Anda di halaman 1dari 10

Infeksi Cacing Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta ... (Dyah Widiastuti, et.

al)

INFEKSI CACING Hymenolepis nana DAN Hymenolepis diminuta PADA TIKUS


DAN CECURUT DI AREA PEMUKIMAN
KABUPATEN BANYUMAS

Dyah Widiastuti* , Novia Tri Astuti*, Nova Pramestuti*, Tika Fiona Sari**
*Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara,
Jl. Selamanik No. 16A, Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia
**Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga,
Jl. Hasanudin No. 123 Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
E-mail: umi.azki@gmail.com

INFECTION OF Hymenolepis nana AND Hymenolepis diminuta HELMINTH ON RATS


AND SHREWS IN SETTLEMENT AREA IN BANYUMAS DISTRICT
Naskah masuk: 10 Agustus 2016 Revisi I: 22 Agustus 2016 Revisi II: 14 September 2016 Naskah diterima: 29 September 2016

Abstrak
.HEHUDGDDQ FDFLQJ ]RRQRWLN SDGD WLNXV GDQ FHFXUXW PHQ\HEDENDQ SHUPDVDODKDQ NHVHKDWDQ \DQJ VHULXV NDUHQD
hewan ini sering berasosiasi dengan aktivitas hidup manusia dan diketahui menjadi reservoir beberapa infeksi
NHFDFLQJDQ \DQJ SHQWLQJ EDJL NHVHKDWDQ PDV\DUDNDW 3HQHOLWLDQ LQL EHUWXMXDQ XQWXN PHQJLGHQWL¿NDVL GXD
VSHVLHV FDFLQJ ]RRQRWLN XWDPD +\PHQROHSLV GLPLQXWD GDQ + QDQD SDGD WLNXV GDQ FHFXUXW GL .DEXSDWHQ
%DQ\XPDV -DZD 7HQJDK GDQ PHQJDQDOLVLV SHUEHGDDQ NHEHUDGDDQ WHOXU FDFLQJ EHUGDVDUNDQ VSHVLHV
PHQJDQDOLVLV KXEXQJDQ NHEHUDGDDQ WHOXU FDFLQJ GHQJDQ MHQLV NHODPLQ GDQ NHPDWDQJDQ VHNVXDO WLNXV GDQ
FHFXUXW 3HQHOLWLDQ LQL PHUXSDNDQ VWXGL REVHUYDVLRQDO GHQJDQ GHVDLQ FURVV VHFWLRQDO :DNWX SHODNVDQDDQ
VXUYHL WDQJJDO 0HL 7LNXV GDQ FHFXUXW \DQJ WHUWDQJNDS NHPXGLDQ GLSHULNVD NHEHUDGDDQ WHOXU FDFLQJ
zoonotik dari material feses yang diperoleh dari sekum dengan metode pengapungan sederhana. Data yang
GLSHUROHK GLDQDOLVD VHFDUD GHVNULSWLI GDQ DQDOLWLN +DVLO SHQHOLWLDQ PHQXQMXNNDQ WLNXV 5 WDQH]XPL GDQ FHFXUXW
6XQFXV PXULQXV GLWHPXNDQ WHULQIHNVL + QDQD 6HGDQJNDQ WHOXU FDFLQJ + GLPLQXWD KDQ\D GLWHPXNDQ SDGD
WLNXV 5 WDQH]XPL $GD SHUEHGDDQ VLJQL¿NDQ LQIHNVL WHOXU FDFLQJ + QDQD SDGD 5 WDQH]XPL 0XV PXVFXOXV
GDQ 6 PXULQXV ,QIHNVL FDFLQJ WHUVHEXW SDGD WLNXV GDQ FHFXUXW SHUOX GLZDVSDGDL WHUNDLW SRWHQVL ]RRQRWLN NH
manusia.

Kata kunci WHOXU FDFLQJ +\PHQROHSLV QDQD +\PHQROHSLV GLPLQXWD WLNXV FHFXUXW

Abstract
7KH RFFXUUHQFH RI ]RRQRWLF KHOPLQWKV LQ UDWV DQG VKUHZV FRQVWLWXWH VHULRXV SXEOLF KHDOWK ULVNV DV WKHVH DQLPDOV
FRPPRQO\ FRKDELW ZLWK KXPDQV DQG DUH QDWXUDO UHVHUYRLUV RI VRPH KHOPLQWK LQIHFWLRQV RI SXEOLF KHDOWK
LPSRUWDQFH 7KLV VWXG\ DLPHG WR GHWHUPLQH WKH SUHYDOHQFH RI +\PHQROHSLV GLPLQXWD DQG + QDQD LQ UDWV DQG
VKUHZ DQG DQDO\]H WKH GLIIHUHQW SUHVHQFH RI ]RRQRWLF KHOPLQWK¶V HJJV EDVHG RQ VSHFLHV VH[ DQG VH[XDO PDWXULW\
RI UDWV DQG VKUHZ LQ %DQ\XPDV 'LVWULFW 8VLQJ FURVV VHFWLRQDO GHVLJQ WKLV REVHUYDWLRQDO VWXG\ ZDV FRQGXFWHG RQ
0D\ 7KH WUDSSHG UDWV DQG VKUHZV ZHUH VFUHHQHG IRU WKH WZR ]RRQRWLF KHOPLQWKV IURP WKH FDHFXP RI
UDWV DQG VKUHZV E\ WKH VLPSOH ÀRDWDWLRQ WHFKQLTXH &ROOHFWHG GDWD ZHUH DQDO\]HG GHVFULSWLYHO\ 5HVXOWV VKRZHG
WKDW RXW RI UDWV DQG VKUHZ LQ %HML YLOODJH ZHUH LQIHFWHG ZLWK + GLPLQXWD DQG ZLWK + QDQD
ZKHUHDV RXW RI UDWV DQG VKUHZ LQ .HGXQJ 3ULQJ YLOODJH ZHUH LQIHFWHG ZLWK + QDQD DQG QR + GLPXQWD
LQIHFWLRQ ZHUH IRXQG ,QIHFWLRQ RI + GLPLQXWD DQG + QDQD LQ UDWV ZDV FRQVLGHUHG WR EH RI LPPHQVH SXEOLF KHDOWK
VLJQL¿FDQFH LQ KXPDQ SRSXODWLRQ ZKR HDVLO\ JHW LQIHFWHG DV WKHVH DQLPDOV FRPPRQO\ FRKDELW ZLWK KXPDQV

