Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laporan perkembangan sains dan teknologi dari tahun 2005-2010 dalam UNESCO
Science Report 2010 di Paris, memperlihatkan Indonesia tidak termasuk negara yang
diperhitungkan dalam perkembangan saintek. Permasalahan pendidikan Sains ditandai
dengan masih rendahnya prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Sains. Berbagai
kalangan beranggapan bahwa penyebab rendahnya prestasi siswa tersebut diakibatkan oleh
rendahnya kualitas pendidikan Sains di Sekolah-sekolah.
Rendahnya kualitas pendidikan Sains tersebut antara lain terjadi akibat kurang
profesionalnya guru dalam memberikan materi sains. Keberhasilan dalam upaya memberikan
pelayanan optimal guru terhadap peserta didik dapat dilihat dari penguasaan materi
pembelajaran yang disampaikan secara efektif dan kehadirannya diterima oleh anak didik
secara ikhlas dan bagaimana seorang guru sains membuat siswa tertarik belajar sains,
bagaimana pembelajaran sains dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga tujuan
utama sains membuat siswa melek sains bisa tercapai. Untuk itu perlu peningkatan kualitas
pembelajaran sains termasuk sistem penilaiannya. Untuk memcapai semua itu perlu
peningkatan profesionalisme guru.
Profesionalisme guru dalam pembelajaran sains berpengaruh besar terhadap minat
siswa pada sains. Guru merupakan faktor kunci dalam pembelajaran sains, walaupun ia
bukanlah faktor satu satunya. Karena kinerjanya sangat ditentukan oleh faktor lain, seperti
kebijakan pemerintah, kinerja pimpinan dalam hal ini kepala sekolah dan pengawas,
dukungan masyarakat serta distribusi guru sains diindonesia.
Mengenai distribusi guru di Indonesia masih belum merata. M Nuh menyatakan
dalam Kompas (2010) bahwa sampai saat ini distribusi guru di Indonesia masih belum
merata. Sebanyak 68 persen sekolah di kota kelebihan guru, sementara 37 persen sekolah di
desa dan 66 persen sekolah di daerah terpencil masih sangat kekurangan guru. Belum
meratanya distribusi tersebut merupakan persoalan disparitas yang perlu disadari sebagai satu
dari sekian banyak persoalan pendidikan yang belum tertuntaskan. Berikut ini dibahas secara
ringkas melalui makalah dengan judul Permasalahan Guru Sains.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hakikat dan peranan guru di Indonesia?
2. Bagaimana kualifikas guru Sains di Indonesia?
3. Bagaimana kompetensi guru Sains di Indonesia?
4. Bagaimana disribusi guru Sains di Indonesia?
5. Bagaimana alternatif solusi yang diajukan untuk menyelesaikan permasalahan
pendidikan di Indonesia?
6. Bagaimana usaha-usaha peningkatan mutu guru sains ?

C. Tujuan
1. Mengetahui hakikat dan peranan guru di Indonesia
2. Menganalisis permasalahan kualifikasi guru Sains di Indonesia
3. Menganalisis kompetensi guru Sains di Indonesia
4. Menganalisis disribusi guru Sains di Indonesia
5. Memberikan alternatif solusi untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan di
Indonesia
6. Memberikan usaha usaha peningkatan mutu guru sains.

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Hakikat dan Peranan Guru


1. Hakikat guru
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah. Guru
adalah orang yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang
individu sehingga dapat terjadi pendidikan (Unesco, 2007).
Menurut Djohar (2006) bila ingin mengangkat masalah profil guru pada dasarnya
orang ingin mengajukan potret guru. Potret guru ini tentunya tidak akan tampak baik apabila
orang gunakan objek guru masa kini dan masa lampau. Hasil potret guru-guru yang dimaksud
minimal memiliki ciri-ciri: (a) guru yang kompeten mengajar bidang studi yang diajarkan; (b)
guru yang profesional dalam melaksanakan tugasnya; (c) guru yang trampil dalam
melaksanakan tugas kesehariannya. Apakah dengan tiga ciri itu telah mampu mewujudkan
sosok profil seorang guru? Bila sudah, maka pertanyaan adalah bagaimana menyiapkan
kompetensi guru, bagaimana menyiapkan profesi guru, dan bagaimana caranya membuat
guru terampil melaksanakan tugasnya.
Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru.
Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan
kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Orang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu
belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus,
apalagi sebagai guru yang profesional yang harus menguasai betul seluk-beluk pendidikan
dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan
dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan. Guru adalah
orang dewasa yang secara sadar bertanggungjawab dalam mendidik, mengajar, dan
membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki
kemampuan merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan mengelola kelas
agar siswa dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai
tujuan akhir dari proses pendidikan (Unesco, 2007)
Kriteria guru yang profesional adalah guru yang bermutu atau profesional adalah guru
yang sejak awal tidak perlu ditatar atau ikut berbagai pelatihan karena dari awal sudah
mampu memahami dan menerjemahkan pesan-pesan kurikulum dengan cerdas, Mampu

3
mencari, menemukan, dan mengembangkan bahan ajar dan media pembelajaran yang
bermutu, Mampu mengembangkan tes dan sistem pengujian yang tepat, dan Terus
mengembangkan wawasan untuk menunjang profesinya (Rivai, dkk. 2009)
Profesionalisme guru perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Pengembangan
profesionalisme guru berkaitan erat dengan peningkatan mutu pembelajaran. Jika mutu
pembelajaran meningkat maka mutu pendidikan menjadi meningkat pula. Artinya,
pengembangan profesionalisme guru bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lufri
(2008) menyatakan, banyak bentuk kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan
profesionalisme guru, antara lain: melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,
pelatihan-pelatihan, penataran, seminar, diskusi, atau membina hubungan antara lembaga
pencetak guru dan sekolah. Cara terakhir ini bisa ditempuh melalui:
a. Jalur pengabdian pada masyarakat. Melalui jalur ini para dosen dapat mempersiapkan
paket-paket khusus berdasarkan keahliannya dan kebutuhan guru dilapangan, ini dapat
dilakukan secara berkelanjutan dan berkala.
b. Lerjasama melalui ikatan alumni jurusan pengembangan profesionalisme guru dapat
dijadikan salah satu program kerja, yang dapat dilakukan secara berkala.
c. Kerjasama melalui penelitian. Bila dosen melakukan penelitian disekolah dengan
melibatkan guru sebagai anggota penelitian, sehingga guru mendapatkan pengalaman
dalam penelitian yang akhirnya dapat pula mengembangkan dirinya.
Selanjutnya dinyatakan, pengembangan profesionalisme guru bisa juga dilakukan
pada lembaga pendidikan (LPTK), pembentukan kemampuan profesional dilakukan melalui
dua kegiatan utama, yaitu melalui perkuliahan MKDK dan PBM, dan praktek pendidikan
(PPL). Kemampuan profesional harus dikembangkan sepanjang hayat, untuk itu diperlukan
pedoman standar pengembangan profesional nguru. Di Amerika Setikat melalui National
Science Teachers Association (NSTA) (1996) dalam Lufri (2008) memberikan empat standar
Program Pengembangan Profesional Guru Sains, yaitu perlu:
1. Standar A. Mempelajari isi sains yang esensial melalui perspektif dan metode inkuiri
2. Standar B. Pengetahuan sains yang terintegrasi, belajar, pedagogik dan para siswa juga
memerlukan penerapan pengetahuan terhadap[ pembelajaran sains.
3. Standar C. Dibangun pemahaman dan kemampuan belajar seumur hidup
4. Standar D. Koheren dan terintegrasi
Berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa guru adalah jabatan atau profesi
yang memerlukan keahlian khusus dalam tugas utamanya seperti mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah.

