Anda di halaman 1dari 206

KEPEMIMPINAN KEGEMBALAAN YESUS

DALAM INJIL YOHANES 10:11-15 SEBAGAI MODEL


KEPEMIMPINAN PARA FRATER KONGREGASI FRATER BUNDA
HATI KUDUS DI INDONESIA DALAM KEHIDUPAN
DI ZAMAN SEKARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh :

Vinsensius Tnopo
NIM: 031124001

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
KEPEMIMPINAN KEGEMBALAAN YESUS
DALAM INJIL YOHANES 10:11-15 SEBAGAI MODEL
KEPEMIMPINAN PARA FRATER KONGREGASI FRATER BUNDA
HATI KUDUS DI INDONESIA DALAM KEHIDUPAN
DI ZAMAN SEKARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh :

Vinsensius Tnopo
NIM: 031124001

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009

i
ii
iii
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Bapak dan Ibu saya sebagai teladan kepemimpinan dalam hidup saya,

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia

sebagai komunitas religius yang membentuk saya menjadi religius Frater Bunda

Hati Kudus,

Para konfraterku sekongregasi di Indonesia yang selalu mendukung

Perjalanan panggilan dan perutusan studi saya.

iv
v
vi
MOTTO

“Hidup ini tak semudah apa yang kita harapkan, namun tak sesulit apa yang kita

takutkan. Hidup ini adalah perjuangan menuju titik akhir yang membahagiakan.”

(Vinsensius, 10 Juli 1999)

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan

kepadaku”.

(Filipi 4 : 13)

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab

Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku”.

(Mzmr. 23: 4 )

vii
ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “KEPEMIMPINAN KEGEMBALAAN YESUS


DALAM INJIL YOHANES 10: 11-15 SEBAGAI MODEL KEPEMIMPINAN
PARA FRATER KONGREGASI FRATER BUNDA HATI KUDUS DI
INDONESIA DALAM KEHIDUPAN DI ZAMAN SEKARANG”. Judul ini
dipilih penulis berdasarkan realitas yang terjadi dalam ranah kepemimpinan
Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia saat ini. Penulis mempunyai
kesan bahwa para pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di
Indonesia saat ini kurang berkomitmen dengan nilai-nilai panggilan mereka, baik
sebagai religius Frater Bunda Hati Kudus maupun sebagai pemimpin dalam
kongregasi. Dalam kaitan dengan hal kepemimpinan, para pemimpin kongregasi di
satu sisi telah memahami tentang arti kepemimpinan Kristiani dan kepemimpinan
religius, namun di lain sisi mereka belum maksimal menghayati dan
mengaktualisasikannya dalam praksis kepemimpinan mereka sehari-hari. Realitas
ini diperkuat dengan hasil penelitian yang diperoleh, yang pada umumnya para
responden yang notabenenya adalah para Frater Bunda Hati Kudus
mengungkapkan begitu banyak keprihatinan yang dirasakan dalam kehidupan
Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus sebagai suatu lembaga religius laikal yang
hidup dan berkarya di Indonesia.
Persoalan mendasar yang menjadi keprihatinan penulisan skripsi ini adalah
bagaimana meningkatkan kualitas kepemimpinan para Frater Kongregasi Frater
Bunda Hati Kudus di Indonesia. Penulis berpendapat, perlu adanya suatu upaya
yang efektif bagi peningkatan kualitas kepemimpinan ini, sebab apabila suatu
lembaga religius memiliki kualitas kepemimpinan yang baik hal itu akan sangat
membantu pertumbuhan dan perkembangan kongregasi dan juga akan sangat
membantu pertumbuhan dan kesuburan panggilan hidup para anggotanya.
Dalam menanggapi persoalan tersebut, penulis menilai perlu adanya suatu
proses transformasi diri dari para pemimpin kongregasi dan seluruh anggotanya
untuk mendalami, membatinkan dan berusaha menghayati serta
mengaktualisasikan nilai-nilai kepemimpinan Kristiani dan religius yang
bersumber dan berpusat pada kepemimpinan kegembalaan Yesus Kristus Sang
pemimpin sejati. Kepemimpinan kegembalaan Yesus sebagaimana di kisahkan
dalam Injil Yohanes 10: 11-15 hendaknya menjadi model kepemimpinan para
Frater Bunda Hati Kudus dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan
Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia. Dalam skripsi ini penulis akan
memaparkan nilai-nalai kepemimpinan transformatif yang akan menghantar pada
penghayatan nilai-nilai kepemimpinan kegembalaan Yesus sendiri sebagai sumber
inspirasi dan sekaligus sebagai spiritualitas kepemimpinan para Frater Bunda Hati
Kudus di zaman sekarang yang penuh tantangan dan kesulitan ini.
Pada bagian akhir, penulis mengusulkan sebuah model pembinaan
kerohanian sebagai salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memperdalam
spiritualitas kepemimpinan para Frater Bunda Hati Kudus sebagai seorang
pemimpin yang handal di zaman sekarang. Model pembinaan yang penulis
maksudkan adalah katekese dengan model pengalaman hidup. Harapan penulis,

viii
semoga para pemimpin dan para anggota Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di
Indonesia dapat mentransformasikan diri untuk menjadikan kepemimpinan
kegembalaan Yesus sebagai model kepemimpinannya dalam mengarungi zaman
yang arus negatifnya semakin deras dan tak terelakkan.

ix
ABSTRACT

The title of this thesis is” The Shepherd Leadership of Jesus in John 10:11-
15 as a Leadership Model of Holy Heart Mother Fratres in Indonesia Nowadays.”
This topic is taken according to the reality which happens inside the Holy Mother
Fraters Congregation in the matter of leadership. The writer has an impression that
the leaders of congregation in this era are lack of commitment for their mission,
whether as fraters or as leaders in congregation. The leaders of the congregation do
understand about the core values and the meaning of the christianity leadership and
the religious leadership. But in fact, they have not been able to deeply realize and
actualize the values that they are believed in into their practical act of leadership in
their daily life. This reality is strongly supported by the result of the research.
Generally the respondents, who are the members of the congregation, express
much of their concern about the life of Holy Heart Mother Fraters Congregation as
a religious constitution which lives and act in Indonesia.
The basic problem of this thesis which becomes the concern of the author is
how to improve the leadership quality among the fraters of Holy Heart Mother
Congregation in Indonesia. The writer has an opinion that the effective effort to
facilitate the improvement is really needed. It is very important because if a
religious constitution has its high quality leaders, the growth and the development
of the constitution also become better and it means the growth and the
development of the members become greater also.
Concerning this situation, the writer assums that the self transformation
from the leaders and the members of the congregation is needed in order to deepen,
comprehend, and apply the basic values of christianity and religious leadership
which are concentrated and centered to the Jesus Christ’s Shepherd Leadership.
The shepherd leadership of jesus as it is written in John 10:11-15 should become
the model of leadership to the fraters so that it can improve and develop the skill
of the Holy Heart Mother Fraters in Indonesia in doing their mission. In this thesis,
the writer will describe the transformative leadership basic values that will lead to
deeper comprehension about Jesus’s Shepherd Leadership values as the main
inspiration and also as a leadership spirituality for the Holy Heart Mother Fraters in
this difficult and full of challenges era.
In the last part of this thesis, the writer proposes a model of spirituality
guidance as an effort to deepen a leadership spirit to the Holy Heart Mother Fraters,
so that they can be come reliable leaders. The writer’s guidance is made according
to life experiences cathechise. The writer hopes tha the leaders and the members of
Holy Heart Mother Fraters will be able to transform themselves into Jesus’s
Shepherd Leadership model in facing the life which is full of negative influences
that cannot be avoided.

x
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur yang selimpah-limpahnya penulis haturkan ke hadirat

Allah Tritunggal Maha Kudus atas berkat, rahmat, dan cinta-Nya yang selalu setia

membimbing, menuntun dan menaungi penulis dalam saat-saat yang amat sulit

sekalipun, sehingga dapat bangkit dari keterpurukan dan memulai proses

penyusunan skripsi ini, yang pada akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi berjudul: “KEPEMIMPINAN KEGEMBALAAN YESUS DALAM

INJIL YOHANES 10: 11-15 SEBAGAI MODEL KEPEMIMPINAN PARA

FRATER KONGREGASI FRATER BUNDA HATI KUDUS DI INDONESIA

DALAM KEHIDUPAN DI ZAMAN SEKARANG”. Dalam skripsi ini penulis

mengangkat keprihatinan yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam Kongregasi

Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia saat ini dan berusaha memaparkan suatu

model kepemimpinan Kristiani, yakni kepemimpinan kegembalaan Yesus, yang

kiranya dapat dijadikan oleh para Frater Bunda Hati Kudus sebagai model

kepemimpinannya dalam kehidupan di zaman sekarang yang penuh tantangan dan

kesulitan.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini berkat bantuan dan

dukungan dari banyak pihak yang telah memberikan perhatian, dorongan, motivasi

dan inspirasi. Maka pada kesempatan ini penulis patut mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ. selaku Kaprodi sekaligus pembimbing utama yang

senantiasa dengan sabar, setia, perhatian dan penuh kasih seorang bapak dalam

xi
membimbing, mengarahkan, memotivasi dan memberikan masukan serta

inspirasi bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Y. Kristianto, SFK selaku dosen pembimbing akademik dan sekaligus sebagai

dosen penguji II yang penuh perhatian dan cinta memotivasi, mendukung serta

menyemangati di saat jatuh dalam keterpurukan, sehingga kini boleh berkenan

memeriksa dan sekaligus menguji penulisan ini.

3. Dra. J. Sri Murtini,M.Si., selaku dosen penguji III yang telah berkenan

mendampingi dan membimbing penulis dengan penuh perhatian dan cinta yang

sekaligus memeriksa skripsi dan menguji penulis.

4. Bapak-Ibu dosen dan staf prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang telah

mendampingi dengan setia serta menjadi rekan selama penulis melaksanakan

studi di IPPAK-FKIP-USD Yogyakarta.

5. Frater Provinsial Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus beserta dewannya yang

telah memberikan kesempatan, dukungan dan motivasi kepada penulis untuk

memperkembangkan pengetahuan, kepribadian dan kerohanian selama studi di

IPPAK-FKIP-USD Yogyakarta.

6. Para konfrater komunitas St. Gregorius yang telah memberikan dukungan,

perhatian, doa dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan tugas studi ini.

7. Para konfrater, Fr. Amatus, Fr. Clemens, Fr. Anton, Fr. Norbertus, Fr. Renatus,

Fr. Marselinus, Fr. Maximus, Fr. Roberto, Fr. Arnoldus, Fr. Gilbertus, Fr.

Asterius dan Fr. Bonavantura yang telah sudi berkenan meluangkan waktu

untuk berbagi pengalaman serta membantu penulis selama menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

xii
8. Bruder Provinsial MTB dan para Bruder Komunitas Ngadikan Kotabaru serta

Komunitas Novisiat Banguntapan Yogyakarta yang telah berkenan

memberikan tumpangan, perhatian, dorongan, motivasi, doa dan kasih

persaudaraan yang begitu tulus sehingga penulis terbantu untuk menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

9. Konfraterku seperjuangan: Fr. Wiliam, Fr. Kardinus dan Fr. Paskalis yang

senantiasa memberikan dukungan, motivasi, doa, perhatian dan kasih

persaudaraan yang tulus selama ini sehingga pada akhirnya bisa menyelesaikan

perjuangan studi di Yogyakarta.

10. Semua rekan-rekan seangkatan 2003 yang walaupun sudah berpisah, namun

selalu dengan caranya masing-masing, mendukung, memotivasi, mendoakan

dan menguatkan penulis sehingga pada akhirnya berhasil menyelesaikan studi

di IPPAK tercinta ini.

11. Adikku Magdalena Mada Hede yang selalu setia menemani dan memberikan

semangat, motivasi, doa, perhatian dan kasih yang tulus bagi penulis dalam

menyelesaikan penulisan ini.

12. Semua pihak yang penulis tidak sebut pada tulisan ini yang dengan caranya

sendiri telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Karena itu, dengan senang hati dan terbuka penulis menerima segala kritik dan

saran demi penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut. Penulis berharap

semoga skripsi ini menjadi sumbangan pemikiran bagi siapa saja yang belajar

xiii
menjadi seorang pemimpin yang handal dan berspiritualitas sebagai gembala bagi

dirinya maupun bagi orang lain.

Yogyakarta, 25 Agustus 2009

Penulis,

Vinsensius Tnopo

xiv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………………………….. v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………………………... vi
MOTTO …………………………………………………………………….. vii
ABSTRAK...........................................................................................................Viii
ABSTRACT ……………………………………………………………….. x
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. xi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. xvi
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………….. xxi
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
A. Latar Belakang ……………………………………………………… 1
B. Rumusan Permasalahan …………………………………………….. 6
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………… 6
D. Manfaat Penulisan ………………………………………………….. 7
E. Metode Penulisan ……………………………………………………. 7
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………….. 7
BAB II. SEKILAS TENTANG KONGREGASI FRATER BUNDA
HATI KUDUS DAN SITUASI UMUM KEPEMIMPINAN
RELIGIUS DI INDONESIA DI ZAMAN SEKARANG ………. 9

A. Sejarah Berdirinya Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus ………….. 9


1. Mengapa di sebut Frater, bukan Bruder? ……………………….... 15
2. Mengapa Bunda Hati Kudus ……………………………………... 15
B. Spiritualitas Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus ………………… 17
C. Pengertian Kepemimpinan ………………………………………….. 19
1. Kepemimpinan Menurut Para Ahli ………………………………. 19
2. Kepemimpinan Religius ………………………………………….. 20

a. Kepemimpinan Religius menurut Kitab Hukum Kanonik …… 20


xv
b. Kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus .. 24
1). Kepemimpinan Mgr. A. I. Schaepman …………………. 24
2). Kepemimpinan menurut Konstitusi Kongregasi Frater
Bunda Hati Kudus ……………………………………… 28
D. Fungsi Kepemimpinan ……………………………………………... 28
1. Fungsi Mengambil Inisiatif ……………………………………… 29
2. Memberikan Bimbingan ………………………………………… 29
3. Mengatur ………………………………………………………… 29
4. Memberikan Informasi ………………………………………….. 29
5. Memberi Motivasi ……………………………………………….. 29
6. Memberikan Penilaian …………………………………………... 29
E. Karakteristik Kepemimpinan Religius ……………………………... 29
1. Melindungi Kharisma Pendiri …………………………………… 30
2. Memajukan Kesatuan dan Persatuan ……………………………. 30
3. Hormat terhadap Pribadi ……………………………………….... 31
4. Kasih dan Percaya ……………………………………………….. 31
5. Menafsir Tanda-tanda Zaman …………………………………… 32
6. Menyesuaikan Unsur-unsur Positif ……………………………... 32
7. Memberi Inspirasi ………………………………………………. 33
8. Orang yang Memperbaharui Diri Terus-menerus ……………..... 33
F. Gaya Kepemimpinan ………………………………………………. 35
1. Kepemimpinan Otoriter …………………………………………. 36
2. Kepemimpinan Paternalistik …………………………………….. 36
3. Kepemimpinan Demokratis ……………………………………... 36
4. Kepemimpinan Bebas …………………………………………… 36
5. Kepemimpinan Birokratis ………………………………………. 37
6. Kepemimpinan Permisif ………………………………………… 37
7. Kepemimpinan Partisipatif ……………………………………… 37
G. Situasi dan tantangan Kepemimpinan Religius …………………… 38
1. Tidak terjadinya proses inkorporasi ……………………………... 38

2. Adanya kelekatan yang tak teratur …………………………......... 38


3. Adanya hukum senang …………………………………………... 38
4. Adanya kebutuhan psikologis tertentu …………………………... 39
xv
i
5. Adanya sistem senioritas ………………………………………… 39
6. Adanya segi fisik dan kemampuan yang semakin menurun …….. 40
7. Adanya nafsu duniawi dan nafsu kedagingan ………………….... 40
BAB III. TAFSIRAN INJIL YOHANES 10: 11-15 SEBAGAI
INSPIRASI KEPEMIMPINAN KRISTIANI ………………... 42
A. Konteks Injil Yohanes ……………………………………………... 43
B. Struktur injil Yohanes …………………………………………….... 43
C. Tafsir Injil Yohanes ………………………………………………... 44
D. Pesan injil Yohanes ………………………………………………... 45
1. Fokus utama pemimpin gembala ………………………………... 50
2. Karakteristik pemimpin gembala ……………………………….. 51
3. Gembala yang mengenal domba-dombanya …………………..... 51
4. Kehadiran dan kesiapsediaan gembala ………………………….. 53
5. Gembala memimpin di depan …………………………………… 54
6. Gembala itu harus berani ………………………………………... 54
7. Gembala itu menuntun dan membimbing ……………………...... 56
8. Gembala itu peduli pada domba yang hilang atau tersesat ……… 56
BAB IV. KEBERADAAN KONGREGASI FRATER BUNDA
HATI KUDUS DI INDONESIA ……………………………….. 58
A. Latar Belakang Sejarah Masuknya Kongregasi Frater Bunda Hati
Kudus di Indonesia ………………………………………………… 58
1. Tujuan misi Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia ... 60
2. Keanggotaan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia .. 63
B. Persiapan Penelitian ………………………………………………... 65
1. Permasalahan Penelitian …………………………………………. 65
2. Tujuan Penelitian ……………………………………………….... 65
3. Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 66
4. Metodologi Penelitian …………………………………………… 66
a. Pendekatan penelitian ……………………………………….... 67
b. Tempat dan waktu penelitian ………………………………… 67

c. Responden penelitian …………………………………………. 67


d. Teknik pengumpulan data dan instrument penelitian ………… 68
e. Teknik analisa data ………………………………………….... 68
f. Keabsahan data ……………………………………………….. 69

xv
ii
5. Laporan Hasil Penelitian ………………………………………… 69
a. Temuan Umum : Komunitas para frater yang ada di Surabaya,
Kediri dan Malang Jawa Timur .……………………………... 69
b. Temuan Khusus: Hasil wawancara …………………………... 75
c. Pembahasan Penelitian ……………………………………….. 81
d. Kesimpulsan Penelitian ………………………………………. 86
BAB V. USULAN KATEKESE BAGI PARA FRATER BUNDA
HATI KUDUS SEBAGAI UPAYA MENGEMBANGKAN
KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF …………………….. 88
A. Kepemimpinan Transformatif sebagai Model Kepemimpinan yang
diharapkan Kongregasi Frater Bunda hati Kudus di Indonesia di
Zaman Sekarang ……………………………………………………. 90
1. Kepemimpinan Transformatif …………………………………… 90
a. Pengertian transformasi ………………………………………. 90
b. Pengertian kepemimpinan transformatif ……………………... 90
2. Kemampuan Dasar Kepemimpinan Transformatif ……………... 93
3. Spiritualitas Kepemimpinan Transformatif ……………………... 95
a. Kepemimpinan sebagai gembala ……………………………... 96
b. Kepemimpinan sebagai pelayan ……………………………… 98
c. Kepemimpinan sebagai pengurus rumah tangga ……………... 99
B. Kepemimpinan Transformatif dalam praksis di Kongregasi Frater
Bunda Hati Kudus di Indonesia ……………………………………. 102
1. Transformasi dalam diri sang pemimpin ………………………... 102
2. Transformasi dalam komunitas …………………………………. 103
3. Transformasi dalam karya kerasulan ……………………………. 104
C. Katekese Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan Pola
Kepemimpinan Yang Transformatif Bagi Para Frater Bunda Hati
Kudus di Indonesia………………………………………………… 105

xv
iii
1. Pokok-pokok Katekese …………………………………………. 105
a. Arti/ pengertian katekese ……………………………………... 105
b. Tujuan pokok katekese ……………………………………….. 106
c. Isi pokok katekese ……………………………………………. 108
d. Model-model katekese ……………………………………….. 109
2. Pemilihan Katekese Model Pengalaman Hidup ………………… 110
a. Alasan pemilihan katekese model pengalaman hidup ……….. 110
b. Langkah-langkah model katekese pengalaman hidup ……….. 112
D. Program Katekese ………………………………………………….. 114
1. Pengertian Program ……………………………………………... 114
2. Pemikiran Dasar Program Katekese ...…………………………… 115
3. Usulan Tema Katekese …………………………………………... 117
4. Matriks Program Katekese ………………………………………. 119
5. Contoh Persiapan Katekese I …………………………………….. 124
a. Identitas katekese ……………………………………………... 124
b. Pemikiran dasar ………………………………………………. 125
c. Pelaksanaan pertemuan katekese ……………………………... 128
6. Contoh Persiapan Katekese II …………………………………… 140
a. Identitas katekese …………………………………………….. 140
b. Pemikiran dasar ………………………………………………. 141
c. Pelaksanaan pertemuan katekese …………………………….. 144
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………... 157
A. Kesimpulan ………………………………………………………… 157
B. Saran ……………………………………………………………….. 159
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 162
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat permohonan wawancara kepada para Frater ……… (1)
Lampiran 2 : Daftar nama subyek yang diwawancara ………………… (2)
Lampiran 3 : Daftar pertanyaan wawancara …………………………… (3)
Lampiran 4 : Pokok-pokok jawaban subyek wawancara ……………… (4)
Lampiran 5 : Cerita “Kebijaksanaan Sang Abdis Tua”. ……………….. (17)

xix
Lampiran 6 : Grafik Jumlah Frater Kongregasi Frater Bunda
Hati Kudus................................................................................(19)

xx
DAFTAR SINGKATAN

Berikut ini adalah daftar singkatan berdasarkan urutan alfabetik.

AC : Angelus Custos
Art. : Artikel
Ay : Ayat
Bdk. : Bandingkan
BHK : Bunda Hati Kudus
CMM : Congregatio Matris Misericordiae
CT : Catechesi Tradendae
Dsb. : Dan sebagainya
Flp
: Seruan Rasul Paulus kepada kepada jemaat di Filipi
Fr.
: Frater
Gal : Surat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia
Kel : Kitab Keluaran
KHK : Kitab Hukum Kanonik
Kis : Kisah para rasul
KKN : Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Kor : Surat Rasul Paulus kepada umat di Korintus
Konst. : Konstitusi Para Frater Bunda Hati Kudus yang
disyahkan oleh pemimpin umum Fr. Wilfried van der
Poll, 31 Mei 1997.
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
Luk
: Injil Lukas
Mat
: Injil Mateus
MB : Madah Bakti
Mgr. : Monseigneur
MSC : Micionari Sacro Corde
Mzm : Kitab Mazmur
No. : Nomor

xxi
NTT : Nusa Tenggara Timur
PAK : Pendidikan Agama Katolik
PIA : Pendampingan Iman Anak
PIR : Pendampingan Iman Remaja
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
Pr
: Projo
Ptr
: Surat Rasul Petrus
SCP
: Shared Christian Praxis
SDK : Sekolah Dasar Katolik
SMPK : Sekolah Menengah Pertama Katolik
SMUK : Sekolah Menengah Umum Katolik
SPG
: Sekolah Pendidikan Guru
SJ
: Serikat Jesus
Ul
: Kitab Ulangan
USD : Universitas Sanata Dharma
Yer : Kitab Yeremia
Yoh : Injil Yohanes

xxii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kepemimpinan merupakan suatu topik yang sangat hangat dan menarik untuk

diperbincangkan, didiskusikan dan diperdebatkan. Salah satu peristiwa yang sempat

menyedot perhatian sebagian besar masyarakat di planet bumi ini adalah peristiwa

pesta demokrasi di Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara adidaya (negara super

power). Dalam pesta demokrasi yang sangat fantastis dan penuh persaingan yang amat

ketat tersebut terpilihlah Barak Hussein Obama, putera keturunan Afrika-Amerika

sebagai presiden Amerika Serikat yang ke-44. Terpilihnya Presiden Barak Obama ini

telah menorehkan dalam lembaran sejarah panjang Amerika Serikat sebagai orang non

kulit putih pertama yang berhasil mendiami Gedung Putih sebagai lambang kekuasan

negara Pamansam. Selain itu Pesiden Obama pun telah mencatatkan diri sebagai

presiden Amerika Serikat yang pelantikannya dihadiri dan disaksikan oleh undangan

dan penonton terbanyak (+ 2 juta orang) dengan pengamanan super ketat, (Kompas

Selasa, 21/01/2009).

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Presiden Barak Obama sebagai

orang non kulit putih yang notabene merupakan kelompok minoritas berhasil meraih

sukses sebagai orang nomor satu di negara super power tersebut? Tentu saja ada

banyak hal yang mendukung kesuksesan Presiden Obama ini. Salah satunya karena ia

tampil pada saat yang tepat yakni saat rakyat Amerika dan dunia terjerumus dalam

krisis dimensional yang sangat mengkhawatirkan, yang merupakan dampak dari krisis

kepemimpinan yang muncul selama resim pemerintahan Presiden George W. Bush

berkuasa. Dalam situasi krisis yang sedemikian parah tersebut tampillah Presiden Barak
2

Obama sebagai orang muda yang punya idealisme untuk menjadikan Amerika Serikat

mengalami lahir baru dengan mengusung tema kempanye “Perubahan” (Change We

Can Believe In).

Dengan tema kampanye “Perubahan” ini, Presiden Barak Obama yang

didukung oleh kepiaweannya sebagai seorang orator ulung dan dengan persona yang

penuh pesona dan karisma telah berhasil meyakinkan dan membangkitkan pengharapan

dan kerinduan rakyat Amerika serta masyarakat di seluruh belahan dunia akan suatu

peradaban kehidupan yang penuh harmoni, damai, tenteram dan sejahtera. Dan bukan

sebaliknya peradaban kehidupan yang penuh ketakutan, permusuhan, penderitaan, dan

kesengsaraan sebagaimana telah diwariskan oleh resim pemerintahan sebelumnya

melalui paham imperialismenya.

Idealisme Presiden Barak Obama ini terungkap melalui pidato yang

disampaikannya ketika ia mengumumkan diri sebagai calon presiden Amerika Serikat.

Dalam pidatonya itu ia mengatakan bahwa :

“Jika anda ingin bergabung dalam pencarian mustahil ini, merasa takdir telah
memanggil, melihat sebagaimana saya melihat masa depan yang membentang
di depan kita, merasakan sebagaimana saya merasakan bahwa sekarang telah
tiba saatnya kita bangun dari tidur panjang, menanggalkan ketakutan, berbuat
yang terbaik untuk melunasi hutang kita kepada generasi yang telah lewat dan
generasi yang akan datang, maka saya siap menerima tugas itu dan berjalan
serta bekerja bersama Anda semua. Mulai hari ini, kita akan bersama-sama
menyelesaikan pekerjaan yang sangat dibutuhkan untuk mengantarkan
kelahiran kebebasan baru di bumi ini” (Abdilah Toha, 2008: 129).

Dalam kepemimpinan bangsa dan negara kita sebagaimana kita saksikan setiap

saat, baik melalui media cetak maupun media elektronik, di mana para pemimpin kita

mulai dari tataran paling atas sampai tataran paling bawah satu persatu mulai terseret ke

pengadilan akibat terjerat kasus korupsi. Hal ini sangat bertentangan dengan harkat dan

martabat bangsa kita sebagai bangsa yang berke-Tuhanan dan berbudaya.


3

Bangsa kita ini dengan pemimpin-pemimpinnya mengalami krisis integritas

yang begitu parah yang patut mendapatkan perhatian serius dari berbagai elemen

masyarakat untuk memperbaiki situasi ini dengan memilih pemimpin yang berintegritas

baik, berkualitas, berani melakukan perubahan dan mau mengabdi serta melayani demi

terwujudnya masyarakat yang makmur, tenteram, damai dan sejahtera. Oleh karena itu

sangat diharapkan agar para pemimpin kita yang telah terpilih dalam pemilu tanggal, 9

April 2009 yang lalu, kiranya dapat sungguh-sungguh menunjukkan integritas dirinya

sebagai pemimpin yang amanah demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Ranah kehidupan menggereja di era post-modern saat ini pun tidak terluput dari

krisis-krisis serupa terutama krisis kepemimpinan yang hampir dialami dan dirasakan di

setiap lembaga Gereja konkritnya lembaga religius. Dalam hal ini tidak bisa dipungkiri,

bahwa lembaga-lembaga Gereja pada umumnya dan lembaga religius pada khususnya

bersama para pemimpinnya, berada pada lembaga yang berpegang teguh pada hirarki

nilai transenden dan sekaligus menempatkan diri sebagai pejuang dalam usaha

menegakkan dan mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat dan

menggereja pun toh mengalami jatuh bangun.

Dalam menghadapi situasi jatuh bangun tersebut para pemimpin dan warga

perlu berdiam sejenak dan bertanya dalam hati, apa sesungguhnya penyebab terjadinya

semuanya itu? Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa dilepaskan dari manusia sebagai

subyek pos-modern itu sendiri. Dalam hal ini Prasetyo (2003: 5-6) berkata:

Situasi negatif yang timbul dari era post-modern ini mengakibatkan juga adanya
kelemahan dan kerapuhan pribadi, termasuk para pemimpin religius: dalam
tataran kognitif berupa kekaburan sistim nilai, dalam tataran penghendakan
berupa kelesuan (burn-out) dan dalam tataran afektif berupa kemenduaan hati,
perang batin, keretakan yang membuat gelisah dan tidak tenang. Ini semua pada
gilirannya mempengaruhi sistim motivasi seseorang, karena membentuk
kekuatan batin (inner power) pada taraf yang tidak dewasa. Dari situlah mulai
hilangnya segi misteri manusia, terhukum oleh budaya post-modern, atau hanya
tinggal implisit. Manusia kehilangan aspek ketinggian, kedalaman dan keluasan
kepribadian dan misterinya, dan inilah sesuatu yang perlu dikembalikan melalui
4

gerak kepemimpinan religius, yakni panggilan untuk mengambil bagian dalam


kepemimpinan Yesus.

Mengambil bagian dalam kepemimpinan Yesus berarti, dalam keadaan apapun

ia harus selalu berusaha memimpin “bersama dan seperti Yesus”. Dalam hal ini ia harus

menjadikan pola kepemimpinan Yesus sebagai model kepemimpinannya. Namun

kenyataan sekarang menunjukkan, bahwa pola kepemimpinan para pemimpin Gereja,

khususnya para pemimpin religius di zaman ini amat jauh dari apa yang diharapkan

oleh orang-orang yang dipimpinnya, karena seringkali mereka memimpin berdasarkan

apa yang menjadi obsesi pribadinya. Hal ini seringkali disebabkan oleh pemahaman

para pemimpin akan arti dan makna terdalam dari kepemimpinan itu sendiri, di mana

kepemimpinan bukan dipahami dan diterima sebagai sebuah fungsi untuk mengabdi

dan melayani demi terwujudnya kedamaian, kerukunan, ketenteraman, kesejahteraan

dan keharmonisan para anggotanya, melainkan dijadikan sebagai status, kekuasaan dan

jenjang karier yang harus dipertahankan dengan menghalalkan berbagai macam cara

demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Berkaitan dengan hal ini rasul Petrus

berkata:

Aku menasihatkan para penatua di antara kamu ......: Gembalakanlah kawanan


domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela
sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan,
tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau
memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu
menjadi teladan bagi kawanan domba itu (1 Ptr. 5:1-3).

Salah satu model kepemimpinan sejati yang patut dijadikan model

kepemimpinan dalam Gereja dan tarekat religius di zaman sekarang adalah model

kepemimpinan kegembalaan Yesus. Dalam hal ini teladan kepemimpinan kegembalaan

Yesus harus menjadi “roh” yang menggerakkan setiap pemimpin dalam membantu para

anggotanya mencapai kedewasaan iman dan cinta serta baktinya kepada Tuhan yang

mewujud dalam pemberian diri kepada sesama di sekitarnya. Dalam kepemimpinannya


5

pemimpin tidak boleh mengukur dan menilai semata-mata berdasarkan perspektifnya

sendiri, tetapi harus dengan penuh kerendahan hati dan dalam keheningan batin mau

mendengarkan dalam hatinya apa yang dikehendaki Tuhan dan dari diri sesama

anggotanya sebagai satu kesatuan yang integral. Berkaitan dengan hal ini para anggota

pun dituntut agar mau terbuka untuk membantu dan mendukung pemimpinnya dalam

menjalankan tugas kepemimpinannya dengan menciptakan komunikasi timbal- balik

yang sehat dan jujur antar satu sama lain, sehingga dengan demikian apa yang menjadi

cita-cita tarekat dapat tercapai dan dapat membahagiakan semua.

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus sebagai salah satu lembaga religius laikal

yang berpusat di Indonesia (Malang Jawa Timur) dalam perkembangannya hingga saat

ini sebagai anak zaman tidak terlepas dari tantangan dan pengaruh-pengaruh yang

dilahirkan oleh zaman pos-modern saat ini, sebagaimana telah dipaparkan di atas.

Dalam hal ini para Frater Bunda Hati Kudus dalam menjalankan tugas perutusan

sehari-hari baik sebagai pemimpin maupun sebagai yang dipimpin kerap mengalami

krisis, baik krisis kepemimpinan maupun krisis identitas serta kualitas diri sebagai

orang terpanggil sebagaimana digambarkan di atas.

Sejalan dengan krisis kepemimpinan yang terjadi di zaman sekarang dan

bagaimana upaya para Frater Bunda Hati Kudus menjawab persoalan-persoalan yang

muncul dalam kepemimpinan tarekat, maka penulis memilih judul skripsi

“Kepemimpinan Kegembalaan Yesus dalam Injil Yohanes 10:11-15 sebagai

Model Kepemimpinan para Frater Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di

Indonesia dalam Kehidupan di Zaman Sekarang”.


6

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang pemilihan tema di atas maka penulis merumuskan

pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Kepemimpinan Kristiani yang bagaimanakah yang kiranya dapat dijadikan model

kepemimpinan para Frater Bunda Hati Kudus di zaman sekarang?

2. Gambaran kepemimpinan yang bagaimanakah yang didambakan oleh para Frater

Bunda Hati Kudus di zaman sekarang?

3. Usaha macam apakah yang dapat membantu para Frater Bunda Hati Kudus dalam

upaya menghayati Kepemimpinan Transformatif untuk zaman sekarang?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Membantu para Frater Bunda Hati Kudus untuk semakin memahami secara benar

serta mendalam arti dan makna kepemimpinan kegembalaan Yesus dalam Injil

Yohanes 10:11-15 dan relevansinya bagi kepemimpinan dalam Kongregasi Frater

Bunda Hati Kudus di zaman sekarang.

2. Memotivasi para Frater Bunda Hati Kudus untuk semakin memahami, memaknai

dan mengaktualisasikan nilai-nilai Kepemimpinan Kegembalaan Yesus dalam

kepemimpinannya sehari-hari.

3. Memberikan sumbangan pendampingan melalui katekese agar dapat membantu

para Frater Bunda Hati Kudus dalam upaya menghayati, mengaktualisasikan dan

mengembangkan kepemimpinan transformatif dalam kehidupan di zaman sekarang.

4. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata 1 Program Studi Ilmu

Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan

Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.


7

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat penulisan skripsi ini sebagai berikut :

1. Memperkaya dan memperdalam pemahaman serta penghayatan penulis akan

teladan Kepemimpinan Kegembalaan Yesus.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca teristimewa bagi para

pemimpin dan segenap anggota Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus agar dapat

menjadikan Kepemimpinan Kegembalaan Yesus sebagai model dan sumber

inspirasi dalam menjalankan tugas perutusan sebagai pemimpin dalam kehidupan

sehari-hari.

3. Membangun kesadaran dan perspektif baru bagi para pembaca teristimewa para

Frater Bunda Hati Kudus akan pentingnya nilai-nilai keutamaan Yesus sebagai

teladan kepemimpinan sejati dalam mengahadapi tantangan hidup di era pos-

modern saat ini.

E. METODE PENULISAN

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis atas

sebuah studi pustaka dari berbagai buku referensi karangan ilmiah yang berkaitan

dengan tema yang diangkat penulis. Selain itu, penulis juga berusaha menggali konteks

permasalahan, yakni pemahaman, pengalaman dan harapan-harapan para Frater Bunda

Hati Kudus akan situasi konkrit kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus di Indonesia di zaman sekarang dengan menggunakan metode wawancara.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini, akan dijabarkan menjadi lima bab, sebagai berikut:


8

Bab I merupakan bagian pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan,

perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan

sistematika penulisan.

Bab II membahas sejarah singkat berdirinya Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus, spiritualitas Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. Selanjutnya bab ini akan

menggali pengertian kepemimpinan menurut para ahli, kepemimpinan religius menurut

Kitab Hukum Kanonik, kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus,

yakni kepemimpinan Mgr. A. I. Schaepman dan kepemimpinan menurut Konstitusi

Frater Bunda Hati Kudus, karakteristik kepemimpinan religius, situasi dan tantangan

kepemimpinan religius di zaman sekarang.

Bab III membahas konteks Injil Yohanes 10:11-15, sebagai sumber ispirasi

kepemimpinan kristiani, yang akan mencakup: struktur Injil Yohanes 10:11-15, tafsir

Injil Yohanes 10:11-15 dan pesan Injil Yohanes 10:11-15

Bab IV tentang keberadaan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia

yang meliputi latar belakang sejarah masuknya Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di

Indonesia dan persiapan penelitian yang mencakup permasalahan penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan laporan hasil penelitian.

Bab V berisi usulan model kepemimpinan yang seharusnya diupayakan oleh

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di zaman sekarang, yang akan dicapai lewat

pertemuan katekese terprogram dengan model katekese pengalaman hidup.

Bab VI adalah bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
9

BAB II

SEKILAS TENTANG

KONGREGASI FRATER BUNDA HATI KUDUS DAN SITUASI UMUM

KEPEMIMPINAN RELIGIUS DI INDONESIA DI ZAMAN SEKARANG

A. Sejarah Berdirinya Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus

Congregatie van de Fraters van Onze Lieve van het Heilig Hart atau

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus adalah suatu kongregasi bruder Belanda, yang

merupakan komunitas pria religius yang bukan imam. Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus didirikan pada tanggal, 13 Aguatus 1873 oleh Mgr. Andreas Ignatius

Schaepman (1815-1882), Uskup Agung Utrecht, di kota Utrecht Belanda. Maksud dari

Mgr. A. I. Schaepman mendirikan kongregasi ini adalah untuk menyediakan guru-guru

bagi sekolah-sekolah Katolik yang baru didirikannya (van Vugt, 2005: 31).

Penambahan sekolah Katolik di kota Utrecht ini merupakan wujud tanggapan

Mgr. Schaepman terhadap himbauan Surat Gembala tentang pendidikan yang

dikeluarkan oleh para uskup Belanda yang turut ditandatanganinya. Dalam Surat

Gembala, yang diterbitkan pada tahun 1868, para uskup Belanda menolak secara tegas

pendidikan sekolah negeri yang netral dan tak berdasarkan agama. Melalui Surat

Gembala tersebut para uskup mau menjelaskan kepada umat Katolik bahwa hanya

sekolah Katoliklah yang cocok dan aman bagi pendidikan anak-anak mereka.

Walaupun di kota Utrecht pada waktu itu tidak mengalami kekurangan guru, namun

pada tahun 1870 Mgr. Schaepman tetap berusaha untuk menarik beberapa bruder dari

kongregasi bruder yang sudah ada di Belanda untuk sekolah-sekolah yang didirikannya.

Pertimbangan utamanya ialah kehadiran para religius guru ini akan semakin

memperkuat sifat keagamaan sekolah-sekolah Katolik tersebut. Selain maksud


10

tersebut, Mgr. Schaepman juga memiliki motivasi lain yang lebih mendasar yakni agar

para religius rela bekerja dengan gaji yang lebih kecil bila dibandingkan dengan gaji

tenaga awam. Pertimbangan ini memang sangat penting berhubung pada waktu itu

sekolah-sekolah swasta (Katolik dan Protestan) belum diperbolehkan untuk

mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dengan melihat situasi yang amat berat ini, Mgr.

Johanes Zwijsen, seorang rekannya di Den Bosch, menulis surat kepadanya bahwa

“Rupanya keadaan di kota Utrecht menjadi sungguh kacau; keinginan besar untuk

menambah sekolah Katolik kini menimbulkan kesulitan besar bagi Monsenyiur

sehingga mungkin sekolah-sekolah itu akhirnya tak bisa dipertahankan…” (van Vugt,

2005: 32).

Ketika Mgr. A. I. Schaepman tidak berhasil membujuk salah satu kongregasi

bruder yang telah ada di Belanda untuk datang ke kota Utrech, akhirnya beliau

memutuskan untuk mendirikan sendiri suatu kongregasi bruder menurut model yang

telah berhasil yakni Kongregasi Fraters van Onze Lieve Vrouw, Moeder van

Barmhartigheid, yang lebih dikenal dengan sebutan “Fraters van Tilburg” atau yang

kita kenal di kota Yogyakarta dengan nama “Frater CMM”, yang didirikan oleh Mgr. J.

Swijsen pada tahun 1844. Melalui suatu surat edaran yang dikirim kepada semua

dekenat di keuskupannya, Mgr. Schaepman memohon agar mereka mengajukan calon-

calon yang cocok bagi kongregasi baru yang dirintisnya.

Pada tahun 1871 Mgr. Schaepman bertemu dengan seorang pemuda bernama

Antonius Vonk (1847-1914) dari Amsterdam. Kemudian dengan Bernard Hollak

(1841- 1915) dari Zwolle kota asal Monsenyiur, dan Gerbrandus de Leeuw (1845-

1880) dari Groningen. Kepada ketiga pemuda itu Mgr. Schaepman meyakinkan mereka

bahwa masa depan mereka berada dalam kongregasi baru yang didirikannya itu.

Akhirnya pada tahun 1871 Antonius Vonk dan Bernard Hollak, diperkenankan
11

menerima busana biara dengan nama Fr. Bonifacius Vonk dan Fr. Wililbrordus Hollak.

Pada tahun 1872 Gerbrardus de Leeuw menyusul mereka dengan nama Fr. Gregorius

de Leeuw. Tiga orang frater ini merupakan pioner bagi Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus yang pada ulang tahunnya ke 127 telah memiliki anggota sekitar 1200 orang

frater (van Vugt, 2005: 32).

Sesudah menerima busana biara, ketiga frater pioner ini harus mengikuti tahun

novisiat yang diwajibkan menurut hukum Gereja dan mengenal praktek sehari-hari

hidup membiara. Maka langkah selanjutnya adalah ketiga frater ini dikirim ke rumah

induk Kongregasi Frater CMM di kota Tilburg untuk menjalani masa pembinaannya.

Pada tahun 1873 ketiga frater menyelesaikan masa pembinaannya dan mereka kembali

ke kota Utreht. Mereka bertiga tinggal dan hidup bersama di sebuah gedung di

Ganzenmarkt (terletak di belakang balai kota Utrecht), yang beberapa tahun kemudian

mereka pindah ke Herenstraat, tempat rumah induk Provinsi Belanda sampai sekarang.

Pada taggal 13 Agustus 1873 dalam suatu upacara misa yang sederhana diangkatlah

Frater Bonifacius Vonk oleh Mgr. Schaepman sebagai pemimpin/ Overste bagi anggota

kongregasi yang baru dibentuknya itu. Peristiwa ini dianggap sebagai hari kelahiran

kongregasi, di bawah perlindungan “Bunda Hati Kudus” sebagai pelindung utama

kongregasi. Dengan demikian tanggal 13 Agustus 1873 ini selalu diperingati sebagai

hari lahirnya Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus sampai sekarang (van Vugt, 2005:

55).

Mgr. Schaepman dalam mendirikan kongregasi ini, memiliki gambaran bentuk

yang khas yang akan diterapkan dalam tarekat barunya itu. Ia hanya ingin mengikuti

contoh kongregasi yang sudah ada yakni Kongregasi Frater CMM di Tilburg. Di mana

dalam Kongregasi Frater CMM ini diterapkan bentuk campuran yakni ada Frater yang

dithabiskan menjadi imam dan ada Frater seumur hidup/ bruder. Maka dalam benak
12

Mgr. Schaepman pun ingin menerapkan bentuk yang sama bagi kongregasinya. Demi

terwujudnya maksud tersebut, ia berusaha agar Fr. Bonifacius Vonk dithabiskan

menjadi imam dengan terlebih dahulu mengikuti kursus secara kilat untuk

mempersiapkan diri sebagai imam. Juga dalam penyusunan Peraturan kongregasi, Mgr.

Schaepman hanya mengikuti contoh Kongregasi Frater CMM dari Tilburg. Ketiga

frater pioner ini diberi suatu versi peraturan Kongregasi Frater CMM yang sudah

disesuaikan (van Vugt, 2005: 33).

Kongregasi-kongregasi yang didirikan pada abad XIX ternyata berkembang

dengan baik dan cepat karena mereka memenuhi kebutuhan sosial dan religius yang

besar yang sedang bergejolak pada waktu itu. Namun lain halnya dengan Kongregasi

Frater Bunda Hati Kudus/ kongregasi van Utrecht. Dalam dua puluh lima tahun

pertama kongregasi ini kurang berkembang, penyebab utama adalah karena pribadi dan

kepemimpinan Pater Bonifacius Vonk, yang ternyata tidak sanggup menjabat sebagai

overste/ pemimpin kongregasi. Dampak dari kelemahan ini adalah jumlah frater hampir

tidak bertambah dan karya pendidikan yang merupakan tujuan pendirian kongregasi

tidak banyak berkembang, baik dalam jumlahnya maupun mutunya. Tahun 1891 Pater

Vonk pergi dengan diam-diam dan meninggalkan konfrater lainnya dalam kebingungan

besar. Akibatnya pada tahun-tahun berikut kongregasi beberapa kali terancam bubar.

Namun pada permulaan abad XX keadaan kongregasi tiba-tiba sangat membaik. Hal

itu antara lain kerena beberapa kali para frater berhasil memilih seorang pemimpin

umum yang sangat mampu dalam bidang kepemimpinan. Khususnya Fr. Stephanus

Buil (1906-1914) yang merupakan pemimpin yang paling baik di mata para frater.

Dampak positif dari kepemimpinan Fr. Stephanus Buil ini adalah, jumlah novis

semakin meningkat dan mutu pendidikan para frater pun semakin baik. Begitu pula

sekolah-sekolah yang ditangani para frater pun semakin meningkat baik dari sisi
13

kualitas maupun kuantitasnya. Bagi Kongregasi van Utrecht seperti juga bagi

kongregasi lainnya, tahun-tahun sesudah Perang Dunia I merupakan periode

pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat.

Pertumbuhan dan perkembangan pesat kongregasi-kongregasi sesudah Perang

Dunia I ini disebabkan antara lain oleh “penyamaan finansial” antara pendidikan

sekolah swasta (berdasarkan agama) dengan pendidikan sekolah negeri (netral).

Penyamaan itu adalah hasil perjuangan politik yang panjang oleh kalangan Katolik dan

Protestan, yang mencapai hasilnya pada tahun 1917. Maka mulai tahun 1920 sekolah

Katolik dan Protestan dibiayai oleh pemerintah sama seperti sekolah negeri. Dengan

demikian, masalah keuangan pendidikan sekolah Katolik teratasi. Dengan adanya

jaminan subsidi pemerintah ini, sekolah-sekolah Katolik mulai berkembang sehingga

hampir semua anak Katolik di Belanda masuk sekolah Katolik.

Penyamaan finansial yang dilakukan pemerintah itu sangat menguntungkan

kongregasi-kongregasi yang menangani karya pendidikan sebagaimana Kongregasi van

Utrecht. Kini gaji para frater yang mengajar di sekolahpun sama dengan guru awam

lainnya dan tidak lagi jauh lebih rendah dari seperti dulu lazim untuk kaum religius.

