Anda di halaman 1dari 8

I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Peta merupakan alat utama dalam kajian geografi dan pembelajaran
geografi di sekolah. Peta merupakan gambaran muka bumi yang disederhanakan
dan diperkecil melalui skala serta pemakaian simbol-simbol, sehingga mudah
diamati. Melalui peta kita dapat mempelajari pola-pola sebaran, struktur
keruangan, hubungan keruangan, kewilayahan, kehidupan dan bahkan peradapan
manusia serta interaksi antara satu gejala dengan yang lain pada muka bumi
(geosfera). Salah satu jenis peta yang dapat memberikan informasi secara
komprehensif tentang gejala-gejala muka bumi adalah Peta Rupabumi. Namun,
keberadaan Peta Rupabumi di sekolah-sekolah hingga saat ini masih menjadi
barang yang langka, bahkan belum banyak dikenal oleh para peserta didik dan
guru di sekolah (Juhadi, 2009).
Data citra satelit penginderaan jauh banyak dimanfaatkan untuk berbagai
kebutuhan penelitian dan aplikasi di berbagai sektor. Penentuan lokasi daerah
potensi penangkapan ikan merupakan salah satu aplikasi citra satelit penginderaan
jauh untuk perikanan tangkap yang sangat bermanfaat bagi nelayan. Dalam
konteks pengelolaan perikanan dengan pendekatan berbasis ekosistem (Ecosystem
Approach to Fisheries Management/EAFM) secara global, harian dan sistematis,
citra resolusi temporal tinggi yang diperoleh dari satelit penginderaan jauh mampu
menyediakan sumber data yang baik (Hamzah et al. 2016).
Metode generalisasi yang digunakan adalah seleksi, simplifikasi, dan
penggabungan, kecuali kontur yang dibentuk ulang dari Digital Surface Model.
Pengecilan dari skala 1: 50.000 menjadi skala 1: 250.000 pada proses generalisasi
berpengaruh pada kenampakan titik, garis dan area yang berakibat pada perubahan
jumlah panjang dan luasan. Basis data rupabumi skala 1: 50.000 menjadi 1:
100.000 menghasilkan jumlah objek sebesar 70,71% kemudian skala 1: 100.000
menjadi 1: 250.000 sebesar 63,25% untuk persamaan Radical Law. Petunjuk
teknis generalisasi skala menengah sudah sesuai untuk penerapan pada skala kecil,
kecuali pada unsur transportasi utilitas yang tidak memenuhi persen Radical Law
dan unsur tutupan lahan pada skala 1: 250.000 (Hisanah et al. 2015).
Salah satu citra satelit penginderaan jauh yang sering digunakan untuk
pemantauan laut global serta mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan
tangkap adalah citra Terra/ Aqua dengan sensor Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer (MODIS). Citra Terra/Aqua MODIS memiliki kelebihan
resolusi temporal yang tinggi, sehingga sering digunakan untuk keperluan
pemantauan skala harian. Selain Terra/Aqua MODIS yang memiliki resolusi
temporal harian, saat ini terdapat satelit penginderaan jauh Suomi NPP dengan
sensor Visible/Infrared Imager and Radiometer Suite (VIIRS) yang memiliki
resolusi spasial lebih tinggi (750 meter) dan cakupan liputan yang lebih luas (±
3040 km) dari Terra/Aqua MODIS (Hamzah et al. 2016).
WPPNRI 718 merupakan wilayah dengan potensi perikanan tangkap
tertinggi dibandingkan dengan WPPNRI yang lain. Suman et al. (2014)
menyatakan bahwa potensi WPPNRI 718 yakni sebesar 1,99 juta ton/tahun atau
mencapai 20% dari potensi ikan nasional. Lebih lanjut, kegiatan penangkapan
ikan oleh nelayan di WPPNRI 718 perlu dijaga dan dapat ditingkatkan karena
mengingat pada wilayah tersebut merupakan wilayah alur pelayaran internasional
dan rentan akan kegiatan pencurian ikan oleh nelayan asing (IUU Fishing),
sehingga kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan lokal dapat membantu menjaga
keamanan laut. Kondisi eksisting menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan
oleh nelayan lokal di WPPNRI 718 terhambat oleh kurangnya informasi terkait
Zona Potensial Penangkapan Ikan (ZPPI) (Tambun et al. 2018).
