Anda di halaman 1dari 24

Benign Paroxysmal Positional Vertigo

A. Definisi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah gangguan vestibuler yang paling

sering ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual muntah dan keringat

dingin, yang dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya

keterlibatan lesi di susunan saraf pusat (Edward dan Roza, 2014).

B. Etiologi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo diduga disebabkan oleh perpindahan

otokonia kristal (kristal karbonat Ca yang biasanya tertanam di sakulus dan utrikulus).

Kristal tersebut merangsang sel-sel rambut di saluran setengah lingkaran posterior,

menciptakan ilusi gerak. Batu-batu kecil yang terlepas (kupulolitiasis) didalam telinga

bagian dalam menyebabkan BPPV. Batu-batu tersebut merupakan kristal-kristal kalsium

karbonat yang normalnya terikat pada kupula. Kupula menutupi makula, yang adalah

struktur padat dalam dinding dari dua kantong kantong (utrikulus dan sakulus) yang

membentuk vestibulum. Ketika batu-batu terlepas, mereka akan mengapung dalam kanal

semisirkular dari telinga dalam. Faktanya, dari pemeriksaan-pemeriksaan mikroskopik

telinga bagian dalam pasien pasien yang menderita BPPV memperlihatkan batu-batu

tersebut (Anita, 2008).

C. Klasifikasi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu :

a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior

Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling sering

terjadi, dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus BPPV.

Penyebab paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris

endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior karena kanal ini
adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat kepala

pada posisi berdiri ataupun berbaring (Purnamasari, 2013).

b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)

Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama kali

diperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik vertigo posisional yang

diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah nistagmus horizontal yang terjadi

dapat berupa geotropik (arah gerakan fase cepat ke arah telinga di posisi bawah) atau

apogeotropik (arah gerakan fase cepat kearah telinga di posisi atas) selama kepala

dipalingkan ke salah satu sisi dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi

karena adanya otokonia yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen

posterior kanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik

terjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada kupula kanalis

horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia di dalam lumen

anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis apogeotropik) (Edward dan Roza, 2014).

Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa tahun terakhir

terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal. Pasien dengan keluhan

dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak sesuai dengan kriteria diagnostik

BPPV kanalis posterior harus dicurigai sebagai BPPV kanalis horizontal (Edward dan

Roza, 2014).

Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum diketahui secara pasti.

Debris kalsium sendiri dapat pecah karena beberapa penyebab seperti trauma atupun

infeksi virus, tapi pada banyak keadaan dapat terjadi tanpa didahului trauma atau

penyakit lainnya. Mungkin dapat juga disebabkan oleh perubahan protein dan matriks

gelatin dari membrane otolith yang berhubungan dengan usia. Lepasnya otokonia dapat

juga sejalan dengan demineralisasi tulang pada umumnya (Purnamasari, 2013). Salah
satu faktor risiko yang berperan pada kejadian BPPV adalah hipertensi. Hipertensi adalah

suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik

lebih dari 90 mmHg (Anggraini et al., 2009). Hipertensi sendiri terbagi atas beberapa

kelompok menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), yaitu:

kelompok normal, pre-hipertensi, stadium 1, stadium 2.

Tabel Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (Chobanian, Bakris,

Black, 2009)

Kategori Sistolik (mmHg) dan / atau Diastolik (mmHg)

Normal <120 Dan <80

Pra hipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi derajat 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥160 Atau ≥100

Hipertensi sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu hipertensi

primer atau esensial dan hipertensi sekunder. Menurut (Skuta et al., 2010) dalam (Eka,

2014), hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan

meliputi kurang lebih 90-95% dari seluruh penderita hipertensi. Sedangkan hipertensi

sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain atau kelainan organik

yang jelas diketahui dan meliputi 2-10% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi

primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus, tetapi disebabkan oleh berbagai

faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut meliputi pola hidup (merokok,

asupan garam berlebih, obesitas, aktivitas fisik, dan stress), faktor genetika dan usia,

system saraf simpatis, ketidakseimbangan antara modulator vasokontriksi dan


vasodilatasi, pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan dalam system rennin,

angiotensin, dan aldosteron. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang

diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stress akut, kerusakan

vaskuler dan lain-lain (Firstyani, 2011).

Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah terbentuknya angiotensin II dari

angiotensin I yang disebabkan oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE

memiliki peran penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung

angiotensinogen yang diproduksi di hati. Kemudian melalui hormone, rennin akan

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki peran utama dalam menaikkan

tekanan darah melalui dua aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa

haus. ADH sendiri diproduksi oleh hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur

osmolalitas dan volume urin. Ketika ADH meningkat, akan sedikit urin yang

diekskresikan ke luar tubuh, sehingga menjadi pekar dan tinggi osmolalitasnya. Sehingga

untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara

menarik cairan dari bagian intraseluler. Hal tersebut yang menyebabkan volume darah

meningkat dan akhirnya meningkatkan tekanan darah.

Aksi kedua adalah stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron

adalah hormon steroid yang memiliki peran penting pada ginjal. Untuk mengatur volume

cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl dengan cara

mereabsorbsi dari tubulus ginjal. Kenaikan konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali

dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang akan meningkatkan volume

dan tekanan darah.


D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada klien dengan vertigo yaitu Perasaan berputar yang kadang-

kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa

kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi

lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata

merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis. Pasien Vertigo

akan mengeluh jika posisi kepala berubah pada suatu keadaan tertentu. Pasien akan

merasa berputar atau merasa sekelilingnya berputar jika akan ke tempat tidur, berguling

dari satu sisi ke sisi lainnya, bangkit dari tempat tidur di pagi hari, mencapai sesuatu

yang tinggi atau jika kepala digerakkan ke belakang. Biasanya vertigo hanya berlangsung

5-10 detik. Kadang-kadang disertai rasa mual dan seringkali pasien merasa

cemas.Penderita biasanya dapat mengenali keadaan ini dan berusaha menghindarinya

dengan tidak melakukan gerakan yang dapat menimbulkan vertigo. Vertigo tidak akan

terjadi jika kepala tegak lurus atau berputar secara aksial tanpa ekstensi, pada hampir

sebagian besar pasien, vertigo akan berkurang dan akhirnya berhenti secara spontan

dalam beberapa hari atau beberapa bulan, tetapi kadang-kadang dapat juga sampai

beberapa tahun.

Pada anamnesis, pasien mengeluhkan kepala terasa pusing berputar pada

perubahan posisi kepala dengan posisi tertentu. Secara klinis vertigo terjadi pada

perubahan posisi kepala dan akan berkurang serta akhirnya berhenti secara spontan

setelah beberapa waktu. Pada pemeriksaan THT secara umum tidak didapatkan kelainan

berarti, dan pada uji kalori tidak ada paresis kanal.

Uji posisi dapat membantu mendiagnosa vertigo, yang paling baik adalah dengan

melakukan manuver Hallpike : penderita duduk tegak, kepalanya dipegang pada kedua
sisi oleh pemeriksa, lalu kepala dijatuhkan mendadak sambil menengok ke satu sisi. Pada

tes ini akan didapatkan nistagmus posisi dengan gejala :

1. Penderita vertigo akan merasakan sensasi gerakan seperti berputar, baik dirinya

sendiri atau lingkungan

2. Merasakan mual yang luar biasa

3. Sering muntah sebagai akibat dari rasa mual

4. Gerakan mata yang abnormal

5. Tiba - tiba muncul keringat dingin

6. Telinga sering terasa berdenging

7. Mengalami kesulitan bicara

8. Mengalami kesulitan berjalan karena merasakan sensasi gerakan berputar

9. Pada keadaan tertentu, penderita juga bisa mengalami ganguuan penglihatan


E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat tiga jenis pemeriksaan tambahan (Bhattacharyya et al., 2008), yaitu:

a. Radiografi

Gambaran yang didapatkan tidak terlalu berguna untuk diagnosa rutin dari BPPV

karena BPPV sendiri tidak memiliki karakteristik tertentu dalam gambaran radiologi.

