Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit rabies biasanya dikenal dengan istilah awam penyakit anjing gila. Penyakit ini
dapat menyerang beberapa mamalia seperti anjing, kucing, termasuk manusia. Virus rabies
berbentuk peluru dengan komposisi RNA, lipid, karbohidrat dan protein. Virus rabies tergolong
unik karena dapat berkembang pada berbagai macam spesies mamalia dan bersifat neurofilik
(saraf).

Rabies dapat menular dari hewan ke hewan, dari manusia ke manusia dan dari hewan ke
manusia. Penularan dapat melalui gigitan dan non-gigitan (transplantasi, kontak dengan bahan
mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Binatang dan manusia yang terinfeksi
rabies akan memberikan gejala yang cukup khas walaupun tetap harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang dan dengan teliti menggali riwayat gigitan atau kontak binatang.

Di Indonesia rabies pada hewan sudah ditemukan sejak tahun 1884, dan kasus rabies
pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1894 di Jawa Barat. Angka kematian yang
tinggi ini disebabkan karena tidak adanya obat untuk rabies, terlambatnya intervensi medis
menyebabkan angka kematian yang tinggi, dan jarang dilaksanakannya penanganan pertama luka
gigitan anjing dengan mencuci luka dengan sabun dan air mengalir. Selain itu rabies pada dua
sampai dua belas minggu pertama, bahkan bisa sampai bertahun-tahun, hanya menunjukkan
gejala tidak khas seperti influenza biasa sehingga pasien yang dibawa ke rumah sakit sudah jatuh
ke tahap penyakit yang lebih parah.. Pasien biasanya meninggal dua sampai sepuluh hari setelah
menunjukkan gejala pertama.

Sampai saat ini tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit rabies. WHO
merekomendasikan prosedur profilaksis pasca-terpapar (P.E.P., post-exposure prophylaxis)
(setelah kontak melalui gigitan maupun non-gigitan). Prosedur ini terdiri dari pembersihan dan
perawatan luka dan imunisasi aktif dengan vaksin (VAR). Rabies adalah penyakit yang dapat
sepenuhnya dicegah. Gejala pada hewan reservoir cukup khas sehingga hewan yang terinfeksi
dapat dimusnahkan dan hewan yang beresiko pun dapat dicegah menjadi sakit melalui vaksinasi
secara rutin.

1.2. Tujuan
1. Menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang penyakit rabies
2. Mengetahui gejala dan dampak yang ditimbulkan oleh virus rabies
3. Mengetahui cara pencegahan dan penanganan pasien yang terinfeksi rabies
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Rabies

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus,
bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan berdarah panas dan manusia. Rabies
bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan
menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies
dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau
jilatan.

2.2. Sejarah Rabies

Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah dikenal
sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi
pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati telah dibuat pada zaman
kekuasaan Raja Hammurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan
oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun sesudah masehi)
untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada
manusia dengan rabies pada hewan.

Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser (1884), kemudian
oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E.V. De Haan pada manusia (1894), selanjutnya
selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui dengan pasti,
namun setelah Perang Dunia II peta rabies di Indonesia berubah. Secara kronologis tahun
kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958),
Sumatera Selatan (1959), D.I. Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI
Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan
Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997).

Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies muncul di Kabupaten
Flores Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari pulau Buton-Sulawesi
Tenggara yang merupakan daerah endemik rabies. Sampai dengan saat ini selain beberapa
provinsi di kawasan Timur Indonesia yang tersebut diatas pulau-pulau kecil di sekeliling
Pulau Sumatera masih dinyatakan bebas rabies.

2.3. Etiologi

Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae, genus
Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut
dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dari
ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membran selubung (amplop) dibagian luarnya
yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah.
Pada membrane selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi.

Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak
antara spikes 4-5 nm. Universitas Sumatera UtaraVirus peka terhadap sinar ultraviolet, zat
pelarut lemak, alkohol 70 %, yodium, fenol dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup
selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50 %. Pada suhu 600 C virus mati dalam waktu 1
jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40 C dapat tahan
selama bebarapa tahun.

Gambar 2.1. Gambar Struktur Virus Rabies


2.4. Masa Inkubasi

Masa inkubasi rabies pada anjing 10 – 15 hari, dan pada hewan lain 3-6 minggu
kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi pada manusia yang khas
adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih).
Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode
inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa inkubasi
bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang genetik, status immun, strain virus yang
terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari Universitas Sumatera Utara titik pintu
masuknya ke susunan saraf pusat. Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari
luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan di
tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari.

