Anda di halaman 1dari 20

POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DI

KECAMATAN TABARU KABUPATEN


HALMAHERA BARAT

PAPER

diajukan untuk melengkapi tugas mata kuliah Agribisnis Kreatif


dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan
semester genap Program Studi Agribisnis.

Oleh:
Kelompok C

Fajar Zuriansyah (171510601143)


Putri Gazani Zahra (171510601148)
Moch Rifky H. (171510601165)
Noer Laili Inayatul M. (171510601169)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
I. PENDAHULUAN
Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian
dalam arti luas.  Dengan adanya reorientasi kebijakan pembangunan sebagaimana
tertuang dalam program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan)
maka pembangunan pertanian perlu melakukan pendekatan yang menyeluruh dan
integratif dengan sub sektor yang lain dalam naungan sektor pertanian. Rencana
pembangunan peternakan jangka panjang akan berada dalam ruang tahun 2005-
2020. Dalam ruang waktu itu, telah berlangsung pasar bebas regional dan pasar
bebas dunia (WTO) tahun 2020. Program pembangunan pertanian ke depan tentu
tidak terlepas dari usaha mengantisipasi keadaan dan perubahan-perubahan
tersebut. Walaupun dari tahun ke tahun, peran sektor pertanian terhadap PDB
secara relatif terus menurun, akan tetapi secara absolut atau nilai mutlak
sumbangan sektor pertanian terus meningkat, sehingga fungsi sektor pertanian
sebagai penyangga kehidupan ekonomi bangsa tidak dapat diabaikan. Dengan
kondisi yang demikian salah satu subsektor pertanian yang sudah lama
dipromosikan sebagai pertumbuhan baru adalah peternakan.
Data memperlihatkan bahwa baik secara relatif maupun absolut,
sumbangan subsektor peternakan terhadap pendapatan sektor pertanian terus
meningkat. Sehingga, komoditas peternakan memang layak menjadi sumber
pertumbuhan yang menjanjikan di masa depan. Terutama untuk industri
perunggasan, sapi potong dan sapi perah. Ketiga komoditas ini mempunyai
peluang besar untuk memenuhi konsumsi domestik sekaligus mensubstitusi impor
yang tahun-tahun terakhir ini terus melonjak, bahkan dapat juga diarahkan untuk
ekspor.
Daging khususnya daging sapi potong merupakan sumber protein hewani
yang banyak dibutuhkan oleh konsumen. Indonesia sampai saat ini belum mampu
memenuhi kebutuhan daging tersebut, sehingga sebagian dari kebutuhan masih
harus di impor. Kondisi yang demikian mengisyaratkan peluang untuk
pengembangan usaha budidaya ternak terutama sapi potong. Namun demikian,
kenyataan menunjukkan hal lain, dimana masih banyak hambatan dan kendala
yang harus dihadapi baik oleh peternak maupun pengusaha. Provinsi Jawa Timur
yang selama ini dijadikan andalan pemasok kebutuhan daging dalam negeri
berada dalam kondisi memprihatinkan. Dalam upaya menghadapi kebutuhan
daging lokal yang terus meningkat, juga dituntut untuk senantiasa mampu
menjaga kontinuitas pasokan ternak ke wilayah konsumen.
Salah satu daerah yang melakukan ternak sapi potong yaitu Kecamatan
Tinangkung Utara Kabupaten Banggai Kepulauan, dimana pola pengembangan
usaha peternakan sapi potong masih didominasi oleh system pemeliharaan induk -
anak (pembibitan) sebagai penyedia bakalan (cow calf operation). Program CCO
(cow calf operation) merupakan usaha untuk menghasilkan pedet atau sapi
bakalan, 99% dilakukan oleh peternakan rakyat yang berskala kecil dan umumnya
belum menerapkan usaha yang intensif. Kegiatan peternakan masyarakat di
Kecamatan Tinangkung Utara masih dikategorikan sebagai peternakan rakyat atau
keluarga, yaitu usaha yang dilakukan hanya membantu kegitan usahatani lainnya
atau masih memerlukan usaha pelengkap bagi kegiatan usaha lainnya, seperti
sebagai penyedia pupuk kandang, sumber uang kontan (tabungan), dan
dimanfaatkan tenaganya

