pada drift = 3.40%), sehingga terjadi pengurangan kekuatan sekitar 14%.
Dengan demikian disimpulkan, bahwa batas perpindahan maksimal yang diperoleh dari
pengujian sebesar 5% dapat dianggap sebagai kapasitas drift untuk kelima SBK. Baik juga
dikatakan di sini, bahwa data pengujian yang telah dilakukan pada kelima SBK dibatasi
pada perpindahan lateral = 5% itu semata-mata disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
mesin pengujinya. Dengan memperhatikan grafik backbone tersebut yang masih cenderung
terus meniti lintasannya yang mendaki, mestinya masih mungkin untuk melanjutkan peng-
ujian kelima SBK dengan drift yang lebih besar lagi, 5%, 6%, 7% atau lebih tinggi lagi.

5.9 Evaluasi Kinerja SBK menurut ACI 374.1-05

Di dalam pembukaannya, ACI 374.1-05 menyebutkan, bahwa regulasi tersebut


disusun dalam rangka menjabarkan ketentuan Pasal 21.2.1.5 ACI 318-99, yaitu yang
berbunyi “suatu sistem struktur yang tidak memenuhi persyaratan dari bab ini (Bab 21)
akan bisa diijinkan untuk dipakai bila dapat dibuktikan secara eksperimental dan analisis
bahwa sistem yang diusulkan tersebut memiliki kekuatan dan ketangguhan yang sama atau
melampaui nilai-nilai yang dapat disediakan oleh struktur beton bertulang yang sebanding
dengannya dan yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang disebutkan di dalam bab ini”.
Standar ini menentukan persyaratan minimum tentang bukti-bukti eksperimental yang
harus tersedia, bila struktur dimaksudkan untuk dipakai di daerah beresiko kegempaan yang
tinggi atau struktur yang memenuhi syarat kategori desain kinerja ketahanan gempa yang
tinggi, dari suatu SRPM yang di-desain berdasarkan pada azas kolom kuat – balok lemah
yang tidak memenuhi persyaratan Bab 21 ACI 318-99 tersebut.
Kriteria kinerja berikut ini harus dimiliki oleh masing-masing modul (spesimen)
dari program uji, dan bukan merupakan hasil rata-rata dari keseluruhan program. Butir-
butir kinerja itu disebutkan di dalam Pasal 9.1 ACI 374.1-05. Suatu modul uji dikatakan
berkinerja memuaskan bila dapat memenuhi ketiga syarat (acceptance criteria) berikut ini
secara keseluruhannya. Syarat-syarat itu adalah :
1). Suatu modul uji haruslah dapat mencapai ketahanan terhadap beban lateral yang sama
atau lebih besar daripada En sebelum terlampauinya batas drift yang diijinkan, sebagai
yang ditetapkan oleh peraturan bangunan (building code).
2). Nilai maksimum dari ketahanan lateral Emaks yang terekam dari hasil pengujian tidak
boleh melampaui En, dimana  adalah nilai faktor kuat lebih (overstrength) kolom
dari modul uji.

114  Bab 5
3). Untuk siklus-siklus pada nilai batas drift yang ditetapkan, tetapi tidak kurang dari
3.50%, karakteristik dari siklus lengkap yang ke-3 harus memenuhi persyaratan
sebagai ditentukan berikut ini :
a). Gaya puncak pada arah pembebanan yang diberikan tidak boleh kurang dari
0.75Emaks ,
b). Kemampuan dissipasi energi relatif tidak boleh kurang dari 1/8 dari energi
idealnya, dan –
c). Kekakuan sekan (secant stiffness) pada drift –0.35% dan 0.35% tidak boleh kurang
dari 0.05 kekakuan awal K0 .

Dari kriteria kinerja di atas, butir ke-1 merujuk pada syarat kekakuan awal struktur.
Butir ke-2 merefleksikan syarat kekuatan awal, dimana pada struktur SBK terjadi meka-
nisme kolom kuat – balok lemah. Fenomena deteriorasi kekuatan ditampung dan diatur
pada butir ke-3(a), sedangkan butir ke- 3(b) mengatur masalah dissipasi energi. Akhirnya,
butir ke-3(c) memberikan batasan-batasan pada gejala degradasi kekakuan agar pada akhir
suatu kejadian gempa, struktur masih memiliki sisa kekakuan yang cukup untuk memikul
beban-beban gravitasi, sehingga terhindar dari bahaya keruntuhan secara total. Illustrasi
butir-butir 1, 2 dan 3(a) di atas disampaikan pada Gambar 5.43 terlihat di bawah ini.

Lateral force
or Moment
 En
Emax
En
0.75 Emax

B A Drift ratio
0.035
Drift for limiting
stiffness of building code

Gambar 5.43 : Illustrasi grafik histeretik ACI 374.1-05 untuk butir-butir


1, 2 dan 3(a) dari Pasal 9.1

Pemeriksaan acceptance criteria menurut ACI 374.1-05 tersebut pada kelima SBK dengan
menggunakan data grafik respons histeretik eksperimental diuraikan pada Lampiran D, dan
ringkasan hasilnya disampaikan pada Tabel 5.8 di halaman berikut ini.

Bab 5 – 115
Bab 5 – 116

Tabel 5.8 : Ringkasan hasil pemeriksaan kinerja SBK Tipe 1 sampai dengan 5 menurut ACI 374.1-05.

Parameter yang diperiksa SBK Tipe 1 SBK Tipe 2 SBK Tipe 3 SBK Tipe 4 SBK Tipe 5
Kekuatan spesimen, En (ton) +16.00 -16.00 +11.88 -11.88 +11.78 -11.78 +11.88 -11.88 +11.78 -11.78
Beban lateral pada drift 0.30% (ton) +8.20 -7.00 +7.22 -6.51 +6.23 -6.57 +6.74 -5.72 +7.26 -6.82
Butir 1 : Kekuatan En harus tercapai lebih dulu sebelum Tidak O.K. Tidak O.K. Tidak O.K. Tidak O.K. Tidak O.K.
tercapainya batas drift ijin
Beban lateral maksimum, Emaks (ton) +17.50 -16.51 +17.60 -16.45 +13.17 -12.67 +15.85 -15.42 +13.07 -12.84
 En (ton) +21.42 -21.42 +18.59 -18.59 +24.55 -24.55 +18.59 -18.59 +24.55 -24.55
Butir 2 : Beban lateral maks. yang terekam tidak boleh O.K. O.K. O.K. O.K. O.K.
melampaui En
Beban puncak pada siklus ke-3 dari drift 3.50% (ton) +15.02 -13.63 +13.64 -12.74 +10.92 -11.18 +13.00 -12.97 +10.88 -11.41
0.75 Emaks (ton) +13.12 -12.38 +13.20 -12.34 +9.88 -9.50 +11.89 -11.57 +9.80 -9.63
Butir 3(a) : Beban puncak pada arah beban yang diberikan O.K. O.K. O.K. O.K. O.K.
tidak boleh kurang dari Emaks
Kapasitas energi dissipasi siklus ke-3 dari drift 3.50% ( kJ ) 9.128989 7.683927 8.091619 8.803615 7.933996
Kapasitas energi ideal dari siklus ke-3 drift 3.50% ( kJ ) 54.164324 48.124389 42.039696 50.873889 42.153581
Perbandingan energi ter-dissipasi siklus ke-3 dari drift 0.1685 0.1596 0.1925 0.1730 0.1882
3.50% terhadap energi ideal
Butir 3(b) : Kapasitas dissipasi energi pada siklus terakhir
dari drift 3.50% tidak boleh kurang dari 0.125 O.K. O.K. O.K. O.K. O.K.
dari kapasitas energi ideal-nya
Kekakuan awal, K0 dan K0’ (ton/m) 1663.31 1175.73 1205.47 1037.65 1170.30 1231.44 1283.84 1152.83 2798.31 1205.47
Kekakuan sekan dari siklus ke-3 drift 3.50%, K0.035 dan 31.85 23.73 20.36 16.56 13.10 16.88 18.83 10.37 13.01 12.35
K0.035’ (ton/m)
Perbandingan : K0.035 /K0 dan K0.035’/K0’ 0.0191 0.0202 0.0169 0.0160 0.0112 0.0137 0.0147 0.0090 0.0047 0.0102
Butir 3(c) : Kekakuan sekan pada drift –0.35% dan 0.35% Tidak O.K. Tidak O.K. Tidak O.K. Tidak O.K. Tidak O.K.
tidak boleh kurang dari 0.05 kekakuan awal K0
Dari kelima butir persyaratan yang ditetapkan oleh Pasal 9.1 ACI 374.1-05, dua di
antaranya tidak dapat dipenuhi oleh kelima SBK uji. Butir nomor 1, yaitu syarat kekakuan
awal struktur, tidak dapat dipenuhi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya
tulangan transversal yang dipasang di sekitar sendi plastik, khususnya di daerah panel sam-
bungan. Pada daerah ini seharusnya dipasang tulangan transversal sesuai dengan kebutuhan
yang disebutkan pada Bab 21 ACI 318-11, sebagai yang telah disarikan ke dalam Gambar
2.11 buku ini. Tetapi pada saat simulasi penyiapan/pembuatan spesimen uji di dalam
rangkaian riset ini, yaitu pada saat pemasangan tulangan-tulangan jangkar di panel sam-
bungan SBK komposit, telah dijumpai kesulitan dalam menyisipkan tulangan-tulangan
ikatan silang (cross-tie) padanya. Hal inilah yang menyebabkan tulangan transversal tidak
bisa dipenuhi sesuai dengan kebutuhan menurut peraturan. Karenanya, maka tulangan
transversal pada panel sambungan hanya bisa terpasang sebesar 47% dari kebutuhannya
(lihat Lampiran – B).
Butir nomor 2 bersangkut-paut dengan syarat desain strong column – weak beam,
yang ternyata dapat dipenuhi oleh kelima SBK. Sedangkan butir nomor 3(a) berkaitan
dengan batasan deteriorasi kekuatan, yang hal inipun dapat dipenuhi oleh kelima SBK. Dan
butir nomor 3(b) yang menetapkan batasan pada kapasitas energi pada drift = 3.50%, yang
dianggap mewakili kondisi residual paska gempa, dimana hal ini juga telah dapat dipenuhi.
Butir nomor 3(c), yang lagi-lagi berhubungan dengan masalah kekakuan (stiffness),
juga tidak dapat dipenuhi. Penyebabnya adalah sama dengan yang telah disebutkan pada
paragraf pertama di atas, yaitu kurangnya tulangan transversal di daerah sekitar sendi
plastik. Kekurangan tulangan transversal ini telah mengakibatkan grafik respons histeretik
menjadi sangat pipih, sehingga menghasilkan kekakuan yang rendah dan kapasitas energi
yang kecil. Beberapa publikasi hasil riset menunjukkan, bahwa pada SBK dengan tulangan
transversal yang kurang di daerah sekitar sendi plastik telah terjadi retak-retak yang banyak
/parah di daerah panel sambungan. Disamping itu, darinya juga akan dihasilkan grafik
respons histeretik yang sangat pipih (Beres, dkk., 1991), (Beres, dkk., 1992), (Lehman,
dkk., 2004), (Hwang, dkk., 2005), (Li, dkk., 2009), dan (Fernandes, dkk., 2013).
Dipakainya material beton grout pada daerah sambungan mungkin juga telah ikut
memperburuk keadaan, karena dapat dilihat bahwa grafik respons histeretik SBK Tipe 2,
3, 4 dan 5 lebih pipih daripada SBK Tipe 1. Sedangkan langkah pemakaian campuran beton
grout pada sambungan terpaksa harus diambil akibat pelaksanaan pembuatan spesimen di
laboratorium yang semula direncanakan dengan cara pengecoran beton dalam keadaan
kolom berdiri tidak bisa dilakukan. Akibatnya beton sambungan pada kedua ujung balok
yang semula direncanakan menyatu dengan daerah panel (kolom) tidak dapat terwujudkan

Bab 5 – 117
(lihat Gambar 4.15 dan 4.16 di depan). Dengan maksud agar diperoleh beton sambungan
yang padat dan tidak berongga, maka dipilihlah campuran grout untuk diisikan pada badan
sambungan.

5.10 Perbandingan Kinerja SBK yang Dihasilkan Riset ini dengan Beberapa
SBK yang Sudah Dikenal
Untuk melengkapi gambaran tentang karakteristik dari SBK yang telah dihasilkan
ini, memang perlu untuk dilakukan perbandingan antara kinerja non-dimensional yang di-
perolehnya dengan yang dimiliki oleh beberapa SBK unggulan yang telah dikenal. Dari
studi pustaka yang telah dilakukan pada Bab 2 buku disertasi ini disebutkan 12 (dua belas)
jenis SBK pracetak komposit yang telah dihasilkan dari beberapa riset yang telah dilakukan
oleh para peneliti di dunia. Pada dua belas SBK itu telah dilakukan kajian-kajian pada sisi
constructability-nya, dan hasilnya disampaikan di Lampiran – A buku ini.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 5.44 : Grafik histeretik 6 jenis SBK yang didapatkan dari penelusuran internet.
(a) SBK DDC oleh Englekirk
(b) SBK Pretensioned dari PRESSS
(c) SBK TCY dari PRESSS
(d) SBK TCY dengan Gap dari PRESSS
(e) SBK Hibrida dari PRESSS
(f) SBK CIP-B dari Ertas dkk.

Untuk bisa melakukan kajian karakteristik kinerja yang sepadan dengan riset ini,
diperlukanlah data numerik riwayat pengujian siklik yang asli. Sayangnya, dari penelusur-
an data secara internet yang dilakukan, Penulis hanya berhasil mendapatkan informasi yang

118  Bab 5
berupa gambar grafik histeretik dari 6 (enam) jenis SBK saja. Pada Gambar 5.44 di atas di-
sampaikan grafik histeretik dari keenam SBK tersebut. Dari gambar-gambar dengan reso-
lusi rendah tersebut kemudian dilakukan digitisasi. Di atas grafik digitisasi itu kemudian
di-overlay-kan kurva selongsong monotoniknya (backbone). Kemudian pada kurva back-
bone itu ditentukan letak titik-titik Y dan U, sehingga kemudian bisa dilakukan evaluasi
daktilitas dan faktor overstrength-nya. Di dalam menentukan titik-titik Y dan U tersebut
dipakai pedoman yang secara ringkas disampaikan menurut Gambar 5.45 di bawah ini
(Park, 1989). Nilai daktilitas kumulatif monotonik m dihitung dari nilai energi monotonik
dibagi dengan Py dan y. Digitisasi grafik histeretik dari keenam SBK berikut kurva back-
bone dan perhitungan daktilitas, faktor kuat lebih, serta daktilitas kumulatifnya disampai-
kan pada Gambar 5.46 sampai dengan 5.51. Hasil perhitungan daktilitas, faktor over-
strength dan daktilitas kumulatif dari keenam SBK disarikan ke dalam Tabel 5.9.

(a) (b)
Gambar 5.45 : Cara menentukan titik-titik Y dan U dari suatu grafik beban - perpindahan
(a) Menentukan titik awal leleh Y
(b) Menentukan titik pembebanan batas U

Daktilitas :
+ = 3.82
– = 4.51
rerata = 4.17
Faktor kuat lebih :
Ro+ = 1.33
Ro– = 1.33
Ro-rerata = 1.33
Dakt. kum. monotonik :
m+ = 4.09
m– = 4.98
m-rerata = 4.54

Gambar 5.46 : Grafik histeretik SBK DDC dan perhitungan daktilitasnya

Bab 5 – 119
Daktilitas :
+ = 3.80
– = 4.11
rerata = 3.95
Faktor kuat lebih :
Ro+ = 1.33
Ro– = 1.33
Ro-rerata = 1.33
Dakt. kum. monotonik :
m+ = 4.24
m– = 4.53
m-rerata = 4.39

Gambar 5.47 : Grafik histeretik SBK Pretensioned dan perhitungan daktilitasnya

Daktilitas :
+ = 5.86
– = 5.79
rerata = 5.82
Faktor kuat lebih :
Ro+ = 1.33
Ro– = 1.33
Ro-rerata = 1.33
Dakt. kum. monotonik :
m+ = 6.66
m– = 6.54
m-rerata = 6.60

Gambar 5.48 : Grafik histeretik SBK TCY dan perhitungan daktilitasnya

Daktilitas :
+ = 2.30
– = 2.26
rerata = 2.28
Faktor kuat lebih :
Ro+ = 1.33
Ro– = 1.33
Ro-rerata = 1.33
Dakt. kum. monotonik :
m+ = 2.18
m– = 2.12
m-rerata = 2.15

Gambar 5.49 : Grafik histeretik SBK TCY dengan Gap dan perhitungan daktilitasnya

120  Bab 5
Daktilitas :
+ = 5.46
– = 4.14
rerata = 4.80
Faktor kuat lebih :
Ro+ = 1.33
Ro– = 1.33
Ro-rerata = 1.33
Dakt. kum. monotonik :
m+ = 6.24
m– = 4.65
m-rerata = 5.45

Gambar 5.50 : Grafik histeretik SBK Hibrida dan perhitungan daktilitasnya

Daktilitas :
+ = 4.54
– = 6.00
rerata = 5.27
Faktor kuat lebih :
Ro+ = 1.33
Ro– = 1.33
Ro-rerata = 1.33
Dakt. kum. monotonik :
m+ = 4.97
m– = 6.92
m-rerata = 5.95

Gambar 5.51 : Grafik histeretik SBK CIP-B dan perhitungan daktilitasnya

Tabel 5.9 : Perbandingan kinerja 6 SBK unggulan dunia yang sudah dikenal
SBK SBK TCY SBK CIP-B
Parameter Kinerja SBK DDC
Pretensioned
SBK TCY
dgn. Gap
SBK Hibrida
Ertas
Daktilitas monotonik,  4.17 3.95 5.82 2.28 4.80 5.26
Faktor kuat lebih, Ro 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33
Daktilitas kumulatif monotonik, m 4.54 4.39 6.60 2.15 5.45 5.95

Tabel 5.10 : Perbandingan kinerja SBK Tipe 1 sampai dengan 5 dari riset ini
SBK Tipe SBK Tipe SBK Tipe SBK Tipe SBK Tipe
Parameter Kinerja
1 2 3 4 5
Daktilitas monotonik,  8.52 6.87 6.90 6.92 7.02
Faktor kuat lebih, Ro 1.60 1.39 1.46 1.52 1.55
Daktilitas kumulatif monotonik, m 11.83 8.38 8.15 8.49 8.96

Bab 5 – 121
Pada Tabel 5.10 disampaikan ringkasan nilai-nilai daktilitas monotonik, faktor kuat
lebih, dan daktilitas kumulatif monotonik dari SBK Tipe 1 sampai dengan 5. Nilai-nilai
dari baris pertama dan ke-dua dari tabel tersebut adalah sama dengan baris pertama dan ke-
dua dari Tabel 5.7. Sedangkan untuk baris ke-tiga, nilainya dihitung dari energi monotonik
masing-masing SBK, yang diambilkan dari grafik backbone, dan kemudian dibagi dengan
Py dan y. Untuk grafik backbone bisa diambilkan data dari Gambar 5.18, sedangkan data
Py dan y dapat diambilkan dari Gambar 5.24 sampai dengan 5.28.
Dapat dilihat perbandingan nilai-nilai parameter kinerja dari SBK-SBK yang di-
hasilkan dari riset ini yang lebih baik daripada beberapa SBK unggulan yang sudah dikenal
dunia. Sebagai contoh, nilai terendah dari daktilitas monotonik riset ini, yaitu SBK Tipe 2
( = 6.87), masih lebih tinggi daripada SBK TCY ( = 5.82). Demikian juga, faktor over-
strength terendah dari riset ini, yaitu SBK Tipe 2 (Ro = 1.39), masih lebih baik daripada
SBK unggulan dunia yang rata-rata sebesar Ro = 1.33. Dan akhirnya, nilai daktilitas kumu-
latif monotonik terendah dari riset ini, yaitu SBK Tipe 3 (m = 8.15), masih lebih tinggi
daripada nilai tertinggi dari SBK unggulan dunia, yaitu SBK TCY ( m = 6.60). Dengan
demikian disimpulkan kelebihan-kelebihan kinerja SBK yang dihasilkan dari riset ini ter-
hadap beberapa SBK unggulan yang sudah dikenal dunia.

122  Bab 5
BAB 6
KESIMPULAN & CATATAN AKHIR

6.1 Kesimpulan

Dengan maksud untuk mendapatkan aspek kemudahan kerja di dalam konstruksi


(constructability), maka telah diusulkan jenis baru sambungan balok-ke-kolom (SBK) cor
setempat beton bertulang. SBK tersebut digunakan untuk menyambungkan ujung-ujung
balok beton bertulang pracetak ke kolom beton bertulang yang dilaksanakan secara basah
(wet method). Batang-batang bawah tulangan longitudinal pada kedua ujung balok dibeng-
kokkan dengan sudut 90o untuk membentuk penjangkaran yang berupa kait – L atau – U
yang akan dipertemukan dengan tulangan penjangkaran yang serupa yang ditanamkan di
dalam kolom. Kedua tulangan jangkar itu akan dipertemukan secara berselang-seling di
dalam badan sambungan yang diletakkan di luar kolom. Badan sambungan, yang bisa di-
buat dari campuran beton normal atau grout, ditentukan panjangnya sama dengan tinggi
manfaat balok. Di dalam badan sambungan bisa juga disisipkan batang-batang tulangan
pengunci, tetapi tidak diharuskan. Batang-batang atas tulangan longitudinal balok disisip-
kan sesaat sebelum dilakukan pengecoran sambungan dan beton overtopping. Untuk me-
lengkapi aspek kemudahan kerja tersebut, ditetapkan pula pemasangan tulangan transversal
kolom di sekitar sendi plastik yang lebih ringan daripada kebutuhan berdasarkan peraturan
bangunan. Keringanan di sini bukan berarti pembebasan sama sekali darinya, melainkan
tulangan transversal berupa sengkang-sengkang tertutup dengan kait-kait seismik tetap
harus dipasang dengan spasi yang sudah ditentukan peraturan (= 10 cm). Adapun tulangan-
tulangan ikat (cross-tie) bisa dikurangi atau tidak dipasang bila dianggap menyulitkan.
4 (empat) spesimen SBK pracetak komposit telah dibuat dengan memakai tulangan
penjangkaran yang dibengkokkan 90o membentuk – L dan – U seperti diuraikan di atas,
bersama-sama dengan spesimen serupa yang dikerjakan secara monolitik, yang akan diper-
gunakan sebagai emulator (pembanding). Dari pengujian dengan beban siklik telah di-
dapatkan beberapa informasi yang bisa disimpulkan sebagai kinerja SBK sebagai berikut :

1. Dibandingkan dengan SBK monolitik, SBK pracetak komposit menampilkan nilai


daktilitas, baik monotonik – kumulatif monotonik – maupun kumulatif siklik, yang
lebih rendah. Untuk daktilitas monotonik, kinerja yang lebih baik dihasilkan oleh SBK
dengan tulangan jangkar berbentuk – L dengan nilai yang 19% lebih rendah daripada
SBK monolitik, kemudian SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – U yang 20%
lebih rendah. Penambahan tulangan pengunci hanya meningkatkan nilai daktilitas

Bab 6 – 123
yang kecil, kurang dari 2%. Untuk daktilitas kumulatif siklik, kinerja yang lebih baik
juga ditunjukkan oleh SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – L dengan nilai yang
kurang dari 1% lebih rendah daripada SBK monolitik, kemudian SBK dengan tulang-
an jangkar berbentuk – U yang 4% lebih rendah daripadanya. Penambahan tulangan
pengunci juga telah meningkatkan nilai daktilitas yang kecil, kurang dari 4%. Untuk
daktilitas kumulatif monotonik, selisih itu agak besar, yaitu 31% dan 29% lebih rendah
daripada SBK monolitik, masing-masing untuk SBK dengan tulangan jangkar ber-
bentuk – L dan – U. Dan dengan penambahan tulangan pengunci, masing-masing telah
mengalami peningkatan daktilitas sebesar 10% dan 2%.

2. Dibandingkan dengan SBK monolitik, SBK pracetak komposit menunjukkan nilai


faktor overstrength yang lebih rendah. Kinerja yang lebih baik dihasilkan oleh SBK
dengan tulangan jangkar berbentuk – L dengan nilai yang 9% lebih rendah daripada
SBK monolitik, kemudian SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – U yang 13%
lebih rendah. Penambahan tulangan pengunci telah meningkatkan nilai overstrength
yang agak berarti, yaitu 6% untuk SBK dengan tulangan jangkar – L dan 9% untuk
tulangan jangkar – U.

3. SBK pracetak komposit juga menampilkan nilai kekuatan yang lebih rendah bila di-
bandingkan dengan SBK monolitik. Kekuatan yang lebih tinggi ditunjukkan oleh SBK
dengan tulangan jangkar berbentuk – U dengan nilai yang 13% lebih rendah daripada
SBK monolitik, kemudian SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – L yang 23%
lebih rendah. Penambahan tulangan pengunci telah meningkatkan nilai kekuatan yang
agak jauh bedanya, yaitu 7% untuk SBK dengan tulangan jangkar – U dan 2% untuk
tulangan jangkar – L.

4. Sama dengan kekuatan, kapasitas energi juga menunjukkan kinerja yang lebih baik
terjadi pada SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – U daripada yang berbentuk –
L. Dibandingkan dengan SBK monolitik, SBK dengan jangkar – U menampilkan
kapasitas energi yang 7% lebih rendah, sedangkan SBK dengan jangkar – L me-
nunjukkan energi yang 12% lebih rendah. Dengan penambahan tulangan pengunci,
kapasitas energi telah meningkat dengan 1% dan 4% masing-masing untuk SBK
dengan tulangan jangkar – U dan – L.

5. Dengan keterbatasan akses yang dimiliki, data grafik histeretik dari 6 (enam) SBK
unggulan dunia telah berhasil didapatkan dengan pengunduhan dari internet. Dengan
data tersebut akan dilakukan perbandingan antara kelima SBK yang dihasilkan dari
riset ini dengan keenam SBK tersebut. Ternyata perbandingan yang dilakukan telah

124  Bab 6
menunjukkan butir-butir kinerja non-dimensional dari kelima SBK dari riset ini yang
lebih baik/tinggi daripada keenam SBK unggulan tersebut. Sebagai contoh, nilai
terendah dari daktilitas monotonik dari SBK riset ini, yaitu yang dihasilkan oleh SBK
Tipe 2 dengan  = 6.87, masih lebih tinggi dari nilai tertinggi dari keenam SBK ung-
gulan, yaitu SBK TCY dengan  = 5.82. Demikian pula, dari butir faktor overstrength,
nilai terendah dari SBK riset ini, yaitu SBK Tipe 2 dengan Ro = 1.39, masih lebih baik
daripada SBK unggulan yang rata-rata nilainya Ro = 1.33. Dan demikian pula halnya
dengan daktilitas kumulatif monotonik, dimana nilai terendah dari SBK riset ini, yaitu
SBK Tipe 3 dengan m = 8.15, masih lebih baik daripada nilai tertinggi dari SBK ung-
gulan, yaitu SBK TCY dengan m = 6.60.