4
2. Peranan guru
Menurut Imam Suraji (2008) guru adalah profesi yang sangat strategis dan mulia. Inti
tugas guru adalah menyelamatkan masyarakat dari kebodohan dan perilaku buruk yang
menghancurkan masa depan guru. Tugas tersebut merupakan tugas para nabi, tetapi karena
nabi sudah tidak ada, tugas tersebut menjadi tugas guru. Jadi guru adalah pewaris nabi.
Sebagai pewaris nabi, guru harus memaknai tugasnya sebagai amanat Allah untuk mengabdi
kepada sesamanya dan berusaha melengkapi dirinya dengan empat sifat utama para nabi,
yaitu sidiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabliq (mengajarkan semuanya sampai tuntas),
dan fathanah (cerdas). Apabila keempat sifat tersebut ada pada guru, maka guru pasti akan
dapat melaksanakan tugasnya secara profesional.
Menurut Pidarta Made (1997) peranan guru/pendidik adalah sebagai berikut: (1)
sebagai manajer pendidikan atau pengorganisasian kurikulum; (2) sebagai fasilitator
pendidikan; (3) pelaksana pendidikan; (4) pembimbing dan supervisor; (5) penegak disiplin;
(6) menjadi model perilaku yang akan ditiru siswa; (7) sebagai konselor; (8) menjadi penilai;
(9) petugas tata usaha tentang administrasi kelas yang diajarnya, (10) menjadi komunikator
dengan orang tua siswa dengan masyarakat; (11) sebagai pengajar untuk meningkatkan
profesi secara berkelanjutan; dan (12) menjadi anggota organisasi profesi pendidikan.
Menurut Uno (2007: 16) untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan
beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, sebagai
berikut: (1) guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi yang
diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi; (2)
guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari
dan menemukan sendiri pengetahuan; (3) guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam
pemberian pembelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan
peserta didik; (4) guru perlu menghubungkan pelajaran yang diberikan dengan pengetahuan
yang dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi mudah dalam
memahami pelajaran yang diterimanya; (5) sesuai dengan prinsip repetisi dalam
pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang
sehingga tanggapan peserta didik menjadi jelas; (6) guru wajib memperhatikan dan
memikirkan korelasi atau hubungan antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam
kehidupan sehari-hari; (7) guru harus tetap menjaga kosentrasi belajar peserta didik dengan
cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan
menyimpulkan pengetahuan yang diperoleh; (8) guru harus mengembangkan sikap peserta

5
didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupun di luar kelas; dan (9) guru
harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat
melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.
Studi Heyneman dan Loxley dalam Dedi Supriadi (1999) pada tahun 1983 di 29
negara menemukan bahwa di antara berbagai masukkan (input) yang menentukan mutu
pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa), lebih dari sepertiganya ditentukan
oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di tengah keterbatasan sarana dan prasarana
sebagaimana dialami oleh negara- negara sedang berkembang, dan bagi anak-anak kurang
beruntung yang tinggal di lingkungan yang kurang menunjang bagi proses belajarnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa peranan dan tugas yang
diemban guru sangat berat. Tugas guru tidak hanya mengajar tetapi juga harus bisa mendidik,
membimbing, membina dan memimpin kelas, sedangkan peranan guru juga sangat banyak
seperti: (1) guru sebagai perancang pembelajaran; (2) guru sebagai pengelola pembelajaran;
(3) guru sebagai pembelajaran; (3) guru sebagai evaluator; (4) guru sebagai konselor, dan (5)
guru sebagai pelaksana kurikulum.

B. Kualifikasi guru
Dalam kamus besar bahasa indonesia Kualifikasi merupakan Pendidikan khusus
untuk memperoleh suatu keahlian; 2 keahlian yg diperlukan untuk melakukan sesuatu
(menduduki jabatan dsb); 3 tingkatan; 4 pembatasan; penyisihan; berkualifikasi mempunyai
keahlian (kecakapan) khusus. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, menyatakan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya Mendiknas RI melalui Permen Nomor
16 Tahun 2007 menetapkan Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Identifikasi
kompetensi guru yang tepat dianggap memiliki nilai prediksi yang valid untuk keberhasilan
guru dalam pekerjaannya. Pemahaman yang mendalam tentang pengertian kompetensi akan
memberikan dasar dalam upaya menjadi guru yang berhasil sesuai dengan standar
kompetensi yang telah ditetapkan.
1. Kualifikasi Akademik Guru Melalui Pendidikan Formal
Kualifikasi akademik guru pada satuan pendidikan jalur formal mencakup kualifikasi
akademik guru pendidikan Anak Usia Dini/ Taman Kanak-kanak/Raudatul Atfal
(PAUD/TK/RA), guru sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), guru sekolah menengah
pertama/madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), guru sekolah menengah atas/madrasah aliyah

6
(SMA/MA), guru sekolah dasar luar biasa/sekolah menengah luar biasa/sekolah menengah
atas luar biasa (SDLB/SMPLB/SMALB), dan guru sekolah menengah kejuruan/madrasah
aliyah kejuruan (SMK/MAK*), sebagai berikut.
a. Kualifikasi Akademik Guru PAUD/TK/RA. Guru pada PAUD/TK/RA harus memiliki
kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
dalam bidang pendidikan anak usia dini atau psikologi yangdiperoleh dari program studi
yang terakreditasi.
b. Kualifikasi Akademik Guru SD/MI. Guru pada SD/MI, atau bentuk lain yangsederajat,
harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diplomaempat (D-IV) atau
sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi
yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
c. Kualifikasi Akademik Guru SMP/MTs. Guru pada SMP/MTs, atau bentuk lain yang
sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-
IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
d. Kualifikasi Akademik Guru SMA/MA. Guru pada SMA/MA, atau bentuk lain yang
sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-
IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
e. Kualifikasi Akademik Guru SDLB/SMPLB/SMALB. Guru pada SDLB/SMPLB/
SMALB, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik
pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program pendidikan
khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan
diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
f. Kualifikasi Akademik Guru SMK/MAK* Guru pada SMK/MAK*. atau bentuk lain yang
sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-
IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

2. Kualifikasi Akademik Guru Melalui Uji Kelayakan dan Kesetaraan


Kualifikasi akademik yang dipersyaratkan untuk dapat diangkat sebagai guru dalam
bidang-bidang khusus yang sangat diperlukan tetapi belum dikembangkan di perguruan tinggi
dapat diperoleh melalui uji kelayakan dan kesetaraan. Uji kelayakan dan kesetaraan bagi

7
seseorang yang memiliki keahlian tanpa ijazah dilakukan oleh perguruan tinggi yang diberi
wewenang untuk melaksanakannya.

C. Kompetensi Guru
Kompetensi menurut KBBI adalah (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau
memutuskan sesuatu hal. Menurut Broke dan Stone dalam Usman (2003: 14) kompetensi
adalah hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti. Jadi, kompetensi guru
merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara
secara bertanggung jawab dan layak. Kompetensi terkait dengan kemampuan dan
kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.
Kompetensi guru menjadi penting karena akan terkait dengan perbaikan sistem
pendidikan. Guru merupakan komponen yang menentukan dalam sistem pendidikan secra
keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Guru sangat
menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar
mengajar. Guru mendapat peran yang strategis, sehingga perlu dikembangkan sebagai tenaga
profesi yang bermartabat dan profesional. Dalam upaya memperoleh kondisi ideal ini maka
diperlukan suatu standar kompetensi bagi guru. Menyadari kondisi diatas, pemerintah
melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan standar kompetensi dan sertifikasi guru,
antara lain dengan disahkannya undang-undang guru dan dosen ditindaklanjuti dengan
pengembangan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang guru dan dosen, untuk
meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru. Dalam kerangka ini, pemerintah
mengembangkan berbagai strategi sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan kualifikasi akademik, kompetensi, dan
pendidikan profesi untuk memperoleh sertifikat pendidik.
2) Pemenuhan hak dan kewajiban guru sebagai tenaga profesional sesuai dengan prinsip
profesionalitas
3) Penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan
pemberhentian guru sesuai dengan kebutuhan baik jumlah, kualifikasi akademik,
kompetensi, maupun sertifikasi yang dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel
untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.
4) Penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pembinaan dan pengembangan profesi guru
untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian profesional.
5) Peningkatan pemeberian penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap guru dalam
melaksanakan tugas profesional.