II. PEMBAHASAN
A. Potensi Pengembangan Ternak Sapi Potong
1. Karakteristik Peternak
Umur merupakan salah satu hal yang dapat memperngaruhi aktivitas
seseorang. Umur seorang peternak dapat berpengaruh pada produktifitas kerja
mereka dalam kegiatan usaha peternakan. Umur juga erat kaitannya dengan pola
pikir peternak dalam menentukan sistem manajemen yang akan diterapkan dalam
kegiatan usaha peternakan (Anggraini dan Putra, 2017). Rata-rata umur para
peternak di Kecamatan Tabaru masih tergolong dalam usia produktif yaitu antara
15-57 tahun.
Pendidikan formal merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
kemampuan peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru. Tingkat
pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir peternak dalam menjalankan
usahanya. Peningkatan pengetahuan peternak dapat dilakukan melalui pendidikan
informal seperti pelatihan dan bimbingan teknis.
Tujuan pemeliharaan sebagai ternak potong dan kerja, sedangkan motivasi
peternak dalam memelihara ternak yaitu sebagai tabungan masa depan dan
menambah pendapatan keluarga. Pengalaman beternak menjadi indikator
keberhasilan peternak. Pengalaman beternak bisa dianggap peternak sudah lebih
berpengalaman dan akan mempengaruhi cara berfikir dan pengambilan keputusan
yang berhubungan dengan proses produksi.
Tabel 1. Karakteristik Peternak di Kecamatan Tabaru
No Karakteristik Responden
a. Umur Peternak (Tahun)
1 29-41 9
2 42-54 11
3 55-67 4
Rata-rata 44,6
b. Tingkat Pendidikan
1 Tidak Tamat SD 2
2 SD 12
3 SMP 8
4 SMA-PT 2
c. Jumlah Kepemilikan Ternak (Ekor)
1 1-13 19
2 14-27 4
3 ≥28 1
Rata-rata 10,2
d. Pengalaman Beternak (Tahun)
1 1,5-14 17
2 15-28 5
3 ≥29 2
Rata-rata 12,7
Sumber: Data Primer (2018)
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahu bahwa karakteristik peternak di
Kecamatan Tabaru terdiri dari umur peternak, tingkat pendidikan, jumlah
kepemilikan ternak dan pengalaman beternak. Rata-rata umur peternak di
Kecamatan Tabaru yaitu 44,6 tahun. Tingkat pendidikan peternak di Kecamatan
Tabaru paling banyak berada di tingkat SD, yaitu 12 orang. Rata-rata kepemilikan
ternak di Kecamatan Tabaru yaitu 10,2 ekor. Rata-rata pengalaman beternak di
Kecamatan Tabaru yaitu 12,7 tahun.
2. Manajemen Beternak
Manajemen beternak meliputi sistem pemeliharaan, kesehatan ternak dan
reproduksi. Pemeliharaan ternak sapi masih bersifat tradisional. Ternak anak
dilepas sepanjang hari di bawah pohon kelapa, sedangkan ternak betina dan
pejantan dewasa diikat di bawah pohon dan pada pagi/sore hari ternak digiring
oleh pemilik berpindah tempat untuk ternak beristrirahat.
Tabel 2. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong di Kecamatan Tabaru
No Uraian Satuan
1. Sistem pemeliharaan (%)
Ternak digembalakan sepanjang hari di bawah 100
pohon kelapa
2. Pengobatan penyakit pada ternak (%)
Tradisional 100
3. Pengetahuan tentang tanda-tanda birahi (%)
Tahu 90
Tidak 10
4. Pengetahun tentang teknologi produksi (%)
Tahu 0
Tidak 100
5. Sistem perkawinan (%)
Kawin alam 100
Inseminasi buatan 0
6. Pengetahuan tentang pelarangan penjualan
betina produktif (%)
Tahu 0
Tidak 100
Sumber: Data Primer (2018)
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa pada sistem pemeliharaan,
persentase peternak yang menggembalakan ternaknya sepanjang hari di bawah
pohon kelapa yaitu sebanyak 100%. Pengobatan penyakit pada ternak di
Kecamatan Tabaru yaitu dilakukan secara tradisional dengan persentase sebesar
100%. Pengetahuan tentang tanda-tanda birahi memiliki persentase tahu sebanyak
90% dan tidak tahu sebanyak 10%. Persentase pengetahuan tentang teknologi
resproduksi yaitu sebanyak 100% peternak tidak tahu. Sistem perkawinan yaitu
dilakukan secara kawin alam dengan persentase sebanyak 100%. Pengetahuan
tentang pelarangan penjualan betina produktif yaitu sebanyak 100% peternak
tidak tahu.
3. Sumber Daya Pakan dan Produktivitas Ternak
a. Produksi Hijauan Makanan Ternak dan Kualitas Pakan
Produksi hijauan pada lahan pengembalaan di bawah pohon kelapa sebanyak
32,91 ton/ha/tahun produksi segar atau setara dengan 7,05 ton/ha/tahun produksi
bahan kering. Analisis kualitas pakan dari hijauan yang berada di bawah pohon
kelapa berdasarkan komposisi zat-zat makanan, kandungan protein cukup baik
yakni 9,43. Hijauan yang terdapat di bawah pohon kelapa tergolong dalam
kelompok hijauan yang berkualitas tinggi dan mengandung sumber serat yang
baik untuk ternak sapi.
b. Kapasitas Tampung
Adanya upaya pemanfaatan terhadap padang penggembalaan yang ada,
dilakukan dengan menentukan kapasitas tampung. Kapasitas tampung merupakan
analisis kemampuan areal padang penggembalaan atau kebun rumput untuk dapat
menampung sejumlah ternak, sehingga kebutuhan hijauan rumput dalam satu
tahun bagi makanan ternak tersedia dengan cukup. Kapasitas tampung padang
pengembalaan atau kebun rumput, erat berhubungan dengan jenis ternak, produksi
hijauan rumput, musim, dan luas padang penggembalaan atau kebun rumput.
Rata-rata produksi hijauan rumput yaitu 219 gram/cuplikan dengan kapasitas
produksi 32.19 ton hijauan segar/ha. Berdasarkan data produksi hijauan tiap
hektar perkebunan kelapa dapat menampung sapi potong sebanyak 2.5 UT. Satu
unit ternak setara dengan satu ekor sapi potong dewasa dengan bobot 350 kg.
c. Produktivitas Ternak
Produktivitas ternak yang dimaksud adalah rata–rata bobot badan ternak
berdasarkan umur dan jenis kelamin. Rata-rata bobot ternak pada lokasi penelitian
adalah berdasarkan jenis kelamin dan umur adalah sapi jantan dewasa di atas 2
tahun adalah 305,94 kg dan betina 278,16 kg. Bobot sapi jantan anak dengan
umur 1 tahun sampai dengan 2 tahun adalah 144,71 dan betina anak 125,40 kg.
Bobot badan sapi potong di Kecamatan Tabaru Kabupaten Halmahera dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Bobot Badan Sapi Potong Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur
Uraian Jantan Betina
Anak Dewasa Anak Dewasa
Jumlah Ternak (ekor) 39 103 23 88
Bobot badan (kg) 144,71 305,94 125,4 278,16
0
Sumber: Data Primer (2018)