6. SBK dengan penjangkaran berbentuk – L dan – U menunjukkan gejala degradasi


kekakuan yang sama dengan SBK monolith. Dalam hal kekuatan, keempat SBK me-
nampilkan kekuatan yang terus meningkat sampai dengan drift maksimum = 5%,
kecuali sedikit penurunan kekuatan pada daerah drift = 1.75% – 2.75%, yang sesudah-
nya kemudian meningkat lagi. Kecenderungan ini mengikuti perilaku yang serupa
dengan yang ditunjukkan oleh SBK monolith pembandingnya. Akan halnya drift
maksimum yang 5% itu bukanlah yang sebenarnya dicapai di dalam pengujian,
melainkan hanya merupakan angka yang berkaitan dengan keterbatasan kemampuan
mesin penguji. Tetapi nilai itupun sudah melampaui batasan yang ditentukan oleh per-
aturan bangunan yang hanya = 2% – 2.50%.

7. Data eksperimental hasil pengujian SBK dengan beban siklik kemudian di-validasi
dengan model analitik. Suatu program komputer yang merupakan manifestasi dari
model analitik tersebut telah dipakai untuk memprediksikan perilaku respons SBK
terhadap beban siklik. Dengan memperhatikan hasil perbandingan antara data analitik
dengan eksperimental, maka semua variabel yang ikut menentukan perilaku SBK akan
dapat diidentifikasi. Secara bersama-sama, parameter-parameter itu telah membangun
model konstitutif perilaku SBK sebagai yang telah didemonstrasikan pada Pasal 3.5
dan diringkaskan di dalam Tabel 5.1 buku laporan disertasi ini.

8. Semua data dan tata cara yang diterapkan di dalam desain spesimen SBK di dalam
riset ini bisa dipakai untuk merencanakan SBK untuk kebutuhan nyata di dalam
praktek. Demikian juga, semua variabel dan tata cara analisis yang dipakai di sini akan
bisa pula diterapkan untuk mengevaluasi dan memprediksi perilaku SRPM yang
menggunakan jenis SBK sebagai yang diusulkan di dalam riset ini.

Bab 6 – 125
9. Untuk menirukan kondisi yang ditimbulkan oleh gempa kuat, ACI 374.1-05 telah
menetapkan pola riwayat pembebanan siklik sebagai yang telah diterapkan di dalam
riset ini. Dengan pengujian yang dilakukan secara eksperimental, telah diperoleh data
respons SBK, baik yang berupa pembacaan transducer, strain-gauge, maupun peng-
amatan pada kerusakan yang terjadi padanya. Dari kelima SBK yang dibuat, ternyata
dihasilkan sebaran kerusakan yang masih banyak terkumpul di daerah kolom sam-
bungan, agak banyak di sambungan, dan sedikit di balok pracetaknya. Pada SBK Tipe
2 telah terbentuk celah (gap) antara sambungan dengan kolom, dan antara bagian
kolom yang memakai grout dengan yang menggunakan beton normal. Pada SBK Tipe
4 juga telah terbentuk retak diagonal yang cukup lebar melintang daerah panel/kolom
sambungan. Pada tahap-tahap akhir pembebanan, retak ini telah menyebabkan ter-
kelupasnya selimut beton pada kolom sambungan. Walaupun demikian, retak-retak
itu tidak sampai masuk menembus ke bagian dalam inti (core) betonnya.

10. Evaluasi kinerja SBK dengan ACI 374.1-05 telah menunjukkan tidak terpenuhinya
syarat-syarat yang berkaitan dengan kekakuan struktur, yaitu butir-butir (1) dan (3-c).
Sedangkan syarat-syarat untuk kekuatan dan kapasitas energi, yaitu butir-butir (2), (3-
a) dan (3-b) dapat dipenuhi.

6.2 Catatan Akhir

Dengan dijalankannya riset yang sudah dirancang sebelumnya, maka ternyatalah


telah dijumpai hambatan dan kesulitan yang menyebabkan beberapa hal tidak bisa di-
laksanakan sebagai yang direncanakan semula. Sebagian darinya merupakan masalah kecil
yang tidak seberapa mengganggu, tetapi beberapa lainnya ternyata telah menimbulkan pe-
ngaruh pada terjadinya perubahan pada arah hasil dan kesimpulan akhir dari riset yang di-
harapkan. Karenanya, untuk kelanjutan dan pengembangan dari riset ini di masa yang akan
datang, Penulis memiliki catatan-catatan yang dimaksudkan untuk memperbaiki hasil-hasil
riset untuk mendapatkan prototipe SBK yang bukan saja constructable tetapi juga memiliki
performance yang lebih baik lagi. Catatan-catatan itu adalah :

1. Tata urutan langkah-langkah pelaksanaan di dalam mempersiapkan kelima spesimen,


khususnya SBK pracetak, ternyata tidak bisa mengikuti yang direncanakan semula.
Rencana semula yang bermaksud melakukan pengecoran beton SBK dalam keadaan
kolom berdiri, sebagai yang biasa dilaksanakan di dalam praktek, ternyata tidak bisa
dilaksanakan mengingat keterbatasan ruangan di dalam balai/laboratorium. Karena-
nya, beton kolom terpaksa harus dicetak dalam keadaan tidur. Untuk itu, rakitan

126  Bab 6
tulangan kolom dengan bagian tulangan jangkar yang tertanam di dalam daerah panel
sambungan harus disetel ke dalam cetakannya sebelum beton dituangkan. Pada saat
itulah ditemukan kesulitan di dalam menyisipkan tulangan-tulangan transversal, khu-
susnya yang berupa cross-tie, ke dalam panel sambungan. Akibatnya, tulangan trans-
versal panel hanya dipasang berupa sengkang-sengkang tertutup tanpa cross-tie.
Dengan hal tersebut, tulangan transversal hanya terpasang 47% dari kebutuhannya.
Hal inilah yang diketahui menjadi penyebab terbentuknya kerusakan (retak-retak)
yang lebih banyak terjadi di daerah panel daripada di ujung-ujung balok, sehingga
salah satu hipotesis dari riset ini tidak dapat dibuktikan.

2. Akibat dari butir (1) di atas, maka diperlukan riset lanjutan yang akan meneliti perilaku
dan kinerja sambungan yang sejenis dengan SBK yang telah diteliti ini tetapi dengan
cara pembuatan spesimen yang lebih sesuai dengan pelaksanaan pekerjaan konstruksi
yang sebenarnya di dalam praktek, yaitu pengecoran beton kolom dilaksanakan ber-
diri. Dengan pelaksanaan yang seperti ini akan diperoleh kondisi yang lebih mudah
untuk memasang tulangan-tulangan transversal sambungan, menyisipkan tulangan
overtopping, dan menuangkan beton pada sambungan. Apabila hal tersebut bisa di-
penuhi, maka diharapkan SBK akan bisa menampilkan perilaku respons yang lebih
baik lagi dengan menghasilkan terutama kekakuan, daktilitas dan kapasitas energi
yang lebih tinggi.

3. Juga, akibat butir (1) di atas, pekerjaan pendetailan, terutama pemasangan tulangan-
tulangan transversal akan bisa dikerjakan dengan lebih mudah. Dari sini, maka akan
terbukalah kemungkinan untuk memasang tulangan-tulangan transversal dengan
beberapa variasi yang lebih beragam agar dapat memenuhi kebutuhan sebagai yang
ditentukan oleh peraturan bangunan, sehingga masing-masing varian akan dapat
dievaluasi perbedaan pengaruhnya pada kinerja SBK.

4. Selanjutnya, karena telah tersedia ruangan bekerja yang cukup untuk para pekerja di
lapangan melaksanakan pendetailan konstruksi, maka pada bagian sambungan di
ujung balok bisa dituangkan campuran beton yang menyatu dengan kolom. Karena
tempat penuangan cukup longgar, maka bisa digunakan campuran beton normal untuk
mengisinya. Dalam hal ini penggunaan campuran beton grout tidak lagi menjadi ke-
harusan, sehingga ongkos konstruksinya akan bisa ditekan lebih rendah.

5. Pada kesempatan yang akan datang, Penulis berharap untuk bisa menerapkan SBK
yang dihasilkan ini ke dalam contoh struktur yang lebih nyata, misalnya pada rangka
portal sederhana. Apabila pada spesimen rangka tersebut diberikan beban siklik, maka

Bab 6 – 127
akan dilihat apakah variabel-variabel SBK sebagai yang telah didapatkan dari riset ini
dapat dipakai untuk melakukan analisis prediksi perilaku rangkanya. Dengan melaku-
kan perbandingan dengan hasil eksperimental, maka akan dapat diperiksa akurasi hasil
analitik berikut asumsi-asumsi yang dipakai di dalam pemodelannya.

128  Bab 6
LAMPIRAN – A
STUDI PADA ASPEK KINERJA DAN KEMUDAHAN KERJA
SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM

A.1 Karakteristik Sambungan Balok-ke-Kolom Beton Pracetak

Untuk memperoleh gambaran pada aspek kinerja (performance) dan kemudahan


kerja (constructability), maka akan dibuat uraian mengenai karakteristik pada beberapa
jenis SBK. Metoda pemberian nilai (scoring) akan dilakukan secara studi kepustakaan pada
kelebihan dan kekurangan dari jenis-jenis SBK yang dipilih. Adapun butir-butir untuk
penilaian meliputi kemudahan fabrikasi, kemudahan ereksi/instalasi, grouting &
tensioning, keawetan, kemudahan untuk memperbaiki setelah kerusakan, ketahanan bakar,
kemudahan pemasangan tendon & pemberian pratekanan, kemampuan self-centering,
kemampuan dissipasi energi (energy dissipation), dan drift ratio. Metoda ini telah pernah
dilakukan orang sebelumnya (Camarena, 2006), dan dipakai di dalam studi ini dengan
melakukan beberapa perubahan seperlunya.
Sebanyak 12 (dua belas) SBK telah dipilih untuk memperbandingkan kelebihan
dan kekurangan masing-masing yang dipilih dari jenis-jenis yang menonjol yang sudah
dikenal sejak tahun 1980-an sampai dengan 2006. Uraian dari jenis-jenis itu akan di-
sampaikan berikut ini :

A.1.1 Pilihan 1

SBK ini adalah sambungan BC16 menurut standar sambungan PCI (Martin
& Korkosz, 1982), seperti yang disampaikan pada Gambar A.1 di bawah. Ini
merupakan jenis sambungan komposit, di mana bagian beton overtopping untuk
pelat lantai dituangkan kemudian secara setempat. Pada tahun 1980-an, jenis
sambungan ini paling disukai untuk dipakai pada SRPM daktail. Pada jenis ini,
ujung balok diletakkan di atas konsol (bracket) yang menyatu dengan ujung kolom.
Selanjutnya, pelat landas pada ujung balok akan disatukan dengan pelat baja siku
di ujung konsol dengan cara pengelasan.
SBK jenis ini memiliki kelebihan : (1) tahanan momen penuh pada
sambungan, dan – (2) penyetelan pemasangan yang mudah di lapangan. Adapun
kekurangannya adalah : (1) ereksi yang lambat karena bagian beton komposit harus
dirawat lebih dulu sebelum kolom berikutnya dilaksanakan, (2) pengelasan
menghadap ke atas (overhead welding) sangat sulit dilaksanakan, (3) baja-baja

Lampiran – A  129
yang exposed mungkin memerlukan perlindungan korosi dan kebakaran, dan – (4)
memerlukan pemasangan baja tulangan negatif pada ujung-ujung balok.

Gambar A.1 : SBK pilihan 1 yang sama dengan BC16 PCI (Martin & Korkosz, 1982).

A.1.2 Pilihan 2

Ini adalah sambungan BC17 menurut standar sambungan PCI (Martin &
Korkosz, 1982), dan di sini disajikan pada Gambar A.2 di bawah. Juga, SBK ini
termasuk jenis sambungan komposit, di mana bagian beton overtopping untuk pelat
lantai dituangkan kemudian secara setempat. SBK ini hampir sama dengan BC16,
tetapi tanpa konsol. Karenanya, dibutuhkan konstruksi perancah sementara untuk
mendukung balok-balok.

Gambar A.2 : SBK pilihan 2 yang sama dengan BC17 PCI (Martin & Korkosz, 1982).

Kelebihan SBK ini adalah : (1) hasil sambungan yang bersih tanpa
tonjolan-tonjolan konsol, (2) tidak ada baja-baja yang terpapar keluar (exposed),

130  Lampiran – A
(3) tahanan momen penuh, dan – (4) penyetelan pemasangan yang mudah di
lapangan. Adapun kekurangannya : (1) membutuhkan perancah sementara selama
pelaksanaan, dan – (2) memerlukan pemasangan baja tulangan negatif pada ujung-
ujung balok.

A.1.3 Pilihan 3

SBK ini adalah sambungan BC18 menurut standar sambungan PCI sebagai
yang disampaikan pada Gambar A.3 di bawah ini. Sambungan jenis ini hampir
sama dengan BC16, hanya saja di sini kolom bisa dipersiapkan terlebih dahulu
sampai beberapa tingkat, sebelum balok-balok pracetak diletakkan pada konsol-
konsol. Setelah tulangan-tulangan negatif disambungkan dengan stek-stek yang
ditanamkan melintang & menembus kolom melalui peralatan penyambung
mekanis, barulah beton overtopping dapat dituangkan.
Keunggulan SBK ini adalah : (1) tahanan momen penuh pada sambungan,
dan – (2) pelaksanaan lebih cepat dengan penyiapan kolom-kolom untuk beberapa
tingkat sekaligus. Kelemahannya adalah : (1) bagian baja sambungan di bawah
ujung balok membutuhkan proteksi terhadap korosi dan bahaya kebakaran, (2)
pengelasan menghadap ke atas sulit dilakukan, (3) kemungkinan timbulnya
masalah toleransi pada saat menyambungkan ujung-ujung tulangan negatif dengan
stek-stek tulangan pada kolom melalui penyambung-penyambung mekanis, (4)
membutuhkan perancah sementara untuk balok-balok.

Gambar A.3 : SBK pilihan 3 yang sama dengan BC18 PCI (Martin & Korkosz, 1982).

Lampiran – A  131
2.3.4 Pilihan 4

SBK ini merupakan sambungan BC19 menurut standar sambungan PCI


sebagai yang disampaikan pada Gambar A.4 di bawah. Hampir sama dengan BC16,
BC17 dan BC18, sambungan ini berjenis tahan momen. Kolom-kolom dipersiap-
kan dulu secara cor setempat sampai mencapai elevasi muka bagian bawah balok.
Setelah kolom mengering dan memiliki kekuatan, ujung-ujung balok pracetak
diletakkan pada perancah-perancah sementara. Ujung-ujung balok pracetak bisa
dibuat miring atau diberi takikan (notch) untuk digunakan sebagai penahan geser
(shear keys). Stek-stek tulangan pada ujung-ujung balok disambungkan dengan
tulangan-tulangan horizontal sambungan, baik dengan lewatan, las ataupun dengan
penyambung mekanis. Sesudahnya, beton sambungan dituangkan sampai men-
capai elevasi muka atas pelat lantai.
Keunggulan SBK ini adalah : (1) tahanan momen penuh pada sambungan,
(2) penyetelan yang mudah dengan toleransi longgar untuk pemasangan tulangan-
tulangan sambungan, (3) pemakaian balok-balok pracetak dengan persyaratan
teknis yang tidak terlalu ketat, (4) menghindari pemakaian kolom-kolom pracetak
yang mahal dengan pelaksanaan cor setempat, (5) sambungan tersembunyi, (6)
pemasangan tulangan-tulangan sambungan lebih mudah jika dibandingkan dengan
BC16 atau BC18 yang memakai pengelasan mengahadap ke atas. Adapun ke-
lemahannya adalah : (1) pelaksanaan lebih lama karena ereksi balok-balok pracetak
harus menunggu keringnya kolom-kolom cor setempat, dan – (2) dibutuhkan
konstruksi perancah sementara.

Gambar A.4 : SBK pilihan 4 yang sama dengan BC19 PCI (Martin & Korkosz, 1982).

132  Lampiran – A
A.1.5 Pilihan 5

SBK ini diusulkan pertama kalinya oleh S.K. Ghosh dkk. pada 1997, dan
di-klaim dapat memenuhi semua kriteria desain dan kinerja yang telah ditetapkan
oleh PCI Design Handbook. Kriteria-kriteria itu adalah kekuatan, daktilitas,
kemampuan mengakomodasi perubahan volume, keawetan (durability), ketahan-
an bakar, dan constructability (Ghosh dkk., 1997). Illustrasinya diperlihatkan pada
Gambar A.5 di bawah.

L 8x8x1/2x1'-6" TOP & BOTTOM


1'-6" (2) #8 TOP & BOTTOM
3'-0"

1"

2'-9"
1'-6"
1'-8"

1"
(8) #11
B-B ADDED U-BARS
PER ELEVATION
A-A (2) #7 TOP & BOTTOM

1/2" THICK T SECTION X 1'-8" TOP & BOTTOM


3/8
(3) #7 WITH 90O HOOK TOP & BOTTOM
3 SIDES TOP & BOTTOM
1/2
TOP & BOTTOM

B B A #4 CLOSED STIRUPS @ 4" O/C

(2) #8 U-SHAPED TOP & BOTTOM

ELEVATION

(2) #7 U-SHAPED TOP & BOTTOM


A
TOP &
BOTTOM TERMINATE (2) #8 & (2) #7
4" U-SHAPED BARS TOP & BOTTOM
1.5 d
45"

Gambar A.5 : SBK pilihan 5 yang diusulkan oleh Ghosh dkk., 1997.

SBK ini dikatakan sebagai bagian yang harus ada pada struktur rangka
tahan momen yang terutama diperuntukkan memikul beban-beban lateral yang
berperilaku daktail penuh (SRPMK) dengan faktor R di-klaim mencapai 8.50,
walaupun tidak ada data hasil pengujian yang mendukungnya yang disertakan
dalam publikasinya. Demikian juga, butir constructability-nya mungkin masih bisa
didiskusikan lagi, mengingat rumitnya pemasangan pembesian di sekitar bidang
antarmuka pertemuan antara ujung balok ke muka kolomnya.

A.1.6 Pilihan 6

SBK ini adalah sambungan DDC (Dywidag Ductile Connection) produk


inovatif oleh Englekirk pada 1996, sebagai yang sudah disampaikan pada Gambar
2.5 di depan, dan akan diperlihatkan lagi di sini pada Gambar A.6 di bawah.

Lampiran – A  133
PRECAST COLUMN

6"

TIE ROD

d (varies)
PRECAST
DUCTILE ROD BEAM
POCKET

1' - 3"
TEMPORARY
CORBEL
PL 4"X5"X1' - 21/2"
FOR EACH 2 ROD CORBEL
GROUP
(2) - 13/8" DYWIDAG ELEVATION
THREADERS W/HEX
NUTS PRECAST
COLUMN
PRECAST
BEAM
CORBEL
1' - 4"

13/4" DIA. DYWIDAG


11/2" DIA. A490 BOLTS DUCTILE RODS
PRETENSIONED TO
148k EACH 5" DIA. SHIM PL'S
PLAN VIEW

Gambar A.6 : SBK pilihan 6 tipe DDC yang diusulkan oleh Englekirk, 1996.

SBK ini memiliki keunggulan : (1) tahanan momen dan geser penuh pada
sambungan dengan karakteristik perilaku siklik yang sangat stabil dengan batas
drift yang tinggi, (2) waktu pelaksanaan yang lebih cepat dengan dimungkinkan-
nya pemakaian konstruksi pracetak total, (3) tanpa pemakaian ikatan-ikatan
sementara, (4) tanpa pengelasan, (5) semua sambungan dilaksanakan dengan
pembautan (bolting), dan – (6) tanpa grouting struktural. Dalam publikasinya yang
disertakan, ditunjukkan perilaku respons yang bahkan lebih baik daripada
spesimen sambungan monolith. Dengan uji beban siklik yang dilakukan di
University of California at San Diego (UCSD), dan diawasi oleh Profesor-profesor
Priestley & Seible, sambungan ini menampilkan pembentukan retak-retak yang
lebih sedikit, tetapi dengan kemampuan drift yang lebih besar.
Adapun kelemahannya adalah : (1) diperlukan kemampuan teknik yang
lebih tinggi pada ereksi, dan (2) biaya pelaksanaan yang lebih mahal dengan
dipakainya material mutu tinggi yang dihasilkan dari proses manufaktur yang
sangat teliti, disamping kontrak yang all-in meliputi pengadaan material dan
pelaksanaannya.

A.1.7 Pilihan 7

Ini adalah SBK Pretensioned dari program PRESSS sebagai yang telah
disampaikan dalam Gambar 2.6 (a) di depan, dan akan disampaikan lagi di sini
sebagai Gambar A.7. Pada sistem ini dipakai balok-balok multi-bentang yang

134  Lampiran – A
diletakkan di atas sederetan kolom-kolom satu tingkat, dengan ujung-ujung batang
tulangan kolom terproyeksi menembus balok-balok pada lubang-lubang di tempat
yang telah ditentukan. Lubang-lubang tersebut kemudian di grout, dan pada ujung-
ujungnya dipasangkan penyambung mekanis untuk menyambungkannya dengan
tulangan-tulangan kolom di atasnya. Sistem ini akan sangat cocok dipakai pada
pelaksanaan model “up-and-out”, dimana untuk keseluruhan gedung pekerjaan
struktural diselesaikan setingkat demi setingkat. Setelah sempurna satu tingkat,
maka pekerjaan dilanjutkan untuk tingkat berikutnya dengan ereksi seluruh kolom-
kolomnya, yang kemudian diikuti dengan peletakan balok-baloknya, demikian dan
seterusnya.

1'- 6"
COLUMN LONGITUDINAL
REBAR SPLICE REINFORCING BARS
UNBONDED POST-TENSIONING
0.50"  PRESTRESSING USING DYWIDAG THREADBARS
STRANDS
( DEBONDED IN BEAMS ) ADDITIONAL 2 - #4 EACH FACE
OF BEAM TERMINATING 1"
CLEAR FROM COLUMN FACE
1'-11"

MAIN BEAM REINFORCING TOP &


BOTTOM W/90o HOOKS AT COLUMN
1/2" JOINT - FILL W/FIBER FACES
GROUT PRIOR TO MILD REINFORCING STEEL IN CORRU-
STRESSING GATED SLEEVES - SOLID GROUTED
0.50"  BONDED PRESTRESSING
STRANDS

Gambar A.7 : SBK pilihan 7 yang merupakan SBK prategang produk dari program
PRESSS, 1999.

Keunggulan sambungan ini adalah : (1) tidak membutuhkan perancah-


perancah sementara, (2) waktu pelaksanaan yang sangat dipersingkat, (3) lahan
pekerjaan yang bersih dengan hanya menyimpan komponen-komponen pracetak
yang siap dipasang/diereksi, dan  (4) proses penyiapan komponen-komponen
pracetak bisa lebih optimal dilakukan di pabrik/industri. Kelemahannya adalah :
(1) pelaksanaan di lapangan membutuhkan banyak peralatan berat dan tingkat
keahlian yang tinggi dari para pekerjanya, dan  (2) masalah toleransi ukuran
menjadi sangat menentukan, khususnya bila dihadapkan pada masalah perubahan
volume oleh susut beton dan kesalahan pada pelaksanaan.

2.3.8 Pilihan 8

Ini adalah SBK TCY (Tension-Compression Yielding) dari program


PRESSS sebagai telah disampaikan dalam Gambar 2.6 (b) di depan, dan akan
diperlihatkan lagi pada Gambar A-8 di bawah ini. Pada sistem ini, kolom-kolom

Lampiran – A  135
dipersiapkan untuk beberapa tingkat, dan kemudian balok-balok pracetak bentang
tunggal disisipkan secara melintang di sela-selanya untuk membentuk sistem
perangkaan yang direncanakan. Dengan sistem sambungan ini, dicoba menirukan
perilaku pelelehan tradisional pada batang-batang tarik dan tekan pada konstruksi
sambungan cor setempat. Daripada menyebarkannya pada panjang tertentu dari
sendi plastik, pelelehan hanya dipusatkan di dalam sambungan. Mengingat peran-
nya yang penting dalam menyediakan kekuatan pikul momen dan kemampuan
men-dissipasi energi, maka batang-batang tulangan balok perlu diyakinkan agar
tidak putus secara prematur pada wilayah yang terkonsentrasi ini. Untuk itu,
mereka di-debonded, yaitu dilepaskan dari gesekan dengan beton di sekelilingnya
dengan cara memasukkan mereka ke dalam selongsong-selongsong (sleeves)
sampai ke bidang muka-bidang muka (interfaces) sambungannya.

1'- 6"
COLUMN LONGITUDINAL
REINFORCING BARS

3" WRAP REBAR IN 1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT


SLEEVES - TOP & BOTTOM
ADDITIONAL REINFORCING
PER BEAM SECTIONS
1'-11"

1/2" JOINT - FILL W/FIBER


GROUT MILD REINFORCING STEEL - TOP &
BOTTOM IN METAL CORRUGATED
UNBONDED POST-TENSIONING SLEEVES - SOLID GROUTED
USING DYWIDAG THREADBARS

Gambar A.8 : SBK pilihan 8 yang merupakan SBK TCY produk dari program PRESSS,
1999.

