Anda di halaman 1dari 3

HUKUM NAFKAH BAGI SUAMI

Tentang nafkah, para ulama sepakat mengenai kewajibannya dan mereka berbeda pendapat
tentang empat masalah, yaitu waktu kewajibannya, ukurannya,siapa yang berhak menerimanya,
dan siapakah yang wajib memberikannya.
Adapun waktu kewajibannya sebagai berikut.
1. Imam Malik mengatakan, suami tidak wajib memberikan nafkah hingga dia menggauli
istrinya atau diajak untuk menggaulinya dan istrinya termasuk orang yang dapat digauli
dan suami juga sudah dewasa.
2. Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib memberikan
nafkah jika istri sudah dewasa.
3. Adapun jika suami sudah dewasa sedangkan istri belum dewasa, dalam hal ii Syafi’i
memiliki dua pendapat; pertama seperti pendapat malik. Dan pendapat kedua adalah bahwa
ia berhak mendapatkan nafkah secara mutlak.
Sebab perbedaan pendapat: Apakah nafkah itu kedudukannya sebagai pengganti
kenikmatan atau karena istri terkekang oleh suaminya seperti ketika suami bepergian dan sakit.

Adapun ukuran nafkah sebagai berikut.


1. Malik berpendapat bahwa ukuran nafkah tidak dibatasi dengan syari’at, dan itu kembali
kepada keadaan yang dialami oleh suami dan istri. Hal itu berbeda berdasarkan perbedaan
tempat, waktu, dan kondisi, pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah.
2. Syafi’I berpendapat bahwa nafkah bisa dikira-kirakan, bagi orang yang memiliki
kelapangan, dua mud; bagi orang sedang, satu setengahmud dan bagi orang yang
mengalami kesulitan, satu mud.
Sebab perbedaan pendapat: Ketidakjelasan arti nafkah dalam bab ini, apakah diartikan
memberi makan dalamkafrat atau memberi pakaian. Mereka sepakat bahwa memberi pakaian itu
tidak dibatasi sedangkan memberi pakaian dibatasi.
Dari pembahasan ini, mereka berbeda pendapat tentang apakah suami wajib memberi nafkah
padapembantu istri? Jika wajib, berapa pembantu yang harus dia berikan nafkah?
1. Jumhur berpendapat behwa suami berkewajiban memberikan nafkah kepada pembantu
istri, jika istri adalah orang yang tidak bias mandiri.
2. Pendapat lain mengatakan, bahkan kewajiban istri adalah melayani kebutuhan rumah
tangga.
Para ulama yang mewajibkan untuk memberikan nafkah kepada pembantu istri berbeda
pendapat mengeni beberapa pembantu yang harus ia berikan nafkah:
1. Sekelompok ulama mengatakan satu orang pembantu.
2. Pendapat lain mengatakan dua orang pembantu jika istri tidak bisa dibantu kecuali oleh
dua orang pembantu. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan Abu Tsaur.
Saya tidak mengetahui dalil syar’i yang mewajibkan untuk memberikan nafkah kepada
pembantu kecuali kesamaan pembantu dengan tempat tinggal. Mereka sepakat bahwa kewajiban
memberikan tempat tinggal dibebankan kepada suami berdasarkan nash yang menerangkan
kewajiban hal itu bagi istri yang dithalaq raj’i.
Adapun masalah siapakah yang berhak menerimanya. Mereka sepakat bahwa nafkah itu
wajib diberikan kepada istri merdeka yang tidak membangkang. Mereka berbeda pendapat
tentang istri yang membangkang dan budak wanita.
Tentang wanita yang membangkang:
1. Jumhur berpendapat bahwa dia tidak berhak mendapatkan nafkah.
2. Sekelompok ulama lain berpendapat dengan pendapat yang ganjil, mereka mengatakan
dia berhak mendapatkan nafkah.
Sebab perbedaan pendapat: Kontadiksi antara keumuman dalil dengan pemahaman. Yaitu
bahwa keumuman sabda Nabi SAW:

“dan atas kalian wajib memberi rezeki kepada para istri dan pakaian mereka dengan cara
yang baik.”

Mengandung arti bahwa istri yang membangkang dan tidak membangkang dalam hal ini sama.
Sedangkan pemahaman yang ada yaitu bahwa nafkah yang kedudukannya sebagai pengganti dari
kenikmatan, mengharuskan orang yang membangkang tidak berhak memperoleh nafkah.
Adapun tentang budak, para pengikut malik banyak berselisih tentang hal itu.
1. Ada pendapat yang mengatakan dia berhak mendapatkan nafkah seperti wanita merdeka,
ini adalah pendapat yang masyhur.
2. Pendapat lain mengatakan dia tidak berhak mendapatkan nafkah.
3. Pendapa lain juga mengatakan jika budak tersebut yang mendatangi suaminya, maka dia
berhak mendapatkan nafkah. Jika suaminya yang mendatanginya, maka dia tidak berhak
mendapatkan nafkah.
4. Pendapat lain mengatakan dia berhak mendapakan nafkah pada saat mendatangi suaminya.
5. Dan pendapat lain mengatakan jika suaminya seorang yang yang merdeka, maka suaminya
berhak memberikan nafkah. Tetapi jika suaminya seorang budak, maka tidak wajib
memberikan nafkah.
Sebab perbedaan pendapat: Kontradiksi keumuman dalil dengan qiyas, yaitu bahwa
keumuman dalil mengandung arti bahwa dia berhak mendapatkan nafkah, sedangkan qiyas
mengandung arti bahwa dia tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali atas tuannya yang
mempekerjakannya, atau nafkah dibagi dianara keduanya, karena masing-masing dari keduanya
mengambil suatu bentuk manfaat dari budak tersebut oleh karena itu, sekelompok ulama
mengatakan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah pada saat budak tersebut
mendatanginya.
 Referensi:
Ibnu Rusyd: Kitab Bidayatul Mujtahid jilid 2.
Nama: Galih Anggi Vadia
Institusi: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Pekerjaan: Mahasiswa
No. Rek.: 5596-01-015748-53-0
Atas Nama: GALIH ANGGI VADIA
Medsos Instagram: @galih_av932

Anda mungkin juga menyukai