Keadaan finansial kongregasi-kongregasi pun mulai membaik. Lagi pula antara tahun

1918 - 1940 mereka memperoleh jumlah anggota yang luar biasa besar. Hal ini juga

berlaku bagi Kongregasi van Utrecht. Dengan adanya perubahan dan perkembangan

positif ini, Kongregasi van Utrecht pun semakin mampu memperluas karyanya dengan

semakin meningkatnya jumlah frater yang menjadi guru atau memiliki ketrampilan

tertentu yang dapat dijadikan sebagai modal dalam menjalankan tugas perutusan tarekat

yang dipercayakan kepada mereka. Perkembangan Kongregasi van Utrecht ini juga

dapat dilihat dari penanganan karyanya yang dulu belum begitu profesional, kini

menjadi tarekat guru dan pengasuh yang ahli dan profesional (van Vugt, 2005: 35).
14

Pada tahun 1928 perkembangan yang baik dalam Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus juga nyata melalui keputusan pimpinan pusat untuk mengutus para frater ke

tanah misi Hindia Belanda dengan maksud menangani pendidikan Katolik di sana. Bagi

Kongregasi van Utrecht usaha misi yang baru ini memberi kesempatan untuk memakai

kemungkinan finansial dan ketenagaan yang baru itu dalam bidang yang sangat baru

dan sekaligus merupakan tantangan yang amat besar. Kekhawatiran para frater ini

wajar karena memang keadaan dan situasi di Hindia Belanda sangat berbeda dengan

situasi dan keadaan di Belanda. Tetapi bidang karya yang akan ditangani para frater di

Hindia Belanda sama dengan apa yang telah mereka tangani sebelumnya di negeri

Belanda yakni di bidang pendidikan dan pengasuhan/ asrama. Dengan keyakinan dan

semangat yang mereka miliki dan dibawa ke tanah misi, berdampak sangat positif

yakni hanya dalam kurun waktu beberapa tahun saja jumlah frater di Hindia Belanda

dan sekolah serta lembaga yang mereka kelola berkembang dengan pesat. Lagi pula

para frater Belanda berhasil menarik beberapa pemuda pribumi (Jawa) untuk menjadi

novis yang akan menjadi penerus mereka di tanah misi suatu saat nanti. Inilah suatu

permulaan yang sederhana dari perkembangan yang sangat penting bagi pertumbuhan

dan perkembangan kongregasi selanjutnya.

Dalam peziarahan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus bersama dan di tengah

umat selama ini selalu memunculkan pertanyaan “Mengapa para anggota kongregasi ini

disebut Frater dan bukan Bruder?” dan “Mengapa Bunda Hati Kudus dan bukan gelar

Bunda yang lain?”. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, di sini akan diuraikan

alasan sebutan “Frater” dan gelar “Bunda Hati Kudus” yang di pakai dalam Kongregasi

van Utrecht ini.


15

1. Mengapa disebut Frater, bukan Bruder ?

Kata Frater berasal dari bahasa Latin yang berarti “Saudara laki-laki” (K. Prent,

1969: 351). Sedangkan kata Buder/ Brother berasal dari bahasa Inggris yang

mangandung arti yang sama pula yakni “Saudara laki-laki” (Desy Anwar, 2001: 43).

Tetapi mengapa Kongregasi van Utrecht memilih sebutan Frater? Hal ini disebabkan

karena sebelum Kongregasi Frater Bunda Kerahiman (Frater CMM) dan Kongregasi

Frater Bunda Hati Kudus (Frater BHK) didirikan di negeri Belanda telah terdapat suatu

lembaga religius yang bernama “Para Bruder kehidupan Bersama-sama”. Para anggota

dari lembaga religius ini kadang di sebut “Frater”. Lembaga ini berkembang amat pesat

dalam abad 14 dan 15 serta sangat berjasa di bidang pendidikan Katolik.

Kongregasi Kehidupan Bersama-sama ini kemudian lenyap selama badai-badai

reformasi Protestan. Biaranya yang terakhir terdapat di Emmerik, perbatasan Jerman

dan Belanda, yang akhirnya juga dibubarkan oleh Napoleon pada tahun 1812.

Anggotanya yang paling akhir hidup adalah Frater Gerardus Mulder (Informasi

Panggilan Kongregasi Frater BHK, hal. 2).

Mgr. J. Swijsen pendiri kongregasi Frater CMM dari Tilburg dan Mgr. Andreas

I. Schaepman pendiri Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK) ingin melanjutkan

tradisi historis yang telah dimulai oleh Para Bruder/ Frater Kehidupan Bersama-sama

tersebut. Dengan demikian kedua uskup agung itu bersepakat dan memutuskan bahwa

para anggota dari kedua kongregasi yang didirikannya disebut “Frater” (Informasi

Panggilan Kongregasi Frater BHK, hal. 2).

2. Mengapa “Bunda Hati Kudus?”

Ketika Mgr. Andreas. I. Schaepman mencari nama pelindung untuk kongregasi

yang baru didirikannya, Pater Salesius de Beer pemimpin umum Kongregasi Frater
16

CMM, menganjurkan agar Mgr. Schaepman mencari inspirasi pada devosi “Bunda Hati

Kudus”. Tepat pada waktu itu devosi kepada Bunda Hati Kudus sangat populer dan

sangat di dukukung oleh Mgr. De Beer. Sejak tahun lima puluhan dalam abad XX

devosi Bunda Hati Kudus ini disebarkan oleh seorang Pastor dari Prancis, yakni Pater

Jules Chevalier pendiri Kongregasi para Misionaris Hati Kudus (MSC) dan Kongregasi

Putri Bunda Hati Kudus (PBHK) di Issoudun, Prancis Tengah. Pater Chevalier ingin

mengaitkan penghormatan tradisional kepada Maria dengan devosi Hati Kudus Yesus,

yang pada waktu itu merupakan devosi yang paling penting dan paling tersebar luas di

Eropa.

Pada tahun enam puluhan spiritualitas ini juga muncul di Belanda Selatan,

khususnya di propinsi Limburg. Hal ini terbukti dengan didirikannya persaudaraan

Broederschap van Onze Lieve van het Heilig Hart (persaudaraan Bunda Hati Kudus) di

Sittard pada tahun 1867. Pada tahun 1870 Pater Chevalier sendiri berkunjung ke

Belanda dan berkotbah di kota Sittard, Roemond dan Tilburg. Devosi Bunda Hati

Kudus ini menarik banyak perhatian positif. Sekitar tahun 1870 Mgr. Schaepman

bersama para uskup lainnya bergabung menjadi anggota persaudaraan Bunda Hati

Kudus tersebut. Berdasarkan anjuran dari pater Pemimpin Umum Kongregasi Frater

CMM tersebut, Mgr. Andreas. I. Schaepman melalui suatu permenungan yang

mendalam memutuskan dan menetapkan untuk mempersembahkan kongregasi yang

didirikannya ke dalam perlindungan Maria Bunda Hati Kudus sebagai penyalur segala

rahmat dan karunia dari Hati Kudus Yesus kepada para anggota tarekat dan siapa saja

yang akan mereka jumpai dan layani. Dalam hal ini Mgr. Schaepman secara tidak

langsung ingin memberikan kepada kongregasinya dasar spiritual yang kuat demi

kehidupan selanjutnya (van Vugt, 2005: 33-34).


17

B. Spiritualitas Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus

Spiritualitas Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus lahir dari hati pendiri Mgr. A.

I. Schaepman yang hatinya tergerak dan tersentuh ketika melihat kebobrokan zamannya

yakni terjadinya ketidakadilan dalam bidang pendidikan. Hal ini tersirat dalam motonya

yang berbunyi: “In Sollicitudine et Simplicitate” (Dalam Keprihatinan dan

Kesederhanaan). Berdasarkan ketergerakan hatinya akan situasi yang memprihatinkan

tersebut, ia berusaha untuk menanggapi dengan mendirikan sebuah tarekat religius laki-

laki yang akan mengemban misi pendidikan untuk menjawabi kebutuhan zamannya.

Mgr. Andreas.I. Schaepman menaruh harapan penuh optimisme akan suatu profil dan

kualifikasi yang harus dimiliki oleh para anggota kongregasinya, yang terungkap

demikian: “Saya membutuhkan frater-frater yang secara mendalam meresapi

pentingnya pendidikan dan pengajaran kaum muda. Saya membutuhkan biarawan

yang rajin dan berbudi luhur dalam kebajikan. Saya membutuhkan orang laki-laki

yang sungguh mampu menanamkan nilai-nilai Kristiani pada murid-muridnya yang

dipercayakan kepada mereka” (Sekretariat Dewan Umum Kongregasi frater Bunda

hati Kudus, 2006: 30).

Proses inkorporasi ke dalam tubuh kongregasi sendiri pada intinya

mengandaikan terjadinya internalisasi atau pembatinan inti jiwa hidup Kongregasi

yang sering dikenal dengan istilah Spiritualitas. Dengan demikian inti jiwa tersebut

betul-betul menjadi bagian integral dari hidup kongregasi, menjadi bagian dari inti

kebatinan kongregasi, dan sekaligus menjadi api atau obornya kongregasi. Inti jiwa

hidup atau spiritualitas kongregasi yang merupakan suatu gerakan kharisma itu dapat

diidentifikasi melalui empat unsur pokok yakni: “Mistik Kongregasi yakni “Hati yang

membebaskan” (Konst. 6). Kharisma Kongregasi yakni “Kasih pelayanan yang

membebaskan sesama, khususnya kaum muda” (Konst. 7). Apostolat Kongregasi


18

yakni “Ikut serta membebaskan sesama yang miskin dan menderita, khususnya kaum

muda agar mereka dapat berkembang serupa citra-Nya” (Konst. 1-3 & 6-9). Cara

Hidup Kongregasi yakni “Kepedulian, kesederhanaan dan ugahari” (Moto Pendiri,

Konst. 6b, 24, 34) (Sekretariat Dewan Umum Kongregasi Frater BHK, 2006: 1).

Keempat unsure pokok di ataslah yang kemudian membentuk atau menjadi tonggak

dalam memberi warna dasar bagi spiritualitas.

Proses pengidentifikasian empat unsur pokok ini hanya dapat digali dan

ditemukan dalam Konstitusi dan Sejarah Awal Kongregasi, karena spiritualitas

meresapi cara hidup para anggota sepanjang sejarahnya. Dengan demikian keempat

unsur pokok atau empat pilar utama pendukung teridentifikasinya Spiritualitas

Kongregasi tersebut perlu dikenal. Dari keempat pilar utama tersebut, kita dapat

melihat baik secara eksplisit penekanannya pada “Hati” yang membebaskan dan

“Pelayanan” yang membebaskan” (Mistik dan Kharisma). Sedangkan secara implisit

kita dapat menemukan aplikasi dari kasih atau hati yang membebaskan itu melalui

sikap dasar “Kepedulian, Kesederhanaan dan Ugahari” (Apostolat dan Cara Hidup

Kongregasi). Dalam hal ini kasih menjadi sentral, yang tertuju pada : Teosentris,

Trinitaris dan Kristosentris, yakni kasih Allah yang diwujudkan dalam relasi personal

Mgr Andreas I. Schaepman dengan pribadi Yesus Kristus. Kasih itu diwujudkan oleh

Allah melalui Roh-Nya sendiri yang merasuk dalam diri pendiri dan para anggota

tarekat yang harus diperjuangkan dan diperbaharui terus-menerus agar kasih Allah

itupun mewujud dalam relasi dengan sesama dan alam ciptaan lainnya.

Berdasarkan pendasaran di atas, maka dapat dirumuskan Spiritualitas

Kongregasi yakni : “Spiritualitas Hati” . Spiritualitas Hati inilah yang senantiasa

menjadi pegangan, obor dan api yang selalu membakar semangat, menuntun,

mengarahkan serta menjadi sumber inpirasi bagi kongregasi dalam mengemban tugas
19

perutusannya di tengah dunia kapan dan di manapun diutus (Sekretariat Dewan Umum

Kongregasi Frater BHK, 2006: 31).

C. Pengertian Kepemimpinan

1. Kepemimpinan Menurut Para Ahli

Kata pemimpin dalam bahasa Inggris disebut leader . Akar katanya to lead.

Dalam kata itu terkandung beberapa arti yang saling erat berhubungan yakni : bergerak

lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, mengarahkan pikiran dan

pendapat orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui

pengaruhnya. Dengan demikian arti pemimpin adalah: ”orang yang bergerak lebih awal,

berjalan di depan, mengambil langkah pertama, memelopori, mengarahkan pikiran-

pendapat orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui

pengaruhnya” (Mangun Hardjana, 1991: 11).

Pemimpin dan kepemimpinan merupakan dua hal yang tak terpisahkan, karena

kedua istilah tersebut menunjuk pada seseorang yang memiliki wewenang untuk

mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan menuntun orang lain atau sekelompok

orang untuk mencapai suatu tujuan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian

tentang kepemimpinan menurut tiga orang ahli yang dikutip oleh Sudomo (2005: 21-

22) sebagai berikut : menurut George R. Terry, ”Kepemimpinan adalah aktivitas

mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela”.

Sementara itu Walter C. Wright berpendapat bahwa ”Kepemimpinan adalah Suatu

hubungan di mana seseorang berusaha untuk mempengaruhi pikiran, kebiasaan,

keyakinan atau nilai-nilai dari orang lain”. Sedangkan menurut Louis A.

Allen ”Kepemimpinan adalah bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada orang
20

lain dalam usahanya untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan adalah proses untuk

mendapatkan hasil melalui atau bersama orang lain”.

Dari berbagai pengertian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa

sebenarnya inti dari kepemimpinan adalah ”Pengaruh”. Dalam hal ini secara arti kata

antara kata pemimpin dan kepemimpinan tetap ada perbedaan yakni Pemimpin adalah

orang yang dapat mempengaruhi anggota kelompoknya untuk bekerja sama dalam

mencapai tujuan bersama, sedangkan kepemimpinan adalah seni dan ilmu yang dimiliki

oleh seorang pemimpin untuk mempengaruhi anggota kelompoknya agar mereka mau

bekerja sama dalam mencapai tujuan tersebut.

Father Anthony D’Souza dalam bukunya Developing The Leader Within You,

Strategies for Effective Leadership yang dikutip oleh Sudomo (2005: 13)

mengatakan ”Kepemimpinan adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhui

kinerja suatu organisasi. Pemimpin adalah seseorang yang tahu jalannya, menunjukkan

jalannya dan berjalan di jalan tersebut”.

2. Kepemimpinan Religius

a. Kepemimpinan religius menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK)

Kepemimpinan dalam hidup religius pada hakikatnya mengacu pada tujuan

hidup religius itu sendiri, yakni mencapai kesempurnaan hidup Injili. Seorang

pemimpin religius dalam menjalankan fungsi dan peranannya hanya semata-mata demi

menghadirkan kabar gembira Kerajaan Allah di tengah-tengah komunitas yang

dipimpinnya sekaligus berjuang untuk mengejawantahkan nilai-nilai Injili itu di dalam

kehidupan sehari-hari. Apabila hal ini yang dipegang teguh dan dihayatinya maka

bukan lagi ambisi dan obsesi pribadi yang berjalan malainkan kehendak Allah dan

tarekatlah yang diperjuangkannya. Hal ini sesuai dengan apa yang digambarkan oleh
21

para Bapa Gereja tentang kepemimpinan religius sebagaimana termaktub dalam Kitab

Hukum Kanonik, Bab II khususnya dalam kanon 618 :

Para pemimpin hendaknya menjalankan kuasa yang diterima dari Allah lewat
pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan
tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, serta mengusahakan
ketaatan sukarela mereka dengan menghargai kepribadian manusiawi mereka,
dengan senang hati mendengarkan mereka serta mengajukan peran serta mereka
demi kebaikan tarekat dan gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang
mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus
dilaksanakan (KHK, no. 618, 1999: 193).

Dalam hal ini anjuran para Bapa Gereja di atas mau menegaskan kepada para

pemimpin religius bahwa mereka pertama-tama harus menyadari bahwa tugas

kepemimpinan yang mereka emban adalah melulu merupakan kepercayaan yang

dianugerahkan Allah bagi mereka. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas

kepemimpinan, mereka harus peka, tanggap dan taat terhadap kehendak Allah yang

mewujud dalam pengabdian dan pelayanannya terhadap para anggotanya dan juga

orang-orang yang mereka layani, dengan mendengarkan, menghargai dan melibatkan

mereka secara aktif demi perkembangan tarekat dan misi-misinya.

Selain itu, dalam KHK kanon 619 para Bapa Gereja menegaskan sekali lagi

tentang bagaimana caranya para pemimpin Gereja khususnya para pemimpin religius

menjalankan fungsi kepemimpinannya sebagai wujud pelayanan mereka kepada para

anggotanya, yakni :

Para pemimpin hendaknya menunaikan tugas mereka dengan tekun dan


bersama dengan anggota yang dipercayakan kepada dirinya berusaha
membentuk komunitas persaudaraan dalam kristus, di mana Allah dicari dan
dicintai melebihi segala sesuatu. Maka mereka hendaknya kerapkali memberi
santapan rohani kepada para anggota dengan sabda Allah dan mengajak mereka
merayakan ibadat suci. Hendaknya memberi teladan kepada mereka dalam
membina keutamaan-keutamaan serta dalam menaati peraturan-peraturan dan
tradisi tarekatnya sendiri; membantu secara layak dalam hal kebutuhan-
kebutuhan pribadi mereka, memperhatikan dan mengunjungi yang sakit,
menegur yang rewel, menghibur yang kecil hati, sabar terhadap semuanya
(KHK, no. 619, 1991: 194).
22

Pemimpin religius adalah orang yang dipercaya oleh tarekat untuk menerima

dan melaksanakan tugas suci dari Allah. Oleh karena itu pemimpin hendaknya

menerima tugas itu dengan tulus dan rendah hati serta berusaha menjalankannya

dengan tekun dan penuh tanggung jawab. Pemimpin juga harus menyadari bahwa

dalam mengemban tugas kepemimpinan itu tidak sendirian melainkan, bersama para

anggota tarekat atau anggota komunitas yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Maka

dari itu ia harus menerima, menghargai, mengarahkan serta membimbing mereka untuk

membangun suatu komunitas kristiani dalam Kristus, di mana Allah dicari, dicintai dan

diabdi melebihi segala sesuatu. Dalam hal ini tugas seorang pemimpin adalah

memberikan perhatian yang tulus dan secara holistik yakni perhatian dan pelayanan

yang mencakup unsur rohani dan jasmani para anggotanya sesuai dengan tradisi serta

semangat tarekat yang dihayatinya. Berkaitan dengan hal itu, Soenarja (1984: 26)

berkata:

Kepemimpinan harus didasarkan pada hidup religius sejati: santo-santa


pemimpin religius suci di dalam Gereja, para pendiri biara yang diakui agung,
menjadi sumber terang bagi umat Allah. Maka tuntutan pertama dalam
pembentukan pemimpin adalah pendidikan dasar dalam kehidupan membiara
yang kuat, murni dan lengkap. Hidup membiara tidak akan bertumbuh kuat,
kalau tidak didasarkan pada motivasi-motivasi murni dan menjadi semakin
murni dengan bertambahnya usia. Untuk perkembangan hidup membiara di
dalam rahmat Tuhan, dari pihak manusia perlu diusahakan pengetahuan yang
lengkap. Penghayatan panggilan secara murni dan utuh memungkinkan
pertumbuhan kuat, dan tahan menghadapi segala tantangan. Ketahanan dan
kekuatan ini sangat perlu agar tidak mendua dalam bersikap dan mengambil
keputusan, yakni maju mundur, menjadi takut atau acuh, melainkan tetap
berjuang dan justru berkembang, dalam menghadapi tantangan dan tuntutan
zaman yang semakin tinggi.

Dengan melihat realitas kehidupan para religius dewasa ini, baik para pemimpin

maupun para anggotanya, tanpa kecuali para Frater Bunda Hati Kudus, dalam

menghayati hidup sehari-hari khususnya dalam mengemban tugas perutusan tarekat,

orang mulai memisahkan antara tuntutan karir dan kehidupan rohani. Dampaknya
23

adalah kerap kali kehidupan rohani dan penghayatan nilai-nilai hidup berkomunitas

terabaikan atau dinomorduakan, akhirnya orang lebih mengejar prestasi dan prestise

dari pada makna dan nilai hidup religius dibalik perutusan itu sendiri. Berkaitan dengan

situasi ini, Soenarja (1984: 27) berkata:

Seorang pemimpin religius dalam memberikan penugasan bagi para anggotanya,


ia harus menyadari bahwa penugasan itu harus dibagi dan ditujukan demi
kesejahteraan anggota, dan bukan anggota ditekan demi kelangsungan dan
kesuksesan peraturan. Oleh karena itu, kerohanian harus tetap diutamakan
melabihi ”kesibukan tugas”, pribadi anggota lebih berharga daripada prestasi
kerja. Keberesan dituntut dan diandaikan, tetapi keberesan menyeluruh tetap
mengutamakan unsur-unsur rohani dan nilai-nilai kebiaraan; berani
mempertanggungjawabkan sesuatu yang tidak selesai seperti yang diharapkan,
kalau dirasa ada nilai-nilai rohani atau nilai-nilai lain yang perlu dipreoritaskan.
Dalam penugasan ada pembicaraan, dialog, pertanggungjawaban penuh. Dan di
sini kiranya terbuka kesempatan bagi pembimbing rohani untuk meletakkan
dasar doa dan karya, pekerjaan yang dilihat, direncanakan, dilaksanakan dan
dievaluasi dalam suasana doa. Di sini dapat dilatih pengabdian dalam kerja,
menjadi penghayatan cinta kasih dalam pelayanan kepada sesama, betapa pun
kecil dan sederhana bentuknya. Di sini orang bisa mengintrospeksi diri sendiri,
apakah dalam pekerjaan ia lebih cenderung pada dominasi dan penguasaan, atau
menempuh jalan pelayanan dan cinta kasih, di mana bukan diri sendiri menjadi
pokok kepentingan, melainkan sesama yang dilayanilah yang menjadi pusat
perhatiannya.

Sesungguhnya inilah nilai dan makna terdalam dari hidup religius yang harus

ditanamkan dan dihayati oleh para pemimpin religius dan para anggotanya termasuk

para pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dan para anggotanya.

Dengan demikian kehadiran hidup para religius sungguh-sungguh menjadi tanda

kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan di dunia ini dan sekaligus

menjadi sumber kabar suka cita bagi sesama, atau dengan kata lain para religius dapat

berperan sebagai garam dan terang dunia di tengah kehidupan dunia yang semakin

memprihatinkan ini. Berkaitan dengan hal ini, Timothy Radcliffe, (2009: 11)

berkata ”Panggilan kita sebagai biarawan- biarawati berperan untuk menyinari

panggilan umat manusia. Kalau tidak, kita hanya menghambur-hamburkan waktu.”


24

b. Kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus sebagai salah satu lembaga religius laikal

keuskupan, secara institusional tentu saja tidak terlepas dari struktur kepemimpinan

yang harus dimiliki sebagai istrumen yang dapat merencanakan, merumuskan,

melaksanakan dan mengontrol serta mengevaluasi hidup dan perkembangan dari

tarekat berdasarkan visi-misi dan spiritualitas yang dikembangkan dan dihayatinya.

Semangat kepemimpinan yang dihayati dalam kepemimpinan para Frater Bunda Hati

Kudus pun tidak terlepas dari semangat kepemimpinan yang telah diwariskan oleh sang

pendiri Mgr. Andreas I. Schaepman, yang termaktub dalam mottonya: “In Sollicitudine

et Simplicitate” (Dalam Keprihatinan dan Kesederhanaan).

1). Kepemimpinan Mgr. A. I. Schaepman

Mgr. A.I. Schaepman lahir di kota Zwolle, Belanda, pada tanggal 04 September

1815 dan pada hari yang sama kanak-kanak ini dibaptis dalam gereja yang disebut

“Borger”. Ia merupakan anak kelima dari Sembilan bersaudara. Ayahnya bernama P.H.

Schaepman dan ibunya Elisabet I.B. Kistemaker. Mengenai masa kecilnya tidak

diketahui secara pasti kecuali sebuah peristiwa yang sangat mengagumkan yang sempat

terekam yakni bahwa ia secara istmewa dilindungi dan diselamatkan oleh

penyelenggaraan Ilahi dari suatu kematian yang menyedihkan yang mengincarnya

setelah ia terapung selama beberapa jam di atas air sungai yang menghanyutkannya.

Dalam usia 10 tahun Mgr. Schaepman menempuh pendidikan ilmiahnya yang

pertama di sebuah sekolah berasrama yang dipimpin Tuan van den Heuvel di

Ravensteyn, Belanda. Karena ia merasa diri dipanggil untuk menjadi imam, maka studi

selanjutnya untuk mempelajari bahasa Latin yang ditempuhnya di Gymnasium di

Oldenzaal, Belanda. Sedangkan pendidikan teologinya ditempuhnya di seminari di kota


25

‘s Heerenberg, Belanda. Ia memiliki semangat belajar yang tinggi. Selain itu ia juga

memiliki bakat seni yakni menggambar, yang di kemudian hari ia tunjukkan dan

salurkan lewat dukungan dan usahanya demi pelestarian dan pengembangan karya-

karya seni serta kesenian gerejani (Fransiskus, 1998: 17).

Schaepman dithabiskan imam pada tanggal 09 Maret 1838 oleh Mgr. van

Wijckerslooth, Uskup i.p.i. (in partibus infidelium) Corium, dan ia mempersembahkan

misa perdananya di Gereja Sta. Maria di Zwolle. Setelah penthabisannya ia ditugaskan

sebagai pastor paroki di Gereja Sta. Maria di Zwolle kota kelahirannya. Pada tahun

1843 Pastor Schaepman diutus lagi ke Ommerschans. Di sana ia bersuaha untuk selalu

berada bersama para kaum pekerja yang setiap hari bekerja menggali tanah liat untuk

kemudian dijadikan batu merah/ bata. Di tengah-tengah mereka, Schaepman belajar

untuk menjaga dan mencintai orang-orang yang paling ditinggalkan/ disingkirkan

dalam masyarakat. Ia selalu menunjukkan sifat kebapaannya yang penuh kelembutan

dan kesederhanaan. Namun tiga tahun kemudian yakni tahun 1846 ia diangkat menjadi

pastor paroki di Assen, dan di tempat inipun ia selalu diterima dan dicintai oleh

umatnya yang pada umumnya orang-orang kecil dan sederhana (Fransiskus, 1998: 1).

Pada tahun 1857 Pastor Schaepman dipindahtugaskan kembali di kota asalnya,

kota Zwolle dan bertugas sebagai pastor paroki di Paroki St. Mikhael. Selanjutnya

tepatnya taggal 29 September 1857 oleh Mgr. J. Zwijsen (uskup agung Utrecht) Pastor

Schaepman diangkat menjadi rektor seminari tinggi di Rijsenburg dan pada tanggal 08

Mei 1858 ia diangkat lagi menjadi Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Utrecht untuk

membantu Mgr. J. Zwijsen yang wilayah penggembalaannya sangat luas. Namun tidak

hanya sampai di sini, sebab pada taggal 08 Desember 1858 ia diangkat oleh Paus Pius

IX menjadi Proost (Ketua) Kepitel Gereja metropolitan Utrecht dan sekaligus sebagai

penasihat pertama Mgr. J. Zwijsen. Dalam menjalankan tugas pelayanannya sebagai


26

pastor dan vikjen, ia sangat dikenal rendah hati dan bijaksana sehingga ia selalu

diterima oleh semua kalangan (Fransiskus, 1998: 20).

Pada tanggal 08 Juli 1860 Pastor Schaepman diangkat oleh Bapa Suci Paus Pius

IX menjadi uskup Esebon, dalam kedudukan ini ia sekaligus menjadi uskup co-ajutor

bagi Mgr. J. Zwijsen di Keuskupan Agung Utrecht. Misa thabisan uskupnya

diterimakan oleh Mgr. van Vree di kapela seminari tempat ia bekerja dulu pada taggal

26 Agustus 1860. Dalam menerima thabisan uskupnya, ia memilih motto:

“INSOLLICITUDINE ET SIMPLICITATE” (Dalam Keprihatinan dan Kesederhanaan).

Dengan moto ini ia bersumpah di depan uskup agungnya, bahwa ia ingin menjadi

seorang gembala yang penuh perhatian bagi orang-orang yang dipercayakan kepadanya,

yakni kaum beriman yang digembalakannya, bahwa dalam kesederhanaan hati ia ingin

menjadi seorang bapak yang penuh cinta kasih bagi mereka. Janjinya ini secara

simbolik ditampilkannya dalam gambar perisainya sebagai uskup: “seorang gembala

dengan beberapa ekor domba”. Perhatian dan pelayanan yang tulus dari kegembalaan

Mgr. Schaepman ini pun akhirnya mendapatkan perhatian dari pihak penguasa yakni

Kerajaan Belanda yang pada tanggal 12 Ferbruari 1867 menganugerahkan kepada Mgr.

Schaepman bintang/ lencana jasa “Bangsawan dalam Ordo Singa Belanda” (Fransiskus,

1998: 23).

Pada tanggal 07 Februari 1868 Mgr. A.I. Schaepman oleh Bapa Suci Paus Pius

IX diangkat sebagai uskup agung Utrecht, sedangkan Mgr. J. Zwijsen tetap menjadi

uskup di keuskupan Den Bosch. Thabisannya sebagai uskup agung Utrecht

diselenggarakan pada tanggal 09 Maret 1868 di Gereja Sta. Katarina (Fransiskus, 1998:

24).

Dalam menjalankan tugas penggembalaannya sebagai uskup agung Utrecht,

tantangan demi tantangan ia hadapi, sampailah pada suatu saat yang boleh dikatakan
27

sebagai tantangan dan peluang yakni pada tanggal 13 Agustus 1873 dalam situasi sulit

ia memutuskan untuk mendirikan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus yang

merupakan kongregasi bruder Belanda dengan mengemban misi di bidang pendidikan

untuk mengatasi kebobrokan di bidang pendidikan yang terjadi saat itu. Akhirnya ia

meninggal dunia pada taggal 19 September 1882. Namun sebelum meninggal yakni

dalam masa-masa kritisnya, ia masih menyempatkan diri menulis dan mengirim sebuah

surat kepada yang mulia Paus Pius IX. Dalam surat itu ia menyatakan imannya, dan

sekaligus memohon berkat khusus dari Bapa Suci bagi dirinya. Selain itu ia juga

berjuang dalam ketidakberdayaannya itu untuk menyempatkan diri memberikan

berkatnya sebagai uskup kepada semua imam dan umat beriman dalam keuskupannya,

dan akhirnya sesuai dengan motto thabisan uskupnya “In Sollicitudine et Simplicitate”

(Dalam Keprihatinan dan Kesederhanaan), ia memahkotai detik-detik terakhir hidupnya

dengan sebuah ucapan yang sangat mengharukan, penuh kerendahan hati, ia meminta

ampun atas segala sesuatu yang kurang baik yang mungkin pernah dilakukannya

terhadap umat kesayangannya di keuskupan agung maupun bagi siapapun yang pernah

berjumpa dengannya dan juga atas kekurangan-kekurangan dalam penunaian

kewajibannya sebagai uskup agung (Fransiskus, 1998: 29).

Dari seluruh perjalanan hidup dan kepemimpinan Mgr. A.I. Schaepman ini

dapat disimpulkan, bahwa ia merupakan seorang pemimpin dan gembala umat yang

penuh dedikasi, berbakat dan bertalenta melimpah. Satu hal yang paling istimewa

adalah bahwa ia memiliki kekayaan cinta yang luar biasa dalam hati dan hidupnya yang

selalu ia salurkan bagi domba-domba penggembalaannya, terutama bagi mereka yang

menderita miskin, sakit dan tersingkirkan. Selain itu dalam menunaikan tugas

penggembalaannya, ia terkenal sangat bijaksana dan penuh wibawa serta penuh

kesederhanaan dan kerendahan hati sebagaimana digambarkan dalam gambar moto


28

thabisan uskupnya yang tertera dalam perisai keuskupannya. Semua kekayaan ini telah

menghiasi seluruh perjalanan hidup dan kepemimpinannya sampai akhir hidupnya.

2). Kepemimpinan menurut Konstitusi Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus

Kepemimpinan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus secara yuridis termaktub

dalam konstitusi BHK no. 25 (Kapitel Umum, 1994: 49) yang berbunyi:

Melaksanakan kewenangan adalah sesuatu tindakan cinta kasih terhadap


persekutuan. Ia mendukung dan memperkuat kerukunan. Mereka yang diserahi
jabatan kepemimpinan memikul tanggung jawab tertentu. Namun semua
anggota ikut memikul tanggung jawab untuk seluruh persekutuan. Hal itu
menuntut adanya dialog.

Dengan demikian mau ditegaskan bahwa tugas kepemimpinan religius harus

dilihat sebagai perwujudan cinta kasih kita kepada Allah melalui persekutuan yang

memberikan kepercayaan itu. Dengan demikian tugas kepemimpinan religius adalah

untuk menyatukan segenap anggotanya dalam ikatan cinta kasih Kristus sendiri sebagai

pemimpin utama. Selain itu dalam menjalankan perannya, seorang pemimpin juga

harus mengusahakan terciptanya komunikasi dan dialog yang sehat dan jujur di antara

satu sama lain, baik antar pemimpin, pemimpin dengan anggota, maupun antar anggota,

sehingga dengan demikian tampaklah kehidupan persekutuan yang rukun , damai,

bersatu dan sejahtera.

D. Fungsi Kepemimpinan

Seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya ia harus

sungguh-sungguh memperhatikan apa yang menjadi fungsi dan wewenang

kepemimpinannya, sehingga kepemimpinannya dapat berjalan secara baik dan efektif.

Berkaitan dengan fungsi kepemimpinan ini, Niko Hayon (1988: 294-295)

mengemukakan beberapa fungsi kepemimpinan antara lain :


29

1. Fungsi mengambil Inisiatif (acting or initiating), yakni memulai sesuatu kegiatan,


menyarankan langkah-langkah dan mengusulkan tata cara.

2. Memberikan bimbingan (leading or supporting), yakni Memberikan bantuan moral,

menjadi contoh bagi anggota, membawa anggota ke jalan yang benar, membantu

mengurangi ketegangan-ketegangan yang ada dan menciptakan suasana yang

mempersatukan kelompok.

3. Mengatur (directing or regulating), yakni memberi petunjuk dan instruksi, memberi

arah dan tujuan, mengatur dan mempengaruhi kecepatan kerja.

4. Memberikan informasi (informing), yakni memberikan penjelasan yang perlu, dan

menyelesaikan usul-usul yang konkret.

5. Memberi motivasi (motivating), yakni Memberikan alasan-alasan dan dorongan-

dorongan, serta mengemukakan suatu latar belakang dari suatu tindakan.

6. Memberikan penilaian (Evaluating), yakni Membantu kelompok menilai keputusan,

tujuan dan tata kerja, partisipasi kelompok, hasil kerja dan sebagainya.

E. Karakteristik Kepemimpinan Religius

Tuntutan-tuntutan dalam kepemimpinan religius dalam banyak hal sama dengan

apa yang menjadi tuntutan kepemimpinan profan, namun ada tuntutan-tuntutan lain

yang lebih mendasar dan sekaligus merupakan kekhasan bagi kepemimpinan religius.

Keunikan karakteristik atau ciri-ciri pelayanan yang harus dimiliki dan diberikan oleh

seorang pemimpin religius kepada para anggotanya sebagaimana dikemukakan oleh

Darminta (2005: 28-34) adalah sebagai berikut :


30

1. Melindungi Kharisma Pendiri

Pemimpin religius adalah orang yang bertanggungjawab atas perkembangan

tarekat religius khususnya dan Gereja pada umumnya. Tidak dapat disangkal bahwa

zaman telah berubah dan kemajuan teknologi telah menguasai segala aspek kehidupan

manusia dari saat ke saat. Kenyataan ini di satu sisi telah membawakan sesuatu yang

positif namun di sisi lain juga ada dampak-dampak negatif bagi pertumbuhan dan

perkembangan hidup manusia terutama hidup para religius. Oleh karena itu dalam

menghadapi situasi ini, para pemimpin religius sebagai penanggungjawab

kelangsungan hidup tarekat dan para anggotanya tidak boleh melupakan atau

meninggalkan apa yang menjadi “Kharisma dan semangat pendiri”. Dalam hal ini

mereka harus berpegang teguh padanya sebagai “api” dan “roh” yang senantiasa

memberikan semangat serta inspirasi dalam memaknai perjalanan panggilan hidup

mereka sehari-hari sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman.

2. Memajukan Kesatuan dan Persatuan

Persaudaraan dan ikatan kasih merupakan sesuatu yang mendesak untuk

dibangun dalam penghayatan hidup bersama sebagai komunitas religius. Persaudaraan

yang dibangun hendaknya berdasar pada “kesadaran yang tinggi akan nilai pribadi,

nilai perbedaan aspirasi dan gerak-gerak batin yang hidup”. Dalam membangun

persaudaraan ini pemimpin hendaknya mendorong dan mengarahkan anggotanya untuk

menciptakan suatu komunitas yang harmonis dan memberi kesempatan kepada

anggotanya untuk saling berbagi dan melengkapi satu sama lain dari segala kelebihan

dan kekurangannya masing-masing.


31

3. Hormat Terhadap Pribadi

Seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya harus selalu

mengedepankan sikap hormat terhadap masing-masing pribadi para anggotanya. Ia

juga harus selalu menyadari bahwa ia memiliki tanggung jawab penuh untuk

mengembangkan kepribadian masing-masing anggotanya sesuai dengan bakat dan

talenta yang dimilikinya. Hormat terhadap pribadi didasarkan pada pemahaman bahwa

hak-hak pribadi merupakan sesuatu yang luhur dan mulia. Hormat terhadap pribadi

juga berarti berusaha menghargai ide-ide dan perasaan-perasaan sesama anggotanya,

berusaha menemukan dan mengembangkan kualitas-kualitas atau sifat-sifat positif yang

ada dalam pribadi para anggota yang dipimpinnya.

4. Kasih dan Percaya

Salah satu ciri dari kepemimpinan religius adalah menyatakan dan

menunjukkan kasih Allah dalam hidupnya kepada para anggota. Kasih dan kepercayaan

merupakan tanda untuk membuktikan bahwa apakah relasi pribadi yang terbangun

antara pemimpin dan para anggotanya benar-benar otentik atau tidak. Bila tidak ada

kasih dan kepercayaan di antara kedua belah pihak, maka dalam hubungan di antara

keduanya akan muncul ketakutan, hambar, kaku, penuh ketegangan dan penuh curiga.

Hubungan seperti ini akan membekukan relasi antar pribadi dan bahkan bisa

mematikan daya rasuli yang hendak dibangun dan dihayati. Sebaliknya apabila relasi

yang dibangun di antara pemimpin dengan para anggotanya didasari oleh nilai kasih

dan kepercayaan satu sama lain, maka akan nampak keharmonisan, saling menghargai

dan saling percaya satu sama lain, yang dengan sendirinya akan turut meningkatkan

semangat kerasulan mereka bagi sesama.


32

5. Menafsir Tanda-tanda Zaman

Hidup di zaman sekarang ini harus disadari bahwa tidak hanya Roh Kudus yang

berkarya dalam diri manusia dan dunia tetapi kejahatan pun berjuang lebih giat dengan

segala tipu muslihatnya untuk merusak manusia dan dunia ini. Karena itu seorang

pemimpin religius perlu mengembangkan kemampuan pembedaan roh dan

meningkatkan kualitas relasinya dengan yang Ilahi. Sangat penting diketahui

bagaimana seorang pemimpin menemukan gejala-gejala atau kecenderungan yang

terjadi dalam hidup sehingga dapat membawa dia ke suatu pengarahan yang bijaksana

dan seturut kehendak Allah. Tanda-tanda zaman memang selalu bersifat mendua dan

misteri, maka itu perlu diteliti dan dicermati sehingga tidak merusak kehidupan

bersama dalam tarekat. Cara yang tepat dan efektif untuk membaca tanda-tanda zaman

adalah selalu mengarahkan hidupnya kepada Kristus dan melihat sesuai dengan “mata”

Kristus, tanda-tanda zaman tersebut, kemudian berusaha menemukan nilai positif di

baliknya untuk kemudian dikembangkan dalam hidup sehari-harinya.

6. Menyesuaikan Unsur-unsur Positif

Tidak perlu diragukan lagi bahwa tanda-tanda zaman selalu mengandung nilai-

nilai positif atau mengandung janji serta undangan Allah untuk hidup secara baru dan

bernilai. Semuanya itu perlu diterjemahkan ke dalam hidup sehari-hari dan dalam hidup

kelembagaan. Dialog, tanggung jawab, prinsip subsidiaritas, komunikasi antar pribadi,

dan sebagainya memberi kesempatan kepada komunitas dan pribadi-pribadi untuk

memperoleh inspirasi serta cara-cara baru dalam menghayati panggilan dan

perutusannya.
33

7. Memberi Inspirasi

Pemimpin yang hidup di tengah-tengah situasi yang penuh ketakutan, keraguan,

ketidakpastian, dan ketidakberdayaan yang sering membawa kerapuhan, dalam situasi

yang memunculkan sikap pesimistis dan putus asa, perlu memberikan inspirasi dan

daya hidup bagi orang-orang di sekitarnya terutama para anggotanya. Untuk itu seorang

pemimpin perlu memiliki iman yang mendalam akan cinta kasih Allah. Ia juga perlu

memiliki kebesaran jiwa dan kedewasaan yang menjadikannya benar-benar siap dan

tulus menerima anggota-anggotanya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.

Pemimpin hendaknya juga memiliki kepekaan dan keterbukaan hati terhadap

Roh Kudus. Dengan demikian ia akan memiliki keberanian untuk maju, memiliki visi

yang luas dan membangun, semangat dan keteguhan untuk berjuang tanpa henti

melawan berbagai macam ketakutan ketidakpastian, kemapanan palsu, kecemasan

ataupun kesuraman hidup.

8. Orang Yang Memperbaharui Diri Terus-menerus

Hal ini menjadi tuntutan dasar untuk menjadi pemimpin sejati di zaman

sekarang. Pada dasarnya gambaran seorang pemimpin religius adalah orang yang selalu

sadar akan terjadinya perubahan terus-menerus dalam lingkungannya. Dia mau

menerima kenyataan apapun bentuknya, bukannya merasa mapan dan puas dengan apa

yang dicapainya saat ini. Pemimpin religius adalah orang yang terbuka dan bersedia

melakukan pembaharuan terus-menerus dalam hidupnya.

Berikut ini beberapa hal yang menunjukkan pembaharuan diri seorang

pemimpin religius menurut, Darminta (2005: 36-44) adalah sebagai berikut:


34

a). Mengatasi rutinitas

Rutinitas sering membawa kejenuhan dalam hidup maupun karya. Karena itu

pemimpin perlu berjuang untuk tidak terikat dengan kebiasaan-kebiasaannya sendiri. Ia

perlu memupuk semangat untuk mempersembahkan pelayanan yang lebih dan terbuka

mendengarkan pendapat orang lain ataupun koreksi persaudaraan untuk memperbaharui

dan membangun diri terus-menerus.

b). Berani mengambil resiko berbuat salah

Seorang pemimpin harus berani melakukan percobaan-percobaan atau

terobosan-terobosan baru dalam kepemimpinannya. Tetapi ia juga harus berani dan siap

untuk menghadapi dan menanggung segala resikonya. Bila itu terjadi maka pemimpin

tidak takut akan adanya penilaian dan kritikan yang dilontarkan kepadanya. Ia tidak

menjadi orang yang keras kepala atau keras hati namun sebaliknya menjadi semakin

terbuka dan rendah hati mengakui segala kelemahannya. Ia juga akan memiliki daya

tahan untuk tidak menyerah dan berani memulai lagi. Seorang pemimpin yang selalu

merasa diri benar tidak akan mampu mendorong dan mengundang kepercayaan dari

anggotanya.

c). Terus-menerus mempelajari sasaran rasuli

Pembaharuan yang memiliki dasar kuat memerlukan analisis-refleksi yang

mendalam dan terus-menerus atas tujuan-tujuan apostolis serta tujuan yang mau dicapai

dalam kerasulan. Menentukan prioritas disertai kreativitas yang tinggi sangat

diperlukan oleh pemimpin di zaman sekarang.


35

d). Menyesuaikan cara memimpin

Pembaharuan struktur organisasi yang ada dalam konstitusi harus sungguh

dipahami dan dimengerti oleh seorang pemimpin. Sebagai gerakan, jiwa dan semangat,

hidup seorang religius hendaknya membentuk struktur-struktur baru yang lebih

manusiawi yang menopang penghayatan hidup religius dan perkembangan tarekat.

Unsur-unsur baru seperti dialog, komunikasi, prinsip subsidiaritas, dicermen dan

sebagainya merupakan unsur-unsur penting yang perlu dalam mengembangkan relasi

horisontal antara pemimpin dengan anggotanya, sehingga nampak bahwa relasinya

tidak melulu bersifat vertikal atau atasan-bawahan, namun sebaliknya membangun

suatu relasi horisontal yang mengutamakan kesederajatan dan menjunjung tinggi

martabat manusia sebagai makhluk yang diciptakan secitra dengan Allah.

e). Memajukan komunikasi yang sehat

Pemimpin yang sadar akan perlunya pembaharuan diri terus-menerus juga

akan tahu pentingnya nilai komunikasi. Komunikasi bukan sekedar saling

menyampaikan gagasan serta perasaan emosi. Lebih dalam lagi komunikasi berarti

pemberian diri dalam cinta. Tugas seorang pemimpin adalah mempermudah

komunikasi antar anggotanya, ia berusaha mengikis sekat-sekat yang menghalangi

perkembangan jasmani dan rohani para anggotanya. Hubungan dan komunikasi yang

sehat antara pemimpin dan anggota akan menumbuhkan rasa saling pengertian,

pengakuan dan hormat satu sama lain.

F. Gaya Kepemimpinan

Berbicara soal gaya kepemimpinan telah banyak ahli mengemukakan berbagai

teori tentang gaya-gaya kepemimpinan, yang kesemuanya tentu saja memiliki makna

dan arti yang sangat positif bagi peningkatan mutu kepemimpinan dalam setiap tataran
36

kehidupam manusia, baik itu menyangkut pribadi maupun organisasi. Berkaitan dengan

gaya-gaya kepemimpinan ini, Sudomo (2005: 44-46) mengetengahkan beberapa gaya

kepemimpinan di antaranya adalah :

1. Kepemimpinan otoriter, yakni kepemimpinan yang cenderung menganggap

organisasi atau tarekat sebagai miliknya sendiri. Ia selalu bertindak diktator dan

menganggap anggota yang lain hanya sebagai obyek atau alat belaka. Dengan

demikian ia memerintah dengan tangan besi dan ia hanya memberi perintah atau

instruksi, tanpa memberi kesempatan kepada anggota untuk menyampaikan aspirasi

dan pendapatnya.

2. Kepemimpinan paternalistik, yakni kepemimpinan yang lebih bersifat kebapaan/

keibuan. Gaya pemimpin ini cenderung menganggap anggotanya sebagai anak-anak

yang belum dewasa dan masih membutuhkan bantuan dan perlindungan. Gaya

pemimpin seperti ini jarang memberi kesempatan kepada anggotanya untuk

mengambil keputusan dan bertindak serta berinisiatf sendiri yang dampaknya para

anggotanya menjadi bergantung pada pemimpinnya.

3. Kepemimpinan demokratis, yakni kepemimpinan yang lebih bersifat kerakyatan

dan mengutamakan persaudaraan. Ia memberikan kesempatan kepada anggota

untuk menyampaikan gagasan dan pendapatnya. Ia juga memberi kepercayaan

kepada anggotanya untuk mengambil keputusan dan bertindak serta berinisiatif

secara bersama sebagai suatu tim, Pemimpin cukup memberi arahan-arahan yang

perlu.

4. Kepemimpinan bebas (Free Reign Leadership), yakni kepemimpinan yang

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada anggotanya untuk mengambil


37

keputusan, tindakan dan inisiatif sendiri. Pemimpin hanya bertugas untuk

memfasilitasi. Dalam gaya kepemimpinan seperti ini, pengarahan, bimbingan, dan

pengendalian tidak ada atau sangat kurang.

5. Kepemimpinan birokratis, yakni kepemimpinan yang selalu merujuk pada peraturan

organisasi. Pemimpin meyakini bahwa segala sesuatu akan berjalan lancar apabila

semua orang patuh pada peraturan. Pengambilan keputusan oleh pemimpin selalu

diambil menurut prosedur rapat atau persidangan.