4. Sarana dan Prasarana Produksi Peternakan


Sarana dan prasarana produksi berupa kandang dan peralatan berupa tempat
makan dan minum tidak dimilki oleh para peternak sebab peternak sepanjang hari
mengembalakan ternaknya di bawah pohon kelapa. Keberadaan sarana prasarana
produksi seperti kandang sangat diperlukan dalam usaha peternakan karena
kandang akan menghindari ternak dari pencurian dan menghindarkan ternak dari
suhu yang ekstrim seperti saat musim penghujan atau saat musim kemarau.
Kecamatan Tabaru memiliki potensi untuk pengembangan ternak sapi potong
karena memiliki akses yang mudah terhadap berbagai fasilitas penunjang usaha
peternakan dan akses transportasi yang sangat baik antara Kecamatan dengan
Kecamatan lain ataupun Kabupaten ke Provinsi yang merupakan satu potensi
dalam pengembangan peternakan.

5. Kelembagaan/Fasilitas Pendukung
Faktor kelembagaan peternak turut berpengaruh dalam kegiatan usaha ternak,
dimana kelembagaan dapat menunjang keberhasilan dari usaha tersebut. Tetapi
dalam prakteknya dilokasi penelitian tidak ada kelompok tani yang terbentuk dan
usahanya hanya bersifat pribadi. Fasilitas pendukung berupa poskeswan juga
belum tersediah di Kecamatan. Adanya pihak perbankan dan koperasi
menyediakan dana peminjaman modal melalui kredit usaha belum dimanfaatkan
oleh hampir secara keseluruhan peternak.

B. Daya Saing Dan Strategi Ternak Sapi Di Indonesia


Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD), daya saing adalah kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau
antar daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang
relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional
(Sedyastuti, 2018). Daya saing merupakan tolak ukur kemampuan suatu
perusahaan yang menjadi pembeda dengan perusahaan lain yang terdiri dari
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Keunggulan kompetiti yaitu
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kinerja yang baik dibandingkan
perusahaan pesaing pada paar yang sama, sedangkan keunggulan komparatif yaitu
keunggulan yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa
dengan menggunakan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan
pesaing. Faktor-faktor penetu daya saing usaha sapi adalah:
1. Sumber daya
Sektor perternakan di Indonesa mempunyai potensi besar untuk
dikembangkan karena memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan sapi
potong, karena tersedianya pakan dari limbah agroindustri dan relatif rendahnya
upah tenaga kerja. Meskipun memiliki potensi yang besar namun produksi daging
sapi di Indonesia cenderung fluktuatif.

