Anda di halaman 1dari 8

Habsari, I. A., & Mulyowati, T. (2020).

Identification of Eggs Hymenolepis nana and


Hymenolepis diminuta In Rat Feces and Children's Feces in Dukuh Sraten, Kecamatan
Pedan, Klaten. Journal of Health (JoH), 7(2), 71-77.

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan cara meneteskan 1 tetes reagen lugol diatas
objek glass, mengambil feses sepucuk lidi lalu menaruh pada objek glass yang sudah di beri
reagen lugol, setelah itu menghomogenkan secara merata menggunakan lidi, dan membuang
partikel kasar jika ada, menutup dengan deck glass, menghindari terjadinya gelembung udara
lalu dapat diamati di bawah mikroskop dengan lensa obyektif 10x, 40x.

Pemeriksaan sedimentasi dilakukan dengan cara memasukan tinja sebanyak 1gram ke dalam
beaker glass, menambah aquades, lalu menghomogenkan hingga rata, menyaring dengan dua
lapis kain kassa pada corong diatas gelas sedimen, menambah aquades kedalam gelas
sedimen yang berisi suspensi sampai penuh, setelah itu menutup dengan prop karet,
mencentrifuge selama 3 menit dengan kecepatan 1500 rpm, setelah selesai lalu membuang
supernatan danmengambil sedimen nya, setelah itu meneteskan sedimen pada objek glass,
menutup dengan deck glass, setelah itu dapat mengamati di bawah mikroskop 10x dan 40x
Laprak 7

Habsari, I. A., & Mulyowati, T. (2020). Identification of Eggs Hymenolepis nana and
Hymenolepis diminuta In Rat Feces and Children's Feces in Dukuh Sraten, Kecamatan
Pedan, Klaten. Journal of Health (JoH), 7(2), 71-77.
Marbawati, D. (2010). Hymenolepis sp, Cacing Pita Parasit Pada Tikus dan Manusia. Jurnal
Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, 6(2), 24-25.
Widiastuti, D., Pramestuti, N., Astuti, N. T., & Sari, T. F. (2016). Infeksi Cacing
Hymenolepis Nana dan Hymenolepis Diminuta pada Tikus dan Cecurut di Area
Pemukiman Kabupaten Banyumas. Vektora: Jurnal Vektor dan Reservoir Penyakit,
8(2), 81-90.

Gambar 1 menunjukkan bahwa telur H. diminuta dan H. nana memiliki beberapa perbedaan.
Telur H. diminuta tidak memiliki filamen polar, sedangkan telur H. nana memiliki filamen
polar. Bentuk telur H. diminuta relatif bulat dan cenderung kekuningan, sedangkan H. nana
cenderung oval dan lebih transparan.

