Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PENGEMBANGAN PROFESI GURU

PERBANDINGAN MODEL PENGEMBANGAN PROFESI GURU DI NEGARA


JEPANG DAN INDONESIA

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH:

ZETRA HAINUL PUTRA, S.Si, M.Sc

DISUSUN OLEH:

DENISA NURAULIA (1905112327)

DIANI SUKMADEWI (1905156109)

FANNY NURMAULIDA (1905124103)

FATINATUS ZAHRO (1905156478)

HAFIZAH SYAHRANI S. (1905124572)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS RIAU

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Perbandingan Model Pengembangan Profesi Guru Di Negara Jepang Dan Indonesia“.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Pengembangan Profesi Guru (PPG).

Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak, maka dari itu pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih
kepada dosen pengajar, orang tua, dan semua orang yang terlibat yang telah
memberikan dorongan dan motivasi sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak


kekurangan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 2 Juni 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guru sebagai suatu profesi harus selalu berkembang. Pengembangan
profesionalisme guru terutama harus didasarkan pada kebutuhan individu guru itu
sendiri selain kebutuhan institusi dan kelompok guru. Menurut Danim pengembangan
guru berdasarkan kebutuhan institusi adalah penting, namun hal yang lebih penting
adalah berdasarkan kebutuhan individu guru untuk menjalani proses profesionalisasi,
karena substansi kajian dan konteks pembelajaran selalu berkembang dan berubah
menurut dimensi ruang dan waktu, guru dituntut untuk selalu meningkatkan
kompetensinya.
Profesionalitas adalah sikap seorang profesional yang menjunjung tinggi
kemampuan profesinya, ia akan bekerja dan mengerjakan sesuatu sesuai bidangnya.
Profesionalisme guru adalah suatu tingkat penampilan seseorang dalam melaksanakan
pekerjaan sebagai guru yang didukung dengan keterampilan dan kode etik.
Upaya pengembangan profesionalisme guru perlu terus dilakukan secara
berkelanjutan supaya pengetahuan, pemahaman dan keterampilan mereka yang
berhubungan dengan tugasnya selalu mengikuti perkembangan kemajuan dunia
pendidikan. Berbagai model pengembangan sebenarnya sudah dikemukakan oleh
banyak ahli pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan guru.
Oleh karena itu, tulisan ini membahas mengenai berbagai model pengembangan
profesionalisme guru yang dapat dimanfaatkan guru sesuai dengan kebutuhan.
Keefektifan masing-masing model tersebut tergantung kepada situasi dan kondisi
yang melingkupi guru tersebut. Berbagai macam model tersebut akan memberikan
pilihan kepada guru untuk meningkatkan pengembangan profesinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana reformasi pendidikan di Jepang?
2. Bagaimana reformasi kurikulum di Jepang?
3. Apa saja sifat dan karakteristik kurikulum di Jepang?
4. Bagaimana implementasi dan pengembangan kurikulum di Jepang?
5. Apa saja model-model pengembangan profesional guru?
6. Bagaimana implementasi model-model tersebut terhadap profesionalisme guru?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana reformasi pendidikan di Jepang.
2. Untuk mengetahui bagaimana reformasi kurikulum di Jepang.
3. Untuk mengetahui berbagai sifat dan karakteristik kurikulum di Jepang.
4. Untuk mengetahui bagaimana implementasi dan pengembangan kurikulum di
Jepang.
5. Untuk mengetahui berbagai model dalam pengembangan profesional guru,
6. Untuk mengetahui implementasi model-model pengembangan terhadap
profesionalisme guru.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Reformasi Pendidikan di Jepang


Menurut Hara Kiyoharu (2007:3), reformasi pendidikan di Jepang telah
berlangsung tiga kali yaitu, reformasi pada masa restorasi Meiji, reformasi sesudah
PD II, dan reformasi menuju abad 21.
1. Reformasi pertama pada masa Meiji (1872-1890) membawa pendidikan di Jepang
memasuki masa modern dengan diterapkannya sistem persekolahan yang
terstruktur dan kesempatan luas bagi warganegara untuk mengakses pendidikan.
Tetapi pendidikan pada masa ini masih terkotak-kotak antara pendidikan elitis dan
pendidikan orang kebanyakan. Selanjutnya pada era Taishō (1912-1926)
diperkenalkan pula pendidikan liberal yang dipengaruhi oleh paham liberalism
yang berkembang di Amerika.
2. Reformasi kedua sesudah PD II intinya adalah penerapan wajib belajar dan
penerapan pendidikan demokratis. Dengan adanya pembaharuan ini, jumlah siswa
yang dapat mengakses pendidikan dasar meningkat dan pendidikan telah berubah
dari pendidikan elit menuju pendidikan massal.
3. Reformasi ketiga dirancang oleh Chuuoukyouikusingikai dan
Rinjikyouikusingikai, yaitu Tim Khusus yang ditunjuk oleh Perdana Menteri
untuk membantu mencarikan pemecahan permasalahan pendidikan yang akan
diusulkan kepada PM dan diterapkan oleh Menteri Pendidikan.

Tahun 2001 Kementrian Pendidikan Jepang mengeluarkan rencana reformasi


pendidikan di Jepang yang disebut sebagai “Rainbow Plan”.
1. Mengembangkan kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran
yang menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri
dari 20 anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar, dan
pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional
2. Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan
terbuka melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan
mutu pembelajaran moral di sekolah
3. Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan,
diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial lainnya.
4. Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan
masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi sekolah secara
mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar, pembentukan school councillor,
komite sekolah yang beranggotakan orang tua, dan pengembangan sekolah
berdasarkan keadaan dan permintaan masyarakat setempat.
5. Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan
pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang
berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan
etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
6. Pengembangan universitas bertaraf internasional
7. Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru,
melalui reformasi konstitusi pendidikan kyouiku kihon hou) (MEXT, 2006).

