Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

ABSES PERITONSIL

Pembimbing
dr. Nurlina M Rauf, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :
Andreas Adiwinata (406191046)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
PERIODE 05 AGUSTUS 2019 - 13 OKTOBER 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat:

Epilepsi

Disusun oleh :

Andreas Adiwinata (406191046)

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan THT-KL

RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran UniversitasTarumanagara

Ciawi, 25 September 2019

dr. Nurlina M Rauf, Sp. THT-KL


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gejala seperti nyeri tenggorok dan demam disertai terbatasnya gerakan
membuka mulut dan leher dapat dicurigai adanya abses leher dalam. Abses
leher dalam dapat dibagi dalam beberapa bentuk, yaitu: abses peritonsil, abses
parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina) atau
abses submandibula. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Pada abses peritonsil,
penjalaran infeksi disebabkan oleh penetrasi peradangan melalui kapsula
tonsil. Peradangan akan mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya
unilateral.1
Pada abses peritonsil dapat berupa gabungan dari bakteri aerob dan
anaerob di daerah peritonsilar dan kebanyakan adalah Streptococcus,
Staphylococcus, dan bakteri anaerob Bacterioides. Bagian pillar tonsil
anteroposterior, fossa piriformis inferior, dan palatum superior adalah tempat
yang biasanya terjadi abses peritonsil.2
Abses peritonsil terbentuk sebagai komplikasi dari tonsilitis akut atau
infeksi dari kelenjar Weber di bagian kutub atas tonsil, ini terjadi karena
penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi tenggorokan pada ruangan
areolar yang longgar disekitar faring yang dapat menyebabkan pembentukan
abses, dimana infeksi menembus bagian kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas
otot konstriktor faring.3

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, gejala klinis, terapi, komplikasi
dan prognosis dari abses peritonsil.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. 4

Gambar 1. Anatomi Tonsil 5


Gambar 2. Cincin Waldeyer 6

2.1.1 Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: 2

 Lateral  Muskulus konstriktor faring superior


 Anterior  Muskulus palatoglosus
 Posterior  Muskulus palatofaringeus
 Superior  Palatum mole
 Inferior  Tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga


melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.1

Gambar 3.
Tonsilla Palatina 7
2.1.2 Fosa Tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral
atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal.3

2.1.3 Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu:
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan
arteri palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.3

Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil 7


2.1.4 Aliran Getah Bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.3

8
Gambar 5. Aliran limfe kepala dan leher
Gambar 6. Persarafan Tonsil 7

2.1.5 Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX


(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

2.1.6 Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.


Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. 3
Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di
jaringan tonsilar.9 Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.3 Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.10

2.2 Fisiologi Tonsil

Peran imunitas tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk menginduksi


sekresi bahan imun dan mengatur produksi dari imunoglobulin sekretoris. Peran
tonsil mulai aktif antara umur 4-10 tahun dan akan menurun setelah masa
pubertas. Hal ini menjadi alasan fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada
anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak mengalami perkembangan daya
tahan tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur 7 hingga 8 tahun dan tonsil
merupakan salah satu organ imunitas pada anak yang memiliki fungsi imunitas
yang luas.3

Berdasarkan penelitian, tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase


awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan
sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa parenkim tonsil mempu menghasilkan antibodi. Tonsil
memegang peranan dalam menghasilkan IgA, yang menyebabkan jaringan
jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru lahir, tonsil
secara histologi tidak mempunyai sentrum germinativum, biasanya ukurannya
kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan
adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan
dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau
sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses
involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.
2.2.1 Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Mekanisme pertahanan non spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan


kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa
tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah
dalam pertahanan dari masuknya kman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat
masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel fagosit.
Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan
bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan
bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya ke
dalam kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan
mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi
peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan
superoksidase yang akan membentuk H2O2 yang bersifat bakterisidal. H2O2 yang
terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian
membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel fagosit terdapat granula
lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan
mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk
rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses
digestif.3

2.2.2 Mekanisme Pertahanan Spesifik

Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan


tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah.
Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal
terhadap organisme patogen. Di samping itu tonsil dan adenoid juga dapat
menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit,
dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu
histamin. Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan IgE, sehingga
permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.
Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi
hipersensitifitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. Dengan
teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma sel,
terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil.
Mekanisme kerja IgA adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses
immunologi, sehingga dalam proses neutralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah
terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu IgA merupakan barrier untuk
mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

2.3 Abses Peritonsil

Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau


Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang
terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supuratif.11

Gambar 7. Dari kiri ke kanan : Abses peritonsil dextra, Abses peritonsil


sinistra 12

2.3.1 Etiologi

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis.4 Abses peritonsil
disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan
Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.11 Sedangkan virus
yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

2.3.2 Prevalensi

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun,
namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini
memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun. 1

2.3.3 Patologi

Patologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang


paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsilitis eksudatif
pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang
sebenarnya (frank abscess formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat


longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi
kontra lateral.4

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan


menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.4 Selain itu, abses
peritonsil terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsilitis kronis atau
berulang (recurrent) sebelumnya. Abses peritonsil dapat juga merupakan suatu
gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (mononucleosis).13

2.3.4 Gejala Klinik

Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya
abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke
arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di
palatum mole. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman
pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Kebanyakan
pasien menderita nyeri hebat.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia
yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m.
Masseter menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi,
nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
sengau (rinolalia)4 karena oedem palatum molle yang terjadi karena infeksi
menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya
inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan
spasme muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari
trismus. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan
submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi.
Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih
menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan
nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).14

2.3.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang.

1. Anamnesis

Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses


peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah
satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut
yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring.


Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena
ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan
pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis.
Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang
terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan
bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa
melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis
tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis
tengah.1 Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan,
serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.

3. Pemeriksaan Penunjang14
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk
penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu
dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan
dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin
dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe
berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan
material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita
abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit


(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver
function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral
soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu
dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
Gambar 8. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil 15

 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan


hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada
tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang
asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana
operasi.

Gambar 9. CT Scan dari


Abses peritonsil dextra 15

 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral


ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 %
dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai
sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan
noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan
awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih
terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.
Gambar 10.
Ultrasonografi dari abses peritonsil 15

2.3.6 Diagnosis Banding

1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici

Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit


abses leher dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua
penyakit abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan
membuka mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk membedakan
abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat. 4

2.3.7 Terapi

Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.


b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara
parenteral atau peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
e) Pemberian steroid.

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat


simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin
pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur
mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of chioce pada
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam
selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis
awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan
infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari
4 gr/hari.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera
gejala-gejala pasien.
Gambar 11. Insisi Abses Peritonsil 4

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia


lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi
tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase
abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah
drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. 4

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita


abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Angka
kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara
0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,
sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. 2

Gambar 12. Tonsilektomi 16


Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan
Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan
(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya
diberi antibiotik parenteral. 1

2.3.8 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 4

 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau


piemia.
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
 Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik
apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.
 Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis
septik ke selubung karotis atau carotid sheath.
 Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.
 Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri
supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses


peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi
penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

2.3.9 Prognosis

Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian


kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan
aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan
nyawa pasien. 14

Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan


tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada
saat operasi.

BAB 3
KESIMPULAN

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerob dan anaerob di daerah
peritonsiler. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler


adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus sp. Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin
sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa untuk kultur
sensitifitas terhadap antibiotik. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis
tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan
kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada
daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi
untuk tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis
dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsil
sebelumnya, riwayat faringitis eksudatif yang berulang.

Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler


berkisar antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi
abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan. Pada individu dengan abses
peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera
atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi


Fungsional. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
2. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan
Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
3. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease
dalam Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition.
Elsevier Mosby Inc.; 2005.
4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007.
5. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Available at:
http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm .
Accessed on September 23th, 2012.
6. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at:
http://www.tulip.ccny.cuny.edu . Accessed on September 23th, 2012.
7. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on
September 23th, 2012.
8. Staff. Atlas of Human Anatomy. Available at:
http://www.anatomyatlases.org . Accessed on September 23th, 2012.
9. Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw
Hill Medical Publishing Division; 2003.
10. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar,
H.N. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia; 2004.
11. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1998.
12. Adam. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov .
Accessed on September 23th, 2012.
13. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.
14. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
15. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at:
http://www.revolutionultrasound.com . Accessed on September 23th, 2012.
16. Kaneshiro, Neil. Tonsillitis. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov .
Accessed on September 23th, 2012.

Anda mungkin juga menyukai