Pembahasan:
Hymenolepis nana dan Hymenolepis diminuta adalah cacing pita kerdil yang sedikit
berbeda dalam hal kejadian infeksi terhadap manusia. Hymenolepis nana lebih sering terdapat
pada manusia dibandingkan dengan Hymenolepis diminuta yang lebih banyak ditemukan
pada hewan pengerat (tikus)1,5). Jika pun ada kasus Hymenolepis diminuta pada manusia,
infeksi terjadi secara kebetulan, biasanya pada anak-anak 7,8). Ukuran kedua jenis cacing
tersebut relatif sama yaitu panjang antara 15—40 mm dengan ketebalan sebesar 1 mm,
namun ukuran telur berbeda H. diminuta lebih besar (70—85 µm) dibandingkan dengan H.
nana (30—47 µm)2). Cacing dewasa berbentuk pipih seperti benang terbagi atas kepala
(skoleks) dengan alat pelekat yang dilengkapi batil isap, leher dan sederet segmen (proglotid)
yang membentuk rantai (strobila). Setiap proglotid dewasa tersusun atas dua alat kelamin
jantan dan betina yang lengkap, sehingga H. nana sebagaimana layaknya cacing dari
golongan cestoda tergolong sebagai cacing yang hermafrodit
Pada manusia, infeksi H. nana tidak memerlukan hospes perantara. Infeksi terjadi
melalui tertelannya telur. Telur menetas dan onkosfer masuk mukosa, usus halus dan menjadi
cysticercoid. Cysticercoid bersarang dalam tunica propria dari villi usus halus. Setelah
beberapa hari kembali ke rongga usus halus menjadi dewasa. Tiga puluh hari sesudah infeksi
akan ditemukan telur di dalam tinja. Kadang-kadang telur tidak dikeluarkan bersama tinja,
tetapi menetas di dalam usus, onkosfer yang keluar menembus villi usus dan siklus hidupnya
akan berulang. Hal ini disebut autoinfeksi interna yang dapat menyebabkan infeksi menjadi
berat. Tidak diperlukannya hospes perantara dalam siklus hidup H. nana dan kondisi
autoinfeksi dianggap sebagai faktor utama yang mendukung tingkat infeksi yang lebih tinggi
pada populasi ketika terinfeksi oleh cacing tersebut.
Cacing pita H. diminuta ditularkan ketika telur dikonsumsi oleh arthropoda sebagai
hospes perantara seperti kecoa dan kumbang tepung. Telur kemudian berkembang menjadi
cysticercoid dalam rongga tubuh arthropoda vektor. Ketika arthropoda infektif termakan oleh
tikus, cysticercoids akan berkembang menjadi cacing pita dewasa dalam usus. Apabila
arthropoda infektif tidak sengaja tertelan oleh manusia berkembang menjadi cacing pita
dewasa dalam usus dan telah dilaporkan di Jamaika, Italia dan Spanyol (Coomansingh et al,
2009). Peluang penularan pada manusia akan meningkat pada komunitas di lingkungan yang
berhubungan erat dengan tikus. Infeksi H. diminuta pada manusia memiliki spektrum gejala
yang luas, mulai dari asimtomatis, nyeri perut, iritabilitas, pruritis, dan eosinofilia.
Cacing dewasa Hymenolepis diminuta berukuran 20-60 cm. Skoleks kecil bulat,
mempunyai 4 batil isap dan rosteum tanpa kait-kait. Proglotid gravid lepas dari strobila
menjadi hancur dan telurnya keluar bersama tinja. Telurnya agak bulat, berukuran 60-79 µm,
mempunyai lapisan luar yang mengelilingi onkosfer dengan penebalan pada 2 kutub manusia
atau tikus, tetapi tanpa filamen. Onkosfer mempunyai 6 buah kait. Cacing dewasa hidup di
rongga usus halus. Hospes perantaranya adalah serangga berupa pinjal dan kumbang. Dalam
pinjal, telur berubah menjadi larva sistiserkoid. Bila serangga dengan sistiserkoid tertelan
oleh hospes definitif maka larva menjadi cacing dewasa di rongga usus halus.
Manusia dapat terinfeksi Hymenolepis Nana dan Hymenolepis Diminuta melalui
tertelannya telur Hymenolepis Nana ataupun Hymenolepis Diminuta. Tiga puluh hari sesudah
infeksi akan ditemukan telur di dalam tinja, kadang-kadang telur tidak dikeluarkan bersama
tinja, tetapi menetas didalam usus dan menjadi dewasa (Safar, 2010). Kondisi autoinfeksi
dianggap sebagai faktor utama yang paling mendukung tingkat infeksi yang lebih tinggi pada
populasi ketika terinfeksi oleh cacing tersebut
Gambar 1 dan 2 menunjukan bahwa telur Hymenolepis Diminuta memiliki ciri-ciri
berbentuk bulat, telur berdinding tebal dan terdiri dari 2 lapis dengan dinding bagian dalam
membungkus onkosper, mempunyai 6 kait kecil yang disebut hexacanth berbentuk bulat,
telur berdinding tebal dan terdiri dari 2 lapis dengan dinding bagian dalam membungkus
onkosper, mempunyai 6 kait kecil yang disebut hexacanth.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan tinggi-rendah nya prevalensi hymenolepiasis,
antara lain keadaan kurang gizi pada anak-anak, kondisi iklim tropis, turunnya dayatahan
tubuh, perilaku hidup bersih yang ada dalam keluarga. Kondisi lingkungan juga dapat
memudahkan tikus untuk bersarang dan berkembangbiak (Anorital, 2014). Penularanpenyakit
himenolepsiasis dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor abiotik seperti suhu dan curah hujan,
Hymenolepis Nana cenderung lebih banyak terjadi di daerah dengan suhu tinggi dan curah
hujan rendah. Telurmerupakan salah satu yang terpapar dilingkungan luar dari keseluruhan
siklus hidup cacing Hymenolepis. Infektivitas telur cacing Hymenolepis sangat dipengaruhi
kondisi lingkungan disekitar telur yang di ekskresikan dan terkena udara pada suhu kamar
dengan kelembapan relatif 35-40% (Widiastutiet al, 2016). Tikus sebagai reservoir dari
Hymenolepis Nana dan Hymenolepis Diminuta merupakan ancaman serius bagi penyebaran
infeksi pada manusia yang berhubungan erat dengan lingkungan yang tercemar dan tidak
higenis. Tingginya tingkat kepadatan tikus di daerah Sraten dan ditemukannya tikus yang
positif terinfeksi telur cacing Hymenolepis dikawasan tersebut perlu mendapat perhatian.
Pada manusia, infeksi H. nana tidak memerlukan hospes perantara. Infeksi terjadi
melalui tertelannya telur. Telur menetas dan onkosfer masuk mukosa, usus halus dan menjadi
cysticercoid. Cysticercoid bersarang dalam tunica propria dari villi usus halus. Setelah
beberapa hari kembali ke rongga usus halus menjadi dewasa. Tiga puluh hari sesudah infeksi
akan ditemukan telur di dalam tinja. Kadang-kadang telur tidak dikeluarkan bersama tinja,
tetapi menetas di dalam usus, onkosfer yang keluar menembus villi usus dan siklus hidupnya
akan berulang. Hal ini disebut autoinfeksi interna yang dapat menyebabkan infeksi menjadi
berat (Safar, 2010). Tidak diperlukannya hospes perantara dalam siklus hidup H. nana dan
kondisi autoinfeksi dianggap sebagai faktor utama yang mendukung tingkat infeksi yang
lebih tinggi pada populasi ketika terinfeksi oleh cacing tersebut (Ahmad, 2009). Infeksi pada
manusia kebanyakan terjadi secara langsung dari tangan ke mulut. Hal ini sering terjadi pada
anak-anak umur 15 tahun ke bawah. Kontaminasi dengan tinja tikus perlu mendapat
perhatian. Infeksi pada manusia selalu disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda-benda
yang terkena tanah, dari tempat buang air atau langsung dari anus kemulut. Kebersihan
perorangan terutama pada keluarga besar dan panti asuhan harus diutamakan (Gandahusada
et al, 2006).
Identifikasi telur dilakukan dengan pengamatan morfologi telur dan dicocokkan dengan
kunci identifikasi. Gandahusada et al (2006) menjelaskan bahwa telur H. nana berbentuk
lonjong, ukurannya 30- 47 mikron, mempunyai lapisan yang jernih dan lapisan dalam yang
mengelilingi sebuah onkosfer dengan penebalan pada kedua kutub. Dari masing-masing
kutub keluar 4-8 filamen. Perbedaan dengan H. nana, telur H. diminuta berbentuk agak bulat,
berukuran 60-79 mikron, mempunyai lapisan luar yang jernih dan lapisan dalam yang
mengelilingi onkosfer dengan penebalan pada kedua kutub, tetapi tanpa filamen. Pengamatan
pada mikroskop menunjukkan bahwa telur H. nana tampak lebih jernih dibandingkan H.
diminuta. Selain itu, pada telur H. nana juga terlihat adanya filament polar sedangkan pada
telur H. diminuta tidak ditemukan adanya filament polar (Gambar 1)
Permasalahan utama dari penyebaran infeksi ini adalah higiene yang kurang. Cacing ini
merupakan cacing Cestoda yang umum ditemukan pada tikus dan mencit. Infeksi parasit ini
biasanya tanpa gejala tetapi dapat juga menyebabkan sakit perut, diare, anoreksia, pusing dan
iritabilitas. Infeksi ini biasanya dapat ditemukan pada anak-anak kecil yang kontak dekat
dengan anjing atau hewan pengerat. Telur yang ditemukan dalam kotoran tikus dan mencit
memerlukan hospes perantara. Anak-anak dan hewan pengerat tidak sengaja menelan
arthropoda terinfeksi dan berkembang menjadi cacing dewasa (Martinez-barbabosa et al,
2010).
Telur cacing H. nana lebih banyak ditemukan pada tikus dan cecurut muda daripada
dewasa, sedangkan telur cacing H. diminuta lebih banyak pada tikus dan cecurut dewasa.
Tingkat infeksi lebih tinggi pada tikus dewasa daripada tikus muda karena konsumsi pakan
lebih banyak dan perilaku tikus dewasa jauh daya jelajahnya dibandingkan dengan tikus
muda (Ahmad et al, 2014). Selain itu, prevalensi H. diminuta dan H. nana lebih tinggi pada
tikus dewasa disebabkan oleh paparan oleh lingkungan yang lebih lama pada tikus dewasa
sehingga peluang mendapatkan infeksi lebih tinggi daripada yang lebih muda (Onyenwe et al,
2009). Penelitian Ahmad et al (2014) di Lahore, Pakistan bahwa H. diminuta lebih banyak
ditemukan pada tikus/mencit dewasa (38,6%) daripada muda (11,1%). Hymenolepis nana
merupakan parasit yang umum ditemukan pada usus halus tikus dan prevalensinya menjadi
tinggi di bawah kondisi normal karena autoinfeksi. Cacing ini bersifat zoonosis di alam dan
infestasi pada tikus dapat bertindak sebagai sumber potensial infeksi bagi manusia yang
kehidupannya dekat dengan tikus (Macnish et al, 2003). Hymenolepis nana merupakan satu-
satunya cacing golongan Cestoda yang tidak memerlukan hospes perantara dalam
menyelesaikan siklus hidupnya. Namun demikian secara eksperimental dikenal adanya siklus
hidup tidak langsung, dimana serangga sebagai hospes perantara (Annida et al, 2012).
Serangga yang menjadi perantara antara lain pinjal dari spesies 1RVRSV\OOXV
IDVFLDWXV, 3XOH[ LUULWDQV dan Xenopsylla FKHRSLV, kutu beras (Sitophylus
orizae), dan kumbang tepung (Tribolium sp) (Urquhart et al, 1987). Telur cacing yang
dimakan serangga tersebut akan segera berkembang menjadi F\VWLFHUFRLG larva dan
hidup di KHPRFHOH serangga tersebut. Manusia terinfeksi cacing ini bila tidak sengaja
menelan serangga atau tepung yang mengandung F\VWLFHUFRLGV (Annida et al, 2012).
Siklus hidup autoinfeksi internal pada H. nana mungkin saja terjadi. Telur dapat menetas
secara prematur dalam usus hospes, dimana pada siklus yang lazim telur berkembang
menjadi telur yang berembrio di luar tubuh hospes, menjadi telur yang infeksius bagi
manusia. Pada kejadian ini umumnya penderita belum sempat membentuk kekebalan
terhadap cacing Hymenolepis, sebab tidak ada kontak langsung antara cacing dan makrofag
untuk membentuk antibodi
Laprak 8