Tetapi radiografi ini memiliki peran dalam proses diagnosis jika gejala yang muncul

tidak khas, hasil yang diharapkan dari percobaan tidak sesuai, atau jika ada gejala

tambahan disamping dari kehadiran gejala-gejala BPPV, yang mungkin merupakan

gabungan dari central nervous system ataupun otological disorder.

b. Vestibular Testing

Electronystagmography memiliki kegunaan yang terbatas dalam mendiagnosa

BPPV kanalis, karena komponen torsional dari nistagmus tidak bisa diketahui dengan

menggunakan teknik biasa. Di sisi lain, dalam mendiagnosa BPPV kanalis

horizontal, nistagmus hadir saat dilakukan tes. Tes vestibular ini mampu

memperlihatkan gejala yang tidak normal, yang berkaitan dengan BPPV, tetapi tidak

spesifik contohnya vestibular hypofunction (35% dari kasus BPPV) yang umumnya

ditemukan pada kasus

trauma kapitis ataupun infeksi virus.

c. Audiometric Testing

Tes ini tidak digunakan untuk mendiagnosa BPPV, tapi dapat memberikan

informasi tambahan dimana diagnosa klinis untuk vertigo masih belum jelas.

d. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai

indikasi.

e. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).


f. Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem

Auditory Evoked Potential (BAEP).

g. Pencitraan CT-scan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI).

G. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Medis

Beberapa terapi yang dapat diberikan adalah terapi dengan obat-obatan seperti :

1. Anti kolinergik

 Sulfas Atropin : 0,4 mg/im

 Scopolamin : 0,6 mg IV bisa diulang tiap 3 jam

2. Simpatomimetika

 Epidame 1,5 mg IV bisa diulang tiap 30 menit

3. Menghambat aktivitas nukleus vestibuler

 Golongan antihistamin

Golongan ini, yang menghambat aktivitas nukleus vestibularis adalah :

- Diphenhidramin: 1,5 mg/im/oral bisa diulang tiap 2 jam

- Dimenhidrinat: 50-100 mg/ 6 jam.

Jika terapi di atas tidak dapat mengatasi kelainan yang diderita

dianjurkan untuk terapi bedah. Terapi menurut (Cermin Dunia Kedokteran

No. 144, 2004: 48) Terdiri dari :

- Terapi kausal

- Terapi simtomatik

- Terapi rehabilitatif

b. Penatalaksanaan Keperawatan

1. Karena gerakan kepala memperhebat vertigo, pasien harus dibiarkan berbaring

diam dalam kamar gelap selama 1-2 hari pertama.


2. Fiksasi visual cenderung menghambat nistagmus dan mengurangi perasaan

subyektif vertigo pada pasien dengan gangguan vestibular perifer, misalnya

neuronitis vestibularis. Pasien dapat merasakan bahwa dengan memfiksir

pandangan mata pada suatu obyek yang dekat, misalnya sebuah gambar atau jari

yang direntangkan ke depan, temyata lebih enak daripada berbaring dengan

kedua mata ditutup.

3. Karena aktivitas intelektual atau konsentrasi mental dapat memudahkan

terjadinya vertigo, maka rasa tidak enak dapat diperkecil dengan relaksasi mental

disertai fiksasi visual yang kuat.

4. Bila mual dan muntah berat, cairan intravena harus diberikan untuk mencegah

dehidrasi.

5. Bila vertigo tidak hilang. Banyak pasien dengan gangguan vestibular perifer akut

yang belum dapat memperoleh perbaikan dramatis pada hari pertama atau kedua.

Pasien merasa sakit berat dan sangat takut mendapat serangan berikutnya. Sisi

penting dari terapi pada kondisi ini adalah pernyataan yang meyakinkan pasien

bahwa neuronitis vestibularis dan sebagian besar gangguan vestibular akut

lainnya adalah jinak dan dapat sembuh. Dokter harus menjelaskan bahwa

kemampuan otak untuk beradaptasi akan membuat vertigo menghilang setelah

beberapa hari.

6. Latihan vestibular dapat dimulai beberapa hari setelah gejala akut mereda.

Latihan ini untuk rnemperkuat mekanisme kompensasi sistem saraf pusat untuk

gangguan vestibular akut.


Penatalaksanaan untuk BPPV didasari dengan kemampuan membuat gerakan sendiri

ataupun prosedur-prosedur dalam mereposisikan kanalis, dengan tujuan mengembalikan

partikel-partikel yang bergerak kembali ke posisi semula yaitu pada makula utrikulus.

Berikut akan dijelaskan pergerakan-pergerakan yang dapat dilakukan, dan ditujukan

untuk berbagai jenis BPPV. Keberhasilan dari tatalaksana sendiri bergantung pada

pemilihan pergerakan yang tepat dalam mengatasi BPPV. Beberapa penderita dapat

merasakan gejala-gejala seperti pusing, mual, berkeringat, dan muntah saat melakukan

pergerakan untuk terapi. Dalam kasus seperti ini, obat-obat penekan vestibulum dapat

digunakan sebagai tambahan yang tidak hanya meringankan vertigo yang muncul akibat

gerakan yang akan dilakukan tetapi juga mengatur gejala-gejala yang terjadi hingga

prosedur dapat dilakukan kembali. Obat-obat golongan terapi tersebut meliputi meclizin,

dimenhidrinase, clonazepam dan diazepam. Dosis dapat berbeda tergantung intensitas

dari gejala yang timbul (Purnamasari, 2013).

