Anda di halaman 1dari 21

1.

Program perencanaan pulang


2. Klien sebagai focus dalam perencanaan pulang
3. Nilai, keinginan, dan kebutuhan klien perlu dikaji dan dievaluasi sehingga
dapat dimasukkan dalam perencanaan pulang klien dan orang-orang yang dekat atau
penting bagi klien. Tenaga kesehatan yang terlibat diikutsertakan dalam perencanaan
pulang klien.
4. b.         Kebutuhan klien diidentifikasi saat masuk, dirawat sampai sebelum
pulang.
5. Kebutuhan ini dikaitkan dengan masalah yang mungkin timbul setelah pulang
sehingga rencana antisipasi masalah dapat dianut untuk dilaksanakan setelah pulang.
6. c.         Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif
7. Perencanaan pulang adalah proses multidisiplin dan tergantung pada
kerjasama yang jelas dan komunikasi lisan, tertulis di antara peserta tim.
8. d.        Perencanaan pulang disesuaikan dengan sumber daya dan fasilitas yang
tersedia.
9. Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang disesuaikan
dengan pengetahuan dari tenaga yang tersedia program dan fasilitas yang tersedia di
masyarakat.
10. e.         Perencanaan pulang dilakukan pada setiap tatanan pelayanan.
11. Setiap kali pasien masuk tatanan pelayanan maka perencanaan pulang harus
dilakukan.
12.
13. C.     Jenis-jenis pemulangan pasien
14. Menurut stuart dan sundeen (1991), ada 3 jenis pemulangan pasien di
antaranya :
15. 1.         Conditional Discharge (pulang sementara atau cuti)
16. Bila keadaan klien cukup baik untuk di rawat dirumah maka cara pemulangan
ini dapat dipakai.Klien untuk sementara dapat dirawat dirumah dengan harapan dapat
membantu klien dan keluarga beradaptas dengan situasi dirumah maupun
dimasyakarat .Selama klien pulang pengawasan dari rumah sakit atau puskesmas
dapat diperlukan.
17. 2.         Absolute Discharge(pulang mutlak selamanya)
18. Cara pulang ini merupakan terminasi akhir dari hubungan klien dengan rumah
sakit tetapi bila klien perlu dirawat kembali maka prosedur perawatan dapat
dilaksamakan kembali.Jenis pemulangan ini diberikan kepada klien yang mengalami
perbaikan status kesehatan yang baik sehigga dapat berfungsi kembali secara optimal
dimasyarakat.
19. 3.         Judicial Discharge (pulang paksa)
20. Klien diperbolehkan pulang walaupun kondisi kesehatannya belum
memungkinkan untu dipulangkan, misalnya karna klien adalah seorang narapidana
atau karna keluarga tetap menginginkan klien pulang karena sesuatu alasan. Klien
tersebut harus tetap diberikan arahan untuk perawatan dirumah dan fasilitas yangdapat
digunakan dimasyarakat.
Tujuan dan prinsip
Tujuan dari dilakukannya discharge planning sangat baik untuk kesembuhan dan pemulihan
pasien pasca pulang dari rumah sakit. Tujuan discharge planning/perencanaan pulang antara
lain sebagai berikut5:
1.    Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis, dan sosial.
2.    Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga.
3.    Meningkatkan keperawatan yang berkelanjutan pada pasien.
4.    Membantu rujukan pasien pada sistem pelayanan yang lain
5.  Membantu pasien dan keluarga memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap dalam
memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan pasien
6.    Melaksanakan rentang keperawatan antara rumah sakit dan masyarakat.
Di dalam perencanaan pulang, terdapat pemberian edukasi atau  discharge teaching dari tim
kesehatan. Discharge teaching harus melibatkan keluarga pasien atau perawat lainnya untuk
memastikan bahwa pasien mendapatkan home care yang tepat. Discharge teaching bertujuan
agar pasien5 :
1.    Memahami mengenai penyakitnya
2.    Melakukan terapi obat secara efektif
3.    Mengikuti aturan diet secara hati-hati
4.    Mengatur level aktivitasnya
5.    Mengetahui tentang perawatan yang dilakukan
6.    Mengenali kebutuhan istirahatnya
7.    Mengetahui komplikasi yang mungkin dialami
8.    Mengetahui kapan mencari follow up care

Peran perawat dalam pemberian psikofarmaka


PEMBERIAN OBAT PSIKOFARMAKA
Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam mengidentifikasi masalah pemberian obat
psikofarmaka. Identifikasi masalah dalam pemberian psikofarmaka dimulai dari pengkajian
dengan melakukan pengumpulan data yang meliputi diagnosa medis, riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, jenis obat yang digunakan, dosis, waktu
pemberian serta program terapi yang lain yang diterima oleh pasien dan memahami serta
melakukan berbagai kombinasikan obat dengan terapi Modalitas.
Selain itu perawat juga harus melakukan pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga
tentang pentingnya minum obat secara teratur dan penanganan efek samping obat dan
monitoring efek samping penggunaan obat. Melalui pengkajian yang komprehensif, perawat
dapat mengidentifikasi permasalahan yang sedang dialami pasien.

Masalah kesehatan jiwa yang dialami pasien dalam program pemberian obat psikofarmaka
dapat dikelompokkan sebagai berikut: psikosis, gangguan depresi, gangguan mania,
gangguan ansietas, gangguan insomnia, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan panik.

Selain mengidentifikasi peran diatas, perawat memiliki peran yang sangat penting yaitu
mampu mengkoordinasikan berbagai cara dan kerja yang dilakukan semua anggota tim sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai antara klien, keluarga dan tim kesehatan sehingga tujuan
perawatan dapat berjalan sesuai tujuan yang diharapkan, untuk itu perawat dituntut mampu
bekerja didalam suatu sistem dan budaya kerja yang tinggi.