8
6) Pengakuan yang sama antara guru yang bertugas pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan masyarakat dengan guru yang bertugas pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan pemerintah dan pemerintah daerah.
7) Penguatan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam
merealisasikan pencapaian anggaran pendidikan untuk memenuhi hak dan kewajiban
guru sebagai pendidik profesional
8) Peningkatan peran serta masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban guru.
(Mulyasa, 2007: 6-7).
Dalam proses pencapaian kompetensi tersebut, sedikitnya ada 7 indikator yang
menunjukkan lemahnya kinerja guru dalam melaksanakan tugas utamanya mengajar, yaitu:
1) Rendahnya pemahaman tentnag strategi mengajar
2) Kurangnya kemahiran dalam mengelola kelas
3) Rendahnya kemampuan melakukan dan memanfaatkan penelitian
tindakan kelas
4) Rendahnya motivasi berprestasi
5) Kurang disiplin
6) Rendahnya komitmen profesi
7) Rendahnya kemampuan manajemen waktu
Indikator dari karakter guru yang dinilai kompeten secara profesional, adalah sebagai
berikut:
1) Mampu mengembangkan tanggung jawab yang baik
2) Mampu melaksanakan peran dan fungsinya dengan tepat
3) Mampu bekerja untuk mewujudkan tujuan pendidikan di sekolah
4) Mampu melaksanakan peran dan fungsinya dalam pembelajaran di kelas. Karakter
tersebut dapat dideskripsikan dan dijabarkan sebagai berikut :
Tanggung jawab guru
Guru sebagai pendidik bertanggung jawab mewariskan nilai-nilai dan norma-norma
kepada generasi berikutnya sehingga terjadi proses konservasi nilai, karena melalui
proses pendidikan diusahakan terciptanya nilai-nilai baru.
Peran dan fungsi guru berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Peran dan fungsi guru tersebut adalah sebagai pendidik dan pengajar, anggota
masyarakat, pemimpin, adminstrasi, dan pengelola pembelajaran.

Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuwan,


teknologi, sosial, dan spiritual, yang membentuk kompetensi standar profesi guru, yang
mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik pembelajaran yang
mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme. Keempat standar kompetensi masih
bersifat umum dan perlu dikemas dengan menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan

9
allah yang beriman dan bertakwa, dekomratis dan bertanggung jawab. (Mulyasa, 2007:18-
26).
1. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap
subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut;
Memahami peserta didik secara mendalam memiliki indikator esensial: memahami
peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif;
memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan
mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik.
Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk
kepentingan pembelajaran memiliki indikator esensial: memahami landasan
kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi
pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai,
dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang
dipilih.
Melaksanakan pembelajaran memiliki indikator esensial: menata latar (setting)
pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indikator esensial:
merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara
berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan
hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan
memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program
pembelajaran secara umum.
Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya,
memiliki indikator esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan
berbagai potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan
berbagai potensi nonakademik.
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi
peserta didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci subkompetensi tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:

10
Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indikator esensial: bertindak sesuai
dengan norma hukum; bertindak sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai guru;
dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
Kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial: menampilkankemandirian
dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru.
Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang
didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta
menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang
berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani.
Akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator esensial: bertindak sesuai
dengan norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki
perilaku yang diteladani peserta didik.
3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali
peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan
indikator esensial sebagai berikut:
Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik memiliki
indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik.
Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga
kependidikan.
Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik
dan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi Profesional
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan
atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997)
mengemukakan bahwa profesionalisme guru bukan sekadar pengetahuan teknologi dan
manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari
seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu
tingkah laku yang dipersyaratkan. Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum
mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta
penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya. Setiap subkompetensi
tersebut memiliki indikator esensial sebagai berikut:
Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi memiliki indikator
esensial: memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami

11
struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi
ajar; memahami hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; dan menerapkan
konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
Menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki indikator esensial menguasai
langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi
bidang studi
Keempat kompetensi tersebut di atas bersifat holistik dan integratif dalam kinerja
guru. Oleh karena itu, secara utuh sosok kompetensi guru meliputi (a) pengenalan peserta
didik secara mendalam; (b) penguasaan bidang studi baik disiplin ilmu (disciplinary content)
maupun bahan ajar dalam kurikulum sekolah (c) penyelenggaraan pembelajaran yang
mendidik yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi proses dan
hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan pengayaan; dan (d) pengembangan
kepribadian dan profesionalitas secara berkelanjutan. Guru yang memiliki kompetensi akan
dapat melaksanakan tugasnya secara profesional (Ngainun Naim, 2009:60).
Kompetensi guru mata pelajaran menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007:
1. Kompetensi pedagogik:
Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial,
kultural, emosional, dan intelektual.
Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip mendidik
Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran
Menfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimiliki
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik
Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran
Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran
2. Kompetensi Kepribadian
Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dankebudayaan nasional
indonesia
Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan
teladan bagi peserta didik dan masyarakat
Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap,stabil, dewasa, arif,
dan berwibawa
Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru dan rasa percaya diri
Menjunjung tinggi kode etik profesi guru

12
3. Kompetensi sosial
Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminitif karena pertimbangan
jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial
ekonomi.
Berkomunikasi secara efektif, empatik, empatik, dan santun dengan sesam pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat
Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah republik indonesia yang memiliki
keragaman sosial budaya
Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lainnya secara lisan dan
tulisan dan bentuk lainnya.

4. Kompetensi profesional
Kompetensi profesional guru IPA menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007
Mampu melakukan observasi gejala alam baik secara langusng maupun tidak
langsung
Memanfaatkan konsep-konsep dan hukum-hukum ilmu pengetahuan alam dalam
berbagai situasi kehidupan sehari-hari
Memahami struktur ilmu pengetahuan alam, termasuk hubungan fungsional
antarkonsep, yang berhubungan dengan mata pelajaran IPA.
Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:
1) Memahami konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori IPA serta penerapannya secara
fleksibel.
2) Memahami proses berpikir IPA dalammempelajari proses dan gejala alam
3) Menggunakan bahasa simbolik dalam mendeskripsikan proses dan gejala alam.
4) Memahami hubungan antar berbagai cabang IPA, dan hubungan IPA dengan matematika
dan teknologi.
5) Bernalar secara kualitatif maupun kuantitatif tentang proses dan hukum alam sederhana.
6) Menerapkan konsep, hukum, dan teori IPAuntuk menjelaskan berbagai fenomena alam.
7) Menjelaskan penerapan hukum-hukum IPA dalam teknologi terutama yang dapat
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
8) Memahami lingkup dan kedalaman IPA sekolah.
9) Kreatif dan inovatif dalampenerapan dan pengembangan IPA.
10) Menguasai prinsip-prinsip dan teori-teori pengelolaan dan keselamatan kerja/belajar di
laboratorium IPA sekolah.
11) Menggunakan alat-alat ukur, alat peraga,alat hitung, dan piranti lunak komputer untuk
meningkatkan pembelajaran IPA di kelas, laboratorium.
12) Merancang eksperimen IPA untuk keperluan pembelajaran atau penelitian
13) Melaksanakan eksperimen IPA dengan cara yang benar.
14) Memahami sejarah perkembangan IPA dan pikiran-pikiran yang mendasari
perkembangan tersebut.