Bersama feses penderita telur cacing yang berada di dalam usus akan dikeluarkan dari
tubuh hospes. Telur yang masuk ke dalam air akan menetas menjadi larva korasidium, yang
dimakan oleh siklops, dalam waktu tiga minggu di dalam siklops korasidium berubah
menjadi larva proserkoid. Di dalam tubuh ikan (hospes perantara kedua) yang memakan
siklops dalam waktu tiga minggu larva proserkoid akan berubah menjadi larva pleroserkoid
yang infektif untuk hospes definitif (manusia, anjing atau kucing). Pleroserkoid akan
berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus hospes definitif (Brotowidjoyo 1987).
Diphyllobothrium latum menyebabkan penyakit difiloborotriasis, dapat ditemukan di
manusia, anjing, kucing, beruang. Morfologi cacing dewasa berwarna kuning keabua-abuan
panjangnya 3-10 mm memiliki lebih dari 3000 buah proglotid. Proglotid matang dengan
uterus berisi banyak telur terletak di tengah menyerupai roset, lubang genitalia dan lubang
uterus di tengah atas, kelenjar vitelaria dan testis terserbar di bagian lateral. Telur berukuran
± 65x45 mikron, operkulum besar, penebalan berupa penonjolan kecil di bagian posterior,
bersis morula. Diagnosis cacing di telur dalam feses