2.5. Gejala Klinis

2.5.1. Pada Hewan

Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :

1. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara
2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih
ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek
kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan
menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam
keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat
berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun
manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi
hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan
mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi
secara berlebihan dan tampak ketakutan.

3. Stadium Paralisis.
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali
atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami
kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.

2.5.2. Pada Manusia

Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.

1. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan
gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan,
kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian
disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan
sensoris.
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa
eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya,
tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang.
Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan.
Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi,
dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang
ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang
bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

2.6. Type Rabies Pada Anjing

a. Rabies Ganas

 Tidak menuruti lagi perintah pemilik.


 Air liur keluar berlebihan
 Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui dan ekor
dilekungkan kebawah perut diantara dua paha.
 Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul atau
paling lama 12 hari setelah penggigitan.

b. Rabies Tenang

 Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk.


 Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat.
 Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan.
 Kematian terjadi dalam waktu singkat.

2.7. Patogenesis

Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak
dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku
hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya. Saliva yang
ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta
kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada
mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh
kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies
yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering.
Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan jarang
terjadi.

Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus tidak bisa
masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2
minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak
mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan
fungsinya.Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn.

Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam
semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus
kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh
dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya.
Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang
khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.

2.8. Diagnosa

2.8.1. Diagnosa Lapangan

Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;

- Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi.

- Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.

- Jumlah penderita gigitan.


Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap anjing, kucing
yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang (sedangkan anjing atau
kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh dan diperiksa otaknya)

Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit lebih dari satu orang tanpa
didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa observasi yang
kemudian specimen otaknya diperiksa dilaboratorium hasilnya adalah positif rabies,
selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi
dapat ditentukan sebagai berikut :

- Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 25 %.

- Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 50 %.

- Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 75 %.

- Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 100 %.

2.8.2. Diagnosa Laboratorium

Diagnosa rabies secara laboratorium didasarkan atas :

a. Penemuan badan negri (negri body)

b. Penemuan antigen

c. Penemuan virus (isolasi)

Antigen, badan negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron) sedangkan
kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri tidak selalu dapat
ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat mengganggu
pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus dilakukan sedemikian
rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus, cortex cerbri dan
cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar ludah. Bila negri body tidak ditemukan,
supensi otak (hippocampus) atau kelenjar ludah sub maksiler diinokulasikan intrakranial
pada hewan coba (suckling animals), misalnya hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).

Cara diagnosis rabies secara laboratoris dapat dilakukan dengan :

a. Mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan negri, yakni pewarnaan cepat Sellers,
FAT (Fluorescence Antibody Technique) dan histopatologik.

b. Antigen-antibody reaksi dengan uji virus nertralisasi, gel agar presipitasi atau reaksi
peningkatan komplemen dan FAT Isolasi virus secara biologis pada mencit atau in vitro
pada biakan jaringan diikuti identifikasi isolat dengan cara pewarnaan FAT atau uji virus
netralisasi.

2.9. Epidemiologi

Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak.
Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di
dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies.

Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies
kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.

Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan
kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar penghisap
darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika
latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing
gila.

Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi,
meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera
Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi
adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).
Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari rabies melalui
SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat
sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka seluruh pulau
Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta telah lebih
dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997.

Daerah yang secara historis bebas rabies (belum pernah ada kasus) adalah provinsi Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (kecuali Pulau Flores), Kalimantan Barat,
Papua, Irian Jaya Barat, Maluku Utara, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung
dan sampai saat ini tetap dapat dipertahankan bebas rabies.

Manusia yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian (100% Case

Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase tertinggi (99,4%) diikuti kucing
(0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan atau liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh
manusia yang digigit meliputi kepala (5%), tangan (28%), kaki(57%), lain-lain (10%).

2.10. Kejadian Rabies Dilapangan

Kejadian (kasus) positif rabies di lapangan dipengaruhi oleh :

2.10.1. Pola Penggigitan

Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yaitu :

a. Penggigitan karena provokasi

Penggigitan yang terjadi disini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung.
Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat
sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu. Bentuk-
bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai
dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk
menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat didepan anjing
yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.
b. Penggigitan tanpa provokasi

Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam
bentuk apapun. Dilapangan anjing yang menggigit secara tiba-tiba tadi biasanya sudah
menjadi ”wandering-dog” atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa tujuan dan
menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah
anjing liar atau anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.

2.10.2. Pola Penyebaran

Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak
dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di perdesaan yang
berkembang dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan
suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami yang sering terjadi pola
penyebaran rabies. Pada umumnya manusia merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari
korban gigitan. Karena sampai saat ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Baik
anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat
menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dapat
menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif
rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi.