Perubahan Jepang menjadi negara industri membawa dampak yang sangat besar
dalam masyarakatnya. Negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam PD II dan
pada dasarnya tidak memiliki sumber daya alam yang memadai terpacu untuk
membangun negerinya secara besar-besaran. Dapat dikatakan bahwa generasi kunci
kemajuan Jepang adalah generasi yang lahir pada masa perang, atau kira-kira berumur
25-30 tahunan pada tahun 60-70an. Mereka mewarisi jiwa gambarism pendahulunya
yang sukses menaklukkan beberapa negara di Asia.
Era 60-an ditandai pula sebagai era shinkansen, transportasi super cepat. Rel-rel
dibangun melintasi wilayah Jepang sekalipun pada waktu itu banyak sekali protes dari
masyarakat. Tetapi proyek shinkansen akhirnya membawa kemajuan ekonomi Jepang
semakin pesat, sekaligus meningkatnya kompetisi dalam masyarakat Jepang yang
semula dikenal sangat homogen.

2.2 Reformasi Kurikulum di Jepang


Kurikulum sekolah di Jepang disusun oleh bagian perencanaan kurikulum
yang terdapat dalam Kementrian Pendidikan (MEXT). Panduan kurikulum di sekolah
disebut Gakushū shidōyōryō (GS) yang diakui secara hukum, sehingga pelanggaran
terhadapnya akan dikenai sanksi hukum. GS merupakan panduan kurikulum untuk SD
(shōgakkō), SMP (chūgakkō), SMP-SMA satu atap (chūtōkyōikugakkō), SMA
(kōtōgakkō), dan SLB (tokubetsushiengakkō). Sedangkan untuk panduan kurikulum
Taman Kanak-Kanak (yōchien) disebut yōchienkyouikuyōryō.
Panduan kurikulum yang pernah berlaku di Jepang adalah GS 1947, GS 1951, GS
1961, GS 1971, GS 1980, GS 1992, dan GS 2002. Penamaan tersebut berdasarkan
tahun penerapannya di level SD. Sebagai contoh, kurikulum 1947 adalah kurikulum
yang disusun dua atau tiga tahun sebelumnya, dan diterapkan secara tuntas di level
SD pada tahun 1947. Pengecualian untuk kurikulum SMA yang mengalami
pembaharuan juga pada tahun 1956.
Kurikulum yang rencananya akan diterapkan pada dekade selanjutnya adalah
GS 2011. Penyusunan dan publikasi kurikulum ini dilakukan tiga tahun sebelum
diterapkan. Misalnya untuk reformasi kurikulum SD yang direncanakan akan
diterapkan pada tahun 2011 dan SMP yang akan diterapkan tahun 2012, telah
terselesaikan penyusunannya pada 28 Maret 2008. Sementara itu kurikulum untuk
SMA dan SLB yang akan diterapkan tahun 2013 telah diselesaikan penyusunannya
dan diumumkan ke publik untuk mendapatkan masukan pada 9 Maret 2009.
Kurikulum pertama, GS 1947 adalah kurikulum yang banyak dipengaruhi oleh
reformasi pendidikan pasca perang. Beberapa mata pelajaran pada jaman sebelum
perang seperti shūshin (mental/spirit education), geografi (chiri) dan sejarah (rekishi)
dihapus di level SD[2], dan mapel baru diperkenalkan yaitu IPS dan Jiyūkenkyū
(penelitian bebas), serta pelajaran keterampilan (homemaking) diberikan tanpa
membedakan jenis kelamin siswa (co-education).

2.3 Sifat dan Karakteristik Kurikulum Jepang


1. SD
Kurikulum SD di Jepang hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia.
Perbedaan nyata terlihat pada mata pelajaran seikatsuka (kebiasaan hidup) yang
diajarkan di kelas 1 dan 2. Mapel ini bertujuan untuk membiasakan anak-anak
dengan cara hidup mandiri sehari-hari. Daripada mulai mengajarkan IPA atau IPS,
Jepang lebih memilih memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari kepada
anak-anak yang baru menyelesaikan pembelajaran di TK yang lebih
memfokuskan kegiatan bermain daripada belajar di dalam kelas.
Pembelajaran bahasa Jepang dan berhitung diajarkan lebih banyak
dibandingkan pelajaran lainnya. Pendidikan OR juga menjadi mapel yang
diajarkan dalam jumlah yang melebihi mapel lainnya selain bahasa dan berhitung.
Adapun pendidikan moral diajarkan tidak secara khusus dalam mapel tertentu,
tetapi diajarkan oleh wali kelas sejam seminggu atau diintegrasikan melalui
pembelajaran mapel lain. Sekolah-sekolah agama diperkenankan mengajarkan
agama (Kristen, Buddha, Sinto) sebagai bagian dari pendidikan moral. Selain
pendidikan akademik, pendidikan estetika berupa musik dan menggambar juga
diajarkan dalam porsi besar di kelas 1 dan 2.

2. SMP
Kurikulum SMP juga menitikberatkan pada pendidikan bahasa Jepang,
matematika, IPA dan IPS. Pelajaran bahasa asing diajarkan dalam bentuk mapel
pilihan, di antaranya bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Jerman.
Pelajaran bahasa Inggris baru dijadikan mapel wajib di level SMP pada kurikulum
2002.
Pendidikan kesehatan jasmani diajarkan dalam jumlah jam belajar yang sama
dengan SD (90 jam), tetapi berbeda dengan SD, pendidikan kesehatan di SMP
terdiri atas Olahraga dan pendidikan jasmani.
Adanya mata pelajaran pilihan di SMP, yaitu bahasa Jepang, IPS,
Matematika,IPA,Musik, Art, Pendidikan Jasmani Kesehatan, Keterampilan/
Homemaking, dan bahasa Asing, merupakan perbedaan khas antara kurikulum
SMP di Indonesia dan Jepang. Alokasi waktu pembelajaran integrated course juga
diberikan lebih besar dibandingkan dengan mapel yang sama di SD.
Pendidikan dasar di Jepang juga dilengkapi dengan tokubetsukatsudou yang
dapat diterjemahkan sebagai aktivitas khusus atau semacam ekstra kurikuler di
Indonesia, tetapi agak berbeda karena kegiatan ini meliputi OSIS, kegiatan kelas,
kegiatan klub olahraga dan seni, event sekolah dan pendidikan moral. Event
sekolah seperti festival sekolah (gakkousai) dipersiapkan per kelas dengan
bimbingan penuh dari wali kelas.

