Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muhammad Juniar Revanska Kusuma

NIM : 205060101111034

Kelas : Bahasa Indonesia A2

Jurusan : Teknik Sipil

Judul : Etika Pengutipan, Teknik Pengutipan, dan Penulisan Daftar


Pustaka

Dalam menulis sebuah litelatur kita akan membutuhkan untuk mengambil


sebuah kutipan, kegiatan itu disebut mengutip. Sedangkan proses, cara, hal dalam
mengutip disebut dengan pengutipan. Saya cantumkan definisi kutipan dari
Azhari (dalam Alam, 2005 : 38) “kutipan merupakan bagian dari pernyataan,
pendapat, buah pikiran, definisi, rumusan atau penelitian dari penulis lain, atau
penulis sendiri yang telah (menurut penulis kata “telah” harus dihilangkan)
terdokumentasi, serta dikutip untuk dibahas dan ditelaah berkaitan dengan materi
penulisan”. Menurut Al-Ma’ruf, terdapat beberapa etika dalam pengutipan, yang
pertama identifikasi pakar yang menyatakan tersebut. Kedua, harus ditunjukkan
media komunikasi ilmiah yang dipakai untuk menyampaikan pernyataannya,
misalnya: buku, jurnal/terbitan berkala ilmiah, makalah, surat kabar, dan
sebagainya. Ketiga, harus dapat ditunjukkan pula institusi yang menerbitkan
publikasi ilmiahnya, tempat/kota, tahun terbit, dan halaman.
Pengutipan memiliki kaidah agar tulisan menjadi lebih terang, kredibel dan
akurat. Oleh karena itu, mengutip harus dilakukan secara teliti, cermat, dan
bertanggung jawab. Gunakanlah kutipan sehemat mungkin, gunakan kutipan jika
memang memerlukannya dan jangan menghilangkan gaya bahasa dari awal
hingga akhir untuk kelancaran bahasa. Dalam mengutip kita harus memerhatikan
aturan yang berlaku, didalam Pasal UUD No. 19 Tahun 2002 sudah diatur
mengenai pengutipan:
1. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan
suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
pencipta;
2. Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;
3. Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian guna
keperluan; (i)  ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan
ilmu pengetahuan: atau (ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak
dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang
wajar dari Pencipta;
4. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
dalam huruf braille guna keperluan para tuna netra, kecuali jika
Perbanyakan itu bersifat komersial;
5. Perbanyakan suatu Ciptaan selai Program Komputer, secara terbatas
dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan
umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi
yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktifitasnya;
6. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis
atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
7. Pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik
Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Dengan kata lain mengutip tulisan atau karya orang lain dengan menyebutkan
sumbernya secara lengkap maka tidak melanggar hukum.
Saya akan menjabarkan dan menjelaskan cara atau teknik dalam
pengutipan, yang pertama adalah kutipan langsung. Kutipan langsung merupakan
salinan yang persis sama dengan sumbernya tanpa adanya penambahan, berikut
cara dan aturan dalam melakukan kutipan langsung:
 Mengutip secara apa adanya.
 Memakai tanda (“...”).
 Jika kutipan yang terdiri dari empat baris atau lebih maka diketik satu
spasi, dimulai tujuh ketukan dari batas tepi kiri, sumber rujukan ditulis
langsung sebelum teks kutipan.
 Diintegrasikan ke dalam teks paparan penulis, jika berbahasa asing atau
daerah, kutipan ditulis dimiringkan.
 Jika ada bagian kalimat yang dihilangkan, ganti bagian itu dengan tanda
titik sebanyak tiga biah jika yang dihilangakan itu ada di awal atau di
tengah kutipan, dan empat titik.
 Jika di bagian akhir kalimat sertakan sumber kutipan di awal atau di akhir
kutipan, yaitu nama penulis, tahun terbit, dan halaman sumber.
 Jika ada penambahan komentar, tulis komentar tersebut di antara tanda
kurung.
 Kutipan langsung dipakai untuk mengemukakan konsep atau informasi
sebagai data.
 Jika ingin memberi penjelasan atau menggarisbawahi bagian yang
dianggap penting, pengutip harus memberikan keterangan. Keterangan
tersebut berada di antara tanda kurung.
Contohnya:
Salah Satu dimensi kehidupan afektif emosional adalah kemampuan
memberikan perlindungan yang berlebihan, melainkan cinta dalam arti
“… a relationship that nourishes us as we give, and enriches us as we
spend, and permits ego and alter ego to grow in mutual harmony” (Cole,
1999:88).