B. CARA PENGGUNAAN OBAT PSIKOFARMAKA


Perawat harus memahami 5 prinsip benar dalam pemberian obat psikofarmaka seperti jenis,
manfaat, dosis, cara kerja obat dalam tubuh, efek samping, cara pemberian, kontra indikasi.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai cara pemberian obat psikofarmaka.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Discharge Planning
1. Pengertian Discharge Planning
Discharge planning (perencanaan pulang) adalah serangkaian keputusan dan aktivitas-
aktivitasnya yang terlibat dalam pemberian asuhan keperawatan yang kontinu dan
terkoordinasi ketika pasien dipulangkan dari lembaga pelayanan kesehatan (Potter & Perry,
2005:1106).
Menurut Kozier (2004), discharge planning didefenisikan sebagai proses mempersiapkan
pasien untuk meninggalkan satu unit pelayanan kepada unit yang lain di dalam atau di luar
suatu agen pelayanan kesehatan umum.
National Council of Social Service (2006) dalam Wulandari (2011:9), mendefinisikan bahwa
“discharge planning is aprocess used to decide what client needs to maintain his present level
of well-being or move to the next level of care”.
The Royal Marsden Hospital (2004) dalam Siahaan (2009:10) menyatakan bahwa discharge
planning merupakan proses mengidentifikasi kebutuhan pasien dan perencanaannya
dituliskan untuk memfasilitasi keberlanjutan suatu pelayanan kesehatan dari suatu lingkungan
ke lingkungan lain.
Perencanaan pulang merupakan proses perencanaan sistematis yang dipersiapkan bagi pasien
untuk menilai, menyiapkan, dan melakukan koordinasi dengan fasilitas kesehatan yang ada
atau yang telah ditentukan serta bekerjasama dengan pelayanan sosial yang ada di komunitas,
sebelum dan sesudah pasien pindah/pulang (Carpenito, 2002 dalam Hariyati dkk, 2008:54).
Discharge planning dilakukan sejak pasien diterima di suatu pelayanan kesehatan di rumah
sakit dimana rentang waktu pasien untuk menginap semakin diperpendek (Sommerfeld, 2001
dalam Rahmi, 2011:10). Discharge planning yang efektif seharusnya mencakup pengkajian
berkelanjutan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien
yang berubah-ubah, pernyataan diagnosa keperawatan, perencanaan untuk memastikan
kebutuhan pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan (Kozier,
2004).
Program discharge planning (perencanaan pulang) pada dasarnya merupakan program
pemberian informasi atau pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien yang meliputi
nutrisi, aktifitas/latihan, obat-obatan dan instruksi khusus yaitu tanda dan gejala penyakit
pasien (Potter & Perry, 2005 dalam Herniyatun dkk, 2009:128). Informasi diberikan kepada
pasien agar mampu mengenali tanda bahaya untuk dilaporkan kepada tenaga medis. Sebelum
pemulangan, pasien dan keluarganya harus mengetahui bagaimana cara manajemen
pemberian perawatan di rumah dan apa yang diharapkan di dalam memperhatikan masalah
fisik yang berkelanjutan karena kegagalan untuk mengerti pembatasan atau implikasi masalah
kesehatan (tidak siap menghadapi pemulangan) dapat menyebabkan meningkatknya
komplikasi yang terjadi pada pasien (Potter & Perry, 2006). Program yang dilakukan oleh
perawat ini, tidak
selalu sama antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Hal ini bisa terjadi ketika
sistem perawatan yang digunakan adalah berbeda, misalnya menggunakan sistem
keperawatan utama (primer). Sistem ini mewajibkan seorang perawat bertanggung jawab
melakukan koordinasi perawatan untuk kelompok klien tertentu, mulai dari mereka masuk
sampai pulang (Potter & Perry, 2005:96).
National Council of Social Service, (2006) dalam Wulandari (2011:9) menyatakan bahwa
“discharge planning merupakan tujuan akhir dari rencana perawatan, dengan tujuan untuk
memberdayakan klien untuk membuat keputusan, untuk memaksimalkan potensi klien untuk
hidup secara mandiri, atau agar klien dapat memanfaatkan dukungan dan sumber daya dalam
keluarga maupun masyarakatnya”.
2. Pemberi Layanan Discharge Planning
Proses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan multidisiplin,
mencakup semua pemberi layanan kesehatan yang terlibat dalam memberi layanan kesehatan
kepada pasien (Potter & Perry, 2006).
Seseorang yang merencanakan pemulangan atau koordinator asuhan berkelanjutan
(continuing care coordinator) adalah staf rumah sakit yang berfungsi sebagai konsultan untuk
proses discharge planning bersamaan dengan fasilitas kesehatan, menyediakan pendidikan
kesehatan dan memotivasi staf rumah sakit untuk merencanakan serta mengimplementasikan
discharge planning (Discharge Planning Association, 2008 dalam Siahaan, 2009:11).
Seorang discharge planners bertugas membuat rencana, mengkoordinasikan, memonitor dan
memberikan tindakan dan proses kelanjutan perawatan. Discharge planning ini menempatkan
perawat pada posisi yang penting dalam proses perawatan pasien dan dalam tim discharge
planner rumah sakit, karena pengetahuan dan kemampuan perawat dalam proses keperawatan
sangat berpengaruh dalam memberikan kontinuitas perawatan melalui proses discharge
planning (Caroll & Dowling, 2007 dalam Rahmi, 2011:12).
3. Penerima Discharge Planning
Menurut Rice (1992) dalam Potter & Perry (2005:93), setiap pasien yang dirawat di rumah
sakit memerlukan discharge planning atau rencana pemulangan. Pasien dan seluruh anggota
keluarga harus mendapatkan informasi tentang semua rencana pemulangan (Medical Mutual
of Ohio, 2008 dalam Siahaan, 2009:12). Discharge planning atau rencana pemulangan tidak
hanya melibatkan pasien tapi juga keluarga, teman-teman, serta pemberi layanan kesehatan
dengan catatan bahwa pelayanan kesehatan dan sosial bekerja sama (The Royal Marsden
Hospital, 2004 dalam Siahaan, 2009:11).
4. Tujuan Discharge Planning
Discharge planning bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik untuk
mempertahankan atau mencapai fungsi maksimal setelah pulang (Carpenito, 1999 dalam
Rahmi, 2011:10). Tindakan ini juga bertujuan
memberikan pelayanan terbaik untuk menjamin keberlanjutan asuhan berkualitas antara
rumah sakit dan komunitas dengan memfasilitasi komunikasi yang efektif (Discharge
Planning Association, 2008 dalam Siahaan, 2009:12).
Taylor et al (1989) dalam Yosafianti & Alfiyanti (2010:115) juga menyatakan bahwa
discharge planning adalah proses sistematis yang bertujuan menyiapkan pasien meninggalkan
rumah sakit untuk melanjutkan program perawatan yang berkelanjutan dirumah atau diunit
perawatan komunitas.
Secara lebih terperinci The Royal Marsden Hospital (2004) dalam Siahaan (2009:12-13)
menyatakan bahwa tujuan dilakukannya discharge planning adalah:
a. Untuk mempersiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan psikologis untuk
di transfer ke rumah atau ke suatu lingkungan yang dapat disetujui.
b. Menyediakan informasi tertulis dan verbal kepada pasien dan pelayanan kesehatan untuk
mempertemukan kebutuhan mereka dalam proses
pemulangan.
c. Memfasilitasi proses perpindahan yang nyaman dengan memastikan semua
fasilitas pelayanan kesehatan yang diperlukan telah dipersiapkan untuk
menerima pasien.
d. Mempromosikan tahap kemandirian yang tertinggi kepada pasien dan
keluarga dengan menyediakan serta memandirikan aktivitas perawatan diri.
5. Manfaat Discharge Planning
Menurut Spath (2003) dalam Nursalam & Efendi (2008:229), perencanaan pulang
mempunyai manfaat sebagai berikut:
a. Dapat memberikan kesempatan untuk memperkuat pengajaran kepada pasien yang dimulai
dari rumah sakit
b. Dapat memberikan tindak lanjut secara sistematis yang digunakan untuk menjamin
kontinuitas perawatan pasien
c. Mengevaluasi pengaruh dari intervensi yang terencana pada penyembuhan pasien dan
mengidentifikasi kekambuhan atau kebutuhan perawatan baru
d. Membantu kemandirian dan kesiapan pasien dalam melakukan perawatan di rumah
Wulandari (2011:11) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa manfaat
dari pelaksanaan discharge planning adalah sebagai berikut:
a. Mengurangi pelayanan yang tidak terencana (unplanned admission)
b. Mengantispasi terjadinya kegawatdaruratan seletah kembali ke rumah
c. Mengurangi LOS (Length Of Stay) pasien di rumah sakit
d. Meningkatkan kepuasan individu dan pemberi layanan
e. Menghemat biaya selama proses perawatan
f. Menghemat biaya ketika pelaksanaan perawatan di luar rumah sakit atau di
masyarakat karena perencanaan yang matang.
g. Hasil kesehatan yang dicapai menjadi optimal.
6. Jenis Discharge Planning
Menurut Chesca (1982) dalam Nursalam & Efendi (2008:229), discharge planning dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu
a. Pulang sementara atau cuti (conditioning discharge). Keadaaan pulang ini dilakukan
apabila kondisi klien baik dan tidak terdapat komplikasi. Klien untuk sementara dirawat di
rumah namun harus ada pengawasan dari pihak rumah sakit atau Puskesmas terdekat.
b. Pulang mutlak atau selamanya (absolute discharge). Cara ini merupakan akhir dari
hubungan klien dengan rumah sakit. Namun apabila klien perlu dirawat kembali, maka
prosedur perawatan dapat dilakukan kembali.
c. Pulang paksa (judicial discharge). Kondisi ini klien diperbolehkan pulang walaupun
kondisi kesehatan tidak memungkinkan untuk pulang, tetapi klien harus dipantau dengan
melakukan kerjasama dengan perawat puskesmas terdekat.
7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Discharge Planning
Menurut Potter & Perry (2005) dalam Herniyatun (2009:128), program perencanaan pulang
(discharge planning) pada dasarnya merupakan program pemberian pendidikan kesehatan
kepada pasien. Keberhasilan dalam pemberian pendidikan kesehatan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berasal dari perawat dan juga dari pasien. Menurut Notoadmodjo
(2003) dalam Waluyo (2010:17-18), faktor yang berasal dari perawat yang mempengaruhi
keberhasilan dalam pemberian pendidikan kesehatan adalah sikap, emosi, pengetahuan dan
pengalaman masa lalu.