3. SMA
Dibandingkan kurikulum SD dan SMP, kurikulum SMA di Jepang paling
sering berubah. Perubahan tampak pada nomenklatur mapel, kategorisasi, dan
sistem penjurusan. Sifat khas kurikulum SMA adalah kompleksnya mapel yang
diajarkan.
Pelajaran bahasa Jepang tidak saja dibedakan atas tatabahasa dan sastra, tetapi
dikelompokkan lebih detil lagi menjadi pendidikan bahasa Jepang, literature
klasik dan literature modern. Bahasa Asing sebelum kurikulum 2002 masih
memperkenalkan bahasa Jerman dan bahasa Perancis, tetapi sejak kurikulum 2002
yang dimaksud dengan bahasa asing adalah bahasa Inggris yang diajarkan dalam
secara detil.
Penjurusan dilakukan sejak kelas 3 SMA, dan jurusan yang ada pada dasarnya
adalah jurusan rika (IPA) dan bunka (budaya/sosial). Tetapi penjurusan
mengalami perkembangan semenjak semakin banyak lulusan SMA yang memilih
akademi atau college dan memilih bekerja.Penjurusan dikembangkan dengan
beragam mapel yang terkait dengan teknik, pertanian,perikanan, kesejahteraan
masyarakat, dll.Beberapa sekolah membagi lebih detil lagi penjurusan menjadi
Jurusan yang dipersiapkan untuk menghadapi ujian masuk universitas negeri dan
Jurusan yang memilih universitas swasta. Misalnya, Rika A adalah kombinasi
jurusan IPA dan persiapan ujian masuk PTN. Selain integrated course, pelajaran
IT juga baru dimasukkan dalam kurikulum 2002.

4. Yutorikyouiku, 5 hari sekolah, Ikiru chikara, dan Sōgotekina gakushū jikan


Kurikulum SD cenderung statis dari segi perubahan mata pelajaran, tetapi
terlihat kecenderungan penurunan jumlah jam belajar per tahun. Penurunan jam
pelajaran ini terlihat secara nyata sejak tahun 1980, yaitu ketika yutorikyouiku
mulai diperkenalkan.Kurikulum 1971 adalah kurikulum yang sangat sarat materi
sementara sekolah-sekolah di Jepang belum memadai baik dari segi fasilitas
maupun kemampuan guru-gurunya. Sehingga kurikulum tersebut terlalu
memberatkan dan kurang berhasil. Oleh karena itu muncullah ide untuk
memberikan pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu dan ruang.
Itulah yang disebut yutorikyouiku. Jumlah jam pelajaran SD per tahun berkurang
sebanyak 36 jam, dan SMP sebanyak 385 jam.
Pelaksanaan yutorikyouiku membawa dampak yang kurang bagus kepada
anak-anak Jepang. Guru-guru Jepang tidak semuanya siap dan dapat memahami
konsep yutorikyouiku dengan baik. Tindakan memberikan ruang dan waktu
kepada siswa SD dan SMP memang terbukti dapat mengurangi rasa stress siswa
akibat pelaksanaan kurikulum yang ketat sebelumnya, tetapi sekaligus
menyebabkan minat belajar yang menurun. Kedisiplinan mulai mengendor, dan
beberapa pihak mulai memprotes sistem yutorikyouiku.
Yutorikyouiku telah disalahartikan dalam penerapannya. Sistem pendidikan
ini sebenarnya bukan bermaksud mengendorkan kedisiplinan tetapi hanya
mengurangi materi belajar yang memberatkan pada setiap mapel. Dengan sistem
ini diharapkan anak-anak dapat berkembang sesuai dengan minat dan
kesukaannya. Pembelajaran di sekolah seharusnya diselenggarakan secara lebih
menyenangkan. Oleh karena itu istilah tanoshii jugyou (kelas yang menyenangkan)
juga diperkenalkan sebagai salah satu alternatif implementasi yutorikyouiku.
Tetapi banyak guru yang kesulitan menciptakan kelas yang menyenangkan, atau
sebaliknya guru terpaku pada kata menyenangkan, sehingga mengurangi
kedisiplinan dan motivasi belajar siswa. Akibat akhirnya justru berdampak pada
menurunnya prestasi akademik siswa-siswa Jepang.
Indikator pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang
adalah pengukuran internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD,
yaitu PISA dan TIMMS, sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional.
Pada tahun 1995, prestasi siswa SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama,
namun tahun-tahun selanjutnya mengalami penurunan. Pemerintah dan
masyarakat mulai meragukan proses pendidikan di sekolah, dan guru-guru
mendapat sorotan yang tajam sebagai pihak yang tidak mampu mendidik dengan
baik.
Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku, pemerintah juga menerapkan 5 hari
sekolah, yaitu dari hari Senin sampai Jumat. Tujuan kebijakan ini adalah agar
siswa dapat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga dan belajar
lebih banyak di lingkungannya pada akhir pekan. Akan tetapi alih-alih belajar di
lingkungan atau di keluarga, anak-anak dan orang tuanya justru kurang
memahami hal ini, sehingga anak-anak bermain game di rumah, ikut ibunya
berbelanja, atau banyak juga anak yang malah memanfaatkan waktu tersebut
untuk ikut berbagai les privat.
Anak-anak yang memanfaatkan waktu liburnya dengan belajar, tentu saja
memiliki prestasi akademik yang baik pula, tetapi sebagian besar anak justru
menghabiskan waktu untuk bermain, sehingga wajar saja prestasi akademik anak-
anak kemudian menurun.
Dengan hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan
kebijakan untuk melaksanakan kembali gakuryoku tesuto (tes kemampuan
akademik) tahun 2007, yang sebenarnya pernah dilaksanakan pertama kali pada
tahun 1960, tetapi kemudian dihentikan pada tahun 1968 karena kenyataannya
wilayah/distrik secara alami memiliki perbedaan dari sumber daya yang kemudian
mengakibatkan perbedaan pelaksanaan pendidikan. Kebijakan ini dilaksanakan
kembali setelah tidak berjalan kurang lebih 43 tahun.
Karakteristik kurikulum Jepang yang lainnya adalah ide ikiru chikara dan
sōgōtekina gakushū jikan. Konsep ikiru chikara adalah konsep yang hendak
membudayakan jiwa dan melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di tengah
masyarakat. Konsep ini dijabarkan sebagai hal yang harus dididikkan untuk
mempersiapkan generasi muda Jepang memasuki abad 21.
Konsep ikiru chikara selanjutnya diikuti dengan kebijakan sōgōtekina gakushū
jikan pada kurikulum 2002. Konsep sōgōteki gakushū jikan adalah konsep
pembelajaran tematik, mengajak siswa untuk mengenal lingkungan, budaya dan
alam sekitarnya, kehidupan masyarakat, ekonomi desanya, industri yang ada di
lingkungan tinggalnya. Implementasinya misalnya, sebuah sekolah menerapkan
weekly trial, yaitu kesempatan bagi anak-anak untuk mencoba menjadi penjual,
nelayan, pelayan di restoran, dll.
Pada dasarnya pemahaman guru terhadap sōgōteki gakushuu jikan menurut
Kiyohara (2007) masih sangat rendah. Beberapa sekolah yang tidak memiliki
konsep yang baik, terpaksa meniru penerapan di sekolah lain.Konsep sōgōtekina
gakushū jikan bukan sekedar belajar di luar buku pelajaran atau pembelajaran
ekstra kurikuler, tetapi dalam penerapannya anak-anak tetap harus diasah dan diuji
kemampuan kerja otak, jiwa, dan tubuhnya. Oleh karena itu ketika berperan
sebagai nelayan misalnya, mereka belajar prinsip-prinsip matematika, belajar
berkomunikasi dengan baik, belajar tentang ilmu bumi dan cuaca. Bukan sekedar
pengalaman kerja (lih.Ramli, 2008a).
Pertukaran budaya asing (internasionalisasi) termasuk wacana yang diusung
dalam sougotekina gakushū jikan. Pengenalan terhadap budaya asing diberikan
melalui presentasi mahasiswa asing di kelas-kelas TK, SD, SMP, dan SMA. Ini
bisa dilakukan dengan mengedarkan permintaan kepada universitas-universitas di
daerah setempat. Siswa-siswa juga diminta mencari informasi sebanyak mungkin
tentang negara asing dan menyusun sebuah presentasi. Beberapa sekolah
menerjemahkan pembelajaran budaya asing ini dengan misalnya mengumpulkan
bantuan untuk anak-anak korban bencana di Indonesia, seperti yang dilakukan
oleh beberapa sekolah di Aichi.