13
Kompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi pada SMA/MA, SMK/MAK Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007
1. Memahami konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori biologi serta
penerapannya secara fleksibel.
2. Memahami proses berpikir biologi dalam mempelajari proses dan gejala
Alam
3. Menggunakan bahasa simbolik dalam mendeskripsikan proses dan gejala alam/biologi.
4. Memahami struktur (termasuk hubungan fungsional antar konsep) ilmu Biologi dan
ilmu-ilmu lain yang terkait.
5. Bernalar secara kualitatif maupun kuantitatif tentang proses dan hukum biologi.
6. Menerapkan konsep, hukum, dan teori fisika kimia dan matematika untuk
menjelaskan/mendeskripsikan fenomena biologi.
7. Menjelaskan penerapan hukum-hukum biologi dalam teknologi yang terkait dengan
biologi terutama yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
8. Memahami lingkup dan kedalaman biologi sekolah.
9. Kreatif dan inovatif dalam penerapan dan pengembangan bidang ilmu biologi dan ilmu-
ilmu yang terkait.
10. Menguasai prinsip-prinsip dan teori-teori pengelolaan dan keselamatan kerja/belajar di
laboratorium biologi sekolah.
11. Menggunakan alat-alat ukur, alat peraga,alat hitung, dan piranti lunak komputer untuk
meningkatkan pembelajaran biologi di kelas, laboratorium dan lapangan.
12. Merancang eksperiment biologi untuk keperluan pembelajaran atau penelitian.
13. Melaksanakan eksperiment biologi dengan cara yang benar.
14. Memahami sejarah perkembangan IPA pada umumnya khusunya biologi dan pikiran-
pikiran yang mendasari perkembangan tersebut

Namun, permasalahan muncul yaitu berdasarkan hasil uji kompetensi guru pada tahun
2013 rata-rata kompetensi guru adalah 4.25 dan pada Tahun 2012 adalah 4.45 dengan standar
nilai 7. Permasalahan ini tidak serta merta merupakan permasalahan guru semata namun
permasalahan muncul pada instansi dan banyak pihak. Hal ini dikarenakan kurangnya
pemerataan. Kenyataannya banyak guru yang bertugas di daerah khusus, termasuk
dipedesaan, daerah tertinggal, daerah bencana, daerah perbatasan, pulau-pulau terpencil
hidup dengan kondisi memprihatinkan. Para guru sulit untuk memperoleh hunian yang layak,
transportasi, pengambilan gaji yang jauh, mengakses informasi karena keterbatasan
teknologi, meningkatkan kualifikasi akademik, meningkatkan kompetensi dan
mensejahterakan kehidupan keluarganya. (Anam.2009: 35-36).

14
Lutfri (2011) dalam Sari (2013) menyatakan fenomena yang sering terlihat dalam
pembelajaran sains adalah Strategi pembelajaran guru kurang tepat, kurang bervariasi
(kurang profesional), Gaya mengajar guru kurang menyenangkan peserta didik, Afeksi guru
belum bisa diteladani, Penerapan tugas guru (sebagai pendidik, pengajar dan pelatih) belum
berjalan optimal, Kecakapan guru menentukan dan menyajikan materi esensial relatif
kurang, Tugas yang terlalu padat bagia anak didik. Mengandalkan LKS yang dijual penerbit
tertentu yang seharusnya dibuat oleh guru. Kurang menerapkan disiplin bagi anak. Sains
disajikan secara teoritik, Belum menggunakan laboratorium secara optimal. Ini artinya
guru ,mengajar masih belum profesional, belum bisa menerapkan empat kompetensi yang
sudah ditetapkan pemerintah.
Hal senada diungkapkan Syamsuri (2010) hasil survey di kota Malang dari Februari-
Maret 2010, terhadap kinerja guru diperoleh beberapa temuan, yaitu:
1. Umumnya para guru masih menyusun KTSP Buku 11 (silabus, RPP dan LKS) dengan
teknik copy paste, yang berarti mereka belum menyususn silabus, RPP, dan LKS
berdasarkan keperluan dan kondisi mereka sendiri;
2. Meskipun mereka mengaku memiliki RPP, namun ketika proses pembelajarannya
diobservasi semua guru tidak membawa RPP dengan berbagai alasan
3. Dari analisis RPP yang diperoleh ternyata terdapat perbedaan antara apa yang dituliskan
dengan apa yang diimplementasikan dikelas
4. Pengelolaan kelas dilakukan secara konvensional sehingga tidak memungkinkan
terjadinya interaksi antar siswa
5. Dalam melakukan evaluasi/asesmen, umumnya guru menggunakan tes secara tertulis,
sehingga tes hanya berorientasi ke ranah kognitif, hanya beberapa guru yang
menggunakan rubriki untuk untuk assesmen. Ini berarti bahwa pemahaman guru tentang
asesmen hanya pada ranah kognitif, tidak sampai pada ranah afektif dan psikomotor.
Hasil survey ini menunjukkan juga bahwa tidak ada perbedaan keprofesionalan antara
guru sekolah bermutu dengan sekolah yang tidak bermutu. Prestasi siswa sekolah
bermutu selama ini bukan karena hasil desain pembelajaran gurunya, melainkan
karena mutu masukan siswanya yang memiliki nilai tinggi.
Selanjutnya syamsuri (2010) Dalam rangka meningkatkan mutu guru, pemerintah
telah berupaya meningkatkan mutu guru, Pemerintah telah berupaya maksimal untuk
melakukan inservis training dengan menyelenggarakan penataran, pelatihan, workshop
dalam beberaoa minggu sehingga guru meninggalkan kelasnya, namun setelah kembali ke
sekolah para guru tidak menerapkan ilmunya untuk mengefektifkan pembelajaran. Alasan
yang sering dikemukakan para guru sebagai berikut :

15
1. Latar belakang siswa (intake rendah, dari keluarga menengah ke bawah, dari desa/daerah
terpencil) yang sulit untuk diajak aktif dan kreatif
2. Guru tidak memiliki waktu cukup untuk menerapkan metode, pendekatan dan model-
model pembelajaran yang disarankan. Jika diterapkan, waktunya lama sehingga guru
tidak dapat menyelesaikan penyampaian materi pembelajaran yang cukup banyak kepada
siswa.
3. Jika menghadapi UN, guru cenderung mengadakan drill dan latihan soal-soal ujian;
4. Media dan laboratorium tidak mencukupi/tidak ada
5. Jam mengajar guru terlalu banyak
Kasus yang sama juga terjadi di Padang (secara khusus) namun hal ini sebenarnya
terjadi di Sumatera baray pada umumnya. Hasil penelitian oleh Alberida dkk tahun 2007
dalam Sari (2013) bahwa :
1. Ditemukan guru-guru SMA Kota Padang membuat RPP secara massal padahal RPP
dibuat berdasarkan satuan pendidikan, karena kondisi satu sekolah akan berbeda dengan
sekolah lainnya
2. Jika ditinjau ke kelas guru ridak mempunyai RPP, dengan alasan RPP tertinggal di
rumah atau RPP tidak ada
3. Ada guru merasa keberatan jika kegiatan belajar mengajarnya di kelas di observasi,
karena guru tidak siap di kritik, artinya guru tidak mau membuka diri untuk melakukan
perubahan
4. Tidak semua guru ikut MGMP dengan alasan materi yang dibahas itu-itu saja
5. Pelatihan oleh LPMP kurang maksimal, karena masih tergantung kepada proyek yang
ditetapkan dari penmerintah pusat dan belum maksimalnya kerja sama antara LPMP dan
LPTK sehingga dengan kebutuhan guru dilapangan.
Sedangkan Yulaelawati (2000) menyatakan problem dan isu dalam pendidikan sains
adalah: guru sains kurang kompeten, belum bisa memperlihatkan proses sains dalam
pembelajaran di kelas (terutama SD). Masalah secara umum lainnya adalah Pre-sevice
training of teachers&In-service training menggunakan top-down model sehingga tidak sesuai
dengan yang dibutuhkan guru yang kemampuan dan latar belakang yang beragam. Asesmen
yang dilakukan guru masih focus pada penilaian hasil belajar, masih kurang pada penilaian
proses. Masih mengutamakan aspek kognitif, afektif dan psikomotor sangat kurang.
Permasalahan guru di Indonesia sangat beragam, jika permasalahan di atas
dikelompokkan berdasarkan empat kompetensi guru, maka permasalahan guru sains antara
lain:
1. Kompetensi Profesional: kecakapan guru dalam menyiapkan perangkat pembelajaran;
kecakapan guru menentukan dan menyajikan materi esensial; masih mengandalkan LKS

