Anda di halaman 1dari 5

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)


Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan gangguan vestibular
dikarakteristikan dengan serangan vertigo yang disebabkan oleh perubahan posisi kepala dan
berhubungan dengan karakteristik nistagmus paroksimal. Untuk mendiagnosis berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset
akut kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala. Pemeriksaan fisik standar untuk
BPPV antara lain tes Dix-Hallpike, tes kalori, tes Supine Roll, test Romberg,tandem gait,uji
unterberger,post-pointing test, test babinsky- weil. Penatalaksanaan BPPV meliputi non-
farmakologis, farmakologis, dan operasi. Penatalaksanaan BPPV yang sering digunakan adalah
non-farmakologis yaitu terapi manuver reposisi partikel (PRM) dapat secara efektif
menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh
pada pasien. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi
awalnya yaitu pada makula utrikulus.
Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah gangguan vestibuler yang paling sering
ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual muntah dan keringat dingin, yang
dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di
susunan saraf pusat (Edward dan Roza, 2014).

3.2 Epidemiologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu gangguan
Neurotologi dimana 17% pasien datang dengan keluhan pusing. Pada populasi umum
prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000 (prevalensi 2,4%). Dari kunjungan
5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di United State dengan keluhan pusing didapatkan
prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis BPPV. Dari segi onset BPPV biasanya diderita
pada usia < 50 tahun. Proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu
2,2 : 1,5. BPPV merupakan bentuk dari vertigo posisional.
Definisi vertigo posisional adalah sensasi berputar yang disebabkan oleh perubahan
posisi kepala. Sedangkan BPPV didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi di telinga dalam
dengan gejala vertigo posisional yang terjadi secara berulang-ulang dengan tipikal nistagmus
paroksimal.Benign dan paroksimal biasa digunakan sebagai karakteristik dari vertigo
posisional. Benign pada BPPV secara historikal merupakan bentuk dari vertigo posisional
yang seharusnya tidak menyebabkan gangguan susunan saraf pusat yang serius dan secara
umum memiliki prognosis yang baik. Sedangkan paroksimal yang dimaksud adalah onset
vertigo yang terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung cepat biasanya tidak lebih dari satu
menit. Benign Paroxysmal Positional Vertigo memiliki beberapa istilah atau sering juga
disebut dengan benign positional vertigo, vertigo paroksimal posisional, vertigo posisional,
benign paroxymal nystagmus, dan dapat disebut juga paroxymal positional nystagmus

3.3 Faktor Resiko


Benign Paroxysmal Positional Vertigo diduga disebabkan oleh perpindahan
otokonia kristal (kristal karbonat Ca yang biasanya tertanam di sakulus dan utrikulus). Kristal
tersebut merangsang sel-sel rambut di saluran setengah lingkaran posterior, menciptakan ilusi
gerak. Batu-batu kecil yang terlepas (kupulolitiasis) didalam telinga bagian dalam
menyebabkan BPPV. Batu-batu tersebut merupakan kristal-kristal kalsium karbonat yang
normalnya terikat pada kupula. Kupula menutupi makula, yang adalah struktur padat dalam
dinding dari dua kantongkantong (utrikulus dan sakulus) yang membentuk vestibulum.
Ketika batu-batu terlepas, mereka akan mengapung dalam kanal semisirkular dari telinga
dalam. Faktanya, dari pemeriksaan-pemeriksaan mikroskopik telinga bagian dalam
pasienpasien yang menderita BPPV memperlihatkan batu-batu tersebut (Anita, 2008).
Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum diketahui secara pasti. Debris
kalsium sendiri dapat pecah karena beberapa penyebab seperti trauma atupun infeksi virus,
tapi pada banyak keadaan dapat terjadi tanpa didahului trauma atau penyakit lainnya.
Mungkin dapat juga disebabkan oleh perubahan protein dan matriks gelatin dari membrane
otolith yang berhubungan dengan usia. Lepasnya otokonia dapat juga sejalan dengan
demineralisasi tulang pada umumnya (Purnamasari, 2013). Salah satu faktor risiko yang
berperan pada kejadian BPPV adalah hipertensi. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg
(Anggraini et al., 2009). Hipertensi sendiri terbagi atas beberapa kelompok menurut The
Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), yaitu: kelompok normal, pre-hipertensi,
stadium 1, stadium 2.