6. Kepemimpinan permisif, yakni kepemimpinan yang selalu menjaga agar seluruh

anggota selalu merasa puas dan gembira. Ia meyakini bila orang merasa baik dan

tidak bermasalah dengan dirinya, oranganisasi akan dengan sendirinya berfungsi

dan pekerjaan pun akan cepat selesai.

7. Kepemimpinan partisipasif, yakni kepemimpinan yang selalu memotivasi anggota

dengan cara melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Dengan

demikian, anggotanya akan merasa turut memiliki dan bertanggungjawab terhadap

tujuan lembaga/ kongregasi.

Dari semua gaya kepemimpinan di atas menurut Myron Rush, “Tidak ada satu

gaya kepemimpinan yang paling baik”. Sedangkan Tet W. Engstrom dan Edward R.

Dayton berpendapat bahwa “Para pemimpin memerlukan gaya yang berbeda pada saat

yang berlainan”. Artinya, para pemimpin perlu dapat menerapkan semua gaya sesuai

dengan situasi dan kondisi orang-orang yang dipimpinnya.

Keberhasilan seorang pemimpin bergantung pada kecakapannya menerapkan

gaya kepemimpinannya pada saat yang tepat. Inilah yang disebut sebagai gaya

kepemimpinan situasional.
38

G. Situasi dan Tantangan Kepemimpinan Religius

Tantangan-tantangan yang dihadapi dan dirasakan oleh para pemimpin religius

di era post-modern saat ini boleh dikatakan sangat rumit dan sekaligus semakin

mengaburkan prospek kepemimpinan religius di masa yang akan datang. Dalam hal ini

Prasetyo (2003: 10-12) secara rinci mengemukakan 7 jenis tantangan yang sedang dan

yang akan dihadapi dan dirasakan, baik oleh para pemimpin religius maupun oleh para

anggotanya sebagai anak zaman sebagai berikut:

1. Tidak terjadinya proses inkorporasi, akibatnya orang melihat kedudukan, peranan,


fungsi, dan tugas perutusan sebagai status dan jejang karier yang sulit untuk
dilepaskan. Ia berjuang sekuat tenaga dan dengan berbagai cara untuk
mempertahankannya, dan akibatnya ia cenderung menjadi tidak taat pada institusi.

2. Adanya kelekatan yang tak teratur terhadap barang, jabatan maupun pekerjaan yang

dimilikinya, sampai ia merasa bahwa semuanya itu merupakan segalanya baginya.

Terlebih lagi kalau semuanya itu sempat menciptakan popularitas dan penghargaan

yang tinggi baginya.

3. Adanya hukum senang, yakni ia menjadi tertutup dan kurang mendengarkan karena

kerohanian dangkal dan cenderung mengikuti apa yang lebih disenanginya dari

pada apa yang dikehendaki dan berkenan kepada Tuhan, maka terjadilah sistem

nilai subyektif yang membuatnya tidak terbuka terhadap situasi yang nyata dan

sekaligus tidak mau mendengar lagi pengarahan dari pimpinan. Hal seperti ini

membuat orang menjadi tidak realistis dalam bersikap, mempunyai idealisme

sendiri atau bahkan utopi yang sulit diintegrasikan dengan apa yang menjadi visi-

misi tarekat.
39

4. Adanya kebutuhan-kebutuhan psikologis tertentu yang lebih dominan dalam dirinya

sampai membuatnya menjadi fanatik dan tidak terbuka pada kenyataan obyektif

dari tarekat. Hal ini terkait dengan kelemahannya seperti haus popularitas dan

prestasi sebagai akibat adanya kelekatan terhadap kedudukan dan status yang

disandangnya. Kalau ia pernah menjadi pemimpin dan dengan pencapaian beberapa

prestasi, maka ia akan terus merasa berjasa dan merasa sebagai anggota tarekat

yang paling penting dan ia akan selalu menuntut dan mengatur padahal ia sudah

bukan pimpinan lagi.

5. Adanya sistem senioritas yang cenderung feodal yang kadang-kadang masih

menyelinap dalam diri para religius. Mereka ini diam-diam menuntut haknya

sebagai senior dan menjadi mudah tersinggung bila tidak diperhitungkan, ingin

memegang pos-pos penting dalam tarekat dan enggan menyerahkannya kepada

yang muda. Regenerasi membuat mereka merasa terancam kedudukannya. Mereka

juga menjadi tidak percaya dengan yang muda karena mereka takut jangan-jangan

apa yang telah mereka perjuangkan dan menuai hasil akan menjadi gagal di tangan

para generasi penerus. Selain itu, mereka juga ada yang mendasarkan

kebanggaannya pada keberhasilan dan kejayaan masa lalu. Maka setelah yang muda

memegang pimpinan, yang tua justru menjadi rewel, banyak melontarkan kritik

yang tidak membangun dan tidak menunjukkan adanya dukungan yang tulus.

6. Adanya segi fisik dan kemampuan yang semakin menurun dan tidak diimbangi

dengan kerohanian yang makin mendalam, berakibat kurang bisa menerima

pertumbuhan secara realistis, dan kurang mampu menerima kenyataan dirinya yang

mulai kurang mampu. Ia tidak menyadari bahwa Yesus pun menyerahkan


40

kepemimpinan-Nya kepada para murid dan pengganti-pengganti-Nya dalam Gereja

sampai sekarang.

7. Adanya nafsu duniawi termasuk nafsu kedagingan yang sering berkuasa secara

bawah sadar, terutama yang terkait dengan kebutuhan psikologis yang sentral pada

hal tidak mendukung panggilan religiusnya sendiri. Akibatnya hidupnya menjadi

kacau karena dikuasai oleh nafsu seksual dan libido yang tak pernah diolah tetapi

malah dinikmati”. Orang yang dikuasai oleh nafsu seksual dan libido seringkali

dipengaruhi oleh kecenderungan untuk secara terus-menerus mengakses dan

menikmati sajian-sajian pornografi apapun cara dan bentuknya. Berkaitan dengan

hal ini Jofizal Janis, (Kepala Pusat Pemeliharaan, Peningkatan, dan Penanggulangan

Inteligensia Kesehatan Departemen Kesehatan) berkata:

Kecanduan pornografi dan narkoba akan mengakibatkan kegagalan adaptasi


sosial. Sebab kecanduan pornografi dan narkoba tersebut akan merusak
fungsi otak dan struktur otak dengan pola yang sama dengan gejala-gejala
adiksi fisiologis karena obat-obatan dan alkohol (Kompas Sabtu, 24/01-
2009: 12).

Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan, Sjafi’I Ahmad dalam

seminar bertema: “Memahami Dasyatnya Kerusakan Otak Anak akibat Kecanduan

Pornografi dan Narkoba”, Senin (2/3-’08) di Jakarta, berpendapat bahwa

“pornogari memicu kekerasan seksual dan menurunkan mutu sumber daya

manusia”.

Lebih lanjut Donald L. Hilton Jr. (Ahli bedah syaraf Rumah Sakit San Antonio, AS)

berkata:

Kecanduan pornografi akan mengakibatkan otak bagian tengah depan


(ventral tegmentalarca) mengecil. Penyusutan sel otak yang memproduksi
dopamine, zat kimia pemicu rasa senang, itu mengacaukan cara kerja
neorottransmitter, pengirim pesan. Selain itu, paparan pornografi juga
menyebabkan perubahan konstan pada neurotransmitter dan melemahkan
fungsi kontrol, sehingga orang yang kecanduan pornografi tersebut tak bisa
41

mengontrol perilaku seksnya dan mengalami gangguan memori


(Kompas,Sabtu, 24/01-2009: 12).

Hilton lebih lanjut menganjurkan agar orang-orang yang kecanduan ini

perlu menjalani terapi. Maka di sini Hilton mengusulkan empat langkah metode

yang dapat digunakan antara lain “Memotivasi pecandu sehingga mau berupaya

terbebas dari kecanduan, menciptakan situasi aman dengan menghambat akses pada

pornografi, membentuk grup konselor sebaya, dan memperkuat spiritualitas/

kehidupan rohaninya” (Kompas,Sabtu, 24/01-2009: 12).

Apabila penghayatan hidup rohani seorang religius semakin dangkal akibat

krisis-krisis tertentu yang dialaminya, ia akan mudah jatuh dalam kecendrungan

seksual yang tidak sehat, sebagaimana digambarkan di atas.


42

BAB III

TAFSIRAN INJIL YOHANES 10: 11-15

SEBAGAI INSPIRASI KEPEMIMPINAN KRISTIANI

Dalam perikop Injil Yohanes 10: 11-15, Yesus secara istimewa ingin

menunjukkan kedalaman relasi kasih-Nya dengan umat beriman dengan menempatkan

diri sebagai seorang gembala yang baik yang senantiasa hadir, tinggal dan hidup

bersama para kawanannya untuk merawat, memperhatikan dan merasakan apa yang

menjadi suka dan duka mereka. Dengan demikian Ia ingin menunjukkan kepada para

pemimpin Yahudi dan tak terkecuali para pemimpin Kristiani dan religius kapan, dan di

mana pun, serta siapa pun dia, tentang siapa sesungguhnya pemimpin sejati itu. Oleh

karena itu untuk lebih memahami hal ini, maka dalam Bab III ini akan dibahas

mengenai konteks, struktur, tafsir dan pesan Injil Yohanes 10: 11-15. Berikut

dikutipkan kisah lengkap tentang “Yesus Gembala Yang Baik” (Yohanes 10: 11-15)

yang dikutip dari Kitab Suci Perjanjian Baru, terbitan Lembaga Alkitab Indonesia,

tahun 2000.

Tekas Injil Yohanes 10: 11-15 sebagai berikut:

Gembala yang Baik (Yohanes 10: 11-15)


11
Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi
domba-dombanya; 12sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang
bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang,
meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan
mencerai-beraikan domba-domba itu. 13Ia lari karena ia seorang upahan dan
tidak memperhatikan domba-domba itu. 14Akulah gembala yang baik dan Aku
mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku. 15Sama
seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan
nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.
43

A. Konteks Injil Yohanes 10: 11-15

Perikop Injil Yohanes 10: 11-15 merupakan kelanjutan dari situasi kontroversi

yang terjadi antara Yesus dengan para pemimpin agama Yahudi yang menekankan

hubungan khusus antara Yesus dan umat beriman. Kontroversi ini menggunakan jenis

sastra “alegori”, yaitu analogi (persamaan) yang membandingkan suatu realitas dengan

realitas lain dalam berbagai seginya. Bedanya dengan perumpamaan adalah bahwa

dalam perumpamaan satu realitas dijelaskan dengan realitas lain, sedangkan dalam

alegori, masing-masing unsur dalam perumpamaan diberi makna.

Penggunaan kiasan domba dan gembala cukup dikenal dalam Perjanjian Lama,
di mana Daud (2Sam 7:8) dan Allah (mis. Yer 31:10) dikiaskan dengan
gembala, sedangkan Israel sebagai domba-dombanya. Kemudian, perkerjaan
gembala terhadap domba digunakan untuk menggambarkan karya eskatologis
Allah dalam kehidupan umat (Yes 40:11; Yeh 34). Yeh 34 berperanan bagus
sebagai latar belakang perbedaan antara pemimpin yang palsu dan gembala
yang baik, yang adalah Daud (Yeh 34: 23) dan Allah dalam karya penebusan-
Nya (Hadiwiyata, 2008: 143).

Dengan demikian tema gembala sendiri diperkembangkan dalam dua bagian

yang berbeda: Yohanes 10:1-18 termasuk dalam situasi yang lebih dekat dengan Yoh 9

yaitu pesta pondok daun, sedangkan Yoh 10:22-39 nampaknya termasuk dalam situasi

pemberkatan kenisah yang merupakan pintu masuk bagi Yesus menuju jalan

penderitaan-Nya sebagai puncak karya keselamatan-Nya di dunia ini.

B. Struktur Injil Yohanes 10: 11-15

Injil Yohanes 10: 11-15 dibagi dalam susunan sebagai berikut:

Ayat 11-13 : Yesus menegaskan diri sebagai gembala yang baik dengan berkata

“Akulah gembala yang baik”.

Ayat 14-15 : Mengulang lagi rumusan ilahi “Akulah gembala yang baik”.
44

C. Tafsiran Injil Yohanes 10: 11-15

Penulis Injil Yohanes melukiskan pribadi Yesus sebagai pembimbing

kelompok-Nya dengan gambaran yang amat lazim di kenal oleh lingkungan serta para

murid-Nya, yakni Yesus digambarkan sebagai gembala dan pembimbing bagi

kawanan-Nya. Dalam hal ini Perjanjian Lama kerap kali melukiskan kehadiran Allah di

tengah umat pilihan-Nya sebagai Gembala dan umat Israel sebagai kawanan domba-

Nya (Mzm 23 & 78). Dalam Perjanjian Baru Yesus digambarkan sebagai Gembala

yang membawa keluar kawanan-Nya dan menemukan tempat yang aman bagi

penggembalaan, (Yoh 10:4-5 bdk Ul 1:30; Kel 1:10). Dengan demikian Darmawijaya

(1988: 161) berkata: “gambaran yang demikian mau menunjukkan tiga hal yang sering

kali ditekankan dalam Perjanjian Lama yakni bimbingan, penyelenggaraan dan

keterlibatan Allah dalam seluruh perjalanan hidup umat pilihan-Nya.”

Ay. 11-13 Akulah gembala yang baik. Pernyataan Yesus ini sekali lagi mau

menunjukkan kontras antara diri-Nya dengan orang-orang upahan yang bukan gembala

(ay 12). Kata “Baik” diterjemahkan dengan berbagai cara: yang ideal, yang layak

diteladani, dan yang penuh dedikasi, yang semuanya merujuk pada pribadi Yesus.

Namun sebenarnya penekanan kata “Baik” itu dimaksudkan untuk memperlawankan

pribadi Yesus sebagai gembala yang baik yang rela menyerahkan nyawa-Nya bagi

domba-domba-Nya dan demi kebahagiaan serta keselamatan domba-domba itu sendiri.

Lain sama sekali dengan orang-orang upahan yang bukan pemilik domba, di mana

mereka memiliki tanggung jawab yang sangat terbatas, bahkan mereka tidak segan-

segan meninggalkan domba-domba apabila mereka berada dalam keadaan bahaya, (ay.

12-13). Orang-orang upahan ini mengacu kepada para pemimpin agama Yahudi dan

juga siapa pun yang mengemban tugas kepemimpinan yang selalu menyalahgunakan
45

kepemimpinannya dengan tidak bertanggungjawab, tidak peka dan peduli terhadap

komunitas/ orang-orang yang dipimpinnya (Hadiwiyata, 2008: 146).

Ay. 14-15 Penginjil menampilkan lagi rumusan ilahi “Akulah gembala yang

baik”, namun kali ini fokusnya menjadi lain yakni fokusnya pada hubungan timbal

balik saling pengenalan antara Yesus dan kawanan/ kaum beriman. Di sini, hubungan

akrab yang ditandai saling kenal mencakup komitmen dan kasih antara kedua pihak.

Hubungan antara Yesus dan umat beriman lebih mencerminkan hubungan kasih antara

Yesus dengan Bapa-Nya (ay 15 seperti juga dalam 17:11). Perlu disadari bahwa

keakraban seperti ini tidak perlu dipikirkan secara mistik, dalam arti yang satu terserap

ke dalam yang lain karena ini tetap merupakan suatu hubungan personal di mana

integritas pribadi-pribadi tetap utuh (Hadiwiyata, 2008: 146).

Berkaitan dengan hal ini Darmawijaya (1988: 162) berkata:

Penginjil menyebut Yesus sebagai gembala yang baik, pertama-tama karena Ia


mempertaruhkan hidup-Nya bagi kawanan, dan yang kedua karena Ia
memberikan hidup itu secara melimpah-limpah, sehingga kawanan itu mampu
mengenali gembalanya secara mendalam. Namun pengenalan itu bukan sekedar
pengenalan yang rasional sifatnya, melainkan lebih-lebih sebagai suatu
sambung-rasa, dan saling pemahaman dalam kasih yang sejati. Oleh karena itu,
hubungan itu menjadi hubungan yang mengembangkan kehidupan sepenuhnya.
Seperti halnya sang Gembala memiliki kehidupan dari Allah, Bapa-Nya,
demikian juga sang Gembala mau menyalurkan kehidupan itu pula kepada
kawanan-Nya, sehingga seluruh kawanan mendapatkan kebahagiaan sejati dari
Bapa. Dengan menyampaikan hidup itu bagi seluruh kawanan, maka Yesus
pantas menerima julukan sebagai Gembala yang sungguh baik. Gembala yang
rela menyediakan sepenuhnya diri-Nya bagi perkembangan dan keselamatan
seluruh kawanan. Gembala itu lalu juga menjadi pengikat dan pemersatu
seluruh kawanan dalam mencapai kepenuhannya.

D. Pesan Injil Yohanes 10: 11-15 bagi Para Frater Bunda Hati Kudus

Kisah dalam Yoh 10: 11-15 ini merupakan suatu kisah wejangan yang sangat

menarik, mendalam, penuh makna dan sekaligus menantang para pendengarnya saat itu

dan juga bagi para pendengar sepanjang masa, khususnya bagi para pemimpin. Sebab

dalam wejangan ini Yesus mau mengkritik pola dan keteladanan kepemimpinan para
46

pemimpin agama Yahudi dan para kaum Farisi pada saat itu yang sarat dengan

kepentingan pribadi dan kelompoknya yang kerap kali menimbulkan ketidakadilan,

kemiskinan, penderitaan bagi umat pilihan Allah. Namun selain itu dalam wejangan ini,

Yesus sebagai Mesias ingin menunjukkan dan sekaligus mewariskan suatu pola dan

keteladanan kepemimpinan yang sesungguhnya bagi para pengikut-Nya, yang

digambarkan dengan alegori sebagai “Gembala yang baik”. Kiranya pola dan

keteladanan kepemimpinan Yesus sebagai Gembala yang baik ini, senantiasa menjadi

pola dan keteladanan kepemimpinan Kristiani dan religius dalam setiap tataran

sepanjang masa sebagai ahli waris dari Yesus sang Guru dan gembala sejati.

Kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang seharusnya senantiasa

bersumber dan bermuara pada Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuan yang empunya

segalanya. Karena itu setiap orang yang diserahi tugas kepemimpinan harus selalu

berusaha hidup dan memimpin seturut sabda, cara hidup dan gaya kepemimpinan

Yesus sebagai guru dan teladan kepemimpinannya. Dengan kata lain pribadi dan pola

serta keteladanan kepemimpinan Yesus sebagai Gembala yang baik harus menjadi satu-

satunya model kepemimpinan bagi para pemimpin Kristen sepanjang masa. Hal ini tak

terkecuali juga para pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dewasa ini.

Apa bila hal ini yang menjadi pegangan dan obsesi seorang pemimpin Kristen/ religius,

maka ia akan berusaha untuk selalu menuntun, membimbing, mengarahkan dan bekerja

bersama orang-orang yang dipimpinnya menuju apa yang dicita-citakan bersama dan

sekaligus selaras dengan apa yang dikehendaki Tuhan.

Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apa perbedaan kepemimpinan Kristiani

dengan kepemimpinan pada umumnya? Berkaitan dengan pertanyaan ini, Ted W.

Engstron dan Edward R. Dayton dalam bukunya Sudomo mengatakan:

“Hal paling mendasar yang membedakan kepemimpinan Kristen dan


kepemimpinan pada umumnya adalah “motivasinya”. Kepemimpinan Kristen
47

adalah kepemimpinan yang dimotivasi oleh kasih, ditujukan untuk pelayanan,


dan dikendalikan oleh Kristus dan keteladanan-Nya. Pemimpin-pemimpin
Kristen yang terbaik mencerminkan sepenuhnya sifat pengabdian yang tanpa
pamrih (tidak mementingkan diri sendiri), teguh hati, berani, tegas, berbelas
kasih, dan mencerminkan tanda pemimpin-pemimpin besar” ( Sudomo, 2005:
56).

Dalam hal ini Yesus dengan jelas memberikan gambaran perbedaan antara

kepemimpinan sejati atau Kristen dan kepemimpinan duniawi dalam Injil Matius

sebagai berikut:

Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya


dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan
keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin
menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang
siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hambamu;
sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak
orang” (Mat 20:25-28).

Dari perikop di atas jelas sekali bahwa Tuhan Yesus memberikan gambaran

tentang kontras antara falsafah kepemimpinan pada umumnya dengan kepemimpinan

Kristiani. Dalam hal ini kepemimpinan pada umumnya melaksanakan

kepemimpnannya dengan tangan besi atau kekerasan, sementara itu dalam

kepemimpinan Kristiani, pemimpin lebih mau melayani, berkorban, dan

mengutamakan kepentingan anak buah dari pada kepentingan sendiri.

Berkaitan dengan hal ini, Myron Rush berkata, “Bukanlah besarnya kekuasaan yang

anda miliki, melainkan bagaimana anda menggunakan kekuasaan tersebut yang

menentukan kebesaran anda sebagai pemimpin” (Sudomo, 2005: 59).

Gambaran tentang kepemimpinan Kristiani ini secara jelas dan mendalam hanya

dapat ditemukan, digali dan dimaknai dari Injil Yesus Kristus sendiri sebagai harta

warisan nan agung yang ditinggalkan-Nya bagi kita umat-Nya.


48

D’Souza mengatakan bahwa, “Injil memberikan tiga gambaran kepemimpinan yang

sungguh menarik dan senantiasa diulang-ulang dalam Perjanjian Baru, yang semuanya

dimulai dengan huruf ‘S’: Servan (Pelayan), Shepherd (Gembala), dan Steward

(pengurus). Masing-masing merupakan gambaran yang kaya dengan berbagai

pengertian serta perlu dipelajari dan diterapkan secara cermat. Kepemimpinan Kristiani

yang sejati berarti mengikuti Yesus Kristus sebagai Pelayan, Gembala, dan Pengurus

seperti digambarkan dalam Injil” (D’Souza, 2007: xxiii).

Dari ketiga gambaran kepemimpinan Kristiani di atas, penulis mencoba

mendalami gambaran kepemimpinan Yesus sebagai Gembala sebagaimana dilukiskan

dengan begitu indah dalam Injil Yohanes 10:11-15 untuk menggali, menemukan dan

memaknai nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung di dalamnya untuk kemudian

dijadikan sebagai model kepemimpinan bagi para Frater Bunda Hati Kudus sebagai

salah satu lembaga religius di era post-modern saat ini.

Kepemimpinan sebagai gembala adalah kepemimpinan yang didasarkan pada

kasih yang tulus dan murni sebagai landasan dan modal utama bagi seorang pemimpin

dalam menggembalakan kawanan domba yang dipercayakan kepadanya. Dalam hal ini

kita dapat mengacu pada tiga pertanyaan Yesus yang dilontarkan-Nya kepada Petrus:

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka
ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku
mengasihi Engkau”. Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-
Ku”. Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya “Simon, anak Yohanes,
apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan,
Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau”. Kata Yesus kepadanya:
“Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Kata Yesus kepadanya untuk ketiga
kalinya: “ Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka
sedihlah hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah
engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu
segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau”. Kata Yesus
kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-19).
49

Yesus melalui peristiwa ini, Ia mau menegaskan kepada Petrus yang pernah

menyangkal-Nya tiga kali bahwa modal utama baginya untuk menerima tugas

kegembalaan yang dipercayakan Yesus kepadanya adalah “kasih yang murni dan suci

atau kasih agape kepada Yesus, sebagaimana digambarkan rasul Paulus dalam suratnya

yang pertama kepada umat di Korintus, yang mengatakan:

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan
diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari
keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang
lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia
menutupi segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 Kor 13:4-7).

Unsur-unsur kasih yang digambarkan rasul Paulus di atas merupakan unsur

yang paling penting dan hakiki yang Yesus inginkan untuk Petrus miliki. Pada waktu

itu, Yesus dapat saja menanyai Petrus dengan banyak pertanyaan, namun mungkin

karena terbatasnya waktu yang tersisa sebelum Dia diangkat kembali ke Allah Bapa,

maka Yesus hanya mau menyampaikan satu pertanyaan mendasar dan amat penting

yakni, “Apakah engkau sungguh-sungguh mengasihi Aku? Itulah pertanyaan yang

mendalam dan sekaligus menantang yang Ia tinggalkan kepada Petrus untuk

dipertimbangkan dengan seksama dan penuh tanggung jawab. Mengapa demikian?

Sebab tanpa kasih yang demikian Petrus tidak dapat menanggapi ketika Yesus berkata,

“Ikutlah Aku.” Demikian pula halnya bahwa hanya dengan kasih agape itu ia dapat

mampu menerima dan melaksanakan tugas yang dipercayakan Yesus kepadanya

sebagai seorang gembala dengan tugas mengasihi domba-domba dan memelihara

mereka sebagaimana diharapkan Sang Gembala Utama kepadanya (Wofford, 2001:

130).

Petrus sebagai rasul yang mendapat kepercayaan penuh dari Yesus, harus

memiliki relasi kasih yang intim dan mendalam dengan Yesus sebagai Sang Gembala

Utama, sebagai pemberi kuasa dan pemilik kawanan domba. Kasih yang sama pula
50

harus dia arahkan dan bagikan bagi kawanan domba yang dipercayakan kepadanya

sebagai perwujudan cintanya kepada Yesus sebagai Sang Gembala Agung.

Persyaratan “Kasih dan cinta agape” ini pula yang dituntut Yesus dari para

pemimpin Kristiani pada umumnya dan para pemimpin religius (para Frater Bunda Hati

Kudus) pada khususnya sepanjang masa sebagai modal utama dalam menerima dan

menjalankan tugas kepemimpinannya di tengah dunia ini.

Mengambil bagian dalam kepemimpinan kegembalaan Yesus berarti para

pemimpin itu harus memiliki beberapa kualifikasi sebagaimana dikemukakan D'souza

(2002: 28-39) di antaranya adalah :

1. Fokus utama pemimpin gembala

Fokus utama seorang pemimpin gembala adalah para pengikut atau para

anggotanya sebagai orientasinya. Para anggota itu sendiri yang menjadi tujuan dan

buah dari upaya kepemimpinannya. Karena itu, ketika anggotanya tetap hidup

menghadapi berbagai bahaya dalam perjalanan, ataupun ketika mereka bertambah kuat,

gembala harus tetap setia menunaikan tugas kegembalaannya. Domba memang harus

dibimbing, didorong dan dimotivasi untuk mencapai yang terbaik dalam hidupnya.

Oleh karena itu para pemimpin Kristen dan termasuk para pemimpin dalam Kongregasi

Frater Bunda Hati Kudus dituntut untuk senantiasa bertindak sebagai gembala sejati

atas anggotanya. Dalam hal ini para pemimpin pertama-tama harus melihat dan

menempatkan komunitasnya sebagai komunitas manusia yang kaya dan dinamis, yang

harus dihargai dan diperhatikan dengan penuh kasih sayang dan cinta sebagaimana

Yesus sendiri yang selalu menempatkan diri sebagai gembala yang baik, yang selalu

menyediakan diri-Nya, bahkan sampai Ia mengorbankan diri-Nya bagi domba-domba-

Nya, (bdk.Yoh 10:11).

2. Karakteristik pemimpin gembala


51

Yesus sendiri pernah berbicara tentang berbagai ciri atau karakteristik

kepemimpinan gembala yang baik. Dalam hal ini Sudomo (2005: 81-92) menguraikan

beberapa karakteristik kepemimpinan yang berhati gembala antara lain: a). Pemimpin

yang benar-benar mengasihi Tuhan. b). Mengutamakan kepentingan orang-orang yang

dipimpinnya sebagai wujud nyata kasihnya kepada Tuhan. c). Mempunyai hubungan

yang akrab dan harmonis dengan orang-orang yang dipimpinnya. d). Memberi

pengayoman dan rasa aman kepada orang-orang yang dipimpinnya. e). Menjadi teladan

bagi anak buahnya. f). Memiliki visi yang jelas.

Atas dasar poin-poin di atas, diharapkan para pemimpin Kristen termasuk para

pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus selalu berusaha untuk

menghayati dan mengaktualisasikan nilai-nilai kepemimpinan gembala ini dalam

kehidupan tarekat mereka. Hanya dengan jalan demikianlah jalinan kesatuan antara

Yesus sebagai Gembala Utama dengan para pemimpin dan para anggotanya menjadi

satu kesatuan yang tak terpisahkan dan penuh daya, memiliki kekuatan serta senantiasa

saling memberdayakan menuju kesatuan dan kesempurnaan hidup dalam dunia

eskatologis.

3. Gembala yang mengenal domba-dombanya.

Seorang pemimpin gembala diharapkan mengenal nama domba-dombanya dan

secara pribadi memanggil mereka masing-masing menurut namanya. Bagi Yesus,

kepemimpinan itu bersifat pribadi: gembala mengenal dan dikenal dombanya,

sebagaimana dilukiskan dengan indah dalam Injil Yohanes 10:14. Yang terpenting

adalah di antara kedua belah pihak harus ada relasi pribadi yang diikat oleh kehangatan

kasih dan saling pengertian timbal balik. Sebab hanya dengan cara demikian keduanya

akan selalu bersama dan bersatu serta saling menguatkan dan mendukung. Hal ini pula

yang dituntut dari setiap pemimpin Kristen termasuk para pemimpin dalam Kongregasi
52

Frater Bunda Hati Kudus tanpa kecuali. Sebab akan menjadi sesuatu yang mustahil

kalau seorang pemimpin tidak mengenal siapa anggotanya. Dalam hal ini seorang

pemimpin harus memahami dengan benar apa yang menjadi kebutuhan, keprihatinan,

kesedihan, kegelisahan, kegagalan, kebahagian dan kesuksesan para anggotanya. Di

sini dituntut suatu kepekaan dan kepedulian yang tinggi dari sang pemimpin.

Salah satu contoh yang bisa diterapkan sorang pemimpin tarekat terhadap para

anggotanya dalam menunaikan tugas kepemimpinannya sebagaimana diharapkan di

atas misalnya: ketika seorang anggotanya mendapatkan masalah, dia tidak akan hanya

sekedar mendengar dari orang lain lalu mengajukan vonis untuk mempersalahkan

anggotanya itu, tetapi sebaliknya sebagai seorang pemimpin yang berhati gembala, ia

akan berusaha mendekati dan berbicara dari hati ke hati sebagai saudara serta berusaha

mendengarkan secara langsung apa sesungguhnya yang menjadi dasar permasalahan itu,

lalu selanjutnya ia akan berusaha mendampingi anggotanya dalam usaha mencari

penyelesaian yang benar dan adil tanpa menghakiminya.

Contoh lain adalah ketika seorang anggotanya mengalami kegagalan dalam

menjalankan tugas yang dipercayakan tarekat kepadanya, sebagai pemimpin yang baik

ia tidak akan langsung mempersalahkan, mencemooh, bahkan mengucilkan anggotanya

yang gagal itu, melainkan ia akan mendekatinya dan berdialog dari hati ke hati untuk

mengetahui apa penyebab terjadinya kegagalan itu. Dari sana sang pemimpin berusaha

untuk menghibur, membesarkan hati dan mensuport serta berusaha meyakinkannya

bahwa kegagalan itu bisa dilihat sebagai sukses yang tertunda, sehingga dengan

demikian ia tetap semangat dan siap untuk melanjutkan tugas perutusannya.

Proses pengenalan yang mendalam dan menyeluruh inipun kalau dilihat dari

pihak domba/ kawanan kiranya mengandung konsekuensi yang harus diterima dan

dijalankan. Konsekuensi yang dimaksud adalah, bahwa setiap domba/ kawanan yang
53

mengaku diri mengenal siapa gembalanya, tentu juga harus senantiasa menunjukkan

cinta, perhatian, sikap hormat, ketaatan, pengabdian yang total dan tulus, dedikasi serta

loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin/gembalanya. Sedangkan dari pihak

pemimpin/gembala, ia harus rela meninggalkan keegoannya untuk secara total

memperhatikan, mengabdi dan melayani para kawanannya dengan penuh cinta dan

perhatian yang tulus, sekalipun nyawanya menjadi taruhan. Sedangkan dalam tataran

relasi antara manusia dengan Tuhan sebagai Sang Gembala Utama, seorang pemimpin

Kristen/ religius yang mengaku diri mengenal Tuhan, diharapkan ia selalu menyadari

konsekuensi bahwa dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya ia harus selalu

berusaha untuk menyelaraskan diri dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Dalam

hal ini sekecil apapun yang dibuatnya harus melulu demi kebesaran dan kemuliaan

nama Tuhan serta demi kebahagiaan para anggotanya. Begitupun sebaliknya seorang

pemimpin yang merasa dikenal dan dicintai oleh Tuhan akan memiliki keberanian

yang besar karena merasa dicintai dan dilindungi oleh yang Maha Kuasa, (bdk. Yoh

10 :15; 1 Sam 17:34-37).

4. Kehadiran dan kesiapsediaan gembala

Gembala atau pemimpin perlu bersama-sama domba atau anggotanya dan

senantiasa siap apabila mereka membutuhkan dirinya. Dengan kata lain seorang

pemimpin gembala harus mudah ditemui oleh para anggotanya, khususnya ketika

anggotanya membutuhkannya. Dalam Mzr 23 digambarkan dengan jelas betapa

pentingnya kehadiran seorang pemimpin dalam seluruh perjalanan dan aktivitas para

anggotanya yakni : “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut

bahaya, sebab Engkau besertaku; Gada-Mu dan Tongkat-Mu, itulah yang menghibur

aku”, (Mzr 23: 4).


54

Dalam hal ini kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah anggotanya sangat

diperlukan, untuk memberikan ketenteraman, ketenangan, kedamaian, dan membuat

anak buahnya itu terus melangkah karena percaya bahwa ia hadir bersama mereka.

5. Gembala memimpin di depan

Yesus bersabda: “Ia memanggil domba-Nya masing-masing menurut namanya

dan menuntunnya keluar, Ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti

Dia…” (Yoh 10: 3-4). Seorang pemimpin gembala hendaknya selalu melangkah di

depan. Ia selalu menuntun mereka ke padang rumput yang hijau dan ke sumber air yang

tenang yang dapat menghilangkan rasa lapar dan rasa haus para dombanya/anggotanya.

Dengan demikian para pemimpin Kristen, tak terkecuali para pemimpin dalam

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dianjurkan agar dalam kepemimpinannya selalu

berusaha untuk menuntun dan mengarahkan para anggotanya untuk keluar dari

keterkungkungan diri mereka menuju bentangan realitas hidup mereka secara pribadi

dan juga realitas kehidupan kongregasi yang dihidupinya. Untuk itu pentinglah bahwa

mereka bisa memberi teladan.

6. Gembala itu harus berani

Pemimpin gembala selalu melindungi domba-dombanya dan bahkan siap

mempertaruhkan hidupnya demi domba-dombanya. Dengan demikian ia dapat

memberikan rasa aman dan tenteram bagi para domba atau para pengikutnya. Dalam

hal ini seorang pemimpin gembala harus menunjukkan kontras antara dirinya dengan

seorang pemimpin palsu sebagaimana digambarkan dalam Injil Yoh 10: 12 dengan

istilah orang-orang upahan yang bukan pemilik domba, yang hanya mencari

keuntungan sendiri, bahkan kalau perlu merugikan para anggotanya. Menjadi seorang
55

pemimpin gembala dituntut adanya kemauan dan keberanian besar untuk mengambil

resiko.

Keberanian besar semacam ini dapat kita temukan dalam diri seorang tokoh dalam

Kitab Suci Perjanjian Lama yakni Daud. Di mana karena ia sangat ingin meyakinkan

Raja Saul bahwa ia mampu bertarung melawan Goliath yang bertubuh raksasa itu,

maka ia menceritakan beberapa pengalamannya sebagai anak gembala.

“Tuanku,” kata Daud, “"Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba


ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari
kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu
dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku
menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa
maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak
bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia
telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup."
Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari
cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (1
Sam 17:34-37).

Pengalaman Daud di atas merupakan contoh bagi semua pemimpin Kristen dan

khususnya bagi para pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus untuk

menyadari bahwa tugas kepemimpinan yang diembannya merupakan kepercayaan yang

dianugerahkan Tuhan baginya. Oleh karena itu dalam mengemban tugas

kepemimpinannya para pemimpin harus selalu menjadikan hidup doa sebagai dasar

kepemimpinannya. Dengan demikian ia akan sungguh mengenal Tuhan dan

melaksanakan kehendak-Nya dan sebaliknya ia pun akan dikenal dan dicintai oleh

Tuhan, serta Tuhan akan menganugerahkan kepadanya rahmat-rahmat yang

dibutuhkannya, yakni rahmat keberanian, kebijaksanaan, kekuatan, kesehatan,

kesetiaan dan cinta dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.


56

7. Gembala itu menuntun dan membimbing

Pemimpin gembala selain melindungi domba-dombanya, ia juga harus siap

mengendalikan mereka supaya ia dapat menuntun dan membimbing mereka agar

mereka tidak terjerumus ke dalam bahaya. Dengan demikian dalam diri seorang

pemimpin gembala dituntut bisa bersikap lemah-lembut dan rendah hati dalam

menuntun dan membimbing kawanannya/ anggotanya. Dengan demikian dalam diri

seorang pemimpin diharapkan ia sungguh memiliki perhatian yang tulus dan penuh

cinta dan kasih sayang bagi para anggotanya.

8. Gembala itu peduli pada domba yang hilang atau tersesat

Dalam Injil Lukas Yesus memaparkan sebuah perumpamaan yang sederhana

namun sungguh menarik dan mendalam maknanya tentang domba yang hilang.

Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia
kehilangan seekor diantaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh
sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia
menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas
bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat
dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-
sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata
kepadamu: demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa
yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang
benar yang tidak memerlukan pertobatan (Luk 15:4-5).

Para pemimpin Kristiani yang tidak memiliki hati seorang gembala mungkin

berkata. “Apa artinya segelintir domba yang hilang? Atau segelintir anggotanya yang

tersesat bahkan hilang? Untuk apa membuang-buang waktu untuk mencari dan

membujuk mereka kembali? Biarkan saja supaya mereka menyadari kebodohannya

sendiri karena meninggalkan kandang.”

Namun, Yesus menunjukkan model kepemimpinan yang sangat kontras yakni,

Ia bergaul dengan pemungut cukai, pelacur, para pendosa, para penderita dan orang-

orang miskin dan menjadikan mereka semua sahabat-sahabat-Nya. Mereka semua itu,
57

di mata Tuhan adalah domba-domba yang hilang akibat kesombongan, keangkuhan dan

sikap sok suci dari para pemimpin Yahudi. Oleh karena itu bagi Yesus, orang-orang

seperti itu perlu dicari, ditemukan dan dijadikan satu kawanan dalam kasih

persaudaraan sebagai sahabat-sahabat Yesus yang sejati.

Demikian pula para pemimpin Kristen pada umumnya dan para pemimpin

dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, hendaknya mereka juga selalu peka dan

tanggap apabila ada dari anggotanya yang tersesat atau hilang akibat dosa dan

kesalahan, baik itu kesalahan pribadi maupun kesalahan komunitas yang ditimpakan

kepadanya. Sang pemimpin harus berusaha untuk mencari dan membawanya kembali

ke dalam persekutuan yang penuh kehangatan kasih, pengampunan dan cinta

persaudaraan sejati. Demikianlah terwujudnya peran pemimpin sebagai pemersatu,

pengayom dan sekaligus sebagai seorang bapak yang penuh perhatian dan kasih bagi

para anggotanya.

Inilah figur seorang pemimpin gembala yang sebenarnya didambakan dan

dirindukan oleh para anggotanya setiap saat. Kiranya ini juga yang menjadi figur para

pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda hati Kudus dewasa ini.


58

BAB IV

KEBERADAAN KONGREGASI

FRATER BUNDA HATI KUDUS DI INDONESIA

A. Latar Belakang Sejarah Masuknya Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di

Indonesia

Pada tahun seribu sembilan ratus dua puluhan dan tiga puluhan, pendidikan

Katolik di Hindia Belanda/ Indonesia sangat berkembang. Seiring dengan

perkembangan ini, muncullah persoalan yakni para misionaris mengalami kekurangan

tenaga guru bagi penanganan sekolah-sekolah yang ada. Untuk mengatasi masalah ini,

para uskup di tanah misi mengirim banyak surat permohonan ke kongregasi-kongregasi

yang ada di negeri Belanda yang nota bene berkarya di bidang pendidikan untuk

mengutus para anggotanya sebagai misionaris ke Hindia Belanda, demi membantu

karya pendidikan di tanah misi.

Undangan dari para uskup di Hindia Belanda ini ternyata mendapat tanggapan positif

dari kongregasi-kongregasi yang ada di negeri Belanda, baik itu kongregasi suster

maupun kongregasi bruder dan tak ketinggalan pula kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus yang pada saat itu kehidupan dan perkembangannya di Belanda cukup baik, baik

dari sisi jumlah anggota maupun finansialnya yang pada tahun-tahun sebelumnya

sangat memprihatinkan (van Vugt, 2005: 206).

Pada tahun 1927 dewan kongregasi mulai menindaklanjuti rencana dan niat

untuk bermisi ke Hindia Belanda dengan mengadakan koresponden dengan para imam

Karmelit di Malang, Jawa Timur, yang telah menngundang mereka. Sebagai

jawabannya, para imam Karmelit menawarkan bukan hanya sebuah sekolah yang

menangani para siswa putera Belanda malainkan juga sebuah sekolah untuk anak-anak
59

pribumi, dan juga panti asuhan untuk anak-anak Indo. Semuanya ini merupakan suatu

perencanaan awal yang sangat baik bagi kongregasi. Tetapi ternyata situasi berbicara

lain dari apa yang telah direncanakan dewan kongregasi. Hal ini disebabkan oleh

kesulitan yang dialami pemimpin umum, Fr. Stanislaus Glaudemans (1875-1944),

untuk meyakinkan Uskup Agung Van de Wetering sebagai pemimpin tertinggi

kongregasi untuk memberi izin bagi karya misi di Hindia Belanda. Mgr. Van de

Wetering agak skeptis terhadap semangat misi waktu itu. Sebab menurutnya, semangat

misi itu hanya merupakan angan-agan yang tidak akan bertahan lama, dan bahwa

terlalu banyak kongregasi pergi ke luar negeri tanpa menyadari bahwa tugas utamanya

ada di dalam negeri. Lagi pula di negeri Belanda masih ada begitu banyak pekerjaan

yang tersedia dan harus ditangani oleh para Frater Bunda Hati Kudus. Namun

walaupun demikian, toh Mgr. Van de Wetering tetap memberi lampu hijau bagi karya

misi itu dengan syarat para frater harus terlebih dahulu membuka sebuah sekolah luar

biasa di kota Utrecht. Akhirnya Fr. Stanislaus Glaudemans berjanji untuk

menindaklanjuti apa yang diprasyaratkan Mgr. Van de Wetering tersebut, sebab

memang sekolah itu sangat dibutuhkan di sana (van Vugt, 2005: 207).

Pada tahun 1928 Kongregasi mendapat persetujuan dari Mgr. van de Wetering

untuk memulai misi ke Hinda Belanda/ Indonesia. Pada tahun yang sama pula

kongregasi mencapai suatu persetujuan dengan para misionari O’Carm di Malang, Jawa

Timur, yang membutuhkan guru-guru untuk sekolah anak laki-laki Eropa/Belanda.

Tepatnya pada tanggal 2 Februari 1928 para frater misionaris pertama yang diutus

dewan kongregasi atas restu pemimpin tertinggi kongregasi, Mgr. Van de Wetering tiba

di Indonesia. Frater-frater itu antara lain: Fr. M. Wilfridus, BHK, Fr. M. Gregorius,

BHK, dan Fr. M. Agustinus, BHK. Setibanya di Indonesia ketiga frater ini lagsung
60

menuju ke kota Malang sebagai pusat misi para imam Karmelit, yang pada waktu itu

berada di bawah kekuasaan Mgr. Van Albers, O’Carm (van Vugt, 2005: 99).

1. Tujuan Misi Kongregasi Frater Bunda hati Kudus di Indonesia.

Tujuan misi Kongregasi Frater Bunda hati Kudus di Hindia Belanda/ Indonesia

tidak bisa dilepaspisahkan dari misi awal kongregasi, yakni melayani di bidang

pendidikan kaum muda, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Misi

yang sama pula yang ingin dikembangkan di daerah misi sebagaimana ditawarkan dan

disepakati antara para imam Karmelit di Hindia Belanda dengan Dewan Kongregasi

Frater Bunda Hati Kudus di Utrecht Belanda.

Di Hindia Belanda, kota Malang menjadi pusat misi Kongregasi Frater Bunda

Hati Kudus. Tak lama setelah para frater misionaris pertama tiba, mereka berusaha

membangun sebuah biara dengan kompleks sekolah yang luas. Kompleks ini sampai

sekarang dikenal dengan nama Komunitas Bunda Hati Kudus Celaket 21 Malang, yang

beralamat di Jl. Jaksa Agung Suprapto No. 21 Malang, Jawa Timur.

Para frater misionaris pertama ini menangani dua buah sekolah yakni,

Hollands- Inslandse Scholen (sekolah bagi anak-anak Indo) dan Hollands-Chinese

Scholen (sekolah bagi anak-anak keturunan Cina). Pada tahun-tahun sesudahnya

kongregasi di Hindia Belanda mulai mengembangkan diri dengan mendirikan

komunitas dan unit karya yang lebih sederhana di tempat-tempat lain misalnya:

Komunitas, asrama anak-anak yatim piatu Erasia dan anak-anak terlantar dan sekolah

pendidikan grafis di Probolinggo (Jawa Timur, 1934), Komunitas dan SD dan SMP di

Palembang (Sumatra, 1936), Komunitas dan sekolah SPG di Kediri (Jawa Timur, 1939),

Komunitas, SMP, SMA dan asrama di Surabaya (Jawa Timur, 1940). Karya misi

kongregasi di Hindia Belanda/ Indonesia ini dari tahun ke tahun semakin berkembang,

dan sampai menjelang Perang Dunia II yang awalnya hanya 3 orang farter yang diutus
61

ke daerah misi, akhirnya menjadi 50 orang frater. Kongregasi sampai mengutus banyak

frater ke daerah misi karena pada tahun seribu sembilan ratus tiga puluhan di Belanda

setiap tahun sejumlah besar calon baru masuk kongregasi. Perkembangan misi di

Indonesia ini didukung pula oleh syarat subsidi yang baik yang berlaku di Hindia

Belanda bagi sekolah-sekolah yang diakui oleh pemerintah (van Vugt, 2005:209-210).

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya di Hindia Belanda, para frater selalu

menganggap tugas mereka sebagai kelanjutan atau kesinambungan karya mereka di

Negeri Belanda, dengan demikian pola pendidikan yang diterapkan adalah pola

pendidikan ala Belanda dan juga bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar.

Namun satu hal yang membedakan adalah bahwa kalau di Belanda para frater hanya

mengajar dan mendidik anak-anak laki-laki Katolik sedangkan di Hindia Belanda para

frater mengajar dan mendidik baik anak-anak laki-laki Katolik maupun yang bukan

katolik. Maka di Hindia Belanda sekolah-sekolah frater dengan sadar dan eksplisit,

lebih terarah keluar/ terbuka daripada ke dalam. Dalam hal ini para frater melalui

sekolah-sekolah yang mereka kelola ingin mendobrak kebiasaan-kebiasaan

eksklusivisme di Belanda yang terkenal begitu kuat antara yang Katolik dengan kaum

Protestan.

Bagi para frater yang diutus ke Hindia Belanda, mereka menyadari sepenuhnya,

bahwa tujuan misi mereka adalah “penyebarluasan Gereja dalam dunia, harus

dikonkretkan dalam karya nyata, yakni terwujudnya kesejahteraan dan kemajuan sosial

para siswa serta semua orang yang dipercayakan kepada mereka yang menjadi preoritas

utama” (van Vugt, 2005: 211).

Dalam bidang karya, para frater juga melihat bahwa hubungan tak setara antara

guru dan para siswa bukan merupakan situasi yang cocok untuk penerimaan iman.