2.4 Impelementasi Kurikulum dan Kompetensi Guru


Pedoman pembelajaran/kurikulum harus diramu di sekolah agar menjadi
bahan ajar yang cocok dengan kondisi siswa dan sekolah. Pekerjaan meramu ini
bukan pekerjaan yang mudah dan banyak guru yang gagal, lalu hanya sekedar meniru
ramuan sekolah lain. Proses peramuan memerlukan analisa dan survey yang detil
tentang kondisi dan potensi siswa dan sekolah (termasuk guru). Oleh karena itu untuk
menerapkan hal ini, pertama, sekolah-sekolah di Jepang mengembangkan survey
sekolah secara berkala (lih.Ramli,2009). Survey yang diselenggarakan termasuk
dalam rangkaian evaluasi sekolah, misalnya survey tentang kesehatan siswa,
kebiasaan sehari-hari, jam belajar siswa, dll. Kedua, sekolah (guru) mempelajari
potensi daerah yang selayaknya diajarkan kepada siswa. Setelah pemahaman ini
ditangkap, kepala sekolah dan guru mengontak pihak terkait untuk bekerja sama
menerapkan kurikulum yang diinginkan. Ketiga, membicarakan penerapannya dengan
pihak orang tua yang tergabung dalam Parent Teacher Association (PTA).
Termasuk dalam pembinaan kompetensi aparat sekolah dan guru adalah
kewajiban untuk membuat laporan tertulis. Sistem pelaporan ini sekaligus melatih
guru untuk mengembangkan kemampuan menulis ilmiah. Terkadang laporan tersebut
dikembangkan sebagai penelitian terpadu dan dipresentasikan di seminar-seminar.
Sebagaimana dikritik oleh beberapa pakar pendidikan bahwa kebanyakan
kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang muncul bukan dari
pemikiran bawah. Oleh karena itu banyak yang tidak bisa diterapkan di sekolah secara
optimal, dan pada akhirnya mendapat protes keras dari Teacher Union (Nikkyouso
dan Zenkyou).
Ketidakmampuan guru-guru di Jepang untuk segera dapat menerjemahkan
keinginan pemerintah/pembuat kebijakan barangkali karena konsep-konsep baru yang
diadopsi berbeda dengan konsep yang mereka pelajari saat mengikuti pendidikan guru.
Guru-guru di Jepang adalah lulusan dari Normal School (semacam SPG), Kyouiku
daigaku (Educational College), atau Fakultas Pendidikan Universitas.
Sistem sertifikat mengajar telah dikembangkan di Jepang sejak tahun 1886,
yang hanya diberikan kepada guru yang lolos dalam ujian seleksi guru. Guru-guru
tersebut bertugas di Ordinary Normal School, Ordinary Middle School, dan Girl High
School.
Jenis sertifikat ada empat, yaitu sertifikat kelas satu, kelas dua, kelas tiga dan
non kelas. Perubahan jenis sertifikat dapat terjadi jika seorang guru telah memiliki
pengalaman mengajar. Pada tahun 1892, pemberian sertifikat kepada guru pengajar
ordinary normal school dibuat secara terpisah, dengan tetap mempertahankan
sertifikat kelas satu dan kelas dua. Sedangkan kelas tiga dan non kelas diberikan
kepada asisten guru. Pelaksanannya berlangsung dua tahap, yaitu:
(1) Tahap pertama secara otomatis pemilik gelar sarjana atau lulusan sekolah
keguruan memperoleh sertifikat kelas satu, tanpa atau dengan mengikuti ujian
khusus untuk menjadi guru, sedangkan non lulusan sekolah keguruan atau
kesarjanaan yang mengikuti ujian guru dan lolos akan memperoleh sertifikat kelas
dua.
(2) Tahap kedua diberikan setelah mengabdi beberapa tahun sebagai guru
(lih.Ramli,2008b).