16
yang dijual dipasaran, belum membuat bahan ajar sendiri; sains disajikan secara teoritis,
belum menggunakan laboratorium secara optimal,
2. Kompetensi Pedagogoik: strategi yang digunakan kurang tepat; gaya mengajar yang
kurang menyenangkan peserta didik; peran sebagai pendidik, pengjar dan pelatih belum
optimal; tugas yang terlalu padat kepada peserta didik,
3. Kompetensi sosial/interpersonal: kurang terbuka terhadap kritikan teman sejawat;
4. Kompetensi personal/individu: afeksi guru belum bias diteladani; kurang menerapkan
disiplin bagi anak didik; komitmen, kinerja dan keiklasan dalam merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran masih kurang

D. Distribusi Guru di Indonesia


Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis
UNESCO (2011) tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks
pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education
Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap
menit ada empat anak yang putus sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya
angka putus sekolah di Indonesia. Namun faktor paling umum yang dijumpai adalah
tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar.
Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus
sekolah. Distribusi Guru tidak merata. 21% sekolah di perkotaan kekurangan Guru. 37%
sekolah di pedesaan kekurangan Guru. 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan Guru dan
34% sekolah di Indonesia yang kekurangan Guru. Sementara di banyak daerah terjadi
kelebihan Guru (Fakta pendidikan, 2014)
Data Pemerataan guru dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan
dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSMP-PMP) Kemendikbud (2011) menunjukkan bahwa
penyebaran guru masih sangat sentralistik. Di perkotaan, jumlah guru berkelebihan hingga 52
persen, di perdesaan berkelebihan hingga 68 persen, sedangkan di daerah 3T terjadi
kekurangan guru hingga 66 persen. Ketidakmerataan distribusi guru tersebut jelas akan
berpengaruh pada kualitas pendidikan di Tanah Air secara menyeluruh. Daerah yang
mempunyai rasio perbandingan guru dan murid ideal, tentu akan mempunyai generasi
penerus pembangunan yang cakap, berkualitas, dan berilmu. Sedangkan daerah 3T yang
notabene memang mengalami defisit guru tentu akan kesulitan melahirkan generasi penerus
seperti yang diharapkan (Hidayat, 2014).
Jika ditelaah secara mendalam, maka setidaknya ada tiga potensi kerawanan yang
menyebabkan penyelesaian persoalan distribusi guru ini menjadi berlarut-larut. Pertama,

17
ketiadaan upaya pemerintah secara sungguh- sungguh untuk merevisi UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa sebagian
kewenangan pusat beralih menjadi kewenangan daerah, termasuk kewenangan pengelolaan
guru. Karena itu tiga kementerian terkait, yaitu Kemendikbud, Kemenpan RB, dan
Kemendagri harus segera melakukan pembicaraan untuk merevisi klausul UU tersebut,
khususnya klausul yang terkait langsung dengan kewenangan pengelolaan guru. Kedua,
Kemendikbud terlalu memfokuskan persoalan pendidikan pada kurikulum saja, sehingga
persoalan-persoalan mendasar lainnya menjadi terlupakan.Memang sudah menjadi lazim di
negara ini bila terjadi pergantian menteri pendidikan, maka kemudian akan diikuti juga
dengan pergantian kurikulum. Pada akhirnya, persoalan-persoalan dasar pendidikan lain
menjadi terbengkalai dan hanya menjadi wacana saja setiap tahunnya. Ketiga, ketiadaan peta
distribusi penempatan guru. Idealnya, Kemendikbud sebagai kementerian yang bertanggung
jawab penuh atas kualitas dan kuantitas penyelenggaraan pendidikan nasional mutlak
mempunyai peta distribusi penempatan guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dengan begitu, meski secara langsung pemerintah pusat terbatasi oleh UU Otonomi Daerah
(Otda) untuk mengatur pemerataan guru, namun setidaknya pemerintah mempunyai
gambaran pasti terkait persebaran guru-guru secara nasional. Atas dasar itu, Kemendikbud
melalui pemerintah pusat bisa saja memberikan penekanan kepada daerah untuk mengatur
distribusi guru di daerahnya agar lebih merata

E. Faktor Penyebab Timbulnya Permasalahan Dalam Pembelajaran Sains Dari Aspek


Guru
a. Intake (kualitas input) dari calon guru dan kualitas dari LPTK penghasil guru
Rivai, dkk (2009) menyatakan permasalahan guru saat ini berasal dari input guru yang
masuk LPTK. Kenyataan yang terlihat saat ini adalah calon guru berasal dari generasi muda
kelas bawah (karena gaji guru rendah) dengan kemampuan yang rendah pula. Jadi, walaupun
ikut berbagai pelatihan hasilnya tidak maksimal karena kemampuan dasarnya yang lemah.
Syamsuri (2010) menyatakan tidak semua guru yang ada disekolah saat ini dihasilkan
oleh LPTK berkualitas. Padahal populasi guru yang belum professional ini lebih besar
dibandingkan dengan guru professional alumni LPTK berkualitas. LPTK yang kurang
berkualitas itu (tidak mumpuni untuk menghasilkan guru) begitu mudahnya merekrut
mahasiswa baru (yang gagal memasuki LPTK bermutu) walau dosen, sarana, prasarana, dan
profesionalitasnya tidak dimiliki. Ada Perguruan Tinggi yang menerima 12 kelas (12 kelas
dalam satu jurusan dalam bidang (sains) walau hanya memiliki beberapa dosen dan

18
mempercayakan kuliahnya dibina oleh mahasiswa senior. Pada waktu kegiatan kuliah para
mahasiswa sepi namun terasa ramai dan semarak ketika wisuda berlangsung. Kapan mereka
kuliah? Dimana mereka praktek? Apakah mereka siap menjadi guru sains?
Sejalan dengan kondisi di atas tantangan lain dalam pengembangan profesionalisme
guru sains seperti yang dikemukakan Lufri (2008) adalah: guru kurang berpengalaman dalam
pekerjaannya; rendahnya komitmen profesional guru dan etos kerjanya serta pengontrolan
yang lemah dari pimpinan; minat baca yang rendah untuk mengembangkan diri; budaya
mental dalam belajar yang hanya berorientasi pada ijazah dan pangkat; suka mengambil jalan
pintas untuk menyelesaikan sesuatu, misalnya menyalin RPP yang sudah ada tanpa
menyesuaikan dengan kondisi sekolah tempat dia bekerja, ini semua mempengaruhi kualitas
pembelajaran sains di kelas.
b. Manajerial
Lufri (2011) dalam Sari (2013 ) menyatakan, salah satu yang mempengaruhi kinerja
guru sains dalam melaksanakan tugasnya berasal dari aspek manajerial, yaitu: Kurangnya
perhatian pimpinan terhadap sarana dan prasarana sains (laboratorium dan media), Sulitnya
meminta pengadaan alat dan bahan laboratorium, Pelatihan guru belum merata, artinya yang
ikut pelatihan orangnya itu-itu juga, Kebijakan sekolah di pengaruhi oleh kepentingan
birokrasi, Tidak ada reward bagi guru yang berprestasi dan punishment bagi guru yang
kinerjanya jelek, Tidak ada tagihan terhadap pada guru yang sudah mengikuti pelatihan
untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan apa yang diperoleh selama pelatihan;
dll.
Syamsuri (2010) juga menyatakan Faktor Kepala Sekolah (KS) (juga Pengawas,
DIKNAS) memiliki hubungan komando yang tegas dalam menentukan bentuk kegiatan guru
di kelas. Hasil uji kompetensi yang dilakukan oleh Dirjen PMPTK menunjukkan bahwa 70%
dari 250.000 KS tidak kompeten, terutama di bidang manajerial dan supervisi, sebagai
kompetensi yang paling menentukan kualitas pendidikan. Mengapa hal ini terjadi?
Jawabannya karena perekrutan KS tidak dilakukan berdasarkan keprofesionalan mereka
sesuai dengan ketentuan, melainkan berdasar faktor-faktor lain, misalnya factor politik. Sejak
diberlakukannya otonomi daerah, pengangkatan KS (juga DIKNAS Kabupaten/Kota)
ditentukan oleh Bupati atau Walikota. Dalam kondisi demikian, para guru melakukan
pembelajaran di kelas tanpa adanya supervise yang memadai. Pengangkatan KS yang
ditentukan oleh Bupati atau Walikota membuat idealism guru menjadi menurun. Guru yang
krtitis tidak bias muncul, karena kritikan yang tidak disukai pimpinan akan menyebabkan