Sumber : https://medlab.id/diphyllobothrium-latum/
Definisi. Diphyllobothriasis adalah infeksi zoonosis yang ditularkan oleh ikan dengan
cestode Diphyllobothrium latumatau spesies serupa lainnya (misalnya, Diphyllobothrium
nihonkaiense, Diphyllobothrium dendriticum, Adenocephalus pacificus, Diplogonoporus
balanopterae).
Epidemiologi. Cacing pita dewasa hidup di usus manusia dan juga karnivora pemakan ikan.
Pada manusia, cacing dewasa dapat mencapai panjang 10 m. Cacing pita ikan terjadi dan
endemik di daerah para-polar di mana manusia mengonsumsi ikan mentah atau acar. Ikan
dimakan oleh manusia atau mamalia pemakan ikan dan plerocercoid matang di usus kecil
menjadi cacing dewasa. Jika ikan dimakan oleh ikan predator lain, plerocercoid tetap berada di
otot ikan predator yang hanya bertindak sebagai inang pembawa. Sebagai cacing pita, ia
tumbuh sekitar 5 cm per hari, melepaskan hingga 1 juta telur per hari, dan dapat bertahan
selama 10 tahun, produksi telurnya tinggi, sehingga badan air dapat terkontaminasi dengan
sangat cepat. Selain manusia, anjing dan kucing juga bisa terinfeksi.