Tahun 1894 lahir peraturan sertifikasi baru yang tidak mengkelas-kelaskan


jenis sertifikasi, tetapi memberikan lisensi mengajar kepada semua lulusan universitas
umum dan universitas khusus wanita (yang berkecimpung di bidang pendidikan
keguruan. Hanya ada satu di Jepang waktu itu, yaitu di Nara).
Tahun 1896, hak memberikan sertifikasi guru diberikan sepenuhnya kepada
rektor universitas.
Tahun 1899 berlaku peraturan sertifikasi untuk lulusan universitas negeri
maupun swasta, college, dan universitas asing.
Tahun 1990 sistem sertifikasi sepenuhnya dipegang oleh MEXT dan lisensi
hanya diberikan kepada lulusan sekolah keguruan atau fakultas pendidikan universitas.
Bagi non lulusan fakultas pendidikan diperkenankan mengikuti ujian seleksi yang
penanganannya dilakukan oleh komite khusus sertifikasi guru (MEXT, 2007).

Monbukagakusho memberlakukan sistem `school councillor`, yang pada tahun


2003 tercatat hampir 7000 sekolah memiliki badan ini. Pemerintah juga
menganjurkan sekolah untuk lebih terbuka kepada masyarakat dan orang tua melalui
pelaksanaan evaluasi sekolah oleh pihak luar sekolah (gaibu gakkou hyouka), yang
dengan ini pula sekolah harus lebih transparan dalam mengungkapkan proses belajar
mengajar di sekolah, juga admnistrasi dan manajemen sekolah.
Sistem sertifikasi ulang yang dikenal dengan `kyōinmenkyokōsinsei` (=sistem
pembaruan sertifikasi guru) tidak saja merupakan jawaban terhadap perubahan sosial
masyarakat tetapi juga sebagai salah satu instrument pelengkap pelaksanaan sekolah
yang terbuka kepada konsumernya. Dengan kebijakan ini, guru-guru diharuskan
untuk mengikuti `training penyegaran` setiap 10 tahun sekali.
Dalam definisi Monbukagakusho, kriteria guru yang bermutu harus
disesuaikan dengan era global dan perubahan struktur masyarakat Jepang yaitu,
karena semakin panjangnya daya hidup orang Jepang dan semakin menurunnya
jumlah kelahiran, yang menyebabkan masyarakat Jepang menuju kepada `aging
society`, yaitu masyarakat dengan populasi penduduk usia tua lebih banyak daripada
penduduk usia muda.
Ide untuk melaksanakan sertifikasi ulang terhadap lisensi mengajar bukan hal
yang mudah diterima oleh kalangan guru di Jepang, apalagi data guru yang tidak
layak mengajar (shidō fuzoku kyouin) sebagian besar adalah guru-guru senior.
Sebagaimana dipahami masyarakat Jepang sangat menghormati system senioritas,
terbukti dengan adanya sistem gaji berdasarkan senioritas dan masa kerja yang lama,
pun juga berbagai kelebihan dalam dunia bisnis yang dimiliki oleh senior. Gaji guru
yang telah bekerja 20 tahun di Jepang lebih besar daripada gaji guru yang sudah
bekerja 5 tahun. Dalam bisnis di Jepang pun sangat mudah terjadi transfer pekerjaan
dari satu tempat ke tempat lain, baik dalam perusahaan yang sama ataupun
perusahaan yang berbeda bidang. Sistem training di dalam tempat bekerja pun
menjadi hal yang lazim (Watanabe & Edwin,1993).
Sistem pengembangan profesionalisme guru di Jepang juga menganut sistem
senioritas, yaitu guru-guru senior berkewajiban membimbing guru-guru baru.
“Tradisi pelatihan guru muda di Jepang tidak berubah, yaitu setahun pertama
semua guru fresh graduated harus menjalani in-service training, untuk mengenali
semua tugas dan kewajiban administratur sekolah (kepala sekolah, wakasek, dan
pejabat lain), serta memahami tugas guru. Penulis pernah membaca sebuah laporan
hasil training seorang guru muda dan sangat mengagumkan karena guru tersebut
menuliskan secara detil apa saja kegiatan yang harus dilakukannya detik per detik
sejak dia datang ke sekolah hingga pulang. Dan yang lebih mencengangkan, dia telah
mengamati seharian kerja wakasek, sehingga secara detil mengurutkan apa yang harus
dilakukannya setiap hari. Di sekolah-sekolah Jepang, orang yang paling sibuk sehari-
harinya adalah wakasek. Wakasek hanya ada satu orang, dan dia yang bertugas mulai
dari mengecek bel sekolah sampai mengagendakan kegiatan harian kepala sekolah.
Barangkali tidak sama dengan Indonesia yang guru-guru mudanya lebih
“berani” berkata keras atau berselisih paham dengan guru senior, di Jepang hal ini
hampir tidak pernah ditemukan. Tradisi yang kuat berakar bahwa senior harus
didengarkan dan dihormati masih terus dipegang, dan orang yang menentangnya akan
segera dikucilkan. Lalu bagaimana kalau berselisih paham? Jika memiliki ide baru, si
guru muda harus membuktikannya dalam perbuatan dulu. Maksudnya tidak sekedar
dalam taraf ucapan, tapi harus sampai pada taraf aplikasi. Dan satu hal yang harus
diingat, kalimat dan ucapan yang harus dipergunakan ketika berbicara dengan guru
senior adalah kalimat yang sangat sopan. Biasanya lulusan perguruan tinggi telah
belajar sistem penghormatan kepada senior di level SMA dan di PT.
Sama halnya dengan Indonesia, tidak semua guru senior di Jepang adalah guru
yang baik. Tetapi sistem pendidikan guru dan perekrutannya sudah diusahakan baik,
maka harapannya jika sistem berjalan baik, tentunya akan meraih sukses seperti yang
dimaui. Ibaratnya kita membicarakan hukum pemberantasan korupsi, jika hukumnya
telah baik, maka tinggalah mendidik agar oknumnya 50% lebih mematuhi dan
menjalankan hukum itu. Guru senior berkewajiban mendidik guru junior. Tentu saja
jika guru seniornya kurang baik, maka hasilnya bisa saja guru junior pun kurang baik,
atau bisa juga guru junior mampu memperbaiki diri. Tapi pola pembinaan senior
junior adalah mutlak dilakukan”.