Keywords: helminth eggs, H. nana, H. diminuta, rats, shrew

81
Vektora Volume 8 Nomor 2, Oktober 2016: 81 - 90

PENDAHULUAN himenolepiasis pada manusia. Pada manusia, infeksi H.


Tikus dan cecurut merupakan kelompok hewan nana tidak memerlukan hospes perantara. Infeksi terjadi
yang tersebar luas di seluruh belahan dunia. Jumlah melalui tertelannya telur. Telur menetas dan onkosfer
hewan anggota kelompok ini sangat melimpah dan masuk mukosa, usus halus dan menjadi cysticercoid.
kehidupan mereka sangat berasosiasi dengan manusia Cysticercoid bersarang dalam tunica propria dari villi
dalam aktivitas mencari pakan ataupun tempat bersarang. usus halus. Setelah beberapa hari kembali ke rongga usus
Di negara tropis maupun subtropis, minimal ada 20 halus menjadi dewasa. Tiga puluh hari sesudah infeksi
spesies tikus yang telah teridentifikasi sebagai hama akan ditemukan telur di dalam tinja. Kadang-kadang telur
yang sering menimbulkan kerusakan hasil pertanian tidak dikeluarkan bersama tinja, tetapi menetas di dalam
(Claveria et al, 2005). Di lingkungan pemukiman, tikus usus, onkosfer yang keluar menembus villi usus dan
sering ditemukan merusak bahan-bahan makanan, alat- siklus hidupnya akan berulang. Hal ini disebut autoinfeksi
alat elektronik, dan lain-lain sehingga menimbulkan interna yang dapat menyebabkan infeksi menjadi berat
kerugian secara ekonomis (Waugh et al, 2006). (Safar, 2010). Tidak diperlukannya hospes perantara
Sedangkan cecurut merupakan hewan insektivora dalam siklus hidup H. nana dan kondisi autoinfeksi
yang berhabitat di sekitar rumah. Hewan ini memakan dianggap sebagai faktor utama yang mendukung tingkat
berbagai jenis serangga seperti kecoa dan belalang infeksi yang lebih tinggi pada populasi ketika terinfeksi
serta sisa-sisa makanan seperti beras, gandum atau oleh cacing tersebut (Ahmad, 2009).
sayuran. Cecurut tidak terlalu banyak menimbulkan Infeksi pada manusia kebanyakan terjadi secara
kerusakan seperti tikus, namun keberadaan hewan ini langsung dari tangan ke mulut. Hal ini sering terjadi
di lingkungan rumah akan menimbulkan gangguan pada anak-anak umur 15 tahun ke bawah. Kontaminasi
kenyamanan. Hal ini dikarenakan cecurut memiliki dengan tinja tikus perlu mendapat perhatian. Infeksi
perilaku defekasi dengan frekuensi yang relatif sering pada manusia selalu disebabkan oleh telur yang tertelan
dan dropletnya sering mengotori lantai rumah. Selain dari benda-benda yang terkena tanah, dari tempat
itu, cecurut juga sering mengeluarkan bau yang tidak buang air atau langsung dari anus kemulut. Kebersihan
sedap yang merupakan bentuk perlindungan dirinya perorangan terutama pada keluarga besar dan panti
dari musuh alami (Liat, 2015). asuhan harus diutamakan (Gandahusada et al, 2006).
Selain menimbulkan berbagai kerusakan dan Hasil survei di Turki menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan kenyamanan, tikus dan cecurut juga memiliki H. nana pada manusia antara 0,02 – 14,38 %, sedangkan
peran yang signifikan dalam penyebaran penyakit pada hewan yang dibiakkan di laboratorium antara 13,3 –
menular pada manusia. Beberapa penyakit yang telah 100 % (Gonenc, 2002). Penelitian kasus himenolepiasis
diketahui dapat ditularkan oleh tikus diantaranya cacing pada manusia di Indonesia pernah dilakukan di Provinsi
zoonotik, leptospirosis, rat-bite fever, Q-fever dan Kalimantan Selatan pada tahun 2012 (Annida et al, 2012).
KDHPRUUKDJLF IHYHU (Coomansingh et al, 2009). Cacing Sedangkan, infeksi H. diminuta dan H. nana pada tikus
zoonotik utama pada tikus rumah yang berperan dalam pernah dilakukan oleh Priyanto (2014) di Kabupaten
kesehatan yaitu &DSLOODULD KHSDWLFD, Hymenolepis nana, Banjarnegara. Selain itu, Pramestuti and Widiastuti
H. diminuta and 7ULFKLQHOOD VSLUDOLV (Stojcevic et al, (2015) juga melaporkan adanya infeksi beberapa spesies
2004). Infeksi kecacingan pada manusia di Kabupaten cacing yang ditemukan di organ sekum tikus di Desa
Banyumas belum pernah dilaporkan. Akan tetapi, Kedung Pring Kecamatan Kemranjen dan Desa Beji
pengamatan mengenati potensi risiko tersebut tetap Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Banyumas.
penting dilakukan terkait dengan keberadaan infeksi Hymenolepis diminuta memiliki distribusi yang
pada tikus rumah yang memiliki kebiasaan berada di luas di seluruh dunia dan hewan rodensia merupakan
rumah dan ada kemungkinan kontaminasi makanan inang definitifnya. Infeksi pada manusia relatif jarang
dan air yang dikonsumsi manusia melalui droplet yang ditemukan, namun tetap dapat terjadi melalui hos-
dikeluarkan oleh tikus dan cecurut (Battersby et al, pes perantara berupa arthropoda yang membawa cys-
2002). Hal ini dikarenakan dalam siklus hidup H. nana ticercoids cacing tersebut. Berbeda dengan H. nana,
dan H. diminuta fase infektif akan keluar dari tubuh H. diminuta memiliki hospes perantara yaitu larva
inang melalui feses ke lingkungan sehingga kontaminasi pinjal tikus dan kumbang tepung dewasa. Dalam
makanan atau air oleh feses akan memperbesar peluang tubuh serangga ini embrio yang keluar dari telurnya
terjadinya transmisi kedua cacing zoonotik ini. berkembang menjadi cycticercoid. Manusia terinfeksi
Hymenolepis nana merupaka cestoda yang dapat jika secara tidak sengaja mengkonsumsi larva pinjal
menginfeksi tikus, primata dan manusia. Cacing H. atau kumbang tepung yang mengandung cycticercoid
diminuta dan H. nana dapat menimbulkan penyakit (Safar, 2010).