Morfologi. “Cacing pita ikan” (the broad fish tapeworm) ini memiliki lebar 15 – 20 mm dan
memiliki sekitar 4000 proglottid. Scolex memiliki dua organ lampiran yang disebut bothria dan
tidak ada kait. Skoleksnya seperti jari dan memiliki alur longitudinal sederhana masing-masing di
sisi ventral dan punggung. Folikel kecil testis dan vitellaria sulit dibedakan satu sama lain.
Mereka tersusun dalam dua pita lateral yang lebar, hanya menyisakan bagian sempit di tengah
proglottid dengan ovarium lobus ganda yang terletak di margin posterior. Di depannya, rahim
mengarah di gulungan ketat ke bagian anterior proglottid. Di sini, vesikula seminalis, kantung
cirrus, dan lubang genital pria terletak bersama dengan lubang vagina dan pembukaan uterus,
yang disebut ‘tocotrem’(bahasa Yunani: tókos= parturition, tréma= opening). Melalui ini, telur
(kuning-coklat telur) yang diolah 60-66 × 40-49μm, ditumpahkan. Proglottid yang dikosongkan
kemudian jatuh dari strobila.

Gejala. Dalam kebanyakan kasus, manusia hanya terinfeksi satu spesimen dan biasanya tidak
menunjukkan gejala infeksi, mungkin selama beberapa tahun. Diphyllobothriasis dapat
bermanifestasi sebagai gejala obstruksi usus, defisiensi vitamin B-12, dan atau, yang paling
umum, lewatnya proglottid dalam tinja. Ruang lingkup infeksi menjadi lebih kosmopolitan dengan
meningkatnya popularitas ikan mentah yang mengandung makanan dan distribusi global cepat
bahan makanan segar.

Diagnosa. Studi laboratorium yang dapat membantu untuk diphyllobothriasis meliputi: (1)
Pemeriksaan tinja mikroskopis untuk ova dan parasit (dasar yang biasa untuk diagnosis); (2)
Hitung darah lengkap (CBC) yang menunjukkan anemia; dan (3) Kadar vitamin B-12 kurang dari
150 pmol/L dan kadar total serum homosistein lebih dari 13 μmol/L atau kadar asam metilalonik
lebih dari 0,4 μmol/L tanpa adanya gagal ginjal dan folat serta vitamin B -6 kekurangan.

Pengobatan. Pengobatan infeksi cacing adalah farmakologis, melibatkan salah satu agen
berikut Praziquantel (obat pilihan) 5-10 mg/kg oral dalam dosis tunggal; diminum dengan cairan
selama makan dan Niclosamide (alternatif yang dapat diterima).

Referensi:

Chernin, J. Parasitology – Lifeline (Modules in life sciences). CRC Press, London: 2000.

David R Haburchak, D.R. and Chandrasekar, P.H. Diphyllobothriasis [Updated: Jun 13, 2019].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/216089-overview

Lucius R., Brigitte Loos-Frank, Richard P.L., Robert P., Craig W.R., and Richard K.G. The
Biology of Parasites. Wiley-VCH Verlag GmbH and Co. KGaA, Weinheim, German: 2017.

Anda mungkin juga menyukai