Produksi Daging Sapi di Indonesia


530000

520000
518484.03
510000
Ton
506660.77
500000
497971.7
490000
490420.77
486319.65
480000

470000
2015 2016 2017 2018 2019
Sumber: BPS, 2020
Gambar 1. Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2020
Berdasarkan gambar, produksi daging sapi di Indonesia mengalami fluktuatif
pada tahun 2015 hingga 2019. Tahun 2016 merupakan titik tertinggi sebesar
518.484 ton, yaitu terjadi kenaikan sebesar 2,3% dari tahun 2015. Kemudian
mengalami penurunan dan kenaikan berturut-turut pada tahun 2017 dan 2018
yaitu sebesar 486.319,7 ton dan 497.971,7 ton. Pada tahun 2019 merupakan titik
terendah dengan produksi sebesar 490.420,8 ton, yaitu terjadu penurunan sebesar
1,5%.

Kebutuhan Daging Sapi di Indonesia


800000
700000 738025
686270
600000 640000
604968
500000 Ton
400000
403668
300000
200000
100000
0
2015 2016 2017 2018 2019
Sumber: BPS, 2020
Gambar 2. Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2020
Jika dilihat pada gambar 2, diketahui bahwa kebutuhan daging sapi di
Indonesia mengalami fluktuasi dengan permintaan terbesar berada di tahun 2016
yaitu sebesar 738.025 ton dan produksi local hanya mampu memenuhi sebesar
518.484 ton. Kebutuhan daging sapi sangatlah besar, berbanding dengan produksi
local daging sapi yang tiap tahunnya belum mampu untuk memenuhi hal tersebut.
Padahal jika dilihat dari sumber daya pakan di Indonesia sangatlah melimpah
untuk sector perternakan, karena sebagian besar pekerjaan masyarakat Indonesia
adalah petani. Menurut Rouf, dkk. (2014), menyebutkan bahwa salah satu rumput
pakan ternak penggembalaan mampu memproduksi sebesar 25 ton/ha yang
memungkinkan terpenuhinya kebutuhan pakan sebesar 4,3 juta ekor.
Ketersediaan sumber pakan adalah tantangan dalam mengembangkan usaha
sapi potong. Sulitnya akses terhadap pasture (padang penggembalaan), khususnya
di Pulau Jawa, sehingga dalam pengembangannya yang perlu dipertimbangkan:
(1) Wilayah pengembangan memiliki areal pastura (padang penggembalaan) yang
masih luas lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah sapi; (2) Menggunakan
konsep integrasi usaha peternakan dengan usaha pertanian tanaman pangan dan
perkebunan, antara lain padi, jagung, tebu, karet, kakao atau kebun kelapa sawit;
dan (3) Peningkatan produksi hijauan melalui perbaikan budidaya hijauan pakan
ternak dan introduksi hijauan unggul.
Keunggulan lain dari usaha ternak sapi di Indonesia adalah: (1) Varietas sapi
Bali mampu hidup dan berkembang biak pada kondisi iklim panas, tingkat karkas
tinggi dan tingkat kematian anak rendah; (2) Sapi persilangan lokal dengan impor
mampu tumbuh dan berkembang baik di Indonesia; dan (3) Topografi berbentuk
datar hingga tinggi yang sesuai untuk sapi dari daerah subtropis atau
persilangannya. Namun hal tersebut tidak dapat dikembangkan dengan baik
apabila tata laksana pemeliharaan tadi mengalami kemajuan. Usaha perternakan di
Indonesia sebagian besar dilakukan oleh peternakan rakyat sehingga pemilaharaan
ternak sapi dilakukan secara tradisional. Perlu adanya efisiensi usaha dengan
perbaikan teknologi dan tata laksana pemeliharaan (Rouf dkk., 2014).
2. Tenaga Kerja
Keunggulan komparatif akan tercipta apabila tenaga kerja memiliki
keterampilan dalam tata pemeliharaan ternak. Indonesia memiliki keunggulan
kompetitif, karena kebanyakan memiliki biaya tenaga kerja yang lebih rendah.
Menurut data National Wages and Productivity Commission (NWPC), upah
minimum yang diterima pekerja per bulan Indonesia tahun 2013 sedikitnya
sebesar US$ 75,58 yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti
Filipina (US$ 171,36), Malaysia (US$ 241,02), Thailand (US$ 206,67). Hal ini
ternyata masih lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam (US$ 66,26) dan
Kamboja (US$ 60,0) (NWPC 2013). Hal tersebut merupakan keunggulan
tersendiri, karena dengan biaya input yang rendah maka biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan juga rendah. Kebijakan tenaga kerja yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan pengetahuan peternak mengenai budidaya sapi potong,
sehingga produktivitas tenaga kerja dapat meningka. Hal tersebut berkorelasi
positif antara tingkat pendidikan peternak dengan adopsi teknologi usaha sapi
potong. Semakin tinggi pendidikan peternak, maka semakin cepat adopsi
teknologi. Sehingga efisiensi dan teknik pemeliharaan yang baik dapat dilakukan.
3. Teknologi
Inovasi teknologi di subsector peternakan merupakan factor penentu daya
saing ternak sapi di Indonesia. Keberhasilan penerapan teknologi pada ternak sapi
sangat bergantung dari manajemen yang baik. Pemeliharaan sapi secara
tradisional sangat berpengaruh terhadap kondisi sapi itu sendiri. Hasil sapi potong
tradisional berdampak pada hasil sapi yang kurus atau bobot kurang lebih 50 kg
dari potensi yang diharapkan. Hal yang harus diperbaiki yaitu mulai dari
perbaikan kualitas pakan, lingkungan, kesehatan hewan, dan manajemen
pemeliharaan. Berdasarkan penelitian terdahulu, perubahan pola pemeliharaan
sapi melalui introduksi teknologi tepat guna berbasis sumber daya lokal dinilai
efektif dan efisien meningkatkan produktivitas. Sapi memberikan respon positif
terhadap perubahan pola pemeliharaan (Wahyuni dan Dewi, 2018).
Strategi pengembangan ternak sapi agar tercapainya swasembada ternak sapi
yang berkualitas perlu dilakukan perbaikan secara bertahap mulai dari aspek
usahatani, pasca produksi, penciptaan nilai tambah, kebijakan pemerintah, serta
pengembangan pemasaran dan perdagangan dengan system korporasi yang
strategis. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam mengembangkan ternak
sapi yaitu:
a. Pada aspek usaha tani, untuk memacu produksi perlu dilakukan (a) perluasan
kawasan usaha pada lokasi spesifik, (b) perbaikan mutu bibit dan reproduksi,
(c) perbaikan budi daya, dan (d) perbaikan pascapanen, yang bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi usaha tani dan pengolahan hasil.
b. Pada aspek teknologi, perlu dilakukan penelitian secara terusmenerus untuk
memperoleh inovasi teknologi dalam perbibitan, pakan, reproduksi,
kesehatan, dan manajemen budi daya yang dapat meningkatkan kinerja sapi
potong menjadi komoditas unggulan selanjutnya dapat didiseminasikan
kepada pengguna.
c. Pada aspek penciptaan nilai tambah, kegiatan yang perlu dilakukan yaitu
meliputi perluasan sarana distribusi atau jaringan jalan usaha tani dan sarana
transportasi, melakukan renovasi baik kandang maupun rumah potong hewan
di daerah sumber produksi sehingga dapat menyediakan daging lebih murah,
menambah kesempatan kerja, dan meningkatkan perkembangan ekonomi
wilayah.
d. Kebijakan pemerintah yang perlu dikembangkan mencakup sistem
permodalan, kelembagaan, sarana dan prasarana, kerja sama baik dalam
maupun luar negeri, serta pengembangan unit usaha bersama dan sistem
informasi. Kebijakan ini dapat memberikan pengaruh terhadap stabilisasi
harga sapi hidup dan daging sapi serta pemasaran yang efisien.