a. Sikap yang baik yang dimiliki perawat akan mempengaruhi penyampaian informasi kepada
pasien, sehingga informasi akan lebih jelas untuk dapat dimengerti pasien.
b. Pengendalian emosi yang dimiliki perawat merupakan faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan pendidikan kesehatan. Pengendalian emosi yang baik akan mengarahkan
perawat untuk lebih bersikap sabar, hati-hati dan telaten. Dengan demikian informasi yang
disampaikan lebih mudah diterima pasien.
c. Pengetahuan adalah kunci keberhasilan dalam pendidikan kesehatan. Perawat harus
memiliki pengetahuan yang cukup untuk memberikan pendidikan kesehatan. Pengetahuan
yang baik juga akan mengarahkan perawat pada kegiatan pembelajaran pasien. Pasien akan
semakin banyak menerima informasi dan informasi tersebut sesuai dengan kebutuhan pasien.
d. Pengalaman masa lalu perawat berpengaruh terhadap gaya perawat dalam memberikan
informasi sehingga informasi yang diberikan akan lebih terarah sesuai dengan kebutuhan
pasien. Perawat juga lebih dapat membaca situasi pasien berdasarkan pengalaman yang
mereka miliki.
Sedangkan faktor yang berasal dari pasien yang mempengaruhi
keberhasilan dalam pemberian pendidikan kesehatan, menurut Potter & Perry (1997), Suliha
dkk (2002) dan Machfoedz dkk (2005) yang dikutip oleh Waluyo (2010:18-19) adalah
motivasi, sikap, rasa cemas/emosi, kesehatan fisik, tahap perkembangan dan pengetahuan
sebelumnya, kemampuan dalam belajar, serta tingkat pendidikan.

a. Motivasi adalah faktor batin yang menimbulkan, mendasari dan mengarahkan pasien untuk
belajar. Bila motivasi pasien tinggi, maka pasien akan giat untuk mendapatkan informasi
tentang kondisinya serta tindakan yang perlu dilakukan untuk melanjutkan pengobatan dan
meningkatkan kesehatannya.
b. Sikap positif pasien terhadap diagnosa penyakit dan perawatan akan memudahkan pasien
untuk menerima informasi ketika dilakukan pendidikan kesehatan.
c. Emosi yang stabil memudahkan pasien menerima informasi, sedangkan perasaan cemas
akan mengurangi kemampuan untuk menerima informasi.
d. Kesehatan fisik pasien yang kurang baik akan menyebabkan penerimaan informasi
terganggu.
e. Tahap perkembangan berhubungan dengan usia. Semakin dewasa usia kemampuan
menerima informasi semakin baik dan didukung pula pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
f. Kemampuan dalam belajar yang baik akan memudahkan pasien untuk menerima dan
memproses informasi yang diberikan ketika dilakukan pendidikan kesehatan. Kemampuan
belajar seringkali berhubungan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang umumnya kemampuan belajarnya juga semakin tinggi.
8. Prinsip Discharge Planning
Ketika melakukan discharge planning dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain, ada
beberapa prinsip yang harus diikuti/diperhatikan.
Menurut Nursalam & Efendi (2008:229), prinsip-prinsip yang diterapkan dalam perencanaan
pulang adalah sebagai berikut:
a. Pasien merupakan fokus dalam perencanaan pulang. Nilai keinginan dan
kebutuhan dari pasien perlu dikaji dan dievaluasi.
b. Kebutuhan dari pasien diidentifikasi, kebutuhan ini dikaitkan dengan masalah
yang mungkin muncul pada saat pasien pulang nanti, sehingga kemungkinan
masalah yang muncul di rumah dapat segera di antisipasi.
c. Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif. Perencanaan pulang
merupakan pelayanan multidisiplin dan setiap tim harus saling bekerja sama.
d. Perencanaan pulang disesuaikan dengan sumber daya dan fasilitas yang ada. Tindakan atau
rencana yang akan dilakukan setelah pulang disesuaikan dengan pengetahuan dari tenaga
yang tersedia maupun fasilitas yang tersedia
di masyarakat.
e. Perencanaan pulang dilakukan pada setiap sistem pelayanan kesehatan. Setiap
pasien masuk tatanan pelayanan maka perencanaaan pulang harus dilakukan. Selain prinsip-
prinsip tersebut, dalam modul yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik-Departemen Kesehatan R.I (2008) dalam
Wulandari (2011:13-14), prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan perawat
dalam membuat discharge planning (perencanaan pulang) adalah: a. Dibuat Pada Saat Pasien
Masuk
Pengkajian pada saat pasien masuk akan mempermudah proses pengidentifikasian kebutuhan
pasien. Merencanakan pulang pasien sejak awal