Maka dalam pelayanan mereka, para frater selalu berusaha menempatkan para
62

siswanya atau siapa pun yang mereka layani sebagai pribadi yang berharga dan

terhomat. Namun dalam pengembangan misi ini para frater tidak termotivasi untuk

mengkatolikkan para sisiwanya yang non katolik, namun sebaliknya para frater selalu

berusaha membimbing mereka sesuai dengam agama yang mereka anut. Dalam hal ini

van Vugt (2005:211) berkata:

Sampai sekarang para mantan frater misionaris yang masih hidup bangga bahwa
dulu mereka tidak berusaha “menjaring jiwa” dan tak mendesak siswa-siswanya
untuk menjadi Katolik. Suasana Katolik di sekolah-sekolah frater, perhatian
pribadi para frater akan kemajuan siswa-siswanya dan teladan yang seimbang
serta spiritualitas yang bisa mereka beri sebagai religius, semestinya cukup
untuk menyalakan iman dalam hati beberapa siswanya.

Ketika Kongregasi mulai berkarya di Hindia Belanda, dewan kongregasi di

Utrecht berharap agar suatu kelak bisa menyambut putra-putra pribumi sebagai

konfrater dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dan sekaligus sebagai penerus

karya misi tarekat di Indonesia. Dan akhirnya kerinduan itupun terjawab, di mana

setelah beberapa tahun kemudian sudah ada beberapa pemuda Jawa yang hatinya

tergerak untuk menjadi frater, maka diputuskan untuk memberi tanggapan positif bagi

para simpatisan tersebut.

Pada tahun 1936 di Probolinggo Jawa Timur dibukalah Komunitas Postulat-novisiat

untuk para calon dari Hindia Belanda dan diangkatnya Fr. M. Theodorus van der Geijn

(1894-1982) menjadi magisternya. Beberapa tahun kemudian kongregasi mempunyai

sebelas orang frater yang berasal dari Hindia Belanda ( van Vugt, 2005: 212).

Pada tahun seribu sembilan ratus tiga puluhan nampaknya misi kongregasi di

Hindia Belanda akan mempunyai masa depan yang cerah. Namun pada tahun 1942

Hindia Belanda mulai jatuh ke tangan Jepang sehingga segala angan-agan, dan harapan

serta perjuangan dari seluruh misionaris tanpa kecuali misi Kongregasi Frater Bunda

Hati Kudus mulai terhenti. Para frater sebagaimana orang-orang Belanda lainnya, mulai

ditangkap, disiksa dan bahkan mereka di bawa ke Bandung dan Cimahi untuk
63

dimasukkan ke dalam kamp-kamp tawanan Jepang. Akibatnya ada beberapa frater yang

mulai jatuh sakit dan pada akhirnya meninggal, namun ada juga yang masih bertahan

sampai lewatnya masa-masa sulit itu.

2. Keanggotaan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia.

Keanggotaan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia pada mulanya

hanya terdiri dari empat orang frater Jawa, yakni pada tahun 1937 masuknya Fr. Patrick

Schieveld, Fr. Borgias Tekaprajitna, Fr. Redemtus Raden Hardjamoeljo, Fr, Flavianus

Saisi Martasoewignja. Namun dalam perkembangan selanjutnya ternyata keanggotaan

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia semakin bertambah banyak dan

tidak hanya dari Jawa, namun mulai heterogen yakni ada yang dari Ambon, Flores,

Timor dan Palembang, yang di dalamnya juga terdapat frater yang keturunan cina.

Dalam hal ini jumlah anggota tarekat di Indonesia dari tahun ketahun semakin

meningkat, namun sejak tahun 2006 sampai sekarang dari tahun ke tahun jumlah

anggota semakin berkurang seiring perkembangan zaman yang secara perlahan namun

pasti semakin menghantar orang hidup dalam sekularisasi di mana orang mulai

memisahkan antara hidup duniawi dengan hal-hal yang berbau rohani/ religius dan

orang lebih terarah pada kehidupan duniawi dengan segala kenikmatan yang

ditawarkannya. Hal ini terlihat dari grafik jumlah frater yang dikeluarkan oleh bagian

Kesekretariatan Dewan Provinsi Indonesia, di mana mulai tahun 2006 jumlah anggota

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia berjumlah 112 orang frater (Frater

novis 13 orang, frater yunior 40 orang, dan yang berkaul kekal 59 orang). Pada tahun

2007 berjumlah 112 orang frater (Frater novis 12 orang, frater yunior 40 orang dan

yang berkaul kekal 60 orang). Tahun 2008 berjumlah 107 orang frater (Frater novis 7

orang, frater yunior 43 orang dan yang berkaul kekal 57 orang). Sedangkan tahun 2009

berjumlah 106 orang frater ( Frater novis 11 orang, frater yunior 34 orang dan frater
64

yang berkaul kekal 61 orang). Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam grafik

jumlah frater yang tertera pada bagian lampiran (hal 19) (Sekretariat Dewan Provinsi

Indonesia, 2009: 15).

Dari total jumlah anggota Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia

mayoritas berasal dari Indonesia Timur yakni, Flores, Manggarai, Timor, sedangkan

yang berasal dari Jawa merupakan minoritas. Namun walaupun demikian, dalam

kehidupan sehari-hari, baik di komunitas maupun di unit karya atau dimanapun para

frater selalu menekankan kebersamaan dalam persaudaraan kasih sebagai konfrater

sekongregasi tanpa memandang perbedaan suku, budaya atau apapun di antara mereka.

Berkaitan dengan kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus,

memang sejak tahun 1983 orang Indonesia mulai diberi kepercayaan untuk memegang

jabatan overste misi yang pada waktu itu dijabat oleh Fr. M. Rumoldus Moedjija (orang

Jawa/Solo) dan dalam kapitel umum 1994 orang Indonesia juga mulai diberi

kesempatan untuk duduk dalam Dewan Umum di Utrech Belanda yakni Fr. M. Paulino

B.C. da Silva (orang Flores Timur/ Larantuka) sebagai Anggota Dewan Umum dan

dalam kapitel umum tahun 2000 Fr. M. Clemen BHK (Orang Flores Timur/ Solor)

terpilih lagi sebagai wakil pemimpin Umum di Belanda. Akhirnya pada Tahun 2003

kedudukan Dewan Umum berpindah kedudukan dari kota Utrech Belanda menuju

Indonesia, tepatnya di Komunitas St. Wilibrordus Jl. Brigjen Slamet Riyadi 58 Malang

Jawa Timur Indonesia. Dalam Kapitel Umum Kongregasi tahun 2006 terpilihlah tiga

Anggota Dewan Umum Kongregasi yang baru, yang ketiganya merupakan orang

Indonesia yakni Fr. M. Simon Lele Ruing, BHK (Pemimpin Umum Kongregasi), Fr. M.

Kanisius Sara, BHK (Wakil Pemimpin Umum) dan Fr. M. Venansius Edi Budi Santosa

(Anggota Dewan Umum) dengan Mgr. Herman Joseph Pandoyo Putro, O’Carm sebagai

pemimpin tertinggi kongregasi dan uskup keuskupan Malang sebagai tempat


65

Kedudukan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (Sekretariat Dewan provinsi

Indonesia, 2009 : 4).

Perpindahan kedudukan Dewan Umum Kongregasi ke Indonesia dan

pengambilalihan kepemimpinan Dewan Umum dari frater Belanda kepada frater

Indonesia merupakan suatu peluang dan sekaligus sebagai sutau tantangan yang sangat

berat bagi perkembangan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus ke depan. Namun

dengan selalu berusaha berguru kepada Daud hamba Yahwe yang selalu meletakkan

kepemimpinannya dalam tangan Tuhan, maka para Frater Bunda Hati Kudus perlu

meyakini bahwa Tuhan akan menjadikan semuanya indah pada waktunya.

B. Persiapan Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

a. Sejauh mana pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus tentang kepemimpinan

Kristiani?

b. Sejauh mana pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus tentang kepemimpinan

religius/ biara?

c. Bagaimana pengalaman para Frater Bunda Hati Kudus atas kepemimpinan para

pemimpin mereka dalam kongregasi selama ini?

d. Gambaran pemimpin yang bagaimanakah yang didambakan para Frater Bunda

Hati Kudus untuk zaman sekarang?

2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

a. Untuk mengetahui pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus tentang

kepemimpinan Kristiani.
66

b. Untuk mengetahui pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus tentang

kepemimpinan religius/ biara.

c. Untuk mengetahui pengalaman para Frater Bunda Hati Kudus atas

kepemimpinan para pemimpin mereka dalam kongregasi selama ini.

d. Untuk mengetahui gambaran pemimpin yang didambakan para Frater Bunda

Hati Kudus untuk zaman sekarang.

3. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperdalam dan meningkatkan

pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus tentang kepemimpinan Kristiani dan religius

juga dapat semakin meningkatkan semangat, ketabahan, keuletan, ketangguhan,

keberanian, dan kesetiaan para frater dalam menjalankan tugas pelayanan dan

pengabdiannya sebagai pemimpin dalam bentuk dan dalam tataran apapun yang

dipercayakan tarekat kepadanya, demi lebih besarnya kemuliaan Allah dan kebahagiaan

serta keselamatan sesama. Selain itu juga diharapkan agar melalui penelitian ini,

penulis dapat menemukan gambaran pemimpin yang didambakan oleh para frater bagi

perkembangan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus ke depan, sebagai bahan masukan

untuk pembuatan usulan katekese bagi para Frater Bunda Hati Kudus sebagai upaya

mengembangkan kepemimpinan transformatif, demi perkembangan kepemimpinan

dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus ke depan.

4. Metodologi Penelitian

Pada bagian ini, penulis akan menguraikan metodologi penelitian yang meliputi:

pendekatan penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian, teknik

pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisa data, dan keabsahan data.
67

a. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Berkaitan dengan pendekatan kulitatif ini, Moleong (2007: 6) berkata:

“Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami


fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata/ lisan, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah .”

Dalam pendekatan kualitatif ini penulis menggunakan metode wawancara

terstruktur dengan format protokol wawancara terbuka, yakni penulis menetapkan

sendiri masalah dan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada

responden dengan didasarkan atas masalah dalam rancangan penelitian. Hal ini sesuai

dengan pendapat, Moleong (2007: 190) yang mengatakan: Metode wawancara

terstruktur adalah metode wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri

masalah dan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan yang didasarkan

atas masalah dalam rancangan penelitian.

b. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009. Penelitian diadakan di komunitas

Frateran St. Vinsensius a Paulo Karang Pilang Surabaya, Komunitas St. Paulus

Kepanjen Surabaya, Komunitas St. Yohanes Berchmans Kediri dan Komunitas St.

Gregorius Malang Jawa Timur.

c. Responden Penelitian

Responden penelitian adalah para Frater Bunda Hati Kudus, baik yang sudah

berkaul kekal maupun yang masih berkaul sementara, yang berjumlah 15 orang frater.

Penulis melakukan wawancara terhadap para frater, baik frater yang berkaul kekal

maupun fratrer yunior dengan maksud agar penulis mendapatkan informasi yang lebih
68

menyeluruh, merata dan seobyektif mungkin berkaitan dengan pemahaman,

pengalaman dan harapan-harapan para Frater BHK akan kepemimpinan para

pemimpinnya di zaman sekarang. Sedangkan menyangkut jumlah responden, penulis

menetapkan 15 orang frater mengingat keterbatasan jumlah frater dan juga tingkat

kesibukan dari masing-masing frater yang ada di komunitas-komunitas sebagaimana

telah penulis sebutkan di atas.

d. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Moleong (2007: 9) berkata: “Dalam penelitian kualitatf, peneliti sendiri atau

dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama/ instrument utama.”

Pendapat Moleong di atas sangat tepat karena, jika memanfaatkan alat pengumpul data

yang bukan manusia, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian

terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Oleh karena itu, hanya manusia

sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya, dan

hanya manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan.

Selain itu hanya manusia sebagai instrument pulalah yang dapat menilai apakah

kehadirannya menjadi faktor pengganggu, sehingga apabila terjadi hal yang demikian

ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

e. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan suatu langkah penting yang harus dilalui.

Dalam hal ini, Moleong (2007:247) berkata,

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia
yang diperoleh melalui wawancara. Setelah dibaca dan dipelajari, langkah
selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan
melakukan abstraksi yaitu membuat rangkuman lalu kemudian
menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian
dikategorisasikan dan mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Langkah
69

terakhir adalah memasuki tahap penafsiran data dalam mengolah hasil


sementara menjadi teori substantif.

Berkaitan dengan teknik analisa data yang dikemukakan Moleong di atas,

penulis tidak menerapkan semua langkah proses analisa data yang ada, namun penulis

berusaha menerapakan hampir semua langkah yang ada kecuali langkah penafsiran

data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif/ teori baru, sebab

memang penulis tidak bermaksud untuk sampai ke penemuan teori baru yang dimaksud.

f. Keabsahan Data

Keabsahan data diusahakan dengan validitas (cross chek), atau obyektifitas

yaitu mengusahakan agar data yang diperoleh tidak dipengaruhi oleh pihak lain.

Adapun reliabilitas data diupayakan dengan menggunakan member chek, dengan

memberikan laporan tertulis mengenai wawancara yang telah dilakukan penulis. Tujuan

member chek adalah sebagai peneguh informasi yang diperoleh untuk digunakan dalam

penulisan sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan (Moleong, 2007: 148).

5. Laporan Hasil Penelitian

a. Temuan Umum: Komunitas para frater yang ada di Surabaya, Kediri dan

Malang Jawa Timur.

1). Komunitas Frateran St. Vinsensius a Paulo Surabaya.

Komunitas Frateran St. Vinsensius a Paulo termasuk salah satu komunitas

religius yang berada dalam wilayah teritorial Paroki St. Yoseph Karangpilang

Keuskupan Surabaya. Komunitas Frateran St. Vinsensius a Paulo ini terletak di

pinggiran kota Surabaya bagian barat, yang tingkat kehidupan ekonomi masyarakatnya

rata-rata menengah ke bawah, dan populasi penduduknyapun sangat heterogen baik


70

dari sisi suku, budaya, agama maupun ras. Komunitas ini letaknya masih agak jauh dari

keramaian dan kebisingan kota metropolitan Surabaya sehingga suasana keheningan

dan kesejukan masih terasa.

Anggota Komunitas St. Vinsensius a Paulo ini terdiri dari empat orang frater,

yakni Fr. M. Amatus, BHK (Pimpinan komunitas), Fr. M. Maximus, BHK (Mahasiswa

di Universitas Widya Mandala Surabaya jurusan Pendidikan Bahasa Inggrish), Fr. M.

Donatus, BHK (Ekonom rumah dan calon misionaris ke Kenya Afrika), dan Fr. M.

Roberto, BHK (Tata Usaha di SMPK Angelos Custos II). Keempat frater ini berasal

dari Flores.

Tugas pokok yang diemban oleh masing-masing anggota komunitas ini

berdasarkan tugas perutusan kongregasi yang dipercayakan kepada mereka

sebagaimana tertera di atas. Namun selain tugas-tugas pokok itu, para frater juga

melaksanakan tatacara kehidupan religius yang disepakati dan diputuskan bersama

dalam komunitas yang mewujud dalam acara harian komunitas. Sedangkan kegiatan-

kegiatan lain yang bersifat insidental adalah membantu pelayanan di paroki, memimpin

ibadat di lingkungan, melayani tamu yang mau menginap di komunitas, mengunjungi

umat yang sakit, mengikuti kegiatan yang diadakan oleh perkumpulan para religius

sekeuskupan Surabaya, doa lingkungan, dan koor di paroki dan lingkungan.

Komunitas Frateran St. Vinsensius a Paulo ini pun membawahi sebuah unit

karya kongregasi sebagai perwujudan misi kongregasi yakni sebuah unit Sekolah

Menengah Pertama Katolik Angelos Custos II (SMPK AC II) yang para muridnya rata-

rata orang-orang pribumi yang tingkat ekonominya rata-rata menengah ke bawah. Unit

karya ini berada di bawah naungan Yayasan Mardi Wiyata Sub Perwakilan Surabaya

yang berkedudukan di Komunitas St. Paulus Jl. Kepanjen 14 Surabaya.


71

2). Komunitas Frateran St. Paulus Surabaya

Komunitas Frateran St. Paulus Surabaya terletak di kota Surabaya bagian utara

yang juga termasuk pusat kota Surabaya. Komunitas ini termasuk wilayah teritorial

Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria Keuskupan Surabaya. Paroki Kelsapa ini

termasuk salah satu paroki tertua di kota Surabaya yang dikelola oleh para Romo

Kongregasi Misi (CM), yang umatnya rata-rata berusia lanjut dan tingkat kehidupan

ekonomi umatnyapun rata-rata menengah ke bawah.

Jumlah frater yang mendiami Komunitas St. Paulus ini sejumlah 6 orang frater

yakni: Fr. M. Normbertus, BHK (Pimpinan komunitas, Kepala Yayasan Mardi Wiyata

Sub Perwakilan Surabaya dan Kepala Sekolah SMUK Frateran Surabaya), Fr. M.

Herman Yoseph, BHK ( Wakil pimpinan komunitas, Kepala Sekolah SMPK Angelos

Custos I, dan Pengurus Yayasan Mardi Wiyata Pusat), Fr. M. Gaudensius, BHK

(Mantan Kepala Sekolah SDK Xaverius I-II Surabaya), Fr. M. Gonsalis, BHK (Guru

SDK Xaverius I-II Surabaya), Fr. M. Arnoldus, BHK (Bendahara Yayasan Sub

Perwakilan Surabaya), dan Fr. M. Gilbertus, BHK (Ekonom rumah).

Tugas utama para frater di komunitas ini adalah menjalankan tugas perutusan

kongregasi sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu untuk lebih jelasnya bahwa

Komunitas Frateran St. Paulus ini membawahi beberapa unit karya yakni: Kantor

Yayasan Mardi Wiyata Sub Perwakilan Surabaya, SMUK Frateran Surabaya, SMPK

Angelos Custos I, SMPK Angelos Custos II dan SDK Xaverius I-II Surabaya. Murid

dari unit-unit karya ini mayoritas anak-anak cina yang tingkat ekonominya menengah

ke atas terkecuali SMPK Angelos Custos II. Unit-unit karya Sub Perwakilan Surabaya

ini sekaligus merupakan pendonor utama bagi kelangsungan unit-unit karya lain yang

menyebar di Jawa dan NTT. Selain para frater melaksanakan tugas perutusan utama

tersebut, mereka juga masih membantu di bidang pelayanan lain yang sifatnya
72

insidental misalnya: tanggung koor di paroki, membantu sebagai prodiakon di paroki,

memimpin ibadat/ pendalaman iman di lingkungan, dan membantu mendampingi

kelompok-kelompok kategorial di paroki (Legio Maria, mengajar katekumen, dan

kelompok misdinar). Selain itu, berhubung letak komunitas ini yang sangat strategis

dengan jalur transportasi baik udara maupun laut, maka komunitas inipun berperan

aktif sebagai komunitas transit untuk melayani para tamu yang datang, baik itu tamu

para frater maupun tamu lainnya yang membutuhkan bantuan.

3). Komunitas Frateran St. Yohanes Berchmans Kediri

Komunitas Frateran St. Yohanes Berchmans terletak di tepi barat Sungai

Brantas, yang juga berada di tengah kota Kabupaten Kediri. Komunitas ini termasuk

dalam wilayah teritorial Paroki St. Yoseph Kediri Keuskupan Surabaya yang dikelola

oleh seorang Romo Projo (Rm. Gonsalis, Pr) dan seorang Romo Kongregasi Misi (Rm.

Thomas, CM). Tingkat kehidupan ekonomi umatnyapun rata-rata menengah ke bawah.

Komunitas Frateran St. Yohanes Berchmans ini memiliki dua peran, yakni

selain sebagai komunitas karya juga merupakan komunitas bagi para frater yang telah

memasuki usia lanjut (Komunitas Lansia). Para frater yang mendiami komunitas ini

berjumlah 6 orang frater antara lain: Fr. M. Renatus, BHK (Pimpinan Komunitas dan

Kepala Yayasan Mardi Wiyata Sub Perwakilan Kediri), Fr. M. Marselinus, BHK

(Wakil pimpinan komunitas dan Guru SMPK Frateran Kediri), Fr. M. Asterius, BHK

(Perawat para frater lansia dan guru SDK Mardiwiyata Kediri), Fr. M. Bonavantura,

BHK (Ekonom rumah), Fr. M. Paulus, BHK (Lansia) dan Fr. M. Marianus, BHK

(Lansia). Asal usul keenam frater ini yakni satu orang dari Kediri Jawa Timur (Fr. M.

Renatus, BHK), satu lagi dari Palembang yang juga keturunan Jawa (Fr. M.

Bonaventura, BHK) sedangkan keempat frater lainnya berasal dari Flores- NTT.

Komunitas Frateran St. Yohanes Berchmans ini membawahi tiga unit karya yakni:
73

Kantor Yayasaan Sub Perwakilan Kediri, SMPK Mardi Wiyata Kediri dan SDK Mardi

Wiyata Kediri. Kedua unit karya ini memiliki jumlah murid yang relatif sedikit dan

pada umumnya merupakan anak-anak pribumi yang rata-rata memiliki tingkat

kehidupan ekonomi menengah ke bawah.

Tugas pokok yang diemban oleh para frater di komunitas Frateran St. Yohanes

Berchmans ini, terkecuali kedua frater lansia adalah menunaikan tugas perutusan

kongregasi yang dipercayakan kepada mereka sebagaimana termaktub di atas. Selain

itu para frater juga ambil bagian dalam karya pelayanan di paroki dan di tengah umat

misalnya: membantu di paroki sebagai prodiakon, lektor dalam misa harian, melayani

komuni bagi umat yang sakit di RS. Baptis, mengikuti kegiatan rohani lingkungan dan

mendampingi kelompok-kelompok kategorial (mudika dan perkumpulan para

mahasiswa mahasiswi Katolik).

4). Komunitas Frateran St. Gregorius Karang Widoro Malang

Komunitas Frateran St. Gregorius ini terletak di Kabupaten Malang, Kecamatan

Dau, Desa Karang Widoro, yang posisinya berada di bagian barat kota Malang arah

menuju Gunung Kawi, yang merupakan daerah perumahan. Komunitas Frateran St.

Gregorius ini termasuk wilayah territorial Paroki St. Andreas Tidar Keuskupan Malang,

yang dikelola oleh para Imam Karmelit, yang nota benenya tingkat kehidupan ekonomi

umatnya menengah ke atas.

Komunitas ini merupakan komunitas Provinsialat di mana para Frater Dewan

Provinsi Indonesia tinggal. Komunitas ini selain didiami oleh para Dewan Kongregasi

Provinsi Indonesia juga ada beberapa frater muda yang sedang menjalani tugas studi di

kota Yogyakarta. Para penghuni Komunitas St. Gregorius ini antara lain: Fr. M.

Melkhior, BHK (Pimpinan Komunitas dan Ketua Komisi Pembangunan Kongregasi),

Fr. M. Timotheus, BHK (Wakil Pimpinan Komunitas dan Ekonom Provinsi Indonesia),
74

Fr. M. Polikarpus, BHK (Anggota Dewan Komunitas dan Bendahara Yayasan Mardi

Wiyata Pusat), Fr. M. Clemens, BHK (Mantan Provinsial, mantan Anggota Dewan

Pusat di Belanda, dan sekarang sebagai Pengelola sekaligus Direktur Museum Zoologi

Frater Vianney, BHK), Fr. M. Damianus, BHK (Provinsial), Fr. M. Kristoforus, BHK

(Wakil Provinsial), Fr. M. Ferdinandus, BHK (Ekonom Komunitas, Administratur

Pengawai Yayasan Santo Yoseph, Pengurus Arsip DPI, dan Ketua Komisi Penasihat

Keuangan Yayasan Mardi Wiyata), Fr. M. Monffort, BHK (Anggota Dewan Provinsi

Indonesia, Ketua Yayasan Mardi Wiyata, Wakil Ketua Komisi Penasihat Keuangan

Dewan Pimpinan Umum, dan Anggota Komisi Penanaman Modal Kongregasi), Fr. M.

Florianus, BHK (Mahasiswa IPPAK-USD Yogyakarta dan Anggota Tim Formasio), Fr.

M. Silvester, BHK (Sekretaris Dewan Provinsi Indonesia, Anggota Kelompok Kerja

Buku Tahunan Kongregasi, dan Staf Pengajar Novisiat), Fr. M. Wiliam, BHK

(Mahasiswa FKIP jurusan Ekonomi – USD Yogyakarta), Fr. M. Paskalis, BHK

( Mahasiswa IPPAK-USD Yogyakarta), dan Fr. M. Kardinus, BHK (Mahasiswa FKIP

jurusan Akuntansi – USD Yogyakarta). Anggota Komunitas ini semuanya berasal dari

NTT ( Flores dan Timor).

Tugas-tugas pokok yang ditangani oleh para Frater di Komunitas St. Gregorius

ini adalah sesuai dengan tugas perutusan yang dipercayakan kongregasi kepada masing-

masing frater sebagaimana termaktub di atas. Namun selain tugas-tugas pokok di atas,

para frater di komunitas ini pun ambil bagian dalam pelayanan umat di paroki dan

lingkungan misalnya: membantu sebagai prodiakon di paroki, tugas koor di paroki,

melatih koor di lingkungan, mengikuti kegiatan rohani di lingkungan, dan

membawakan komuni bagi umat yang sudah lanjut usia dan yang sakit, baik di rumah

sakit maupun di rumahnya masing-masing, mendampingi PIA, PIR, Mudika, Misdinar

dan kelompok katekumen di paroki.


75

b. Temuan Khusus: Hasil Wawancara

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan temuan khusus hasil wawancara

enam (6) responden, dari lima belas (15) responden yang telah diwawancarai, yang

sekiranya dapat memberikan gambaran yang agak lengkap tentang situasi

kepemimpinan para pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus saat ini.

Hasil wawancara ini disusun berdasarkam permasalahan penelitian yakni: Pemahaman

para Frater Bunda Hati Kudus tentang kepemimpinan Kristiani, pemahaman para Frater

Bunda Hati Kudus tentang kepemimpinan religius, pengalaman para Frater Bunda Hati

Kudus atas kepemimpinan para pemimpinnya dalam Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus selama ini, dan gambaran pemimpin yang para Frater Bunda Hati Kudus

dambakan. Menyangkut hasil wawancara secara detailnya dari masing-masing

responden dapat dilihat pada bagian lampiran 4, hal. (5) – (16).

1). Pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus tentang Kepemimpinan Kristiani

 Menurut pemahaman frater, apa itu kepemimpinan Kristiani?

R1: “… kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang berpola pada sabda


dan kehidupan Yesus sendiri.”

R4: “… kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang mengacu pada Yesus


sebagai tokoh utama yang mengajarkan dan meneladankan tentang
kepemimpinan sejati.”

R8: “… kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang bertolak dari


kepemimpinan Yesus dan seluruh ajaran-Nya, yang bukan berlagak sebagai
bos, tetapi sebaliknya sebagai pelayan dan pengabdi yang penuh cinta kasih
dan kerendahan hati.”

R12: “… kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang melandaskan diri


pada Yesus Kristus sebagai pemimpin utama dan sekaligus peletak dasar
kepemimpinan sejati sepanjang masa. Dalam hal ini seorang pemimpin harus
terbuka untuk belajar dari Yesus, bagaimana Ia memimpin para rasul-Nya,
yakni Ia memimpin mereka dengan penuh ketulusan hati, bebas dan iklas.

R14: “… Kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang mengacu pada


kepemimpinan Yesus sebagai Gembala utama, di mana Ia selalu melihat dan
merasakan apa yang dirasakan oleh manusia, dan dari sana Ia selalu berusaha
76

untuk menanggapinya. Dalam hal ini kepemimpinan Yesus selalu


membawakan pembebasan, kebahagiaan dan keselamatan sejati bagi
manusia.”

R15: “… kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang berpola dan


bersumber pada Yesus Kristus sebagai pemimpin utama dan sumber
inspirasi.”

Apa yang diungkapkan oleh ke enam responden di atas didukung oleh Sembilan

responden lainnya, yang pada intinya mereka mengungkapkan bahwa kepemimpinan

Kristiani adalah kepemimpinan yang berpola/bersumber pada ajaran Yesus Kristus dan

keteladanan hidup-Nya.

2). Pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus Tentang Kepemimpinn Religius

 Menurut pemahaman frater, apa itu kepemimpinan religius?

R4 : “… kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang selalu melandaskan


diri pada ajaran Yesus Kristus (Kitab Suci), nilai-nilai ajaran Gereja (Kitab
Hukum Kanonik), Konstitusi, anggaran dasar, regula, adat kebiasaan, dan
spiritualitas yang dihidupi oleh setiap kongregasi/ lembaga hidup bakti.

R5 : “… kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang bertolak dari ajaran


Yesus Kristus dan ajaran Gereja, untuk mewujudkan visi Kristiani dan visi-
misi kongregasi demi pelayanan yang penuh kasih dan perhatian bagi
pertumbuhan, perkembangan serta kesejahteraan hidup jasmani dan rohani
para anggotanya.”

R6 : “… kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang berpola pada Yesus


Kristus dan berusaha menyelaraskan kepemimpinannya dengan visi-misi serta
spiritualitas yang dihidupi oleh kongregasi.”

R9 : “… kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang diemban oleh


seseorang dalam suatu kongregasi, yang selalu berusaha mengarahkan para
anggotanya untuk hidup lebih terarah dan menghayati secara benar nilai-nilai
Kristiani dan nilai-nilai hidup religius dalam kehidupan sehari-hari.”

R14 : “… kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang bersifat struktural


yang dipercayakan Kristus kepada Gereja-Nya, yang dalam pelaksanaannya
tetap berpola pada Yesus Kristus sebagai pemimpin utama untuk menghantar
para anggotanya menuju kesejahteraan jasmani dan rohani.”

R15 : “… kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang tetap berpola pada


Yesus Kristus dan berusaha menyelaraskan diri dengan spiritualitas, konstitusi
dan adat kebiasaan serta amanah yang diputuskan dalam kapitel umum dan
77

kapitel provinsi, yang mencakup tiga hal pokok yakni hidup rohani/doa, hidup
berkomunitas/persaudaraan, dan hidup karya/kerasulan.”

Selain apa yang diungkapkan oleh ke enam responden di atas juga didukung

oleh ke sembilan responden lainnya dengan asumsi yang pada dasarnya memiliki esensi

yang sama bahwa kepemimpinan religius merupakan kepemimpinan yang tak

terpisahkan dari kepemimpinan Kristiani yang bersifat hirarkis dan selalu melandaskan

diri pada ajaran Yesus, ajaran Gereja dan khasanah kongregasi, demi menuntun dan

memperkembangkan para anggota dan kongregasi sesuai apa yang dicita-citakan

bersama.

3). Pengalaman para Frater Bunda Hati Kudus berkaitan dengan kepemimpinan

dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia selama ini.

 Bagaimana pengalaman frater berkaitan dengan kepemimpinan dalam

kongregasi kita khususnya dalam Provinsi Indonesia selama ini?

R1 : “… situasi kongregasi kita khususnya dalam provinsi Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis kepemimpinan yang luar biasa. Hal ini pada umumnya
disebabkan oleh faktor kepribadian dan pola kepemimpinan dari para
pemimpin kita, yakni para pemimpin kita tidak memiliki program kerja yang
jelas sehingga kerap kali program yang dijalankan hanya bersifat spontan
belaka, tidak mendalam dan bahkan tidak menjawabi kebutuhan kongregasi
dan para anggotanya. Program pengembangan sumber daya manusia para
frater yang diamanatkan kapitel provinsi dijalankan namun tidak berjalan
maksimal karena kurang adanya pengontrolan dan evaluasi serta karena
kacau-balaunya manajeman kepemimpinan yang ada. Selain itu mereka juga
kurang memiliki kemampuan untuk mendengarkan orang lain, tidak
membangun dialog dari hati ke hati/ pemibicaraan pribadi khususnya dalam
vsitasi. Pola pendekatan yang mereka bangun dengan para anggota pun lebih
bersifat otoriter, kurang memberikan kepercayaan kepada para anggota atau
memberipun hanya setengah hati, tidak memiliki kepedulian dan perhatian
terhadap pendampingan dan pembinaan lanjutan bagi para frater yunior
maupun frater senior. Beberapa hal lain yang menjadi penyebab terjadinya
ketidakefektifan kepemimpinan kita saat ini adalah kurang adanya sikap
rendah hati untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan/ kekeliruan yang
dibuat, kerap kali banyak persoalan yang timbul dalam kongregasi tidak
diselesaikan dengan baik dan tuntas, lambat dalam menanggapi persoalan
yang muncul dan sekaligus lambat membaca peluang demi
memperkembangkan kongregasi dan para anggota, Kurangnya pendalaman
78

dan penghayatan konstitusi dan spiritualitas kongregasi, serta dangkalnya


hidup doa dan keheningan hati dan kebeningan pikiran”.

R3 : “… kepemimpinan para pemimpin kita khususnya Dewan Provinsi Indonesia


saat ini telah menimbulkan banyak keprihatinan dan masalah dalam
kongregasi kita, yang pada umumnya disebabkan oleh pola kepemimpinan
dan juga faktor kepribadian mereka sendiri, misalnya: pertama-tama mereka
kurang memiliki kehidupan rohani yang mendalam, kurang mendalami dan
menghayati konstitusi dan spiritualitas kongregasi sehingga kelihatannya
mengambang dan tidak memiliki pegangan yang kuat, kurang adanya
keseimbangan antara perkataan dan perbuatan, tidak mau mendengarkan
orang lain khususnya para anggota kongregasi. Selain itu, pola pendekatan
yang mereka terapkan juga sering bersifat otoriter sehingga dampaknya
banyak frater meninggalkan kongregasi. Selain itu, mereka juga lambat
membaca peluang dan tidak mengikuti perkembangan jaman, sehingga
perkembangan kongregasi mengalami stagnasi atau bersifat statis. Hal ini
terjadi karena mereka memimpin tanpa suatu visi-misi pribadi dan program
kerja yang jelas”.

R7 : “… menurut saya ada beberapa titik lemah yang menjadi penyebab terjadinya
banyak keprihatinan dalam kongregasi kita khususnya di Provinsi Indonesia
saat ini antara lain: kurangnya sikap mengayomi oleh para pemimpin kita
terhadap semua anggota, kurang jujur dan terbuka, kurang memilki
pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang kepemimpinan dan hal-hal
yang berkaitan dengan hal ikhwal kongregasi. Selain itu mereka juga
perilakunya masih infantile/ kekanak-kanakan, kurang berwibawa, sehingga
kesannya mereka ada atau tidak ada sama saja”.

R10 : “… pengalaman saya berkaitan dengan kepemimpinan para pemimpin kita


khususnya dalam Provinsi Indonesia saat ini, yakni kini kita masuk dalam
suatu situasi yang sangat memprihatinkan dan sekaligus mengkhawatirkan
untuk keberadaan dan perkembangan kongregasi kita ke depan. Hal ini
menurut pengamatan saya disebabkan oleh faktor kepribadian para pemimpin
dan juga pola kepemimpinan mereka yang kurang pas misalnya: saya sangat
tidak setuju soal komposisi Dewan Provinsi Indonesia saat ini yang hanya
berjumlah tiga orang dengan kapasitas yang tidak seimbang, yang kerap kali
menjadi penyebab terjadinya ketidakberesan dalam menangani masalah-
masalah yang timbul dalam kongregasi. Selain itu hidup doa sebagai fondasi
hidup seorang religius dan bagi seorang pemimpin religius pada khususnya
sangat terabaikan oleh pribadi para pemimpin kita sehingga mereka tidak
memiliki power dan spirit serta kebijaksanaan dalam memimpin. Dalam hal
ini kelihatan bahwa mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan dan
kesibukan-kesibukan pribadi yang tidak penting bagi kongregasi dan
akhirnya mereka dengan begitu mudah mengabaikan tugas pokoknya sebagai
pemimpin dalam kongregasi. Selain itu, mereka juga tidak memiliki
kemampuan untuk membangun komunikasi dan dialog dari hati ke hati
dengan para anggota kongregasi khususnya dalam visitasi untuk
mendengarkan apa yang menjadi pergulatan, keluhan, problem, kesuksesan,
kegagalan, dan kegembiraan mereka, sehingga dari sana sebagai seorang
79

pemimpin dapat memberikan apresiasi, dukungan, dan motivasi bagi para


anggotanya”.

R11 : “… dalam kepemimpinan Dewan Provinsi Indonesia saat ini saya


mengalami, merasakan dan menemukan bahwa kepemimpinan mereka
berjalan namun boleh saya katakan kepemimpinan yang mereka jalani adalah
kepemimpinan tanpa roh dan tanpa arah serta tujuan yang jelas. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal antara lain : sebagai pemimpin religius mereka
kurang mendalami dan menghayati spiritualitas, konstitusi dan visi-misi
kongregasi sehingga kelihatannya mereka sangat labil dan tanpa pegangan.
Selain itu mereka juga kurang terbuka terhadap Tuhan melalui hidup doa
yang mendalam dan juga terhadap sesama konfrater, mereka juga kurang
rendah hati untuk mengolah diri agar dari sana mereka dapat menemukan apa
yang menjadi kekuatan dan kelemahan mereka sebagai dasar pijakan untuk
mengemban tugas kepemimpinan dengan baik dalam membimbing dan
menuntun para anggotanya ke jalan yang baik dan benar sebagaimana dicita-
citakan bersama. Mereka juga tidak mampu membangun pendekatan yang
baik dengan para anggota yakni melalui komunikasi dan dialog dari hati ke
hati untuk mengenal dengan jelas apa yang menjadi kelebihan, kekurangan,
dan kerinduan terdalam dari masing-masing anggota untuk kemudian
dijadikan sebagai dasar pijakan dalam mendampingi dan memberikan
kepercayaan kepada masing-masing anggota. Hal lain yang menjadi
penyebab melemahnya kepemimpinan mereka adalah mereka memimpin
tanpa suatu program kerja yang jelas dan kurang adanya kerja sama yang
solit di antara mereka sebagai pemimpin”.

R15 : “… pengalaman dan kesan saya terhadap kepemimpinan Dewan Provinsi


Indonesia saat ini adalah pertama-tama secara pribadi saya mengatakan
bahwa, saya sangat kecewa dengan pola kepemimpinan mereka selama ini, di
mana pola kepemimpinan mereka tidak konsisten dengan apa yang telah
diamanatkan oleh kongregasi melalui kepitel umum dan kapitel provinsi,
sehingga kita bisa melihat, mengalami dan merasakan bersama bahwa
kongregasi saat ini sungguh ditelantarkan dan tidak diurus dengan baik.
Mereka memimpin tanpa pegangan dan arah yang jelas karena mereka tidak
memiliki program kerja yag jelas, kehidupan rohani sangat lemah dan
dangkal, dan mereka hanya sibuk dengan urusan dan kesibukan pribadi dan
tidak mau duduk tenang untuk mempelajari, mendalami dan memaknai
konstitusi dan spiritualitas kongregasi sebagai dasar setiap kebijakan mereka.
Di satu sisi mereka tidak memiliki kerendahan hati untuk mengintrospeksi
diri dan menyadari apa yang menjadi kekurangan dan kelemahan mereka,
untuk kemudiaan berusaha membenahi diri, malah sebaliknya mereka hidup
dan berjalan seolah-olah tanpa beban. Dalam hal ini mereka tidak mampu
memberikan kesaksian hidup sebagai orang terpanggil baik dari sisi hidup
rohani, hidup bersama/persaudaraan dan hidup karya. Dampak dari semua ini
dapat kita lihat bersama yakni secara kualitas dan kuantitas hidup dan karya
kita semakin menurun bahkan merosot tajam. Bertolak dari semua ini saya
sebagai orang tua/ frater senior yang juga pernah menjadi pemimpin baik di
provinsi maupun di pusat, sering kali merenung dan bertanya “ apakah
dengan realitas seperti ini, ke depan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus
masih bertahan hidup?”
80

Selain pengalaman dan realitas yang diungkapkan keenam responden di atas,

sembilan reponden lain juga mengukapkan realitas-realitas yang hampir sama, yang

pada umumnya mengarah pada satu pendapat bahwa keberadaan Kongregasi Frater

Bunda Hati Kudus khususnya di Porvinsi Indonesia saat ini sedang mengalami krisis

kepemimpinan yang cukup parah yang perlu mendapatkan perhatian secara serius dari

seluruh anggotanya untuk menyadari dan membenahinya kembali.

4). Gambaran Pemimpin yang didambakan oleh para Frater Bunda Hati Kudus

bagi kelangsungan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di zaman sekarang.

 Menurut frater gambaran pemimpin yang bagaimanakah yang frater

dambakan bagi kelangsungan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di

zaman sekarang?

R3 : “… gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah pemimpin yang


memiliki keseimbangan antara perkataan dan perbuatan, yang dialogis,
mampu mendengarkan, tidak otoriter, mampu mengikuti perkembangan
jaman, berspiritualitas mendalam, dan mampu memberikan teladan hidup
bagi para anggota dan orang lain”.

R4 : “… gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah : Pemimpin yang


dialogis, partisipatif, yang dipercaya dan mempercayai anggota,
berkemampuan mengontrol/mengevaluasi, rendah hati, mendengarkan,
berani melakukan terobosan dan berani mengambil resiko, yang fleksibel
dan situasional, memiliki visi-misi yang jelas, yang tegas dalam prinsip
namun lembut dalam bersikap”.

R8 : “… gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah pemimpin yang


mampu membimbing, mengarahkan dan menuntun para anggota untuk
melangkah dan menghayati hidup sesuai dengan khasanah Gereja dan
kongregasi yakni Kitab Suci, tradisi Gereja, konstitusi, adat kebiasaan,
spiritualitas, kehidupan doa dan keheningan batin. Selain itu juga
pemimpin yang rendah hati, yang mampu memberikan teladan hidup,
terbuka dan jujur, tidak konsumeris dan hedonis, yang dialogis, partisipatif
dan mampu mendengarkan orang lain”.

R13 : “… gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah pemimpin yang


memiliki kemampuan manajerial, memiliki kematangan rohani,
81

komunikatif, mampu mendengarkan, menghargai orang lain, jujur, terbuka,


rendah hati, berwibawa dan bijaksana”.

R14 : “… gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah pemimpin yang


memiliki relasi intim dengan Yesus sebagai pemimpin utama dalam
hidupnya, mampu mengangkat harkat dan martabat setiap anggotanya,
dialogis, peka, mampu mendengarkan, memiliki keseimbangan antara
pikiran dan hatinya, tahu menempatkan diri, mampu mengolah diri dan
dapat memberikan kesaksian hidup bagi para anggota dan orang lain,
rendah hati, bijaksana, berwibawa, dan yang mau mengabdi dan melayani
penuh cinta”.

R15 : “… gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah pemimpin yang


mampu membimbing, menuntun, memotivasi dan menggerakkan para
anggota agar secara pribadi maupun bersama-sama bertanggungjawab
terhadap panggilannya dan juga bertanggungjawab terhadap vivi-misi dan
spiritualitas kongregasi, terutama dalam meningkatkan dan memperdalam
hidup doa, hidup bersama/persaudaraan, dan hidup karya. Selain itu juga
pemimpin yang rendah hati, dapat dipercaya dan memberikan
kepercayaan kepada para anggota, memiliki kemampuan mengontrol dan
mengevaluasi, dan yang paling mendasar adalah pemimpin yang memiliki
kematangan diri, baik secara jasmani maupun rohani/spiritual”.

Gambaran pemimpin yang diungkapkan oleh enam responden di atas didukung

dan dilengkapi oleh pendapat sembilan responden lainnya yang pada intinya sama-sama

mendambakan seorang pemimpin yang patut diteladani dalam kehidupan sebuah

lembaga religus di zaman sekarang.

c. Pembahasan Penelitian

Pada bagian ini akan disampaikan pembahasan penelitian, berdasarkan hasil

penelitian mengenai kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di

zaman sekarang. Dalam pembahasan ini penulis memaparkannya dalam 4 (empat)

bagian. Pertama, mengenai pemahaman para frater tentang kepemimpinan Kristiani.

Kedua, mengenai pemahaman para frater tentang kepemimpinan religius. Ketiga,

mengenai pengalaman para frater berkaitan dengan kepemimpinan dalam Kongregasi

Frater Bunda Hati Kudus selama ini. Keempat, mengenai gambaran pemimpin yang

didambakan oleh para Frater Bunda Hati Kudus dalam kehidupan di zaman sekarang.
82

1). Pemahaman para Frater Tentang Kepemimpinan Kristiani

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa para Frater Bunda Hati Kudus,

telah memahami arti kepemimpinan Kristiani. Menurut mereka, kepemimpinan

Kristiani adalah kepemimpinan yang mengacu dan berpola serta berpusat pada ajaran

dan keteladanan hidup Yesus Kristus. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan

oleh rasul Petrus dalam suratnya yang pertama yang mengatakan bahwa: “Sebab untuk

itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah

meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Ptr 2:21).

Dari ungkapan pemahaman para frater tentang kepemimpinan Kristiani ini,

menunjukkan bahwa betapa mutlaknya ajaran dan keteladanan hidup Yesus bagi

seorang Kristen dalam mengemban tugas kepemimpinan yang dipercayakan

kepadanya.

Pemahaman akan arti kepemimpinan Kristiani ini tidak secara otomatis dapat

dihayati dan dilaksanakan secara baik oleh seorang pemimpin dalam ranah

kepemimpinannya. Begitupun halnya para Frater Bunda hati Kudus yang secara

pemahaman mereka telah cukup memahami tentang kepemimpinan Kristiani namun

dalam penghayatan masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Hal ini terungkap dari

para frater bahwa betapa indahnya ajaran dan keteladanan hidup Yesus yang

diwariskan-Nya kepada kita, namun betapa sulitnya setiap orang Kristen khususnya

setiap pemimpin Kristen untuk menghayati dan mengaktualisasikannya dalam

kehidupan sehari-hari. Namun bagaimanapun juga ajaran dan keteladanan hidup Yesus

inilah yang menjadi satu-satunya tolok ukur bagi kepemimpinan Kristiani sepanjang

masa. Inilah yang harus dihayati, dimaknai, diaktualisasikan dan diperjuangkan oleh

setiap pengikut-Nya khususnya oleh setiap pemimpin Kristen.


83

2). Pemahaman para Frater Tentang Kepemimpinan Religius

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa pada umumnya para frater

sudah cukup memahami arti kepemimpinan religius. Pada intinya mereka berpendapat

bahwa, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang bersifat struktural yang

dipercayakan Kristus kepada Gereja-Nya / pengikut-Nya yang dalam pelaksanaannya

tetap berpola pada Yesus Kristus sebagai pemimpin utama, ajaran Gereja, Konstitusi,

adat kebiasaan dan spiritualitas kongregasi untuk menghantar para anggotanya menuju

kesejahteraan jasmani dan rohani secara utuh. Hal ini sesuai dengan apa yang

digambarkan oleh para Bapa Gereja tentang Kepemimpinan Religius sebagaimana

termaktub dalam Kitab Hukum Kanonik, Bab II khususnya dalam kanon 618, yang

mengungkapkan bahwa ”Para pemimpin hendaknya menjalankan kuasa yang diterima

dari Allah lewat pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian,...” (KHK, no. 618,

1999: 193).

Oleh karena itu setiap pemimpin religius dalam mengemban tugas

kepemimpinannya, ia harus selalu menyadari bahwa tugas kepemimpinan yang

diembannya melulu merupakan kepercayaan dari Allah sendiri, sehingga dengan

demikian seorang pemimpin religius harus senantiasa menyelaraskan

kepemimpinannya dengan apa yang menjadi kehendak dan rencana Allah baginya demi

pertumbuhan dan perkembangan kongregasi, serta demi kesejahteraan jasmani dan

rohani para anggotanya. Namun para frater pun menyadari penuh bahwa ternyata

pengertian kepemimpinan religius ini tidak cukup hanya sebatas dipahami tetapi juga

harus dihayati, dimaknai dan diaktualisasikan oleh setiap pemimpin religius,

khususnya dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus.