82
Infeksi Cacing Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta ... (Dyah Widiastuti, et. al)

Cacing pita H. diminuta ditularkan ketika telur tikus dilakukan selama 3 hari di Desa Kedung Pring,
dikonsumsi oleh arthropoda sebagai hospes perantara Kecamatan Kemranjen dan Desa Beji, Kecamatan
seperti kecoa dan kumbang tepung. Telur kemudian Kedung Banteng Kabupaten Banyumas.
berkembang menjadi cysticercoid dalam rongga tubuh
arthropoda vektor. Ketika arthropoda infektif termakan Penangkapan Tikus dan Cecurut
oleh tikus, cysticercoids akan berkembang menjadi cacing Penangkapan tikus dan cecurut dilakukan dengan
pita dewasa dalam usus. Apabila arthropoda infektif tidak memasang perangkap tikus hidup (single live trap)
sengaja tertelan oleh manusia berkembang menjadi cacing sebanyak 170 perangkap di Desa Kedung Pring dan 160
pita dewasa dalam usus dan telah dilaporkan di Jamaika, perangkap di Desa Beji. Perangkap dipasang pada 40
Italia dan Spanyol (Coomansingh et al, 2009). rumah penduduk untuk setiap lokasi selama 2 malam
Peluang penularan pada manusia akan meningkat berturut-turut dan diletakkan di bagian dalam dan luar
pada komunitas di lingkungan yang berhubungan erat dari masing-masing rumah. Tikus yang tertangkap ke-
dengan tikus. Infeksi H. diminuta pada manusia memiliki mudian diidentifikasi spesies, jenis kelamin dan umur
spektrum gejala yang luas, mulai dari asimtomatis, nyeri relatif (dewasa dan muda). Penentuan umur relatif tikus
perut, iritabilitas, pruritis, dan eosinofilia (Ahmad et al, dilakukan dengan mengamati alat kelamin sekunder.
2014). Jenis kelamin tikus dapat dilihat dari organ reproduksi
Kabupaten Banyumas merupakan salah satu sekunder (mammae/testis). Tanda-tanda organ repro-
kabupaten yang memiliki masalah kesehatan yang terkait duksi sekunder dapat dilihat pada tikus dewasa,
dengan penyakit tular rodensia seperti leptospirosis. sedangkan tikus muda belum terlihat organ reproduksi
Kasus leptospirosis di Kabupaten Banyumas ditemukan sekunder. Adapun cecurut dari spesies 6XQFXV PXULQXV
sejak tahun 2010. Data Dinas Kesehatan (DKK) diidentifikasi dari ciri morfologi berupa hidung yang
Kabupaten Banyumas menyebutkan sampai awal Mei memanjang, warna bulu keabu-abuan dan putting susu
2014 terdapat 2 suspek leptospirosis (positif leptotek) berjumlah 6 buah (Liat, 2015).
masing-masing dari Desa Kedung Pring Kecamatan
Kemranjen dan Desa Beji Kecamatan Kedung Banteng.
Pengolahan Sampel
Lokasi penelitian merupakan area pemukiman yang
Sampel yang diperiksa adalah feses tikus yang
beresiko terhadap penularan zoonosis melalui tikus
diambil dari organ dalam sekum. Sekum dari masing-
dan cecurut di Kabupaten Banyumas. Hasil penelitian
masing tikus dimasukkan dalam botol plastik berisi
Pramestuti (2015) melaporkan bahwa pada sekum tikus
NaCl fisiologis dan diperiksa di Laboratorium Parasi-
di areal permukiman Kabupaten Banyumas ditemukan
tologi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Isolasi telur
telur cacing Toxocara spp. (2,44%), Capillaria hepatica
cacing dari sampel feses dilakukan dengan metode
(2,44%), Echinostoma spp. (2,44%) dan Ancylostoma
pengapungan. Sampel feses yang ada di organ sekum
spp. (12,19%) di Desa Beji serta Echinostoma spp. (17,39
dimasukkan ke dalam mortir lalu ditambahkan 40 ml
%) dan Ancylostoma spp. (13,04%) di Desa Kedung
air. Larutan feses dimasukkan ke dalam tabung reaksi
Pring. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan
15 ml, lalu disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm
agen penyakit zoonosis lain seperti cacing H.
selama 10 menit. Supernatant dibuang, lalu ditambahkan
diminuta dan H. nana yang dapat menyebabkan
larutan pengapung (NaCl jenuh) dengan volume ± 12
penyakit himenolepiasis. Penelitian ini bertujuan
ml pada endapan feses yang diperoleh. Endapan feses
untuk mengidentifikasi telur cacing H. diminuta
diaduk dengan larutan pengapung menggunakan batang
dan H. nana dalam organ sekum tikus dan cecurut
pengaduk hingga tercampur sempurna. Selanjutnya
pada area pemukiman di Kabupaten Banyumas,
campuran disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm
menganalisis perbedaan infeksi telur cacing zoonotik
selama 10 menit. Ditambahkan larutan pengapung ke
berdasarkan spesies, dan menganalisis hubungan
dalam masing-masing tabung reaksi berisi campuran
antara infeksi telur cacing zoonotik dengan jenis
materi feses dan larutan pengapung hingga larutan pada
kelamin dan umur tikus/cecurut. permukaan tabung tampak cembung. Didiamkan selama
20 menit, lalu diangkat permukaan larutan pengapung
BAHAN DAN METODE dengan menggunakan GHFN JODVV. Selanjutnya dilakukan
Penelitian ini merupakan studi observasional pengamatan di bawah mikroskop pada perbesaran 400 x
dengan desain FURVV VHFWLRQDO. Waktu pelaksanaan survei (Maff, 1971). Telur cacing yang ditemukan diidentifikasi
berlangsung pada tanggal 5-14 Mei 2014. Penangkapan spesies berdasarkan ciri morfologinya.