juga akan menurunkan lama waktu rawat yang pada akhirnya akan
menurunkan biaya perawatan.
b. Berfokus Pada Kebutuhan Pasien
Perencanaan pulang tidak berfokus pada kebutuhan perawat atau tenaga kesehatan atau hanya
pada kebutuhan fisik pasien. Lebih luas, perencanaan pulang berfokus pada kebutuhan pasien
dan keluarga secara komprehensif.
c. Melibatkan Berbagai Pihak Yang Terkait
Pasien, keluarga, dan care giver dilibatkan dalam membuat perencanaan. Hal ini
memungkinkan optimalnya sumber-sumber pelayanan kesehatan yang sesuai untuk pasien
setelah ia pulang.
d. Dokumentasi Pelaksanaan Discharge Planning
Pelaksanaan discharge planning harus didokumentasikan dan dikomunikasikan kepada pasien
dan pendamping minimal 24 jam sebelum pasien dipindahkan.
9. Komponen/Unsusr Discharge Planning
Komponen yang dapat mendukung terselengaranya discharge planning yang efektif adalah
keterlibatan pasien dan keluarga, kolaborasi antara tim kesehatan, dan dukungan dari care
giver/pendamping pasien. Hal lain yang tidak kalah penting adalah mengidentifikasi kesiapan
komunitas/keluarga dalam menerima pasien kembali ke rumah (Wulandari, 2011:19).

Discharge Planning Association (2008) dalam Siahaan (2009:21) menyatakan bahwa unsur-
unsur yang harus ada pada sebuah form perencanaan pemulangan antara lain:
a. Pengobatan di rumah, mencakup resep baru, pengobatan yang sangat
dibutuhkan, dan pengobatan yang harus dihentikan.
b. Daftar nama obat harus mencakup nama, dosis, frekuensi, dan efek samping
yang umum terjadi.
c. Kebutuhan akan hasil test laboratorium yang dianjurkan, dan pemeriksaan
lain, dengan petunjuk bagaimana untuk memperoleh atau bilamana waktu
akan diadakannya.
d. Bagaimana melakukan pilihan gaya hidup dan tentang perubahan aktivitas,
latihan, diet makanan yang dianjurkan dan pembatasannya.
e. Petunjuk perawatan diri (perawatan luka, perawatan kolostomi, ketentuan
insulin, dan lain-lain).
f. Kapan dan bagaimana perawatan atau pengobatan selanjutnya yang akan
dihadapi setelah dipulangkan. Nama pemberi layanan, waktu, tanggal, dan
lokasi setiap janji untuk control.
g. Apa yang harus dilakukan pada keadaan darurat dan nomor telepon yang bisa
dihubungi untuk melakukan peninjauan ulang petunjuk pemulangan.
h. Bagaimana mengatur perawatan lanjutan (jadwal pelayanan di rumah, perawat yang
menjenguk, penolong, pembantu jalan/walker, kanul, oksigen, dan lain- lain) beserta dengan
nama dan nomor telepon setiap institusi yang
bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan.
10. Pelakasanaan Discharge Planning dan Proses Keperawatan
Proses discharge planning memiliki kesaman dengan proses keperawatan. Kesamaan tersebut
bisa dilihat dari adanya pengkajian pada saat pasien mulai di rawat sampai dengan adanya
evaluasi serta dokumentasi dari kondisi pasien selama mendapatkan perawatan di rumah
sakit. Pelaksanaan discharge planning menurut Potter & Perry (2005:102) secara lebih
lengkap dapat di urut sebagai berikut:
a. Sejak waktu penerimaan pasien, lakkukan pengkajian tentang kebutuhan
pelayanan kesehatan untuk pasien pulang, dengan menggunakan riwayat keperawatan,
rencana perawatan dan pengkajian kemampuan fisik dan fungsi kognitif yang dilakukan
secara terus menerus.
b. Kaji kebutuhan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga yang berhubungan dengan
terapi di rumah, hal-hal yang harus dihindarkan akibat dari gangguan kesehatan yang dialami,
dan komplikasi yang mungkiin terjadi.
c. Bersama pasien dan keluarga, kaji faktor-faktor lingkungan di rumah yang dapat
mengganggu perawatan diri (contoh: ukuran kamar, lebar jalan, langkah, fasilitas kamar
mandi). (Perawat yang melakukan perawatan di rumah hadir pada saat rujukan dilakukan,
untuk membantu pengkajian).
d. Berkolaborasi dngan dokter dan disiplin ilmu yang lain dalam mengkaji perlunya rujukan
untuk mendapat perawatan di rumah atau di tempat pelayanan yang lainnya.
e. Kaji penerimaan terhadap masalah kesehatan dan larangan yang berhubungan dengan
masalah kesehatan tersebut.
f. Konsultasi dengan anggota tim kesehatan lain tentang berbagai kebutuhan klien setelah
pulang.
g. Tetapkan diagnosa keperawatan yang tepat, lakukan implementasi rencana keperawatan.
Evaluasi kemajuan secara terus menerus. Tentukan tujuan pulang yang relevan, yaitu sebagai
berikut:
1) Pasien akan memahami masalah kesehatan dan implikasinya.
2) Pasien akan mampu memenuhi kebutuhan individualnya.
3) Lingkungan rumah akan menjadi aman
4) Tersedia sumber perawatan kesehatan di rumah
Persiapan Sebelum Hari Kepulangan Pasien
h. Anjurkan cara-cara untuk merubah pengaturan fisik di rumah sehingga kebutuhan pasien
dapat terpenuhi.
i. Berikan informasi tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan di masyarakat kepada
pasien dan keluarga.
j. Lakukan pendidikan untuk pasien dan keluarga sesegera mungkin setelah pasien di rawat di
rumah sakit (contoh: tanda dan gejala, komplikasi, informasi tentang obat-obatan yang
diberikan, penggunaan perawatan medis dalam perawatan lanjutan, diet, latihan, hal-hal yang
harus dihindari sehubungan dengan penyakit atau oprasi yang dijalani). Pasien mungkin dapat
diberikan pamflet atau buku.