Di dalam pengujian, SBK ini memperlihatkan pola perilaku histeretik


dengan bentuk grafik yang agak pipih/kurus (pinched) sehubungan dengan slip
vertikal yang terjadi pada bidang muka pertemuan antara balok dengan kolom-nya.
Bila slip tersebut besar, maka konsol baja perlu disisipkan agar tidak mem-
pengaruhi kinerja menyeluruh (overall performance) dari sambungan.
Keunggulan SBK ini adalah : (1) tahanan momen penuh, (2) kerusakan
yang minimal pada komponen pracetak, (3) memiliki kemampuan untuk me-
mulihkan diri (re-centering) segera sesudah beban lateral berlalu, (2) waktu
pelaksanaan yang singkat, (3) lahan pekerjaan yang bersih dengan hanya me-
nyimpan komponen-komponen pracetak yang siap dipasang/diereksi saja, dan 
(4) proses penyiapan komponen-komponen pracetak bisa lebih optimal dilakukan
di dalam pabrik. Adapun kelemahannya adalah : (1) pelaksanaan di lapangan

136  Lampiran – A
membutuhkan banyak peralatan berat dan tingkat keahlian yang tinggi dari para
pekerjanya, dan  (2) masalah toleransi ukuran menjadi kritis, khususnya bila
dihadapkan pada masalah susut dan kesalahan pada pelaksanaan, dan – (3)
membutuhkan perancah sementara.

A.1.9 Pilihan 9

Ini adalah SBK TCY dengan gap dari program PRESSS sebagai yang
ditampilkan dalam Gambar 2.6 (c) di depan, dan akan diperlihatkan lagi di sini
pada Gambar A.9. Sambungan ini hampir sama dengan jenis TCY pada Pilihan 8
di atas, hanya saja antara balok dengan kolom terdapat celah (gap) kecil. Gap ini
hanya di grout pada bagian bawahnya saja, sedangkan bagian atasnya dibiarkan
tetap terbuka. Berpusat pada daerah grout bawah ini, batang-batang post-tension-
ing dipasangkan untuk mengikat rangka bangunan bersama-sama. Pada bagian atas
balok, batang baja lunak dimasukkan ke dalam selongsong, di grout, dan
membentang sepanjang balok sampai menembus kolom. Baja tulangan ini secara
hati-hati di-debonded pada panjang tertentu di daerah gap sehingga dia dapat
melakukan pelelehan tarik dan tekan secara berganti-ganti tanpa mengalami
fracture. Karena gap membuka di satu sisi, dan menutup di sisi lainnya dengan
besaran yang sama, maka balok-balok rangka tetap panjangnya, bahkan ketika
sambungan mengalami leleh.
Keunggulan dan kelemahan sistem SBK ini kurang lebihnya sama dengan
sambungan TCY pada Pilihan 8 di atas.

MILD REINFORCING STEEL AT TOP


IN METAL CORRUGATED SLEEVES 1'- 6"
SOLID GROUTED IN BEAM &
COLUMN
COLUMN LONGITUDINAL
4" WRAP REBAR REINFORCING STEEL BARS
IN SLEEVES BACKER RODS AROUND PVC SLEEVES
AT JOINT TO KEEP JOINT FREE OF
GROUT
1'-11"

ADDITIONAL REINFORCING
PER BEAM SECTIONS 1" JOINT - FILL BOTTOM 4" OF JOINT
W/FIBER GROUT PRIOR TO
UNBONDED POST- STRESSING
TENSIONING USING
DYWIDAG THREADBARS

Gambar A.9 : SBK pilihan 9 yang merupakan SBK TCY dengan gap produk dari
program PRESSS, 1999.

Lampiran – A  137
A.1.10 Pilihan 10

Ini adalah sambungan Hibrida, yang merupakan produk primadona dari


program PRESSS, sebagai telah diperlihatkan dalam Gambar 2.6 (d) di depan, dan
di sini akan diperlihatkan lagi sebagai Gambar A-10. Pada sistem ini, balok-balok
dipasang di antara kolom-kolom. Batang-batang tulangan dari baja lunak
dimasukkan ke dalam selongsong di bagian bawah dan atas balok, menembus
melalui kolom, dan kemudian di grout. Batang-batang ini mengalami leleh tarik
dan tekan berganti-ganti, sehingga dapat menyediakan kemampuan dissipasi energi
dalam jumlah besar. Pada saat rangka bangunan bergoyang-goyang ke samping,
baja-baja lunak dari balok ini mengalami perpanjangan dan perpendek-an secara
berganti-ganti, menjadikan gap membuka dan menutup. Jumlah tulangan baja
lunak dan baja post-tensioning dibuat seimbang, sehingga rangka struktur dapat
melakukan self-centering segera sesudah gempa berlalu.

0.50" UNBONDED POST-TENSIONED 1'- 6"


STRANDS IN PVC SLEEVE W / NO COLUMN LONGITUDINAL
GROUT REINFORCING BARS
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT
WRAP REBAR PRIOR TO STRESSING
(DEBONDED)
ADDITIONAL REINFORCING
NOT IN SLEEVES PER BEAM
SECTIONS
1'-11"

MILD REINFORCING STEEL -


1/2" JOINT - FILL W/FIBER TOP & BOTTOM IN METAL
GROUT PRIOR TO STRESSING CORRUGATED SLEEVES -
SOLID GROUTED
UNBONDED POST-
TENSIONING USING 0.50"  BONDED PRESTRESSING
DYWIDAG THREADBARS STRANDS

Gambar A.10 : SBK pilihan 10 yang merupakan SBK hibrida produk dari program
PRESSS, 1999.

Kelebihan dan kekurangan sistem ini hampir sama dengan dua sistem
sambungan sebelumnya dengan penekanan pada kemampuan self-centering-nya
yang lebih menonjol pada sistem ini.

A.1.11 Pilihan 11

Pilihan 11 adalah jenis sambungan yang dikaji oleh para peneliti dari Turki
(Ertas dkk., 2006), yaitu sebagai yang diperlihatkan dalam Gambar 2.7 (c). Pada
Gambar A.11 disampaikan SBK jenis ini dengan penampilan yang agak berbeda.
Bila dibandingkan dengan Gambar 2.7 (c), Gambar A.11 agak sedikit mengalami
modifikasi untuk menunjukkan, bahwa : (1) SBK pada Gambar A.11 untuk joint
interior, dan bukan eksterior sebagai yang dimaksud pada Gambar 2.7 (c), dan 

138  Lampiran – A
(2) SBK untuk dipakai pada balok komposit. Pengujian pada spesimen sambungan
sebagai yang dimaksudkan pada Gambar 2.7 (c) menunjukkan hasil perilaku yang
daktail dengan bentuk loop kurva histeretik beban vs. perpindahan yang stabil.
Dengan dipakainya sambungan jenis ini, prinsip strong column – weak beam
diharapkan akan dapat dicapai dengan kerusakan lebih banyak terjadi pada
sambungan, dan bukan pada kolom maupun balok pracetaknya.

Gambar A.11 : SBK pilihan 11.

A.1.12 Pilihan 12

Pilihan 12 adalah jenis sambungan sederhana yang paling sering dipakai di


dalam praktek konstruksi. Sambungan memakai kait 90o yang ditanamkan di dalam
panel atau badan kolom. Sistem ini sebetulnya merupakan modifikasi dari
sambungan pada kolom dari para peneliti Turki (Ertas dkk., 2006), sebagai yang
ditunjukkan pada Gambar 2.7 (b). Modifikasi dilakukan dengan : (1) mengganti
balok penuh dengan komposit, dan – (2) mengganti penjangkaran batang-batang U
dengan kait 90o yang diletakkan di dalam panel/kolom.
Kinerja sambungan terutama akan banyak tergantung pada effektifitas
penjangkaran kait dan kepadatan beton pada daerah sambungan. Untuk perangka-
an balok-balok yang berarah pada kedua sumbu horizontal (sumbu-x dan sumbu-
y), akan terjadi penumpukan tulangan yang sangat rapat (congested) di daerah
sambungan, sehingga menyulitkan pemasangan ujung-ujung kait tersebut dengan
seksama, apa lagi kalau balok-balok dari sumbu-x memiliki dimensi penampang
yang sama tingginya dengan balok-balok dari sumbu-y. Karena penumpukan

Lampiran – A  139
tulangan tersebut terjadi di daerah kolom, masalah juga akan terjadi pada sulitnya
melakukan penuangan beton, menyebabkan beton menjadi kurang rapat/padat atau
keropos. Hal ini akan menjadikan kolom-kolom sambungan sebagai titik terlemah
pada mekanisme respons struktur, yang mana hal ini tidak boleh terjadi pada SRPM
tahan gempa. Illustrasinya disampaikan pada Gambar A.12 di bawah.

Gambar A.12 : SBK pilihan 12.

A.2 Butir-butir Evaluasi

Riwayat perkembangan struktur beton pracetak tidak terlepas dari kisah rangkai-
an ungkapan visi dan ide berani dari beberapa orang pelopornya. Orang-orang ini me-
nangkap ide-ide baru dan kemudian memaksimalkan potensinya dengan melalui modi-
fikasi dan peningkatan metoda-metoda yang sudah dikenal, sehingga menghasilkan metoda
baru, dan menciptakan perangkat peralatan baru, yang kesemuanya itu mengarah pada
pelaksanaan produksi secara massal. Dengan maksud itulah produksi bangunan-bangunan
beton pracetak diselenggarakan, yaitu untuk mendapatkan kemudahan dan kecepatan
pelaksanaan (constructability), mulai dari pemisahan proses fabrikasi komponen-
komponennya di pabrik sampai pada ereksi/instalasinya di site.
Dalam rangka untuk memperbaiki kinerja (performance), maka diperkenalkanlah
pemberian pratekanan melalui penyisipan tendon-tendon ke dalam saluran selongsong
(ducting) yang ditanamkan ke dalam beton dan yang kemudian di-grout. Pemberian grout
ini semula ditujukan untuk memberikan lekatan antara batang-batang tendon dengan beton.
Ketika kemudian ditemukan kemungkinan untuk memanfaatkan gaya-gaya elastik dari
tendon yang di-debonding menjadi gaya pemulih diri (self-restoring force) dari struktur

140  Lampiran – A
setelah pembebanan berlalu, maka diperkenalkan pulalah cara grouting hanya pada
sebagian segmen panjang tendon, sebagai yang telah dilakukan pada sambungan-
sambungan produk PRESSS. Dengan berpedoman pada falsafah desain tahan gempa yang
berlaku pada saat sekarang ini, yaitu kerusakan yang terjadi di-lokalisasi hanya pada
beberapa tempat pada bangunan, dan itu dipusatkan pada sambungan-sambungan balok-
ke-kolom, maka telah pula ditemukan jenis-jenis SBK yang berperilaku daktail.
Sambungan-sambungan tersebut sanggup melakukan deformasi yang menghasilkan rotasi
sendi plastik yang sangat besar sambil mempertahankan kekuatannya semula. Rotasi itu
kemudian secara kumulatif akan menghasilkan perpindahan bangunan ke arah horizontal
(drift), yang biasanya diukur dengan rasio persentase terhadap tinggi bangunannya. Kurva
histeretik beban – perpindahan yang dihasilkan telah mencerminkan kapasitas dissipasi
energi yang besar dari SBK. Beberapa penelitian kemudian juga dilanjutkan dengan upaya-
upaya untuk menemukan jenis-jenis SBK yang mudah diperbaiki/diganti setelah meng-
alami kerusakan, sebagai yang telah dilakukan oleh Cheok (Cheok dkk., 1994), Vasconez
(Vasconez dkk., 1994), dan Ertas (Ertas dkk., 2006).

A.2.1 Fabrikasi

Salah satu keunggulan struktur pracetak adalah proses industrialisasi


produk komponen-komponen pracetak. Karenanya, kebutuhan pada proses
produksi yang effektif mungkin akan membatasi kesempurnaan pada sesuatu jenis
pilihan. Sebagai contoh, tendon lurus dapat dipasang dengan lebih mudah dan lebih
cepat daripada tendon parabolik. Juga, penampang balok yang memiliki bentuk dan
ukuran tidak beraturan akan lebih sukar dicetak, sehingga membutuhkan
kemampuan/keahlian teknik yang lebih tinggi dari para pekerjanya, dan hal ini
akan berakibat pada peningkatan kebutuhan waktu dan biaya produksi.

A.2.2 Kemudahan Ereksi/Instalasi

Keunggulan lainnya dari struktur pracetak adalah kecepatannya untuk di-


ereksi/instalasi. Untuk sambungan balok-ke-kolom, penggunaan konsol untuk
perletakan ujung-ujung balok tentu akan meningkatkan effisiensi pekerjaan
konstruksi, disamping dapat lebih menjamin keselamatan di tempat kerja.
Sambungan yang tidak melibatkan konsol-konsol selama ereksi/instalasi akan
membutuhkan perancah untuk dukungan sementara selama konstruksi belum
mampu mengerahkan kekuatannya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, untuk

Lampiran – A  141
mendapatkan momen tahanan sepenuhnya, sambungan dengan konsol ini mem-
butuhkan pengelasan menghadap ke atas untuk mengikat balok pracetak ke konsol,
yang mana pekerjaan ini tidak mudah dilaksanakan.

A.2.3 Kemudahan pada Grouting & Tensioning

Pekerjaan grouting dan penegangan pada sistem sambungan pracetak yang


menggunakan pratekan sangat sulit dilaksanakan dan memerlukan ketelitian yang
tinggi. Sebelum pekerjaan ini dimulai, harus ditentukan terlebih dahulu bagian-
bagian mana yang di-grout, dan mana yang tidak. Karena pada bagian yang tidak
di-grout mungkin memerlukan perlakuan khusus pada item-item tertentu,
menjadikan pekerjaan ini lebih rumit dan membutuhkan biaya banyak. Sebagai
contoh, pada penggunaan sambungan pada gedung Paramount di San Francisco.
Pada sistem ini, penerapan post-tensioning ternyata memerlukan teknik-teknik
khusus yang rumit dan mahal. Butir ini menjadikan sambungan-sambungan dengan
pratekanan bernilai rendah bila dipandang dari sisi constructability, walaupun
menampilkan kinerja yang bernilai sangat tinggi.

A.2.4 Keawetan (Durability)

Komponen-komponen struktur pracetak yang diproduksi di pabrik meng-


gunakan beton bermutu tinggi dengan kendali mutu yang ketat, menjadikannya
memiliki tingkat keawetan yang lebih tinggi pula. Demikian pula, komponen yang
diberikan pratekanan di pabrik akan menghasilkan retak-retak yang lebih sedikit.
Dengan pembebanan gempa yang kuat, cela pada pertemuan antar komponen akan
membuka. Cela ini akan berusaha menutup kembali bila digunakan tendon post-
tension. Keawetan biasanya dikaitkan dengan proses korosi pada baja-baja. Uap air
dan zat-zat korosif akan menerobos masuk ke baja melalui cela-cela yang mem-
buka, baik pada pertemuan antar komponen, maupun yang terbentuk oleh
peretakan. Jadi, semakin banyak retak yang terbentuk pada beton, semakin besar
ancaman pada keawetan strukturnya.

A.2.5 Ketahanan Bakar

Salah satu butir yang disyaratkan pada struktur beton pracetak yang
ditentukan oleh PCI Design Handbook, adalah ketahanan terhadap bahaya bakar.
Pada umumnya, bahan beton lebih tahan api dibandingkan dengan baja. Ketika

142  Lampiran – A
terjadi kebakaran pada bangunan beton pracetak, struktur akan kehilangan
kekuatannya ketika baja-baja tulangan dan pratekanan mulai meleleh. Masalah ini
akan menjadi serius, bila bagian-bagian konstruksi yang terbuat dari baja tidak
mendapatkan perlindungan yang memadai. Perlindungan yang dimaksud adalah
dengan cara menyembunyikan/membenamkan/membungkus baja ke dalam beton
dengan ketebalan selimut yang cukup. Ketebalan selimut tergantung pada : (1)
rasio tegangan – kekuatan baja pada saat kebakaran, dan – (2) intensitas dan
lamanya kebakaran. Tingkat perlindungan standar biasanya telah ditentukan di
dalam peraturan bangunan, misalnya pada Pasal 9.3.8 PCI Design Handbook
ditetapkan ketahanan bakar selama 4 jam pada temperatur 1000oF dan pada rasio

tegangan – kekuatan baja  f s f y  sekitar 65%. Apabila selimut beton yang

dipasang kurang dari ketebalan yang ditentukan, artinya pada struktur tersebut akan
terdapat peningkatan resiko kegagalan akibat kebakaran.

A.2.6 Kemudahan Perbaikan setelah Kerusakan

Perhatian utama yang membebani pikiran yang berat pada para pemilik
bangunan, adalah pertanyaan apakah bangunan mereka masih bisa digunakan atau
tidak setelah gempa. Segala informasi pada perhitungan biaya perbaikan akan men-
dapatkan perhatian yang seksama dari mereka. Pada struktur dengan sambungan-
sambungan yang sederhana, perbaikan itu akan bisa dilaksanakan dengan mudah
bila kerusakan terjadi secara terbatas di daerah sambungan saja. Akan tetapi, pada
struktur dengan sistem sambungan yang lebih rumit, perbaikan itu terpaksa
dilakukan dengan lebih susah-payah, karena harus juga membongkar dan meng-
ganti bagian-bagian lain yang lebih banyak.

A.2.7 Kemudahan Pemasangan Tendon & Pratekanan

Untuk meningkatkan kemampuan pikul pada beban tapi dengan tetap


mempertahankan estetika bangunan, antara lain dengan dipakainya dimensi balok-
balok yang kecil namun dengan bentang yang lebih panjang, maka digunakanlah
tendon-tendon pratekanan. Tata pemasangan tendon dan besarnya gaya pratekanan
ditetapkan pada saat desain. Dengan maksud untuk memberikan dukungan ter-
hadap tata letak yang tertentu dari pembebanan pada struktur, maka telah
ditemukan bentuk-bentuk lintasan tendon yang tidak selalu lurus pada sepanjang
bentang baloknya. Tendon parabolik membutuhkan bahan yang lebih

Lampiran – A  143
panjang/banyak, dan juga lebih sulit dipasang dibandingkan dengan tendon lurus.
Demikian juga, pratekanan vertikal pada kolom-kolom lebih sulit dilaksanakan
dibandingkan dengan pratekanan horizontal pada balok-balok. Hal ini menjadikan
beberapa alternatif pemasangan tendon lebih tidak ekonomis dibandingkan dengan
yang lainnya.

A.2.8 Kemampuan Pemulihan Diri setelah Beban Berakhir

Penerapan pratekanan dengan tendon unbonded post-tensioned telah


memberikan manfaat yang tinggi pada kinerja struktur, yaitu kemampuan struktur
untuk melakukan pemulihan diri (self-centering = self-restoring) segera setelah
beban gempa berlalu. Pada saat memasuki fase lepas beban (unloading) dari rotasi
nonlinier yang besar, balok akan kembali ke posisinya semula dengan menyisakan
rotasi residual permanen kecil. Kemampuan ini telah menjadikan rotasi nonlinier
hanya menimbulkan kerusakan yang kecil pada struktur, karena gaya pratekanan
cukup untuk menutup cela yang terbentuk pada bidang antar-muka (interface)
sambungan pada saat lepas beban. Tendon jenis ini juga dapat menunda pelelehan
baja-baja.

A.2.9 Kemampuan Dissipasi Energi

Struktur beton dengan pratekanan biasanya dianggap mendissipasi energi


gempa yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan struktur beton bertulang atau
baja. Demikian juga, sambungan cor setempat dengan penjangkaran tulangan yang
agak longgar mendissipasi energi lebih kecil dibandingkan dengan sambungan
monolith dengan batang-batang tulangan yang menerus (Matsumoto & Nishihara,
2000). Pada sambungan DDC sebagai Pilihan 6 (Gambar A.6) di depan,
kemampuan dissipasi energi yang tinggi didapatkan dengan menyisipkan batang-
batang khusus yang memiliki daktilitas tinggi sebagai ductile rods. Pada struktur,
kemampuan ini ditunjukkan dengan gemuk atau kurusnya kurva histeretik respons
yang dihasilkannya terhadap pembebanan siklik – semakin gemuk kurva akan
semakin besar energi yang di-dissipasi dan semakin kurus/pipih akan semakin kecil
dissipasi-nya. Keadaan ini mungkin akan bisa diperbaiki dengan menciptakan
jenis-jenis sambungan yang baru dengan kombinasi pada struktur beton bertulang
yang mendapatkan pratekanan secara parsial.

144  Lampiran – A
Tabel A.1 : Hasil evaluasi sambungan balok-ke-kolom pada aspek kinerja dan
kemudahan kerja (Wahjudi dkk., 2012-1 dan Wahjudi dkk., 2012-3).

*) Catatan :
Pilihan 1 - SBK BC16 (Gbr. A.1) Pilihan 5 - SBK Ghosh (Gbr. A.5) Pilihan 9 - SBK TCY Gap (Gbr. A.9)
Pilihan 2 - SBK BC17 (Gbr. A.2) Pilihan 6 - SBK DDC (Gbr. A.6) Pilihan 10 - SBK Hibrida (Gbr. A.10)
Pilihan 3 - SBK BC18 (Gbr. A.3) Pilihan 7 - SBK Prategang (Gbr. A.7) Pilihan 11 - SBK Gbr. A.11
Pilihan 4 - SBK BC19 (Gbr. A.4) Pilihan 8 - SBK TCY (Gbr. A.8) Pilihan 12 - SBK Gbr. A.12

Lampiran – A  145
A.2.10 Kapasitas Drift

Drift adalah perpindahan lateral struktur pada suatu tingkat relatif terhadap
tingkat di atas atau di bawahnya. Drift ini biasanya dinyatakan dalam rasio atau
persentase. Untuk satu tingkat bangunan, drift dihitung dari perbandingan antara
perpindahan pada bagian atas dengan tinggi tingkat. Pada struktur dengan pem-
bebanan siklik, kapasitas drift ini merupakan indikator langsung pada daktilitasnya.
Di dalam uji di laboratorium, pada spesimen SBK diberikan riwayat pembebanan
siklik dengan skema yang sudah ditentukan. Biasanya, pembebanan siklik akan
diberikan secara bertahap, dimana pada masing-masing tahap akan diulangi 2@3
kali untuk menilai pengaruh degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatannya (ACI
Committee 374, 2005). Yang ditetapkan sebagai kapasitas drift adalah perpindahan
lateral terbesar yang dilakukan struktur pada siklus terakhir sebelum mengalami
keruntuhan. Bagaimanapun, perkembangan paling mutakhir lebih menggaris-
bawahi arti penting drift ini. Penelitian telah menyimpulkan, bahwa pada tingkatan
drift yang tinggi, kegunaan lebih lanjut dari dissipasi/penyerapan energi menjadi
tidak jelas, karena kinerja sistem struktur lebih banyak tergantung pada input
gerakan tanah daripada kapasitas penyerapan energinya. Sementara dissipasi
energi diperlukan untuk kendali perpindahan, kapasitas drift dianggap dapat
memberikan gambaran lebih baik pada kinerja struktur (Priestley, 1993).

A.3 Hasil Evaluasi

Evaluasi telah menghasilkan nilai (score) yang dikumpulkan oleh masing-masing


pilihan jenis SBK. Nilai-nilai dikumpulkan dari terpenuhi atau tidaknya butir-butir per-
syaratan yang telah ditentukan. Untuk masing-masing kriteria telah ditetapkan sebanyak 5
(lima) butir persyaratan (ganjil), agar kemungkinan terkumpulnya nilai pertengahan (= 2)
dapat dihindari. Hasilnya adalah sebagai yang diperlihatkan pada Tabel A.1 di atas.

146  Lampiran – A
LAMPIRAN – B
DESAIN SPESIMEN UJI – SBK TIPE 1, 2, 3, 4 & 5

B.1 Dimensi Spesimen dan Tulangan Longitudinal Balok serta Kolom

Bahan beton untuk komponen-komponen pracetak dan sambungan direncanakan


dari mutu K-400 (f’c  33.25 MPa pada 28 hari), sedangkan untuk batang-batang tulangan
direncanakan memakai mutu baja : fy ≤ 400 MPa untuk tulangan longitudinal, dan : fyh 
280 MPa untuk tulangan transversal. Spesimen yang akan diuji berupa SBK interior 2
dimensi, yang dalam bentuk fisiknya berwujud salib dengan kolom-kolom dan balok-balok
yang berpotongan di tempat sambungannya. Untuk menyesuaikan dengan mesin peng-
ujinya, maka ditentukanlah tinggi total kolom 3020 mm dan panjang total balok 3650 mm.
Kolom memakai penampang persegi 450/450 (mm) dan balok berukuran penampang
300/450. Batang-batang tulangan dipakai D16 untuk tulangan longitudinal dan 10 untuk
sengkang-sengkangnya. Jarak sengkang ditetapkan 100 mm baik untuk kolom maupun
balok. Hasil desain disampaikan pada Gambar B.2. Syarat pertama yang harus dipenuhi
adalah bahwa momen kolom paling tidak sebesar 120% momen balok, yaitu :

M nk
 1.20 ......................................... (B-1)
M nb

dimana Mnk dan Mnb adalah berturut-turut jumlah kapasitas nominal momen kolom dan
balok, yang masing-masing dihitung pada bidang muka sambungan, yang berujung pada
SBK tersebut, seperti ditunjukkan pada Gambar B.1 di bawah ini.

Mnk,a Dengan memperhatikan Gambar B.1, persamaan


a
Mnb,kn (B-1) menjadi :

SBK
kn M nk , a  M nk ,b
 1.20 ............ (B-2)
M nb , kr  M nb , kn
Mnb,kr
kr
Mnk, b

Gambar B.1 : Momen-momen pada


panel SBK.