1.1 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini, diantaranya :
1. Mahasiswa dapat menentukan zona potensi penangkapan ikan menggunakan
software
2. Mahasiswa dapat mengolah data pemetaan zona potensi penangkapan ikan

1.2 Manfaat
Adapun manfaat dari mengikuti praktikum ini Mahasiswa dapat
menentukan zona potensi penangkapan ikan menggunakan software
II TINJAUAN PUSTAKA
Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) telah dibuat dan
didistribusikan sejak tahun 2000 untuk masyarakat nelayan di Indonesia dan dapat
diakses melalui internet. Informasi Peta PDPI tersebut dapat diakses secara gratis
melalui website Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tautan
http://bpol.litbang.kkp.go.id. Peta PDPI itu sendiri adalah salah satu produk peta
tematik kelautan yang memanfaatkan penggabungan data tentang sebaran
kandungan klorofil-a dan data parameter oseanografi (suhu permukaan laut,
ketinggian permukaan laut, arus, salinitas). Sumber data yang digunakan berasal
dari data satelit oseanografi maupun data pada stasiun pengamatan untuk
menganalisa daerah potensi penangkapan ikan (Tambun et al. 2018).
Peta merupakan alat utama dalam kajian geografi dan pembelajaran
geografi di sekolah. Peta merupakan gambaran muka bumi yang disederhanakan
dan diperkecil melalui skala serta pemakaian simbol-simbol, sehingga mudah
diamati. Melalui peta kita dapat mempelajari pola-pola sebaran, struktur
keruangan, hubungan keruangan, kewilayahan, kehidupan dan bahkan peradapan
manusia serta interaksi antara satu gejala dengan yang lain pada muka bumi
(geosfera). Salah satu jenis peta yang dapat memberikan informasi secara
komprehensif tentang gejala-gejala muka bumi adalah Peta Rupabumi. Namun,
keberadaan Peta Rupabumi di sekolah-sekolah hingga saat ini masih menjadi
barang yang langka, bahkan belum banyak dikenal oleh para peserta didik dan
guru di sekolah (Juhadi, 2009).
Klaster rumput laut merupakan konsep pengembangan terpadu komoditas
rumput laut. Mirip dengan Kawasan Minapolitan, industri hulu dan hilir akan
dikembangkan pada kawasan tersebut. Industri hulu menyangkut penyediaan
kebun bibit dan teknologi produksi, sedangkan industri hilir bergerak pada upaya
pascapanen hingga pengolahan, setidaknya setengah jadi. Diharapkan dengan
berkembangnya industri hulu-hilir, industri penunjang lain seperti pabrik tali dan
pelampung, ataupun lembaga keuangan yang akan turut ambil bagian dalam
pengembangan klister (Hasnawi et al. 2013).
Saat ini, peta Rupabumi Indonesia (RBI) merupakan hal yang sangat
ditunggu oleh masyarakat sebagai pengguna Informasi Geospasial. Sesuai dengan
amanat UU IG No. 4 Tahun 2011, Peta RBI menjadi peta dasar yang memberikan
informasi secara khusus untuk wilayah darat. Kualitas yang baik menjadi tuntutan
utama dalam pembuatan peta RBI, termasuk peta RBI skala besar. Namun ada
sebuah spesifikasi sangat penting yang belum dibuat, yaitu kedetailan untuk setiap
skala. Misalnya, dalam pembuatan peta RBI skala 1:5.000 belum ada batasan
mengenai tingkat kedetailan objek yang harus ditampilkan. Akibatnya, seluruh
objek yang terlihat di foto dilakukan digitasi, dan semua objek yang ditemui saat
survei lapangan juga diakuisisi (Irawati dan Sartohadi, 2014).
Meski sudah ada standar mengenai spesifikasi peta RBI dalam bentuk
Standar Nasional Indonesia (SNI), dokumen tersebut juga perlu banyak
penyesuaian karena dibuat pada tahun 2000, sedangkan basisdata RBI sudah
mengalami banyak perubahan sejak tahun tersebut. Selain itu, kode unsur RBI
juga belum mengklasifikasikan objek-objek yang harus muncul atau tidak
dimunculkan pada skala tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan
spesifikasi tersebut berdasarkan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia, yaitu
SNI Spesifikasi Teknis Peta RBI, SNI Klasifikasi Penutup Lahan, dan SNI
Spesifikasi Penyajian Peta RBI. Selain itu, digunakan pula layout kartografi peta
RBI sebagai acuan dalam mempertimbangkan unsur-unsur yang perlu (Susetyo et
al. 2017).