Terdapat beberapa manuver untuk reposisi BPPV, yaitu:

a. Manuver Epley

Manuver ini merupakan yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.

Penderita berada dalam posisi tegak kemudian kepala menoleh ke sisi yang sakit.

Kemudian penderita ditidurkan dengan posisi kepala digantungkan, dan

dipertahankan selama 1 sampai 2 menit. Berikutnya, kepala ditolehkan 90 derajat ke

sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan

30-60 detik. Kemudian beritahu pasien untuk mengistirahatkan dagu pada

pundaknya dan duduk kembali secara perlahan (Libonati, 2012).

b. Manuver Semont

Manuver ini diindikasikan untuk terapi dari kupulolotoasis kanalis posterior.

Jika kanal posterior yang terkena, maka penderita didudukkan dalam posisi tegak,
kemudian kepala penderita dimiringkan 45 derajat berlawanan arah dengan bagian

yang sakit dan secara cepat bergerak ke posisi berbaring. Nistagmus dan vertigo

dapat diperhatikan. Dan posisi ini dipertahankan selama 1 sampai 3 menit. Setelah

itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa berhenti saat

posisi duduk (Bunjamin et al., 2013).

c. Manuver Lempert

Manuver ini biasa digunakan sebagai terapi dari BPPV kanalis horizontal. Pada

manuver ini penderita berguling 360 derajat, dimulai dari posisi supinasi lalu

menghadap 90 derajat berlawanan dari sisi yang sakit, posisi kepala dipertahankan,

kemudian membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Berikutnya, kepala

penderita telah menghadap ke bawah dan badan dibalikkan lagi ke arah ventral

dekubitus. Kemudian kepala penderita diputar 90 derajat, dan tubuh berada pada

posisi lateral dekubitus. Secara bertahap, tubuh penderita kembali lagi dalam posisi

supinasi. Setiap langkah dilakukan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari

partikel partikel sebagai respon terhadap gravitasi (Bunjamin et al., 2013).

d. Forced Prolonged Position

Manuver ini digunakan untuk terapi BPPV kanalis horizontal. Perlakuannya

adalah mepertahankan tekanan dari posisi lateral dekubitus pada telinga yang sakit

selama 12 jam.

e. Brandt-Daroff Exercises

The Brandt-Daroff Exercises ini dikembangkan untuk latihan dirumah, sebagai

terapi tambahan untuk pasien yang tetap simptomatik, bahkan setelah melakukan

manuver Epley ataupun Semont. Latihan-latihan ini diindikasian satu minggu

sebelum melakukan terapi manuver, agar meningkatkan kemampuan toleransi diri


pasien terhadap manuver. Latihan ini juga membantu pasien menerapkan berbagai

posisi sehingga dapat lebih terbiasa (Solomon, 2000).

H. Komplikasi

a. Canal Switch

Selama melakukan manuver untuk mengembalikan posisi kanal vertikal,

partikel-partikel yang berpindah tempat dapat bermigrasi hingga sampai ke kanal

lateral, dalam 6 sampai 7% dari kasus. Pada kasus ini, nistgamus yang bertorsional

menjadi horizontal dan geotropik.

b. Canalith Jam

Selama melakukan reposisi manuver, beberapa penderita akan merasakan

beberapa gejala, seperti vertigo yang menetap, mual, muntah dan nistagmus.
Asuhan Keperwatan

1. Pengkajian

1.1 Biodata

Data klien, mencakup ; nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,

pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, No RM/CM,

tanggal masuk, tanggal kaji, dan ruangan tempat klien dirawat.

Data penanggung jawab, mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama,

pekerjaan, suku bangsa, hubungan dengan klien dan alamat.

1.2 Keluhan Utama

Pada umumnya klien dengan gangguan sistem Persarafan akibat vertigo

berupa pusing seperti berputar.