83
Vektora Volume 8 Nomor 2, Oktober 2016: 81 - 90

Analisis Data telur cacing H. diminuta hanya ditemukan pada spesies


Analisis data yang digunakan adalah analisis des- tikus R. tanezumi sebesar 18,75%. Berdasarkan hasil
kriptif, yaitu dengan menyajikannya dalam bentuk uji Kruskal-Wallis H pada infeksi telur cacing H.
tabel, gambar, dan narasi. Analisis perbedaan infeksi nana menunjukkan p-value (0,02) < 0,05. Hal ini
telur cacing H. nana dan H. diminuta berdasarkan berarti ada perbedaan signifikan infeksi telur cacing
spesies tikus/cecurut dengan uji Kruskal-Wallis H. H. nana diantara ketiga spesies tersebut. p-value
Sementara hubungan infeksi telur cacing H. nana dan infeksi telur cacing H. diminuta (0,22) > 0,05, berarti
H. diminuta jenis kelamin dan tingkat kematangan tidak ada perbedaan signifikan infeksi telur cacing
seksual tikus/cecurut (dewasa atau muda) dianalisis H. diminuta diantara ketiga spesies tersebut.
secara statistik menggunakan uji Chi-Square. Tabel 2 menunjukkan prevalensi telur cacing H.
nana dan H. diminuta lebih banyak pada tikus/cecurut
HASIL jantan (16,67% dan 12,50%) daripada tikus dan cecurut
Hasil penangkapan tikus di Desa Kedung Pring, betina. Berdasarkan hasil uji Chi-Square pada infeksi
Kecamatan Kemranjen dan Desa Beji, Kecamatan telur cacing H. nana menunjukkan p-value (0,357) >
Kedung Banteng didapatkan spesies tikus R. tanezu- 0,05, artinya tidak ada hubungan infeksi telur cacing
mi sebanyak 64 ekor (61,5%), Mus musculus 8 ekor H. nana dengan jenis kelamin. p-value infeksi telur
(7,7%) dan cecurut Suncus murinus 32 ekor (30,8%). cacing H. diminuta (0,776) > 0,05, berarti tidak ada
Identifikasi telur cacing H. diminuta dan H. nana pada hubungan infeksi telur cacing H. diminuta dengan
feses tikus dan cecurut yang diambil dari organ dalam jenis kelamin.
sekum ditampilkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Keberadaan Telur Cacing H. diminuta dan H. nana pada Sekum Tikus/Cecurut Hasil Penangkapan
selama 2 Hari pada Bulan Mei 2014 di Desa Beji, Kecamatan Kedung Banteng dan Desa Kedung
Pring, Kecamatan Kemranjen
™ 6DPSHO 3RVLWLI 7HOXU FDFLQJ
No Spesies Tikus/Cecurut ™ 6DPSHO 6HNXP 'LSHULNVD
H. nana % H. diminuta %
1 R. tanezumi 64 4 6,25 12 18,75
2 Mus musculus 8 0 0,00 0 0,00
3 Suncus murinus 32 10 31,25 0 0,00
Total 104 14 13,46 12 11,54

Tabel 1 menunjukkan bahwa prevalensi telur Tabel 3 menunjukkan prevalensi telur H. nana lebih
cacing H. nana paling banyak ditemukan pada spesies banyak pada tikus dan cecurut muda (28,57%) daripada
cecurut 6XQFXV PXULQXV sebesar 31,25%. Sedangkan, dewasa (11,11%). Sedangkan, prevalensi telur cacing

Tabel 2. Keberadaan Telur Cacing H. diminuta dan H. nana Berdasarkan Jenis Kelamin Tikus/Cecurut Hasil
Penangkapan selama 2 Hari pada Bulan Mei 2014 di Desa Beji, Kecamatan Kedung Banteng dan
Desa Kedung Pring, Kecamatan Kemranjen
™ 6DPSHO 3RVLWLI 7HOXU FDFLQJ
No Jenis Kelamin Tikus/Cecurut ™ 6DPSHO 6HNXP 'LSHULNVD
H. nana % H. diminuta %
1 Jantan 48 8 16,67 6 12,50
2 Betina 56 6 10,71 6 10,71
Total 104 14 13,46 12 11,54