Untuk mendapatkan nilai-nilai momen tersebut, dilakukanlah analisis interaksi


momen – gaya aksial pada kolom dan momen – rotasi pada balok. Dengan menggunakan
data kekuatan rencana bahan, maka didapatkanlah grafik interaksi M – N kolom, sebagai

Lampiran – B  147
POT. I - I
1600 mm 450 1600 mm

50
70

450 mm
70

Sengkang : 10 - 100 mm


14 D16 70
70
70
I 1285 mm 50

Sengkang :
10 -100 mm
175 175

50

50
II
450 mm

450 mm
POT. II - II

4 D16
50

Sengkang : 10 - 100 mm


Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10 - 100 mm
2 D13

450 mm
350
1285 mm
Sengkang :
10 -100 mm
50
4 D16

50
81
38
81
50
300 mm

Gambar B.2 : Desain spesimen SBK Tipe 1 yang akan diteliti di dalam riset ini

diperlihatkan pada Gambar B.3-(a) di bawah. Juga, diperoleh grafik hubungan M –  balok,
sebagai disampaikan pada Gambar B.3-(b).
Masukkan angka-angka yang didapat ke dalam persamaan (B-2), didapatkan :

M nk

325  325
 2.0622  1.20  O.K. SBK Tipe 1
M nb 157.6  157.6
As 4    162
Periksa syarat penulangan balok :     0.005957  0.025  O.K.
bh 4  300  450
As ,tot 14    162
Periksa syarat penulangan kolom :  tot    0.0139  0.06  O.K.
bh 4  450  450

Interaksi M - N Kolom SBK Tipe 1 Hubungan M - Balok SBK Tipe 1


8000 250
7000 200
Gaya Aksial, Nn ( kN )

Momen, Mn ( kN.m )

6000 150
5000 100
4000 ( 325, 673.7 ) Y+ ( 0.002932, 157.60 ) 50 U+ ( 0.0607, 187.90 )
3000 0
2000 -0.08 -0.06 -0.04 -0.02 -50 0 0.02 0.04 0.06 0.08

1000 0.10 fc’. Ag = 673.7 kN U- ( -0.0607, -187.90 ) -100


0 -150
-1000 0 100 200 300 400 500 -200 Y- ( -0.002932, -157.60 )
-2000 -250
Momen, M n ( kN.m ) Rotasi, ( rad )

(a) (b)
Gambar B.3 : Data kekuatan kolom dan balok SBK Tipe 1
(a) Interaksi M - N kolom
(b) Hubungan M -  balok

148  Lampiran – B
Selanjutnya, grafik M –  untuk balok-balok SBK Tipe 2 (= SBK Tipe 4) dan SBK Tipe 3
(= SBK Tipe 5) ditampilkan pada Gambar B.4, sehingga rasio antara momen kolom dengan
momen baloknya didapatkan :

M nk

325  325
 1.8694  1.20  O.K. SBK Tipe 2 = SBK Tipe 4
M nb 117.0  230.7

M nk

325  325
 2.4856  1.20  O.K. SBK Tipe 3 = SBK Tipe 5
M nb 116.0  145.5

Hubungan M - Balok SBK-2 = SBK-4 Hubungan M - Balok SBK-3 = SBK-5


200 200
150 Y+ ( 0.002516, 116.00 )150

Momen, Mn ( kN.m )
100
Momen, Mn ( kN.m )

100
Y+ ( 0.00182, 117.0050) U+ ( 0.1373, 158.50 )
50 U+ ( 0.1259, 140.60 )
0
-0.12 -0.08 -0.04 -500.00 0.04 0.08 0.12 0.16 0
-0.16 -0.12 -0.08 -0.04 0.00 0.04 0.08 0.12 0.16
-50
U- ( -0.0850, -252.00 )
-100
U- ( -0.1303, -185.00 ) -100
-150 Y- ( -0.003245, -230.70 )
-200 -150
-250 -200 Y- ( -0.001877, -145.50 )
-300 -250
Rotasi, ( rad ) Rotasi, ( rad )

(a) (b)
Gambar B.4 : Data M -  balok-balok SBK Tipe 2 & 3
(a) Hubungan M -  balok SBK Tipe 2 = Tipe 4
(b) Hubungan M -  balok SBK Tipe 3 = Tipe 5

B.2 Panjang Sambungan Balok Pracetak ke Kolom pada SBK Tipe 2, 3, 4


&5
SBK Tipe 2, 3, 4 dan 5 dibuat dengan karakteristik struktur yang sama dengan SBK
Tipe 1, hanya saja dengan ditambahi detail sambungan pada pertemuan ujung-ujung balok
dengan kolomnya. Karena pada sambungan diharapkan terjadi plastifikasi, maka panjang
sambungan akan membentang pada daerah sepanjang sendi plastik. Panjang sambungan
disamakan dengan nilai yang lebih besar dari panjang daerah plastifikasi (sendi plastik)
atau panjang penjangkaran tulangan balok di dalamnya. Estimasi panjang sendi plastik
pada ujung balok ditentukan sebagai nilai terbesar dari model-model berikut ini :
z
 Baker & Amarakone (1964) : l p  0.8k1  k3    c ............... (B-3)
d 
 Sawyer (1964) : l p  0.25d  0.075 z ........................... (B-4)
z
 Corley (1966) : l p  0.5d  0.2 d    . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (B-5)
d 
 Mattock (1967) : p l  0.5d  0.05 z ............................ (B-6)
 Park, Priestley & Gill (1982) : l p  0.42h ........................ (B-7)

Lampiran – B  149
 Priestley & Park (1987) : l p  0.08 z  6db ....................... (B-8)
 Paulay & Priestley (1992) : l p  0.08 z  0.022db  f y ............... (B-9)
 Sheikh & Khoury (1993) : l p  h ........................... (B-10)
 Bayrak & Sheikh (1998) : l p  h ............................ (B-11)
 Panagiotakos & Fardis (2001) : l p  0.18 z  0.021db  f y ............ (B-12)
lp   P   A   z 
 Bae & Bayrak (2008) :  0.3    3  s
  1    0.25  0.25 . . . (B-13)
h   P0   Ag   h 
fy
 Berry, Lehman & Lowes (2008) : l p  0.05 z  0.10d b  ......... (B-14)
fc '
dimana : Ag = luasan gross penampang beton (mm2)
As = luasan tulangan tarik (mm2)
c = jarak garis netral dari tepi serat tertekan (mm)
d = tinggi manfaat penampang (mm)
db = diamater batang tulangan longitudinal (mm)
Ec = modulus Young dari beton
f c’ = kuat tekan silinder beton (MPa = N/mm2)
fy = tegangan leleh baja (MPa = N/mm2)
h = tinggi total penampang (mm)
k1 = 0.7 untuk baja lunak
k3 = 0.6 untuk : fc’ = 35.2 N/mm2
lp = panjang sendi plastik (mm)
P = gaya aksial yang diterapkan
P0 = kapasitas nominal gaya aksial = 0.85 f c '  Ag  As   f y  As
z = jarak dari penampang kritis ke titik belok (point of contra-flexure)

Dari ke dua belas model di atas, model model Priestley & Park (1987), Sheikh &
Khoury (1993), Bayrak & Sheikh (1998) serta Bae & Bayrak (2008) tidak bisa digunakan
karena mereka hanya berlaku untuk kolom atau dinding. Sisanya disusun dengan melaku-
kan analisis pada data eksperimental yang didapatkan dari spesimen balok. Panjang sendi
plastik dihitung :
1390
 Baker & Amarakone (1964) : l p  0.8  0.7  0.6   0.35  450  183.90 mm
400
 Sawyer (1964) : l p  0.25  400  0.075  1390  204.25 mm
1390
 Corley (1966) : l p  0.5  400  0.2 400   213.90 mm
400
 Mattock (1967) : l p  0.5  400  0.05  1390  269.50 mm
 Park, Priestley & Gill (1982) : l p  0.42  450  189 mm

150  Lampiran – B
 Paulay & Priestley (1992) : l p  0.08  1390  0.022  16  400  252 mm
 Panagiotakos & Fardis (2001) : l p  0.18  1390  0.021 16  400  384.60 mm
 ( Menentukan )
400
 Berry, Lehman & Lowes (2008) : l p  0.05  1390  0.10  16   180.50 mm
33.25

Menurut Pasal 21.7.5.1 ACI 318-11 panjang penjangkaran batang tulangan ulir
dalam tarik dengan kait standar 90o bila ditanamkan ke dalam kolom adalah sebesar :
f y  db
 ldh   8d b  150 mm .............................. (B-15)
5.40 f c '

Sedangkan bila penjangkaran terletak di luar kolom, ldh tersebut haruslah lebih besar untuk
memperhitungkan ketiadaan gaya aksial. Kehadiran gaya aksial tekan pada kolom
diketahui berpengaruh positif pada kinerja jangkar, sehingga kebutuhan panjang pen-
jangkaran menjadi lebih kecil bila dilakukan di dalam kolom. Panjang penyaluran batang
tulangan ulir dalam bentuk kait standar 90o yang memikul beban tarik menurut Pasal 12.5
ACI 318-011 adalah :

 0.24 e  f y 
ldh    db  8d b  150 mm . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (B-16)
  f c ' 
dimana : e = faktor pelapis penulangan ( = 1.00 untuk tulangan yang uncoated )
 = faktor dipakainya agregat ringan ( = 1.00 untuk beton normal weight )
db = diameter batang tulangan (mm)

Kebutuhan panjang penjangkaran didapatkan 205.54 mm bila dihitung dengan persamaan


(B-15), dan diperoleh 266.38 mm bila digunakan persamaan (B-16). Sehingga panjang
sambungan = 266.38 + 50 = 316.38 mm. Angka ini masih lebih kecil daripada estimasi
panjang sendi plastik yang didapatkan dari perhitungan sebelumnya yang sebesar 384.60
mm. Karenanya panjang sambungan ditetapkan = 384.60 mm  400 mm.

B.3 Tulangan Transversal pada Daerah Panel SBK Tipe 1, 2, 3, 4 & 5


Untuk mencegah terjadinya kegagalan geser sebelum pembentukan sendi plastik
pada balok, kekuatan geser horizontal harus dihitung menurut :

  Vn    1.2  f c '  Aj  Vu .................................. (B-17)

Persamaan (B-17) berlaku untuk sambungan yang mendapatkan pengekangan oleh balok-
balok pada ke tiga sisinya atau pada dua sisi yang saling berlawanan.

dimana :  = faktor reduksi kapasitas = 0.85

Lampiran – B  151
Vu = gaya geser horizontal ultimate pada joint
Aj = luasan efektif joint = bj × hj, dihitung dengan memperhatikan Gambar B.5
di bawah.
bb  2 x 
 
b j  Min bb  hk  .................................... (B-18)
b 
 k 
bb = lebar penampang balok
bk = lebar penampang kolom
hk = tinggi penampang kolom

Effective joint Extended


extendedby
by6d
6db b 75
75mm
mm Consecutive crossties
area, Aj Ash2 engaging the same
Joint depth = h longitudinal bar have their
Effectivejoint
Efective joint
width = b + h
in plane of width = b + h  b + 2x
90-degree hooks on
reinforcement b + 2x opposite sides of column
generating shear
xi
bc2
x xi
Ash1
x Note :
Effective area of joint for
Reinforcement h forces in each direction xi xi xi
generating shear b of framing is to be
considered separately. bc1
Joint illustrated does not
Direction of meet conditions of
forces generating 21.7.3.2 and 21.7.4.1 The dimension xi from centerline to centerline of tie legs is not to eceed 350 mm.
shear necessary to be The term hx used in eqs. 21-2 is taken as the largest value of xi
considered confined
because the beams do
not cover at least 3/4 of
the width of each of the
faces of the joint.

Gambar B.5 : Penentuan dimensi SBK untuk perhitungan geser horizontal

Gaya geser horizontal Vu dihitung dengan uraian pada Gambar B.6 di bawah ini :

 Gaya tarik pada tulangan balok kanan :


Tkn  AS ,kn  1.25 f y  804.25  1.25  400  402125 N
Nu

Mu
M pb ,kr  M pb ,kn
Vu 
htk
Tkr  AS ,kr  1.25 f y Ckn  Tkn

Mpb, kr Mpb, kn

Ckr  Tkr Tkn  AS ,kn  1.25 f y


M  M pb ,kn
Vu  pb ,kr
htk
Mu htk = tinggi tingkat

Nu

Gambar B.6 : Gaya geser horizontal pada SBK.

152  Lampiran – B
 Gaya tekan pada beton balok kanan : Ckn  Tkn  402125 N
 Pasangan gaya Tkn dan Mkn akan membentuk koppel momen Mpb, kn yang bekerja pada
ujung balok kanan. Misalkan lengan momen : z = 35 cm, maka : Mpb, kn = 402.12 × 0.35
= 140.74 kN.m. Nilai momen ini juga bisa diambilkan dari nilai kapasitas ultimate
nominal sebagai yang diperlihatkan pada Gambar B.3-(b) : Mu = 187.90 kN.m. Karena
nilainya lebih besar, maka yang terakhir ini diambil sebagai nilai momen plastik balok
kanan : Mpb, kn = 187.90 kN.m.
 Karena geometri struktur dan pembebanan yang simetri, maka momen balok kiri sama
dengan balok kanan : Mpb, kr = Mpb, kn = 187.90 kN.m.
 Gaya geser horizontal pada sambungan :
M pb ,kr  M pb ,kn 187.90  187.90
Vu    161.98 kN  (SBK Tipe 1 )
htk 2.32
dimana : htk = tinggi tingkat = 2 × 1.16 = 2.32 m
Gaya geser horizontal pada sambungan :
M pb , kr  M pb , kn 158.50  252.00
Vu    176.94 kN  (SBK Tipe 2 = 4 )
htk 2.32
Gaya geser horizontal pada sambungan :
M pb , kr  M pb , kn 140.60  185.00
Vu    140.34 kN  (SBK Tipe 3 = 5 )
htk 2.32
 Kekuatan geser horizontal sambungan dihitung dengan Persamaan (10) :
  Vn    1.2  f c '  Aj  0.85  1.2  33.25  450  450  1191025.40 N
= 1191.02 kN
Ternyata :
 . Vn ( = 1191.02 kN ) > Vu ( = 161.98 kN )  ( O.K. SBK Tipe 1 )
 . Vn ( = 1191.02 kN ) > Vu ( = 176.94 kN )  ( O.K. SBK Tipe 2 = 4 )
 . Vn ( = 1191.02 kN ) > Vu ( = 140.34 kN )  ( O.K. SBK Tipe 3 = 5 )

1). Luas penampang sengkang ikat horizontal untuk pengekang sambungan harus di-
hitung menurut Pasal 21.6.4.4-(b) ACI 318-11 :
f c '  Ag  f '
Ash  0.3sbck   1  0.09sbck c ..................... (B-19)
f yt  Ach  f yt

dimana : Ash = luas penampang tulangan sengkang pengekang


Ach = luasan teras penampang kolom, diukur dari muka terluar tulangan
sengkang
bck = lebar penampang teras kolom, diukur dari sisi-sisi terluar tulangan
sengkang
fyt = tegangan leleh tulangan sengkang
s = spasi sengkang ikat, yang harus ditentukan dari :

Lampiran – B  153
 
 14 bk 
 
s  Min 6db   100 mm . . . . . . . . . . . . . . . . (B-20)
 350  hx 
 s0  100  
 3 
Dari persamaan (B-20), diambil spasi sengkang : s = 100 mm, kemudian masukkan ke
dalam persamaan (B-19), diperoleh :

33.25  4502  33.25


Ash  0.3  100  386  2
 1  0.09  100  386 
420  386  420
= 329.20 mm  275.02 mm  ( O.K. )
2 2

 Pakai : 3 – D13  As ada = 398.20 mm2 > As perlu = 329.20 mm2 (O.K.)
atau : 4 – 10  As ada = 314.16 mm  As perlu = 329.20 mm (O.K.) 2 2

atau : 3 – 12  As ada = 339.29 mm2 > As perlu = 329.20 mm2 (O.K.)

Bila sengkang ikat dipasang 2 – 10 ( As ada = 157.08 mm2 ), maka luas penampang
terpasang tulangan transversal pengekang hanya 47.70% dari yang dibutuhkan.

Dengan kontrol yang dilakukan pada SBK Tipe 1, selanjutnya spesimen-spesimen SBK
Tipe 2 s/d. 5 dibuat dengan memakai detail konstruksi yang sama, tetapi penjabaran
penulangan pada daerah sambungannya yang berbeda. Selanjutnya, hasilnya disampaikan
pada Gambar B.7 s/d. B.10.
POT. I - I

50
70
450 mm

70
14 D16 70
70
70
1600 mm 450 1600 mm
50

Sengkang :
10 -100 mm
175 175
50

50
Sengkang : 10 - 100 mm

450 mm

I 1285 mm
POT. II - II
4 D16
( Batang2 tul.
50
III II 50
negatip )

4 D16
450 mm

+ 3 D16
300
450 mm 3 D16
( Batang2 - U
penyambung )
50
400 400 400 400 4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )
Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm

50
65
70
65
50

1285 mm
300 mm

POT. III - III


4 D16
( Batang2 tul.
50 negatip )
50
450 mm

2 D13
300
Sengkang :
10 -100 mm
50
4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )
50
65
70
65
50

300 mm

Gambar B.7 : Desain spesimen SBK Tipe 2 yang akan diteliti di dalam riset ini

154  Lampiran – B
POT. I - I

50
70

450 mm
70
14 D16 70
70
1600 mm 450 1600 mm 70
50

Sengkang :

Sengkang : 10 - 100 mm


10 -100 mm
175 175

50

50
I 450 mm
1285 mm

POT. II - II
4 D16
III II 50 ( Batang2 tul.
50 negatip )

450 mm
450 mm 300
3 D16
400 400 ( Batang2 kait )
50
4 D16
( Batang2 tul.

Sengkang : 10 - 100 mm


Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10- 100 mm balok pracetak )

50
65
70
65
50
1285 mm
300 mm

POT. III - III


4 D16
50 ( Batang2 tul.
50 negatip )

450 mm
300 2 D12
( Batang2 tul.
balok pracetak )

50
4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )

50
65
70
65
50
300 mm

Gambar B.8 : Desain spesimen SBK Tipe 3 yang akan diteliti di dalam riset ini

POT. I - I

50
70
450 mm

70
14 D16 70
70
70
1600 mm 450 1600 mm
50

Sengkang :
10 -100 mm
175 175
50

50
Sengkang : 10 - 100 mm

450 mm

I 1285 mm
II POT. II - II
3 D16
4 D16
( Batang2 tul.
50
III 3 D16 50
negatip )

4 D16
450 mm

+ 3 D16
300
450 mm 3 D16
( Batang2 - U
penyambung )
50
400 400 400 400 4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )
Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm

50
65
70
65
50

1285 mm
300 mm

POT. III - III


4 D16
( Batang2 tul.
50 negatip )
50
450 mm

2 D13
300
Sengkang :
10 -100 mm
50
4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )
50
65
70
65
50

300 mm

Gambar B.9 : Desain spesimen SBK Tipe 4 yang akan diteliti di dalam riset ini

Lampiran – B  155
POT. I - I

50
70

450 mm
70
14 D16 70
70
1600 mm 450 1600 mm 70
50

Sengkang :

Sengkang : 10 - 100 mm


10 -100 mm
175 175

50

50
I 450 mm
1285 mm
II
3 D16 POT. II - II
4 D16
III 3 D16 50 ( Batang2 tul.
50 negatip )

450 mm
450 mm 300
3 D16
400 400 ( Batang2 kait )
50
4 D16
( Batang2 tul.

Sengkang : 10 - 100 mm


Sengkang : 10 - 100 mm Sengkang : 10- 100 mm balok pracetak )

50
65
70
65
50
1285 mm
300 mm

POT. III - III


4 D16
50 ( Batang2 tul.
50 negatip )

450 mm
300 2 D12
( Batang2 tul.
balok pracetak )

50
4 D16
( Batang2 tul.
balok pracetak )

50
65
70
65
50
300 mm

Gambar B.10 : Desain spesimen SBK Tipe 5 yang akan diteliti di dalam riset ini

156  Lampiran – B
LAMPIRAN – C
HASIL UJI EKSPERIMENTAL – SBK TIPE 1, 2, 3, 4 & 5

C.1 SBK Tipe 1


C.1.1 Pemasangan Transducer
N

Tr-3 Tr-1 P 350

1285 mm
Tr-4
Tr-11 Tr-13

Tr-17
Tr-7 Tr-15 Tr-19 Tr-9
450 mm
Tr-16 Tr-20
Tr-8 Tr-18 Tr-10

Tr-12 Tr-14
1285 mm

Tr-5
240 350 240

Tr-6
1600 mm 450 1600 mm

Gambar C.1 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 1

C.1.2 Pembacaan Transducer


Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 1 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 4
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )

15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-150 -100 -50 0 50 100 150 0 2 4 6 8 10
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 5 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 6
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-4 -3 -2 -1 0 1 2 -1 0 1 2 3 4
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.2 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 1

Lampiran – C  157
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 7 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 8
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-60 -40 -20 0 20 40 60 80 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 9 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 10
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-80 -60 -40 -20 0 20 40 60 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 11 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 12
25 20
20 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

15 10
10
5
5
0
0
-5
-5
-10 -10

-15 -15
-20 -20
-12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 13 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 14
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.2 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan)

158  Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 15 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 16
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 17 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 18
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-1 0 1 2 3 4 5 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 19 Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 20
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gaya Restraint SBK Tipe 1 – RPL Gaya Restraint SBK Tipe 1 – RPR
25 25
20 20
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

15 15
10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-15 -10 -5 0 5 10 15 -15 -10 -5 0 5 10 15
Pembacaan Gaya Restraint ( ton ) Pembacaan Gaya Restraint ( ton )

Gambar C.2 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan)

Lampiran – C  159
C.1.3 Pemasangan Strain-gauge
SG-15
SG-8
SG-12 SG-3
SG-16 ; SG-17
SG-13 ; SG-14 SG-25

SG-19 SG-26
SG-18
SG-22 SG-27

SG-21 SG-28
SG-20 SG-29

SG-23 SG-31
SG-24 SG-30
SG-6 ; SG-7 SG-9 ; SG-10
SG-1 ; SG-2
SG-4 ; SG-5
SG-11
SG-42 ; SG-43
SG-40 ; SG-41
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : SG-38 ; SG-39
 Tulangan utama Balok : BM = 10 SG-36 ; SG-37
 Tulangan utama Kolom : CM = 15 SG-34 ; SG-35
 Tulangan sengkang Balok : BH = 6 SG-32 ; SG-33
 Tulangan sengkang Kolom : CH = 12

Total = 43

Gambar C.3 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1

C.1.4 Pembacaan Strain-gauge


Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 1 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 2
2,000 1,200
)
)

1,800 1,000
1,600
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (

1,400 800
1,200 600
1,000
400
800
600 200
400 0
200
-200
0
-200 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 3 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 4
10,000 2,500
)

8,000 2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

6,000 1,500

4,000 1,000

2,000 500

0 0

-2,000 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1

160  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 6 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 8
2,800 3,500

)
2,400 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,000
2,500
1,600
2,000
1,200
1,500
800
1,000
400
0 500

-400 0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 9 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 10
3,000 2,500
)

)
2,500 2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,000 1,500

1,500 1,000

1,000 500

500 0

0 -500

-500 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 11 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 12
3,500 4,000
)

3,000 3,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,500 3,000
2,500
2,000
2,000
1,500
1,500
1,000
1,000
500
500
0 0
-500 -500
-1,000 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 13 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 14
1,500 2,000
)

)
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,000 1,500

500 1,000

0 500

-500 0

-1,000 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan)

Lampiran – C  161
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 15 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 16
1,400 3,000
)

)
1,200 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,000
1,000
1,500
800 1,000
600 500
0
400
-500
200 -1,000
0 -1,500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 17 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 18
1,600 2,500
)

)
1,400
2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,200
1,000 1,500
800 1,000
600
400 500
200 0
0
-500
-200
-400 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 19 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 20
4,000 800
)

700
3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

600
2,000
500
1,000 400
300
0
200
-1,000
100
-2,000 0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 21 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 22
120 800
)

100 700
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

80 600
60 500
40 400
20 300
0 200
-20 100
-40 0
-60 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan)

162  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 23 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 24
2,800 3,500

)
2,400 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,000 2,500
1,600 2,000
1,500
1,200
1,000
800
500
400
0
0 -500
-400 -1,000
-800 -1,500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 25 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 26
4,000 2,500
)

)
3,500
2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
3,000
2,500 1,500
2,000 1,000
1,500
1,000 500
500 0
0
-500
-500
-1,000 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 27 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 28
600 900
)

800
500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

700
400 600
300 500
400
200 300
100 200
100
0
0
-100 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 29 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 30
450 3,500
)

400 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

350 2,500
300
2,000
250
1,500
200
1,000
150
500
100
50 0
0 -500
-50 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan)

Lampiran – C  163
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 31 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 32
2,800 900
)

)
2,400 800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,000 700
1,600 600
500
1,200
400
800
300
400
200
0 100
-400 0
-800 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 33 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 34
1,800 1,600
)

)
1,600 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,400 1,200
1,200
1,000
1,000
800
800
600
600
400
400
200 200
0 0
-200 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 35 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 36
1,600 1,600
)

1,400 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,200 1,200
1,000 1,000
800 800
600 600
400 400
200 200
0 0
-200 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 37 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 38
2,500 2,500
)

2,000 2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,500 1,500

1,000 1,000

500 500

0 0

-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan)

164  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 39 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 40
1,000 3,500

)
800 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,500
600
2,000
400
1,500
200
1,000
0
500
-200 0
-400 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 41 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 42
3,500 1,800
)

)
3,000 1,600
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,400
2,500
1,200
2,000 1,000
1,500 800
1,000 600
400
500
200
0 0
-500 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 43


2,200
)

2,000
1,800
Pembacaan Strain-gauge (

1,600
1,400
1,200
1,000
800
600
400
200
0
-200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan).