yang kedua adalah kutipan tidak langsung. Kutipan tidak langsung mengambil
gagasan dari suatu sumber dan menuliskannya sendiri dengan kalimat atau bahasa
sendiri, berikut cara, aturan dan jenis dalam melakukan kutipan tidak langsung:

 Menggunakan penulisan dari penulis sendiri.


 Mencantumkan sumber (nama penulis, tahun, dan halaman).
 Jenis kutipan tidak langsung yang pertama adalah parafrase, dimana
pengutipan mengambil gagasan utama dari sumber. Parafrase didapat
dengan mengambil pokok pikiran, lalu kalimat dibuat sendiri oleh
pengutip. Contohnya:
Sejarah wacana keadilan gender (baca: feminisme) di Mesir sebenarnya
telah bergema sejak awal abad XX. Ironisnya, wacana tersebut
kelihatannya hanya berjalan di tempat. Perempuan Mesir pada umumnya,
terutama di tingkat masyarakat bawah, masih mengalami ketidakadilan
atau bahkan penindasan. Sejauh ini masih belum ada tanda-tanda yang
memperlihatkan perubahan yang signifikan dalam relasi sosial antara laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat. Polarisasi ekstrim elemen sosial ke
dalam dua kutub berdasarkan seks (jenis kelamin) masih terjadi.
Meminjam istilah Simone de Beauvoir, perempuan masih diposisikan
sebagai the second sex atau being for others (ada untuk orang lain)
(Siswanti, 2003:21).

Paragraf di atas dapat dibuat menjadi parafrase sebagai berikut:

Perempuan di Mesir hingga sekarang masih mengalami ketidakadilan


gender bahkan penindasan meskipun wacana keadilan gender telah
berkembang sejak satu abad terakhir. Relasi sosial laki-laki dan perempuan
masih seperti dua kutub yang berjauhan. Perempuan masih dipandang
sebagai makhluk kelas dua (the second sex) atau eksistensinya sekedar
menjadi pelengkap bagi laki-laki (being for others) (Siswanti, 2003:21).

 Jenis kutipan tidak langsung yang kedua adalah pengikhtisaran, yaitu


mengikhtisarkan kutipan dari suatu sumber. Contohnya:

Karakteristik pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya di dalam hal