2.11. Pembagian Status Daerah Rabies

1. Daerah Bebas

Kriterianya :

- Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies.

- Daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan
epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris.

2. Daerah Tertular

Kriterianya :
- Daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus pada hewan dan manusia (baik secara
berurutan atau tunggal) secara klinis epidemiologis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus
untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import)

3. Daerah Tersangka

Kriterianya :

- Daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi
belum dibuktikan secara laboratoris.

- Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.

2.12. Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies

Gambar 2.4. Penatalaksanaan Kasus gigitan Hewan Tersangka Rabies

Penderita gigitan Anjing, Kucing, Kera segera :

- Cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama 10 – 15 menit dan beri
anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat merah dll)

- Segera ke Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit untuk mencari pertolongan selanjutnya. Di
Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit di lakukan :

Penanganan luka gigitan :

- Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama 10– 15 menit dan
beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat merah dll)

- Amamnesis apakah didahului tindakan provokatif, hewan yang menggigit menunjukkan gejala
rabies, penderita gigitan hewan pernah divaksinasi dan kapan, hewan penggigit pernah
divaksinasi dan kapan.

- Identifikasi luka gigitan:

 Luka resiko tinggi : Jilatan/luka pada mukosa,luka diatas daerah bahu


(mukosa, leher, kepala), luka pada jari tangan, kaki, genetalia, luka

lebar/dalam dan luka yang banyak multiple wound)

 VAR (Vaksin Anti Rabies)

1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)

Produksi Institute Merieux Perancis (Verorab) Dosis Dewasa/anak sama yaitu : hari ke 0
(pertama berkunjung ke Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit). Diberikan 2 dosis @ 0,5 ml
diberikan deltoideus kanan/kiri.

Hari ke 7 dan 21 diberikan 0,5 ml lagi secara intra muskuler di deltoideus kanan/kiri. Apabila
VAR Verorab + SAR perlu diberikan booster pada hari ke 90.

2. Suckling Mice Brain Veccine (SMBV)

Produksi Bio Farma Bandung. Dosis : Dewasa, dasar 2 ml, diberikan 7x setiap hari sub cutan
didaerah sekitar pusar/umbillus. Ulangan 0,25 ml diberikan ke 11,15,30 dan 90 secara intra cutan
dibagian fleksor lengan bawah. Anak-anak 3 tahun ke bawah, dasar 1 ml diberikan 7x setiap hari
sub cutan disekitar daerah sekitar pusar/umbillus. Ulangan 0,1 ml diberikan hari ke 11,15,30,dan
90 secara intra cutan dibagian fleksor lengan bawah. Pemberian SMBV + SAR (Serum Anti
Rabies) Jadwal pemberian VAR dasar sama ulangan boostar jadwalnya 11, 15, 25, 35, dan 90.

SAR (Serum Anti Rabies)

SAR Heterolog (serum kuda) produksi Bio Farma Bandung, dosis 40 IU/Kg BB, harus dilakukan
skin test positif tidak boleh diberikan, kemasan vial = 20 ml(1 ml = 100 IU) Serum omolog,
misal IMDGAM produksi Pasteur Merieux Perancis, dosis 20 IU/Kg kemasan Vial 2 ml (1ml =
150 IU) cara pedisuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin sisanya intra
muskuler di gluleus/pantat.

2.13. Tipe-tipe Vaksin

Semua vaksin rabies untuk manusia mengandung virus rabies yang telah diinaktifkan.
1. Vaksin sel diploid manusia (HDCV)

Untuk mendapkatkan suatu suspensi virus rabies yang bebas dari protein asing dan protein
sistem saraf, virus rabies diadaptasi untuk tumbuh dalam lini sel fibroblast normal
manusia WI-38. Preparasi virus rabies dipekatkan oleh ultrafiltrasi dan diinaktivasi dengan
β-propiolakton. Tidak ada reaksi ensefalitik ataupun anafilaktik serius yang pernah dilaporkan.

2. Vaksin rabies, terabsorbsi (RVA)

Suatu vaksin yang dibuat dalam lini sel diploid yang berasal dari sel-sel paru janin kera rhesus
diijinkan di AS tahun 1988. Virus vaksin ini diinaktivasi oleh β-propiolakton dan dipekatkan
oleh adsorbsi dengan aluminium fosfat.