Dalam pembelajaran geografi, khususnya mata kuliah Kartografi
mahasiswa diminta membaca peta rupa bumi Indonesia (RBI). Akan tetapi,
pembacaan itu tidak menunjukan hasil yang memuaskan. Analisis terhadap
hasil praktikum membaca peta RBI, khususnya RBI skala 1: 25.000, menunjukan
bahwa hasil tersebut memiliki banyak variasi tangkat kebenarannya. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian tingkat kemampuan membaca peta
RBI oleh mahasiswa Pendidikan geografiangkatan baru 2016. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemampuan membaca peta RBI oleh
mahasiswa pendidikan geografi. Dengan demikian, penelitian ini bersifat ex
post facto atas kemampuan mereka dalam membaca peta (Hartono, 2019).
Kelas S2 (Sesuai), yaitu lahan mempunyai pembatas yang agak berat
untuk suatu penggunaan secara lestari. Pembatas tersebut akan berpengaruh
terhadap produktivitas, serta perlu menaikkan masukan untuk mengusahakan
lahan tersebut. Kelas S3 (Sesuai Bersyarat), lahan mempunyai pembatas-
pembatas sangat berat akan tetapi masih memungkinkan diatasi, artinya
masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan tingkat
introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan
tambahan dengan biaya rasional. Kelas N (Tidak Sesuai Permanen), lahan
mempunyai pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin untuk digunakan
bagi suatu penggunaan yang lestari (Runtuboi et al. 2014).
Berdasarkan data penelitian diketahui bahwa mahasiswa pendidikan
geografi yang bisa menjawab dengan benar pertanyaan pada isian membaca
peta sejumlah 32 (53,33%) mahasiswa. Ini berarti bahwa separo lebih responden
mampu menggambarkan format baku peta RBI, membaca nomer indeks peta,
menjelaskan judul, nomer indek peta, tipe skala yang digunakan, wilayah
administrasi yang tergambar pada peta, cara membaca koordinat titik/tempat, jenis
proyeksi yang dipakai dan sumber data peta RBI. Membaca simbul peta yang
terdiri dari informasi: penggunaan lahan dan vegetasi, Simbul batas
administrasi, permukiman, objek perhubungan dan transportasi, objek
hidrologi/tubuh perairan, relief, dan toponimi objek (Hartono, 2019).
Pola yang paling jelas terlihat adalah seleksi pada unsur 1:50.000 dan
1:250.000. SNI Spesifikasi Teknis Peta Rupabumi, SNI Spesifikasi Penyajian Peta
Rupabumi, dan layout kartografi peta RBI sama-sama menyatakan unsur Fasilitas
Pendidikan, Rumah Sakit, Kantor Polisi, Pasar, Pelayanan Pos, Rumput, Tanah
Kosong, Hutan Rawa, dan Batas Kelurahan/Desa tidak perlu ditampilkan pada
skala 1:50.000, sedangkan untuk skala 1:250.000 unsur yang perlu diseleksi
adalah Makam, Menara Air, Tangki Bahan Bakar, Tonggak Kilometer, Jembatan,
Titian, Talang, Bukit/Gundukan, dan Mata Air. Hasil tersebut juga bisa menjadi
salah satu acuan dalam seleksi unsur untuk setiap skala (Susetyo et al. 2017).
Peta Rupabumi menyajikan unsur-unsur dasar muka bumi, seperti: unsur
hipsografi (tinggi-rendahnya medan atau relief, terutama ketinggian), unsur
hidrografi (laut, danau, sungai/pola pengaliran), unsur vegetasi (penutup lahan),
unsur toponimi (nama-nama unsur tempat atau nama geografi), unsur
buatan/budaya manusia (permukiman, sistem perhubungan, unsur unit-unit
administrasi, dan sistem rujukan koordinat nasional baku (sistem lintang bujur).
Jadi Peta Rupabumi memiliki karakteristik : (1) Memuat gambaran tentang
penyebaran, luas dan karakteristik dari unsur-unsur fisiografi, topografi,
morfologi, geologi, demografi dan sebagainya. (2) Dapat sebagai wadah
inventarisasi sumberdaya alam (Juhadi, 2009).