Lampiran – C  165
C.2 SBK Tipe 2
C.2.1 Pemasangan Transducer
N

Tr-3 Tr-1 P 300

1285 mm
Tr-4
Tr-11 Tr-13

Tr-17
Tr-7 Tr-15 Tr-19 Tr-9
450 mm
Tr-16 Tr-20
Tr-8 Tr-18 Tr-10

Tr-12 Tr-14
1285 mm

Tr-5
210 350 210

Tr-6
1600 mm 450 1600 mm

Gambar C.5 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 2

C.2.2 Pembacaan Transducer


Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 1 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 4
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-150 -100 -50 0 50 100 150 -2 0 2 4 6 8 10
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 5 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 6
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 -0.40 -0.30 -0.20 -0.10 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.6 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 2

166  Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 7 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 8
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-60 -40 -20 0 20 40 60 80 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 9 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 10
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-80 -60 -40 -20 0 20 40 60 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 11 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 12
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 13 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 14
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.6 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan)

Lampiran – C  167
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 15 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 16
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 17 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 18
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-3 0 3 6 9 12 15 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 19 Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 20
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gaya Restraint SBK Tipe 2 – RPL Gaya Restraint SBK Tipe 2 – RPR
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-15 -10 -5 0 5 10 15 20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20
Pembacaan Gaya Restraint ( ton ) Pembacaan Gaya Restraint ( ton )

Gambar C.6 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan)

168  Lampiran – C
C.2.3 Pemasangan Strain-gauge

Gambar C.7 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2

C.2.4 Pembacaan Strain-gauge


Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 1 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 2
2,000 3,000
)
)

2,500
1,500
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (

2,000
1,000 1,500
500 1,000
500
0 0
-500 -500
-1,000
-1,000
-1,500
-1,500 -2,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 3 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 4
1,800 2,500
)

1,600
2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,400
1,200
1,500
1,000
800 1,000
600
400 500
200
0
0
-200 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2

Lampiran – C  169
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 5 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 6
3,600 4,000
)

)
3,200
3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,800
2,400 2,000
2,000 1,000
1,600
1,200 0
800 -1,000
400
-2,000
0
-400 -3,000
0 200 400 600 800 1000 1200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 7 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 8
6,000 2,500
)

)
5,000 2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
4,000 1,500

3,000 1,000

2,000 500

1,000 0

0 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 9 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 10
6,000 4,000
)

5,000 3,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

3,000
4,000
2,500
3,000 2,000
2,000 1,500
1,000
1,000
500
0 0
-1,000 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 11 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 12
6,000 6,000
)

5,000 5,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

4,000 4,000

3,000 3,000

2,000 2,000

1,000 1,000

0 0

-1,000 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan)

170  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 13 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 14
3,000 3,000

)
2,500 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,000 2,000
1,500 1,500
1,000 1,000
500 500
0 0
-500 -500
-1,000 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 15 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 16
2,500 2,500
)

)
2,000
2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,500
1,500
1,000
1,000 500
0
500
-500
0
-1,000
-500 -1,500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 17 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 18
2,000 3,500
)

3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,500
2,500

1,000 2,000
1,500
500 1,000
500
0
0
-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 19 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 20
3,000 5,000
)

2,500 4,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000 3,000

1,500 2,000

1,000 1,000

500 0

0 -1,000

-500 -2,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan)

Lampiran – C  171
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 23 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 24
200 2,000
)

)
1,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
150

1,000
100
500
50
0
0
-500

-50 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 25 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 26
1,200 1,000
)

)
1,000 800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
800
600
600
400
400
200
200
0
0
-200 -200

-400 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 27 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 28
1,400 1,200
)

1,200 1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,000
800
800
600 600
400 400
200 200
0
0
-200
-400 -200
-600 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 29 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 30
1,200 1,600
)

1,000 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,200
800
1,000
600 800
400 600
400
200
200
0 0
-200 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan)

172  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 31 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 32
3,600 3,000

)
3,200 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,800
2,000
2,400
2,000 1,500
1,600 1,000
1,200 500
800
0
400
0 -500
-400 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 33 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 34
3,000 3,000
)

)
2,500 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,000
2,000
1,500
1,500
1,000
1,000
500
500
0
0 -500
-500 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 35 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 36
1,600 1,600
)

1,400 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,200 1,200
1,000 1,000
800 800
600 600
400 400
200 200
0 0
-200 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 37 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 38
100 300
)

80 250
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

60
200
40
150
20
100
0
50
-20
-40 0

-60 -50
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan)

Lampiran – C  173
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 39 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 40
500 1,800
)

)
1,600
400 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,200
300 1,000
800
200
600
100 400
200
0 0
-200
-100 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 41 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 42
2,000 1,200
)

)
1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,500
800

1,000 600
400
500 200
0
0
-200
-500 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 43 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 44
1,200 1,800
)

1,600
1,000 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

800 1,200
1,000
600 800
600
400
400
200 200
0
0 -200
-200 -400
-600
-400 -800
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 45 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 46
1,000 5,000
)

4,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

800

3,000
600
2,000
400
1,000

200
0

0 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan).

174  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 47 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 48
3,500 5,000

)
4,500
3,000
Pembacaan Strain-gauge ( 4,000

Pembacaan Strain-gauge (
2,500 3,500
2,000 3,000
2,500
1,500
2,000
1,000 1,500
500 1,000
500
0
0
-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 50 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 51
6,000 3,500
)

)
5,000 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,500
4,000
2,000
3,000
1,500
2,000
1,000
1,000
500
0 0
-1,000 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 54 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 55
2,200 4,000
)

2,000 3,500
1,800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

3,000
1,600
1,400 2,500
1,200 2,000
1,000 1,500
800 1,000
600
500
400
200 0
0 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 56


4,000
)

3,500
Pembacaan Strain-gauge (

3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0
-500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan).

Lampiran – C  175
C.3 SBK Tipe 3
C.3.1 Pemasangan Transducer
N

Tr-3 Tr-1 P 300

1285 mm
Tr-4
Tr-11 Tr-13

Tr-17
Tr-7 Tr-15 Tr-19 Tr-9
450 mm
Tr-16 Tr-20
Tr-8 Tr-18 Tr-10

Tr-12 Tr-14
1285 mm

Tr-5
210 350 210

Tr-6
1600 mm 450 1600 mm

Gambar C.9 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 3

C.3.2 Pembacaan Transducer


Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 1 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 4
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-150 -100 -50 0 50 100 150 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 5 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 6
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 -0.20 -0.10 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.10 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 3

176  Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 7 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 8
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-60 -40 -20 0 20 40 60 80 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 9 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 10
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-80 -60 -40 -20 0 20 40 60 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 11 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 12
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 13 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 14
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.10 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan)

Lampiran – C  177
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 15 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 16
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 -2 0 2 4 6 8 10 12
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 17 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 18
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-2 0 2 4 6 8 10 12 14 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 19 Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 20
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 -2 0 2 4 6 8 10
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gaya Restraint SBK Tipe 3 – RPL Gaya Restraint SBK Tipe 3 – RPR
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12
Pembacaan Gaya Restraint ( ton ) Pembacaan Gaya Restraint ( ton )

Gambar C.10 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan)

178  Lampiran – C
C.3.3 Pemasangan Strain-gauge
SG-12 SG-15
SG-8
SG-3
SG-13 ; SG-14
SG-6 ; SG-7
SG-1 ; SG-2 SG-16 ; SG-17
SG-9 ; SG-10
SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23

SG-32 ; SG-33 ; SG-34

SG-18 ; SG-19 ; SG-20


SG-29 ; SG-30 ; SG-31

SG-24 ; SG-25 ; SG-26


SG-37 ; SG-38 ; SG-39
SG-27 ; SG-28
SG-35 ; SG-36
SG-11
SG-50 ; SG-51
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : SG-48 ; SG-49
SG-46 ; SG-47
Tulangan utama Balok : BM = 13 SG-44 ; SG-45
Tulangan utama Kait Balok : HM = 5 SG-42 ; SG-43
Tulangan utama Kolom : CM = 15 SG-40 ; SG-41
Tulangan sengkang Balok : BH = 6
Tulangan sengkang Kolom : CH = 12

Total = 51

Gambar C.11 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3

C.3.4 Pembacaan Strain-gauge


Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 1 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 2
1,800 1,000
)
)

1,600
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (

1,400 750
1,200
1,000 500
800
600 250
400
200 0
0
-200 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 3 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 4
1,400 1,600
)

1,200 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,000 1,200
1,000
800
800
600
600
400
400
200 200
0 0
-200 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3

Lampiran – C  179
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 5 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 6
1,750 2,100
)

)
1,500 1,800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,250 1,500
1,200
1,000
900
750
600
500
300
250 0
0 -300
-250 -600
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 7 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 8
2,000 3,000
)

)
1,750 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,500 2,000
1,500
1,250
1,000
1,000
500
750
0
500
-500
250 -1,000
0 -1,500
-250 -2,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 9 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 10
1,250 3,500
)

1,000 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

750 2,500
500
2,000
250
1,500
0
1,000
-250
-500 500

-750 0
-1,000 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 11 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 12
3,000 6,000
)

2,500 5,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000 4,000

1,500 3,000

1,000 2,000

500 1,000

0 0

-500 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan)

180  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 13 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 14
1,200 1,200

)
1,000 1,000
Pembacaan Strain-gauge ( 800

Pembacaan Strain-gauge (
800
600 600
400
400
200
200
0
0
-200
-400 -200
-600 -400
-800 -600
-1,000 -800
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 15 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 16
700 1,500
)

)
600
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,000
500
400 500
300
200 0

100
-500
0
-100 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 17 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 18
1,500 2,000
)

1,200
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,500

900
1,000
600
500
300

0
0

-300 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 19 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 20
3,000 3,500
)

2,500 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000 2,500
1,500 2,000
1,000 1,500
500 1,000
0 500
-500 0
-1,000 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan)

Lampiran – C  181
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 21 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 22
160 500
)

)
140
400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
120
100 300
80
200
60
40 100
20
0
0
-20 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 23 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 24
1,600 1,600
)

)
1,400 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,200 1,200
1,000
1,000
800
800
600
600
400
400
200
200 0
0 -200
-200 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 25 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 26
2,000 1,000
)

900
800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,500
700
600
1,000
500
400
500
300
200
0 100
0
-500 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 27 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 28
3,000 4,000
)

3,500
2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

3,000
2,000 2,500
1,500 2,000
1,500
1,000 1,000
500 500
0
0
-500
-500 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan)

182  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 29 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 30
7,000 3,000

)
6,000 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
5,000 2,000
4,000 1,500
3,000 1,000
2,000 500
1,000 0
0 -500
-1,000 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 31 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 32
2,000 250
)

)
200
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,500

150
1,000
100
500
50

0
0

-500 -50
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 33 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 34
350 1,000
)

300
800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

250
600
200
150 400
100
200
50
0
0
-50 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 35 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 36
6,000 5,000
)

5,000
4,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

4,000
3,000
3,000
2,000 2,000
1,000
1,000
0
0
-1,000
-2,000 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan)

Lampiran – C  183
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 37 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 38
1,000 1,200
)

)
1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
750
800
500 600

250 400

200
0
0

-250 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 39 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 40
1,500 1,000
)

)
900
1,200
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
800
900 700
600 600
500
300 400
0 300
200
-300
100
-600 0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 41 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 42
1,600 900
)

1,400 800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

700
1,200
600
1,000 500
800 400
600 300
200
400
100
200 0
0 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 43 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 44
2,500 3,000
)

2,000 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000
1,500
1,500
1,000
1,000
500
500
0 0

-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan).

184  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 46 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 47
3,500 2,500

)
2,250
3,000
Pembacaan Strain-gauge ( 2,000

Pembacaan Strain-gauge (
2,500 1,750
1,500
2,000 1,250
1,500 1,000
750
1,000 500
250
500
0
0 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 48 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 50
2,000 1,200
)

)
1,750 1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,500
800
1,250
1,000 600
750 400
500
200
250
0 0

-250 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 51


4,000
)

3,000
Pembacaan Strain-gauge (

2,000
1,000
0
-1,000
-2,000
-3,000
-4,000
-5,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan).

Lampiran – C  185
C.4 SBK Tipe 4
C.4.1 Pemasangan Transducer
N

Tr-3 Tr-1 P 310

1285 mm
Tr-4
Tr-11 Tr-13

Tr-17
Tr-7 Tr-15 Tr-19 Tr-9
450 mm
Tr-16 Tr-20
Tr-8 Tr-18 Tr-10

Tr-12 Tr-14
1285 mm

Tr-5
210 340 210

Tr-6
1600 mm 450 1600 mm

Gambar C.13 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 4

C.4.2 Pembacaan Transducer


Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 1 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 4
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-150 -100 -50 0 50 100 150 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 5 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 6
20 18
15
15
12
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 9
6
5
3
0 0
-3
-5
-6
-10 -9
-12
-15
-15
-20 -18
-2.50 -2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 -1.25 -1.00 -0.75 -0.50 -0.25 0.00 0.25
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.14 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 4

186  Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 7 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 8
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-60 -40 -20 0 20 40 60 80 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 9 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 10
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-80 -60 -40 -20 0 20 40 60 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 11 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 12
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 13 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 14
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.14 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan)

Lampiran – C  187
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 15 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 16
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 17 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 18
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-2 0 2 4 6 8 10 12 14 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 19 Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 20
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-2 0 2 4 6 8 10 12 14 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gaya Restraint SBK Tipe 4 – RPL Gaya Restraint SBK Tipe 4 – RPR
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-10 -5 0 5 10 15 20 -10 -5 0 5 10 15 20
Pembacaan Gaya Restraint ( ton ) Pembacaan Gaya Restraint ( ton )

Gambar C.14 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan)

188  Lampiran – C
C.4.3 Pemasangan Strain-gauge
SG-11 SG-15
SG-31 SG-8
SG-12 SG-3

SG-13 ; SG-14
SG-6 ; SG-7 SG-16 ; SG-17
SG-1 ; SG-2 SG-9 ; SG-10
SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23
SG-37 ; SG-38 ; SG-39

SG-18 ; SG-19 ; SG-20


SG-32 ; SG-33 ; SG-34

SG-29 ; SG-30 SG-35 ; SG-36

SG-24 SG-44
SG-25 SG-43
SG-26 SG-42
SG-27 ; SG-28
SG-40 ; SG-41

Banyaknya Strain-Gauge dipasang : SG-55 ; SG-56


Tulangan utama Balok : BM = 15 SG-53 ; SG-54
Tulangan utama Kait Balok : HM = 8 SG-51 ; SG-52
Tulangan utama Kolom : CM = 15 SG-49 ; SG-50
: BH = 6 SG-47 ; SG-48
Tulangan sengkang Balok SG-45 ; SG-46
Tulangan sengkang Kolom : CH = 12

Total = 56

Gambar C.15 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4

C.3.4 Pembacaan Strain-gauge


Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 1 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 2
2,250 1,250
)
)

2,000
1,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (

1,750
1,500 750
1,250
1,000 500
750
250
500
250 0
0
-250 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 3 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 4
1,600 1,600
)

1,400 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,200 1,200
1,000
1,000
800
800
600
600
400
400 200
200 0
0 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4

Lampiran – C  189
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 5 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 6
1,750 4,000
)

)
1,500 3,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,250 3,000
2,500
1,000
2,000
750
1,500
500
1,000
250 500
0 0
-250 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 7 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 8
3,000 1,500
)

)
2,750
2,500 1,250
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,250 1,000
2,000
1,750 750
1,500
500
1,250
1,000 250
750
500 0
250 -250
0
-250 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 9 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 10
5,500 8,000
)

5,000 7,000
4,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

4,000 6,000
3,500 5,000
3,000 4,000
2,500
2,000 3,000
1,500 2,000
1,000 1,000
500
0 0
-500 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 11 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 12
5,000 2,250
)

2,000
4,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,750
1,500
3,000
1,250
2,000 1,000
750
1,000
500
250
0
0
-1,000 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan)

190  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 13 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 14
2,500 4,000

)
3,500
2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
3,000
1,500 2,500
2,000
1,000
1,500
500 1,000
500
0
0
-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 15 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 17
2,000 2,500
)

)
1,750 2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,500
1,500
1,250
1,000 1,000
750 500
500
0
250
0 -500

-250 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 18 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 19
2,400 3,500
)

2,100 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,800 2,500
1,500
2,000
1,200
1,500
900
1,000
600
300 500

0 0
-300 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 20 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 21
3,500 400
)

3,000 300
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,500 200
100
2,000
0
1,500
-100
1,000
-200
500 -300
0 -400
-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan)

Lampiran – C  191
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 22 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 23
900 200
)

)
800
150
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
700
600
100
500
400 50
300
200 0
100
-50
0
-100 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 24 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 25
900 900
)

)
750 750
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
600 600
450 450
300 300
150 150
0 0
-150 -150
-300 -300
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 26 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 27
1,200 3,500
)

1,050 3,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

900 2,500
750
2,000
600
1,500
450
1,000
300
500
150
0 0
-150 -500
-300 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 28 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 29
3,500 2,250
)

3,000 2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,500 1,750
1,500
2,000
1,250
1,500
1,000
1,000
750
500
500
0 250
-500 0
-1,000 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan)

192  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 30 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 31
2,250 1,250

)
2,000
1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,750
1,500
750
1,250
1,000 500
750
500 250
250
0
0
-250 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 32 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 33
5,000 3,500
)

)
3,000
4,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,500
3,000
2,000
2,000 1,500
1,000
1,000
500
0
0
-1,000 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 34 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 35
2,250 1,600
)

2,000 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,750 1,200
1,500
1,000
1,250
800
1,000
600
750
400
500
250 200
0 0
-250 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 36 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 37
2,250 200
)

2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,750 150
1,500
1,250 100
1,000
750 50
500
250 0
0
-250 -50
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan)

Lampiran – C  193
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 38 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 39
700 180
)

)
160
600
140
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
500 120
400 100
80
300
60
200 40
100 20
0
0
-20
-100 -40
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 40 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 41
2,700 3,000
)

)
2,400
2,500
2,100
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,800 2,000
1,500
1,200 1,500
900 1,000
600
300 500
0
0
-300
-600 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 42 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 43
1,500 1,000
)

1,250 800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,000
600
750
400
500
200
250
0
0
-250 -200

-500 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 44 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 45
1,200 600
)

1,000 500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

800 400

600 300

400 200

200 100

0 0

-200 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan).

194  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 46 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 47
2,250 1,100

)
2,000 1,000
900
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,750
800
1,500
700
1,250 600
1,000 500
750 400
500 300
200
250
100
0 0
-250 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 48 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 49
3,250 2,000
)

)
3,000
2,750 1,750
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,500 1,500
2,250
2,000 1,250
1,750 1,000
1,500
1,250 750
1,000 500
750
500 250
250 0
0
-250 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 50 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 51
2,750 3,000
)

2,500 2,750
2,250 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000 2,250
1,750 2,000
1,500 1,750
1,500
1,250
1,250
1,000 1,000
750 750
500 500
250 250
0 0
-250 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 52 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 55
2,750 1,200
)

2,500 1,100
2,250 1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000 900
1,750 800
1,500 700
600
1,250
500
1,000 400
750 300
500 200
250 100
0 0
-250 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan).

Lampiran – C  195
C.5 SBK Tipe 5
C.5.1 Pemasangan Transducer
N

Tr-3 Tr-1 P 300

1285 mm
Tr-4
Tr-11 Tr-13

Tr-17
Tr-7 Tr-15 Tr-19 Tr-9
450 mm
Tr-16 Tr-20
Tr-8 Tr-18 Tr-10

Tr-12 Tr-14
1285 mm

Tr-5
210 350 210

Tr-6
1600 mm 450 1600 mm

Gambar C.17 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 5

C.5.2 Pembacaan Transducer


Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 1 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 4
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-150 -100 -50 0 50 100 150 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 5 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 6
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-3.00 -2.50 -2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 -0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.18 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 5

196  Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 7 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 8
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-60 -40 -20 0 20 40 60 80 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 9 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 10
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-80 -60 -40 -20 0 20 40 60 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 11 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 12
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 13 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 14
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-9 -6 -3 0 3 6 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gambar C.18 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan)

Lampiran – C  197
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 15 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 16
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-2 0 2 4 6 8 10 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 17 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 18
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )


10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 19 Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 20
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-15 -10 -5 0 5 10 15 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
Pembacaan, ( mm ) Pembacaan, ( mm )

Gaya Restraint SBK Tipe 5 – RPL Gaya Restraint SBK Tipe 5 – RPR
20 20
15 15
Beban Lateral, P ( ton )

Beban Lateral, P ( ton )

10 10
5 5
0 0
-5 -5
-10 -10
-15 -15
-20 -20
-10 -5 0 5 10 15 -10 -5 0 5 10 15
Pembacaan, Gaya Restraint ( ton ) Pembacaan, Gaya Restraint ( ton )

Gambar C.18 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan)

198  Lampiran – C
C.5.3 Pemasangan Strain-gauge

Gambar C.19 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5

C.5.4 Pembacaan Strain-gauge


Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 1 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 2
1,500 800
)
)

1,250
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (

600
1,000

750 400

500 200
250
0
0

-250 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 3 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 4
1,200 1,400
)

1,200
1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,000
800
800
600 600
400
400
200
200
0
0 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5

Lampiran – C  199
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 5 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 6
800 8,000
)

)
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
600 6,000

400 4,000

200 2,000

0 0

-200 -2,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 7 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 8
6,000 1,500
)

)
1,250
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
4,500
1,000
3,000 750

1,500 500

250
0
0

-1,500 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 9 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 10
2,500 8,000
)

2,000 7,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,500 6,000
1,000 5,000
500 4,000
0 3,000
-500 2,000
-1,000 1,000
-1,500 0
-2,000 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 11 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 12
3,500 6,000
)

3,000 5,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,500
4,000
2,000
1,500 3,000
1,000 2,000
500
1,000
0
-500 0

-1,000 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan)

200  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 13 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 14
1,250 1,250

)
1,000 1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
750 750

500 500

250 250

0 0

-250 -250

-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 15 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 16
800 1,600
)

)
700 1,400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
600 1,200
500 1,000
400 800
300 600
200 400
100 200
0 0
-100 -200
-200 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 17 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 18
1,500 1,600
)

1,400
1,200
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

1,200
900 1,000
600 800
600
300 400
0 200
0
-300
-200
-600 -400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 19 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 20
3,000 3,000
)

2,500 2,500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000 2,000

1,500 1,500

1,000 1,000

500 500

0 0

-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan)

Lampiran – C  201
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 21 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 22
400 600
)

)
350
500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
300
250 400
200
300
150
100 200
50
100
0
-50 0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 23 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 24
700 600
)

)
600 500
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
500
400
400
300
300
200
200
100
100
0 0

-100 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 25 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 26
800 1,200
)

700
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

600 900

500
600
400
300
300
200
100 0
0
-100 -300
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 27 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 28
2,500 3,000
)

2,500
2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000
1,500
1,500
1,000 1,000
500
500
0
0
-500
-500 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan)

202  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 29 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 30
3,500 2,500

)
3,000
2,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,500
1,500
2,000
1,500 1,000
1,000
500
500
0
0
-500 -500
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 31 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 32
2,500 1,000
)

)
2,250 900
2,000 800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,750 700
1,500 600
1,250 500
1,000 400
750 300
500 200
250 100
0 0
-250 -100
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 33 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 34
9,000 500
)

8,000 450
400
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

7,000
350
6,000 300
5,000 250
4,000 200
3,000 150
100
2,000
50
1,000 0
0 -50
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 35 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 36
2,750 4,000
)

2,500 3,500
2,250
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

3,000
2,000
2,500
1,750
1,500 2,000
1,250 1,500
1,000 1,000
750
500
500
0
250
0 -500
-250 -1,000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan)

Lampiran – C  203
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 37 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 38
1,400 1,000
)

)
1,200
800
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
1,000
800
600
600
400 400
200
0 200
-200
0
-400
-600 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 39 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 40
750 1,400
)

)
600 1,200
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
450 1,000

300 800

150 600

0 400

-150 200

-300 0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 41 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 42
1,100 4,500
)

1,000 4,000
900
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

3,500
800
700 3,000
600 2,500
500 2,000
400 1,500
300
1,000
200
100 500
0 0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 43 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 44
2,500 1,500
)

1,250
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

2,000
1,000
1,500 750

1,000 500

250
500
0

0 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan).

204  Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 45 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 46
2,000 2,500

)
1,750 2,250
Pembacaan Strain-gauge ( 2,000

Pembacaan Strain-gauge (
1,500
1,750
1,250 1,500
1,000 1,250
750 1,000
500 750
500
250
250
0 0
-250 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 47 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 48
3,250 1,500
)

)
3,000
2,750 1,250
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (
2,500
2,250 1,000
2,000
1,750 750
1,500
1,250 500
1,000
750 250
500
250 0
0
-250 -250
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 50 Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 51
900 1,200
)

800
1,000
Pembacaan Strain-gauge (

Pembacaan Strain-gauge (

700
600 800
500 600
400
300 400
200 200
100
0
0
-100 -200
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Nomor Titik Pembebanan Nomor Titik Pembebanan

Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan).

Lampiran – C  205
206  Lampiran – C
LAMPIRAN – D
SIFAT MEKANIK BAHAN BAJA TULANGAN DAN BETON
SERTA PEMODELAN STRUKTUR SBK PADA
PERHITUNGAN ANALITIK

D.1 Umum

Perhitungan analitik di dalam riset ini menggunakan paket program komputer


SeismoStruct dari SeismoSoft. Untuk keperluan itu perlu dipersiapkan terlebih dahulu
beberapa data input. Data yang paling penting adalah sifat-sifat mekanik dari bahan baja
tulangan dan beton sebagai yang dibutuhkan menurut format data dari paket programnya.
Data input dimasukkan ke dalam program melalui modul Pre-Processor. Pada pasal D.2
dan D.3 berikut ini akan diuraikan data sifat-sifat mekanik kedua bahan tersebut.
Data penting lainnya adalah pemodelan SBK sebagai struktur rangka juga akan di-
sampaikan. Sesuai dengan desain semula dari riset, dimana pembebanan diberikan sampai
struktur melewati kondisi lelehnya, maka sendi-sendi plastik padanya perlu juga ditentukan
letaknya. Karenanya, parameter-parameter sendi plastik yang sesuai dengan model yang
dipakai harus pula didefinisikan. Pada pasal D.4 akan disampaikan pemodelan SBK dan
parameter-parameter sendi plastiknya.

D.2 Baja Tulangan

Untuk menyatakan respons siklik dari baja tulangan dipakai model Menegotto –
Pinto (Menegotto & Pinto, 1973). Model ini banyak dipakai di dalam program analisis
respons struktur karena kesederhanaannya. Model material uni-aksial ini dimaksudkan
untuk pemakaian pada struktur beton bertulang yang mendapatkan pembebanan bolak-
balik, dimana penampang melintang komponen dibagi menjadi serat-serat tipis dan pada-
nya diterapkan tegangan-tegangan normal. Perumusan awal dari model ini telah dilakukan
sebelumnya oleh Giuffre & Pinto pada 1970. Persamaan-persamaan analitik yang disusun
dapat dirunut awal mulanya sampai ke riset yang dilakukan oleh Goldberg & Richard pada
1963, yang dapat melukiskan lintasan-lintasan loading dan unloading. Menegotto & Pinto
kemudian mengembangkannya dengan memasukkan pengaruh kinematic hardening pada
1973. Kemudian pada 1983, Filippou memperbaikinya lebih lanjut dengan menambahkan
pengaruh isotropic hardening pada model tersebut (Filippou dkk., 1983). Baik Menegotto
& Pinto maupun Filippou menemukan beberapa cacat pada modelnya, yaitu respons yang
lebih tinggi daripada lintasan beban (loading) sebelumnya bila struktur tiba-tiba mengalami

Lampiran – D  207
lepas beban yang tidak lengkap (partial unloading), dan kemudian dilanjutkan dengan
ulang beban (reloading) pada deformasi yang lebih rendah daripada nilai maksimumnya.
Illustrasinya dapat dilihat pada Gambar D.1. Pada 2 contoh yang ditampilkan, terlihat garis
putus-putus sebagai lintasan yang seharusnya dilalui, dan garis penuh adalah lintasan yang
sebenarnya dilewati.

Gambar D.1 : Kesalahan pada model Menegotto - Pinto (1973) bila mendapatkan reloading
setelah tiba-tiba mengalami partial unloading.