etnik dan agama. Di Indonesia terdapat tidak hanya puluhan etnis,
melainkan ratusan etnis dengan bahasa dan budayanya masing-masing
yang satu dengan lainnya berbeda. Selain itu, berbagai etnik itu pada
umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan lainnya
berbeda, meskipun secara yuridis formal Indonesia menetapkan adanya
agama-agama tertentu yang diakui negara yakni: Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Konghucu. Dengan demikian semboyan Bhinneka
Tunggal Ika terasa pas dengan kondisi bangsa Indonesia yang memang
pluralistik.
Kemajemukan bangsa Indonesia ternyata sangat rentan terhadap tindak
kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di
samping antar kelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di
Indonesia sering disebut dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar-
golongan). Kekerasan itu sejak lama telah muncul di beberapa daerah di
Indonesia. Hanya saja selama ini kekerasan itu tidak besar atau membesar
dan tidak merember ke daerah lain. Namun, ketika bangsa Indonesia
dilanda krisis moneter/ ekonomi sejak akhir 1997 hingga kini setelah
gerakan reformasi --yang dimotori para mahasiswa dan intelektual--
berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto, kekerasan itu menggejala di berbagai daerah. Sedikit saja ada
gesekan, maka mudah sekali api perpecahan dan kerusuhan massal disertai
tindak kekerasan kolektif (anarkisme) muncul. Akibatnya, rakyat yang
tidak berdosa harus menderita karenanya. Kasus kerusuhan Jakarta (2005),
Solo (1998), Bali (1999), Ambon, Maluku Utara (1999/2000; 2003/2004),
Mataram (2000), massal disertai tindak kekerasan kolektif (anarkisme)
muncul. Akibatnya, rakyat yang tidak berdosa harus menderita karenanya.
Kasus kerusuhan Jakarta (2005), Solo (1998), Bali (1999), Ambon,
Maluku Utara (1999/2000; 2003/2004), Mataram (2000), Kalimantan
(2003) dan Poso (2003-2006) adalah contoh aktual. Sekaligus hal itu
mengindikasikan betapa kekerasan sosial akhir-akhir ini begitu fenomenal
melanda masyarakat kita, yang dulu dikenal religius dan berbudaya santun:
halus budi bahasanya, berbudi pekerti luhur, dan ramah-tamah. Sayang
sekali, karakteristik bangsa Indonesia yang bagus itu kini tinggal
‘kenangan indah’.

Identitas "bangsa religius dan berbudaya santun" itu telah terkoyak dan
ternodai oleh berbagai tindak kekerasan sosial di berbagai daerah. Semoga
situasi di Ambon yang sudah cukup kondusif dapat terus berlangsung,
setelah lama dilanda konflik antara komunitas Kristen dengan komunitas
Islam. Namun, bukan tidak mungkin di dalamnya masih tersimpan bara
yang dapat menyala sewaktu-waktu. Kondisi demikian tentu saja
menimbulkan keresahan dan kegelisahan di kalangan masyarakat
Indonesia yang sedang berjuang mengatasi kesulitan hidup akibat krisis
ekonomi sejak 1997 dan mengatasi berbagai musibah di tanah air
(Nugrahani, 2007:34-35).

Kutipan orisinal dari sebuah artikel dalam jurnal tersebut dapat dibuat
ikhtisarnya (summarizing) menjadi sebagai berikut.

Pluralitas bangsa Indonesia baik dari segi etnik, suku bangsa, agama,
bahasa, dan budayanya merupakan sebuah keniscayaan. Dengan kata lain
multikulturalisme merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan yang
harus diterima oleh warga negara Indonesia. Sayang sekali, akhir-akhir ini
pluralitas atau multikulturalisme bangsa Indonesia itu telah terkoyak oleh
berbagai konflik antar-etnis dan antar-agama yang disertai dengan tindak
anarkis seperti terlihat pada konflik Solo (1980), Ambon, Maluku Utara
(1999/2000; 2003/2004), Jakarta (2010), Kalimantan Barat (2003).
Predikat “bangsa religius dan berbudaya santun” yang selama ini melekat
pada bangsa Indonesia pun kini patut dipertanyakan (Nugrahani, 2007:34-
35).