Pada Hari Kepulangan Pasien


k. Biarkan pasien dan keluarga bertanya atau berdiskusi tentang berbagai isu berkaitan
dengan perawatan di rumah (sesuai pilihan).
l. Periksa order pulang dari dokter tentang resep, perubahan tindakan pengobatan, atau alat-
alat khusus yang diperlukan pesan harus ditulis sedini mungkin).
m. Tentukan apakah pasien atau keluarga telah mengatur transportasi untuk pulang ke rumah.
n. Tawarkan bantuan ketika pasien berpakaian dan mempersiapkan seluruh barang-barang
pribadinya untuk dibawa pulang. Berikan privasi jika diperlukan.
o. Periksa seluruh kamar mandi dan lemari bila ada barang pasien yang masih tertinggal.
Carilah salinan daftar barang-barang berharga milik kpasien yang telah ditandatangani dan
minta satpam atau administrator yang tepat untuk mengembalikan barang-barang berharga
tersebut kepada pasien. Hitung semua barang-barang berharga yang ada.
p. Berikan pasien resep atau obat-obatan sesuai dengan pesan dokter. Periksa kembali
instruksi sebelumnya.
q. Hubungi kantor keuangan lembaga untuk menentukan apakah pasien masih perlu
membayar sisa tagian biaya. Atur pasien atau keluarga untuk pergi ke kantor tersebut.
r. Gunakan alat pengangkut barang untuk membawa barang-barang pasien. berikan kursi roda
untuk pasien yang tidak bisa berjalan sendiri. Pasien yang

meninggalkan rumah sakit dengan mobil ambulans akan dipindahkan dengan


kereta dorong ambulans.
s. Bantu pasien pindah ke kursi roda atau kereta dorong dengan mengunakan
mekanika tubuh dan teknik pemindahan yang benar. Iringi pasien masuk ke dalam lembaga
dimana sumber transaportasi merupakan hal yang diperhatikan.
t. Kunci kursi roda. Bantu pasien pindah ke mobil atau alat transportasi lain. Bantu keluarga
memindahkan barang-barang pribadi pasien ke dalam kendaraan tersebut.
u. Kembali ke unit dan beritahukan departemen penerimaan dan departemen lain yang
berwenang mengenai waktu kepulangan pasien.
v. Catat kepulangan pasien pada format ringkasan pulang. Pada beberapa institusi pasien akan
menerima salinan dari format tersebut.
w. Dokumentasikan status masalah kesehatan saat pasien pulang.
Pasien masuk Rumah Sakit
Mengumpulkan informasi demografi pasien
Petugas pendaftaran
Melengkapi pengkajian pada pasien
Perawat, Dokter, Tim Kesehatan Lain
Mengkaji kebutuhan discharge aktual atau potensial dan skrening kriteria
Memprioritaskan kebutuhan pasien
Perawat, Dokter, Tim Kesehatan Lain
Menetapkan tujuan/outcome yang menguntungkan keluarga atau pasien
Menyusun rencana awal discharge planning
Perawat, Dokter, Tim Kesehatan Lain
Monitor dan modifikasi discharge planning berdasarkan tujuan pasien
Perawat, Dokter, Tim Kesehatan Lain
Visite dokter, ronde discharge planning, catatan perkembangan, pendidikan kesehatan,
catatan keperawatan
Melakukan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga
Perawat, Dokter, Tim Kesehatan Lain
Program Pendidikan Kesehatan  Penyakit pasien
 Obat yang diberikan
 Cara perawatan
 Pola diet dan nutrisi
 Perubahan aktivitas dan istirahat
 Sistem pendukung kesehatan di masyarakat
Pasien keluar
Tindak lanjut
Menyediakan leaflet, tanyakan apakah pasien sudah paham, pastikan sistem rujukan sudah
dibuat
Melaporkan kepada lingkungan perawatan selanjutnya (nursing home, home care)
Gambar 1. Alur Discharge Planning
(Sumber: Bidang Pelayanan Keperawatan RSUP Sanglah Denpasar, 2007:111)
11. Keberhasilan Discharge Planning
Sebuah discharge planning dikatakan baik apabila pasien telah dipersiapkan untuk pulang,
pasien telah mendapatkan penjelasan-penjelasan yang diperlukan, serta instruksi-instruksi
yang harus dilakukan, serta apabila pasien diantarkan pulang sampai ke mobil atau alat
transportasi lainnya (The Royal Marsden Hospital, 2004 dalam Siahaan, 2009:23).
Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan
perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001
dalam Potter & Perry, 2006).
Discharge planning yang berhasil adalah suatu proses yang terpusat terkoordinasi dan terdiri
dari berbagai disiplin ilmu yang memberi kepastian bahwa pasien mempunyai suatu rencana
untuk memperoleh perawatan yang berkelanjutan setelah meninggalkan rumah sakit
(American Hospital Association, 1983 dalam Potter & Perry, 2005:90). Discharge planning
membantu proses transisi pasien dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Proses
tersebut dapat dilihat keberhasilannya dengan beberapa indikator (Potter & Perry, 2005:93).
Indikator hasil yang diperoleh harus ditujukan untuk keberhasilan discharge planning pasien,
yaitu:
a. Pasien dan keluarga memahami diagnosa, antisipasi tingkat fungsi, obat-
obatan dan tindakan pengobatan untuk kepulangan, antisipasi keperawatan
tingkat lanjut, dan respon ynag diambil pada kondisi kedaruratan.
b. Pendidikan khusus diberikan kepada pasien dan keluarga untk memastikan
perawatan yang tepat setelah klien pulang.
c. Sistem pendukung di masyarakat dikoordinasikan agar memungkinkan pasien untuk
kembali ke rumahnya dan untuk membantu klien dan keluarga membuat koping terhadap
perubahan dalam status kesehatan pasien.
d. Melakukan relokasi pasien dan koordinasi sistem pendukung atau memindahkan pasien ke
tempat pelayanan kesehatan lain.
B. KepuasanPasien
1. Pengertian Kepuasan
Puas berasal dari kata satisfaction yaitu kata dari bahasa Latin, yaitu satis yang berarti enough
atau cukup dan facere yang berarti to do atau melakukan. Jadi, produk atau jasa yang bisa
memuaskan adalah produk dan jasa yang sanggup memberikan sesuatu yang dicari oleh
konsumen sampai pada tingkat cukup (Irawan, 2009:2-3). Kepuasan merupakan persepsi
terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapan dari konsumen/pasien. Karena itu,
pasien tidak akan puas apabila mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi.
Sebaliknya, rasa puas akan diperoleh jika persepsi pasien sama atau lebih dari yang
diharapkan (Irawan, 2009:3).
Engel et al (1995) dalam Sumarwan (2004) mendefinisikan kepuasan “satisfaction is defined
here as a post-consumption evaluation that a chosen alternative at least meets or exceeds
expectation” yaitu evaluasi pasca konsumsi bahwa alternatif yang dipilih setidaknya
memenuhi atau melebihi harapan.
Pohan (2007:156) menyatakan, kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang
timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien
membandingkannya dengan apa yang diharapkannya.
Menurut Kotler (1997) dalam Rangkuti (2006:23), kepuasan adalah “.... a person’s feeling of
pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s received performance (or
outcome) in relations to the persons’s expectation”, yaitu perasaan senang atau kecewa
seseorang sebagai hasil dari perbandingan anatara prestasi atau produk yang dirasakan dan
yang diharapkannya.
Kepuasan menurut Rangkuti (2006:30) didefinisikan sebagai respon konsumen/pasien
terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang
dirasakannya setelah pemakaian.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pengertian di atas terdapat kesamaan
pandangan bahwa kepuasan adalah suatu tanggapan atau respon yang timbul dari
membandingkan harapan dengan kenyataan yang diterima dari suatu produk atau jasa.
2. Teori Kepuasan
Teori yang menjelaskan bagaimana kepuasan atau ketidakpuasan terbentuk adalah The
Expectancy Disconfirmation Model. Teori ini mengemukankan bahwa kepuasan dan
ketidakpuasan konsumen atau pasien, merupakan dampak dari perbandingan antara harapan
pasien sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh pasien dari produk atau jasa
yang dibeli tersebut. Produk atau jasa yang dibeli akan berfungsi sebagai berikut (Sumarwan,
2004):
a. Produk atau jasa berfungsi lebih baik dari yang diharapkan, hal ini disebut
diskonfirmasi positif (positive disconfirmation). Jika ini terjadi maka
konsumen akan merasa puas.
b. Produk atau jasa berfungsi seperti yang diharapkan, inilah yang disebut
sebagai konfirmasi sederhana (simple confirmation). Produk atau jasa tersebut tidak
memberikan rasa puas, dan produk tersebut pun tidak mengecewakan konsumen. Konsumen
akan memiliki perasaan netral.
c. Produk atau jasa berfungsi lebih buruk dari yang diharapkan, inilah yang disebut sebagai
diskonfirmasi negative (negative disconfirmation). Produk yang berfungsi buruk, tidak sesuai
dengan harapan konsumen akan menyebabkan kekecewaan, sehingga konsumen merasa tidak
puas.
Pengalaman Produk dan Jasa
Harapan mengenai Produk dan Jasa Seharusnya Berfungsi
Evaluasi mengenai Produk dan Jasa yang Sesungguhnya
Evaluasi Gap antara Harapan dan yang Sesungguhnya
Konfirmasi Harapan: Fungsi Produk dan Jasa Tidak Berbeda dengan Harapan
Kepuasan Emosional: Fungsi Produk dan Jasa Melebihi Harapan
Ketidakpuasan Emosional: Fungsi Produk dan Jasa Tidak Memenuhi Harapan
Gambar 2. Model Diskonfirmasi Harapan dari Kepuasan dan Ketidakpuasan
(Sumber: Mowen & Minor, 1998 dalam Sumarwan, 2004)
3. Prinsip Kepuasan Pasien
Bisnis jasa merupakan aktifitas pelayanan kesehatan kepada pasien di rumah sakit pada
dasarnya bertujuan memberikan kepuasan yang seutuhnya pada pengguna jasa tersebut.
Untuk bisa memberikan kepuasan yang optimal kepada pelanggan yang dalam hal ini adalah
pasien di rumah sakit, ada 10 prinsip kepuasan pelanggan yang bisa dijadikan pedoman
(Irawan, 2009) yaitu:
a. Memulai dengan percaya kepada pentingnya kepuasan pasien.
b. Memilih pasien yang tepat dalam membangun kepuasan pasien.