84
Infeksi Cacing Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta ... (Dyah Widiastuti, et. al)

Tabel 3. Keberadaan Telur Cacing H. diminuta dan H. nana Berdasarkan Kematangan Seksual Tikus/Cecurut
Hasil Penangkapan selama 2 Hari pada Bulan Mei 2014 di Desa Beji, Kecamatan Kedung Banteng
dan Desa Kedung Pring, Kecamatan Kemranjen
™ 6DPSHO 3RVLWLI 7HOXU FDFLQJ
No Kematangan Seksual Tikus/Cecurut ™ 6DPSHO 6HNXP 'LSHULNVD
H. nana % H. diminuta %
1 Dewasa 90 10 11,11 12 13,30
2 Muda 14 4 28,57 0 0,00
Total 104 14 13,46 12 11,54

H. diminuta hanya menginfeksi tikus/cecurut dewasa. Gambar 1 menunjukkan bahwa telur H. diminuta
Berdasarkan hasil uji Chi-Square pada infeksi telur dan H. nana memiliki beberapa perbedaan. Telur H.
cacing H. nana menunjukkan p-value (0,075) > 0,05, diminuta tidak memiliki filamen polar, sedangkan telur
artinya tidak ada hubungan infeksi telur cacing H. H. nana memiliki filamen polar. Bentuk telur H. diminuta
nana dengan kematangan seksual. p-value infeksi relatif bulat dan cenderung kekuningan, sedangkan H.
telur cacing H. diminuta (0,146) > 0,05, berarti nana cenderung oval dan lebih transparan.
tidak ada hubungan infeksi telur cacing H. diminuta Gambaran sebaran rumah positif ditemukan tikus/
dengan kematangan seksual. cecurut terinfeksi telur cacing H. nana dan H. diminuta
Identifikasi spesies H. diminuta dan H. nana dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
dilakukan berdasarkan morfologi telur yang diperoleh
dari sampel feses tikus dan cecurut (Gambar 1).

Gambar 1. Morfologi telur Hymenolepis diminuta (a) dan Hymenolepis nana (b)

85
Vektora Volume 8 Nomor 2, Oktober 2016: 81 - 90

(a)

(b)
Gambar 2. Sebaran Tikus Positif H. nana dan H. diminuta di Desa Beji (a) dan Kedung Pring (b)