2.5 Model dan Pendekatan Evaluasi Guru di Jepang


Penilaian dalam sistem evaluasi guru yang lama (kinmuhyoutei) dilakukan
berdasarkan hasil penilaian atasan atau kepala sekolah saja, sehingga keobjektivan
dan kebenaran penilaian tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, banyak
pihak yang menentang metode ini termasuk Teacher Union.
Takakura dan Ono (2001) juga berpendapat bahwa penolakan terhadap evaluasi guru
terjadi karena selama ini penilaian terhadap kinerja gurudan pengelolaan sistem
ketenagakerjaan di bidang pendidikan dilihat berdasarkan masa kerja atau senioritas.
Sistem evaluasi guru yang baru memiliki karakteristik yaitu penilaian
didasarkan kepada dua komponen, self-evaluation (jiko hyouka) atau evaluasi mandiri
dan penilaian dari kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.
Penilaian mandiri bertujuan untuk mendorong guru untuk memiliki komitmen
terhadap rencana dan tujuan yang dituliskannya, sekaligus untuk membantu guru
memahami letak kekurangan dan kelebihan atau potensi dirinya yang perlu diperbaiki
atau dikembagkan.
Adapun penilaian terhadap kualitas guru oleh kepala sekolah dan wakilnya berimbas
kepada penentuan gaji, pengembangan karir dan juga moral guru. Yaitu bahwa guru-
guru yang mendapatkan penilaian kurang baik akan berusaha untuk memperbaiki diri
dan kualitas kerjanya.
Wacana sistem penggajian yang baru berdasarkan hasil evaluasi guru oleh kepala
sekolah dan atasan tersebut menjadi polemik tajam di Jepang. Keberatan terhadap
kebijakan tersebut adalah apakah kepala sekolah dan wakil kepala sekolah dapat
dijamin memiliki kemampuan sebagai evaluator dan akan adil dalam penilaian
(Katsuno, 2000; Kodama, 2000, Sato & Matsuzawa, 2002).
Berdasarkan laporan dari Komite Pemeriksa Sistem Evaluasi Guru prefektur Nagano,
disebutkan bahwa ada beberapa poin yang ditekankan sebagai target penilaian yaitu:
1. Gakusyuu shidou yaitu penilaian berdasarkan kualifikasi akademik guru, dan
kegiatan mengajar di dalam kelas berdasarkan petunjuk pengajaran yang
dikeluarkan MEXT (gakusyuushidouryou).
2. Seito shidou dan seikastsu shidou, yaitu pembimbingan dan pembinaan kepada
siswa berupa pengarahan tentang perkembangan siswa (seito shidou) dan
kebiasaan seharihari (seikastsu shidou) serta penanganan kelas (gakyyu keiei).
Dalam hal ini setiap guru diharuskan untuk memahami jiwa anak, sikap,
perilakudan perkembangan jasmani dan rohaninya dan mampu mengarahkannya
kepada kebiasaan belajar dan semangat hidup.
3. Shinrou shidou, yaitu kemampuan mengarahkan siswa berdasarkan keinginannya,
bakat dan kemampuan akademiknya, baik secara pribadi maupun bekerjasama
dengan keluarga anak.
4. Tokubetsu katsudou, yaitu kemampuan membina anak untuk bekerjasaman dalam
kegiatan atau event khusus di luar jam pelajaran di sekolah.
5. Gakkou keie, yaitu peran guru dalam manajemen sekolah, kemampuan
bekerjasama dengan teman sejawat, memahami dan berusaha untuk mencapai
tujuan sekolah.
6. Hogosya, chiiki to no renkei, yaitu kemampuan guru untuk membina kerjasama
dengan orang tua murid dan komponen masyarakat.
7. Kenkyuu, kensyuu, yaitu semangat dan motivasi guru untuk mengembangkan diri
dan meningkatkan potensinya melalui kegiatan penelitian dan training.
2.6 Model Pengembangan Profesional Guru
Pengembangan profesional guru pada hakikatnya bersifat berkesinambungan atau
berkelanjutan. Program pengembangan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan guru.
Menurut Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009, unsur kegiatan pengembangan
keprofesian berkelanjutan meliputi:
1. Pengembangan diri, dapat dilakukan dengan melalui diklat fungsional dan/atau kegiatan
kolektif guru meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian guru, misalnya lokakarya
atau kegiatan bersama, keikutsertaan pada kegiatan ilmiah dan kegiatan kolektif lain yang
sesuai dengan tugas dan kewajiban guru.
2. Publikasi Ilmiah, terdiri atas: presentasi pada forum ilmiah, publikasi ilmiah berupa hasil
penelitian atau gagasan ilmu bidang pendidikan formal, dan publikasi buku teks pelajaran,
buku pengayaan, dan/atau pedoman guru.
3. Karya inovatif, misalnya penemuan teknologi tepat guna, penemuan/penciptaan atau
pengembangan karya seni, pembuatan/modifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum, atau
penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya pada tingkat nasional maupun provinsi.
Ketiga macam pengembangan tersebut dilaksanakan guru secara berkelanjutan agar
profesionalisme guru tetap terjaga dan meningkat.
Model pengembangan profesionalitas guru yang strategis adalah melalui pengembangan
watak guru, yaitu: watak guru yang paripurna. Dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah suatu upaya sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarkat, bangsa dan negara.
Ada berbagai model pengembangan profesional yang dikemukakan oleh para pakar
yang dapat dilakukan oleh guru. Menurut Richard dan Lockhart terdapat beberapa model
pengembangan profesional guru, meliputi: (1) keikutsertaan dalam konferensi (conference
participation), (2) workshop dan seminar (workshops and in service seminars), (3) kelompok
membaca (reading groups), (4) pengamatan kolega (peer observation), (5) penulisan
jurnal/catatan harian guru (writing teaching diaries/journals), (6) kerja proyek (project work),
(7) penelitian tindakan kelas (classroom action research), (8) portofolio mengajar (teaching
portfolio), dan (9) mentoring (mentoring). Sedangkan menurut Kennedy menyatakan ada
sembilan model pengembangan profesionalisme guru, yaitu: (1) training model, (2) award-
bearing model, (3) deficit model, (4) cascade model, (5) standards-based model, (6)
coaching/mentoring model, (7) community of practice model, (8) action research model, (9)
transformative model. Masing-masing mempunyai karakteristik yang disesuaikan dengan
kebutuhan guru.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional
menyebutkan beberapa alternatif program pengembangan profesionalisme guru, yaitu: (1)
program peningkatan kualifikasi guru atau program studi lanjut, (2) program penyetaraan dan
sertifikasi, (3) program pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi, (4) program supervisi
pendidikan, (5) Program pemberdayaan MGMP, (6) simposium guru, (7) Program tradisional
lainnya, misalnya CTL, PTK, penulisan karya ilmiah, (8) membaca dan menulis jurnal atau
karya ilmiah, (9) berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah, (10) melakukan penelitian, (11)
magang, (12) mengikuti berita aktual dari media pemberitaan, (13) berpartisipasi dan aktif
dalam organisasi profesi, dan (14) menggalang kerjasama dengan teman sejawat.
Selanjutnya Diaz dan Maggioli menambahkan enam model atau pendekatan, yaitu; (1)
rancangan konferensi (conference plan), (2) pemantauan kolega (peer coaching), (3)
penelitian tindakan kelas (classroom action research), (4) kelompok belajar kolaboratif
(collaborative study groups) (5) rencana pengembangan pribadi (individual development
plan), dan (6) jurnal percakapan (dialog journals).
Selanjutnya Castetter juga menyampaikan lima model pengembangan profesional guru,
yaitu: (1) pengembangan guru yang dipandu secara individual (individual guided staff
development), (2) observasi atau penilaian (observation/assessment), (3) keterlibatan dalam
suatu proses pengembangan / peningkatan (involvement in a development/ improvement
process), (4) pelatihan (training), dan (5) pemeriksaan (inquiry). Dari kelima model
pengembangan guru tersebut, model “training” merupakan model pengembangan yang
banyak dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta. Pada lembaga pendidikan, cara yang
populer untuk pengembangan kemampuan professional guru adalah dengan melakukan
penataran (in service training) baik dalam rangka penyegaran (refreshing) maupun
peningkatan kemampuan (up-grading). Cara lain baik dilakukan sendiri-sendiri (informal)
atau bersama-sama, seperti: on the job training, workshop, seminar, diskusi panel, rapat-rapat,
symposium, konferensi, dan sebagainya.
2.7 Implementasi Model Profesionalisme Guru
Berbagai model profesionalisme guru yang dikemukakan oleh para ahli ternyata