3. Vaksin sel embrio ayam yang dimurnikan (PCEC)

Vaksin ini dipreparasi dari strain virus rabies fixed flury LEP yang tumbuh dalam
fibroblast ayam. Diinaktivasi oleh β-propiolakton dan dimurnikan lebih lanjut oleh
sentrifugasi zonal.

4. Vaksin jaringan saraf

Dibuat dari otak domba, kambing atau tikus yang terinfeksi dan digunakan di banyak bagian
dunia termasuk Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Menimbulkan sensitisasi pada jaringan saraf
dan menghasilkan ensefalitis pasca vaksinasi (suatu penyakit alergi) dengan frekuensi
subscansial (0,05%). Perkiraan efektivitasnya pada orang yang digigit oleh hewan buas/gila
bervariasi dari 5 sampai 50%.

5. Vaksin embrio bebek

Vaksin ini dikembangkan untuk meminimalkan masalah ensefalitis pasca vaksinasi. Virus
rabies ditanam dalam telur bebek berembrio. Jarang terdapat reaksi anafilaktik, tetapi
antigenisitas vaksinnya rendah, sehingga beberapa dosis harus diuji untuk mendapatkan
respon antibodi yang memuaskan.

6. Virus hidup yang dilemahkan


Virus hidup yang dilemahkan yang diadaptasi untuk tumbuh pada embrio ayam (misalnya,
strai flury) digunakan untuk hewan tetapi tidak untuk manusia. Kadang-kadang vaksin
demikian bisa menyebabkan kematian oleh rabies pada kucing atau anjing yang disuntik.
Virus rabies yang tumbuh pada biakan sel hewan yang berlainan telah dipakai sebagai vaksin
untuk hewan piaraan.

2.14. Pencegahan Dan Pengendalian Rabies

2.14.1. Pencegahan

a. Pencegahan Primer

1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan
hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.

2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke daerah
bebas rabies.

3. Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah bebas


rabies.

4. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang ada
dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.

5. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah
divaksinasi.

6. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan
pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.

7. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke Kantor
Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
8. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter. Anjing
yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan
moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong).

9. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10


sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka
harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa.

10. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan

sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.

11. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1
meter.

b. Pencegahan Sekunder

Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko tertularnya


rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit
dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah
itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk mendapatkan
pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan.

Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu,
setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemic
rabies harus sedini mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat
dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.

c. Pencegahan Tersier

Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi perkembangan
ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang
membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan
dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies
berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang
digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment)
di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.

2.14.2. Pengendalian

a. Aturan Perundangan

Upaya pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan sejak lama, di Indonesia
dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan adanya Surat
Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri
Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No: 522/Kpts/Um/8/78; dan No:
143/tahun1978.

Penerapan aturan perundangan ini perlu ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih
efektif dan secara tegas memberikan otoritas kepada pelaksana untuk melakukan
kewajibannya sesuai dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat
kawasaan, maupun tingkat lokal.

b. Surveilans

Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program dalam rangka
pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis,
dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin. Informasi ini juga
penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.

c. Vaksinasi Rabies

Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera dapat diberi
vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk memperoleh kualitas vaksin yang
efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenui, baik vaksin yang
digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :
 Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian.

 Vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.

 Vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama.

 Vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya.

 Vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.

 Vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan menular pada manusia lewat gigitan
atau cakaran hewan penderita rabies atau dapat pula lewat luka yang terkena air liur hewan
penderita rabies.

Secara patogenesis, setelah virus rabies masuk lewat luka gigitan, selama dua minggu
virus tetap tinggal pada tempat masuk dan dekatnya. Kemudian, virus akan bergerak mencapai
ujung-ujung serabut saraf posterios tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Masa
inkubasi virus ini bervariasi, berkisar antara dua minggu sampai dua tahun. Tapi umumnya 3-8
minggu, tergantung jarak tempuh virus sebelum mencapai otak. Sesampainya di otak, virus akan
memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron-neuron, terutama
mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.

Akhirnya virus ini akan mencapai otak dan menyerang banyak bagian penting otak
yang menyebabkan kematian. Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditangani
dengan cepat dan sesegera mungkin, untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk
pada luka gigitan. Usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air
mengalir) dan sabun atau ditergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70
persen, betadine, obat merah atau lainnya).

3.2 Saran

Dengan adanya penulisan ini diharapkan agar setiap individu dapat berupaya mencegah
terinfeksi virus rabies karena mengetahui akan bahaya yang ditimbulkan oleh penyakit ini serta
dapat mensosialisasikan tentang penularan virus kepada pihak lain.

Anda mungkin juga menyukai