19
mereka dimutasi. Kondisi ini membuat guru tertekan dalam bekerja sehingga kinerjanya
menjadi lemah.
c. Fasilitas Laboratorium, perpustakaan dan sarana prasarana lainnya
Rendahnya kompetensi KS dapat dilihat dari keberadaan Laboratorium dan
Perpustakaan Sekolah. Laboratorium ada tetapi terbatas, peralatan dan bahan tidak lengkap,
sementara di dalam perpustakaan yang ada hanyalah buku yang digunakan guru dalam
proses pembelajaran. Tidak ada pilihan buku yang ditawarkan kepada siswa yang dapat
digunakan sebagai sumber belajar. Kebijakan Pemerintah tentang pengadaan buku cenderung
mengarahkan sekolah untuk memiliki buku seragam, tanpa variasi yang
memadai.Yulaelawati (2000), menyatakan rendahnya kinerja guru disebabkan karena factor :
Laboratorium belum memadai, Ada laboratorium dengan peralatan mahal tetapi belum
dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan kemampuan guru mengoperasikan alat dan
karena kurikulum lebih mengutamakan sains secara teoritis.
Rendahnya kemampuan/kinerja guru dalam kegiatan laboratorium disebabkan oleh
berbagai hal. (1) rendahnya skill guru, karena memang kurangnya kegiatan di laboratorium
dari LPTK menghasil gurru tersebut, (2) penghargaan KS yang kurang kepada guru sains
yang ditandai dengan kurangnya insentif bagi guru sains yang mengadakan kegiatan
praktikum dan penyamaan beban kerja antara guru IPA dengan IPS, (3) pemahaman guru
sains yang rendah terhadap urgensi laboratorium dalam pembelajaran IPA.
Untuk sarana fisik banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap.
Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
d. Kualitas buku pelajaran sains yang digunakan guru.
Guru belum bias membuat bahan ajar sendiri dan memilih materi-materi esensial dari
mata pelajarannya. Pembelajaran tergantung kepada buku teks yang digunakan sekolah.
Banyak buku teks sains saat ini memberikan penekanan berlebihan pada fakta ilmiah dan
formula matematis sedangkan hubungan konsep-konsep sains dengan pengalaman atau
fenomena alam sehari-hari, banyak tidak di jelaskan. Adisendjaja (2010) melakukan
penelitian terhadap buku ajar biologi kelas X.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tema
literasi sains yang paling banyak muncul pada buku ajar yang dianalisis adalah Pengetahuan
sains yakni sebesar 82%, Penyelidikan hakikat sains sebesar 2%, Sains sebagai cara berpikir
sebesar 8% dan Interaksi sains, teknologi dan masyarakat sebesar 8%. Dengan demikian

20
dapat disimpulkan bahwa buku ajar Biologi yang dianalisis lebih menekankan pada
pengetahuan sains, yakni menyajikan fakta, konsep, prinsip, hukum , hipotesis, teori, model
dan pertanyaan-pertanyaan yang meminta siswa untuk mengingat pengetahuan atau
informasi, jadi masih pada aspek kognitif tingkat rendah.
e. Ijazah/tingkat pendidikan guru
Sebagian guru di Indonesia dinyatakan tidak layak mengajar. Hamid (2010)
memaparkan, Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 adalah:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP
54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta),
serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta). Untuk
2009/2010,dapat dilihat pada Tabel.1 dan 2 berikut ini
Tabel 1. Persentase guru layak mengajar terhadap guru*) Tahun 2009/2010
Tingkat Guru %
Jumlah Layak
SMP 638.014 556.998 87.30
SMA 327.163 262.597 80.26
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Kemendiknas Tahun 2009/2010 dalam Sari
(2013)

Tabel 2. Perkembangan persentase guru layak mengajar terhadap guru*) seluruhnya


Tingkat 2006/2007 2007/2008 2008/2019 2009-2010
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
SMP 487.512 78.04 536.416 86.26 550.406 87.50 556.998 87.30
SMA 215.722 75.48 237.094 77.52 250.270 76.61 261.597 90.26
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Kemendiknas Tahun 2009/2010 dalam Sari
(2013)

Catatan/ Notes: Guru layak mengajar adalah guru yang berijazah Diploma III/Sarmud
Keguruan dan ijazah di atasnya
*) Termasuk Kepala Sekolah

Kelayakan mengajar berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (dalam Hamid, 2010) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI
hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar
680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas.
Pada tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1

21
ke atas. Pada tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan
S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Tahun 2009/2010 Jumlah guru menurut ijazah tertinggi
dapat dilihat pada Tabel 3. Berikut ini:

Tabel 3. Jumlah Guru Menurut Ijazah Tertinggi di Indonesia


Status sekolah : negeri+swasta
Tahun : 2009/2010
Sekol SLTA PGSL PGSL Diploma Sarjana Pasca Total
ah P A Sarjan
D1 D2 a
Kegurua Non Kegurua Non Keguruan Non
n Kegurua n Keguru Kegurua
n an n
SD 212.522 99.349 19.410 750.16 28.284 10.974 331.500 32.301 2.619 1.487.12
7 6
SMP 47.393 32.719 54.919 12.826 422.154 29.500 8.653 608.164
SMA 7.840 5.189 20.699 6.916 244.646 23.489 8.376 316.155
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Kemendiknas Tahun 2009/2010 dalam Sari
(2013)

Data statistik juga menunjukkan dari total jumlah guru sekitar 2,4 juta orang, sebagian
besar berlatar belakang pendidikan SLTA dan D3 untuk jenjang TK-SD- SMP, dan sebagian
kecil tamatan S1 untuk jenjang SMA. Tentu saja ini berpengaruh pada kemampuan mengajar,
yang diukur dengan penguasaan materi pelajaran dan metodologi pengajaran. Selain itu,
banyak guru yang mengajar di luar bidang keahliannya, yang secara teknis disebut mismatch.
Contoh ekstrem, guru sejarah mengajar matematika dan SAINS, yang terutama banyak
dijumpai di madrasah (MI, MTs, MA). Guru mismatch ini jelas tidak mempunyai kompetensi
untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya sehingga dapat menurunkan
mutu aktivitas pembelajaran.
f. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas
pendidikan Indonesia. Berdasarkan survey FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. Guru bantu
Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.

22
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, member les pada sore hari, menjadi tukang ojek,
pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya
(Republika, 13 Juli 2005, (dalam Hamid, 2010)).
Adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Pada pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan
khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas (Pikiran Rakyat, 9 Januari
2006, (dalam Hamid, 2010)).
g. Kebijakan pemerintah
1. Peningkatan mutu guru tergantung proyek.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia, mulai dari upaya pengubahan kurikulum (sekarang berlaku KTSP),
peningkatan guru (penataran, seminar, pelatihan), manajemen sekolah, melengkapi
media, laboratorium (sarana, prasa-rana), hingga ke penerbitan paying hokum dalam
peningkatan mutu pendidikan dengan dikeluarkannya UU No 14 tentang Guru dan
Dosen, serta Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Untuk menyukseskan upaya peningkatan mutu pendidikan tersebut,
Pemerintah melakukan kerjasama dengan berbagai Oea ra.
Namun kerjasama tersebut umumnya kurang berarti dalam meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia. Hasil- hasil survai menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di
Indonesia masih rendah. Biasanya, para guru bersemangat ketika proyek
berlangsung, namun mereka akan kembali kekebiasaan aslinya ketika proyek itu usai.
Ini disebabkan belum dilaksa- nakannya pembinaan guru secara tetap/Oea rahO,
sehingga guru belajar sepanjang hayat seperti di Negara Jepang.
Disamping itu peran LPMP masih belum jelas,semua kegiatan masih tergantung proyek
dan kerja sama dengan LPTK penghasil guru belum maksimal. Sebagai bengkel dari
produk yang dihasilkan LPTK, seharusnya LPMP dan LPTK saling member informasi
tentang apa yang dibutuhkan guru dilapangan berdasarkan masalah yang dihadapi,
sehingga kurikulum yang ditawarkan LPTK dan pelatihan yang diberikan LPMP
menjadi bermanfaat bagi guru/calon guru yang mengikutinya.
2. Ujian Nasional Membelenggu Guru
Faktor Kebijakan Pemerintah yang cukup mengganggu proses pembelajaran adalah
Ujian Nasional (UN). Menjelang UN, semua perhatian sekolah tertuju pada persiapan
menghadapi UN. Para guru yang biasanya aktif di MGMP menjadi tidak aktif. Mereka