Model semula dari Giuffre & Pinto (1970) adalah :

*
*  1
.............................................. (D-1)
1   *R R

dimana * adalah regangan ternormalisasi, dan R adalah parameter yang nilainya berubah-
ubah sebagai fungsi daripada banyaknya kunjungan leleh (plastic excursion) sebelumnya,
, yang menentukan bentuk lengkungan transisi untuk memperhitungkan pengaruh effek
Bauschinger, sebagai dinyatakan menurut persamaan berikut ini :

a1
R  R0  .............................................. (D-2)
a2  

dimana Ro nilai dari R selama pembebanan yang pertama kalinya, dan a1 dan a2 adalah
parameter-parameter yang ditentukan secara eksperimental.

Dengan perbaikan yang dilakukan, Menegotto & Pinto mengembangkan persa-


maan (D-1) menjadi :

 *  b * 
1  b   * ......................................... (D-3)
1

1    *R R

dimana :

208  Lampiran – D
Esh
b ................................................... (D-4)
Es

Untuk persamaan (D-3), tegangan dan regangan ternormalisasi ditentukan sebagai :

 r   r
*  dan : *  .............................. (D-5)
0 r 0  r

dimana o dan o adalah tegangan dan regangan pada titik pertemuan antara 2 garis
singgung dari cabang-cabang pembebanan yang sedang diperhitungkan, sementara r dan
r adalah tegangan dan regangan pada saat pembebanan sebelumnya berbalik.

Perbaikan yang dilakukan oleh Filippou pada 1983 adalah dengan cara menggeser
garis singgung leleh awal, sebagai yang ditunjukkan di dalam persamaan ini :

 st  
 a3  max  a4  ........................................... (D-5)
0  0 

dimana st adalah nilai tegangan yang dipakai untuk menggeser garis singgung leleh awal,
max adalah harga mutlak regangan pada saat beban berbalik, sedangkan a3 dan a4 adalah
parameter-parameter yang ditentukan secara eksperimental.
Mengenai pergeseran tegangan ini, Filippou memberikan penjelasannya yang me-
nyangkut pengaturan masalah unloading dan reloading dalam satu kesatuan riwayat pem-
bebanan yang seutuhnya. Pernyataannya, adalah apabila model analitik tersebut memiliki
‘memory’ yang merentang ke seluruh cabang pembebanan sebelumnya, maka suatu cabang
pembebanan yang baru pasti akan mengikuti cabang sebelumnya segera sesudah tercapai-
nya pembebanan maksimumnya. Pernyataan ini tentu sangat abstrak dan tidak dapat di-
terapkan untuk tujuan komputasional, karena model akan membutuhkan ‘memory’ yang
cukup besar untuk menyimpan semua keterangan mengenai tegangan-regangan dari suatu
riwayat reloading sebelumnya untuk dilacak kembali, ketika kemudian tiba-tiba dijumpai
lintasan unloading yang tidak lengkap (parsial). Untuk kebutuhan perhitungan secara
praktis, suatu model biasanya cukup menyimpan suatu jumlah kecil yang terbatas dari
hukum-hukum/rumus-rumus untuk mengendalikan perilakunya secara umum.
Untuk mengatasi kekurangan dari masalah di atas, Bosco pada 2014 mengusulkan
suatu perbaikan. Model yang diusulkan itu dirumuskan dengan menjadikan lintasan kurva
yang sedang diperhitungkan tersebut seolah-olah tanpa ada masalah unloading dan
reloading sebelumnya yang muncul (Bosco dkk., 2014). Tata langkahnya sendiri sedikit
agak panjang dan tidak akan disampaikan secara detail di sini. Dari kesimpulan yang
didapatkannya, perbaikan itu dapat dilakukan dengan tetap memakai model semula dari

Lampiran – D  209
Gambar D.2 : Contoh 4 grafik tegangan – regangan baja siklik dengan model
Menegotto – Pinto yang diperbaiki.

Material Name : rein  baja tulangan

Material Type : stl_mp  baja dengan mengikuti model


Menegotto-Pinto

Input properties baja tulangan

Unit  satuan yang dipakai di dalam analisis

Gambar D.3 : Screen capture untuk input data baja tulangan dengan program SeismoStruct.

210  Lampiran – D
Menegotto – Pinto tetapi dengan menggunakan parameter-parameter : Ro = 20, a1 = 18.5,
a2 = 0.15, a3 = 0, dan a4 = 1. Pada Gambar D.2 disampaikan grafik tegangan–regangan baja
dengan model Menegotto–Pinto yang sudah diperbaiki. Dan pada Gambar D.3 diperlihat-
kan screen capture dari program untuk data input baja tulangan pada perhitungan analitik
respons SBK yang memakai program SeismoStruct dengan menggunakan nilai-nilai para-
meter di atas. Data lainnya adalah : modulus elastisitas : Es = 2×105 MPa, tegangan leleh :
fy = 488 MPa, strain-hardening parameter : Esh Es  0.004592  0.005, fracture strain : sf
= 0.1943, dan specific weight = 78 kN/m3.

D.3 Beton

Model yang paling populer untuk menyatakan hubungan tegangan – regangan


beton dengan beban siklik adalah dari Mander. Model yang dipublikasikan sejak 1988 itu
mendasarkan pada model perilaku monotonik dari Popovics yang dapat mendeskripsikan
hubungan tegangan – regangan dari 2 kondisi beton sekaligus, yaitu tak terkekang
(unconfined) dan terkekang (confined) (Popovics, 1973). Di dalam model ini, hubungan
tegangan – regangan beton dinyatakan sebagai diperlihatkan pada Gambar D.4 :

Tegangan, fc’

fcc’

Terkekang
fco’
Tak Terkekang

Ec Esec

co’ 2 co’ sp cu’

cc’ Regangan, c’

Gambar D.4 : Hubungan tegangan – regangan beton monotonik menurut Popovics.

x  r  f cp '
fc '  .............................................. (D-6)
r  1  xr
c '
x ................................................... (D-6-a)
 cp '

Ec
r ............................................... (D-6-b)
Ec  Esec

Lampiran – D  211
dimana : fcp’ = tegangan puncak = fco’ = fc’ untuk beton tak terkekang
= fcc’ untuk beton terkekang
cp’ = regangan pada tegangan puncak = co’ = 0.002 untuk beton tak terkekang
= cc’ untuk beton terkekang
sp’ = regangan pada saat hancur/spall (fc’ = 0)
cu’ = regangan ultimate terkekang
c = modulus elastisitas awal  4730 fc ' (MPa) untuk beton normal
sec = modulus sekan

Melalui eksperimen yang dilakukannya, Richart dkk. (1928) mendapatkan bahwa dengan
memberikan pengekangan pada sekelilingnya, beton akan mengalami peningkatan, baik
pada tegangan maupun regangannya, sebagai berikut :

fcc '  fco ' k1  fl .............................................. (D-7)

dan :
 f 
 cc '   co ' 1  k2  l  .......................................... (D-8)
 fco ' 

dimana : fl = tegangan pengekang pada sekeliling beton


k1 = koefisien yang bernilai 4.10
k2 = 5 k1

(a) (b) (c)

(d)

Gambar D.5 : Berbagai contoh bentuk pemasangan tulangan pengekang.


(a) Sengkang dan tulangan-tulangan ikat melintang (cross-tie)
(b) Spiral melingkar pada penampang persegi
(c) Spiral melingkar pada penampang bulat
(d) Sengkang dan tulangan ikat melintang pada dinding

212  Lampiran – D
Besarnya tegangan pengekang fl tergantung pada jenis tulangan pengekang dan
jarak pemasangannya, s. Pada Gambar D.5 di atas disampaikan contoh berbagai cara pe-
masangan tulangan pengekang. Besarnya tegangan pengekang pada penampang bulat
dengan tulangan transversal spiral bulat dihitung dengan memperhatikan Gambar D.6.

ds
s'
4

Aeff
fl
Asp fy Asp fy
ds

Kesetimbangan gaya :
o
45
2 Asp  f y  f l  d s  s
s’ s
2 Asp  f y
fl 
ds  s

Luas penampang teras :

s'   ds2
ds  At 
4 4

Gambar D.6 : Tegangan pengekang pada penampang bulat dengan tulangan spiral.

Luasan efektif pengekangan :


2 2 2
  s '    ds  s' 
Aeff    ds     1   .......................... (D-9)
4  2 4  2ds 
Koefisien effektifitas pengekangan :
Aeff
ke  .................................................. (D-10)
At
Besarnya tegangan pengekang effektif yang bekerja :
Asp  f y
fl ,eff  2ke  .......................................... (D-11)
ds  s

Pada penampang persegi panjang terdapat ineffektifitas bukan saja pada arah sumbu Z,
melainkan juga pada sumbu-sumbu X dan Y-nya. Dengan memperhatikan illustrasi pada
Gambar D.7, luas efektif Aeff dapat dihitung :

Lampiran – D  213
bt
s'
4
w1 w2 w3

w4 ht
Y

Z 45o
s
s’

s'
bt 
2
Gambar D.7 : Luas effektif penampang persegi panjang dengan tulangan sengkang.

Luas effektif penampang penampang persegi panjang dengan tulangan sengkang :

 w 
2
s '  s' 
Aeff  bt  ht   i 1  1   .......................... (D-12)
 6  2bt  2ht 

dimana : bt = lebar teras, diukur dari muka bagian dalam tulangan pengekang
ht = tinggi teras, diukur dari muka bagian dalam tulangan pengekang
wi = jarak antara muka ke muka tulangan memanjang yang berturutan pada
masing-masing sisi
s’ = jarak dari muka ke muka dua tulangan pengekang berturutan

Regangan batas beton terkekang cu’ pada Gambar D.4 didefinisikan sebagai
regangan pada arah memanjang serat pada saat tulangan pengekang mengalami kegagalan.
Untuk menentukan nilainya, digunakanlah Teori Kesetimbangan Energi. Teori ini diletak-
kan di atas pemikiran, bahwa terjadinya penambahan daktilitas pada penampang disebab-
kan oleh disimpannya sejumlah energi pada tulangan-tulangan transversal dan longitudinal
yang mengekang di sekelilingnya. Dengan konsep ini, regangan batas beton terkekang akan
dapat dihitung dengan menyetimbangkan antara energi regang tulangan pengekang trans-

214  Lampiran – D
versal sampai putus dengan selisih antara beton yang terkekang dengan yang tak terkekang
setelah ditambahkan dengan energi dari tulangan-tulangan memanjangnya. Secara mate-
matika dituliskan sebagai :

Esh  Ecc  Esc  Eco .......................................... (D-13)

dengan :
 shf

Esh  sh  At 0
f sh  d sh ....................................... (D-13-a)

 cu '

Ecc  At 0
fcc  d cc .......................................... (D-13-b)

 cu '

Esc  cst  At 
0
f s  d s ....................................... (D-13-c)

 sp '

Eco  At 0
fco  d co .......................................... (D-13-d)

dimana : Esh = energi yang diperlukan untuk memutuskan tulangan pengekang transversal
Ecc = kapasitas energi beton terkekang
Eco = kapasitas energi beton tak terkekang
Esc = energi yang diperlukan tulangan longitudinal untuk leleh dalam aksial
tekan
At = luas penampang teras
cc & fcc = regangan dan tegangan beton terkekang
co & fco = regangan dan tegangan beton tak terkekang
cu’ = regangan batas beton terkekang
s & fs = regangan dan tegangan baja
sf = regangan putus (fracture) baja tulangan
sp’ = regangan pecah beton tak terkekang
cst = perbandingan luas tulangan longitudinal dengan luasan teras
sh = perbandingan volume tulangan pengekang transversal dengan teras beton

Penerapan persamaan-persamaan di atas pada SBK sebagai ditunjukkan pada


Gambar 4.2 dengan menggunakan informasi hasil pengujian silinder beton akan diperoleh
data untuk penampang kolom: fco’ = 360 kg/cm2 = 35.30 MPa, fcc’ = 40.94 MPa, co’ =
0.002, sp’ = 0.006, cc’ = 0.002929 dan cu’ = 0.01523. Sedangkan untuk penampang balok

Lampiran – D  215
didapatkan : fco’ = 360 kg/cm2 = 35.30 MPa, fcc’ = 41.90 MPa, co’ = 0.002, sp’ = 0.006,
cc’ = 0.003056 dan cu’ = 0.01688. Pada Gambar D.8, D.9 dan D.10 di bawah disampaikan
screen capture input data untuk beton unconfined, confined untuk kolom dan confined
untuk balok.

Material Name : unc  beton unconfined

Material Type : con_ma  beton dengan mengikuti model


Mander

Input properties bahan beton

Unit  satuan yang dipakai di dalam analisis

Gambar D.8 : Screen capture untuk input data beton unconfined.

Material Name : conf-col  beton confined untuk kolom

Material Type : con_ma  beton dengan mengikuti model


Mander

Input properties bahan beton

Gambar D.9 : Screen capture untuk input data beton confined kolom.

216  Lampiran – D
Material Name : conf-beam  beton confined untuk balok

Material Type : con_ma  beton dengan mengikuti model


Mander

Input properties bahan beton

Gambar D.10 : Screen capture untuk input data beton confined balok.

D.4 Pemodelan SBK sebagai Struktur Rangka dan Parameternya

Untuk keperluan perhitungan analitik, SBK dimodelkan sebagai rangka. Seperti


diperlihatkan pada Gambar D.11, rangka SBK interior dibagi-bagi menjadi beberapa
elemen rangka yang masing-masing kedua ujungnya dibatasi oleh titik-titik simpul (node).

V
H
n212-x2 ; n212-x3

n213
col2124 0.245 m
n212-x1

n212-x4
n212-x5
n112-x4 ; n112-x5

n212-z3

col2123
0.445
n112-x1

n112-x2

n112-x3

n212-z2
n112

n312
n212-x6

n212-z1
bmx1121

bmx1122

bmx1123

bmx1124

bmx1125
bmx1126

bmx2125

bmx2126

col2122 0.245

0.225
0.225
bmx2121
bmx2122

bmx2123

bmx2124

Link-L col2113 Link-R 0.245 m

n212
col2112 n211-z2 0.445
n112-x6

n211-z3
n211-z1
col2111 0.245 m
Node n211
Plastic hinge
Plastification zone
0.2500 m

0.2500 m

0.2500 m
0.4600

0.2500

0.2000
0.2000
0.2250
0.2250
0.2000
0.2000

0.4600

Gambar D.11 : Spesimen SBK interior dimodelkan sebagai struktur rangka.

Lampiran – D  217
Dengan pembebanan sampai melewati keadaan awal lelehnya, maka struktur akan meng-
alami plastifikasi. Dalam hal ini, plastifikasi dianggap terpusat pada sendi-sendi plastik
yang terbentuk pada ujung-ujung balok, yang di dalam model struktur diwakili oleh elemen
link kiri (Link-L) dan kanan (Link-R).
Dengan perilaku sendi plastik yang mengikuti model Richard–Abbott, maka data
di-input melalui tab Element Classes  Link Element Types  kemudian dimasukkan
jenis gaya-gayanya sebagai yang ditunjukkan uraiannya pada Gambar 5.2 di depan, dan
yang akan disampaikan lagi pada Gambar D.12 di bawah ini. Sebagai contoh, gaya-gaya
itu akan dijabarkan untuk SBK Tipe 1 sebagai berikut ini :

11 zm M6

8
7
10 xm ym
M5
F6 xm
M3 F5
M4
M2 F3 F4
9 F2
12
F1
M1

Gambar D.12 : Uraian gaya-gaya pada elemen struktur rangka di dalam SeismoStruct.

4 D16 Beton : Ec  4730 f c '  4730 35.30  28103 MPa


50
225
= 28103 N/mm2
450 mm

n.a. Baja : Es = 2 × 105 N/mm2


2 D13
225
50 Ac  300  450  135000 mm2
4 D16 
As    8  162  2  132   1873.96 mm2
300 mm 4

1
I cx   300  4503  2278125000 mm4
12
1
I cy   3003  450  1012500000 mm4
12
I sx  8  201.06  1752  49259700 mm4
I sy  4  201.06  192  4  201.06  1002  2  132.73  1002  10987330.64 mm4
Gs = 0.81 × 105 N/mm2
E
Gc  2  14190 N/mm2 ( ACI 318M-05 R 13.6.4.2 )
2
J = I p = Ix + Iy

218  Lampiran – D
Kekakuan :
EA 28380  135000  2  105  1873.96
 F1    10515230 N/mm = 10 515 230 kN/m
L 400
( Tekan )
5
2  10  1873.96
  936980 N/mm = 936 980 kN/m ( Tarik )
400
12 EI y 12   28380  1012500000  2  10  10987330.64
5

 F2    5779790.52
L3 4003
N/mm
= 5 779 790 kN/m

12 EI x 12   28380  2278125000  2  10  49259700


5

 F3    13969711.41 N/mm
L3 4003
= 13 969 711 kN/m

G  J 14190   2278125000  1012500000   0.81 10   49259700  10987330.64 


5

 M1   
L 400
= 1.289349 × 1011 N.mm/rad = 1.289349 × 105 kN.m/rad
 M2 :
 Ka = 53 755.  Kd = 53 755.
 Ma = (1.1  1.3) × My = 173.40  Md = (1.1  1.3) × My = 173.40
 Kpa = (0.02  0.05) × Ka = 524.70  Kpd = (0.02  0.05) × Kd = 524.70
 Na = 0.6  Nd = 0.6
 Kap = Ka = 53 755.  Kdp = Kd = 53 755.
 Map = (0.45  0.65) × Ma = 78.  Mdp = (0.45  0.65) × Md = 78.
 Kpap = Kpa = 524.70  Kpdp = Kpd = 524.70
 Nap = 0.6  Ndp = 0.6
 t1a = 38.  t1d = 38.
 t2a = 0.5  t2d = 0.5
 Ca = 1.  Cd = 1.
 iKa = 0.000006  iKd = 0.000006
 iMa = 0.028  iMd = 0.028
 Ha = 1.0 × 10–7  Hd = 1.0 × 10–7
 Emax-a = 0.1  Emax-d = 0.1

dimana : Ka = kekakuan awal dari lintasan batas atas kurva naik


Ma = kekuatan lintasan batas atas kurva naik, biasanya berharga 1.10 s/d.
1.30 dari momen leleh penampang
Kpa = kekakuan paska-leleh dari lintasan batas atas kurva naik, biasanya
Bernilai antara 0.02Ka s/d. 0.05Ka
Na = parameter bentuk dari lintasan batas atas kurva naik
Kap = kekakuan awal dari lintasan batas bawah kurva naik, biasanya

Lampiran – D  219
dianggap sama nilainya dengan Ka
Map = kekuatan lintasan batas bawah kurva naik, biasanya nilainya ber-
kisar antara 0.45Ma s/d. 0.65 Ma
Kpap = kekakuan paska-leleh dari lintasan batas bawah kurva naik, biasanya
nilainya dianggap sama dengan Kpa
Nap = parameter bentuk dari lintasan batas bawah kurva naik
t1a = parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva naik
t2a = parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva naik
Ca = parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva naik,
biasanya bernilai 1.00
iKa = koefisien empirik untuk laju kerusakan kekakuan kurva naik
iMa = koefisien empirik untuk laju kerusakan kekkuatan kurva naik
Ha = koefisien empirik untuk menyatakan isotropic hardening kurva naik
Emax-a = nilai deformasi (rotasi) maksimum kurva naik
Kd = kekakuan awal dari lintasan batas atas kurva turun
Md = kekuatan lintasan batas atas kurva turun, biasanya berharga 1.10 s/d.
1.30 dari momen leleh penampang
Kpd = kekakuan paska-leleh dari lintasan batas atas kurva turun, biasanya
bernilai antara 0.02Kd s/d. 0.05Kd
Nd = parameter bentuk dari lintasan batas atas kurva turun
Kdp = kekakuan awal dari lintasan batas bawah kurva turun, biasanya
dianggap sama nilainya dengan Kd
Mdp = kekuatan lintasan batas bawah kurva turun, biasanya nilainya ber-
kisar antara 0.45Md s/d. 0.65 Md
Kpdp = kekakuan paska-leleh dari lintasan batas bawah kurva turun, biasa-
nya nilainya dianggap sama dengan Kpa
Ndp = parameter bentuk dari lintasan batas bawah kurva turun
t1d = parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva turun
t2d = parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva turun
Cd = parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva turun,
biasanya bernilai 1.00
iKd = koefisien empirik untuk laju kerusakan kekakuan kurva turun
iMd = koefisien empirik untuk laju kerusakan kekkuatan kurva turun
Hd = koefisien empirik untuk menyatakan isotropic hardening kurva turun
Emax-d = nilai deformasi (rotasi) maksimum kurva turun

220  Lampiran – D
Plastifikasi hanya dianggap terjadi pada arah gaya M2 saja, sementara arah-arah gaya
yang lain masih tetap elastik. Kurva histeretik beban – perpindahan membentuk loop
yang terdiri dari lintasan-lintasan yang naik (ascending branch, subskrip – a) dan yang
turun (descending branch, subskrip – d). Terutama untuk menghitung K dan M, diguna-
kanlah grafik yang dihasilkan dari analisis momen – rotasi penampang balok, sebagai
yang diperlihatkan pada gambar D.13 di bawah.

2 EI y 2   28380  1012500000  2  105  10987330.64 


 M3   
L 400
= 1.546611 × 1011 N.mm/rad = 1.546611 × 105 kN.m/rad

Gambar D.13 : Diagram momen – rotasi sendi plastik pada balok SBK Tipe 1.

Dengan cara yang sama, maka akan dapat ditentukan pula parameter-parameter sendi
plastik untuk SBK Tipe 2 sampai dengan Tipe 5, dan hasilnya disarikan ke dalam Tabel
D.1 di bawah ini. Tabel D.1 inilah yang kemudian diambil ke depan sebagai Tabel 5.1.

Lampiran – D  221
Tabel D.1 : Ringkasan nilai parameter sendi plastik pada arah M2 pada SBK Tipe
1 s/d. 5 untuk dipakai di dalam perhitungan analitik dengan program
SeismoStruct memakai model Richard–Abbott.

Parameter Sendi Plastik Nama Spesimen


SBK Tipe 1 SBK Tipe 2 SBK Tipe 3 SBK Tipe 4 SBK Tipe 5
Ka (kN.m/rad) 53755. 71094. 77517. 71094. 77517.
Ma (kN.m) 173.4 299.9 203.7 299.9 206.6
Kpa (kN.m/rad) 524.7 260.44 307.58 260.44 307.58
Cabang Mendaki (Ascending Branch)

Na 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6


Kap (kN.m/rad) 53755. 71094. 77517. 71094. 77517.
Map (kN.m) 78. 134.96 70.25 134.96 80.64
Kpap (kN.m/rad) 524.7 260.44 307.58 260.44 307.58
Nap 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
t1a 38. 42. 40. 38.5 39.5
t2a 0.5 0.5 0.51 0.5 0.5
Ca 1. 1. 1. 1. 1.
iKa 0.000006 0.000004 0.000005 0.000006 0.000006
iMa 0.028 0.03 0.028 0.03 0.031
Ha 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07
Emax-a (rad) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Kd (kN.m/rad) 53755. 64286. 46105. 64286. 46105.
Md (kN.m) 173.4 152.1 162.4 152.1 164.7
Cabang Menurun (Descending Branch)

Kpd (kN.m/rad) 524.7 305.87 199.38 305.87 199.38


Nd 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
Kdp (kN.m/rad) 53755. 64286. 46105. 64286. 46105.
Mdp (kN.m) 78. 68.45 52.47 68.45 64.2
Kpdp (kN.m/rad) 524.7 305.87 199.38 305.87 199.38
Ndp 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
t1d 38. 42. 40. 38.5 39.5
t2d 0.5 0.5 0.51 0.5 0.5
Cd 1. 1. 1. 1. 1.
iKd 0.000006 0.000004 0.000005 0.000006 0.000006
iMd 0.028 0.03 0.028 0.03 0.031
Hd 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07 1.0E-07
Emax-d (rad) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1

222  Lampiran – D
LAMPIRAN – E
PEMERIKSAAN KINERJA SBK TIPE 1, 2, 3, 4 & 5 MENURUT
ACI 374.1-05

E.1 Data Umum

Untuk kebutuhan perhitungan, beberapa data dasar mengenai struktur SBK perlu
dipersiapkan terlebih dahulu. Data itu adalah analisis struktur SBK dan analisis penampang
balok & kolom SBK. Analisis struktur, yang dilakukan pada daerah elastik dari sifat bahan,
dipergunakan untuk memberikan gambaran hubungan antara beban yang diberikan dengan
gaya-gaya dalam yang terbentuk pada komponen-komponen balok & kolom. Sedangkan
hasil dari analisis penampang dipakai untuk memeriksa besarnya nilai-nilai kapasitas balok
& kolom dalam memikul beban. Pada Gambar E.1 di bawah ini disampaikan hasil analisis
struktur dengan menggunakan program SAP2000. Hasil analisis penampang pada kolom
& balok SBK disampaikan pada Gambar E.2 dan E.3.

V = 14 ton
0.225 m

P = 20 ton
20.00 14.00

45/45 1.16 m 23.40 14.00


30/45 30/45
23.40
23.40
23.40
45/45 1.16 m
20.0782

M D N
1.585 1.585
ton.m ton ton

Gambar E.1 : Hasil analisis struktur pada spesimen SBK.

Gambar E.2 : Grafik interaksi M – N kolom spesimen SBK.

Lampiran – E  223
(a) (b)

(c)

Gambar E.3 : Grafik hubungan momen – putaran sudut balok spesimen SBK.
(a) SBK Tipe 1
(b) SBK Tipe 2 = 4
(c) SBK Tipe 3 = 5

E.2 SBK Tipe 1

Untuk memeriksa kekakuan dan kekuatan awal struktur, digunakanlah grafik histe-
retik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.4 di bawah. Dari gambar
tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna biru muda menunjukkan grafik histeretik
untuk keseluruhan riwayat respons, sedangkan garis tebal berwarna biru tua menunjukkan
serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Grafik backbone adalah kurva
berwarna coklat tua (loading & reloading) dan hijau tua (unloading) yang dibuat dengan
menghubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga
siklus pembebanan.

Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :


 Dari Gambar E.3(a) diperoleh momen leleh nominal balok : 157.60 kN.m = 16.070728
t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ; 1kgf = 9.80665 N )
 Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat
Gambar E.1), sehingga beban lateral dapat dihitung :

224  Lampiran – E
16.070728
P  20  16.0081 ton  En (+) = En (– ) = 16.00 ton
20.0782
210  210
 Faktor overstrength kolom :    1.3388
157.6  157.6
Sehingga :  En  1.3388  16.00  21.4208 ton

Gambar E.4 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 1 menurut ACI 374.1-05.

 Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 17.50 ton dan Emaks (– ) = –16.51 ton
Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×17.50 = 13.125 ton dan 
0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–16.51) = –12.38 ton

 Untuk mendapatkan kekakuan awal yang cukup, butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05
menetapkan bahwa kekuatan nominal En harus terbentuk lebih dahulu sebelum di-
lampauinya nilai drift awal yang konsisten dengan pembatasan drift yang diijinkan
oleh peraturan bangunan. Misalnya, peraturan IBC 2000 menetapkan drift tingkat
yang diijinkan a di dalam Tabel 1617.3, dan ASCE 7-05 mencantumkannya di dalam
Tabel 12.12-1. Lebih lanjut, ASCE 7-05 menentukan nilai-nilai a sesuai dengan
Occupancy Category-nya. Misalnya : a = 0.020h untuk Occupancy Category (OC) I
– II, a = 0.015h untuk OC III, dan a = 0.010h untuk OC IV. (Catatan : OC I mewakili
bangunan gedung dan struktur lainnya dengan dampak bencana yang rendah dalam
hal terjadi keruntuhan, dan OC IV mewakili bangunan fasilitas yang utama).

 Batas yang diijinkan untuk drift awal yang konsisten dengan a adalah a/.Cd h ,
dimana :  adalah faktor reduksi kekuatan yang sesuai dengan jenis ragam keruntuh-
annya, lentur atau geser, Cd adalah faktor amplifikasi perpindahan, dan h adalah tinggi

Lampiran – E  225
tingkat. Cd diatur di dalam ASCE 7-05 Tabel 12.2-1, nilainya sebesar 5.50 untuk
Special Moment Resisting Frame beton bertulang. Misalkan untuk OC III, a =
0.015h, maka drift awal yang diijinkan adalah = 0.015/(0.90×5.50) = 0.003 atau
0.30%.

 Garis En = 16 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan garis
En = – 16 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C. Selanjutnya
garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik B, dan
garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik D.

Koordinat titik-titik itu : A(0.9723, 16.0); B(0.30, 7.6768); C(–1.2322, –16.0); dan –
D(–0.30, –5.98)
Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton.

Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului
titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D.

Ternyata : PA > PB atau A > B


 9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K.
PC < PD atau C < D

 Dari Gambar D.4 terlihat : En  Emaks   En untuk zona Loading/Reloading, dan ~

En  Emaks   En untuk zona Unloading


 9.1.2 ACI 374.1-05 O.K.  (Kolom kuat – Balok lemah)

 Dari Gambar E.4 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50%
lebih besar daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading), dan gaya puncak pada siklus ke-
3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks (Unloading)
 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.

Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.5 di bawah sebagai illustrasi. Dari gambar tersebut, lintasan garis tipis berwarna
biru muda menggambarkan respons histeretik lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan
dengan drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna biru, sedangkan
siklus ke-3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna biru tua. Dengan per-
syaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, maka
luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna biru tua ini harus paling
tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putus-putus berwarna
hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif dinotasikan
dengan RDErel , maka :

226  Lampiran – E
9.1289891  100
RDErel   0.168542471 > 0.125  O.K.
7.00  17.50  16.51  2.32  9.80665

Gambar E.5 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 1 menurut ACI 374.1-05.

Gambar E.6 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 1 menurut ACI 374.1-05.

Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-
05 digunakan Gambar E.6. Perhitungan dilakukan sebagai berikut :
3.31  100
 Kekakuan awal (+) : K 0   1663.3139 ton/m
0.085776  2.32
2.81  100
 Kekakuan awal (– ) : K 0 '   1175.7322 ton/m
0.103017241  2.32

Lampiran – E  227
 Dengan interpolasi linier pada data riwayat siklus ke-3 dari drift = 3.50% akan
diperoleh koordinat titik-titik : A(–0.35, 1.1539); B(0.35, 1.6711); C(–0.35, –1.3062);
D(0.35,–0.9209)

Kekakuan garis AB : K 0.035 


1.6711  1.1539   100  31.8473 ton/m
2  0.35  2.32
K 0.035 31.8473
Rasio kekakuan :   0.0191 < 0.05  Tidak O.K.
K0 1663.3139

Kekakuan garis CD : K 0.035 ' 


1.3062  0.9209   100  23.7254 ton/m
2  0.35  2.32
K 0.035 ' 23.7254
Rasio kekakuan :   0.0202 < 0.05  Tidak O.K.
K0 ' 1175.7322

E.3 SBK Tipe 2

Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal struktur dilakukan dengan mengguna-


kan grafik histeretik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.7. Dari
gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna hijau muda menunjukkan grafik
histeretik untuk keseluruhan riwayat respons, sedangkan garis tebal berwarna hijau tua
menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Kurva backbone
dibuat dengan garis berwarna ungu tua (Loading/Reloading) dan biru tua (Unloading) yang
menghubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga
siklus pembebanan.

Gambar E.7 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 2 menurut ACI 374.1-05.

228  Lampiran – E
Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
 Dari Gambar E.3(b) diperoleh momen leleh nominal balok : Myn(+) = 117.0 kN.m =
11.93 t.m dan Myn(– ) = 230.7 kN.m = 23.52 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ;
1kgf = 9.80665 N )
 Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat
Gambar E.1), sehingga beban lateral yang menyebabkannya dapat dihitung :

11.93
P  20  11.88 ton  En (+) = En (– ) = 11.88 ton
20.0782
272  272
 Faktor overstrength kolom :    1.5646
117.0  230.7
Sehingga :  En  1.5646  11.88  18.5874 ton

 Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 17.60 ton dan Emaks (– ) = –16.45 ton
Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×17.60 = 13.20 ton dan 
0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–16.45) = –12.34 ton

 Untuk Occupancy Category (OC) III, a = 0.015h, maka drift awal yang diijinkan
adalah = 0.015/(0.90×5.50) = 0.003 atau 0.30%.

 Garis En = 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan
garis En = – 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C.
Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan
titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan
titik D.

Titik-titik tersebut : A(0.6849, 11.88); B(0.30, 7.2186); C(–0.8276, –11.88); D(–0.30,


–6.5147)
Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton.

Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului
titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D.

Ternyata : PA > PB atau A > B


 9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K.
PC < PD atau C < D

 Dari Gambar E.7 terlihat : En  Emaks   En untuk zona Loading/Reloading, dan ~

En  Emaks   En untuk zona Unloading


 9.1.2 ACI 374.1-05 O.K.  (Kolom kuat – Balok lemah)

Lampiran – E  229
 Dari Gambar E.7 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50%
lebih kecil daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading)  9.1.3(a) ACI 374.1-05 Tidak
O.K.
Tapi gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks
(Unloading)  9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.

Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.8 sebagai illustrasi. Dari tersebut, lintasan garis tipis berwarna hijau muda
menggambarkan riwayat respons lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan dengan drift
= 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna hijau, sedangkan siklus ke-
3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna hijau tua. Dengan persyaratan
sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, maka luasan
bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna hijau tua ini harus paling tidak
mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putus-putus berwarna hitam
(= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif dinotasikan dengan
RDErel , maka :
7.68392716  100
RDErel   0.159668045 > 0.125  O.K.
7.00  14.92  14.66   2.37  9.80665

Gambar E.8 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 2 menurut ACI 374.1-05.

Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-
05 digunakan Gambar E.9. Perhitungan dilakukan sebagai berikut :

2.64  100
 Kekakuan awal (+) : K 0   1205.4794 ton/m
0.092405063  2.37

230  Lampiran – E
2.48  100
 Kekakuan awal (– ) : K 0 '   1037.6569 ton/m
0.100843882  2.37

Gambar E.9 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 2 menurut ACI 374.1-05.

E.4 SBK Tipe 3

Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal struktur dilakukan dengan mengguna-


kan grafik histeretik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.10. Dari
gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna coklat muda menunjukkan grafik
histeretik untuk keseluruhan riwayat pembebanan, sedangkan garis tebal berwarna coklat
tua menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Kurva backbone
berwarna hijau tua (Loading/Reloading) dan biru tua (Unloading) dibuat dengan meng-
hubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga siklus
pembebanan.

Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

 Dari Gambar E.3(c) diperoleh momen leleh nominal balok : Myn(+) = 116.0 kN.m =
11.83 t.m dan Myn(– ) = 145.50 kN.m = 14.84 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ;
1kgf = 9.80665 N )

 Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat
Gambar E.1), sehingga beban lateral yang menyebabkannya dapat dihitung :

11.83
 P  20  11.7839 ton  En (+) = En (– ) = 11.78 ton
20.0782

Lampiran – E  231
Gambar E.10 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 3 menurut ACI 374.1-05.

272  272
 Faktor overstrength kolom :    2.0843
116.0  145.0
Sehingga :  En  2.0843  11.78  24.5530 ton

 Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 13.17 ton dan Emaks (– ) = –12.67 ton
Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×13.17 = 9.88 ton dan 
0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–12.67) = –9.50 ton

 Untuk Occupancy Category (OC) III, a = 0.015h, maka drift awal yang diijinkan
adalah = 0.015/(0.90×5.50) = 0.003 atau 0.30%.

 Garis En = 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan
garis En = – 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C.
Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan
titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan
titik D.

Titik-titik tersebut : A(1.1312, 11.78); B(0.30, 6.2296); C(–1.0954, –11.78); D(–0.30,


–6.5683)
Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton.

Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului
titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D.

Ternyata : PA > PB atau A > B


 9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K.
PC < PD atau C < D

232  Lampiran – E
 Dari Gambar E.10 terlihat : En  Emaks   En untuk zona Loading/Reloading, dan ~

En  Emaks   En untuk zona Unloading


 9.1.2 ACI 374.1-05 O.K.  (Kolom kuat – Balok lemah)

 Dari Gambar E.10 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50%
lebih besar daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading)  9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.
Juga gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks
(Unloading)  9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.

Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.11 sebagai illustrasi. Dari gambar tersebut, lintasan garis tipis berwarna coklat
muda menggambarkan riwayat pembebanan lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan
dengan drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna coklat,
sedangkan siklus ke-3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna coklat tua.
Dengan persyaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-
05, maka luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna coklat tua ini
harus paling tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putus-
putus berwarna hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif
diberikan notasi dengan RDErel , maka :

8.0916199  100
RDErel   0.192475698 > 0.125  O.K.
7.00  13.17  12.67   2.37  9.80665

Gambar E.11 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 3 menurut ACI 374.1-05.

Lampiran – E  233
Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-
05 digunakan Gambar E.12. Perhitungan dilakukan sebagai berikut :
2.68  100
 Kekakuan awal (+) : K 0   1170.3057 ton/m
0.096624473  2.37
2.82  100
 Kekakuan awal (– ) : K 0 '   1231.4410 ton/m
0.096624473  2.37

Gambar E.12 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 3 menurut ACI 374.1-05.

 Dengan interpolasi linier pada data riwayat siklus ke-3 dari drift = 3.50% akan
diperoleh koordinat titik-titik : A(–0.35, 1.1014); B(0.35, 1.3187); C(–0.35, –1.1547);
D(0.35,–0.8746)

Kekakuan garis AB : K 0.035 


1.3187  1.1014   100  13.0983 ton/m
2  0.35  2.37
K 0.035 13.0983
Rasio kekakuan :   0.0112 < 0.05  Tidak O.K.
K0 1170.3057

Kekakuan garis CD : K 0.035 ' 


1.1547  0.8746   100  16.8837 ton/m
2  0.35  2.37
K 0.035 ' 16.8837
Rasio kekakuan :   0.0137 < 0.05  Tidak O.K.
K0 ' 1231.4410

E.5 SBK Tipe 4

Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal struktur dilakukan dengan mengguna-


kan grafik histeretik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.13. Dari
gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna merah muda menunjukkan grafik

234  Lampiran – E
histeretik untuk keseluruhan riwayat pembebanan, sedangkan garis tebal berwarna merah
gelap menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Kurva
backbone dibuat dengan menghubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari
setiap kelompok tiga siklus pembebanan.

Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

 Dari Gambar E.3(b) diperoleh momen leleh nominal balok : Myn(+) = 117.0 kN.m =
11.93 t.m dan Myn(– ) = 230.7 kN.m = 23.52 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ;
1kgf = 9.80665 N )

Gambar E.13 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 4 menurut ACI 374.1-05.

 Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat
Gambar E.1), sehingga beban lateral yang menyebabkannya dapat dihitung :

11.93
P  20  11.88 ton  En (+) = En (– ) = 11.88 ton
20.0782
272  272
 Faktor overstrength kolom :    1.5646
117.0  230.7
Sehingga :  En  1.5646  11.88  18.5874 ton

 Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 15.85 ton dan Emaks (– ) = –15.42 ton
Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×15.85 = 11.89 ton dan 
0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–15.42) = –11.57 ton

 Untuk Occupancy Category (OC) III, a = 0.015h, dan drift awal ijin = 0.003 atau
0.30%.

Lampiran – E  235
 Garis En = 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan
garis En = – 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C.
Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan
titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan
titik D.

Titik-titik tersebut : A(0.7693, 11.88); B(0.30, 6.7365); C(–0.9038, –11.88); D(–0.30,


–5.7200)
Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton.

Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului
titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D.

Ternyata : PA > PB atau A > B


 9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K.
PC < PD atau C < D

 Dari Gambar E.13 terlihat : En  Emaks   En untuk zona Loading/Reloading, dan ~

En  Emaks   En untuk zona Unloading


 9.1.2 ACI 374.1-05 O.K.  (Kolom kuat – Balok lemah)

 Dari Gambar E.13 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50%
lebih besar daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading)  9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.
Juga gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks
(Unloading)  9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.

Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.14 sebagai illustrasi. Dari gambar tersebut, lintasan garis tipis berwarna merah
muda menggambarkan riwayat respons lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan dengan
drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna merah, sedangkan
siklus ke-3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna merah gelap. Dengan
persyaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, maka
luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna merah gelap ini harus
paling tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putus-putus
berwarna hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif
dinotasikan dengan RDErel , maka :

8.80361546  100
RDErel   0.17304782 > 0.125  O.K.
7.00  15.85  15.42   2.37  9.80665

236  Lampiran – E
Gambar E.14 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 4 menurut ACI 374.1-05.

Gambar E.15 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 4 menurut ACI 374.1-05.

Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05
digunakan Gambar E.15. Perhitungan dilakukan sebagai berikut :
2.94  100
 Kekakuan awal (+) : K 0   1283.8428 ton/m
0.096624473  2.37
2.64  100
 Kekakuan awal (– ) : K 0 '   1152.8384 ton/m
0.096624473  2.37
 Dengan interpolasi linier pada data riwayat siklus ke-3 dari drift = 3.50% akan
diperoleh koordinat titik-titik : A(–0.35, 0.92); B(0.35, 1.2324); C(–0.35, –0.9308);
D(0.35,–1.1029)

Lampiran – E  237
Kekakuan garis AB : K 0.035 
1.2324  0.92   100  18.8306 ton/m
2  0.35  2.37
K 0.035 18.8306
Rasio kekakuan :   0.0147 < 0.05  Tidak O.K.
K0 1283.8428

Kekakuan garis CD : K 0.035 ' 


1.1029  0.9308   100  10.3737 ton/m
2  0.35  2.37
K 0.035 ' 10.3737
Rasio kekakuan :   0.0090 < 0.05  Tidak O.K.
K0 ' 1152.8384

E.6 SBK Tipe 5

Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal struktur dilakukan dengan mengguna-


kan grafik histeretik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.16. Dari
gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna ungu muda menunjukkan grafik
histeretik untuk keseluruhan riwayat respons, sedangkan garis tebal berwarna ungu gelap
menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Kurva backbone
berwarna coklat tua (Loading/Reloading) dan biru tua (Unloading) dibuat dengan meng-
hubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga siklus
pembebanan.

Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

 Dari Gambar E.3(c) diperoleh momen leleh nominal balok : Myn(+) = 116.0 kN.m =
11.83 t.m dan Myn(– ) = 145.50 kN.m = 14.84 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ;
1kgf = 9.80665 N )

 Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat
Gambar E.1), sehingga beban lateral yang menyebabkannya dapat dihitung :
11.83
P  20  11.7839 ton  En (+) = En (– ) = 11.78 ton
20.0782
272  272
 Faktor overstrength kolom :    2.0843
116.0  145.0
Sehingga :  En  2.0843  11.78  24.5530 ton

 Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 13.07 ton dan Emaks (– ) = –12.84 ton
Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×13.07 = 9.8025 ton dan 
0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–12.84) = –9.63 ton

 Untuk Occupancy Category (OC) III, a = 0.015h, maka drift awal yang diijinkan
adalah = 0.015/(0.90×5.50) = 0.003 atau 0.30%.

238  Lampiran – E
Gambar D.16 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 5 menurut ACI 374.1-05.

 Garis En = 11.78 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan
garis En = – 11.78 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C.
Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan
titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan
titik D.

Titik-titik tersebut : A(0.9607, 11.78); B(0.30, 7.2557); C(–1.1657, –11.78); D(–0.30,


–6.0210)
Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton.

Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului
titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D.

Ternyata : PA > PB atau A > B


PC < PD atau C < D  9.1.1 ACI 374.1-05 tidak
O.K.
 Dari Gambar E.16 terlihat : En  Emaks   En untuk zona Loading/Reloading, dan ~

En  Emaks   En untuk zona Unloading


 9.1.2 ACI 374.1-05 O.K.  (Kolom kuat – Balok lemah)

 Dari Gambar E.16 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50%
lebih besar daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading)  9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.
Juga gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks
(Unloading)  9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.

Lampiran – E  239
Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.17 sebagai illustrasi. Dari gambar tersebut, lintasan garis tipis berwarna ungu
muda menggambarkan riwayat pembebanan lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan
dengan drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna ungu tua,
sedangkan siklus ke-3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna hijau gelap.
Dengan persyaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-
05, maka luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna hijau gelap ini
harus paling tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putus-
putus berwarna hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif
diberikan notasi dengan RDErel , maka :

7.9339967  100
RDErel   0.188216434 > 0.125  O.K.
7.00  13.07  12.84   2.37  9.80665

Gambar E.17 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 5 menurut ACI 374.1-05.

Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05
digunakan Gambar E.18. Perhitungan dilakukan sebagai berikut :

2.94  100
 Kekakuan awal (+) : K 0   2798.3132 ton/m
0.105063291  2.37
2.64  100
 Kekakuan awal (– ) : K 0 '   1205.4794 ton/m
0.092405063  2.37

240  Lampiran – E
Gambar E.18 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 5 menurut ACI 374.1-05.

 Dengan interpolasi linier pada data riwayat siklus ke-3 dari drift = 3.50% akan
diperoleh koordinat titik-titik : A(–0.35, 1.0200); B(0.35, 1.2359); C(–0.35, –1.1732);
D(0.35,–0.9683)

Kekakuan garis AB : K 0.035 


1.2359  1.0200   100  13.0139 ton/m
2  0.35  2.37
K 0.035 13.0139
Rasio kekakuan :   0.0047 < 0.05  Tidak O.K.
K0 2798.3132

Kekakuan garis CD : K 0.035 ' 


1.1732  0.9683  100  12.3508 ton/m
2  0.35  2.37
K 0.035 ' 12.3508
Rasio kekakuan :   0.0102 < 0.05  Tidak O.K.
K0 ' 1205.4794

Lampiran – E  241
242  Lampiran – E
DAFTAR PUSTAKA

ACI Committee 318 (2011). Building Code Requirements for Structural Concrete (ACI
318M–2011). American Concrete Institute, Farmington Hills, Michigan, USA.
ACI Committee 374 (2005). Acceptance Criteria for Moment Frames Based on Structural
Testing and Commentary (ACI 374.1–05). American Concrete Institute, Farming-
ton Hills, Michigan, USA.
ACI-ASCE Committee 352 (2002). Recommendations for Design of Beam-Column
Connections in Monolithic Reinforced Concrete Structures (ACI 352R–02).
Farmington Hills, Michigan.
Adebar, P., Ibrahim, A.M.M. & Bryson, M. (2007). Test of High-Rise Core Wall ―
Effective Stiffness for Seismic Analysis. ACI Structural Journal, Vol. 104, No. 5,
September-October.
Amaris, A. & Pampanin, S. (2006). Uni & Bidirectional Quasi Static Tests on Alternative
Hybrid Precast Beam–Column Joint Subassemblies. NZSEE Conference.
ASCE–SEI (2010). Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures (ASCE 7–
10 Standard). American Society of Civil Engineers, Reston, Virginia, USA.
Bae, S.J. & Bayrak, O. (2008–1). Seismic Performance of Full-Scale Reinforced Concrete
Columns. ACI Structural Journal, Vol. 105, No. 2, March-April.
Bae, S.J. & Bayrak, O. (2008–2). Plastic Hinge Length of Reinforced Concrete Columns.
ACI Structural Journal, Vol. 105, No. 3, May–June.
Baker, A.L.L. & Amarakone, A.M.N. (1964). Inelastic Hyperstatic Frame Analysis. Proc.
International Symposium on the Flexural Mechanics of Reinforced Concrete,
Miami, ACI SP-12, pp. 85-142.
Bayrak, O. & Sheikh, S.A. (1998). Confinement Reinforcement Design Considerations for
Ductile HSC Columns. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 124, No. 9, pp.
999-1010.
Beres, A., Pessiki, S.P., White, R.N. & Gergely, P. (1991). Seismic Performance of Existing
Reinforced Concrete Frames Designed Primarily for Gravity Loads. Sixth Cana-
dian Conference on Earthquake Engineering, Toronto, Ontario, Canada, pp. 655-
662.
Beres, A., White, R.N., Gergely, P., Pessiki, S.P. & El-Attar, A. (1992). Behavior of Exist-
ing Non.Seismically Detailed Reinforced Concrete Frames. Proc. of the Tenth
World Conference on Earthquake Engineering, Balkema, Rotterdam, pp. 3359-
3363.
Berry, M.P., Lehman, D.E. & Lowes, L.N. (2008). Lumped Plasticity Models for Per-
formance Simulation of Bridge Columns. ACI Structural Journal, Vol. 105, No. 3,
May–June.
Blume, J.A., Newmark, N.M. & Corning, L.H. (1961). Design of Multistory Reinforced
Concrete Building for Earthquake Motions. Portland Cement Association, Skokie,
USA.
Bosco, M., Ferrara, E., Ghersi, A., Marino, E.M. & Rossi, P.P. (2014). Improvement of The
Model Proposed by Menegotto and Pinto for Steel. Proc. of the Second European
Conference on Earthquake Engineering and Seismology, Istanbul, Turkey, August
25-29.

Daftar Pustaka  243


Brooke, N.J., Megget, L.M. & Ingham, J.M. (2006). Bond Performance of Interior Beam-
Column Joints with High-Strength Reinforcement. ACI Structural Journal, Vol.
103, No. 4, July-August.
BSN, Badan Standarisasi Nasional (2002–1). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002).
BSN, Badan Standarisasi Nasional (2002–2). Tata Cara Perencanaan Struktur Beton untuk
Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002).
BSN, Badan Standarisasi Nasional (2012). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Bangunan Gedung dan Non Gedung (SNI 1726-2012).
BSN, Badan Standarisasi Nasional (2013). Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan
Gedung (SNI 2847-2013).
Camarena, D. (2006). Finite Element Analysis of Precast Prestressed Beam–Column Con-
crete Connection in Seismic Construction. Master’s Thesis. Chalmers University
of Technology, Gotheborg, Swedia.
Chopra, A.K. & Goel, K. (2001). Direct Displacement Based Design: Use of Inelastic vs.
Elastic Design Spectra. Earthquake Spectra, Vol. 17, No. 1, February.
Chun, S.C., Lee, S.H., Kang, T.H.K., Oh, B. & Wallace, J.W. (2007). Mechanical
Anchorage in Exterior Beam-Column Joints Subjected to Cyclic Loading. ACI
Structural Journal, Vol. 104, No. 1, January-February.
Chun, S.C., Oh, B., Lee, S.H., & Naito, C.J. (2009). Anchorage Strength and Behavior of
Headed Bars in Exterior Beam-Column Joints. ACI Structural Journal, Vol. 106,
No. 5, September-October.
Ciampi, V., Eligehausen, R., Popov, E.P. & Bertero, V.V. (1982). Analytical Model for
Concrete Anchorages of Reinforcing Bars Under Generalized Excitations. Report
No. UCB/EERC 82/23, University of California at Berkeley, California, USA.
Clyde, C. & Pantelides, C.P. (2002). Seismic Evaluation and Rehabilitation of R/C Exterior
Building Joints. Proc. of Seventh U.S. National Conference on Earthquake
Engineering, Boston, U.S.A., July.
Computers and Structures Inc. (2008). SAP2000 – Static and Dynamic Finite Element
Analysis of Structures. Berkeley, California, USA.
Corley, W.G. (1966). Rotational Capacity of Reinforced Concrete Beams. Journal of
Structural Division, ASCE, Vol. 92, No. ST5, October, pp. 121-146.
Correal J.F., Saiidi, M.S., Sanders, D. & El-Azazy, S. (2007–1). Analytical Evaluation of
Bridge Columns with Double Interlocking Spirals. ACI Structural Journal, Vol.
104, No. 3, May-June.
Correal, J.F., Saiidi, M.S., Sanders, D. & El-Azazy, S. (2007–2). Shake Table Studies of
Bridge Columns with Double Interlocking Spirals. ACI Structural Journal, Vol.
104, No. 4, July-August.
Eligehausen, R., Popov, E.P. & Bertero, V.V. (1983). Local Bond Stress – Slip Relation-
ships of Deformed Bars Under Generalized Excitations. Report No. UCB/EERC
83/23, University of California at Berkeley, California, USA.
Englekirk, R.E. (1996). An Innovative Design Solution for Precast Prestressed Concrete
Buildings in High Seismic Zones. PCI Journal.
Englekirk, R.E. (2003). Seismic Design of Reinforced and Precast Concrete Buildings.
John Wiley & Sons, ISBN 0-471-08122-1.

