Anda di halaman 1dari 8

PENGHARGAAN PROFESI GURU DI MATA NASIONAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Kependidikan


Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Maridi, M.Pd., Alanindra Saputra, M.Sc

Disusun Oleh:
Nama : Alfiana Nur Aeni
NIM : K4316004
Kelas : B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Profesi guru merupakan profesi yang sangat penting karena berperan


dalam mencetak Sumber Daya Manusia dan karakter bangsa yang unggul untuk
mewujudkan tujuan nasional melalui serangkain kegiatan pendidikan. Profesi guru
juga penting karena ia menyiapkan peserta didik menjemput profesi lain yang mereka
inginkan dengan baik. Guru dianggap suatu profesi yang menjunjung tinggi nilai-nilai
moralitas oleh masyarakat, sehingga apa yang dikatakan atau diperbuat guru
seringkali dijadikan contoh atau acuan. Dalam istilah Jawa yang menyebutkan bahwa
Guru berasal dari kata “digugu lan ditiru”, yang artinya guru itu di gugu (di percaya,
dianut) dan ditiru kata-kata serta perilakunya, bukan hanya oleh peserta didiknya
namun juga oleh masyarakat. Bahkan dalam budaya masyarakat Nusantara Kuno,
guru menempati kasta Brahmana yaitu kasta tertinggi masyarakat yang suci.
Begitulah penghargaan terhadap profesi guru.
BAB II
ISI

A. PENGHARGAAN GURU DI JAMAN KOLONIAL HINDIA BELANDA


Pada jaman belanda, tepatnya akhir abad ke-19, profesi guru menjadi
idaman karena gajinya tidak kurang dari gaji Wedana, yaitu 40 gulden, bahkan
Wedana pun ingin menjadi guru (Akira Nagazumi, 1989 dan Tilaar, 1995). Namun,
memasuki abad 20, penghargaan guru ditentukan berdasarkan kasta dan asal
sekolahnya. Guru berkebangsaan Eropa mendapat gaji yang jauh lebih tinggi
dibandingkan guru bumiputera. Menurut Dwijdja Oetomo (1914), guru bantu Sekolah
Kelas Dua lulusan Kursus Guru Bantu selama dua tahun, mendapat gaji sekitar f. 20 -
30 per bulan. Guru sekolah kelas dua lulusan Normaalschool mendapat gaji f. 30 – 45
per bulan. Berdasarkan data PB. PGRI, gaji guru lulusan Hogere Kweekschool
(HKS) atau Hollands Inlands Kweekschool (HIK) adalah sekitar f. 70 - 250 per bulan,
guru lulusan Europese Kweekschool mendapat gaji sebesar f. 125,- per bulan, dan
guru lulusan Hoofdacte mendapat gaji sebesar f. 130,- per bulan. Menurut P. J. Gerke
dalam I.J. Brugmans (1987), guru berkebangsaan Eropa dapat menerima gaji di atas f.
100,- per bulan, sedangkan guru bumiputera bahkan yang merupakan lulusan
Kweekschool menerima gaji sebesar f. 75,- per bulan. Guru lulusan Kweekschool,
mendapat beberapa penghargaan lebih seperti diberi hak untuk menggunakan kotak
sirih, tombak, payung dan tikar sesuai ketentuan pemerintah; mendapat gelar
“manteri guru”, hingga memperoleh dana untuk membayar empat pembantu untuk
membawa lambang kehormatan (kotak sirih, tombak, payung dan tikar) tersebut
(Nasution S, 1987). Sedangkan guru yang merupakan lulusan Sekolah Desa,
mendapat gaji awal sebesar f. 7,5 per bulan, selaanjutnya mereka di gaji minimal f.15
dan maksimal f. 20 per bulan. Jumlah tersebut tentunya masih kurang jika
dibandingkan pegawai pemerintah, sehingga guru desa biasanya mendapat tambahan
dari kas desa, atau bengkok desa berupa sawah atau tanah garapan (Depdikbud, 1942
dalam S. L Van Der Wal, 1942).
Kabar baiknya, Dwidjosewojo (salah satu Pengurus Besar Budi Utomo)
pada tahun 1911 membentuk Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) dan
mendirikan asuransi jiwa bagi guru bumiputra. Organisasi yang beranggotakan Guru
Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah ini bertujuan
memperjuangkan hak guru sehingga kesejahteraan guru bumiputera dapat lebih
terangkat (Soebangsih, 1918). Pada tahun 1930-an saat pemerintah Hindia-Belanda
hendak melakukan pemotongan biaya pendidikan besar-besaran, sehingga para guru
terancam kehilangan pekerjaanya, PGHB hadir dengan bergabung bersama Persatuan
Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) untuk memprotes kebijakan tersebut. PGHB
kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) dan
memperjuangkan kedudukan dan gaji Guru Bantu (Guru honorer pada masa Hindia
Belanda) yang dijatuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda, meskipun perjuangan
tersebut tidak membuahkan hasil yang baik (Pringgodigdo, 1984).

B. PENGHARGAAN GURU DI JAMAN KOLONIAL JEPANG


Pada jaman Jepang guru lebih dihormati dan diberi gelar Sensei. Gajinya
pun tidak sedikit, sehingga pada jaman Jepang guru memiliki status sosial yang
cukup tinggi dipandang dari jabatannya bukan moralnya. Pemerintah Jepang juga
mengadakan pelatihan guru di Jakarta dan mendirikan sekolah guru seperti Sjootoo
Sihan Gakko (Sekolah Guru) selama 2 tahun, Guutoo Sihan Gakko (Sekolah Guru
Menengah) selama 4 tahun, dan Kootoo Sihan Gakkoo (Sekolah Guru Tinggi) selama
6 tahun (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1979). Guru yang lulus dari sekolah ini akan
mendapat gaji sebesar Rp.16,- sampai Rp. 38,- rupiah sebulan. Sekolah guru ini tidak
seperti sekolah guru pada jaman kolonial Hindia – Belanda yang bersifat dualistik
yaitu membeda-bedakan golongan bumiputera dengan golongan penjajah. Menurut
Tilaar, (1995) pemerintah Jepang ingin mengubah arah pendidikan yang tadinya
berkiblat pada budaya barat menjadi berkiblat pada buadaya timur, sehingga
pemerintah Jepang berusaha menghapus seluruh sistem yang tertanam dari
pemerintah Hindia – Belanda termasuk sistem dualistik dalam pendidikan.
Pemerintah Jepang sangat menghargai guru, karena melalui pendidikan,
ideologi Hakko Ichiu yang mendukung pencapaian cita-cita perang suci demi
kemakmuran bersama Asia Timur Raya ditanamkan (Sumarsono Mestoko, 1979).
Berdasarkan wawancara dengan Mayjen (Purn) R.H.A. Saleh, M.Hum dan Basyuni
Suriamiharja tahun 2003, Jepang mungkin sangat berterima kasih kepada guru yang
telah berjuang untuk mempropagandakan misinya pada masyarakat luas, khususnya
para siswa. Meskipun mendapat penghargaan yang tinggi, namun jumlah guru
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan akhir masa kolonial Belanda. Hal ini
diduga karena pemerintah Jepang mengalami kesulitan keuangan. Selain itu, guru pada
masa kolonial Jepang tidak memiliki wadah atau organisasi sendiri yang menaungi
profesinya. Hal tersebut dikarenakan pada masa kolonial Jepang PGI tidak
diperbolehkan berdiri sendiri (Suhartono, 1994). Pemerintah Jepang tidak
mengijinkan berdirinya organisasi selain bentukan Jepang, sehingga PGI bergabung
dengan PUTERA. Hingga kemudian pemerintah Jepang membentuk organisasi Jawa
Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) karena merasa PUTERA lebih memberi manfaat
dalam kemerdekaan Indonesia daripada membantu Jepang. Dalam organisasi ini, guru
mendapat tempat di Kyoiku Hokokai (Kebaktian Para Pendidik) untuk membaktikan diri
mengangkat potensi masayarakat demi tercapainya tujuan pemerintah Jepang (Marwati
& Nugroho, 1983 dan Djohan Makmur, 1993).

C. PENGHARGAAN GURU DI JAMAN KEMERDEKAAN HINGGA


SEKARANG
Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah belum terlalu fokus mengurus
masalah pendidikan karena terhambat perang pasca kemerdekaan. Jumlah guru masih
sangat terbatas. Sehingga pemerintah mendirikan Kursus Pengajar untuk Kursus
Pengantar Kepada Kewajiban Belajar (KPKPKB) melalui Keputusan Menteri
Pendidikan No. 5033/F tertanggal 5 Juni 1950, sebagai wadah pendidikan bagi guru.
Pelajar yang mengikuti KPKPKB diwajibkan menjalani kontrak dengan pemerintah
dengan jaminan memperoleh tunjangan sebesar Rp. 85, angka yang cukup besar terutama
bagu masyarakat desa di jaman tersebut (Suara Guru, 1953).
Pada masa ini, guru kembali dianggap sebagai sosok yang memegang
peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional, menjadi profesi yang
dibanggakan dan mendapat menghargaan moral yang tinggi. Dalam rangka
meningkatkan mutu guru sekolah dasar, pemerintah kemudian mengembangkan
KPKPKB menjadi Sekolah Guru B (SGB) dengan masa pendidikan 4 tahun, lalu menjadi
Sekolah Guru A (SGA) dengan masa pendidikan 6 tahun (Suara Guru, 1953). Sedangkan
untuk meningkatkan mutu guru sekolah menengah, pemerintah membangun
Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP), dengan masa pendidikan 3
tahun untuk Kursus B I dan masa pendidikan 2 tahun untuk Kursus B II, agar siap
menjadi guru Sekolah Lanjutan Atas (SLA). Pada tahun 1954 Pemerintah lalu
mendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), dan pada tahun 1961 PTPG di
masukan ke dalam universitas sebagai FKIP, sesuai kesepakatan antara Departemen
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) dan Departemen Perguruan Tinggi. Tidak
berselang lama lalu didirikan Institut Pendidikan Guru (IPG) di bawah Departemen PD
dan K, karena FKIP dipandang tidak dapat mencetak tenaga pendidik yang sesaui
harapan. Hingga akhirnya FKIP dan IPG dileburkan pada tahun 1963 menjadi Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di bawah Departemen PTIP, dengan segala
penghargaan dan tunjangannya (Tilaar, 1995)

Namun seiring perkembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat,


penghargaan akan profesi guru kembali terpuruk. Banyak yang beranggapan, karena
guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka guru meupakan pekerjaan moral dengan
tingkat kesejahteraan yang kecil. Guru dianggap profesi yang tidak bergengsi
dibandingkan dokter, teknisi, petugas pengadilan, banker dan bahkan dari karyawan
kantor sekalipun. Guru dipandang sebagai profesi dengan Low income earners
(berpenghasilan rendah). Sebagai contoh, gaji guru lulusan D II yang baru diangkat
masih lebih kecil dari UMR pegawai pabrik lulusan SD, SMP atau SMA. Gaji guru
berpangkat rendah Golongan II-A, misalnya tidak jauh berbeda dengan gaji seorang
buruh pabrik yang hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Untuk wilayah Daerah
Khusus Ibukota UMR pada saat itu adalah Rp. 198.500, - sementara gaji guru Gol.
III-A dengan masa kerja dua tahun hanya menerima Rp. 160.000,- (Dedi, 1999)
Oleh karena itu, saat ini, pemerintah berusaha meningkatkan penghargaan
profesi guru dengan adanya memberikan sertifikasi sesuai Undang-undang Nomor
14 tahun 2005, yaitu Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD). Kemudian sejak
tahun 2009, pemerintah menaikkan anggaran pendidikan nasional dinaikkan hingga
20% dari APBN (Abdul Malik Fajar, 2009). Pemerintah juga terus mengadakan
berbagai program pelatihan guru agar para guru memenuhi syarat mendapat
sertifikasi. Disamping sertifikasi, pemerintah juga terus mengadakan program
penghargaan dan perlindungan berupa pemberian gelar atau penyematan tanda
kehormatan terhadap guru/dosen seperti Satyalancana Pendidikan, Penghargaan guru
berprestasi Tingkat Nasional, Penghargaan guru berdedikasi di Daerah Khusus/
Terpencil, Penghargaan guru berdedikasi Tingkat Nasional, Penghargaan pendidikan
Tingkat Nasional, Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional,
Pembangunan rumah dinas bagi guru dan Perlindungan Hukum dan profesi serta
HaKI (Nunuy Nurjanah, 2008)

Meskipun semua penghargaan tersebut masih dirasa kurang cukup,


terutama bagi guru honorer, namun kebijakan pemerintah yang terus meningkatkan
penghargaan bagi guru dari masa ke masa tentunya patut di apresiasi dan terus
diperjuangkan. Salah satunya gerakan Mendikbud, Nadiem Makariem, dalam
menaikkan alokasi anggaran dana BOS untuk pembayaran gaji guru honorer di masa
pandemi Covid-19 melalui melalui Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler. Dalam Permendikbud tersebut
dijelaskan bahwa semua guru honor yang tercatat pada Dapodik per 31 Desember
2019, dan belum mendapat tunjangan profesi guru berhak mendapat gaji dari alokasi
dana BOS yang besarannya tidak dibatasi 50 persen. Mendikbud juga membolehkan
penggunaan dana BOS untuk membeli pulsa, paket data dan atau layanan pendidikan
daring berbayar bagi pendidik dan atau peserta didik dalam rangka pelaksanaan
pembelajaran jauh (https://www.timesindonesia.co.id/)
DAFTAR PUSTAKA

A.K. Pringgodigdo. (1984). Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta : Dian


Rakyat.
Depdikbud. Pendidikan di Indonesia 1900-1942. (Disadur dari S.L. van der wal. Het
Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1942). Jakarta, hal 72, 105
Djumhur I. dan H. Danasuparta. (1976). Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu.
Fadjar, Abdul Malik. (2009). Pengembangan Profesionalisme Guru. Jakarta :
Uhamka Press.
H.A.R. Tilaar. (1995). 50 Tahun Pembangungan Pendidikan Nasional 1945-1995
Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta : Grasindo.
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/267335/mas-menteri-nadiem-dan-nasib-
guru-honorer
I.J. Brugmans. (1987). Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Terj. Amir Sutaarga.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,
Makmur, Djohan., et.al. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman penjajahan.
Jakarta:Depdikbud, , hal. 100-101
Mestoko, Sumarsono. (1979). Pendidikan di Indonesia, Dari Jaman ke Jaman.
Jakarta : Depdikbud.
Nagazumi, Akira. (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-
1918. Terj. KITLV. Jakarta: Grafiti, 1989, hal. 32
Nurjanah, Nunuy. (2008). Pengembangan Profesionalisme Guru. Jurusan
Pendidikan Bahasa Daerah. Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni. Universitas
Pendidikan Indonesia
Oetomo, Dwijdja. (1914). Keloeh Kesah Bangsa Goeroe-goeroe. Surat Kabar
Yogyakarta. 25 April 1914
PB. PGRI, (1984). PGRI Dari Masa ke Masa. Jakarta : YPLP-PGRI Pusat.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1983). Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta : Depdikbud.
S. Nasution. (1987). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jemmars, hal. 40
Soebangsih. (1918). Gedenkboek Boedi Oetomo. Uitgave:Tijdschrif Nederland-Indie
Oud en Nieuw. Amsterdam
Suara Guru, Oktober 1953
Suhartono. (1994). Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai
Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Supriadi, Dedi. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa.

Anda mungkin juga menyukai