memiliki banyak persamaan. Oleh karena itu, berikut akan dikemukakan beberapa
implementasi model-model profesionalisme guru tersebut sehingga memungkinkan guru
dapat memilih model tersebut sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Pertama,
program peningkatan kualifikasi pendidikan guru. Program ini ditujukan bagi guru yang
belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal sarjana untuk mengikuti pendidikan sarjana
bahkan magister pendidikan keguruan dalam bentuk tugas belajar. Namun saat ini, saat jarang
guru berkualifikasi di bawah sarjana.
Kedua, program penyetaraan dan sertifikasi. Program penyetaraan diberikan kepada
guru yang latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan tugas mengajarnya atau bukan
dari program pendidikan keguruan. Sedangkan program sertifikasi ditujukan kepada guru
yang telah memenuhi syarat (misalnya, minimal telah mengajar lima tahun, lulus UKG) agar
mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan juga memperoleh kesejahteraan.
Ketiga, program pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi. Program pelatihan ini
diberikan kepada guru agar tercapai kompetensi yang diinginkan sehingga materi pelatihan
mengacu kepada bahan-bahan yang menunjang kompetensi yang akan dicapai. Keempat,
program supervisi pendidikan. Program ini ditujukan untuk memberikan bantuan kepada guru
dalam menyelesaikan persoalan pembelajaran yang dihadapi guru di kelas dan juga persoalan
yang terkait dengan pendidikan secara umum.
Kelima, program pemberdayaan KKG dan MGMP. KKG adalah wadah kegiatan
profesional guru, biasanya untuk guru SD (guru kelas), sedangkan MGMP untuk guru SMP
dan SMA sesuai dengan bidang studi masing-masing guru. Dengan adanya wadah ini, guru
dapat saling memberi masukan tentang materi pembelajaran yang diajarkan dan dapat
mencari alternatif pemecahan terhadap persoalanpersoalan pembelajaran yang dihadapi di
dalam kelas.
Keenam, simposium guru. Simposium merupakan media guru untuk saling bertukar
pikiran dan pengalaman tentang proses pembelajaran dan ajang untuk kompetisi ajang
kreativitas diantara guru. Ketujuh, program pelatihan tradisional lainnya. Program pelatihan
yang ditujukan kepada guru dengan hanya membahas persoalan aktual dan penting sehingga
guru tidak ketinggalan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya
pembelajaran kontektual, Kurikulum 2013, blended learning, penelitian tindakan kelas.
Kedelapan, membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah. Salah satu kelemahan guru
adalah kurangnya membaca dan menulis karya ilmiah sehingga karir guru sedikit terhambat
karena mereka kekurangan karya ilmiah. Untuk itu gugus sekolah perlu memprogram
pelatihan penulisan karya ilmiah bagi guru sehingga mereka produktif dalam berkarya, serta
perlu adanya pendampingan dari pihak kepala sekolah dan pengawas pendidikan. Kesembilan,
berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah. Pertemuan ilmiah ditujukan kepada guru untuk
memberikan pengetahuan mutakhir tentang pendidikan dan pembelajaran. Pemberian
informasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan aspek kompetensi dan profesional guru
dalam proses pembelajaran.
Kesepuluh, melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini sangat dianjurkan
kepada guru supaya guru dapat merefleksikan program pembelajaran yang telah dilaksanakan
di dalam kelasnya sehingga guru selalu dapat memperbaiki performansi mengajarnya. Namun,
karena tugas mengajar yang banyak menyebabkan guru jarang melakukan PTK selain juga
disebabkan kemauan dan kemampuan mereka menulis karya ilmiah. Oleh karena itu perlu
adanya pendampingan dari kepala sekolah dan pengawas sekolah agar guru menjadi
produktif dalam melakukan PTK.
Kesebelas, magang. Kegiatan ini biasanya ditujukan kepada guru pemula. Guru pemula
melakukan magang di dalam kelas dengan bimbingan guru senior sesuai dengan bidang
studinya. Kegiatan magang biasanya meliputi: pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan
kelas dengan tujuan agar guru pemula tersebut dapat mengikuti jejak guru senior yang
profesional. Kedua belas, mengikuti berita aktual dari media pemberitaan. Pengetahuan dan
pemahaman guru tidak hanya berkutat dengan materi pembelajaran di buku, tetapi juga perlu
pengetahuan yang lebih luas melalui media cetak dan eletronik, dan bahkan guru diharapkan
dapat mengikuti pemberitaan melalui internet. Guru profesional akan selalu mengikuti
perkembangan pengetahuan dari berbagai sumber media yang tersedia.
Ketiga belas, berpartisipasi dan aktif dalam organisasi profesi. Organisasi profesi
memberikan keuntungan yang besar kepada guru (PGRI) untuk mengembangkan
profesionalitasnya dengan membangun sesama komunitas pembelajaran. Keempat belas,
menggalang kerjasama dengan teman sejawat. Kerjasama yang erat diantara sejawat guru
dapat memberikan peluang pengembangan profesionalnya melalui kegiatan ilmiah dan
kegiatan lainnya sehingga profesionalisme guru meningkat.
Kelima belas, pengembangan guru yang dipandu secara individual. Program ini
bertujuan agar guru dapat menilai kebutuhan belajar mereka sendiri, mampu belajar aktif
serta mengarahkan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, kepala sekolah dan pengawas sekolah
seyogyanya memotivasi guru saat menyeleksi tujuan belajar berdasarkan penilaian personal
kebutuhan mereka.
Keenam belas, observasi dan penilaian. Kegiatan ini ditujukan kepada guru agar mereka
dapat mengamati dan menilai program pembelajaran yang dilakukan sehingga guru memiliki
data yang akurat tentang pembelajarannya untuk kemudian mereka dapat melakukan refleksi
dan analisis terhadap peningkatan proses pembelajaran di kelasnya. Ketujuh belas, pemberian
penghargaan. Agar guru giat menjalankan profesinya, maka diperlukan penghargaan terhadap
prestasi yang telah ditorehkan, dan bahkan penghargaan perlu juga diberikan kepada guru
tidak tetap sehingga tidak perbedaan perlakukan diantara guru.
Kedelapan belas, model defisit. Kepala sekolah dan pengawas sekolah seharusnya
mengatasi defisit atau kekurangan dalam kinerja guru yang dikarenakan kelemahan guru
secara individual dalam menjalankan tugas profesinya. Untuk itu, pemimpin sekolah perlu
menerapkan manajemen kinerja terhadap guru sehingga apabila guru mengalami kesulitan
dalam menjalankan tugasnya dapat dibantu oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah secara
individual.
Kesembilan belas, model cascade atau desiminasi. Karena keterbatasan sumberdaya di
sekolah, guru secara individual dikirim untuk mengikuti pelatihan. Setelah selesai mengikuti
pelatihan, guru tersebut menyebarkan informasi kepada rekan-rekannya agar mereka juga
memperoleh pengetahuan yang sama.
Kedua puluh, model berbasis standar. Model pengembangan ini menitikberatkan kepada
standar-standar yang harus dipenuhi dalam mengadakan pengembangan profesional guru.
Model ini kurang diminati karena lebih menitikberatkan pada standar-standar yang harus
dipenuhi bukan kepada kompetensi apa yang harus dimiliki guru sehingga pengelolaan
program pengembangan profesional guru bersifat seragam tidak berdasarkan kebutuhan
pengembangannya.
Kedua puluh satu, model mentoring. Model pengembangan ini melibatkan dua guru
(guru pemula dan berpengalaman) dan mengandung unsur konseling dan profesional. Guru
yang berpengalaman memberikan pelatihan kepada guru pemula agar guru pemula dapat
meningkatkan profesionalnya. Ada pula yang menyatakan model ini adalah model supervisi
klinis kepada guru pemula.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan di
Jepang sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia begitupun
dengan sistem pengembangan profesi gurunya. Di Jepang, sertifikat mengajar telah
dikembangkan sejak tahun 1886 yang hanya diberikan kepada guru yang lolos
dalam ujian seleksi guru dan selanjutnya mereka akan ditugaskan di sekolah –
sekolah yang ada di Jepang.Beberapa tahun kemudian, diadakan sistem sertifikasi
ulang yang dikenal dengan "kyoinmenkyokosinsei". Dengan kebijakan ini para guru
harus mengikuti "training penyegaran" setiap 10 tahun sekali.