C. Langkah-Langkah Pengembangan Dan Pemanfaatan Potensi Ternak


Sapi
Berdasarkan potensi peternakan sapi potong pada bab sebelumnya, untuk
mendorong pengembangan peternakan sapi potong tidak hanya dibutuhkan
intensifikasi pengembangan kebelakang saja namun perlu dilakukan integritas
peternakan sapi potong dengan sektor pertanian lainya. Pengembangan peternakan
sapi potong berbasis pada potensi sumberdaya terutama sumberdaya pakan ternak
terutama pada upaya pengintegrasian antara komoditas pertanian dan peternakan.
Melalui integrasi tersebut diharapkan tercipta hubungan saling menguntungkan
(simbiosis mutualisme) antar komoditas. Sehingga sektor usaha pertanian mampu
menyediakan sumber pakan bagi ternak dan sebaliknya sektor usaha peternakan
mampu menjadi faktor pendukung usahatani tanaman yang lebih efisien dan
ramah lingkungan. Sehingga langka-langka untuk memngembangkan potensi
ternak sapi poto adalah penerapan SPR, integrase ternak dengan sektor pertanian,
dan pengembangan produk sangping ternak sapi potong.
Komoditas Ternak Sapi
Potong

Langkah-langkah
pengembangan dan
pemanfaatan

Penerapan Sentra Pengembangan produk Integrasi Sapi-pertanian


Peternakan Rakyat (SPR) sampingan (Sawit, Padi)
Limbah
Limbah Ternakternak
Industri
(Bahan Bakudijadikan
(kulit sapi Pupuk
Organik padat)/kompos
krupuk rambak)