23
sibuk mengadakan dril dan latihan menyelesaikan soal untuk para siswanya. Tindakan
guru sebelum UN, melakukan dril dan latihan penyelesaian soal. Dril dan latihan soal
bukanlah upaya pembelajaran siswa dan tidak mendidik pendidikan. Siswa hanya
disuruh menghafal fakta-fakta dalam ilmu melalui dril, padahal kemampuan seseorang
menghafal ada batasnya.
Soal-soal dalam UN yang hanya berupa soal kognitif tidak banyak mengungkap apa
saja yang dilakukan siswa ketika belajar di laboratorium dan menggunakan media. Di
kelas para guru melatih siswa melakukan pengamatan, menganalisis, merumuskan
hipotesis, melakukan eksperimen, tetapi soal-soal UN tidak pernah
mempermasalahkannya. Akibatnya para guru enggan untuk melatih siswa berkegiatan
karena soal UN tidak pernah beranjak dari hafalan dibuku? Akhirnya guru kembali ke
pola lama: berceramah, menyajikan semua materi yang banyak agar target tercapai dan
melakukan drill untuk para siswanya
3. Beban kerja guru 24 jam seminggu yang memberatkan
Masalah lain yang muncul dari kebijakan sertifikasi adalah beban kerja guru yang
dinilai memberatkan. Beban kerja yang tinggi membuat guru kurang mempunyai waktu
untuk mempersiapkan pembelajarannya, ini membuat kualitas pembelajaran jadi
menurun. Idealnya penilaian 24 jam tersebut berdasarkan kinerja, dimana kegiatan guru
tidak hanya dinilai dari jumlah jam mengajar dikelas, tetapi kegiatannya dalam
mempersiapkan perangkat pembelajaran, penelitian, bahan ajar juga jadi pertimbangan.
F. Alternatif Solusi yang Diberikan
a) Pemerintah Pusat
Direvisinya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadikan
kewenangan pengelolaan guru sebagai urusan bersama, antara pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, persoalan
kekurangan guru dan belum meratanya distribusi guru akan segera dapat diatasi
(Kemdiknas, 2013)
b) Pemerintah daerah
Untuk membantu pemerataan distribusi guru di Indonesia, Amerika Serikat melalui
Badan untuk Pembangunan Internasional AS (USAID) memberikan bantuan 83,7 juta
dollar AS atau sekitar Rp 1 triliun. Dana itu bagian dari program Prioritizing Reform,
Innovation, and Opportunities for Reaching Indonesias Teachers, Administrators, and
Students. Program bernama Prioritas itu berlangsung lima tahun, mulai dari 2012 hingga
2017. Kegiatan dilakukan di sembilan provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Papua, dan Papua Barat.
USAID bekerja sama dengan dua lembaga pendidikan tenaga keguruan di setiap

24
provinsi. Terdapat pula 180 tenaga ahli pendidikan guna membantu pelatihan guru dan
menyusun data. Tugas USAID adalah mengumpulkan data distribusi guru di setiap
provinsi, lalu membantu dinas terkait di daerah untuk menyusun solusi agar ketersediaan
guru merata. Fokus utama program USAID adalah menciptakan suasana belajar
menyenangkan di level SD dan SMP, terutama untuk materi membaca, matematika, dan
sains; membuat lingkungan kelas lebih partisipatif; meningkatkan kualitas manajemen
pendidikan, khususnya pengelolaan guru; serta meningkatkan kualitas pendidikan guru.
Berdasarkan pemetaan itu terbentuk peraturan bupati pada 2013 yang mengatur guru
untuk mengajar di lebih dari satu sekolah. Di Aceh kebijakan pemerintahnya menerapkan
guru mobile sehingga guru tak perlu meninggalkan sekolah asalnya. Keputusan ini mulai
menyeimbangkan kebutuhan guru di pedesaan (Ibnu, 2014)

G. Usaha-Usaha Peningkatan Mutu Guru Sains


Setiap usaha peningkatan kualitas pendidikan akan berarti apabila melibatkan guru.
Karena dalam sistem pendidikan, guru merupakan kunci dan berada pada titik sentral dari
setiap reformasi pendidikan. Mengingat peran guru yang strategik maka perlu dilakukan
upaya-upaya memperbaiki mutu guru. Usaha-usaha tersebut antara lain:
1. Memperbaiki mutu calon guru dan mutu LPTK serta menetapkan standar guru sains
Rivai dan Murni (2009) menyatakan permasalahan guru saat ini berasal dari input guru
yang masuk LPTK. Tindakan yang perlu dilakukan supaya guru bermutu adalah: gaji
guru ditinggikan, Jabatan guru dievaluasi secara periodi k, karir guru jelas, seleksi calon
guru harus ketat, dan Hanya LPTK bermutu yang boleh menyelenggarakan pendidikan
guru sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan.
Jika calon guru yang masuk sudah punya komitmen yang tinggi terhadap profesinya, gaji
kecil atau keterbatasan alat tidak menjadi kendala dalam mendidik siswanya. Seperti
yang terjadi di SDN 8 Langkahan (Aceh Utara), seorang guru honorer di daerah
terpencil, jarang mengikuti training guru, buku referensi hamper jarang ditemukan, dan
sedikitnya supervise dari kepala sekolah. Namun guru ini berhasil membuat media yang
bias membantu siswa memahami konsep gaya, dari bahan yang sangat sederhana.
Orisinalitas gagasan dan kreativitas meracik bahan baku pembuatan media merupakan
bukti bahwa kreativitas tidak ditentukan oleh fasilitas, tapi oleh komitmen atau ikhtiar
dari guru itu sendiri untuk menjadi guru yang baik. (Sapaat. 2012).
2. Merubah paradigma pendidik
Tuntutan era globalisasi yang harus dijawab oleh dunia pendidikan adalah Kompetisi
Global. Sukro Muhab (dalam La Tansa, 2010) menyampaikan beberapa tuntutan dunia
global yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Paradigma yang secara teoritik dan

25
praktik sudah dilakukan di sekolah-sekolah yang dinilai mampu menjawab tantangan
global. Paradigma tersebut dapat sebagai berikut:
a. Sistem pendidikan yang saat ini lebih memprioritaskan kemampuan kognitif hafalan,
sepatutnya diarahkan penguasaan pengetahuan dan kompetensi bidang studi.
b. Sistem pendidikan yang saat ini lebih mengarahkan keterampilan mekanistik,
sepatutnya diarahkan kearah pembekalan life skill, pola pikir kreatif dan inovatif
c. Sistem pendidikan yang saat ini kurang memperhatikan nilai, sepatutnya di arahkan
kearah pembentukan sikap mulia terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan,
bermoral dan beretos kerja.
d. Sistem pendidikan yang saat ini kurang memperhatikan metode pembelajaran
interaktif, sepatutnya diarahkan bagaimana membentuk hubungan yang interaktif,
dialogis dan terbuka dalam proses belajar.