244 – Daftar Pustaka


Ertas, O., Ozden, S. & Ozturan, T. (2006). Ductile Connections in Precast Concrete Mo-
ment Resisting Frames. PCI Journal, May–June.
Fernandes, C., Melo, J., Varum, H. & Costa, A. (2013). Cyclic Behavior of Sub-standard
Reinforced Concrete Beam-Column Joints with Plain Bars. ACI Structural Journal,
Vol. 110, No. 1, January-February.
Filippou, F.C., Popov, E.P. & Bertero, V.V. (1983). Effect of Bond Deterioration on
Hysteretic Behavior of Reinforced Concrete Joints. Report No. UCB/EERC 83/19,
University of California at Berkeley, California, USA.
Ghosh, S.K. (1995). Observations on the Performance of Structures in the Kobe Earth-
quake of January 17, 1995. PCI Journal, March–April.
Ghosh, S.K., Nakaki, S.D. & Krishnan, K. (1997). Precast Structures in Region of High
Seismicity – 1997 UBC Design Provisions. PCI Journal, November–December.
Ghosh, S.K. & Hawkins, N.M. (2001). Seismic Design Provisions for Precast Concrete
Structures in ACI 318. PCI Journal, January–February.
Goto, Y. & Joh, O. (2004). Shear Resistance of RC Interior Eccentric Beam-Column Joints.
Proc. 13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C.,
Canada, Paper No. 649.
Hanson, N.W. & Conner, H.W. (1967). Seismic Resistance of Reinforced Concrete Beam-
Column Joints. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 93, No. ST5, October,
pp. 533-560.
Harajli, M.H. & Mukaddam, M.A. (1988). Slip of Steel Bars in Concrete Joints under
Cyclic Loading. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 114, No. 9, Septem-
ber.
Harajli, M.H. (1988). Behavior of Partially Prestressed Concrete Joints under Cyclic
Loading. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 114, No. 11, November.
Hwang, S.J., Lee, H.J., Liao, T.F., Wang, K.C. & Tsai, H.H. (2005). Role of Hoops on
Shear Strength of Reinforced Concrete Beam-Column Joints. ACI Structural
Journal, Vol. 102, No. 3, May-June.
Imbsen & Associates, Inc. (2002). XTRACT – Cross Section Analysis Program for
Structural Engineers. Dapat di-download dan di-install dengan registrasi dari
URL: http://www.imbsen.com.
International Code Council (ICC) (2006). International Building Code 2006 (IBC–2006).
Printed in the USA, ISBN-13: 978-1-58001-302-4.
International Code Council (ICC) (2009). International Building Code 2009 (IBC–2009).
Printed in the USA, ISBN: 978-1-58001-725-1.
International Conference on Building Official (ICBO) (1997). Uniform Building Code
1997 (UBC–1997) – Vol. 2. Whittier, California, USA.
Joh, O. & Goto, Y. (2000). Beam-Column Joint Behavior After Beam Yielding in R/C
Ductile Frames. Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineering,
Auckland, New Zealand, Paper No. 2196.
Joint ACI–ASCE Committee 352 (2002). Recommendations for Design of Beam-Column
Connections in Monolithic Reinforced Concrete Structures (ACI 352 R02).
American Concrete Institute, Farmington Hills, Michigan, USA.
Joshi, M.K., Murty, C.V.R. & Jaisingh, M.P. (2005). Cyclic Behavior of Precast RC
Connections. The Indian Concrete Journal, November.

Daftar Pustaka  245


Kamimura, T., Takeda, S. & Tochio, M. (2000). Influence of Joint Reinforcement on
Strength and Deformation of Interior Beam-Column Subassemblages. Proc. 12th
World Conference on Earthquake Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No.
2267.
Kashiwazaki, T. & Noguchi, H. (1996). Three-Dimensional Nonlinear Finite Element
Analysis on The Shear Strength of Reinforced Concrete Interior Beam-Column
Joints with Ultra High-Strength Materials. Proc. 11th World Conference on
Earthquake Engineering, Elsevier Science, Mexico City, Paper No. 476.
Kashiwazaki, T. & Noguchi, H. (2000). Structural Performances of Prestressed Concrete
Interior Beam-Colum Joints. Proc. 12th World Conference on Earthquake
Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No. 2342.
Lee, H.J. & Yu, S.Y. (2009). Cyclic Response of Exterior Beam-Column Joints with
Different Anchorage Methods. ACI Structural Journal, Vol. 106, No. 3, May-June.
Lehman, D., Stanton, J., Anderson, M., Alire, D. & Walker, S. (2004). Seismic Per-
formance of Older Beam-Column Joints. Proc. 13th World Conference on Earth-
quake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 1464.
Li, B., Wu, Y. & Pan, T.C. (2003). Seismic Behavior of Nonseismically Detailed Interior
Beam-Wide Column Joints – Part II: Theoretical Comparisons and Analytical
Studies. ACI Structural Journal, Vol. 100, No. 1, January-February.
Li, B., Pan, T.C. & Tran, C.T.N. (2009). Seismic Behavior of Non-Seismically Detailed In-
terior Beam-Wide Column and Beam-Wall Connections. ACI Structural Journal,
Vol. 106, No. 5, September-October.
Lowes, L.N. (1999). Finite-Element Modeling of Reinforced Concrete Beam-Column
Bridge Connections. A dissertation submitted in partial satisfaction of the
requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Engineering, University of
California at Berkeley, California, USA.
Mander, J.B., Priestley, M.J.N. & Park, R. (1988). Theoretical Stress–Strain Model for
Confined Concrete. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 114, No. 8, August.
Martin, J.M.R. (1990). A Precast Prestressed Concrete Structural Systems for Buildings
Located in High Seismic Zones. PCI Journal, Vol. 35, No. 2, March–April.
Martin, L.D. & Korkosz, W.J. (1982). Connections for Precast Concrete Buildings –
Including Earthquake Resistance – A Research Investigation, The Consulting
Engineers Group Inc.
Matsumoto, T. & Nishihara, H. (2000). Effects of Various Beam-Bar Anchorages on the
Strength and Deformation of Precast Reinforced Concrete Beam-Column Joints.
Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineering, Auckland, New Zealand,
Paper No. 1016.
Mattock, A.H. (1967). Discussion of rotational capacity of reinforced concrete beams by
W.G. Corley. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 93, No. ST2, April, pp.
519-522.
Menegotto, M. & Pinto, P.E. (1973). Method of Analysis for Cyclically Loaded RC Plane
Frames. IABSE Preliminary Report for Symposium on Resistance and Ultimate
Deformability of Well-Defined Repeated Loads, Lisbon.
Mitchell, D., De Vall, R.H., Saatcioglu, M., Simpson, R., Tinawi, R., & Tremblay, R.
(1995). Damage to Concrete Structures due to the 1994 Northridge Earthquake.
Canadian Journal of Civil Engineering, Vol. 22.

246 – Daftar Pustaka


Mitra, N. & Lowes, L.N. (2004). Evaluation and Advancement of a Reinforced Concrete
Beam-Column Joint Model. Proc. 13th World Conference on Earthquake
Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 1001.
Murahidy, A.G., Carr, A.J., Spieth, H.A., Mander, J.B. & Bull, D.K. (2004). Design,
Construction and Dynamic Testing of a Post-Tensioned Precast Reinforced
Concrete Frame Building with Rocking Beam – Column Connections and ADAS
Elements, NZSEE Conference.
Nakaki, S.D., Stanton, J.F. & Sritharan, S. (1999). An Overview of the PRESSS Five-Story
Precast Test Building. PCI Journal, March–April.
Nakano, K., Tanabe, K., Machida, S., & Wada, S. (2001). Damage Controlled Seismic
Design by Precast-Prestressed Concrete Structure with MILD–PRESS–JOINT,
Part 1 : Basic Concept of Design. AIJ Summaries of Technical Papers of Annual
Meeting, Japan, September.
Noguchi, H. & Uchida, K. (2000). F.E.M. Analysis of Hybrid Structural Frames with R/C
Columns and Steel Beams. Proc. 12th World Conference on Earthquake
Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No. 1921.
Noguchi, H. & Kashiwazaki, T. (2004). F.E.M. Analysis of Structural Performance Dete-
rioration of RC Elements Subjected to Seismic Reversed Cyclic Shear. Proc. 13th
World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper
No. 672.
Nogueiro, P., Simoes da Silva, L., Bento, R. & Simoes, R. (2007). Numerical Imple-
mentation and Calibration of A Hysteretic Model with Pinching for The Cyclic
Response of Steel Joints. International Journal of Advanced Steel Construction,
Vol. 3, No. 1, pp. 128-153.
Otani, S. (1981). Hysteresis Models of Reinforced Concrete for Earthquake Response
Analysis. Journal of Faculty of Engineering, University of Tokyo, Vol. XXXVI,
No. 2, pp. 407-441.
Owada, Y. (2000). Three Dimensional Behaviors of Reinforced Concrete Beam-Column
Joint under Seismic Load. Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineer-
ing, Auckland, New Zealand, Paper No. 0707.
Ozdil, E., Arioglu, E., Yorulmaz, M., Manzak, O., and Alper, T. (2002). Full-Scale Testing
of Post-Tensioned Moment Resisting Connections of a Precast Concrete Structure.
Yapi Merkezi Prefabrication Incorporated, Istanbul, Turkey.
Pampanin, S., Priestley, M.J.N., and Sritharan, S. (2001). Analytical Modelling of the
Seismic Behavior of Precast Concrete Frames Designed with Ductile Connect-
ions. Journal of Earthquake Engineering, Imperial College Press, Vol. 5, No. 3.
Pampanin, S. (2003). Alternative Design Philosophies and Seismic Response of Precast
Concrete Buildings. FIB Journal of Structural Concrete, Vol. 4, No. 4, December.
Panagiotakos, T.B. & Fardis, M.N. (2001). Deformations of Reinforced Concrete Members
at Yielding and Ultimate. ACI Structural Journal, Vol. 98, No. 2, March–April.
Park, R. & Paulay, T. (1975). Reinforced Concrete Structures. John Wiley & Sons.
Park, R., Priestley, M.J.N. & Gill, W.D. (1982). Ductility of Square Confined Concrete
Columns. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 108, No. ST4, April, pp. 929-
950.

Daftar Pustaka  247


Park, R. (1989). Evaluation of Ductility of Structural Assemblages from Laboratory
Testing. Bulletin of The New Zealand National Society for Earthquake Engineer-
ing, Vol. 12, No. 3, September.
Parra-Montesinos, G.J., Peterfreund, S.W. & Chao, S.H. (2005). Highly Damaged-Tole-
rant Beam-Column Joints Through Use of HPFRC Composites. ACI Structural
Journal, Vol. 102, No. 3, May-June.
Paulay, T. & Priestley, M.J.N. (1992). Seismic Design of Reinforced Concrete and Masonry
Buildings. John Wiley & Sons, ISBN 0-471-54915-0.
PCI Industry Handbook Committee (2010). PCI Design Handbook – 7th Edition. Chicago,
Illinois, USA, ISBN 978-0-937040-87-4.
Pessiki, S.P., Conley, C., White, R.N., & Gergely, P. (1990). Seismic Behavior of the Beam-
Column Connection Region in Lightly-Reinforced Concrete Frame Structures.
Proc. of Fourth U.S. National Conference on Eartquake Engineering, Palm Springs,
California, Vol. 2.
Popovics, S. (1973). A Numerical Approach to the Complete Stress – Strain Curve of Con-
crete. Cement and Concrete Research, Vol. 3.
Priestley, M.J.N. & Park, R. (1987). Strength and Ductility of Concrete Bridge Columns
under Seismic Loading. ACI Structural Journal, Vol. 84, No. 1, January-February,
pp. 61-76.
Priestley, M.J.N. (1993). Myths and Fallacies in Earthquake Engineering – Conflicts
between Design and Reality. Bulletin of the New Zealand National Society for
Earthquake Engineering, Vol. 26, No. 3, pp. 329-341.
Priestley, M.J.N., Sritharan, S. & Conley, J.R. (1999). Preliminary Results and Conclu-
sions from the PRESSS Five-Story Precast Test Building. PCI Journal, November–
December.
Priestley, M.J.N. & Kowalsky, M.J. (2000). Direct Displacement Based Seismic Design of
Concrete Buildings. Bulletin of the New Zealand Society for Earthquake Engineer-
ing, Vol. 33, No. 4, December.
Rahman, A.B.A., Leong, D.C.P., Saim, A.A., & Osman, M.H. (2006). Hybrid Beam–
Column Connections for Precast Concrete Frames. Proc. APSEC 2006, Kuala
Lumpur, Malaysia.
Richard, R. & Abbott, B.J. (1975). Versatile Elasto-Plastic Stress-Strain Formula. Journal
of the Engineering Mechanics Division, ASCE, Vol. 101, No. EM4, pp. 511-515.
Salmanpour, A.H., Mojsilovic, N. & Schwartz, J. (2013). Deformation capacity of unrein-
forced masonry walls subjected to in-plane loading: A state-of-the-art review.
International Journal of Advanced Structural Engineering – A Springer Open
Journal, doi: 10.1186/2008-6695-5-22.
Sawyer, H.A. (1964). Design for Concrete Frames for Two Failure States. Proc. of the
International Symposium on the Flexural Mechanics of Reinforced Concrete,
ASCE-ACI, Miami, pp. 405-431.
Scott, B.D., Park, R. & Priestley, M.J.N. (1982). Stress – Strain Behavior of Concrete Con-
fined by Overlapping Hoops at Low and High Strain Rates. Journal of ACI, Vol.
79, No. 1, pp. 13-27.
SeismoSoft, Inc. (2011). SeismoStruct – Computer Program for Static and Dynamic Non-
linear Analysis of Framed Structures. Dapat di-download dengan bebas dan di-
install dengan registrasi dari URL: http://www.seismosoft.com.

248 – Daftar Pustaka


Sheikh, S.A. & Khoury, S.S. (1993). Confined Concrete Columns with Stubs. ACI
Structural Journal, Vol. 90, No. 4, July-August, pp. 414-431.
Shin, M. & Lafave, J.M. (2004). Testing and Modeling for Cyclic Joint Shear Deform-
ations in RC Beam-Column Connections. Proc. 13th World Conference on
Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 0301.
Simoes, R., Simoes da Silva, L & Cruz, P. (2001). Cyclic Behavior of End-plate Beam-to-
Column Composite Joints. International Journal of Steel and Composite Struc-
tures, Vol. 1, No. 3, pp. 355-376.
Stone, W., Cheok, G., and Stanton, J.F. (1995). Performance of Hybrid Moment-Resisting
Precast Beam-Column Concrete Connections Subjected to Cyclic Loading. ACI
Structural Journal, Vol. 91, No. 2, March-April.
Tajima, K., Mishima, T. & Shirai, N. (2004). 3-D Finite Element Cyclic Analysis of RC
Beam-Column Joint Using Special Bond Model. Proc. 13th World Conference on
Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 446.
Takeda, T., Sozen, M.A. & Nielsen, N.N. (1970). Reinforced Concrete Response to
Simulated Earthquakes. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 96, No. ST12,
pp. 2557-2573.
Vasconez, R. M., Naaman, A. E., & Wight, J. K. (1994). Review of Research on the Design
of Ductile Beam–Column Connections for Precast Concrete Frames. Report No.
UMCEE 94-33, Dept. of Civil & Environmental Engineering, University of
Michigan, Ann Arbor, USA.
Wahjudi, D.I. (1992). Model Matematika Perilaku Momen – Rotasi Joint Beton Bertulang
Terhadap Pembebanan Siklik. Jurnal IPTEK, ISSN 0853-4098, Vol. 3, No. 2,
Nopember.
Wahjudi, D.I. (1994). Kajian Perilaku Momen – Putaran Sudut Elemen Lentur Pada
Pemenuhan Kebutuhan Kapasitas dan Daktilitas Struktur Rangka Portal. Laporan
Penelitian No. 1771/PT12.H4.FTSP/N/1992, Lembaga Penelitian ITS, Surabaya.
Wahjudi, D.I. (1999). Pengembangan Model Analitik Perilaku Histeretik Komponen
Lentur Beton Bertulang Terhadap Pembebanan Siklik. Laporan Penelitian dibiayai
oleh PPSLPT (ADB Loan No. 1253-INO), FTSP & Lemlit ITS, Surabaya.
Wahjudi, D.I. (2002). Studi Eksperimental Perilaku Histeretik Joint Beton Bertulang
Terhadap Pembebanan Siklik. Proc. Seminar Nasional tentang Perkembangan
Terkini Perencanaan Beton Bertulang, diselenggarakan dalam rangka memper-
ingati 70 Tahun Prof. Ir. Rachmat Purwono, M.Sc., oleh Laboratorium Beton &
Bahan Bangunan – Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS, Surabaya.
Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–1). Tinjauan Riset untuk
Mendapatkan Sistem Sambungan Balok-ke-Kolom pada SRPMK Beton Pracetak
yang Berkarakteristik Kinerja dan Kemudahan Kerja. Prosiding Seminar Nasional
ATPW 2012, ISSN 2301-6752, Prodi Diploma Teknik Sipil, FTSP-ITS, Surabaya,
July.
Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–2). Model Multilinier untuk
Mensimulasikan Perilaku Respons Histeretik Sambungan Balok-ke-Kolom Beton
Bertulang pada Pembebanan Siklik. Prosiding Seminar Nasional ATPW 2012,
ISSN 2301-6752, Prodi Diploma Teknik Sipil, FTSP-ITS, Surabaya, July.
Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–3). Numerical Implementation
in Modeling Hysteretic Cyclic Response Behavior with Pinching of A Reinforced

Daftar Pustaka  249


Concrete Beam-to-Column Connection. Proc. 8th APSEC and 1st ICCER Inter-
national Conference, ISBN 978-983-44826-1-9. Jointly published by ITS & UTM,
October.
Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–4). Choice of Beam-to-Column
Connection Systems in A Precast Concrete Moment Resisting Frame – Influence
on Its Performance and Constructability. Proc. 8th APSEC and 1st ICCER
International Conference, ISBN 978-983-44826-1-9. Jointly published by ITS &
UTM, October.
Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2014–1). Behaviour of precast
concrete beam-to-column connection with U- and L-bent bar anchorages placed
outside the column panel – Analytical study. 2nd International Conference on
Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials 2014
(SCESCM 2014), Yogyakarta, Indonesia. Procedia Engineering 95(2014)112-121,
doi: 10.1016/j.proeng.2014.12.170.
Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2014–2). Behaviour of precast
concrete beam-to-column connection with U- and L-bent bar anchorages placed
outside the column panel – Experimental study. 2nd International Conference on
Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials 2014
(SCESCM 2014), Yogyakarta, Indonesia. Procedia Engineering 95(2014)122-131,
doi: 10.1016/j.proeng.2014.12.171.
Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2015). Performance of Precast Rein-
forced Concrete Beam-to-Column Subassemblages with Connection Constructed
out of The Panel. Australian Journal of Basic and Applied Science, 9(23) July 2015,
pp. 111-121.
Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2016). Desain SRPMK Beton Ber-
tulang Bertingkat Sepuluh dan Analisis Respons Nonliniernya Terhadap Beban
Gempa. Prosiding Seminar Nasional ATPW, Juni 2016, Surabaya, hal. C-1 s/d. C-
8.
Yee, A.A. (1991). Design Considerations for Precast Prestressed Concrete Building
Structures in Seismic Areas. PCI Journal, May–June.

250 – Daftar Pustaka


RIWAYAT HIDUP PENULIS

I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Dicky Imam Wahjudi
NIM : 3108301001
Tempat, tgl. lahir : Surabaya, 9 Pebruari 1959
Instansi : Institut Teknologi Sepuluh Nopember
NIP : 19590209 198603 1 002
Alamat rumah : Jln. Hidrodinamika IV/T-73,
Perumdos ITS Keputih, Surabaya 60111.
E-mail : dickyimamwt73@gmail
dicky_iw@ce.its.ac.id

II. RIWAYAT PENDIDIKAN


1991 – Magister Sains, Teknik Sipil Struktur, Institut Teknologi Bandung.
1984 – Sarjana Teknik, Teknik Sipil Konstruksi, Institut Teknologi.
Sepuluh Nopember, Surabaya.
1977 – SMA Negeri V, Surabaya.
1974 – SMP Negeri IX, Surabaya.
1971 – SD Negeri Rangkah I, Surabaya.

III. RIWAYAT PEKERJAAN


1984 – 1985 – PT Adhi Karya, Cabang IV, Surabaya.
1986 – Sekarang – Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

IV. KEANGGOTAAN PROFESIONAL


1. Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)

V. MINAT RISET
1. Analisis Struktur
2. Rekayasa Gempa
3. Struktur Beton
4. Struktur Baja

VI. KURSUS/PELATIHAN PROFESIONAL


1993 – Kursus Aplikasi Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan
Gedung, oleh Pusat Penelitian & Pengembangan Permukiman – Dep.
Pekerjaan Umum, di Jakarta.
1995 – Kursus Internasional Lanjutan pada Pencegahan Bencana Gempa untuk
Insinyur Bangunan, oleh Pusat Penelitian & Pengembangan Permukim-
an – Dep. Pekerjaan Umum bekerja sama dengan JICA, di Jakarta –
Bandung – Yogyakarta – Bali.
2001 – Penataran Calon Penerjemah Buku Ajar Perguruan Tinggi oleh Direk-
torat Jenderal Pendidikan Tinggi – Departemen Pendidikan Nasional,
di Malang.
2003 – Pendidikan & Pelatihan Improvement of Staff Qualification and Skill to
Match the Expected Applied Professional Engineering Instructor di
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Program Diploma (P4D), di
Bandung.

Riwayat Hidup Penulis  251


VII. PENGALAMAN PROFESIONAL
1992 – Koordinator Pengawas pada Proyek. Pembangunan Kantor PLN Distri-
busi Jawa Timur, Cabang Situbondo. Bekerja pada : PT. Rosa Agung
Mulia Consultant – Surabaya.
1995 – Anggota Team Perencana Struktur Bangunan Turbine Workshop PT.
ABB-ESI di Ujung, Surabaya. Bekerja pada : PT Wiratman & Asso-
ciates – Surabaya.
1996 – Ketua Team Perencana Struktur Bangunan Pabrik PT Patal Secang, di
Magelang – Jawa Tengah. Bekerja pada : Waicitriya Group Consulting
Engineers – Surabaya.
1997 – Anggota Team Perencana Struktur Pracetak Dermaga Peti Kemas Antar
Pulau di Tanjung Perak, Surabaya. Bekerja pada : PT Cipta Surya Wa-
hana – Surabaya.
1998 – Ketua Team Evaluasi Struktur Bangunan Welfare (Kantin) PT Cheil –
Jedang, di Ploso – Jombang. Bekerja pada : Waicitriya Group Consult-
ing Engineers – Surabaya.
1999 – Anggota Team Evaluasi Struktur Dermaga Sekolah Pelayaran di Barom
bong, Sulawesi Selatan. Bekerja pada : PT Wiratman & Associates –
Surabaya.
2000 – Anggota Team Perencana Struktur Dermaga PT Semen Tonasa di
Biringkassi, Sulawesi Selatan. Bekerja pada : PT Wiratman & Asso-
ciates – Surabaya.
2001 – Anggota Team Perencana Struktur Dermaga pada Terminal Log &
Barang Curah PT. Gresik Jasatama di Gresik. Bekerja pada : PT. Wirat-
man & Associates – Surabaya.
2002 – Anggota Team Evaluasi Struktur Bangunan Fermentasi PT Cheil –
Samsung, di Pasuruan. Bekerja pada : PT Wiratman & Associates –
Surabaya.
2003 – Anggota Team III Penanggulangan Banjir Surabaya, Kerja sama DPP
Banjir Pemkot Surabaya dengan FTSP-ITS.
2004 – Review Design pada bangunan Gerbang Citra Raya di kawasan Citra-
Land Surabaya.
– Review Design pada bangunan Talang Sukorame di Trenggalek.
2005 – Review Design pada bangunan Jembatan Jalan Brigjen Sutran di Treng-
galek.
– Review Design Struktur Open Channel Woodland Citra Raya di Sura-
baya.

VIII. PUBLIKASI SELAMA STUDI PROGRAM DOKTOR


1. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–1). Tinjauan Riset
untuk Mendapatkan Sistem Sambungan Balok-ke-Kolom pada SRPMK Beton
Pracetak yang Berkarakteristik Kinerja dan Kemudahan Kerja. Prosiding Se-
minar Nasional ATPW 2012, ISSN 2301-6752, Prodi Diploma Teknik Sipil,
FTSP-ITS, Surabaya, July.
2. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–2). Model Multi-
linier untuk Mensimulasikan Perilaku Respons Histeretik Sambungan Balok-
ke-Kolom Beton Bertulang pada Pembebanan Siklik. Prosiding Seminar Nasio-
nal ATPW 2012, ISSN 2301-6752, Prodi Diploma Teknik Sipil, FTSP-ITS,
Surabaya, July.
3. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–3). Numerical
Implementation in Modeling Hysteretic Cyclic Response Behavior with Pinch-

252 – Riwayat Hidup Penulis


ing of A Reinforced Concrete Beam-to-Column Connection. Proc. 8th APSEC
and 1st ICCER International Conference, ISBN 978-983-44826-1-9. Jointly
published by ITS & UTM, October.
4. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–4). Choice of Beam-
to-Column Connection Systems in A Precast Concrete Moment Resisting Frame
– Influence on Its Performance and Constructability. Proc. 8th APSEC and 1st
ICCER International Conference, ISBN 978-983-44826-1-9. Jointly published
by ITS & UTM, October.
5. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2014–1). Behaviour of
precast concrete beam-to-column connection with U- and L-bent bar anchor-
ages placed outside the column panel – Analytical study. 2nd International
Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Ma-
terials 2014 (SCESCM 2014), Yogyakarta, Indonesia. Procedia Engineering
95(2014)112-121, doi: 10.1016/j.proeng.2014.12.170.
6. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2014–2). Behaviour of
precast concrete beam-to-column connection with U- and L-bent bar anchor-
ages placed outside the column panel – Experimental study. 2nd International
Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Ma-
terials 2014 (SCESCM 2014), Yogyakarta, Indonesia. Procedia Engineering
95(2014)122-131, doi: 10.1016/j.proeng.2014.12.171.
7. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2015). Performance of
Precast Reinforced Concrete Beam-to-Column Subassemblages with Connect-
ion Constructed out of The Panel. Australian Journal of Basic and Applied
Science, 9(23) July 2015, pp. 111-121.
8. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2016). Desain SRPMK
Beton Bertulang Bertingkat Sepuluh dan Analisis Respons Nonliniernya Terha-
dap Beban Gempa. Prosiding Seminar Nasional ATPW, Juni 2016, Surabaya,
hal. C-1 s/d. C-8.

Riwayat Hidup Penulis  253

Anda mungkin juga menyukai