Gambar 1. Skema pengembangan Ternak Sapi Potong

1. Penerapan Sentra Peternakan Rakyat (SPR)


SPR merupakan pusat pertumbuhan komoditas peternakan dalam suatu
kawasan peternakan yang digunakan sebagai media pembangunan peternakan dan
kesehatan hewan yang di dalamnya terdapat satu populasi ternak tertentu yang
dimiliki oleh sebagian besar peternak yang bermukim di satu desa atau lebih
dalam hal ini adalah peternak sapi potong, dan sumber daya alam untuk kebutuhan
hidup ternak (air dan bahan pakan ternak sapi). SPR berupaya mengoptimalkan
pelayanan (teknis, ekonomi, pendampingan dan pemasaran)merupakan
pengungkit dan agen perubahan dalam pengelolaan kelembagaan dan SDM
peternakan menuju terbentuknya usaha peternakan kolektif yang mandiri dan
berorientasi bisnis profit melalui pendampingan, pengawalan, aplikasi teknologi
dan informasi, transfer ilmu pengetahuan. Secara garis besar prinsip
pengembangan SPR adalah sebagai berikut:
a. Satu manajemen: Pengelolaan usaha peternakan sapi potong secara kolektif
dalam satu aturan menyangkut pelayanan teknis, pendampingan atau
pengawalan, ekonomis, dan pemasaran.
b. Penguatan pelayanan: Pemenuhan kebutuhan pelayanan teknis minimal dan
kebutuhan pelayanan lainnya untuk meningkatkan produksi ternak dan daya
saing peternakan. Contoh: Setiap SPR minimal harus ada Puskeswan dan Pos
IB.
c. Penguatan kelembagaan: Membentuk organisasi SPR maupun dalam bentuk
korporasi untuk mewujudkan usaha peternakan yang berorientasi bisnis dan
berbadan hukum
d. Peningkatan SDM: Meningkatkan kemampuan peternak dalam pengelolaan
organisasi dan kewirausahaan. Selain itu juga meningkatkan kemampuan
peternak dalam mengakses informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, serta
penguatan kendali produksi dan pasca produksi ternak.
e. Memenuhi Skala Usaha: Mengelola peternak skala kecil dengan kriteria
populasi tertentu sebagai produsen yang diorganisasi berorientasi bisnis.
f. Kemandirian usaha: Mendorong usaha peternakan menjadi usaha utama
sebagai usaha pokok untuk kesejahteraan peternak.
g. Pendampingan dan pengawalan (Litbang, dan PT): Pendampingan dan
pengawalan dimaksudkan untuk transfer ilmu dan teknologi secara efektif dan
efisien sesuai kondisi spesifik daerah baik oleh perguruan tinggi setempat
maupun instansi litbang.
h. Diversivikasi produk dan komoditas: Produk yang dikembangkan dalam SPR
tidak hanya komoditas utama peternakan saja melainkan dapat dikembangkan
menjadi produk di luar peternakan.

2. Integrasi Ternak Sapi Potong dengan Sektor Pertanian


a. Kawasan Integrasi Sawit Sapi
Intergrasi sawit-sapi dilakukan oleh kelompok peternak sapi dengan
perkebunan sawit. Tanaman sawit adalah tanaman tahunan perkebunan yang
memiliki potensi sebagai bahan pangan bagi ternak khusnya sapi. Sumber pangan
terbesar dalam integrasi sawit-sapi adalah bagian pelepah sawit. Pada umumnya
akan dilakukan pemangkasan pelepah sawit yang bertujuan untuk memperoleh
tanaman yang bersih dan mengoptimalkan tajuk tanaman dalam proses
photosintesis. Dengan pemangkasan pelepah sawit akan mempermudah
pengamatan terhadap buah sawit, mengurangi terjepitnya berondolan sehingga
memungkinkan buah sawit tumbuh besat, memperlancar penyerbukan alami, dan
mempermudah proses pemanenan. Sehingga dengan adanya perlakukan
pemangkasan pada tanaman sawit, limbah pelepah sawit dapat digunakan sebagai
campuran pakan ternak sapi. Selain pelepah sawit, limbah tanaman lain seperti
tandan buah kosong dan serat sawit dapat dimanfaatkan secara efektif dan efesien
sebagai bahan baku campuran pembuatan pupuk kompos dengan dikombinasikan
limbah padat kendang.

Gambar 2. Pola Integrasi Sawit-Sapi


Pola integrasi ini dinilai mampu meningkatkan hasil produktivitas
perkebunan sawit maupun peternakan sapi serta mampu menciptakan tambahan
penghasilan berupa produk pemanfaatan limbah perkebunan dan peternakan.
Bagian sawit seperti pelepah pisang hasil pemangkasan dicacah dan digunakan
sebagai bahan campuran pakan ternak, sedangkan limbah ternak dapat digunakan
untuk mendukung kegiatan budidaya tanaman sawit seperti pemanfaatan kotoran
ternak ssebagai bahan baku pupuk kompos. Urine ternak juga dapat dimanfaatkan
sebagai cairan pestisida tanaman.

b. Kawasan Integrasi Sawit-Pangan


Tanaman pangan sebagian besar terdiri dari dua kelompok besar yaitu
kelompok tanaman pangan lahan basas dan tanaman pangan lahan kering.
Tanaman pangan lahan basah adalah padi sawah, dan tanaman pangan lahan
kering antara lain seperti jagung, kedelai, ubi-ubian, dan shorgum. Pada pola
ntegrasi Sawit-Pangan, limha pertanian dan limbah industri pertanian dapat
dioptimalkan.