86
Infeksi Cacing Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta ... (Dyah Widiastuti, et. al)

PEMBAHASAN menunjukkan bawa dari 12.000 sampel feses tikus


Cacing dari genus Hymenolepis menyebabkan efek yang diperiksa untuk proglotid atau cacing dewasa di
patologis penting bagi kesehatan manusia (Ceruti et usus ditemukan infeksi H. diminuta pada 393 sampel
al, 2001). Himenolepiasis ringan hanya menimbulkan (3,27%) di Kota Allama Iqbal, 469 sampel (3,9%) di
gejala yang minimal atau sama sekali tanpa gejala. Kota Walled, dan 415 sampel (3,46%) di stasiun kereta
Infeksi berat terutama pada siswa-siswa sering ditandai api (Ahmad, 2009).
dengan sakit perut, diare, pusing, dan sakit kepala. Studi di Meksiko menunjukkan sebanyak 23.3%
Eosinofilia terjadi pada 10-15% kasus. Pada infeksi anak-anak terinfeksi Hymenolepis, 22,6% terinfeksi H.
berat sekali yang disebut hiperinfeksi, cacing dewasa nana dan 0.7% terinfeksi H. diminuta. Permasalahan
dapat mencapai 2000 ekor pada seorang penderita utama dari penyebaran infeksi ini adalah higiene yang
(Sandjaja, 2007). kurang. Cacing ini merupakan cacing Cestoda yang
Identifikasi telur dilakukan dengan pengamatan umum ditemukan pada tikus dan mencit. Infeksi parasit
morfologi telur dan dicocokkan dengan kunci ini biasanya tanpa gejala tetapi dapat juga menyebabkan
identifikasi. Gandahusada et al (2006) menjelaskan sakit perut, diare, anoreksia, pusing dan iritabilitas.
bahwa telur H. nana berbentuk lonjong, ukurannya 30- Infeksi ini biasanya dapat ditemukan pada anak-anak
47 mikron, mempunyai lapisan yang jernih dan lapisan kecil yang kontak dekat dengan anjing atau hewan
dalam yang mengelilingi sebuah onkosfer dengan pengerat. Telur yang ditemukan dalam kotoran tikus
penebalan pada kedua kutub. Dari masing-masing kutub dan mencit memerlukan hospes perantara. Anak-anak
keluar 4-8 filamen. Perbedaan dengan H. nana, telur dan hewan pengerat tidak sengaja menelan arthropoda
H. diminuta berbentuk agak bulat, berukuran 60-79 terinfeksi dan berkembang menjadi cacing dewasa
mikron, mempunyai lapisan luar yang jernih dan lapisan (Martinez-barbabosa et al, 2010).
dalam yang mengelilingi onkosfer dengan penebalan Prevalensi telur cacing H. diminuta dan H. nana di
pada kedua kutub, tetapi tanpa filamen. Pengamatan Desa Beji dan Kedung Pring lebih banyak ditemukan
pada mikroskop menunjukkan bahwa telur H. nana pada tikus dan cecurut jantan daripada betina. Hal
tampak lebih jernih dibandingkan H. diminuta. Selain ini sejalan dengan penelitian Ahmad et al (2014) di
itu, pada telur H. nana juga terlihat adanya filament Lahore, Pakistan bahwa H. diminuta lebih banyak
polar sedangkan pada telur H. diminuta tidak ditemukan ditemukan pada tikus/mencit jantan (43,8%) daripada
adanya filament polar (Gambar 1). betina (29,3%). Hal yang sama juga dilaporkan oleh
Berdasarkan hasil uji statistik terdapat perbedaan (Goswami et al, 2009) di India. Daya jelajah tikus
signifikan infeksi telur cacing H. nana diantara spesies jantan dari satu tempat ke tempat yang lain lebih tinggi
R. tanezumi, 0XV PXVFXOXV dan S. murinus (p < 0,05). sehingga mempunyai peluang lebih besar terinfeksi dari
Telur cacing Hymenolepis nana pada penelitian ini intermediate hosts (Ahmad et al, 2014).
ditemukan pada sekum tikus R. tanezumi dan cecurut Telur cacing H. nana lebih banyak ditemukan pada
6XQFXV PXULQXV. Penelitian lain oleh Priyanto dkk (2014) tikus dan cecurut muda daripada dewasa, sedangkan telur
di Kabupaten Banjarnegara menunjukkan bahwa cacing cacing H. diminuta lebih banyak pada tikus dan cecurut
H. nana juga ditemukan pada organ usus halus spesies dewasa. Tingkat infeksi lebih tinggi pada tikus dewasa
R. tanezumi (5,4%). Studi di Lahore menunjukkan bawa daripada tikus muda karena konsumsi pakan lebih
dari 1200 rodent yang diperiksa ditemukan infeksi H. banyak dan perilaku tikus dewasa jauh daya jelajahnya
nana pada 535 ekor rodent (44,6%) di Kota Allama dibandingkan dengan tikus muda (Ahmad et al, 2014).
Iqbal, 676 ekor (67,2%) di Kota Walled, dan 792 ekor Selain itu, prevalensi H. diminuta dan H. nana lebih
(66,0%) di stasiun kereta api (Ahmad, 2009). tinggi pada tikus dewasa disebabkan oleh paparan oleh
Telur cacing H. diminuta dalam penelitian ini hanya lingkungan yang lebih lama pada tikus dewasa sehingga
ditemukan pada organ sekum spesies R. tanezumi, tetapi peluang mendapatkan infeksi lebih tinggi daripada yang
dari hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan lebih muda (Onyenwe et al, 2009). Penelitian Ahmad et
signifikan diantara spesies tikus dan cecurut yang al (2014) di Lahore, Pakistan bahwa H. diminuta lebih
ditemukan. Penelitian Priyanto dkk (2014) menemukan banyak ditemukan pada tikus/mencit dewasa (38,6%)
cacing ini pada organ usus halus dari berbagai spesies daripada muda (11,1%).
tikus yaitu R. tanezumi, 5 H[XODQV, R. argentiventer, Hymenolepis nana merupakan parasit yang umum
5 WLRPDQLFXV dan 5 QRUYHJLFXV. Penelitian lain di ditemukan pada usus halus tikus dan prevalensinya
Pakistan ditemukan infeksi H. diminuta pada tikus menjadi tinggi di bawah kondisi normal karena
sebesar 37,3% (Ahmad et al, 2014). Studi di Lahore autoinfeksi. Cacing ini bersifat zoonosis di alam dan