1.3 Keluhan Penyakit Sekarang

Merupakan pengembangan dari keluhan utama dan data yang menyertai

dengan menggunakan pendekatan PQRST, yaitu :

P: Paliatif / Propokative: Merupakan hal atau faktor yang mencetuskan

terjadinya penyakit, hal yang memperberat atau memperingan. Pada

klien dengan vertigo biasanya klien mengeluh pusing bila klien banyak

bergerak dan dirasakan berkurang bila klien beristirahat.

Q: Qualitas: Kualitas dari suatu keluhan atau penvakit yang dirasakan. Pada

klien dengan vertigo biasanya pusing yang dirasakan seperti berputar.

R: Region : daerah atau tempat dimana keluhan dirasakan. pada klien

dengan vertigo biasanya lemah dirasakan pada daerah kepala.

S: Severity :derajat keganasan atau intensitas dari keluhan tersebut. Pusing

yang dirasakan seperti berputar dengan skala nyeri (0-5)


T: Time : waktu dimana keluhan dirasakan, time juga menunjukan

lamanya atau kekerapan. Keluhan pusing pada klien dengan vertigo

dirasakan hilang timbul.

1.4 Keluhan Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit terdahulu, baik yang berhubungan dengan system

persyarafan maupun penyakit sistemik lainnya.

1.5 Riwayat Keluarga

Penyakit-penyakit keluarga perlu diketahui terutama yang menular dam

merupakan penyakit turunan.

2. Pemenuhan Kebutuhan

2.1 Pola Nutrisi

Dikaji mengenai makanan pokok, frekuensi makan, makanan pantrangan dan

napsu makan, serta diet yang diberikan. Makanan yang mengandung kolesterol

tinggi, biasanya pada klien dengan vertigo terdapat mual-mual selama fase akut

yang diakibatkan karena peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial).

2.2 Pola Eliminasi

Dikaji mengenai pola BAK dan BAB klien, pada BAK yang dikaji mengenai

frekuensi berkemih, jumlah, warna, bau serta keluhan saat berkemih, sedangkan

pada pola BAB yang dikaji mengenai frekuensi, konsistensi, warna dan bau serta

keluhan-keluhan yang dirasakan.

2.3 Pola Istirahat dan Tidur

Dikaji pola tidur klien, mengenai waktu tidur, lama tidur, kebiasaan

mengantar tidur serta kesulitan dalam hal tidur. Biasanya klien dengan vertigo

akan mengalami gangguan istirahat tidur karena adanya nyeri kepala yang hebat.
2.4 Pola Aktivitas

Dikaji perubahan pola aktivitas klien, klien dengan vertigo akan merasa

kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau

paralisis serta merasa mudah lelah, susah beristirahat karena nyeri kepala.

2.5 Pola Personal Hygiene

Dikaji kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan personal hygiene

(mandi, oral hygiene, gunting kuku, keramas). Klien dengan vertigo akan

tergantung pada orang lain dalam memenuhi personal hygiene karena adanya

keterbatasan aktivitas fisik atau kelemahan.

3. Pemeriksaan Fisik

3.1 Keadaan Umum

Dikaji mengenai tingkat kesadaran. Klien dengan vertigo biasanya akan

mengalami kesadaran, kadang tampak lemas.

3.2 Pemeriksaan Persistem

3.2.1 Sistem Persarafan

Pada system pesarafan yang dikaji adalah tingkat kesadaran

diorientasi orang, waktu, dan tempat, perubahan tanda-tanda vital,

kemampuan klien mengingat kejadian sebelum dan sesudah sadar.

Pada klien dengan vertigo biasanya ditemukan adanya gangguan

kesadaran dimana klien sadar dapat terlihat linglung atau tidak dapat

mempertahankan keseimbangan tubuh.

3.2.2 Sistem kardiovaskuler

Ditemukan perubahan yaitu tekanan darah menurun kecuali apabila

terjadi peningkatan tekanan intracranial, maka tekanan darah meningkat,


denyut nadi bradicardi, dan kemudian takikardi dan iramanya tidak

terarah.

3.2.3 Sistem Pernafasan

Pada klien dengan vertigo biasanya terjadi pola napas umumnya

klien sesak karena terjadi penyumbatan trakeo brokial karena adanya

secret pada trakeogrankeolus irama nafas tidak teratur nutrisi kedalam

maupun frekuensi cepat dan dangkal.