84

3). Pengalaman para Frater berkaitan dengan kepemimpinan dalam Kongregasi

Frater Bunda Hati Kudus selama ini.

Berdasarkan hasil penelitian yang ada, terungkap oleh masing-masing frater

bahwa ternyata kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus selama ini,

tidak secara sepenuhnya para pemimpin menghayati dan mengaktualisasikan apa yang

dicita-citakan dalam kepemimpinan Kristiani dan kepemimpinan religius sebagaimana

termaktub di atas. Hal ini terlihat dari begitu banyaknya ungkapan keprihatinan dan

krisis kepemimpinan yang sedang terjadi dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus

saat ini. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan bagi banyak frater

tentang masa depan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus.

Dalam penelitian ini, pada umumnya para frater mengungkapkan bahwa

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan

yang sangat parah. Hal ini disebabkan oleh faktor kepribadian yakni kelemahan-

kelemahan manusiawi dari para pemimpin yang tidak disadari dan diolah. Selain itu

juga faktor manajerial kepemimpinan yang sangat rapuh, sebagaimana terungkap dalam

hasil wawancara yang telah penulis paparkan di atas. Dari hasil wawancara itu pada

umumnya responden (para frater) berpendapat bahwa kepemimpinan dalam

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, khususnya dalam Dewan Provinsi Indonesia saat

ini diibaratkan seperti robot yakni berjalan tanpa roh dan kekuatan serta pegangan.

Situasi keprihatinan ini tak dapat dipungkiri, dan ini menjadi keprihatinan dan tanggung

jawab bersama seluruh anggota kongregasi untuk bersama-sama berusaha mencari

solusi terbaik untuk menyelamatkan masa depan kongregasi dari situasi dan keadaan

yang sangat mencemaskan ini.


85

4). Gambaran pemimpin yang didambakan oleh para Frater dalam kehidupan di

zaman sekarang.

Dari hasil penelitian yang ada, dengan bertolak dari realitas yang sedang terjadi

dalam kongregasi saat ini, yakni krisis kepemimpinan yang telah menimbulkan

keprihatinan serta kecemasan yang mendalam, para frater mendambakan dan

merindukan suatu perubahan dan pembaharuan / transformasi kepemimpinan dalam

kongregasi saat ini. Hal ini terungkap dari setiap responden yang pada umumnya

mendambakan pemimpin yang memiliki relasi intim dengan Yesus sebagai pemimpin

utama dalam hidupnya, mampu mengangkat harkat dan martabat setiap anggotanya,

dialogis, peka, mampu mendengarkan, memiliki keseimbangan antara pikiran dan

hatinya, tahu menempatkan diri, mampu mengolah diri dan dapat memberikan

kesaksian hidup bagi para anggota dan orang lain, rendah hati, bijaksana, berwibawa,

dan yang mau mengabdi dan melayani penuh cinta dengan meneladan pola

kepemimpinan Yesus sendiri sebagai pemimpin utama dan pemimpin sejati sepanjang

masa.

Kiranya inilah yang menjadi kerinduan terdalam dari setiap frater dalam

menyikapi realitas kepemimpinan yang sedang berlagsung selama ini. Oleh karena itu

hanya melalui suatu kesadaran mendalam dan pengolahan diri yang baik serta suatu

proses transformasi diri yang utuh dan menyeluruhlah, suatu keterpurukan, kelemahan

dan kekurangan dapat teratasi dan diperbaharui menuju suatu ranah yang lebih baik dan

berkualitas yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan suatu lembaga

religius serta semakin terjaminnya kesejahteraan jasmani dan rohani para anggotanya.

Dalam hal ini seorang pemimpin dituntut untuk senantiasa menyadari keberadaannya

dari sisi kelebihan dan terutama apa yang menjadi kelemahannya, sehingga dari sana ia
86

berusaha untuk mentransformasikan dirinya menuju suatu kepemimpinan yang lebih

baik dan efektif bagi pertumbuhan dan perkembangan kongregasinya.

d. Kesimpulan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa setiap

pemimpin Kristiani pada umumnya dan pemimpin religius khususnya mutlak harus

memahami arti dan makna kepemimpinan Kristiani dan kepemimpinan religius,

sehingga ia tahu dan secara sadar, mau berusaha mengaktualisasikan nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya dalam seluruh ranah kepemimpinannya demi kesejahteraan

jasmani dan rohani para anggotanya serta demi perkembangan dan kemajuan karya

kerasulan kongregasi yang dipimpinnya. Kiranya hal inilah yang patut dipahami dan

dihayati serta diwujudkan oleh para pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus di zaman sekarang.

Berkaitan dengan pengalaman para frater sehubungan dengan pola

kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus saat ini, ternyata realitas

berbicara lain. Kenyataannya dalam kepemimpinan saat ini tidak berjalan sesuai

dengan apa yang diharapkan bersama atau boleh dikatakan kepemimpinan dalam

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus khususnya dalam Provinsi Indonesia saat ini

sangat melenceng jauh dari apa yang menjadi idealisme kepemimpinan Kristiani dan

kepemimpinan religius yang dicita-citakan bersama. Hal ini terungkap dari keprihatinan

yang diungkapkan oleh setiap responden yang kesemuanya menunjukkan keprihatinan

yang mendalam berkaitan dengan kepemimpinan Kongregasi frater Bunda Hati Kudus

di Indonesia saat ini.

Bertolak dari realitas kepemimpinan kongregasi yang sangat memprihatinkan

tersebut, maka para responden merindukan perubahan dan pembaharuan/transformasi


87

kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus demi semakin bertumbuh

dan berkembangnya kongregasi.

Untuk mencapai semuanya ini, setiap anggota kongregasi dituntut untuk

menyadari keberadaan dirinya (kelebihan dan kelemahannya) sehingga dari sana dapat

timbul suatu kesadaran untuk mentransformasikan diri baik secara pribadi maupun

secara bersama-sama menuju kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam hal ini para

anggota kongregasi juga dituntut untuk membantu para pemimpinnya dalam

mengupayakan proses transformasi ini tanpa menuding, mempersalahkan bahkan

melukai satu sama lain.

Berdasarkan realitas ini, maka pada Bab V dalam penulisan ini, penulis akan

mengusulkan sebuah katekese bagi para Frater Bunda Hati Kudus sebagai upaya

mengembangkan kepemimpinan transformatif, demi terwujudnya kesejahteraan hidup

jasmani dan rohani para frater dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di zaman

sekarang.
88

BAB V

USULAN KATEKESE BAGI PARA FRATER BUNDA HATI KUDUS

SEBAGAI UPAYA MENGEMBANGKAN KEPEMIMPINAN

TRANSFORMATIF

Hakekat kepemimpinan Kristiani adalah kegembalaan yang melayani,

merupakan gambaran pemimpin Kristiani yang ideal. Dengan demikian pemimpin

yang baik adalah pemimpin yang bersikap seperti ”gembala” yang baik terhadap

”domba-dombanya”, atau para anggota yang harus dilayaninya. Oleh karena itu sikap

utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin gembala adalah ia harus rela

berkorban/ mau direpotkan oleh para anggotanya, mengusahakan dirinya bermanfaat

bagi para anggotanya, siap melindungi/ memberi rasa nyaman bagi para anggotanya,

dekat dan mengenal secara mendalam para anggotanya, sehingga ia dapat dicintai dan

dipercaya oleh mereka, dan yang paling mendasar adalah ia harus memiliki relasi yang

intim dan mendalam dengan Allah, sehingga segala tidakan dan kebijakkannya selalu

selaras dengan rencana dan kehendak Allah. Selain itu karena ia dekat dan merasa

dikenal Allah, maka ia amat berani karena merasa selalu disertai Allah dalam

membimbing, menuntun dan melayani para anggotanya. Kiranya kualifikasi

kepemimpinan gembala ini sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan transformatif,

di mana sang pemimpin berusaha untuk senantiasa mentransormasikan dirinya dan juga

hidup para anggotanya. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Wofford (2001:154) yang mengatakan bahwa “Para pemimpin Kristen yang

transformatif adalah pemimpin yang peka terhadap kebutuhan para pengikut/ para

anggotanya sebagai individu-individu”. Lebih lanjut Wofford mengatakan bahwa:

Perhatian pemimpin terhadap domba-dombanya/ para anggotanya juga tampak


dalam banyak bentuk: rela mengorbankan minat-minat pribadi, memberikan
89

waktu dan tenaga, memperlakukan mereka dengan adil, memberikan perhatian


terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, dan mengasihi mereka sebagai
orang Kristen (Wofford, 2001: 154).

Seorang pemimpin gembala yang transformatif adalah seorang pemimpin yang

menyediakan dirinya bagi pelayanan terhadap para anggotanya dan menjadikan para

anggotanya sebagai orientasi utama kepemimpinannya dan bukan kepentingan dan

opsesi pribadinya. Dalam hal ini pemimpin selalu berusaha untuk mentransformasikan

dirinya dan juga para anggotanya untuk bersama-sama hidup terarah pada apa yang

dicita-citakan bersama dalam lembaga atau kongregasi yang dihidupinya dan sekaligus

mempersiapkan para anggotanya untuk menjadi calon-calon pemimpin yang handal

dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kongregasi. Oleh karena

itu bertolak dari hasil penelitian yang telah penulis paparkan dalam Bab IV khususnya

berkaitan dengan keberadaan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia saat ini

dan adanya harapan-harapan akan suatu perubahan dalam kepemimpinan kongregasi

saat ini dan ke depan, maka penulis merasa perlu adanya suatu proses transformasi diri

yang menyeluruh bagi para Pemimpin Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus maupun

bagi para anggotanya.

Pada Bab V ini penulis mengusulkan sebuah model kepemimpinan yang tak

terpisahkan dari model kepemimpinan Kristiani yang penulis anggap masih sangat

relevan dan inspiratif untuk dapat dihayati dan dikembangkan oleh para pemimpin

maupun para anggota Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus demi meningkatkan

pertumbuhan dan perkembangan kongregasi. Model kepemimpinan yang dimaksud

adalah “Model kepemimpinan Transformatif”. Model kepemimpinan transformatif ini

akan disosialisasikan dan diperdalam melalui suatu bentuk katekese yang penulis

usulkan dalam bab ini juga.

Model kepemimpinan transformatif ini merupakan bagian tak terpisahkan dari


90

model kepemimpinan Yesus sebagai gembala yang baik yang selalu berjuang bahkan

memberikan nyawa-Nya sendiri sebagai tebusan dan sekaligus demi memberikan rasa

nyaman, sukacita dan kegembiraan bagi yang sedih dan kesepian, kelimpahan bagi

yang berkekurangan, kesembuhan bagi yang sakit, menunjukkan jalan bagi yang

tersesat dan kemerdekaan dan keselamatan sejati bagi yang terbelenggu.

A. Kepemimpinan Transformatif sebagai Model Kepemimpinan yang

diharapkan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Zaman Sekarang

1. Kepemimpinan Transformatif

a. Pengertian Transformasi

Isitilah transformasi berasal dari bahasa Latin trans (= di seberang/

menyeberang/ melintasi) dan formatio (dari forma = bentuk, rupa, wujud) yang

berkaitan dengan kata kerja formare yang berarti ‘memberi bentuk kepada’,

‘membentuk’. Maka istilah transformasi memuat makna “suatu perubahan bentuk yang

selalu terjadi dalam proses” (Martasudjita, 2001:50).

b. Pengertian Kepemimpinan Transformatif

Kepemimpinan transformatif menurut Darminta (2005:50) adalah

“kepemimpinan yang mampu memotivasi untuk mengadakan pembaharuan atau

perubahan hidup secara positif”. Dalam ranah kepemimpinan religius sebagai wujud

konkret dari struktur pelayanan dalam suatu lembaga hidup bakti atau suatu kongregasi,

dalam perkembangannya hingga saat ini belum mencapai titik kesempurnaannya.

Dalam hal ini kepemimpinan dalam lembaga Gereja khususnya lembaga hidup religius

masih sangat labil, yang dari saat ke saat masih membutuhkan suatu transformasi

sebagai suatu proses menuju suatu pola kepemimpinan yang ideal yang tentu saja

berpusat dan bersumber pada Kristus sebagai pusat dan sumber keteladanan
91

kepemimpinan sejati. Oleh karena itu dalam suatu lembaga religius harus selalu

berusaha menyadari keberadaannya, baik dari sisi positif maupun sisi negatifnya dalam

kaitannya dengan kepemimpinannya sebagai barometer kehidupan lembaga itu sendiri.

Dengan demikian pemimpin dan seluruh anggota lembaga itu secara sadar, tahu dan

mau mengadakan suatu proses transformasi diri menuju suatu taraf kehidupan yang

lebih berkualitas baik dari sisi kepemimpinannya maupun aspek-aspek kehidupan lain

dari lembaga itu. Sebab apabila hal ini tidak disadari dan dilakukan maka, lembaga

hidup religius itu entah cepat atau lambat akan mengalami stagnasi bahkan mati.

Transformasi atau pembaharuan menurut Darminta (2005:47) adalah “kelahiran

cara hidup baru dengan menerima gagasan serta pandangan baru, cara kerja dan

kerasulan baru ataupun juga yang dapat tumbuh dan berkembang dalam hidup religius

secara positif”. Lebih lanjut Darminta mengatakan tumbuh menjadi baru berarti bahwa

“hidup religius tetap bermakna baik bagi kaum religius itu sendiri maupun bagi orang

lain yang menerima pelayanan kaum mereka”. Dalam hal ini seorang pemimpin dalam

menjalankan perannya ia harus berusaha untuk menanggalkan egonya dan

menempatkan kehidupan para anggota serta visi-misi lembaga yang dipimpinnya

sebagai hal tertinggi yang harus ia perjuangkannya. Untuk mencapai hal ini, pemimpin

harus mampu mengosongkan dirinya untuk dengan segala kerendahan hati dan penuh

cinta mendekati, membangun baik secara bersama-sama maupun dari hati ke hati,

mengayomi, mendengarkan apa yang menjadi pergulatan, kegagalan, kesuksesan,

kesedihan, kegembiraan yang dialami oleh para annggotanya, sehingga dari sana ia

berusaha memotivasi dan mendukung mereka untuk bersama-sama berjuang

mewujudkan, memajukan dan memperkembangkan apa yang menjadi tujuan hidup

mereka dan sekaligus visi-misi lembanganya. Oleh karena itu seorang pemimpin dalam

menjalankan fungsinya ia perlu memperhatikan beberapa hal penting sebagaimana


92

dikemukakan oleh Darminta (2005:50) sebagai berikut:

1). Seorang pemimpin harus mengusahakan terjadinya kepemimpinan yang

mendukung. Hal ini dicapai melalui dialog dan keterlibatan semua anggota baik

secara prbadi maupun bersama, demi menemukan kekuatan yang ada dalam

kelompok untuk masuk ke dalam suatu proses pembaharuan serta perubahan dalam

pelayanan kepada Tuhan dan sesama.

2). Pemimpin harus membantu atau mengajak anggotanya untuk menemukan sarana-

sarana yang mau dicapai bersama demi suatu perubahan cara hidup, atau cara kerja,

atau penciptaan karya-karya baru yang tepat guna atau yang sesuai dengan

kebutuhan bahkan peningkatan karya yang sudah ada.

3). Pemimpin harus menumbuhkan keyakinan dan kemampuan anggota untuk bertindak

dan mengambil langkah yang tepat dan bijaksana. Pemimpin mengajak seluruh

anggotanya untuk mengusahakan suatu kemajuan meskipun dalam prosesnya ada

ketidakberdayaan, tantangan atau penderitaan tetapi pemimpin dan para anggotanya

perlu memiliki keyakinan yang teguh bahwa penderitaan dalam mencapai suatu

pembaharuan itu berharga dan bermakna, oleh karena itu pemimpin dituntut untuk

memiliki kesabaran dan ketegaran.

4). Pemimpin perlu menempatkan bakat dan ketrampilan seseorang menurut kebutuhan

sehingga mereka dapat memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan dan

perkembangan kongregasi ke arah yang lebih baik lagi.

5). Seorang pemimpin perlu mengembangkan team work dan kerjasama dengan orang

lain/ lembaga lain yang dipercayakan untuk membantunya dalam menjalankan


93

suatu tanggung jawab sehingga kepemimpinannya dapat lebih efektif dan efisien.

Kepemimpinan kegembalaan yang transformatif dapat dikatakan sebagai

kepemimpinan yang efektif dan efisien apabila kepemimpinan itu mampu membawa

para anggotanya untuk memasuki suatu proses transfomasi diri tahap demi tahap

menuju suatu kehidupan yang lebih baik yang diidealkan bersama dengan tidak

meninggalkan dunia sebagai tempat pijakkannya dengan segala tuntutan dan

tantangannya. Proses semacam ini merupakan suatu proses metanoia/ proses

pembaharuan hidup secara terus-menerus baik bagi pemimpinnya maupun bagi para

anggotanya demi pencapaian kesempurnaan hidup bersama sebagai suatu lembaga

religius.

2. Kemampuan Dasar Kepemimpinan Transformatif

Menjadi seorang pemimpin yang transformatif merupakan sesuatu hal yang tidak

gampang seperti membalikkan telapak tangan. Sebab untuk menjadi seorang

pemimpin yang transfomrmatif perlu adanya suatu keberanian dan kemampuan

dasar dalam diri sang pemimpin itu sendiri sebagai kekuatan yang dapat

memampukan dia dalam melakukan suatu transformasi baik bagi dirinya maupun

bagi para anggotanya demi pertumbuhan dan perkembangan lembaga/ kongregasi

yang dipimpinnya. Kemampuan-kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh

seorang pemimpin itu menurut Martasudjita (2001: 36-40) adalah:

a. Menjadi seorang pemimpin yang mampu terus belajar, yakni mampu untuk

mendengarkan, membaca, menangkap masalah, menganalisa, mempertimbangkan

macam-macam hal dan faktor, berwawasan luas, mampu berdialog, peka pada

tanda-tanda zaman dan mau berkembang serta mengubah diri.


94

b. Menjadi komunikator yang baik, yang mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas,

tegas tatapi bijaksana dan lembut, mampu mengungkapkan perasaan secara

seimbang, mampu merumuskan sesuatu dengan tepat dan inspiratif, mampu

menghubungkan yang sekarang dengan yang lampau, dan mampu membangkitkan

semangat para anggota untuk bekerja giat dan hidup baik.

c. Menjadi pemersatu, seperti seorang dirigen dalam orkestra, yang mampu

memadukan aneka kekayaan dan kekhasan masing-masing anggota, bagi kebaikan

keseluruhan. Ia juga harus mampu membuat para anggotanya merasa at home dan

merasa dirinya berharga dan penting bagi komunitas/ persekutuan.

d. Menjadi orang yang mampu dan berani membuat keputusan yang tepat dan

bijaksana bagi kebaikan bagi seluruh anggota kongregasi dan pihak-pihak lain yang

berhubungan dengan keputusan itu. Ia pun harus berani mengambil resiko dan

menanggungnya.

e. Menjadi orang yang bersemangat dalam melayani proses transformasi kongregasi,

bagi kemajuan dan kebaikan kongregasi, Gereja, dan masyarakat. Proses

transformasi yang harus ia buat juga meliputi kemampuan untuk mangadakan

kaderisasi atau regenerasi kepemimpinan yang baik. Pemimpin yang membuat

segalanya terpusat pada dirinya dan tidak memungkinkan orang lain berkembang

dan menggantikan dirinya tentulah bukan pemimpin yang berjiwa transformatif.

Kepemimpinan transformatif di sini berarti kepemimpinan yang mampu mengubah

hidup dari hidup yang terpusat pada diri atau kepentingan sendiri ke hidup altruis,

yakni hidup untuk orang lain dan makin terbuka terhadap suka-duka kehidupan

masyarakat sekitarnya, terutama bagi mereka yang lemah, kecil, miskin, dan

tersingkir.
95

f. Menjadi orang yang bisa mengerjakan seperti yang dikerjakan Yesus dalam

perjalanan-Nya ke Emaus bersama kedua murid itu. Di situ seperti Yesus,

pemimpin harus memiliki visi dan arah yang jelas yang mau dituju, mendorong,

mendengarkan, mengajak refleksi dan bertanya bagi penemuan kehendak Allah,

memberi informasi, menarik implikasi-implikasi, mampu menghubung-hubungkan

dan membagikan roti kepada teman perjalanan.

g. Menjadi pendoa. Seorang pemimpin yang baik dan transformatif tentu ia rajin

berdoa untuk kawanannya/ para anggotanya, teman-teman sekomunitasnya,

umatnya atau orang-orang yang dipercayakan kepadanya. Ia juga perlu menjadi

seorang yang hidup rohani dan doanya mendalam, sebagaimana terungkap dalam

kata dan tindakan sedemikian rupa sehingga para anggotanya dan orang lain di

sekitarnya merasa damai dan tenang.

3. Spiritulitas Kepemimpinan Transformatif

Memahami dan menguasai teori-teori dan ketrampilan kepemimpinan

transformatif belumlah cukup bagi seorang pemimpin untuk menjadi seorang pemimpin

transformatif yang sesungguhnya. Oleh karena itu seorang pemimpin khususnya para

pemimpin dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus sangat perlu memperdalam

spiritualitas kepemimpinan transformatif yang menyangkut inti jiwa atau roh yang

senantiasa mendorong, menguatkan dan menyemangati sang pemimpin dalam

menghayati dan mengaktualisasikan kepemimpinannya dengan menempatkan Kristus

sebagai pusat/ titik sentral kepemimpinannya yang terejawantah dalam diri para

anggota yang dipimpinnya. Dalam hal ini seorang pemimpin harus selalu menjadikan

Kristus sebagai sumber dan pusat kekuatan dan inspirasi kepemimpinannya. Dalam hal

ini, Martasudjita (2001: 45) mengatakan:


96

…. makna terdalam kepemimpinan transformatif dalam semangat Injil, adalah


suatu kepemimpinan yang tidak pernah mengganti posisi sentral Tuhan dengan
dirinya. Ia rela untuk tidak menjadi pusat perhatian, dan biarlah para anggota
tetap hanya memiliki satu fokus perhatian, yakni Tuhan sendiri. Seorang
pemimpin tranformatif menurut semangat Injil akan rela untuk dilupakan,
diabaikan dan dianggap tidak penting. Yang penting baginya adalah bahwa
Tuhanlah yang diabdi dan dilayaninya, sebagaimana semangat Yohanes
Pemandi sendiri yang berkata: “Ia (Yesus) harus makin besar, tetapi aku harus
makin kecil” (Yoh 3:30).

Menurut Martasudjita (2001: 46-56) ada tiga spiritualitas kepemimpinan

transformatif Injili yang kiranya sangat perlu didalami, dimilki dan dihayati oleh

seorang pemimpin Kristiani/ pemimpin religius khususnya para pemimpin dalam

Kongregasi Frater Bunda hati Kudus di Indonesia di zaman sekarang, di antaranya

adalah :

a. Kepemimpinan Sebagai Gembala

Yesus dalam perumpamaan-Nya menyampaikan ciri-ciri gembala yang baik.

Gembala yang baik berani dan rela menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya

(Yoh 10:11). Gembala yang baik selalu mengenal domba-dombanya dan domba-domba

mengenalnya (Yoh 10:14). Seorang gembala yang baik juga harus memiliki

pengenalan dan relasi yang intim dengan Bapa (Yoh 10: 15) Dan akhirnya gembala

yang baik selalu berusaha mencari domba yang tersesat di mana ia rela meninggalkan

yang sembilan puluh sembilan ekor untuk pergi mencari dan menemukan satu ekor

domba yang tersesat (bdk. Luk 15:4-7).

Seorang pemimpin yang sekedar kehilangan harta benda, materi, nama,

kehormatan atau martabat belumlah cukup. Pemimpin harus berani kehilangan yang

paling berharga dari dirinya, yakni hidupnya sendiri. Dalam hal ini seorang pemimpin

(Frater BHK) harus rela merepotkan diri dan direpotkan oleh para anggota serta berani

memberikan seluruh totalitas hidupnya, yakni hati, pikiran, bakat dan kemampuan
97

bahkan hidupnya sendiri untuk melayani dan menumbuhkan serta memperkembangkan

hidup para anggotanya teristimewa bagi mereka yang dianggap lemah dan tak berdaya

agar mereka dapat menemukan kepenuhan hidup dalam Kristus sang Gembala utama

mereka.

Mengenal dalam arti biblis bukan hanya sekedar tahu nama, hobi, alamat entah

alamat surat, telepon, email atau facebooknya, keluarga atau pekerjaannya. Mengenal

bersangkut-paut dengan soal ”mempunyai relasi atau hubungan personal dan

mendalam”. Dalam hal ini semangat kegembalaan seorang pemimpin (Frater BHK)

tampak dalam bagaimana ia memiliki hubungan yang mendalam, personal dan saling

meneguhkan dengan para anggotanya. Segala suka-duka para anggotanya ada dalam

doa dan pelayanannya setiap waktu.

Suatu hal pokok yang harus dibangun dan dimiliki oleh seorang pemimpin

(Frater BHK) adalah ia harus memiliki relasi yang personal dan intim dengan Allah

Bapanya, dalam arti ia harus sungguh mengenal, mencintai dan setia serta taat

melaksanakan apa yang dikehendaki Allah baginya dan selalu menempatkan Allah

sebagai segala-galanya dalam seluruh ranah kepemimpinannya dan sebaliknya Allah

pun akan selalu mengenal, mencintai, membimbing, menuntun dan memberikan

kekuatan, kebijaksanaan dan keberanian dalam menjalankan kepemimpinannya,

sehingga bukan lagi ia yang memimpin berdasarkan kemanusiaannya melainkan Allah

atau Kristuslah yang selalu hidup, hadir dan memimpin dalam dirinya. Hidup dan cara

memimpin yang demikian sangat sesuai dengan apa yang dihayati oleh Santo Paulus

“…namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup. Melainkan Kristus yang

hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah

hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-

Nya untuk aku” (Gal 2:20).


98

Gembala atau pemimpin yang berani meninggalkan sembilan puluh sembilan

ekor domba dan mencari satu ekor domba yang hilang ialah pemimpin yang selalu

mencintai setiap anggotanya, sekalipun anggotanya itu ada yang selalu rewel,

bermasalah, menyebalkan, membosankan, suka berontak dan menentang. Sebab bagi

seorang gembala/ pemimpin yang baik (Frater BHK), setiap domba/ setiap anggota,

entah bagaimanapun keadaannya, ia tetap bernilai dan berharga baginya, yang akan

dijaganya seperti biji mata, sebagaimana disampaikan oleh Nabi Musa ”Tetapi bagian

Tuhan adalah umat-Nya, Yakup ialah milik yang ditetapkan bagi-Nya. Didapati-nya di

suatu negeri, di padang gurun, di tengah-tengah ketandusan dan auman padang

belantara. Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya, dijaga-Nya sebagai biji mata-Nya” (Ul

32: 9-10).

b. Kepemimpinan Sebagai Pelayan

Dalam kehidupan di zaman sekarang gambaran hamba atau budak semakin

samar dan bahkan boleh dikatakan tidak relevan lagi. Hamba dalam pengertian biblis

ialah mereka yang menjadi budak. Menjadi seorang budak berarti hidup tanpa hak

apapun dan secara ekstrim hak atas hidupnya pun tidak dimilikinya. Seorang budak

hanya memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan setiap saat, karena ia harus

melayani tuannya/ majikannya kapan dan di manapun ia dibutuhkan. Dengan kata lain

budak itu total hanyalah seorang pelayan, di mana ia hanya melaksanakan perintah

tuannya. Inti spiritualitas hamba ada pada hidup dan pribadi Yesus sang hamba sejati:

yang mengosongkan diri, menjadi hamba dan bahkan mati di salib sebagaimana

dikatakan Santo paulus “ Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran

dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa

Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu, sebagai milik yang harus

dipertahankan…” (Flp 2:5-11). Kerelaan untuk mengosongkan diri, merendahkan diri,


99

dalam arus gerakan menurun ialah yang paling penting dalam spiritualitas

kepemimpinan seorang pelayan.

Setiap pemimpin memiliki tuan atau majikan yang utama, yakni Tuhan sendiri.

Namun dalam praksis kepemimpinan sehari-hari majikan utama, yakni Tuhan itu hadir

melalui dan dalam diri para anggota kongregasi ataupun orang-orang yang

dipercayakan Tuhan kepadanya untuk diperhatikan, dibimbing, diarahkan, dituntun dan

dilayani. Oleh karena itu agenda kerja seorang pemimpin (Frater BHK) harus

bersumber dan tertuju pada kebutuhan dan kepentingan kongregasi yang di dalamnya

Tuhan hadir melalui dan dalam diri pribadi-pribadi para anggota yang harus dilayani

dengan penuh totalitas, kerendahan hati atau pengosongan diri serta penuh kelembutan

kasih. Dengan demikian bagi seorang pemimpin (Frater BHK) hidup adalah

pengabdian kepada mereka yang dilayani. Dalam hal ini orientasi kepemimpinan

seorang Frater Bunda Hati Kudus adalah para anggota dan mereka yang dipercayakan

Tuhan kepada mereka lewat misi dan karya kerasulan kongregasi yang diemban. Maka

Seorang Frater Bunda Hati Kudus dalam menjalankan tugas kepemimpinannya harus

selalu menyadari bahwa bukan obsesi, kepentingan,dan popularitas diri atau kelompok

tertentu yang diperjuangkan, dikejar dan dilayaninya, malainkan Kristus sendirilah

sebagai sang majikan sejati yang harus dilayani dalam diri para anggotanya dengan

segala keberadaan mereka.

c. Kepemimpinan sebagai Pengurus Rumah Tangga

Spiritualitas kepemimpinan sebagai pengurus rumah tangga ini sangat inspiratif.

Pengurus rumah tangga itu memadukan beberapa kualifikasi yakni kekuasaan dan

pelayanan, wewenang dan ketergantungan. Dalam Perjanjian Baru, kata “pengurus

rumah tangga” merupakan terjemahan kata Yunani: oikonomos (seseorang yang


100

mengawasi tata aturan/ nomos dalam rumah tangga/ oikos). Pengurus rumah tangga

adalah orang yang mengawasi tata tertib rumah tangga, adat istiadat, aturan dan

kesepakatan yang dihayati seluruh anggota komunitas/ kongregasi. Kata pengurus

rumah tangga hanya muncul dua kali dalam Perjanjian baru, yakni Luk 12:42 dan Luk

16:1.

Dari teks Luk 12:42 dan Luk 16:1 ditampilkan tiga ciri atau sifat pengurus

rumah tangga:

1). Seorang pengurus rumah tangga bertindak sebagai seorang pelayan dan bukannya

sebagai pemilik atau majikan.

Seorang pemimpin sebagai pengurus rumah tangga akan menyadari bahwa

dirinya bukanlah pemilik kongregasi dan karya kerasulan kongregasi, sebab semua itu

semata-mata milik dan karya Tuhan. Pemimpin itu juga harus menyadari bahwa tugas

ini adalah pinjaman dan karunia yang dipercayakan Tuhan kepadanya, yang harus ia

pertanggungjawabkan kepada Tuhan pula. Ia harus menyadari pula bahwa tugas dan

wewenang sebagai pemimpin itu hanya sementara sifatnya, sebab suatu saat tugas dan

wewenang itu akan diambil lagi darinya, dan pada akhirnya ia harus

mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah dilakukannya selama masa

kepemimpinannya kepada sesama anggota dan kepada Tuhan sebagai pemberi

wewenang. Seorang pemimpin sebagai pengurus rumah tangga akan senantiasa

berusaha memelihara hidup para anggota dan orang-orang yang dipercayakan

kepadanya tanpa berusaha menguasainya. Ia sadar bahwa para anggota dan orang-orang

yang dipercayakan kepadanya bukanlah miliknya, maka ia pun tidak berkuasa atas

hidup mereka.

2). Kekuatan dan keutamaan pengurus rumah tangga ada pada perpaduan antara sifat
101

bijaksana dan bisa dipercaya, antara bisa diandalkan dan berpengalaman.

Seorang pemimpin sebagai pengurus rumah tangga memiliki kemampuan atau

kompetensi dan sekaligus bisa dipercaya karena kepribadian dan komitmennya.

Seorang pemimpin yang baik tentu mengamini bahwa yang paling perlu dan penting

adalah kepercayaan. Sebab apabila seorang pemimpin tidak lagi dipercaya oleh para

anggotanya, ia sudah kehilangan legitimasi dan perannya. Dan Komitmen haruslah

dimilikinya, sebab komitmen itu merupakan api dan penggerak seluruh aktivitas

hidupnya.

Komitmen itu diletakkan pertama-tama pada dorongan Roh Kudus dan kemudian pada
kejujurannya untuk melayani kemuliaan Allah dan kebahagiaan serta keselamatan
sesama/ para anggotanya.

3). Konteks kepemimpinan rumah tangga adalah ketidakhadiran majikan.

Ciri khas dari kepemimpinan rumah tangga ialah tidak adanya sang majikan

(paling tidak secara fisik) di tengah komunitas/ persekutuan itu. Dalan situasi seperti ini

pengurus rumah tangga harus berani mengambil keputusan-keputusan yang bisa

dipertanggungjawabkan pada saat majikan tidak berada di rumah. Jadi wewenang

pengurus rumah tangga bersifat pinjaman, sebab wewenangnya ada sejauh majikannya

tidak berada di rumah. Dalam hal ini ketidakhadiran majikan bisa dimaksudkan:

a). Tuhan kini memberi wewenang kepada pemimpin untuk ambil bagian dalam

wewenang-Nya atas diri para anggotanya. Tetapi wewenang itu hanya bersifat

pinjaman dan pemberian dari Tuhan semata.

b). Wewenang itu menuntut tanggung jawab kepada si majikan yakni Tuhan yang

memberi wewenang. Oleh karena itu pemimpin harus mempertanggungjawabkan

semua yang dilakukannya selama majikan tidak berada di tempat.


102

B. Kepemimpinan Transformatif dalam Praksis di Kongregasi Frater Bunda

Hati Kudus di Indonesia

1. Transformasi dalam diri sang pemimpin

Seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin yang transformatif

apabila ia dalam mengemban tugas kepemimpinannya menghasilkan perubahan dalam

diri dan hidup para anggotanya menuju hidup yang dibaharui dan dikuasai oleh Roh

Allah sendiri, dan dari sana mereka dapat memperjuangkan dan mewujudkan apa yang

menjadi cita-cita atau visi-misi kongregasi. Perlu disadari pula bahwa proses

transformasi diri seorang pemimpin bukanlah seperti membalikkan telapak tangan,

namun merupakan suatu proses yang panjang dan melelahkan yang membutuhkan

kesabaran, ketekunan, keuletan dan kesetiaan dalam mengusahakannya, dan itu perlu

didahului perbaikan dalam diri sang pemimpin sendiri.

Dalam mengusahakan proses transformasi diri ini, seorang pemimpin harus

merenung dan merefleksikan diri untuk menggali dan menemukan apa sesungguhnya

yang menjadi kekurangan atau kelemahannya, sehingga dari sana ia berusaha dengan

segala kerendahan hati membuka dirinya terhadap karya rahmat Allah, agar Roh Allah

membantunya dalam proses transformasi diri dari kekurangan dan kelemahan-

kelemahannya menuju suatu pembaharuan hidup yang lebih baik. Apabila sang

pemimpin berhasil mentransformasikan dirinya maka dampaknya adalah ia akan

semakin kuat, bijaksana, tulus dan rendah hati serta semakin terdorong untuk melayani

dengan lebih sungguh-sungguh dan berani melakukan terobosan-terobosan serta berani

mengambil resiko terhadap setiap situasi yang dihadapinya, sebab dia percaya bahwa

bukan lagi kekuatan dirinya yang berkarya, namun kekuatan Tuhan sendirilah yang

berkarya dalam dirinya.


103

2. Transformasi dalam komunitas

Tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin yang transformatif adalah ia

mengusahakan untuk menciptakan suasana transformasi juga dalam diri para

anggotanya, baik dalam lingkup komunitas maupun dalam lingkup kongregasi secara

keseluruhan, sehingga suasana dan nilai-nilai transformasi yang telah ia alami dan

miliki bisa terbagikan kepada para anggotanya. Apabila hal ini terjadi maka

transformasi itu bukan lagi menjadi milik pemimpin melainkan menjadi milik bersama

yang bisa berdampak positif bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup dan

panggilan seluruh anggota serta semakin bertumbuh dan berkembangnya kongregasi.

Proses transformasi yang dibangun dalam komunitas ataupun dalam kongregasi ini

tidak bisa dilepaspisahkan dari proses pengolahan hidup rohani yang senantiasa

diusahakan oleh pemimpin, agar para anggota sungguh-sungguh mengalami kepenuhan

dan kebaharuan hidup dalam Roh Allah. Hal ini sesuai dengan apa yang dianjurkan

Konstitusi Frater Bunda Hati Kudus (1997: art. 59-60) yang mengatakan:

Pembaharuan hidup yang terus-menerus haruslah menjadi ciri khas persekutuan,


dalam suatu semangat seperti yang dikemukakan oleh Paulus kepada jemaat di
Kolose: “tanggalkan manusia lama dan kelakuannya dan kenakanlah manusia
baru untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar khalik-Nya.
Sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya,
kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan
kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain dan ampunilah seorang
akan yang lain, apabila seorang menaruh dendam terhadap yang lain. Sama
sepeti Tuhan yang telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.
Dan dia atas semuanya itu kenakanlah kasih sebagai pengikat yang
menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus berkuasa dalam hatimu,
karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh…” (Kol 3:9-17)
Pembaharuan hidup yang terus-menerus meminta agar kita setiap hari
menyediakan waktu untuk latihan rohani, doa, dan perayaan Ekaristi bersama.
Kita berkumpul sebagai suatu persekutuan iman; kita saling berbagi dalam
hidup keimanan kita dan bersama-sama memberi kesaksian tentang iman akan
Tuhan yang tunggal…

Dari kutipan konstitusi di atas sudah sangat jelas bahwa proses transformasi

dalam hidup komunitas atau hidup persekutuan mutlak dibutuhkan demi pertumbuhan
104

dan perkembangan iman, panggilan dan kelangsungan hidup kongregasi. Hanya

melalui dan dalam proses transformasi itulah setiap pribadi baik pemimpin maupun

para anggota Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dapat menemukan dirinya serta

menemukan kehendak Allah bagi masing-masing pribadi dan kongregasi.

3. Transformasi dalam karya kerasulan

Seorang pemimpin yang transformatif adalah pribadi yang penuh dedikasi dan

inspiratif serta tidak capat puas dengan apa yang dicapainya, namun ia selalu berusaha

mencari dan mencari yang labih agar sedapat mungkin banyak orang turut menikmati

keselamatan. Dalam kaitan dengan karya kerasulan kongregasi, hendaknya pemimpin

selalu proaktif serta pandai membaca tanda-tanda zaman dan peluang-peluang yang ada

dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan Gereja dan masyarakat luas agar karya

yang diemban tetap berkembang, relevan dan kontekstual serta dapat membawakan

kesejahteraan hidup bagi mereka yang dilayani. Dalam hal ini bentuk karya bisa

berubah namun tujuan dan spiritualitas kongregasi tetap dipertahankan serta tetap

tersampaikan, sehingga dengan demikian kongregasi tidak hanya berkutat dengan karya

kerasulan yang sudah diwariskan akhirnya mengalami stagnasi. Berkaitan dan

transformasi karya kerasulan ini dalam Konstitusi Frater Bunda Hati Kudus (1997: art.

67) dikatakan:

Karena adanya perubahan-perubahan keadaan, baik di dalam maupun di luar


kongregasi maka isi dan bentuk perutusan kita dapat mengalami penyesuaian
jika hal itu dikehendaki atau diperlukan. Kepentingan-kepentingan yang
bertalian dengan penyesuaian itu haruslah dipertimbangkan secara seksama.
Dalam pada itu kesetiaan pada inspirasi awal kongregasi harus menjadi dasar
pertimbangan yang menentukan. Hal itu antara lain berarti bahwa kita
mengutamakan pelayanan kepada orang-orang yang paling membutuhkan
bantuan.

Konstitusi secara jelas telah menggariskan adanya peluang transformasi diri

dalam karya kerasulan kongregasi dalam setiap situasi dan zamannya sesuai kebutuhan
105

manusia dan dunia di mana kongregasi hidup dan berkarya.

C. Katekese Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan Pola Kepemimpinan Yang

Transformatif Bagi Para Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia.

1. Pokok-pokok Katekese

a. Arti/ pengertian katekese

Istilah katekese berasal dari bahasa Yunani “Katechein”, yang merupakan

bentukan dari kata “Kat” yang berarti pergi atau meluas, dan “echo” yang artinya

menggemakan atau menyuarakan ke luar. Berdasarkan bentukan kata tersebut kata

“Katechein” berarti menggemakan atau menyuarakan ke luar. Kata “Katechein”

digunakan oleh orang Kristen (Katolik) untuk menyuarakan/ menggemakan seluruh

harta kekayaan Gereja misalnya Sabda Tuhan, Tradisi Gereja, dan keadaan hidup

manusia dengan seluruh pengalaman hidupnya yang konkret dalam kehidupan sehari-

hari. Namun istilah Katechein ini dalam perkembangan Gereja selanjutnya dikenal

dengan istilah/ sebutan Katekese hingga saat ini (Papo, 1988: 11).

Dalam Kitab Suci terdapat bermacam-macam Pengertian katekese secara

tersirat termaktub dalam beberapa perikop Kitab Suci, antara lain: dalam Injil Luk 1:4

Katekese berarti “diajarkan”, Kis 18:25 (pengajaran dalam jalan Tuhan); Kis 21:21

(mengajar); Rom 2:18 (diajar); I Kor 14:19 (mengajar) dan Gal 6:6 (pengajaran).

Dalam konteks ini, katekese dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman, dan

pendidikan iman agar seorang dewasa semakin dewasa dalam imannya.

Menurut Telaumbanua (1999: 5) Katekese adalah “Usaha-usaha dari pihak

Gereja untuk menolong umat agar semakin memahami, menghayati dan mewujudkan

imannya dalam kehidupan sehari-hari”.

Dalam Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) kedua di


106

Klender-Jakarta tahun 1980, para peserta berhasil merumuskan pengertian katekese

sebagai berikut: “Katekese adalah Komunikasi iman atau tukar pengalaman iman antar

anggota jemaat atau kelompok. Melalui kesaksian para peserta saling membantu

sedemikian rupa sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati dengan

semakin sempurna” (Yosep Lalu, 2007: 12).

Sedangkan Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae berkata:

Katekese adalah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang dewasa dalam
iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada
umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud menghantar
para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT, art. 18).

Betolak dari pengertian-pengertian tentang katekese di atas boleh dikatakan

bahwa karya katekese mutlak diperlukan dalam usaha mengembangkan, memperdalam

dan meningkatkan daya refleksi jemaat akan segala pengalaman hidupnya yang

dipertemukan dengan harta kekayaan Gereja khususnya sabda Tuhan, sehingga dari

sana mereka dapat semakin meghayati iman mereka secara lebih dewasa dan

mendalam, serta mereka semakin menyatu dengan Kristus sebagai sumber dan tujuan

kesaksian hidup mereka sehari-hari, baik dalam lingkup Gereja maupun dalam dunia/

masyarakat di mana mereka hidup dan berada. Hidup dalam kesatuan dengan Kristus

akan menghantar umat untuk hidup dalam kelimpahan serta hidup dalam kemerdekaan

sebagai anak-anak Allah.

b. Tujuan Pokok Katekese

Pengembangan suatu karya katekese yang baik hendaknya memiliki suatu

tujuan/ cita-cita yang hendak dicapai, sehingga dengan demikian karya katekese itu

menemukan makna evangelisasinya di tengah Gereja dan dunia sebagai medannya.

Dalam hal ini Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) kedua yang

dilangsungkan di Klender-Jakarta (1980), merumuskan tujuan katekese sebagai


107

berikut:

Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman


kita sehari-hari, dan kita dapat membangun sikap metanoia kepada Allah dan
semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup kita sehari-hari.
Dengan demikian kita semakin sempurna dalam beriman, berharap,
mengamalkan cinta kasih dan makin dikukuhkan hidup Kristiani kita; pun pula
kita semakin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas
mewujudkan tugas Gereja setempat dan semakin mengokohkan Gereja semesta,
sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di
tengah masyarakat (Yoseph Lalu, 2007: 13).

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya tentang keberadaan dan

perkembangan katekese di jaman sekarang, berkata:

Tujuan khas katekese ialah berkat bantuan Allah mengembangkan iman yang
baru mulai tumbuh, dan dari hari ke hari memekarkan diri menuju
kepenuhannya serta semakin memantapkan perihidup Kristen umat beriman,
baik muda maupun tua. Kenyataan itu berarti: merangsang, pada taraf
pengetahuan maupun penghayatan, pertumbuhan iman yang ditaburkan oleh
Roh Kudus melalui pewartaan awal, dan yang dikurniakan secara efektif
melalui babptis. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa dalam seluruh proses
evangelisasi tujuan katekese ialah: menjadi tahap pengajaran dan pendewasaan,
artinya: masa orang Kristen, sesudah dalam iman menerima Yesus Kristus
sebagai satu-satunya Tuhan, dan sesudah menyerahkan diri seutuh-utunya
kepada-Nya melalui pertobatan hati yang jujur, berusaha makin mengenal
Yesus, yang menjadi tumpuan kepercayaannya: mengerti misteri-Nya, Kerajaan
Allah yang diwartakan oleh-Nya, tuntutan-tuntutan maupun janji-janji yang
tercantum dalam amanat Injil-Nya, dan jalan yang telah digariskan-Nya bagi
siapa pun yang ingin mengikuti-Nya (CT, art. 20).

Dalam hal ini katekese bermaksud mengembangkan pengertian tentang misteri

Kristus dalam cahaya firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh

firman itu. Begitulah orang Kristen, yang berkat karya penebusan Kristus diubah

menjadi ciptaan baru, memutuskan secara bebas untuk mengikuti Kristus, dan dalam

Gereja makin banyak belajar berpikir seperti Dia, menilai segalanya seperti Dia,

bertindak seturut dengan perintah-perintah-Nya dan berharap sesuai dengan ajakan-

Nya. Dengan kata lain melalui katekese jemaat dapat hidup menyatu dengan sang

sumber hidupnya yakni Kristus dan bahkan mereka dapat berperan sebagai alter-alter

Kristus di tengah kehidupan mereka sehari-hari.


108

Demi tercapainya tujuan katekese, maka proses katekese yang dibangun harus

mengutamakan unsur dialog partisipatif dan didukung oleh suasana yang nyaman dan

penuh persaudaraan. Pola komunikasi yang dibangun bukan hanya antara pendamping

dengan jemaat dan antar jemaat, namun komunikasi itu juga harus terjadi antara

peserta/ jemaat dengan sabda Tuhan yakni Yesus Kristus sendiri yang hadir dan

menyapa lewat sabda Kitab Suci yang didengarkan, direfleksikan dan dimaknai melalui

pengalaman hidup serta dibagikan di antara jemaat dalam iman. Katekese juga harus

disadari sebagai komunikasi iman antar peserta sebagai saudara seiman yang sederajat.

Dalam hal ini proses katekese yang terjadi harus tercipta suasana di mana setiap jemaat

menjadi “katekis” bagi jemaat yang lain, untuk saling membantu sehingga pada

akhirnya terjadi perjumpaan dengan Kristus sendiri sebagai sumber dan pusat katekese

yang dapat memperkembangkan dan mengokohkan iman mereka untuk semakin yakin

dan berani mewartakan dan menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia dan sesama

di sekitarnya (Heryatno, 2007: 8).

c. Isi Pokok Katekese

Isi pokok katekese adalah seluruh hidup Yesus Kristus yang mencakup

peristiwa inkarnasi, hidup dan karya, penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus

sebagai satu kesatuan karya keselamatan Allah bagi manusia dalam diri dan melalui

Yesus sang Putra tunggal-Nya. Katekese hendaknya bersifat Kristosentris dalam arti

Kristulah yang harus menjadi pusat dan sumber pewartaan itu sendiri. Gagasan di atas

sangat sesuai dengan apa yang dicetuskan oleh Paus Yohanes paulus II dalam

Ensikliknya yang berbunyi:

Sifat Kristosentris katekese juga mencakup maksud: bukan untuk


menyampaikan ajaranya sendiri, atau entah ajaran seorang guru lain, melainkan
ajaran Yesus Kristus, Kebenaran yang diajarakan-Nya, atau lebih cermat lagi:
Kebenaran yang tak lain ialah Dia sendiri. Maka harus dikatakan, bahwa dalam
katekese Kristus sendirilah, Sabda yang menjelma dan Putera Allah, yang
109

diajarkan; segala sesuatu yang diajarkan harus mengacu kepada-Nya. Lagi pula
hanya Kristuslah yang mengajar; siapa saja selain Dia mengajar sejauh ia
menyadari dan selalu menempatkan diri sebagai jurubicara kristus, dan
memungkinkan Kristus mengajar melalui mulutnya,….(CT, art. 6).