c. Memahami harapan pasien merupaka kunci dalam meningkatkan kepuasan pasien.


d. Mencari faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien.
e. Faktor emosional mempengaruhi kepuasan pasien.
f. Pasien yang mengadu pada perusahaan/instansi pelayanan kesehatan
merupakan pasien yang setia terhadap instansi tersebut.
g. Memberikan garansi akan meningkatkan kepuasan pasien secara cepat.
h. Mendengarkan suara pasien dengan cara melakukan riset kepuasan.
i. Karyawan memiliki peranan besar dalam menentukan kepuasan pasien.
j. Kepemimpinan merupakan teladan dalam kepuasan pasien.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien
Kepuasan konsumen dipengaruhi oleh dua faktor, yakni harapan konsumen akan kinerja
sebuah produk atau jasa, dan kenyataan yang dia terima setelah mengkonsumsi produk
tersebut. Konsumen akan puas jika kinerja produk sama atau bahkan melebihi harapan
konsumen semula. Sebaliknya, konsumen akan tidak puas jika kinerja produk ternyata tidak
sesuai dengan harapannya (Santoso, 2005:3).
Menurut Budiastuti (2002) dalam Nasution (2009:9-11) mengemukakan bahwa pasien dalam
mengevaluasi kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa
faktor, yaitu:
a. Kualitas produk atau jasa
Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa
yang digunakan berkualitas. Persepsi pasien terhadap kualitas poduk atau jasa dipengaruhi
oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas poduk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi
perusahaan terutama iklan dalam mempromosikan rumah sakitnya.
b. Kualitas pelayanan
Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Konsumen dalam hal ini
pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan
yang diharapkan.
c. Faktor emosional
Pasien merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap dirinya bila dalam hal ini
pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”,
cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
d. Harga
Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna
mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi
biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai
harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga
murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.
e. Biaya
Mendapatkan produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau
tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap
jasa pelayanan tersebut.
Menurut Utama (2005) dan Rachmadi (2008) yang dikutip oleh Waluyo (2010:24), beberapa
karakteristik individu yang dapat menjadi faktor penentu tingkat kepuasan pasien adalah jenis
kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, kondisi ekonomi yang berhubungan dengan pemilihan
kelas perawatan, lokasi rumah sakit terhadap pasien, jenis atau diagnosa penyakit yang
berhubungan dengan keparahan penyakit, lama perawatan, dan alasan memilih rumah sakit.
a. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki cenderung lebih mudah merasa puas dibandingkan dengan jenis
kelamin perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki cenderung melihat produk dari sisi
kualitas dan fungsinya, sedangkan perempuan lebih berdasar pertimbangan sosial, psikologis
dan penampilan luar produk (Prasetyo & Ihalauw, 2005 dalam Waluyo, 2010:25).
b. Umur
Umur adalah masa hidup pasien yang didasarkan pada tanggal lahir atau pernyataan pasien,
dan biasanya dinyatakan dalam tahun. Prasetyo & Ihalauw (2005) dalam Waluyo (2010:25),
menjelaskan segmen umur yang berbeda mempunyai selera dan minat yang berbeda pada
suatu produk termasuk pelayanan keperawatan. Pasien muda umumnya memiliki harapan
lebih tinggi sehingga perlu pelayanan yang lebih untuk mencapai kepuasan
c. Pendidikan
Pendidikan adalah status resmi tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh oleh pasien.
Supiyadi (2008) dalam Waluyo (2010:24) menjelaskan bahwa pasien yang berpendidikan SD
memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi terhadap pelayanan keperawatan dibanding yang
berpendidikan SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Pasien yang memiliki pendidikan tinggi
memiliki pengetahuan tinggi, sehingga cenderung memiliki kebutuhan yang lebih komplek.
Oleh karena itu, mereka membutuhkan pelayanan yang lebih lengkap dan berkualitas untuk
mendapatkan kepuasan.
d. Pekerjaan
Zaini (2001) dalam Waluyo (2010:25) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara
pekerjaan dengan kepuasan pasien. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Supardi (2005) dalam Waluyo (2010:25) yang menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan
tingkat kepuasan antara kelompok pasien yang memiliki pekerjaan PNS, ABRI, pensiunan,
pegawai swasta, petani dan yang tidak bekerja. Dengan demikian pekerjaan bukan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasaan pasien.
e. Pendapatan atau status ekonomi
Pasien yang memiliki status ekonomi baik atau tinggi memilih kelas perawatan yang
memiliki fasilitas yang mampu membuat perasaan nyaman selama dirawat. Hal ini berarti
pula mereka memiliki harapan dan tuntutan yang tinggi terhadap pelayanan keperawatan.
Dengan demikian untuk mendapatkan perasaan puas diperlukan pelayanan yang lebih dari
standar perawatan umum yang berlaku di masyarakat. Pasien yang memiliki status ekonomi
rendah pada umumnya memiliki harapan dan tuntutan yang lebih rendah terhadap pelayanan
keperawatan. Dengan demikian mereka akan merasa puas hanya dengan diberikan pelayanan
keperawatan dengan standar perawatan umum yang berlaku di masyarakat (Waluyo,
2010:26).
f. Jenis penyakit atau keparahan penyakit
Menurut Potter & Perry (1997) dalam Waluyo (2010:27), berat ringannya penyakit
berpengaruh terhadap lamanya waktu perawatan di rumah sakit dan tingkat ketergantungan
pasien dalam memenuhi kebutuhannya. Hal ini berpengaruh pula terhadap harapan dan
persepsi pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. Dengan demikian jenis
penyakit bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasaan pasien tetapi
lamanya waktu perawatan di rumah sakit yang bisa mempengaruhi kepuasan.
g. Lokasi atau jarak rumah pasien dengan rumah sakit
Lokasi rumah sakit yang strategis yaitu lokasi yang mudah dijangkau oleh transportasi umum
dan berada di tengah-tengah masyarakat. Utama (2005) dalam Waluyo (2010:27)
menjelaskan bahwa lokasi rumah sakit yang strategis sering kali menjadi alasan bagi pasien
dalam memilih pelayanan rumah sakit karena jarak rumah sakit dengan tempat tinggalnya
dekat dan mudah dijangkau oleh sarana transportasi.
5. Dimensi Penilaian Kepuasan
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen atau pasien. Salah satu
faktor tersebut adalah kualitas pelayanan atau jasa yang berfokus pada lima dimensi