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (Chobanian, Bakris, Black,
2009)
KATEGORI SISTOLIK (mmHg) DIASTOLIK (mmHg)
Normal < 120 <80
Pra hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 160 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100

Hipertensi sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu hipertensi


primer atau esensial dan hipertensi sekunder. Menurut (Skuta et al., 2010) dalam (Eka,
2014), hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan meliputi
kurang lebih 90-95% daei seluruh penderita hipertensi. Sedangkan hipertensi sekunder adalah
hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain atau kelainan organik yang jelas diketahui dan
meliputi 2-10% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh
faktor tunggal dan khusus, tetapi disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.
Faktor-faktor tersebut meliputi pola hidup (merokok, asupan garam berlebih, obesitas,
aktivitas fisik, dan stress), faktor genetika dan usia, system saraf simpatis, ketidakseimbangan
antara modulator vasokontriksi dan vasodilatasi, pengaruh sistem otokrin setempat yang
berperan dalam system rennin, angiotensin, dan aldosteron. Hipertensi sekunder disebabkan
oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu,
stress akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain (Firstyani, 2011).

Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah terbentuknya angiotensin II dari angiotensin


I yang disebabkan oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memiliki peran penting
dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.
Kemudian melalui hormone, rennin akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
memiliki peran utama dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama
adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH sendiri
diproduksi oleh hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume
urin. Ketika ADH meningkat, akan sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh, sehingga
menjadi pekar dan tinggi osmolalitasnya. Sehingga untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Hal
tersebut yang menyebabkan volume darah meningkat dan akhirnya meningkatkan tekanan
darah. Aksi kedua adalah stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron adalah
hormon steroid yang memiliki peran penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl dengan cara mereabsorbsi dari
tubulus ginjal. Kenaikan konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang akan meningkatkan volume dan tekanan
darah.

3.4 Patofisiologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo disebabkan oleh kalsium karbonat yang
berasal dari makula pada utrikulus lepas dan bergerak dalam lumen dari salah satu kanal
semisirkular. Kalsium karbonat sendiri dua kali lipat lebih padat dibandingkan endolimfe,
sehingga bergerak sebagai respon terhadap gravitasi dan pergerakan akseleratif lain. Ketika
kalsium karbonat tersebut bergerak dalam kanal semisirkular, akan terjadi pergerakan
endolimfe yang menstimulasi ampula pada kanal yang terkena, sehingga menyebabkan
vertigo. Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Bunjamin et al., 2013):
a. Teori Kupulolitiasis
Pada tahun 1962, Horald Schuknecht mengemukakan teori ini dimana ditemukan
partikel-partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang
terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi dan menempel pada permukaan kupula.
Dia menerangkan bahwa kanalis semiriskularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi
akibat partikel yang melekat pada kupula. Sama halnya seperti benda berat diletakkan pada
puncak tiang, bobot ekstra itu akan menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah
cenderung miring. Begitu halnya digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala
penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). Kanalis
semi sirkularis posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara
utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan
partikel tersebut membutuhkan waktu, hal ini menyebabkan adanya masa laten sebelum
timbulnya pusing dan nistagmus.

b. Teori Kanalitiasis

Pada 1980 Epley mengemukakan teori kanalitiasis, partikel otolith bergerak bebas
didalam kanalis semi sirkularis. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel tersebut
berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala
direbahkan ke belakang, partikel ini berotasi ke atas di sepanjang lengkung kanalis semi
sirkularis. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan
menyebabkan kupula membelok (deflected), sehingga terjadilah nistagmus dan pusing. Saat
terjadi pembalikan rotasi saat kepala ditegakkan kembali, terjadi pula pembelokan kupula,
muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Digambarkan layaknya
kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil akan terangkat seberntar kemudian
terjatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut seolah-olah yang memicu
organ saraf menimbulkan rasa pusing. Dibanding dengan teori kupulolitiasis, teori ini dapat
menerangkan keterlambatan sementara nistagmus, karena partikel butuh waktu untuk mulai
bergerak. Ketika mengulangi maneuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang
efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal ini menerangkan konsep kelelahan
dari gejala pusing.

Anda mungkin juga menyukai