Misteri hidup Yesus menjadi sumber dan pusat katekese, maka katekese

dipahami sebagai usaha bersama untuk saling mengenal, memahami, dan percaya pada-

Nya sebagai sumber keselamatan satu-satunya, dan sekaligus sebagai guru agung/

pengajar utama bagi setiap jemaat. Di sinilah letak sifat khas ktekese yakni

“Kristosentris”.

d. Model-model katekese

Dalam dunia katekese ada begitu banyak model katekese yang ditawarkan untuk

dapat digunakan dalam proses pengembangan katekese umat demi terbangun dan

berkembangnya iman umat untuk mencapai kesempurnaan dan kepenuhan hidup dalam

Kristus sebagai sumber dan tujuan hidup beriman jemaat. Berkaitan dengan model-

model katekese ini, Sumarno (2007: 11-15) memaparkan beberapa model katekese

antara lain:

1). Model Shared Christian Praxis (SCP):

Model SCP ini lebih menekankan pada proses berkatekese yang bersifat

dialogal dan partisipasif, dengan maksud mendorong peserta, antara konfrontasi antara

“tradisi” dan “visi” hidup mereka dengan “tradisi” dan “visi” Kristiani, agar baik secara

pribadi maupun bersama, mampu mengadakan penegasan dan mengambil keputusan

demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia yang terlibat

di dalam dunia. Model ini bermula dari pengalaman hidup peserta, yang direfleksi

secara kritis dan dikonfrontasikan dengan pengalaman iman dan visi Kristiani supaya

muncul sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi pada keterlibatan baru dalam
110

hidup sehari-hari. Maka sejak awal orientasi pendekatan dari model SCP ini adalah

pada “praxis” peserta (Sumarno, 2007: 14-15).

2). Model Pengalaman Hidup

Katekese model pengalaman hidup ini bertitiktolak dari pengalaman hidup

sehari-hari yang akan direfleksikan dalam terang iman dan dipertemukan dengan harta

kekayan Gereja khususnya Sabda Tuhan.

3). Model Biblis

Katekese model biblis ini lebih bertitiktolak dari harta kekayaan gereja yakni

Sabda Tuhan (Kitab Suci), dokumen-dokumen Gereja dan tradisi, yang kemudiaan

dipertemukan dikaitkan dengan pengalaman hidup konkret sehari-hari yang

direfleksikan dalam terang iman.

4). Model Campuran: Pengalaman Hidup dan Biblis.

Katekese model campuran ini merupakan gabungan dari model biblis dan model

pengalaman hidup. Dalam hal ini bisa bertitiktolak dari Kitab Suci/ tradisi Gereja lalu

dihubungkan dengan pengalaman hidup sehari dan bisa juga sebaliknya. Semuanya

tergantung pada situasi dan kebijakan serta kreatifitas pemandu katekese/ fasilitatornya.

2. Pemilihan Katekese Model pengalaman Hidup

a. Alasan Pemilihan Katekese Model Pengalaman Hidup

Bertolak dari hasil penelitian yang ada, sangat diharapkan adanya transfomasi

kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus menuju suatu

kepemimpinan yang dapat memotivasi para anggota agar hidup lebih berkembang

sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh kongregasi. Oleh karena itu perlu adanya
111

suatu pendampingan dalam bentuk katekese yang dapat membantu terwujudnya

kepemimpinan transformatif dalam kongregasi sebagaimana diharapkan oleh para

Frater BHK tersebut.

Diharapkan melalui katekese ini dapat membantu para Frater BHK untuk

merefleksikan, mengolah, dan mengkomunikasian segala pengalaman dan realitas

hidup yang terjadi dalam kehidupan mereka selama ini khususnya yang berkaitan

dengan kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, sehingga dari sana

mereka dapat saling membantu dalam terang iman melalui Sabda Kitab Suci/ tradisi

Gereja yang akan menghantar mereka mengalami kelahiran baru, yang oleh Darminta

(2005: 47) dikatakan sebagai “pembaharuan dalam menerima dan menanggapi gagasan

atau pandangan baru, cara kerja dan kerasulan yang baru, serta cara hidup dan cara

bertindak yang baru pula atau apapun juga yang dapat tumbuh dan berkembang dalam

hidup religius secara positif.” Dalam hal ini diharapkan agar melalui katekese ini para

Frater BHK dapat mengalami suatu transformasi dalam kepemimpinannya yang lebih

mengayomi, partisipatif, dialogis, inovatif dan berspiritual mendalam.

Berkaitan dengan upaya transformasi tersebut maka, dalam usulan program

katekese penulis memilih katekese model pengalaman hidup sebagai model

berkatekese. Alasan pemilihan katekese model pengalaman hidup ini adalah karena

model katekese ini sederhana dan bertolak dari pengalaman hidup konkret yang

direfleksikan dalam terang iman, yang kemudian dikomunikasikan/ disharingkan dan

selanjutnya dihubungkan atau dikonfrontasikan dengan Sabda Tuhan dalam Kitab Suci,

sehingga dari sana mereka dapat menemukan nilai hidup baru yang akan digunakan

dalam proses tranformasi diri dengan cara saling menyadarkan, meneguhkan,

menguatkan dan mendukung untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dan

lebih mendukung tumbuh-kembangnya kehidupan para anggota dan kongregasi secara


112

keseluruhan sebagaimana diharpkan bersama.

b. Langkah-langkah Katekese Model Pengalaman Hidup

Berkaitan dengan katekese model pengalaman hidup ini, Sumarno (2007: 11-

12) menguraikan tentang langkah-langkah yang ditempuh dalam proses berkatekese

antara lain:

1) Introduksi

Introduksi ini berisikan lagu dan doa pembukaan yang sesuai dengan tema yang

diambil dalam katekese itu. Katekis mengingatkan dan menghubungkan dengan tema-

tema yang sudah dibahas dalam kesempatan katekese yang lalu, bila pernah diadakan

sebelumnya.

2) Penyajian suatu pengalaman hidup

Pengalaman hidup biasanya diambil dari suatu peristiwa konkret sesuai dengan

tema dan situasi peserta. Pengalaman ini bisa diambil dari surat kabar, cerita yang

relevan bagi para peserta, dan juga bisa berupa film yang sesuai.

3) Pendalaman pengalaman hidup

Dalam langkah ini fasilitator mengajak para peserta untuk mengaktualisasikan

pengalaman itu dalam situasi hidup mereka yang nyata. Biasanya terjadi dalam

kelompok kecil dengan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang peserta yang

mengambil perhatian dalam sikap hidup moral konkret sesuai dengan tema untuk hidup

sehari-hari.

4) Rangkuman pendalaman pengalaman hidup

Dalam langkah ini fasilitator menyarikan gambaran umum dari sikap-sikap


113

yang dapat diambil oleh para peserta berkaitan dengan tema dalam penyajian

pengalaman hidup dan dengan teks Kitab Suci atau tradisi yang hendak dipakai dalam

langkah berikutnya.

5) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi Gereja

Fasilitator mengusahakan agar setiap peserta memiliki teks Kitab Suci

(Fotocopy) beserta daftar pertanyaan pendalaman di sekitar tema menyangkut hal-hal

yang mengesan dan pesan inti dari teks tersebut. Teks dibaca oleh salah seorang

peserta, kemudian saat hening sejenak untuk merefleksi teks yang baru dibacakan

dengan bantuan pertayaan-pertanyaan.

6) Pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi

Peserta mencoba menjawab bersama pertanyaan-pertanyaan yang telah

direnungkan secara pribadi setelah pembacaan teks. Baik pula apabila teks dibaca

sekali lagi oleh fasilitator/ katekis. Pada kesempatan ini fasilitator membantu peserta

untuk mencari dan mengungkapkan pesan inti menurut mereka sendiri sehubungan

dengan tema. Peranan katekis/ fasilitator di sini ialah menciptakan suasana sedemikian

rupa sehingga peserta tidak merasa takut, malu dan canggung mengungkapkan tafsiran

mereka sehubungan dengan tema yang dapat dipetik dan digali dari pembacaan teks

Kitab Suci.

7) Rangkuman pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi.

Fasilitator/ katekis mencoba menghubungkan pesan inti yang diungkapkan oleh

peserta dengan pesan inti yang telah disiapkan oleh katekis berdasarkan sumber-sumber

yang telah diolahnya yang berkaitan dengan tema. Pada kesempatan ini katekis

memberi input (masukan) dari apa yang sudah dipersiapkannya dengan bantuan buku-
114

buku tafsir atau buku komentar atau buku-buku lain yang berkaitan dengan tekas Kitab

Suci. Yang penting digarisbawahi di sini bahwa tafsiran katekis diharapkan membatasi

pada pesan pokok yang dapat dimengerti oleh peserta sehubungan dengan tema dan

tujuan pertemuan.

8) Penerapan dalam hidup konkret

Dalam langkah ini hendaknya fasilitator/ katekis mengajak peserta untuk

mengambil beberapa kesimpulan praktis di sekitar tema untuk hidup sehari dalam

situasi nyata mereka dalam Gereja, masyarakat, lingkungan, wilayah, paroki, keluarga,

dsb. Kemudian dalam saat hening sejenak, peserta diajak untuk merenungkan serta

mengumpulkan buah-buah pribadi dari katekese ini untuk diterapkan/ dihayati dalam

kehidupan sehari-hari, yang dapat berupa niat, atau tindakan apa yang akan diambil

untuk hidup selanjutnya.

9) Penutup

Penutup ini dimulai dengan mengungkapkan doa-doa spontan hasil buah

katekese, dan bisa pula doa-doa lainnya secara bebas. Bilamana perlu katekis

mengakhiri katekese dengan doa penutup yang merangkum keseluruhan tema dan

tujuan katekese. Kemudian diakhiri dengan sebuah doa bersama atau nyanyian yang

disesuaikan dengan tema.

D. Program Katekese

1. Pengertian Program

Menurut kamus ilmiah populer program dimengerti sebagai “ketentuan rencana

dari pemerintah; acara; rencana; rancangan kegiatan” (Partanto, 1994: 628). Dengan

demikian program dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang direncanakan,


115

dipersiapkan, dirancang dan dirumuskan secara sistematis dan teratur serta terarah

untuk membantu memperlancar tercapainya suatu tujuan. Penyusunan program

biasanya meliputi tema, tujuan tema, sub tema, tujuan sub tema, uraiam materi, metode,

sarana dan sumber bahan.

2. Pemikiran Dasar Program katekese

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa para responden (para Frater

BHK) telah memahami arti kepemimpinan Kristiani dan kepemimpinan religius, di

mana dari masing-masing responden pada intinya merumuskan arti kepemimpinan

kristiani sebagai suatu kepemimpinan yang berpola/ berguru pada Yesus Kristus

(hidup, sabda dan karya-Nya) dan sekaligus menempatkan Kristus sebagai pemimpin

utama dalam hidupnya. Sedangkan kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang

berpola pada Yesus Kristus dan selalu menyelaraskan diri dengan konstitusi, visi-misi

dan amanat dari kapitel. Namun dari pemahaman ini belum cukup, karena ternyata

dalam kenyataannya para pemimpin atau masing-masing frater belum sanggup untuk

menghayati dan mengaktualisasikan apa yang telah mereka pahami tersebut dalam

kehidupan konkret sehari-hari. Hal ini masih menjadi suatu kesulitan tersendiri dalam

kepemimpinan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus saat ini.

Bertolak dari pengalaman masing-masing responden berkaitan dengan

kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus saat ini, ditemukan bahwa

ternyata dari hampir semua responden mengungkapkan suatu keprihatinan yang

mendalam, yang boleh dikatakan bahwa Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di

Indonesia saat ini mengalami suatu krisis kepemimpinan yang cukup memprihatinkan

sebagaimana terungkap dalam hasil penelitian, yang ikut mempengaruhi terjadinya

kemerosotan di berbagai segi kehidupan baik secara pribadi maupun secara


116

kongregasional. Namun suatu hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa,

ternyata para Frater Bunda Hati Kudus baik para anggotanya terlebih para

pemimpinnya tidak menyadari atau mungkin secara sengaja tidak mau menyadari

situasi ini sebagai sesuatu yang salah dan tidak baik untuk selanjutnya berusaha

memperbaikinya, tetapi justru sebaliknya kelihatannya semuanya adem ayem. Di sini

tidak ada yang memiliki keberanian dan ketulusan hati untuk mengkritisi dan

menyuarakan kebenaran yang sesungguhnya yang seharusnya diperjuangkan dalam

kehidupan sebagai suatu lembaga hidup religius.

Para responden (para Frater BHK) sesungguhnya menyadari dan merasakan

dampak negatif dari krisis kepemimpinan dalam kongregasi ini dan mereka

mengharapkan suatu pembaharuan/ transformasi kepemimpinan menuju suatu

kepemimpinan yang lebih melayani, mendengarkan, partisipatif, dialogis, penuh

perhatian dan cinta, inovatif dan berspiritualitas mendalam sebagai api/ roh yang

membakar dan menyemangati, mendorong para anggota menuju suatu kehidupan yang

lebih baik sesuai dengan cita-cita kongregasi.

Oleh karena itu perlu adanya suatu pembinaan dan pendampingan yang teratur

dan berkesinambungan bagi para Frater BHK berkaitan dengan kepemimpinan yang

berpola pada kepemimpinan Yesus sendiri sebagai pemimpin utama dan sejati.

Program katekese umat yang penulis usulkan ini, bertujuan untuk membantu

peserta (para Frater BHK), agar dengan suasana yang mendukung mereka dapat

merefleksikan, mengolah, menyadari, mengkritisi dan menemukan sebuah kesadaran

baru berkaitan dengan kepemimpinan untuk hidup mereka sebagai kaum religius dalam

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, sehingga dari sana mereka dapat secara bersama-

sama membangun dan mengembangkan persekutuan mereka menuju suatu hidup

persekutuan sebagai anggota Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus yang lebih profetis
117

dan penuh kasih persaudaraan. Program katekese umat ini disusun bagi para Frater

Bunda Hati Kudus, khususnya yang ada di Provinsi Indonesia.

3. Usulan Tema Katekese

Bertolak dari hasil penelitian yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa

para Frater BHK sudah memiliki pemahaman yang cukup tentang kepemimpinan baik

itu kepemimpinan Kristiani maupun kepemimpinan religius, namun dari sisi

penghayatan masih sangat minim di mana masih terjadi banyak keprihatinan dan

ketidaksesuaian antara pemahaman dan praktek sebagaimana diungkapkan para

responden berkaitan dengan pengalaman mereka akan kepemimpinan para pemimpin

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia saat ini. Oleh karena itu para Frater

Bunda Hati Kudus mengharapkan adanya suatu transformasi kepemimpinan dengan

bertitiktolak dari kepemimpinan Yesus sebagai gembala yang baik.

Berdasarkan realitas tersebut, penulis dalam usulan program katekese ini

mengusulkan sebuah tema umum yang lebih terarah pada segi penghayatan nilai-nilai

kepemimpinan/ spiritualitas kepemimpinan. Usulan tema umum yang penulis sajikan

dalam program katekese ini adalah: “Menghayati spiritualitas kepemimpinan

kegembalaan Yesus demi terwujudnya kepemimpinan yang transformatif”. Adapun

tujuannya adalah: “membantu peserta (para Frater BHK) untuk semakin bertumbuh

dan berkembang dalam pemahaman serta penghayatan akan spiritualitas kepemimpinan

kegembalaan Yesus, dan mampu mengusahakan terwujudnya suatu kepemimpinan

yang transformatif dalam kehidupan mereka sehari-hari dalam Kongregasi Frater

Bunda Hati Kudus”. Tema ini akan dijabarkan dalam 4 sub tema yang antara lain:

Pertama, Belajar dari pola kepemimpinan kegembalaan Yesus, yang dijabarkan dalam

satu judul pertemuan, yakni Yesus sang pemimpin utama yang melayani dengan penuh
118

cinta dan pengorbanan diri. Kedua, Kepemimpinan Yesus yang dibangun atas dasar

kesatuan dengan Bapa. Sub tema ini dijabarkan dalam tiga judul pertemuan antara lain:

1). Menjadi pemimpin yang berani karena merasa dicintai dan mencintai Allah. 2).

Menjadi pemimpin yang mengayomi. 3). Menjadi pemimpin yang mampu

mendengarkan. Ketiga, Menghayati semangat kepemimpinan Yesus yang peduli

terhadap domba yang hilang; yang dijabarkan dalam satu judul pertemuan, yakni

Menjadi pemimpin yang peduli terhadap anggota yang bermasalah/ membutuhkan

perhatian. Keempat, Memahami pola kepemimpinan transformatif; yang dijabarkan

dalam satu judul pertemuan, yakni Usaha transformasi dari diri sendiri.

Program katekese sebagaimana terpaparkan di atas selengkapnya, dapat dilihat

dalam matriks/ tabel program berikut ini:


119

4. Matrik Program Katekese

MATRIKS KEGIATAN KATEKESE BAGI


PARA FRATER BUNDA HATI KUDUS

Tema Umum : Menghayati spiritualitas kepemimpinan kegembalaan Yesus demi terwujudnya kepemimpinan yang transformatif
Tujuan : Agar pendamping dan peserta semakin bertumbuh dan berkembang dalam pemahaman serta penghayatan akan
spiritualitas kepemimpinan kegembalaan Yesus, dan mampu mengusahakan terwujudnya suatu kepemimpinan
yang transformatif dalam kehidupan sehari-hari.

No. SUB TEMA TUJUAN JUDUL TUJUAN MATERI METODE SARANA SUMBER BAHAN
SUB TEMA PERTEMUAN PERTEMUAN

01. Belajar dari Agar para Yesus sang Bersama Injl Yoh  Nonton  VCD  Hadiwiyata, 2008,
pola peserta pemimpin peserta 10:11-13 Filem Uskup Tafsiran Injil Yohanes.
kepemimpi- mengenal dan utama yang menghayati “Gembala  Diskusi Romero Yogyakarta: Kanisius.
nan memahami melayani makna yang baik”. kelompok  Laptop &  VCD Uskup Romero.
kegembala- pola dengan kepemimpi-  pleno LCD  Antony D’Souza, (2002:
an Yesus. kepemimpi- penuh cinta nan  Sharing  Teks Yoh 38-40) Proactive
nan &an kegembalaan  Refleksi 10:11-13 Visionary Leadership.
kegembalaan pengorbanan Yesus yang pribadi  Teks lagu Jakarta: PT. Trisewu
Yesus sebagai diri. melayani  Informasi  Kertas flap Nagawarsa
teladan dan dengan penuh & spidol.  Martasudjita, (2001: 46-
 Tanya
sumber cinta dan  Tape 48) Kepemimpi-nan
jawab
inspirasi pengorbanan recorder & transformatif.
kepemimpi- diri demi kaset Yogyakarta: Kanisius
nannya. kebahagiaan instrument  Pengalaman peserta.
dan
120

keselamatan
sesamanya.

02 Kepemimpi Bersama a. Menjadi Bersama Yoh 10:14-  Lagu &  Teks lagu  Hadiwiyata, (2008:
nan Yesus peserta pemimpin peserta 15 gerak  VCD Daud Tafsiran Injil Yohanes.
yang menghayati yang berani berusaha “Gembala  Nonton & Goleat Yogyakarta: Kanisius.
dibangun kepemimpi- karena menghayati yang baik”. Filem  Laptop &  VCD Pertempuran Daud
atas dasar nan Yesus merasa semangat  Refleksi LCD melawan Goleat.
kesatuan yang memiliki dicintai dan kepemimpi-  Diskusi  Teks KS  Martsudjita, (2001: 38 &
dengan relasi yang mencintai nan yang kelompok Yoh 10:15 48). Kepemimpi-nan
Bapa. intim dengan Allah memiliki  Sharing  Kertas Flap transformatif
Bapa keberanian kelompok/ & spidol Yogyakarta: kanisius
dalam pleno  Konstitusi Frater BHK,
menghadapi  Tanya 1997, Hidup Doa
segala situasi jawab
dalam
 Rangku-
kehidupan
man/
sehari-hari
Informasi

b. Menjadi Mzmr 23: 1-6  VCD Not  Dianne Bergant, CSA &
Bersama  Lagu &
pemimpin “Tuhan One Lost Robert J. Karris, OFM,
peserta gerak
yang gembalaku  Laptop 2002, Tafsir Akitab
berusaha  Nonton
mengayomi/ yang baik”. Perjanjian Lama.
menghayati Filem  LCD
memberi
121

rasa nyaman semangat  Refleksi  Teks Mzmr Yogyakarta: Kanisius.


kepemimpi-  Sharing 23:1-6  VCD Not One Lost.
nan yang kelompok  Teks lagu  Sudomo, (2005: 87-89)
mengayomi/  pleno  Kertas flap Ciri utama kepemimpi-
memberi rasa  Ceramah/ & spidol nan sejati. Yogyakarta:
nyaman bagi informasi Andi Offset
seluruh  D’Souza, (2002: 34-35)
anggota Proactive Visionary
kongregasi. Leadership. Jakarta: PT.
Trsewu Nagawarsa
 Martasudjita, 2001,
Kepemimpi-nan
transformatif
Yogyakarta: Kanisius
 Pengalaman peserta

c. Menjadi  Teks  Dianne Bergant & Rbert J.


Bersama
pemimpin  Lagu & rumusan Karris, 2002, Tafsir Kitab
perserta Yoh 4:1-26
yang gerak kalimat Suci Perjanjian Baru.
berusaha “Percakapa
mendengar-  Dinamika berantai Yogyakarta: Kanisius
menghayati n dengan
kan kelompok  Laptop  Phillip L. Hunsaker &
semangat perempuan
dengan  LCD Anthony J. Alessandra,
kepemimpi Samaria”.
judul:  Tesk KS: (1986: 15-26) Seni
- nan yang
“Kalimat Yoh 4:1-26 Komunikasi bagi para
mampu
berantai” Spidol & Pemimpin. Yogyakarta:
mendengar-
. kertas flap Kanisius.
kan orang
 Diskusi  J. Darminta, (2005: 56-
122

lain/para  Sharing/ple 59). Kepemimpinan


anggota. -no Religius dalam
Informasi Peziarahan Hidup.
Yogyakarta: Kanisius.
 Kitab Suci Perjanjian
Baru. Jakarta, 2000,
Lembaga Alkitab
Indonesia.
 Pengalaman hidup peserta.
 Soenardja, (1984: 55-56),
Kepemimpi-nan Biara
dari hari ke hari.
Yogyakarta: Kanisius.

03. Menghayati Bersama para Menjadi Bersama Luk 15:1-7  Nonton  VCD:  VCD Sinema Asyik
semangat perserta pemimpin peserta “Perumpama- Filem “Sinema Bollywood.
kepemimpi- menghayati yang peduli Menghayati an tentang  Diskusi Asyik  Stifen Leks, 2002, Tafsir
nan Yesus kepemimpi- terhadap semangat domba yang kelompok Bollywood Alkitab Perjanjian baru.
yang peduli nan Yesus anggota yang kepedulian hilang”.  Sharing & ”.  Martasudjita, (2001:48)
terhadap yang peduli bermasalah/ antar satu pleno  Laptop Kepemimpi-
domba yang terhadap membutuhkan sama lain  Tanya  LCD nan
hilang. sesama. perhatian dalam jawab  Teks Kitab Transforma-tif
kehidupan  Informasi Suci Luk  Soenarja, (1984: 37),
sehari-hari. 15:1-7 Kepemimpi-nan Biara
 Kertas Flap dari hari ke hari.
& spidol. Yogyakarta: Kanisius.
 D’Souza, (2002: 35-36),
Proactive Visionary
Leadership. Jakarta:
123

PT. Trisewu Nagawarsa.


 Pengalaman para peserta.

04. Memahami Bersama Upaya Bersama  Luk 4:1-20  Nonton  VCD  Dianne Bergant & Robert
pola peserta transformasi peserta Kisah Filem “Sister X”. J, Karris, 2002, Tafsir
kepemimpi- semakin dari diri sendiri semakin pencobaan  Diskusi  Laptop Alkitab Perjanjian Baru.
nan memahami menyadari di Padang kelompok  LCD Yogyakarta: Kanisius.
transforma- makna diri dan Gurun.  Refleksi  Teks Kitab  Martasudjita, (2001: 36-40
tif kepemimpi- semakin  Kemampuan  Sharing/ Suci Luk & 46-48). Yogyakarta:
nan yang terbuka untuk dasar pleno 4:1-20 Kanisius.
transformatif mentransfor- kepemimpi-  Tanya  Guitar  Wofford, (2001: 86-89),
masi diri nan jawab  Kertas flap Yogyakarta: Andi Offset
mulai dari transforma-  Informasi & spidol  Konstitusi Kongregasi
hal-hal kecil tif Frater Bunda Hati Kudus
dalam  Spiritualitas (1997, art. 59-60).
kehidupan kepemimpi-
sehari-hari nan
sampai hal- transforma-
hal yang tif
berkaitan  Pemimpin
dengan sebagai agen
pertumbuhan perubahan.
dan
perkemba-
ngan
panggilan
serta
kongregasi.
124

5. Contoh Persiapan Katekese I

a. Identitas Katekese

1). Judul Pertemuan : Yesus sang pemimpin utama yang melayani dengan penuh

cinta.

dan pengorbanan diri.

2). Tujuan : Membantu peserta untuk semakin menghayati makna

kepemimpinan Yesus yang melayani dengan penuh cinta dan

pengorbanan diri demi kebahagiaan dan keselamatan

sesamanya.

3). Peserta : Para Frater Bunda Hati Kudus di Indonesia

4). Tempat : Provinsialat Frater BHK

5). Hari/ Tgl : Sabtu, 21 – Minggu, 22 November 2009

6). Waktu : pkl. 19.30-21.30 WIB & pkl. 08.00 – 10.00 WIB

7). Metode : - Nonton Film

- Diskusi kelompok

- Pleno

- Sharing

- Refleksi pribadi

- Informasi

- Tanya jawab

8). Sarana : - VCD Uskup Romero

- Laptop & LCD

- Teks Yoh 10:11-13

- Kertas flap & spidol

- Tape recorder & kaset instrument


125

9). Sumber bahan : - Hadiwiyata, 2008, Tafsiran Injil Yohanes. Yogyakarta:

Kanisius.

- VCD : Uskup Romero.

- Antony D’Souza, (2002: 38-40) Proactive

Visionary Leadership Jakarta: PT. Trisewu

Nagawarsa

- Martasudjita, (2001: 46-48) Kepemimpinan transformatif.

Yogyakarta: Kanisius

- Sudomo, (2005: 83-84), Ciri utama kepemimpinan.

Yogyakarta: Andi Offset

- Pengalaman peserta.

b. Pemikiran dasar

Kehidupan manusia, baik sebagai makluk sosial maupun sebagai individu tak

pernah terpisahkan dari pemimpin dan kepemimpinan. Manusia senantiasa

membutuhkan pemimpin dalam hidupnya untuk membantu mengarahkan, membimbing,

menuntun serta menghantarkannya pada suatu hidup yang lebih baik, penuh makna,

menyelamatkan dan membahagiakannya dan pemimpin itu bisa dirinya sendiri maupun

orang lain.

Dalam kehidupan sebuah organisasi atau lembaga, pemimpin dan

kepemimpinan ini sangat vital peranannya, sebab sang pemimpin dengan segala

kemampuan manajerial kepemimpinannya itulah yang akan membimbing, menuntun,

mengarahkan dan menghantar organisasi itu dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan

bersama. Maka dengan demikian seorang pemimpin diandaikan memiliki kemampuan

intelektual (kognitif), kemampuan menghayati nilai-nilai kodrati maupun nilai-nilai

transenden/ spiritulitas (avektif) dan ketrampilan (psikomotorik) dalam menjalankan


126

kepemimpinannya. Hal ini mencakup baik pemimpin profan maupun pemimpin rohani/

religius. Namun realitas menunjukkan bahwa betapa sulitnya untuk menemukan

pemimpin yang ideal dalam dunia dewasa ini.

Perkembangan dunia yang semakin pesat, di satu sisi telah berhasil mengangkat

manusia pada suatu taraf tertentu, namun di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa

perkembangan dunia dengan segala kekuatannya, secara perlahan namun pasti telah

menggerogoti nilai-nilai dasar hidup manusia sebagai makluk sosial dan makluk

religius. Hal ini terlihat jelas di mana manusia dewasa ini lebih dikuasai oleh

individualisme, egoisme, fanatisme, ekstrimisme, konsumerisme, hedonisme, dan

terorisme/ kanibalisme. Semuanya ini telah menjerumuskan manusia dalam lembah

kehampaan hidup, kesepian dan ketakbermaknaan hidup. Salah satunya adalah krisis

kepemimpinan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Karena entah disadari atau

tidak, justru karena manusia tidak lagi sanggup untuk memimpin dirinya sendiri,

maupun sesamanyalah yang menjadi penyebab utama terjadinya krisis multi

dimensional sebagaimana dikemukakan di atas. Di samping itu boleh dikatakan bahwa

dalam dunia dewasa ini amatlah sulit untuk menemukan pemimpin-pemimpin yang

mau melayani dengan segala totalitas dirinya apa lagi harus menjadikan nyawanya

sebagai taruhan bagi orang-orang yang dipimpin dan dilayaninya.

Krisis kepemimpinan ini pun telah merengsek masuk dalam tataran kehidupan

Gereja pada umumnya dan dalam kehidupan lembaga hidup religius pada khususnya.

Di mana nilai-nilai kepemimpinan Kristiani dan religius dalam tataran kehidupan

Gereja dan lembaga religius zaman sekarang secara perlahan namun pasti mulai

terkikis. Kepemimpinan bukan lagi diterima sebagai fungsi dan tugas perutusan Kristus

untuk mengabdi dan melayani Kristus dalam diri umat atau para anggota yang

dipimpinnya, namun justru kepemimpinan dilihat sebagai jabatan kekuasaan dan


127

peluang untuk menindas dan sekaligus dijadikan sebagai sarana untuk mengejar serta

mencapai apa yang menjadi kepentingan dan obsesi pribadi atau kelompoknya. Oleh

karena itu tidak heran bahwa jabatan dan kekuasaan ini kerap kali diperjuangan mati-

matian dengan menghalalkan segala cara yang sebenarnya sangat bertentangan dengan

nilai-nilai kepemimpinan Kristiani maupun nilai-nilai kepemimpinan religius.

Kongregasi Farter Bunda Hati Kudus sebagai salah satu lembaga religius laikal

keuskupan yang berkedudukan di Keuskupan Malang Jawa Timur Indonesia,

khususnya propinsi Indonesia pun tidak terlepas dari krisis kepemimpinan ini. Hal ini

terlihat dari hasil penelitian/ wawancara yang penulis lakukan terhadap para frater. Di

sana terungkap realitas dan pengalaman yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan

pola serta keteladanan kepemimpinan para pemimpin Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus, khususnya Provinsi Indonesia saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa ternyata

perkembangan dunia dengan segala kekuatannya telah turut mengikis dan merongrong

penghayatan nilai-nilai kepemimpinan Kristiani dan religius dalam diri para Frater

BHK khususnya para pemimpinnya yang secara struktural telah diberi kepercayaan

oleh tarekat untuk memimpin, mengarahkan, membimbing, menuntun para anggota

tarekat untuk bersama-sama berjuang mencapai apa yang dicita-citakan tarekat melalui

visi-misi tarekat.

Nilai-nilai cinta kasih, kerendahan hati, pengabdian dan pengorbanan diri bagi

sesama anggota tarekat maupun bagi orang-orang yang menjadi sasaran pelayanan dan

pengabdian tarekat menjadi semakin kabur. Dalam menghadapi situasi krisis ini

memang tidak harus mempersalahkan para pemimpin semata namun ini merupakan

sumbangsih seluruh anggota tarekat, namun para pemimpin sebagai motor dari

kongregasi memiliki tanggung jawab yang lebih dalam mengatur kelangsungan hidup

tarekat secara keseluruhan. Oleh karena itu para pemimpin harus mampu membangun
128

suatu kesadaran yang mendalam akan situasi yang memprihatinkan ini untuk

selanjutnya berusaha membantu membangkitkan kesadaran para anggota tarekat akan

situasi yang sama untuk kemudian bersama-sama berefleksi dan mencarikan solusi

bersama, agar karya perutusan Tuhan yang dipercayakan Tuhan bagi tarekat ini dapat

berperan lebih efektif dan efisien sebagai obat penawar bagi dunia yang sedang sakit ini,

yakni untuk lebih melayani dengan penuh cinta dan pengorbanan diri bagi mereka yang

dilayani.

Bertolak dari realitas ini, maka pada kesempatan ini penulis mencoba

menawarkan sebuah pertemuan katekese dengan tema: “Yesus sang pemimpin utama

yang melayani dengan penuh cinta dan pengorbanan diri”, dengan bertitiktolak dari

sabda Tuhan sendiri dalam Injil Yohanes 10:11-13 “Gembala yang baik”. Dengan

judul pertemuan katekese ini dan juga bertolak dari sabda Tuhan tersebut diharapkan

agar para frater semakin mampu berguru dan meneladan serta menghayati pola dan

semangat kepemimpinan Yesus sang pemimpin utama yang melayani dengan penuh

cinta dan pengorbanan diri. Hal ini diandaikan pula bahwa hendaknya para frater dalam

melaksanakan karya pelayanan mereka masing-masing sekecil apapun harus senantiasa

menempatkan Yesus sebagai pusat dan dasar pelayanannya. Sehingga dengan demikian

mereka secara bebas, tulus, penuh kerelaan dan pengorbanan diri mau melayani Kristus

yang hadir dalam diri orang-orang yang diabdi dan dilayaninya. Dengan hidup

meneladan pola kepemimpinan Yesus sebagai pemimpin utama berarti para frater harus

hidup, bekerja, mencintai dan melayani seperti Yesus.

c. Pelaksanaan Pertemuan Katekese

1). Pembukaan

a). Kata pengantar


129

Para konfraterku yang dikasihi Tuhan, selamat datang dalam pertemuan

katekese kita kali ini. Pertama-tama saya menghaturkan limpah terima kasih atas

kesediaan dan kerelaan para frater yang telah berkenan meluangkan waktunya

untuk bersama-sama berkumpul pada kesempatan ini. Dalam pertemuan ini kita

akan bersama-sama mencoba masuk dalam ke kedalaman hati dan hidup kita

masing-masing, untuk melihat kembali seluruh perjalanan hidup kita selama ini

sebagai seorang religius Frater Bunda Hati Kudus. Kita akan mencoba untuk

menggali dan merefleksikan sudah sejauh mana kita masing-masing menghayati

panggilan dan tugas perutusan kita sebagai seorang pemimpin baik pemimpin bagi

diri sendiri maupun yang secara struktural oleh kongregasi telah diberi kepercayaan

untuk menjadi pemimpin dalam tataran apapun dalam menjalankan misi perutusan

kita, entah sebagai Dewan Provinsi Indonesia, sebagai kepala sekolah, pimpinan

komunitas atau sebagai pempinan apapun. Kita masing-masing bertanya sudah

sejauh manakah saya menghayati semangat pelayanan yang penuh cinta dan

pengorbanan dalam melayani sesama yang dipercayakan Tuhan dan tarekat

kepadaku? Oleh karena pada kesempatan ini kita akan saling berbagi kekuatan dan

pengalaman agar kita semakin mendukung, meneguhkan dan menguatkan dalam

melanjutkan tugas perutusan tarekat untuk lebih melayani sesama dengan penuh

cinta dan pengorbanan bagaikan untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

b). Lagu pembukaan: Yesus Raja Damai (MB. No. 743)

Syukur pada-Mu Yesus Tuhan, Dikau bawa terang bagi dunia.


Kau damaikan Surga dengan bumi, bahagia umat manusia.

Dikau yang membebaskan kami, Dikau hapus noda dan dosa kami.
Kau penuhi janji para nabi, raja damai yang lama dinanti.
130

c). Doa pembukaan:

Ya Allah Bapa yang maha cinta, puji dan syukur kami haturkan ke hadirat-Mu

atas segala kelimpahan rahmat dan cinta yang telah Engkau anugerahkan secara

cuma-cuma kepada kami hingga saat ini. Kami bersyukur pula bahwa berkat

kelimpahan kasih-Mulah kami telah kau kumpulkan di tempat ini untuk bersama-

sama menggali, merefleksikan dan berusaha menghayati serta meneladan Yesus

Kristus sang pemimpin utama kami yang telah Kau utus untuk melayani dan

menyelamatkan kami manusia dengan penuh cinta dan bahkan mengorbankan

nyawa-Nya sebagai tebusan bagi kami. Oleh karena itu kami mohon datanglah

kerajaan-Mu dan penuhilah hati, pikiran dan seluruh diri kami dengan terang Roh

Kudus-Mu, agar kami semakin terbuka akan sabda dan rahmat-Mu yang senantiasa

Engkau alirkan demi kebahagiaan dan keselamatan hidup kami manusia yang lemah

dan tak berdaya ini, sehingga kami dapat menjadi pemimpin-pemimpin masa kini

yang penuh cinta dan pengorbanan diri demi kemuliaan nama Allah yang lebih

besar. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin.

2). Penyajian pengalaman hidup (penayangan film).

Para frater yang terkasih, pada kesempatan ini marilah kita bersama-sama

menyaksikan tayangan sebuah film yang berjudul: “USKUP ROMERO”. Filem ini

mengisahkan seorang imam bernama Pastor Oscar Romero yang lahir Ciudad Borrios,

San Miguel, di bagian Timur El Salvador pada tanggal 15 Agustus 1917 (Denis, 2008:

28).

Oscar Romero setelah belajar di San Miguel dan San Salvador, ditabiskan di

Roma pada taggal 4 April 1942, dan selanjutnya Perang Dunia II memaksa Pastor

Oscar meninggalkan studi doktoralnya di Roma dan kembali ke El Salvador tanah


131

kelahirannya. Segera ia terbenam dalam tugas karya Gereja . Di samping melakukan

tugas, ia bekerja juga untuk keuskupan San Miguel sebagai sekretaris, kapelan sekolah

menengah atas, dan sebagai wartawan. Pastor Romero merupakan seorang pengkhotbah

yang sangat bagus dan menarik yang selalu menyemangati dan membangkitkan iman

umatnya. Dalam khotbah-khotbahnya, ia selalu memerhatikan pengaitan pesan Injil

dengan pengalaman hidup sehari-hari umatnya yang dengan setia mendengarkannya.

Dalam suatu khotbah ia pernah mengatakan “Kerajaan surga sudah mulai dan kita

alami serta rasakan sekarang dan di sini ini” ( Dennis, 2008: 28).

Pastor Romero selama mengemban tugas penggembalaannya, ia selalu

bersinggungan dengan situasi yang amat tidak menguntungkan akibat situasi politik dan

ekonomi yang tidak kondusif, di mana ia bersama teman-temannya selalu dihadapkan

dengan realitas yang sangat memprihatinkan. Realitas yang dimaksud adalah di mana

masyarakat El Salvador yang boleh dikatakan 99 % beragama Katolik ini hidup di

bawah garis kemiskinan, akibat lahan-lahan pertanian pada umumnya dikuasai oleh

pemerintah yang diktator dan koruptor atau yang kita kenal dengan istilah Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pastor Romero bersama teman-teman misionarisnya

selalu berusaha melayani dan mendampingi umat penggembalaannya dengan penuh

perhatian dan kelembutan kasih. Namun di satu sisi mereka juga tidak tahan melihat

penderitaan umatnya yang semakin meningkat. Situasi inilah yang mendorong Pastor

Romero bersama teman-temannya berjuang menuntut keadilan lewat kotbah-kotbahnya

dan juga lewat pendekatannya dengan para pejabat pemerintah dan para tuan tanah agar

mereka bisa bersikap lebih adil. Namun usaha itu terasa sia-sia, dan justru mereka

dimusuhi oleh pemerintah. Situasi ini tidak pernah menyulutkan semangat perjuangan

Pastor Romero dan teman-temannya dalam menyuarakan keadilan di tanah El Salvador.

Perjuangan ini semakin meningkat ketika Pastor Romero, yang oleh Bapa Paus
132

Yohanes Paulus II diangkatnya menjadi Uskup di El Salvador. Beliau semakin gencar

memperjuangkan keadilan bagi umatnya, walaupun ia semakin dimusuhi dan dibenci

oleh para penguasa negeri itu. Perjuangan sang uskup ini berpuncak ketika terjadi

peristiwa penembakan membabibuta oleh pasukan pemerintah terhadap umat yang

sedang mengikuti perayaan Ekaristi di halaman sebuah plasa. Suatu peristiwa yang

sangat menyulut kemarahan sang uskup adalah ketika pasukan pemerintah menembak

mati seorang sahabat karibnya bernama Pastor Rutillo Grande, SJ dengan dua orang

campesino pada tanggal 12 Maret 1977.

Uskup Romero tidak pernah mau menyerah dalam menghadapi situasi ini.

Justru ia semakin berani berjuang menegakkan keadilan bagi umat kesayangannya

dengan sebuah semboyan “Jika mereka membunuh saya, saya akan bangkit lagi dalam

diri rakyat El Salvador” (Dennis, 2008: 28). Semboyan inilah yang sampai sekarang

sangat terkenal di seluruh dunia. Semangat, kegigihan dan keberanian inilah yang

pernah membuat dia ditangkap dan dipenjarakan walaupun setelah itu ia dibebaskan

kembali. Namun pada akhirnya, ketika beliau sementara memimpin perayaan Ekaristi,

tiba-tiba ia ditembak oleh seorang penembak bayaran pemerintah yang berkuasa yang

sangat membencinya. Peristiwa penembakan ini terjadi dalam konsekrasi, yakni ketika

sang uskup sementara mengangkat piala berisi darah Kristus. Inilah puncak perjuangan

Uskup Romero di tanah misi El Salvador. Sebagaimana Kristus telah menumpahkan

darahnya sebagai tebusan bagi dosa umat manusia, begitupun Uskup Romero telah rela

menumpahkan darahnya sebagai ungkapan cinta dan pengabdiannya yang total demi

mewujudkan cinta kasih dan keadilan di tanah El Salvador pada umumnya dan bagi

umat Katolik El Salvador pada khususnya.

Para konfraterku yang terkasih, untuk lebih rincinya dari kisah ini, marilah kita

dengan seksama menyaksikan tayangan filmnya. Selamat menyaksikan.


133

3). Pendalaman film

Para konfraterku yang terkasih, setelah kita menyaksikan tayangan film Uskup

Romero dan merenungkannya, marilah selanjutnya kita masuk dalam kelompok kecil

yang sudah dibagi untuk saling berbagi dari pangalaman Film tadi dan sekaligus kita

juga mencoba merekam kembali pengalaman hidup kita sebagai kaum terpanggil dalam

menunaikan tugas perutusan kita masing-masing dan sekaligus membagikannya di

antara kita dengan beberapa pertanyaan panduan berikut:

a). Apa reaksi spontan para frater terhadap kisah Uskup Romero tadi?

b). Sikap-sikap pelayanan macam apakah yang ditunjukkan Uskup Romero dalam

melayani umat penggembalaannya di El Salvador?

c). Mengapa Uskup Romero rela mengorbankan nyawanya bagi umat dan masyarakat

El Salvador?

d). Sejauh mana para frater berusaha menghayati sikap pelayanan yang penuh kasih dan

penuh pengorbanan diri dalam menunaikan tugas perutusan sehari-hari?

4). Rangkuman dari sharing pendalaman film dan pengalaman hidup para frater

Setelah menyaksikan film tadi, dari kita masing-masing tentu muncul berbagai

macam reaksi spontan di mana ada yang merasa prihatin dan sedih melihat situasi

masyarakat El Salvador yang sangat memprihatinkan, takut, jengkel, cemas, protes,

ibah ketika melihat sikap brutal dari pemerintah dan tentara, terkesan dengan sikap

pengorbanan diri Uskup Romero yang rela menumpahkan darahnya demi

memperjuangkan dan mewujudkan nilai cinta kasih dan keadilan di tanah El Salvador.

Sikap pelayanan yang ditunjukkan Uskup Romero bersama teman-teman

seperjuangannya adalah di mana dengan melihat situasi masyarakat yang sangat

memprihatinkan itu, mereka berusaha untuk senantiasa menjadi teman, sahabat,


134

gembala, bapak dan pemimpin serta pejuang yang tangguh dengan dibalut selimut cinta

kasih dan pengorbanan diri yang total untuk mengangkat harkat dan martabat kaum

miskin El Salvador dan sekaligus demi kemuliaan nama Allah yang lebih besar bagi

tanah misi El Salvador yang sangat ia cintai. Kiranya motivasi inilah yang mendorong

Uskup Romero untuk rela mati di tengah kaum miskin dan penderita yang sangat ia

cintai.

Kisah Uskup Romero ini diharapkan dapat menggugah, menyadarkan kita

semua untuk melihat kembali sudah sejauh mana kita menghayati sikap pelayanan yang

penuh kasih dan pengorbanan yang tulus dari kita dalam menunaikan tugas panggilan

dan pelayanan kita terhadap sesam konfrater, karyawan- karyawati, para guru, para

anak didik umat dan siapa saja yang kita jumpai dan kita layani. Saya yakin bahwa para

frater masing-masing telah berjuang maksimal untuk menghayati dan mewujdkan nilai-

nulai cinta kasih, keadilan, kejujuran, kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Oleh

karena itu marilah kita tetap semangat dengan saling mendukung, memperhatikan satu

sama lain untuk melangkah bersama dalam menata dan menatap masa depan kita yang

masih terbentang luas ini, agar kemuliaan nama Allah dan Hati Kudus Yesus semakin

dipuja dan disembah dimana-mana.

5). Pembacaan Kitab Suci, Yoh 10 11-13

Pendamping mengajak para peserta untuk membacakan secara bersama dan

perlahan-lahan teks Kitab Suci Yoh 10:11-13, kemudian selanjutnya pendamping

membacakan sekali lagi dengan lebih pelan dilanjutkan dengan saat hening dan refleksi

pribadi sejenak diiringi musik intrumen.


135

6). Pendalaman teks Kitab Suci Yoh 10:11-13

Setelah peserta merefleksikan bacaan yang baru saja dibacakan, selanjutnya

pendamping mengajak peserta untuk mendalami teks Kitab Suci dan saling berbagi

dengan beberapa pertanyaan tuntunan:

a). Dalam bacaan tadi, nilai-nilai apa sajakah yang dituntut Yesus dari kita sebagai

pemimpin?

b). Sharingkanlah pengalaman para frater berkaitan dengan nilai-nilai kepemimpinan

yang para frater miliki dan hayati dalam kehidupan sehari-hari!

7). Gagasan untuk Rangkuman teks Kitab Suci, Yoh 10:11-13

Pernyataan Yesus “Akulah gembala yang baik” dalam ay. 11-13 mau

menunjukkan kontras antara diri-Nya dengan orang-orang upahan yang bukan gembala

(ay 12). Kata “Baik” diterjemahkan dengan berbagai cara: yang ideal, yang layak

diteladani, dan yang penuh dedikasi, yang semuanya merujuk pada pribadi Yesus.