Lalu ada teknik catatan kaki, yaitu teknik pengutipan konvensional dengan catatan
kaki biasanya menggunakan istilah Ibidem (Ibid,), Opere Citato (Op. Cit.), dan
Loca Citato (Loc. Cit.). Berbeda dengan catatan kaki konvensional dahulu, artikel
sekarang menggunakan catatan kaki sebagai keterangan tambahan tentang istilah
atau ungkapan yang tercantum dalam naskah yang dipandang perlu mendapat
penjelasan, bukan menunjukkan sumber acuan. Catatan kaki juga berupa rujukan
kepada sesuatu yang bukan buku, seperti wawancara, pidato di televisi, dan
sejenisnya. Kutipan yang akan diterangkan itu diberi nomor 1), 2), 3), dan
seterusnya di bagian belakangnya. Nomor itu dinaikkan 0,5 spasi tanpa jarak
ketukan. Catatan kaki diletakkan di bagian bawah halaman dengan dibatasi oleh
garis sepanjang tujuh ketukan dari margin kiri, dan jarak dari garis pembatas ke
catatan kaki dua spasi. Nomor catatan kaki dinaikkan 0,5 spasi dan diberi kurung
tutup. Contohnya:
Justru setelah diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi
orpol dan ormas, tidak ada lagi kecurigaan ideologis dari pemerintah
terhadap umat beragama. Ini membuat umat beragama dapat berkembang
secara lebih sehat. Umat beragama menjadi tuan rumah di negerinya
sendiri 5).
_______________
5) Di balik kejadian dan dialektika itu, baik Nakamura maupun
Hefner (1994), melihat landasan kultural yang memperhalus proses
tersebut. Landasan kultural itu tidak lain adalah pemahaman baru terhadap
Islam, yang kemudian melandasi seluruh gerak umat Islam hingga berada
pada posisi seperti sekarang ini, terutama hubungannya dengan
pemerintah.

Teknik bodynotes, pengutipan pencantuman sumbernya secara langsung pada


bodi tulisan. Yang terakhir ada teknik pengutipan dari sumber yang kedua dimana
pengutipan harus menyebutkan nama penulis sumber aslinya dan nama penulis
yang litelaturnya dirujuk. Contohnya:

Menurut Al-Ma’ruf (2003:7), pada era globalisasi terjadilah


transformasi sosial budaya di tengah masyarakat. Melalui infiltrasi,
asimilasi, dan integrasi, terjadilah pergumulan antara nilai tradisi dan
modernisasi. Karena itu, kini rasanya sulit sekali kita menemukan budaya
lokal yang masih orisinal. Tampaknya, tak terhindarkan lagi kita sedang
menuju pada terbentuknya budaya mondial yang universal.