Unsur rupa bumi umumnya dinamai oleh penduduk setempat dengan
menggunakan bahasa daerahnya yang mencerminkan bagian dari sejarah dan
kebudayaan suku bangsa yang pertama kali mendiami suatu wilayah. Dalam
penamaan unsur rupa bumi biasanya mengandung elemen generik yang dapat juga
disebut sebagai nama generik dan elemen/nama spesifik. Elemen generik
darisuatu nama unsur rupa bumi mencerminkan migrasi manusia dari masa lalu.
Sebagai contoh, istilah wai yang artinya “sungai” tidak hanya terdapat di lampung
saja tertapi tersebar mulai dari pasifik selatan dalam bahasa Maori, Hawai, Tonga,
dan Maui sampai di kawasan indonesia seperti di wilayah Papua, seram, Buru,
Nusa Tenggara, dan Lampung (Pratama, 2016).
Klasifikasi kesesuaian lahandilakukan dengan menyusun
matrikskesesuaian denganpemberian skor pada parameter pembatasbudidaya
rumput laut. Analisis tingkat kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membagi
setiap parameter menjaditiga kelas yaitu: sesuai (skor 3), kurang sesuai (skor 2),
dantidak sesuai (skor 1). Parameteryang dapat memberikan pengaruh lebih
kuatdiberi bobot lebih tinggi dari pada parameteryang lebih lemah pengaruhnya.
Total skor selanjutnya dipakai untuk menentukan tingkat kesesuaian lahan
(Hartono, 2019).
Guna mendukung pembangunan maritim, diperlukan teknologi yang
mampu memantau laut secara menyeluruh dan sistematik. Salah satunya adalah
dengan teknologi antariksa melalui penginderaan jauh. Teknologi penginderaan
jauh dengan menggunakan satelit sangat bermanfaat untuk pemantauan sumber
daya alam di laut. Misalnya, untuk pemantauan terumbu karang dan perencanaan
pendayagunaan laut untuk berbagai sektor seperti ekonomi (Juhadi, 2009).
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum pemetaan sumber daya laut ini dilaksanakan pada hari selasa
tanggal 8 Oktober 2019 pukul 11:00 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Kelautan, Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sriwijaya.

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan beserta fungsinya sebagai berikut:
No. Alat Fungsi
1. Alat Tulis Sebagai alat untuk mencatat data
praktikum
2. Lembar Kerja
Mencatat hasil pengolahan data
3. Laptop
praktikum
Untuk mengoperasikan software
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah R, Prayogo T, Marpaung S. 2019. Metode penentuan titik koordinat zona
potensi penangkapan ikan pelagis berdasarkan hasil deteksi termal front
suhu permukaan laut (method of determination points coordinate for
potential fishing zone based on detection of thermal front sea surface
temperature). Penginderaan jauh Vol 13 (1) : 67-72.
Irawati, Sartohadi. 2014. Interpretasi peta rupa bumi Indonesia (RBI) untuk
menentukan sebaran longsor purba dan longsor baru di Kecamatan
Girimulyo. Bumi Indonesia Vol 3 (4) : 1-8
Juhadi. 2009. Fungsi dan aplikasi peta rupabumi untuk pembelajaran di sekolah.
Pembangunan Vol 2 (3) : 1-16
Kautsari N, Ahdiansyah Y. 2015. Daya dukung dan kesesuaian lahan perairan
Labuhan Terata, Sumbawa untuk pengembangan budidaya rumput laut. Ilmu
kelautan Vol 2 (4) : 233-238.
Noor N M. 2015. Analisis kesesuaian perairan Ketapang, Lampung Selatan
sebagai lahan budidaya rumput laut. Maspari Vol 7 (2) :91-100.
Pratama R W. 2016. Efektifitas penggunaan media peta rupa bumi Indonesia pada
mata pelajaran geografi materi hidrosfer kelas X di SMAN 1 Ambarawa
tahun ajaran 2015/2016 [skripsi]. Semarang : Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Semarang : 1-61.
Runtoboi D, Paulungan Y P, Gunaedi D T. 2014. Studi kesesuaian lahan budidaya
rumput laut berdasarkan parameter biofisik perairan di Yensawai Distrik
Batanta Utara Kabupaten Raja Ampat. Biologi papua Vol 6 (1) : 31-37.
Tambun R, Simbolon D, Wahju R, Supartono. 2018. Zona potensial penangkapan
ikan berdasarkan musim di WPPNRI 718. Ilmu dan teknologi kelautan
tropis Vol 10 (3) : 1-8.

Anda mungkin juga menyukai