Namun sebenarnya penekanan kata “Baik” itu dimaksudkan untuk memperlawankan

pribadi Yesus sebagai gembala yang baik, yang rela menyerahkan nyawa-Nya bagi

domba-domba-Nya dan demi kebahagiaan serta keselamatan domba-domba itu sendiri,

yang lain sama sekali dengan orang-orang upahan yang bukan pemilik domba, di mana

mereka memiliki tanggung jawab yang sangat terbatas, bahkan mereka tidak segan-

segan meninggalkan domba-domba apabila mereka berada dalam keadaan bahaya, (ay

12-13). Orang-orang upahan ini menunjuk kepada para pemimpin dan juga siapa pun

yang mengemban tugas kepemimpinan yang selalu menyalahgunakan

kepemimpinannya dengan tidak bertanggungjawab, tidak komit, tidak peka dan peduli

terhadap komunitas/ orang-orang yang dipimpinnya.


136

Yesus sudah secara jelas menunjukkan diri-Nya sebagai gembala yang baik,

yang telah menggembalakan kawanan domba-Nya dengan penuh perhatian dan

kehangatan kasih, bahkan Ia pada akhirnya menyerahkan nyawa-Nya sendiri sebagai

taruhan demi keselamatan dan kebahagiaan kawanan dombanya. Di sini Yesus mau

mengajak dan mengajari kita sebagai gembala domba dalam konteks kita sebagai

seorang pemimpin, entah pemimpin apa saja yang dipercayakan kongregasi kepada kita,

agar kita hendaknya senantiasa berpedoman dan melandaskan kepemimpinan kita pada

pola kepemimpinan Yesus sebagai gembala yang baik. Menjadi pemimpin gembala

yang baik berarti dalam mengemban tugas kepemimpinan itu kita harus mimiliki dan

menghayati nilai-nilai cinta kasih, penghargaan, rasa hormat, perhatian yang tulus

terhadap anggota atau siapa saja yang kita pimpin, bahkan kita harus rela untuk

direpotkan khususnya ketika ada anggota yang bermasalah dan membutuhkan perhatian

khusus. Oleh karena itu, sebagai seorang pemimpin kita harus memliki sikap lepas

bebas dan totalitas diri bahkan sampai nyawa kita sendiri yang menjadi taruhan

sekalipun sebagaimana telah kita saksikan bersama kisah kepemimpinan Uskup

Romero yang telah mengakhiri karya penggembalaannya di tanah misi El Salvador

dengan menjadikan nyawanya sebagai taruhan demi memperjuangkan dan menegakkan

nilai cinta kasih, kejujuran dan keadilan serta demi kebahagiaan dan keselamatan

masyarakat El Salvador yang ia cintai.

8). Penerapan dalam hidup secara konkret

Para konfraterku yang dikasihi Tuhan. Menjadi seorang pemimpin tidaklah

mudah seperti yang kita bayangkan. Menjadi seorang pemimpin kita harus siap secara

mental maupun fisik. Seorang pemimpin harus siap untuk menjadi contoh dan tokoh

panutan bagi para anggotanya. Menjadi seorang pemimpin harus siap disalah pahami,
137

di mana apabila ia melakukan sesuatu yang baik kadang dinilai dia mencari popularitas

diri, namun kalau ia melakukan suatu kekeliruan ia akan dinilai dan dicap sebagai

pemimpin yang tidak baik, tidak becus, tidak mampu, dsb. Namun bagaimana pun juga,

demi kelangsungan hidup sebuah lembaga sangatlah penting kehadiran dan peran

seorang pemimpin.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, entah kita sadari atau tidak, kita semua ini

adalah pemimpin, yakni pemimpin bagi diri kita sendiri sebelum kita memimpin orang

lain. Namun kerap kali hal ini kita lupakan, sehingga yang terjadi adalah bahwa karena

ia tidak mampu memimpin dirinya sendiri, akhirnya menjadi orang sulit dalam

persaudaraan, yang bahkan ikut mempersulit para pemimpin yang secara formal

dipercayai kongregasi untuk membantu seluruh anggota untuk hidup dan berjalan serta

berjuang bersama untuk mencapai kebahagiaan, keselamatan dan kesempurnaan hidup

sebagaimana dicita-citakan bersama. Namun di sisi lain, kadang-kadang orang-orang

yang diserahi kepercayaan untuk memimpin, kerap tidak cukup merefleksi diri untuk

menemukan di mana titik kelemahan dan kelebihannya, padahal dari sana ia sebenarnya

dapat meletakkan tugas kepemimpinannya dalam diri Kristus sebagai pemimpin

pertama dan utama dalam hidupnya. Dampak dari kekurangan ini, ia akan mudah

menjadi pemimpin yang otoriter, yang tidak mau mendengarkan, tidak mampu

berdialog, tidak mengayomi dan menghargai serta memperhatikan apa yang menjadi

jeritan dan kerinduan para anggotanya, bahkan mudah ia menjadikan kepemimpinan

sebagai ajang kekuasaan dan kesempatan untuk memenuhi segala kepentingan dan

keinginan pribadi serta kelompoknya sendiri, yang kemudian menghalalkan segala

macam cara untuk mempertahankan kekuasaannya itu. Bila hal ini yang terjadi,

bagaimana dengan tarekat kita?


138

Oleh karena itu, marilah para konfraterku, kita bersama-sama belajar dari pola

kepemimpinan kegembalaan Yesus, untuk bersama-sama berjuang menata dan mengisi

hidup panggilan dan perutusan kita untuk semakin bermakna bagi persekutuan kita dan

bagi kebahagiaan serta keselamatan banyak orang yang senantiasa mendambakan dan

merindukan kehadiran dan uluran tangan serta sapaan kita yang penuh kehangatan

kasih, sehingga Kerajaan Allah semakin meraja dalam kehidupan dunia di mana kita

diutus.

9). Penutup

a). Doa permohonan.

Pendamping mengajak para peserta untuk masuk dalam keheningan batin untuk

mengendapkan apa yang telah diolah dan dibagikan bersama sambil diiringi musik

instrument. Selanjutnya pendamping mengajak para peserta untuk menyampaikan doa-

doa permohonannya secara spontan.

Para konfraterku yang dikasihi Tuhan, setelah kita berbagi pengalaman lewat

penyajian filem dan disempurnakan dengan sabda Tuhan lewat Injil Yoh 10:11-13 tadi,

sekarang marilah kita mengungkapkan segala niat dan harapan kita masing-masing

kepada Tuhan lewat doa-doa permohonan kita kepada Tuhan.

Peserta diberi waktu 2 menit untuk merenung sambil mempersiapkan doa permohonan

masing-masing yang akan disampaikan secara spontan.

b). Doa Bapa Kami.

Para frater yang terkasih, marilah kita satukan segala niat dan harapan serta rasa

syukur kita kepada Tuhan dengan bersama-sama mendoakan doa yang diajarkan

Kristus kepada kita: Bapa Kami…….


139

c). Doa penutup

Allah Bapa yang maha bijaksana dan maha cinta, kami menghaturkan syukur

dan terima kasih kepada-Mu karena Engkau telah melimpahkan rahmat kasih-Mu bagi

kami dari awal hingga akhir pertemuan ini. Dalam pertemuan ini, Engkau telah

mengajari dan menunjukkan kepada kami Yesus Putra-Mu sebagai teladan

kepemimpnan bagi kami. Semoga dalam mejalankan tugas kepemimpinan kami sehari-

hari kami dapat meneladan pola kepemimpinan-Nya untuk memimpin dengan penuh

perhatian dan kehangatan kasih serta berani mengorbankan diri demi kebahagiaan dan

keselamatan banyak orang. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami yang hidup dan

berkuasa bersama Dikau dalam persekutuan Roh Kudus Allah kini dan sepanjang masa.

Amin.

d). Lagu Penutup: “Raja Agung” (MB. No. 510).

Raja agung meraja di bumi, penuh darma, Tuhan maha kasih.


Tahta-Nya abadi selama-lamanya, alam musnah, Kristus tetap jaya.
Hyang maluhur Kristus raja abadi, Hyang maluhur Kristus raja abadi.

Alam raya menyembah pada-Nya, mengakui maha kuasa-Nya.


Yesus Kristus raja penebus dunia, nusa bangsa menjunjung upeti,
Bagi raja kuasa semesta alam, bagi raja kuasa semesta alam.

Surga bumi bermadah bagi-Nya, meluhurkan Kristus maha raja.


Rebana dan dawai menghias angkasa, Seluruh bangsa memuji sang Kristus,
Raja agung sumber kemuliaan, raja agung sumber kemuliaan.
140

6. Contoh Persiapan Katekese II

a. Identitas Katekese

1). Judul Pertemuan : Upaya transformasi dari diri sendiri.

2). Tujuan : Bersama peserta semakin menyadari diri dan semakin terbuka

untuk mentransformasi diri mulai dari hal-hal kecil dalam

kehidupan sehari-hari sampai hal-hal yang berkaitan dengan

pertumbuhan dan perkembangan panggilan serta kongregasi.

3). Peserta : Para Frater Bunda Hati Kudus

4). Tempat : Novisiat Frater Bunda Hati Kudus (Malang)

5). Hari/ tgl : Disesuaikan dengan jadual kegiatan refresing tahunan para

frater

Se-Jawa dan Palembang.

6). Waktu : Pkl. 16-30 – 19.00 WIB

7). Metode : - Cerita

- Refleksi

- Sharing pengalaman

- Informasi

- Tanya jawab

8) Sarana : - Madah Bakti

- Kitab Suci Perjanjian Baru Luk 4:1-13

- Teks cerita “Kebijaksanaan Sang Abdis Tua”.

- Laptop & LCD

- Tape recorder & VCD musik instrumen

- Guitar

9). Sumber Bahan : - Stifen Leks, 2002, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.
141

Yogyakarta: Kanisius.

- Martasudjita, (2001: 36-40 & 46-48). Yogyakarta: Kanisius.

- Wofford, (2001: 86-89), Yogyakarta: Andi Offset

- Konstitusi Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (1997, art.

59-60).

- Cerita “Kebijakasanaan Sang Abdis Tua”.

- Injil Luk 4:1-13 “ Pencobaan di Padang Gurun”.

b. Pemikiran Dasar

Dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat kerap kita menyaksikan dan

bahkan mengalami bahwa ada pemimpin yang tidak sukses atau bahkan dikatakan

gagal dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Hal ini tentu saja disebabkan oleh

banyak faktor, namun yang kerap nampak adalah faktor kerapuhan pribadi lebih

mendominasi suatu ketidaksuksesan seorang pemimpin. Hal ini kalau kita refleksi dan

telaah lebih jauh kita dapat mengatakan bahwa ini disebabkan karena sang pemimpin

itu kurang mengenal kedalaman hidupnya, yakni kekuatan dan kerapuhan dirinya untuk

selanjutnya belajar membenahi diri. Sebagai seorang pemimpin Kristiani yang baik,

hendaknya ia meletakkan semuanya di hadapan Allah sehingga dari sana hanya

kekuatan dan kekuasaan Allahlah yang menguasai dan melimpah dalam hidup dan

kepemimpinannya.

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus sebagai suatu lembaga religius laikal

keuskupan yang tentu saja memiliki struktur kepemimpinan di dalamnya pun tidak

terlepas dari situasi dan pengalaman ketidaksuksesan para pemimpinnya dalam

mengemban amanat yang dipercayakan kongregasi kepada mereka. Ketidaksuksesan

ini tentu saja secara obyektif tidak bisa langsung dipakai untuk memfonis, bahwa yang
142

menjadi penyebab adalah semata-mata para pemimpinnya sebagai individu, karena

seringkali hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun di satu sisi perlu disadari,

bahwa bagaimanapun juga ketidaksuksesan atau kegagalan dan keberhasilan suatu

organisasi umumnya ditentukan oleh pemimpinnya sebagai pengarah, penuntun dan

pembimbing bagi segenap anggotanya dalam berjuang mewujudkan apa yang menjadi

cita-cita dan harapan yang mau dicapai bersama.

Dengan melihat realitas yang terjadi dalam Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus saat ini, dirasa sangat perlu adanya suatu proses transformasi diri baik bagi para

pemimpin maupun seluruh anggota kongregasi. Proses transformasi yang dimaksud di

sini pertama-tama adalah untuk membantu para frater agar mereka dapat menemukan

apa yang menjadi titik kerapuhan dan kelemahan dalam diri masing-masing, sehingga

dari sana mereka dapat merefleksi dan menata diri dalam terang kebijaksanaan Tuhan

untuk membangun kembali hidup panggilan dan perutusannya sesuai dengan nilai-nilai

Injili, nilai-nilai tradisi dan kekayaan rohani kongregasi untuk semakin memaknai

hidup panggilan dan perutusannya demi kebesaran dan kemuliaan nama Allah yang

lebih besar dan sekaligus melalui spiritualitas Hati Kudus sebagai obat bagi penyakit

zaman ini, semakin dirasakan dan dinikmati oleh semakin banyak orang yang mereka

jumpai dan layani.

Dalam Injil Luk 4:1-13 Santo Lukas mengetengahkan kisah hidup Yesus yang

sangat menakjubkan. Dalam perikop ini dikisahkan bagaimana Yesus dihadapkan

dengan godaan si iblis justru saat Dia dalam keadaan amat rawan di mana Yesus dalam

keadaan sungguh amat lapar setelah empat puluh hari Ia berpuasa. Saat itu Yesus

disuruh untuk menggunakan kuasa-Nya sebagai anak Allah mengubah batu menjadi

roti (kenikmatan/ hedonism). Kedua, Yesus digoda untuk menjatuhkan diri dari

bubungan Bait Allah (popularitas/ ketenaran). Ketiga, Yesus diminta untuk menyembah
143

kepada si iblis, dan sebagai imbalannya si iblis berkata kepada-Nya ia akan

menyerahkan segala kuasa serta kemuliaan dunia yang ada di bumi ini kepada-Nya.

Namun dari ketiga godaan yang ditawarka si iblis ini tak satupun yang diterima oleh

Yesus dan Ia mematahkan tipuan muslihat iblis itu dengan jawaban yang penuh kuasa

dan hikmat Allah. Tiga godaan tersebut di atas merupakan tiga godaan mendasar yang

senantiasa menyelimuti hidup manusia hingga saat ini. Dalam dunia kita saat ini,

terkesan si iblis cukup berhasil mempengaruhi hidup manusia sehingga manusia-

manusia modern saat ini takluk di bawah kekuasaannya.

Para Frater Bunda Hati Kudus sebagai anak zaman pun dalam kehidupan sehari-

hari tidak luput dari ketiga godaan tersebut. Hal ini terlihat dari fenomena dan situasi

hidup saat ini yang menimbulkan banyak keprihatinan, karena ternyata banyak dari kita

sudah hidup menyimpang dari cita-cita Injili dan cita-cita luhur kongregasi. Oleh

karena itu sangat diharapkan semoga melalui proses transformasi diri ini, masing-

masing frater dapat belajar dari Yesus sang pemimpin dan gembala kita untuk dapat

dengan iman yang berani menolak segala godaan yang mengancam kelangsungan hidup

panggilan dan perutusannya.

Demi proses transformasi diri ini diandaikan dari masing-masing frater mau

dengan segala kerendahan hati mengosongkan diri dan mempersilakan Allah dengan

segala daya ilahi-Nya berkarya di dalamnya, sehingga dari sana bisa terpancar

kesahajaan hidup yang merupakan pantulan kasih dan cinta Allah bagi sesama dan

dunia di mana kita hidup dan berkarya. Apabila hal ini yang terjadi maka eksistensi

dirinya sebagai seorang Frater Bunda Hati Kudus akan sungguh-sungguh nampak

dengan senantiasa berusaha menjadi garam dan terang dunia.


144

c. Pelaksanaan Pertemuan

1). Pembukaan

a). Kata Pengantar

Para Konfraterku yang dikasihi Tuhan, hidup di tengah arus globalisasi yang

semakin deras dan keras saat ini bukanlah merupakan hal mudah. Dalam kehidupan

kita sehari-hari tentu kita masing-masing mengalami dan merasakan apa yang menjadi

dampak positif dan negatif dari arus besar globalisasi saat ini. Kalau kita mau secara

jujur merefleksi dan menelaah lebih dalam penghayatan hidup panggilan dan perutusan

kita saat ini, di situ kita akan menemukan begitu banyak nilai keutamaan yang mulai

tergerus bahkan menjadi sama-samar. Hidup kerohanian kita baik secara

kongregasional maupun secara individu mulai melemah termasuk nilai-nilai humanis

dalam menunaikan karya perutusan kita. Berkaitan dengan hal ini kita sebagai anak

zaman entah kita sadari atau tidak, secara perlahan namun pasti kita mulai tergiring

masuk dalam arus besar era globalisasi saat ini. Kita bagaikan tak berdaya untuk

melawan arus zaman yang semakin deras. Kita bagaikan kehilangan pegangan dan

kekuatan untuk melawan. Oleh karena itu pada pertemuan ini kita diajak untuk belajar

dari Yesus yang dengan tegas dan berani menghadapi dan melawan/ menolak godaan-

godaan si iblis yang kelihatan baik dan menggiurkan. Kita berusaha belajar dan

menimba kekuatan dari Yesus sang junjungan dan gembala utama hidup kita untuk

mentransformasikan diri kita menjadi manusia-manusia baru di dalam Kristus, sehingga

dengan demikian kita tidak lagi hidup sebagai anak-anak kegelapan melainkan menjadi

anak-anak terang, terutama dalam menata dan menatap masa depan hidup panggilan

serta kongregasi kita.


145

b). Lagu Pembukaan: “Tuhan Sumber Hidupku” (MB. No. 453).

Datanglah bila hampa hatiku, hiburlah bila hambar cintaku,


Cairkan bila beku hatiku, segarkan bila layu jiwaku.

Bangkitkan bila jatuh imanku, hidupkan bila mati smangatku,


Hapuskan dari noda dosaku, singkirkan dari sgala yang palsu.

Hilangkan dengki dari hatiku, rendahkan bila tinggi hatiku,


Lemaskan bila kaku lidahku, wartakan karya keselamatan-Mu.

Taburkan benih hidup yang baru, suburkan sawah lading hatiku,


Himpunkan umat menjadi satu, turunkan damai atas umat-Mu.
Reff. Tuhan sumber hidupku, hanya Dikau daya hidupku,
Hanya Dikaulah arah hidupku.

c). Doa pembukaan:

Ya Allah sumber pembaharu hidup kami, kami menghaturkan syukur dan

terima kasih atas kelimpahan kasih-Mu yang telah menyatukan kami semua pada

kesempatan ini untuk bersama-sama mendengarkan, merenungkan dan menemukan diri

kami dalam Dikau lewat sabda Putra-Mu Tuhan dan Gembala kami. Kami mohon

penyertaan Roh Kudus-Mu agar kami dapat saling terbuka satu sama lain dan juga

dapat terbuka terhadap kehendak dan rencana-Mu untuk membaharui dan mengangkat

kami dari segala kerapuhan dan keterbatasan kami masing-masing, sehingga dengan

kekuatan rahmat kasih-Mu itu kami dapat membangun hidup baru dalam Dikau. Demi

Kristus Tuhan dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dalam

persatuan Roh Kudus kini dan sepanjang segala masa. Amin.

2). Penyajian Pengalaman Hidup

Para Saudaraku tang terkasih pada kesempatan ini saya mengajak kita untuk

mencoba belajar dari sebuah kisah yang akan kita bacakan bersama. Kisah yang saya

haturkan ini berjudul: “KEBIJAKSANAAN SANG ABDIS TUA”. Mari kita bacakan

bersama dan selanjutnya saya akan memberikan kesempatan kepada para frater untuk
146

sejenak membacakan kembali secara pribadi dalam hati sambil merenungkannya. Saya

pun akan mempersilakan salah satu frater yang bersedia menceritakan kembali secara

singkat isi pokok dari kisah tersebut bagi kita semua.

3). Pendalaman Pengalaman Hidup

Setelah membaca dan merenungkan kisah “Kebijakasanaan Sang Abdis Tua” ,

pendamping mengajak para peserta untuk bersama-sama mendalami kisah tersebut

dengan beberapa pertanyaan panduan berikut:

a). Apa tanggapan para frater terhadap kisah tadi?

b). Mengapa sang Abdis Tua itu tidak langsung mengutus suster mudanya untuk

menjadi pengkotbah sebagaimana diminta oleh sang Uskup, tetapi sang Abdis

masih membiarkan suster mudanya itu melewati suatu proses panjang?

c). Makna apa yang para frater petik dari kisah sang Abdis Tua tersebut? Sharingkanlah

dengan sesama konfratermu!

4). Rangkuman dari Pengalaman hidup

Dalam kisah tadi, tentu saja di antara kita ada yang secara spontan merasa aneh

dan jengkel dengan sikap sang Abdis Tua itu karena dia tidak langsung saja mengutus

susternya ke tempat perutusan yang ditawarkan oleh uskup namun ia masih menyuruh

Sr. Clara untuk melewati begitu banyak percobaan, latihan dan persiapan yang sangat

melelahkan. Di sini dapat kita melihat bahwa ternyata sang Abdis Tua itu dengan mata

hatinya ia dapat melihat dengan tajam kedalaman pribadi Sr. Clara yang masih muda

dan masih novis lagi. Sang Abdis itu ingin memproses dan mempersiapkan Sr. Clara

secara matang dan mendalam dengan nilai-nilai kepribadian, nilai-nilai rohani dan

nilai-nilai humanis dalam diri dan hidupnya sebagai bekal dalam perutusannya nanti.
147

Lewat proses yang ditempuh, akhirnya Sr. Clara dapat mengenal dan menemukan

dirinya yang terdalam dengan segala kekuatan dan kerapuhannya, sehingga dari sana ia

dengan segala kerendahan hati, setia, jujur membuka diri lebar-lebar untuk dibentuk

dan ditransformasi yang bukan lagi oleh sang Abdis tetapi ia sadar penuh bahwa yang

membentuk dan mentransformasi dirinya adalah Tuhan yang telah mencintai dan

memanggilnya. Sikap kepasrahan diri Sr. Clara ini pada akhirnya menghasilkan buah

yang melimpah dalam tugas perutusannya yang sekaligus membawakan kegembiraan,

suka cita dan keselamatan bagi banyak orang yang ia jumpai dan layani serta menjadi

tanda suka cita dan pembaharuan bagi segenap anggota tarekatnya.

Para Frater yang dikasihi Tuhan, dari kisah ini kita telah belajar banyak hal, di

mana kita sebagai seorang yang mengalami panggilan istimewa sebagai Frater Bunda

Hati Kudus, hendaknya kita juga memiliki sikap dan disposisi batin seperti Sr. Clara.

Di mana kerendahan hati, ketulusan, kejujuran dan kesediaan membuka diri terhadap

segala proses transformasi yang ditawarkan Tuhan lewat kongregasi, konfrater, atau

siapa saja serta seluruh peristiwa hidup kita yang dipakai Tuhan untuk memproses dan

mentransformasi hidup kita menuju suatu kehidupan yang lebih utuh, murni dan

bermakna bagi diri, kongregasi dan sesama yang kita jumpai dan layani, sehingga

dengan demikian Kerajaan Allah semakin meluas dan dinikmati oleh semakin banyak

orang.

Dari pengalaman pengolahan dan proses transformasi Sr. Clara tadi, kita dapat

memetik begitu banyak nilai yang ditawarkan yang dapat kita gunakan dan hayati

sebagai sumber kekuatan dan pegangan dalam hidup panggilan serta perutusan kita

sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain: Nilai pembedaan Roh, tanggung jawab, ketulusan

hati, kerendahan hati, keseimbangan antara hati dan pikiran serta sikap dan perbuatan,

nilai pengosongan diri, kemampuan mendengarkan, semangat doa, dan rasa empati dan
148

perhatian yang tulus terhadap sesama anggota yang lemah dan juga dengan sesama

yang miskin, menderita dan tak berdaya (Option for the poor).

5). Pembacaan teks Kitab Suci, Luk 4:1-13

Pendamping mengajak para peserta untuk mebacakan teks Kitab Suci Luk 4:1-

13 secara bergiliran ayat per ayat, selanjutnya pendamping mempersilakan peserta

untuk masuk dalam keheningan untuk merenungkan kembalai isi teks Kitab Suci

sambil diiringi dengan musik instrumental.

6). Pendalaman teks Kitab Suci, Luk 4:1-13

Setelah teks Kitab Suci dibaca dan direnungkan, selanjutnya pendamping

mengajak perserta untuk bersama-sama merefleksikan isi teks kitab Suci dengan

beberapa pertanyaan panduan berikut:

a). Dari teks Kitab Suci yang telah kita baca dan renungkan bersama tadi, ayat

manakah yang berkesan bagi anda?

b). Sharingkanlah pengalaman para frater tentang proses transformasi yang

bagaimanakah yang dikehendaki Tuhan bagimu?

7). Gagasan untuk rangkuman teks Kitab Suci.

Dari teks Kitab Suci yang telah kita renungkan dan kita bagikan, memang

masing-masing kita memiliki keunikan dan justru keunikan itu menambah kekayaan

iman kita. Namun dari keunikan-keunikan tersebut ada sebuah benang merah yang

kiranya dapat menghantar kita semua untuk dapat memahami sabda Tuhan secara lebih

utuh dan mendalam bahwa penginjil Lukas mau mengajak kita untuk melihat tiga jenis

godaan yang khas yang dialami oleh Yesus sebelum Ia memulai tugas perutusan Bapa

untuk mengajar dan mengadakan banyak mukjizat yang pada akhirnya akan berpuncak
149

pada penderitaan, wafat dan kebangkitan-Nya sebagai puncak karya keselamatan-Nya

bagi umat manusia.

Dalam godaan yang pertama dan ketiga si iblis menyebut Yesus sebagai Anak

Allah, tetapi mencoba menghindarkan Yesus terhadap ketaatan-Nya kepada Bapa yang

telah mengutus-Nya. Yesus tidak pernah menyerah kalah dan jatuh pada ketiga godaan

si iblis itu, yakni pertama si iblis meminta Yesus untuk mengubah batu menjadi roti,

kedua meminta Yesus untuk mengkhianati Bapa yang mengutus-Nya dan menyembah

kepada si iblis dan dengan itu akan diserahkan kepada-Nya segala kerajaan dan

kemuliaan duniawi, dan ketiga adalah Yesus diminta untuk menjatuhkan diri dari

bubungan Bait Allah dan malaikat-malaikat akan menatang-Nya sehingga kaki-Nya

tidak akan terantuk kepada batu. Yesus dalam menghadapi godaan si iblis itu, Ia

berhasil membuat si iblis kalang kabut dengan jawaban-jawaban yang penuh kuasa dan

kebenaran. Yesus dalam godaan pertama Ia hanya menjawab dengan tegas bahwa “ada

tertulis: manusia hidup bukan dari roti saja”. Kedua Yesus menjawab “ada tertulis:

engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau

berbakti”. Ketiga, Yesus menjawab: “Ada firman: jangan engkau mencobai Tuhan,

Allahmu”. Ketiga jawaban Yesus ini telah membuat si iblis tidak berdaya dan bahkan

pergi meninggalkan-Nya seorang diri, namun ia akan datang lagi pada saat yang tepat.

Para frater yang dicintai Tuhan, dalam kehidupan kita sehari-hari, entah kita

sadari atau tidak, setan selalu bekerja 24 jam untuk mengodai kita manusia, dan tiga

jenis godaan yang dialami Yesus itulah yang selalu menjadi andalan dan senjata ampuh

baginya untuk menghasut dan mengalahkan kita dan pada akhirnya kita bisa bersujud

padanya. Hal ini tidak bisa kita pungkiri bahwa godaan pertama yang merujuk pada

godaan dan tawaran kenikmatan dunia saat ini begitu kuatnya dan telah membuat

manusia termasuk kita sering tak berdaya. Godaan kedua yang merujuk pada kekuasaan
150

telah terbukti di mana begitu banyak orang terobsesi bahkan telah berjuang dengan

menghalalkan segala macam cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan dalam

hidupnya. Godaan ketiga adalah godaan yang merujuk pada pencarian popularitas diri,

pujian, dan sanjungan palsu yang kadang membuat kita lupa akan eksistensi diri kita

sebagai seorang hamba Allah. Oleh karena itu pentinglah kita bisa terbuka untuk

belajar dari Yesus sang guru sejati kita untuk berani bersikap dan menolak dengan

tegas segala godaan dan cobaan hidup yang kerap sangat menyenangkan dan

menggiurkan kita. Mari kita mengenakan dan menghayati cara hidup dan sikap Yesus

ini untuk mentransformasikan hidup kita masing-masing dan juga kehidupan

kongregasi kita ke jalan yang lebih baik sebagaimana kita harapkan dan cinta-citakan

bersama. Dengan demikian kita dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh Santo

Paulus yang berkata: “Tetapi kita yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar,

berbajuziarakan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan.

Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh

keselamatan oleh Yesus kristus Tuhan kita, yang sudah mati untuk kita, supaya entah

kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia” (1 Tes 5:8-10).

8). Penerapan dalam hidup secara konkret.

Proses transformasi diri merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu,

tenaga, pikiran dan juga biaya. Oleh karena itu janganlah kita membayangkan bahwa

transformasi diri itu akan berlangsung dalam waktu singkat dan mudah. Proses

transformasi diri juga menuntut adanya kerendahan hati, ketulusan, kejujuran dan

keterbukaan diri serta kepasrahan diri secara total pada kehendak dan rencana Tuhan

untuk membiarkan Dia berkarya dalam diri kita dengan segala kekuatan dan cinta Ilahi-

Nya. Apabila kita mampu membangun sikap-sikap hidup yang demikian, maka kita

yakin bahwa Tuhan akan menjadikan semua indah pada waktunya.


151

Kita akan berhasil menjadi seorang pribadi dan pemimpin yang transformatif

apabila kita memahami dan berani mengupayakan kemampuan-kemampuan dasar

berikut:

a) Menjadi seorang pemimpin yang mampu terus belajar, yakni mampu untuk

mendengarkan, membaca, menangkap masalah, menganalisa, mempertimbangkan

macam-macam hal dan faktor, berwawasan luas, mampu berdialog, peka pada

tanda-tanda zaman dan mau berkembang serta mengubah diri.

b). Menjadi komunikator yang baik, yang mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas,

tegas tatapi bijaksana dan lembut, mampu mengungkapkan perasaan secara

seimbang, mampu merumuskan sesuatu dengan tepat dan inspiratif, mampu

menghubungkan yang sekarang dengan yang lampau, dan mampu membangkitkan

semangat para anggota untuk bekerja giat dan hidup baik.

b) Menjadi koordinator yang baik, seperti seorang dirigen dalam orkestra, yang

mampu memadukan aneka kekayaan dan kekhasan masing-masing anggota, bagi

kebaikan keseluruhan. Ia juga harus mampu membuat para anggotanya merasa at

home dan merasa dirinya berharga dan penting bagi komunitas/ persekutuan.

c) Menjadi orang yang mampu dan berani membuat keputusan yang tepat dan

bijaksana bagi kebaikan bagi seluruh anggota kongregasi dan pihak-pihak lain yang

berhubungan dengan keputusan itu. Ia pun harus berani mengambil resiko dan

menanggungnya.

e). Menjadi orang yang bersemangat dalam melayani proses transformasi kongregasi,

bagi kemajuan dan kebaikan kongregasi, Gereja, dan masyarakat. Proses


152

transformasi yang harus ia buat juga meliputi kemampuan untuk mangadakan

kaderisasi atau regenerasi kepemimpinan yang baik. Pemimpin yang membuat

segalanya terpusat pada dirinya dan tidak memungkinkan orang lain berkembang

dan menggantikan dirinya tentulah bukan pemimpin yang berjiwa transformatif.

Kepemimpinan transformatif di sini berarti kepemimpinan yang mampu mengubah

hidup dari hidup yang terpusat pada diri atau kepentingan sendiri ke hidup altruis,

yakni hidup untuk orang lain dan makin terbuka terhadap suka-duka kehidupan

masyarakat sekitarnya, terutama bagi mereka yang lemah, kecil, miskin, dan

tersingkir.

f). Menjadi orang yang bisa mengerjakan seperti yang dikerjakan Yesus dalam

perjalanan-Nya ke Emaus bersama kedua murid itu. Di situ seperti Yesus,

pemimpin harus memiliki visi dan arah yang jelas yang mau dituju, mendorong,

mendengarkan, mengajak refleksi dan bertanya bagi penemuan kehendak Allah,

memberi informasi, menarik implikasi-implikasi, mampu menghubung-hubungkan

dan membagikan roti kepada teman perjalanan.

g). Menjadi pendoa. Ini merupakan hal penting dan utama bagi seorang pemimpin

dalam tarekat. Seorang pemimpin yang baik dan transformatif perlu rajin berdoa

untuk kawanannya/ para anggotanya, teman-teman sekomunitasnya, umatnya atau

oarang-orang yang dipercayakan kepadanya. Ia juga perlu menjadi seorang yang

hidup rohani dan doanya mendalam, sebagaimana terungkap dalam kata dan

tindakan sedemikian rupa sehingga para anggotanya dan orang lain di sekitarnya

merasa damai dan tenang.

Kemampuan-kemampuan dasar tersebut di atas tidak akan bisa terhayati kalau

kita sendiri tidak memiliki dasar spiritualitas yang kuat dan mendalam. Oleh karena itu
153

sebagai seorang pemimpin Kristiani sejati hendaklah kita membangun sebuah fondasi

rohani yang kokoh dalam hidup dan kepemimpinan kita yakni kita harus menjadikan

Yesus dengan segala daya dan gaya kepemimpinan-Nya sebagai dasar spiritualitas kita.

Berkaitan dengan spiritualitas kepemimpinan ini, Marta Sudjita (2001: 46-56)

mengemukakan tiga model spiritualitas kepemimpinan, yakni Pertama, Spiritualitas

kepemimpinan sebagai Gembala. Kedua, Spiritualitas kepemimpinan sebagai Pelayan.

Ketiga, Spiritualitas kepemimpinan sebagai pengurus rumah tangga. Namun dari ketiga

spiritualitas kepemimpinan ini kita mencoba untuk memahami dan mendalami serta

berusaha menghayati spiritualitas kepemimpinan sebagai gembala.

Yesus dalam perumpamaan-Nya menyampaikan ciri-ciri gembala yang baik.

Gembala yang baik berani dan rela menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya

(Yoh 10:11). Gembala yang baik selalu mengenal domba-dombanya dan domba-domba

mengenalnya (Yoh 10:14). Seorang gembala yang baik juga harus memiliki pengenalan

dan relasi yang intim dengan Bapa (Yoh 10: 15) Dan akhirnya gembala yang baik

selalu berusaha mencari domba yang tersesat di mana ia rela meninggalkan yang

sembilan puluh sembilan ekor untuk pergi mencari dan menemukan satu ekor domba

yang tersesat sebagaimana di gambarkan dengan begitu indah oleh Santo Lukas:

“…Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jika ia
kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh
sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia
menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas
bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat
dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-
sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan” (Luk 15:4-
6).

Seorang pemimpin yang sekedar kehilangan harta benda, materi, nama,

kehormatan atau martabat belumlah cukup. Dalam hal ini seorang pemimpin (Frater

BHK) harus rela merepotkan diri dan direpotkan oleh para anggota serta berani

memberikan seluruh totalitas hidupnya, yakni hati, pikiran, bakat dan kemampuan
154

bahkan hidupnya sendiri untuk melayani dan menumbuhkan serta memperkembangkan

hidup para anggotanya teristimewa bagi mereka yang dianggap lemah dan tak berdaya

agar mereka dapat menemukan kepenuhan hidup dalam Kristus sang Gembala utama

mereka.

Mengenal dalam arti biblis bukan hanya sekedar tahu nama, hobi, alamat entah

alamat surat, telepon, email atau facebooknya, keluarga atau pekerjaannya. Mengenal

bersangku-paut dengan soal ”mempunyai relasi atau hubungan personal dan

mendalam”. Dalam hal ini semangat kegembalaan seorang pemimpin (Frater BHK)

tampak dalam bagaimana ia memiliki hubungan yang mendalam, personal dan saling

meneguhkan dengan para anggotanya. Segala suka-duka para anggotanya ada dalam

doa dan pelayanannya setiap waktu.

Suatu hal pakok yang harus dibangun dan dimiliki oleh seorang pemimpin

(Frater BHK) adalah ia harus memiliki relasi yang personal dan intim dengan Allah

Bapa, dalam arti ia harus sungguh mengenal, mencintai, setia dan taat melaksanakan

apa yang dikehendaki Allah baginya dan selalu menempatkan Allah sebagai segala-

galanya dalam seluruh ranah kepemimpinannya dan sebaliknya Allah pun akan selalu

mengenal, mencintai, membimbing, menuntun dan memberikan kekuatan,

kebijaksanaan dan keberanian dalam menjalankan kepemimpinannya, sehingga bukan

lagi ia yang memimpin berdasarkan kemanusiaannya melainkan Allah atau Kristuslah

yang selalu hidup, hadir dan memimpin dalam dirinya.

Gembala atau pemimpin yang berani meninggalkan sembilan puluh sembilan

ekor domba dan mencari satu ekor domba yang hilang ialah pemimpin yang selalu

mencintai setiap anggotanya, sekalipun anggotanya itu ada yang selalu rewel dan,

bermasalah, menyebalkan, membosankan, suka memberontak dan menentang, sebab

bagi seorang pemimpin gembala (Frater BHK), setiap domba/ setiap anggota, entah
155

bagaimanapun keadaannya, tetap bernilai dan berharga, yang akan dijaganya seperti biji

mata.

Bertolak dari dasar spiritualitas kepemimpinan sebagai gembala ini, kita harus

menyadari, bahwa Tuhan tidak pernah menghendaki kita untuk merubah hal-hal yang

luar biasa, namun Ia hanya menghendaki agar kita mampu merubah hal-hal yang kecil

dan sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari, baik sebagai pemimpin atas diri kita

sendiri maupun sebagai pemimpin yang secara struktural diberi kepercayaan oleh

kongregasi untuk memimpin suatu unit karya atau pemimpin apa pun.

9). Penutup

a). Doa permohonan

Pendamping mengajak para peserta untuk masuk dalam keheningan batin untuk

mengendapkan apa yang telah diolah dan dibagikan bersama sambil diiringi musik

instrument. Selanjutnya pendamping mengajak para peserta untuk menyampaikan doa-

doa permohonannya secara spontan.

Para konfraterku yang dikasihi Tuhan, setelah kita berbagi pengalaman lewat

kisah Kebijaksanaan Sang Abdis Tua dan disempurnakan dengan sabda Tuhan lewat

Injil Luk 4:1-13 tadi, sekarang marilah kita mengungkapkan segala niat dan harapan

kita masing-masing kepada Tuhan lewat doa-doa permohonan kita kepada Tuhan.

Peserta diberi waktu 2 menit untuk merenung sambil mempersiapkan doa permohonan

masing-masing yang akan disampaikan secara spontan.

b). Doa Bapa kami

Para konfraterku yang dikasihi Tuhan, marilah kita menyatukan segala harapan,

niat dan rasa syukur kita kepada Tuhan dengan menyanyikan lagu Bapa Kami sambil

bergandengan tangan.
156

c). Doa Penutup

Ya Allah sumber segala pembaharuan, kembali kami menghaturkan limpah

terima kasih kepada-Mu atas kelimpahan kasih dan cinta-Mu yang telah menyertai

kami dalam seluruh proses katekese ini. Kami telah saling terbuka dan berbagi, saling

memberi masukan dan saling meneguhkan satu sama lain. Bantulah kami dengan

rahmat kasih-Mu agar kami boleh mulai memproses diri kami dalam terang iman dan

sabda serta teladan hidup Putera-Mu sebagai pemimpin sejati kami. Mampukanlah

kami agar dari hari ke hari kami dapat mentransformasikan diri kami dari sisi gelap

hidup kami menuju hidup baru sebagai anak-anak terang yang selalu berbajuziarakan

iman dan kasih serta berketopongkan pengharapan. Jadikanlah kami pemimpin-

pemimpin-Mu yang handal dan bijaksana dalam hidup kami maupun dalam hidup

persaudaraan kami sebagai anggota Kongregasi Frater Bunda Hati. Demi Kristus Tuhan

dan pengantara kami yang hidup dan berkuasa kini dan sepanjang masa. Amin.

d). Lagu Penutup

I Have A Dream

I have a dream, a song to sing


To help me cope, with anything
If you see the wonder of a fairy tale
You can take the future
Even if you fail
I have a dream a fantasy
To help me through reality
and my destination makes it worth the while
pushing through the darkness
Still a nother mile
I believe in angels something good in everything
I see
157

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab VI yang merupakan bagian terakhir skripsi ini, penulis menegaskan

kembali beberapa pokok pikiran berkaitan dengan katekese tentang menghayati

spiritualitas kepemimpinan kegembalaan Yesus demi terwujudnya kepemimpinan

transformatif, sehingga melalui pemahaman dan penghayatan spiritualitas

kepemimpinan kegembalaan Yesus ini dapat tercipta suatu transformasi kepemimpinan

dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus demi pertumbuhan dan perkembangannya

yang lebih baik. Pokok-pokok pikiran tersebut merupakan kesimpulan yang

dirumuskan oleh penulis yang menjadi inti dari keseluruhan skripsi ini. Selain

kesimpulan, penulis juga mengetengahkan beberapa saran yang ditujukan kepada para

pemimpin Kristen dan religius, khususnya para pemimpin dalam Kongregasi Frater

Bunda Hati Kudus di Indonesia yang merupakan subyek penulisan skripsi ini. Saran-

saran tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi para Frater Bunda Hati Kudus

dalam upaya meningkatkan dan memperkembangkan kongregasi dan para anggotanya.

A. Kesimpulan

Dalam ranah kehidupan manusia baik secara individu maupun sosial

kepemimpinan mutlak diperlukan. Kepemimpinan merupakan suatu sarana yang dapat

memberi arah, petunjuk, dan tuntunan bagi hidup manusia. Manusia harus sungguh

bijaksana dalam memimpin hidupnya atau hidup kelompok/ lembaganya ke arah yang

lebih baik dan benar, sebab apabila ia salah mengarahkan/ memimpin maka manusia itu

bisa saja menghancurkan hidupnya sendiri atau hidup kelompok/ lembaganya. Oleh

karena itu manusia dalam memimpin hidupnya atau kelompoknya membutuhkan suatu
158

pola tertentu yang bisa saja secara alamiah dimiliki seseorang ataupun yang bisa

dipelajari dari orang lain yang kiranya dapat membantu seseorang atau lembaga dalam

menata hidupnya menuju hidup yang lebih baik. Demikian pula halnya dalam

kehidupan menggereja, kepemimpinan ini sangat diperlukan. Hal ini telah terjadi sejak

zaman Perjanjian Lama di mana Allah menuntun dan memimpin umat-Nya lewat

perantaraan para nabi-Nya, hingga dalam Perjanjian Baru Allah melanjutkan

kepemimpinan-Nya dalam dan melalui Putera tunggal-Nya, Tuhan kita Yesus Kristus.

Dalam diri Yesus Kristus, Allah telah mewariskan suatu pola kepemimpinan yang

sangat menakjubkan yang kita kenal dengan istilah kepemimpinan Kristiani.

Kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang berpola dan berguru pada ajaran

dan seluruh kehidupan Yesus yang kemudian dalam lembaga hidup religius dikenal

dengan istilah kepemimpinan religius. Salah satu nilai kepemimpinan yang diwariskan

Yesus adalah kepemimpinan Kristiani sebagai gembala yang baik sebagaimana

termaktub dalam Injil Yohanes 10: 11-15.

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus sebagai suatu lembaga hidup religius

dalam seluruh gerak kehidupannya tidak bisa dilepaspisahkan dari gerakan

kepemimpinan. Dalam gerakan kepemimpinan ini sangat dibutuhkan seorang tokoh

dengan model kepemimpinan tertentu yang khas. Oleh karena itu dalam Gereja, tiada

tokoh dan model kepemimpinan yang labih istimewa selain Yesus Kristus Sang

pemimpin dan Gembala utama kita.

Bertolak dari situasi kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati

Kudus yang cukup memprihatinkan saat ini, penulis menyadari penuh, bahwa dalam

menghadapi dan mengatasi situasi ini sangat diperlukan suatu proses transformasi

dalam diri para Frater Bunda Hati Kudus dengan pertama-tama menyadari

keberadaannya, sehingga dari sana mereka dapat berjuang dalam proses pembaharuan
159

diri dari sisi-sisi kekurangan dan kelemahannya menuju hidup dan kepemimpinan yang

dirahmati, dijiwai dan disemangati oleh spiritualitas kepemimpinan kegembalaan Yesus

sendiri sebagai pemimpin dan gembala sejati. Diharapkan agar para Frater Bunda Hati

Kudus dalam seluruh gerak kehidupan dan kepemimpinannya, sedapat mungkin mereka

menghadirkan diri sebagai garam dan terang dunia, sebagaimana ditegaskan oleh

Timothy (2009: 11) yang mengatakan “Panggilan kita sebagai biarawan-biarawati

hendaknya berperan untuk menyinari panggilan umat manusia. Kalau tidak, kita hanya

menghambur-hamburkan waktu”.

Demi tercapainya upaya transformasi kepemimpinan dalam Kongregasi Frater

Bunda Hati Kudus tersebut, maka diperlukan adanya suatu sarana yang dapat

membantu proses transformasi ini. Oleh karena itu katekese yang merupakan suatu

karya Gereja dapat digunakan untuk membantu para frater dalam proses tersebut.

Model katekese yang penulis usulkan adalah model pengalaman hidup sebagai salah

satu bentuk pendampingan untuk membantu para Frater BHK, dalam upaya menghayati

spiritualitas kepemimpinan kegembalaan Yesus demi terwujudnya kepemimpinan yang

transformatif.

B. Saran

Bertitiktolak dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan dalam setiap

bab dalam skripsi ini, akhirnya penulis mencoba menyampaikan beberapa saran, yang

dapat digunakan untuk meningkatkan penghayatan spiritualitas kepemimpinan

kegembalaan Yesus sebagai upaya mewujudkan kepemimpinan transformatif dalam

Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, menuju suatu kepemimpinan yang lebih

mengabdi, melayani, mau direpotkan/ berkorban, mengayomi, mendengarkan, mampu

berdialog, partisipatif, penuh perhatian dan kasih persaudaraan, penuh ketulusan dan
160

kerendahan hati. Untuk mencapai semuanya itu perlu adanya suatu usaha konkret dari

para Frater Bunda Hati Kudus, yang harus dibangun secara terus-menerus dan

berkesinambungan antara lain:

1. Sebagai seorang pemimpin, perlu membangun hidup rohani pribadi yang mendalam

dan personal dengan Allah/ Kristus sebagai pemimpin utamanya.

2. Membangun komunikasi dari hati ke hati, baik antar pemimpin maupun antara

pemimpin dengan para anggota serta antar para anggota kongregasi.

3. Para pemimpin bersama para anggota berusaha menggali dan memperdalam harta

kekayaan rohani yang terkandung dalam seluruh khasanah kongregasi (Kitab Suci,

konstitusi, adat kebiasaan, semangat pendiri, spiritualitas kongregasi, visi-misi

kongregasi dan amanat-amanat kapitel).

4. Meningkatkan pembinaan dan pendampingan yang terstruktur dan

berkesinambungan bagi para anggota kongregasi, baik yang berkaitan dengan

kepemimpinan, kehidupan rohani/ spiritual, manajemen maupun hal-hal lain yang

mendukung panggilan dan karya kerasulan kongregasi.

5. Menciptakan kesempatan evaluasi terpadu dengan seluruh komponen yang terkait

dalam kongregasi sekurang-kurangnya sekali dalam satu periode kepemimpinan,

untuk mengetahui hal-hal yang sudah baik maupun yang belum baik untuk

selanjutnya meningkatkan apa yang sudah baik serta menata kembali apa yang

belum atau kurang baik.

6. Membangun kerja sama yang baik, solit, transparan dan produktif, baik antar para

pemimpin, pemimpin dengan para anggota, antar anggota maupun dengan pihak-
161

pihak lain yang terkait.

Hendaknya program katekese yang sudah tersusun dalam skripsi ini benar-benar

digunakan pihak Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dalam usaha meningkatkan

penghayatan spiritualitas kepemimpinan kegembalaan Yesus sebagai upaya

mewujudkan kepemimpinan transformatif, sehingga terbangunlah suatu kepemimpinan

yang lebih efektif dan menjawabi kebutuhan zaman dan kebutuhan para anggotanya.