3.2.4 Sistem musculoskeletal

Pada klien dengan vertigo biasanya ditemukan terjadinya gangguan

fungsi motoris yang dapat berakibat terjadinya mobilisasi, pusing atau

kerusakan pada motor neuron mengakibatkan perubahan pada kekuatan

otot tonus otot dan aktifitas reflek .

3.2.5 Sistem eliminasi

Pada klien dengan vertigo sistem eliminasi akan terdapat referensi

atau trikontinen dalam BAB dan BAK, terdapat ketidakseimbangan cairan

dan elektrolit, dimana terdapat hiporat remia atau sipokalemia.

4. Dignosa Keperawatan

4.1 Risiko infeksi dengan factor resiko : prosedur invasive

4.2 Mual b/d stimulasi mekanisme neurofarmakologis

4.3 Nyeri akut b/d agen injuri biologi

4.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d hilangnya nafsu makan, mual dan

muntah
No Diagnosa Tujuan Intervensi Intervensi keperawatan

keperawatan

1 Risiko infeksi NOC: Intervensi NIC

dengan factor risiko Pengetahuan pengendalian 1. Pemberian vaksinasi:

: prosedur invasif infeksi: tingkat pemahaman pemberian imunisasi untuk


mengenai pencegahan dan mencegah penyakit menular
pengendalian infeksi 2. Pengendalian infeksi :
Pengendalian risiko: meminimalkan penularan
tindakan untuk agen infeksius
menghilangkan atau 3. Perlindungan terhadap

mengurangi ancaman infeksi


kesehatan actual, pribadi Aktivitas keperawatan :
serta dapat dimodifikasi. 4. Pantau tanda/ gejala infeksi
Tercapai setelah menjalani : suhu tubuh, denyut
perawatan selama 3 hari jantung,suhu kulit, lesi

kulit, keletihan,
Kriteria hasil: malaise,sekresi, penampilan

a. Faktor risiko akan hilang urine, penampilan luka

dengan dibuktikan oleh 5. Kaji factor yang

keadekuatan status imun meningkatkan serangan

klien infeksi

b. Memantau factor risiko 6. Pantau hasil laboratorium:

lingkungan dan perilaku albumin, protein serum,dll

seseorang 7. Amati penampilan praktik

c. Menghindari pajanan hygine pribadi untuk


terhadap ancaman perlindungan infeksi

kesehatan 8. Jelaskan kepada

d. Menguah gaya hidup klien/keuarga mengapa

untuk mengurangi risiko sakit/pengobatan

meningkatkan risiko

terhadap infeksi

9. Ajarkan kepada klien untuk

tehnik mencuci tangan yang

benar

10. Lindungi klien terhadap

kontaminasi silang

2 Mual b/d stimulasi NOC: Intervensi NIC:

mekanisme Tingkat 1. Penatalaksanaan cairan :


neurofarmakologi kenyamanan:perasaan lega peningkatan keseimbangan
secara fisik dan psikologis cairan dan pencegahan
Keseimbangan cairan: komplikasi
keseimbangan cairan dalam 2. Pemantauan cairan :

ruang intraseular dan pengumpulan dan analisis


ekstraselular tubuh data klien untuk mengatur
Status nutrisi: asupan keseimbangan cairan
makanan dan cairan: jumlah 3. Pemantauan nutrisi

makanan dan cairan yang Aktivitas keperawatan :


masuk kedalam tubuh dalam 4. Pantau gejala subyektif

24 jam. mual pada klien


Tercapai setelah menjalani
perawatan selama 3 hari 5. Pantau adanya peningkatan

berat badan

Kriteria hasil: 6. Pantau tingkat energy,

a. Berat badan stabil malaise,keletihan,

b. Tidak tedapat mata kelelahan.

cekung 7. Pantau turgor kulit

c. Hidrasi kulit tidak 8. Ajarkan klien tehnik napas

terganggu dalam untuk menekan

d. Keseimbangan asupan reflex muntah

dan haluaran dalam 24 9. Ajarkan klien untuk makan

jam dengan perlahan tapi sering

e. Klien melaporkan tidak 10. Kolaboratif : obat antimetik

mual sesuai dengan anjuran

f. Menunjukkan 11. Naikkan bagian kepala

keseimbangan cairan tempat tidur pada posisi

dengan indicator 1-5 lateral untuk mencegah

:ekstrem, berat, sedang, aspirasi

ringan, tidak bermasalah 12. Pantau status nutrisi

3. Nyeri akut b/d agen NOC: Intervensi NIC:

injuri biologi Tingkat kenyamanan: 1. Pemberian analgesic

perasaan senang secara fisik 2. Penatalaksanaan nyeri

dan psikologi 3. Sedasi sadar : pemberian


Nyeri: efek merusak: efek sedative, memantau respon
merusak dari nyeri terhadap klien dan pemberian
emosi kliendan perilaku yang dukungan fisiologis yang