87
Vektora Volume 8 Nomor 2, Oktober 2016: 81 - 90

infestasi pada tikus dapat bertindak sebagai sumber kontak langsung antara satu orang dengan yang lain.
potensial infeksi bagi manusia yang kehidupannya dekat Apabila kondisi imunitas tidak baik, akan mudah terjadi
dengan tikus (Macnish et al, 2003). penularan berbagai jenis penyakit menular, termasuk
Hymenolepis nana merupakan satu-satunya cacing infeksi himenolepiasis. Sadaf et al (2013) menyatakan
golongan Cestoda yang tidak memerlukan hospes bahwa prevalensi himenolepiasis pada manusia di suatu
perantara dalam menyelesaikan siklus hidupnya. lokasi dapat dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi dan
Namun demikian secara eksperimental dikenal adanya tingkat pendidikan.
siklus hidup tidak langsung, dimana serangga sebagai Kondisi sosial ekonomi di Desa Beji dan Kedung
hospes perantara (Annida et al, 2012). Serangga Pring dilihat dari tingkat pendidikan mayoritas tingkat
yang menjadi perantara antara lain pinjal dari spesies pendidikan masyarakat adalah tamat SD dan mata
1RVRSV\OOXV IDVFLDWXV, 3XOH[ LUULWDQV dan Xenopsylla pencaharian sebagai petani (Anonim 2013, 2014).
FKHRSLV, kutu beras (Sitophylus orizae), dan kumbang Al-Kubaisy et al (2014) menjelaskan bahwa kondisi
tepung (Tribolium sp) (Urquhart et al, 1987). Telur sosioekonomi yang kurang baik dan rendahnya tingkat
cacing yang dimakan serangga tersebut akan segera pendidikan formal dapat mengakibatkan kurangnya
berkembang menjadi F\VWLFHUFRLG larva dan hidup di pengetahuan seseorang mengenai personal hygiene.
KHPRFHOH serangga tersebut. Manusia terinfeksi cacing Hal ini akan berdampak terhadap penularan penyakit
ini bila tidak sengaja menelan serangga atau tepung termasuk himenolepiasis yang dapat menular dari satu
yang mengandung F\VWLFHUFRLGV (Annida et al, 2012). orang ke orang yang lain. Selain itu, tinggal di lingkungan
Siklus hidup autoinfeksi internal pada H. nana dengan kondisi sosioekonomi buruk juga berasosiasi
mungkin saja terjadi. Telur dapat menetas secara dengan kekurangpedulian terhadap pengobatan penyakit
prematur dalam usus hospes, dimana pada siklus yang menular.
lazim telur berkembang menjadi telur yang berembrio Penularan penyakit himenolepiasis juga dipengaruhi
di luar tubuh hospes, menjadi telur yang infeksius oleh faktor-faktor abiotik seperti suhu dan curah hujan.
bagi manusia. Pada kejadian ini umumnya penderita Malheiros et al (2014) menyatakan bahwa infestasi cacing
belum sempat membentuk kekebalan terhadap cacing H. nana cenderung lebih banyak terjadi di daerah dengan
Hymenolepis, sebab tidak ada kontak langsung antara suhu tinggi dan curah hujan rendah. Data monografi
cacing dan makrofag untuk membentuk antibodi menunjukkan bahwa Desa Beji dan Desa Kedung Pring
(Annida et al, 2012). memiliki intensitas curah hujan menengah (125mm/
Angka kasus infeksi H. nana belum banyak th), adapun suhu udara harian berkisar antara 27-300C
dilaporkan di Indonesia. Menurut survey yang dilakukan (Anonim 2013, 2014). Telur merupakan salah satu fase
Sri S Margono, di Jakarta ditemukan cacing pita ini yang terpapar di lingkungan luar dari keseluruhan siklus
sejumlah 0,2-1 % dari seluruh sampel survey yang hidup cacing Hymenolepis. Infektivitas telur cacing
diperiksa terhadap cacing pita di Indonesia, sedangkan Hymenolepis sangat dipengaruhi kondisi lingkungan
menurut penelitian Adi Sasongko dari 101 sampel di sekitar telur yang diekskresikan oleh inang melalui
yang diteliti hanya satu sampel yang positif terdapat feses. Telur pada pelet feses di rektum tidak kehilangan
telur Hymnolepis nana (Margono dan Sasongko dalam infektivitas sampai 4 jam setelah mereka diekskresikan
Palgunadi, 2009). Adapun kasus infeksi H. diminuta dan terkena udara pada suhu kamar (27-28oC) dengan
belum pernah dilaporkan secara khusus di Indonesia. kelembaban relatif 35-40%. Namun, telur akan
Himenolepiasis sering terjadi di daerah yang kehilangan infektivitasnya secara signifikan 17 jam
berpenduduk padat dengan kebersihan yang buruk, setelah ekskresi (Maki and Yanagisawa, 1987).
serta kebersihan lingkungan yang tidak sehat. Hasil Tikus dan cecurut sebagai reservoir dari H.
pengamatan peneliti menunjukkan bahwa kondisi diminuta dan H. nana merupakan ancaman serius bagi
lingkungan di kedua lokasi penelitian merupakan penyebaran infeksi pada manusia yang berhubungan erat
pemukiman yang tergolong padat penduduk dengan dengan lingkungan yang tercemar dan tidak higienis.
kepadatan di Desa Beji sebesar 9655 jiwa/Km2 (Anonim, Kelemahan penelitian ini adalah tidak dilakukannya
2013) dan di Desa Kedung Pring sebesar 2281 jiwa/ pemeriksaan pada sampel feses manusia di Kabupaten
Km2 (Anonim, 2014). Pemukiman padat penduduk Banyumas, sehingga tidak dapat diketahui apakah
merupakan tempat yang rentan untuk terjadi penyebaran infeksi cacing H. diminuta dan H. nana pada tikus
penyakit. Hal ini dikarenakan pada pemukiman dengan dapat menimbulkan dampak permasalahan kesehatan
jumlah penduduk yang padat memungkinkan terjadinya terhadap manusia. Namun demikian, tingginya tingkat
aktivitas bersama antar penduduk sehingga terjadi kepadatan tikus di area pemukiman di Desa Beji dan