Oleh karena itu agar katekese ini dapat berjalan efektif, dalam pelaksanaannya perlu

adanya pengenalan dan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam menyangkut

seluk-beluk kehidupan kongregasi, baik sisi kelebihan maupun kelemahannya oleh

pemandu katekese, sehingga dapat memprosesnya secara kreatif sesuai dengan situasi

dan kebutuhan. Program katekese ini juga dapat diproses lewat rekoleksi atau dengan

pertemuan katekese biasa sesuai dengan situasi yang ada.

Penulis berharap, agar melalui katekese yang akan diadakan bersama dapat

membantu para Frater Bunda Hati Kudus khususnya di Provinsi Indonesia untuk

semakin mengupayakan dan meningkatkan penghayatan spiritualitas kepemimpinan

kegembalaan Yesus sebagai upaya mewujudkan kepemimpinan transformatif demi

pertumbuhan dan perkembangan kongregasi serta kesejahteraan jasmani dan rohani

para anggota Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di zaman sekarang.


162

DAFTAR PUSTAKA

Bergan, Dianne, CSA & Karris, Robert J. (2002). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.
Yogyakarta: Kanisius.
Darmawijaya, ST., Pr. (1988). Menikmati Injil Yohanes. Yogyakarta.
Darminta, J., SJ. (2005). Kepemimpinan Religius dalam Peziarahan Hidup.
Yogyakarta: Kanisius.
Dennis, Marie A. (2008). Oscar Romero dan Dorothy Day Berjalan Bersama Kaum
Miskin. Yogyakarta: Kanisius.
Dewan Umum Kongregasi Frater BHK. (2006). Inti Jiwa Hidup Kongregasi Frater
BHK. Malang.
. (2009). Buku Tahunan Kongregasi Frater
BHK. Malang.
D’Souza, Anthony. (2007). Proactive Visionary Leadership. Jakarta: PT. Trisewu
Nagawarsa.
Hardjosetiko, Fransiskus. (1995). Diktat Sejarah Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus.
Malang.
Hunsaker, Philip L. (1986). Seni Komunikasi Bagi Para Pemimpin. Yogyakarta:
Kanisius.
Hayon, Niko SVD. (1988). Cinta Yang Mengabdi. Ende Flores: Nusa Indah.
Heryatno, F.X. (2007). Manuskrip PAK III, Katekese Umat, “Dari, Oleh dan Untuk
Umat. IPPAK – USD, Yogyaakarta.
Hadiwiyata A., S. (2008). Tafsir Injil Yohanes. Yogyakarta: Kanisius.
Kitab Hukum Kanonik. (1991). Sekretariat KWI. Jakarta: Obor
Komisi Kateketik KWI. (2000). Petunjuk Umum Katekese. Jakarta: Dokpen KWI.
Kapitel Umum Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. (1997). Konstitusi Kongregasi
Frater Bunda Hati Kudus. Debild Belanda.
Lowney Chris. (2005). Heroic Leadership. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lalu, Yosef, Pr. (2007). Katekese Umat. Yogyakarta: Kanisius.
Martasudjita, E., Pr. (2001). Kepemimpinan Transformatif. Yogyakarta: Kanisius.
Mardi, Prasetyo, SJ. (2003). Kepemimpinan Religius di Era Pos-Modern (Seri pastoral
350). Yogyakarta: Pusat Pastoral.
Min, Sudomo, D. (2005). Ciri Utama Kepemimpinan Sejati. Yogyakarta: Adi Offset.
Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Paus Yohanes Paulus II. (1979). Catechesi Tradendae. (R. Hardawiryana, SJ.,
Penerjemah). Jakarta: Dokpen KWI.
Partanto, Pius, A. (1994). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: ARKOLA.
Rodcliffe, Timothy, OP. (2009). Nyanyikanlah Lagu Baru (Sing a new song). Malang:
Dioma.
Soenarja A., SJ. (1984). Kepemimpinan Biara Dari Hari Ke Hari. Yogyakarta:
Kanisius.
Sumarno DS., M., SJ. (2007). Diktat mata Kuliah Program Pengalaman Lapangan
Pendidikan Agama Katolik Paroki Untuk Semester VI, Program Studi IPPAK,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Telaumbanua, Marinus OFMCap. (1999). Ilmu Kateketik, Hakikat, Metode dan Peserta
Katekese Gerejawi. Jakarta: Obor.
Toha, Abdilah. (2008). OBAMA Tentang Israel, Islam dan Amerika, (edisi revisi).
163

Jakarta: Hikmah (PT. Misan Publika).


Van Vugt, Joos P., A. (2000). Bapak, Anak, Saudara. Belanda: KDSC Scripta.
. (2005). Bruder-bruder dan Karya Mereka. Yogyakarta:
Kanisius.
. (2005). Dengan Kepedulian dan Kesederhanaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Woffort, Jerry C. (2001). Kepemimpinan Kristen Yang mengubahkan. Yogyakarta:
Andi Offset.
Lampiran 1 : Surat permohonan wawancara kepada para Frater

Perihal : Permohonan Berbagi Yogyakarta, 21 Mei 2009


Pengalaman

Kepada,
Yth. Para Frater
Di tempat

Salam Damai dalam Kasih Tuhan,

Bersama ini saya sampaikan, bahwa pada saat ini saya sedang mengerjakan tugas akhir
(Skripsi) sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Ilmu Pendidikan Kekhususan
Pendidikan Agama Katolik (IPPAK). Adapun judul skripsi yang saya ambil adalah
“KEPEMIMPINAN KEGEMBALAAN YESUS DALAM INJIL YOHANES,10:11-15
SEBAGAI MODEL KEPEMIMPINAN PARA FRATER KONGREGASI FRATER
BUNDA HATI KUDUS DI INDONESIA DALAM KEHIDUPAN DI ZAMAN
SEKARANG.” Berkaitan dengan perihal di atas maka, pada kesempatan ini saya dengan
segala kerendahan hati memohon bantuan para frater untuk membagikan pengalamannya
berkaitan dengan kepemimpinan dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di
Indonesia selama ini.

Demikianlah permohonan saya, atas bantuan dan kebaikan hati para frater, tak lupa saya
haturkan limpah terima kasih. Berkah Dalem.

Salam Bunda Hati Kudus,

Vinsensius Tnopo

(1)
Lampiran 2 : Daftar Nama Subyek Yang Diwawancara

DAFTAR NAMA SUBYEK YANG DIWAWANCARA


NO. NAMA HARI/TANGGAL WAKTU
Fr. M. Amatus, BHK Kamis, Pkl.08.00-09.00 WIB
Pimpinan Komunitas St. 28 Mei 2009
1 Vinsensius a Paulo Surabaya, dan
mantan anggota Dewan Provinsi
Indonesia.
Fr. M. Roberto, BHK Kamis, Pkl. 11.00 – 12.00 WIB
Tata Usaha SMPK AC II 28 Mei 2009
2 Surabaya (Anggota Kom. St.
Vinsensius a Paulo Surabaya).
Fr. M. Maximus, BHK Kamis, Pkl. 17.00 – 18.00 WIB
Mahasiswa Universitas Windya 28 Mei 2009
Mandala Surabaya. (Mantan
3
misionaris di Kenya Afrika dan
anggota Kom. St. Vinsensius a
Paulo Surabaya).
Fr. M. NOrbertus, BHK Jumat, Pkl. 20.00 – 21.00 WIB
Pimpinan Komunitas St. 29 Mei 2009
Paulus Surabaya, Kepala
Yayasan Mardi Wiyata Sub
4
Perwakilan Surabaya, Kepala
sekolah SMUK Frateran
Surabaya, dan mantan anggota
Dewan Provinsi Indonesia.
Fr. M. Antonius, BHK Sabtu, Pkl 08.00 – 09.00 WIB
Ekonom Komunitas St. Borgias 30 Mei 2009
Kupang, Mantan Kepala sekolah
SMPK Ndao Ende dan SMPK
5
Frateran Maumere, Mantan
Magister Postulan serta mantan
pimpinan komunitas St. Borgias
Kupang.
Fr. M.Gilbertus, BHK Sabtu, Pkl.14.30 – 15.30 WIB
Ekonom Komunitas St. Paulus 30 Mei 2009
6
Surabaya

Fr. M. Arnoldus, BHK Sabtu, Pkl.17.00 – 18.00 WIB


7 Bendahara Yayasan Mardi 30 Mei 2009
Wiyata Sub Perwakilan Surabaya
Fr. M. Renatus, BHK Senin, Pkl.09.00 – 10.00 WIB
Pimpinan Komunitas St. Y. 01 Juni 2009
8 Berchmans Kediri dan Kepala
Yayasan Mardi Wiyata Sub
Perwakilan Kediri Jawa Timur
9 Fr. M. Marselinus, BHK Senin, Pkl.20.00 – 21.00 WIB

(2)
Guru SMPK Frateran Kediri 01 Juni 2009
dan Mantan Sekretaris Dewan
Provinsi Indonesia.

Selasa, Pkl.20.00 – 21.00 WIB


Fr. M. Bonaventura, BHK
10. 02 Juni 2009
Ekonom Komunitas St. Y.
Berchmans Kediri.
Fr. M. Asterius, BHK Selasa, Pkl.21.15 – 22.45 WIB
Perawat para frater lanjut usia 02 Juni 2009
11.
dan guru SDK Mardi Wiyata
Kediri.
Fr. M. William, BHK Jumat, Pkl.19.30 – 21.00 WIB
Anggota Komunitas Frateran 05 Juni 2009
St. Gregorius Malang,
12. Mahasiswa FKIP (Ekonomi)
USD Yogyakarta, dan mantan
bapak asrama SMUK Frateran
Ndao Ende Flores.
Fr. M. Kardinus, BHK Jumat, Pkl.21.30 – 23.00 WIB
Anggota Komunitas Frateran 05 Juni 2009
St. Gregorius malang,
Mahasiswa FKIP (Akuntansi)
13.
USD Yogyakarta, dan mantan
bapak asrama SMUK Frateran
Podor Larantuka Flores
Timur.
Fr. M. Paskalis, BHK Minggu, Pkl.10.30 – 11.30 WIB
Anggota Komunitas Frateran 07 Juni 2009
St. Gregorius Malang,
Mahasiswa FKIP (IPPAK)
14.
USD Yogyakarta dan mantan
bendahara Yayasan Mardi
Wiyata Sub Perwakilan
Surabaya.
Fr. M. Clemens, BHK Rabu, Pkl.09.30 – 10.30 WIB
Anggota Komunitas Frateran 17 Juni 2009
St. Gregorius Malang, mantan
magister, Mantan Provinsial,
mantan anggota Dewan Pusat
15.
di Belanda dan sekarang
menjadi pendiri, pengelola dan
sekaligus direktur Museum
Zoologi Frater Vianney, BHK
di Malang.

(3)
Lampiran 3 : Daftar Pertanyaan Wawancara

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

1. Sejauh mana pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus tentang kepemimpinan
Kristiani?

2. Sejauh mana pemahaman para Frater Bunda Hati Kudus tentang kepemimpinan
religius?

3. Bagaimana pengalaman para Frater Bunda Hati Kudus atas kepemimpinan para
pemimpin mereka dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus selama ini?

4. Gambaran pemimpin yang bagaimanakah yang didambakan para Frater Bunda Hati
Kudus bagi kelangsungan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di zaman
sekarang?

(4)
Lampiran 4 : Pokok-pokok Jawaban Subyek Wawancara

POKOK – POKOK JAWABAN SUBYEK WAWANCARA

1. Pemahaman Tentang Arti Kepemimpinan Kristiani.

Responden I :
Menurut saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang berpola pada
sabda dan kehidupan Yesus sendiri.

Responden II :
Menurut saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang mau belajar dari
keteladanan hidup Yesus sebagai pemimpin utama.

Responden III :
Menurut hemat saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang berguru
pada Yesus Kristus.

Responden IV :
Menurut saya, Kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang mengacu pada
Yesus sebagai tokoh utama yang mengajarkan dan meneladankan tentang
kepemimpinan sejati.

Responden V :
Menurut hemat saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang memiliki
iman kristiani yang utuh dan mendalam dengan berpola pada Yesus Kristus dengan
segala ajaran, keteladanan hidup dan visi-misi-Nya.

Responden VI :
Menurut saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang berpola pada
Yesus sendiri.

Responden VII :
Menurut saya, kepemimpinan kristiani adalah kepemimpinan yang berpola pada
Yesusu Kristus dan seluruh ajaran-Nya.

Responden VIII :
Menurut yang saya ketahui, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang
bertolak dari kepemimpinan Yesus sendiri dan ajaran-Nya, yang bukan berlagak
sebagai bos tetapi sebaliknya sebagai pelayan dan pengabdi yang penuh cinta kasih
dan kerendahan hati.

(5)
Responden IX :
Menurut saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang bersumber pada
Yesus yang selalu mampu mengarahkan orang-orang yang dipimpin-Nya kepada
nilai-nilai surgawi.

Responden X :
Menurut pengetahuan saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang mau
belajar dari Yesus sebagai pemimpin utama.

Responden XI :
Menurut saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang terbuka terhadap
Tuhan untuk belajar dari ajaran dan cara hidup-Nya.

Responden XII :
Menurut saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang melandaskan diri
pada Yesus Kristus sebagai pemimpin utama dan sekaligus peletak dasar
kepemimpinan sejati sepanjang masa. Dalam hal ini seorang pemimpin harus terbuka
untuk belajar dari Yesus, bagaimana Ia memimpin para rasul-Nya, yakni Ia
memimpin sebagai pelayan yang penuh ketulusan hati, bebas dan iklas.

Responden XIII :
Menurut saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang berguru pada
Yesus Kristus, sebagai jalan, kebenaran dan hidup.

Responden XIV :
Menurut pengetahuan saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang
mengacu pada kepemimpinan Yesus sebagai Gembala utama, di mana Ia selalu
melihat dan merasakan apa yang dirasakan oleh manusia dan dari sana ia selalu
berusaha untuk menanggapinya. Dalalm hal ini kepemimpinan Yesus yang selalu
membawakan kebebasan, kebahagiaan dan keselamatan sejati bagi manusia.

Responden XV :
Menurut pemahaman saya, kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan yang
berpola dan bersumber pada Yesus Kristus sebagai pemimpin utama dan sumber
inspirasi kita.

2. Pemahaman Tentang Arti Kepemimpinan Religius

Responden I :
Menurut saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang selalu
menyelaraskan diri dengan kaidah-kaidah dan khasanah yang dalam lembaga hidup
bakti.

(6)
Responden II :
Menurut saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang sesuai dengan
ketiga nasihat Injil/ ketiga kaul.

Responden III :
Menurut pengetahuan saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang
mengacu pada nilai-nilai hidup religius yang tidak bisa dilepaspisahkan dari ajaran
Yesus sebagai teladan hidup dan sumber inspirasi kita.

Responden IV :
Menurut hemat saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang selalu
melandaskan diri pada ajaran Yesus Kristus (Kitab Suci), nilai-nilai ajaran Gereja
(Kitab Hukum Kanonik) Konstitusi, anggaran dasar, regula, adat kebiasaan, dan
spiritualitas yang dihidupi oleh kongregasi/ lembaga hidup bakti.

Responden V :
Menurut saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang bertolak dari
ajaran Yesus Kristus dan ajaran Gereja, untuk mewujudkan visi Kristiani dan visi-
misi kongregasi demi pelayanan yang penuh kasih dan perhatian bagi pertumbuhan
dan perkembangan kongregasi serta kesejahteraan hidup jasmani dan rohani para
anggotanya.

Responden VI :
Menurut saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang berpola pada
Yesusu Kristus dan berusaha menyelaraskan kepemimpinannya dengan visi-misi
serta spiritualitas yang dihidupi oleh kongregasi.

Responden VII :
Menurut pengetahuan saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang mau
terbuka terhadap khasanah kongregasi.

Responden VIII :
Menurut saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang harus selalu
menyadari diri sebagai seorang yang mendapat anugerah panggilan khusus untuk
menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah dunia dengan cara memberikan
keteladanan hidup berdasarkan ajaran Kristiani, baik dalam sikap, tutur kata maupun
perbuatan sehari-hari.

Responden IX :
Menurut saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang diemban oleh
seseorang dalam suatu lembaga religius yang selalu berusaha untuk mengarahkan
para anggotanya untuk hidup lebih terarah dan menghayati secara benar nilai-nilai
Kristiani dan nilai-nilai hidup religus dalam kehidupan sehari-hari.

(7)
Responden X :
Menurut pengetahuan saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang selalu
melandaskan diri pada ajaran kristus, konstitusi dan spiritualitas kongregasi.

Responden XI :
Menurut saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang selalu
menyelaraskan diri dengan spiritualitas kongregasi.

Responden XII :
Menurut pemahaman saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang
bersifat hirarkis dalam lembaga Gereja, yang bertujuan untuk melayani Gereja
berdasarkan ajaran Kristus.

Responden XIII :
Bagi saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang harus selalu berusaha
menghayati dan mewujudkan ketiga nasihat Injil.

Responden XIV :
Menurut pendapat saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang bersifat
structural yang dipercayakan Kristus kepada Gereja-Nya, yang dalam
pelaksanaannya tetap berpola pada Yesus sebagai pemimpin utama untuk
menghantar para anggotanya menuju kesejahteraan jasmani dan rohaninya.

Responden XV :
Menurut pemahaman saya, kepemimpinan religius adalah kepemimpinan yang tetap
berpola pada Yesus Kristus dan berusaha menyelaraskan diri dengan spritualitas,
Konstitusi, dan adat kebiasaan serta amanah yang putuskan dalam kepitel umum dan
kapitel porvinsi, yang mencakup tiga hal pokok yakni hidup rohani/doa, hidup
komunitas/persaudaraan dan hidup karya/kerasulan.

3. Pengalaman para Frater Berkaitan dengan Kepemimpinan dalam Kongregasi

Responden I :
Menurut saya, situasi kongregasi kita khususnya dalam Provinsi Indonesia saat ini
sedang mengalami krisis kepemimpinan yang luar biasa. Hal ini pada umumnya
disebabkan oleh faktor kepribadian dan pola kepemimpinan dari para pemimpin kita,
yakni para pemimpin kita tidak memiliki program kerja yang jelas sehingga sering
kali program yang dijalankan hanya bersifat spontan belaka, tidak mendalam dan
bahkan tidak menjawabi kebutuhan kongregasi dan para anggotanya. Program
pengembangan sumber daya manusia para frater yang diamanatkan Kapitel Provinsi
Indonesia dijalankan namun tidak berjalan maksimal karena kurang adanya
pengontrolan dan evaluasi, serta karena kacau balaunya manajeman kepemimpinan
yang ada. Selain itu mereka juga kurang memiliki kemampuan untuk mendengarkan
orang lain, tidak membangun dialog dari hati ke hati/ pembicaraan pribadi khususnya

(8)
dalam visitasi, pola pendekatan mereka terhadap para anggota lebih bersifat otoriter,
kurang memberikan kepercayaan kepada para anggota atau memberikan namun
hanya setengah hati, tidak memiliki kepedulian dan perhatian terhadap
pendampingan dan pembinaan lanjutan bagi para frater yunior maupun frater senior.
Beberapa hal lain yang menjadi penyebab terjadinya ketidakefektifan kepemimpinan
kita saat ini adalah kurang adanya sikap rendah hati untuk mengakui dan
memperbaiki kesalahan/ kekeliruan yang dibuat, kerap kali banyak persoalan yang
timbul dalam kongregasi tidak diselasaikan dengan baik dan tuntas, lambat dalam
menanggapi persoalan yang muncul dan sekaligus lambat membaca peluang demi
memperkembangkan kongregasi dan para anggota, kurangnya pendalaman dan
penghayatan konstitusi dan spiritualitas kongregasi, serta dangkalnya hidup doa dan
keheningan hati serta kebeningan pikiran.

Responden II :
Pengalaman saya bersama para pemimpin kongregasi selama ini, ya saya sebagai
frater muda, saya menemukan beberapa hal yang menurut saya ini perlu disadari
untuk kemudian harus diperbaiki, yakni kurang adanya komunikasi yang efektif antar
para pemimpin dan antara pemimpin dengan para anggotanya, kurang adanya dialog/
pembicaraan pribadi dengan pera anggotanya. Selain itu, pola pendekatan dan
penyelesaian suatu masalah masih bersifat otoriter, sumber daya manusia para frater
terutama para frater muda masih sangat kurang mendapatkan perhatian yang
serius.Akhirnya dampak dari sifat otoriter mereka telah membuat banyak frater
meninggalkan kongregasi.

Responden III :
Saya mengalami dan merasakan bahwa para pemimpin kita khususnya Dewan
Provinsi Indonesia saat ini telah menimbulkan banyak keprihatinan dan masalah
yangpada umumnya disebabkan oleh factor kepribadian dan pola kepemimpinan
mereka,antara lain : pertama-tama mereka kurang memiliki kehidupan rohani yang
mendalam, kurang mendalami dan menghayati konstitusi dan spiritualitas kongregasi
sehingga kelihatannya mengambang dan tidak memiliki pegangan yang kuat, kurang
adanya keseimbangan antara perkataan dan perbuatan, tidak mau mendengarkan
orang lain khususnya para anggota kongregasi. Selain itu, pola pendekatan yang
mereka terapkan juga sering bersifat otoriter sehingga dampaknya banyak frater
meninggalkan kongregasi. Mereka juga lambat membaca peluang dan tidak
mengikuti perkembangan jaman sehingga perkembangan kongregasi mengalami
stagnasi/ statis. Hal ini juga disebabkan oleh kepemimpinan mereka yang tanpa visi-
misi pribadi dan program kerja yang jelas.

Responden IV :
Menurut hemat saya, situasi kongregasi kita saat ini mangalami krisisis
kepemimpinan yang dampaknya hampir di semua lini. Hal ini terjadi karena para
pemimpin kita khususnya Dewan Provinsi Indonesia kurang adanya koordinasi yang
baik dalam melaksanakan tugas-tugasnya, kurangnya komunikasi, tidak adanya sikap
saling mendengarkan dan menghargai satu sama lain, baik antar para pemimpin

(9)
maupun antara pemimpin dengan para anggotanya, kurang adanya kepercayaan
terhadap anggota, kurang adanya sikap rendah hati dan keterbukaan, pola
pendekatanny masih otoriter dan kaku serta dangkalnya kehidupan rohani.

Responden V :
Menurut saya, sebenarnya pola dasar kepemimpinan dalam kongregasi kita sudah
baik, hanya dalam pelaksanaannya akhir-akhir ini timbul banyak keprihatinan yang
sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh faktor kepribadian dari para pemimpin kita
khususnya Dewan Provinsi Indonesia, misalnya tidak adanya dialog dan komunikasi
dengan para anggota kongregasi, kurang terbuka, tidak berani melakukan terobosan
dan tidak berani menerima resiko atau tantangan, kurang memiliki komitmen
terhadap apa yang mereka katakan. Selain itu mereka juga tidak memiliki kehidupan
rohani yang kuat dan mendalam, terlalu individualis, dan cenderung hedonis dan
konsumeris, tidak mampu membangun pola pendekatan dari hati ke hati dengan para
anggota, dan mereka selalu menghadapi setiap persoalan yang muncul dengan
emosional.

Responden VI :
Menurut pengalaman dan pengamatan saya sebagai orang muda terhadap
kepemimpinan para pemimpin kita saat ini, khususnya Dewan Provinsi Indonesia,
saya melihat sangat lemah. Hal ini saya lihat dari beberapa hal antara lain: pemimpin
kita saat ini khususnya provincial tidak berwibawa sama sekali, selalu merasa puas
dengan apa yang ada, kurang komunikatif, tidak ada pendenkatan pribadi/ dialog dari
hati kehati, mereka terlalu sibuk dengan urusan pribadi mereka yang sebenarnya
tidak penting. Selain itu, mereka juga tidak mampu menyeleseaikan masalah-masalah
yang timbul dalam kongregasi dengan baik dan tuntas, tidak adanya keseimbangan
antara perkataan dan perbuatan, tidak memberikan keteladanan hidup bagi para
anggota.

Responden VII :
Menurut pengalaman saya selama ini, ada beberapa titik lemah yang menjadi
penyebab terjadinya banyak keprihatinan dalam kongregasi kita khususnya di
provinsi Indonesia yakni : kurangnya sikap mengayomi dari para pemimpin kita
terhadap semua anggota, kurang jujur, kurang terbuka, kurang memiliki pengalaman
dan pengetahuan yang luas tentang kepemimpinan dan hal ikhwal kongregasi. Selain
itu perilaku mereka juga masih bersifat infantile/ kekanak-kanakan, kurang
berwibawa, sehingga kesannya mereka ada atau tidak ada sama saja.

Responden VIII :
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya terhadap kepemimpinan para
pemimpin kita khususnya Dewan Provinsi Indonesia selama ini, saya menemukan
beberapa hal yang menjadi titik lemah yang sangat kuat pengaruhnya bagi
kongregasi, antara lain : saya secara pribadi menyadari sungguh bahwa kongregasi
kita saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan khususnya dalam Provinsi
Indonesia, dalam hal ini kita mengalami krisis keteladanan. Selain itu juga karena

(10)
tidak adanya kesinambungan antara perkataan dan perbuatan. Kurang jujur dan
terbuka, kehidupan rohani mereka dangkal dan tidak mendalam, kehidupan mereka
lebih dikuasai oleh perkembangan teknologi tanpa melihat apa manfaatnya bagi
kepentingan panggilan dan masa depan kongregasi, kurangnya keheningan batin
untuk melihat segala sesuatu dengan hati bening dan pikiran jernih, kurang dialogis
dan bersifat otoriter.

Responden IX :
Pengalaman yang saya alami dan rasakan dalam masa kepemimpinan Dewan
Provinsi Indonesia sampai saat ini adalah: Pertama-tama saya merasakan bahwa
kepemimpinan para pemimpin kita saat ini dengan segala kebijakkan dan pola
mendekatan mereka yang otoriter kerapkali sangat mengecewakan dan menyakiti
banyak frater, sehingga tidak heran bahwa dalam periode kepemimpinan mereka saat
ini banyak frater yang meninggalkan kongregasi. Selain itu, satu hal yang menjadi
kelemahan mendasar mereka adalah, mereka bekerja tanpa suatu program kerja yang
jelas sebagai dasar kebijakkan dan sekaligus sebagai tolok ukur kepemimpinan
mereka. Sebagai seorang pemimpin yang baik, seharusnya mereka memiliki
keseimbangan antara hidup kerohanian dan urusan duniawi, sehingga mereka dapat
mampu menciptakan suasana yang mendukung kehidupan rohani dan jasmani para
anggotanya. Namun kenyataan berbicara lain bahwa mereka memiliki kehidupan
rohani yang dangkal, sehingga kebijakkan-kebijakkan yang mereka ambil
kebanyakkan bersifat subyektif.Dalam hal ini mereka tidak mampu mendengarkan
dan rendah hati.

Responden X :
Sejauh yang saya alami dan rasakan berkaitan dengan kepemimpinan para pemimpin
kita khususnya Dewan Propvinsi Indonesia saat ini, yakni kini kita masuk dalam
suatu situasi yang sangat memprihatinkan dan sekaligus mengkhawatirkan untuk
keberadaan dan perkembangan kongregasi kita ke depan. Hal ini menurut
pengamatan saya lebih banyak disebabkan oleh faktor kepribadian dan juga pola
kepemimpinan mereka yang kurang tepat yakni Saya secara pribadi sangat tidak
setuju dengan komposisi Dewan Provinsi Indonesia saat ini yang hanya berjumlah
tiga orang dengan kapasitas yang tidak seimbang yang kerap kali menjadi penyebab
terjadinya ketidakberesan dalam menangani masalah-masalah yang timbul dalam
kongregasi. Selain itu hidup doa sebagai fondasi hidup seorang religius dan bagi
seorang pemimpin religius pada khususnya terabaikan sehingga ,mereka tidak
memiliki power dan kebijaksanaan yang cukup dam memimpin. Dalm hal ini
kelihatan bahwa mereka lebih banyak sibuk dengan urusan dan kesibukan pribadi
mereka yang tidak penting dan bermanfaat bagi kongregasi dan akhirmya mereka
dengan begitu mudah mengabaikan tugas pokoknya sebagai pemimpin dalam
kongregasi. Selain itu, mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk membagun
komunikasi dan dialog dari hati ke hati dengan para anggota kongregasi, untuk
mendengarkan apa yang menjadi pergulatan, keluhan, problem, kesuksesan,
kegagalan, dan kegembiraan mereka, sehingga mereka sebagai pemimpin dapat
memberikan apresiasi, dukungan dan motivasi bagi para anggota kongregasi.

(11)
Responden XI :
Dalam kepemimpinan Dewan Provinsi Indonesia saat ini, saya mengalami dan
merasakan bahwa, kepemimpinan mereka berjalan namun boleh saya katakana
bahwa kepemimpinan yang mereka jalankan adalah kepemimpinan yang berjalan
tanpa roh, arah, dan tujuan yang jelas yang mau di capai bersama seluruh komponen
kongregasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: sebagai pemimpin
religius mereka kurang mendalami dan menghayati spiritualitas, konstitusi, dan visi-
misi kongregasi, sehingga kelihatan mereka sangat labil dan tanpa pegangan. Selain
itu mereka juga kurang terbuka terhadap Tuhan melalui hidup doa dan refleksi yang
mendalam, mereka juga kurang terbuka terhadap para anggota kongregasi, kurang
rendah hati sehingga dari sana mereka dapat menemukan apa yang menjadi kekuatan
dan kelemahannya, yang dapat berfungsi sebagai dasar pijakkan dalam mengemban
tugas kepemimpinan untuk membimbing, dan menuntun para anggotanya ke jalan
yang baik dan benar sebagaimana dicita-citakan kongregasi. Mereka juga tidak
mampu membangun pendekatan yang baik dengan para anggota melalui komunikasi
dan dialog dari hati ke hati untuk mengenal dengan jelas apa yang menjadi kelebihan,
kekurangan dan kerinduan terdalam dari masing-masing anggotanya, untuk
kemudian dapat dijadikan sebagai dasar pijakkan dalam pendampingan. Selain itu
mereka juga kurang memberikan kepercaaan bagi para anggotanya. Hal lain yang
menjadi penyebab melemahnya kepemimpinan mereka adalah mereka memipin tanpa
suatu program kerja yang jelas dan kurangnya kerja sama yang solit di antara mereka
sebagai pemimpin.

Responden XII :
Saya menemukan beberapa hal yang menurut saya sangat penting untuk diperhatikan
dan dibenahi berkaitan dengan kepemimpinan Dewan Propvinsi Indonesia saat ini,
antara lain : Pertama-tama yang menjadi titik lemah mereka adalah mereka tidak
memiliki program kerja selama periode kepemimpinan mereka berjalan hingga saat
ini, sehingga semuanya hanya bersifat spontan atau menunggu kalau ada masalah
baru mereka mulai bergerak. Selain itu juga, manajemen kepemimpinan mereka
harus dibenahi, sebab kalau manajemennya tetap seperti sekarang, kongregasi kita
cepat atau lambat akan hancur.Mereka juga kurang tanggap, peduli, empati dan
bertanggungjawab dengan apa yang menjadi kepentingan kongregasi dan para
anggotanya, kurang komunikatif/ dialogis, kurang memberikan kepercayaan dan
penghargaan terhadap para anggotanya/ konfraternya, mereka kelihatan tertutup dan
minder, mereka tidak mampu membangun pendekatan pribadi dari hati ke hati. Baik
antar mereka sebagai pemimpin maupun antara mereka sebagai pemimpin dengan
para anggotanya, sulit untuk mendengarkan orang lain, dan hidup rohani sangat
dangkal dan lebih mengejar hal-hal yang bersifat material/ duniawi.

Responden XIII :
Sesuai dengan apa yang saya alami dan rasakan serta amati selama ini berkaitan
dengan kepemimpinan para pemimpin kita khususnya Dewan Provinsi Indonesia,
saya menemukan beberapa hal yang menjadi titik kelemahan yang harus disadari dan
dibenahi, antara lain : Manajemen kepemimpinan yang dibangun oleh para pemimpin

(12)
kita saat ini, boleh saya katakana sebagai manajemen paling buruk. Dalam hal ini
mereka sendiri tidak menyadari atau mungkin menyadari tetapi mereka enggan/ malu
untuk mengakuinya untu kemudian memperbaikinya. Mereka juga kurang
memberikan kesaksian hidup yang baik berkaitan dengan tiga hal yakni, hidup doa,
hidup komunitas dan hidup karya, sebab kebanyakan ambisi dan opsesi prbadi yang
mereka kejar. Mereka kurang memberikan motivasi dan dukungan bagi para
konfrater, juga sulit sekali untuk mendengarkan orang lain/ konfrater, dan mereka
terlalu sibuk dengan urusan pribadi yang tidak penting.

Responden XIV :
Berdasarkan pengalaman saya, kalau saya bandingkan antara periode kepemimpinan
saat ini dengan dua periode kepemimpinan sebelumnya saya menemukan beberapa
hal yang menjadi titik lemah yang harus disadari dan dibenahi antara lain :
Kepemimpinan para pemimpin kita saat ini khususnya Dewan Provinsi Indonesia,
dalam menjalankan roda kepemimpinannya mereka tidak memiliki program kerja
sebagai arah kebijakkan dan sekaligus sebagai barometernya. Mereka juga tertutup,
tidak komunikatif, tidak mendengarkan.Selain itu mereka juga tidak mampu
membangun pola pendekatan yang manusiawi yakni pendekatan pribadi dari hati ke
hati, tidak memiliki hidup rohani yang mendalam sebagai kekuatan/ roh
kepemimpinannya, tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-msalah
yang timbul dalam tarekat, sehingga masalah semakin hari semakin tertumpuk, dan
mereka juga kurang memberikan kesaksian hidup yang baik kepada anggotanya/
konfraternya (hidup doa, kerja dan bersama) dalam kongregasi.

Responden XV :
Berkaitan dengan pengalaman dan kesan saya terhadap kepemimpinan kita saat ini
khususnya Dewan Provinsi Indonesia saat ini adalah: Pertama-tama saya secara
pribadi mengatakan bahwa saya sangat kecewa dengan pola kepemimpinan mereka
saat ini, di mana pola kepemimpinan mereka tidak konsisten dengan apa yang telah
diamanatkan oleh kongregasi melalui kapitel umum dan kapitel provinsi, sehingga
kita bisa melihat, mengalami dan merasakan bersama bahwa dalam periode
kepemimpinan mereka saat ini kongregasi sungguh-sungguh ditelantarkan/ tidak
diurus dengan baik. Mereka memimpin tanpa pegangan dan arah yang jelas karena
mereka tidak memiliki program kerja yang jelas, kehidupan rohani sangat lemah dan
dangkal, dan mereka hanya sibuk dengan segala urusan pribadinya dan tidak mau
duduk tenang untuk mempelajari, mendalami dan memaknai kekayaan-kekayaan
rohani kongregasi yakni konstitusi dan spiritualitas kongregasi sebagai dasar bagi
setiap kebijakkan mereka. Di satu sisi mereka kurang memiliki kerendahan hati
untuk menginstrokpeksi diri dan menyadari apa yang menjadi kekurangan dan
kelemahan mereka, untuk kemudian berusaha membenahi diri, tetapi justru sebalik
mereka hidup dan berjalan seolah-olah tanpa beban. Dalam hal ini mereka kurang
memberikan kesaksian hidup sebagai orang terpanggil, baik dari sisi hidup rohani,
hidup bersama/persaudaraan, dan hidup karya/ kerasulan. Dampak dari semuanya ini
dapat kita lihat dan rasakan bersama yakni secara kualitas dan kuantitas jumlah hidup
dan karya kita dari hari ke hari semakin menurun dan bahkan merosot tajam.

(13)
Bertolak dari semua ini saya sebagai orang tua/ frater senior, yang juga pernah
menjadi pemimpin, baik di provinsi maupun di dewan pusat, sering kali merenung
dan bertanya “apakah dengan realitas seperti ini, ke depan Kongregasi Frater Bunda
Hati Kudus masih bertahan hidup dan tetap eksis menghadapi tantangan arus jaman
yang semakin keras dan deras ini?”

5. Gambaran Pemimpin yang didambakan oleh para Frater Bunda hati Kudus.

Responden I :
Gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah: Pemimpin yang rendah hati,
gialogis/komunikatif, yang bisa mendengarkan orang lain, yanbg bijaksana, yang
mau melayani dan mengabdi.

Responen II :
Gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah: Pemimpin yang berwibawa,
komunikatif, mmampu mendengarkan, yang dedikatif, rendah hati, yang mampu
memberikan perhatian yang tulus, yang motifator, dan memiliki visi-misi yang jelas.

Responden III :
Gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah pemimpin yang memiliki
keseimbangan antara perkataan dan perbuatan, yang dialogis, mampu mendengarkan,
tidak otoriter, yang mampu mengukuti perkembangan jaman, berspiritualitas
mendalam, dan pemimpin yang mampu memberikan teladan hidup bagi para anggota
dan orang lain.

Responden IV :
Gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah: Pemimpin yang dialogis,
partisipatif, yang dipercaya dan mempercayai anggota, berkemampuan
mengontrol/evaluasi, rendah hati, mendengarkan, berani melakukan terobosan dan
berani mengambil resiko, yang fleksibel dan situasional, yang memiliki visi-misi
yang jelas, yang tegas dalam prinsip namun lembut dalam bersikap.

Responden V :
Gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah : Pemimpin yang
dialogal/komunikatif, terbuka, berani membuat terobosan dan berani menerima
resiko, setia dan konsten, yang tidak individualis, tidak konsumeris, dan tidak
hedonis, memiliki kehidupan rohani yang mendalam, jujur, sabar, fleksibel, disiplin,
dan mampu bekerja sama.

Responden VI :
Gambaran yang saya harapkan adalah : Pemimpin yang partisipatif, yang tidak
konserfatif, yang mampu mengemban visi-misi kongregasi, yang mampu
mendengarkan, komunikatif, dan rendah hati.

(14)
Responden VII :
Gambaran pemimpin yang saya harapkan adalah : Pemimpin yang komunikatif,
inivatif, yang terbuka/transparan, berwibawa, bijaksana dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, dan yang rendah hati.

Responden VIII :
Gambaran pemimpin yang saya harapkan adalah: Pemimpin yang mampu
membimbing, mengarahkan dan menuntun para anggota untuk melangkah dan
menghayati hidup sesuai dengan khazanah Gereja dan kongregasi yakni Kitab Suci,
tradisi gereja, konstotusi, adat kebiasaan, spiritualitas dan kehidupan doa serta
keheningan batin. Selain itu juga saya mendambakan pemimpin yang rendah hati,
yang mampu memberikan teladan hidup, yang terbuka dan jujur, yang tidak
konsumeris, dialogis, partisipatif, dan mendengarkan orang lain.

Responden IX :
Gammbaran pemimpin yang saya harapkan adalah: Pemimpin yang memiliki
kematangan rohani dan spiritual, rendah hati, mendengarkan, bijaksana, dialogis, dan
partisipatif.

Responden X :
Gambaran pemimpin yang saya harapkan adalah: Pemimpin yang dialogis,
mendengarkan, rendah hati, memiliki visi-misi yang jelas, memiliki kematangan
hidup rohani dan spiritual, serta bijaksana.

Responden XI :
Gambaran pemimpin yang saya harapkan adalah: Pemimpin yang rendah hati,
dialogis, mendengarkan, mampu bekerja sama, terbuka terhadap Tuhan dan sesame
anggota, yang memiliki kematangan rohani dan spiritual, jujur, yang mampu
menghargai orang lain, dan bijaksana.

Responden XII :
Gambaran pemimpin yang saya harapkan adalah: Pemimpin yang mampu
membangun dialog dari hati ke hati dangan apara anggotanya, yang terbuka, yang
peka dan tanggap dengan situasi dan perkembangan, cepat membaca peluang untuk
memperkembangkan kongregasi, yang dipercaya dan mampu memberikan
kepercayaan kepada anggota, mampu mendengarkan dan yang memiliki kematangan
hidup doa dan spiritual.

Responden XIII :
Gambaran pemimpin yang saya harapkan adalah: Pemimpin yang memiliki
kemampuan manajerial, yang memiliki kematangan hidup rohani, komunikatif,
mendengarkan, menghargai orang lain, jujur, terbuka, rendah hati, berwibawa dan
bijaksana.

(15)
Responden XIV :
Gambaran pemimpin yang saya harapkan adalah: Pemimpin yang memiliki relasi
intim dengan Yesus sebagai pemimpin utama dalam hidupnya, pemimpin yang
mampu mengangkat harkat dan martabat setiap anggotanya, yang dialogis, peka,
mendengarkan, yang memiliki keseimbangan antara pikiran dan hati, tahu
menempatkan diri, mampu mengolah diri dan dapat memberikan kesaksian hidup
bagi para anggota dan orang lain, rendah hati, bijaksana dan berwibawa, yang mau
melayani dan mengabdi penuh cinta.

Responden XV :
Gambaran pemimpin yang saya dambakan adalah: Pemimpin yang mampu
membimbing, menuntun, memotivasi dan memnggerakkan para anggota yang
bersama-sama bertanggungjawab terhadap panggilannya masing-masing dan juga
bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi visi-misi, dan spiritualitas kongregasi,
terutama dalam meningkatkan penghayatan terhadap hidup doa, hidup
bersama/berkomunitas, dan hidup karya.
Selain itu juga pemimpin yang rendah hati, yang dapat dipercaya dan mempu
memberikan kepercayaan kepada anggota, yang mampu mengontrol/mengevaluasi,
dan yang paling mendasar menurut saya adalah pemimpin itu harus memiliki
kematangan diri, baik secara jasmani maupun rohani/ spiritual.

(16)
Lampiran 5: Cerita “Kebijaksanaan Sang Abdis Tua”.

KEBIJAKSANAAN SANG ABDIS TUA

Kronik sebuah biara clausura di Normandia menceritakan bahwa di zaman Perang Salib
ada sebuah pertapaan yang dipimpin oleh seorang abdis tua yang bijaksana. Di tempat itu
terdapat seratus rubiah yang berdoa, bekerja dan melayani Allah dengan serius, hening
dan setia pada peraturan kerahiban.

Suatu haru Uskup di tempat itu datang ke pertapaan meminta kepada Abdis tua itu agar
mengirim seorang rubiahnya untuk menjadi pengkotbah di daerah itu. Abdis itu
mengumpulkan semua suster Dewab Penasehatnya, dan sesudah refleksi yang panjang
akhirnya diputuskan untuk mempersiapkan Sr. Clara untuk tugas ini. Sr. Clara adalah
seorang novis muda yang baik, pandai dan memiliki banyak talenta.

Ibu Abdis mengirimnya untuk studi, dan Sr. Clara melewatkan banyak waktunya di
perpustakaan biara dan mempelajari banyak pengetahuan yang belum pernah
diketahuinya. Dia menjadi murid dari banyak rahib dan rubiah yang bijak dari berbagai
biara yang tersohor dengan pengetahuannya. Ketika telah usai studinya, Sr. Clara telah
mengetahui banyak tokoh klasik, dapat membaca Kitab Suci dalam bahasa aslinya, dan
telah mengenal para Bapa Gereja dan menbguasai tradisi teologi abad pertengahan.

Di ruang makan biara, Sr. Clara mengkotbahkan dogma tentang Tritunggal Mahakudus,
dan para rubiah yang lain memuji Allah karena pengetahuan dan kemahirannya dalam
berkata-kata. Sesudah selesai berkotbah, Sr. Clara berlutut di hadapan Abdis dan berkata:
“Bolehkah saya pergi sekarang, Ibu Abdis?” Abdis tua itu memandangnya dengan tajam
seolah dapat membaca apa yang ada dalam batim Sr. Clara: di pikiran suster muda ini
ada terlalu banyak jawaban, “Belum, belum waktunya, anakku, belum….”

Dikirimnya suster muda ini kek kebun dan hari demi hari dia bekerja dengan menahan
dinginnya musim dingin dan teriknya musim panas, didongkelnya batu-batu dan semak-
semak, dipeliharanya pohon anggur satu persatu. Semakin lama Sr. Clara makin arif
menanti pertumbuhan benih dan mengenali musim memangkas Castanos…
Diperolehnya kebijaksanaan yang lain; tetapi ini belumlah cukup.

Ibu Abdis kemudian mengirimnya menjadi penerima tamu. Setiap hari Sr, Clara
mendengarkan masalah-masalah para petani dan jeritan penderitaan mereka akibat
perlakukan kejam para tuan tanah. Didengarnya aneka gossip dan dihiburnya mereka
yang mebgalami ketidakadilan itu.
Abdis memanggilnya: Sr. Clara begitu semangat dan matanya penuh pertanyaan. Namun
kata Ibu Abdis kepadanya “belum waktunya, anakku….”

(17)
Kemudian dikirimnya Sr. Clara menyusuri jalan-jalan kota bersama sebuah keluarga
pemain sirkus. Dia tinggal dalam sebuah kereta, dibantunya keluarga ini menyusun
papan akrobatik di alun-alun kota. Makanannya buah-buahan hutan dan kadang-kadang
Sr. Clara harus tidur di alam terbuka di bawah sinar rembulan. Sr. Clara belajar berteka-
teki, bercerita lucu dan menyanyikan lagu-lagu romans sebagaimana seorang penyanyi
balada.

Ketika Sr. Clara kembali ke biara, lagu-lagu itu dinyanyikan kembali dan dia tertawa
seperti kanak-kanak. Dia berkata: “Dapatkah saya sekarang pergi merasul, Ibu?”. Jawab
Ibu Abdis: “Masih belum, anakku. Pergilah berdoa”.
Lama Sr. Clara menyepih di sebuah eremit di atas gunung. Ketika ia kembali, jiwanya
telah berubah dan dipenuhi keheningan. Ia bertanya lagi kepada Ibu Abdis: “Apakah
telah tiba waktunya, Ibu?”. Jawab Ibu Abdis: “Belum, belum tiba saatnya”.

Sementara itu pemerintah telah mengumumkan bahwa dinegeri itu telah terjangkit wabah
pes dan Sr. Clara dikirim ke sana untuk merawat para korban bencana. Dijaganya orang-
orang sakit itu semalam-malaman. Suster muda ini menangis pedih saat ia mengubur
banyak korban wabah dan ia tenggelam dalam misteri hidup dan kematian itu.
Ketika wabah telah berakhir, Sr. Clara sendiri jatuh sakit, dalam kesedihan dan
kecapaian ia dirawat di sebuah keluarga di kampong itu.
Dia belajar menjadi rapuh dan merasa kecil, dan membiarkan diri dicintai dan digapainya
rasa damai dalam hidupnya.

Ketika Sr. Clara kembali ke biara, Ibu Abdis menatapnya dengan tajam. Dilihatnya Sr.
Clara tampak lebih manusiawi dan lebih rapuh. Matanya terlihat lebih tenang dan hatinya
penuh dengan banyak nama.
Dipanggilnya Sr. Clara oleh Ibu Abdis , sambil berlutut dan merebahkan diri dalam
pelukan kasih sang Abdis, lalu berkata kepadanya: “Sekarang saatnya, anakku,
sekaranglah waktunya”. Dengan dtemani Ibu Abdis, Sr, Clara melangkah menuju
gerbang biara lalu berlutut di hadapan Ibu Abdis dan diberinya berkat perngutusan.
Setlah itu ia meninggalkan sang Abdis dan biara tercintanya lalu menyusuri lereng
gunung menuju tempat perutusannya. Sementara itu lonsceng berdentang untuk Doa
Angelus, dan Sr. Clara terus melangkah dalam kedamaian menuju lembah untuk
mewartakan kabar sukacita Kerajaan Allah dan Injil Tuhan yang ia cintai bagi orang-
orang yang telah menantinya.

Pujian bagi keTiga-Nya…!!


(Merteresa)

(18)
Lampiran 6: Grafik Jumlah Frater Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus

GRAFIK JUMLAH FRATER

(19)

Anda mungkin juga menyukai