(Rangkuti, 2006:30).
Parasuraman et al (1990) dalam Waluyo (2010:28-30) mengemukakan bahwa kualitas
pelayanan yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien terdiri dari dimensi reliability
(keandalan), dimensi responsiveness (daya tanggap), dimensi assurance (jaminan), dimensi
emphaty (kepedulian) dan dimensi tangibles (bukti langsung).
a. Reliability (keandalan)
Reliability (keandalan) adalah kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan
segera, jujur, aman, tepat waktu, ketersediaan, akurat dan memuaskan. Keseluruhan aspek ini
berhubungan dengan kepercayaan terhadap pelayanan dalam kaitannya dengan ketepatan
waktu pelaksanaan tindakan. Dalam hal ini, pemberian discharge planning yang andal
(reliability) adalah kemampuan perawat dalam memberikan discharge planning khususnya
dalam pendidikan kesehatan sesuai dengan waktu, kebutuhan dan kondisi pasien serta segera
diberikan ketika pasien membutuhkan.
b. Responsiveness (daya tanggap)
Responsiveness (daya tanggap) yaitu keinginan untuk membantu pasien dan segera merespon
untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan pasien, serta dengan cepat memperhatikan
dan menyelesaikan masalahnya. Dalam hal ini, pemberian discharge planning yang
responsiveness (daya tanggap) terhadap pasien berarti bahwa perawat dalam memberikan
discharge planning khususnya pada pendidikan kesehatan memiliki sikap bersedia setiap saat
untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan segera merespon kebutuhan
pasien akan informasi kesehatan.
c. Assurance (jaminan)
Assurance (jaminan) adalah mencakup kemampuan, pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat
dipercaya yang dimiliki pada karyawan, bebas dari bahaya, resiko, keragu-raguan, memiliki
kompetensi, percaya diri dan menimbulkan keyakinan kebenaran (obyektif). Dalam hal ini,
pemberian discharge planning yang terjamin (assurance) berarti bahwa perawat memiliki
kemampuan, pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang ditunjukkan pada saat
memberikan discharge planning khususnya pada pendidikan kesehatan.
d. Emphaty (kepedulian)
Emphaty (kepedulian) meliputi kemudahan dalam melakukan komunikasi dan memahami
kebutuhan pasien. Terkait dengan hal tersebut, emphaty (kepedulian) dalam pemberian
discharge planning khususnya dalam pendidikan kesehatan terwujud dalam sikap penuh
perhatian kepada pasien, melayani dengan ramah dan menarik, memahami aspirasi pasien,
dan berkomunikasi dengan baik dan benar. Perawat perlu menunjukkan sikap dan perilaku
empati selama memberikan pendidikan kesehatan. Sikap empati diperlukan untuk
membangun kepercayaan pasien terhadap informasi dari perawat. Rasa percaya yang dimiliki
pasien dapat membantu pasien dalam proses penerimaan informasi dan memahami untuk
dijadikan pedoman
tindakan.
e. Tangibles (bukti langsung)
Tangibles (bukti langsung) meliputi fasilitas fisik, ketersediaan peralatan perawatan dan
komunikasi, kebersihan ruangan, ruangan yang teratur rapi, penampilan kerja perawat yang
rapi. Terkait dengan hal tersebut, bukti langsung (tangibles) dalam memberikan discharge
planning berarti bahwa perawat memberikan discharge planning khususnya dalam pendidikan
kesehatan menunjukan cara berpakaian yang rapi, memiliki sikap serta menyiapkan ruangan
yang memberikan kenyamanan kepada pasien.
6. Pengukuran Kepuasan Pasien
Kepuasan pasien merupakan keluaran dari layanan kesehatan. Suatu perubahan dari sistem
layanan kesehatan tidak mungkin tepat sasaran dan berhasil tanpa melakukan pengukuran
kepuasan pasien. Hal itu terjadi karena hasil pengukuran kepuasan pasien akan digunakan
sebagai dasar untuk mendukung perubahan sistem layanan kesehatan (Pohan, 2007:144).
Menurut Kotler (2004), ada beberapa macam metode dalam pengukuran kepuasan pasien:
a. Sistem Keluhan dan Saran
Organisasi yang berorientasi pada pasien memberikan kesempatan yang luas kepada
pasiennya untuk menyampaikan saran dan keluhan. Misalnya dengan menyediakan kotak
saran, kartu komentar, dan hubungan telepon langsung
dengan pasien.
b. Ghost Shopping
Metode ini dilakukan dengan cara mempekerjakan beberapa orang yang berperan atau
bersikap sebagai pengguna potensial untuk melaporkan temuannya mengenai kekuatan dan
kelemahan produk dari perusahaan atau rumah sakit pesaing berdasarkan pengalaman mereka
sehingga dapat dijadikan sebagai koreksi terhadap kualitas pelayanan rumah sakit itu sendiri.
c. Lost Customers Analysis
Metode ini dilakukan dengan cara pihak rumah sakit menghubungi para konsumen atau
pasien yang telah berhenti menggunakan atau beralih ke rumah sakit lain, untuk memperoleh
informasi penyebab hal tersebut. Informasi ini dapat dipakai untuk mengambil kebijakan
dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas konsumen.
d. Survei Kepuasan
Survei dapat dilakukan dengan penyebaran kuesioner atau melalui wawancara langsung pada
para konsumen. Konsumen atau pasien juga dapat diminta untuk mengurutkan berbagai
elemen penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan seberapa baik
perusahaan dalam masing-masing elemen (importanse/performance ratings). Melalui survei
tersebut, rumah sakit dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan produk atau jasa yang
dimiliki, sehingga dapat melakukan perbaikan pada hal yang dianggap kurang oleh para
konsumen atau pasien.
Pengumpulan data survei kepuasan pasien dapat dilakukan dengan berbagai cara tetapi pada
umumnya dilakukan melalui kuesioner dan wawancara. Adapun penggunaan kuesioner
adalah cara yang paling sering digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan, seperti
proses yang mudah dan murah, menghasilkan data yang telah terstandarisasikan, dan
terhindar dari bias pewawancara (Pohan, 2007:144-145).
7. Manfaat Pengukuran Kepuasan Pasien
Menurut Gerson (2004), manfaat utama dari program pengukuran adalah tersedianya umpan
balik yang segera, berarti dan obyektif. Dengan hasil pengukuran orang bisa melihat
bagaimana mereka melakukan pekerjaannya, membandingkan dengan standar kerja, dan
memutuskan apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan berdasarkan pengukuran
tersebut. Ada beberapa manfaat pengukuran kepuasan antara lain sebagai berikut:
a. Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan berprestasi, yang
kemudian diterjemahkan menjadi pelayanan yang prima kepada
konsumen/pasien.
b. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan standar
prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan mereka menuju mutu
yang semakin baik dan kepuasan konsumen/pasien yang meningkat.
c. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada pelaksana, terutama bila
konsumen/pasien sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau yang memberi
pelayanan.