3. Melakukan dampingan/pelatihan terhadap guru secara berkelanjutan. Di samping adanya


pola diklat berjenjang seperti Kelompok Kerja Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran,
dan pelatihan guru oleh LPMP, ada beberapa cara yang bias dilakukan:
a. Lesson Study (Syamsuri, 2010). Lesson Study, guru berkolaborasi dengan guru,
dibimbing oleh dosen pendamping bagaimana menyusun RPP, LKS yang efektif
dan membelajarkan siswa. Hasilnya, yakni RPP dan LKS tersebut,
diimplementasikan ke dalam proses pembelajaran di kelas dengan menunjuk salah
seorang sebagai guru model dan guru lain bertindak selaku observer. Guru
membelajarkan siswa berpedoman kepada RPP Yang telah disusun bersama.
Observer tidak mengamati guru, melainkan mengamati siswa. Apakah siswa
benar-benar belajar. Semua observer mengungkapkan temuannya dan jalan keluar
yang disarankan akan dipergunakan untuk merevisi RPP. RPP hasil revisi dapat
diterapkan untuk proses pembelajaran di kelas lain. Demikian seterusnya.
b. Decentralized Basic Education Three (DBE3)
Proyek Decentralized Basic Education Three (DBE3) adalah proyek lima tahun
yang dirancang oleh USAID Indonesia untuk menunjang peningkatan pendidikan
dasar terdesentralisasi yang bermutu dan relevan di Indonesia. Sejak tahun 2005
DBE3 telah melatih lebih dari 7.000 guru dari 196 sekolah formal, dengan menitik
beratkan pada pengembangan keterampilan siswa. Hal ini dilakukan dengan cara:
Membantu guru-guru sekolah lanjutan pertama dalam meningkatkan proses
belajar dan mengajar; Menyediakan sumber informasi dan bahan pembelajaran
bagi guru-guru untuk menunjang proses pembelajaran, dan Membantu perbaikan

26
system pelatihan guru dan calon guru di tingkat nasional agar lebih praktis dan
bermutu.

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang telah dibahas dalam makalah ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggungjawab dalam mendidik,
mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang
memiliki kemampuan merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan
mengelola kelas agar siswa dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat
kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan
2. Hakikat dan peranan guru sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia.
3. Permasalahan kualifikasi guru sains akan mempengaruhi profesionalisme dari guru
sains dan akan ikut berperan dalam menentukan kualitas dari pendidikan itu sendiri.
4. Kompetensi guru sains terkait dengan kompetensi paedagogik, sosial, kepribadian,
dan profesional. Permasalahan kompetensi saat ini adalah rendahnya kompetensi guru
berdasarkan hasil rata-rata uji kompetensi guru di Indonesia.
5. Permasalahan guru di Indonesia sangat beragam, jika permasalahan di atas
dikelompokkan berdasarkan empat kompetensi guru, maka permasalahan guru sains
antara lain: Kompetensi Profesional: kecakapan guru dalam menyiapkan perangkat
pembelajaran; kecakapan guru menentukan dan menyajikan materi esensial; masih
mengandalkan LKS yang dijual dipasaran, belum membuat bahan ajar sendiri; sains
disajikan secara teoritis, belum menggunakan laboratorium secara optimal,
Kompetensi Pedagogoik: strategi yang digunakan kurang tepat; gaya mengajar yang
kurang menyenangkan peserta didik; peran sebagai pendidik, pengjar dan pelatih
belum optimal; tugas yang terlalu padat kepada peserta didik, Kompetensi
sosial/interpersonal: kurang terbuka terhadap kritikan teman sejawat; Kompetensi
personal/individu: afeksi guru belum bias diteladani; kurang menerapkan disiplin bagi
anak didik; komitmen, kinerja dan keiklasan dalam merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran masih kurang .
6. Pemerataan guru sains di Indonesia saat ini masih bersifat sentralistik, yaitu jumlah
guru yang mengajar lebih banyak di daerah perkotaan dibanding daerah lainnya.
7. Solusi untuk permasalahan kualifikasi, kompetensi, dan pemerataan guru sains di
Indonesia dapat dilakukan melalui aspek teoritis dan aspek kebijakan yang tidak

28
hanya menjadi fokus pemerinta pusat namun juga menjadi perhatian dari pemerintah
daerah.

B. Saran
Dari pembuatan makalah ini maka dapat disarankan agar pemerintah lebih
memperhatikan kondisi guru dan meningkatkan kualitas kualifikasi, kompetensi, dan
distribusi guru di Indonesia

29
Daftar Rujukan

Anam, Saiful. 2009. Dr. Baedhowi, M.Si, Dirjen PMPTK Depdiknas: Pergumulan dalam
Meningkatkan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (2007-2009). Jakarta: CV
Mahamedia Cipta Caraka.
Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta:
Grafika Indah.
Fakta pendidikan, 2014. Pendidikan di Indonesia.(Online)((http://indonesiaber
kibar.org/id/fakta-pendidikan), diakses pada 1 Februari 2016
Hamid, Huzaifah. 2010. Ciri-ciri dan masalah pendidikan indonesia. Tersedia di Biologo
Online, Blog Pendidikan Biologi. http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/Diakses 2
Februari 2016.
Hidayat, Pangki. 2014. Tantangan Distribusi Guru Nasional.(Online)
(http://banjarmasin.tribunnews.com/2014/06/19/tantangan-distribusi-guru-nasional),
diaksespada 1 Februari 2016
Ibnu. 2014. USAID bantu Distribusi Guru di Indonesia. (Online) (http://www.
batukarinfo.com/news/usaid-bantu-distribusi-guru-di-indonesia), diaksespada 1 Februari
2016
Kemdiknas.2013. Kemdikbud Tata Sistem Keguruan. (Online) (http://www.Kem
diknas.go.id/kemdikbud/node/1894), diakses pada 1 Februari2015
Kompas, 2010. Payah, Distribus guru belum merata. (Online)
(http://sains.kompas.com/read/2010/05/20/15181721/Payah.Distribusi.Guru.Belum.j
uga.Merat a), diakses pada 1 Februari 2016
Lufri. 2008. Pendidikan & Pembelajaran Biologi Bernuansa IESQ. Padang: UNP Press.
Maister, David, H. 1997. True Profesionalism. New York: The Free Press.
Mulyasa. 2007.Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
New Indonesia. 2014. JPPI Soroti Distribusi dan Kualitas Guru. (Online) (http:// www.new-
indonesia.org/home/headline/344-jppi-soroti-masalah-distribusi-dan-rendahnya-
kualitas-guru.html), diakses pada 1 Februari 2016
Ngainun Naim. (2009). Menjadi Guru inspiratif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
NSTA. 2003. Standards for Science Teacher Preparation. Revised 2003 30 Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 74 tahun 2008 tentang Guru

30
Rivai, Veithzal & Murni, Sylviana. 2009. Teori Menagement Analisis Teori & Praktek.
Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Suparlan. (2008). Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta. PT. Rajawali
Pers Temponews. Hasil Uji Kompetensi Guru Jauh dari Standar. 6 Agustus 2012.
(Online), (http//:m.tempo.com), diakses tanggal 1 Februari 2016.
Syamsuri, Istamar. 2010. Peningkatanm Kompetensi Guru Untuk Meningkatkan Minat Siswa
Pada Bidang MIPA. (Makalah disampaikan dalam lokakarya MIPAnet 2010, The
Indonesia Network Of Higher Educations Of Mathematics And Nanutal Sciences,
tanggal 26-27 Juli 2010, IPB, Bogor)
Tribunnews. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) Hanya 4.25. 4 Juni 2013. (Online),
(http//:m.tribunnews.com), diakses tanggal 1 Februari 2016.
Usman, Moh Uzer, 1995. Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja
Yulaelawati, Ella. 2000. Indonesia. (dalam Science Education For Contemporany Sociaty:
Promblems, Issues and Dilemas. Final Report of the Internatinal Workshop om The
Reform in The Teaching of Science and Technology at Primary and Seconderary
Level in Asia: Comperative Refrences to Europe. Beijing, 27-31 March 2000. Edited
by Muriel Poisson)

31

Anda mungkin juga menyukai