diamati dibutuhkan selama prosedur

Perilaku mengendalikan terapautik

nyeri: tindakan seseorang Aktivitas keperawatan :

untuk mengendalikan nyeri 4. Meminta klien untuk

Tingkat nyeri: jumlah nyeri menilai nyeri dengan

yang dilaporkan dan di menggunakan skala 0-10 (

tunjukkan 0-tidak ada

Tercapai setelah menjalani nyeri/ketidaknyamanan,

perawatan selama 3 hari: 10= nyeri sangat)

5. Lakukan pengkajian nyeri

Kriteria hasil: yang komperehensif

a. Menunjukkan tingkat meliputi lokasi,

nyeri dengan indicator 1- karakteristik,dll

5 : eksterm, 6. Bantu klien untk

berat,sedang, ringan, mengidentifikasi tindakan

tidak sama sekali. pemenuhan kebutuhan rasa

b. Klien mampu nyaman yang telah berhasil

menunjukkan tehnik dilakukan seperti: distraksi,

relaksasi secara relaksasi, kompres hangat

individual yang efektif atau dingingunakan

untuk mencapai pendekatan positif dengan

c. Kenyamanan. tujuan untuk

d. Klien mampu mengoptimiskan respon

meningkatkan klien terhadap analgesic


konsentrasi 7. Bantu klien untuk lebih

e. Klien dapat tidur dengan berfokus pada aktivitas

efektif daripada

ketidaknyamanan dengan

melakukan pengalihan

melalui televise, tape,

radio,dll

8. Observasi ketidaknyamanan

verbal, khususnya pada

mereka yang tidak mampu

mengkomunikasikannya

secara efektif.

9. Instruksikan klien untuk

menginformasikan kepada

perawat jika pengurang

nyeri tidak dapat dicapai

10. Masukkan pada instruksi

saat pemulangan klien

mengenai pengobatan

khusus yang harus

dikonsumsi, frekuensi

pemberian, efek samping,

dll

4 Nutrisi kurang dari NOC: Intervensi NIC:

kebutuhan tubuh b/d Status gizi: tingkat zat gizi


hilangnya nafsu yang tersedia untuk 1. Pengelolaan gangguan

makan, mual dan memenuhi kebutuhan makan

muntah metabolic 2. Pengelolaan nutrisi

Status gizi: asupan makanan 3. Bantu menaikkan BB

dan cairan: jumlah makanan 4. Aktivitas keperawatan:

dan cairan yang di konsumsi 5. Timbang BB klien pada

tubuh selama waktu 24 jam interval yang sesuai

Status gizi: nilai gizi: 6. Tentukan BB ideal klien

keadekuatan zat gizi yang 7. Berikan informasi

dikonsumsi tubuh menyangkut sumber-

Tercapai setelah menjalani sumber yang tersedia .

perawatan selama 3 hari seperti: konseling

Kriteria hasil : diet,program latihan.

a. Klien akan 8. Diskusikan dengan klien

mempertahankan berat tentang kondisi medis yang

badan ideal mempengaruhi BB

b. Klien menyatakan 9. Diskusikan tentang risiko

toleransi terhadap diet yang berkaitan dengan

ang dianjurkan kelebihan atau kekurangan

c. Mempertahankan massa BB

tubuh dan berat badan 10. Bantu klien dalam

dalam batas normal mengembangkan rencana

d. Melaporkan keadekuatan makan yang seimbang dan

tingkat energy konsisten dengan tingkat

penggunaan energi
DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie. 2008. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di

Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Chobanian, AV., Bakris, GL., Black, HR., Cushman, WC., Green, LA., Izzo, JL. et al. 2009.

The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,

and Treatment of High Blood Pressure : The JNC 7 Report. JAMA, 289 : 2560-72

Edward Y., Roza Y., 2014. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional

Vertigo. Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 3(1)

Skuta GL. Cantor L.B Weiss Js, 2010, Basic and Clinical Science Course Glaukoma.

Anda mungkin juga menyukai