88
Infeksi Cacing Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta ... (Dyah Widiastuti, et. al)

Kedung Pring Kabupaten Banyumas dan ditemukannya ———. Daftar Isian Potensi Desa Kedung Pring Tahun
tikus dan cecurut yang positif telur cacing Hymenolepis 2014; 2014.
di kawasan tersebut perlu mendapat perhatian. Battersby SA, Parsons R, Webster JP. Urban rat
infestations and the risk to public health. Journal of
KESIMPULAN DAN SARAN Environmental Health Research. 2002; 1: 4–12.
Ceruti R, Sonzogni O, Origgi F, Vezzoli F, Cammarata
Kesimpulan
S, Giusti AM, Scanziani E. &DSLOODULD KHSDWLFD
Hasil penelitian menunjukkan H. nana infection in wild brown rats (5DWWXV QRUYHJLFXV)
dapat menginfeksi tikus R. tanezumi dan cecurut from the Urban Area of Millan. Italian Journal of
S. murinus, H. diminuta dapat menginfeksi R. Veterinary Medicine. 2001; 48(235-240).
tanezumi. Infeksi cacing tersebut pada tikus dan Claveria FG, Causapin J, Guzman MA, Toledo MG,
cecurut perlu diwaspadai terkait potensi zoonotik Salibay C. 2005. Parasite biodiversity in Rattus
ke manusia. Ada perbedaan signifikan infeksi telur spp caught in Wet Markets. Southeast Asian
cacing H. nana pada R. tanezumi, 0XV PXVFXOXV Journal Tropical Medicine Public Health. 2005;
dan S. murinus. Tidak ada hubungan antara infeksi 36: 146–48.
telur cacing H. nana dan H. diminuta dengan jenis Coomansingh C, Pinckney RD, Bhaiyat MI, Chikweto
kelamin dan kematangan seksual tikus/cecurut. A, Bitner S, Baffa A, Sharma R. Prevalence of
endoparasites in wild rats in Grenada. West Indian
Veterinary Journal. 2009; 9(1): 17–21.
Saran Gandahusada, Srisasi, Ilahude HD, Pribadi W.
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai deteksi Parasitologi Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta:
infeksi H. diminuta dan H. nana pada manusia. Balai Penerbit FKUI; 2006.
Gonenc B. Analysis of the crude antigen of Hymenolepis
UCAPAN TERIMA KASIH nana from mice by SDS-PAGE and the
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala GHWHUPLQDWLRQ RI VSHFL¿F DQWLJHQV LQ SURWHLQ
Balai Litbang P2B2 Banjarnegara yang telah memberikan structure by Western Blotting. Turkish Journal
dana penelitian, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas of Veterinary and Animal Sciences. 2002; 26:
atas ijin penelitian dan bantuan teknis yang diberikan, 1067–71.
serta rekan-rekan peneliti dan teknisi yang membantu Goswami R, Somvanshi R, Singh SM, Sarman S. A
kelancaran pelaksanaan penelitian. preliminary survey on incidence of helminthic
and protozoal diseases in rats. Indian Journal of
DAFTAR PUSTAKA Veterinary Pathology. 2009; 33: 4750–58.
Ahmad MS, Maqbool A, Anjum AA, Ahmad N, Liat, LB. The house rodents and house shrew in Malaysia
Khan MR, Sultana R, Ali MA. Occurance of and Southeast Asia. Utar Agriculture Science
Hymenolepis diminuta in rats and mice captured Journal. 2015; 1(2): 43–50.
from urban localities of Lahore, Pakistan. The Macnish MG, Ryan UM, Behnke JM, Thompson RC.
Journal of Animal & Plant Sciences. 2014; 24(2): Detection of the rodent tapeworm rodentolepis
392–96. microstoma in humans. A new zoonosis.
Ahmad, Sarfaraz M. Studies on rats and mice as a International Journal of Parasitology. 2003; 33:
reservoir of zoonotic parasites. Thesis. Lahore: 217–20.
University of Veterinary and Animal Sciences; Maff. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food.
2009. Manual Of Veterinary Parasitology. UK: Her
Al-Kubaisy W, Al-Talib H, Al-khateeb A, Shanshal 0DMHVW\¶V 6WDWLRQHU\ 2I¿FH
MM. Intestinal parasitic diarrhea among children Maki J, Yanagisawa T. Infectivity of Hymenolepis nana
in Baghdad-Iraq. Tropical Biomedicine. 2014; eggs from faecal pellets in the rectum of mice.
31(3): 499–506. Journal of Helminthology. 1987; 61(4): 341–45.
Annida, Fakhrizal D, Waris L, Rahayu N. 2012. Pola Malheiros AF, Mathews PD, Lemos LMS, Braga
distribusi himenolepiasis di Kalimantan Selatan. GB, Shaw JJ. Prevalence of Hymenolepis
Jurnal Buski. 2012; 4(1): 23–8. nana in indigenous tapirapé ethnic group from
$QRQLP 3UR¿O .HVHKDWDQ 'HVD %HML 7DKXQ the Brazilian Amazon. American Journal of
2013. Biomedical Research. 2014; 2(2): 16–8.

89
Vektora Volume 8 Nomor 2, Oktober 2016: 81 - 90

Martinez-barbabosa I, Gutierrez-cardenas EM, Gaona Sadaf, HS, Khan SS, Kanwal N, Tasawer BM, Ajmal
E, Shea M. The prevalence of Hymenolepis nana SM. A review on diarrhoea causing Hymenolepis
in schoolchildren in a bicultural community. Rev nana-dwarf tapeworm. International Research
Biomed. 2010; 21: 21–27. Journal of Pharmacy. 2013; 4(2): 32–5.
Onyenwe IW, Ihedioha JI, Ezeme RI. Prevalence of Safar R. Parasitologi kedokteran. Bandung: Yrama
zoonotic helminths in local house rats (Rattus Widya; 2010.
rattus) in Nsukka, Eastern Nigeria. Animal Sandjaja B. Parasitologi Kedokteran. Edisi Kedua.
Research International. 2009; 6(3): 1040–44. Jakarta: Prestasi Pustaka; 2007.
Palgunadi BU. 2009. Hymenolepis nana. Available Stojcevic D, Mihaljevic Z, Marinculic A. Parasitological
from: http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/ survey of rats in rural regions of Croatia. Vet.
jurnal/Vol Edisi Khusus Desember 2009/ Med. - Czech. 2004; 3: 70–4.
HYMENOLEPIASIS NANA.pdf. Accesed on Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM,
July 19, 2016. Jennings FW. Veterinary parasitology. England:
Pramestuti N, Widiastuti D. 2015. Infeksi telur cacing Bath Press, Avon; 1987.
pada tikus rumah (Rattus tanezumi) di areal Waugh CA, Lindo JF, Foronda P, Santana MA, Morales
permukiman. Buski. 2015; 5(3): 121–25. JL, Robinson RD. Population distribution and
3UL\DQWR ' 5DKPDZDWL 1LQJVLK '3 ,GHQWL¿FDWLRQ zoonotic potential of gastrointestinal helminths
of endoparasites in rats of various habitats. Health of wild rats Rattus rattus and 5 QRUYHJLFXV from
Science Journal of Indonesia. 2014; 5(1): 49–53. Jamaica. Journal of Parasitology. 2006; 92(5):
1014–18.

90

Anda mungkin juga menyukai