Daftar pustaka perlu dicantumkan untuk menghindari plagiasi, memuat


daftar yang berisi semua tulisan ilmiah yang menjadi rujukan dalam penulisan
litelatur. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam penulisan daftar pustaka yang
dipisahkan berdasarkan sumber kutipannya. Sumber yang pertama adalah buku,
berikut ketentuannya:
 Daftar Pustaka disusun menurut urutan abjad dengan nama pengarang
(nama akhir, dibalik dengan diberi koma). Daftar pustaka tidak diberi
nomor urut.
 Penyebutan referensi dalam Daftar Pustaka dimulai dengan nama penulis
(nama keluarga/belakang terlebih dulu) [titik], tahun publikasi [titik], judul
buku dicetak miring [titik], tempat publikasi [titik dua], penerbit [titik].
 Buku yang dikarang oleh dua atau tiga pengarang, penulisannya sebagai
berikut
Christie, Coelho, dan Ernest, Peter. 2021. Cara Berkebun. Bandung:
Penerbit AMR.
 Jika sebuah buku mempunyai empat atau lebih penulis, cantumkan penulis
pertama, diikuti dengan et al. untuk mengindikasikan penulis lainnya
 Jika sebuah buku terdiri dari tiga pengarang atau lebih dan ada pengarang
yang namanya terdiri dari satu kata (tanpa nama keluarga/belakang), maka
penulisannya memakai tanda titik koma (;) untuk membedakan pengarang
satu dengan lainnya.
 Jika referensinya adalah seorang pengarang dengan dua karya ilmiah
maka nama pengarang tersebut di urutan kedua ditulis dengan “….” (garis
bawah panjang [titik], yang artinya sama), dan referensinya diurut secara
kronologis (tahun terbit tulisan/buku), bukan secara alfabet.
 Jika referensi pertama adalah seorang pengarang dengan karya ilmiah yang
dibuat sendiri, dan dalam referensi kedua pengarang ini membuat karya
ilmiah dengan orang lain, maka referensi kedua ditulis dengan “…, dan
pengarang lain”
 Referensi dengan pengarang yang sama dan tahun terbit yang sama
disusun secara alfabet dan ditandai dengan huruf kecil (a, b, c) setelah
tahun.
 Sebuah buku yang ditulis oleh lembaga atau organisasi disusun seperti:
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). 2022. Economic and
Social Survey of Asia and the Pacific 2022. Bandung: ASEAN.
Selanjutnya adalah referensi yang bersumber dari bahan ajar, maka akan ditulis
seperti berikut:
Ahmad. 2021. Sistem Politik. Bahan Ajar. Bandung: Program S1
Pemerintahan Integratif
Yang ketiga bersumber dari terbitan berkala ilmiah seperti jurnal ilmiah dan
lainnya, berikut ketentuannya:
 Jika Volume dan Nomor terbitannya lengkap, penyebutannya: nama
jurnal, volume, nomor (dalam kurung), halaman. Contohnya:
Blanton, Shannon Lindsey. 1999. “Instruments of Security or Tools of
Repession? Arms Imports and Human Rights Conditions in Developing
Countries.” Journal of Peace Research, 36(2), 233-244.
 Jika tidak ada volumenya.
Budiardjo, Miriam. 1992. “Sistem Pemilu dan Pembangunan Politik.”
Jurnal Ilmu Politik, No. 11, 3-27.
Lalu ada referensi bersumber dari majalah, berikut ketentuannya:
 Jika ada nama penulis
Basri, Muhammad Chatib. 2008. “Mosaik Modal, 10 Tahun Setelah
Krisis.” Tempo, 18 Mei, 100-101.
 Jika tidak ada nama penulis
Tempo, 18 Mei 2008.
Selanjutnya bersumber dari koran, berikut ketentuannya:
 Jika ada nama penulis
Abdullah, Wahid. 2008. “Industri 4.0?” Kompas, 4 Januari.
 Jika tidak ada nama penulis
Jawa Post, 7 Maret 2008.
Selanjutnya bersumber dari abstrak, penulisannya sama seperti mengutip dari
majalah atau jurnal, tetapi dengan mencantumkan kata “Abstrak” dalam tanda
kurung “[ ]”. Lalu referensi dari review buku, contohnya:
Darmadi, Yusril. 2000. “Menjelajah Tafsir Sejarah” [Review buku:
Penjelasan Sejarah]. Tempo, 30 Maret.
Selanjutnya referens bersumber hasil wawancara yang ada di dalam sebuah
tulisan, berikut ketentuannya:
Indrawati, Sri Mulyani. 2008. “Kelompok Menengah-Bawah Akan Badly
Hurt” [Wawancara]. Tempo, 25 Mei, 243- 244.
Sumber yang terakhir adalah artikel online, berikut contohnya:
Collier, Paul, dan Hoeffler, Anke. 1999. Justice-Seeking and Loot-Seeking
in Civil War. Washington DC: The World Bank.
http://www.worldbank.org/research/collier.pdf

Daftar Pustaka:
Alam, A. H. (2005). Konsep Penulisan Laporan Ilmiah. Bandung: YIM Press.

Al-Ma’ruf, Ali Imron dan Farida Nugrahani. (2010). Metode Penulisan Karya
Ilmiah Panduan bagi Mahasiswa, Ilmuwan, dan Eksekutif. Yogyakarta:
Pilar Media.

Amien, dkk. (2018). PELATIHAN CARA TEKNIK PENGUTIPAN DAN CARA


MENGHINDARI TINDAKAN PLAGIAT BAGI PARA GURU SMK
MUHAMMADIYAH 3 PEKANBARU. Jurnal Pengabdian Untuk Mu
NegeRI, 2(2), 40-43.

Azis, A. D. (2015). INTRODUKSI KAIDAH-KAIDAH PENULISAN ARTIKEL


ILMIAH BAGI MAHASISWA GUNA MENGHINDARI PLAGIASI.
Abdi Insani Unram, 2(1), 57-61.

Penyusun, T. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bogor: Fakultas


Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai