Anda di halaman 1dari 2

PENDIDIKAN GURU SAINS DI JEPANG: MASA LALU, SEKARANG DAN MASA

DEPAN
Lembaga survei internasional seperti TIMSS, PISA, dan TALIS telah berhasil
menggambarkan sistem pendidikan Jepang, aspek budaya profesional guru di Jepang, serta
capaian prestasi akademik peserta didiknya yang tinggi. Hal ini dimulai dengan menguraikan
sejarah perkembangan pendidikan guru sains di Jepang yang telah dikembangkan sejak tahun
1868 yang ditandai dengan munculnya moderinisasi dan adaptasi pendidikan guru yang
berbasis pendidikan Barat. Salah satu cara yang diterapkan adalah dengan mengirim
perwakilan ke Amerika Serikat untuk belajar dan mengekplorasi filosofi pedagogi dan
pendidikan guru yang kemudian diaplikasikan pada penyelenggaraan pendidikan guru di
Jepang.
Inoue (1975) mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan guru di Jepang pada dua
bagian, yaitu guru yang telah dianggap profesional dan guru yang dilatih di sekolah
profesional. Hal ini mengakibatkan guru sangat diharapkan untuk mengembangkan dan
menekankan kompetensi praktis dalam kegiatan mengajar sehingga pemerintah Jepang
memberlakukan pre-sevice education (pendidikan guru prajabatan), yaitu pendidikan khusus
bagi calon guru lulusan universitas sebelum diangkat menjadi guru pengajar di sekolah.
Peraturan ini berlaku baik bagi lulusan universitas pendidikan guru maupun universitas
lainnya yang terakreditasi oleh kementrian pendidikan.
Pendidikan guru prajabatan ini telah mulai dikembangkan sejak akhir PD II yang
terbagi menjadi dua tipe yaitu, tipe A dan tipe B. Pada tipe A, fakultas pendidikan di
universitas mengajar calon guru berdasarkan profesionalisme sebelumnya. Sedangkan tipe B,
fakultas non-pendidikan lah yang mengajar calon guru berdasarkan keilmuan yang sudah ada.
Jika institusi tipe B menyediakan sertifikat guru untuk sekolah dasar, calon guru yang
menempuh pendidikan pada institusi tipe A dapat memilih berbagai jenis sertifikat guru, dari
guru taman kanak-kanak hingga sekolah menengah yang mencakup materi pelajaran yang
lebih luas untuk SMP dan SMA seperti sains dan matematika. Ini terjadi selain karena
institusi tipe A memiliki SDM yang memadai, mereka juga menyediakan pendidikan
profesional yang mencakup berbagai jenis bidang seperti pedagogi, psikologi, dan metode
pengajaran-pengajaran yang menarik.
Namun, permasalahan lain muncul yaitu dengan fokusnya perhatian terhadap
pendidikan guru pra-jabatan ini ternyata menurunkan performa penelitian mengenai prinsip
pengajaran sains dan konten materi pelajaran yang turut mendukung proses belajar dan
mengajar pada pendidikan sains. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru mengenai integrasi
dan keseimbangan antara kemampuan pedagogi dan konten materi pelajaran pada calon guru
sains, dan seberapa dalam kemampuan pengetahuan (integrasi sains dan pedagogi) pada guru
yang dianggap berkualifikasi. Menanggapi konflik tersebut Fakultas Pendidikan di
Universitas Hiroshima yang memiliki metode mengajar mata pelajaran terkait dengan
pengajaran sains menawarkan subjek tentang prinsip dan metode umum pengajaran sains.
Hasil akhirnya nanti seorang guru di Fakultas Pendidikan Universitas Hiroshima
mendapatkan sertifikat untuk mengajar sains ditingkat sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas. Sertifikat seperti sebuah legalitas bahwa guru tersebut sudah
mengetahui mengapa sains harus diajarkan, memahami bagaimana mengajar sains,
bagaimana menilai kinerja siswa berdasarkan hasil penelitian, dan memecahkan masalah
nyata dalam pelajaran sains. Selain itu, Fakultas Pendidikan di Universitas Hiroshima
memberikan instruksi tentang mata pelajaran lain yang berkaitan dengan “Metode Pengajaran
Mata Pelajaran”. Contohnya, mata pelajaran kurikulum sains mencakup pengorganisasian
dan pengelolaan kurikulum dan pengetahuan IPA, serta pemahaman mata kuliah (serupa
dengan kurikulum nasional).
Departemen Pendidikan mulai mereformasi pendidikan guru dan anak secara terus
menerus sejak tahun 1980-an. Reformasi tersebut juga merupakan respons terhadap
perubahan masyarakat, lingkungan sosial anak, dan kondisi pendidikan anak. Langkah-
langkah reformasi tersebut sebagai berikut: (1) peningkatan studi profesional guru dalam
program pendidikan; (2) program pasca sarjana baru dengan program magister yang diatur
ulang yang ditawarkan di institusi tipe A; dan (3) sistem pembaruan sertifikat guru yang
mencakup hampir setiap aspek pendidikan guru dan sertifikat guru. Kurikulum pendidikan
guru pra-jabatan profesional yang diwajibkan oleh Kementerian Pendidikan, dengan fokus
pada sains sekolah menengah (bukan guru sekolah dasar).
Setiap universitas nasional Tipe A di Jepang sekarang memiliki sekolah profesional
untuk program pasca sarjana dalam pendidikan guru. Tujuan dari program ini adalah
untuk meningkatkan spesialisasi profesional calon guru dan untuk meningkatkan kompetensi
mengajar dan basis pengetahuan guru melalui pendidikan jabatan. Fokus kurikulum sekolah
profesional pada studi profesional dan aplikasi praktis (misalnya, studi kasus dan /atau
penelitian tindakan) daripada teori. Kemudian, Kementerian Pendidikan memperkenalkan
sistem pembaruan ijazah guru. Setiap sertifikat berlaku selama sepuluh tahun dan harus
diperbarui setelah satu dekade dengan mengambil kursus yang ditawarkan di institusi Tipe A
dan Tipe B dan / atau prefektur dewan pendidikan. Hal tersebut terjadi karena telah
bergesernya kebutuhan utama bagi guru sekolah menengah dari pengembangan kemampuan
dan pengetahuan dasar menjadi usaha untuk memperoleh kompetensi mengajar.

Hasil TALIS 2013 (OECD, 2014) menunjukkan bahwa guru Jepang memiliki tingkat
partisipasi yang lebih tinggi dari rata-rata dalam melanjutkan pengembangan profesional
dalam hal kunjungan observasi ke sekolah lain, yaitu 51% dibandingkan dengan TALIS rata-
rata 19%. Ogawa pada tahun 2014, Isozaki pada tahun 2016 dan isozaki beserta Ochi pada
tahun 2017 mencatat bahwa salah satu alasan untuk perbedaan ini mungkin dikarenakan
budaya professional Jepang dengan tingginya antusiasme guru. Ini juga mencerminkan
konsensus implisit di antara para guru bahwa ahli guru pun belajar dari orang lain dan harus
terus meningkatkan basis pengetahuan dan kompetensi pengajaran mereka sepanjang
kehidupan profesional mereka.
Setiap lembaga pendidikan guru di Jepang harus memiliki model yang ideal untuk
jenis guru yang ingin didiknya (Schön, 1983). Kobayashi (1993) berpendapat bahwa
profesionalisme harus didirikan di atas dasar disiplin akademis yang ketat. Basis pengetahuan
seorang guru harus mencakup konten atau pengetahuan ilmiah tentang kuantitas dan kualitas
yang sesuai untuk pengajaran sehingga lembaga harus secara jelas menyatakan kebijakan dan
filosofinya tentang pendidikan guru dari perspektif pengembangan profesional berkelanjutan,
karena calon guru harus tetap terus belajar setelah menjadi guru, dan berpartisipasi dalam
program pendidikan guru dalam jabatan baik secara formal maupun informal.

Anda mungkin juga menyukai