Gambar 3. Integrasi pada komoditas Padi


Pada pola integrasi dengan komoditas padi seperti gambar 3 diatas adalah
pengoptimalan limbah pertanian padi berupa jerami. Jerami dapat dilakukan
pengolahan baik secara basah maupun kering guna sebagai bahan pakan ternak
sapi. Jerami yang diolah menjadi pakan ternak nantinya akan tetap berujung pada
pemanfaatan sebagai pupuk organic padat (bio kompos) dan pupuk cair
(biourine). Sedangkan limbah industri komoditas padi yaitu berupa bekatul.
Bkatul dan dedak berpotensi menjadi sumber pakan konsentrak bagi ternak sapi,
serta sekam padi dapat digunakan untuk bahan baku pupuk organik padat.

3. Produk Pengembangan Ternak Sapi Potong


Salah satu upaya untuk memperolah efisiensi dan efektifitas usaha peternakan
adalah dengan mensinergikan antara peternakan dengan sektor usaha pertanian.
Dengan upaya ini permasalahan limbah ternak maupun limbah pertanian justru
dapat dimanfatkan untuk menambah nilai atau keuntungan. Manajemen
pengolahan limbah diperlukan supaya dalam suatu usaha peternakan mampu
mencapai efisiensi seluruh faktor produksi dan menghasilkan dampak yang
minimal. Sehingga dibutuhkan inovasi pemanfaatan limbah seperti pembuatan
pupuk kompos (organik padat), dan pemanfaatan limbah kulit sapi potong
menjadi krupuk kulit sapi.
a. Kompos (pupuk organik padat) berbahan baku “Feses” Ternak Sapi
Salah satu alternatif pemanfaatan kotoran ternak adalah dengan dilakukan
pengomposan dengan dicampur dengan sisa tanaman. Kompos dibuat dari bahan
organic dari berbagai sumber. Tahap pengomposan terdiri dari yahap dekomposisi
dan sanitasi, tahap konservasi, dan tahap sintetik. Berikut adalah bagaimana
memproduksi kompos (pupuk organik padat):
1. Ambil feses segar ternak sapi 1 bagian
2. Campur dengan arang sekam ½ bagian, serbuk gergaji ½ bagia, dan dolomit
2% (1:50) dari seluruh bahan baku, kemudian aduk hingga rata.
3. Siram adonan dengan EM4 dengan komposisi 1 sloki EM4 untuk 1 liter air,
kemudian diaduk hingga adonan kepal (60% kadar EM4)
4. Masukan kewadah komposter atau kedalam bahan kedap udara, dan periksa
temperature awal.
5. Periksa temperature harian, pastikan tidak lebih dari 50 derajat, apabila lebih
segera aduk adonan.
6. Dalam waktu 8-12 hari adonan sudah bisa dipanen sebagai kompos (pupuk
organik padat). Dengan ciri-ciri; warna coklat kehitaman, tidak mengeluarkan
aroma busuk/menyengat, apabila dikepal kompos akan menggumpal dan
mudah hancur.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukamta (2017) dengan judul
Pengelolaan Limbah Ternak Sapi Menjadi Pupuk Organik Komersial di Dusun
Kalipucang Bangun Jiwo Bantul didaptkan bahwa untuk menghasilkan 1 kwintal
pupuk organik membutuhkan biaya operasional sebesar Rp15.000 dan biaya
bahan baku kotoran ternak Rp 0. Apabila produksi dilakukan 4 kali dalam satu
bulan maka total biaya produksi adalah Rp60.000, menghasilkan 1 kwintal pupuk
organik dengan harga Rp2.500/kg maka total penerimaan adalah 100x2.500
sebesar Rp 2.50.000/produksi. Sehingga dalam satu bulan penerimaan sebesar Rp
1.000.000. keuntungan dari memproduksi pupuk organic dalam satu bulan dengan
skala produksi 1 kwintal adalah Rp.1.000.000-Rp 60.000 sebesar Rp 94.000.

b. Produk Krupuk Kulit Sapi (Rambak)