d. Pengukuran memberi tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu dan
kepuasan konsumen/pasien. Informasi bagaimana harus melakukannya juga bisa datang dari
konsumen/pasien.
e. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktivitasnya
yang lebih tinggi.
Menurut Azwar (1996) dalam Putra (2012:27), didalam situasi rumah sakit
yang mengutamakan pihak yang dilayani (client oriented) dimana pasien merupakan
penghuni terbanyak, maka banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh bila mengutamakan
kepuasan pasien antara lain sebagai berikut:
a. Rekomendasi medis untuk kesembuhan pasien akan dengan senang hati
diikuti oleh pasien yang merasa puas terhadap pelayanan rumah sakit.
b. Terciptanya citra positif dan nama baik rumah sakit karena pasien yang puas tersebut akan
memberitahukan kepuasannya kepada orang lain. Hal ini secara akumulatif akan
menguntungkan rumah sakit karena merupakan pemasaran
rumah sakit secara tidak langsung.
c. Citra rumah sakit akan menguntungkan secara sosial dan ekonomi.
Bertambahnya jumlah orang yang berobat, karena ingin mendapatkan pelayanan yang
memuaskan seperti yang selama ini mereka dengar akan menguntungkan rumah sakit secara
sosial dan ekonomi (meningkatnya pendapatan rumah sakit).
d. Berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan rumah sakit, seperti perusahaan
asuransi akan lebih menaruh kepercayaan pada rumah sakit yang mempunyai citra positif.
e. Didalam rumah sakit yang berusaha mewujudkan kepuasan pasien akan lebih diwarnai
dengan situasi pelayanan yang menjunjung hak-hak pasien. Rumah sakitpun akan berusaha
sedemikian rupa sehingga malpraktek tidak terjadi.
C. Hubungan Discharge Planning Dengan Tingkat Kepuasan Pasien
Dalam upaya memenuhi tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, rumah sakit
mulai melakukan pembenahan sistem pelayanan maupun manajemennya. Kepuasaan pasien
sebagai salah satu indikator pelayanan berkualitas yang harus menjadi perhatian karena
berhubungan langsung dengan pengguna pelayanan kesehatan (Lusa, 2007 dalam Herniyatun
dkk, 2009:128).
Salah satu aspek dari tujuh dimensi pelayanan keperawatan yang dapat mempengaruhi
kualitas pelayanan keperawatan dan kepuasan pasien adalah pemberian informasi yang jelas,
komunikasi efektif dan pendidikan kesehatan yang diperlukan oleh pasien (Potter & Perry,
2005:87). Hal serupa juga diungkapkan oleh Suryawati dkk (2006) dalam Yosafianti &
Alfiyanti (2010:114), bahwa indikator kepuasan pasien yang berhubungan dengan pelayanan
keperawatan adalah penjelasan perawat terhadap tindakan yang akan dilakukan, pemberian
dan penjelasan obat, respon perawat terhadap keluhan pasien serta sikap dan ketrampilan
perawat. Oleh karena itu komunikasi dan pemberian pendidikan kesehatan oleh perawat
kepada pasien dipandang merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam
memenuhi kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan.
Program perencanaan pemulangan pada dasarnya merupakan program pemberian pendidikan
kesehatan kepada pasien yang meliputi nutrisi, aktifitas/latihan, obat-obatan dan instruksi
khusus yaitu tanda dan gejala penyakit pasien (Potter & Perry, 2005 dalam Herniayatun dkk,
2009:128). Oleh karena itu, pelaksanaan discharge planning di suatu rumah sakit akan
menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan dari pengguna
pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.

Anda mungkin juga menyukai