3.2 Saran
Dengan adanya perbedaan antara sistem pengembangan guru di tiap-tiap
negara maka di masa depan, mungkin Indonesia dapat menerapkan sistem-sistem
tersebut yang dirasa baik dan cocok untuk para guru di Indonesia sehingga dapat
meningkatkan kualitas pengajaran mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Ramli, M. (2008). Kebijakan Evaluasi Guru di Jepang. EDUCATIONIST, 11(2), 115-119.

Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga


Kependidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 36.

Fachruddin Saudagar & Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2000), hlm. 7.

Yunus Abu Bakar & Syarifan Nurjan, Profesi Keguruan (Surabaya: Aprinta, 2009), hlm. 1.

Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya.
Ali Mudlofir, Pendidik Profesional (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 124.
Ahmad Yusuf Sobri, “Model-model Pengembangan Profesionalisme Guru.” KONASPI, VIII
(2016), hlm. 340.

Udin Syaefudin Sa’ud, Pengembangan Profesi Guru (Bandung:Alfabeta, 2011), hlm. 105-
110.
Ahmad Yusuf Sobri, “Model-model Pengembangan Profesionalisme Guru, hlm. 340.
Udin Syaefudin Sa’ud, Pengembangan Profesi Guru, Alfabeta, (2009). hlm. 102.
Aileen Kennedy, Models of Continuing Professional Development: a Framework for
Analysis, Journal of In service Education, Volume 31, Number 2, pp. 235-250, (2005). Hlm.
340.

Anda mungkin juga menyukai