Salah satu limbah dari sapi potong adalah kulit sapi. Produk krupuk dipilih
dengan alasan karena krupuk merupakan kudapan favorit masyarakat Indonesia.
Proses pembuatan krupuk rambak pun tergolong mudah. Prose pembuatan krupuk
rambak sebagai berikut:
Bahan dan Alat membuat krupuk rambak:
1. 1 kg kulit sapi 7. Lahan penjemuran dan pengeringan
2. Air kapur 8. Wajan/penggorengan
3. Minyak goreng
4. Oven
5. Pisau
Bumbu-bumbu:
1. 15 siung bawang putih
2. 2 sendok makan gula pasir
3. 3 sendok makan garam
Proses pembuatan:
1. Rendam kulit sapi kurang lebih 2 hari, kemudian bersihkan dari kotoran
dan bulu-bulu.
2. Jemur kulit sapi hingga kering, kemudian potong-potong (sesuai selera)
3. Rebus potongan kulit sapi dengan bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan
hingga matang, kemudian tiriskan dan jemur/oven kembali hingga benar-
benar kering.
4. Setelah kering, goreng hingga mekar dan krupuk rambak siap disajikan.
5. Kemas dan beri label.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan(2019) dengan hasil
menunjukkan bahwa biaya tetap produksi keruvuk rambak “SOLMAD” berup
biaya penyusutan alat dan sewa bangunan sebesar Rp.178.944. Sedangkan
biaya variabel terdiri dari upah karyawan, biaya produksi, sewa mobil, BBM,
listrik, dan biaya pengiriman bahan baku sebesar Rp.3.578.100. Sehingga biaya
total usaha kerupuk rambak “SOLMAD” sebesar Rp. 3.757.004. Total
penerimaan yang terdiri dari produksi dan harga jual perbungkus menghasilkan
Rp.4.565.000. Maka pendapatan pada usaha kerupuk rambak “SOL-MAD” yang
terdiri dari Penerimaan dikurangi biaya total adalah sebesar Rp.807.956 per-bulan.
Berdasarkan data tersebut menghasilkan efisiensi dari peneri-maan dibagi
denganbiaya total yang menghasilkan 1,22 yang artinya efisien dan layak untuk
dikembangkan.

III. PENUTUP
Dalam pengembangan potensi ternak sapi potong dapat dilakukan dengan
cara ; 1) penerapan sentra peternakan rakyat, cara tersebut dilakukan dengan cara
menjadikan peternakan rakyat sebagai sumber pengghasilan utama yang akhirnya
akan membuat peternakan lebih berkembang. 2) Melakukan Integrasi Ternak Sapi
Potong dengan Sektor Pertanian, Pola integrasi ini dinilai mampu meningkatkan
hasil produktivitas perkebunan sawit maupun peternakan sapi serta mampu
menciptakan tambahan penghasilan berupa produk pemanfaatan limbah
perkebunan dan peternakan. 3) Produk pengembangan ternak sapi potong,
pengembangan yang dimaksud ialah pembuatan kompos dengan bahan baku feses
sapi atau kotoran sapi dan pembuatan rambak dengan menggunakan kulit sapi.
Daya saing merupakan tolak ukur kemampuan suatu perusahaan yang
menjadi pembeda dengan perusahaan lain yang terdiri dari keunggulan kompetitif
dan keunggulan komparatif. Faktor-faktor penetu daya saing usaha sapi adalah
sumber daya, tenaga kerja, dan teknologi.

IV. DAFTAR PUSTAKA


Anggraini, N. dan R. A. Putra, 2017. Analisis Potensi Wilayah Dalam
Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di Kecamatan Sijunjung
Kabupaten Sijunjung. Agrifo: Jurnal Agribisnis Universitas
Malikussaleh, 2(2), 82-100.

Kaunang, C. L. dan Y. L. Tulung. 2018. Potensi Pengembangan Ternak Sapi


Potong Dengan Pola Integrasi Kelapa-Sapi Di Kecamatan Tabaru
Kabupaten Halmahera Barat. Agri-Sosioekonomi, 14(1): 335-346.

Rouf, A. A., A. Daryanto, dan A. Fariyanti. 2014. Daya Saing Usaha Sapi Potong
Di Indonesia: Pendekatan Domestic Resources Cost. Wartazoa, 24(2): 97-
107.

Sedyastuti, K. 2018. Analisis Pemberdayaan UMKM Dan Peningkatan Daya


Saing Dalam Kancah Pasar Global. INOBIS: Jurnal Inovasi Bisnis Dan
Manajemen Indonesia, 2(1): 117-127.

Setiawan. 2019. Analisis Efisiensi Usahakerupuk Rambak “Solmad” Di Desa


Saroka Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep, 445-449.

Sukamta. 2017. Pengelolaan Limbah Ternak Sapi Menjadi Pupuk Organic


Komersial Di Dusun Kalipucang Bangunjiwo Bantu Yogyakarta.
Berdikar. 5(1):1-10.

Wahyuni, R., & Dewi, R. A. (2018). Teknologi Tepat Guna Mendukung


Pengembangan Sapi Lokal Pesisir Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian, 37(2): 49-58.

Anda mungkin juga menyukai